NAMA: FEBRIAN RAMADHAN
NBI: 1311401508
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
Sengketa Pajak PT Asian Agri Grup
Kasus posisi
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian Vincent berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 Vincent sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul "AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)", disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.
Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Celah Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk "Perlawanan Pasif terhadap Pajak", yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk "Perlawanan Aktif terhadap Pajak" yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori "Perlawanan Aktif terhadap Pajak" sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).
Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama, penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi (integration) yang merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.
Berujung di Pengadilan
Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar. Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan hukum.
Dasar hukum
Dasar hukum sengketa pajak adalah sebagai berikut :
Undang – undang no. 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak.
Undang – undang no. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Undang – undang no. 16 tahun 2000, no 28 tahun 2007, dan peraturan pelakssanaan terkait.
PASAL 1 angka 5 UU PP; Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pasal 31 UU PP; Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak; Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, undang-undang Nomor 28 tahun 2007 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Analisa kasus
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul "AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)", disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Kajian Hukum Sebuah Kasus
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah, dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam undang-undang pajak yang mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur :
Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara.
Hukum perdata;
Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.
Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk "Perlawanan Pasif terhadap Pajak", yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk "Perlawanan Aktif terhadap Pajak" yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori "Perlawanan Aktif terhadap Pajak" sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
General Manajer Grup Asian Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di Jakarta, Rabu (4/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui telah menerima surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib memberikan keputusan atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan.
Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga pelelangan aset.
Penutup
Berdasarkan hasil kasus analisis diatas apabila sudah terjadi suatu kasus sengketa pajak antara Wajib pajak dengan Fiskus, maka otomatis Wajib Pajak mempunyai Hak dan Kewajiban dalam menangani sengketa pajak tersebut. Hak dari Wajib Pajak sendiri ialah dapat mengajukan keberatan kepada Surat Keputusan Pajak yang dibuat oleh DJP sesuai pasal 25 UU no 28 tahun 2007, serta dapat mengajukan banding ke Peradilan Pajak apabila tidak puas dengan Surat Ketetapan Pajak yang dijatuhkan oleh Fiskus sesuai pasal 27 UU no 28 tahun 2007.
Namun yang menjadi kewajiban Wajib Pajak sebelum mengajukan keberatan maupun banding ialah Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi pajak yang disetujui dalam keputusan keberatan maupun banding tersebut.
Dalam kasus sengketa pajak Asian Agri, dijelaskan bahwa Asian Agri melakukan penggelapan pajak yang mengarah kepada kerugian negara. Maka dari itu Peradilan Pajak dituntut untuk bijaksana dalam menyelidiki dan menyelesaikan permasalahan kasus tersebut sesuai dengan ketentuan Undang Undang yang berlaku.