AQAD (Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 1 dan 2 serta Surat Ali Imran Ayat 76)
Paper ditulis sebagai bahan diskusi pada mata kuliah Tafsir Ahkam Fil Muamalah Program studi Hukum Ekonomi Syariah
Oleh: Riadhus Sholihin 2.215.11.018
PROGRAM PASCASARJANA (S2) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2015 M./1436 H.
(Surat Al-Maidah ayat 1)
اياَُّهَ الَّذ ي لاَِّفُ وُ ي اِاَ ي اَيمَُوالنأْفه َُ يِاِي ي ذ ااَ اُّهوفْهََّ ا َعََّفم وُ فْا َغفمهَرا ْ ُ َّ ا ْ َّ ِو ا ُ َْ َ لا ا ُ َام َُّ ِ و َ و و َ ف و َ َ َ َ ف َ َ ف ويُمَّيِّيالَّ ذ ي )١(ُّدا اِورٌِاِي ذن ذ اَي وُ وْ َاَ اُّوير و الَّللَ َف صفمد َاَْْفهْو فْ و Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai yang Dia kehendaki. (Q.S Al-Maidah Ayat 1)
ا
1. Arti Mufradad
الوفاء
adalah menunaikan sesuatu dengan sempurna, tanpa kurang.
Jamak dari kata
عقد
lalu mengikatnya.
العقود
yang berarti mengikat yakni menghimpun ujung-ujung sesuatu
البهيمة
adalah sesuatu yang tidak bisa bicara.
االنعامadalah ternak
yaitu lembu, unta dan kambing. الحرمjamak dari haram maksudnya orang yang sedang ihram. 2. Asbabun Nuzul Imam Ahmad mengatakan, dari Asma’ binti Yazid, ia berkata: “pada saat aku sedang memegang tali kekang unta Rasulullah, tiba-tiba turun kepada beliau surat AlMaidah secara keseluruhan. Karena beratnya surat Al-Maidah, sehingga berdetak pangkal kaki depan unta tersebut. Sedangkan al_hakim mengatakan, Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami, dari jubair bin Nufair, ia berkata: “Aku pernah
pergi haji, lalu masuk ke rumah Aisyah, maka ia berkata kepadaku: “Hai Jubir, apakah kamu sudah membaca surat Al-Maidah? “sudah” jawabku. Kemudian Aisyah berkata: “Sesungguhnya ia adalah surat terakhir kali turun. Apa saja yang kalian temukan dari yang halal, maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian temukan dari yang haram maka haramkanlah. Kemudian al-hakim mengatakan: “Hadits tersebut sahih sesuai syarat Syaikban (Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits itu”1. Pada suatu waktu ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata” ikatlah janji dengan ku!” sehubungan dengan itu Abdillah bin Mas’ud tidak menjawab, yang kemudian dia menghadap kepada Rasulullah SAW menyampaikan apa yang disampaikan laki-laki itu. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-1 sebagai ketegasan, agar orang-orang yang beriman menguatkan janji-janji mereka dan memenuhinya. Disamping itu dihalalkan buat mereka binatang ternak yang disembelih secara Islam serta berburu disaat melaukan ibadah haji adalah dilarang. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Nu’aim bin Hammad dari Abdillah bin Mubarrak dari Mas’ar dari Auf). Hathim bin Hindun al-Bakri datang ke Madinah dengan membawa kafilah (rombongan berkendaraan unta) yang penuh dengan berbagai macam bahan maanan untuk diperdagangkan. Dia datang kepada Rasulullah SAW untuk menyatakan bai’at (janji setia) serta menyatakan keislamannya. Sewaktu Hatim bin Hindun kembali pulang, Rasullah bersabda kepada para sahabat yang berada di sisi beliau: “dia datang kepada ku dengan muka seorang penjahat dan pergi dengan punggung seorang pengkhianat”. Apa yang disabdakan Rasulullah pun menjadi kenyataan. Sewaktu dia sampai ke Yamamah, maka kembali murtad dari ajaran Islam.2
1
Tafsir Ibnu Katsir Jilid III Hlm. 14 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Study Pendalaman Al Qur’an, (Rajawali Press, Jakarta: 2002), hlm. 293 2
3. Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 1 Menurut Mufassirin
)ياَُّهَ الَّذ ي امَُوالاَ فَُْوا ي (ِا لاَِّفُو وُ يا ِ َ َ َ َُّ َ Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji Kata al-uqud lebih khusus jika dibandingkan dengan kata al-ahdu karena setiap al-ahdu akan melahirkan al-aqdu. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa yang dimaksud dengan Uqud ialah perjanjian yang telah diadakan Allah terhadap hambahambaNya. Yaitu apa saja yang telah diharamkan dan apa yang telah dihalalkan; apaapa yang telah diwajibkan dan apa-apa yang telah dibataskan dalam Al-quran seluruhnya, bahwa semua itu tak boleh dilanggar. Ar-ragib berkata bahawa uqud itu ada tiga macam: perjanjian antara Allah dengan hambaNya, perjanjian antara hamba dengan dirinya sendiri, dan perjanjian antara dirinya sendiri dengan orang lain. Masingmasing perjanjian tersebut ada yang diwajibkan menunaikannya oleh akal manusia sendiri yang telah Allah anugerahkan padanya, yaitu perjanjian yang bisa diketahui oleh akal dengan mudah daan dengan pemikiran yang sederhana sekalipun. Adapula diantaranya yang diwajibkan menunaikannya oleh Syara’ yaitu perjanjian yang ditunjukkan kepada kita dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulnya. Setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan diakadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagaimana diperintahkan Allah, selagi yang dia
janjikan dan diakadkan itu tidak bersifat menghalakan barang haram atau mengaharamkan barang yang halal. Seperti janji untuk memakan sesuatu dari harta orang lain secara batil.3 Menurut Haqqi Al-Buruswi dalam tafsirnya Ruhul Bayan menjelaskan bahwa Al-wafa’. Artinya melaksanakan tuntutan sedangkan Al-‘aqdu berarti janji yang di ikat, yang diserupakan dengan ikatan tali dan sebagainya. Maksudnya adalah mencakup segala perkara yang telah ditetapkan Allah SWT kepada hambanya berupa kewajban, hukum-hukum agama serta ikatan diantara mereka berupa akad, amanat, muamalat dan sebagainya yang wajib dipenuhi.4 Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Syaikh As Sa'diy berkata, "Ini merupakan perintah Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin untuk mengerjakan konsekwensi daripada iman, yaitu memenuhi janji, yakni menyempurnakannya, melengkapinya, tidak membatalkan dan tidak mengurangi. Hal ini mencakup akad (perjanjian) yang dilakukan antara seorang hamba dengan Tuhannya berupa mengerjakan ibadah kepada-Nya, mengerjakannya secara sempurna, tidak mengurangi di antara hak-hak itu. Demikian juga mencakup antara seseorang dengan rasul-Nya, yaitu dengan menaatinya dan mengikutinya, mencakup pula antara seseorang dengan kedua orang tuanya dan kerabatnya, yakni dengan berbakti kepada mereka dan menyambung tali silaturrahim dengan mereka dan tidak memutuskannya. Demikian pula akad antara seseorang dengan kawan-kawannya berupa mengerjakan hak-hak persahabatan di saat kaya dan miskin, lapang dan sempit. Termasuk pula akad antara seseorang dengan yang lain dalam akad mu'amalah, seperti jual beli,
3 4
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 80 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI hlm.115-116.
menyewa, dsb. Termasuk pula akad tabarru'at (kerelaan), seperti hibah dsb. bahkan termasuk pula memenuhi hak kaum muslimin yang telah Allah akadkan hak itu di antara mereka dalam firman-Nya, "Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara." (Terj. Al Hujurat: 10) dengan cara saling tolong-menolong di atas kebenaran, membantunya, saling bersikap lembut dan tidak memutuskan hubungan. "Berdasarkan ayat ini pula bahwa hukum asal dalam akad dan syarat adalah mubah, dan bahwa hal itu dipandang sah dengan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan demikian karena kemutlakannya.5 Mengenai firman Allah tersebut, Ali bin Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, (ia berkata): “yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalakan dan diharamkan Allah, yang di fardhukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam AlQuran secara keseluruhan, maka janganlah kalian mengkianati dan melanggarnya. Kemudian Allah mempertegas lagi hal itu, Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’d ayat 25 yang artinya “orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan-sampai dengan firman-Nya-tempat kediaman yang buruk. Sebagain ulama yang berpendapat bahwasanya tidak ada hak pilih dalam jual beli telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil. Ibnu Abbas mengatakan, hal itu menunjukkan keharusan berpegang dan menapati janji, dan hal itu menurut dihilangkannya hak pilih dalam jual beli. Demikianlah mazhab Abu Hanifah dan Malik. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat imam Syafi’i, Ahmad dan Jumhur Ulama. Yang menjadi dalil dalam hal itu adalah hadits yang ditegaskan dalam Ash-Shahibaini, dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda yang artinya : “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (hak memilih untuk jadi atau mebatalkan), selama mereka belum berpisah. Sedangkan hadits
5
Tafsir Hidayatul Insan Jilid 1 Hlm. 333-334
lain yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Jika dua orang melakukan transaksi jula beli, maka masing-masing dari keduanya mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah”. Hal ini jelas sekali dalam menetapkan adanya hak pilih dalam jual beli sebagai kelanjutan bagi perjanjian jual beli. Dan hal ini tidak menafikan keharusan berpegang teguh pada perjanjian, justru menurut syariat hal itu merupakan konsekuensi dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, berpegang teguh pada perjanjian merupakan bagian dari kesempurnaan pemenuhan janji.6
ي (ْاعََّفم وُ فا ْاَي َمَُو ف َ ُْاََّ و ا)َوَِّذ ف َ ٰ ََّالنأَْفه َُ يِاِيذ ا َاَ اُّهوفْه Artinya: Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu Kemudian dalam ayat tersebut Allah menjelaskan hukum-hukum yang Allah perintahkan penunaiannya. Maka dimulailah dengan perkara yang berkaitan dengan kebutuhan pokok hidup manusia. Allah menghalakan bagi manusia untuk memakan binatang ternak, yaitu delapan jenis binatang yang berpasangan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 143-144 ditambah kijang, sapi hutan dan lain-lain sejenisnya, selain yang telah diharamkan dalam surat al-maidah ayat 3.7 Kata bahimah lebih umum dari pada kata al-an’am, karena binatang ternak itu hanya menyangkut yang berkaki saja. Sebenarnya kijang, banteng dan sebagainya pun berhak disebut al-an’am.8
6
Tafsir Ibnu Katsir Jilid III Hlm. 16. Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 81 8 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI hlm.117 7
صم ي اُمَّي ) َغمهر وي (ِاِورٌا ْ َْْ َ ْا د َّ ل يا ِّ ذ و ف َ ف و َف Artinya : Dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Dihalalkan binatang ternak tersebut dengan tetap tidak halalkan berburu bagi orang yang pada saat telah diharamkan Allah yakni tetap tidak boleh menganggap halal binatang itu dengan berburu atau memakannya ketika sedang dalam keadaan ihram haji, umrah atau keduanya atau ketika memasuki ke tanah haram. Jadi berburu itu tidak halal bagi orang yang berada di tanah haram sekalipun dia tidak dalam keadaan ihram, dan juga tidak dibolehkan berburu bagi orang yang dalam keadaan ihram haji maupun umrah, sekalipun ia berada diluar batas tanah haram yakni dikala ia telah berniat memasuki ibadah ini, dan telah memulai pekerjannya, seperti talbiyah dan memakai pakaian tanpa berjahit yang diselubungkan. Kesimpulannya binatangbinatang ternak tersebut semuanya dihalakan selama tidak memburunya dan tidak memakannya ketika sedang berihram.9
(ُّد اَي وُ وْ َاَ اُّوير وا )ِي ذن ذ الَّللَ َف Artinya : Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai yang Dia kehendaki . Allah SWT memberikan keputusan-keputusan terhadap makhluknya sesuai dengan apa yang dikehendakinnya yaitu menghalakan apa yang dihalalkan dan
9
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 82
mengharamkan apa yang diharamkan, sesuai dengan masyiahNya, dan sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan yang diberlakukannya olehNya. karenaNya, tunaikanlah ketentun dan janjinya, jangan mengkianati dan jangan merusak. 10 Perintah-perintah Allah tidak pernah berubah. Kehendaknya ialah rencana dasar yang sempurna. Segala yang dikehendakinya didasarkan pada rencananya yang didalamnya sudah memantulkan segala kebajikan dan kebaikan yang amat sempurna11
A. (Al-Maidah ayat 2)
ذي لا ااُتَّالاشُ ئير ذي ي ي َاْ االاَّف َُئائي َد َاْ اا ذََر ف الَّلل َاْ االَّش ف َ َُّ َ الْلََر َلِ َاْ اال فْلَفد َ ََِّي اَُّه ََ ال َ َ َ امَُوا و ئااََاريَِّي ض ي ي ضا الًناِْي ي ااَ يرََُذ وُ فْا ْ ِ ا ط ص ُ ا ْ ْ َّ َّ ِلا ذ ر ْا ْ ُ ا ن ا غ ه ْ ه ب ه ُّ ا ِل ر الْل ْ م ه ب َّ ل ا ني َم ف ف ف َ َ َ َ َ َ ف ف و و َ لاْ َف و َ ف َ ف ف ِّ َ َ ف َ َ َ َ ف َ َ َ ََ ف اشُآ وناقَهاٍِاَ فناصدْوكْاع يَالَّفَس يج ي ي َ لاعََّ الَّفي يِّب َااْلَّْذه فُ َا َاْ اا ا ْ ْ ُ ه ت ْلا ْ د ْ ُ ه ت ا ن ا ِل ر الْل د ف ف و َ َ و َ َ ََ َ ف ََ ف َ ف َ َف ََ الَّلل ي لاعََّ في )٢(ُّدالَّفُي َُ ب الإلْث َاْلَّفُو فد َْ يلن َاْلتذه وُا ذ اشد و َ َلالَّللَاِي ذن ذ َ تَه َُ َْْوا Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'arsyi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
10 11
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 82 Tafsir Yususf Ali Hlm.241
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. 1. Arti Mufradad
()شعائرهللا
adalah tanda-tanda kebesaran Allah.
شعائر
kata jamak dari
Sya’irah. اهلديadalah ternak yang di bawa ke kabah untuk disembelih. القالئدjamak dari qiladah, artinya kalung yang digantungkan pada leher. امنيadalah orang-orang yang berkunjung. فضلadalah laba atau keuntungan dalam berdagang. رضوانadalah
keridhaan Allah yang menyebabkan orang tidak dihukum di dunia.
kata الشيئ
جرمه
جيرمنكم
dari
yang berarti meneyebabkan dan menjadikan orang itu melakukan
sesuatu. الشنانadalah benci yang diiringi dengan rasa jijik terhadap yang dibenci.
2. Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 2 Menurut Mufassirin
)ياَُّهَ الَّذ ي لا ا وي (الَّلل لاش َُ ئيَر ذيا َُّ ِ َ امَُوا َ اُتَّا َ َ َ َ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'arsyi'ar Allah. Hal-hal yang Allah hendak menjadikannya sebagai tanda-tanda petunjukNya dengan itu dapat terhindar dari kesesatan seperti manasik haji dan seluruh han yang wajib dipatuhi dalam agama baik perkara halal, haram maupun batas-batas yang telah ditetapkan. Maksudnya adalah hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menganggap halal syiar-syiar agama Allah sehingga kamu melakukannya sesuka hatimu. Tetapi lakukanlah sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah kepadamu, dan jangan lah kamu meremehkan kehormatannya. Jangan pula kamu menghalangi orngorang yang hendak menuanikannnya atau kamu halangi mereka yang hendak melakukan haji pada bulan haji.12 Di sini safa dan marwah disebut lambang-lambang (sya’ir) Allah. Lambanglambang itu segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah haji yakni (1) tempattempat seperti safa dan marwah, atau ka’bah, atau arafat dan lain-lain, (2) uapacara dan tatacara yang sudah ditentukan, (3) larangan-larangan seperti berburu dan (4) waktuwaktu dan musim-musim yang sudah ditentukan. Dalam semuanya itu terdapat lambang rohani dan moral.13
12 13
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 82 Tafsir Yususf Ali Hlm. 242.
Syi'ar Allah adalah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji dan tempat-tempat mengerjakannya. Syi'ar bisa juga diartikan rambu-rambu agamanya. Ada pula yang mengartikan syi'ar-syi'ar di sini dengan "laranganlarangan-Nya", yakni jangan dilanggar. Melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah misalnya mengerjakan larangan ihram, seperti berburu sewaktu ihram, demikian juga mengerjakan larangan-larangan di tanah haram.14
(ِالْلََر َال ا) ََْ االَّ ذا ش فََر ف Artinya : Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. Bulan-bulan haram yang dimaksud di sini adalah bulan Zulqaedah, Zulhijjah dan muharram. Maksud ayat ini adalah janganlah kamu menganggap halal bulan haram ketika kamu memerangi musuh-musuh mu dan orang-orang musyrik pada bulan tersebut sebagai mana telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah.15 Bulan haram adalah bulan haji, pada bulan tersebut dilarang untuk berperang dan membunuh. Keempat bulan yang dilarang berperang adalah bulan Zulqa’idah, Zulhijah, Muharram dan rajab. Memufradtkan kata syahru untuk menyatakn sejenis.16 Maksudnya antara lain bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram, yakni dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan berperang di bulan haram sudah mansukh (dihapus) berdasarkan ayat 5 surat At Taubah, demikian juga berdasarkan ayat-ayat yang umum yang memerintahkan
14
Tafsir Hidayatul Insani Hlm. 334 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 83 16 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI Hlm. 124 15
memerangi orang-orang kafir secara mutlak, di samping itu, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri memerangi penduduk Tha'if di bulan Dzulqa'dah; salah satu bulan haram. Sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa larangan berperang di bulan-bulan haram tidaklah mansukh berdasarkan ayat ini dan ayat yang lain, mereka mena'wil yang mutlaknya kepada yang muqayyad. Mereka juga merincikan, "Tidak boleh memulai peperangan di bulan haram, adapun melanjutkan dan menyelesaikannya jika mulainya terjadi di bulan lain, maka boleh", mereka juga mena'wil peperangan yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap penduduk Tha'if, bahwa peperangan tersebut di Hunain mulainya pada bulan Syawwal. Ini semua jika bukan peperangan daf' (pembelaan diri), namun jika peperangan daf', yakni orang-orang kafir yang memulainya, maka dibolehkan bagi kaum muslimin membalasnya, baik di bulan haram maupun lainnya berdasarkan ijma' para ulama.17
(ي ) ََْ اال فْلَفد َا Artinya : Jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya. Dan jangan pula kamu menganggap halal binatang-binatang Hadyu yang dibawa ke Ka’bah yakni binatang-binatang ternak yang dimaksudkan untuk dibagikan kepada orang-orang yang beri’tikaf dan tinggal di sana dengan niat Taqarrub kepada Allah. Menganggap halal maksudnya adalah dengan mencegah binatang hadyu itu sehingga itu sehingga tidak sampai ke tempat penyembelihannya di sekitar ka’bah, karena kamu
17
Tafsir Hidayatul Insani Hlm. 334-335
curi umpannya, atau kamu sembelih di tengah jalan, atau kamu gasab atau kamu tahan pada orang yang mengambilnya.18 Hadyu yaitu binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji. Kita tidak boleh mengganggunya, termasuk pula menghalangi dari sampai ke tempatnya, mencurinya dsb.19
() ََْ االَّف َُ َئائي َاد Artinya : Dan binatang-binatang qalaa-id Juga. Jangan kamu anggap halal binatang hadyu yang memakai kalung, yaitu unta. Seoalaholah Allah berfirman : janganlah kamu menganggap halal binatang hadyu itu, baik yang memakai kalung maupun tidak akan tetapi secara khusus disebutkan yang pakai kalung karena binatang yang memakai kalung itulah yang paling baik dan paling dihormati.20 Qalaid jamak dari qaladah berarti sesuatu yang diikatkan kepada leher binatang, baik berupa sendal, kulit pohon dan sebagainya, supaya dengan kalung itu diketahui bahwa binatang tersebut merupakan binatang persembahan sehingga tidak boleh diganggu.21
18
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 83 Tafsir Hidayatul Insani Hlm. 335 20 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 83 21 Tafsir Ruhul Bayan Juz VI hlm. 124 19
)َْ ا ي (ِالْلََر َال م ه ب َّ ل ا ني َام ف ْ ف َ َ َ ِّ َ ف Artinya : Dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah. Jangan pula kamu menganggap halal memerangi orang-orang yang berangkat ziarah ke baitu haram atau kamu halangi mereka dengan cara apapun.22 Dengan haji, umrah, thawaf, shalat dan ibadah lainnya. Yakni jangan menyakitinya, menghinanya, bahkan muliakanlah dan hormatilah orang-orang yang berkunjung ke rumah-Nya. Termasuk ke dalam hal ini adalah mengamankan jalan menuju Baitullah, membuat tenang orang-orang yang pergi berkunjung ke Baitullah dan membuat mereka bisa beristirahat, tanpa ada rasa takut dibunuh, dijambret hartanya dan dibajak. Namun demikian, ayat ini ditakhshis dengan firman Allah Ta'ala di surat At Taubah ayat 28, yang di sana disebutkan bahwa orang-orang musyrik tidak boleh masuk ke tanah haram.23
)ُّهبهَْهغوا َناَُ ف ي (لًن ض َا اا اََا ذريَِّي فْ َاْير ف َف ِّ ض ائا Artinya : Mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya. Mereka yang berdagang mencari laba dan rida dari Allah, yang dapat menghalangi mereka dari hukumNya di dunia, supaya mereka jangan ditimpa sesuatu yang menimpa orang lain di dunia ini. Firman Allah ini berkaitn dengan orang-orang musyrik, demikian sebagaimana diriwayatkan dari Qatadah, bahwa dia
22 23
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 84 Tafsir Ibnu Katsir Jilid III Hlm. 20
menerangkan “mereka adalah orang-orang musyrik yang mencari anugera Allah dan keredaanNya demi kepentingan dunia mereka”. Dan menurut keterangan lain dari Qatadah juga, “keridaan yang mereka cari ialah agar Allah memberi kebaikan penghidupan mereka di dunia, dan tidak menyegerakan hukumanNya terhadap mereka.24
ي (ص اطَ وِْل لاََِّفَّْو فْاَُ ف َ ) َِْ َذ Artinya : Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Sesudah itu, Allah kemudian menjelaskan mafhum dari Firmannya “Gaira Muhillis-saidi wa antum hurum” dengan firmannya dan apabila kamu sudah keluar dari tanah haram, maka berburulah jika kalian ingin karena yang diharamkan atasmu hanyalah berburu di tanah haram dan dalam keadaan ihram saja.25
ٍ (الْلََريلِاََناتَه فَُْ ودْل اع يَالَّف ََ فس يج يد ف َ ْاَ يرََُذ وُ ف َ َْناصدْوك ف ) ََْ ا َف َ َاشَُآ وناقَه فاِا Artinya : Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Jangan sekali-kali kebencian dan permusuhan dari suatu kaum mendorong kamu berbuat aniaya terhadap mereka, yang disebabkan mereka menghalangi kamu dari Masjidil-Haram. Memang kaum musyrikin telah mengahalangi orang-
24 25
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 84 Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 84
orang mu’min dari melakukan ‘umrah pada peristiwa Hudaibiyah. Namun begitu, kaum mu’min tetap dilarang menyerang orang-orang musyrik.26 Dalam tahun ke enam Hijri, terbawa oleh rasa benci dan hendak menganiaya kaum muslimin, orang-orang musyrik melarang mereka memasuki masjidilharam. Tatkala kemudian kaum muslimin menguasai Mekkah, ada diantara mereka yang ingin mnegadakan pembalasan, mau melarang mereka masuk atau menganggu orang pada waktu haji. Cara ini dilarang. Dengan menyimpulkan kejadian tersebut sebagai dasar umum, berarti kita dilarang mengadakan balas dendam atau membalas kejahatan dengan kejahatan. Kita tidak dibenarkan mengadakan permusushan hanya karena kebencian kita terhadap kejahatan itu. Kita harus tolong menolong atau dasar kebenaran dan ketakwaan, bukan malah meneruskan dendam kebencian dan permusushan. Kita boleh melawan dan menumpas kejahatan, tetapi bukan dengan semangat kejahatan pula atau dengan kebencian, sebaliknya harus selalu dengan keadilan dan kebenaran.27
لاعََّ في لن(ا الإل فيْث َاْلَّفُو فد َْ يا َ لاعََّ الَّفي يِّب َاْلَّْذه فُ َا ٰ ا َۖاَْ ااتَه َُ َْْوا َ ) َْتَه َُ َْْوا Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Oleh karena serang menyerang antara satu dengan lainnya takkan terjadi kecuali dengan adanya saling tolong menolong sesamanya, maka larangan menyerang itu diikuti dengan perintah untuk tolong menolong. Perintah tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa adalah termasuk pokok-pokok petunjuk sosial
26 27
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 85 Tafsir Yususf Ali Hlm. 242
dalam Al-quran. Karena diwajibkan kepada manusia agar saling tolong menolong satu sama lain dalam mengerjakan apa saja yang bermanfaat bagi umat manusia, baik pribadi maupun kelompok, baik dalam perkara agama maupun dunia, juga dalam melakukan perbuatan takwa yang dengan itu mereka mencegah terjadinya kerusakkan dan bahaya yang mengancam kehidupan mereka.
الَّلل ي (ب ُّدالَّفُي َُ يا ) َْلتذه وُا ذ اش اد و َ َلالَّللَاۖاِي ذن ذ Artinya : Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Bertakwa lah kamu kepada Allah dengan mengikuti sunnah-sunnah Allah yang telah diternakkan di dalam Al-quran maupun dalam sistem yang berlaku pada makhlukNya sehingga kamu tidak terkena hukuman Allah apabila kamu melanggarnya. Karena siksa Allah sangatlah berat bagi orang-orang yang tidak bertakwa kepadaNya dan juga tidak akan ada kasih sayang apabila hukuman Allah telah tiba. Allah takkan memerintahkan sesuatu kecuali yang berguna dan tidak melarang sesuatu kecuali yang berbahaya.28
28
Tafsir Al-Maraghi Jilid 6 Hlm. 87
B. (Surat Ali Imran ayat 76)
ي الَّلل وي نيا بَهََّ ٰ َاَ فَاَ فَْ ََٰفابي َُ فَ يد يه َاْلتذه َُ ٰ اَُيإ ذن َذ َ ُاَيبالَّف وَْذ Terjemahan: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. 1. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 76 Menurut Mufassirin. Siapa diantara kalian, wahai ahli kitab yang menepati janji dan bertakwa kepada Allah, yaitu janji-janji yang telah diambil oleh Allah dari kalian berupa iman kepada muhammad jika beliau diutus, sebagaimana Allah telah mengambil janji atas para nabi serta ummatnya, untuk itu bertakwalah yaitu menjaga diri dari semua yang diharamkan dan mengikuti ketaatan serta syariatNya yang telah dibawa oleh penutup dan pemimpin para rasul. Maka Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.29 Kita perhatikan di sini bahwa penunaian janji itu dikaitkan dengan ketakwaan. Karena itu, tidak ada perbedaan kewajiban memenuhi janji dalam muamalah baik dengan orang muslim maupun dengan orang non muslim. Ini bukan masalah kepentingan
akan
tetapi
masalah
bermuamalah
dengan
Allah.
Tanpa
memperhatikan siapa yang menjadi mitra dalam melakukan transaksi muamalah. Demikianlah teori etika akhlak Islam secara umum di dalam memenuhi kewajiban dalam perjanjian. Motivasi muamalah dalam Islam bukanlah sekedar masalah kepentingan dan keuntungan, bukan tradisi masyrakat, bukan pula
29
Tafsir Ibnu Katsir Jilid II Hlm. 95
tuntutan lingkungannya akan tetapi ada norma dan ukuran yang tepat dan pasti yang bersumber dari Allah.30 Ayat tersebut menunjukkan atas pentingnya perintah memenuhi janji, karena taat pada perintah mencakupi dua hal, mementingkan perintah Allah dan berkasih sayang dengan makhlukNya. Berarti dalam pemenuhan janji maka mencakup dua hal tersebut, selain telah mementingkan atau melaksanakan perintah Allah juga telah berkasih sayang dengan makhlukNya.31
C. Konsep Akad dalam Islam 1. Pengertian Akad Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari al-a’qd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagaimana menurut segi etimologi lain, akad berarti: “ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.32 Sedangkan sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan untuk akad, di antaranya adalah:33 (1) Menurut Pasal 262 Mursyd al-Hairan, akad merupakan “pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad”. (2) Adapun pengertian
30
Tafsir Fi Zhilalil Quran Juz III Hlm. 95 Tafsir Ruhul Bayan juz III Hlm.469 32 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuhu Al-Juz Al-Rabi’,(terj. Akhir Haji Yaacob), Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002. 31
33
Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.
lain, akad adalah “pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya”. Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syariat Islam. 34
2. Rukun Dan Syarat Akad Untuk dapat terealisasinya tujuan akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad, hanya saja, dikalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk akad tersebut (rukun dan syarat). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
al- Aqidaini, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad.
Mahallul ‘aqd, yakni obyek akad yang disebut juga dengan “sesuatu yang hendak diakadkan”.
Shighatul ‘aqd, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.
Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah, mempunyai pandangan yang berbeda dengan jumhur fuqaha diatas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-
34
Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.
unsur dari pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yaqin sighat akad (ijab qabul). Al- Aqidani dan mahallul ‘aqd bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepatnya untuk dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan dia bersifat internal dari sesuatu yang ditegakkannya.35 3. Obyek Akad Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa ataupekerjaan, atau sesuatu yang lain yang tidak berkenaan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan. Misalnya akad jual beli rumah obyeknya adalah benda, yaitu berupa rumah dan ruang harga penjualannya yang jugamerupakan benda akad sewa menyewa obyeknya adalah manfaat barang yang disewa, akad pengangkutan obyeknya adalah jasa pengangkutan. Imbalannya, yang bisa berupa benda (termasuk uang), manfaat atau jasa juga merupakan obyek akad. Jadi dalam akad jual beli rumah, misalnya, menurut hukum Islam bukan rumahnya saja yang merupakan obyek akad, tetapi imbalannya yang berupa uang atau berupa lainnya juga merupakan obyek akad jual beli.
35
Mustafa Ahmad az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am. I, Hlm. 300
Daftar Pustaka
Tafsir Al-Maraghi ditulis oleh Ahmad Mustafa Al-Maraghi Tafsir Ibnu Katsir ditulis oleh abdullah Bin Muhammad Bin Abdurahman Tafsir Ruhul Bayan ditulis oleh Ismail Haqqi Al-Buruswi Tafsir Hidayatul Insani Abu Yahya Marwan bin Musa Tafsir Yusuf Ali ditulis oleh abdullah Yusuf Ali Tafsir Fi Zhilalil Quran ditulis oleh Sayyid Quthb A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Study Pendalaman Al Qur’an, Rajawali Press, Jakarta: 2002. Mustafa Ahmad az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am. I Samsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuhu Al-Juz Al-Rabi’,(terj. Akhir Haji Yaacob), Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.