SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM Seperti yang diketahui bahan dasar Antropologi menurut sejarahnya berasal dari etnografi, dengan kacamata yang etnosentris. Banyak para yokoh yang mendifinisikan hukum yang pertama-tama mengawali karyakarya pengkaji ilmu sosial yang mengkaji khusus tentang hukum. Berikut adalah beberapa tokoh yang hanya diperkenalkan sehubungan dengan definisi hukumnya saja secara ringkas.
Menurut Radcliffe Brown, hukum adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya ada dalam masyarakat bernegara, yang memiliki pengadilan, polisi bersenjata,
penjara, pengacara, dan perangkat hukum
yang lain.
Menurut Bronislaw Malinowski, setiap masyarakat memiliki pranata pengendalian sosial yaitu hukum, dan pengendalian sosial itu dapat dikatakan sebagai hukum.
Leopold Pospisil yang tidak memberikan definisi hukum secara ketat, memberikan bagaimana mengenali hukum itu melalui empat kriteria /
atributnya yaitu attribute of authority, attribute of intention of universal
application, attribute of obligation, attribute of sanction.
Seseorang yang selanjutnya memberi pengaruh kuat dalam definisinya pada tradisi-tradisi berkembang dalam ilmu antropologi hukum adalah Adamson Hoebel, definisinya mengenai hukum selanjutnya akan sangat berdampak pada methodologi yang di kembangkan. Menurutnya hukum yang senyata-nyatanya hidup dalam masyarakat hanya dapat diketahui dari ditelusurinya suatu sengketa dalam masyarakat.
ERA EVOLUSIONISME
Fase pada teori klasik ini berbeda namun memiliki ciri yang sama, seperti :
a) Mempunyai perspektif yang sama yaitu mengenai perubahan secara perlahan-lahan. b) Holistik, hukum dilihat kaitannya dengan aspek kebudayaannya yang lain. c) Tinjauannya bersifat komparatif d) Tinjauan bersifat universal, hasil kajian berlaku universal.
Tema kajian pada fase awal studi-studi teoritis mengenai hukum dengan pendekatan antropologis lebih difokuskan pada fenomena hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive), tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi perkembangan masyarakat manusia. Sedangkan,
metode
kajian
yang
digunakan
untuk
memahami
fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal sebagai armchair methodology, yaitu metodologi untuk memahami hukum dalam perkembangan masyarakat melalui kajian-kajian yang dilakukan di belakang
meja, sambil duduk di kursi empuk, dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis sebanyak mungkin documentary data yang bersumber dari catatan-catatan perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-laporan berkala dan dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil
maupun
para
serdadu
pemerintah
kolonial
dari
daerah-daerah
jajahannya (F. von Benda-Beckmann, 1989). Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum dari belakang meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam studi-studi antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum.
ERA FUNCTIONALISM Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran kaum evolusionist. Dasar pemikirannya adalah masyarakat di analisa sebagai bagian-bagian yang terpisah satu sama lain saling tergantung berdasarkan fungsinya, contohnya adalah hukum dalam masyarakat. a) Teorinya tidak lagi bersifat Universal, tetapi mengenai masyarakat atau suku bangsa atau desa tunggal. b) Metodenya mulai turun ke lapangan dan membuat deskripsi atau eksplanasi.
Selanjutnya pemahaman fungsionalistis tentang masyarakat dan kebudayaan itu harus dituangkan dalam bentuk etnografi. Menurut Radcliffe Brown, Fungsionalisme Brown ini merupakan perkembangan dari teori Fungsional Durkheim. Fungsi dari setiap kegiatan selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan social sebagai keseluruhan dan, karena itu, merupakan sumbangan yang diberikan bagi pemelihara kelangsungan structural.
Menurut Bronislaw Malinowski Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional
theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya.
Ia berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan
pada
pokoknya
memenuhi
kebutuhan
tersebut.
Semisal
kebutuhan sex biologis manusia yang dasarnya merupakan kebutuhan pokok, tetapi tidak serta merta dilakukan atau dipenuhi secara sembarangan. Kondisi pemenuhan kebutuhan tak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan ke arah konstruksi nilai-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi) dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan-tindakan yang terlembagakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya memunculkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut. Hal inilah yang kemudian menguatkan tese dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan yakni, 1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi
2. Kebudayaan
harus
memenuhi
kebutuhan
instrumental,
seperti
kebutuhan akan hukum dan pendidikan. 3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.