Tesis oleh Endang Wahyuni SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Studi Kewilayahan
Studi KewilayahanFull description
Full description
cantileverFull description
Full description
Disampaikan oleh Direktur Wilayah Pertahanan, Kementerian Pertahanan pada Seminar Peningkatan Kapasitas, Aparatur, Tata Laksana, dan Kelembagaan Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Angkatan II…Deskripsi lengkap
Disampaikan oleh Direktur Wilayah Pertahanan, Kementerian Pertahanan pada Seminar Peningkatan Kapasitas, Aparatur, Tata Laksana, dan Kelembagaan Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Angkatan II Tahun ...
KELAUTAN
Full description
tugas
Oleh: MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43 Di Surabaya, 8 Oktober 2003Full description
Full description
studi yang dilakukan untuk mengetahui timbulan, komposisi dan karakteristik sampah, cakupan layanan dan efektifitas gerobak sampah, serta efektifitas penanganan sampah di TPS termasuk keterlibatan ...
SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR: STUDI KASUS TELUK LAMPUNG
ABDULLAH AMAN DAMAI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 !
"
#!$ $
!
"
#!$ $
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir: Studi kasus Teluk Lampung, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Abdullah Aman Damai C261040031
!
"
#!$ $
!
"
#!$ $
ABSTRACT ABDULLAH AMAN DAMAI. Spatial planning system of coastal area: Lampung Bay case study. Under direction of MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, and ERNAN RUSTIADI. Coastal area is complex and dynamic in nature, and also vulnerable against stress. On the other side, it has various resources and environment services, and hence tend to be overexploited. For that reason, conflict of space utilization whether intersectors or internal sector, and various of stakeholders’ interest, became an ordinary problem. The conflict has to be prevailed through a proper administration spatial management based on spatial planning that might accommodate economic and population growth, and also implementable. Through the system approach, comprehensive spatial planning of coastal area could be met, which able to accommodate stakeholders’ interest. Due to its complexity, in which various activities and stakeholders are present, coastal area of Lampung Bay was determined as study area. The research was aimed to develop an approach of spatial planning of coastal area that integrate waters and terrestrial space, in a system framework with participatory features. The research was carried out through system dynamics approach that incorporated with geographic information system. Furthermore, participatory prospective analysis for mapping stakeholders’ need, and regional analysis, was prepared. The result showed that: (1) system approach is able to provide a scenario of coastal area spatial planning comprehensively, in which waters and terrestrial space could be integrated through simultaneous analysis of components of system and their interactions, and further intervention on it; (2) stakeholders involvement through participatory prospective analysis is the key of simplification of spatial policies formulation, in which various of interest in an area could be accommodated; (3) main components of system (i.e. population, economic activities, and space availability) in coastal area of Lampung Bay, are interrelated and interdependent, and in order to achieve sustainable relation among them until the end of analysis (year 2029), consequently it has to be attained and maintained a proportion of protected area as 54,482 ha (42.09%) of land and 4,822 ha (3.02%) of waters; (4) accomplishment of spatial planning of coastal area of Lampung Bay require conversion of a part of production area (50.67%) to become protected area, and development of service centers and infrastructure networks; and (5) Suggestions of space alocation and service center hierarchies, could be prepared based on model simulation of condition and regional capabilities of Lampung Bay coastal area, the scenario could accommodate stakeholders’ need toward the sustainable regional development Keywords: coastal area, spatial planning, system dynamics, Lampung Bay.
!
"
#!$ $
!
"
#!$ $
RINGKASAN ABDULLAH AMAN DAMAI. Sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir: Studi kasus Teluk Lampung. Dibimbing MENNOFATRIA BOER, MARIMIN, ARIO DAMAR, dan ERNAN RUSTIADI. Penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wlayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang. Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demikian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan Pendekatan sistem dapat memberikan pemahaman fenomena dunia nyata secara komprehensif. Wilayah pesisir yang kompleks, dapat dipandang sebagai suatu sistem, dengan komponen utama terdiri dari populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang. Melalui pemodelan sistem, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut. Dengan demikian, melalui intervensi terhadap sistem, dapat dihasilkan perencanaan tata ruang terpadu, komprehensif, dan akomodatif terhadap kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagai wilayah pesisir yang kompleks dengan beragam aktivitas, Teluk Lampung dipilih sebagai lokasi penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Pendekatan penelitian melalui sistem dinamik dengan pemodelan deterministik, yang mampu mengkaji sistem kompleks. Pemetaan kebutuhan para pemangku kepentingan menggunakan analisis prospektif partispatif, dan penyajian spasial menggunakan sistem informasi geografis. Wilayah penelitian meliputi: (1) daratan kecamatan di Kota Bandar Lampung (Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, dan Panjang), Kabupaten Lampung Selatan (Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni), dan Kabupaten Pesawaran (Padang Cermin dan Punduh Pidada); dan (2) perairan Teluk Lampung antara 105o11’-105o43’ BT dan 5o26’-5o59’ LS. Pemodelan sistem dinamik terdiri dari tiga sub-model, yaitu populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Proses validasi dilakukan meliputi struktur (kesesuaian dan konsistensi dimensi) dan perilaku model. Validasi menunjukkan bahwa terdapat cukup alasan untuk menggunakan model dalam menggambarkan dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung. Simulasi model dilakukan dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2029. Kebutuhan para pemangku kepentingan dipetakan dari analisis prospektif partisipatif melalui forum pertemuan 27 partisipan, yang berlatar belakang: nelayan dan pembudidaya ikan, pengusaha, institusi pemerintah daerah, dan perguruan tinggi setempat. Secara konsensus terpilih 6 variabel yang paling
!
"
#!$ $
berpengaruh, yaitu: kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir, penegakan hukum, pertumbuhan penduduk, infrastruktur wilayah, aktivitas ekonomi kerakyatan, dan zonasi wilayah. Keenam variabel terpilih tersebut merupakan representasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Partisipan juga merumuskan empat skenario berdasarkan kombinasi dari kondisi variabel terpilih. Di dalam pengembangan model, skenario tersebut diterjemahkan dalam variasi nilai parameter peubah “kebijakan”, yaitu: optimis, bernilai 1; moderat, bernilai 0,75; pesimis, bernilai 0,25; dan sangat pesimis, bernilai 0. Kemudian masingmasing skenario disimulasi. Simulasi sub-model populasi, menunjukkan bahwa populasi skenario optimis meningkat lebih besar, pada tahun 2029 mencapai 763 ribu orang, sedangkan pada skenario sangat pesimis hanya mencapai 663 ribu orang. Populasi skenario optimis yang lebih tinggi, disumbang dari imigrasi yang masuk ke wilayah pesisir lebih besar daripada skenario lainnya. Di sisi lain, tingkat pengangguran pada skenario optimis lebih rendah daripada skenario lainnya, karena perekonomian menjadi lebih baik. Simulasi sub-model aktivitas ekonomi menunjukkan perbedaan antar skenario. Aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) pada skenario optimis menjadi sekitar Rp 14,06 triliun pada tahun 2029, pada skenario sangat pesimis hanya meningkat menjadi Rp 7,41 triliun. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan besarnya peubah investasi, yang ditentukan oleh perbedaan ”inkonsistensi tata ruang”, ”degradasi sumberdaya pesisir”, dan ”kendala ruang”. Simulasi sub-model ketersediaan ruang, menunjukkan bahwa lahan pertanian skenario sangat pesimis, relatif tetap, yaitu dari 105,2 ribu ha pada tahun 2003, menjadi 103,4 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan pada skenario optimis menurun tajam menjadi 51,9 ribu ha. Secara keseluruhan, skenario sangat pesimis memerlukan total kebutuhan lahan untuk kawasan budidaya (terutama pertanian) yang paling besar daripada skenario lainnya, yaitu mencapai 120,3 ribu ha pada tahun 2029. Skenario optimis hanya membutuhkan 73,9 ribu ha, karena terdapat kebijakan dihentikannya perluasan lahan pertanian dan dilakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan lindung. Luas pemanfaatan umum perairan antar skenario tidak berbeda tajam, kecuali perikanan budidaya. Perluasan perairan perikanan budidaya terjadi secara signifikan pada skenario optimis, yaitu dari awal simulasi hanya 8,0 ribu ha, meningkat menjadi 11,9 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan untuk skenario sangat pesimis hanya mencapai 8,8 ribu ha. Secara keseluruhan, luas total kawasan pemanfaatan umum perairan (perikanan dan nonperikanan) pada skenario optimis akan berjumlah 133,5 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan skenario sangat pesimis hanya mencapai 130,4 ribu ha. Perbedaan antar skenario tersebut bersumber dari perairan perikanan budidaya. Peubah “kebijakan” pada masing-masing skenario, memberikan inkonsistensi tata ruang (penggunaan ruang untuk kawasan budidaya darat dan/atau pemanfaatan umum perairan yang seharusnya berfungsi lindung) yang berbeda-beda. Inkonsistensi tersebut telah terjadi sejak dimulainya simulasi (tahun 2003), yaitu seluas 38,0 ribu ha. Pada skenario sangat pesimis, inkonsistensi tata ruang akan terus meningkat, hingga pada tahun 2029 akan mencapai luas 46,7 ribu ha. Inkonsistensi tata ruang mempengaruhi kendala ruang, dan terhubung pada sub-model populasi dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan jumlah penduduk, tingkat pengangguran, investasi, dan aktivitas ekonomi yang berbeda-
!
"
#!$ $
beda. Pada akhirnya, sistem secara keseluruhan akan memberikan rente ruang (produk ruang per luas wilayah) kawasan budidaya darat dan pemanfaatan umum perairan yang berbeda-beda pula. Penurunan inkonsistensi tata ruang akan memberikan peningkatan rente ruang. Skenario optimis akan memberikan rente ruang tertinggi, yaitu mencapai Rp 67,80 juta per ha pada tahun 2029. Pada tahun yang sama, skenario moderat, pesimis, dan sangat pesimis, hanya berturut-turut Rp 56,46 juta per ha, Rp 31,56 juta per ha, dan Rp 29,57 juta per ha Pemilihan skenario didasarkan pada 11 kriteria yang merupakan pewakil dari 6 variabel kebutuhan para pemangku kepentingan, dengan menggunakan indeks kinerja komposit (CPI). Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya skenario optimis yang paling mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan, dengan demikian perencanaan pola dan struktur ruang mengacu pada parameter dan nilai awal model skenario optimis. Hasil analisis kesesuaian ruang menunjukkan bahwa kebutuhan ruang daratan dan perairan sampai tahun 2029, dapat dipenuhi. Berdasarkan analisis wilayah yang meliputi location quotient (LQ), localization index (LI), specialization index (SI), dan skalogram, dapat dirumuskan kebijakan struktur dan pola ruang. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan: (1) Pendekatan sistem dapat memberikan skenario perencanaan wilayah pesisir yang komprehensif, yaitu memadukan ruang daratan dan perairan dengan semua komponen sistem dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan serta dilakukan intervensi; (2) Pelibatan pemangku kepentingan melalui analisis prospektif partisipatif, merupakan kunci yang mempermudah perumusan kebijakan tata ruang yang akomodatif terhadap berbagai kepentingan dalam satu wilayah yang sama; (3) Komponen utama sistem berupa populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung menunjukkan keterkaitan dan saling mempengaruhi, untuk menjaga hubungan antar komponen secara berkelanjutan, sampai akhir analisis (pada tahun 2029) harus dicapai dan dipertahankan suatu proporsi kawasan lindung daratan seluas 54.482 ha (42,09%) dan konservasi perairan 4.822 ha (3,02%); (4) Perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung mensyaratkan dilakukannya konversi sebagian kawasan budidaya (50,67%) menjadi kawasan lindung, serta pengembangan pusat-pusat pelayanan dan jaringan prasarana wilayah; dan (5) Arahan alokasi ruang dan hierarki pusat pelayanan dapat dirumuskan sesuai simulasi model berdasarkan kondisi dan kemampuan wilayah pesisir Teluk Lampung, skenario ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam menuju pengembangan wilayah yang berkelanjutan. Disarankan: (1) Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, yang meliputi keseluruhan wilayah pesisir Teluk Lampung, agar dilakukan perencanaan wilayah yang lebih detil, pengaturan zonasi, dan segera melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh; dan (2) untuk pelaksanaan penelitian pada tingkat wilayah yang lebih detil agar dilakukan dengan pemodelan probabilistik, dengan demikian aspek ketidakpastian dapat lebih diakomodasi. Kata kunci: wilayah pesisir, perencanaan tata ruang, sistem dinamik, Teluk Lampung.
SISTEM PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR: STUDI KASUS TELUK LAMPUNG
ABDULLAH AMAN DAMAI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 !
"
#!$ $
Penguji pada Ujian Tertutup :
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Dr. Ir. Setia Hadi, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka :
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc.
!
"
#!$ $
Judul Disertasi Nama Mahasiswa NIM
: Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung : Abdullah Aman Damai : C261040031
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Ketua
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Anggota
Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si. Anggota
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota
Diketahui: Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 16 November 2011
Tanggal Lulus:
!
"
#!$ $
!
"
#!$ $
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH Alur pelayaran merupakan bagian dari perairan yang alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari. Bakosurtanal = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bapedalda = Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah. Bappeda = Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. BBM = bahan bakar minyak. BOD = biological oxygen demand (kebutuhan oksigen biologis), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk melangsungkan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan zat terlarut dan tersuspensi di dalam air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. BPMD = Badan Penanaman Modal Daerah. BPS = Badan Pusat Statistik. BT = Bujur Timur. CA = cellular automata. CAPSA = centre for alleviation of poverty through secondary crops’ development in Asia and the Pacific. CMARIS = coastal and marine resource information system. COD = chemical oxygen demand (kebutuhan oksigen kimiawi), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk melangsungkan proses kimiawi (oksidasi) zat terlarut dan tersuspensi di dalam air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. CPI = composite performance index (indeks kinerja gabungan). CPO = crude palm oil (minyak kelapa sawit). CRMP = coastal resources management project. DAS = daerah aliran sungai. Dishidros = Dinas Hidrooseanografi. DKP = Departemen Kelautan dan Perikanan. DLKp = daerah lingkungan kepentingan (perairan), merupakan wilayah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. DLKr = daerah lingkungan kerja (perairan), merupakan wilayah perairan pada pelabuhan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan kepelabuhanan.
!
"
#!$ $
DO = disolved oxygen (oksigen terlarut), merupakan jumlah oksigen yang tersedia dalam kolom air; sebagai salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pencemaran air. DUKS = dermaga untuk kepentingan sendiri. ESRI = Environmental Systems Research Institute, Inc. FGD = fish gathering device (alat pengumpul ikan), merupakan alat yang ditanam dalam kolom air secara permanen, yang berfungsi sebagai pengumpul ikan, seperti rumpon. GIS = geographic information systems (sistem informasi geografis, SIG), merupakan sistem perangkat keras dan lunak berbasis komputer, yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi tentang area di permukaan bumi. HAB = harmful algal blooms. HPS = High Performance Systems, Inc. I/D = influence/dependence (pengaruh/ketergantungan). IP = indeks pelayanan. IUU = illegal, unreported and unregulated (ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak mengikuti peraturan). KJA = keramba jaring apung. knot adalah satuan laju, yaitu mil laut/jam (1,85 km/jam), biasa digunakan untuk satuan laju arus laut dan angin. KSN = kawasan strategis nasional. KUD = koperasi unit desa. Lanal = Pangkalan Angkatan Laut. LAPAN = Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. LI = localization index (indeks lokalisasi). LQ = location quotient (quasi lokasi). LS = Lintang Selatan. LSM = lembaga swadaya masyarakat. MCDM = multicriteria decision making (pembuatan keputusan kriteria jamak). MIT = Massachusetts Institute of Technology. Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. MSL = mean sea level. Pasut = pasang surut. Pemangku kepentingan, lihat: stakeholder(s)
!
"
#!$ $
Partisipasi merupakan keterlibatan atau mengambil bagian secara aktif dalam suatu proses. PDRB = produk domestik regional bruto, merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi; PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB-ADHB) merupakan PDRB yang dihitung menggunakan harga pada tahun yang bersangkutan; dan PDRB atas dasar harga konstan (PDRB-ADHK) merupakan PDRB yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai dasar (dalam penelitian ini adalah tahun 2000). Pelindo = Pelabuhan Indonesia, PT. Pendekatan sistem merupakan pendekatan penelitian yang terdiri dari beberapa tahap proses, yaitu penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem. PKL = Pusat Kegiatan Lokal. PKN = Pusat Kegiatan Nasional. PKW = Pusat Kegiatan Wilayah. PKWp = Pusat Kegiatan Wilayah Provinsi. PPA = participatory prospective analysis (analisis prospektif partisipatif) merupakan adaptasi dari berbagai metode komprehensif yang dikemas dalam suatu kerangka kerja operasional yang komprehensif dan cepat, dengan tahapan: penentuan/definisi sistem, identifikasi variabel sistem, definisi variabel kunci, analisis pengaruh antar variabel, interpretasi dari pengaruh dan ketergantungan antar variabel, pendefinisian kondisi (state) variabel di masa datang, pembangunan skenario, serta penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif. PTBA = Bukit Asam, PT. RePPProT = regional physical planning programme for transmigration. RTP = rumah tangga perikanan, merupakan rumah tangga dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan atau pembudidaya ikan. RTRW = rencana tata ruang wilayah. SDA = sumberdaya alam. SDM = sumberdaya manusia. SDSS = spatial decision support system (sistem penunjang keputusan spasial). SDWM = system dynamics watershed model (model sistem dinamik daerah aliran sungai). SHE = sibernetik, holistik, dan efektif. SI = specialization index (indeks spesialisasi).
!
"
#!$ $
Sistem adalah sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem dinamik merupakan suatu metode dalam mempelajari sifat-sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interrelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan penundaan (delay), dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Sistem lahan merupakan pengelompokan lahan berdasarkan tipe fisiografik, yang antara lain meliputi pegunungan, perbukitan, dataran, dan rawa. Di dalam wilayah penelitian terdapat 22 sistem lahan, yang meliputi: AHK (Air Hitam Kanan), BBG (Bukit Balang), BBR (Bukit Barangin), BGA (Batang Anai), BLI (Beliti), BMS (Bukit Masung), BTA (Batu Ajan), BTK (Barong Tongkok), KHY (Kahayan), KJP (Kajapah), KNJ (Kuranji), LBS (Lubuk Sikaping), MBI (Muara Beliti), PKS (Pakasi), PLB (Pidoli-dombang), SAR (Sungai Aur), SKA (Sukaraja), SMD (Sungai Medang), TGM (Tanggamus), TLU (Talamau), TWI (Telawi), dan UBD (Ulubandar). SME = spatial modeling environment (pemodelan lingkungan spasial). SSME = Sulu-Sulawesi marine ecoregion. Stakeholder(s) diterjemahkan sebagai “pemangku kepentingan” adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumberdaya tertentu. STORET-EPA = short for STOrage and RETrieval - Environmental Protection Agency (US). Tidal range (tunggang pasut), merupakan beda tinggi muka air laut antara pasang dan surut. Tide (pasang surut, pasut), merupakan merupakan proses naik turunnya muka air laut, yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. TELPP = Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper, PT. TNI-AL = Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut. TSS
= total suspended solid (padatan tersuspensi total), merupakan jumlah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan organik dan anorganik yang tidak lolols saringan berpori 0,45 m.
UMKM = usaha mikro, kecil, dan menengah. USDA = United States Department of Agriculture. UU = Undang-undang. WWF = World Wide Fund for Nature. ZEE = zona ekonomi eksklusif.
!
"
#!$ $
PRAKATA Berkat limpahan rahmat dan ridlo Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menulisnya dalam bentuk disertasi. Melalui disertasi ini penulis berupaya untuk dapat memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi pembangunan daerah Lampung. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., Prof. Dr. Ir. Marmin, M.Sc., Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si., dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku komisi pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, M.Sc. dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Sc. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing, pada ujian pra kualifikasi. Kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing pada ujian tertutup. Demikian juga kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Dr. Ir. Sapta Putra Ginting, M.Sc. disampaikan terima kasih atas kesediaan beliau berdua menjadi penguji di luar komisi pembimbing pada ujian terbuka. Kepada seluruh dosen dan karyawan pada Program Studi SPL khususnya, serta Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Sekolah Pascasarjana IPB umumnya, yang telah menambah ilmu dan wawasan serta membantu penulis selama menempuh studi, dengan tulus disampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian, Rektor, serta seluruh dosen dan karyawan Universitas Lampung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3. Kepada seluruh unsur Pemerintah Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih. Kepada seluruh lembaga pemerintah dan swasta, serta masyarakat luas dan LSM, di wilayah pesisir Teluk Lampung; yang telah membantu selama penulis melakukan penelitian, disampaikan terima kasih. Kepada seluruh teman mahasiswa SPL, penulis ucapkan banyak terima kasih atas kebersamaan selama menempuh pendidikan. Kepada seluruh teman di Lampung yang telah memberikan dukungan material dan semangat, dan seluruh pihak yang telah membantu, dengan tulus penulis sampaikan rasa terima kasih. Kepada Buya dan Umi, serta seluruh keluarga besar yang telah mendidik, membesarkan, dan membantu penulis dengan tulus, hanya rasa terima kasih yang dapat disampaikan. Akhirnya secara khusus kepada Icoen, Sha-sha, Abang, dan Adek Tia tercinta, yang terus mendampingi, mendorong, dan membantu penulis, hanya rasa terima kasih dan cinta mendalam yang dapat kupersembahkan. Semoga seluruh amal perbuatan di atas mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amin. Bogor, Januari 2012
Abdullah Aman Damai
!
"
#!$ $
!
"
#!$ $
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 1 Mei 1965, sebagai anak ke enam dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Abdul Madjid (almarhum) dan Siti Idjabah (almarhumah). Pada tahun 1993 penulis menikah dengan Nelly, anak ke tujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Ibrahim Hanafiah (almarhum) dan Tuti Dewi Nasution (almarhumah). Penulis telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Amalia Shafira Damai (perempuan, lahir tahun 1995), Farras Naufal Damai (lakilaki, lahir tahun 2004), dan Ashila Meutia Damai (perempuan, lahir tahun 2009). Pada tahun 1989, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, sebagai dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pendidikan strata satu (S1) diselesaikan pada tahun 1988 dari Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pendidikan strata dua (S2) diselesaikan pada tahun 2003 dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan strata tiga (S3) pada Program Studi SPL, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
!
"
#!$ $
!
"
#!$ $
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ----------------------------------------------------------------
xxix
DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------
xxxi
DAFTAR TABEL LAMPIRAN -----------------------------------------------
xxxv
1
PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------1.1 Latar Belakang --------------------------------------------------------1.2 Tujuan dan Manfaat --------------------------------------------------1.3 Perumusan Masalah --------------------------------------------------1.4 Definisi Operasional -------------------------------------------------1.5 Lingkup Penelitian ---------------------------------------------------1.6 Kerangka Konsepsional -----------------------------------------------
1 1 5 5 8 12 13
2
TINJAUAN PUSTAKA ---------------------------------------------------2.1 Wilayah dan Wilayah Pesisir ---------------------------------------2.2 Teori Sistem -----------------------------------------------------------2.3 Sistem dan Model -----------------------------------------------------2.4 Penelitian Partisipatif ------------------------------------------------2.5 Perencanaan Tata Ruang Partisipatif ------------------------------2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) ---------------------------------2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu ---------------------------------------
23 23 28 31 34 39 43 45
3
METODE PENELITIAN --------------------------------------------------3.1 Pendekatan Penelitian ------------------------------------------------3.2 Wilayah Penelitian ---------------------------------------------------3.3 Kerangka Pemikiran dan Analisis ----------------------------------3.4 Batas Sistem -----------------------------------------------------------3.5 Tahapan Pendekatan Sistem ----------------------------------------3.6 Analisis Prospektif Partisipatif -------------------------------------3.7 Pemodelan Sistem ----------------------------------------------------3.7.1 Faktor-faktor penyusun model -----------------------------3.7.2 Blok bangunan dasar dan persamaan dalam model -----3.8 Analisis SIG -----------------------------------------------------------3.9 Data dan Analisis -----------------------------------------------------3.9.1 Analisis biofisik wilayah -----------------------------------3.9.2 Analisis pemilihan skenario --------------------------------3.9.3 Analisis ekonomi wilayah dan kewilayahan -------------3.9.4 Metode manual alokasi pola ruang -------------------------
49 49 49 49 54 56 57 62 63 64 67 70 71 71 73 80
4
KONDISI UMUM DAN ANALISIS WILAYAH PESISIR TELUK LAMPUNG -------------------------------------------------------4.1 Fisik Wilayah ---------------------------------------------------------4.1.1 Luas wilayah --------------------------------------------------4.1.2 Geologi pantai dan sistem lahan ---------------------------4.1.3 Fisik kimia perairan -----------------------------------------4.1.4 Biologi perairan -----------------------------------------------
83 83 83 84 88 95
!
"
#!$ $
xxvi Halaman 4.2 Kependudukan --------------------------------------------------------4.2.1 Jumlah, kepadatan, dan pertumbuhan penduduk --------4.2.2 Tenaga kerja --------------------------------------------------4.2.3 Keluarga dan keluarga miskin -----------------------------4.2.4 Rumah tangga perikanan ------------------------------------4.3 Ekonomi Wilayah -----------------------------------------------------4.3.1 Produk domestik regional bruto (PDRB) -----------------4.3.2 Struktur perekonomian --------------------------------------4.3.3 Sektor ekonomi basis ----------------------------------------4.3.4 Daya saing sektor ekonomi ---------------------------------4.3.5 Investasi -------------------------------------------------------4.4 Prasarana dan Sarana Wilayah --------------------------------------4.4.1 Jalan dan rel kereta api --------------------------------------4.4.2 Pelabuhan dan dermaga -------------------------------------4.4.3 Prasarana wisata pantai -------------------------------------4.4.4 Armada kapal nelayan ---------------------------------------4.4.5 Koperasi -------------------------------------------------------4.5 RTRW Terkait Teluk Lampung -------------------------------------
ANALISIS PROSPEKTIF PARTISIPATIF ----------------------------5.1 Penentuan Variabel Kunci -------------------------------------------5.2 Analisis Pengaruh Antar-Variabel Kunci -------------------------5.3 Penentuan Kondisi Variabel Kunci di Masa Depan -------------5.4 Pembangunan Skenario ----------------------------------------------5.5 Implikasi Strategis dan Aksi Antisipatif --------------------------5.6 Hubungan Analisis Prospektif Partisipatif dengan Pemodelan --
123 123 128 132 134 136 137
6
ANALISIS SISTEM -------------------------------------------------------6.1 Pemodelan Sistem Dinamik -----------------------------------------6.1.1 Sub-model -----------------------------------------------------6.1.2 Nilai awal dan parameter -----------------------------------6.1.3 Validasi model -----------------------------------------------6.2 Informasi Geografis Wilayah ---------------------------------------6.2.1 Penutupan lahan ----------------------------------------------6.2.2 Kemampuan lahan -------------------------------------------6.2.3 Penggunaan perairan ----------------------------------------6.2.4 Jaringan transportasi -----------------------------------------6.3 Kecenderungan Sistem -----------------------------------------------6.3.1 Populasi -------------------------------------------------------6.3.2 Aktivitas ekonomi -------------------------------------------6.3.3 Penggunaan ruang --------------------------------------------
KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR -----------------7.1 Simulasi Skenario ----------------------------------------------------7.1.1 Kebutuhan pemangku kepentingan dari analisis prospektif partisipatif ----------------------------------------7.1.2 Asumsi-asumsi dalam pengembangan model ------------7.1.3 Simulasi sub-model populasi --------------------------------
171 171
!
"
#!$ $
171 174 176
xxvii Halaman 7.1.4 Simulasi sub-model aktivitas ekonomi -------------------7.1.5 Simulasi sub-model ketersediaan ruang ------------------7.1.6 Pemilihan skenario ------------------------------------------7.2 Kebijakan Pola dan Strukur Ruang --------------------------------7.2.1 Kebutuhan dan kesesuaian ruang --------------------------7.2.2 Karakteristik kewilayahan dan pusat pelayanan ---------7.2.3 Arahan pola ruang -------------------------------------------7.2.4 Arahan struktur ruang ---------------------------------------7.3 Strategi Implementasi Kebijakan Tata Ruang ---------------------
178 182 192 195 195 203 206 214 219
KESIMPULAN DAN SARAN -------------------------------------------8.1 Kesimpulan ------------------------------------------------------------8.2 Saran ---------------------------------------------------------------------
223 223 224
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------
225
LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------1 Perbedaan sistem perencanaan spasial -------------------------------2 Sistem lahan wilayah penelitian---------------------------------------3 Nilai awal dan parameter ---------------------------------------------4 Persamaan dalam model ----------------------------------------------5 Kriteria analisis SIG ---------------------------------------------------6 Daftar investasi langsung swasta ------------------------------------7 Potensi desa untuk skalogram ----------------------------------------8 Validasi model dinamik -----------------------------------------------9 Data simulasi skenario model dinamik -----------------------------10 Pemilihan skenario model dinamik ----------------------------------
235 235 239 243 257 265 269 271 275 277 311
8
!
"
#!$ $
xxviii
!
"
#!$ $
xxix DAFTAR TABEL Halaman 1
Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan -------------
Kecenderungan populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------
162
Kecenderungan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) dan investasi di wilayah pesisir Teluk Lampung -------------
163
Dinamika produk sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun 2000 di wilayah pesisir Teluk Lampung ------------------------------------------------------------
164
Kecenderungan penggunaan ruang perkotaan dan permukiman di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------
166
Kecenderungan penggunaan lahan pertanian di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------------------------------------------------
166
Kecenderungan penggunaan ruang budidaya pesisir (tambak) dan budidaya laut di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------------
167
Kecenderungan luas lahan total dan lahan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung --------------------------------------
168
Kecenderungan luas perairan total dan pemanfaatan umum perairan di wilayah pesisir Teluk Lampung ---------------------------
169
48
Skenario perkembangan populasi ---------------------------------------
176
49
Skenario perkembangan angkatan kerja -------------------------------
176
50
Skenario perkembangan lapangan kerja -------------------------------
176
34 35
41 42
43 44 45 46 47
!
"
#!$ $
xxxiii Halaman 51
Skenario perkembangan tingkat pengangguran -----------------------
176
52
Skenario perkembangan imigrasi ---------------------------------------
177
53
Skenario perkembangan emigrasi ---------------------------------------
177
54
Skenario perkembangan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) -----------------------------------------------------------------
179
55
Skenario perkembangan investasi --------------------------------------
179
56
Skenario perkembangan sektor pertanian ------------------------------
179
57
Skenario perkembangan sektor perikanan -----------------------------
179
58
Skenario perkembangan sektor pariwisata ----------------------------
180
59
Skenario perkembangan sektor industri --------------------------------
180
60
Skenario perkembangan sektor angkutan laut ------------------------
181
61
Skenario perkembangan PDRB per kapita (berdasarkan harga konstan tahun 2000) ------------------------------------------------------
181
Skenario perkembangan pemanfaatan/penggunaan lahan pertanian --------------------------------------------------------------------
183
63
Skenario perkembangan pemanfaatan/penggunaan lahan tambak -
183
64
Skenario perkembangan lahan permukiman --------------------------
185
65
Skenario perkembangan lahan bisnis dan industri -------------------
185
66
Skenario perkembangan lahan untuk prasarana wilayah ------------
185
67
Skenario perkembangan lahan permukiman dan perkotaan --------
185
68
Skenario perkembangan lahan budidaya -------------------------------
186
69
Skenario penggunaan lahan tidak sesuai kemampuan ---------------
186
70
Skenario kemampuan penyediaan lahan untuk kawasan lindung darat ---------------------------------------------------------------
186
71
Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut ---------
188
72
Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut dan tangkap -----------------------------------------------------------
188
Skenario perkembangan pemanfaatan umum perairan non-perikanan --------------------------------------------------------------
188
Skenario perkembangan total kawasan pemanfaatan umum perairan -------------------------------------------------------------
188
75
Skenario konversi perairan terumbu karang dan padang lamun ----
189
76
Skenario upaya penyediaan kawasan konservasi perairan ----------
189
77
Skenario inkonsistensi tata ruang darat dan perairan ----------------
190
62
73 74
!
"
#!$ $
xxxiv Halaman 78
Skenario rente ruang kawasan budidaya darat dan perairan --------
190
79
Peta kesesuaian lahan tanaman perkebunan (tahunan) ---------------
197
80
Peta kesesuaian lahan tanaman pangan (semusim) -------------------
Peta kesesuaian lahan bisnis dan industri ------------------------------
201
84
Peta kesesuaian kawasan pemanfaatan umum perairan --------------
202
85
Peta alokasi ruang kawasan lindung dan konservasi ------------------
208
86
Peta arahan alokasi ruang -------------------------------------------------
211
87
Peta arahan struktur ruang dan orientasi transportasi -----------------
217
!
"
#!$ $
xxxv DAFTAR TABEL LAMPIRAN Halaman 1
Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum dilakukan dan yang diajukan ---------------------------------------------
235
2
Sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung ----------------------
239
3
Nilai awal dan parameter model -----------------------------------------
243
4
Kriteria kawasan lindung daratan ---------------------------------------
265
5
Kriteria kawasan konservasi perairan -----------------------------------
265
6
Kriteria kesuaian lahan untuk pertanian tanaman pangan
----------
265
7
Kriteria kesuaian lahan untuk pertanian tanaman perkebunan -----
265
8
Kriteria kawasan untuk budidaya pesisir (tambak) -------------------
266
9
Kriteria kesesuaian kawasan bisnis dan industri ----------------------
266
10
Kriteria kawasan permukiman dan prasarana wilayah ---------------
266
11
Kriteria wilayah perairan perikanan budidaya keramba jaring apung (KJA) ----------------------------------------------------------------
267
Daftar investor dan investasi langsung swasta di wilayah penelitian tahun 2000-2007 ----------------------------------------------
269
13
Data analisis skalogram ---------------------------------------------------
271
14
Uji nilai tengah data historis dan model ---------------------------------
275
15
Perbandingan skenario untuk perkembangan populasi ---------------
277
16
Perbandingan skenario untuk perkembangan angkatan kerja -------
278
17
Perbandingan skenario untuk perkembangan lapangan kerja -------
279
18
Perbandingan skenario untuk perkembangan pengangguran --------
280
19
Perbandingan skenario untuk perkembangan tingkat pengangguran --------------------------------------------------------------
281
20
Perbandingan skenario untuk perkembangan imigrasi ---------------
282
21
Perbandingan skenario untuk perkembangan emigrasi --------------
283
22
Perbandingan skenario untuk perkembangan aktivitas ekonomi (PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000) -------------------------
284
23
Perbandingan skenario untuk perkembangan investasi --------------
285
24
Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor pertanian ------------------------------------------------------------
286
Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor perikanan -----------------------------------------------------------
287
Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor industri --------------------------------------------------------------
288
12
25 26
!
"
#!$ $
xxxvi Halaman 27
Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor angkutan laut dan penyeberangan ---------------------------------------
289
Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor pariwisata -------------------------------------------------------------------
290
Perbandingan skenario untuk perkembangan produk sektor sektor lain -------------------------------------------------------------------
291
Perbandingan skenario untuk perkembangan PDRB per kapita (berdasarkan harga konstan tahun 2000) -------------------------------
292
31
Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan pertanian ------
293
32
Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan budidaya pesisir (tambak) ------------------------------------------------------------
294
33
Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan permukiman --
295
34
Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan bisnis dan industri -----------------------------------------------------------------
296
35
Perbandingan skenario untuk perkembangan prasarana -------------
297
36
Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan permukiman dan perkotaan ---------------------------------------------------------------
298
Perbandingan skenario untuk perkembangan lahan budidaya total (terpakai) --------------------------------------------------------------
299
Perbandingan skenario untuk perkembangan penggunaan lahan tidak sesuai kemampuan --------------------------------------------------
300
Perbandingan skenario untuk perkembangan penyediaan lahan untuk kawasan lindung darat ---------------------------------------------
301
Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan perikanan budidaya laut ---------------------------------------------------------------
302
Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan perikanan budidaya laut dan tangkap ------------------------------------------------
303
Perbandingan skenario untuk perkembangan perairan budidaya non-perikanan --------------------------------------------------------------
304
Perbandingan skenario untuk perkembangan total perairan budidaya ---------------------------------------------------------------------
305
Perbandingan skenario untuk perkembangan konversi perairan terumbu karang dan padang lamun --------------------------------------
306
Perbandingan skenario untuk perkembangan upaya penyediaan kawasan lindung perairan -------------------------------------------------
307
Perbandingan skenario untuk perkembangan inkonsistensi tata ruang darat dan perairan --------------------------------------------------
308
Perbandingan skenario untuk perkembangan rente ruang -----------
309
28 29 30
37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
!
"
#!$ $
xxxvii Halaman 48
Nilai kriteria CPI tahun 2014 --------------------------------------------
311
49
Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2014 ------------------------------------------------------------------
311
50
Nilai kriteria CPI tahun 2019 --------------------------------------------
312
51
Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2019 ------------------------------------------------------------------
312
52
Nilai kriteria CPI tahun 2024 --------------------------------------------
313
53
Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2024 ------------------------------------------------------------------
313
54
Nilai kriteria CPI tahun 2029 --------------------------------------------
314
55
Transformasi CPI, nilai alternatif, dan peringkat skenario tahun 2029 ------------------------------------------------------------------
314
!
"
#!$ $
xxxviii
!
"
#!$ $
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan
wilayah daratan, karena merupakan perpaduan dari daratan dan perairan, bersifat dinamik, dan rentan terhadap berbagai tekanan. Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir, dengan karakteristiknya masing-masing yang berbeda, saling terkait secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, secara umum di wilayah pesisir terjadi konflik pemanfaatan ruang, baik antar-sektor maupun intra-sektor, dengan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) yang mempunyai kebutuhan beragam (Shuisen et al. 2005; Liangju et al. 2010). Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus diatasi dengan penyelengaraan penataan ruang yang mampu mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, serta dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pelaksanaan penataan ruang yang dilandasi dengan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat menjadi instrumen utama dalam pengembangan suatu kawasan seperti wilayah pesisir, agar ekses dari perkembangan ekonomi dan penduduk tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (Rustiadi et al. 2009; Gangai dan Ramachandran 2010; Zacharias dan Tang 2010). Namun demikian, dari pengalaman di wilayah daratan selama ini, instrumen tata ruang belum dapat memainkan peran yang diharapkan dalam pengembangan wilayah. Pengalaman di daratan menunjukkan bahwa kelemahan dari pelaksanaan penataan ruang untuk dapat berperan sebagai instrumen pengembangan wilayah, telah dimulai dari proses perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan hanya melalui pendekatan rasional (rational planning) tetapi tidak melibatkan pemangku kepentingan secara substansial, sehingga tahap implementasi dan pengendalian tata ruang menjadi sulit dilaksanakan (Gilliland et al. 2004; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Gangai and Ramachandran 2010). Di sisi lain dengan berlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
!
"
#!$ $
2 Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perencanaan spasial di Indonesia dianggap mengalami dikotomi. Terdapat anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007, sedangkan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007. Hal tersebut semakin memperumit proses perencanaan wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (Adrianto 2010). Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang biasa dilakukan pada wilayah daratan akan semakin sulit untuk diterapkan secara efektif di wilayah pesisir. Wilayah pesisir yang memiliki paduan karakteristik ekologis daratan dan perairan tidak dapat diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang umumnya bias daratan. Perencanaan komprehensif yang memadukan karakteristik daratan dan perairan merupakan prasyarat bagi pengembangan wilayah pesisir. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga dapat memberikan arah yang lebih baik dalam pengembangan wilayah secara berkelanjutan (Chua 2006; Liangju et al. 2010). Terlebih lagi wilayah pesisir pada umumnya mengemban berbagai kepentingan yang beragam. Kelemahan dalam proses perencanaan tata ruang di wilayah pesisir harus diatasi melalui pendekatan perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Pendekatan perencanaan rasional, harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan. Pendekatan partisipatif akan menghasilkan suatu perencanaan konsensus (consensus planning), yang pada dasarnya dihasilkan oleh para pemangku kepentingan terhadap wilayah yang bersangkutan (Grimble 1998; Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Rustiadi et al. 2009). Wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi sangat sulit dipahami melalui pendekatan yang bersifat parsial (Wiek and Walter 2009). Upaya pemahaman fenomena kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh. Pendekatan sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dan terpadu. Dengan
!
"
#!$ $
3 karakter yang dikenal dengan SHE (sibernetik atau berorientasi tujuan, holistik, dan efektif), pendekatan sistem menawarkan cara pandang baru dalam pemahaman fenomena dunia nyata (real world) secara lebih komprehensif (Eriyatno 1999; Marimin 2004). Sebagai suatu metode pendekatan sistem, pemodelan sistem dinamik dapat diterapkan dalam kajian sistem alam yang kompleks, yang memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. (Forrester 1998 dan 2003; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik dapat diterapkan dalam perencanaan wilayah pesisir yang kompleks, melalui intervensi sistem dalam bentuk kebijakan tata ruang. Teluk Lampung merupakan salah satu teluk yang terletak di ujung selatan Provinsi Lampung, pada mulanya termasuk dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Dengan adanya pemekaran Kabupaten Lampung Selatan menjadi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2007, wilayah Teluk Lampung termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran. Sebagai wilayah pesisir, wilayah Teluk Lampung meliputi daratan dan perairan (laut). Wilayah tersebut merupakan lokasi beragam aktivitas yang meliputi permukiman dan perkotaan, pertanian, kehutanan dan perkebunan, industri manufaktur, perikanan tangkap dan budidaya, transportasi laut, militer, dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Pemerintah Provinsi Lampung 2001; Pemerintah Provinsi Lampung 2009). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah tersibuk dan terpadat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, dan pelayanan lainnya bagi wilayah Provinsi Lampung, terletak menghadap ke Teluk Lampung. Beragam aktivitas tersebut menunjukkan bahwa Teluk Lampung memiliki arti dan peran strategis bagi pengembangan wilayah Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, perhatian terhadap Teluk Lampung harus diberikan lebih baik, agar kawasan tersebut dapat lebih berkembang dan menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
!
"
#!$ $
4 Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memperbesar kebutuhan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung, baik daratan maupun perairan. Dalam kurun waktu 2004-2007, pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir di atas 5%; dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,32% (BPS Lampung 2008a; BPS Bandar Lampung 2008a; BPS Lampung Selatan 2008a; BPS Pesawaran 2008a). Peningkatan kebutuhan ruang, menimbulkan ekses berupa ketidakharmonisan, ketidaknyamanan dan konflik pemanfaatan ruang antar-berbagai kepentingan. Konflik tersebut ditunjukkan oleh gejala yang meliputi pencemaran pantai, reklamasi pantai tidak terencana, kerusakan terumbu karang, dan belum adanya zonasi pemanfaatan perairan bagi bagan, kapal nelayan, alur pelayaran, keperluan militer dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Damar 2003; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2007). Beberapa catatan yang menunjukkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Teluk Lampung meliputi konflik antar sektor dan konflik di dalam sektor yang sama. Alokasi penggunaan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung untuk pengembangan kota juga akan menggusur permukiman nelayan. Konflik antar nelayan di Teluk Lampung juga semakin serius, dan pada gilirannya menyebabkan kerusakan ekosistem perairan dan semakin tersisihnya nelayan kecil. Di sisi lain, pencemaran yang bersumber dari daratan dan perairan dan praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan semakin memperburuk kualitas air, merusak ekosistem, menumbuhkan harmful algal blooms (HAB), menguras sumberdaya ikan, dan menurunkan potensi pariwisata di Teluk Lampung (CRMP 1998a; Wiryawan et al. 1999). Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif, diharapkan dapat menghasilkan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, dapat dibangun suatu pendekatan baru bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat kompleks. Sebagai suatu wilayah pesisir yang kompleks, seperti disajikan di atas, Teluk Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian.
!
"
#!$ $
5 1.2
Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian adalah mengembangkan suatu pendekatan perencanaan
tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Terkait dengan penelitian yang dilaksanakan di wilayah pesisir Teluk Lampung, tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut: 1) Memetakan secara komprehensif wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh, yang mengkaitkan kondisi ekologis daratan dan perairan, dan kondisi ekologis yang dikehendaki pada masa mendatang. 2) Memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan serta titik temu diantara kepentingan tersebut sebagai dasar dari suatu perencanaan tata ruang. 3) Merancang peruntukan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Manfaat hasil penelitian adalah: 1) Sebagai informasi komprehensif bagi para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. 2) Sebagai masukan bagi berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan Teluk Lampung secara berkelanjutan. 1.3
Perumusan Masalah Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan yang khas sebagai interaksi
ekosistem terrestrial (daratan) dan perairan (laut). Pada dasarnya kondisi tersebut sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, sehingga membutuhkan perlindungan yang cukup untuk menjaga keberlanjutannya secara ekologis. Namun demikian, secara ekonomi wilayah ini memiliki daya tarik besar karena posisi geografis, kandungan sumberdaya, dan jasa lingkungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, wilayah pesisir umumnya menjadi sentra bagi beragam aktivitas ekonomi, dan sebagai konsekuensi logisnya juga terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi, seperti halnya wilayah pesisir Teluk Lampung.
!
"
#!$ $
6 Interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penduduk (populasi) secara simultan memberikan
tekanan pada wilayah pesisir Teluk Lampung. Wujud
tekanan tersebut berupa peningkatan kebutuhan ruang yang menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar berbagai kepentingan. Dengan kata lain terdapat suatu kesenjangan (gap) antara rencana tata ruang dan kebutuhan ruang berbagai pemangku kepentingan, dapat saling bertentangan dan menimbulkan ekses negatif, dan akan berujung pada kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Ekses negatif tersebut harus dikelola dengan penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, dan salah satu pilarnya adalah pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang hanya akan berjalan dengan baik jika didasari dengan perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan dan diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perencanaan tata ruang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung secara berkelanjutan. Secara formal, wilayah pesisir Teluk Lampung telah dimasukkan sebagai salah satu wilayah perencanaan dalam berbagai dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yaitu: RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan RTRW Kabupaten Pesawaran. Namun pada kenyataannya, perencanaan tata ruang tersebut masih menunjukkan kelemahan, kurang diindahkan oleh para pemangku kepentingan, dan perkembangan wilayah pesisir Teluk Lampung terus mengindikasikan terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan. Sumber kelemahan tersebut adalah bahwa perencanaan yang telah ada belum memperlakukan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai suatu kawasan yang terintegrasi dengan kompleksitasnya yang khas, dan belum disusun secara partisipatif. Perencanaan yang ada menjadi bias daratan, bias sektor, bias wilayah administratif, masih bersifat formal, belum bersifat substansial dan operasional. Dengan mengacu pada tujuan penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Oleh karena itu penelitian mengenai pendekatan sistem yang bercirikan SHE (sibernetik atau
!
"
#!$ $
7 berorientasi tujuan, holistik, dan efektif) yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan, perlu dilakukan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang ada. Berdasarkan kondisi lokasi penelitian yang dipilih (Teluk Lampung), dan tujuan penelitian untuk mengembangkan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang komprehensif dan partisipatif, dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1) Sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung mewakili daratan dan perairan yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda, namun saling terkait secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, perbedaan dan keterkaitan antara wilayah daratan dan perairan merupakan permasalahan yang harus dipahami secara menyeluruh. 2) Kondisi ekosistem wilayah daratan dan perairan merupakan suatu ambang yang akan menentukan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kondisi eksisting sumberdaya hayati (ekologis) saat ini dan kondisi yang diinginkan merupakan permasalahan yang harus dikaji sebagai masukan dasar bagi penyusunan rencana tata ruang yang berkelanjutan. 3) Perencanaan tata ruang harus dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan pemangku kepentingan agar tahap pelaksanaan dan pengendaliannya dapat dilakukan. Oleh karena itu, permasalahan pemetaan berbagai kebutuhan pemangku kepentingan harus dikaji secara komprehensif, dan dicari titik temu antar kepentingan tersebut untuk dijadikan dasar penyusunan suatu perencanaan tata ruang yang partisipatif. 4) Wilayah pesisir Teluk Lampung yang kompleks, serta kebutuhan pemangku kepentingan harus dapat dianalisis secara holistik dalam suatu kerangka metodologi yang komprehensif. Oleh karena itu, permasalahan metodologis merupakan kajian yang harus dilakukan, yaitu melalui pendekatan sistem untuk mendapatkan keluaran yang memuaskan bagi penyusunan rencana tata ruang. 5) Pada akhirnya permasalahan yang dikaji adalah bagaimana membangun skenario perencanaan tata ruang yang partisipatif dan komprehensif,
!
"
#!$ $
8 sehingga dapat berkelanjutan dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. 1.4
Definisi Operasional Sebagian besar istilah yang berhubungan dengan tata ruang yang
digunakan dalam penelitian ini, didefinisikan dengan mengacu pada UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi operasional dari berbagai istilah yang dipakai adalah sebagai berikut: 1) Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. 2) Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. 3) Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. 4) Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. 5) Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil secara berkelanjutan. 6) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 7) Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. 8) Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi
!
"
#!$ $
9 kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 9) Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 10) Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 11) Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12) Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 13) Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. 14) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 15) Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam penataan ruang. 16) Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 17) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 18) Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 19) Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
!
"
#!$ $
10 20) Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 21) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 22) Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 23) Prasarana wilayah adalah kelengkapan dasar fisik wilayah yang memungkinkan wilayah tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 24) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 25) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 26) Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 27) Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan. 28) Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. 29) Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 30) Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air
!
"
#!$ $
11 laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. 31) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 32) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 33) Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 34) Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. 35) Makna dari simbol-simbol bagan alir yang digunakan dalam penjelasan sistem adalah sebagai berikut: Data Dokumen Dokumen jamak Ekstraks Entitas Keputusan (decision) Objek Pemaparan (display) Penghubung Penjumlahan bercabang (summing junction), menunjukkan percabangan jamak yang menuju proses tunggal
!
"
#!$ $
12 Proses Proses yang dilakukan sebelumnya (predefined) Simpanan (storage) internal Titik terminal untuk awal dan akhir bagan alir 1.5
Lingkup Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menyajikan suatu pendekatan
perencanaan tata ruang yang memadukan wilayah daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif, yang dilakukan di wilayah pesisir Teluk Lampung, lingkup penelitian adalah meliputi aktivitas sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung secara holistik dari aspek-aspek biofisik (ekologi), ekonomi, dan sosial, serta menentukan kondisi yang dikehendaki pada masa mendatang sebagai ambang batas kemampuan kawasan dalam mendukung pemanfaatan ruang. Aktivitas ini dilakukan berdasarkan data dan informasi sekunder (terutama dokumen RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan analisis citra satelit) yang selanjutnya divalidasi dengan observasi dan penelitian lapangan. 2) Menganalisis sistem dinamik yang terintegrasi dengan analisis spasial dengan sistem informasi geografis (SIG) berdasarkan data dan informasi yang didapat dari berbagai kajian yang dilakukan, kemudian menyusun indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. 3) Memaparkan kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung dan indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, dalam suatu pertemuan ahli menggunakan metode prospektif partisipatif. Aktivitas ini ditujukan untuk memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam rangka mencari titik temu yang dapat mendasari suatu perencanaan tata ruang yang akomodatif terhadap kepentingan tersebut.
!
"
#!$ $
13 4) Menyusun skenario perencanaan tata ruang Teluk Lampung yang bersifat partisipatif,
komprehensif
dan
mampu
mengakomodasi
berbagai
kebutuhan para pemangku kepentingan. 1.6
Kerangka Konsepsional Secara konsepsional, penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh
kekhasan wilayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang (Dahuri et al. 2001; Tyldesley 2004; Gangai dan Ramachandran 2010). Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, atau sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi et al. 2009). Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demkian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan. Sesuai dengan hukum geografi pertama dari Tobler (1970), yang menyatakan bahwa “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan yang lebih dari lainnya”. Oleh karena itu, ruang daratan dan perairan yang berbatasan langsung di wilayah pesisir akan saling terkait dan mempengaruhi secara lebih erat. Dengan demikian, paduan karakteristik ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir harus dapat diakomodasi dalam suatu perencanaan tata ruang yang komprehensif. Penataan ruang dan perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan proses "pembelajaran" yang berkelanjutan sebagai buah pengalaman manusia dan bersifat iteratif (Rustiadi et al. 2009). Dalam perkembangannya, perencanaan tata ruang tidak terlepas dari berbagai teori dan metode yang terkait dengan ilmu kewilayahan dan ekonomi wilayah, dan terus berevolusi. Teori fundamental dari ekonomi wilayah dimulai dari karya von Thünen (pada tahun 1826), yang dikenal
!
"
#!$ $
14 sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru yang digagas Krugman (pada awal 1990-an). Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas (Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010). Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu (Rustiadi et al. 2009): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan (2) adanya kemauan politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting. Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi. Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan. Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan strategis (kawasan tertentu maupun kawasan andalan). Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupaten/kota di bawahnya. Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.
!
"
#!$ $
15 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Umum
Rencana Tata Ruang Rinci RTR Pulau / Kepulauan
RTRW Nasional Fungsional
RTR Kawasan Strategis Nasional
RTRW Provinsi
RTR Kawasan Strategis Provinsi
RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota RTRW Kabupaten/ Kota Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)
Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang (Rustiadi et al. 2009) Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008) yaitu: (1) populasi (penduduk), (2) aktivitas ekonomi, dan (3) penggunaan ruang (tata ruang). Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi. Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.
!
"
#!$ $
16 Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh (holistik) dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut (Deal dan Schunk 2004; Wiek and Walter 2009; Faure et al. 2010). Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan (Brown et al. 2001). Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir. Analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA), memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif (Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010). Terdapatnya
anggapan
yang
tidak
tepat
dan
cenderung
saling
bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik (sebagai lex generalis) bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kekhasan tersendiri (sebagai lex specialis) (Adrianto 2010), seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.
!
"
#!$ $
17 Berdasarkan kondisi khas wilayah pesisir, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung menghendaki pendekatan yang dapat memadukan ruang daratan dan perairan, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam perencanaan tata ruang umumnya adalah pendekatan rasional, parsial, dan baru bersifat partisipatif secara prosedural. Oleh karena itu, diajukan konsep pemikiran pendekatan sistem yang dapat memberikan pandangan keutuhan antara ruang daratan dan perairan, dan bersifat partisipatif secara substansial.
Pesisir
Garis pantai
Batas ke darat Non-Pesisir
Arah ke laut Arah ke darat
Rejim UU 26 / 2007
Rejim UU 27 / 2007
Lex specialis
Lex generalis
Gambar 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia (Adrianto 2010) Penelitian mengenai perencanaan wilayah yang menerapkan sistem dinamik, sudah pernah dilakukan. Pendekatan sistem dinamik yang diterapkan untuk mengkaji dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS), menunjukkan hasil yang memuaskan (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005). Dalam perencanaan kota dan wilayah, pendekatan sistem dinamik dapat menunjukkan dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik, dan sangat membantu dalam perencanaan (White dan Engelen 2000; Deal dan Schunk 2004; Yufeng dan ShuSong 2005). Demikian juga dalam perencanaan wilayah pesisir, pendekatan sistem dinamik dan analisis spasial, dapat
!
"
#!$ $
18 menunjukkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap wilayah pesisir, dan dapat diterapkan untuk kepentingan pengelolaan wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004; Gangai dan Ramachandran 2010). Dari beberapa penelitian di atas, terlihat pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam mengkaji kompleksitas wilayah. Namun demikian, di sisi lain, aspek partisipatif yang melibatkan pemangku kepentingan di wilayah yang bersangkutan, masih kurang mendapatkan porsi yang cukup. Padahal pada dasarnya pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah, merupakan aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian mengenai perencanaan wilayah pesisir yang kompleks dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, akan menjadi suatu kebaruan dan penting dilakukan. Kebaruan (novelty) yang diajukan adalah pada penerapan metode sistem dinamik dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yang memungkinkan komponen sistem (di darat maupun di perairan) dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan, serta dilakukan intervensi, sehingga analisis lebih bersifat komprehensif yang memadukan daratan dan perairan; penyusunan analisis kebutuhan
pemangku
kepentingan
dilakukan
secara
partisipatif;
serta
mengakomodasi rejim perencanaan spasial yang dilingkup dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memadukan ruang daratan dan perairan. Dengan demikian diharapkan perencanaan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan, serta tidak terjadi dikotomi dalam perencanaan spasial wilayah pesisir. Ringkasan pendekatan perencanaan tata ruang yang umum dilakukan disajikan pada Gambar 3, dan pendekatan perencanaan yang diajukan pada Gambar 4. Ringkasan karakateristik pendekatan perencanaan yang diajukan disajikan pada Tabel 1, adapun perbedaan dengan metode yang umum dilakukan, secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.
!
"
#!$ $
Persiapan: Administratif Kajian informasi sekunder Teknis
Pemberian informasi ke masyarakat
Pengumpulan data dan Informasi Primer dan Sekunder: Peta-peta Kebijakan sektoral Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam Sumberdaya buatan dan prasarana/ sarana wilayah Kependudukan dan sumberdaya manusia Perekonomian dan sosial budaya Kelembagaan Data lainnya….
Analisis: Identifikasi daerah fungsional perkotaan Sistem pusat-pusat permukiman (perkotaan) Daya dukung dan daya tampung wilayah serta optimalisasi pemaanfaatan ruang
Penyerapan informasi dari masyarakat
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah: Penyusunan Konsep Pengembangan dan Pemilihan Konsep
Penetapan Peraturan Daerah
Penyusunan Rencana
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Penyampaian opini dan informasi masyarakat
Penyampaian sanggahan masyarakat
Gambar 3 Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan (Kep. Men. Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327 tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang; yang telah diperbaharui dengan Per. Men. Pekerjaan Umum No. 15, 16, dan 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota)
!
"
#!$ $
19
Masukan
Keluaran
Proses
Komponen Sistem: Penduduk Ekonomi Ketersediaan Ruang ….
Sektor dan pemangku kepentingan: Perikanan Pertanian Angkutan Pariwisata Industri Permukiman Prasarana wilayah ………
Intervensi sistem dan Skenario
Sistem dan Pemodelan
Interaksi Penawaran dan Perminataan
Saling Berinteraksi
Kompleksitas Wilayah Pesisir: Perpaduan Ekosistem Daratan dan Perairan
Saling Berinteraksi
Keberlanjutan sistem
Partisipasi substantif
Kebutuhan pemangku kepentingan
Pemenuhan kebutuhan
Gambar 4 Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan
20
!
"
#!$ $
Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir
21 Tabel 1 Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan
1.
Karakteristik Perencanaan Aspek analisis
2.
Substansi rencana
3.
Kerangka analisis
4.
Corak sektoral
5.
Sifat partisipatif
No.
Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian Ekonomi dan sektor unggulan, tidak dilakukan penekanan pada sektor tertentu; Sumberdaya buatan, diperjelas prasarana yang berhubungan dengan penggunaan perairan seperti pelabuhan, dan pelabuhan perikanan; Sumberdaya alam, memberikan keseimbangan perhatian antara sumberdaya pesisir (perairan) dan daratan; Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan; Arahan pengelolaan kawasan diperjelas untuk ruang perairan; Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan keseimbangan pada ruang daratan dan perairan.. Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; termasuk pada sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Analisis dilakukan secara holistik, dimana proyeksi pada masing-masing aspek analisis dilakukan secara simultan dengan menggunakan analisis sistem. Bebas terhadap kecenderungan sektoral, dan menekankan pada objektivitas rencana. Dilakukan oleh para pemangku kepentingan secara langsung dan bersama-sama melalui analisis kebutuhan. Penyusunan rencana merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan.
!
"
#!$ $
22
!
"
#!$ $
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Wilayah dan Wilayah Pesisir Pada dasarnya pengertian wilayah mengacu pada unit geografis, dan dapat
didefinisikan
dengan
batas-batas
spesifik
(tertentu)
dimana
komponen-
komponennya memiliki arti di dalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tidak ada batasan spesifik dari luas suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat "meaningful" untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubahubah), dengan komponen-komponen yang mencakup biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaannya. Dengan demikian
istilah
wilayah
menekankan
interaksi
antar manusia
dengan
sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Salah satu kerangka klasifikasi yang cukup mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah adalah (Rustiadi et al. 2009): (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region); seperti disajikan pada Gambar 5. Wilayah pesisir dapat dimasukkan dalam konsep wilayah sistem kompleks, memiliki beberapa sub-sistem penyusun yang meliputi sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial, dan sistem ekonomi. Secara sederhana, wilayah pesisir dipahami sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan laut. Pada dasarnya pemahaman mengenai wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (laut) telah diterima secara luas, namun demikian masih belum ada definisi wilayah pesisir yang bersifat baku dan dapat diterima semua pihak. Dalam konteks pesisir, pengertian wilayah dapat dirunut pada dua istilah yang bermiripan yaitu zone dan area, dan dikenal adanya coastal zone dan coastal area. Perbedaan keduanya terletak pada implikasi yang mengikutinya, yaitu coastal zone berimplikasi pada adanya proses pengelolaan yang dibatasi secara artifisial; sedangkan coastal area lebih bersifat alami. Perbedaan tersebut masih menjadi fokus perdebatan dalam konteks pengelolaan pesisir, terutama di negaranegara sedang berkembang, dimana masih terdapat banyak bagian pesisir yang
!
"
#!$ $
24 belum termasuk dalam suatu zona pengelolaan tertentu. Oleh karena itu, penggunaan istilah coastal area dalam pembicaraan dan pembahasan mengenai pesisir, menjadi pilihan yang lebih netral dan konsisten (Kay dan Alder 1999). Konsep Alamiah / Deskriptif Nodal (Pusat – Hinterland)
Homogen Sistem Sederhana
Desa – Kota Budidaya – Lindung
Wilayah
Sistem Fungsional
Sistem Ekonomi: Kawasan Produksi, Kawasan Industri Sistem Kompleks
Sistem Ekologi: DAS, Hutan, Pesisir Sistem Sosial Politik: Kawasan Adat, Wilayah Etnik
Konsep Non-Alamiah
Perencanaan /Pengelolaan
Perencanaan Khusus: Jabodetabekjur, KAPET Wilayah Administratif Politik: Provinsi, Kabupaten, Kota
Gambar 5 Sistematika Konsep-konsep Wilayah (Rustiadi et al. 2009) Merujuk pada Kay dan Alder (1999), secara umum dalam disertasi ini istilah wilayah pesisir diasosiasikan dengan coastal area, kecuali dari sumbersumber yang dikutip atau dirujuk memang menunjuk pada coastal zone. Dengan kata lain, istilah zone dan area dalam disertasi ini akan dirujuk secara sama menjadi “wilayah”. Dengan demikian “wilayah pesisir” menjadi padanan bagi coastal area bila berbicara dalam batas-batas alami; dan menjadi padanan bagi coastal zone bila berbicara dalam batas-batas artifisial pengelolaan. Terdapat banyak definisi wilayah pesisir yang berbeda antar berbagai negara; atau antar disiplin seperti perikanan, biologi laut, tenik pantai, hukum, dan militer. Keragaman definisi tersebut bersumber dari penentuan seberapa jauh batas definitif wilayah pesisir ke arah laut dan ke arah darat.
!
"
#!$ $
25 Dahuri et al. (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak arbitrer dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide) dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara. Kay dan Alder (1999) memberikan tiga elemen bagi definisi ilmiah wilayah pesisir, yaitu bahwa wilayah pesisir harus mengandung: 1) komponen daratan dan perairan; 2) batas antara daratan dan perairan harus ditentukan berdasarkan tingkat pengaruh daratan terhadap perairan, dan pengaruh perairan terhadap daratan; dan 3) batas wilayah tidaklah seragam dalam dimensi lebar, kedalaman, maupun ketinggian. Adapun untuk orientasi kebijakan, Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa terdapat empat cara yang mungkin dalam mendefinisikan wilayah pesisir, yaitu: 1) batasan jarak yang tetap; 2) batasan jarak variabel; 3) batasan yang disesuaikan dengan penggunaannya; dan 4) merupakan kombinasi (hibrid) atara ketiga cara tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara formal wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sebelum adanya Undang-undang tersebut, DKP (2002) telah mendefinsikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut yang memiliki empat karaketristik khas yaitu: 1) Merupakan wilayah pertemuan antara berbagai aspek yang ada di darat, laut dan udara. Bentuk wilayah ini merupakan hasil keseimbangan dinamis dari suatu proses penghancuran dan pembangunan dari ketiga unsur tersebut; 2) Memiliki fungsi sebagai zona penyangga dan habitat dari berbagai jenis burung yang bermigrasi serta merupakan tempat pembesaran, pemijahan dan mencari makan bagi berbagai jenis biota. 3) Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada skala yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 4) Memiliki tingkat kesuburan yang tinggi yang menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan laut.
!
"
#!$ $
26 Chua (2006) mendeskripsikan wilayah pesisir dengan memasukkan pentingnya aspek aktivitas manusia, karena sebagian besar wilayah pesisir telah dimanfaatkan oleh manusia. Deskripsi tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 6. Dengan adanya aktivitas manusia, pembicaraan wilayah pesisir menjadi lebih penting karena merupakan suatu sistem sumberdaya yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan wilayah pesisir haruslah memasukkan aspek aktivitas manusia, yaitu aspek ekonomi dan sosial.
Aktivitas manusia
Lingkungan daratan
Lingkungan perairan
Wilayah pesisir Sistem sumberdaya pesisir
Gambar 6 Wilayah Pesisir dan Sistem Sumberdaya Pesisir (Chua 2006) Dengan adanya beragam definisi mengenai wilayah pesisir, perlu dibuat suatu definisi khusus sebagai acuan dalam penelitian yang dilakukan. Perumusan definisi wilayah pesisir yang diacu dalam penelitian ini didasarkan pada aspek penentu definisi wilayah pesisir yaitu batas ke arah darat dan laut, dan tujuan penelitian yaitu perencanaan wilayah. Pertimbangan dalam perumusan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Lampung adalah sungai-sungai kecil dengan daerah aliran sungai (DAS) yang sempit (Wiryawan et al.
!
"
#!$ $
27 1999), sehingga secara ekologis batas ke arah darat berdasarkan DAS hanya beberapa km saja dari garis pantai (maksimal 20 km). 2) Secara administratif, perairan Teluk Lampung dibatasi langsung oleh kecamatan-kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran. Dengan pertimbangan ketersediaan data dan satuan wilayah terkecil, secara administratif batas ke arah darat dapat ditetapkan sebagai batas administratif kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 3) Secara ekologis, Perairan Teluk Lampung merupakan suatu kesatuan, karena relatif tertutup dan hanya dipengaruhi oleh perairan laut lepas melalui Selat Sunda (CRMP 1998a dan 1998b); sehingga kondisi oseanografis fisik dan biologis perairan ini relatif seragam. Kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa Teluk Lampung merupakan suatu bioekoregion, yaitu bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang dibatasi oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai dan perairan teluk. Dengan demikian, secara ekologis dapat ditetapkan batas ke arah laut wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi keseluruhan perairan Teluk Lampung, dengan luas sekitar 1.600 km2. 4) Secara administratif berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, batas kewenangan pengelolaan perairan laut adalah 12 mil laut untuk provinsi dan 1/3-nya (4 mil laut) untuk kabupaten/kota, yang diukur tegak lurus garis pantai. Pada perairan Teluk Lampung, jarak tegak lurus dari garis pantai yang terjauh adalah 18,01 km atau 9,73 mil laut (Wiryawan et al. 1999). Dengan demikian, batas ke arah laut dari wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi keseluruhan perairan teluk, dan dapat dipandang sebagai kewenangan pengelolaan Provinsi Lampung karena bersifat lintas kabupaten dan kota, dan sebagian wilayah perairan berjarak lebih dari 4 mil laut. 5) Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk menyusun perencanaan wilayah pesisir Teluk Lampung yang komprehensif, wilayah perairan Teluk
!
"
#!$ $
28 Lampung harus dipandang sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan, bersama dengan wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan perairan teluk. Berdasarkan pertimbangan di atas, definisi wilayah pesisir Teluk Lampung yang diacu dalam penelitian ini adalah: Wilayah yang meliputi perairan dan daratan, dengan batas ke arah laut adalah meliputi keseluruhan wilayah perairan Teluk Lampung, dan batas ke arah darat adalah mengikuti batas-batas administrasi kecamatan-kecamatan di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran, yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 2.2
Teori Sistem Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang dengan
interpretasi beragam, tetapi tetap berkonotasi tentang sesuatu yang “utuh” dan “keutuhan” (Eriyatno 1999). Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan oleh para penulis. Forrester (1968) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. O’Connor dan McDermott (1997) mendefinisikan sistem sebagai suatu entitas yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya. Haaf et al. (2002) mendefinisikan sistem sebagai koleksi dari elemen-elemen dalam suatu keseluruhan dengan hubungan di antaranya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004). Dari beragam definisi yang ada terlihat bahwa sistem memiliki karakteristik keutuhan dan interaksi antar komponen yang membangun sistem. Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki sistem dapat dinyatakan sebagai berikut (Sushil 1993): 1) Dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi. 2) Memiliki sifat yang “utuh” dan “keutuhan” (wholeness). 3) Memiliki satu atau segugus tujuan. 4) Terdapat proses transformasi input menjadi output.
!
"
#!$ $
29 5) Terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. Kajian mengenai teori sistem tidak terlepas dari tiga akar utama yang berkaitan dengan sistem dan kompleksitas, yaitu teori sistem umum, sibernetika, dan sistem dinamik. Ketiga akar tersebut berkembang relatif hampir bersamaan, dan sekarang dianggap sebagai pilar teori kompleksitas (complexity theory) (Abraham 2002). Sepanjang abad 20, secara paralel telah berkembang teori sistem umum (general system theory), sibernetika (cybernetics), dan sistem dinamik (system dynamics) (François 1999; Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Teori sistem umum mulai mengemuka sejak publikasi artikel Ludwig von Bertalanffy yang berjudul General system theory pada tahun 1956, terutama dalam bidang teknik dan sains. Teori sistem umum didasarkan pada ide biologi, dimana von Bertalanffy merumuskan formula abstrak yang dibahasakan secara matematis dan dapat menjelaskan kompleksitas yang terorganisir secara umum. Ide utama dari teori sistem umum adalah keutuhan, pengorganisasian, dan sistem terbuka yang ada di dalam biologi, dan kemudian digeneralisasi oleh von Bertalanffy ke dalam berbagai disiplin termasuk sistem sosial dan budaya. Teori sistem umum dimaksudkannya dapat menjadi suatu teori universal, sebagai suatu kerangka analitik yang dapat memberikan penjelasan abstrak dari fenomena alam (Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002). Di penghujung abad 20 teori dan pendekatan sistem umum telah berkembang pada berbagai disiplin (Haaf et al. 2002). Sibernetika diperkenalkan oleh Norbert Wiener pada tahun 1946, yang intinya berkaitan dengan controlled feedback systems, yaitu sistem yang mampu mempertahankan kondisi homeostatis melalui “perlawanan” (counteracting) deviasi dari variabel kritis akibat adanya umpan balik negatif (negative feedback). Kata cybernetics sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu kubernetes yang berarti “teman” (mate) atau juga dapat berarti “pengatur” (governor). Dua konsep utama dari sibernetika adalah kontrol (control) dan komunikasi (communication). Pandangan sibernetika lebih kepada “software” dari suatu sistem, misalnya sistem biologis dan sistem artifisial (servo-mechanisms) dipandang mirip satu sama lain,
!
"
#!$ $
30 karena sifat-sifat mereka dalam mengendalikan entropi positif dengan adanya umpan balik negatif, meskipun ”hardwares” mereka dapat sangat berbeda (Mäntysalo 2000; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Pandangan tersebut telah menjadikan sibernetika sebagai pemacu perkembangan ilmu komputer seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) (François 1999 ; Abraham 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002). Perkembangan sistem dinamik (system dynamics) dimotori oleh Jay Forrester bersama koleganya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) sejak tahun 1950-an (Abraham 2002). Sistem dinamik merupakan cara pemahaman sifat dinamis dari suatu sistem yang kompleks. Metode
sistem
dinamik berlandaskan pada cara pandang bahwa struktur suatu sistem (bentuk hubungan antar komponen seperti hubungan sirkular, saling tergantung, dan timedelayed adalah penentu dari sifat sistem. Menurut Forrester (1968) sistem dinamik merupakan suatu metode dalam mempelajari sifat-sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interrelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan delay, dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Metodologi
sistem
dinamik
telah
berkembang,
terutama
dengan
berkembangnya komputer digital berkemampuan tinggi, dan telah diterapkan pada berbagai bidang untuk menganalisis sifat-sifat sistem kompleks seperti masalah sosial-ekonomi dan teknologi. Salah satu kelebihan sistem dinamik adalah kemampuannya menggambarkan tingkah laku sistem menurut waktu. Kata dinamik (dynamics) memiliki arti perubahan atau variasi, dan suatu sistem yang dinamik adalah sistem yang menunjukkan sifat bervariasi menurut waktu (François 1999; Sterman 2002; Haaf et al. 2002; Mindell 2002; Forrester 2003). Perkembangan ilmu sistem sampai di penghujung tahun 1960-an menunjukkan bahwa teori sistem umum (general system theory), sibernetika (cybernetics), dan sistem dinamik (system dynamics), telah mengalami saling keterkaitan. Kerja dari Kelompok Roma (The Club of Rome) pada akhir dekade 1960 dan awal 1970 yang mempublikasikan The Limits to Growth dan World Dynamics, pada dasarnya telah menggabungkan antara general system theory, cybernetics, dan system dynamics (Meadows et al. 1972; Abraham 2002; Smil 2005). Sampai dengan dekade 1990, ilmu sistem semakin diramaikan dengan
!
"
#!$ $
31 pencabangan teori kompleksitas seperti cellular automata, fractal geometry, dan chaos theory. Perkembangan ilmu sistem yang terpayungi dalam teori kompleksitas di masa depan masih sangat mungkin akan bertambah (Abraham 2002), sebagaimana dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan perkembangan teori sistem, jelas bahwa terdapat upaya intelektual yang terus-menerus untuk memahami berbagai fenomena dunia nyata secara sistematis. Dari perkembangan yang ada, terlihat bahwa penerapan ilmu sistem merupakan metode baru dalam pemahaman dan pengelolaan sistem kompleks, yang sangat sulit dilakukan secara monodisiplin. Oleh karena itu, upaya penerapan ilmu sistem dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks seperti wilayah pesisir, tampaknya menjadi suatu keniscayaan. Fenomena dunia nyata seperti wilayah pesisir, yang menunjukkan kompleksitas tinggi dan sangat sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk mamahami fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno 1999). Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman yang utuh (Forrester 1968), dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno 1999). Dengan demikian kajian mengenai fenomena kompleks dapat dilakukan melalui pendekatan sistem (Nichols dan Monahan 1999; Sterman 2002), seperti membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, 2.3
Sistem dan Model Model merupakan pengganti suatu objek atau sistem, yang dapat memiliki
beragam bentuk dan memenuhi banyak tujuan (Forrester 1968; Sterman 2002). Dalam pengertian yang relatif sama, Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model
!
"
#!$ $
32 merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (assumptions) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang bersifat aneka ragam (Meadows et al. 1972; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dalam mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya; namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno 1999) yaitu: 1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe. Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikontsruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik. 2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses. 3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Contoh dari model matematis adalah persamaan antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi. Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (modelling atau pemodelan) merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mepelajari sistem secara keseluruhan (Sterman 2002). Melalui pemodelan akan diketahui karakteristik sistem, sehingga dapat dijadikan sebagai titik masuk (entry point) bagi intervensi terhadap sistem, sesuai dengan yang diinginkan. Pemodelan
!
"
#!$ $
33 akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model. Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik dapat sangat membantu pemahaman terhahap sistem kompleks dalam rentang waktu tertentu. Dalam upaya mendapatkan skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat komprehensif, dapat digunakan metodologi sistem dinamik berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar variabel yang dikaji dan mensimulasikan prilaku sistem bila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Sistem dinamik cukup powerful digunakan dalam mengkaji sistem alam yang kompleks (Forrester 1998; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005), seperti wilayah pesisir. Selain itu, sistem dinamik memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. Dengan adanya pemahaman mengenai pengaruh dari kebijakan, pengambilan keputusan dapat lebih mudah dilakukan dalam selang waktu simulasi; dan jika didapatkan sifat sistem yang tidak diinginkan, maka dapat dengan mudah mudah diperbaiki (Forrester 1998 dan 2003). Berbeda dengan banyak metode lain yang mengkaji permasalahan dengan pemilahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi, konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain. Sistem dinamik merupakan metode untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks (Forrester 1998 dan 2003), seperti wilayah pesisir. Menurut Sushil (1993), sistem dinamik merupakan struktur metode yang dilatarbelakangi oleh prinsip ilmu manajerial tradisional, sibernetika, dan simulasi komputer. Ketiga prinsip tersebut saling bersinergi dan saling menutup kelemahannya masing-masing dalam memberikan suatu solusi permasalahan secara holistik. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat berfungsi efektif sebagai metode kajian sistem kompleks seperti dinamika wilayah ekologis (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005), kota dan wilayah (White dan Engelen 2000; Winz 2005; Yufeng dan ShuSong 2005), wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004), dan
!
"
#!$ $
34 juga aspek manajerial suatu pabrik (Rohmatulloh 2008). Sistem dinamik berkemampuan dalam mengkaji sistem yang berciri kompleks, dinamik, dan probabilistik (Sushil 1993; Forrester 1998; Sterman 2002). Kemampuan sistem dinamik yang demikian, sangat membantu dalam penyusunan skenario kebijakan dan pengambilan keputusan dalam kajian sistem kompleks. Dengan demikian dapat dipelajari sifat sistem wilayah pesisir Teluk Lampung. Kemampuan tersebut memudahkan penyusunan skenario perencanaan sistem kompleks, yaitu perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung ditentukan oleh tiga komponen utama yaitu populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang. Upaya pemahaman yang utuh dan terpadu dari ketiga komponen adalah sangat penting untuk membangun model perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dalam penelitian ini, pendekatan sistem dinamik ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada untuk menyelesaikan masalah, dan (2) membuat model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Untuk itu, pendekatan sistem dinamik dilakukan dalam beberapa tahap proses yang terdiri dari penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi. Pelaksanaan semua tahap tersebut dalam satu kesatuan kerja merupakan analisis sistem (Grant et al. 1997; Eriyatno 1999). Pemodelan sistem dinamik dilakukan secara determinsitik, untuk membatasi kompleksitas metodologi. Pilihan tersebut dilakukan sebagai kompromi ata keterbatasan ketersediaan data yang diperlukan dalam pemodelan sistem dinamik. 2.4
Penelitian Partisipatif Terminologi partisipasi (paticipation) di dalam penelitian, aktivitas
perencanaan, dan pengambilan keputusan, semakin banyak digunakan pada berbagai artikel ilmiah. Partisipasi berkonotasi pada keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan (pemangku kepentingan) terhadap suatu objek. Namun demikian, makna yang dimaksudkan pada berbagai artikel, seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Keberbedaan tersebut bersumber dari sifat dan kedalaman
!
"
#!$ $
35 “keterlibatan” pemangku kepentingan dalam berbagai aktivitas seperti penelitian, perencanaan, ataupun pengambilan keputusan. Seperti dalam penelitian, terutama penelitian sosial, secara umum akan melibatkan pemangku kepentingan, baik sebagai responden, pengamat, ataupun pelaksana (Cornwall dan Jewkes 1995; Sutherland 1998; Wiber et al. 2004; Walz et al. 2007). Permasalahannya adalah seberapa jauh keterlibatan pemangku kepentingan, sehingga suatu penelitian dapat dikategorikan sebagai penelitian partispatif. Berkaitan dengan kedalaman partisipasi, Bigg (1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995) menyatakan bahwa partispasi dalam penelitian dapat dibedakan ke dalam empat kelompok, yaitu: 1) Kontraktual, masyarakat dikontrak ke dalam proyek penelitian, dan mengambil peran sebagai objek di dalam penelitian, terutama yang menggunakan percobaan (experiment). 2) Konsultatif, masyarakat ditanya opininya oleh peneliti sebelum dilakukan suatu intervensi. 3) Kolaboratif, peneliti dan masyarakat bekerja bersama pada suatu proyek penelitian, namun penelitian tersebut sepenuhnya dirancang, digagas, dan dikelola oleh peneliti. 4) Kolegiat, peneliti dan masyarakat bekerja bersama sebagai kolega dengan masing-masing
keahlian
yang
berbeda,
di
dalam
pembelajaran silang (mutual learning), dan masyarakat
suatu
proses
mempunyai
kontrol terhadap proses tersebut. Dari keempat kelompok di atas, penelitian kolegiat merupakan tingkat partisipasi yang paling dalam. Lebih lanjut Cornwall dan Jewkes (1995) menyatakan bahwa penelitian partisipatif pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan hak masyarakat sebagai pemilik dan sekaligus objek penelitian, serta memungkinkan masyarakat menyusun agenda-nya sendiri dalam pembangunan. Dengan demikian, penelitian partisipatif dapat menjadi koridor bagi penyusunan kebijakan yang bersifat dari bawah ke atas. Brown et al. (2001) mendefinsikan partisipasi sebagai mengambil bagian atau terlibat secara aktif dalam suatu proses. Oleh karena itu, sesuatu proses dikatakan bersifat partisipatif, hanya bila terdapat keterlibatan aktif dari berbagai
!
"
#!$ $
36 pelaku. Berdasarkan pengalaman penelitian dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir,
Brown et al. (2001) memberikan tipologi partisipasi sesuai
dengan tingkat keterlibatan masyarakat, mulai dari yang sangat dangkal (pasif) sampai pada bentuk partispasi mandiri. Tipologi partisipasi tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Tipologi partisipasi Bentuk Partisipasi Partisipasi pasif
Partisipasi pemberian informasi Partisipasi melalui konsultasi
Partisipasi untuk insentif material Partisipasi fungsional
Partisipasi interaktif
Partisipasi mandiri (self mobilization)
Karakteristik Masyarakat diberi tahu proses yang akan dilakukan atau proses yang sedang berlangsung, melalui pemberitahuan tanpa adanya mekanisme respon. Masyarakat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan yang diajukan. Masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mempengaruhi proses yang sedang atau akan berlangsung. Masyarakat diajak berkonsultasi dan keinginannya didengar, sehingga proses yang akan atau sedang berlangsung dapat sedikit dipengaruhi. Akan tetapi dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Masyarakat berpartispasi hanya untuk tujuan mendapatkan pangan, uang, atau insentif material lainnya. Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk merumuskan suatu tujuan, dan kelompok atau lembaga masyarakat tersebut terus terlibat dalam proses yang sedang atau akan berlangsung. Masyarakat berpartisipasi dengan melakukan analisis bersama untuk mendapatkan penguatan pengetahuan mereka tentang proses yang akan atau sedang berlangsung, sehingga masyarakat memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Masyarakat mengambil inisiatif independen untuk mengubah sistem.
Sumber: Brown et al. (2001)
Pengertian pemangku kepentingan (stakeholder) adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumberdaya tertentu (Grimble 1998; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Wiber et al. 2004). Pemangku kepentingan dapat sangat berpengaruh, sedikit berpengaruh, atau bahkan hanya menjadi penerima dampak dari suatu isu atau proses. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, pemangku kepentingan dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimilikinya, ke dalam tiga kelompok besar, yaitu (Brown et al. 2001): 1) Pemangku kepentingan primer, yaitu kelompok yang hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap suatu pengambilan keputusan pengelolaan
!
"
#!$ $
37 sumberdaya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka sangat dipengaruhi secara langsung oleh hasil keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan mengantungkan kehidupannya dengan sumberdaya pesisir, yaitu nelayan dan pembudidaya ikan. 2) Pemangku
kepentingan
sekunder,
yaitu
kelompok
yang
dapat
mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumberdaya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka tidak terpengaruh langsung oleh keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah
pesisir
tetapi
tidak
secara
langsung
menggantungkan
kehidupannya dengan sumberdaya pesisir, misalnya pedagang, buruh, pengusaha, dan lain-lain yang bertempat tinggal di kawasan pesisir, . 3) Pemangku kepentingan eksternal, yaitu individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi
pengambilan suatu keputusan pengelolaan
sumberdaya pesisir melalui lobi, akan tetapi kehidupan atau kepentingan mereka sama sekali tidak berhubungan dengan keputusan tersebut. Kelompok ini dapat berupa organisasi massa, keagaaman, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehubungan dengan penelitian dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir, pelibatan pemangku kepentingan dari kelompok primer menjadi penting, karena mereka akan menjadi kelompok yang paling dipengaruhi oleh kebijakan dan perencanaan yang akan dibuat (Brown et al. 2001). Oleh karena itu, keterwakilan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, menjadi penting. Untuk menjaring kebutuhan para pemangku kepentingan, dibutuhkan alat analisis yang secara efektif mampu mempertemukan
beragam
pemangku
kepentingan,
termasuk
pemangku
kepentingan primer di wilayah pesisir Teluk Lampung. Menurut Godet dan Roubelat (1998) dan Bourgeois dan Jesus (2004), alat analisis yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA). Analisis prospektif partisipatif merupakan adaptasi dari berbagai metode komprehensif yang dikemas dalam suatu kerangka kerja operasional yang
!
"
#!$ $
38 komprehensif dan cepat. Sifat kognitif dari metode tersebut adalah berupa tipologi “focus on interactions and consensus building”, yang mampu menghasilkan suatu konsensus dari interaksi antara pemangku kepentingan, yang dapat digunakan untuk kepentingan perencanaan Metode ini didasarkan pada beberapa prinsip yaitu: partisipasi, transparansi, konsistensi, keefektifan, relevansi, dapat diulang, beralasan, dan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan (Godet dan Roubelat 1998; Bourgeois dan Jesus 2004). Tingkat kedalaman pelibatan pemangku kepentingan dalam analisis prospektif partisipatif, dapat memenuhi tingkat partisipasi kolegiat sebagaimana perspektif Bigg (1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995); serta termasuk dalam tipologi partisipasi interaktif menurut Brown et al. (2001). Secara ringkas prinsip analisis prospektif partisipatif disajikan pada Gambar 7
Gambar 7
Prinsip dasar metode analisis prospektif partisipatif (Bourgeois dan Jesus 2004)
!
"
#!$ $
39 2.5
Perencanaan Tata Ruang Partisipatif Dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007, penataan ruang didefinisikan
sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut (Rustiadi et al. 2009), penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan baru yang "lebih baik". Sebagai proses perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan. Penataan ruang dibutuhkan karena pentingnya intervensi publik terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Adanya intervensi publik akan mencegah degradasi lingkungan (sebagai kegagalan pasar) seperti terjadinya kerusakan sumberdaya. Penataan ruang perlu dilakukan untuk: 1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktivitas, 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan 3) menjaga keberlanjutan pembangunan (Rustiadi et al. 2009). Pada dasarnya penataan ruang merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu perencanaan, pemanfaatan (implementasi rencana), dan pengendalian (Rustiadi et al. 2009). Sistem penataan ruang sendiri merupakan bagian penting dari penyelenggaraan penataan ruang, yaitu berupa pelaksanaan penataan ruang. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, hanya akan dimungkinkan bila sub-sistem perencanaan tata ruang telah dilakukan dengan baik. Secara sederhana sistem penataan ruang disajikan pada Gambar 8, dan secara struktural, penyelenggaraan penataan ruang disajikan pada Gambar 9. Sub-sistem perencanaan tata ruang merupakan bagian penting yang memerlukan berbagai tahapan yang didasari oleh pendekatan-pendekatan tertentu, namun pada kenyataannya seringkali perencanaan tata ruang menjadi titik lemah dalam penataan ruang. Secara umum terdapat dua tahap dalam proses perencanaan yang harus dilakukan secara objektif dan rasional, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data. Kedua tahap tersebut akan sangat menentukan dalam tahapan
!
"
#!$ $
40 berikutnya, yaitu: (3) menetapkan kebijakan, (4) implementasi, dan (5) monitoring. Bila kedua tahapan proses yang pertama tidak dapat dilakukan secara objektif dan rasional, maka tahapan berikutnya akan menjadi bias dan menghasilkan kebijakan yang salah (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996; Taussik 2004; Rustiadi et al. 2009).
Gambar 8 Sistem Penataan Ruang (Rustiadi et al. 2009) Diketahui bahwa selama ini data merupakan titik lemah dalam perencanaan, dimana sangat sulit untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat (Fedra 2004; Håkanson dan Duarte 2008; Martin dan Hall-Arber 2008). Sistem informasi yang handal seharusnya dapat memberikan data yang berkualitas bagi proses perencanaan, namun sayangnya justru sistem informasi tersebut belum tersedia. Data yang ada umumnya hanya bersifat “resmi” seperti yang dikeluarkan oleh
BPS,
namun
kelengkapan
dan
kualitasnya
sering
diragukan.
Ketidaktersediaan data dan informasi yang memadai tersebut merupakan salah
!
"
#!$ $
41 satu permasalahan mendasar yang menjadikan proses perencanaan tata ruang selama ini menjadi titik lemah dalam penataan ruang.
Gambar 9 Struktur Penyelenggaraan Penataan Ruang (Rustiadi et al. 2009) Di sisi lain proses perencanaan selama ini dilakukan adalah melalui pendekatan perencanaan rasional, yang didasari pada logika rasional dan teoriteori. Pendekatan rasional pada dasarnya sangat bersifat ilmiah dan lintas disiplin, sehingga sangat dipercaya akan mampu menghasilkan suatu perencanaan yang baik dan komprehensif. Namun demikian, pendekatan rasional membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang lengkap untuk dapat membuat keputusankeputusan yang logis dalam menelaah semua alternatif. Pendekatan rasional yang
!
"
#!$ $
42 juga disebut sebagai pendekatan komprehensif, menjadi tidak berarti tanpa ketersediaan pengetahuan (data dan informasi) yang lengkap, dan akan sulit menghasilkan suatu perencanaan yang baik. Pada kenyataannya, justru prasyarat harus tersedianya data dan informasi yang lengkap tersebut tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu penekanan pada pendekatan rasional semata, juga memberikan sumbangan signifikan, sehingga menjadikan ” proses” sebagai titik lemah dalam perencanaan tata ruang. Pada gilirannya, perencanaan yang dihasilkan berkualitas buruk dan tidak dapat diimplementasikan. Untuk menanggulangi lemahnya proses perencanaan tata ruang, maka harus disediakan data dan informasi yang lengkap dan handal dengan cara menggalinya secara langsung dari pemangku kepentingan. Untuk mengakses data dan informasi dari pemangku kepentingan, maka pendekatan perencanaan rasional harus dimodifikasi menjadi lebih bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan, sehingga membentuk suatu perencanaan konsensus. Dengan demikian, data dan informasi primer yang diperlukan bagi proses perencanaan akan dapat dipenuhi (Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Fedra 2004; Taussik 2004; Walz et al. 2007; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Schumann 2010). Filosofi dibalik perencanaan tata ruang yang umum dipraktekkan adalah sangat mengarah pada konsep perencanaan induk tetap (fixed master plan). Dalam filosofi tersebut perencanaan dipandang sebagai kegiatan produksi rencanarencana yang ditunjukkan dengan pernyataan detil kondisi masa depan yang disusun dalam urutan sekuen yang sederhana, dan akan dicapai dalam waktu tertentu. Pada kenyataannya pendekatan tersebut dalam banyak hal menemui kegagalan, karena tingginya kompleksitas masing-masing komponen dan interaksi yang terlibat di antaranya, sehingga harus selalu direvisi dan disesuaikan dengan kenyataan (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Oppenheim 1980; Hall 1996). Pendekatan sistem dalam perencanaan diturunkan dari konsep sibernetika yang dikembangkan oleh Wiener (1948 in Hall 1996). Dalam pendekatan ini, fenomena sosial, ekonomi, biologi, dan fisik, dipandang sebagai sistem kompleks yang saling berinteraksi (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996; O’Connor dan McDermott 1997; Taussik 2004), dengan demikian semua bagian
!
"
#!$ $
43 sistem dan interaksinya tersebut dapat dipelajari secara tegas sekaligus menyeluruh. Cara pandang tersebut membuka peluang untuk mengubah prilaku sistem ke arah tujuan yang diinginkan, melalui mekanisme kontrol tertentu. Dalam cara pandang sistem, wilayah akan “ mengembangkan” diri sesuai dengan wujud respon dari beragam pengaruh perencanaan tata ruang yang dibuat (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Walz et al. 2007). Konsep dari perencanaan dengan pendekatan sistem adalah ide dasar interaksi antara dua sistem paralel yaitu sistem perencanaan itu sendiri, dan sistem yang ‘akan’ mengontrol perencanaan yang dibuat (Hall 1996). Keberadaan dua sistem paralel tersebut membentuk lingkaran (loop), oleh karena itu perencanaan tata ruang dalam pandangan sistem merupakan suatu proses siklikal (McLoughlin 1970; Chadwick 1971; Hall 1996). Melalui pendekatan sistem, wilayah pesisir yang kompleks dengan paduan daratan dan perairan, dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh, dengan komponen utama terdiri atas populasi (penduduk), aktivitas ekonomi, dan penggunaan ruang (tata ruang). Perilaku sistem dapat dipelajari secara komprehensif melalui pemodelan sistem, dan dilakukan intervensi yang mendasari penyusunan perencanaan (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010). Dengan demikian, pendekatan sistem diajukan sebagai suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan secara komprehensif. 2.6
Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan sistem perangkat keras dan
lunak berbasis komputer, yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi tentang area di permukaan bumi (ESRI 1995; Chrisman 1997). Pada dasarnya SIG merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi, dan geografis. Dengan penggabungan ketiga unsur pokok tersebut, SIG akan memberikan “ informasi geografis” (Prahasta 2001). Informasi geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempattempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-
!
"
#!$ $
44 keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Chrisman 1997; Prahasta 2001). Sistem informasi geografis memerlukan data masukan agar dapat berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya (Blaschke 2001). Menurut Prahasta (2001), terdapat tiga komponen yang dapat diperoleh dari informasi kenampakan geografis yaitu posisi geografis, atribut, dan hubungan keruangan. Kekuatan utama dari SIG terletak pada kemampuannya memadukan berbagai
jenis
data,
baik
data
spasial
(yang
berkaitan
dengan
keruangan/posisi/lokasi) maupun data tekstual/atribut (non-geografis), menjadi suatu informasi yang dapat membantu memecahkan masalah secara terorganisasi dalam kaitan keruangan (posisi/lokasi). Adanya SIG memungkinkan beberapa keperluan yang kompleks dapat dilakukan menjadi lebih mudah dan cepat, dibandingkan jika dilakukan dengan cara konvensional. Ada tiga tugas utama yang diharapkan dapat dilakukan oleh SIG yaitu (ESRI 1995; Prahasta 2001): 1) penyimpanan, manajemen dan integrasi data spasial dalam jumlah besar; 2) analisis yang berhubungan secara spesifik dengan komponen data geografis; 3) mengorganisasikan dan mengatur data dalam jumlah besar, sehingga informasi tersebut dapat digunakan pemakainya. Kemampuan SIG dapat ditunjukkan dalam lima bentuk kemampuan analisis spasial sebagai berikut (ESRI 1995; Prahasta 2001): 1) Menyajikan apa yang terdapat pada suatu wilayah dalam beragam cara, dilengkapi dengan referensi geografis seperti garis lintang dan bujur. 2) Menyajikan letak suatu aktivitas dalam wilayah sebagai hasil analisis ruang, misalnya lokasi yang memenuhi kriteria yang diinginkan. 3) Menyajikan perubahan ruang secara temporal atau kecenderungan (trend). 4) Menyajikan hasil analisis spasial yang lebih rumit, seperti dampak spasial suatu kegiatan tertentu. 5) Menyajikan hasil analisis spasial yang lebih rumit lagi, yaitu berupa pemodelan yang dapat memadukan informasi spasial dan informasi lainnya termasuk sosial budaya dan hukum.
!
"
#!$ $
45 Dengan kemampuan yang tinggi, maka sebagai alat SIG sangat bermanfaat dalam perencanaan tata ruang wilayah. Informasi yang didapatkan dari pendekatan sistem dan pemodelan akan dapat diintegrasikan dengan SIG. Peranan SIG adalah sebagai alat analisis spasial bagi informasi yang dihasilkan dari pemodelan yang dibangun (Blaschke 2001; Shui-sen et al. 2005; Martin dan HallArber 2008). Dengan demikian pendekatan sistem dinamik dan pemodelan akan dapat menyajikan informasi spasial yang diperlukan bagi perencanaan tata ruang Teluk Lampung. 2.7
Tinjauan Penelitian Terdahulu Pendekatan penelitian yang menggunakan sistem dinamik semakin
berkembang dan telah banyak dilakukan (Fedra dan Feoli 1998; Deal dan Schunk 2004). Publikasi penelitian kewilayahan yang menggunakan pendekatan sistem dinamik sudah cukup banyak ditemukan, terutama dalam studi dinamika dan perencanaan wilayah. Namun demikian penerapan sistem dinamik dalam perencanaan wilayah di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal perencanaan wilayah memerlukan suatu metodologi yang komprehensif untuk merangkum kompleksitas wilayah yang tinggi. Penelitian ini pada dasarnya terinspirasi oleh kondisi tersebut, dan dengan mengacu pada beberapa penelitian terdahulu dicoba untuk menerapkan metodologi sistem dalam suatu proses perencanaan tata ruang wilayah. Secara singkat, penelitian terdahulu yang dan berkaitan dengan rencana penelitian ini, disajikan pada Gambar 10. Studi mengenai dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS) telah dilakukan oleh Haie dan Cabecinha (2003), Aurambout et al. (2005), dan Elshorbagy et al. (2005). Dalam kajiannya, Haie dan Cabecinha (2003) menggunakan perangkat lunak STELLA 5.0 untuk mengembangkan dan mensimulasikan model kondisi ekosistem pada DAS di Portugal. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa model dinamik yang dikembangkan dapat menggambarkan ekosistem DAS tersebut secara memuaskan, dan dapat teruji secara statistik dengan data empiris selama 10 tahun. Aurambout et al. (2005) mengkaji model spasial dan dinamik perkembangan wilayah dan tekanan terhadap ekologi, dengan menggunakan
!
"
#!$ $
46 perangkat lunak STELLA 7.0.1 dan yang diintegrasikan dengan program sistem informasi geografis yaitu pemodelan spasial lingkungan (SME). Mereka mendapatkan bahwa penerapan metode tersebut sangat memuaskan untuk merumuskan kebijakan lingkungan dalam upaya maksimalisasi kehidupan liar baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil kajian tersebut dapat diterapkan dalam perancangan perlindungan alam, misalnya detil peletakan koridor satwa. Elshorbagy et al. (2005) mengkaji keberlanjutan upaya reklamasi suatu sistem DAS yang telah rusak pasca kegiatan penambangan, dengan menerapkan sistem dinamik model DAS (SDWM). Dalam kajian tersebut didapatkan bahwa sistem dinamik dapat sangat membantu dalam menyusun strategi reklamasi untuk pemulihan kondisi hidrologi, serta penyusunan skenario pengelolaan DAS yang rusak akibat kegiatan penambangan. Studi mengenai perencanaan kota dan wilayah dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik telah dilakukan oleh White dan Engelen (2000), Deal dan Schunk (2004), dan Yufeng dan ShuSong (2005). White dan Engelen (2000), mengkaji pemodelan sistem dinamik perencanaan kota dan wilayah dengan menerapkan otomata selular (cellular automata, CA). Mereka menyatakan bahwa model kota dan wilayah berbasis CA dapat menghadirkan suatu dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik. Dalam perencanaan kota dan wilayah, sistem tersebut akan sangat membantu. Deal dan Schunk (2004), mengkaji pemodelan spasial dinamik transformasi penggunaan lahan dalam
kawasan perkotaan kota. Mereka
menunjukkan bahwa sistem dinamik memiliki kemampuan efektif dalam memodelkan kawasan perkotaan, dan memberikan manfaat yang besar dalam pemahaman transformasi penggunaan lahan yang membentuk perkembangan kawasan perkotaan ke perdesaan (urban sprawl). Yufeng dan ShuSong (2005) mengkaji rencana pengembangan kota Hsinchu Science Park di Taiwan dengan menggunakan sistem dinamik. Dalam penelitian tersebut digunakan perangkat lunak STELLA yang diintegrasikan dengan metode fuzzy Delphi untuk mengakomodasi aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa pendekatan sistem dinamik mampu memberikan arahan kebijakan untuk pembangunan kota secara
!
"
#!$ $
47 berkelanjutan. Secara lebih tajam, hasil simulasi sistem dapat memberikan arahan strategi pengelolaan ekonomi, sosial, dan lingkungan kota. Studi mengenai perencanaan wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan sistem dan analisis spasial telah dilakukan oleh Villa et al. (2002) dan Ramos (2004). Agak berbeda dengan kajian dinamika wilayah serta perencanaan kota dan wilayah, perencanaan wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan sistem masih relatif sedikit, dan lebih terfokus pada perencanaan pengelolaan kawasan lindung. Villa et al. (2002) melakukan penelitian perencanaan zonasi daerah perlindungan laut di Pulau Asinara, Itali. Dalam penelitian tersebut, dilakukan analisis spasial kriteria ganda yang diintegrasikan dengan GIS. Penelitian menunjukkan
bahwa
metodologi
spasial
mempunyai
kemampuan
yang
memuaskan dalam hal pengaturan ruang wilayah perlindungan laut, dengan tingkat perlindungan yang beragam. Hasil penelitian tersebut kemudian berhasil diterapkan secara operasional dalam zonasi wilayah perlindungan laut di Perlindungan Laut Nasional Pulau Asinara, Italia. Ramos (2004) mengkaji pendekatan sistem spasial untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagai suatu ekoregional. Penelitian yang dilakukan merupakan suatu penelitian jangka panjang, yang terintegrasi dengan pelaksanaan the Sulu-Sulawesi marine ecoregion (SSME), sebuah program kegiatan World Wide Fund for Nature (WWF) di segi tiga Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Program ditunjang dengan pengembangan sistem the coastal and marine resource information system (CMARIS) yang mendukung suatu sistem pengambilan keputusan secara spasial (spatial decision support system, SDSS). Dari hasil kajian yang dilakukan, Ramos (2004) menyimpulkan bahwa pendekatan sistem sangat berperan dalam perencanaan wilayah laut dan pesisir, yaitu dalam hal koleksi, organisasi, akses, dan pengiriman informasi sumberdaya pesisir dan laut, sehingga secara spasial dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan khusus bagi pengelolaan lingkungan pesisir dan laut. Gangai dan Ramachandran (2010) mengkaji peran tata ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir. Mereka menunjukkan bahwa tata ruang (sebagai instrumen hukum) dapat menyelamatkan wilayah pesisir dari penggunaan lahan
!
"
#!$ $
48 (ruang) eksisting yang tidak konsisten. Hal tersebut dapat menjamin suatu stabiltas bagi terlaksananya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ada, tampak bahwa pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah telah menjadi suatu kecenderungan, karena memiliki kemampuan menyajikan kompleksitas wilayah. Dengan karakteristik wilayah pesisir yang memilki kompleksitas tinggi, maka sangat beralasan untuk menerapkan pendekatan sistem dalam penyusunan perencanaan dan pengelolaannya. Dinamika wilayah ekologis:
Perencanaan kota dan wilayah:
Perencanaan wilayah pesisir:
1. Haie dan Cabecinha (2003) mengkaji pemodelan dinamik suatu sistem daerah aliran sungai (DAS). 2. Aurambout et al. (2005) mengkaji model spasial dan dinamik perkembangan wilayah dan tekanan terhadap ekologi 3. Elshorbagy et al.(2005) mengkaji keberlanjutan upaya reklamasi suatu sistem daerah aliran sungai (DAS) yang telah rusak, dengan menerapkan sistem dinamik.
1. White dan Engelen (2000), mengkaji pemodelan sistem dinamik perencanaan kota dan wilayah. 2. Deal dan Schunk. (2004) mengkaji pemodelan spasial dinamik transformasi penggunaan lahan dalam kawasan perkotaan kota. 3. Yufeng dan ShuSong (2005) mengkaji rencana pengembangan kota menggunakan sistem dinamik
1. Villa et al. (2002) menggunakan analisis multi kriteria dan pemodelan spasial untuk perencanaan wilayah perlindungan laut. 2. Ramos (2004) mengkaji pendekatan sistem spasial untuk perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagai suatu ekoregional. 3. Gangai dan Ramachandran (2010) mengkaji peran tata ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Penelitian: Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir: Studi Kasus Teluk Lampung
Gambar 10 Beberapa penelitian terdahulu yang dirujuk dan berkaitan dengan penelitian
!
"
#!$ $
3 METODE PENELITIAN 3.1
Pendekatan Penelitian Penelitian
menggunakan
metodologi
sistem
dinamik
digunakan
berdasarkan pertimbangan kemampuannya menyajikan keterkaitan antar variabel yang dikaji dan mensimulasikan prilaku sistem bila dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut. Penerapan sistem dinamik dapat membantu dalam penyusunan skenario kebijakan dan pengambilan keputusan dalam kajian sistem kompleks. Dengan demikian dapat dipelajari sifat sistem wilayah pesisir Teluk Lampung. Kemampuan tersebut memudahkan penyusunan skenario perencanaan sistem kompleks, seperti perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Untuk mendapatkan penyajian spasial terhadap skenario perencanaan tata ruang, hasil simulasi sistem dinamik dikaitkan dengan dengan sistem informasi geografis (SIG). 3.2
Wilayah Penelitian Perumusan definisi wilayah pesisir yang diacu dalam penelitian ini
disusun berdasarkan pertimbangan yang telah disajikan pada sub-bab 2.1. Dari pertimbangan tersebut, lingkup wilayah penelitian meliputi wilayah daratan dan perairan Teluk Lampung (Gambar 11), yaitu: 1) Wilayah daratan adalah meliputi semua kecamatan pesisir di dalam administrasi Kota Bandar Lampung (Kecamatan Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, dan Panjang), Kabupaten Lampung Selatan (Kecamatan Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni), dan Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada), yang berbatasan langsung dengan perairan Teluk Lampung. 2) Wilayah perairan adalah Teluk Lampung dengan posisi geografis terletak antara 105o11’-105o43’ BT dan 5o26’-5o59’ LS. 3.3
Kerangka Pemikiran dan Analisis Pada dasarnya perencanaan tata ruang wilayah pesisir merupakan bagian
dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang mengandung tiga dimensi yaitu
!
"
#!$ $
50 sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 2001; Kay dan Alder 1999; Gangai dan Ramachandran 2010). Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu menghendaki kesamaan visi antar pelaku. Menyadari arti penting visi pengelolaan wilayah pesisir, Pemerintah Provinsi Lampung telah mempelopori perumusan visi bersama. Visi pengelolaan wilayah pesisir Lampung yang disepakati antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, dirumuskan sebagai berikut (Pemerintah Provinsi Lampung 2001).
Gambar 11 Ibukota Kab./Kota
PETA WILAYAH PENELITIAN
Ibukota Kecamatan Wilayah Penelitian
!
"
#!$ $
51 “Terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat”. Mengacu pada visi tersebut, strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Provinsi Lampung harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, lingkungan, hukum, tata ruang, dan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, penataan ruang wilayah pesisir memiliki peran strategis sebagai salah satu upaya perwujudan visi. Namun pada kenyataannya telah terdapat permasalahan kompleks di wilayah pesisir Teluk Lampung, yang meliputi aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Jika permasalahan tersebut tidak mendapatkan solusi yang tepat dan cepat, maka upaya perwujudan visi menjadi semakin sulit dicapai. Berdasarkan visi sebagai tujuan utama pengelolaan wilayah pesisir, disusun kerangka pemikiran penelitian. Permasalahan kompleks yang meliputi aspek-aspek
ekonomi,
ekologi,
dan
sosial,
bersumber
dari
lemahnya
penyelengaraan penataan ruang. Seperti diketahui bahwa penyelenggaraan penataan ruang harus ditopang oleh pilar pengaturan, pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang menempati posisi penting dalam penyelenggaran, karena bersentuhan langsung dengan berbagai dimensi kepentingan masyarakat dan dunia usaha, dan pada dasarnya merupakan domain pemerintah bersama masyarakat. Pelaksanaan penataan ruang merupakan suatu sistem proses yang meliputi sub-sistem pengendalian, perencanaan, dan pemanfaatan ruang. Ketiga sub-sistem tersebut saling berinteraksi dan menentukan performa sistem secara keseluruhan. Perencanaan tata ruang sebagai suatu sub-sistem, akan menentukan performa pelaksanaan penataan ruang, karena perencanaan merupakan titik tolak bagi pengendalian dan pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penataan ruang hanya akan berjalan dengan baik bila didasari dengan perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan dan dapat diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perencanaan tata ruang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung secara berkelanjutan.
!
"
#!$ $
52
Kantung kemiskinan
Permukiman kumuh
Kawasan lindung dan budidaya belum jelas
RTRW belum mengakomodasi peekonomian masyarakat
Konflik pemanfaatan ruang
RTRW bias darat dan kota
Permasalahan Ekonomi
Permasalahan wilayah pesisir
RTRW belum partisipatif dan operasional
Pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem pesisir
Permasalahan Ekologis
Permasalahan Sosial
Pengendalian Ruang
Perencanaan Tata Ruang
Pemanfaatan Ruang
Visi pengelolaan wilayah pesisir Lampung
Belum ada perencanaan tata ruang yang komprehensif dan partisipatif
Manfaat
Komprehensif dan akomodatif terhadap kepentingan ekonomi masyarakat kecil (nelayan) dan usaha skala besar, secara berimbang. Berbasis pada pelestarian sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir. Akomodatif terhadap kepentingan berbagai pelaku secara berimbang.
Perlu kajian sistem
Ekonomi masyarakat yang berbasis pada sumberdaya pesisir. Pengembangan ekonomi wilayah pesisir berkelanjutan yang mengakomodasi kepentingan ekonomi masyarakat dan usaha skala besar, secara berimbang. Keterkaitan antara aspek ekonomi dan sosial terhadap aspek ekologi dan kerusakan ekosistem pesisir. Kondisi ekologis wilayah pesisir yang dikehendaki pada masa mendatang. Pemetaan berbagai kepentingan stakeholders. Konflik penggunaan ruang antar pelaku (stakeholders). Wilayah pesisir sebagai suatu kawasan terpadu yang meliputi daratan dan perairan.
Gambar 12 Kerangka pemikiran penelitian
!
Tujuan penelitian
Domain pemerintah dan masyarakat: Pengawasan Pelaksanaan
Penguatan penyelenggaraan penataan ruang
Skenario perencanaan
Domain pemerintah: Pengaturan Pembinaan Pengawasan
Isu utama
Penyelenggaraan penataan ruang masih lemah
"
#!$ $
Kajaian penelitian melalui pendekatan sistem
Pendapatan penduduk rendah
53
Visi Pengelolaan Pesisir Lampung
Data Atribut Sekunder: Biofisik dan Sosial Ekonomi
RTRW Provinsi dan Kabupaten / Kota
Citra Satelit
Data Spasial (Peta Tematik) Sekunder: Biofisik dan Sosial Ekonomi
Interpretasi Citra Satelit
Stakeholders
Indikasi Tata Ruang
Penelitian Lapangan
Isu Tata Ruang Pesisir
Analisis Prospektif Partisipatif
Analisis Sistem Informasi Geografis
Analisis Ekonomi Wilayah, Analisis Kewilayahan
Keterkaitan
Basis Data
Analisis Sistem Dinamik
Arahan/Rekomendasi Pola dan Struktur Ruang Wilayah Pesisir Teluk Lampung
Gambar 13 Kerangka alur analisis penelitian Kerangka pemikiran penelitian, dibangun dengan pandangan bahwa perencanaan tata ruang harus disusun secara komprehensif dan partisipatif dengan menggunakan pendekatan sistem. Pada akhirnya perencanaan tata ruang yang baik akan dapat mendukung penguatan penyelenggaraan penataan ruang dan menuju perwujudan visi sebagai tujuan utama. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian, disajikan pada Gambar 12.
!
"
#!$ $
54 Untuk
melaksanakan
penelitian
sebagaimana
digambarkan
dalam
kerangka pemikiran, dibutuhkan berbagai data dan informasi, yang harus dirangkum dalam suatu kerangka analisis. Kerangka analisis menggunakan pendekatan sistem dinamik dan partisipatif, yang diintegrasikan dengan sistem informasi geografis (SIG), ditujukan untuk membangun skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat komprehensif, partisipatif, dan akomodatif terhadap berbagai kebutuhan pemangku kepentingan. Secara ringkas kerangka alur analisis penelitian disajikan pada Gambar 13. 3.4
Batas Sistem Sistem yang dibangun dibatasi oleh lingkungan sistem, yaitu semua
elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan. Secara fisik sistem dibatasi hanya pada wilayah penelitian, secara non-fisik sistem dibatasi hanya pada komponen-komponen utama di wilayah penelitian yaitu populasi, aktivitas ekonomi, serta kebutuhan dan ketersediaan ruang (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008), serta interaksi di antara komponen tersebut. Aspek lain di luar ketiga komponen dan interaksinya tersebut, dimasukkan sebagai lingkungan sistem, antara lain adalah aspek sosial budaya, agama, etnis, kebijakan pemerintah pusat, perubahan perekonomian akibat resesi, dan lain-lain. Sub-komponen pengguna ruang di wilayah pesisir yang dimasukkan di dalam sistem meliputi: 1) Kawasan lindung daratan dan kawasan konservasi perairan 2) Kawasan budidaya daratan (perikanan budidaya pesisir (tambak), pertanian, pariwisata pantai, permukiman perkotaan dan perdesaan, bisnis dan industri, dan prasarana wilayah); serta pemanfaatan umum perairan (perikanan tangkap, perikanan budidaya laut, transportasi laut, dan kawasan militer TNI-AL). Secara ringkas komponen sistem dan interaksinya, serta arah kebijakan dan implikasinya, disajikan pada Gambar 14.
!
"
#!$ $
!
!
# ("
"
"
"
#
! #
*
)
! !
! )
#
)
. !
(
#
)
$
"
& ' ""
) )
$ #
,
!
%
#
(" -
+ )
+
-
#
Gambar 14 Komponen sistem dan interaksinya, serta arah kebijakan dan implikasinya !
"
#!$ $
55
56 3.5
Tahapan Pendekatan Sistem Pendekatan sistem dilakukan dalam beberapa tahap proses yang terdiri
dari penetapan tujuan dan analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, dan evaluasi., yang secara ringkas disajikan pada Gambar 15. Dalam analisis kebutuhan dilakukan inventarisasi kebutuhan dan opini segenap pemangku kepentingan yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Inventarisasi kebutuhan dilakukan secara objektif menggunakan metode prospektif partispatif. Kebutuhan diinventarisasi melalui pendapat pemangku kepentingan dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan pakar (expert) mengenai wilayah Teluk Lampung, dalam suatu forum pertemuan pakar. Partisipan berasal dari berbagai latar belakang, yaitu meliputi: masyarakat, pengusaha, institusi pemerintah daerah, perguruan tinggi setempat, dan lembaga swadaya masyarakat. Tahap formulasi permasalahan merupakan perumusan permasalahan tata ruang Teluk Lampung. Tahap identifikasi sistem didasarkan pada komponen utama yaitu populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, serta interaksi di antaranya. Setelah identifikasi, selanjutnya dilakukan pemodelan dan simulasi sistem. Tahap simulasi akan memberikan informasi mengenai performa model yang dibangun apakah memuaskan atau tidak, jika tidak maka akan dilakukan perbaikan yang diperlukan. Pada akhirnya, hasil dari pendekatan sistem akan memberikan informasi mengenai dinamika komponen penyusun struktur wilayah Teluk Lampung yaitu ketersediaan ruang, populasi penduduk, dan aktivitas ekonomi. Selanjutnya dengan bantuan sistem informasi geografis (SIG), informasi tersebut digunakan dalam analisis spasial guna menyusun berbagai skenario bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung.
!
"
#!$ $
57
Gambar 15 Tahap analisis sistem dinamik 3.6
Analisis Prospektif Partisipatif Pelaksanaan analisis prospektif partisipatif dilakukan melalui temu pakar
(expert meeting), yang dihadiri oleh partisipan. Temu pakar dilakukan pada tanggal 23 Juli 2009 bertempat di Wisma Tamu Universitas Lampung, Jalan Sumantri Brojonegoro No.1, Gedong Meneng, Bandar Lampung. Sebelum dilakukan temu pakar, terlebih dahulu telah dilakukan kontak secara personal
!
"
#!$ $
58 kepada masing-masing pakar (perwakilan pemangku kepentingan) untuk memberikan informasi mengenai materi, tujuan, dan metode dari pertemuan tersebut. Pertemuan dihadiri oleh 27 orang pakar, yang meliputi: (1) aparat Pemerintah Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, dan TNI-AL (Lanal Panjang); (2) nelayan dan pembudidaya ikan; (3) masyarakat dan pengusaha; dan (4) perguruan tinggi setempat (Universitas Lampung). Jumlah pakar yang dapat menghadiri pertemuan tersebut dianggap cukup, sebagaimana pernah dilaksanakan dalam penelitian: “Crop research and development prospects in Asia and the Pacific” oleh The centre for alleviation of poverty through secondary crops’ development in Asia and the Pacific (CAPSA) di Bogor pada tahun 2002, telah dianggap cukup dengan dihadiri oleh 13 orang pakar (Bourgeois dan Jesus 2004). Jenis data yang digunakan dalam analisis ini merupakan semua data, informasi, dan opini yang dikemukakan pakar dalam temu pakar. Adapun dimensi waktu analisis ditetapkan selama 20 tahun ke depan, dengan mengacu pada UU No, 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Analisis data dilakukan secara simultan dalam pengumpulan data pada saat temu pakar dilaksanakan. Tahapan analisis disajikan pada Tabel 3. Uraian tahapan analisis prospektif partisipatif adalah sebagai berikut (Bourgeois dan Jesus 2004): Penentuan/definisi sistem dilakukan sebagai tahap awal dalam temu pakar, dan dilakukan melalui diskusi. Tahap ini penting sebagai pengembangan eksplorasi masa depan, yang terfokus pada wilayah pesisir Teluk Lampung (sesuai dengan batas sistem yang telah didefinisikan sebelumnya). Identifikasi variabel sistem dilakukan melalui brainstorming, yang dimulai dengan identifikasi variabel yang memiliki pengaruh terhadap susunan dan evolusi sistem, dari sudut pandang peserta. Untuk menjamin terjadinya partisipasi yang sama, diterapkan teknik visualisasi menggunakan kartu berwarna. Partisipan diminta menulis secara bebas variabel-variabel yang dianggapnya penting, sebanyak satu variabel untuk setiap kartu. Kemudian kartu dikumpulkan dan dipajang pada papan tulis. Kartu yang berisikan
!
"
#!$ $
59 opini yang sama persis, dibuang dari pajangan dan diganti dengan satu kartu pengganti. Dalam hal ini, harus terdapat konsensus dari seluruh peserta untuk membuang atau mempertahankan kartu yang dipajang tersebut. Pada tahap ini belum dilakukan diskusi mengenai relevansi dari masing-masing variabel, baru merupakan opini dan konsensus dari partisipan. Tabel 3 Tahapan analisis prospektif partisipatif No. 1.
Tahapan Penentuan/Definisi Sistem
2. 3. 4.
Identifikasi variabel sistem Definisi variabel kunci Analisis pengaruh antar variabel
5.
Interpretasi dari pengaruh dan ketergantungan antar variabel
6.
Pendefinisian kondisi variabel di masa datang. Pembangunan skenario Penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif
7. 8.
Pendekatan Persiapan awal dan diskusi kelompok Curah pendapat Diskusi kelompok terstruktur Analisis struktural dan kerja kelompok Diskusi kelompok yang didukung dengan grafik dan tabel hasil analisis Analisis morfologis dan diskusi kelompok Curah pendapat Diskusi terstruktur
Sumber: Bourgeois dan Jesus (2004)
Definisi variabel kunci dilakukan melalui diskusi terstruktur, yang membahas relevansi dari masing-masing variabel yang telah disepakati sebelumnya. Aturan sederhana yang digunakan dalam mendiskusikan kandungan dari opini yang diajukan oleh peserta merupakan variabel atau bukan, adalah: (1) bukan merupakan sebuah kalimat; (2) tidak berbentuk negatif; dan (3) secara umum bukan ekspresi fisik. Jika terdapat variabel yang tidak dapat dinyatakan dalam berbagai kondisi yang berbeda, maka dianggap sebagai variabel yang tidak relevan. Biasanya suatu kondisi dideskripsikan dengan menggunakan kata kualifikasi seperti adjektif, sedangkan
variabel
bersifat
substantif.
Teladan
sederhana untuk
menentukan variabel relevan dan kondisi yang dapat diidentifikasi, adalah sebagai berikut:
!
"
#!$ $
60 o “Hubungan buruk antara petani dan pedagang” bukanlah suatu variabel; yang dimaksud variabel adalah “Hubungan antara petani dan pedagang”. Variabel ini dapat mengambil berbagai kondisi di dalam sistem yang sama, seperti “tidak saling percaya” atau “saling percaya”; o “Psikologis petani”, adalah variabel tidak relevan, karena tidak dapat dideskripsikan dalam kondisi yang berbeda-beda. Dari tahap ini ditetapkan daftar akhir dari keseluruhan variabel sistem, kemudian variabel didefinisikan. Semua variabel yang sudah ditentukan dan didefinisikan, langsung dimasukkan dalam paket lembar kerja perangkat lunak “Microsoft Excel” yang telah diprogram (hak cipta Bourgeois dan Jesus 2004), untuk analisis selanjutnya. Analisis pengaruh antar variabel dilakukan melalui analisis struktural dan kerja
kelompok,
peserta
diminta
untuk
menganalisis
pengaruh/ketergantungan langsung influence/dependence (I/D) setiap variabel dengan variabel lainnya, dengan menggunakan pendekatan valuasi konsensual. Valuasi pengaruh langsung masing-masing variabel terhadap variabel lainnya, menggunakan skala dari “0=tidak ada pengaruh” sampai “3 = berpengaruh sangat kuat”. Nilai-nilai tersebut didiskusikan oleh peserta, dan setelah tercapai kesepakatan, dimasukkan di dalam matriks I/D. Jumlah valuasi tergantung pada jumlah variabel yang telah diidentifikasi, jika terdapat n buah maka ada n2 – n hubungan antar variabel yang harus didiskusikan dan divaluasi. Interpretasi hubungan pengaruh antar variabel dilakukan berdasarkan hasil olahan paket perangkat lunak Microsoft Excel, dengan output berupa tabel dan grafik. Interpretasi tabel skor kekuatan variabel global tertimbang, adalah untuk menentukan peringkat variabel. Variabel yang memiliki skor tertinggi merupakan variabel terkuat, yang memiliki pengaruh tertinggi dan ketergantungan terendah. Grafik pengaruh langsung dan tidak langsung, juga menunjukkan tingkat kekuatan variabel. Kuadran I (kiri atas) merupakan wilayah variabel penggerak. Kuadran II (kanan atas) merupakan wilayah variabel kontrol.
!
"
#!$ $
61 Kuadran III (kanan bawah) merupakan wilayah variabel keluaran, yang bersifat sangat tergantung dan hanya sedikit pengaruh. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan wilayah variabel marjinal, kelompok ini akan dikeluarkan dari analisis. Variabel yang berada pada kuadran I dan II merupakan variabel kuat, dan akan dipilih sebagai variabel penentu dalam analisis selanjutnya. Tahap pendefinisian kondisi variabel di masa depan disebut juga sebagai analisis morfologi, yang bertujuan untuk menjajaki domain masa depan yang mungkin terjadi, serta mengemukakan alternatif-alternatif yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk masing-masing variabel yang telah dipilih, peserta diminta mengidentifikasi beberapa kondisi variabel yang akan terjadi di masa depan, dan fokus terhadap alternatifalternatif yang kontras dan saling bebas. Suatu kondisi merupakan sebuah deskripsi dari variabel di masa depan; dan bukan sebagai ukuran dari variabel tersebut. Variabel dan kondisi-nya disusun dalam bentuk tabel, yang menyajikan dasar bagi penyusunan kombinasi untuk melakukan elaborasi skenario. Peserta juga diminta untuk membuat daftar kombinasi kondisi yang tidak dapat atau sangat sulit terjadi, kemudian dikeluarkan dari pilihan untuk membangun skenario. Untuk mempermudah proses tersebut, masing-masing variabel diberi simbol (misalnya huruf besar) dan masing-masing kondisi diberi simbol angka. Tahap pembangunan skenario, dilakukan melalui penyusunan kombinasi variabel dengan kondisi yang berbeda-beda. Peserta diminta untuk menyusun sejumlah skenario, dengan menyusun kombinasi kode variabel dan kondisinya (hurup dan angka). Penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif, dilaksanakan dengan menggunakan skenario yang telah dibangun. Masing-masing skenario didiskusikan secara terstruktur dalam suatu kerangka yang meliputi deskripsi skenario, implikasi terhadap varibel kunci lainnya, unsur strategis (yang dapat mempengaruhi evolusi sistem), dan aksi yang mungkin dilakukan. Informasi yang dihasilkan merupakan suatu peta jalan
!
"
#!$ $
62 bagi pemangku kepentingan untuk menghadapi perkembangan dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Rencana aksi yang dapat disusun oleh para pemangku kepentingan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi di masa datang (pro-aktif). Selain itu, eksplorasi kondisi masa datang juga dapat membantu dalam menyiapkan aksi yang bersifat re-aktif. Melalui identifikasi dan perbandingan skenario, para pengambil
keputusan
dan
pemangku
kepentingan
dapat
lebih
mampu
merencanakan masa depan suatu wilayah. Tingkat kedalaman pelibatan pemangku kepentingan dalam analisis prospektif partisipatif, dianggap dapat memenuhi tingkat partisipasi kolegiat sebagaimana perspektif Bigg (1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995); serta termasuk dalam tipologi partisipasi interaktif menurut Brown et al. (2001). 3.7
Pemodelan Sistem Dalam membangun sistem perencanaan tata ruang Teluk Lampung,
dilakukan pengembangan model guna mempresentasikan peubah populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, serta interaksi di antaranya. Berdasarkan karakteristik wilayah pesisir yang kompleks dan multidimensi, ditetapkan penggunaan model simbolik, yang menggunakan persamaanpersamaan matematis. Perangkat lunak komputer yang digunakan sebagai alat bantu dalam pemodelan sistem adalah Stella 7.r. dari HPS Inc. (2001). Tenaga Kerja
Sub-Model Populasi
Lapangan Kerja
Penyediaan Ruang
Kebutuhan Ruang
Sub-Model Aktivitas Ekonomi
Penyediaan Ruang
Sub-Model Ketersediaan Ruang
Kebutuhan Ruang
Gambar 16 Model secara global !
"
#!$ $
63 Secara global model menggambarkan interaksi antara komponen populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang yang bersifat timbal balik. Masingmasing komponen mempunyai gugus formula sendiri-sendiri, namun saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu. Oleh karena itu, model global disusun oleh tiga sub-model yang meliputi sub-model populasi, sub-model aktivitas ekonomi, dan sub-model ketersediaan ruang, yang dikembangkan secara terpisah. Secara ringkas model global disajikan pada Gambar 16. 3.7.1
Faktor-faktor penyusun model Sub-model populasi menggambarkan dinamika penduduk (populasi), yang
ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor penyusun sub-model populasi adalah meliputi: jumlah populasi, kelahiran, imigrasi, kematian, emigrasi, angkatan kerja, fraksi angkatan kerja, fraksi kelahiran, fraksi kematian, nomal imigrasi, normal emigrasi,
pengangguran,
pertambahan
penduduk,
dampak
penganggur,
kemudahan tenaga kerja, percepatan imigrasi, dan percepatan emigrasi. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Dari berbagai faktor di atas, dapat disintesis model dengan menggunakan perangkat lunak Stella. Sub-model populasi dihubungkan dengan sub-model aktivitas ekonomi melalui faktor lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan dihubungkan
investasi. melalui
Terhadap faktor
sub-model kendala
ketersediaan
ruang-percepatan
ruang,
populasi
emigrasi,
serta
pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana. Sub-model aktivitas ekonomi menggambarkan dinamika perekonomian, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang terlibat dalam submodel ini meliputi: aktivitas ekonomi (produk domestik regional bruto, PDRB), pertumbuhan ekonomi, sektor industri, pertumbuhan sektor industri, investasi, laju investasi, kebangkrutan investasi, sektor perikanan laut, pertumbuhan sektor perikanan, sektor transportasi laut, pertumbuhan sektor transportasi laut, sektor pariwisata, pertumbuhan sektor pariwisata, sektor lain, pertumbuhan sektor lain, kebutuhan tenaga kerja, lapangan kerja, fraksi pertumbuhan sektor industri, fraksi pertumbuhan sektor perikanan, fraksi pertumbuhan sektor transportasi laut, fraksi
!
"
#!$ $
64 pertumbuhan
sektor pariwisata,
fraksi
pertumbuhan
sektor lain,
fraksi
pertumbuhan investasi, tingkat kebangkrutan investasi, dan percepatan investasi. Sub-model aktivitas ekonomi dihubungkan dengan sub-model populasi melalui faktor lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan investasi. Terhadap sub-model ketersediaan ruang, aktivitas ekonomi dihubungkan melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Sub-model ketersediaan ruang menggambarkan dinamika kebutuhan dan penggunaan ruang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang terlibat dalam sub-model ini meliputi: lahan total, kawasan lindung daratan, konversi kawasan lindung daratan, lahan tersedia, penggunaan lahan perkotaan, penggunaan lahan perdesaan, penggunaan lahan pertanian, penggunaan lahan lain, perairan total, perairan tangkap, kawasan lindung perairan, perairan daerah kerja pelabuhan, perairan daerah kepentingan pelabuhan, alur pelayaran, perairan kepentingan TNI-AL, perairan untuk pariwisata, perairan tersedia, konversi kawasan lindung, permukiman per kapita, prasarana per kapita, reklamasi pantai, degradasi sumberdaya pesisir, fraksi ruang terpakai, kendala ruang, inkonsistensi tata ruang, dan laju konversi pantai. Sub-model ketersediaan ruang dihubungkan dengan sub-model populasi melalui faktor kendala ruang-percepatan emigrasi, serta pertambahan pendudukkebutuhan permukiman dan prasarana; sedangkan terhadap sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. 3.7.2
Blok bangunan dasar dan persamaan dalam model Blok bangunan dasar dalam bahasa Stella yang digunakan adalah meliputi
stok (stocks), aliran (flows), pengubah (converter), penghubung (connectors), dan awan (sink/source). Masing-masing blok dasar tersebut mempunyai simbol dan arti sebagai berikut. Stok merupakan akumulasi dari materi yang mencerminkan kondisi atau keadaan sistem pada titik waktu tertentu. Aliran merupakan aliran materi, sebagai indikasi aktivitas dalam sistem, dari atau yang atau ke luar stok; atau dari dan ke awan.
!
"
#!$ $
65 Pengubah merupakan pengkonversi input menjadi output, dapat mewakili baik materi maupun informasi.
Penghubung merupakan alur informasi sebagai penghubung antara stok ke pengubah, stok ke aliran, antaraliran, pengubah ke aliran, atau antarpengubah. Awan merupakan sumber dari materi yang tidak didefinisikan, dan juga merupakan tempat mengalirnya materi yang tidak didefinisikan. Semua persamaan yang digunakan dalam pengembangan model bersifat deterministik. Bentuk persamaan dasar yang digunakan dalam pengembangan model adalah sebagai berikut: Persamaan stok Persamaan stok menghitung akumulasi dari suatu aliran terhadap waktu, dengan bentuk dasar diberikan pada persamaan berikut (HPS 1990 dan 1994):
stock =
tn
flow dt
…………………………….………………….(1)
t0
Persamaan stock merupakan integral definit yang dibentuk dari aliran dalam rentang waktu awal (t0) sampai waktu akhir (tn). Di dalam model, persamaan stok memiliki bentuk dasar sebagai berikut: STOCK(t) = STOCK(t - dt) + (INFLOW – OUTFLOW)*dt
..…..………(2)
Persamaan di atas menyatakan bahwa nilai stok saat ini (t) merupakan jumlah dari nilai stok di masa lalu (t - dt) ditambah dengan perubahan akibat aliran yang mempengaruhi stok tersebut selama selang waktu (dt). Lama waktu (dt) disebut dengan waktu komputasi, atau interval solusi. Persamaan aliran Persamaan aliran digunakan untuk menghitung nilai dari suatu aliran masuk atau keluar dari atau ke dalam stok, dengan persamaan dasar diberikan sebagai berikut (HPS 1990 dan 1994):
!
"
#!$ $
66
flow = d ( stock)/dt
.……………………………………….……... (3)
Persamaan aliran merupakan turunan (diferensial) dari persamaan stok. Di dalam model, persamaan aliran dapat dibentuk dari beragam persamaan seperti aditif, multiplikatif, eksponensial, ataupun bentuk lainnya, dengan input dari pengubah, stok, ataupun aliran yang lain. Di dalam model, persamaan aliran tidak memiliki bentuk standar tertentu, dan tergantung pada struktur kebijakan yang ada pada sistem. Panduan untuk pendefinisian persamaan aliran, adalah: •
Pada umumnya persamaan aliran tidak dapat mengandung unsur dt, kecuali dalam pemodelan akhir tahun, pemodelan deret waktu, dan sebagai pembatas.
•
Dependensi antar aliran harus dihindari, karena menimbulkan kesalahan melingkar, yaitu kesalahan pendefinisian sistem akibat ketergantungan antar variabel yang bersifat siklis, sehingga program tidak dapat menentukan variabel mana yang dijadikan acuan awal dan simulasi tidak dapat dijalankan.
Persamaan pembantu Persamaan pembantu (auxiliary) merepresentasikan komputasi informasi dalam sistem umpan balik. Persamaan pembantu di dalam model diberikan oleh blok dasar pengubah, yang dapat merupakan suatu konstanta, ataupun persamaan yang dapat berbentuk aditif, multiplikatif, eksponensial, ataupun bentuk lainnya, dengan input dari stok, aliran, ataupun pengubah yang lain. Dalam melakukan representasi sistem ke dalam persamaan matematis, persamaan pembantu sulit ditentukan tanpa mengetahui informasi yang mempengaruhi variabel pembantu tersebut. Sama halnya dengan persamaan aliran, persamaan pembantu tidak memiliki bentuk standar, namun ada batasan yang harus diperhatikan : •
Persamaan pembantu tidak dapat mengandung unsur dt pada sisi kanan persamaan.
•
Sebuah peubah pembantu secara umum bergantung pada stok atau pembantu lainnya.
!
"
#!$ $
67 •
Perumusan sekumpulan persamaan pembantu secara simultan, misalnya susunan peubah pembantu yang membentuk lingkaran tanpa ada stok, akan menimbulkan pesan kesalahan.
Penundaan •
Dalam sistem informasi-umpan balik, adanya penundaan (delay) akan menciptakan karakteristik dinamis dari suatu sistem. Terdapat dua bentuk penundaan, yaitu: penundaan fisik/material dan penundaan informasi.
3.8
Analisis SIG Analisis sistem informasi geografis (SIG) dilakukan untuk mendapatkan
penyajian spasial dari skenario perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Analisis SIG dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Arc/Info dan Arc View dari ESRI (2001). Tahap analisis dimulai dengan pembentukan basis data yang disusun dari data atribut dan spasial, serta informasi tata ruang saat ini. Data dan informasi tersebut dilengkapi dengan interpretasi citra satelit, dan selanjutnya dilakukan penelitian lapang, untuk validasi dan melengkapi data lapangan. Data dan informasi dari citra satelit sangat diperlukan, karena dapat menyajikan informasi kondisi fisik wilayah eksisting secara lengkap dalam satu kesatuan. Citra yang digunakan adalah Landsat-7 ETM path 123 row 64, tahun 2001 dan 2009. Tahapan interpretasi citra secara ringkas disajikan pada Gambar 17. Berdasarkan basis data yang telah dibangun, analisis SIG dilakukan malalui tahap dijitasi data spasial (peta) yang berasal dari peta tematik berbentuk cetakan, yang dilengkapi dengan data atribut untuk yang menghasilkan peta dijital. Peta yang dihasilkan meliputi peta dasar (administrasi) dan tematik (kelas lereng, penggunaan lahan, batimetri, dan sebagainya). Selanjutnya analisis dilakukan untuk mendapatkan kawasan lindung. Tahap analisis adalah dengan melakukan tumpang tindih antarpeta dasar dan tematik, kemudian dilakukan penyanggaan dengan memasukkan kriteria kawasan lindung baik untuk daratan maupun perairan.
!
"
#!$ $
68
Gambar 17 Bagan alir interpretasi citra satelit Setelah didapatkan kawasan lindung, kawasan lain di luar kawasan lindung merupakan kawasan budidaya (baik pertanian, perkotaan, ataupun perairan). Kawasan budidaya selanjutnya dianalisis untuk menentukan kesesuaian bagi berbagai peruntukan ruang kawasan budidaya daratan dan perairan. Tahap analisis dilakukan dengan cara tumpang tindih antarpeta dasar dan tematik, kemudian memasukkan kriteria untuk masing-masing kesesuaian peruntukan ruang.
!
"
#!$ $
69 Pada akhirnya dari analisis SIG yang diintegrasikan dengan analisis sistem, didapatkan arahan kebijakan perencanaan tata ruang wilayah pesisir pada keseluruhan wilayah penelitian yang disajikan dalam bentuk peta, dengan skala perencanaan tingkat provinsi yaitu minimal 1:250.000. Secara ringkas bagan alir analisis SIG, disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Bagan alir analisis sistem informasi geografis (SIG) !
"
#!$ $
70 3.9
Data dan Analisis Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data biofisik dan sosial
ekonomi, baik yang bersifat spasial maupun atribut yang berhubungan dengan pemanfatan ruang wilayah pesisir. Secara ringkas, data dan informasi yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Data dan informasi yang dikumpulkan No. Data dan Informasi Sumber 1. Dokumen RTRW Provinsi Bappeda Lampung, Kota Bandar Lampung, dan Kabupaten Lampung Selatan 2. Peta Perairan skala 1:75.000, Dishidros TNI-AL 1:25.000, dan 1:20.000 3. Peta Peta land systems, land Bakosurtanal suitability, dan 1:250.000. Peta Lingkungan Pantai Indonesia Skala 1:250.000. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250.000. 4. Data hidrooseanografi dan kualitas Dishidros TNI-AL, PT. Pelindo II, perairan Teluk Lampung Bappeda, Bapedalda 5. Data ekosistem utama pesisir, Dinas Perikanan, Bapedalda perikanan, degaradasi sumberdaya, serta informasi lain yang relevan. 6. Dokumen perencanaan dan hasil- Bappeda, Bapedalda, PT. Pelindo II, hasil penelitian yang relevan Dinas Perikanan dan Kelautan. 7. Informasi kepelabuhan, lalu lintas PT. Pelindo II barang dan manusia, peta alur pelayaran, kepadatan pelayaran 8. Demografi dan sosial ekonomi BPS 9. Produk Domestik Regional Bruto BPS (PDRB) dan perekonomian wilayah 10. Investasi dan pertumbuhannya Badan Penanaman Modal Daerah 11. Kepariwisataan BPS dan Dinas Pariwisata 12. Reklamasi pantai dan degradasi Bappeda, Bapedalda, Dinas sumberdaya pesisir Perikanan 13. Kawasan terbangun dan belum Bappeda, Bapedalda, BPN, Dinas terbangun Tata Kota, Analisis SIG 14. Citra satelit LAPAN 15. Kondisi eksisting aspek biofisik Penelitian lapang; analisis citra satelit dan sosial ekonomi wilayah dan ground check 16 Kebutuhan pemangku kepentingan Participatory prospective analysis
!
"
#!$ $
71 Sebagian besar data dan informasi yang disajikan pada Tabel 4, merupakan data dan informasi sekunder. Data dan informasi primer dikumpulkan dari penelitian lapang dengan melakukan observasi yang meliputi: kondisi sosial ekonomi wilayah. Secara umum, untuk mendapatkan data primer, dilakukan untuk pengamatan kondisi sosial ekonomi pada desa nelayan di wilayah pesisir. 3.9.1
Analisis biofisik wilayah Analisis biofisik wilayah meliputi analisis kesesuaian ruang (lahan dan
perairan) untuk kawasan lindung dan konservasi, serta kawasan budidaya dan pemanfaatan umum perairan. Alat utama analisis biofisik wilayah adalah sistem informasi geografis (SIG) yang menggunakan data sekunder (sebagaimana digambarkan pada Sub-Bab 3.8). Kriteria yang digunakan dalam analisis biofisik wilayah, disajikan pada Lampiran 5, yang meliputi: kesesuaian kawasan lindung (daratan) dan kawasan konservasi (perairan) berupa (terumbu karang dan padang lamun); kesesuaian kawasan budidaya pertanian pangan (tanaman semusim) dan perkebunan (tanaman tahunan), kawasan budidaya pesisir (tambak), kawasan bisnis dan industri, kawasan permukiman, dan prasarana wilayah; serta kawasan pemanfaatan umum (perairan) untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap. 3.9.2
Analisis pemilihan skenario Dalam analisis analisis prospektif partisipatif, partisipan menyusun
beberapa skenario yang mungkin terjadi di wilayah Teluk Lampung. Semua skenario dari partisipan, selanjutnya akan dipresentasikan ke dalam model dinamik dan disimulasi. Salah satu dari hasil simulasi skenario tersebut, selanjutnya dipilih yang dianggap paling mampu mengakomodasi kebutuhan partisipan (pemangku kepentingan), dan dijadikan sebagai dasar dalam kebijakan pola dan struktur ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Alat yang digunakan dalam memilih skenario adalah analisis pembuatan keputusan multikriteria (MCDM), berupa pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja. Indeks kinerja merupakan berbagai kriteria dari suatu sistem, yang diolah dengan berbagai teknik atau metode perhitungan, sehingga menghasilkan nilainilai numerik sebagai indeks. Indeks tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar bagi pengambilan suatu keputusan. Metode yang digunakan dalam pengambilan
!
"
#!$ $
72 keputusan berbasis indeks kinerja, adalah indeks kinerja komposit (composite performance index, CPI), karena dapat menggunakan berbagai kriteria yang tidak seragam (Marimin 2004). CPI merupakan indeks komposit dari berbagai kriteria, yang didapat dari pemodelan. Hasil perbandingan kriteria yang ditransformasi dapat digunakan untuk menentukan penilaian atas peringkat dari berbagai alternatif. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j
A(i + 1j)
=
nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j
X(i + 1j)
=
nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j
Pij
=
bobot kepentingan kriteria ke-j
Iij
=
indeks altenatif ke-i
Ii
=
indeks gabungan kriteria pada altenatif ke-i
Untuk pengambilan keputusan peringkat nilai alternatif, dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai alternatif dan simpangan bakunya. Skenario dengan peringkat nilai alternatif tertinggi (I) merupakan skenario yang akan dipilih. Penentuan peringkat nilai alternatif adalah sebagai berikut: 1) Peringkat I adalah: Jika nilai alternatif>dari rata-rata nilai alternatif+ simpangan baku; 2) Peringkat II adalah: Jika rata-rata nilai alternatif
!
"
#!$ $
73 3.9.3
Analisis ekonomi wilayah dan kewilayahan Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang (Hoover dan Giarratani 1999; Rustiadi et al. 2009). Dalam kaitannya dengan perencanaan tata ruang, analisis ekonomi wilayah menjadi penting dilakukan (Rustiadi et al. 2009; Djakapermana 2006). Analisis ekonomi wilayah dan analisis kewilayahan yang dilakukan meliputi location quotient (LQ), localization index (LI), specialization index (SI), dan skalogram. Analisis tersebut, digunakan untuk penggambaran kondisi umum wilayah, dan juga digunakan dalam penentuan struktur ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. a. Analisis location quotient (LQ) Analisis LQ merupakan cara untuk mengetahui kemampuan suatu subwilayah dalam sektor/kegiatan tertentu. Hasil dari analisis ini dapat memberikan gambaran mengenai perbandingan relatif kemampuan suatu sub-wilayah terhadap wilayah yang lebih luas (tinggi) dalam sektor/kegiatan tertentu. Analisis ini dilakukan pada dua tingkat unit analisis, yaitu: (1) tingkat provinsi dengan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai sub-wilayah dan Provinsi Lampung sebagai wilayah yang lebih tinggi; serta (2) tingkat kawasan dengan kecamatan pesisir Teluk Lampung sebagai sub-wilayah dan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai wilayah yang lebih tinggi. Data yang digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan (ADHK) sembilan sektor tahun 2007.
!
"
#!$ $
74 Persamaan dalam perhitungan perbandingan relatif nilai LQ adalah sebagai berikut:
X ij /X i.
LQij =
X .j /X ..
…………………………………..……….……... (8)
Keterangan: LQij = nilai LQ sektor ke-j di sub-wilayah ke-i (wilayah pesisir untuk tingkat provinsi, atau wilayah kecamatan untuk tingkat kawasan) Xij
= produk sektor ke-j di sub-wilayah ke-i (wilayah pesisir untuk tingkat provinsi, atau wilayah kecamatan untuk tingkat kawasan)
Xi.
= total produk seluruh sektor di sub-wilayah ke-i (wilayah pesisir untuk tingkat provinsi, atau wilayah kecamatan untuk tingkat kawasan)
X.j
= produk sektor ke-j di wilayah yang lebih tinggi (wilayah Provinsi Lampung untuk tingkat provinsi, atau wilayah pesisir Teluk Lampung untuk tingkat kawasan)
X..
= total produk seluruh sektor di wilayah yang lebih tinggi (wilayah Provinsi Lampung untuk tingkat provinsi, atau wilayah pesisir Teluk Lampung untuk tingkat kawasan)
Struktur perumusan LQ memberikan beberapa nilai sebagai berikut : • LQ>1,
menunjukan bahwa sektor yang bersangkutan di sub-wilayah yang diamati memiliki potensi surplus
• LQ<1,
menunjukan bahwa sektor yang bersangkutan di sub-wilayah yang diamati memiliki kecenderungan impor dari wilayah lain.
• LQ=1,
menunjukan bahwa sektor yang bersangkutan di sub-wilayah yang diamati telah mencukupi.
b. Analisis localization index (LI) Analisis
LI
merupakan
penghitungan
indeks
lokalisasi
yang
menggambarkan pemusatan relatif suatu aktivitas dibandingkan dengan kecenderungan total di dalam wilayah. Umumnya indeks ini digunakan untuk mengetahui persentase distribusi suatu aktivitas tertentu di dalam wilayah (Isard
!
"
#!$ $
75 et.al. 1976 diacu dalam Rustiadi et al. 2009). digunakan
untuk
menentukan
wilayah
mana
Secara umum analisis ini yang
potensial
untuk
mengembangkan aktivitas tertentu. Analisis ini dilakukan pada tingkat kawasan dengan unit analisis adalah kecamatan di pesisir Teluk Lampung sebagai subwilayah dan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai wilayah yang lebih tinggi. Data yang digunakan adalah PDRB-ADHK sembilan sektor tahun 2007. Persamaan LI adalah sebagai berikut:
LI
J
=1
n
2
I =1
X X
ij
−
.j
X X
i.
…………………………………….……... (9)
..
Keterangan: LIj
= nilai LI sektor ke-j di wilayah pesisir Teluk Lampung.
Xij
= produk sektor ke-j di sub-wilayah ke-i (wilayah kecamatan)
Xi.
= total produk seluruh sektor di sub-wilayah ke-i (wilayah kecamatan)
X.j
= produk sektor ke-j di wilayah pesisir Teluk Lampung
X..
= total produk seluruh sektor di wilayah pesisir Teluk Lampung.
Interpretasi nilai indeks adalah sebagai berikut: • Nilai LI mendekati 0 berarti perkembangan suatu sektor di kecamatan tertentu cenderung memiliki tingkat yang sama dengan perkembangan wilayah pesisir Teluk Lampung. Tingkat perkembangan sektor akan relatif indifferent di seluruh lokasi, atau sektor tersebut mempunyai peluang yang relatif sama di seluruh lokasi. • Nilai LI mendekati 1 berarti sektor yang diamati akan cenderung berkembang memusat di kecamatan tertentu, atau sektor yang diamati akan berkembang lebih baik jika dilakukan di kecamatan tertentu. c. Analisis specialization index (SI) Analisis SI merupakan penghitungan indeks yang menggambarkan pembagian wilayah berdasarkan sektor-sektor yang ada. Lokasi tertentu menjadi pusat bagi sektor tertentu. Analisis ini dilakukan pada tingkat kawasan dengan unit analisis adalah kecamatan di pesisir Teluk Lampung sebagai sub-wilayah dan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai wilayah yang lebih tinggi. Data yang
!
"
#!$ $
76 digunakan adalah PDRB-ADHK sembilan sektor tahun 2007. Persamaan SI adalah sebagai berikut:
SI i = 1
X X
P
2
j =1
ij
−
i
X X
.j
…………………………………….…….. (10)
..
Keterangan: SIi
= nilai SI di sub-wilayah ke-i (kecamatan pesisir Teluk Lampung).
Xij
= produk sektor ke-j di sub-wilayah ke-i (wilayah kecamatan)
Xi.
= total produk seluruh sektor di sub-wilayah ke-i (wilayah kecamatan)
X.j
= produk sektor ke-j di wilayah pesisir Teluk Lampung
X..
= total produk seluruh sektor di wilayah pesisir Teluk Lampung.
Interpretasi nilai indeks adalah sebagai berikut: • Nilai SI mendekati 0 berarti tidak ada kekhasan, yang bermakna bahwa sub-wilayah (kecamatan pesisir) yang diamati tidak memiliki sektor khas yang relatif menonjol perkembangannya dibandingkan dengan kecamatan lain. • Nilai SI mendekati 1 berarti terdapat kekhasan, yang bermakna bahwa sub-wilayah (kecamatan pesisir) yang diamati memiliki sektor khas yang perkembangannya relatif menonjol
dibandingkan
dengan
kecamatan lain. d. Analisis shift-share Analisis
pergeseran-pertumbuhan
(shift-share)
ditujukan
untuk
menggambarkan pergeseran struktur aktivitas/sektor ekonomi di suatu lokasi (subwilayah) tertentu dibandingkan dengan suatu wilayah referensi yang lebih tinggi, dalam dua titik waktu. Struktur aktivitas dari analisis ini menggambarkan kemampuan kompetisi sektor tertentu di suatu wilayah secara dinamis (Hoover dan Giarratani 1999). Analisis ini dilakukan pada tingkat provinsi dengan unit analisis adalah wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai sub-wilayah dan Provinsi Lampung sebagai wilayah yang lebih tinggi. Data yang digunakan adalah PDRBADHK sembilan sektor pada dua titik tahun yaitu 2003 dan 2007. Gambaran kinerja dari analisis ini dapat dijelaskan dari 3 komponen, sebagai berikut:
!
"
#!$ $
77 • Komponen laju pertumbuhan total, menggambarkan pertumbuhan atau pergeseran struktur perekonomian wilayah pesisir Teluk Lampung yang dipengaruhi oleh pergeseran pertumbuhan perekonomian Provinsi Lampung. • Komponen pergeseran proporsional, menunjukkan pertumbuhan sektor tertentu di wilayah pesisir Teluk Lampung secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan seluruh sektor dalam wilayah Provinsi Lampung. • Komponen pergeseran diferensial, menunjukkan pertumbuhan sektor tertentu di wilayah pesisir Teluk Lampung dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor tersebut dalam wilayah Provinsi Lampung. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan) sektor tersebut di wilayah pesisir Teluk Lampung terhadap sektor yang sama di subwilayah lain di Provinsi Lampung. Persamaan analisis pergeseran-pertumbuhan adalah sebagai berikut:
SSA
=
X .. X ..
( t1)
(t 0)
−1 +
X X
i ( t1)
−
i (t 0 )
S
X .. X ..
( t1)
(t 0)
+
X X
ij ( t 1)
−
ij ( t 0 )
P
X X
i ( t1)
… (11)
i (t 0)
D
Keterangan: S
= komponen pertumbuhan total
P = komponen pergeseran proporsional D = komponen pergeseran diferensial X.. = nilai produk seluruh sektor dalam wilayah Provinsi Lampung. X.i = nilai produk seluruh sektor dalam wilayah pesisir Teluk Lampung. Xij = nilai produk sektor ke-j di wilayah pesisir Teluk Lampung. t1 = titik tahun akhir (2007) t0 = titik tahun awal (2003) e. Analisis skalogram Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki sub-wilayah, dimana seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap sub-wilayah didata dan disusun dalam satu matriks. Sub-wilayah yang memiliki jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih banyak, akan menempati hirarki yang lebih tinggi
!
"
#!$ $
78 dibandingkan dengan unit wilayah yang lain. Unit analisis yang digunakan adalah tingkat kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampungsebagai sub-wilayah. Data yang digunakan adalah data potensi desa (Podes) dari BPS (2008), yang digabungkan untuk masing-masing kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung. Jumlah jenis fasilitas yang dianalisis sebanyak 67 jenis, yang secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 13. Prosedur kerja penyusunan hirarki wilayah kecamatan berdasarkan fasilitas adalah sebagai berikut: • Menyusun peubah yang digunakan sebagai penyusun indeks hirarki dalam bentuk matriks, dengan kecamatan sebagai baris dan fasilitas sebagai kolom. Dalam analisis ini, semua peubah (berjumlah 67 jenis fasilitas, disajikan pada Tabel Lampiran 13) adalah berbanding lurus dengan hierarki wilayah. Semakin besar nilai peubah tersebut mencirikan wilayah dengan tingkat perkembangan lebih tinggi. • Tahap selanjutnya adalah menghitung bobot indeks penciri dengan persamaan berikut:
I
ij
=
X n X a ij
.j
………………………..…………………………(12) j
Keterangan: Iij = bobot indeks penciri untuk sub-wilayah ke-i (kecamatan pesisir di Teluk Lampung) dan fasilitas ke-j, Xij
= jumlah fasilitas ke-j yang terdapat di wilayah kecamatan ke-i (kecamatan pesisir di Teluk Lampung),
X..j
= jumlah fasilitas ke-j yang terdapat di seluruh wilayah kecamatan pesisir di Teluk Lampung,
aj = jumlah kecamatan pesisir di Teluk Lampung yang memiliki fasilitas ke-j, n = jumlah kecamatan di wilayah pesisir di Teluk Lampung (10 kecamatan), i = 1, 2, ..., n, menunjukkan sub-wilayah (10 kecamatan pesisir di Teluk Lampung) j = 1, 2, ..., p, menunjukkan jenis fasilitas (67 jenis).
!
"
#!$ $
79 • Tahap berikutnya adalah melakukan pembakuan indeks untuk seluruh peubah, sehingga didapatkan indeks baku dengan persamaan berikut:
I − min(I ) s ij
K ij =
j
……………………………………………(13)
j
Keterangan: Kij = nilai baku indeks hierarki untuk wilayah kecamatan ke-i dan fasilitas ke-j, Iij = bobot indeks penciri untuk sub-wilayah ke-i (kecamatan pesisir di Teluk Lampung) dan fasilitas ke-j, min(I)j = nilai minimum indeks yang terdapat pada fasilitas ke-j di seluruh wilayah kecamatan pesisir Teluk Lampung, sj = simpangan baku pada fasilitas ke-j di seluruh wilayah kecamatan pesisir Teluk Lampung. • Tahap berikutnya menjumlahkan indeks baku untuk setiap wilayah kecamatan (per baris), sehingga diperoleh jumlah indeks pelayanan per wilayah kecamatan (IPi). Kemudian juga dihitung nilai rata-rata indeks wilayah kecamatan ( IP ), dan simpangan baku indeks wilayah kecamatan (s), dengan persamaan sebagai berikut:
IP.i =
IP = s=
p j =1
K ij
……………………………………………(14)
IPi
……………………………………………(15)
n ( IPi − IP)
2
……………………………………(16)
n −1
Keterangan: IPi = nilai baku indeks pelayanan kecamatan ke-i, IP = nilai rata-rata indeks pelayanan wilayah kecamatan pesisir Teluk
Lampung,
!
"
#!$ $
80 s
= simpangan baku indeks pelayanan wilayah kecamatan pesisir Teluk Lampung,
n
= jumlah wilayah kecamatan pesisir Teluk Lampung (10 kecamatan).
• Tahap paling akhir adalah menetapkan hierarki wilayah kecamatan berdasarkan nilai indeks pelayanan, yaitu peringkat I, II, dan III, dengan kriteria sebagai berikut. 1) Peringkat I adalah: Jika IPi / IP + 2s; 2) Peringkat II adalah: Jika IP + 2s > IPi / IP ; 3) Peringkat III adalah: Jika IPi < IP . 3.9.4
Metode manual alokasi pola ruang Untuk menangani keterbatasan kemampuan peneliti dalam pembuatan
program komputer antarmuka antara sistem dinamik dan sistem informasi geografis (SIG) (yang ditunjukkan oleh “ keterkaitan” pada Gambar 13), analisis dilakukan secara manual. Komponen “ keterkaitan” pada kerangka analisis tidak berlangsung secara otomatis, melainkan dilakukan oleh peneliti berupa pemasukan data dan informasi dari sistem dinamik ke SIG dan sebaliknya. Pada metode manual alokasi pola ruang, kebutuhan ruang yang didapatkan dari analisis sistem dinamik disandingkan dengan kesesuaian ruang yang didapatkan dari analisis SIG. Dari persandingan tersebut dapat diketahui apakah secara fisik wilayah pesisir Teluk Lampung dapat memenuhi kebutuhan ruang yang dikehendaki oleh sistem, sesuai dengan skenario yang dipilih. Alokasi pola ruang dilakukan pada skala provinsi, yaitu pada tingkat ketelitian peta dengan skala 1:250.000, yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah. Dalam penetapan alokasi pola ruang, tidak dipertimbangkan aspek penguasaan/pemilikan lahan/ruang, melainkan hanya mempertimbangkan status kawasan (seperti kawasan lindung/konservasi, perairan TNI-AL, dan daerah lingkungan kerja dan kepentingan (DLKr dan DLKp) untuk pelabuhan yang telah ada penentapannya).
!
"
#!$ $
81 Distribusi spasial alokasi pola ruang, selanjutnya dilakukan dengan mengacu pada kesesuaian ruang pada analisis SIG. Alokasi peruntukan pola ruang dilakukan terutama berbasiskan prinsip kontinum pada pola ruang eksisting yang telah memenuhi kaidah kesesuaian sebelumnya. Metode yang diterapkan adalah melakukan tumpang tindih antarpeta pada pola ruang eksisting dan peta kesesuaian ruang, serta penyanggaan (terutama untuk sempadan sungai dan pantai).
!
"
#!$ $
82
!
"
#!$ $
4 KONDISI UMUM DAN ANALISIS WILAYAH PESISIR TELUK LAMPUNG 4.1
Fisik Wilayah
4.1.1
Luas wilayah Wilayah pesisir Teluk Lampung yang termasuk di dalam wilayah
penelitian adalah meliputi daratan dan perairan, dengan posisi geografis terletak antara 104o56’-105o45’ BT dan 5o25’-5o59’ LS. Secara administratif, wilayah penelitian terletak pada Kabupaten Pesawaran, Kota Bandar Lampung, dan Kabupaten Lampung Selatan. Luas total wilayah daratan adalah 127.902 ha, dan luas perairan adalah 161.178 ha. Gambaran luas wilayah pesisir Teluk Lampung disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 Luas daratan wilayah penelitian No.
Kabupaten/Kota
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Bandar Lampung Bandar Lampung Bandar Lampung Pesawaran Pesawaran
Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang Padang Cermin Punduh Pidada Jumlah
Geologi pantai dan sistem lahan Secara geomorfologis, daratan wilayah pesisir Teluk Lampung tergolong
sebagai pedataran pantai sempit dan perbukitan, dengan batuan dominan meliputi endapan aluvium dan rawa, batu gamping terumbu, dan endapan gunung api muda berumur quarter (Qhv). Topografi wilayah yang berbatasan langsung dengan laut (Teluk Lampung) memiliki kelerengan datar (0-3%), dengan elevasi 0-10 m dari permukaan laut (dpl); sedangkan wilayah ke arah daratan memiliki kelerengan beragam mulai dari landai (3-8%) sampai dengan sangat curam (>40%), dengan elevasi beragam mulai dari 10 sampai dengan >1.000 m dpl. Kelompok relief pada wilayah ke arah laut tergolong dataran (flat); dan ke arah daratan beragam yaitu berombak (undulating), bergelombang (rolling), dan berbukit (hummocky, hillocky, dan hilly) (Wiryawan et al., 1999). Satuan geologi lingkungan wilayah ke arah pantai meliputi pedataran (GL-1, GL-2, dan GL-5) dan kaki perbukitan dan pergunungan (GL-3 dan GL-4), yang secara ringkas disajikan pada Tabel 7. Topografi pesisir Teluk Lampung sangatlah beragam, mulai dari dataran pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan ketinggian permukaan 0 sampai 1.281 m dpl. Daerah dengan topografi perbukitan hingga bergunung membentang dari arah utara ke selatan dengan puncak tertinggi pada gunung Rajabasa di Kabupaten Lampung Selatan, dengan ketinggian 1.280 m dpl; dan Gunung Ratai di Kabupaten Pesawaran, dengan ketinggian 1.681 m dpl. Sistem lahan (land system) di wilayah pesisir Teluk Lampung sangat beragam, mulai dari dataran rawa pantai sampai pada pegunungan terjal. Berdasarkan Peta Land systems and sand suitability Sumatra, Series RePPProt 1988 (Sheet 1110 Tanjungkarang), dapat diidentifikasi 22 sistem lahan di dalam wilayah penelitian. Sistem lahan dominan adalah Bukit Balang (BBG) dan Tanggamus (TGM), yang keduanya merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng yang sangat curam (41-60%). Adapun sistem lahan dataran yang dominan adalah Sungai Aur (SAR) dan Muara Beliti (MBI), dengan kemiringan lereng 915%. Berdasarkan klasifikasi Soil Taxonomy, tanah di wilayah pesisir Teluk Lampung meliputi 5 ordo, yaitu Entisols (Fluvaquents, Hydraquents, Sulfaquents, Troporthents, dan Tropofluvents), Inceptisols (Dystropepts, Humitropepts, Tropaquepts, Dystrandepts, Eutropepts, dan Hydrandepts), Alfisols (Tropudalfs),
!
"
#!$ $
85 Ultisols (Tropudults, Tropohumults, dan Paleudults), serta Oxisols (Haplorthox). Jenis tanah dominan adalah Dystropepts dan Tropudults, yang terutama terdapat pada sistem lahan BBG, TGM, SAR, dan MBI. Ringkasan informasi mengenai sistem lahan di disajikan pada Tabel 8, dan secara lengkap pada Lampiran 2. Adapun sebaran spasial sistem lahan disajikan pada Gambar 19. Tabel 7 Satuan geologi lingkungan pantai Teluk Lampung No. 1.
2.
3.
4.
Penciri
GL-1 Morfologi Pedataran rendah, lereng 0-3%, muara sungai dan sekitarnya Litologi Aluvium: lempung, lanau, dan pasir tufaan Endapan rawa: lumpur, lanau dan pasir, batu pasir sisipan, dan batu lempung Jenis pantai Relief rendah, melengkung halus Karakteristik Endapan lumpur, pasir, lanau setempat, terdapat koral
5.
Sifat fisik
6.
Proses geologi
7.
Air tanah
GL-2 Pedataran rendah
Aluvium: kerikil, lempung, dan sisa organisme laut.
Satuan Geologi GL-3 GL-4 Kaki Kaki perbukitan, gunung lereng 3-25%
Relief rendah Relief tinggi Relief tinggirendah Pasir pantai, Pasir, kerikil, Pasir, sisa kerakal, kerikil, organisme bongkah, kerakal, laut, batuan dasar bongkah, berlumpur. batuan dasar, pecahan koral Lumpur lembek, Pasir pantai, Breksi Daya daya dukung putih berbongkah, dukung rendah kekuningan, daya dukung sedang halus-kasar, sedangdaya dukung tinggi rendah Sedimentasi Sedimentasi Runtuhan Runtuhan muara sungai, sungai, dan bongkah tanah/batuan gosong pasir abrasi tebing pantai di tebing pantai pantai Akuifer Akuifer Akuifer Air tanah produktif potensi produktif produktif sedang, intrusi sedang, sedang, dari air asin muka air muka air pegunungan tanah 0-1 m, tanah 1-3 m payau
Sumber: Wiryawan et al. (1999)
!
"
#!$ $
GL-5 Pedataran rendah
Tufa, batu apung, batu lempung, batu pasir, batu gamping koral
Relief rendah Pasir pantai dan lumpur, bongkah batuan
Pasir putih kekuningan, daya dukung rendah Sedimentasi sungai
Akuifer produktif
86 Tabel 8 Ringkasan sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung No.
Keterangan: NA = tidak tersedia data Sumber: Peta land systems and land suitability Sumatra, Sheet 1110 Tanjungkarang Series RePPProt (1988)
!
"
% 1,73
#!$ $
Gambar 19 PETA SISTEM LAHAN
!
"
#!$ $
87
88 4.1.3
Fisik kimia perairan Batimetri Teluk Lampung merupakan salah satu dari dua teluk di ujung paling
Selatan Pulau Sumatera, Kota Bandar Lampung terletak pada pangkal teluk, dan bagian mulut teluk (arah Selatan-Tenggara) berhadapan langsung dengan Selat Sunda yang merupakan perairan penghubung antara Laut Jawa di sebelah utara dan Samudera Hindia di selatan. Deskripsi batimetri Teluk Lampung didasarkan pada Peta Sumatera-Pantai Selatan, Teluk Kalumbayan hingga Pulau-pulau Tiga skala 1:75.000 dengan inset Pelabuhan Panjang skala 1:25.000 dan Pelabuhan Batubara Tarahan skala 1:20.000 (Dishidros TNI-AL 1998). Dasar laut di sisi utara teluk (pangkal teluk) relatif landai, dengan kedalaman -5 sampai dengan -20 m LWS. Semakin ke arah selatan, kedalaman dasar laut semakin meningkat, dan cenderung semakin curam, di Tanjung Tua dan arah selatan Pulau Legundi (Kabupaten Pesawaran), dasar laut menjadi sangat curam dengan kedalaman mencapai -100 m LWS pada jarak sekitar 1 km dari pantai. Pada sisi timur teluk (Kabupaten Lampung Selatan), dasar laut masih relatif landai, dengan kedalaman terdalam sekitar -40 m LWS, seperti disajikan pada Gambar 20. Pasang surut Deskripsi mengenai pasang surut (pasut) Teluk Lampung didapatkan dari informasi Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), PT. Pelindo II Cabang Panjang (2001), serta pengolahan data pasut dari Dishidros TNI-AL (2003). Karakteristik pasut Teluk Lampung adalah sebagai berikut: Tipe pasut semi diurnal campuran, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Pasang dan surut pertama akan berbeda dengan yang kedua, yang biasa disebut sebagai ketidaksamaan harian. Dalam satu bulan terjadi dua kali pasang tinggi dan dua kali pasang rendah. Pada saat pasang tinggi maka akan terjadi pasang yang sangat tinggi dan surut yang sangat rendah. Sedangkan pada saat pasang rendah akan terjadi pasang dan surut yang sangat kecil. Pasut di kawasan pantai Teluk Betung, Bandar Lampung mempunyai kisaran tunggang pasut maksimal sebesar 143,8 cm.
!
"
#!$ $
89 Satu periode pasut di kawasan pantai Teluk Betung, Bandar Lampung adalah antara 10 jam hingga 14,5 jam. Arus dan Sedimen Arus di Teluk Lampung utamanya dibangkitkan oleh pergerakan massa air Samudera Hindia dan Laut Jawa. Massa air laut pasang Samudera Hindia dan Laut Jawa, masuk ke dalam teluk dari arah selatan ke arah utara dengan volume massa air yang cukup besar. Pulau-pulau yang berada di selatan menyebabkan terjadinya pembelokan arah massa air, sebagian kecil berbelok ke barat daya (sisi kiri teluk) dan sebagian besar ke timur laut (sisi kanan teluk) dengan arah akhir barat daya. Pembelokan gerakan massa air pasang sisi kanan membentur sisi kanan teluk, dan selanjutnya, terjadi pembelokan dengan arah timur-barat. Pada waktu air laut surut massa air akan keluar dari teluk (Helfinalis 2000). Arus di Teluk Lampung terdiri dari arus pasut yang dibangkitkan oleh pasut, dan arus non pasut yang utamanya dibangkitkan oleh angin. Data mengenai arus pasut yang diacu dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Arus pasut di Teluk Lampung No. Kedalaman Kondisi Pasut 1 0,2 D Surut Pasang 2 0,5 D Surut Pasang 3 0,8 D Surut Pasang
Arah (o) 258 344 206 294 103 334
V maks (knot) 0,34 0,40 0,26 0,36 0,34 0,34
Keterangan: D = kedalaman -16 m, lokasi perairan pantai di Kel. Srengsem, Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung Sumber : Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999)
Berdasarkan hasil kajian pada Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung (Wiryawan et al. 1999), iklim di perairan pesisir, terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin muson dan curah hujan yang tinggi. Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret. Berlawanan dengan arah angin, arus musim di Pantai Barat Lampung sepanjang tahun mengalir ke arah tenggara hingga barat daya.
!
"
#!$ $
Gambar 20 PETA PERAIRAN
90
!
"
#!$ $
91 Kondisi angin musim tersebut mempengaruhi gradien tekanan antara perairan di barat laut dan tenggara dari pantai barat Sumatera. Kekuatan arus berkisar antara 0,02-0,87 knot. Pada musim barat antara bulan november hingga maret, arus mengalir dengan kecepatan 0,52-0,87 knot dan mencapai kecepatan maksimum pada bulan desember. Arus pada musim barat ini mengalir dengan tetap menuju ke arah tenggara. Sedangkan arus pada musim timur antara bulan april hingga oktober melemah dengan kisaran kecepatan 0,02-0,70 knot. Pada bulan juli arus mencapai minimum, berkisar antara 0,02-0,10 knot. Pada mulut Teluk Lampung, kekuatan arus rata-rata bulanan berkisar antara 0,02-0,87 knot, dimana kecepatan maksimum terjadi pada bulan januari dan februari, dan kecepatan minimum pada bulan maret dan april. Arus rata-rata bulanan di Selat Sunda ini umumnya mengalir ke arah Samudera Hindia, kecuali pada bulan maret, agustus, dan oktober. Pada bulan maret, arus mengalir ke timur laut (dari Samudera Hindia menuju Laut Jawa) dengan kecepatan rata-rata 0,02 knot. Pada bulan agustus dan oktober, arus mengalir ke timur dengan kecepatan 0,45 knot pada agustus dan 0,10 knot pada oktober. Sebaran sedimen di Teluk Lampung cukup bervariasi mengikuti pola arus yang terjadi (Helfinalis 2000; Witasari dan Wenno 2000). Hasil penelitian Helfinalis (2000) di Teluk Lampung, menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dasar perairan yang dipengaruhi oleh arus pasut yang cepat akan didominasi pasir; dan sebaliknya yang dipengaruhi oleh pergerakan arus pasut lemah akan didominasi sedimen lumpur. Sedimen pasir yang berasal dari aliran sungai akan diendapkan di sekitar muara sungai, sedangkan lanau dan lempung diendapkan di dasar perairan lepas pantai. Gelombang Informasi gelombang di Teluk Lampung didasarkan pada hasil survei Dishidros TNI-AL (1994) di Teluk Ratai (bagian dari Teluk Lampung), serta data pengamatan gelombang dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999). Hasil survei Dishidros TNI-AL (1994) menunjukkan bahwa gelombang di Teluk Ratai pada musim barat memiliki ketinggian antara 0,5-0,75 m, dan pada saat cuaca buruk dapat mencapai lebih dari 1,5 m. Pada musim timur, tinggi gelombang antara 0,3-0,6 m. Menurut pencatatan Dishidros TNI-AL antara
!
"
#!$ $
92 tanggal 8 Januari sampai dengan 16 Februari 1994, menunjukkan tinggi gelombang berkisar antara 0,2-1,0 m. Berdasarkan data pengamatan tinggi gelombang maksimum dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), didapatkan informasi tambahan informasi gelombang Teluk Lampung. Pergerakan gelombang dominan yang terjadi adalah dari arah tenggara dan selatan dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 26,48% dan 31,83%. Tinggi gelombang maksimum yang paling dominan adalah >50 cm dengan persentase kejadian sebesar 58,59%. Secara ringkas data gelombang disajikan pada Tabel 10. Arah tenggara merupakan arah dominan berhembusnya angin. Hal ini terkait dengan orientasi Teluk Lampung yang menghadap ke arah Tenggara. Dengan kata lain, jika arah angin terbesar adalah dari barat laut misalnya, maka untuk pembangkitan gelombang di kawasan pantai Teluk Betung Bandar Lampung, tidak akan berpengaruh banyak. Oleh karena itu, pada pangkal teluk (Kota Bandar Lampung), gelombang mejadi relatif rendah, disebabkan semakin dangkalnya kedalaman air (batimetri). Dalam perambatan ke arah pantai, gelombang akan mengalami proses refraksi, shoaling (pendangkalan), difraksi, serta refleksi. Proses refraksi merupakan pembelokan arah gelombang untuk mendekati ke arah tegak lurus terhadap kontur dasar pantai. Hal ini menyebabkan gelombang yang datang di pantai akan mempunyai orientasi yang mendekati tegak lurus terhadap garis pantai. Proses pendangkalan adalah berkurangnya secara berangsur-angsur tinggi gelombang sebagai akibat pendangkalan kontur laut ke arah pantai. Dengan demikian proses refraksi dan pendangkalan berkait erat dengan profil pantai. Tabel 10 Arah dan tinggi maksimum kejadian gelombang Tinggi Gelombang H maks (cm)
Utara
Timur Laut
25-30 30-40 40-50 >50 Jumlah (%)
0,00 0,56 0,26 0,00 0,85
0,00 0,00 1,41 4,51 5,92
Arah Datang Gelombang TengSelaBarat Timur gara tan Daya Persentase Kejadian (%) 0,00 0,28 0,56 0,28 0,85 2,82 4,23 3,66 1,69 9,58 7,89 3,94 7,32 13,80 19,15 9,86 9,86 26,48 31,83 7,75
Barat
Barat Laut
0,28 0,86 2,25 3,94 7,32
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Jumlah (%)
1,41 12,96 27,04 58,59 100,00
Keterangan : Lokasi perairan pantai di Kel. Srengsem, Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung Sumber: Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999)
!
"
#!$ $
93 Kondisi fisik dan profil pantai terbentuk sebagai akumulasi pengaruh kondisi-kondisi batas yang ada seperti gelombang, arus dan transportasi sedimen baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pantai. Pengaruh kondisikondisi batas ini akan menentukan bentuk pantai, keberadaan vegetasi penutup pantai, kemiringan pantai, dan sebagainya. Proses difraksi adalah proses yang dialami oleh gelombang jika menemui suatu rintangan. Rintangan tersebut bisa berupa bangunan pemecah gelombang penghalang akan menjadi kecil dibanding tinggi gelombang datang. Di Teluk Lampung terdapat banyak pulau dengan beraneka ragam ukuran. Dengan demikian pulau-pulau tersebut juga berfungsi sebagai rintangan yang akan menyebabkan terdifraksinya gelombang yang datang dari laut lepas. Tinggi gelombang yang sampai di pangkal teluk (Bandar Lampung) tidak akan terlalu besar karena telah tereduksi oleh proses difraksi. Sedangkan proses refleksi atau pemantulan adalah terpantulnya gelombang oleh karena mengenai suatu lereng tertentu. Jika pengembangan kawasan pesisir Bandar Lampung dengan menggunakan tanggul yang berdinding tegak maka gelombang yang dipantulkan akan relatif besar, sedangkan jika menggunakan dinding dengan sisi miring maka gelombang yang dipantulkan akan relatif sedikit dan sebagian besar gelombang akan berubah menjadi gelombang rayapan. Kualitas air Kualitas air Teluk Lampung ditunjukkan dengan penggambaran beberapa parameter yang dirujuk dari berbagai sumber, seperti disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kualitas air Teluk Lampung No. Parameter 1 Suhu 2 Salinitas 2 Padatan tersuspensi (TSS) 3 Oksigen terlarut (DO) 4 Kebutuhan oksigen biologi (BOD) 5 Kebutuhan oksigen kimiawi (COD)
Satuan Kisaran Nilai Baku Mutu 3) o C 28,0-31,5 1) alami ‰ 32-35 1) alami 2) mg/l 35,0-55,4 <20 mg/l 6,4-7,5 2) >5 2) mg/l 22,8-29,2 <20 mg/l 45,8-75,7 2) -
Sumber : 1) Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2007); 2) Yusuf (2005); 3) Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Lampiran III (Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut)
Padatan tersuspensi (TSS) merupakan indikasi beban pencemaran berupa padatan tersuspensi yang dapat berasal dari berbagai sumber. Pada perairan Teluk Lampung, padatan tersuspensi dapat berasal dari berbagai sumber seperti limbah
!
"
#!$ $
94 permukiman (perkotaan), industri, dan suspensi yang dibawa oleh aliran sungai. Secara umum, TSS perairan Teluk Lampung sudah melampaui ambang batas baku mutu kualitas air laut untuk biota laut, dan dapat dindikasikan sudah tercemar. Oksigen terlarut (DO) merupakan indikasi ketersediaan oksigen di dalam air yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. secara umum peraian Teluk Lampung menunjukkan indikasi DO masih memenuhi prasyarat yang dapat mendukung kehidupan biota laut. Kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimiawi (COD) merupakan parameter kualitas perairan yang mengindikasikan tingkat pencemaran. BOD dan COD merupakan jumah oksigen (dalam satuan mg/l) yang diperlukan untuk mendegradasi (oksidasi) polutan di dalam air secara biologi dan kimiawi. Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut (Lampiran III, Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004), hanya mensyaratkan nilai BOD. Perairan yang memiliki BOD <20 mg/l, dapat dinyatakan sebagai perairan yang mampu mendukung kehidupan biota laut dengan baik, dan sebaliknya bila nilai BOD sudah melebihi nilai ambang tersebut. Secara umum terlihat bahwa poerairan Teluk Lampung sudah melampaui ambang batas baku mutu BOD, dan dapat dindikasikan sudah tercemar. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kualitas air di perairan Teluk Lampung, maka dilakukan analisis data menggunakan metode STORET-EPA (United States-Environmental Protection Agency). Pada metode tersebut kualitas air diklasifikasikan dalam empat kelas, yaitu (Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 115 Tahun 2003): (1) Kelas A: baik sekali, skor = 0, yaitu memenuhi baku mutu (2) Kelas B: baik, -1 skor
-10, yaitu tercemar ringan
(3) Kelas C: sedang, -11 skor (4) Kelas D: buruk, skor
-30, yaitu tercemar sedang
-31, yaitu tercemar berat
Dengan mengacu pada baku mutu kualitas air laut untuk biota laut (Lampiran III, Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004), dilakukan penilaian (skoring) pada beberapa paramater kualitas air. Hasil analisis Storet disajikan pada Tabel 12, yang menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Lampung, baik di pangkal maupun di mulut teluk tergolong tercemar sedang. Skor nilai pada pangkal dan
!
"
#!$ $
95 mulut teluk berturut-turut bernilai -19 dan -20. Parameter kualitas air yang menunjukkan terjadinya pencemaran adalah meliputi kekeruhan, TSS, dan BOD. Hasil analisis dengan metode STORET-EPA, semakin mempertegas bahwa air Teluk Lampung sudah terindikasi tercemar. Oleh karena itu, pengelolaan perairan Teluk Lampung harus mendapat perhatian yang lebih serius, dan dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan wilayah daratan. Tabel 12 Kualitas air Teluk Lampung berdasarkan Metode STORET Satu- Baku No Parameter an Mutu*)
Pangkal Teluk (5°29’22,8” LS Mulut Teluk (5°50’02,4” LS dan 105°15’9,0” BT) dan 105°37’8,8” BT) RataRataPasang Surut Skor Pasang Surut Skor rata rata
Keterangan: *) Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Lampiran III (Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut) Sumber: Yusuf (2005)
4.1.4
Biologi perairan Ikan Perairan Teluk Lampung dihuni berbagai jenis ikan, baik demersal
maupun pelagis. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000 dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) menunjukkan bahwa di lima lokasi pengamatan di Teluk Lampung didapatkan 7.072 individu dari 31 suku dan 162 jenis ikan, 40 jenis diantaranya merupakan ikan target (pangan). Kategori “major fish” yang terdiri dari 22 suku dengan 160 jenis. Untuk ikan target terdiri dari 9 suku dan 10 jenis, sedangkan ikan indikator terdiri dari 1 suku dengan 16 jenis kelimpahan ikan tertinggi terdapat di Pulau Puhawang sisi barat dengan nilai 1.556 individu. Berdasarkan kategori ikan,
!
"
#!$ $
96 kelimpahan ikan “major” tertinggi didapatkan di Pulau Puhawang sisi barat, sedangkan kelimpahan ikan target tertinggi dijumpai di Pulau Tegal sisi barat, dan kelimpahan ikan indikator tertinggi sebanyak 31 individu ditemukan pada Pulau Puhawang sisi timur. Jumlah jenis ikan “major” tertinggi dijumpai di Pulau Legundi sisi timur, sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah jenis tertinggi dijumpai di Pulau Sebuku pada sisi barat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan yang terdapat pada lima pulau di Teluk Lampung menunjukkan kondisi yang kurang baik. Kondisi ini disebabkan banyaknya penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak karang sebagai habitat ikan tersebut. Jenis ikan karang dan ekonomis penting masih dapat ditemukan, tetapi pada keragaman yang mendekati jarang. Kerusakan karang juga akan mengakibatkan rendahnya ruang hidup bagi ikan karang. Terumbu karang dan padang lamun Hasil penelitian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung (2007) menunjukkan bahwa Perairan Teluk Lampung mempunyai ekosistem terumbu karang yang luas, umumnya tipe terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis fringing reefs (karang tepi). Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae. Kondisi penutupan karang hidup pada 44 lokasi di Teluk Lampung, tergolong dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. Laju penurunan tutupan terumbu karang di perairan Teluk Lampung pada lokasi tertentu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian, dan Pulau Puhawang selama kurun waktu 8 tahun (19982007) adalah 3% pertahun. Kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh: Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang, Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan, Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan dan Kerusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga.
!
"
#!$ $
97 Ekosistem padang lamun tersebar di beberapa pantai dan pulau di kawasan Teluk Lampung. Ekosistem padang lamun menyediakan fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari gelombang dan berfungsi sebagai filter alami yang menjaga kualitas perairan supaya tetap jernih, dengan mengendapkan material tersuspensi dari pelumpuran (siltasi) di daratan. Padang lamun dengan kondisi baik yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000 dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) adalah pada Pulau tangkil, Pulau Puhawang, Pulau Tegal dan Pulau Legundi menunjukkan spesies yang beragam dan persentase penutupan lamun yang bervariasi karena letak, tipe dan substrat perairannya. Plankton Hasil
penelitian
Damar
(2003)
menunjukkan
bahwa
komunitas
fitoplankton di perairan Teluk Lampung didominasi oleh diatome (Chaetoceros danicus, C. cf. debilis dan Pseudonitzschia spp). Sedangkan dinoflagellata dan cyanophyceae hanya terdapat kurang dari 15%, dengan sebaran tertinggi pada perairan sekitar muara sungai. Spesies tipikal dari dinoflagellata adalah Ceratium furca, C. tripos spp., dan Dinophysis spp., serta cyanophyceae terutama adalah Trichodesmium spp., yang biasa terdapat sekitar lokasi pertambakan di pantai barat dan timur Teluk Lampung. Secara umum komunitas zooplankton di Teluk Lampung didominasi oleh copepoda laut dan protozoa. Jumlah zooplankton terbesar dijumpai pada perairan sekitar muara-muara sungai, dengan jumlah dapat mencapai lebih dari 50.000 individu/m3, jumlah tersebut semakin menurun pada area tengah dan ke luar teluk. Pola tersebut bersesuaian sebaran fitoplankton, yang mengindikasikan hubungan erat antara predator (zooplankton) dan mangsa (fitoplankton) (Damar 2003). Dari analisis plankton dan pasokan nutrien ke perairan, Damar (2003) menyimpulkan bahwa peningkatan penduduk di wilayah Teluk Lampung telah dan akan menimbulkan masalah pencemaran (eutrofikasi) perairan. Peningkatan dan perluasan sistem pengelolaan air limbah merupakan langkah yang harus segera dilakukan, di samping meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan perairan Teluk Lampung.
!
"
#!$ $
98 Produktivitas primer perairan Produktivitas primer perairan merupakan laju pembentukan senyawa organik yang kaya energi dari senyawa anorganik, yang seringkali dianggap sama dengan laju fotosintesis. Produktivitas primer perairan merupakan parameter penting yang menunjukkan tingkat kesuburan perairan, dan juga dapat menjadi indikasi bagi terjadinya pasokan nutrien yang berlebihan (eutrofikasi) perairan. Acuan produktivitas primer perairan yang utama adalah aktivitas fotosintesis fitoplankton (Nybaken 1982). Penggambaran produktivitas primer perairan Teluk Lampung, dilakukan dengan merujuk pada penelitian Damar (2003). Hasil penelitian Damar (2003) menunjukkan bahwa estimasi produksi primer tahunan lebih tinggi pada perairan di dekat pantai (kawasan perkotaan), dan cenderung lebih rendah pada bagian tengah, dan bagian ke arah luar perairan Teluk Lampung. Di sekitar muara sungai Kota Karang (di Bandar Lampung), produksi primer tahunan sebesar 196,68 g C m-2 tahun-1, sedangkan pada bagian tengah dan arah luar teluk, berturut-turut hanya 40,12 g C m-2 tahun-1 dan 30,78 g C m-2 tahun-1. Berdasarkan tingkat trofik-nya, perairan di dekat pantai Teluk Lampung diklasifikasikan sebagai mesotrophic, dan perairan bagian tengah dan arah luar teluk sebagai oligotrophic. Damar (2003) menyimpulkan bahwa produksi primer tahunan fitoplankton perairan Teluk Lampung dipengaruhi oleh pasokan nutrien dan intensitas penyinaran matahari. Mangrove Penyebaran hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Lampung terdapat pada kawasan pulau-pulau kecil dan di sepanjang pantai yang umumnya digunakan untuk pemukiman dan pertambakan. Hasil penelitian CRMP (1998a) menunjukkan bahwa mangrove yang terdapat di pesisir Teluk Lampung tersebar mulai dari wilayah pantai sampai pulau kecil dengan jumlah dan keragaman yang tinggi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000 diacu dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) menyebutkan bahwa terdapat 27 jenis mangrove dan termasuk dalam 17 marga yang terdapat di pulau kecil dan sepanjang pantainya. Secara umum mangrove yang dijumpai pada pulau-pulau kecil adalah jenis Rhizopora spp. dengan ketebalan 100 m. Pada kawasan pantai
!
"
#!$ $
99 yang merupakan daerah pemukiman, tempat wisata dan pertambakan, hutan mangrove yang dijumpai tinggal memiliki ketebalan <50 m, karena sudah dikonversikan sehingga diperlukan penanaman kembali. Hasil penelitian CRMP (1998a) juga mengungkapkan bahwa pada kawasan mangrove yang terdapat di Teluk Lampung memiliki luas sekitar 700 ha. Hasil penelitian Zieren (1998 diacu dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) menunjukkan bahwa pada tahun 1970-an luas mangrove kawasan ini sekitar 1.000 ha. Penurunan kawasan magrove dapat diindikasikan turunnya luas kawasan mangrove disebabkan konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tempat wisata dan pertambakan. Pemanfaatan mangrove pada tahun 1970-an hanya untuk penyangga dan pagar rumah serta kayu bakar. Pada tahun 1990-an mulai terjadi konversi besar-besaran menjadi tambak dan tempat wisata. 4.2
Kependudukan
4.2.1
Jumlah, kepadatan, dan pertumbuhan penduduk Jumlah penduduk di dalam wilayah penelitian pada tahun 2007 adalah
sebesar 585.557 orang, atau sekitar 7,81% dari jumlah penduduk dan menempati wilayah seluas 3,62% dari Provinsi Lampung. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian Kota Bandar Lampung. Dari segi kepadatan penduduk, wilayah Bandar Lampung merupakan wilayah terpadat, yaitu Kecamatan Telukbetung Barat 26 orang/ha, Telukbetung Selatan 108 orang/ha, dan Panjang 29 orang/ha; sedangkan wilayah Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Punduh Pidada) adalah yang terjarang, yaitu hanya 1 orang/ha. Kondisi tersebut menujukkan distribusi penduduk wilayah pesisir Teluk Lampung tidak merata, dan hanya terkonsentrasi di Kota Bandar Lampung sebanyak 224.420 orang, Kecamatan Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 82.382 orang, dan Kecamatan Padang Cermin di Kabupaten Pesawaran sebanyak 93.017 orang. Informasi sebaran jumlah dan kepadatan penduduk, disajikan pada Gambar 21. Pertumbuhan penduduk wilayah pesisir Teluk Lampung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Provinsi Lampung. Rata-rata pertumbuhan penduduk Provinsi Lampung tahun 1999-2007, adalah sebesar 1,26%. Dalam
!
"
#!$ $
100 kurun waktu yang sama, pertumbuhan penduduk pesisir Teluk Lampung yang direpresentasikan oleh Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, berturut-turut adalah 1,35% dan 2,10% (BPS Provinsi Lampung 2008a; BPS Bandar Lampung 2008a; BPS Lampung Selatan 2008a; BPS Pesawaran 2008a). Informasi mengenai komponen pertumbuhan penduduk di wilayah penelitian,
50
40
30
20
10
0
Pesawaran
Bandar Lampung Jumlah Penduduk
Rajabasa
Kalianda
Kepadatan ( orang / ha )
60
Bakauheni
70
Sidomulyo
80
Katibung
90
Panjang
100
Tlb. Selatan
110
Tlb. Barat
120
Pdh. Pidada
130
Pdg. Cermin
Penduduk ( ribu orang )
disajikan pada Tabel 13.
Lampung Selatan Kepadatan
Gambar 21 Distribusi jumlah dan kepadatan penduduk wilayah pesisir Teluk Lampung (BPS Bandar Lampung, 2008a; BPS Lampung Selatan, 2008a; BPS Pesawaran, 2008a) Tabel 13 Komponen pertumbuhan penduduk tahun 2007 No. Komponen Pertumbuhan 1 Kelahiran 2 Kematian 3 Imigrasi 4 Emigrasi Total pertumbuhan penduduk
Persentase (%) 1,30 0,24 1,72 0,46 2,32
Sumber: BPS Pusat (2008)
Informasi pertumbuhan penduduk menunjukkan indikasi bahwa wilayah Teluk Lampung memiliki daya tarik yang besar, sehingga sebagian dari pertambahan penduduk berasal dari imigrasi. Hasil kajian data potensi desa (BPS, 2008) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di wilayah penelitian sampai
!
"
#!$ $
101 tahun 2007 adalah sebesar 2,32%; dan komponen imigrasi yang masuk ke wilayah penelitian adalah sebesar 1,72%. 4.2.2
Tenaga kerja Tenaga kerja merupakan bagian dari penduduk yang berusia lebih dari 15
tahun, yang aktif bekerja dalam kegiatan perekonomian, dan atau yang bersedia bekerja. Di dalam wilayah penelitian, jumlah penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun pada tahun 2007 adalah berjumlah 402.719 orang (68,78% dari jumlah penduduk). Dari jumlah tersebut, sebanyak 302.139 orang merupakan angkatan kerja. Tingkat pengangguran (angkatan kerja yang mencari kerja) adalah sejumlah 10.435 orang (3,45% dari angkatan kerja). Informasi mengenai tenaga kerja di wilayah penelitian, disajikan pada Tabel 14. Tabel 14
Penduduk usia lebih dari 15 tahun di wilayah pesisir Teluk Lampung tahun 2007 Terhadap usia Jumlah No Uraian >15 tahun (orang) (%) 1 Angkatan Bekerja 291.704 72,43 kerja Mencari kerja 10.435 2,59 Jumlah 302.139 75,02 2 Bukan Sekolah 40.973 10,17 angkatan Lainnya 59.607 14,80 kerja Jumlah 100.580 24,98 Jumlah 402.719 100,00
Terhadap penduduk (%) 49,82 1,78 51,60 7,00 10,18 17,18 68,78
Sumber:BPS Prov. Lampung (2001a, 2001b, 2008a), Dinas Tenaga Kerja Prov. Lampung (2005), BPS Pusat (2008)
Angkatan kerja yang bekerja di dalam wilayah penelitian, terbanyak pada lapangan usaha pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan) sebesar 46,60%. Lapangan usaha kedua yang banyak menyerap tenaga kerja adalah jasa, yaitu 19,12%. Sektor jasa, banyak menyerap tenaga kerja di wilayah perkotaan, di kecamatan Telukbetung Selatan, Telukbetung Barat, Panjang, dan Kalianda. Adapun lapangan usaha yang khas wilayah pesisir yaitu perikanan merupakan penyerap tenaga kerja sebanyak 11.000 orang (4,04%). Informasi mengenai lapangan usaha penyerap tenaga kerja di wilayah penelitian, disajikan pada Tabel 15.
!
"
#!$ $
102 Tabel 15
Lapangan usaha pekerja di wilayah pesisir Teluk Lampung tahun 2007 Persentase No Jumlah Lapangan Usaha terhadap . (orang) pekerja (%) 1 Pertanian 135.945 46,60 2 Perikanan 11.771 4,04 3 Industri Pengolahan 13.897 4,76 4 Perdagangan 28.766 9,86 5 Jasa 55.761 19,12 6 Angkutan 11.263 3,86 7 Lainnya 34.301 11,76 Jumlah 291.704 100,00
Persentase terhadap penduduk (%) 23,22 2,01 2,37 4,91 9,52 1,92 5,86 49,82
Sumber:BPS Prov. Lampung (2001a, 2001b, 2008a), Dinas Tenaga Kerja Prov. Lampung (2005), BPS Pusat (2008)
4.2.3
Keluarga dan keluarga miskin Jumlah keluarga di wilayah pesisir Teluk Lampung pada tahun 2007
adalah sebanyak 134.337 keluarga. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70.611 keluarga (52,56%) merupakan keluarga miskin, yang didekati sebagai keluarga pra-sejahtera dan sejahtera-1. Data tersebut mengindikasikan bahwa kemiskinan masih merupakan permasalahan utama yang mewarnai kondisi sosial wilayah pesisir Teluk Lampung. Di sisi lain, kemiskinan yang cukup dominan, berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat menyediakan kebutuhan akan rumah. Dari jumlah keluarga yang ada, ternyata hanya terdapat 127.192 rumah, yang berarti terdapat kekurangan rumah untuk sekitar 7.145 keluarga di wilayah pesisir Teluk Lampung. Jumlah bangunan rumah tersebut, juga didominasi oleh rumah semi permanen dan tidak permanen (71.749 unit rumah). Informasi mengenai jumlah keluarga dan bangunan rumah di wilayah penelitian, disajikan pada Tabel 16. Tabel 16
Jumlah keluarga dan bangunan rumah di wilayah pesisir Teluk Lampung tahun 2007 Satuan No. Uraian 1 Keluarga keluarga 2 Keluarga miskin (pra-sejahtera dan sejahtera-1) keluarga 3 Rumah permanen unit 4 Rumah semi permanen unit 5 Rumah tidak Permanen unit
Sumber: BPS Pusat (2008)
!
"
#!$ $
Jumlah 134.337 70.611 55.443 37.784 33.965
103 4.2.4
Rumah tangga perikanan Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan tempat tinggal dan sumber
mata pencaharian bagi nelayan dan pembudidaya ikan. Pada tahun 2007 di wilayah pesisir Teluk Lampung tercatat sebanyak 2.336 rumah tangga perikanan (RTP). Jumlah RTP terbanyak adalah di Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat dan Teluk Betung Selatan), yaitu sebanyak 1.760 RTP (55% dari Teluk Lampung), seperti disajikan pada Gambar 22. Konsentrasi jumlah RTP di Kota Bandar Lampung, disebabkan oleh lebih tersedianya infrastruktur yang dibutuhkan nelayan seperti pelabuhan perikanan dan sarana penunjangnya. 1000
14 12
800 10
700 600
8
500 6
400 300
4
200
Produksi ikan segar ( ribu ton )
Rumah tangga perikanan ( RTP )
900
2
100
Lampung Selatan
Bandar Lampung RTP
Punduh Pidada
Padang Cermin
Panjang
Teluk Betung Selatan
Teluk Betung Barat
Bakauheni
Rajabasa
Kalianda
Sidomulyo
0 Katibung
0
Pesawaran
Produksi Ikan Segar (ton)
Gambar 22 Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dan produksi ikan segar di wilayah pesisir Teluk Lampung tahun 2007 (BPS Bandar Lampung, 2008a; BPS Lampung Selatan, 2008a; BPS Pesawaran, 2008a) Sebaran RTP berkorelasi dengan produksi perikanan. Pada Kecamatan Teluk Betung Barat dan Teluk Betung Selatan, jumlah RTP mencapai 55%, dengan jumlah produksi sebesar 33%. Yang menarik adalah di Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada, dengan jumlah RTP hanya sekitar 10% RTP, namun produksi ikan segar mencapai 31%. Hal ini merupakan indikasi bahwa produksi ikan segar yang tinggi tidak hanya berasal dari tangkapan, melainkan juga hasil budidaya yang banyak terdapat di kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada.
!
"
#!$ $
104 4.3
Ekonomi Wilayah
4.3.1
Produk domestik regional bruto (PDRB) Penggambaran PDRB wilayah penelitian didapatkan dari pemecahan data
PDRB Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, dan Kota Bandar Lampung, dengan menggunakan alokator relevan. Alokator yang digunakan untuk memecah data PDRB kabupaten dan kota menjadi masing-masing kecamatan di wilayah pesisir, adalah meliputi luas wilayah, jumlah penduduk, luas penggunaan lahan dan produksi pertanian, produksi perikanan, serta jumlah dan sebaran prasarana dan sarana wilayah. Hasil pemecahan PDRB kabupaten dan kota dengan menggunakan alokator tersebut, secara lengkap disajikan pada Tabel 17 dan Tabel 18. PDRB
wilayah
pesisir
Teluk
Lampung
dari
tahun
2003-2007,
menunjukkan perkembangan yang cukup tinggi, baik berdasarkan harga berlaku (ADHB) maupun berdasarkan harga konstan (ADHK). Pangsa PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung terhadap provinsi pada tahun 2007 adalah 10,63% ADHB dan 10,26% ADHK. Pangsa di atas 10% tersebut menunjukkan bahwa peran wilayah pesisir Teluk Lampung cukup besar bagi perekonomian Provinsi Lampung, mengingat rasio luas wilayah dan jumlah penduduk terhadap provinsi berturut-turut hanya 3,62% dan 8,03%. Pertumbuhan ekonomi wilayah pesisisr Teluk Lampung lebih tinggi daripada Provinsi Lampung. Dalam kurun waktu 2004-2007, pertumbuhan wilayah pesisir di atas 5%, dan bahkan mendekati 7,5% pada tahun 2006. Dalam kurun waktu yang sama pertumbuhan ekonomi tertinggi Provinsi Lampung hanya mencapai 6% yaitu pada tahun 2007, sedangkan wilayah pesisir pada tahun tersebut tumbuh mendekati angka 7%. Informasi mengenai pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir dan provinsi, disajikan pada Gambar 23. 4.3.2
Struktur perekonomian Struktur
perekonomian
wilayah
pesisir
Teluk
Lampung
dapat
digambarkan dari pangsa masing-masing sektor terhadap PDRB, yang disajikan pada Gambar 24. Terlihat bahwa perekonomian wilayah pesisir masih sangat tergantung dengan sektor primer, yaitu perikanan dan pertanian, secara berturut-
!
"
#!$ $
105 turut pada tahun 2007 pangsa masing-masing sebesar 21,00% dan 10,26% ADHB serta 16,64% dan 14,40% ADHK. Namun demikian, sektor sekunder yaitu industri pengolahan juga menunjukkan pangsa yang besar terhadap PDRB, yaitu mencapai 14,68% ADHB dan 14,67% ADHK. Dilihat dari pertumbuhan sektor-sektor (seperti disajikan pada Tabel 17), tampak bahwa sektor pertanian relatif semakin menurun. Sedangkan pertumbuhan sektor perikanan, industri pengolahan, dan angkutan laut semakin meningkat. Kecenderungan tersebut mengindikasikan bahwa struktur perekonomian wilayah pesisir Teluk Lampung sedang mengalami transformasi lebih bertumpu pada sektor sekunder yaitu industri pengolahan dan angkutan laut, dengan tetap didukung oleh sektor primer wilayah pesisir yaitu perikanan.
Pertumbuhan ekonomi ( % )
7,5
6,5
5,5
4,5
3,5 2004
2005 Provinsi Lampung
2006
2007
Pesisir Teluk Lampung
Gambar 23 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung dan wilayah pesisir Teluk Lampung (BPS Prov. Lampung 2008a dan 2008b; BPS Bandar Lampung 2008a dan 2008b; BPS Pesawaran 2008a dan 2008b; BPS Lampung Selatan 2008a dan 2008b)
!
"
#!$ $
Tabel 17 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung per lapangan usaha
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Rp juta Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Rp juta 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 Perikanan 550.732 589.398 613.594 1.013.883 1.359.718 379.555 388.423 443.595 524.682 558.073 Angkutan laut dan penyeberangan 161.366 170.713 203.960 277.851 331.690 123.704 130.463 134.128 148.659 157.176 Pariwisata 77.742 89.954 97.418 106.187 146.996 63.457 66.739 69.715 71.439 73.614 Pertanian 508.513 552.726 548.895 593.447 664.188 431.943 452.325 455.466 460.447 482.817 Pertambangan dan penggalian 39.510 44.678 47.579 52.572 54.250 37.834 38.945 38.548 37.510 38.069 Industri pengolahan 455.461 487.604 537.801 750.216 950.184 371.899 385.794 407.436 454.720 491.885 Listrik dan air bersih 32.400 38.434 47.103 55.294 59.055 15.864 17.195 14.852 13.497 14.178 Bangunan 190.870 207.748 240.371 321.473 369.632 160.448 164.586 169.951 171.670 177.738 Perdagangan 397.929 431.129 443.338 585.055 681.736 350.859 361.541 369.406 384.321 412.802 Pengangkutan dan komunikasi 295.855 311.710 390.609 493.954 665.864 220.719 240.932 257.939 268.226 288.218 Keu.angan, persewaan, dan jasa prsh. 253.189 327.907 362.088 402.847 476.773 189.457 237.579 263.013 297.440 344.337 Jasa-jasa 441.021 473.751 533.026 576.957 714.452 283.231 290.247 299.981 305.866 314.408 PDRB wilayah pesisir 3.404.587 3.725.752 4.065.781 5.229.737 6.474.538 2.628.969 2.774.769 2.924.030 3.138.478 3.353.313 Lapangan Usaha
Sumber: BPS Bandar Lampung (2008a, 2008b), BPS Lampung Selatan (2008a, 2008b), BPS Pesawaran (2008a, 2008b)
Tabel 18
PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung per kecamatan
No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Padang Cermin Punduh Pidada Telukbetung Barat Telukbetung Selatan Panjang PDRB wilayah pesisir
na n Pe rd ag an An ga gk n t. Ke Da u, n Ko Pe m rs . w ,J as a Pr sh . Ja sa -ja sa
Ba ng u
en go la Li ha st n r ik & Ai rB rs h
In du st
ri P
ba ng an
n
Pe rta m
Pe rta ni a
Pe An rik gk an t. an La ut & Pe ny b. Pa riw is a ta
0
PDRB - ADHK
Gambar 24 Pangsa sektor terhadap PDRB wilayah pesisir Teluk Lampung tahun 2007 (BPS Bandar Lampung 2008a dan 2008b; BPS Pesawaran 2008a dan 2008b; BPS Lampung Selatan 2008a dan 2008b) 4.3.3
Sektor ekonomi basis Penggambaran sektor ekonomi basis dilakukan melalui penyajian nilai LQ
wilayah pesisir Teluk Lampung terhadap wilayah Provinsi Lampung. Nilai LQ dapat memberikan indikasi efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Sektor ekonomi basis mempunyai peranan penggerak utama, dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda terhadap perekonomian wilayah (Rustiadi et al. 2009). Kriteria sektor ekonomi yang dianggap basis adalah bila nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1. Nilai LQ sektor-sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Tabel 19. Nilai LQ sektor-sektor ekonomi menunjukkan bahwa terdapat tiga sektor yang bukan merupakan basis di wilayah pesisir Teluk Lampung, yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, dan perdagangan. Berdasarkan nilai LQ, dapat
!
"
#!$ $
108 dinyatakan bahwa sektor-sektor ekonomi lainnya yang meliputi perikanan, angkutan laut dan penyeberangan, pariwisata, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa, merupakan sektor basis bagi wilayah pesisir Teluk Lampung. Namun demikian, dapat dilihat bahwa terdapat dua sektor yang secara sangat mencolok memiliki nilai LQ sangat tinggi, yaitu perikanan serta angkutan laut dan penyeberangan, dengan nilai masing-masing 2,30 dan 6,20. Kedua sektor ini memang sangat ditunjang oleh kondisi wilayah Teluk Lampung, yaitu dengan terdapatnya pelabuhan laut dan penyeberangan utama, serta pelabuhan perikanan, di wilayah ini. Tabel 19 Nilai LQ sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung No. Sektor LQ Keterangan 1 Perikanan 2,30 basis 2 Angkutan Laut dan Penyeberangan 6,20 basis 3 Pariwisata 1,53 basis 4 Pertanian 0,41 bukan basis 5 Pertambangan dan Penggalian 0,45 bukan basis 6 Industri Pengolahan 1,11 basis 7 Listrik dan Air Bersih 1,16 basis 8 Bangunan 1,08 basis 9 Perdagangan 0,87 bukan basis 10 Pengangkutan dan Komunikasi 1,60 basis 11 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 1,42 basis 12 Jasa-jasa 1,25 basis Sumber:
4.3.4
BPS Bandar Lampung (2008a, 2008b), BPS Pesawaran (2008a, 2008b), BPS Lampung Selatan (2008a, 2008b)
Daya saing sektor ekonomi Penggambaran daya saing ekonomi wilayah pesisir dilakukan melalui
analisis pergeseran-pertumbuhan (shift–share), yang menunjukkan pergeseran dan peranan perekonomian wilayah pesisir Teluk Lampung terhadap perekonomian Provinsi Lampung. Komponen di dalam analisis dapat menunjukkan pengaruh dari kombinasi campuran dan daya saing suatu perekonomian wilayah (Hoover dan Giarratani 1999; Rustiadi et al. 2009). Komponen analisis dalam konteks wilayah pesisir Teluk Lampung dan Provinsi Lampung meliputi: 1) Komponen pertumbuhan total wilayah (S), menggambarkan pertumbuhan atau pergeseran struktur perekonomian wilayah pesisir Teluk Lampung
!
"
#!$ $
109 yang dipengaruhi oleh pergeseran pertumbuhan perekonomian Provinsi Lampung. 2) Komponen pergeseran proporsional (P), merupakan pertumbuhan total sektor
yang
bersangkutan
secara
relatif,
dibandingkan
dengan
pertumbuhan seluruh sektor dalam wilayah provinsi, yang menunjukkan dinamika sektor tersebut secara total dalam wilayah provinsi. Nilai Pj > 0 dapat diinterpretasikan bahwa sektor yang bersangkutan tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan total sektor provinsi; nilai Pj < 0 dapat diinterpretasikan bahwa sektor yang bersangkutan relatif tumbuh lebih lambat. 3) Komponen pergeseran diferensial (D), menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi sektor yang bersangkutan dibandingkan dengan pertumbuhan total
sektor
tersebut
dalam
wilayah
provinsi.
Komponen
ini
menggambarkan dinamika (keunggulan) sektor tersebut di wilayah pesisir Teluk Lampung terhadap sektor yang sama di wilayah lain dalam wilayah provinsi. Nilai Dj > 0 diinterpretasikan bahwa sektor yang bersangkutan memiliki keunggulan terhadap sektor yang sama, terkonsentrasi, dan tumbuh lebih cepat di wilayah pesisir dibandingkan dengan wilayah lain dalam provinsi; nilai Dj < 0 diinterpretasikan bahwa sektor yang bersangkutan relatif tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan wilayah lain dalam provinsi. Hasil analisis pergeseran-pertumbuhan yang menggunakan data nilai tambah sektor (dari PDRB tahun 2003 dan 2007) dalam konteks wilayah wilayah pesisir Teluk Lampung dan Provinsi Lampung, disajikan pada Tabel 20. Interpretasi hasil analisis dari komponen P menunjukkan bahwa sektor perikanan, listrik dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi, serta keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; merupakan sektor-sektor yang tumbuh lebih cepat daripada total pertumbuhan di tingkat provinsi. Dari komponen D, menunjukkan bahwa sektor angkutan laut dan penyeberangan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa; tumbuh lebih cepat di wilayah
!
"
#!$ $
110 pesisir dibandingkan dengan wilayah lain di dalam provinsi, karena ditunjang oleh keuntungan lokasional wilayah pesisir. Tabel 20
Komponen pergeseran-pertumbuhan wilayah pesisir Teluk Lampung Pertum- Pergeseran Pergeseran No Sektor buhan total proporsio- diferensial . wilayah (S) nal (P) (D) 1 Perikanan 0,2155 0,5111 -0,2562 2 Angkutan Laut dan Penyeberangan 0,2155 -0,0251 0,0802 3 Pariwisata 0,2155 -0,0272 -0,0283 4 Pertanian 0,2155 -0,0549 -0,0428 5 Pertambangan dan Penggalian 0,2155 -0,4899 0,2806 6 Industri Pengolahan 0,2155 -0,0041 0,1112 7 Listrik dan Air Bersih 0,2155 0,0646 -0,3864 8 Bangunan 0,2155 -0,0601 -0,0476 9 Perdagangan 0,2155 -0,0188 -0,0202 10 Pengangkutan dan Komunikasi 0,2155 0,0837 0,0066 11 Keu., Persewaan, dan Jasa Prsh. 0,2155 0,5161 0,0859 12 Jasa-jasa 0,2155 -0,1059 0,0004
Sumber:
BPS Bandar Lampung (2008a, 2008b), BPS Pesawaran (2008a, 2008b), BPS Lampung Selatan (2008a, 2008b)
Dengan menggabungkan nilai komponen P dan D dengan LQ, dapat diambil informasi yang lebih banyak mengenai sektor-sektor perekonomian wilayah pesisir. Melalui penggabungan tersebut dikembangkan tipologi daya saing sektor sebagai berikut: Daya saing tinggi: sektor basis (LQ > 1), dengan salah satu atau kedua nilai Pj dan Dj > 0; Daya saing rendah: sektor basis (LQ > 1), nilai Pj < 0 dan Dj < 0; Tidak berdaya saing: bukan sektor basis (LQ < 1). Hasil penggabungan nilai LQ, Pj, dan Dj, secara lengkap disajikan pada Tabel 21. Penggabungan nilai LQ, Pj, dan Dj, menunjukkan bahwa terdapat tujuh sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung yang berdaya saing tinggi, yang merupakan sektor ekonomi basis dengan pertumbuhan yang tinggi dan/atau memiliki keunggulan lokasional dari wilayah pesisir. Konsisten dengan hasil dari LQ, sektor-sektor ekonomi yang menonjol adalah sektor basis seperti perikanan serta angkutan laut dan penyeberangan. Pengembangan sektor-sektor yang
!
"
#!$ $
111 berdaya saing tinggi dapat menjadi kebijakan pengembangan wilayah pesisir Teluk Lampung, dan harus diakomodasi dalam perencanaan tata ruang. Tabel 21 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Daya saing sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung Daya Sektor LQ Pj Dj Saing Perikanan >1 >0 <0 Tinggi Angkutan Laut dan Penyeberangan >1 <0 >0 Tinggi Pariwisata >1 <0 <0 Rendah Pertanian <1 <0 <0 TBS Pertambangan dan Penggalian <1 <0 >0 TBS Industri Pengolahan >1 <0 >0 Tinggi Listrik dan Air Bersih >1 >0 <0 Tinggi Bangunan >1 <0 <0 Rendah Perdagangan <1 <0 <0 TBS Pengangkutan dan Komunikasi >1 >0 >0 Tinggi Keu., Persewaan, dan Jasa Prsh. >1 >0 >0 Tinggi Jasa-jasa >1 <0 >0 Tinggi
Keterangan: TBS = tidak berdaya saing Sumber: BPS Bandar Lampung (2008a, 2008b), BPS Pesawaran (2008a, 2008b), BPS Lampung Selatan (2008a, 2008b)
4.3.5
Investasi Investasi langsung (direct investment) merupakan pemacu pertumbuhan
ekonomi wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung yang lebih tinggi dari Provinsi Lampung, tampaknya dipengaruhi secara nyata oleh laju investasi di wilayah ini. Demikian juga pola pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung yang fluktuatif (Gambar 23), tampaknya juga dipengaruhi oleh pola investasi yang sangat fluktuatif, seperti disajikan pada Gambar 25. Dalam kurun waktu 2000-2007, investasi langsung di wilayah pesisir Teluk Lampung secara kumulatif berjumlah sekitar Rp 1,5 triliun, dengan angka rata-rata sekitar Rp 188 milyar per tahun. Investasi tersebut dilakukan oleh 50 perusahaan domestik dan asing, dengan sektor utama adalah industri pengolahan dan penunjang angkutan laut (BPMD Prov. Lampung 2008). Lapangan kerja yang tercipta dari investasi tersebut adalah sebanyak 11.238 orang. Nilai investasi terbesar dicapai pada tahun 2006 yaitu sekitar Rp 463 milyar, dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2004, yaitu lebih dari 700%. Pada ekstrim yang lain, investasi terkecil terjadi 2002 (hanya Rp 9,8 milyar), dan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2002 dan 2007 yaitu sekitar -90%.
!
"
#!$ $
500
800
450
700
400
600
350
500
300
400
250
300
200
200
150
100
100
0
50
-100
0
-200 2000
2001
2002
2003 Investasi
2004
2005
2006
Pertumbuhan ( % )
Investasi ( Rp milyar )
112
2007
Pertumbuhan
Gambar 25 Investasi langsung swasta di wilayah Pesisir Teluk Lampung (BPMD Prov. Lampung, 2008) Terkait dengan pemodelan sistem dinamik (diuraikan pada Bab 6), peubah investasi yang sangat fluktuatif tersebut dapat menimbulkan bias yang sangat besar terhadap pemodelan. Oleh karena itu, nilai awal tahun 2003 pada model, diambil dari besaran rata-rata investasi dalam kurun waktu 2000-2007, dengan fraksi pertumbuhan merupakan rata-rata pertumbuhan dalam kurun waktu yang sama. 4.4
Prasarana dan Sarana Wilayah
4.4.1
Jalan dan rel kereta api Di wilayah pesisir Teluk Lampung, terdapat jalan nasional, provinsi, serta
kabupaten/kota dan desa, dengan panjang total 1.389 km. Jalan tersebut tersebar di berbagai kecamatan, terutama di Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung. Adapun rel kereta api hanya terdapat di Kota Bandar Lampung, yaitu di Kecamatan Panjang dengan panjang 19 km, sebagai ujung dari koneksi jaringan rel kereta api Sumatera Bagian Selatan. Rel kereta api berujung pada Pelabuhan
!
"
#!$ $
113 Panjang, serta dermaga untuk kepentingan sendiri (DUKS) batubara milik PT. Bukit Asam (PTBA), dan DUKS pulp milik PT. Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper (TELPP). Data mengenai prasarana jalan dan rel kereta api, disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 No. 1 2 3 4
Jalan dan rel kereta api di wilayah pesisir Klasifikasi Jalan
Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabupaten/Kota dan Desa Rel Kereta Api Jumlah Panjang Jalan Panjang Rel Kereta Api
Sumber:
Kerapatan Jalan (km/km2) 0,08 0,19 0,81 1,09 -
Panjang (km) 104 245 1.040 19 1.389 19
BPS Bandar Lampung (2008a), BPS Pesawaran (2008a), BPS Lampung Selatan (2008a), Pemprov Lampung (2010)
Kerapatan jalan di wilayah pesisir masih jarang, dan di samping itu kondisi jalan masih banyak yang rusak. Berdasarkan hasil studi lapangan, juga diketahui bahwa sebaran jalan masih tidak merata, terutama pada wilayah pesisir di Kabupaten Pesawaran, prasarana jalan masih sangat kurang. Sebagai penunjang pergerakan angkutan jalan, di wilayah pesisir Teluk Lampung juga sudah terdapat terminal tipe B dan C. Terminal angkutan jalan tersebut berada di Bandar Lampung dan Lampung Selatan. Pada wilayah pesisir Kabupaten Pesawaran, belum terdapat terminal. Data mengenai terminal, disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 No. 1 2 3
Lokasi terminal di wilayah pesisir Terminal Nama Tipe B Panjang Tipe C Sukaraja Tipe C Kalianda
Sumber:
Pemprov Lampung (2006a), BPS Bandar Lampung (2008a), BPS Pesawaran (2008a), BPS Lampung Selatan (2008a).
4.4.2
Lokasi Bandar Lampung Bandar Lampung Lampung Selatan
Pelabuhan dan dermaga Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan jalur utama pergerakan
angkutan laut dan penyeberangan yang menuju dan keluar wilayah Provinsi Lampung, bahkan Sumatera Bagian Selatan. Oleh karena itu, berbagai prasarana pelabuhan terdapat di wilayah ini. Selain sebagai prasarana angkutan laut dan
!
"
#!$ $
114 penyeberangan, keberadaan pelabuhan dan dermaga juga merupakan pendukung sektor perikanan, sebagai pelabuhan perikanan atau pendaratan ikan. Sebaran
prasarana
pelabuhan
dan
dermaga
angkutan
laut
dan
penyeberangan lebih terkonsentrasi di wilayah Kota Bandar Lampung, termasuk pelabuhan internasional Panjang. Pada wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan, lebih banyak tersebar pelabuhan dan dermaga untuk kegiatan perikanan, kecuali Bakauheni yang merupakan pelabuhan penyeberangan utama yang melayani penyeberangan Merak-Bakauheni. Selain pelabuhan dan dermaga angkutan laut, penyeberangan, dan perikanan, juga terdapat beberapa Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS), yang dioperasikan untuk kepentingan berbagai perusahaan. DUKS terkonsentrasi di Kota Bandar Lampung, yang digunakan untuk kepentingan angkutan laut meliputi bahan bakar minyak, industri kayu, pakan ternak, industri alat berat, batubara, dan pulp. Sebaran pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Lokasi pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir No. Pelabuhan / Dermaga Nama 1 Dermaga Pendaratan Ikan Suka Bandung 2 Dermaga BBL Balai Budidaya Laut 3 Pelabuhan Regional Pulau Legundi 4 Pelabuhan Perikanan Pantai Lempasing 5 Dermaga Pendaratan Ikan Gudang Lelang 6 Dermaga Pendaratan Ikan Ujung Boom 7 Pelabuhan Regional Teluk Betung 8 Pelabuhan Internasional Panjang 9 Pelabuhan Penyeberangan Serengsem 10 Dermaga Untuk Kepentingan DUKS Berbagai Sendiri (DUKS) Perusahaan, 7 unit 11 Dermaga Pendaratan Ikan Way Muli 12 Pelabuhan Regional Pulau Sebesi 13 Pelabuhan Regional Canti/Kalianda 14 Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni Sumber:
4.4.3
Lokasi Pesawaran Pesawaran Pesawaran Bandar Lampung Bandar Lampung Bandar Lampung Bandar Lampung Bandar Lampung Bandar Lampung Bandar Lampung Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan Lampung Selatan
Pemprov Lampung (2006a), BPS Bandar Lampung (2008a), BPS Pesawaran (2008a), BPS Lampung Selatan (2008a).
Prasarana wisata pantai Sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung merupakan salah satu tujuan
wisata pantai. Terdapat 20 tempat wisata pantai di wilayah ini, yang tersebar di
!
"
#!$ $
115 Kabupaten Pesawaran, Lampung Selatan, dan Kota Bandar Lampung. Atraksi wisata utama yang ditawarkan oleh berbagai tempat wisata tersebut adalah suasana pantai berpasir, dan pada beberapa tempat wisata ditunjang oleh fasilitas tempat makan dan permainan. Berdasarkan sebarannya, tempat wisata pantai lebih banyak terdapat di wilayah Lampung Selatan. Kondisi tersebut lebih disebabkan oleh lokasi pantai di Lampung Selatan dapat dijangkau lebih cepat dan mudah, karena relatif sejajar dengan ruas jalan nasional Bandar Lampung-Bakauheni. Informasi mengenai lokasi prasarana wisata pantai di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lokasi prasarana wisata pantai di wilayah pesisir Teluk Lampung Nama Tempat Lokasi Bensor Resort Pesawaran Pantai Klara Pesawaran Pantai Lautzhy Ringgung Pesawaran Pantai Pasir Wisata Pesawaran Pantai Puri Gading Bandar Lampung Pantai Duta Wisata Bandar Lampung Banding Resort Lampung Selatan Krakatoa Resort Lampung Selatan Pantai Bagus Lampung Selatan Pantai Guci Batu Kapal Lampung Selatan Pantai Ketang Lampung Selatan Pantai Laguna Lampung Selatan Pantai Merak Belantung Lampung Selatan Pantai Riung Gunung Lampung Selatan Pantai Wartawan Lampung Selatan Pantai Wisata Lampung Selatan Tanjung Selaki Lampung Selatan Pantai Canti Indah Lampung Selatan Pasir Putih Lampung Selatan Pulau Pasir Lampung Selatan
Sumber:
BPS Bandar Lampung (2008a), BPS Pesawaran (2008a), BPS Lampung Selatan (2008a)
4.4.4
Armada kapal nelayan Armada nelayan yang beroperasi di Teluk Lampung mendekati jumlah
2.500 unit, dengan berbagai jenis dan ukuran kapal, baik yang bermotor maupun tidak bermotor. Jenis kapal bermotor ukuran kecil (<5 ton dan 5-10 ton) merupakan jenis kapal yang paling banyak dioperasikan oleh nelayan, karena
!
"
#!$ $
116 memang nelayan Teluk Lampung didominasi oleh nelayan kecil (artisanal), dan umumnya melaut hanya dalam satu hari (one day fishing). Kapal-kapal yang berukuran lebih besar (10-20 ton dan >20 ton), merupakan kelompok nelayan yang beroperasi di luar Teluk Lampung (Teluk Semangka, Selat Sunda, perairan Barat dan Timur Lampung, atau ke Laut Jawa), dan wilayah pesisir Teluk Lampung hanya merupakan tempat mendarat dan bermukim saja (fishing base). Sebaran armada kapal nelayan terbanyak adalah di wilayah Kota Bandar Lampung, terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Teluk Betung Selatan. Hal tersebut disebabkan oleh lebih tersedianya prasarana dan sarana yang dibutuhkan nelayan di Kota Bandar Lampung. Informasi mengenai armada nelayan di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Tabel 26. Tabel 26
Armada nelayan di wilayah pesisir Teluk Lampung Perahu Perahu Kapal bermotor (ton) No. Kecamatan Jumlah tidak bermotor <5 5-10 10-20 >20 bermotor tempel ……………………… unit …………………. 1 Padang Cermin 52 47 37 15 5 156 2 Punduh Pidada 26 23 18 7 3 77 3 Teluk Betung 22 171 182 230 48 8 661 Barat 4 Teluk Betung 23 187 199 251 53 9 722 Selatan 5 Panjang 7 51 55 69 15 3 200 6 Katibung 32 29 23 9 3 96 7 Sidomulyo 5 4 3 1 13 8 Kalianda 64 56 44 18 7 189 9 Rajabasa 57 50 39 16 6 168 10 Bakauheni 64 56 44 18 7 189 Jumlah 352 674 644 634 147 20 2.471
Sumber:
4.4.5
Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Lampung (2007), BPS Bandar Lampung (2008a), BPS Pesawaran (2008a), BPS Lampung Selatan (2008a)
Koperasi Koperasi merupakan prasarana ekonomi yang penting dan berkaitan erat
dengan pengembangan ekonomi kerakyatan. Secara umum, terdapat dua jenis koperasi di di wilayah pesisir Teluk Lampung, yaitu koperasi unit desa (KUD) dan koperasi non-KUD. KUD berkaitan erat dengan sektor perikanan dan pertanian, sedangkan koperasi non-KUD lebih berurusan dengan beragam
!
"
#!$ $
117 kepentingan seperti koperasi pegawai negeri, organisasi karyawan, simpan pinjam, angkutan, pasar, dan lain-lain. Dilihat dari sebarannya, koperasi di wilayah pesisir Teluk Lampung ternyata telah menyebar cukup merata di seluruh kecamatan. Namun demikian, dari sisi jenis koperasi, maka terlihat ketimpangan yang mencolok antara jumlah koperasi KUD dan non-KUD. Secara umum pada semua kecamatan, keberadaan KUD jauh lebih sedikit daripada koperasi non-KUD, padahal KUD lebih berurusan dengan pertanian dan perikanan yang merupakan sektor utama ekonomi kerakyatan. Oleh karena, dorongan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan pada wilayah pesisir yang bercorak pertanian dan perikanan, dapat dibantu dengan mengembangkan KUD secara lebih baik. Informasi mengenai koperasi di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumber:
4.5
Jenis dan sebaran koperasi di wilayah pesisir Teluk Lampung Non-KUD Kecamatan KUD (unit) Jumlah (unit) Padang Cermin 2 28 30 Punduh Pidada 2 9 11 Teluk Betung Barat 1 9 10 Teluk Betung Selatan 1 29 30 Panjang 1 22 23 Katibung 2 18 20 Sidomulyo 2 19 21 Kalianda 3 60 63 Rajabasa 1 3 4 Bakauheni 1 11 12 Jumlah 16 208 224 BPS Bandar Lampung (2008a), BPS Pesawaran (2008a), BPS Lampung Selatan (2008a)
RTRW Terkait Teluk Lampung Teluk Lampung merupakan bagian dari wilayah perencanaan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, dan Kota Bandar Lampung. Dalam RTRW tersebut, Teluk Lampung secara umum diarahkan sebagai kawasan pengembangan perikanan dan pariwisata. Pada tingkat nasional, sebagian wilayah Teluk Lampung (Pulau Sebuku dan Sebesi) secara tidak langsung terkait dengan status Selat Sunda dan
!
"
#!$ $
118 Kepulauan Krakatau sebagai kawasan strategis nasional. Penggambaran struktur dan pola ruang dalam RTRW Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, dan Kota Bandar Lampung, yang terkait dengan Teluk Lampung, disajikan pada Gambar 26. Struktur hierarki fungsional kota-kota di wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi 4 ordinasi pusat pelayanan, yaitu: Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yang melayani wilayah Provinsi Lampung dan/atau wilayah sekitarnya di Sumatera Bagian Selatan, terletak di Kota Bandar Lampung; merupakan pusat pemerintahan provinsi, perdagangan dan jasa, distribusi dan koleksi, pendukung jasa pariwisata, dan pendidikan tinggi. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), yang melayani satu atau lebih Kabupaten/Kota,
yaitu
Kalianda;
merupakan
pusat
pemerintahan
kabupaten, jasa pendukung pariwisata, perdagangan, dan jasa. Pusat Kegiatan Wilayah Provinsi (PKWp), yang direkomendasikan oleh provinsi mengingat secara fungsi dan perannya kota tersebut telah memiliki karakteristik pusat kegiatan wilayah, yaitu Bakauheni dan ibukota Kabupaten pesawaran (Gedung Tataan); merupakan pusat koleksi dan distribusi, dan pariwisata. Pusat Kegiatan Lokal (PKL), yang melayani satu atau lebih kecamatan, yaitu Sidomulyo; merupakan pusat pertanian, perdagangan, dan jasa. Pola pemanfaatan ruang yang terkait dengan wilayah pesisir Teluk Lampung dalam RTRW Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, dan Kota Bandar Lampung, secara umum diarahkan sebagai kawasan pengembangan perikanan dan pariwisata. Pengembangan pola ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung adalah meliputi kawasan sebagai berikut: Kawasan lindung darat di Kecamatan Punduh Pidada, Padang Cermin, Teluk Betung Barat, Panjang, Katibung, dan Rajabasa. Kawasan rawan bencana: rawan banjir dan longsor di Padang Cermin, serta rawan gempa pada jalur Teluk Betung-Bakauheni. Kawasan strategis provinsi: Bakauheni sebagai pintu gerbang Sumatera dari arah Jawa, dan kawasan pangkalan utama TNI Angkatan Laut Teluk
!
"
#!$ $
119 Ratai di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran sebagai kawasan militer. Kawasan Pulau Sebesi dan Sebuku sebagai bagian dari kawasan strategis nasional (KSN) Selat Sunda dan Krakatau dan sekitarnya. Kawasan Pemerintahan: Bandar Lampung dan Kalianda. Kawasan Perdagangan dan Jasa: Bandar Lampung. Kawasan Permukiman: Bandar Lampung dan Kalianda, serta kawasan perdesaan di wilayah pesisir Teluk Lampung. Kawasan
Pelabuhan:
Panjang
sebagai
pelabuhan
internasional;
Telukbetung, Legundi, Sebesi sebagai pelabuhan pengumpan regional; Kalianda
sebagai pelabuhan pengumpan lokal; serta dermaga untuk
kepentingan
sendiri
(DUKS);
Bakauheni
sebagai
pelabuhan
penyeberangan lintas Sumatera-Jawa, dan Srengsem sebagai pelabuhan penyeberangan pendukung. Kawasan Wisata: wisata bahari di Teluk Lampung; wisata budaya di Bandar Lampung, dan wisata buatan (man made) Tugu Siger (Bakauheni dan sekitarnya). Kawasan Perikanan: perikanan tangkap di Teluk Lampung, areal pertambakan di kawasan pantai (terutama di Kabupaten Pesawaran), budidaya laut mutiara dan keramba jaring apung (terutama di Kabupaten Pesawaran). Kawasan pertanian dalam arti luas: tersebar di seluruh kecamatan wilayah pesisir Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan. Kawasan reklamasi pantai: di Bandar Lampung, dengan pertimbangan perlunya pembenahan wilayah pesisir dikembangkan sebagai kota pantai (waterfront city), maka diperlukan reklamasi (penimbunan perairan) pantai. Dari dokumen RTRW kabupaten/kota, tampak bahwa wilayah Teluk Lampung dipandang sebagai bagian dari wilayah administratif kabupaten atau kota yang bersangkutan. Demikian juga pada skala provinsi, dalam RTRW Provinsi Lampung, wilayah Teluk Lampung juga masih dilihat dalam perspektif batasan administrasi kabupaten/kota. Oleh karena itu wilayah Teluk Lampung
!
"
#!$ $
120 tidak dijadikan sebagai kawasan strategis yang merupakan satu kesatuan, melainkan hanya tersekat sebagai wilayah strategis provinsi di Teluk Ratai (Kabupaten Pesawaran) dan di Bakauheni (Kabupaten Lampung Selatan). Wilayah pesisir Teluk Lampung memiliki potensi ekonomi wilayah yang besar, dengan PDRB sekitar 10% dari wilayah provinsi dan rasio luas wilayah dan jumlah penduduk terhadap provinsi berturut-turut hanya 3,62% dan 8,03%. Secara ekologis wilayah ini merupakan kesatuan fungsional yang relatif dapat dibatasi dari wilayah lainnya di Provinsi Lampung. Wilayah pesisir Teluk Lampung, dipisahkan oleh daerah aliran sungai (DAS) tersendiri, dan memiliki perairan teluk yang semi tertutup dengan tubuh air lainnya. Nilai strategis lain dari wilayah pesisir Teluk Lampung adalah lokasi geografisnya sebagai pintu gerbang antar Pulau Sumatera dan Jawa, serta dari sisi pertahanan sebagai calon pusat armada barat TNI-AL. Berdasarkan kondisi wilayah dan nilai strategis kawasan, maka terdapat cukup alasan untuk memberikan status sebagai kawasan strategis provinsi pada wilayah pesisir Teluk Lampung. Dengan status tersebut maka penataan ruang dan pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung, dapat lebih diprioritaskan. Dengan demikian, wilayah ini akan memiliki peluang untuk lebih maju dan berkelanjutan, serta akan lebih berperan bagi Provinsi Lampung secara keseluruhan.
!
"
#!$ $
Gambar 26 PETA RTRW TERKAIT TELUK LAMPUNG !
"
#!$ $
121
122
!
"
#!$ $
5 ANALISIS PROSPEKTIF PARTISIPATIF 5.1
Penentuan Variabel Kunci Pelaksanaan analisis prospektif partisipatif dilakukan melalui temu pakar
(expert meeting). Temu pakar dihadiri oleh 27 orang partisipan. Jumlah tersebut dianggap cukup, sebagaimana analisis pernah di Bogor pada tahun 2002, telah dianggap cukup dengan dihadiri oleh 13 orang pakar (Bourgeois dan Jesus 2004). Dalam pertemuan tersebut, pakar atau partisipan diminta untuk mengidentifikasi variabel kunci yang dianggap paling berpengaruh terhadap penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Aktivitas ini dilakukan secara bebas, yaitu masing-masing partisipan menuliskan setiap variabel pada selembar kartu berwarna, dan kemudian dikumpulkan. Dari pendapat partisipan secara bebas diidentifikasi 56 variabel yang dianggap paling menentukan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, seperti disajikan pada Tabel 28. Setelah identifikasi variabel kunci, kemudian partisipan diminta untuk menetapkan definisi dari masing-masing variabel tersebut (pada Tabel 28) secara konsensus. Dalam proses ini, ternyata diketahui terdapat banyak variabel yang merupakan pengulangan atau bermiripan antara satu dengan lainnya. Sebagai ilustrasi Pada Tabel 28, terlihat bahwa variabel nomor 6, 15, 23, 41, 52, dan 54, sangat bermiripan dan mempunyai kata kunci yang sama yaitu sumberdaya manusia (SDM). Dalam proses yang berlangsung, kelima variabel tersebut secara konsensus digabung menjadi variabel “kualitas SDM masyarakat pesisir”. Selain itu, dengan menerapkan tiga aturan sederhana analisis kandungan dari opini partisipan, serta relevansinya (Bourgeois dan Jesus 2004), kembali dapat ditemukan beberapa variabel yang dapat digabung atau dibuang dari daftar. Dari diskusi yang terjadi antar partisipan, dicapai suatu konsensus untuk menggabung dan membuang sejumlah variabel. Pada akhirnya dari proses ini didapatkan 19 variabel yang dapat didefinisikan secara konsensus, seperti disajikan pada Tabel 29.
!
"
#!$ $
124 Tabel 28 Variabel pengaruh yang diidentifikasi oleh partisipan No. 1
Variabel Ketersediaan Ruang
No. 29
2
Aktivitas Ekonomi
30
3
Pertumbuhan Penduduk
31
4
Sebaran Limbah Industri dan domestik Penegakan hukum Kualitas SDM Masyarakat Pesisir Koordinasi antar Pemda Kab/Kota Perlindungan Ekosistem Pesisir Zonasi Wilayah Kebijakan Pemerintah Illegal fishing (IUU) Perusakan Lingkungan Sarana Prasarana Abrasi Kualitas SDM Pencemaran Pencemaran Keberadaan SDA yang harus dilestarikan Reklamasi pantai Luas lahan Terumbu karang akibat bahan peledak Ekonomi SDM Komunikasi Kondisi sosekbud Kondisi eksisting ruang Pemboman ikan Pukat harimau
32
Variabel Perlunya pengawasan aparat terkait Perlunya pengawasan penimbunan pantai Potensi ekonomi dan SD ekonomi wilayah Kelestarian lingkungan
33 34
Sentra usaha UMKM Perizinan
35
Reklamasi pantai
36
Strategis
37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Keterpaduan antar sektor Tingkat pendapatan nelayan Habitat yang perlu dilindungi Prospektif wilayah SDM terdidik Kepentingan semua pihak Perusakan lingkungan pesisir Kebijakan pemerintah Profil ekonomi rakyat Kelembagaan
47 48 49
Biofisik wilayah Limbah Konsentrasi permukiman
50 51 52 53 54 55 56
Kekhasan wilayah Potensi SD SDM dan budaya Kebijakan pemerintah SDM Masyarakat Kepadatan penduduk Tingkat kedalaman pantai
Keterangan: Penulisan nama masing-masing variabel adalah persis sama dengan yang ditulis oleh masing-masing partisipan; SDM = sumberdaya manusia; SDA = sumberdaya alam; UMKM = usaha mikro, kecil, dan menengah; SD = sumberdaya; IUU = illegal, unreported and unregulated.
!
"
#!$ $
125 Tabel 29 Variabel pengaruh yang diidentifikasi dan didefinsikan oleh partisipan No. Variabel Definisi dan Deskripsi 1 Ketersediaan ruang Bagian perairan, darat/lahan, udara yang masih dapat dimanfaatakn untuk budidaya ataupun lindung 2 Aktivitas ekonomi Ekspolitasi sumberdaya alam (SDA) dan jasa lingkungan untuk mendapatkan manfaat ekonomi 3 Pertumbuhan Laju pertambahan neto penduduk baik dari alamiah penduduk maupun migrasi per tahun 4 Sebaran limbah Sebaran limbah padat, cair, dan gas yang masuk ke industri dan wilayah pesisir domestik 5 Penegakan hukum Konsistensi pemangku kepentingan terhadap peraturan yang dibuat 6 Kualitas Kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang diukur sumberdaya dari pendapatan, pendidikan, dan kesehatan manusia (SDM) masyarakat, serta pelestarian budaya dan kearifan masyarakat pesisir lokal 7 Koordinasi antar Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir antar Pemda Kab/Kota Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi 8 Perlindungan Keberadaan ekosistem, komunitas, spesies, di ekosistem pesisir wilayah pesisir yang rentan dan perlu dilindungi 9 Zonasi wilayah Peruntukan wilayah berdasarkan kebutuhan para pemangku kepentingan 10 Kebijakan Ketersediaan peraturan/kebijakan pemerintah yang pemerintah akomodatif terhadap pengelolaan wilayah pesisir 11 Illegal fishing (IUU) Penangkapan ikan yang tidak mengikuti peraturan/perundangan (IUU) 12 Perusakan Aktivitas manusia (antropogenik) yang menimbulkan kerusakan lingkungan lingkungan 13 Sarana prasarana Kondisi sarana prasarana (permukiman/perkotaan. Perhubungan, listrik, air bersih, dll) baik secara kualitas kuantitas 14 Abrasi Laju abrasi yang terjadi di sekitar wilayah pantai 15 Reklamasi pantai Reklamasi pantai yang tidak sesuai kaidah lingkungan (UU 17/2005, RPP reklamasi pantai) 16 Kondisi eksisting Kondisi faktual pemanfaatan ruang yang sedang ruang berlangsung 17 Sentra usaha mikro, Keberadaan sentra ekonomi mikro, kecil, dan kecil, dan menengah menengah yang terkait dengan sumberdaya alam (UMKM) (SDA) pesisir dan perikanan 18 Keterpaduan antar Pemanfaatan ruang antar kepentingan sektor seperti sektor pariwisata, perikanan, permukiman, yang terpadu dan sinergis untuk mengurangi konflik kepentingan di wilayah pesisir 19 Prospek nilai Potensi wilayah pesisir untuk pemanfaatan ke depan strategis wilayah Keterangan: Penulisan nama, definisi, dan deskripsi masing-masing variabel adalah sama dengan yang ditulis dan disepakati oleh partisipan; SDM = sumberdaya manusia; SDA = sumberdaya alam; UMKM = usaha mikro, kecil, dan menengah; IUU = illegal, unreported and unregulated.
!
"
#!$ $
126 Dari daftar dan definisi variabel yang disajikan pada Tabel 29, partisipan kembali melakukan diskusi. Diskusi terfokus pada pembahasan definisi beberapa variabel pada Tabel 29, yang masih menunjukkan kesamaan kata kunci atau definisi yang telah disusun, yaitu sebagai berikut: 1) Variabel nomor 1, 16, dan 19 memiliki kemiripan, yaitu berkaitan dengan ruang pada wilayah pesisir. 2) Variabel nomor 2 dan 17 memiliki kemiripan, yaitu berkaitan dengan perekonomian wilayah dan masyarakat pesisir. 3) Variabel nomor 5, 7, dan 10, memiliki kemiripan, yaitu berkaitan produk hukum dan impelementasinya pada wilayah pesisir. 4) Variabel nomor 8, akan lebih relevan bila mengacu pada lingkungan sensitif di wilayah pesisir. 5) Variabel nomor 9 dan 18, memiliki kemiripan, yaitu berkaitan dengan koordinasi, keterpaduan, dan peruntukan ruang di wilayah pesisir. 6) Variabel nomor 11, 12, dan 15,
memiliki kemiripan, yaitu berkaitan
dengan perusakan lingkungan dan pelestarian sumberdaya pesisir. Diskusi yang terfokus pada enam butir pembahasan definisi variabel di atas, pada akhirnya menghasilkan konsensus para partisipan, dan disimpulkan bahwa beberapa variabel pada Tabel 29 harus didefinisikan ulang, yaitu: 1) Variabel nomor 1, 16, dan 19 digabung menjadi “Kondisi ruang”. 2) Variabel nomor 2 dan 17 digabung dan ditambah kerakyatan sesuai dengan maksud dari partisipan, menjadi “Aktivitas ekonomi kerakyatan”. 3) Variabel nomor 5, 7, dan 10 digabung menjadi “Penegakan hukum”. 4) Variabel nomor 4, dinamai ulang sesuai dengan definisinya, dari “Sebaran limbah” menjadi “ Pencemaran pesisir”. 5) Variabel nomor 8 diubah menjadi “Lingkungan sensitif”. 6) Variabel nomor 9 dan 18 digabung menjadi “Zonasi wilayah”. 7) Variabel nomor 11, 12, dan 15 digabung menjadi “Perusakan lingkungan”. Dari konsensus di atas, maka ditetapkan hanya terdapat 11 variabel yang dapat dianggap paling menentukan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, seperti disajikan pada Tabel 30.
!
"
#!$ $
127 Tabel 30 Variabel yang disimpulkan paling berpengaruh oleh partisipan No. 1
2
3 4 5
6 7 8
9
10
11
Variabel Kondisi ruang
Definisi dan Deskripsi Kondisi faktual pemanfaatan ruang yang sedang berlangsung, ketersediaan bagian perairan, darat/lahan, udara yang masih dapat dimanfaatkan untuk budidaya ataupun lindung, serta potensi wilayah pesisir untuk pemanfaatan ke depan. Aktivitas ekonomi Ekspolitasi sumberdaya alam (SDA) dan jasa kerakyatan lingkungan (terkait dengan SDA pesisir dan perikanan) oleh masyarakat pesisir untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari usaha skala mikro, kecil, dan menengah. Pertumbuhan Laju pertambahan neto penduduk baik dari alamiah penduduk maupun migrasi per tahun Pencemaran Limbah padat, cair, dan gas dari industri dan pesisir domestik yang masuk ke wilayah pesisir Penegakan hukum Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir antar Pemda Kab/Kota dan Prov, ketersediaan peraturan/kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap pengelolaan wilayah pesisir, serta konsistensi pemangku kepentingan terhadap peraturan yang dibuat Kualitas SDM Kualitas SDM yang diukur dari pendapatan, masyarakat pesisir pendidikan, dan kesehatan masyarakat, serta pelestarian budaya dan kearifan lokal Lingkungan Keberadaan ekosistem, komunitas, spesies, di sensitif wilayah pesisir yang rentan dan perlu dilindungi Zonasi wilayah Peruntukan wilayah berdasarkan kebutuhan pemangku kepentingan, dan pengaturan pemanfaatan ruang antar kepentingan sektor seperti pariwisata, perikanan, permukiman, yang terpadu dan sinergis untuk mengurangi konflik kepentingan di wilayah pesisir Perusakan Aktivitas manusia (antropogenik) yang lingkungan menimbulkan kerusakan lingkungan, penangkapan ikan yang tidak mengikuti peraturan/perundangan (IUU), serta reklamasi pantai yang tidak sesuai kaidah lingkungan (UU 17/2005, RPP reklamasi pantai) Infrastruktur Ketersediaan dan kondisi sarana prasarana wilayah (permukiman/perkotaan, perhubungan, listrik, air bersih, dan lain-lain) baik secara kualitas maupun kuantitas Abrasi Laju abrasi yang terjadi di sekitar wilayah pantai
Keterangan: Penulisan nama, definisi, dan deskripsi masing-masing variabel adalah sama dengan yang ditulis dan disepakati oleh partisipan; SDM = sumberdaya manusia; SDA = sumberdaya alam; IUU = illegal, unreported and unregulated.
!
"
#!$ $
128 Variabel yang terdaftar pada Tabel 30 merupakan hasil diskusi dan konsensus yang dicapai oleh partisipan. Dalam hal ini belum diketahui varibel yang paling menentukan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Pengaruh antar variabel juga belum dapat digambarkan, sehingga semua variabel memiliki kepentingan dan kekuatan yang sama terhadap sistem. Di sisi lain, untuk kepentingan perencanaan, perlu diketahui perbedaan tingkat pengaruh variabel terhadap sistem yang dikaji. Dengan demikian, dapat ditentukan variabel yang perlu diintervensi sebagai titik masuk (entry point) bagi perencanaan yang efektif (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004; Gray dan Hatchard. 2008; Godet 2010). 5.2
Analisis Pengaruh Antar-Variabel Kunci Berdasarkan 11 variabel pada Tabel 30, kemudian partisipan kembali
berdiskusi dan secara konsensus memberikan skor pada pengaruh silang antar variabel, yang dianalisis secara matriks dengan bantuan perangkat lunak Excel, dari Bourgeois dan Jesus (2004). Proses ini dilakukan melalui analisis struktural dan kerja kelompok, dilakukan analisis pengaruh/ketergantungan langsung (influence/dependence, I/D) setiap variabel dengan variabel lainnya, dengan menggunakan pendekatan valuasi konsensual (consensual). Analisis struktural berbasis pada analisis pengaruh langsung, sebagai suatu cara untuk mengelompokkan variabel. Secara praktis, analisis pengaruh langsung terdiri dari valuasi pengaruh langsung suatu variabel terhadap variabel lainnya, dengan menggunakan skala dari “0 = tidak ada pengaruh” sampai “3 = berpengaruh sangat kuat”. Nilai yang telah didiskusikan dan disepakati oleh partisipan, langsung dimasukkan di dalam matriks I/D. Nilai skor pengaruh silang hasil kesepakatan, secara lengkap disajikan pada Tabel 31. Adapun hasil analisis pengaruh antar variabel disajikan dalam bentuk grafik dan tabel, seperti disajikan pada Gambar 27, 28, dan 29; dan Tabel 32.
!
"
#!$ $
1 3 3 0 3 3 2 3 3 3 1
0 3
3 1 3 3 1 3 2 3 1
1 3 2
0 0 3 0 0 0 2 0
3 3 0 3 3 2 0
3 1 3 0 2 0
0 1 1 2 0
3 2 2 0 3 3 3 1 2 1
3 3 3 1 3 2 1 1 3 0
0 3 2 3 3 3 3 3 1 2
1 2 1 0 3 2 0 3 1
Abrasi
Infrastruktur wilayah
Perusakan lingkungan
1 3 3 2 2
Zonasi wilayah
2 2 2 0
Lingkungan sensitif
Kualitas SDM masyarakat pesisir
Kondisi ruang Aktivitas ekonomi kerakyatan Pertumbuhan penduduk Pencemaran pesisir Penegakan hukum Kualitas SDM masyarakat Lingkungan sensitif Zonasi wilayah Perusakan lingkungan Infrastruktur wilayah Abrasi
Penegakan hukum
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pencemaran pesisir
Dari
Pertum-buhan penduduk
No
Kondisi ruang
Terhadap
Aktivitas ekonomi kerakyatan
Tabel 31 Skor pengaruh antar-variabel yang dinilai oleh partisipan
1 1 0 0 1 2 3 2 3 3
1
Keterangan: Skor: 0 = Tidak ada pengaruh (no influence) 3 = Pengaruh kuat (strong influence) 2 = Pengaruh sedang (mild influence) 1 = Pengaruh lemah (little influence)
!
"
#!$ $
129
130
2,00
[Kuadran I]
1,80
Kualitas SDM masyarakat pesisir
1,60 1,40
Influence
[Kuadran II] Aktivitas ekonomi kerakyatan
Penegakan hukum
Zonasi wilayah
Infrastruktur wilayah
1,20
Pertumbuhan penduduk
1,00
Kondisi ruang
0,80
Perusakan Lingkungan
0,60
Lingkungan sensitif
0,40
-
-
--
0,20
0,40
Pencemaran pesisir
Abrasi
[Kuadran IV]
0,20
0,60
0,80
1,00
1,20
[Kuadran III]
1,40
1,60
1,80
2,00
Dependence
Copyright: CIRAD/CAPSA - 2004 Authors: Franck Jésus and Robin Bourgeois
Gambar 27 Hasil analisis pengaruh langsung antar variabel
2,00
[Kuadran I]
1,80
[Kuadran II]
1,60
Kondisi ruang
Influence
1,40
Penegakan hukum Kualitas SDM masyarakat pesisir
1,00 0,80
Infrastruktur wilayah
Lingkungan sensitif
Perusakan lingkungan
Pencemaran pesisir
0,60
Abrasi
0,40
[Kuadran III]
[Kuadran IV]
0,20 -
Aktivitas ekonomi kerakyatan Zonasi wilayah
Pertumbuhan penduduk
1,20
-
--
0,20
0,40
0,60
0,80
Copyright: CIRAD/CAPSA - 2004 Authors: Franck Jésus and Robin Bourgeois
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2,00
Dependence
Gambar 28 Hasil analisis pengaruh tidak langsung antar variabel
Grafik pengaruh (langsung, tidak langsung, dan total) menunjukkan pencaran variabel di dalam ruang empat-kuadran yang dibatasi oleh dua sumbu. Penggambaran tersebut didasarkan pada nilai-nilai I/D terboboti pada masingmasing variabel, yang dihitung dari tabel pengaruh dan ketergantungan. Interpretasi hasil meliputi: posisi variabel; bentuk distribusi variabel; dan interpretasi hasil langsung dan tidak langsung-nya (Bourgeois dan Jesus 2004).
!
"
#!$ $
131
2,00
[Kuadran I]
1,80
[Kuadran II]
1,60 Kualitas SDM masyarakat pesisir
Influence
1,40
Penegakan hukum
1,20
Pertumbuhan penduduk
Aktivitas ekonomi kerakyatan
Zonasi wilayah
Infrastruktur wilayah
1,00
Kondisi ruang Perusakan lingkungan
0,80
Lingkungan sensitif
0,60
Pencemaran pesisir Abrasi
0,40
[Kuadran III]
[Kuadran IV]
0,20 -
-
0,20
0,40
0,60
0,80
Copyright: CIRAD/CAPSA - 2004 Authors: Franck Jésus and Robin Bourgeois
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2,00
Dependence
Gambar 29 Hasil analisis pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel
Masing-masing kuadran berhubungan dengan karakteristik khusus dari variabel. Kuadran I (kiri atas) merupakan wilayah variabel penggerak (driving). Kuadran II (kanan atas) merupakan wilayah variabel kontrol (leverage), yang bercirikan pengaruh dan juga ketergantungan kuat, beberapa variabel dalam kuadran ini dapat juga digolongkan sebagai variabel kuat. Kuadran III (kanan bawah) merupakan wilayah variabel keluaran (output), yang bersifat sangat tergantung dan hanya sedikit pengaruh. Kuadran IV (kiri bawah) merupakan wilayah variabel marjinal (marginal), kelompok ini akan langsung dikeluarkan dari analisis. Selain keempat kuadran, juga terdapat area abu-abu di sepanjang sumbu yang memisahkan kudran IV dari kuadran lainnya. Pada area abu-abu mungkin didapati sekelompok variabel, yang peranannya di dalam sistem tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Perbandingan antara grafik pengaruh langsung dan tidak langsung (Gambar 27 dan 28), digunakan untuk mengenali variabel yang kuat secara tidak langsung. Interpretasi didasarkan pada variabel yang bertambah kuat secara progresif dengan adanya pertimbangan terhadap pengaruh tidak langsung, yaitu bahwa jika kekuatan globalnya dan/atau rangking-nya meningkat, atau mereka cenderung bergerak ke arah atas grafik, maka mereka merupakan variabel yang dapat muncul setelah waktu yang cukup lama. Variabel ini harus dianggap sebagai
!
"
#!$ $
132 variabel yang memiliki posisi penting pada sistem di masa depan. Secara khusus, variabel yang berlokasi di kanan-atas dan bergerak secara progresif ke arah kiriatas grafik, dapat menjadi variabel penggerak di masa depan. Karena variabel yang berlokasi di kanan-atas juga dianggap sebagai variabel jaminan, maka pengendalian terhadap variabel ini menjadi penting (Bourgeois dan Jesus 2004). Tabel 32 Skor kekuatan variabel global tertimbang No. Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kualitas SDM masyarakat pesisir Penegakan hukum Pertumbuhan penduduk Infrastruktur wilayah Aktivitas ekonomi kerakyatan Zonasi wilayah Kondisi ruang Perusakan lingkungan Lingkungan sensitif Pencemaran pesisir Abrasi
Kekuatan variabel global tertimbang 1,50 1,42 1,39 1,36 1,34 1,29 0,75 0,66 0,55 0,46 0,26
Keterangan: SDM = sumberdaya manusia
Dari prsentasi hasil analisis pengaruh langsung dan tidak langsung (total) yang disajikan pada Gambar 29, dapat dipilih 6 variabel yang dapat dikatakan sebagai variabel paling berpengaruh, yaitu: kualitas SDM masyarakat pesisir, penegakan hukum, pertumbuhan penduduk, infrastruktur wilayah, aktivitas ekonomi kerakyatan, dan zonasi wilayah. Hal ini ditunjang oleh nilai kekuatan global tertimbang masing-masing variabel, dimana keenam variabel tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi dari lima variabel lainnya (seperti disajikan pada Tabel 32). Dari hasil analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel nomor 1 sampai dengan 6 (pada Tabel 32), terpilih sebagai variabel paling berpengaruh (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004). 5.3
Penentuan Kondisi (State) Variabel Kunci di Masa Depan Dari keenam variabel terpilih, selanjutnya partisipan melakukan eksplorasi
secara konsensus, untuk menentukan kondisi yang berpeluang terjadi terhadap variabel tersebut untuk 20 tahun ke depan (sesuai dengan dimensi waktu analisis). Eksplorasi terhadap kondisi variabel tersebut, penting dilakukan untuk
!
"
#!$ $
133 membangun skenario yang diinginkan (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004; Gray dan Hatchard 2008; Wiek dan Walter 2009; Coates et al. 2010; Durance dan Godet 2010). Hasil penentuan kondisi variabel dan kombinasinya untuk membangun skenario dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Kondisi variabel yang ditetapkan oleh partisipan secara konsensus Variabel Kualitas SDM masyarakat pesisir Penegakan hukum Pertumbuhan penduduk Infrastruktur wilayah Aktivitas ekonomi kerakyatan Zonasi wilayah
Kode Kondisi yang mungkin terjadi pada 20 tahun ke depan Variabel 1 2 3 4 A
Meningkat
Tetap
B
Baik
Tetap
C
Meningkat
Tetap
Menurun
D
Meningkat
Tetap
Menurun
E
Meningkat
Tetap
Menurun
F
Baik
Tetap
Fluktuatif
Keterangan: Hurup (A, B, ..., F) merupakan kode untuk nama variabel; angka (1, 2, ..., 4) merupakan kode untuk kondisi variabel; SDM = sumberdaya manusia.
Pada Tabel 33, masing-masing variabel diberi kode dengan hurup (A sampai F), dan kondisi variabel diberi kode angka (1 sampai 4), sehingga kombinasinya dapat ditulis ringkas seperti B2, yang bermakna bahwa kondisi variabel penegakan hukum 20 tahun ke depan adalah tetap seperti saat ini. Penentuan kondisi variabel di masa depan, merupakan hasil dari analisis morfologis dan diskusi kelompok, dimana partisipan melakukan perkiraan (foresight) terhadap masing-masing variabel. Hasil perkiraan oleh partisipan (Tabel 33), ternyata tidak sama untuk semua variabel. Terdapat variabel yang menurut partisipan hanya akan mempunyai peluang dua bentuk kondisi (kualitas SDM masyarakat pesisir, penegakan hukum, dan zonasi wilayah); tiga bentuk kondisi (pertumbuhan penduduk dan infrastruktur wilayah); serta empat kondisi (aktivitas ekonomi kerakyatan). Masing-masing peluang dari bentuk kondisi tersebut merupakan
!
"
#!$ $
134 opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan di masa depan (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004; Gray dan Hatchard 2008; Coates et al. 2010; Durance dan Godet 2010). 5.4
Pembangunan Skenario Dari penentuan kondisi variabel pada Tabel 33, dapat ditentukan
kombinasi kondisi variabel yang tidak mungkin terjadi. Kombinasi antar kondisi variabel yang tidak mungkin tersebut, selanjutnya dibuang dari penyusunan skenario. Kombinasi kondisi variabel yang tidak mungkin, adalah sebagai berikut: 1) A1-B2 2) A1-D3 3) A1-E3 4) A2-B1 5) A2-E1 6) B1-F2 7) B2-F1 8) D1-E3 Pengembangan
skenario
dilakukan
melalui
curah
pendapat
(brainstorming) dan diskusi kelompok terstruktur. Dalam forum tersebut partisipan diminta untuk dapat memberikan perkiraan dari kondisi masing-masing variabel penentu pada masa datang. Perkiraan tersebut merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan di masa depan. Dari perkiraan mengenai kondisi variabel tersebut di masa datang, dapat disusun skenario yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Teluk Lampung (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004; Godet 2010). Suatu skenario merupakan sebuah kombinasi variabel dengan kondisi yang berbeda-beda. Pembangkitan skenario dilakukan melalui curah pendapat terhadap berbagai kondisi variabel (yang telah diidentifikasi pada Tabel 33), oleh para partisipan. Secara konsensus, partisipan diminta untuk menyusun berbagai kombinasi dari kondisi variabel yang mungkin terjadi atau mungkin dicapai di masa depan (dalam kurun waktu 20 tahun ke depan).
!
"
#!$ $
135 Hasil curah pendapat partisipan, dan didapat konsensus penyusunan skenario dalam penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang mungkin terjadi, adalah sebagai berikut: 1) Optimis
: A1-B1-C3-D1-E1-F1, yaitu: kualitas SDM masyarakat pesisir
(meningkat),
penegakan
hukum
(baik),
pertumbuhan penduduk (menurun), infrastruktur wilayah (meningkat), aktivitas ekonomi kerakyatan (meningkat), zonasi wilayah (baik). 2) Moderat
: A1-B1-C2-D2-E1-F1, yaitu: kualitas SDM masyarakat pesisir
(meningkat),
penegakan
hukum
(baik),
pertumbuhan penduduk (tetap), infrastruktur wilayah (tetap), aktivitas ekonomi kerakyatan (meningkat), zonasi wilayah (baik). 3) Pesimis
: A2-B2-C2-D2-E2-F2, yaitu: kualitas SDM masyarakat pesisir (tetap), penegakan hukum (tetap), pertumbuhan penduduk (tetap), infrastruktur wilayah (tetap), aktivitas ekonomi kerakyatan (tetap), zonasi wilayah (tetap).
4) Sangat Pesimis: A2-B2-C1-D3-E3-F2, yaitu: kualitas SDM masyarakat pesisir (tetap), penegakan hukum (tetap), pertumbuhan penduduk (meningkat), infrastruktur wilayah (menurun), aktivitas ekonomi kerakyatan (menurun), zonasi wilayah (tetap). Dari skenario yang disusun partisipan, tampak bahwa perbedaan antar skenario memberikan implikasi terhadap upaya yang harus dilakukan dalam penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Pada skenario optimis, harus dilakukan upaya perbaikan yang maksimal terhadap semua variabel, sehingga sistem akan menuju ke arah yang lebih baik. Secara implisit tampak bahwa skenario optimis, merupakan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan untuk mencapai suatu kondisi wilayah pesisir yang ideal pada masa depan. Pada ekstrim yang lain, skenario sangat pesimis menunjukkan bahwa bila kondisi seperti saat ini terus berlangsung, maka tidak diperlukan upaya pebaikan, dan tentunya sistem akan menjadi lebih buruk daripada kondisi saat ini.
!
"
#!$ $
136 Sebagai kompromi dari kedua skenario ekstrim di atas, partisipan juga merumuskan skenario moderat dan pesimis. Kedua skenario kompromis ini merupakan cerminan dari kebutuhan para pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan kemampuan memperbaiki berbagai variabel penentu (Brown et al. 2001). Upaya logis yang dapat diajukan oleh partisipan, secara nyata dapat dirumuskan dalam implikasi strategis dan aksi antisipatif. 5.5
Implikasi Strategis dan Aksi Antisipatif Dari kombinasi kondisi variabel dan skenario yang mungkin terjadi dalam
20 tahun ke depan, selanjutnya partisipan melakukan diskusi terstruktur dan menyusun implikasi strategis dan aksi antisipatif. Rencana aksi yang dapat disusun oleh partisipan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi di masa datang (pro-aktif). Selain itu, eksplorasi kondisi masa datang juga dapat membantu dalam menyiapkan aksi yang bersifat re-aktif. Melalui identifikasi dan perbandingan skenario, maka para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan dapat lebih mampu merencanakan masa depan suatu wilayah (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004; Gray dan Hatchard 2008; Coates et al. 2010; Durance dan Godet 2010). Pada akhirnya sebagai kesimpulan konsensus, dapat dirumuskan implikasi strategis dan aksi antisipatif yang harus diakomodasi dalam penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung adalah sebagai berikut: 1) Pemenuhan kebutuhan ruang untuk prasarana dan sarana kesehatan dan pendidikan masyarakat pesisir 2) Pemenuhan kebutuhan ruang untuk pengembangan sentra-sentra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terkait dengan kelautan dan perikanan 3) Pemenuhan kebutuhan ruang untuk permukiman di wilayah pesisir yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana sanitasi lingkungan. 4) Penyusunan struktur dan pola ruang yang sinergis antar kabupaten/kota di wilayah pesisir 5) Penyusunan
struktur
dan
pola
ruang
yang
mampu
pengembangan wirausaha UMKM untuk masyarakat pesisir.
!
"
#!$ $
mendorong
137 6) Penyusunan struktur ruang yang dapat mendorong distribusi penduduk yang proporsional di wilayah pesisir, dan sekaligus menjamin pengelolaan kawasan lindung dan budidaya secara berimbang. Implikasi strategis dan aksi antisipatif di atas merupakan kebutuhan pemangku kepentingan yang dapat dipenuhi melalui intervensi terhadap berbagai variabel penentu dalam penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. 5.6
Hubungan Analisis Prospektif Partisipatif dengan Pemodelan Hasil analisis prospektif partisipatif digunakan sebagai bentuk kebutuhan
pemangku kepentingan dalam pengembangan skenario perencanaan tata ruang. Pada sub-bab 7.1, hasil analisis ini dipresentasikan dalam model sistem dinamik untuk penggambaran skenario melalui peubah “kebijakan”. Adapun hasil penyusunan implikasi strategis dan aksi antisipatif oleh para pemangku kepentingan, digunakan sebagai dasar dalam penyusunan strategi implementasi kebijakan tata ruang, yang dibahas dalam sub-bab 7.3.
!
"
#!$ $
138
!
"
#!$ $
6 ANALISIS SISTEM 6.1
Pemodelan Sistem Dinamik Pemodelan sistem merupakan gugus kegiatan pembuatan model yang akan
menggambarkan sistem yang dikaji (Forrester 1968; HPS Inc. 1994; Eriyatno 1999). Model yang dibangun adalah model simbolik (model matematik) deterministik. Pemodelan sistem dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Stella 7.r. dari HPS, Inc (2001). 6.1.1
Sub-model Model terdiri dari tiga sub model, yaitu populasi, ekonomi, dan
ketersediaan ruang. Ketiga sub-model saling terhubung dengan beberapa peubah, dengan beragam parameter dan nilai awal. Blok bangunan dasar dalam bahasa Stella adalah meliputi stocks, flows, dan converter, seperti telah diuraikan pada Sub-bab 3.7.2. Sub-model populasi Sub-model populasi menggambarkan dinamika penduduk berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: jumlah populasi, kelahiran, imigrasi, kematian, emigrasi, angkatan kerja, pengangguran, dan pertambahan penduduk. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Sub-model populasi terhubung dengan sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan investasi; sedangkan terhadap sub-model ketersediaan ruang melalui peubah
kendala
ruang-percepatan
emigrasi_emigrasi,
serta
pertambahan
penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana. Sub-model populasi disajikan pada Gambar 30, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4. Sub-model aktivitas ekonomi Sub-model aktivitas ekonomi menggambarkan dinamika perekonomian berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah-peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000), pertumbuhan ekonomi, angkutan laut, industri, investasi, perikanan,
!
"
#!$ $
140 pertanian, sektor lain, wisata, dan lapangan kerja. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Sub-model aktivitas ekonomi terhubung dengan sub-model populasi melalui peubah lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan investasi; sedangkan terhadap sub-model ketersediaan ruang melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Secara singkat sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 31, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4. Sub-model ketersediaan ruang Sub-model ketersediaan ruang menggambarkan dinamika kebutuhan dan penggunaan ruang berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubahpeubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: kawasan lindung darat, kawasan lindung perairan, lahan budidaya pesisir, lahan bisnis dan industri, lahan
permukiman, lahan
pertanian, lahan
prasarana, perairan
budidaya laut, perairan ikan tangkap, perairan militer, perairan pelabuhan, terumbu karang, degradasi sumberdaya pesisir, dan kendala ruang. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Sub-model ketersediaan ruang terhubung dengan sub-model populasi melalui peubah kendala ruang-percepatan imigrasi emigrasi, serta pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana.; sedangkan terhadap sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Secara singkat sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 32,
sedangkan
persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4. 6.1.2
Nilai awal dan parameter Dalam model yang dibangun, terdapat banyak variabel (peubah), yang
setiap atau sekelompok peubah mewakili komponen sistem. Setiap atau sekelompok peubah akan berinteraksi dengan satu atau sekelompok peubah lain, dan menggambarkan karakteristik sistem. Interaksi antar peubah berlangsung melalui persamaan-persamaan, yang meliputi: stock, flow, auxilary, dan delay, seperti telah diuraikan pada Bab 3. Untuk melengkapi persamaan-persamaan tersebut, yang dapat menggambarkan karakteristik dan pola interaksi antar peubah
!
"
#!$ $
141 dalam komponen sistem, maka dibutuhkan nilai awal untuk stock dan parameter untuk peubah lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu untuk mempelajari dinamika sistem dalam jangka panjang, maka penentuan nilai awal dan parameter dari berbagai peubah, menjadi penting.
Gambar 30 Sub-model populasi Sub Model Aktivitas Ekonomi Lapangan Kerja Awal
Sektor Lain
Lapangan Kerja
Keb Naker Investasi
Naker per Invest
Fraksi Pert Lain Fraksi pert invest
Naker PDRB
Lap Kerja dari Perekonomian
Investasi
~
Tgkt Kebangkrutan
Kebangkrutan
Percp Invest ~
Percp Invest ~
Perst Ekonomi
Pert Sektor Lain
Perst Lain Percp Invest
~
Angkutan Laut
Perst Ikan
~
Perst Angklaut Pert Pertanian
Percp Invest
Pert Industri
~
Industri Rasio lhn tani Fraksi Pert Pertanian
~
Perst Indst
Perst Ikan
Pert Perikanan
Pertanian
~
Percp Invest
Ikan awal
Perst Wisata Fraksi Pert Industri
Pengrh angktlaut
~
Percp Invest Wisata
Percp Invest
Pert Angkt Laut
~
Pert Wisata
Kendala Ruang
Pert Investasi
Fraksi Pert Angkt Laut
Pertumbuhan Ekonomi
Fraksi Pert Wisata
~
AKTIVITAS EKONOMI
Dampak Penganggur
~
Pengrh angktlaut
Perst Tani
Perikanan
~
Fraksi Pert Perikanan
Rasio Perairan LDG BD
Gambar 31 Sub-model aktivitas ekonomi Penentuan nilai awal dan parameter, dilakukan berdasarkan data sekunder (empirik) yang telah dikumpulkan, serta interpretasi citra satelit dan analisis SIG. Dalam hal tidak ditemuinya data sekunder untuk nilai awal dan parameter, maka
!
"
#!$ $
142 dilakukan perkiraan dari pengolahan data yang tersedia, atau melalui simulasi model yang meliputi simulasi per sub-model (sektor) atau penggunaan fungsi grafik yang terdapat dalam perangkat lunak Stella. Beberapa nilai awal dan parameter model, disajikan pada Tabel 34, dan secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 3 Sub Model Ketersediaan Ruang Mukim per kapita
.
Prasarana per Kapita
Pertambahan Penduduk
Penurunan Lhn Tani
Lahan Prasarana
Lahan BD Ideal
Ruang per Investasi Pert Industri
Keb Pelabuhan
Penetapan status menjadi lindung
Laju perb BD Pesisir
Kawasan Lindung Darat Landuse tak sesuai
Penetapan Lindung Darat
Lahan BD Terpakai
LAHAN TOTAL
Lahan sisa Peruntukan Semp Sungai
Semp Sungai
Keb Pemukiman Kecepatan Reklamasi Perambahan TK
Terumbu Karang
Prtk Lindung Lahan Atas
Lindung Lahan Atas
Kaw Lindung Perairan
Konversi Lahan Atas
Pertambahan Reklamasi
Perairan Militer
Pertambahan Reklamasi
Laju penambahan perairan pel
KEBIJAKAN Perambahan TK Konversi kws lindung perairan Laju prb lhn lain
Rasio Lhn LDG BD
Penetapan status menjadi lindung
~ ~
~
Terumbu Karang
Konversi Semp Sungai
Kendala Ruang
Fraksi Pert Perikanan
Penambahan perairan BD Laut
Perairan BD Laut
Prtk Kw Lindung Perairan Rasio Perairan LDG BD
~
Pengurangan Perairan Total
Perairan Ikan Tangkap
Kaw Lindung Perairan
Konversi Semp Pantai
Inkonsistensi tata ruang
Perairan BD Terpakai
Rasio Perairan LDG BD
~
KEBIJAKAN
Degradasi SD Pesisir Landuse tak sesuai
Perairan Pelabuhan
Tahapan Kw Lindung
Penyedian Lhn tak ramah lingk
Laju perb pertanian
Perb Perairan Pel
Perairan BD Ideal
Keb Pemukiman
Reklamasi
~
KEBIJAKAN
Pert BD Pesisir
Semp Pantai Peruntukan Semp Pantai
Penggunaan Lahan Lain
Lahan Rawa Pantai
~
Konversi Semp Sungai
Laju perb BD Pesisir
Peruntukan Lindung Darat
Pert Lhan Tani
PERAIRAN Penurunan Lhn Tani Keb Pemukiman TOTAL
Tahapan Kw Lindung
Peruntukan Lindung Darat
Lahan Pertanian
Rasio lhn tani
Lahan BD Pesisir ~
Laju perb lhn wisata
Keb Prasarana
Lahan Pelabuhan KEBIJAKAN Sbr lind darat
Pert Lahan Wisata
Keb Lahan Militer Lahan Wisata Pantai
Peruntukan LAHAN Lindung Darat TOTAL Lahan BD Keb Bisnis dan Industri Terpakai
Penetapan Lindung Darat
Pert Lahan Militer
Laju perb BD Pesisir
Laju perb lhn wisata
Keb Bisnis dan Industri Perluasan pelabuhan
Peruntukan Lindung Darat
Kawasan Lindung Darat Lahan Militer
Rasio Lhn Penetapan LDG BD Lindung Darat
Lahan Bisnis dan Industri
Laju kebutuhan lahan
Lahan Tersedia
LAHAN TOTAL
Keb Prasarana
Keb Bisnis dan Industri Keb Pelabuhan
Penyediaan Lahan
Penambahan Lahan
Keb Pemukiman
Keb Pemukiman Keb Prasarana
Penyedian Lhn tak ramah lingk
Pertambahan Reklamasi Lahan Permukiman
Gap penggunaan ruang
Penurunan Lhn Lain Penggunaan Lahan Lain
Gambar 32 Sub-model ketersediaan ruang !
"
#!$ $
Tabel 34 Ringkasan beberapa nilai awal dan parameter model No.
Nilai Awal / Parameter 2.628.969
Satuan
Pendugaan
Rp juta
S
Jumlah penduduk total Merupakan luas total kawasan lindung yang ditetapkan sesuai dengan kriteria. Merupakan luas total kawasan lindung perairan. Lahan yang digunakan untuk pemukiman penduduk. Lahan yang digunakan untuk tambak. Lahan yang digunakan untuk bisnis dan industri.
533.298 0 0 1.531 2.477 880
orang ha ha ha ha ha
S E E PS PS PS
Lahan yang digunakan untuk pangkalan TNI-AL di Teluk Ratai. Luas lahan areal pelabuhan. Ruang yang digunakan untuk pertanian. Lahan untuk prasarana, termasuk fasos dan fasum. Lahan yang digunakan untuk areal wisata pantai. Merupakan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan. Merupakan perairan yang secara tradisional untuk menangkap ikan. Merupakan perairan yang ditetapkan untuk pelatihan tempur laut TNI-AL. Merupakan perairan pelabuhan, dan alur pelayaran. Merupakan faktor pengali yang mewakili kebijakan penetapan kawasan lindung dan budidaya darat dan perairan . Menunjukkan kendala pengembangan wilayah. Degradasi sumberdaya pesisir akibat terjadinya konversi kawasan lindung maksimum.
Deskripsi Digambarkan dari nilai besarnya PDRB harga konstan di wilayah penelitian.
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
AKTIVITAS_ EKONOMI POPULASI Kawasan_ Lindung_Darat Kaw_Lindung_ Perairan Lahan_ Permukiman Lahan_BD_ Pesisir Lahan_Bisnis_ dan_Industri Lahan_Militer Lahan_Pelabuhan Lahan_Pertanian Lahan_Prasarana Lahan_Wisata_ Pantai Perairan_BD_Laut Perairan_Ikan_ Tangkap Perairan_Militer Perairan_Pelabuhan KEBIJAKAN
18 19
Kendala_Ruang Degradasi_SD_ Pesisir
1 2 3 4 5 6 7
Keterangan: S = data sekunder; PS = Pengolahan data sekunder, analisis citra satelit, dan SIG; E = simulasi model, graph = fungsi grafik dari Stella.
!
"
#!$ $
143
144 6.1.3
Validasi model Validasi model merupakan pembuktian bahwa suatu model dapat secara
konsisten memenuhi kisaran akurasi sesuai dengan rancangannya, hal ini merupakan titik kritis dalam pengembangan model. Namun demikian, tidak ada uji tertentu yang tersedia untuk menilai “kebenaran” suatu model. Lebih jauh lagi, tidak tersedia suatu algoritma tertentu yang dapat digunakan untuk menentukan teknik atau prosedur apa yang sesuai untuk digunakan. Oleh karena itu, setiap pengembangan model akan menghadirkan tantangan tersendiri (Sargent 1998). Dalam penelitian ini, validasi dilakukan untuk mengetahui validitas model yang telah dibangun, sehingga dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses validasi yang dilakukan melibatkan dua kategori (tahap) pengujian, yaitu pengujian struktur dan pengujian perilaku model. Kedua proses tersebut dapat dianggap layak dalam proses validasi (Sushil 1993; Sargent 1998). (1) Validasi struktur model Validasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi di dalam sistem nyata. Oleh karena itu, validasi struktur berhubungan dengan informasi dari literatur mengenai mekanisme sistem nyata. Proses validasi struktur, meliputi uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi (Sushil 1993; Qudrat-Ullah 2005). Kesesuaian struktur model Model yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, haruslah bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Dalam sistem yang demikian, hubungan antar peubah populasi dan penggunaan ruang, aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang, aktivitas ekonomi dan populasi (lapangan kerja), haruslah bersifat positif (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980). Dalam model yang dibangun, sifat hubungan antar peubah tersebut harus dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem nyata di wilayah pesisir Teluk Lampung. Untuk itu, dilakukan pengoperasian model yang telah dibangun, dan hasilnya disajikan pada Gambar 33 sampai Gambar 35 (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 8). Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang
!
"
#!$ $
145 dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili mekanisme kerja sistem nyata.
Ruang Permukiman dan Perkotaan ( ribu ha )
9
8
7
6
5
4
3 530
550
570
590
610
630
650
670
Populasi (ribu orang)
Gambar 33 Hubungan antara populasi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung
Ruang Permukiman dan Perkotaan ( ribu ha )
9,0
7,8
6,6
5,4
4,2
3,0 2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
5.500
6.000
6.500
7.000
Aktivitas Ekonomi (Rp Milyar)
Gambar 34 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung
!
"
#!$ $
7.500
146
Lapanmgan Kerja ( ribu orang )
292
283
274
264
255
246 2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000
5.500
6.000
6.500
7.000
7.500
Aktivitas Ekonomi (Rp milyar)
Gambar 35 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung Konsistensi dimensi Uji konsistensi dimensi merupakan pemeriksanaan atas semua persamaan matematis yang dibuat di dalam model, agar tidak terdapat kesalahan antara kedua sisi pada masing-masing persamaan. Uji konsistensi dilakukan berulang-ulang, dan telah dilaksanakan secara simultan dalam proses pengembangan model. (2) Validasi perilaku model Validasi perilaku model merupakan pengujian apakah model mampu membangkitkan perilaku yang mendekati sistem nyata. Proses pengujian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pemodelan dengan dunia nyata (data empirik). Pengujian dilakukan pada beberapa peubah yang meliputi: Populasi, Angkatan Kerja, Aktivitas Ekonomi, Investasi, Sektor Industri, Sektor Pertanian, Sektor Perikanan, Sektor Angkutan Laut dan Penyeberangan, Sektor Pariwisata, Sektor Lain, Lahan Permukiman dan Perkotaan, serta Lahan Budidaya Pesisir (tambak). Hasil pemodelan dibandingkan dengan data historis yang tersedia (tahun 2003 sampai 2007), untuk mengetahui apakah kedua nilai tengahnya (mean)
!
"
#!$ $
147 berbeda. Pengujian perbedaan kedua nilai tengah data dilakukan dengan menggunakan uji-t dua arah (two tail) pada taraf nyata 5%. Hasil pengujian model menunjukkan bahwa nilai tengah antara data historis dan data pemodelan dari peubah yang diuji, tidak berbeda nyata. Ringkasan hasil pengujian, disajikan pada Tabel 35, sedangkan data lengkap disajikan pada Lampiran 8. Berdasarkan validasi struktur dan perilaku, dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun adalah valid. Dengan demikian, maka terdapat cukup alasan untuk dapat menggunakan model yang dibangun dalam menggambarkan dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung. Tabel 35 Pengujian nilai tengah (mean) data historis dan data pemodelan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Peubah
Satuan
Populasi Angkatan Kerja Aktivitas Ekonomi Investasi Produk Sektor Industri Produk Sektor Pertanian Produk Sektor Perikanan Produk Sektor Angkutan Laut dan Penyeberangan Produk Sektor Pariwisata Produk Sektor Lain Lahan Permukiman dan Perkotaan Lahan Budidaya Pesisir (Tambak)
orang orang Rp juta Rp juta Rp juta Rp juta Rp juta Rp juta
Keterangan: TB = tidak berbeda nyata menurut uji t-student dua arah, pada taraf nyata 5%.
6.2
Informasi Geografis Wilayah
6.2.1
Penutupan lahan Luas lahan wilayah pesisir Teluk Lampung yang termasuk dalam wilayah
penelitian adalah 127.902 ha. Berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat TM-7 tahun 2009, diketahui bahwa penutupan lahan yang dominan adalah pertanian lahan kering. Penutupan lahan terluas berupa campuran tanaman pangan, tanaman kebun, dan semak, meliputi 40,85% lahan; kemudian disusul oleh penutupan yang didominasi oleh tanaman kebun sebesar 33,68%. Penutupan lahan berupa bangunan yang meliputi permukiman, perkotaan, dan industri hanya sekitar 3,87%; dan pada areal yang berbatasan dengan perairan adalah tambak (4,88%).
!
"
#!$ $
148 Kondisi penutupan hutan di wilayah pesisir Teluk Lampung, sudah sangat sedikit. Hutan primer hanya tersisa sekitar 1.585 ha (1,24%) yang terkonsentrasi di Lampung Selatan (Gunung Rajabasa di Kecamatan Rajabasa), dan hutan bekas tebangan seluas 9.957 ha (7,78%) yang terkonsentrasi di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran. Pada areal yang berbatasan dengan perairan, penutupan hutan mangrove sudah hampir habis, yaitu hanya tersisa sekitar 342 ha (0,27%), yang terdapat di Pesawaran. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh vegetasi alami (hutan) di wilayah pesisir Teluk Lampung, sudah cukup kritis dan memerlukan tindakan penataan yang efektif. Informasi mengenai penutupan lahan, disajikan pada Tabel 36 dan Gambar 36. 6.2.2
Kemampuan lahan Pengelompokan kelas kemampuan lahan di wilayah pesisir Teluk
Lampung dilakukan mengikuti sistem USDA (Klingibeel dan Montgomery 1961 diacu dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dalam sistem tersebut, lahan dikelompokkan dalam delapan kelas yaitu kelas 1 sampai kelas 8, yang berturutturut mencirikan tingkat besarnya faktor penghambat penggunaan lahan yang bersangkutan. Deskripsi dari masing-masing kelas kemampuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Lahan kelas 1, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, bersolum dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan, tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan. 2) Lahan kelas 2, mempunyai beberapa penghambat yang memerlukan usaha pengawetan tanah tingkat sedang. Faktor penghambat adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng, kepekaan erosi atau erosi yang telah terjadi, kedalaman tanah, struktur tanah, sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi mudah diperbaiki, kadang tergenang atau banjir, drainase buruk yang mudah diperbaiki, dan iklim sedikit menghambat. 3) Lahan kelas 3, mempunyai penghambat yang agak berat dan memerlukan usaha pengawetan tanah khusus. Faktor penghambat adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng agak curam, kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi cukup berat, sering tergenang banjir,
!
"
#!$ $
149 permeabilitas sangat lambat, masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, dangkal, daya menahan air rendah, kesuburan rendah dan tidak mudah diperbaiki, salinitas atau kandungan Na sedang, dan penghambat iklim sedang. 4) Lahan kelas 3, mempunyai penghambat yang berat dan memerlukan pengelolaan. Penggunaan lahan sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng curam, kepekaan erosi besar, erosi yang telah tejadi berat, tanah dangkal, daya menahan air rendah, sering tergenang banjir yang menimbulkan keru-sakan berat pada tanaman, drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, salinitas atau kandungan Na agak tinggi, penghambat iklim sedang. 5) Lahan kelas 5 mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan. Lahan ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: drainase yang sangat buruk atau terhambat, sering kebanjiran, berbatubatu, dan penghambat iklim cukup besar. 6) Lahan kelas 6, mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki, yaitu salah satu atau lebih sifat-sifat: lereng sangat curam, bahaya erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, berbatubatu, dangkal, drainase sangat buruk atau tergenang, daya menahan air rendah, salinitas atau kandungan Na tinggi, dan penghambat iklim besar. 7) Lahan kelas 7, memiliki faktor penghambat yang lebih besar, yaitu salah satu atau kombinasi sifat-sifat: lereng terjal, erosi sangat berat, tanah dangkal, berbatu-batu, drainase terhambat, salinitas atau kandungan Na sangat tinggi, dan iklim sangat menghambat. 8) Lahan kelas 8, memiliki faktor penghambat yang sangat besar dan tidak dapat diperbaiki, sehingga harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Penghambat dari lahan ini adalah salah satu atau lebih sifat-sifat: erosi atau bahaya erosi sangat berat, iklim sangat buruk, tanah selalu tergenang, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, salinitasnya atau kandungan Na sangat tinggi, dan sangat terjal.
!
"
#!$ $
Tabel 36 Penutupan lahan wilayah penelitian No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang Padang Cermin Punduh Pidada Jumlah
Keterangan:
A
B
1.585 1.585
8 1.274 6.320 14 561 1.780 9.957
C
D
E
- 2.457 - 1.350 3.483 932 219 123 342 2.282 5.940
Penutupan Lahan (ha) F G H I 6.357 12.299 12.898 44 10.477 62 250 826 15 5.361 150 1.396 18 1.199 29.266 294 815 15.228 240 4.969 52.247 43.078 596 6.243
A = Hutan Primer; B = Hutan Bekas Tebangan; C= Mangrove; D = Semak belukar; E = Dominan Tanaman Pangan; F = Campuran Pangan, Kebun, dan Semak; G = Dominan Tanaman Kebun; H = Sawah; I = Tambak; J = Tanah Terbuka; K = Rawa; L = Tertutup Bangunan; M = Tertutup Awan.
Tabel 37 Kelas kemampuan lahan wilayah penelitian No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang Padang Cermin Punduh Pidada Jumlah
153 Berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan di atas, dan kondisi lahan yang ada, terutama sistem lahan dan kelerengan (seperti telah disajikan pada Sub-Bab 4.1.3), dilakukan analisis pengelompokan kelas lahan di wilayah studi. Hasil analisis kemampuan lahan, disajikan pada Tabel 37 dan Gambar 37. Dari analisis kelas kemampuan lahan, nampak bahwa wilayah pesisir Teluk Lampung memiliki lahan dengan faktor penghambat besar (kelas 6, 7, dan 8), seluas 40.921 ha (sekitar 32% dari luas lahan total). Sebaran lahan dengan faktor penghambat besar tersebut, terutama terdapat di Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada), yaitu mencapai 25.840 ha. Sebaran lahan dengan faktor penghambat lebih kecil (kelas 1, 2, 3, dan 4) berjumlah 83.735 ha (65,47%), dan terutama terdapat di Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas 53.338 ha (41,70%). Adapun kelas lahan dengan penghambat khusus berupa genangan air dan drainase buruk (kelas 5), terdapat seluas 3.246 ha (2,54%). Lahan kelas 5 terdapat pada pantai yang berlereng datar dan berawa, umumnya merupakan habitat vegetasi mangrove, namun pada saat ini sebagian besar telah telah dikonversi menjadi tambak. Dari sebaran kelas lahan, tampak bahwa wilayah pesisir Teluk Lampung, hanya mampu mendukung aktivitas budidaya daratan (pertanian dan nonpertanian) yang terbatas sekitar 65,47% dari luas lahan. Merujuk pada penutupan lahan saat ini, tampak bahwa sebagian aktivitas budidaya pertanian dan nonpertanian sudah mencapai luas sekitar 113.055 ha (Tabel 36), sudah menunjukkan bahwa sebagian dari aktivitas budidaya telah menggunakan lahan yang berpenghambat besar. Jumlah tersebut belum lagi termasuk tutupan vegetasi hutan yang telah dirambah dan berubah menjadi hutan bekas tebangan dan semak belukar, yang mencapai luas 12.239 ha. Penggunaan lahan berpenghambat besar untuk aktivitas budidaya, harus dikurangi dan dihentikan. Terdapat dua alasan bagi kepentingan tersebut, yaitu pertama lahan yang bersangkutan memiliki fungsi lindung dan selayaknya dijadikan kawasan lindung, dan kedua produktivitas lahan berpenghambat besar adalah rendah bagi aktivitas budidaya. Oleh karena itu, lahan berpenghambat besar selayaknya ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi melindungi kawasan di bawahnya.
!
"
#!$ $
154 6.2.3
Penggunaan perairan Luas total perairan di dalam wilayah studi yang dihitung dari analisis SIG
adalah 161.178 ha. Aktivitas utama pengguna ruang perairan adalah angkutan (perhubungan) laut, TNI-AL, dan perikanan, adapun aktivitas pengguna lainnya adalah pariwisata, permukiman dan perkotaan yang berbatasan dengan perairan. Hasil analisis SIG menunjukkan bahwa perikanan tangkap merupakan aktivitas yang paling banyak menggunakan ruang perairan sebagai wilayah tangkap (fishing ground), serta TNI-AL untuk area kepentingan latihan pertempuran laut. Informasi mengenai penggunaan ruang perairan disajikan pada Tabel 38, dan Gambar 38. Tabel 38 Penggunaan ruang perairan Teluk Lampung No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Penggunaan Perairan Kepentingan pelayaran Daerah latihan TNI AL Perairan wilayah tangkap Perairan perikanan budidaya Terumbu karang dan padang lamun Perairan yang telah direklamasi di Bandar Lampung Perairan yang telah direklamasi di Lampung Selatan dan Pesawaran
Luas (ha) 4.330 35.417 80.262 8.000 4.823 450 200
Sumber: Dishidros TNI-AL (1998), Pemerintah Provinsi Lampung (2006a, 2006b), Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung (2007), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2007), Interpretasi Citra Landsat TM-7 (2009)
Pada dasarnya penggunaan ruang perairan oleh berbagai aktivitas, tidaklah bersifat kaku, namun lebih bersifat temporal, kecuali untuk perikanan budidaya laut (terutama kerang mutiara) dan perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap statis. Oleh karena itu, terdapat banyak penggunaan ruang perairan yang tumpang tindih antar berbagai aktivitas, seperti kepentingan perikanan dengan TNI-AL, dan perikanan dengan perhubungan laut. Dari analisis SIG dapat dihitung luas tumpang tindih antara areal perikanan tangkap dengan daerah latihan TNI-AL mencapai 15.877 ha, yaitu sekitar 45% dari daerah latihan merupakan wilayah tangkap bagi nelayan. Tumpang tindih antara daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan dengan wilayah tangkap adalah 291 ha, yaitu daerah banyak sero (alat tangkap statis). Alur pelayaran juga tumpang tindih dengan wilayah tangkap dan daerah latihan
!
"
#!$ $
155 TNI-AL. Di samping itu, kawasan terumbu karang dan padang lamun juga tumpang tindih dengan daerah perikanan budidaya laut (kerang mutiara dan keramba jaring apung) yang banyak terdapat di wilayah pantai atau dan pulaupulau kecil (Sebuku, Legundi, dan Lahu), serta wilayah tangkap. Kondisi yang perlu diperhatikan secara lebih baik adalah keberadaan terumbu karang yang semakin terancam dengan beragam aktivitas pengguna ruang perairan. Sebagai ekosistem pesisir, terumbu karang dengan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan akuarium ikan laut, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak. Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang akan semakin meningkat, saat ini laju kerusakan terumbu karang mencapai 3% per tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007). Jika tidak mendapat perlindungan, maka keberadaan terumbu karang dapat mengalami kerusakan total dalam waktu beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, perlindungan ekosistem perairan harus diperhatikan dalam penggunaan ruang. 6.2.4
Jaringan transportasi Transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung meliputi dua moda yaitu
angkutan jalan serta angkutan laut dan penyeberangan. Secara hierarkis, kedua moda angkutan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua tingkatan yaitu lokal/regional yang melayani kepentingan lokal antar wilayah kecamatan, atau wilayah kecamatan dari dan ke pusat perekonomian di Bandar Lampung; dan angkutan nasional/internasional yang melayani kepentingan antar wilayah atau pulau-pulau utama dan ekspor-impor antar negara. Informasi mengenai orientasi transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Gambar 39.
!
"
#!$ $
Gambar 38 PETA PENGGUNAAN RUANG PERAIRAN
156
!
"
#!$ $
157 Terdapat prasarana jalan nasional yaitu Lintas Tengah Sumatera yang menghubungkan wilayah Bandar Lampung (terutama Kecamatan Panjang) dengan Kabupaten Lampung Selatan. Jalan penghubung antara wilayah Kota Bandar Lampung dengan wilayah Kabupaten Pesawaran adalah jalan provinsi. Ruas jalan nasional dan provinsi tersebut terhubung dengan jalan kabupaten dan desa yang dapat menjangkau seluruh wilayah kecamatan di pesisir Teluk Lampung. Selain prsarana jalan, juga terdapat terminal penumpang tipe B di Kecamatan Panjang (Kota Bandar Lampung), serta tipe C di Kecamatan Teluk Betung Selatan (Kota Bandar Lampung), dan di Kalianda (Kabupaten Lampung Selatan). Prasarana angkutan laut dan penyeberangan yang meliputi pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir Teluk Lampung, lebih terkonsentrasi di wilayah Kota Bandar Lampung, seperti telah disajikan pada Bab 4. Pelabuhan, dermaga, dan DUKS di wilayah Teluk Lampung umumnya berfungsi sebagai angkutan laut untuk barang, baik lokal/regional maupun nasional/internasional. Adapun angkutan penumpang hanya berupa angkutan penyeberangan yang bersifat lokal/regional. Pada tingkat lokal/regional, angkutan jalan melayani kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung. Orientasi transportasi jalan lokal/regional adalah sebagai berikut: Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada di Kabupaten Pesawaran berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya. Kecamatan Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Panjang), dan sebaliknya. Kecamatan Rajabasa dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan, secara terbatas juga berorientasi ke Kalianda. Orientasi angkutan lokal/regional selalu bersimpul di wilayah Bandar Lampung, dan tidak terdapat hubungan angkutan jalan yang langsung antara wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan Pada tingkat lokal/regional, angkutan laut dan penyeberangan melayani kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan
!
"
#!$ $
158 menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat dan Teluk Betung Selatan). Orientasi transportasi laut dan penyeberangan lokal/regional, dapat dideskripsikan sebagai berikut: Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada (dengan Pulau Kecil terutama Legundi, Puhawang, dan Kelagian) di Kabupaten Pesawaran berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya. Pulau kecil Sebuku dan Sebesi di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Kecamatan Kalianda, dan sebaliknya. Orientasi angkutan laut dan penyeberangan lokal/regional lebih berperan di wilayah Bandar Lampung dan Pesawaran, sedangkan di Lampug Selatan hanya sedikit sekali. Tidak terdapat hubungan angkutan laut dan penyeberangan yang langsung antara wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan. Angkutan jalan pada tingkat nasional di wilayah pesisir Teluk Lampung, merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem angkutan jalan nasional. Wilayah ini memiliki fungsi ganda yaitu sebagai daerah asal, tujuan, dan perlintasan angkutan jalan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Pergerakan barang dan penumpang angkutan jalan akan melalui wilayah pesisir Teluk Lampung (Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan), kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Oleh karena itu, angkutan jalan yang ada merupakan penunjang perekonomian wilayah yang lebih luas yaitu Provinsi Lampung dan provinsi lain di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa.. Orientasi transportasi jalan nasional adalah sebagai berikut: Penumpang dan barang dari Provinsi Lampung dan provinsi lain di Pulau Sumatera, melalui Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni, dan sebaliknya. Penumpang dan barang dari daerah sekitar Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan MerakBakauheni, dan sebaliknya.
!
"
#!$ $
159 Wilayah Kota Bandar Lampung merupakan salah satu simpul angkutan jalan nasional. Angkutan laut nasional/internasional, hanya melayani kepentingan transportasi barang dan tidak melayani penumpang. Pada tahun 1980-an terdapat angkutan penumpang dari Srengsem menuju Jakarta, dan tahun 1990-an dari Sukaraja (Kecamatan Teluk Betung Selatan) dan Kecamatan Panjang di Kota Bandar Lampung menuju Jakarta, dan sebaliknya. Namun sejak tahun 2005 sampai saat ini, angkutan penumpang dari dan ke Pulau Jawa hanya menggunakan moda angkutan jalan dan menerus ke lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Komoditas yang menggunakan angkutan laut, antara lain meliputi hasil pertanian (terutama kopi) dan perikanan, crude palm oil (CPO), karet lembar dan crumb, nanas kaleng, udang beku, gula, batubara, pulp, semen, pupuk, bahan bakar minyak (BBM), alat berat dan permesinan, kayu dan produk olahannya, pakan ternak, dan ternak hidup. Orientasi transportasi laut nasional/internasional adalah sebagai berikut: Angkutan barang antar pulau dari dan ke luar Lampung yang melalui Laut Jawa dan Selat Malaka, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk). Angkutan barang internasional dari dan ke luar Lampung yang melalui Singapura dan Laut Jawa, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk). 6.3
Kecenderungan Sistem Analisis kecenderungan ditujukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem
dalam jangka panjang, melalui simulasi model (Forrester 1968, 1998; White dan Engelen 2000; Winz 2005; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Periode simulasi ditetapkan selama 20 tahun dihitung dari saat dilakukannya penelitian, yaitu tahun 2009; dan selama 26 tahun bila dihitung dari ketersediaan data historis, yaitu dari tahun 2003. Pemilihan kurun waktu tersebut disesuaikan dengan lingkup waktu perencanaan tata ruang yaitu 20 tahun.
!
"
#!$ $
Gambar 39 PETA ORIENTASI TRANSPORTASI
160
!
"
#!$ $
161 Simulasi model dilakukan dengan peubah kebijakan bernilai nol (0), yaitu tidak ada penegakan peraturan yang tegas untuk kawasan lindung baik darat maupun perairan. Pada kondisi tersebut, penggunaan ruang sepenuhnya hanya bergantung pada nilai finansial jangka pendek dan kebutuhan populasi dalam pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, tidak dipertimbangkan adanya kawasan lindung yang perlu dipertahankan di dalam wilayah pesisir Teluk Lampung. Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah yang disimulasi meliputi peubah yang dianggap dapat mewakili gambaran dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung, yaitu: 1) Populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja; 2) Aktivitas ekonomi (PDRB) dan investasi; 3) Sektor-sektor ekonomi di wilayah pesisir; 4) Penggunaan ruang budidaya daratan dan pemanfaatan umum perairan. Dari perkembangan peubah yang diamati, dapat dirumuskan kebijakan penataan ruang untuk perbaikan di masa depan. Dinamika beberapa peubah sistem dalam kurun waktu 2003-2029 disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 40 sampai dengan Gambar 47, data tabulasi lengkap dari hasil simulasi disajikan pada Lampiran 9. 6.3.1
Populasi Simulasi menunjukkan bahwa populasi (penduduk) terus tumbuh dengan
pola seperti yang didapatkan oleh White dan Engelen (2000), Aurambout et al. (2005), Winz (2005), dan Yufeng dan ShuSong (2005). Populasi dan angkatan kerja di wilayah Pesisir Teluk Lampung terus tumbuh dari 533.298 orang pada tahun 2003 menjadi 663.382 orang pada akhir tahun simulasi (Gambar 40). Laju pertumbuhan populasi antara tahun 2003 sampai 2007 relatif tinggi, namun menjadi lebih rendah di atas tahun 2009. Pola pertumbuhan penduduk diikuti secara relatif sama oleh pertumbuhan angkatan kerja, yang akan mencapai jumlah 324.102 orang pada tahun 2029. Adapun lapangan kerja juga meningkat, dari tahun 2003 sebanyak 248.607 orang, menjadi 290.473 orang pada tahun 2029. Penyediaan lapangan kerja selalu berada
!
"
#!$ $
162 di bawah angkatan kerja sehingga selalu terdapat pengangguran, yang cenderung terus meningkat sampai akhir tahun simulasi, yaitu mencapai 33.630 atau mencapai 10,38% dari angkatan kerja. 680
Ribu orang
592
504
416
328
240 2003
2008 Populasi
2013
2018
Angkatan Kerja
2023
2028
Lapangan Kerja
Gambar 40 Kecenderungan populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung 6.3.2
Aktivitas Ekonomi Aktivitas ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung digambarkan dari
produk domestik regional bruto (PDRB harga konstan tahun 2000). Simulasi menunjukkan bahwa pertumbuhan aktivitas ekonomi merupakan akibat dari adanya aktivitas yang terkait dengan populasi dan investasi, serta dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya dan lingkungan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Deal dan Schunk (2004), Yufeng dan ShuSong (2005). Gangai dan Ramachandran (2010), Liangju el al. (2010). Hasil simulasi model pada Gambar 41, menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi meningkat cukup tajam antara tahun 2003 sampai 2008, serta 2016 sampai 2020, setelah tahun 2020 petumbuhan terus melambat. Pada akhir tahun simulasi, PDRB harga konstan mencapai Rp 7,41 triliun. Kondisi yang berbeda terjadi dengan investasi, pada awal simulasi pertumbuhannya relatif merata dari
!
"
#!$ $
163 awal sampai akhir tahun simulasi. Pada tahun 2029, investasi mencapai Rp 1,41 triliun. Gambar 42 menyajikan simulasi produk sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun 2000. Sektor industri mengalami pertumbuhan yang semakin meningkat, dan pada akhir simulasi telah mencapai nilai sebesar Rp 1,49 triliun. Sektor lain yang menunjukkan peningkatan adalah angkutan laut dan pariwisata, namun tidak setajam sektor industri Sektor yang menunjukkan pertumbuhan melambat dan kemudian terus menurun adalah perikanan dan pertanian. 7.500
Rp Milyar
6.000
4.500
3.000
1.500
0 2003
2008
2013 Aktivitas Ekonomi
2018
2023
2028
Investasi
Gambar 41 Kecenderungan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) dan investasi di wilayah pesisir Teluk Lampung Pada akhir tahun simulasi nilai kontribusi sektor pariwisata terhadap aktivitas ekonomi Rp 0,14 triliun, yaitu meningkat dari nilai pada tahun 2003 hanya Rp 0,06 triliun. Sektor angkutan laut dapat tumbuh lebih pesat daripada sektor pariwisata, pada tahun 2003 hanya bernilai Rp 0,12 triliun, dan pada tahun 2029 meningkat menjadi Rp 0,47 triliun. Sektor pertanian meningkat pada awal simulasi, kemudian melambat dan terus menurun sampai akhir simulasi tahun 2029. Pada tahun 2003 nilai sektor
!
"
#!$ $
164 pertanian mencapai Rp 0,43 triliun, dan pada kahir tahun simulasi hanya meningkat menjadi Rp 0,79 triliun. Pelambatan kenaikan tersebut terkait dengan perubahan penggunaan ruang dan struktur ekonomi yang semakin cenderung kepada industri (sektor sekunder) dan permukiman. Di sisi lain ekstensifikasi penggunaan lahan untuk pertanian sudah tidak dimungkinkan lagi, karena lahan dengan daya dukung tinggi sudah tidak lagi tersedia. 1.600
Rp Milyar
1.280
960
640
320
0 2003
2008
Pertanian
2013
Perikanan
2018
Industri
2023
Angkutan Laut
2028
Wisata
Gambar 42 Dinamika produksi sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun 2000 di wilayah pesisir Teluk Lampung Sektor yang menunjukkan kesamaan dengan pertanian adalah perikanan, yang cenderung menurun sampai akhir simulasi. Pada tahun 2003, sektor perikanan bernilai Rp 0,38 triliun, dan pada tahun 2029 hanya meningkat menjadi Rp 0,56 triliun. Peningkatan yang semakin menurun tersebut, dikarenakan sektor perikanan di Teluk Lampung sangat bertumpu pada perikanan budidaya pesisir (tambak). Peningkatan pesat nilai produk sektor ini pada tahun 2008 berkorelasi erat dengan peningkatan luas tambak. Pada tahun 2003, luas tambak di Teluk Lampung hanya 2.477 ha, lalu meningkat sangat cepat pada tahun 2007 hampir mencapai 5.000 ha, atau meningkat dua kali lipat dalam empat tahun. Peningkatan luas tersebut telah menggunakan lahan budidaya pesisir secara maksimal, yaitu sudah mendekati luas lahan pesisir yang sesuai untuk tambak sekitar 8.000 ha.
!
"
#!$ $
165 Oleh karena itu, peningkatan sektor perikanan menjadi relatif stagnan setelah tahun 2009. Di sisi lain, perikanan budidaya laut dan tangkap juga semakin tertekan dengan semakin berkurangnya kualitas lingkungan perairan Teluk Lampung (Yusuf 2005; Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007). 6.3.3
Penggunaan Ruang Pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi, secara langsung akan
menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang. Simulasi model menunjukkan pola yang sama dengan peningkatan penggunaan ruang oleh berbagai aktivitas, sebagaimana juga telah ditunjukkan oleh White dan Engelen (2000), Villa et al. (2002), Deal dan Schunk (2004), Yufeng dan ShuSong (2005). Gangai dan Ramachandran (2010), Liangju el al. (2010). Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penggunaan ruang untuk bisnis dan industri akan meningkat melampaui penggunaan ruang untuk permukiman. Pada awal simulasi tahun 2003, luas ruang permukiman berjumlah 1.531 ha, mengalami peningkatan yang tidak terlalu tajam sampai akhir tahun simulasi, dan akan mencapai luas 2.442 ha pada tahun 2029. Penggunaan lahan untuk bisnis dan industri akan meningkat menjadi 3.341 ha pada tahun 2029, dari luas pada tahun 2003 sebesar 880 ha. Penggunaan lahan prasarana pada tahun 2003 seluas 890 ha, meningkat pada tahun 2029 menjadi 2.525 ha. Penggambaran dinamika penggunaan ruang untuk bisnis dan industri, prasarana wilayah, dan permukiman, disajikan pada Gambar 43. Penggunaan lahan untuk budidaya pertanian, relatif tetap dari awal simulasi sampai akhir tahun 2029. Padahal di sisi lain, terjadi konversi lahan pertanian menjadi budidaya bukan pertanian (permukiman, perkotaan, dan industri). Pada tahun 2003, lahan pertanian mencapai luas 105.223 ha, dan pada akhir simulasi tahun 2029, luas lahan sedikit menurun menjadi 103.367 ha (seperti disajikan pada Gambar 44). Penurunan yang sedikit tersebut dikarenakan pada simulasi model tidak dibatasi dengan ketentuan kawasan lindung, sehingga dapat terus terjadi pembukaan lahan pertanian baru yang berasal dari hutan sekunder bekas tebangan, atau dari penutupan lahan lainnya. Dengan demikian konversi lahan pertanian menjadi bukan pertanian, akan diimbangi oleh konversi lahan lain
!
"
#!$ $
166 yang tidak potensial untuk pertanian (hutan, semak belukar, dan lahan dengan kemampuan rendah lainnya) menjadi lahan pertanian. 3,7
Ribu hektar
3,1
2,4
1,8
1,1
0,5 2003
2008
2013
Bisnis dan Industri
2018
2023
Permukiman
2028
Prasarana
Gambar 43 Kecenderungan penggunaan ruang perkotaan dan permukiman di wilayah pesisir Teluk Lampung 106
Ribu hektar
105
105
104
104
103 2003
2008
2013
2018
2023
Gambar 44 Kecenderungan penggunaan lahan pertanian di wilayah pesisir Teluk Lampung !
"
#!$ $
2028
167 Pemanfaatan perairan bagi perikanan budidaya laut (budidaya mutiara dan keramba jaring apung), relatif tetap yaitu hanya meningkat dari 8.000 ha pada tahun 2003, menjadi 8.126 ha pada tahun 2029. Penggunaan lahan budidaya pesisir (tambak) meningkat tajam, yaitu menjadi lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu simulasi. Luas tambak pada tahun 2003 hanya 2.477 ha, dan meningkat menjadi 8.809 ha pada tahun 2029. Peningkatan ini sangat berkaitan dengan komoditas udang yang bernilai tinggi. Di samping itu, pembukaan lahan untuk perikanan budidaya pesisir (tambak) di Teluk Lampung relatif mudah dilakukan, karena telah tesedia infrastruktur jalan yang secara relatif telah menjangkau seluruh wilayah pesisir. Kondisi tersebut memacu kalangan pengusaha dan masyarakat untuk terus mengembangkan lahan tambak. Penggambaran dinamika penggunaan ruang untuk lahan tambak dan pemanfaatan perairan perikanan budidaya laut, disajikan secara ringkas pada Gambar 45. 10,0
Ribu hektar
8,4
6,8
5,2
3,6
2,0 2003
2008
2013
2018
Budidaya Pesisir
2023
2028
Perairan Perikanan Budidaya
Gambar 45 Kecenderungan penggunaan ruang budidaya pesisir (tambak) dan perairan perikanan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung Penggunaan
lahan
budidaya
terus
meningkat,
dan
menunjukkan
kecenderungan semakin melebihi daya tampung lahan yang berkemampuan tinggi (lahan kelas 1 sampai dengan kelas 4, diuraikan pada sub-bab 6.2.2), yang hanya seluas 83.735 ha. Lahan terpakai (budidaya) baik pertanian maupun bukan
!
"
#!$ $
168 pertanian, terus meningkat dari 111.386 ha pada tahun 2003 menjadi 120.290 ha pada tahun 2029. Sementara itu, luas lahan total sedikit bertambah akibat reklamasi pantai dari 127.902 ha tahun 2003 menjadi 129.409 ha tahun 2029. Dengan merujuk pada data kelas kemampuan lahan (Tabel 37), dapat diketahui bahwa sejak tahun 2003, sebagian dari lahan budidaya sudah merambah pada lahan berkemampuan rendah (lahan kelas 5 sampai dengan kelas 8), dengan luas sekitar 27.651 ha pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 36.599 ha pada tahun 2029. Dengan demikian, luas lahan yang masih dapat dipergunakan untuk fungsi lindung hanya sekitar 16.516 pada tahun 2003, dan 9.080 ha pada tahun 2029. Kondisi ini harus diperbaiki melalui penetapan dan pengendalian kawasan lindung yang ideal dalam penataan ruang. Kecenderungan sistem untuk peubah lahan total dan lahan budidaya terpakai, disajikan pada Gambar 46. 130
Ribu hektar
126
122
118
114
110 2003
2008
2013 Lahan Total
2018
2023
2028
Lahan Budidaya Terpakai
Gambar 46 Kecenderungan luas lahan total dan lahan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung Berbeda dengan penggunaan lahan budidaya, luas pemanfaatan umum perairan (perikanan dan bukan perikanan) hanya sedikit berubah, yaitu dari 128.009 ha pada tahun 2003 menjadi 130.407 ha pada tahun 2029. Luas perairan total sedikit berkurang akibat reklamasi pantai, yaitu dari 161.178 ha pada tahun
!
"
#!$ $
169 2003 menjadi 159.666 ha pada tahun 2029. Oleh karena itu, luas perairan yang belum terpakai masih cukup besar yaitu 33.169 ha pada tahun 2003 dan 29.259 ha pada tahun 2029. Namun demikian, penggunaan perairan tidaklah bersifat kaku seperti penggunaan lahan, dan lebih bersifat temporal (seperti alur pelayaran dan wilayah tangkap), di samping itu kecenderungan penggunaan ruang perairan adalah terkonsentrasi di perairan tepi dengan kedalaman 0-20 m. Oleh karena itu, penentuan kawasan konservasi perairan menjadi lebih sulit, karena pada perairan yang seharusnya dilindungi yaitu terumbu karang dan padang lamun, justru merupakan perairan yang cenderung digunakan oleh berbagai aktivitas seperti perikanan budidaya dan tangkap, serta wisata. Kecenderungan sistem untuk peubah perairan total dan pemanfaatan umum perairan, disajikan pada Gambar 47. 165
Ribu hektar
157
149
141
133
125 2003
2008
2013
Perairan Total
2018
2023
2028
Pemanfaatan Umum Perairan
Gambar 47 Kecenderungan luas perairan total dan pemanfaatan umum perairan di wilayah pesisir Teluk Lampung
!
"
#!$ $
170
!
"
#!$ $
7 KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR 7.1
Simulasi Skenario
7.1.1
Kebutuhan pemangku kepentingan dari analisis prospektif partisipatif Kebutuhan para pemangku kepentingan wilayah pesisir Teluk Lampung
diketahui dari analisis prospektif partisipatif (PPA) yang diuraikan pada Bab 5. Hasil PPA menunjukkan bahwa kebutuhan dipresentasikan oleh variabel yang paling berpengaruh terhadap penataan ruang wilayah pesisir, yang telah dipilih dan dianalisis secara konsensus oleh para partisipan (Godet dan Roubelat 1996; Bourgeois dan Jesus 2004; Gray dan Hatchard 2008; Coates et al. 2010; Durance dan Godet 2010). Terdapat 6 variabel yang paling berpengaruh, yaitu: (1) kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir, (2) penegakan hukum, (3) pertumbuhan penduduk, (4) infrastruktur wilayah, (5) aktivitas ekonomi kerakyatan, dan (6) zonasi wilayah. Melalui eksplorasi variabel yang paling berpengaruh tersebut, secara konsensus partisipan juga membangun skenario, sebagai berikut: 1) Optimis: kualitas SDM masyarakat pesisir (meningkat), penegakan hukum (baik),
pertumbuhan
penduduk
(menurun),
infrastruktur
wilayah
(meningkat), aktivitas ekonomi kerakyatan (meningkat), zonasi wilayah (baik). 2) Moderat: kualitas SDM masyarakat pesisir (meningkat), penegakan hukum (baik), pertumbuhan penduduk (tetap), infrastruktur wilayah (tetap), aktivitas ekonomi kerakyatan (meningkat), zonasi wilayah (baik). 3) Pesimis: kualitas SDM masyarakat pesisir (tetap), penegakan hukum (tetap), pertumbuhan penduduk (tetap), infrastruktur wilayah (tetap), aktivitas ekonomi kerakyatan (tetap), zonasi wilayah (tetap). 4) Sangat Pesimis: kualitas SDM masyarakat pesisir (tetap), penegakan hukum (tetap), pertumbuhan penduduk (meningkat), infrastruktur wilayah (menurun), aktivitas ekonomi kerakyatan (menurun), zonasi wilayah (tetap).
!
"
#!$ $
172 Untuk menerjemahkan skenario dari partisipan ke dalam model, dikembangkan variabel (peubah) “kebijakan”, dengan parameter bernilai antara 0 sampai 1. Peubah “kebijakan”, secara langsung mempengaruhi empat peubah model yaitu: “Peruntukan_Lindung_Darat”, “Laju_perb_BD_Pesisir”, “Prtk_Kw_ Lindung_Perairan”,
dan
Konversi_kws_lindung_perairan.
Secara
lengkap,
deskripsi dan nilai awal atau parameter masing-masing peubah, disajikan pada Tabel Lampiran 3, sedangkan persamaan yang melibatkan masing-masing peubah disajikan pada Lampiran 4. Uraian dari peran dan pengaruh dari keempat peubah, sehingga dianggap dapat mempresentasikan skenario partisipan ke dalam model adalah sebagai berikut: 1) Peruntukan_Lindung_Darat: Merupakan peubah yang memberlakukan kawasan lindung darat untuk mencegah perambahan lahan yang harusnya menjadi kawasan lindung, sehingga penggunaan lahan menjadi sesuai dengan kemampuannya. Keberadaan kawasan lindung darat merupakan perwujudan
zonasi
wilayah
dan
penegakan
hukum,
yang
akan
mengendalikan degradasi sumberdaya pesisir, dan pada gilirannya berpengaruh positif terhadap: aktivitas ekonomi kerakyatan (melalui peningkatan investasi dan sektor-sektor perekonomian), kualitas SDM masyarakat pesisir (melalui penurunan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan penduduk), pertumbuhan penduduk (melalui penurunan kendala ruang dan percepatan imigrasi-emigrasi), infrastruktur wilayah (melalui peningkatan investasi), dan pada sistem secara keseluruhan. 2) Laju_perb_BD_Pesisir:
Merupakan
peubah
yang
mengendalikan
pengembangan lahan budidaya pesisir (tambak) agar hanya berlangsung pada lahan yang memiliki kemampuan untuk mendukung budidaya tambak, sehingga aktivitas ekonomi tambak yang banyak menyerap tenaga kerja setempat dapat berkelanjutan. Perkembangan tambak yang berkelanjutan merupakan perwujudan peningkatan ekonomi kerakyatan yang akan berpengaruh positif terhadap: kualitas SDM masyarakat pesisir (melalui
penurunan
pengangguran
dan
peningkatan
kesejahteraan
penduduk), penegakan hukum dan zonasi wilayah (melalui pengendalian konversi wilayah pantai menjadi tambak), pertumbuhan penduduk
!
"
#!$ $
173 (melalui penurunan kendala ruang dan percepatan imigrasi-emigrasi), infrastruktur wilayah (melalui peningkatan investasi), dan pada sistem secara keseluruhan. 3) Prtk_Kw_Lindung_Perairan: Merupakan peubah yang mengendalikan pengembangan perairan perikanan budidaya laut agar tidak merambah perairan terumbu karang dan padang lamun yang seharusnya menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian perikanan budidaya laut hanya berlangsung pada perairan yang sesuai tanpa harus mengorbankan ekosistem terumbu karang dan padang lamun, sehingga perikanan budidaya laut dan perikanan tangkap dapat berkelanjutan. Keberadaan kawasan konservasi perairan merupakan perwujudan zonasi wilayah dan penegakan hukum, yang akan mengendalikan degradasi sumberdaya pesisir, dan pada gilirannya berpengaruh positif terhadap: aktivitas ekonomi kerakyatan (melalui peningkatan investasi dan sektor perikanan), kualitas SDM masyarakat pesisir (melalui penurunan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan penduduk), pertumbuhan penduduk (melalui penurunan kendala ruang dan percepatan imigrasi-emigrasi), infrastruktur wilayah (melalui peningkatan investasi), dan pada sistem secara keseluruhan. 4) Konversi_kws_lindung_perairan: Merupakan peubah yang mengendalikan terjadinya konversi kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum perairan (baik perikanan maupun non-perikanan). Dengan demikian kerusakan ekosistem terumbu karang dan padang lamun dapat dikendalikan, sehingga aktivitas pemanfaatan perairan dapat berkelanjutan. Pengendalian konversi kawasan konservasi perairan merupakan perwujudan penegakan hukum dan zonasi wilayah, yang akan mencegah degradasi sumberdaya pesisir, dan pada gilirannya berpengaruh positif terhadap: aktivitas ekonomi kerakyatan (melalui peningkatan investasi dan sektor perikanan), kualitas SDM masyarakat pesisir (melalui penurunan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan penduduk), pertumbuhan penduduk (melalui penurunan kendala ruang dan percepatan
!
"
#!$ $
174 imigrasi-emigrasi), infrastruktur wilayah (melalui peningkatan investasi), dan pada sistem secara keseluruhan. Peubah “kebijakan” dalam model akan langsung menyetir (drive) keempat peubah di atas, dengan proporsi yang sama secara simultan. Pengaruh dari peubah “kebijakan” dapat dibuat bervariasi mengikuti nilai parameternya. Dalam pengembangan model untuk simulasi skenario, tingkat pengaruh peubah “kebijakan” terhadap keempat peubah model, ditentukan oleh nilai parameter yang divariasikan antara 0 sampai 1. Variasi nilai parameter tersebut merupakan terjemahan dari skenario partisipan ke dalam model, sehingga skenario dalam model adalah sebagai berikut: 1) Optimis: parameter peubah “kebijakan” bernilai 1, yaitu dilakukan intervensi maksimal terhadap sistem, sehingga sistem berjalan ke arah yang lebih baik dengan upaya maksimal. 2) Moderat: parameter peubah “kebijakan” bernilai 0,75, yaitu dilakukan intervensi kuat terhadap sistem, sehingga sistem berjalan ke arah yang lebih baik dengan upaya kuat. 3) Pesimis: parameter peubah “kebijakan” bernilai 0,25, yaitu dilakukan intervensi minimal terhadap sistem, sehingga sistem berjalan ke arah yang lebih baik namun dengan upaya lemah. 4) Sangat Pesimis: parameter peubah “kebijakan” bernilai 0, yaitu tidak ada intervensi terhadap sistem, sehingga sistem berjalan seperti yang telah berlangsung. Masing-masing skenario optimis, moderat, pesimis, dan sangat pesimis di atas, selanjutnya disimulasikan dalam sub-model populasi, ekonomi, dan ketersediaan ruang. Kajian dilakukan terhadap berbagai peubah yang saling berinterkasi di dalam dan antar sub-model. 7.1.2
Asumsi-asumsi dalam pengembangan model Pengembangan model untuk simulasi skenario tidak terlepas dari
penyusunan berbagai asumsi. Asumsi-asumsi tersebut menjadikan model lebih bersifat “black box”, namun tidak dapat dihindari untuk dapat menjalankan
!
"
#!$ $
175 simulasi skenario (Godet dan Roubelat 1996; Deal dan Schunk 2004; Walz et al. 2007; Wiek dan Walter 2009). Secara numerik, asumsi yang dilakukan dalam pengembangan model ditunjukkan oleh nilai parameter peubah “kebijakan”. Variasi nilai parameter peubah “kebijakan”, juga merupakan perwujudan dari intervensi terhadap sistem. Bila nilai parameter peubah “kebijakan” lebih besar dari nol, maka berlaku berbagai asumsi yaitu untuk skenario optimis, moderat, dan pesimis. Asumsi yang dibuat adalah sebagai berikut. 1) Lahan dengan kemampuan rendah yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian dan penggunaan lain, harus dikembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung. 2) Aktivitas pertanian akan cenderung berada pada lahan berkemampuan tinggi dan produktivitas tinggi, dan diikuti dengan penerapan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, sehingga penurunan sektor pertanian tidak berlangsung tajam. 3) Sebagian tenaga kerja yang semula diserap sektor pertanian akan beralih terutama ke sektor industri manufaktur dan perikanan budidaya. 4) Perkembangan sektor industri manufaktur pada skala mikro, kecil, menengah, dan besar, akan mengikuti kaidah industri bersih, sehingga pertumbuhan yang tinggi tidak akan diikuti oleh peningkatan pencemaran dari limbah industri yang tinggi pula. 5) Pertumbuhan sektor perikanan terutama akan ditunjang oleh perikanan budidaya laut. 6) Perikanan budidaya laut akan berbasis pada teknologi budidaya ramah lingkungan, sehingga daya dukung dan daya tampung perairan Teluk Lampung tetap terjaga. 7) Pertumbuhan populasi di wilayah pesisir Teluk Lampung akan diikuti oleh peningkatan permukiman dan prasarana dasar sanitasi lingkungan, sehingga peningkatan pencemaran dari limbah domestik dapat terkendali. 8) Pertumbuhan investasi akan semakin terpacu dengan semakin jelasnya alokasi peruntukan ruang untuk kawasan budidaya dan kawasan lindung/konservasi.
!
"
#!$ $
176 7.1.3
Simulasi sub-model populasi Simulasi skenario pada sub-model populasi disajikan pada Gambar 48
sampai dengan Gambar 53. Rekapitulasi simulasi skenario, disajikan pada Tabel 39, serta data secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Perilaku antar skenario ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai peubah yang dikaji, akibat adanya perbedaan parameter peubah “kebijakan”. Perbedaan perilaku akibat adanya perbedaan pengaruh dari peubah tertentu, juga telah ditunjukkan oleh Deal dan Schunk (2004), Wiek dan Walter (2009).
Ribu orang
740
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
400
680 620 560 500 2003
340 310
2008
2013
2018
2023
2028
Sangat Pesimis Moderat
250 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 49 Skenario perkembangan angkatan kerja
18
Pesimis Optimis
14
324
11 %
Ribu orang
352
Pesimis Optimis
280
Gambar 48 Skenario perkembangan populasi
380
Sangat Pesimis Moderat
370
Ribu orang
800
296
7
268
4
240 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 50 Skenario perkembangan lapangan kerja
0 2003
Sangat Pesimis Moderat 2008
Pesimis Optimis
2013
2018
2023
2028
Gambar 51 Skenario perkembangan tingkat pengangguran
Pada Gambar 48 ditunjukkan bahwa populasi pada skenario optimis akan meningkat lebih besar daripada skenario lainnya, yaitu lebih dari 763 ribu orang pada tahun 2029, sedangkan pada skenario sangat pesimis hanya mencapai 663 ribu orang. Populasi skenario optimis yang lebih tinggi, disumbang dari imigrasi yang masuk ke wilayah pesisir lebih besar daripada skenario lainnya. Pada tahun 2029, imigrasi pada skenario optimis berjumlah lebih dari 17 ribu orang,
!
"
#!$ $
177 sedangkan pada skenario sangat pesimis hanya sekitar 6 ribu orang (Gambar 52). Di sisi lain, Gambar 53 menunjukkan emigrasi yang keluar dari wilayah pesisir pada skenario optimis menurun tajam yaitu menjadi nol, dan pada skenario sangat pesimis mencapai lebih dari 8 ribu orang. Dinamika peubah imigrasi dan emigrasi tersebut merupakan akibat dari peubah kendala ruang dan dampak penganggur yang berbeda antar skenario, sehingga merubah kecenderungan penduduk untuk keluar (emigrasi) atau masuk (imigrasi) ke wilayah pesisir. Tingginya populasi pada skenario optimis, diikuti oleh angkatan kerja yang juga menjadi lebih tinggi, yaitu mendekati 374 ribu orang pada tahun 2029, sedangkan pada skenario sangat pesimis hanya sekitar 324 ribu orang (Gambar 49). Di sisi lain, karena perekonomian pada skenario optimis menjadi lebih baik, lapangan kerja juga menjadi lebih tinggi. Sebagai hasilnya, dinamika tingkat pengangguran pada skenario optimis menjadi lebih rendah daripada skenario lainnya. Skenario optimis pada tahun 2029 memberikan tingkat pengangguran sekitar 1,51%, sementara pada skenario sangat pesimis mencapai 10,64% (Gambar 51).
Ribu orang
16
Sangat Pesimis Moderat
10
Pesimis Optimis
8
Ribu orang
20
13 9 6 2 2003
6 4 2
2008
2013
2018
2023
Gambar 52 Skenario perkembangan imigrasi
2028
0 2003
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 53 Skenario perkembangan emigrasi
Secara dinamik, skenario sangat pesimis sempat menunjukkan tingkat pengangguran yang sama dengan skenario lainnya (sampai tahun 2017), namun kemudian pengangguran pada skenario moderat dan optimis menurun tajam menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut dapat terjadi karena peubah pengangguran merupakan salah faktor pendorong dan kendala ruang merupakan faktor penahan investasi. Walaupun awalnya tingkat pengangguran pada semua skenario adalah sama, tetapi pada skenario sangat pesimis dan pesimis, terjadi peningkatan
!
"
#!$ $
178 kendala ruang, sehingga investasi menjadi terkendala, dan pada akhirnya investasi tetap rendah dan pengangguran tetap tinggi. Tabel 39 Rekapitulasi simulasi sub-model populasi No.
Peubah
1
Populasi
2
5
Angkatan Kerja Lapangan Kerja Pengangguran Imigrasi
6
Emigrasi
3 4
7.1.4
Satuan ribu orang ribu orang ribu orang % ribu orang ribu orang
Skenario serta tahun awal dan akhir simulasi Sangat Pesimis Moderat Optimis Pesimis 2003 2029 2003 2029 2003 2029 2003 2029 533,30 663,38 533,30 666,72 533,30 740,31 533,30 763,76 260,55 324,10 260,55 325,73 260,55 361,69 260,55 373,14 248,61 290,47 248,61 292,30 248,61 348,62 248,61 364,37 4,58
10,38
4,58
10,26
4,58
3,61
4,58
2,35
8,32
6,06
8,32
6,88
8,32
16,72
8,32
17,64
3,31
8,04
3,31
7,52
3,31
-
3,31
-
Simulasi sub-model aktivitas ekonomi Aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh beragam peubah dalam sistem, dan
pada masing-masing skenario pengaruh tersebut akan beragam sesuai dengan tingkat intevensi yang dilakukan. Deal dan Schunk (2004) dan Gangai dan Ramachandran (2010), menunjukkan perubahan pada penggunaan lahan akan mempengaruhi aktivitas ekonomi, dan sebaliknya. Sementara itu, Yufeng dan ShuSong (2005), menunjukkan bahwa bila tidak terdapat intervensi tertentu, maka akan terdapat konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam simulasi ini, intervensi ditunjukkan oleh peubah “kebijakan” pada masing-masing skenario, sehingga akan menghasilkan perbedaan dalam aktivitas ekonomi. Simulasi skenario pada sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 54 sampai dengan Gambar 61. Rekapitulasi simulasi skenario, disajikan pada Tabel 40, serta data lengkap disajikan pada Lampiran 9. Perilaku antar skenario menunjukkan perbedaan yang konsisten antar berbagai peubah model.. Aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) pada semua skenario meningkat dengan percepatan yang berbeda-beda. Gambar 54 menunjukan, pada skenario optimis, PDRB wilayah pesisir akan menjadi sekitar Rp 14,06 triliun pada tahun 2029, dari nilai Rp 2,63 triliun pada tahun 2003. Pada
!
"
#!$ $
179 ekstrim yang lain, PDRB skenario sangat pesimis, hanya akan meningkat menjadi Rp 7,41 triliun pada tahun 2029. Perbedaan nilai PDRB antar skenario tersebut, dipengaruhi oleh perbedaan besarnya peubah investasi. 16.000
Sangat Pesimis Moderat
2.800 Rp milyar
Rp milyar
13.200
3.500
Pesimis Optimis
10.400 7.600 4.800
Sangat Pesimis Moderat
Pesimis Optimis
2008
2018
2.100 1.400 700
2.000 2003
2008
2013
2018
2023
0 2003
2028
2013
2023
2028
Gambar 54 Skenario perkembangan aktivitas ekonomi Gambar 55 Skenario perkembangan investasi (PDRB harga konstan tahun 2000)
Pada Gambar 55 terlihat bahwa secara umum semua skenario menunjukkan peningkatan investasi dalam kurun waktu simulasi. Skenario sangat pesimis menunjukkan peubah investasi yang relatif rendah dibandingkan skenario lainnya. Rendahnya investasi tersebut disebabkan oleh peubah ”inkonsistensi tata ruang”, ”degradasi sumberdaya pesisir”, dan ”kendala ruang” pada skenario sangat pesismis lebih besar daripada skenario lainnya, sehingga produktivitas sektor-sektor ekonomi yang sangat tergantung pada kualitas lingkungan (terutama pertanian dan perikanan), menjadi menurun.
Rp milyar
760
Sangat Pesimis Moderat
1.600
Pesimis Optimis
1.340 Rp milyar
850
670 580 490 400 2003
Sangat Pesimis Moderat
Pesimis Optimis
1.080 820 560
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 56. Skenario perkembangan sektor pertanian
300 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 57. Skenario perkembangan sektor perikanan
Sektor pertanian menunjukkan bahwa skenario sangat pesimis akan terus meningkat, dan kemudian melambat pada tahun 2020 (Gambar 56), dan sebaliknya peningkatan pada skenario optimis sudah mulai melambat pada tahun
!
"
#!$ $
180 2016. Perbedaan antar skenario tersebut diakibatkan oleh berkurangnya luas lahan pertanian secara signifikan pada skenario optimis sekitar 50% dari luas lahan saat awal simulasi, karena dibatasi oleh kawasan lindung. Sektor pertanian akan menyumbang aktivitas ekonomi sebesar Rp 0,68 triliun pada tahun 2029 pada skenario optimis, dan sebesar Rp 0,80 triliun pada skenario sangat pesimis. Upaya intervensi
yang
kuat
pada
skenario
optimis,
hanya
mampu
sedikit
mempertahankan peningkatan sektor pertanian, sehingga nilai pada tahun 2029 dapat lebih tinggi dibandingkan pada awal simulasi tahun 2003 (Rp 0,43 triliun). Sumbangan
sektor
pertanian
yang
relatif
kecil
menunjukkan
bahwa
pengembangan sektor ini, akan terkendala oleh ketersediaan lahan. Hal ini konsisten dengan daya saing sektoral (disajikan pada Bab 4), yang menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak memiliki daya saing di wilayah pesisir Teluk Lampung. Sektor perikanan menunjukkan bahwa pada skenario sangat pesimis, pertumbuhannya akan terus melambat sampai pada tahun 2029 (Gambar 57). Perlambatan tersebut merupakan gambaran bahwa sektor ini sangat bergantung pada kelestarian sumberdaya pesisir dan kualitas lingkungan. Untuk dapat mempertahankan kenaikan sektor perikanan dibutuhkan upaya yang kuat, melalui intervensi sistem pada skenario moderat dan optimis, dengan bertumpu pada pengembangan perikanan budidaya laut. Dengan demikian, sektor ini dapat terus meningkat,
dan
pada
skenario
optimis
mampu
menyumbang
aktivitas
perekonomian pada tahun 2029 mencapai Rp 1,55 triliun. 210 Pesimis Optimis
2.460 Rp milyar
Rp milyar
180
3.000
Sangat Pesimis Moderat
150 120
Pesimis Optimis
1.920 1.380 840
90 60 2003
Sangat Pesimis Moderat
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 58 Skenario perkembangan sektor pariwisata
300 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 59 Skenario perkembangan sektor industri
!
"
#!$ $
181 Sektor pariwisata, pada dasarnya juga rentan terhadap perubahan sumberdaya pesisir dan kualitas lingkungan, namun penurunan sektor ini tidak setajam sektor perikanan dan pertanian. Hal tersebut disebabkan oleh penunjang sektor pariwisata tidak hanya bersumber dari wisata alam (pantai), melainkan juga meliputi aktivitas perkotaan seperti hotel, restoran, dan tempat hiburan. Oleh karena itu, sektor ini dapat lebih bertahan dan tidak menurun drastis, pada skenario sangat pesimis dan pesimis, masih dapat terus meningkat sampai akhir tahun simulasi (Gambar 58). Berlainan dengan sektor primer seperti pertanian dan perikanan, sektor sekunder yaitu industri pengolahan relatif masih dapat meningkat pada skenario sangat pesimis. Namun sektor ini akan menjadi lebih terpacu dengan adanya intervensi terhadap sistem yaitu pada skenario pesimis, moderat, dan optimis. Pada skenario optimis, sektor industri pengolahan dapat berkembang pesat menjadi Rp 2,84 triliun pada tahun 2029, yang pada tahun 2003 baru bernilai kurang dari Rp 0,37 triliun (Gambar 59). Sektor industri pengolahan memiliki daya saing tinggi, dan berpeluang untuk menjadi sektor perekonomian utama (leading sector) di wilayah pesisir Teluk Lampung. 1.100
Sangat Pesimis Moderat
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
16
700
Rp juta
Rp milyar
900
20
Pesimis Optimis
500
12
8
300 100 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 60 Skenario perkembangan sektor angkutan laut
4 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 61 Skenario perkembangan PDRB per kapita (berdasarkan harga konstan tahun 2000)
Secara relatif sama dengan sektor industri, sektor angkutan laut dan penyeberangan masih dapat meningkat pada skenario sangat pesimis. Kondisi tersebut utamanya ditentukan oleh letak geografis wilayah pesisir Teluk Lampung yang dilalui oleh lintasan penyeberangan antar pulau dan terdapatnya pelabuhan laut internasional Panjang. Namun demikian, dengan adanya peningkatan sektorsektor ekonomi lainnya pada skenario pesimis, moderat, dan optimis, sektor
!
"
#!$ $
182 angkutan laut dan penyeberangan dapat tumbuh lebih pesat lagi, yaitu pada skenario optimis dapat mendekati nilai Rp 1,08 triliun pada tahun 2029, dari nilai semula hanya Rp 0,12 triliun pada tahun 2003 (Gambar 60). Pada akhirnya,
peningkatan
aktivitas
ekonomi
diharapkan
dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir Teluk Lampung. Walaupun relatif kasar, nilai PDRB per kapita digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Pada skenario optimis, PDRB per kapita (berdasarkan harga konstan tahun 2000), dapat terus meningkat pesat mencapai Rp 18,41 juta per orang pada tahun 2029. Sedangkan untuk skenario sangat pesimis, PDRB per kapita meningkat lebih lambat, dan hanya mencapai nilai Rp 11,18 juta per orang pada tahun 2029, dibandingkan pada tahun 2003 yang bernilai Rp 4,93 juta per orang (Gambar 61). Tabel 40 Rekapitulasi simulasi sub-model aktivitas ekonomi No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Peubah Aktivitas ekonomi Investasi Pertanian Perikanan Pariwisata Industri Angkutan Laut PDRB per Kapita
7.1.5
Satuan Rp milyar
Skenario serta tahun awal dan akhir simulasi Sangat Pesimis Moderat Optimis Pesimis 2003 2029 2003 2029 2003 2029 2003 2029 2.629 7.415 2.629 7.537 2.629 12.280 2.629 14.062
Rp milyar Rp milyar Rp milyar Rp milyar Rp milyar Rp milyar
188 432 380 63 372 124
1.408 796 564 139 1.491 474
188 432 380 63 372 124
1.468 706 601 141 1.533 488
188 432 380 63 372 124
2.875 678 1.204 187 2.508 925
188 432 380 63 372 124
3.334 678 1.554 202 2.839 1.082
Rp juta/orang
4,93
11,18
4,93
11,30
4,93
16,59
4,93
18,41
Simulasi sub-model ketersediaan ruang Ketersediaan ruang merupakan faktor yang sangat menentukan dinamika
komponen lainnya, dan sistem secara keseluruhan. White dan Engelen (2000) dan Yufeng
dan
ShuSong
(2005)
menunjukkan
bahwa
keberlangsungan
perkembangan populasi dan aktivitas ekonomi, membutuhkan ruang yang cukup. Menurut Deal dan Schunk (2004), tekanan aktivitas ekonomi dan populasi dalam memenuhi kebutuhan ruang akan menimbulkan fenomena perkembangan kawasan perkotaan
yang
menjorok
ke
perdesaan
sprawl).
(urban
Gangai
dan
Ramachandran (2010) menunjukkan bahwa dengan kondisi ketersediaan ruang
!
"
#!$ $
183 yang kurang, maka dapat terjadi pelanggaran hukum akibat adanya tekanan ekonomi dan populasi. Di sisi lain diperlihatkan bahwa, ketersediaan ruang yang berkurang akan semakin memberikan tekanan terhadap aspek ekologis suatu wilayah (Villa et al. 2002; Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005). Dalam penelitian ini, fenomena tersebut di atas, disimulasikan dalam sub-model ketersediaan ruang. Hasil simulasi skenario sub-model ketersediaan ruang disajikan pada Gambar 62 sampai dengan Gambar 78. Rekapitulasi simulasi skenario, disajikan pada Tabel 41, serta data lengkap disajikan pada Lampiran 9. Perilaku antar skenario menunjukkan perbedaan yang konsisten pada berbagai peubah model. Pemanfaatan/penggunaan lahan pertanian pada skenario sangat pesimis relatif tetap dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2029, yaitu dari 105,2 ribu ha menjadi 103,4 ribu ha (Gambar 62). Pada skenario ini, konversi lahan pertanian menjadi permukiman, industri, dan penggunaan budidaya non-pertanian lainnya, akan diimbangi oleh konversi lahan berkualitas rendah (lahan kelas 5, 6, 7, dan 8) yang masih tertutup hutan, menjadi lahan pertanian. Konversi lahan tersebut dimungkinkan karena tidak ada intervensi terhadap sistem yang membatasinya. Berhentinya konversi lahan kualitas rendah tersebut hanya akan ditentukan oleh terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membuka lahan akibat faktor alam, terutama kelerengan. Dengan demikian, luas lahan pertanian menjadi relatif tetap selama kurun waktu simulasi. 9
110
8
98
Ribu hektar
Ribu hektar
7 86 74
6 5 4
62 50 2003
Sangat Pesimis Moderat 2008
2013
2018
Sangat Pesimis Moderat
3
Pesimis Optimis 2023
2028
Gambar 62 Skenario perkembangan pemanfaatan/ penggunaan lahan pertanian
2 2003
2008
2013
Pesimis Optimis
2018
2023
2028
Gambar 63 Skenario perkembangan pemanfaatan/ penggunaan lahan tambak
Berlainan dengan skenario sangat pesimis, pada skenario lainnya yaitu pesimis, moderat, dan optimis, dilakukan intervensi terhadap sistem. Penurunan tersebut bersumber dari dihentikannya konversi lahan kualitas rendah menjadi
!
"
#!$ $
184 lahan pertanian, dan dilakukan konversi lahan pertanian eksisting yang berada pada lahan kualitas rendah menjadi kawasan lindung. Di samping itu juga terjadi konversi lahan pertanian menjadi penggunaan budidaya non-pertanian, dengan demikian, terjadi penurunan luas lahan pertanian secara signifikan. Pada skenario optimis luas lahan pertanian akan menurun tajam menjadi hanya 51,9 ribu ha pada tahun 2029, dari luas semula 105,2 ribu ha pada tahun 2003. Pada skenario ini, semua aktivitas budidaya pertanian hanya akan berlangsung pada lahan kualitas tinggi (kelas 1, 2, 3, dan 4), sehingga dapat dilakukan secara intensif dengan input yang lebih rendah. Oleh karena itu, walaupun luas lahan pertanian pada skenario optimis menjadi jauh lebih rendah, tetapi produktivitasnya akan menjadi lebih tinggi daripada skenario sangat pesimis (seperti disajikan pada Gambar 56). Luas lahan budidaya pesisir (tambak) terus meningkat pada semua skenario. Peningkatan luas tambak di wilayah pesisir Teluk Lampung adalah akibat dari nilai ekonomi komoditas udang yang tinggi dan aksesibilitas wilayah yang cukup baik. Pada skenario sangat pesimis, pertumbuhan luas tambak meningkat pesat dari tahun 2003 hanya 2,5 ribu ha sampai tahun 2013 menjadi 7,2 ribu ha, dan kemudian melambat sampai mencapai luas 8,1 ribu ha pada tahun 2029 (Gambar 63). Pada skenario lainnya peningkatan luas tambak tidak sepesat skenario sangat pesimis, karena terdapat pembatasan untuk kawasan lindung terutama untuk sempadan pantai dan mangrove. Pada akhir simulasi tahun 2029, luas tambak pada skenario pesimis, moderat, dan optimis, berturut-turut adalah 8,0 ribu ha, 7,9 ribu ha, dan 7,7 ribu ha. Penggunaan lahan untuk permukiman, bisnis dan industri, serta prasarana, menunjukkan peningkatan untuk semua skenario. Pada skenario optimis, penggunaan ruang tersebut meningkat lebih cepat setelah tahun 2017, dibandingkan dengan skenario lainnya. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan populasi dan aktivitas ekonomi yang lebih besar pada skenario optimis daripada skenario lainnya. Total lahan permukiman dan perkotaan yang terdiri dari lahan untuk permukiman, bisnis dan industri, prasarana, dan lahan pelabuhan, juga menunjukkan pola yang relatif sama. Pada skenario optimis, total lahan permukiman dan perkotaan lebih besar daripada skenario lainnya. Pada akhir
!
"
#!$ $
185 simulasi tahun 2029, total lahan permukiman dan perkotaan skenario optimis mencapai luas 13,9 ribu ha, jauh meningkat daripada pada tahun 2003 yaitu seluas 3,5 ribu ha. Sebaliknya pada skenario sangat pesimis, luas total lahan permukiman dan perkotaan pada tahun 2029 hanya sebesar 8,6 ribu ha (Gambar 67). Gambar 68 menunjukkan bahwa skenario sangat pesimis memerlukan total kebutuhan lahan untuk kawasan budidaya yang paling besar daripada skenario lainnya. Sampai dengan tahun 2029, skenario sangat pesimis membutuhkan total lahan untuk kawasan budidaya mencapai 120,3 ribu ha, yang sebagian besar merupakan lahan pertanian. Di sisi lain, skenario optimis hanya membutuhkan total lahan untuk kawasan budidaya pertanian dan non-pertanian seluas 73,9 ribu ha, karena terdapat kebijakan dihentikannya perluasan lahan pertanian dan dilakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan lindung.
Ribu hektar
2,9
Sangat Pesimis Moderat
7,0
Pesimis Optimis
2,6 2,2
2008
2013
2018
2023
Sangat Pesimis Moderat
15
Pesimis Optimis
2008
2013
2018
2023
2028
Sangat Pesimis Moderat
Pesimis Optimis
13 Ribu hektar
Ribu hektar
3,1
Gambar 65 Skenario perkembangan lahan bisnis dan industri
3,7 2,9 2,1 1,3 0,5 2003
4,4
0,5 2003
2028
Gambar 64 Skenario perkembangan lahan permukiman
4,5
Pesimis Optimis
1,8
1,9 1,5 2003
Sangat Pesimis Moderat
5,7 Ribu hektar
3,3
10 8 5
2008
2013
2018
2023
Gambar 66 Skenario perkembangan lahan untuk prasarana wilayah
2028
3 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 67 Skenario total lahan permukiman dan perkotaan
Total kebutuhan lahan untuk kawasan budidaya yang semakin meningkat, akan dipenuhi melalui berbagai cara, termasuk mengkonversi kawasan yang masih tertutup hutan menjadi kawasan budidaya. Diketahui bahwa pada tahun
!
"
#!$ $
186 awal dimulainya simulasi (tahun 2003), sudah terdapat lahan budidaya yang tidak sesuai dengan kemampuannya seluas 38,0 ribu ha, yaitu lahan berkualitas rendah (kelas kemampuan 5, 6, 7, dan 8). Jika tidak dikendalikan, maka penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya tersebut akan terus bertambah dengan bertambahnya kebutuhan lahan untuk kawasan budidaya. Dalam simulasi model, pengendalian tersebut ditunjukkan oleh nilai parameter peubah
130
50
118
40 Ribu hektar
Ribu hektar
”kebijakan” pada masing-masing skenario.
106 94 82 70 2003
Sangat Pesimis Moderat 2008
2018
2023
2028
Ribu hektar
48
0 2003
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 69 Skenario penggunaan lahan inkonsisten
Gambar 68 Skenario total lahan budidaya
60
20 10
Pesimis Optimis
2013
30
Sangat Pesimis Moderat
Pesimis Optimis
36 24 12 0 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 70 Skenario kemampuan penyediaan lahan untuk kawasan lindung darat
Gambar 69 menunjukkan perkembangan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya (penggunaan lahan inkonsisten) untuk masingmasing skenario. Pada semua skenario, penggunaan lahan akan meningkat dalam porsi yang sama sampai tahun 2009, dan di atas tahun 2009 mulai terdapat perbedaan antar skenario. Pada skenario sangat pesimis, penggunaan lahan akan terus meningkat sampai seluas 45,4 ribu ha pada tahun 2029, dari luas semula 38,0 ribu ha pada tahun 2003. Pada ekstrim yang lain, sampai tahun 2029 tidak terdapat lagi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya pada
!
"
#!$ $
187 skenario optimis, karena dibatasi oleh peubah ”kebijakan” di dalam model. Pengurangan penggunaan lahan pada skenario optimis tersebut, hanya mungkin terjadi dengan mengkonversi lahan pertanian, sehingga penggunaan lahan pertanian pada skenario ini harus menurun tajam (Gambar 62). Pada akhirnya, masing-masing skenario akan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyediakan lahan untuk kawasan lindung darat, seperti ditunjukkan pada Gambar 70. Skenario optimis dapat menyediakan lahan untuk kawasan lindung darat pada tahun 2029 mencapai luas 55,6 ribu ha. Luas lahan tersebut merupakan kebutuhan ideal untuk kawasan lindung darat, sesuai dengan kemampuan lahan dan aspek fungsionalnya. Sementara itu, skenario sangat pesimis hanya mampu menyediakan lahan seluas 9,1 ribu ha, yaitu berupa sebagian dari lahan kelas 7 dan 8, yang sudah tidak mungkin lagi dikonversi masyarakat karena faktor alam yaitu kecuraman lereng. Luas lahan tersebut sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kawasan lindung darat. Dengan demikian fungsi lindung pada skenario sangat pesimis menjadi terabaikan, dan memberikan dampak terhadap kelestarian sumberdaya pesisir dan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, peubah ”kendala ruang” pada skenario sangat pesimis, menjadi maksimal dan membatasi perkembangan wilayah pada aspek ekonomi dan populasi. Berlainan dengan ruang daratan, pemanfaatan umum perairan antar skenario tidak menunjukkan perbedaan yang tajam, dan tidak terdapat batas yang tegas antar penggunaan ruang perairan. Penggunaan perairan terbesar adalah untuk perikanan budidaya dan wilayah tangkap (fishing ground). Gambar 71 menunjukkan bahwa terdapat perluasan perairan perikanan budidaya yang signifikan untuk skenario optimis, yaitu dari awal simulasi hanya 8,0 ribu ha, meningkat menjadi 11,9 ribu ha pada tahun 2029, sedangkan untuk skenario sangat pesimis, luas pada tahun yang sama hanya mencapai 8,8 ribu ha. Peningkatan perairan perikanan budidaya pada skenario optimis yang besar tersebut, merupakan penyebab utama dapat meningkatnya produk sektor perikanan (seperti ditunjukkan pada sub-model aktivitas ekonomi). Gambar 72 menunjukkan bahwa pola perkembangan luas total perairan perikanan budidaya dan tangkap, sama dengan pola perkembangan perairan
!
"
#!$ $
188 perikanan budidaya. Hal tersebut disebabkan oleh perkembangan penggunaan perairan sektor perikanan hanya bersumber dari perikanan budidaya, sedangkan luas perairan perikanan tangkap relatif tetap. Pemanfaatan umum perairan non-perikanan yang meliputi kepentingan militer (daerah latihan TNI-AL), perairan daerah lingkungan kerja (DLKr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan, dan alur keluar masuk DLKr dan DLKp, tidak menunjukkan perbedaan antar skenario (Gambar 73). Perbedaan hanya terjadi antar tahun simulasi, yaitu pada tahun 2003 seluas 39,7 ribu ha, kemudian sedikit meningkat pada tahun 2029 menjadi 41,3 ribu ha. Peningkatan yang relatif kecil tersebut bersumber dari penambahan luas perairan pelabuhan (DLKr dan DLKp), yang berlaku sama antar skenario.
Ribu hektar
11
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
93 92 Ribu hektar
12
10 10 9 8 2003
Optimis
91 90
2008
2013
2018
2023
2028
88 2003
41,4
134
41,1
133
40,7 40,4 40,0
2008
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
2013
2018
2023
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 72 Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut dan tangkap
Ribu hektar
Ribu hektar
Pesimis
Moderat
89
Gambar 71 Skenario perkembangan perairan perikanan budidaya laut
39,7 2003
Sangat Pesimis
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
132
130 129
2028
Gambar 73 Skenario perkembangan pemanfaatan umum perairan non-perikanan
128 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 74 Skenario perkembangan total pemanfaatan umum perairan
Dengan pola kawasan pemanfaatan umum perairan (perikanan dan nonperikanan) seperti di atas, secara total kawasan pemanfaatan umum perairan dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 74. Pada skenario optimis, luas total kawasan pemanfaatan umum perairan akan berjumlah 133,5 ribu ha pada tahun 2029,
!
"
#!$ $
189 sedangkan skenario sangat pesimis hanya mencapai 130,4 ribu ha. Perbedaan tersebut didominasi oleh perbedaan penggunaan ruang perikanan budidaya. Peningkatan
pemanfaatan
umum
perairan
(terutama
perikanan),
menimbulkan dampak terhadap konversi perairan terumbu karang dan padang lamun yang seharusnya menjadi kawasan konservasi perairan, diubah menjadi perairan perikanan budidaya dan tangkap. Besarnya konversi tersebut akan meningkat sepanjang waktu simulasi. Pada skenario sangat pesimis dengan parameter peubah ”kebijakan” nol, yang berarti tidak ada upaya untuk melestarikan kawasan konservasi perairan, konversi terumbu karang dan padang lamun menjadi besar. Gambar 75 menunjukkan bahwa pada skenario sangat pesimis, konversi akan mencapai 1,3 ribu ha pada tahun 2029. Sedangan pada ekstrim yang lain, skenario optimis dengan upaya yang maksimal, dapat menekan konversi perairan terumbu karang menjadi 0,1 ribu ha. Perbedaan antar skenario tersebut selanjutnya berdampak terhadap penyediaan ruang perairan konservasi.
Ribu hektar
1,12
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
5 4 Ribu hektar
1,40
0,84 0,56
Pesimis Optimis
3 2 1
0,28 0,00 2003
Sangat Pesimis Moderat
2008
2013
2018
2023
2028
0 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 75 Skenario konversi perairan terumbu karang Gambar 76 Skenario upaya penyediaan kawasan konservasi perairan dan padang lamun
Gambar 76 menunjukkan bahwa upaya dalam skenario optimis dapat menyediakan ruang untuk kawasan konservasi perairan seluas 4,8 ribu ha, yang berupa tutupan terumbu karang dan padang lamun. Luas tersebut merupakan luas ideal untuk kawasan konservasi perairan, dan sesuai dengan luas terumbu karang dan padang lamun di Teluk Lampung (Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Lampung, 2007). Di sisi lain, dalam skenario sangat pesimis, sama sekali tidak ada upaya untuk menyediakan ruang perairan bagi kawasan konservasi. Pada skenario ini, konversi tutupan perairan terumbu karang dan padang lamun tidak dikendalikan
dan
akan
terus
berlangsung,
sepanjang
masih
dianggap
menguntungkan (dalam jangka pendek) oleh masyarakat. Sementara itu, skenario
!
"
#!$ $
190 pesimis dan moderat berada di antara kedua ekstrim, dengan penyediaan ruang perairan berturut-turut adalah 1,2 ribu ha dan 3,6 ribu ha. Peubah
“kebijakan”
pada
masing-masing
skenario,
memberikan
inkonsistensi tata ruang yang berbeda-beda. Inkonsistensi tata ruang didefinisikan sebagai luas penggunaan ruang (daratan dan perairan) untuk kawasan budidaya dan/atau pemanfaatan umum perairan yang seharusnya berfungsi lindung, baik yang telah terjadi maupun yang dikonversi selama kurun waktu simulasi. Inkonsistensi tersebut telah terjadi sejak dimulainya simulasi (tahun 2003), sesuai dengan kondisi nyata (eksisting) yaitu seluas 39,0 ribu ha. Pada semua skenario, inkonsistensi
tata
ruang
akan
meningkat,
sampai
peubah
“kebijakan”
menunjukkan efektivitasnya dalam menyetir peubah “inkonsistensi tata ruang”. Gambar 77 menunjukkan bahwa pencapaian skenario optimis dalam menurunkan inkonsistensi tata ruang hingga lebih rendah dari tahun 2003, baru dapat tercapai pada tahun 2018. Dalam skenario moderat dan pesimis, pencapaian tersebut berturut-turut baru akan terjadi pada tahun 2020 dan 2025. Sedangkan untuk skenario sangat pesimis, inkonsistensi tata ruang akan terus meningkat, hingga pada tahun 2029 akan mencapai luas 46,7 ribu ha. Adapun luas inkonsistensi tata ruang untuk skenario pesimis, moderat, dan optimis, pada tahun 2029, berturut-turut adalah 33,6; 10,9; dan 0,1 ribu ha. Luas inkonsistensi tata ruang akan mempengaruhi kendala ruang, dan terhubung pada sub-model populasi dan ekonomi. Dengan kendala ruang yang berbeda-beda antara skenario, akan menghasilkan jumlah penduduk, tingkat pengangguran, investasi, dan aktivitas
50
80
40
66
Rp juta per hektar
Ribu hektar
ekonomi (PDRB) yang berbeda-beda, seperti telah disajikan sebelumnya.
30 20 10 0 2003
Sangat Pesimis
Pesimis
Moderat
Optimis
2008
2013
2018
Sangat Pesimis Moderat
Pesimis Optimis
52 38 24
2023
2028
Gambar 77 Skenario inkonsistensi tata ruang darat dan perairan
10 2003
2008
2013
2018
2023
2028
Gambar 78 Skenario rente ruang kawasan budidaya darat dan perairan
!
"
#!$ $
191 Tabel 41 Rekapitulasi simulasi sub-model ketersediaan ruang No Peubah 1 2 3 4 5 6
7 8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Lahan pertanian Lahan tambak Lahan permukiman Lahan bisnis dan industri Lahan prasarana Lahan permukiman dan perkotaan Total lahan budidaya Penggunaan lahan inkonsisten Penyediaan lahan kawasan lindung Perairan perikanan budidaya Perairan perikanan budidaya dan tangkap Pemanfaatn perairan nonperikanan Total pemanfaatan umum perairan Konversi perairan terumbu karang Penyediaan kawasan koservasi perairan Inkonsistensi tata ruang darat dan perairan Rente ruang budidaya
Satuan ribu ha
Skenario serta tahun awal dan akhir simulasi Sangat Pesimis Moderat Optimis Pesimis 2003 2029 2003 2029 2003 2029 2003 2029 105,2 103,4 105,2 91,0 105,2 64,9 105,2 51,9
ribu ha
2,5
8,1
2,5
8,1
2,5
7,9
2,5
7,7
ribu ha
1,5
2,4
1,5
2,5
1,5
3,0
1,5
3,1
ribu ha
0,9
3,3
0,9
3,4
0,9
5,6
0,9
6,3
ribu ha
0,9
2,5
0,9
2,6
0,9
3,8
0,9
4,2
ribu ha
3,5
8,6
3,5
8,7
3,5
12,6
3,5
13,9
ribu ha
111,4
120,3
111,4
108,1 111,4
85,7
111,4
73,9
ribu ha
38,0
45,4
38,0
33,2
38,0
10,8
38,0
-
ribu ha
-
-
-
13,6
-
40,9
-
54,5
ribu ha
8,0
8,8
8,0
9,1
8,0
10,2
8,0
11,9
ribu ha
88,3
89,1
88,3
89,3
88,3
90,4
88,3
92,2
ribu ha
39,7
41,3
39,7
41,3
39,7
41,3
39,7
41,3
ribu ha
128,0
130,4
128,0
130,7 128,0
131,8
128,0
133,5
ribu ha
-
1,3
-
0,4
-
0,2
-
0,1
ribu ha
-
-
-
1,2
-
3,6
-
4,8
ribu ha
38,0
46,7
38,0
33,6
38,0
10,9
38,0
0,1
Rp juta/ha
11,98
29,57
11,98
31,56 11,98
56,46
11,98
67,80
!
"
#!$ $
192 Pada akhirnya, sistem secara keseluruhan akan memberikan rente ruang (space rent) kawasan budidaya darat dan pemanfaatan umum perairan yang berbeda-beda pula. Rente ruang didefinisikan sebagai produk ruang per luas kawasan budidaya, yaitu PDRB harga konstan tahun 2000 dibagi dengan luas kawasan budidaya (ha) darat dan perairan. Gambar 78 menunjukkan bahwa penurunan inkonsistensi tata ruang akan memberikan peningkatan rente ruang. Skenario optimis akan memberikan rente ruang tertinggi, yaitu mencapai Rp 67,80 juta per ha pada tahun 2029. Pada tahun yang sama, skenario moderat, pesimis, dan sangat pesimis, hanya dapat memberikan rente ruang berturut-turut sebesar Rp 56,46 juta per ha, Rp31,56 juta per ha, dan Rp 29,57 juta per ha. 7.1.6
Pemilihan skenario Simulasi model dalam skenario sangat pesimis, pesimis, moderat, dan
optimis, memberikan hasil yang berbeda. Salah satu skenario harus dipilih untuk digunakan dalam perumusan kebijakan (Durance dan Godet 2010). Untuk menetapkan skenario yang digunakan bagi perumusan kebijakan rencana pola dan struktur ruang, dipilih salah satu dari keempat skenario dengan mengacu pada kebutuhan pemangku kepentingan. Kebutuhan ditunjukkan oleh faktor-faktor penentu penataan ruang wilayah pesisir, sebagaimana telah diuraikan pada subbab 7.1.1, adalah meliputi: (1) kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir, (2) penegakan hukum, (3) pertumbuhan penduduk, (4) infrastruktur wilayah, (5) aktivitas ekonomi kerakyatan, dan (6) zonasi wilayah. Kebutuhan pemangku kepentingan diwakili oleh beberapa peubah dalam model, sebagai kriteria untuk memilih skenario yang paling akomodatif terhadap kebutuhan tersebut, yaitu sebagai berikut: 1) Kualitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir, diwakili oleh peubah: (1) PDRB per kapita, dan (2) tingkat pengangguran; 2) Penegakan hukum, diwakili oleh peubah: (3) inkonsistensi tata ruang; 3) Pertumbuhan penduduk, diwakili oleh peubah: (4) jumlah penduduk, dan (5) tingkat pertumbuhan penduduk; 4) Infrastruktur wilayah, diwakili oleh peubah: (6) investasi;
!
"
#!$ $
193 5) Aktivitas ekonomi kerakyatan, diwakili oleh peubah: (7) perikanan, (8) pertanian, dan (9) industri (termasuk industri skala mikro, kecil, dan menengah); 6) Zonasi wilayah, diwakili oleh peubah: (10) luas kawasan lindung, dan (11) rente ruang Dengan demikian, terdapat 11 kriteria yang berbeda dalam pemilihan skenario kebijakan. Alat yang digunakan dalam memilih skenario adalah analisis pembuatan keputusan multikriteria berupa pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja. Karena kriteria yang digunakan memiliki nilai dan satuan yang beragam, digunakan analisis yang sesuai yaitu CPI (Marimin 2004). Dari sebelas peubah di atas, diambil nilai rata-rata dari hasil simulasi masing-masing peubah, dan dijadikan sebagai nilai kriteria. Masing-masing nilai kriteria selanjutnya diubah menjadi nilai indeks (CPI). Melalui jumlah perkalian (sumproduct) nilai indeks dengan bobot kinerja, dihasilkan nilai alternatif untuk menentukan skenario yang paling akomodatif terhadap kebutuhan pemangku kepentingan. Penentuan bobot kinerja dilakukan dengan cara memberikan bobot untuk
masing-masing
masing-masing
kebutuhan
pemangku
kepentingan
menggunakan bilangan rasional, sehingga jumlahnya satu. Masing-masing bobot kebutuhan pemangku kepentingan dapat dipecah lagi, sesuai dengan jumlah peubah model yang mewakili kebutuhan yang bersangkutan, seperti terdaftar pada Tabel 42. Analisis dilakukan untuk empat titik tahun yang dianggap dapat mewakili hasil simulasi skenario, yaitu 2014, 2019, 2024, dan 2029. Untuk pengambilan keputusan peringkat nilai alternatif, dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai alternatif dan simpangan bakunya. Skenario dengan peringkat nilai alternatif tertinggi (I) merupakan skenario yang akan dipilih. Penentuan peringkat nilai alternatif adalah sebagai berikut: 1) Peringkat I adalah: Jika nilai alternatif > dari rata-rata nilai alternatif + simpangan baku; 2) Peringkat II adalah: Jika rata-rata nilai alternatif < nilai alternatif < dari rata-rata nilai alternatif + simpangan baku; 3) Peringkat III adalah: Jika nilai alternatif < dari rata-rata nilai alternatif.
!
"
#!$ $
194 Kesebelas kriteria dan bobot kinerja masing-masing skenario disajikan disajikan pada Tabel 42, dan rekapitulasi hasil analisis pada Tabel 43. Data lengkap analisis, disajikan pada Tabel Lampiran 48 sampai 55. Tabel 42 Kriteria dan bobot kinerja CPI Kebutuhan pemangku kepentingan Kualitas SDM Penegakan hukum Pertumbuhan penduduk Infrastruktur wilayah Aktivitas ekonomi kerakyatan Zonasi wilayah
Peubah model PDRB per kapita Pengangguran Inkonsistensi tata ruang Jumlah penduduk Tingkat pertumbuhan Investasi Pertanian Perikanan Industri Penyediaan kawasan lindung Rente ruang
Satuan
Bobot Kinerja
Rp juta per orang % ha orang % Rp juta Rp juta Rp juta Rp juta ha
Nilai alternatif skenario Simpangan baku nilai alternatif Rata-rata nilai alternatif Peringkat nilai alternatif 2019 Nilai alternatif skenario Simpangan baku nilai alternatif Rata-rata nilai alternatif Peringkat nilai alternatif 2024 Nilai alternatif skenario Simpangan baku nilai alternatif Rata-rata nilai alternatif Peringkat nilai alternatif 2029 Nilai alternatif skenario Simpangan baku nilai alternatif Rata-rata nilai alternatif Peringkat nilai alternatif Kesimpulan Peringkat Skenario
Skenario Sangat Pesimis 99,2 1,4 100,8 III 95,8 7,9 104,4 III 85,9 25,0 110,6 III 77,9 53,6 127,0 III III
Pesimis
Moderat
Optimis
100,1
101,5
102,2
III 100,1
II 108,6
I 113,3
III 95,0
II 120,4
I 140,9
III 89,6
II 147,4
I 193,2
III III
II II
I I
Rekapitulasi hasil analisis CPI pada Tabel 43 menunjukkan bahwa hanya skenario optimis yang menempati peringkat I. Hasil tersebut memberikan kesimpulan tunggal, dan diinterpretasikan bahwa hanya skenario optimis yang paling mampu mengakomodasi kebutuhan pemangku kepentingan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Dengan demikian, dalam perencanaan kebijakan pola dan struktur ruang wilayah pesisir Teluk Lampung akan mengacu pada skenario optimis.
!
"
#!$ $
195 7.2
Kebijakan Pola dan Struktur Ruang
7.2.1
Kebutuhan dan kesesuaian ruang Kebutuhan ruang diperhitungkan dari simulasi skenario optimis yang telah
dipilih sebagai skenario yang paling mampu untuk memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Berdasarkan simulasi skenario, diketahui bahwa sampai akhir tahun simulasi akan dibutuhkan penambahan ruang bagi berbagai penggunaan. Kebutuhan ruang daratan dan perairan untuk masing-masing penggunaan, dihitung sampai dengan akhir simulasi (tahun 2029). Hasil perhitungan kebutuhan ruang sesuai dengan simulasi skenario optimis, secara ringkas disajikan pada Tabel 44. Tabel 44 Kebutuhan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung No. Penggunaan Ruang 1 Permukiman 2 Prasarana wilayah (jalan, terminal, perkantoran, prasarana kesehatan, pasar, sekolah, dan lain-lain) 3 Bisnis dan industri (pabrik, pergudangan, hotel, restoran, dan penunjang lainnya) 4 Pertanian 5 Budidaya pesisir (tambak) 6 Lahan pelabuhan 7 Lahan militer 8 Lahan wisata pantai Jumlah kawasan budidaya darat 9 Lindung lahan atas 10 Sempadan sungai 11 Sempadan pantai dan mangrove Jumlah kawasan lindung darat Jumlah penggunaan lahan Luas lahan total *) Lahan yang masih dapat dialokasikan 12 Perairan perikanan budidaya 13 Perairan perikanan tangkap 14 Perairan militer (TNI-AL) 15 Perairan pelabuhan/pelayaran 16 Perairan direklamasi Jumlah kawasan pemanfaatan umum perairan 17 Kawasan konservasi perairan Jumlah penggunaan perairan Luas perairan total *) Perairan yang masih dapat dialokasikan
Keterangan: *) Luas total lahan bertambah dan perairan berkurang dari tahun 2003 karena adanya reklamasi pantai
!
"
#!$ $
196 Kebutuhan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung sampai tahun 2029 dapat dipenuhi, dan masih terdapat lahan dan perairan yang dapat dialokasikan untuk penggunaan lain, masing-masing seluas 1.101 ha dan 21.298 ha. Pada ruang daratan, terdapat prasyarat agar kebutuhan ruang dapat dipenuhi, yaitu harus dilakukan konversi lahan pertanian menjadi penggunaan budidaya lainnya dan menjadi kawasan lindung. Di sisi lain secara kuantitas pemenuhan kebutuhan ruang perairan dapat dicapai, namun secara umum kawasan konservasi perairan (tutupan terumbu karang dan padang lamun) berada pada perairan tepi yang juga sesuai untuk penggunaan perairan perikanan budidaya dan tangkap. Dengan demikian, dapat terjadi tumpang tindih antara kawasan konservasi dan kawasan pemanfaatan umum perairan. Oleh karena itu, analisis kesesuaian ruang daratan dan perairan diperlukan untuk mengalokasikan ruang sesuai dengan kebutuhan masing-masing penggunaan. Evaluasi yang dilakukan melalui analisis SIG menghasilkan kesesuaian ruang untuk penggunaan pertanian, tambak, permukiman, bisnis dan industri, kawasan lindung daratan dan konservasi perairan, serta pemanfaatan umum perairan (perairan perikanan budidaya dan pariwisata, serta perikanan tangkap). Secara ringkas hasil analisis SIG disajikan pada Tabel 45 serta Gambar 79 sampai dengan Gambar 84. Tabel 45 No. 1 2 3
4 5 6 7 8
Kesesuaian ruang wilayah pesisir Teluk Lampung Kesesuaian Ruang Lahan permukiman 1) Lahan bisnis dan industri 1) Lahan pertanian: 2) - Tanaman perkebunan (tahunan) - Tanaman pangan (semusim) Lahan budidaya pesisir (tambak) Lahan tidak sesuai untuk budidaya (kawasan lindung daratan) Perairan perikanan budidaya dan pariwisata Perairan perikanan tangkap 3) Perairan tidak sesuai untuk kawasan pemanfaatan umum (kawasan konservasi perairan)
Keterangan: 1) Kesesuaian lahan permukiman serta bisnis dan industri sudah meliputi kesesuaian lahan untuk prasarana wilayah, pelabuhan, militer, dan wisata pantai. 2) Kesesuaian lahan pertanian dibedakan untuk tanaman perkebunan (tahunan) dan tanaman pangan (semusim) 3) Perairan perikanan tangkap sudah meliputi perairan untuk kepentingan militer (TNI-AL) dan pelabuhan/pelayaran
!
"
#!$ $
Gambar 79 PETA KESESUAIAN LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN (TAHUNAN) !
"
#!$ $
197
Gambar 80 PETA KESESUAIAN LAHAN TANAMAN PANGAN (SEMUSIM)
198
!
"
#!$ $
Gambar 81 PETA KESESUAIAN LAHAN TAMBAK
!
"
#!$ $
199
Gambar 82 PETA KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN
200
!
"
#!$ $
Gambar 83 PETA KESESUAIAN LAHAN BISNIS DAN INDUSTRI !
"
#!$ $
201
Gambar 84 PETA KESESUAIAN PEMANFAATAN UMUM PERAIRAN
202
!
"
#!$ $
203 7.2.2
Karakteristik wilayah dan pusat pelayanan Penyajian karakteristik wilayah dan pusat pelayanan ditujukan untuk
memberikan dasar kebijakan struktur ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Analisis dilakukan dalam lingkup sub-wilayah (kecamatan), yang meliputi location quotient (LQ), localization index (LI), specialization index (SI), dan skalogram. Alat analisis tersebut dapat menunjukkan sektor basis, distribusi suatu aktivitas tertentu, spesialisasi, dan hierarki pelayanan, masing-masing sub-wilayah (Hoover dan Giarratani 1999; Rustiadi et al. 2009). Hasil analisis disajikan pada Tabel 46 sampai dengan Tabel 49, data lengkap PDRB untuk analisis LQ, LI, dan SI telah disajikan pada Bab 4 (Tabel 18 dan Tabel 19), sedangkan data lengkap analisis skalogram disajikan pada Lampiran 7. Tabel 46 Nilai LQ sektor ekonomi per kecamatan No Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Padang Cermin Punduh Pidada Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang
A B C 1,23 0,53 0,12 0,56 1,02 0,69 2,62 0,30 1,40 9,17 0,23 1,90 0,48 2,38
-
D 2,21 3,36 1,73 1,94 1,05 1,71
Sektor Ekonomi E F G H 1,21 0,74 0,74 0,96 1,05 0,78 0,77 1,00 0,73 0,96 0,63 0,82 1,05 0,41 0,49 0,63 0,34 0,31 0,23 0,30 1,32 0,66 0,68 0,88
Keterangan: A = Perikanan; B = Angkutan laut dan penyeberangan; C = Pariwisata; D = Pertanian; E = Pertambangan dan penggalian; F = Industri pengolahan; G = Listrik dan air bersih; H = Bangunan; I = Perdagangan; J = Pengangkutan dan komunikasi; K = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan L = Jasa-jasa.
Secara umum nilai LQ menunjukkan bahwa sektor-sektor basis relatif agak berbeda antar kecamatan. Sektor yang menjadi ekonomi basis terbanyak di wilayah kecamatan adalah perikanan dan pertanian (masing-masing menjadi basis di tujuh kecamatan). Sebaliknya sektor yang paling sedikit menjadi basis adalah bangunan, yaitu hanya di Kecamatan Teluk Betung Selatan. Di sisi lain, kecamatan yang paling banyak memiliki sektor basis adalah Teluk Betung Selatan dan Panjang (masing-masing memiliki delapan sektor basis). Sektor pertanian,
!
"
#!$ $
204 secara umum menjadi basis di kebanyakan wilayah kecamatan, kecuali pada kecamatan yang banyak memiliki kawasan perkotaan yaitu di Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, dan Panjang). Sektor pertanian hanya berkembang pada kecamatan yang memiliki wilayah luas dan hanya sedikit memiliki kawasan perkotaan. Tabel 47 Nilai LI sektor ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung No. Sektor Ekonomi Nilai LI 1 Perikanan 0,30 2 Angkutan laut dan penyeberangan 0,70 3 Pariwisata 0,27 4 Pertanian 0,47 5 Pertambangan dan penggalian 0,30 6 Industri pengolahan 0,17 7 Listrik dan air bersih 0,22 8 Bangunan 0,16 9 Perdagangan 0,15 10 Pengangkutan dan komunikasi 0,33 11 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 0,28 12 Jasa-jasa 0,19 Hasil analisis LI menunjukkan bahwa hanya sektor angkutan laut dan penyeberangan yang memiliki nilai relatif besar, tetapi masih belum mendekati 1 (yaitu hanya 0,70). Nilai LI tersebut diinterpretasikan bahwa sektor angkutan laut dan penyeberangan tidak hanya terpusat di satu lokasi, namun juga secara relatif tidak tersebar merata di seluruh wilayah. Hal ini merupakan indikasi bahwa sebagian besar sektor ekonomi relatif tersebar merata di sebagian besar wilayah kecamatan pesisir Teluk Lampung. Nilai LI tersebut konsisten dengan analisis LQ, dimana sektor yang memiliki nilai LQ yang mencolok adalah angkutan laut dan penyeberangan (untuk Kecamatan Bakauheni 9,17), dan hanya menjadi basis di Kecamatan Bakauheni dan Panjang. Secara umum dari analisis LI dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat sektor ekonomi yang terpusat pada wilayah kecamatan tertentu, dan sektor angkutan laut dan penyeberangan hanya relatif terpusat pada sedikit kecamatan. Secara konsisten, analisis SI menunjukkan bahwa tidak terdapat wilayah kecamatan tertentu yang terspesialisasi pada satu sektor tertentu. Nilai SI terbesar terdapat pada Kecamatan Bakauheni, tetapi masih jauh dari nilai 1 (yaitu hanya 0,46). Dari analisis LQ diketahui bahwa salah satu sektor basis di Kecamatan
!
"
#!$ $
205 Bakauheni adalah angkutan laut dan penyeberangan, dan nilai LI menunjukkan bahwa sektor angkutan laut dan penyeberangan merupakan sektor yang relatif terpusat di Kecamatan Bakauheni. Dengan demikian, Kecamatan Bakauheni secara relatif terspesialisasi pada sektor angkutan laut dan penyeberangan, tetapi juga tergantung dengan sektor ekonomi basis lainnya (perikanan dan pertanian). Tabel 48 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nilai SI per kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung Kecamatan Nilai SI Katibung 0,23 Sidomulyo 0,36 Kalianda 0,16 Rajabasa 0,40 Bakauheni 0,46 Padang Cermin 0,26 Punduh Pidada 0,37 Teluk Betung Barat 0,24 Teluk Betung Selatan 0,27 Panjang 0,30
Dari analisis LQ, LI, dan SI dapat disimpulkan bahwa pengembangan sektor-sektor ekonomi di wilayah pesisir Teluk Lampung, dapat dilakukan secara relatif sama di semua wilayah kecamatan, dengan memperhatikan potensi dan kondisi yang telah berkembang. Pada wilayah kecamatan dengan kondisi yang telah didominasi oleh aktivitas perkotaan, tidak mungkin dikembangkan sektor pertanian yang butuh lahan luas, seperti di Kecamatan Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, dan Panjang. Demikian juga sektor yang secara relatif telah mengarah pada spesialisasi pada wilayah tertentu seperti angkutan laut dan penyeberangan di Kecamatan Bakauheni dan Panjang, sektor tersebut tidak perlu diprioritaskan pengembangannya pada kecamatan yang lain. Prosedur analisis skalogram disajikan pada Bab 3, dengan menggunakan 67 jenis fasilitas pelayanan (secara lengkap disajikan pada Lampiran 7). Hasil analisis skalogram (Tabel 49) menunjukkan bahwa Kecamatan Teluk Betung Selatan memiliki nilai indeks pelayanan (IP) yang terbesar dan menempati peringkat I, kemudian disusul oleh Kecamatan Panjang, Kalianda, dan Bakauheni yang menempati peringkat II. Nilai IP menunjukkan bahwa berbagai fasilitas pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung, terpusat pada keempat kecamatan
!
"
#!$ $
206 tersebut. Berdasarkan nilai IP, dapat ditentukan ordo pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung, yaitu sesuai dengan peringkat nilai IP. Tabel 49 Nilai IP skalogram per kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung No Kecamatan Nilai IP Peringkat 1 Katibung 30,01 III 2 Sidomulyo 41,72 III 3 Kalianda 55,97 II 4 Rajabasa 34,96 III 5 Bakauheni 55,37 II 6 Padang Cermin 30,77 III 7 Punduh Pidada 25,44 III 8 Teluk Betung Barat 39,35 III 9 Teluk Betung Selatan 90,41 I 10 Panjang 63,25 II Nilai IP pada analisis skalogram juga menunjukkan bahwa secara aktual terdapat ketimpangan jenis dan jumlah fasilitas pelayanan antar kecamatan di wilayah peisisr Teluk Lampung. Tampak bahwa wilayah kecamatan pesisir di Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada), memiliki nilai IP yang lebih kecil daripada kecamatan lainnya. Oleh karena itu kedua kecamatan pesisir Kabupaten Pesawaran ini hanya menempati peringkat III. Untuk menetapkan struktur hierarki yang mewakili wilayah pesisir di Kabupaten Pesawaran, diperlukan percepatan pengadaan failitas pelayanan agar ordo pusat pelayanan dapat memiliki tingkatan yang sama dengan wilayah pesisir di Kabupaten Lampung Selatan dan Bandar Lampung. 7.2.3
Arahan pola ruang Dari analisis sistem dinamik dan analisis sistem informasi geografis (SIG),
dapat ditentukan arahan pola ruang yang mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. Berdasarkan analisis CPI diketahui bahwa hanya skenario optimis dari analisis sistem dinamik yang paling mampu mengakomodasi kebutuhan pemangku kepentingan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung. Sementara itu, dari analisis SIG diketahui bahwa kebutuhan ruang yang seseuai dengan skenario optimis (seperti disajikan pada Tabel 44), dapat dipenuhi di wilayah pesisir Teluk Lampung.
!
"
#!$ $
207 Arahan pola ruang meliputi kawasan lindung darat dan koservasi perairan, serta kawasan budidaya daratan dan pemanfaatan umum perairan. Penentuan alokasi peruntukan pola ruang dilakukan terutama berbasiskan prinsip kontinum pada pola ruang eksisting yang telah memenuhi kaidah kesesuaian. Hasil analisis menunjukkan bahwa alokasi pola ruang untuk beberapa peruntukan, dapat melebihi kebutuhan yang diperlukan pada skenario optimis. Arahan alokasi pola ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, secara ringkas disajikan pada Tabel 50 serta Gambar 85 dan Gambar 86. Tabel 50 Arahan alokasi pola ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang memenuhi skenario optimis Rencana alokasi No. Peruntukan ruang (ha) 1 Permukiman 3.689 2 Prasarana wilayah (jalan, terminal, perkantoran, 4.446 prasarana kesehatan, pasar, sekolah, dan lain-lain) 3 Bisnis dan industri (pabrik, pergudangan, hotel, 6.400 restoran, dan penunjang lainnya) 4 Pertanian 51.911 - Tanaman pangan (semusim) 20.005 - Tanaman perkebunan (tahunan) 31.906 5 Budidaya pesisir (tambak) 7.750 6 Lahan pelabuhan 300 7 Lahan militer 250 8 Lahan wisata pantai 200 Jumlah kawasan budidaya darat 74.946 9 Lindung lahan atas 45.326 10 Sempadan sungai 4.541 11 Sempadan pantai dan mangrove 4.615 Jumlah kawasan lindung darat 54.482 Jumlah luas alokasi lahan 129.428 Luas lahan total *) 129.428 12 Perairan perikanan budidaya dan pariwisata 18.880 13 Perairan perikanan tangkap 81.734 14 Perairan militer (TNI-AL) 35.417 15 Perairan pelabuhan/pelayaran 5.913 16 Alur pelayaran 11.360 17 Perairan direklamasi 1.526 Jumlah kawasan pemanfaatan umum perairan 153.304 18 Kawasan konservasi perairan 4.822 Jumlah penggunaan perairan 158.126 Luas perairan total *) 159.652 Keterangan: *) Luas total lahan bertambah dan perairan berkurang dari tahun 2003 karena adanya reklamasi pantai
!
"
#!$ $
Gambar 85 PETA ALOKASI RUANG KAWASAN LINDUNG DAN KONSERVASI
208
!
"
#!$ $
209 Kawasan lindung daratan meliputi luas lahan 54.482 ha, yang terdiri dari kawasan lindung lahan atas, sempadan sungai, sempadan pantai, dan mangrove. Terdapat sedikit perbedaan antara kebutuhan dari sistem dinamik dengan arahan alokasi lahan, yaitu untuk porsi luas sempadan sungai serta sempadan pantai dan mangrove. Perbedaan tersebut bersumber dari adanya lahan bentukan reklamasi akan memperpanjang sungai sehingga sempadan sungai menjadi lebih luas, namun secara bersamaan garis pantai menjadi lebih lurus dan pendek sehingga sempadan pantai menjadi lebih sempit. Secara keseluruhan, jumlah luas alokasi lahan untuk sempadan sungai serta sempadan pantai dan mangrove, menjadi tetap sama dengan kebutuhan dari analisis sistem dinamik sampai tahun 2029. Kawasan konservasi perairan meliputi luas perairan 4.822 ha, yang merupakan perairan terumbu karang dan padang lamun, yang umumnya berada di tepi pantai atau pulau-pulau kecil. Rencana alokasi kawasan budidaya daratan meliputi luas lahan 74.946 ha, yang secara keseluruhan dapat melebihi kebutuhan ruang budidaya daratan dari analisis sistem dinamik sampai tahun 2029, yaitu seluas 73.845 ha (seperti telah disajikan pada Tabel 44). Alokasi kawasan budidaya daratan meliputi peruntukan permukiman, prasarana wilayah (jalan, terminal, perkantoran, prasarana kesehatan, pasar, sekolah, dan lain-lain), bisnis dan industri (pabrik, pergudangan, hotel, restoran, dan penunjang lainnya), pertanian (tanaman perkebunan dan tanaman pangan), budidaya tambak, lahan pelabuhan, lahan militer (pangkalan TNI-AL), dan lahan wisata pantai. Terdapat penambahan luas lahan yang berasal dari reklamasi perairan pantai, dan diperuntukkan bagi penggunaan permukiman, prasarana wilayah, bisnis dan industri, dan kawasan lindung setempat. Alokasi ruang daratan dirancang untuk dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan, terutama melalui penyediaan ruang bagi sektor-sektor yang terkait langsung dengan masyarakat. Walaupun sektor pertanian bukan merupakan sektor yang berdaya saing tinggi untuk wilayah pesisir Teluk Lampung (seperti telah dibahas dalam sub-bab 4.3.4, pada Tabel 21), namun alokasi lahan pertanian (tanaman pangan dan perkebunan) tetap diutamakan dengan luas terbesar yaitu 51.911 ha, karena sektor ini merupakan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat (Tabel 15). Berdasarkan pertimbangan kemampuan dan luas lahan,
!
"
#!$ $
210 pengembangan sektor pertanian dibatasi hanya pada lahan yang sesuai dan mampu mendukung produktivitas tinggi. Dengan demikian, walaupun terjadi penurunan luas lahan dari kondisi saat ini, produksi sektor ini akan tetap meningkat dan mampu menjadi salah satu penyumbang utama perekonomian di wilayah pesisir Teluk Lampung. Lahan pertanian dialokasikan tersebar di wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan yang masih didominasi oleh kawasan perdesaan. Untuk wilayah Kota Bandar Lampung, alokasi lahan pertanian hanya terbatas pada sebagian Kecamatan Teluk Betung Barat dan Panjang. Sebagai penunjang utama sektor perikanan, alokasi lahan untuk tambak mendapatkan porsi optimal sesuai dengan kemampuan lahan, yaitu mencapai 7.750 ha. Pada perkembangan sektor perikanan di masa depan, diharapkan perikanan budidaya (tambak dan budidaya laut) menjadi penunjang utama. Dengan demikian, alokasi lahan tambak harus mendapatkan porsi yang seoptimal mungkin. Sebaran alokasi lahan tambak hanya berada pada Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan yang masih didominasi oleh kawasan perdesaan, dan masih mungkin dilakukan. Sebagai
sektor
yang
diharapkan
menjadi
penyumbang
utama
perekonomian, alokasi lahan untuk sektor industri pengolahan adalah tersebar di wilayah pesisir Teluk Lampung. Pada wilayah Kota Bandar Lampung, sektor industri pengolahan akan diutamakan sebagai pengembangan industri saat ini, yang berbasis pada berbagai produk wilayah Provinsi Lampung (seperti pengolahan kopi, pakan ternak, dan pengolahan produk tapioka). Pada wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan, pengembangan industri pengolahan lebih diutamakan pada industri yang berbasis pada produk wilayah pesisir Teluk Lampung yaitu perikanan dan pertanian. Selain itu, untuk menunjang pengembangan ekonomi kerakyatan, skala industri pengolahan juga harus beragam mulai dari mikro, kecil, sedang, dan besar, dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota. Pengembangan industri pengolahan, juga akan berdampingan dengan bisnis lainnya, seperti pergudangan dan penunjang lainnya, oleh karena itu alokasi lahan untuk sektor industri dirangkum menjadi bisnis dan industri.
!
"
#!$ $
Gambar 86 PETA ARAHAN ALOKASI RUANG
!
"
#!$ $
211
212 Alokasi lahan untuk permukiman adalah meliputi permukiman kawasan perdesaan dan perkotaan. Alokasi ini dilakukan tersebar di seluruh wilayah, namun tetap dengan porsi terbesar di wilayah Kota Bandar Lampung, karena jumlah dan kepadatan penduduknya yang lebih tinggi. Luas lahan untuk permukiman dialokasikan sebesar 3.689 ha, yaitu lebih tinggi daripada kebutuhan yang disimulasi dari analisis sistem dinamik (sebesar 3.155 ha). Penyebaran aloaksi lahan permukiman, juga ditujukan untuk lebih meratakan distribusi penduduk di seluruh wilayah pesisir Teluk Lampung. Lahan prasarana merupakan alokasi lahan yang selalu berdampingan dengan permukiman serta bisnis dan industri. Luas alokasi lahan untuk prasarana wilayah (jalan, jalur transmisi energi listrik, terminal, perkantoran, prasarana kesehatan, pasar, sekolah, dan lain-lain), adalah sebesar 4.446 ha. Alokasi lahan prasarana wilayah juga memiliki fungsi insentif dan disinsentif bagi pencapaian pola ruang, dengan demikian di sekitar kawasan lindung tidak dialokasikan lahan prasarana, kecuali hanya untuk trase jalan yang harus memotong sebagian kawasan lindung. Sebaliknya, bersamaan dengan lahan yang dialokasikan untuk permukiman serta bisnis dan industri, akan didampingi oleh alokasi lahan untuk prasarana wilayah. Seperti halnya ruang daratan, rencana
alokasi kawasan pemanfaatan
umum perairan dapat melebihi kebutuhan ruang yang didapat dari analisis sistem dinamik sampai tahun 2029. Rencana alokasi ruang kawasan pemanfaatan umum perairan meliputi luas 153.304 ha, yang terdiri dari peruntukan perairan perikanan budidaya dan pariwisata, perairan perikanan tangkap, perairan militer (TNI-AL), perairan pelabuhan/pelayaran, dan alur pelayaran. Secara total luas perairan menjadi sedikit berkurang, akibat adanya aktivitas reklamasi perairan pantai menjadi daratan. Alokasi perikanan tangkap dapat digunakan sebagai wilayah tangkap (fishing ground), baik menggunakan alat tangkap statis maupun bukan, serta penempatan alat pengumpul ikan (fish gathering device, FGD) seperti rumpon. Luas alokasi kawasan perikanan tangkap adalah sebesar 81.734 ha. Yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pola ruang perairan akan berbeda dengan daratan, karena tidak dapat dibatasi secara kaku, dan beberapa aktivitas sangat
!
"
#!$ $
213 bersifat temporer. Perikanan tangkap yang tidak menggunakan alat tangkap statis (seperti bagan tancap), tidak akan menggunakan perairan secara terus menerus, begitu juga halnya dengan perairan latihan TNI-AL hanya akan digunakan pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, rencana alokasi ruang perairan tidak dapat bersifat rigid, melainkan akan bersifat fleksibel. Secara temporal, perairan latihan TNI-AL (yang dialokasikan seluas 35.417 ha), masih dapat digunakan oleh aktivitas perikanan tangkap yang tidak menggunakan alat tangkap statis. Dengan demikian pada dasarnya perairan perikanan tangkap dapat lebih luas daripada rencana alokasinya. Perairan perikanan budidaya dialokasikan bersama dengan perairan untuk pariwisata, dengan luas total 18.880 ha. Luas perairan tersebut diperkirakan masih melebihi kebutuhan perikanan budidaya dari analisis sistem dinamik sampai tahun 2029 (yaitu hanya 11.940 ha), karena perairan pariwisata tidak akan membutuhkan ruang yang luas. Aktivitas perikanan budidaya laut akan meliputi budidaya rumput laut, budidaya mutiara, dan keramba jaring apung. Alokasi yang luas bagi perikanan budidaya adalah untuk menunjang sektor perikanan, yang diperkirakan akan semakin bertumpu pada perikanan budidaya, baik budidaya pesisir (tambak) maupun perikanan budidaya laut. Dengan demikian sektor perikanan diharapkan dapat meningkat dan menjadi penyumbang utama perekonomian wilayah pesisir Teluk Lampung. Alokasi perairan untuk kepentingan pelabuhan/pelayaran, yaitu meliputi perairan daerah lingkungan kerja (DLKr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan, serta alur masuk keluar DLKr dan DLKp, dengan luas total 5.913 ha. Luas alokasi perairan tersebut lebih tinggi daripada luas total saat ini, yaitu hanya 4.726 ha. Alokasi perairan pelabuhan/pelayaran harus terbebas dari aktivitas lainnya, karena diperkirakan peningkatan aktivitas angkutan laut akan semakin tinggi dengan meningkatnya perekonomian, sebagaimana ditunjukkan dari analisis sistem dinamik. Aktivitas perikanan tangkap, keberadaan alat tangkap statis (seperti sero yang terdapat saat ini, ditunjukkan pada Gambar 38), dan aktivitas lainnya, tidak boleh lagi tumpang tindih dengan perairan kepentingan pelabuhan/pelayaran.
!
"
#!$ $
214 Untuk meningkatkan kelancaran dan keamanan aktivitas angkutan laut, dialokasikan ruang untuk alur pelayaran. Alur pelayaran yang melintasi Teluk Lampung, tidak lagi merupakan garis, tetapi menjadi ruang memanjang (strip) dengan lebar 1 km, mulai dari mulut Teluk di bagian selatan sampai pada alur keluar masuk DLKr dan DLKp pelabuhan. Ruang ini merupakan kawasan terbatas bagi semua kegiatan lain, kecuali untuk pergerakan sesaat seperti lalu lintas armada kapal nelayan. Luas alokasi ruang alur pelayaran secara keseluruhan mencapai 11.360 ha. 7.2.4
Arahan struktur ruang Berdasarkan analisis LQ, terlihat bahwa masing-masing sub-wilayah
(kecamatan) memiliki lebih dari satu sektor ekonomi basis. Lebih lanjut analisis LI dan SI memperlihatkan bahwa tidak terdapat suatu kecamatan di wilayah pesisir Teluk Lampung yang secara tegas hanya terspesialisasi pada satu sektor ekonomi tertentu; ataupun suatu sektor tertentu terlokalisasi di kecamatan tertentu. Ketiga hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan sektorsektor ekonomi di wilayah pesisir Teluk Lampung, dapat dilakukan secara relatif sama di semua wilayah kecamatan, dengan memperhatikan potensi dan kondisi yang telah berkembang. Sementara itu, hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa kecamatan pesisir di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, secara relatif memiliki fasilitas pelayanan yang lebih lengkap daripada Kabupaten Pesawaran. Oleh karena itu, berdasarkan kondisi aktual dari skalogram, hierarki pusat pelayanan tinggi (ordo I dan II) hanya akan berada di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Kondisi aktual tersebut harus dirubah sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan yang tersebar di seluruh wilayah pesisir Teluk Lampung. Untuk menuju pada pemenuhan kebutuhan peningkatan ekonomi kerakyatan terutama melalui sektor-sektor perikanan, pertanian, dan industri pengolahan, perencanaan penyediaan dan struktur ruang harus dilakukan secara proporsional. Di sisi lain, hasil analisis LQ, LI, dan SI, menunjukkan bahwa pengembangan sektor-sektor ekonomi dapat dilakukan di semua kecamatan secara
!
"
#!$ $
215 proporsional. Dengan alasan tersebut, hierarki pusat pelayanan disusun mengikuti hasil skalogram (disajikan pada Tabel 49) dengan sedikit modifikasi, yaitu merubah peringkat Kecamatan Padang Cermin dari III menjadi II, dan berfungsi sebagai salah satu pusat pelayanan di wilayah pesisir Kabupaten Pesawaran. Dengan demikian hierarki pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung akan menjadi lebih proporsional antara bagian barat dan timur, dan dapat disusun seperti disajikan pada Tabel 51. Tabel 51 Arahan hierarki pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung No Kecamatan Ordo Pusat Pelayanan 1 Teluk Betung Selatan I 2 Panjang II 3 Kalianda II 4 Bakauheni II 5 Padang Cermin II 6 Sidomulyo III 7 Teluk Betung Barat III 8 Rajabasa III 9 Katibung III 10 Punduh Pidada III Perubahan peringkat Kecamatan Padang Cermin untuk mewakili bagian barat wilayah pesisir Teluk Lampung (pesisir Kabupaten Pesawaran), berimplikasi pada perlunya percepatan pembangunan prasarana dan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut. Prasarana utama yang diperlukan adalah penambahan jaringan jalan yang lebih menjangkau pusat-pusat aktivitas ekonomi, untuk memperlancar pengangkutan dan distribusi dari input dan produk yang dihasilkan. Selain prasarana jalan, angkutan laut lokal juga perlu dikembangkan agar terdapat hubungan langsung antara bagian barat dan timur wilayah pesisir. Untuk produk wilayah barat yang berorientasi ke Jakarta atau Pulau Jawa, angkutan laut lokal dapat berperan dalam memperpendek waktu tempuh dari Padang Cermin dan Punduh Pidada langsung ke Kalianda atau Rajabasa dan kemudian ke Bakauheni sebagai lintas penyeberangan Jawa-Sumatera. Fasilitas lain yang perlu dipercepat peningkatannya adalah kebutuhan dasar masyarakat yaitu pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, masyarakat di bagian barat wilayah pesisir tidak perlu ke Teluk Betung Selatan (Kota Bandar Lampung) untuk mendapatkan pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.
!
"
#!$ $
216 Penyusunan hierarki fungsional pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung, adalah sebagai berikut: 1) Pusat pelayanan ordo I (Kecamatan Teluk Betung Selatan), yaitu pusat yang melayani wilayah pesisir Teluk Lampung dan/atau wilayah sekitarnya. 2) Pusat pelayanan ordo II (Kecamatan Panjang, Kalianda, Bakauheni, dan Padang Cermin), yaitu pusat yang melayani satu atau lebih kecamatan lainnya. Pusat tersebut dikembangkan dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memacu pertumbuhan perekonomian di wilayah sekitarnya. 3) Pusat pelayanan ordo III (Kecamatan Sidomulyo, Teluk Betung Barat, Rajabasa, Katibung, dan Punduh Pidada), yaitu pusat kecamatan yang melayani
wilayah
kecamatan
itu
sendiri.
Pusat
pelayanan
ini
dikembangkan untuk menciptakan satuan ruang wilayah yang lebih efisien. Hubungan fungsional antar pusat pelayanan hanya akan berlangsung dengan ditunjang oleh jaringan transportasi sebagai wahana pergerakan orang dan barang antar pusat pelayanan. Moda transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung utamanya adalah angkutan jalan serta angkutan laut dan penyeberangan. Rencana sebaran spasial pusat pelayanan dan orientasi transportasi wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Gambar 87. Rencana struktur ruang ditujukan untuk meningkatkan dan aktivitas transportasi dan membentuk pola ruang seperti yang telah direncanakan. Orientasi pergerakan barang dan orang akan mengikuti prasarana transportasi dan menuju pusat-pusat pelayanan. Orientasi angkutan jalan serta angkutan laut dan penyeberangan di wilayah pesisir Teluk Lampung, secara spasial direncanakan seperti Gambar 87. Pada tingkat lokal/regional, angkutan jalan melayani pergerakan barang dan orang yang berasal dari satu kecamatan menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat pelayanan sebagai berikut: Kecamatan Punduh Pidada berorientasi ke Kecamatan Padang Cermin di Kabupaten Pesawaran, selanjutnya ke Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya.
!
"
#!$ $
Gambar 87 PETA ARAHAN STRUKTUR RUANG DAN ORIENTASI TRANSPORTASI !
"
#!$ $
217
218 Kecamatan Ketibung dan Sidomulyo di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Panjang), dan sebaliknya. Kecamatan Rajabasa dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan, berorientasi ke Kalianda, dan sebaliknya. Kecamatan Kalianda dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Panjang), dan sebaliknya. Orientasi angkutan jalan lokal/regional tidak harus selalu bersimpul di wilayah Kota Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Selatan dan Panjang), melainkan dapat lebih tersebar di beberapa pusat pelayanan lainnya. Orientasi angkutan jalan pada tingkat nasional harus memperkuat peran ganda wilayah pesisir Teluk Lampung dalam sistem angkutan jalan nasional. Peran ganda wilayah pesisir Teluk Lampung dalam sistem angkutan jalan nasional adalah sebagai daerah asal-tujuan, dan perlintasan angkutan jalan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Rencana orientasi angkutan jalan pada tingkat nasional adalah sebagai berikut: Penumpang dan barang dari Provinsi Lampung (termasuk wilayah pesisir Teluk Lampung) dan provinsi lain di Pulau Sumatera, melalui Bandar Lampung dan Lampung Selatan kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni, dan sebaliknya. Penumpang dan barang dari daerah sekitar Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan MerakBakauheni, dan sebaliknya. Simpul-simpul angkutan jalan di wilayah pesisir Teluk Lampung (Kecamatan Teluk Betung Selatan, Panjang, Kalianda, dan Bakauheni) dapat berperan sebagai simpul angkutan jalan nasional. Orientasi angkutan laut dan penyeberangan pada tingkat lokal/regional, adalah untuk meningkatkan pelayanan kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung. Rencana pengembangan orientasi angkutan laut dan penyeberangan lokal/regional adalah sebagai berikut:
!
"
#!$ $
219 Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada (dengan Pulau Kecil terutama Legundi, Puhawang, dan Kelagian) di Kabupaten Pesawaran dan Kecamatan Ketibung di Kabupaten Lampung Selatan, berorientasi ke Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya. Pulau kecil Sebuku dan Sebesi di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Kecamatan Kalianda dan Rajabasa, dan sebaliknya. Mengembangkan orientasi angkutan laut dan penyeberangan yang menghubungkan Pulau Legundi di Kabupaten Pesawaran dengan Pulau kecil Sebuku dan Sebesi di Kabupaten Lampung Selatan, sehingga terdapat hubungan yang lebih pendek antara bagian barat dan timur wilayah pesisir Teluk Lampung. Orientasi ini dapat meningkatkan efisiensi transportasi barang yang sesuai dengan angkutan laut dan penyeberangan, seperti produk perikanan yang ditujukan ke Jakarta atau Pulau Jawa. Pada tingkat nasional/internasional, hanya ditekankan pada orientasi angkutan laut untuk pelayanan transportasi barang. Orientasi angkutan ini bersimpul di Kecamatan Panjang, yang mengangkut produk dari Provinsi Lampung (termasuk wilayah pesisir Teluk Lampung) dan provinsi lain di Sumatera Bagian Selatan, serta sebaliknya memasok kebutuhan ke wilayah tersebut. Orientasi transportasi laut nasional/internasional adalah sebagai berikut: Angkutan barang antar pulau dari dan ke luar Lampung yang melalui Laut Jawa dan Selat Malaka, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk). Angkutan barang internasional dari dan ke luar Lampung yang melalui Singapura dan Laut Jawa, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk). 7.3
Strategi Implementasi Kebijakan Tata Ruang Strategi implementasi kebijakan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung
dirumuskan dengan memperhatikan berbagai aspek, yang meliputi peran wilayah
!
"
#!$ $
220 dalam konteks wilayah kabupaten/kota, provinsi, nasional, serta pembiayaan pembangunan. Dalam bahasan mengenai rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang terkait Teluk Lampung (dibahas dalam sub-bab 4.5), telah ditunjukkan bahwa wilayah ini memiliki nilai strategis dalam perspektif ekonomi, geografis, ekologis, dan pertahanan keamanan. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan untuk menjadikan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai kawasan strategis provinsi. Dengan demikian, penyelenggaraan penataan ruang dan pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung, dapat lebih diprioritaskan. Di samping pertimbangan yang lebih luas, strategi implementasi kebijakan tata ruang harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan pemangku kepentingan sebagaimana secara konsensus telah dirumuskan sebagai implikasi strategis dan aksi antisipatif (disajikan pada sub-bab 5.5). Untuk pemenuhan kebutuhan para pemangku kepentingan, implementasi kebijakan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung harus dapat mengakomodasi aspek-aspek: (1) Pemenuhan kebutuhan ruang untuk prasarana dan sarana kesehatan dan pendidikan masyarakat pesisir; (2) Pemenuhan kebutuhan ruang untuk pengembangan sentra-sentra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terkait dengan kelautan dan perikanan; (3) Pemenuhan kebutuhan ruang untuk permukiman di wilayah pesisir yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana sanitasi lingkungan; (4) Penyusunan struktur dan pola ruang yang sinergis antar kabupaten/kota di wilayah pesisir; (5) Penyusunan struktur dan pola ruang yang mampu mendorong pengembangan wirausaha UMKM untuk masyarakat pesisir; dan (6) Penyusunan struktur ruang yang dapat mendorong distribusi penduduk yang proporsional di wilayah pesisir, dan sekaligus menjamin pengelolaan kawasan lindung dan budidaya secara berimbang. Dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dan kebutuhan di atas, dapat dirumuskan strategi implementasi kebijakan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, sebagai berikut: 1) Menetapkan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai kawasan strategis provinsi, dalam peraturan daerah mengenai RTRW Provinsi Lampung, dan menyusun perencanaan tata ruang pada tingkat yang lebih detil; serta diikuti dengan penyusunan dan implementasi Rencana Strategis, Rencana
!
"
#!$ $
221 Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi bagi Wilayah Pesisir Teluk Lampung; 2) Menetapkan peruntukan ruang bagi kawasan lindung darat dan konservasi perairan dalam bentuk peraturan daerah pada tingkat provinsi yang sinkron dengan peraturan daerah pada tingkat kabupaten/kota; 3) Mempercepat pengembangan prasarana di wilayah pesisir Teluk Lampung untuk dapat mendukung pengembangan pusat-pusat pelayanan dan sektorsektor ekonomi kerakyatan (terutama perikanan, pertanian, dan industri pengolahan skala mikro, kecil dan menengah); 4) Memenuhi fasilitas pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan pada pusat-pusat pelayanan di wilayah pesisir Teluk Lampung; 5) Mendorong pengembangan sentra-sentra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terkait dengan kelautan dan perikanan, melalui optimalisasi pemanfaatan ruang kawasan budidaya dan jaringan prasarana wilayah; 6) Mempercepat pengembangan jaringan prasarana wilayah terutama transportasi sebagai bentuk insentif pengembangan wilayah, sehingga dapat memacu pengembangan ekonomi dan distribusi penduduk; 7) Tidak mengembangkan jaringan prasarana wilayah di dalam dan sekitar kawasan yang diperuntukkan berfungsi lindung, sebagai bentuk disinsentif pengembangan wilayah; 8) Melaksanakan secara bertahap konversi kawasan budidaya yang tidak sesuai secara fungsional menjadi kawasan lindung.
!
"
#!$ $
222
!
"
#!$ $
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Pendekatan sistem dapat memberikan skenario perencanaan wilayah pesisir yang komprehensif, yaitu memadukan ruang daratan dan perairan dengan semua komponen sistem dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan serta dilakukan intervensi; 2) Pelibatan partisipatif,
pemangku merupakan
kepentingan kunci
melalui
analisis
prospektif
yang mempermudah
perumusan
kebijakan tata ruang yang akomodatif terhadap berbagai kepentingan dalam satu wilayah yang sama; 3) Komponen utama sistem berupa populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung menunjukkan keterkaitan dan saling mempengaruhi, untuk menjaga hubungan antar komponen secara berkelanjutan, sampai akhir analisis (pada tahun 2029) harus dicapai dan dipertahankan suatu proporsi kawasan lindung daratan seluas 54.482 ha (42,09%) dan konservasi perairan 4.822 ha (3,02%); 4) Perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung mensyaratkan dilakukannya konversi sebagian kawasan budidaya (50,67%) menjadi kawasan lindung, serta pengembangan pusat-pusat pelayanan dan jaringan prasarana wilayah; 5) Arahan alokasi ruang dan hierarki pusat pelayanan dapat dirumuskan sesuai simulasi model berdasarkan kondisi dan kemampuan wilayah pesisir Teluk Lampung, skenario ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam menuju pengembangan wilayah yang berkelanjutan.
!
"
#!$ $
224 8.2
Saran Dari hasil penelitian, dapat disarankan: 1) Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, yang meliputi keseluruhan wilayah pesisir Teluk Lampung, agar dilakukan perencanaan wilayah yang lebih detil, pengaturan zonasi, dan segera melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh. 2) Untuk pelaksanaan penelitian pada tingkat wilayah yang lebih detil agar dilakukan dengan pemodelan probabilistik, dengan demikian aspek ketidak pastian dapat lebih diakomodasi.
!
"
#!$ $
DAFTAR PUSTAKA Abraham, R.H. 2002. The genesis of complexity. Di dalam: A. Montuori, editor. Advances in Systems Theory, Complexity, and the Human Sciences. New York: Hampton Press. 1-17. Adrianto, L. 2010. Karakteristik sosial-ekonomi-ekologi, perencanaan, dan pengelolaan pesisir dan laut [Working paper]. Bogor: PKSPL-IPB. Aurambout, J.P., A.G. Endress, B.M. Deal. 2005. A spatial model to estimate habitat fragmentation and its consequences on long-term persistence of animal populations. Environ. Monitor. Ass. 109 (1-3): 199-225. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1988. Land systems and land suitability Sumatra, Sheet 1110 Tanjungkarang Series of Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProT). Scale 1:250.000. Bogor. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 2000. Peta Lingkungan Pantai Indonesia Skala 1:250.000, Lembar LPI 1110 Merak. Bogor. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 2003. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:250.000, Lembar 1110 Bandar Lampung. Bogor. Blaschke, T. 2001. GIS-based rationalization of indicators and eco-balances for a sustainable regional planning. Paper presented at the conference: Human dimensions research in Austria and in Central European Countries. May 1819. Austria: University of Graz. [Bapedalda] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Lampung dan [TELPP] Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper, PT. 1999. Studi Addendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pembangunan dan Pengoperasian Dermaga untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) di Desa Srengsem Kecamatan Panjang Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung [BPMD] Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Lampung. 2008. Rekapitulasi perkembangan proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) di kabupaten/kota se-Provinsi Lampung sampai dengan Desember 2007. Bandar Lampung. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2007. Tabel input-output regional Provinsi Lampung. Bandar Lampung. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung. 2009. Rencana tata ruang wilayah Provinsi Lampung 2009-2029. Bandar Lampung. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Selatan. 2000. Revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Selatan 1999-2004. Kalianda. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung. 2001. Masterplan drainase Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung.
!
"
#!$ $
226 [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung. 2003. Evaluasi dan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung 2005-2015. Bandar Lampung. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandar Lampung. 2009. Perencanaan jangka menengah program penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis) Kecamatan Telukbetung Barat, Telukbetung Selatan, dan Panjang 2011-2013. Bandar Lampung. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pesawaran. 2008. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Pesawaran 2008-2028. Gedong Tataan. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan. 2008a. Lampung Selatan dalam angka. Kalianda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan. 2008b. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesawaran. 2008a. Pesawaran dalam angka. Gedong Tataan. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesawaran. 2008b. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Pesawaran. Gedong Tataan. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung. 2008a. Bandar Lampung dalam angka. Bandar Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung. 2008b. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2001a. Karakteristik penduduk Kabupaten Lampung Selatan, Hasil sensus penduduk tahun 2000. Bandar Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2001b. Karakteristik penduduk Kota Bandar Lampung, Hasil sensus penduduk tahun 2000. Bandar Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2008a. Lampung dalam angka. Bandar Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2008b. Produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Lampung. Bandar Lampung. [BPS] Badan Pusat Statistik Pusat. 2000. Kerangka teori dan analisis tabel inputoutput. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Pusat. 2008. Pendataan potensi desa/kelurahan: Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, dan Kota Bandar Lampung. Jakarta. Brown, K., E. Tompkins, W.N. Adger. 2001. Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision-making. Norwich, NR4 7TJ, UK: Overseas Development Group, in collaboration with the Centre for Social and Economic Research on the Global Environment, Univ. of East Anglia.
!
"
#!$ $
227 Bourgeois, R., F. Jesus. 2004. Participatory prospective analysis: Exploring and anticipating challenges with stakeholders. The United Nation: CAPSA Monograph No. 46. Chadwick, G. 1971. A Sytems View of Planning: Toward a Theory of the Urban and Regional Planning Process. New York: Pergamon Press. Chadwick, G. 1987. Models of Urban and Regional Systems in Developing Countries: Some Theories and their Application in Physical Planning. New York: Pergamon Press. Chrisman, N. 1997. Exploring Geographic Information Systems. New York: John Wiley&Sons, Inc. Chua Thia-Eng. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical Applications in the Sustainable Coastal Development in East Asia. Quezone City: Global Environment Facility/UNDP/PEMSEA. Coates, J., P. Durance, M. Godet. 2010. Strategic Foresight issue: Introduction. Technol. Forecas. Soc. Change 77: 1423-1425. Cornwall, A., R. Jewkes. 1995. What is participatory research? Soc. Sci. Med. 41 (12): 1667-1676. [CRMP] Coastal Resources Management Project. 1998a. Status mangrove dan terumbu karang di Lampung. Jakarta: Proyek Pesisir Publication, Technical report TE-99/11-I. Coastal Resources Center, University of Rhode Island. [CRMP] Coastal Resources Management Project. 1998b. Kondisi oseanografi perairan Pesisir Lampung. Jakarta: Proyek Pesisir Publication, Technical report TE-99/12-I. Coastal Resources Center, University of Rhode Island. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Damar, A. 2003. Effects of enrichment on nutrient dynamics, phytoplankton dynamics and productivity in Indonesian tropical waters: A comparison between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay [Disertasi]. Büsum: Forschungs-und Technologiezentrum Westküste der Universität Kiel. Deal, B., D. Schunk. 2004. Spatial dynamic modeling and urban land use transformation: a simulation approach to assessing the costs of urban sprawl. Ecol. Econ. 51: 79-95. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327/KPTS/M Tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007 tentang Pedoman dan Kriteria Teknis Kawasan Budidaya. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Jakarta.
!
"
#!$ $
228 Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung. 2007. Rencana zonasi penataan kawasan pesisir Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung. Dinas Tata Kota Bandar Lampung. 2001. Penyusunan tata ruang kawasan pantai Teluk Betung Bandar Lampung. Bandar Lampung. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Lampung. 2005. Buku perencanaan tenaga kerja daerah (PTKD) Provinsi Lampung 2005-2010. Bandar Lampung. [Dishidros] Dinas Hidrooseanografi TNI-AL. 1994. Laporan survei dan penelitian hidro-oseanografi Teluk Ratai. Jakarta. [Dishidros] Dinas Hidrooseanografi TNI-AL. 1998. Peta Sumatera-Pantai Selatan, Teluk Kalumbayan Hingga Pulau-Pulau Tiga Skala 1 : 75.000; dengan Inset Pelabuhan Panjang, Skala 1: 25.000, dan Pelabuhan Batubara Tarahan , Skala 1 : 20.000. Jakarta. [Dishidros] Dinas Hidrooseanografi TNI-AL. 2003. Daftar pasang surut Kepulauan Indonesia.. Jakarta, 524 hal. Djakapermana, R.D. 2006. Desain kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Kalimantan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep. 34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung. 2007. Pemetaan terumbu karang di Teluk Lampung. Bandar Lampung. Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan, Dirjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. 1997. Konsep Tata Ruang Kawasan Pantai. Jakarta. Durance, P., M. Godet. 2010. Scenario building: Uses and abuses. Technol. Forecas. Soc. Change 77: 1488-1492. Elshorbagy, A., A. Jutla, L. Barbour, J. Kells. 2005. System dynamics approach to assess the sustainability of reclamation of disturbed watersheds. Can. J. Civ. Eng. 32: 144-158. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. [ESRI] Environmental Systems Research Institute, Inc. 1995. Understanding GIS. California: ESRI..
!
"
#!$ $
229 Faure, V., C. Pinazo, J. P. Torréton, P. Douillet. 2010. Modelling the spatial and temporal variability of the SW lagoon of New Caledonia II: Realistic 3D simulations compared with in situ data. Mar. Poll. Bull. 61: 480-502. Fedra, K. 2004. Coastal zone resource management: tools for a participatory planning and decision making process. Littoral 2004, 20-22 September. Aberdeen, Scotland, UK: 1-6. Fedra, K., E. Feoli. 1998. GIS technology and spatial analysis in coastal zone management. EEZ Technology, Ed. 3: 171-179. Forrester, J.W. 1968. Principles of Systems. Massachusetts: Wright-Allen. Forrester, J.W. 1998. Designing the future. Paper presented at Universidad de Sevilla, December 15. Sevilla, Spain: Univ. de Sevilla. Forrester, J.W. 2003. Economic theory for the new millennium. Plenary Address at the Int. Sys. Dyn. Con, July 21. New York: Sys. Dyn. Soc. François, C. 1999. Systemics and cybernetics in a historical perspective, Research paper. Syst. Res. 16: 203-219. Fujita, M. 2010. The evolution of spatial economics: From Thünen to the new economic geography. Japan Econ. Rev. 61 (1): 1-32. Gangai, I.P.D., S. Ramachandran. 2010. The role of spatial planning in coastal management-A case study of Tuticorin coast (India). Land Use Pol. 27: 518534. Gee, K., A. Kannen, B. Glaeser, H. Sterr. 2004. National ICZM strategies in Germany: A spatial planning approach. Di dalam G. Schernewski, N. Löser, editor. Managing the Baltic Sea. Coastline Reports 2: 23-33. Gilliland, P.M., S. Rogers, J.P. Hamer, Z. Crutchfield. 2004. The practical implementation of marine spatial planning-understanding and addressing cumulative effects. Report of a Workshop held 4 December 2003, Stansted. English Nature Research Reports, No. 599. Peterborough: English Nature. Godet, M. 2010. Future memories. Technol. Forecas. Soc. Change 77: 1457-1463. Godet, M., F. Roubelat. 1996. Creating the future: the use and misuse of scenarios. Long Range Plann. 29 (2): 164-171. Grant, W.E., E.K. Pedersen, S.L. Marin. 1997. Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation. New York: John Wiley&Sons. Gray, T., J. Hatchard. 2008. A complicated relationship: stakeholder participation and the ecosystem-based approach to fisheries management. Mar. Pol. 32: 158-168. Grimble, R. 1998. Stakeholder methodologies in natural resource management. Socioeconomic methodologies. Best practice guidelines. Chatham, UK: Natural Resources Institute.
!
"
#!$ $
230 Haaf, W., H. Bikker, D.J. Adriaanse. 2002. Chapter 3 Introduction to system approach. Di dalam Fundamentals of Business Engineering and Management: A Systems Approach to People and Organizations. Delft: Delft University Press: 49-81. Håkanson, L., C.M. Duarte. 2008. Data variability and uncertainty limits the capacity to identify and predict critical changes in coastal systems-a review of key concepts. Ocean&Coastal Mgmt. 51: 671-688. Haie, N., E. Cabecinha. 2003. A stochastic-dynamic modelling of mountain river watersheds of NE Portugal. Int. J. Riv. Bas. Mgmt. 1 (3): 1-9. Hall, P. 1996. Urban and Regional Planning 3rd ed. New York: Routledge. Hardjowigeno, S., Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Helfinalis. 2000. Pendugaan karakteristik arus pasang surut dan pola sebaran sedimentasi di perairan Teluk Lampung. J. Pesisir Pantai Ind. IV: 31-39. Hoover, E.M., F. Giarratani. 1999. An Introduction to Regional Economics 3rd ed. West Virginia: Regional Research Institute, WVU. [HPS] High Performance Systems, Inc. 1990. Stella-II. Hanover. [HPS] High Performance Systems, Inc. 1994. Introduction to Systems Thinking and I-Think. Hanover. Human, B.A., A. Davies. 2010. Stakeholder consultation during the planning phase of scientific programs. Mar. Pol. 34: 645-654. Kay, R., J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. London: E&FN Spon. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta. Liangju Y., Xiyong H., Meng G., Ping S. 2010. Assessment of coastal zone sustainable development: A case study of Yantai, China. Ecol. Indic. 10: 1218-1225. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Martin, K.St., M. Hall-Arber. 2008. The missing layer: Geo-technologies, communities, and implications for marine spatial planning. Mar. Pol. 32: 779786. Mäntysalo, R. 2000. Land-use planning as inter-organizational learning [Disertasi]. Oulu, Finland: Department of Architecture, University of Oulu. McLoughlin, J.B. 1970. Urban and Regional Planning a System Approach. London: Faber and Faber.
!
"
#!$ $
231 Meadows, D.H., D.L. Meadows, J. Randers, W.W. Behrens III. 1972. Batas-batas Pertumbuhan. M. Maris, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia; 1980. Terjemahan dari: The Limits to Growth: A report for the Club of Rome’s Project of the predicament of mankind.. Mindell, D.A. 2002. Bodies, ideas, and dynamics: Historical perspectives on systems thinking in engineering. Di dalam: Working Paper Series, ESD Symposium, May 2002. Massachusetts: MIT. Eng. Sys. Div. Nichols, S., D. Monahan. 1999. Fuzzy boundaries in a sea of uncertainty: Canada’s offshore boundaries. Di dalam: The coastal cadastre-onland, offshore-Proceedings of the New Zealand Institute of Surveyors Annual Meeting, Oct 9-15. Bay of Islands, NZ: 33-43. Nybaken, J.W. 1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. H.M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukarjo, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 1986. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. O’Connor, J., I. McDermott. 1997. The Art of Systems Thinking. San Fransisco: Thorsons. Oppenheim, N. 1980. Applied Models in Urban and Regional Analysis. Englewood Cliff, New Jersey: Prentice Hall. Pelindo II Cabang Panjang, PT. 2001. Rencana Strategis Pelabuhan Panjang. Bandar Lampung. Pemerintah Provinsi Lampung. 2001. Rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir Lampung. Bandar Lampung: Kerjasama Pemerintah Provinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung dan PKSPL-IPB. Pemerintah Provinsi Lampung. 2006a. Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 08 Tahun 2006 tentang Tataran Transportasi Wilayah Provinsi Lampung. Bandar Lampung. Pemerintah Provinsi Lampung. 2006b. Peraturan Gubernur Lampung Nomor: 30 Tahun 2006 tentang Penataan Daerah Penangkapan Ikan Dalam Perairan Wajib Pandu dan Alur Pelayaran Pelabuhan Umum Panjang. Bandar Lampung. Pemerintah Provinsi Lampung. 2009. Peta Administrasi Provinsi Lampung Skala 1:250.000. Bandar Lampung. Pemerintah Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta.
!
"
#!$ $
232 Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika. Qudrat-Ullah, H. 2005. Structural validation of system dynamics and agent based simulation models. Di dalam: Y. Merkuryev, R. Zobel, E. Kerckhoffs, editor. Proceedings 19th European Conference on Modelling and Simulation: Ramos, A.J.A. 2004. Coastal and marine resource information system (CMARIS): A spatial approach towards sustainable ecoregional management. Quezon City: World Wide Fund for Nature (WWF)-Philippines. Rohmatulloh. 2008. Pengembangan Penilaian Kinerja Pabrik Gula dengan Pendekatan Sistem Dinamik (Studi Kasus PT. PG Rajawali II Unit PG Subang Jawa Barat) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi, E., S. Saefulhakim, D.R. Panuju. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Sargent, R.G. 1998. Verification and validation of simulation models. Di dalam: D.J. Medeiros, E.F. Watson, J.S. Carson, M.S. Manivannan, editor. Proceedings of the 1998 Winter Simulation Conference: 121-130. Schumann, S. 2010. Application of participatory principles to investigation of the natural world: An example from Chile. Mar. Pol. 34: 1196-1202. Skartveit, H.L., K Goodnow, M. Viste. 2003. Visualized system dynamics models as information and planning tools. Proceedings of the Informing Science+IT Education Conference June 24-27. Pori, Finland: 1113-1128. Smil, V. 2005. Limits to growth revisited: A review essay. Population and development review 31(1):157-164. Sterman, J.D. 2002. All models are wrong: reflections on becoming a systems scientist. Syst. Dyn. Rev. 18 (4): 501-531. Shui-sen C., Liang-fu C., Qin-huo. 2005. Remote sensing and GIS-based integrated analysis of coastal changes and their environmental impacts in Lingding Bay, Pearl River Estuary, South China. Ocean&Coastal Mgmt. 48: 65-83. Sushil. 1993. System Dynamics. A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi: Wiley Eastern Limited. Sutherland, A. 1998. Participatory research in natural resources. Socio-economic methodologies. Best practice guidelines. Chatham, UK: Natural Resources Institute. Taussik, J. 2004. Changes to the planning system that impact on the management of coastal risk: A Research Paper for the Local Government Association’s Special Interest Group on Coastal Issues. Research Paper 1: Changes to the planning system. UK: LGA CSIG.
!
"
#!$ $
233 Tobler, W.R. 1970. A computer movie simulating urban growth in the Detroit region”, Econ. Geograph. 46 (2): 234-240. Clark Univ. in collaborating with JSTOR http://www.jstor.org [Diakses tanggal 2 Oktober 2009]. Tyldesley, D. 2004. Coastal and marine spatial planning: framework for the Irish Sea pilot project. UK: Defra. Villa, F., L. Tunesi, T. Agardy. 2002. Zoning marine protected areas through spatial multiple-criteria analysis: the case of the Asinara Island national marine reserve of Italy. Conser. Biol. 16 (2): 515-526. Walz, A., C. Lardelli, H. Behrendt, A. Grêt-Regamey, C. Lundströma, S. Kytzia, P. Bebi. 2007. Participatory scenario analysis for integrated regional modelling. Lands. Urb. Plann. 81: 114-131. White, R., G. Engelen. 2000. High-resolution integrated modelling of the spatial dynamics of urban and regional systems. Comp. Environ. Urb. Syst. 24: 383400. Wiber, M., F. Berkes, A. Charles, J. Kearney. 2004. Participatory research supporting community-based fishery management. Mar. Pol. 28: 459-468. Wiek, A., A. Walter. 2009. A transdisciplinary approach for formalized integrated planning and decision-making in complex systems. EJOR. 197: 360-370. Winz, I. 2005. Assessing sustainable urban development using system dynamics: The case of New Zealand’s urban water systems. Di dalam: Proceedings the 23rd International Conference July 17-21. Boston: Sys. Dyn. Soc. Wiryawan, B., B. Marsden, H.A. Susanto, A.K. Mahi, M. Ahmad, H. Poespitasari, editor. 1999. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Bandar Lampung: Kerjasama Pemerintah Daerah Provinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung. Witasari, Y., L.F. Wenno. 2000. Pola sebaran pumis di sedimen dasar Teluk Lampung, kaitan dengan arah dan kecepatan arus pasang surut. J. Pesisir Pantai Ind. V: 65-75. Yufeng H., ShuSong W. 2005. System dynamics model for the sustainable development of Science City. Di dalam: Proceedings the 23rd International Conference July 17-21. Boston: Sys. Dyn. Soc. Yusuf, H. 2005. Pengaruh pembangunan pelabuhan perikanan terhadap kualitas air dan persepsi kondisi sosial ekonomi masyarakat: Studi kasus pelabuhan perikanan di Bandar Lampung, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, Propinsi Lampung [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zacharias, J., Y. Tang. 2010. Restructuring and repositioning Shenzhen, China’s new mega city. Prog. Plann. 73: 209-249.
!
"
#!$ $
234
!
"
#!$ $
Lampiran 1 Perbedaan sistem perencanaan spasial Tabel Lampiran 1 Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum dilakukan dan yang diajukan No. 1.
2.
Karakteristik Perencanaan Aspek analisis
Substansi rencana
Pedoman Perencanaan Departemen Pedoman Perencanaan Departemen Kelautan dan Perikanan 2) Pekerjaan Umum 1) Kebijakan tata ruang Kebijakan tata ruang Analisis wilayah Analisis wilayah Ekonomi dan sektor unggulan; Ekonomi dan sektor unggulan, dengan penekanan pada sektor perikanan; Sumberdaya manusia; Sumberdaya manusia; Sumberdaya buatan; Sumberdaya buatan, terdapat penekanan untuk prasarana perikanan seperti pelabuhan perikanan; Sumberdaya alam
Sumberdaya alam, dengan penekanan pada sumberdaya pesisir (perairan);
Sistem permukiman; Penggunaan lahan; Kelembagaan.
Sistem permukiman; Penggunaan lahan; Kelembagaan. Pemanfaatan umum perairan Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan;
Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang;
!
"
#!$ $
Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian Kebijakan tata ruang Analisis wilayah Ekonomi dan sektor unggulan, tidak dilakukan penekanan pada sektor tertentu; Sumberdaya manusia; Sumberdaya buatan, diperjelas prasarana yang berhubungan dengan penggunaan perairan seperti pelabuhan, dan pelabuhan perikanan; Sumberdaya alam, memberikan keseimbangan perhatian antara sumberdaya pesisir (perairan) dan daratan; Sistem permukiman; Penggunaan lahan; Kelembagaan. Pemanfaatan umum perairan Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan;
235
No.
Karakteristik Perencanaan
Pedoman Perencanaan Departemen Pekerjaan Umum 1) Arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya;
Arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu Arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya; Arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan; Arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan
236
!
"
Pedoman Perencanaan Departemen Kelautan dan Perikanan 2) Arahan pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan pemanfaatan umum, diperjelas untuk ruang perairan; Arahan pengelolaan kawasan perdesaan dan permukiman nelayan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu; Arahan pengembangan kawasan permukiman (dengan penjelasan untuk permukiman nelayan), kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya; Arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan; Arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana perikanan seperti pelabuhan perikanan, transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan tambak, dan prasarana pengelolaan lingkungan;
#!$ $
Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian Arahan pengelolaan kawasan lindung/konservasi dan kawasan budidaya/pemanfaatan umum, diperjelas untuk ruang perairan; Arahan pengelolaan kawasan perdesaan dan permukiman masyarakat pesisir, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu; Arahan pengembangan kawasan permukiman (dengan penjelasan untuk permukiman masyarakat pesisir), kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya; Arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan; Arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana kelautan dan perikanan maupun daratan, transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan tambak, dan prasarana pengelolaan lingkungan;
No.
Karakteristik Perencanaan
Pedoman Perencanaan Departemen Pekerjaan Umum 1) Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
Pedoman Perencanaan Departemen Kelautan dan Perikanan 2) Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan penekanan pada ruang perairan;
Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya.
3.
Kerangka analisis
Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; dengan penekanan pada sumberdaya pesisir yang meliputi mangrove, terumbu karang, lamun, dan perikanan. Analisis dilakukan secara parsial dengan melakukan proyeksi pada masing-masing aspek analisis secara terpisah.
Analisis dilakukan secara parsial dengan melakukan proyeksi pada masing-masing aspek analisis secara terpisah.
!
"
#!$ $
Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan keseimbangan pada ruang daratan dan perairan. Dengan penjelasan bahwa perairan akan menerima pengaruh yang lebih besar dari daratan, dibandingkan dengan sebaliknya, oleh karena itu keseimbangan harus berbasis pada daya tampung perairan yaitu kemampuan perairan menerima pengaruh dari daratan. Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; termasuk pada sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir.
Analisis dilakukan secara holistik, dimana proyeksi pada masing-masing aspek analisis dilakukan secara simultan dengan menggunakan analisis sistem.
237
No.
Karakteristik Perencanaan
Pedoman Perencanaan Departemen Pekerjaan Umum 1) Simulasi dilakukan secara parsial pada masing-masing aspek analisis. Perumusan kebijakan tidak dapat dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan seluruh aspek (terutama analisis terkait sumberdaya kelautan).
Pedoman Perencanaan Departemen Kelautan dan Perikanan 2) Simulasi dilakukan secara parsial pada masing-masing aspek analisis. Perumusan kebijakan tidak dapat dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan seluruh aspek analisis.
Lebih menekankan sektor-sektor yang berbasis pada pada ruang perairan, dengan penekanan pada prasarana kelautan dan perikanan. Dilakukan secara prosedural melalui workshop, seminar, diseminasi, dan sosialisasi, terutama terhadap perencanaan yang telah disusun.
4.
Corak sektoral
Lebih menekankan sektor-sektor yang berbasis pada ruang daratan, dengan penekanan pada prasarana ke-pekerjaan-umum-an
5.
Sifat partisipatif
Dilakukan secara prosedural melalui workshop, seminar, diseminasi, dan sosialisasi, terutama terhadap perencanaan yang telah disusun.
Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian Dapat dilakukan analisis simulasi secara komprehensif dengan melibatkan semua aspek analisis. Dapat dilakukan intervensi terhadap sistem yang dibangun, dan menunjukkan pengaruhnya terhadap sistem secara utuh, yang berguna untuk perumusan kebijakan komprehensif. Bebas terhadap kecenderungan sektoral, dan menekankan pada objektivitas rencana.
Dilakukan oleh para pemangku kepentingan secara langsung dan bersama-sama melalui analisis kebutuhan. Penyusunan rencana merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan.
Keterangan: 1) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327 tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang; yang telah diperbaharui dengan Per. Men. Pekerjaan Umum No. 15, 16, dan 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. 2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 34 tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
238
!
"
#!$ $
Lampiran 2 Sistem lahan wilayah penelitian Tabel Lampiran 2 Sistem lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung No.
Kemiringan (%)
Relief (m)
Kelompok Tanah
Simbol
Nama
Deskripsi Singkat
1
AHK
Air Hitam Kanan
Punggung sangat curam di atas sedimen tufaan
41-60
51-300
2
BBG
Bukit Balang
41-60
>300
3
BBR
Bukit Barangin
41-60
51-300
Riolit, granit
4
BGA
Batang Anai
41-60
51-300
Kuarzit, filit, sekis, shale, batu pasir
5
BLI
Beliti
<2
<2
Aluvium sungai muda, bergambut
Tropaquepts, Fluvaquents
6
BMS
Bukit Masung
41-60
51-300
Andesit, basalt, breksia
7
BTA
Batu Ajan
Punggung pegunungan tak beraturan di atas batuan volkanik basaltik Perbukitan sangat curam di atas batuan beku asam Punggung panjang berlereng sangat curam di atas batuan metamorfik Dataran banjir rawa pada pelembahan sempit Punggung sangat curam di atas batuan volkanik basa/intyermedier Kerucut kecil volkanik basaltik muda
Kipas aluvial nonvolkanik yang sangat landai Dataran sedimen tufaan yang berombak sampai bergelombang
9-15
11-50
14
PKS
Pakasi
Dataran tufa volkanik bergelombang
9-15
11-50
15
PLB
Pidolidombang
2-8
2-10
16
SAR
Sungai Aur
Dataran metamorfik berombak sampai bergelombang Dataran sedimen tufa yang berbukit kecil
16-25
11-50
17
SKA
Sukaraja
9-15
11-50
240
Dataran batuan beku asam berombak sampai bergelombang
!
"
#!$ $
Litologi Aluvium muda berasal dari campuran endapan muara, endapan laut dan endapan sungai, bergambut Aluvium muda berasal dan campuran endapan muara dan endapan laut Endapan kipas aluvium muda berasal dari volkanik Endapan kipas aluvium
Tefra berbutir halus, tufa, batu lumpur, batu lanau, batu pasir, aluvium sungai muda, pasir tua, dan kerikil Tefra berbutir halus, tefra berbutir kasar Filit, kuarzit, sekis, shale, aluvium sungai muda Tufa, batu pasir, batu lumpur, serpih, tefra berbutir halus Granit, riolit
Keterangan: NA = tidak tersedia data Sumber: Peta land systems and land suitability Sumatra, Sheet 1110 Tanjungkarang Series RePPProt (1988)
!
"
#!$ $
241
242
!
"
#!$ $
Lampiran 3 Nilai awal dan parameter Tabel Lampiran 3 Nilai awal dan parameter model No.
Peubah
Deskripsi
1
AKTIVITAS_ EKONOMI
2 3 4
Angkatan_Kerja Angkutan_Laut Dampak_ Penganggur
5
Degradasi_SD_ Pesisir
6 7
Emigrasi Fraksi_Angkt_ Kerja
8 9 10
Fraksi_Lahir Fraksi_Mati Fraksi_Pert_ Angkt_Laut
11
Fraksi_Pert_ Industri
Aktivitas perekonomian, yang digambarkan dari nilai besarnya PDRB harga konstan di wilayah penelitian, yang ditentukan oleh produksi 9 sektor, didalam model dikelompokkan ulang menjadi 5 sektor ditambah 1 sektor lain. Jumlah angkatan kerja kumulatif. Sumbangan sektor transportasi laut terhadap PDRB harga konstan (ADHK) Parameter yang menunjukkan daya tarik tenaga kerja, bernilai 0 sampai 1; Dampak penganggur akan bernilai mendekati 0 bila tingkat penggangguran < 10% (hanya satu digit), dan bernilai 1 bila tingkat penggangguran >10% (ke arah dua digit). Oleh karena itu, bila dampak penganggur bernilai 0 menunjukkan kondisi yang sangat menarik bagi tenaga kerja, sehingga dapat menarik imigrasi dan menahan emigrasi, dan sebaliknya untuk nilai 1 akan mencegah imigrasi dan mendorong emigrasi. Degradasi sumberdaya pesisir akibat terjadinya konversi kawasan lindung, dinyatakan dalam skala mendekati nilai 0 berarti tidak terjadi degradasi dan mendekati nilai 1 berarti terjadi degradasi maksimum. Jumlah emigrasi yang keluar wilayah studi setiap tahun. Rasio antara penduduk yang berusia >15 tahun dan bukan ibu rumah tangga, lanjut usia, atau sedang bersekolah terhadap populasi (tanpa satuan), berdasarkan data sensus tahun 2000 dan PODES 2007. Tingkat kelahiran yang terjadi. Tingkat kematian yang terjadi. Pertumbuhan sektor transportasi laut, tanpa satuan, diambil dari rata-rata pertumbuhan 2003-2007. Pertumbuhan sektor industri, tanpa satuan, diambil dari rata-rata pertumbuhan 2003-2007.
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
2.628.969
Rp juta
S
Persamaan 123.704 graph
orang Rp juta -
PS S E
graph
-
E
Persamaan 0,4886
orang/tahun -
PS PS
0,0130 0,0024 0,0621
-
PS PS PS
0,0728
-
PS
243
No.
Peubah
Deskripsi
12
Fraksi_Pert_ Perikanan
13
Fraksi_Pert_ Pertanian
14
Fraksi_pert_invest
15
Fraksi_Pert_Lain
16
Fraksi_Pert_Wisata
17
Gap_penggunaan_ ruang
18 19 20 21
Ikan_awal Imigrasi Industri Investasi
22
Kaw_Lindung_ Perairan
Pertumbuhan awal sektor perikanan, diambil dari rata-rata pertumbuhan 20032007, sebesar 10,296%, fraksi pertumbuhan merupakan fraksi yang didapat dari pengaruh grafik antara rasio perairan lindung dengan fraksi pertumbuhan awal. Pertumbuhan sektor pertanian (setelah dikeluarkan sub-sektor perikanan), tanpa satuan, diambil dari rata-rata pertumbuhan 2003-2007. Fraksi pertumbuhan investasi diambil rata-rata dari angka pertumbuhan yang tidak teratur antara tahun 2000-2007. Pertumbuhan sektor selain dari angkutan laut, perikanan, pertanian, industri, dan pariwisata, tanpa satuan, diambil dari rata-rata pertumbuhan 2003-2007. Pertumbuhan sektor Pariwisata (dipecah dari hotel dan restoran dan jasa hiburan, dll), tanpa satuan, diambil dari rata-rata pertumbuhan 2003-2007. Merupakan jumlah rasio antara kawasan lindung daratan dengan kawasan budidaya daratan terpakai ditambah dengan rasio kawasan lindung perairan dengan kawasan budidaya perairan terpakai. Nilai rasio akan menjadi 0 bila tidak ada penetapan kawasan lindung daratan dan perairan, dan semakin membesar dengan adanya penetapan kawasan lindung daratan dan perairan. Parameter ini merupakan indikasi kesenjangan penggunaan ruang ideal dengan penggunaan ruang aktual darat dan perairan, dinyatakan dengan grafik nilai 0 sampai 1. Skala mendekati nilai 0 berarti tidak terjadi gap yang berarti dan mendekati nilai 1 berarti terdapat gap yang sangat besar antara penggunaan ruang dan ketersediaan ruang, tanpa satuan. Nilai maksimal jumlah gap daratan dan perairan adalah 0,7730. Rerata pertumbuhan sektor perikanan 2003 - 2007 dari PDRB Jumlah imigrasi yang masuk ke wilayah studi setiap tahun. Sumbangan sektor industri pengolahan terhadap PDRB ADHK Merupakan investasi langsung (direct investment) asing dan domestik yang dilakukan di wilayah penelitian, didasarkan pada data BKPMD di Kota Bandar Lampung dan Lampung Selatan (masih tergabung dengan Kabupaten Pesawaran) Merupakan luas total kawasan lindung perairan yang ditetapkan sesuai dengan tutupan terumbu karang dan lamun dengan luas total 4.823 ha.
244
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
graph
-
E
0,0284
-
PS
0,1143
-
PS
0,0603
-
PS
0,0379
-
PS
graph
-
E
0,1020 Persamaan 371.899 188.395
orang/tahun Rp juta Rp juta
PS PS S S
0
ha
E
No.
Peubah
Deskripsi
23
Kawasan_ Lindung_Darat
24
Keb_Bisnis_dan_ Industri
Merupakan luas total kawasan lindung yang ditetapkan sesuai dengan kriteria yang termasuk lahan kelas 8, 7, 6, dan 5, yang meliputi lahan atas, sempadan sungai, dan sempadan pantai, total luas ideal adalah sebesar 42,60% dari luas daratan. Laju pertambahan kebutuhan ruang untuk bisnis dan industri yang disebabkan oleh meningkatnya investasi, didapatkan dari ruang per investasi dikali dengan total investasi.
25
Keb_Lahan_Militer
26 27
Keb_Naker_ Investasi Keb_Pelabuhan
28
Keb_Pemukiman
29
Keb_Prasarana
30
Kebangkrutan
31
KEBIJAKAN
32
Kecepatan_ Reklamasi
33 34
Kelahiran Kematian
Laju pertambahan kebutuhan lahan militer disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pembangunan pangkalan TNI-AL Armada Barat dan Korps Marinir. Kebutuhan tenaga kerja akibat adanya investasi. Laju pertambahan luas pelabuhan, diasumsikan perluasan sebesar 5 ha per tahun. Laju pertambahan kebutuhan ruang untuk pemukiman yang disebabkan oleh meningkatnya populasi, didapatkan dari ruang mukim per kapita dikali dengan pertambahan populasi. Laju pertambahan kebutuhan ruang untuk prasarana yang disebabkan oleh meningkatnya populasi dan aktivitas perekonomian, terutama untuk bisnis dan industri. Laju kebangkrutan yang terjadi dari investasi yang telah dilakukan, didapatkan dari perkalian antara investasi dengan tingkat kebangkrutan. Merupakan faktor pengali yang mewakili kebijakan penetapan kawasan lindung dan budidaya darat dan perairan . Reklamasi (penimbunan pantai) pantai telah terjadi dan cenderung terus terjadi di Teluk Lampung, terutama di Kota Bandar Lampung. Pada tahun 2007 telah direncanakan akan direklamasi laut di Bandar Lampung dan sebagian Pesawaran (Padang Cermin) seluas 1.447 ha selama 20 tahun.; dan diasumsikan di wilayah Pesawaran dan Lampung Selatan sebesar 15% dari jumlah tersebut. Jumlah kelahiran yang terjadi setiap tahun Jumlah kematian yang terjadi setiap tahun.
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
0
ha
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan Persamaan
orang ha/tahun
E E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
PS
0-1
Rp juta/tahun -
83
ha/tahun
PS
Persamaan Persamaan
orang/tahun orang/tahun
PS PS
E
245
No.
Peubah
Deskripsi
35
Kendala_Ruang
36
Konversi_kws_ lindung_perairan
37
Konversi_Lahan_ Atas
38
Konversi_Semp_ Pantai
39
Konversi_Semp_ Sungai
Menunjukkan kendala pengembangan wilayah akibat tidak tersedianya ruang dan terjadinya degradasi sumberdaya, ditunjukkan oleh nilai yang mendekati 0 berarti tidak terdapat kendala, dan mendekati 1 berarti kendala sangat besar dengan konsekuensi tidak mungkin lagi dilakukan pengembangan kawasan budidaya. Penambahan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya laut, yang meliputi keramba jaring apung (KJA), budidaya rumput laut, dan budidaya mutiara; akan cenderung mengambil tempat di atau sekitar areal terumbu karang dan padang lamun, hal ini akan memicu konversi perairan lindung menjadi budidaya. Diasumsikan sebagian dari penambahan luas kawasan budidaya laut akan mengkonversi kawasan lindung perairan. Laju konversi lahan atas, disebabkan oleh pembukaan lahan pertanian dan kebutuhan permukiman; diasumsikan 15% lahan pertanian bersumber dari lahan atas, dan 10% kebutuhan permukiman berasal dari lahan atas. Pembangunan tambak (lahan BD pesisir) akan merubah 20% bagian sempadan pantai; reklamasi juga akan merubah 10% sempadan pantai; selain itu, kebutuhan permukiman pada desa-desa sekitar pantai juga akan merubah sempadan pantai yang diasumsikan sebesar 5%; oleh karena itu ketiga aktivitas akan mengkonversi sempadan pantai. Laju konversi sempadan sungai, diasumsikan berlangsung sebesar 0,1 x kebutuhan permukiman.
Lahan yang digunakan untuk tambak. Merupakan luas lahan yang mungkin untuk dimanfaatkan bagi kawasan budidaya. Merupakan lahan yang digunakan sebagai kawasan budidaya baik pertanian maupun non-pertanian, yang meliputi Lahan_BD_Pesisir, Lahan_Bisnis_dan_Industri, Lahan_Militer, Lahan_Pelabuhan, Lahan_Permukiman, Lahan_Pertanian, Lahan_Prasarana, dan Lahan_Wisata_Pantai.
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
graph
-
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
1.531 2.477 Persamaan
ha ha ha
PS PS E
Persamaan
ha
E
No.
Peubah
44
Lahan_Bisnis_ dan_Industri
45 46 47 48 49 50
51
52 53
54
Deskripsi
Lahan yang digunakan untuk bisnis dan industri, termasuk pertokoan, industri manufaktur (pabrik), dan sebagainya, didapat dari berdasarkan analisis citra. Lahan_Militer Lahan yang digunakan untuk pangkalan TNI-AL di Teluk Ratai, diperkirakan dari analisis citra. Lahan_Pelabuhan Luas lahan areal pelabuhan, dari analisis citra diperkirakan luas lahan seluruh pelabuhan di Teluk Lampung. Lahan_Permukiman_dan_Pe Merupakan jumlah dari Lahan_Bisnis_dan_Industri+ Lahan_Pelabuhan+ rkotaan Lahan_ Permukiman+Lahan_Prasarana. Lahan_Pertanian Ruang yang digunakan untuk pertanian (pangan, perkebunan, sawah, dan peternakan). Lahan_Prasarana Lahan untuk prasarana, termasuk fasos dan fasum, meliputi antara lain jalan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Lahan_Rawa_ Pantai Merupakan luas lahan rawa pantai dan lahan landai di sekitar pantai yang dapat dijadikan sebagai tambak berdasarkan pertimbangan fisik semata. Luasnya diperkirakan 4 x luas lahan kelas 5. Lahan_Tersedia Lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan kawasan budidaya baik pertanian maupun non-pertanian, yang meliputi Lahan_BD_Pesisir, Lahan_Bisnis_dan_Industri, Lahan_Militer, Lahan_Pelabuhan, Lahan_Permukiman, Lahan_Pertanian, Lahan_Prasarana, dan Lahan_Wisata_Pantai. LAHAN_TOTAL Total luas daratan yang ada, sama dengan luas darat wilayah daratan penelitian. Lahan_Wisata_ Pantai Lahan yang digunakan untuk areal wisata pantai dan bahari di Teluk Lampung, didapatkan dari analisis citra; yang terluas adalah Merak Belantung (krakatau), Pasir Putih, Pulau Pasir, dan Tanjung Selaki. Laju_kebutuhan_ lahan Merupakan perubahan lahan tersedia (baik positif maupun negatif) akibat digunakan sebagai kawasan budidaya baik pertanian maupun non-pertanian, yang meliputi Lahan_BD_Pesisir, Lahan_Bisnis_dan_Industri, Lahan_Militer, Lahan_Pelabuhan, Lahan_Permukiman, Lahan_Pertanian, Lahan_Prasarana, dan Lahan_Wisata_Pantai, kawasan lindung darat.
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
880
ha
PS
115
ha
PS
210
ha
PS
Persamaan
ha
PS
105.223
ha
PS
890
ha
PS
11.920
ha
PS
0
ha
PS
127.902 60
ha ha
PS PS
Persamaan
ha/tahun
E
247
No.
Peubah
Deskripsi
55
Laju_penambahan_perairan _pel
56
Laju_perb_ pertanian
57
Laju_perb_BD_ Pesisir
58
Laju_perb_lhn_ wisata
59
Laju_Prb_Lhn_ Lain
60
Landuse__tak_sesuai
61 62
Lap_Kerja_dari_ Perekonomian Lapangan_Kerja
63 64
Lapangan_Kerja_ Awal Lindung_Lahan_ Atas
65
Mukim_per_kapita
Laju penambahan perairan pelabuhan (DLKr, DLKp, dan alur pelayaran masuk keluar pelabuhan) diasumsikan sebesar 100 ha pertahun mulai tahun 2008 dan berhenti pada tahun 2027. Laju perubahan lahan pertanian yang digunakan untuk keperluan non-pertanian setiap tahun. Laju perubahan luas lahan budidaya pesisir (tambak), didapAtkan dari perkalian fraksi perluasan tambak dari analisis citra 2001-2009, sebesar 51,36%; pertambahan luas harus berhenti setelah luas total tambak menyamai 0,6 x lahan rawa dan landai pantai. Laju pertambahan kebutuhan lahan wisata disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pembangunan pariwisata pantai dan bahari di Teluk Lampung. Parameter penentu laju perubahan penggunaan lahan lain, menjadi budidaya (pertanian maupun non-pertanian). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, yaitu lahan kelas 5, 6, 7, dan 8, yang digunakan untuk aktivitas budidaya. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap akibat adanya aktivitas perekonomian (yang dicerminkan dari besarnya PDRB) pada tahun yang bersangkutan. Jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan bagi angkatan kerja pada tahun bersangkutan. Lapangan kerja yang telah tersedia sejak tahun 2003. Merupakan luas total kawasan lindung atas (lahan kelas 8,7 dan 6 yang berlereng >40%, dan lahan kelas 5) sebagai bagian dari kawasan lindung yang seharusnya dilakukan, pada awal simulasi belum ditetapkan (0 ha). Standard ruang yang dibutuhkan untuk pemukiman (rumah) per kapita, berdasarkan standart Dep. PU yang dimodifikasi, ditetapkan sebesar 25 m2/kapita untuk perkotaan; dan untuk perdesaan diasumsikan 100 m2/kapita. Dengan proporsi penduduk di wilayah penelitian yaitu 46,86% perkotaan dan 53,14% perdesaan; maka didapatkan kebutuhan mukim per kapita untuk wilayah penelitian secara tertimbang adalah 70 m2/kapita.
248
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
100
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
PS
Persamaan
ha/tahun
E
100
ha/tahun
PS
Persamaan
ha
Persamaan
PS
Persamaan
orang/Rp juta orang
248.607 0
orang ha
S PS
70
m2/orang
PS
PS
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
graph
-
E
0,0094
orang/Rp juta
PS
0,0172 0,0046 0
ha
PS PS PS
Persamaan
ha/tahun
E
Persamaan
ha/tahun
E
54.489
ha
PS
Luas lahan lain yang ditetapkan menjadi status kawasan lindung darat.
Persamaan
ha
PS
Angkatan kerja dan tambahan angkatan kerja yang tidak tertampung oleh lapangan kerja dan tambahan lapangan kerja yang tersedia.
Jumlah lapangan kerja yang tersedia akibat aktivitas perekonomian, didapatkan dari analisis jumlah tenaga yang bekerja pada level PDRB tertentu, dan dinyatakan sebagai nilai rasio yang berkisar antara 0 sampai dengan 0,006. Rasio antara jumlah tenaga kerja terhadap nilai investasi, didapatkan dari hasil analisis terhadap 50 buah perusahaan yang berinvestasi di wilayah penelitian (tahun 2000-2007). Tingkat imigrasi yang telah terjadi. Tingkat emigrasi yang telah terjadi. Total inkonsistensi tata ruang yang terjadi merupakan akumulasi dari penggunaan kawasan lindung untuk aktivitas budidaya. Laju penambahan daratan akibat adanya kegiatan reklamasi, laju penambahan lahan daratan akan berhenti bila 75% dari luas laut tepi yang memiliki kedalaman < 5 m telah habis digunakan untuk reklamasi (dengan luas sekitar 333 ha). Merupakan pertambahan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya laut, yang meliputi keramba jaring apung (KJA), budidaya rumput laut, dan budidaya mutiara; baik milik perusahaan besar maupun masyarakat. Diasumsikan pertumbuhan sektor perikanan sebesar 10,296%; disumbang oleh budidaya laut sebesar 20% darinya. Pertumbuhan tersebut hanya akan terjadi dengan adanya perluasan aktivitas budidaya laut, dengan laju pertumbuhan penggunaan perairan dalam fraksi yang sama pula. Fraksi kawasan lindung darat ditetapkan megikuti perbandingan luas kelas lahan (Kelas 8, 7, 6, dan 5) terhadap lahan total, yaitu didapatkan sebesar 42,60%, atau seluas 54.489 ha.
74
Penetapan_status_menjadi_l indung Pengangguran
75
!
"
#!$ $
249
No.
Peubah
Deskripsi
76
Penggunaan_ Lahan_Lain
77
Pengrh_angktlaut
78 79
Pengurangan_ Perairan_Total Penurunan_Lhn_ Lain
80
Penurunan_Lhn_ Tani
81
Penyediaan_Lahan
82 83 84
Penyedian_Lhn_ tak_ramah_lingk PERAIRAN_ TOTAL Perairan_BD_ Terpakai
85
Perairan_BD_Ideal
86
Perairan_BD_Laut
87
Perairan_Ikan_ Tangkap
88
Perairan_Militer
Merupakan lahan yang tidak digunakan untuk aktivitas budidaya, yang meliputi hutan primer, hutan bekas tebangan, mangrove, semak belukar, rawa, dan lainnya, berdasarkan analisis citra tahun 2001 dan 2009. Faktor pemercepat pertumbuhan sektor angkutan laut , akibat pertumbuhan sektor industri, pertanian, dan perikanan. Perubahan perairan total merupakan pengurangan perairan akibat dilakukannya reklamasi, jadi merupakan nilai negatif dari Pertambahan_Reklamasi. Merupakan laju perubahan penggunaan lahan lain, menjadi budidaya (pertanian maupun non-pertanian). Merupakan laju perubahan penggunaan lahan budidaya pertanian, menjadi budidaya non-pertanian. Merupakan laju penyediaan lahan yang berasal baik secara tidak ramah lingkungan, maupun dari konversi lahan budidaya untuk lindung. Merupakan jumlah dari Konversi_Lahan_Atas+ Konversi_ Semp_ Pantai+Konversi_Semp_Sungai Luas total perairan total wilayah studi. Merupakan perairan yang digunakan sebagai kawasan budidaya baik perikanan maupun non-perikanan, yang meliputi Perairan_BD_Laut, Perairan_Ikan__Tangkap, Perairan_Militer, dan Perairan_Pelabuhan. Merupakan luas perairan yang mungkin untuk dimanfaatkan bagi kawasan budidaya. Merupakan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan laut, yang meliputi keramba jaring apung (KJA), budidaya rumput laut, dan budidaya mutiara; baik milik perusahaan besar maupun masyarakat. Merupakan perairan yang secara tradisional yang digunakan oleh nelayan di Teluk Lampung untuk wilayah tangkap. Merupakan perairan yang ditetapkan untuk pelatihan tempur laut TNI-AL Armada Barat dan Komar. Berdasarkan peta Teluk Lampung (Dishidros TNIAL, 1998), yang dianalisis dari SIG.
Merupakan perairan yang menjadi daerah lingkungan kerja (DLKr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan, berdasarkan Pergub No. 30 Tahun 2006 tentang Penataan Daerah Penangkapan Ikan Dalam Perairan Wajib Pandu dan Alur Pelayaran Pelabuhan Umum Panjang. Kumulasi perambahan perairan terumbu karang dan padang lamun, ditentukan oleh penambahan perairan budidaya laut dan konversi kawasan lindung perairan. Pada awal simulasi diasumsikan bernilai nol. Perairan pelabuhan (DLKr, DLKp, dan alur pelayaran masuk keluar pelabuhan) dapat berubah-ubah, yaitu berkurang dengan adanya reklamasi (terutama di wilayah Kota Bandar Lampung), dan bertambah dengan mengubah ketetapan DLKr, DLKp, dan alur pelayaran masuk keluar. Diasumsikan bahwa pengurangan luas perairan adalah sebesar 0,75 x luas reklamasi; dan penambahan diasumsikan sebesar 100 ha pertahun mulai tahun 2010 dan berhenti pada tahun 2025. Faktor yang mempercepat terjadinya imigrasi dan emigrasi, dinyatakan bernilai -0,01 sampai 0,01; dimana nilai MINUS akan meingkatkan Emigrasi dan menurunkan Imigrasi, dan sebaliknya untuk nilai PLUS. Faktor ini didapatkan dengan membuat grafik dengan variabel bebas adalah jumlah nilai dampak penganggur+kendala ruang, dimana bila bernilai 2 memberikan arti terjadinya banyak pengangguran dan kendala ruang yang besar, dan sebaliknya untuk nilai 0. Faktor penambah (dapat positif atau negatif) yang mempercepat laju investasi, akibat adanya kemudahan tenaga kerja berkualitas (positif) atau kendala ruang (negatif). Sumbangan sektor perikanan terhadap PDRB ADHK. Laju perluasan pelabuhan. Persentase pertumbuhan sektor angkutan laut, pada tahun berjalan. Persentase pertumbuhan ekonomi, pada tahun berjalan. Persentase pertumbuhan sektor perikanan, pada tahun berjalan. Persentase pertumbuhan sektor industri pengolahan, pada tahun berjalan. Persentase pertumbuhan sektor lain, pada tahun berjalan.
Persentase pertumbuhan sektor pertanian, pada tahun berjalan. Persentase pertumbuhan sektor pariwisata, pada tahun berjalan. Pertumbuhan sektor transportasi laut akibat pangsa pertumbuhan normalnya, dan dipercepat (baik secara positif maupun negatif oleh percepatan investasi), kemudian dipengaruhi juga oleh peningkatan sektor perikanan dan industri yang mebutuhkan sektor angkutan laut (sebagai pengali). Fraksi pertambahan luas lahan budidaya pesisir (tambak), didapatkan dari analisis citra 2001-2009, bernilai cukup besar yaitu 628 ha/tahun, atau mencapai 51,36% per tahun. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang rasional, digunakan rata-rata pertumbuhan (%) antara tahun 2001 - 2009 yang dihitung per tahun, dan didapatkan 17,77%. Pertumbuhan sektor industri pengolahan akibat pertumbuhannya sendiri dan dipercepat (baik secara positif maupun negatif oleh percepatan investasi), merupakan hasil perkalian nilai initial sektor industri pengolahan dengan jumlah pangsa pertumbuhannya dan percepatan akibat investasi. Laju perkembangan investasi yang terjadi akibat adanya pertumbuhan investasi dan percepatan investasi, didapatkan dari hasil perkalian antara investasi dengan jumlah pertumbuhan dan percepatan investasi. Laju perluasan lahan militer. Laju perluasan lahan wisata. Penambahan lahan pertanian yang hanya mungkin berasal dari penggunaan lahan lain yang merupakan lahan kelas 8 dan sebagian kecil kelas 7. Diasumsikan petani tidak mampu lagi merambah lahan kelas 8, sehingga bila luas lahan sudah mencapai luas lahan kelas 8 (13.364 ha), maka pertambahan lahan pertanian akan berhenti (mendekati 0 persen).
110
Pert_Perikanan
Pertumbuhan sektor perikanan laut akibat pertumbuhannya sendiri dan dipercepat (baik secara positif maupun negatif oleh percepatan investasi), merupakan hasil perkalian nilai initial sektor perikanan laut dengan jumlah pangsa pertumbuhannya dan percepatan akibat investasi..
252
!
"
#!$ $
Satuan
Pendugaan
Persamaan Persamaan Persamaan
% % Rp juta/tahun
E E PS
graph
-
E
Persamaan
Rp juta/tahun
PS
Persamaan
Rp juta/tahun
PS
2,5 2 graph
ha/tahun ha/tahun -
PS PS E
Persamaan
Rp juta/tahun
PS
No.
Peubah
111
Pert_Pertanian
112
113
114 115
116 117
118
119
120
Nilai Awal/ Parameter
Deskripsi
Satuan
Pendugaan
Pertumbuhan sektor pertanian akibat pertumbuhannya sendiri dan dipercepat (baik secara positif maupun negatif oleh percepatan investasi), merupakan hasil perkalian nilai initial pertanian dengan jumlah pangsa pertumbuhannya yang dipengaruhi oleh percepatan akibat investasi dan rasio luas lahan pertanian terhadap lahan total. Pert_Sektor_Lain Pertumbuhan sektor lain akibat pertumbuhannya sendiri dan dipercepat (baik secara positif maupun negatif oleh percepatan investasi), hasil perkalian nilai initial sektor lain dengan jumlah pangsa pertumbuhannya dan percepatan akibat investasi. Pert_Wisata Pertumbuhan sektor pariwisata, hotel, dan restoran akibat pertumbuhannya sendiri dan dipercepat (baik secara positif maupun negatif oleh percepatan investasi), hasil perkalian nilai initial sektor pariwisata dengan jumlah pangsa pertumbuhannya dan percepatan akibat investasi. Pertambahan_ Penduduk Laju pertambahan penduduk (neto) per tahun. Pertambahan_ Reklamasi Pertambahan lahan reklamasi adalah sama dengan kecepatan reklamasi, dimulai tahun 2008 dan berhenti setelah tahun 2027 (83 ha per tahun) ditambah dengan kebutuhan permukiman penduduk yang diasumsikan sebesar 2% dari kebutuhan permukiman penduduk. Pertanian Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB ADHK. Pertumbuhan_ Ekonomi Sumbangan sektor-sektor terhadap aktivitas perekonomian (PDRB harga konstan) wilayah penelitian yang terdiri dari sektor lain, pariwisata, perikanan laut, pertanian, industri pengolahan, dan transportasi laut Peruntukan_ Lindung_Darat Penyediaan kawasan lindung yang seharusnya dilakukan, diasumsikan dalam waktu 15 tahun sejak tahun 2003, penetapan dan pelestarian kawasan lindung mencapai luas 54.489 ha (yaitu yang termasuk kelas lahan 8, 7, 6, dan 5). Peruntukan_Semp_Pantai Penetapan dan penyediaan kawasan lindung sempadan pantai (100 m dari garis pasang tertinggi ke arah darat) sebagai bagian dari kawasan lindung yang seharusnya dilakukan, luas sempadan pantai adalah 0.09737 x luas kawasan lindung darat.
Persamaan
Rp juta/tahun
PS
Persamaan
Rp juta/tahun
PS
Persamaan
Rp juta/tahun
E
Persamaan Persamaan
orang/tahun ha/tahun
PS E
431.943 Persamaan
Rp juta Rp juta/tahun
S PS
Persamaan
-
PS
Persamaan
ha
E
Peruntukan_Semp_Sungai
Persamaan
ha
E
Penetapan dan penyediaan kawasan lindung sempadan sungai (100 m kiri kanan
Deskripsi sungai besar, dan 50 m kiri-kanan sungai kecil) sebagai bagian dari kawasan lindung yang seharusnya dilakukan, luas sempadan sungai adalah 0.08138 x luas kawasan lindung darat. Jumlah penduduk total yang dipengaruhi oleh kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi, berdasarkan data BPS. Luas ruang yang dibutuhkan untuk prasarana yang meliputi jalan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi dan sebagainya, diasumsikan secara tertimbang untuk kawasan perkotaan dan perdesaan. Merupakan laju penetapan dan pengendalian kawasan lindung perairan, yang dimulai dari tahun 2008 dan berlangsung selama 15 tahun (sampai tahun 2022). Penetapan dan penyediaan kawasan lindung atas (lahan kelas 8,7 dan 6 yang berlereng >40%) sebagai bagian dari kawasan lindung yang seharusnya dilakukan, luas kawasan lindung lahan atas adalah 0,8212 x kawasan lindung darat. Rasio antara kawasan lindung darat dengan kawasan lahan budidaya terpakai. Nilai rasio akan menjadi 0 bila tidak ada penetapan kawasan lindung darat, dan semakin membesar dengan adanya penetapan kawasan lindung darat. Nilai akan menjadi maksimal bila kawasan lindung darat menjadi maksimal (yaitu 54.489 ha) dan nilai rasio maksimal akan menjadi 0,7422. Rasio antara kawasan lindung perairan dengan kawasan budidaya perairan terpakai. Nilai rasio akan menjadi 0 bila tidak ada penetapan kawasan lindung perairan, dan semakin membesar dengan adanya penetapan kawasan lindung perairan. Nilai akan menjadi maksimal bila kawasan lindung perairan menjadi maksimal (yaitu 4.823 ha) dan nilai rasio maksimal akan menjadi 0,0308. Rasio antara luas lahan pertanian terhadap luas lahan total. Reklamasi (penimbunan pantai) pantai telah terjadi dan cenderung terus terjadi di Teluk Lampung, terutama di Kota Bandar Lampung. Aktivitas reklamasi di Teluk Lampung telah dimulai sejak tahun 1983, dan dihentikan sampai tahun 1990, sudah dilakukan seluas 650 ha (seluas 450 ha terjadi di Bandar Lampung). Pada tahun 2007 telah direncanakan akan direklamasi laut di Bandar Lampung dan sebagian Pesawaran (Padang Cermin) seluas 1.447 ha selama 20
!
"
#!$ $
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
533.298
orang
S
50
m2/orang
PS
Persamaan
ha
PS
Persamaan
ha
PS
Persamaan
-
E
Persamaan
-
E
Persamaan 0
ha
E PS
No.
Peubah
129
Ruang_per_ Investasi
130
Sbr_lind_darat
131
Sektor_Lain
132
Semp_Pantai
133
Semp_Sungai
134 135
Tahapan_Kw_ Lindung Terumbu_Karang
136
Tgkt_ Kebangkrutan
137 138
Tingkat_ Pengangguran Wisata
Deskripsi tahun. Untuk kepentingan model, luas lahan reklamasi pada tahun 2003, diasumsikan mulai dari awal yaitu 0 hektar. Luas ruang yang dibutuhkan untuk setiap Rp juta investasi, berdasarkan data dari lima puluh perusahaan Selisih antara parameter Penetapan_Lindung_Darat dan Penetapan_status_ menjadi_lindung Sumbangan PDRB dari sektor lain di luar sektor perikanan laut, pariwisata, pertanian, industri pengolahan, dan transportasi laut, berdasarkan data PDRB ADHK. Merupakan luas total kawasan lindung sempadan pantai, total luas ideal adalah sebesar 0.09737 x luas kawasan lindung darat, pada tahun awal simulasi diasumsikan belum ditetapkan. Merupakan luas total kawasan lindung sempadan sungai, total luas ideal adalah sebesar 0.08138 x luas kawasan lindung darat, pada tahun awal simulasi diasumsikan belum ditetapkan. Fraksi penetapan kawasan lindung, yaitu untuk waktu 15 tahun. Merupakan luas tutupan perairan terumbu karang, yang seharusnya dilindungi, dengan luas 80% x 4.823 ha = 3.860 ha ditambah dengan tutupan padang lamun yang diasumsikan sama dengan 20% tutupan terumbu karang, dengan demikian luasan tetap menjadi 4.823 ha Peluang kebangkrutan investasi yang dapat terjadi dari investasi yang telah terlaksana. Rasio Pengangguran dan Angkatan Kerja. Sumbangan sektor pariwisata, hotel, dan restoran terhadap PDRB ADHK.
Nilai Awal/ Parameter
Satuan
Pendugaan
22
m2/Rp juta
PS
Persamaan
ha
E
1.258.411
Rp juta
S
0
ha
PS
0
ha
E
1/15 4.823
ha
PS PS
0,005
-
PS
Persamaan 63.457
% Rp juta
PS S
Keterangan: S = data sekunder; PS = Pengolahan data sekunder, analisis citra satelit, dan SIG; E = simulasi model, graph = fungsi grafik dari Stella. Sumber: Analisis (2010)