Se jarah P en de kar Kungf u Lege ndaris : Lo Ban Teng "MALAIKAT BERWAJAH PUTIH" dari SIAUW LIM HO YANG PAY
Disusun oleh : Tjoa Khek Kjong Di kutip dari Harian Star Weekly tgl 7 - 02- 1959
Lebih djauh dengan membatja sedjarahnja ini, dapa pembatja membedakan apa jang mungkin dan apa jang tidak mungkin tertjapai dalam olahraga kunthao - lebih tegas : mana jang benar2 dapat terdjadi dan jang mana hanja terdiri atas chajal belaka, sebagaimana jang banja dikisahkan dalam tjeritera2 silat Tionghoa. Didalam menjusun tulisan ini, saja merasa sanga berterima kasih kepada pelbagai pihak jang mengenal almarhum dari dekat dan jang telah memberikan banja bahan2 kepada saja, seperti Sinshe Lo Boen Lioe d Kongsi Besar, keponakan almarhum Lo Ban Teng, dan tua Thio Tjing Tjo di Angke, seorang sahabat akrab almarhum Lebih djauh saja sangat berterima kasih kepada ahliwaris
almarhum, jang tidak sadja mengumumkan sedjarah hidup ini. Semasa hidupnja, almarhum seorang jang selal mengutamakan kedjudjuran. Bitjaranja selalu terus terang, setempo ketus - jang mana membajangkan ketulusan dan kedjudjurannja - tidak perduli terhadap siapa, tida perduli orang yang diadjaknja bitjara itu kaja atau miskin.
LO KA LIONG, Pemilik toko arak "Kim Oen Hap", ja terletak ditepi sebuah djalan dikampung Tang-Ua-BeeKee, kota Tjiobee, propinsi Hokkian, Tiongkok, tenga menikmati suatu rasa bahagia jang tidak terhingga. Pada hari itu, tanggal 1 bulan keenam tahun 2437 menurut hitungan Imlek (Masehi 1886) isterinja telah melahirka seorang putera jang mungil dan bertubuh kuat-sehat. Memang sudah semendjak beristeri Ka Lion menginginkan seorang anak laki2, tetapi sampai sebegitu djauh dari isterinja hanja ia peroleh anak2 perempuan sadja, jaitu dua orang. Maka ketika baji jang baru terlahir pada hari itu ternjata seorang anak laki2, dapatlah kiranja dibajangkan betapa rasa bahagianja, karena idam2annja telah tertjapai. Ka Liong seorang jang djudjur, ramahtamah, tidak suka bersetori dan selalu mengalah terhadap semua orang. Di Tjiobee ia seorang pendatang. Asal dari Engteng, sebua kota lain dalam propinsi Hokkian, dan ia datang di Tjiobee bersama isteri dan kedua anak perempuannja pada setahun ang lampau. Kepada anak laki2 jang baru lahir itu, Ka Liong da isterinja mentjurahkan segenap kasihsayang mereka. Mereka menamakannja Ban Teng. Anak itu semendja dilahirkan, bertubuh kuat dan selalu sehat2 sadja, sehingga
ia tumbuh dengan tjepat sekali. Ketika sudah agak besaran. Perawakannja kokoh-kekar sekali.
Masak Kanak2, Ban Teng Tetapi semasa kanak2, Ban Teng telah memberi banjak kepusingan kepada kedua orang tuanja. Semenjak ketjil, ternjata ia seorang anak jang nakal. Pada waktu ia mentjapai umur untuk bersekolah, ajahnja memasukannja kedalam sekolah rakjat, tetapi Ban Teng lebih suka bermain2 daripada beladjar. Lebih djauh ia sangat nakal disekolah, sehingga seringkali gurunja mendjadi putus asa dan mengadukan kenakalan2nja kepada orangtuanja. Setelah beladjar 3 tahun dalam sekolah rakjat, mendada Ban Teng membangkang. Ia tidak mau sekolah lagi, meskipun dibudjuk atau dipaksa. Dalam putus asa, ajahnja menjuruhnja membantu perkerdjaan di toko araknja dan pada waktu malam hari ia disuruh beladjar ilmu surat. Karena Ka Liong seorang pendatang jang berasal dari kot lain, penduduk2 Thiobee memandangnja sebagai oran asing. Mereka merasa tidak senang terhadap orang2 asin ang datang berusaha ditempat kediaman mereka. Perasaa kurang senang itu seringkali dinjatakan dengan berterang, akni dengan djalan menggangu Ka Liong dengan maksu supaja ia tidak krasan tinggal di Tjiobee. Tidak sadja Ka Liong, melainkan Ban Tengpun mengalam gangguan2 itu. Anak2 di Tjiobee jang seumur dengannja
dan jang lebih besar daripadanja, tiada henti2nja mengganggunja, menghina, bahkan tempo2 mengerojoknja. Ka Liong tinggal tenang dan mengambil sikap mengalah, tetapi Ban Teng jang beradat keras, merasa sangat penasaran. Seringkali kalau Ban Teng ada dimuka rumahnja dan anak2 itu lewat disitu, mereka meng-edjek2-nja dan menghinanja. Kalau edjekan dan hinaan2 itu melampaui batas, jang mana banjak kali terdjadi, Ban Teng tidak dapat mengendalikan lagi nafsu amarahnja. Akibatnja, terdjadilah perkelahian antara Ban Teng disatu pihak, antaranja banjak jang djauh lebih besar daripadanja. Inilah memang diinginkan anak2 itu, jang memang berhasrat mengerojoknja. Walaupun Ban Teng bertenaga besar dan pemberani, tak gentar bertemu lawan2 jang lebih banjak djumlahnja dan bertubuh lebih besar daripadanja, namun dengan seorang diri tidak mungkin dia melajani mereka. Hampir selalu ia terpaksa lari pulang dengan wadjah babakbelur dan pakaian kojak2. Namun ia tetap penasaran dan ingin menuntut balas. Tetapi bagaimana?Ia pegat lawannja itu seorang demi seoran dan djika bertemu satu-sama-satu ia menantangnja berkelahi. Dalam perkelahian2 begitu, jakni seorang lawa seorang, ia selalu menang, meski lawanja lebih besar
daripadanja, dua-tiga hari jang berikutnja ia tidak berani keluar rumah : chawatir dikerojok! Ganguan pihak para tetangga Ka Liong semakin lam semakin menghebat. Pada suatu hari mereka mala menjerbu ke toko arak itu dan menghatjurkan gutji2 arak. Ka Liong hanja dapat menghela napas dan mengelengka kepalanja. Tetapi Ban Teng merasa amat sakit hati. Mualailah ia me-mikir untuk mempeladjari ilmu silat. Pada waktu itu ia berumur kira2 14 atau 15 tahun. Dua tahun lamanja ia beladjar silat dengan giat sekali dibawah pimpinan seorang guru silat dikampung itu. Berselang dua tahun, ia menganggap dirinja tjukup pandai dan ia men-tjoba2 kebiasannja itu terhadap musuh2nja jang lama. Akibatnja mengetjewakan : ia dikerojok hebat sekali, Sjukur, berkat tubuhnja jang kuat-kokoh, latihan2 ang tidak mengenal letih dan keberaniannja, ia tida sampai terluka hebat. Namun ia tidak mendjadi gentar. Hasrat untuk menuntu balas tetap membakar djiwanja, maka ia berusaha untu mentjari guru silat lain. Dalam pada itu, ajahnja menjadi tjemas meliha sepakterdjang dan tingkahlakunja. Ajah ini chawatir akan akibat2nja dikemudian hari, maka mengambil keputusan
untuk mentjingkirkan Ban Teng ketempat lain. Demikianla Ban Teng, jang pada waktu itu berumur kira2 17 tahun, dikirim ajahnja ke Indonesia untuk tinggal diruma saudara-misannja (tjinthong), Lo Ban Keng, dikampun Selan, Semarang. Akan tetapi Ban Teng tidak krasan tinggal diruma saudara-misan itu, karena ia diperlakukan sebagai seorang ang tidak punja guna, jang hanja memberatkan bebanhidup tuan rumah sadja. Maka kembalilah ia ke Tiongkok, sesudah berdiam 7 bulan di Semarang.
Pembuat Bongpay jang luar biasa GANGGUAN jang diderita keluarga Lo dari piha sementara penduduk2 Tjiobee semakin men-djadi2. Ba Teng bahkan sampai2 takut keluar rumah, karena chawatir dihina, di-edjek dan dipantjing supaya berkelahi, lalu dikerojok. Tekad untuk beladjar silat pada seorang guru ang pandai semakin bulat dan dendam kepada para pengatjau kehidupan keluarganja semakin membakar djiwanja. Untuk mententramkan djiwa Ban Teng dan membikin dia melupakan hasratnja, ajahnya mengawinkannja dengan seorang gadis dari Engteng, Lie Hong Lan. Pada waktu it Ban Teng berumur kira2 19 tahun. Dari perkawinan in ia memperoleh seorang puteri jang dinamakannja Lo Le Hoa. Namun hasrat untuk memahirkan diri dalam ilmu silat tida pernah lepas daripada pikirannja. Tiap pagi ia berlatih dengan radjin dan kalau bertjakap2 dengan langganan2 ang datang di toko ajahnja, jang dibitjarakannja tak lain dan tak bukan soal ilmu silat se-mata2. Ketika Ban Teng berumur 23 tahun, ibu dan ajahnja berturut2 - dalam djangka waktu tidak terlampau lama meninggal dunia. Untuk sementara nampak Ban Ten
menuntut penghidupan tentram dalam bakti terhadap kedua orangtua dan keturunannja. Ia bahkan 'memungut' seoran anak laki2 untuk menjambung turunan Lo dan dinamaka Siauw Eng. Namun dalam sanubarinja masih tetap meleka tekad untuk mempeladjari silat. Pada suatu hari, dalam sebuah pertjakapan dengan sala seorang langganan tokonja, langganan itu menasihati Ba Teng untuk berlatih melontjat tinggi. Langganan itu mentjeriterakan tentang seorang ahli silat jang sekali mengendjot tubuhnja dapat melontjat naik ke atas genting rumah. Bagaimana tjaranja memahirkan kepandaian itu? Bertanj Ban Teng. Mudah sadja, djawab langganannja. Memaka bakiak2 dari pada batu, mula2 jang ringan timbangannja, semakin lama semakin berat, lalu berlatih melontjat dengan bakiak2 itu. Kalau sudah mahir, bakiak2 dapat dilepaskan dan sekaligus dapat orang melontjat keatas genting. Ban Teng mendjadi sangat ketarik hati. Ter-gesa2 ia mengundjungi seorang pembuat bongpay (batu kuburan) ang tinggal didekat rumahnja. Kepada pembuat bongpa itu, seorang laki2 jang sudah agak landjut usianja dan bertubuh kurus kering, dipesannja sepasang bakiak batu ang berat2nja kira2 5 kg. Orang tua itu nampa terperandjat. Dipandangnja Ban Teng dari atas sampai ke
bawah. Lalu dia bertanja: "Untuk apakah kau memesa bakiak batu itu?" Ba Teng jang agak pemarah dan tidak suka orang menjampuri urusannja, mendjawab dengan ketus: "Ah, ka tahu apa?!Bakiak2 itu kubutuhkan untuk berladjar melontja tinggi!" Mendengar djawaban itu, si tua se-konjong2 tertawa terbahak2. Ban Teng mendjadi marah. Baru sadja ia henda membuka mulut untuk menegurnja, pembuat bongpay itu berkata : "Sungguh tolol!........... Lihatlah orang2 itu jang sedan memikul kotoran" (ia mengundjuk beberapa orang laki2 ang tengah memikul tong2 berat sekali jang kebetulan lewat disitu) "Berat kotoran jang dipikulnja itu djau melebihi berat bakiak2 batu jang kau pesan. Adakah kaukira bahwa, djika melepaskan pikulan itu, mereka sekaligus dapat terbang keudara?........ Gong gu (Kerba dungu)!" Ban Teng mendjadi marah sekali. Dengan tiada banja tjingtjong ditantangnja orangtua itu untuk berkelahi. Si tua terus tertawa terkekeh2. Lalu dikatakannja kepada Ba Teng : "Mari, turut denganku. Akan kuperlihatkan sesuatu kepadamu."
Didahului orangtua itu, Ban Teng mengikutinja masu kedalam kamar tidurnja. Ia tidak melihat orang lain dala rumah itu, sehingga ia mengetahui bahwa si tua itu tinggal seorang diri. Dari bawah tempat tidur pembuat bongpa menjeret keluar seubuah batu besar jang bentuknja seperti selot Tionghoa (tjio-so) dan beratnja kira2 25 kg. Ban Teng mengira, si tua hendak mengudji kekuatannja maka dengan suatu senjuman djumawa diangkatnja tjio-so itu dengan sebelah tangan beberapa kali. Ia merasa tela mempamerkan tenaganja jang luar biasa dihadapan si tua dan ia mengira akan mendapat pudjian. Akan tetapi, sebaiknja, sipembuat bongpay tetap mengedjek. "Apa itu?" bertanja si tua. "Latihan begitu tiada gunanja sama sekali. Apa jang telah kauperlihatkan itu, tidak lebih tidak kuran hanja tenaga mati belaka" Belum sempat Ban Teng mennjahut, situa mengangkat tjioso dengan sebelah tangan, lalu dilontarkannja keatas berputar diangkasa jang turun, lalu disanggap pembuat bongpay itu dengan sebelah tangan pula. Djari2 tangannja tepat menjekal pegangan tjio-so jang melintang di-tengah2. Tangannja sedikitpun tidak tergetar. Mata Ban Teng terbuka lebar2. Ia tidak menjangka.Situ ang bertubuh kurus-kering itu, jang bermula dipandangnja ringan sekali, bertenaga begitu besar. Serentak ia insaf,
bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang jang berilmusilat tinggi. Ter-gesa2 ia menghanturkan maaf dan sertamerta minta supaja situa suka menerimanja sebagai murid. Tetapi pembuat bongpay itu menolak dengan getas.
Salah seo rang murid t erbaik dari Ho J ang P ay SAMPAI pulang dirumah, tiada habis2nja Ban Ten memikirkan hal pembuat bongpay jang tua itu. Kepada semua kenalannja ia bertanja, siapakah gerangan dia itu? Salah seorang kenalannja mentjeriterakan kepadanja, bahwa empek sipembuat bongpay bernama Yoe Tjoen Gan, seorang antara lima murid terbaik dari ahlisilat Tjo Giok Beng dari Tjoantjiu, pemimpin tjabang silat Siau Lim Ho Jang Pay Semakin bulat tekad Ban Teng untuk berladjar silat pada si-empek itu. Belum2 sudah dibanjang2kannja, bagaimana kelak ia dapat membalas dendam kepada para pengatjau2 kehidupannja djika ia sudah mahir mempeladjari silat dibawah pimpinan empek Yoe. Besoknja ia mengundjungi lagi empek itu. Sekali lagi ia minta diterima sebagai murid. Tetapi si-empek menolak. Ban Teng tidak putus-asa. Berkali2 ia mendatangi siempek dan berkali2 ia mengulangi permintaannja. Hasilnja selalu nihil : empek Yoe tetap menolak. Begitu dengan begitu, setahun telah lalu. Perusahaan batu-nisan empe Yoe semakin lama semakin mundur, sehingga achirnja terpaksa gulung tikar. Lain daripada itu, uang sewa rumahpun tidak dapat dibajarnja, sehingga jang empunja rumah menjuruhnja pindah sadja.
Melihat kesukaran2 empek Yoe, Ban Teng mengadjaknja tinggal bersama dirumahnja. Tetapi orang tua itu njata berwatak aneh dan keras kepala pula. Ia menolak tawara tawaran pemuda itu terus menerus. Ban Teng tida mendjadi putus harapan dan mendesak terus. Achirnja, melihat, kesungguhan hati Ban Teng, empek Yoe tergerak hati. "Baiklah", katanja, "akan kuturuti tinggal bersama kau. Dan untuk membalas kebaikanmu itu, nanti kuadjarka kau beberapa matjam ilmu pukulan." Bukan main girangnja Ban Teng. Serta-merta i mendjatuhkan diri, berlutut dihadapan orangtua itu dan memberi hormat (paykoei). Mulai hari itu si empek tinggal dirumah Ban Teng. Pemuda kita ini menjediakan sebua kamar jang paling baik untuknja, menjediakan pula seorang pelajan chusus untuk mengurus keperluannja dan memperlakukan seolah2 ajah sendiri. Mulai waktu itu saban hari ia berlatih silat atau melewati waktu dengan mengobrol dengan gurunja tentang ilmu silat. Toko araknja tidak diperhatikannja lagi:segala urusan perusahaan dipertjajakannja kepada salah seorang pegawainja jang dipertjajanja. Bahkan anak-istrinjapu sampai2 diabaikannja, sehingga isterinja bermula heran, kemudian mendjadi mendongkol dan gusar. Njonja Lo tidak habis mengerti sikap suaminja jang lebi
mementingkan silat daripada perusahaannja dan begitu menghargai si-empek jang kurus kering itu. Bagaimana mungkin begitu pikir Njonja Lo - seorang2 jang kurus it dan selemah itu nampaknja, dapat mengajarkan ilmu silat? "Kalau kudorong, tentu ia djatuh terpelanting!" kata hati ketjilnja. Nasihat2 isterinja tidak dihiraukan Ban Teng. Sebaliknja, ia menjadi gusar sehingga seringkali suami-isteri itu mendjadi berdjidera oleh karenanja. Kegemaran Ban Ten akan ilmu silat semakin mendjadi2. Untuk mengambil hati gurunja, ia mengumpulkan teman2 dan kenalan2 untu beladjar silat pada guru itu. Peladjaran diberikan didalam suatu rumah chusus untuk itu, sebuah 'bu-kwan'. Uang peladjaran jang dapat dikumpul Ban Teng dari murid2 baru itu sama sekali berdjumlah 12 kouw (dollar) sebulan. Pada djumlah ini ia tambahka uangnja sendiri, sehingga dapat ia memberikan gurunja dua dollar seharinja. Jang memberikan peladjaran silat it boleh dikatakan Ban Teng sendiri. Gurunja hanja dudu mengawasi sadja.
"Dengan kerbau tidak merundingkan sadjak"... ..
mungkin
PADA suatu hari Ban Teng datang terlambat ditempa latihan. Murid2 lain sudah berkumpul dan empek Yoe menjuruh mereka mulaijang berlatih. muri ang bertubuh besar2, selalu Beberapa menerimaorang peladjaran dari Ban Teng dan belum pernah melihat guru mereka sendiri turuntangan, sudah lama me-ragu2kan kepandaian guru itu. Benarkah empek itu pandai ilmu silat, seperti dikataka Ban Teng?bertanja hati ketjil mereka. Untuk mendapa kepastian, mereka bermufakatan untuk mengadjak empe Yoe tjoba2 mengadu membenturkan lengan.
tangan,
jakni
berlatih
saling
"Tunggu sadja sampai Ban Teng datang", jawab empe Yoe. Djawaban ini semakin meragu2kan murid2 itu. Mereka mendesak. Siguru segara merasa, bahwa merek hendak mengudjinja. Bangunlah ia dari tempat-duduknja. Lalu ia memilih empat orang murid jang bertubuh palin besar dan paling kuat nampaknja. Mereka disuruhnja berdiri berbaris sendangkan jang lain2 mengawasi dengan penuh perhatian. "Marilah kita mulai." kata empek Yoe. Mereka mulai mengadu tangan. Tiada
seorang pun antara murid2 itu sanggup berbenturan lengan sampai dua kali dengan siguru. Serasa seolah2 lengan mereka dihantam dengan sebatan balok jang luar biasa keras, lagi tadjam!Mereka terheran2, bagaimana empek Yoe dapat mengerahkan tenaga sebesar itu. Mulai detik itu semua murid tunduk benar2 kepada guru mereka dan nama Yoe Tjoen Gan mulai banjak yang disebut orang. Salah seorang pegawai toko arak Ban Teng paham aka ilmu silat. Pegawai ini tinggi-besar dan bertubuh kokohkekar. Pada suatu hari Ban Teng men-tjoba2 kepandainnja dengan pegawai itu. Akibatnja diluar dugaanja. Dengan sekali gedor sipegawai berhasil membikin Ba Teng djatuh terlentang diatas sebuah tong arak. Ban Teng merasa ketjewa sekali. Kata sipegawai : "Untuk apa tua mengangkat seorang jang tubuhnja seperti lidih mendjadi guru silat tuan?Ia begitu kurus-kering, sehingga kalau saja ketok sekali sadja dengan sumpit, tentunja dia mati!" Ban Teng sangat mendongkol, akan tetapi tidak dapat mengatakan apa2. Ketika masuk ke dalam kamar gurunja, ia melihat empek Yoe ada disitu. Karena pembitjaraannja dengan pegawai tadi terdjadi diruangan sebelah kamar itu, tentunja empek Yoe dapat mendengarnja dengan tegas.
Bertanja Ban Teng, apakah si guru dapat dengar apa jan dikatakan sipegawainja?Ketika gurunja mengatakan, bahwa ia telah mendengar semuanja, Ban Teng bertanya, mengapakah guru itu tinggal diam sadja dan tidak mendjadi marah? Djawab Yoe Tjoen Gan dengan singkat: " Ka g gim si (Dengan seekor kerbau tidak mungkin oran berunding tentang sadjak). Kini, sebaiknja kau beladjar sadja dengan giat." Sehabis ber-kata2 si guru berlalu dari kamar itu. Djuga istrinja mengedjek Ban Teng ketika mendengar peristiwa itu. "Untuk apa kau beladjar silat pada oran begitu?" bertanja njonja Lo. "Biasanja tjuma makan tidu sadja. Pertjuma membuang uang, tempo dan tenaga denga tidak ada hasilnja. Terus menerus kau dipermainkan sadja!" Kata2 isterinja menimbulkan amarah Ban Teng. Mereka djadi bertjidera hebat sekali. Empek Yoe mendapat dengar tentang kedjadian ini. Kepada Ban Teng dikatakannja dengan ketus " Kee bo ee t to tjam tao (kalau ajam betina dapat berkokok, sebaiknja ditabas aja batang lehernja)!" Sudah barang tentu, isterinja tidak dapat menerima kata2 itu. Antara Ban Teng dan isterinja lalu terbit pertjekjokan hebat sekali, sampai2 mereka mau bertjerai. Tapi sjukur, sebelum terdjadi demikian, seorang paman dan bibi
keenam Ban Teng (laktjek dan laktjim), datang sama tengah dan mendamaikan suami-isteri itu. Mereka berpendapat, isteri Ban Teng bersalah karena terlampau mau menjampuri urusan suaminja dan menjuruh njonja itu menghaturkan maaf kepada empek Yoe. Demikianlah urusan dapat diselesaikan setjara damai. PADA suatu waktu, untuk urusan perusahaan, Ban Ten menudju Amoy (Emoei). Sebelum bertolak. gurunj mengatakan bahwa di Amoy ada seorang saudara-seperguruannja (suheng) Jang bernama Goei In Lam Ia bergelar Hoan Thian Pa (Matjan Tutul Jang Membalikka Langit). Setibanja di Amoy, Ban Teng menjambangi susio (paman-guru) itu dan memperkenalkan diri sebagai murid Yoe. Goei minta ia memperiihatkan apa jang sampai sebegitu djauh dapat dima-hirkannj'a dibawah pimpinan guru itu. Setelah menjaksikan permainan Ban Teng, Goe tidak berkata apa2, melainkan menggelengkan kepala. Kemudian baru dikatakannja: "Apabila nanti suda kembali di Tjiobee, katakan kepada gurumu, bahwa ak minta ia datang disini. Ada sesuatu jang ingin kubitjarakan dengannja." Kembali ditempat tinggalnja, Ban Teng menjampaika
pesan itu. Serta-merta wadjah Yoe berubah, se-olah2 suatu firasat tidak enak timbul padanja. Namun ia memenuhi permintaan Goei dan menudju Amoy. Ketika kedua saudara-seperguruan itu berhadapan muka dengan muka, Goei jang bertabiat djudjur dan selal berterus-terang berkata kepada Yoe: "Sungguh engkau seorang jang susah diurus. Berulangkali kau berdagang, berulangkali kami membantu engkau dengan modal, tetapi berulangkali pula kaugagal. Perusahaanmu jang paling belakang, jakni perusahaan bat nisan, sampai2 sirna tampakrana, sehingga terpaksa kautinggal dirumah muridmu Ban Teng jang begitu setia kepadamu dan mendjundjung kau sebagai ajah sendiri. Kini kau mendapatkan seorang murid jang begitu baik, tetapi kau mempermainkannja. Tiada kau mengadjarnja dengan sungguh2. Memang benar, tidak sembarang dapat kita menerima murid, akan tetapi djika mendapatkan murid jang benar2 baik, seharusnjalah kita menurunkan kepandaian kita dgn. setulus hati. Tetapi tjaramu mengadjar Ban Teng sangat memalukan. Adakah engkau bermaksud merusak nama bai Ho Yang Pay?Kalau terus begini sepakterdjangmu, kela kalau kau mati, djenazahmu tiada jang urus!"
Teguran pedas ini serentak membuka mata Yoe. Ia sadar akan kekeliruannja. Memang benar, sampai sebegitu djauh ia mengadjar Ban Teng? dengan setengah hati. Teguran saudara seperguruannja itu kini menjebabkan ia merasa menjesal akan perbuatannja sendiri. Ketika kembali di Tjiobee, pada suatu malam tg. 15 bulan Tionghoa ia memanggil Ban Teng. Untuk pertama kalinja itu ia memetjahkan segala rahasia teknik kunthao tjabang Ho Yang Pay sampai habis2. Bagaimana tjara memberi pukulan, tjara bagaimana menggerakkan/mengibaskan tubuh supaja tenaga sebesar2nja dapat disalurkan pada pukulan jang tengah diberikan kepada lawan, seperti seekor ajam mengibaskan tubuh untuk membersihkan bulu2nja daripada debu, bagaimana harus menampung pukulan pihak lawan, bagaimana harus meng-gerakkan tangan dan kaki dengan serentak dalam gerakan "mengatjip", dll. BanTeng merasa seolah2 seorang buta jang baru melek. Mengertilah dia betapa tinggi mutu intisari ilmu silat jang dipeladjarinja. Maka mulai waktu itu ia berlatih semakin giat dan radjin. Tiga bulan kemudian gurunja berkata kepadanja: "Sekarang boleh kautjoba main2 lagi dengan pegawaim ang sombong itu. Kalau kali ini ia dapat mendjatuhka kau, djangan kau akui aku sebagai gurumu lagi." Apa jang dikatakan Yoe itu terbukti.
Dalam pertjobaan dengan pegawai itu, dengan dua kali gerakan Ban Teng berhasil membikin pegawainja itu terpental djatuh keatas sebuah tong berisikan kotoran manusia disudut kamar. Tjoba tong itu tiada tutupnja, pasti sipegawai tertjemplung didalamnja! Sipegawai ter-heran2 sehingga tidak dapat berkata apa2. Ban Teng mendapat hati. Serentak kepertjajaan kepada diri sendiri pulih. Ia menantang musuhnja jang lama untu berkelahi. "Seorang lawan seorang boleh," katanja. "Tetapi kalau kamu mau main kerojok, djuga boleh!" Sudah tentu lawan2nja lebih suka main kerojok. Tetapi kali ini mereka ketjele. Tiada seorang lawan dapat datang dekat pada Ban Teng. Barangsiapa jang madju menjerang, tanpa mengetahui apa jang terdjadi dengan diri mereka, tiba2 mendapatkan dirinja sendiri bergelimpangan ditanah. Begitu tjepat gerak-gerik dan "katjipan2" Ban Teng, sehingga musuh2nja tidak dapat melihatnja.
Murid jang berbakti MULAI hari itu pamor Ban Teng naik. Tjiobee mendjad gempar dan lawan2nja tiada jang berani mengganggunja lagi. Ban Teng berlatih semakin giat dan sungguh2. Tetapi sajang, sebelum peladjarannja sempurna benar dan ketika ia berumur 27 tahun, gurunja meninggal dunia. Sebelum menghembuskan napas jang penghabisan, Yoe berkata kepada muridnja itu: "Peladjaranmu sudah tjukup baik. Rasanja sukar kau mendapatkan tandingan. Tetapi masih banjak jang belum dapat kau peladjari." Ia mengambil sebuah ban pinggang dari kulit dan dua djilid buku dan menerimakannja kepada Ban Teng. "Aku tidak dapat meninggalkan apa2 bagimu. Melainka ban-pinggang ini, jang selalu menjertai aku dalam perantauanku. Lebih djauh sedjilid buku ini jang berisika resep2 obat untuk menjembuhkan berbagai penjakit, dan sedjilid buku ini jang memuat tjatatan2 tentang ilmusilat Ho Yang Pay. Beladjarlah dengan radjin dan giat dengan berpedoman kepada bukutjatatanku itu." Sehabis berkata2, Yoe menghembuskan napas penghabisan diatas pangkuan Ban Teng. Tak dapat dilukiskan betapa sedih dan hantjur luluh hati simurid, jang menangis tersedu2 sekali. Djenazah gurunja diurus sebagaimana
mestinja dan dikebumikan dengan upatjara jang lajak. Bahkan ia sendiri berlaku sebagai "hauwlam", berkabun sebagai putera almarhum. Begitu besar dirasakannja budi ang dilimpahkan gurunja kepadanja, sehingga dihadapan arwah guru itu ia berdjandji bahwa kalau kelak ia memperoleh seorang anak laki2, anak itu akan diakui sebagai anak gurunja dan diberi she (nama keturunan) Yoe. Seluruh Tjiobee gempar membitjarakan peristiwa ini, lebih2 kebaktian Ban Teng kepada gurunja dan perbuatannja itu, jang mengundjukkan bahwa ia seorang ang djudjur-tulus serta mendjundjung tinggi budi-kebaikan ang pernah dilimpahkan atas dirinja. (Banpinggan peninggalan gurunja itu sampai sekarang masih disimpan para ahliwaris Ban Teng). Pada waktu itu toko araknja sudah tidak ada, karena tida terurus benar. Tetapi Ban Teng tidak menghiraukannja. Jang dipentingkannja ialah ilmusilat. Saudara seperguruan Yoe, jakni Goei In Lam jang sudah disebutka diatas, lebih djauh Liem Kioe Djie dan Ong Tjian pwe merasa terharu mendengar bakti Ban Teng terhadap gurunja. Mereka sering mengundjungi Ban Teng di Tjiobee, sebaliknja Ban Teng pun sering menjambangi mereka -
kesempatan mana dipergunakan paman2 -guru itu untu memberi pimpinan lebih djauh pada pemuda itu dalam ilmusilat. Dengan demikian, Ban Teng tidak sadja dapa memahirkan apa jang telah diadjarkan mendiang gurunja, tetapi djuga keahlian chusus daripada ketiga paman guru itu, jang memang masing2 mempunjai keahlian sendiri2 dan menurunkannja kepada Ban Teng. Misalnja Liem Kioe Djie paling ahli antara mereka dala gerakan tangan, mengirim pukulan2 keras dan tjepat disertai kibasan (menggebarkan) tubuh jang dapat menjalurkan sebanjak tenaga kearah lengan dan tindju. Iapun ahli obat2an untuk menjembuhkan luka2 didala tubuh karena terpukul hebat ('siang'), menjambung tulang patah atau sambungan2 anggota2 tubuh jang telah lepas. Ong Tjian Pwee, jang djuga dinamakan Ong Tiauw Gan paling ahli dalam gerakan kaki. Tulang keringnja paling keras dan tendangannja paling hebat. Ia terpandai dalam geraksilat "Tjeng Hong Kui Tie (Angin Sedjuk Menjapu Tanah), pula paham benar ilm bongmeh (memeriksa penjakit orang dengan merasakan denjutan nadi), dapat menjembuhkan berbagai penjakit luar dan dalam, penjakit anak2, penjakit orang perempuan dan orang tua. Goei In Lam terpandai dalam geraka "mengatjip" atau "menggunting" dengan gerakan kaki dan tangan serentak. "Timing"nja paling tepat. Diantara
saudara2-seperguruannja dialah paling paham "laykang", ilmu mengerahkan napas dan tenaga-dalam. Keahlian2 chusus itu semua dimahirkan Ban Teng dibawah pimpinan paman2-gurunja. Putera Liem Kioe Djie, jang bernama Liem Thian I seorang pemuda bertubuh tinggi-besar, bertenaga besar pula dan suaranja seperti guntur, jang djuga pandai ilmusilat, belum pernah dapat mendjatuhkan Ban Teng djika mereka berlatih bersama. Djuga Ban Teng belum pernah dapat mengalahkannja. Thian In pada suatu waktu rupanja mendongkol djuga da berkata kepada ajahnja supaja djangan mengadjar Ba Teng habis2, karena ia pemarah, suka tjari setori dan mungkin kelak menjusahkan mereka. Djawab ajahnja: "Kalau kepandaianku tidak kuwariskan kepada Ban Teng, tiada orang lain lagi......"
Ahli tendangan-geledek kena tendang KETIKA berumur 29 tahun, atas izin paman2-gurunja, Ba Teng membuka sebuah rumah obat dan mendjadi sinshe, karena toko araknja sudah tidak ada lagi dan uangpun habis dikeluarkan untuk beladjar silat dan ilmu obat2an. Sebagai sinshe, nama Ban Teng segera terkenal diseluruh Tjiobee, karena banjak orang telah dapat disembuhkannja dari penjakitnja. Pada suatu hari orang menjampaikan berita kepadanja bahwa di Tjiobee seorang gurusilat bernama Heng Goa Say dari Engteng, jang mempunjai banjak murid da memberi peladjaran dalam kira2 6-7 bukwan, sering temberang dihadapan umum dan mem-busuk2kan nama Ho Yang Pay. Heng Goan Say disohorkan orang untu tendangannja jang liehay dan menggeledek. Katanja ia telah bertemberang, bahwa sekali mengendjo tubuh ia dapat berlontjat sampai keatas genting. Denga sekali tendang ia dapat membikin orang muntah darah, katanja. Barangsiapa tidak pertjaja, ia mempersilahka men-tjoba2nya, Begitu berita jang disampaikan oran kepada Ban Teng. Ban Teng jang agak pemarah, merasa gusar sekali ketika mendengar nama Ho Yang Pay dibusuk2kan. Denga
membekal uang 12 kouw dan sehelai thiap (kartjis-nama) ia mentjari Goan Say dan mendjumpainja dalam sala sebuah bukwan-nja. Setelah berhadapan dengan gurusilat itu dinjatakannja niatnja untuk beladjar pada guru itu, tetapi sebelumnja mau ia men-tjoba2 dahulu kepandaian Goan Say. Terus-terang dikatakannja bahwa ia murid Ho Yang Pay. Goan Say jan pernah mendengar nama Ban Teng, terkedjut djuga melihat tubuh pemuda jang pendek dan kokoh kekar itu. Namu dianggapnja sepi sadja. "Sebelum kau mengudji kepandaian denganku, baiklah kau mentjoba anakku," katanja. Putera Heng Goan Say jang djuga hadir, dengan tida berkata apa2 se-konjong2 menjerbu Ban Teng dengan djotosan kearah dada. Bokongan ini tidak membingungka murid Ho Yang Pay itu. Tjepat ia menjambutnja denga tipu "Kee Boo Tjeng Sit" (Ajam Betina Mementan Sayap): miringkan tubuh untuk mengasih lewat djotosa itu, serentak mendjepit tangan lawan dengan lengan kanannja dan, sambil mengibaskan tubuh, menggedor siku lawan dengan tangan kirinja. Diiringi suara "prrrtak", putera Goan Say terpental dan meringis memegang sikunja. Patah ! Goan Say melontjat bangun dan sambil menggerun
menjerbu dengan tendangan-geledeknja. Ban Teng, jang sudah dengar orang banjak menggembargemborkan tendangan itu, tidak berani membenturnja. hanja mengegosi tubuh. Sembilan kali Goan Say menendang dengar. tendangan2nja susul-menjusul, jang satu lebih lihay daripada jang lain — sembilan kali luput. Ban Teng mendapat kenjataan, tendangan itu tidak selihay ang disohorkan orang. Tetapi baru ia niat membenturnja, Goan Say mengubah silatnja dan setjepat kilat mengiri djotosan kearah Ban Teng, Dengan tidak kalah tjepatnja Ban Teng menangkap lengan lawan dengan tipusilat "I Tien Shou" — menangkap lengan itu dengan kedua tangan, menariknja, lalu mengirim tendangan kebawah ketiak. Tepat sekali tendangan Ban Teng itu, sehingga Goan Sa djatuh tersungkur sambil mendjerit dan mengeluarkan busah dari mulutnja! Tidak sadja murid2 Goan Say, tetapi Ban Teng sendiri terkedjut bukan main. Ia tidak menjangka, tendangannja sehebat itu dan ia merasa menjesal akan akibat2nja. Tergesa2 ia mengobati Goan Say. Ketika bermohon diri, i meminta kembali kartjis-namanja dan meninggalkan uang ang 12 kouw itu. Dikatakannja kepada Goan Say: "Bagaimanapun djua, tetap aku mengaku mendjadi muridmu. Kalau nanti ada lagi jang hendak mentjoba2 kepandaianmu. katakanlah ia harus melawan aku dahulu."
Heng Goan Say tidak berkata apa. Hatinja tetap panas Belakangan ia menutup semua bukwan-nja dan kembali kekampung halamannja. Peristiwa ini menggemparka Tjiobee dan mendjadi buahtutur di-warung2. Belakanga dua orang murid Goan Say mendatangi Ban Teng d Tjiobee untuk .membalas. Pada waktu itu Ban Teng tengah melatih murid2nja — antaranja keponakannja, Lo Boen Lioe, jang pernah turu berlatih bersama ketika Ban Teng masih beladjar pada Yoe Tjoen Gan. Seorang murid Ban Teng minta perkena melajani murid2 Goan Say itu. Achirnja, dalam dua kal gebrakan, kedua murid Goan Say dapat didjatuhkan muri Ban Teng, sehingga mereka berlalu dengan ke-malu2an.
Pendjual-kojok jang temberang BETAPA berangasan pemuda Ban Teng, ternjata daripada peristiwa dibawah ini. Pada suatu hari kepadanja disampaikan kabar, bahwa seorang pendjual kojok jang datang di Tjiobee dan mendjual kojoknja sambil mempertontonkan silat, temberang dihadapan umum bahwa ia pernah mendjatuhkan Goei In Lam. Serta-merta Ban Teng mendjadi marah dan mendatangi pendjual kojok itu jang tengah mengadakan pertundjukan disebuah lapangan. Sipendjual kojok mendjadi gentar ketika mengetahui ia tengah berhadapan dengan Ban Teng. Atas pertanjaan sipemuda, ia menjangkal perna menjiarkan tjerita bahwa ia telah djatuhkan Goei In Lam Tetapi Ban Teng jang sudah marah benar berkata: "Mengaku atau tidak, diluaran orang sudah gempar mentjeriterakannja. Sekarang harus kaubertandin melawan aku. Kalau belum kubuat kau djatuh-bangun tiga kali, belum puas hatiku." Dipaksa berkelahi dihadapan orang banjak, pendjual kojok, apa boleh buat, melajaninja. Maka mulailah ia menjerang, tetapi begitu tjepat serangannja, begitu tjepat pula ia djatuh terlentang, sambil berteriak "Hai ya!" Ba Teng menjambutnja dengan "Kaota", jaitu kaki depannja menjambar tumit kaki-depan lawan, tangan kiri tjepat
sekali menjingkirkan tindju musuh, serentak menjerbu masuk dengan tangan kanan menghantam leher musuh dari samping. Serangan kedua disambut Ban Teng dengan "Siangpee", kaki kiri "mengatjip" tumit lawan. kedua tindju lawan disingkirkan dari samping, kemudian dengan sisi kedua lengan dan tangan menggedorleher atau dada lawan dari samping lain. Kembali sipendjual kojok terpaksa mentjium-tanah. Ketik ia bangun kembali, para penonton datang sama tengah dan mengachiri perkelahian itu. Ban Teng masih begitu marah, sehingga ia ambil semua pekakas silat sipendjual kojo dan membawanja pulang. Sipendjual kojok hanja dapa mengawasi dengan terbengong. Belakangan pekakas2 itu dibawa Ban Teng ke Amoy da dipeserahkan kepada Goei In Lam sambil mentjeriteraka duduknja perkara, Goei hanja tertawa sambil mengangguk2. Tiga atau empat hari kemudian, pendjual kojok itu datang pada Goei dan mengadu bahwa seoran murid Goei jang bernama Lo Ban Teng telah membikin i malu dihadapan orang banjak. Serentak ia minta supaja Goei suka mengembalika pekakas"nja. Goei berpura2 tidak tahu. "Benarkah itu?"
bertanja Goei. "Mungkinkah kau, jang namanja begit kesohor, didjatuhkan Ban Teng? Ban Teng tidak bisa apa2. la masih hidjau dan bodoh," kata Goei lagi sambil mengedjek. Pendjual kojok itu mendjadi menangis karena malu da minta diampuni untuk kesalahannja jang telah mendjelek2kan nama Goei. Barulah Goei mengembalika pekakas2nja dengan pesan supaja selandjutnja djangan ia sembarangan bitjara seenaknja sadja, Mulai waktu itu, tiada pendjual kojok berani datang di Tjiobee tanpa minta izin dahulu kepada Ban Teng.
Pertandingan silat jang dibatalkan SALAH satu sifat Ban Teng jang menjebabkan ia sanga dihargai dan dipandang tinggi diantara kawan2 dan saudara2 seperguruannja ialah sifatnja jang orang Tionghoa namakan 'tam-su-ja': selalu bersedia membela kawan habis2. Pada suatu waktu seorang saudara-seperguruannja Li Kiang, tinggal dikota Tangbwee, telah berbentrokan dengan salah seorang guru silat tjabang Yao Tjong Pay. Guru silat itu telah didjatuhkan Lim Kiang ditempat ramai akan tetapi ia memutarbalikkan duduknja perkara dan gembar-gembor bahwa Lim Kiang-lah jan telah didjatuhkannja. Lebih djauh ia menantang, bahwa kalau Lim Kiang masih belum puas, boleh 'pi-bu', ad silat, lagi dengannja. Ketika mendengar hal itu, Lim Kiang menerima tantanga tersebut. Pihak Yao Tjong Pay lalu membangun sebua panggung 'loeitay', panggung untuk mengadu silat, dan menjiarkan surat selebaran diseluruh kota. Pi-bu aka dilangsungkan dikuil Jo Tjiu Bio dikota Tangbwee. Karena mendengar kabar bahwa pihak Yao Tjong Pay akan mendatangkan semua anggotanja, bahkan ketuanja
(tjiangbundjin) djuga akan turutserta, Lim Kiang menulis surat kepada Ban Teng tentang hal ini. Seterimanja sura itu, Ban Teng lantas menudju Tangbwee. Pada hari jang telah ditetapkan, dihalaman Yo Tjiu Bio telah berkerumun banjak sekali orang jang henda menjaksikan pi-bu itu. Pihak Yao Tjong Pay datang denga kira2 tigapuluh orang dan beberapa antaranja malah membawa sendjata-api. Melihat Lo Ban Teng didamping Lim Kiang, anggota2 Ya Tjong Pay jang pernah mendengar nama Lo Ban Teng ata mengenal-nja, berkasak-kusuk. Namun karena djumla mereka lebih besar, mereka tidak gentar, malah. sebaliknja bersikap tjongkak. Ban Teng madju kemuka dan bertanja, siapakah jang mendirikan loeitay dan bagaimana sjarat2nja? Dari piha Yao Tjong Pay keluar ketuanja. Kepada Ban Ten dikatakannja, bahwa kini suasana telah mendjadi hangat, hal mana sangat disesalkannja, karena bentrokan antara perseorangan mungkin. mengakibatkan bentrokan antara partai dengan partai. Paling baik, kata ketua itu, perselisihan ini didamaika sadja. Ban Teng jang sudah mendjadi mendongkol karena sikap anggota2 Yao Tjong Pay jang djumawa, mendjawab
dengan ketus dan kasar: "Kalian telah terlandjur mendirikan loeitay dan berkumpul dalam djumlah begini besar — habis, mau apa lagi? Kalau kalian mau bertempur seorang lawan seorang, boleh. Mau mengerojok djuga akan kulajani. Lo Ban Teng seorang masih sanggup melajani semua anggota Yao Tjong Pay." Pada waktu ketegangan tengah memuntjak, dengan tiba2 datang sedjumlah orang polisi. Mereka bertanja, siapaka ang mendirikan loeitay? Pihak Yao Tjong Pay mengakui perbuatan mereka, tetapi waktu ditanjakan surat-izinnja mereka tidak dapat memperlihatkannja. Pihak polisi mendjadi marah, lebih2 ketika melihat ada orang2 jang membawa sendjata-api. "Kamu terang ma bikin rusuh disini," kata pemimpin polisi itu kepada orang2 Yao Tjong Pay. Serentak polisi bertindak, membubarkan mereka dengan petjut, sehingga orang2 Yao Tjong Pay pada bubar dan pi-bu mendjadi batal.
Sikaja jang ber-main2 dengan granat SEMAKIN Lama nama Lo Ban Teng semakin kesoho Diseluruh Tjiobee, Engteng, Amoy. Tangbwee da Tjoantju, namanja sadja sudah tjukup untuk menggentarka orang. Ia diberi gelaran "Pek Bin Kim Kong" ata "Malaikat Berwadjah Putih" dari Ho Yang Pay. Tadi gurusilat berani mengadjar ditempat2 tersebut tanpa memohon perkenannja. Tiada pendjual kojok, jang mendjual barang2nja sambil bersilat, berani datang ketempat2 itu tanpa izinnja, Dala kalangan Ho Yang Pay sendiri ia desegani: keahliannja bersilat telah mentjapai taraf sedemikian sehingga dapat ia merendengi keahlian paman2-gurunja jang memimpinnja. Sebagai seorang muda, Ban Teng tidak bebas daripada tjatjat2 dan kelemahan2 jang biasa nampak pada golongan pemuda: agak binal. suka berkelujuran diwaktu malam, sering mengundjungi tempat2 plesiran. Bahkan ia bergaul djuga dengan orang2 jang tergolon pada jang dinamakan 'underworld'. Kebiasaannja ini pada suatu waktu menjebabkannja terlibat dalam sebuah peristiwa jang mengerikan tetapi djuga lutju lebih tegas: berachir lutju! Salah seorang kenaiannja telah berbentro dengan seorang hartawan dikota Tjiobee. Sebenarnj
kesalahan ada dipihak kenalan itu, karena telah mengadakan perhubungan asmara dengan seorang wanita 'piaraan' atau selir sihartawan. Pada suatu malam sihartawan mendapat kabar bahwa selirnja berada disebuah tempat plesiran bersama kenalan Ban Teng itu. Mengetahui bahwa ia tengah berurusa dengan orang2 jang paham silat, sihartawan dengan nekat mendatangi tempat tersebut dengan membawa dua buah granat tangan. entah dari mana didapatnja. Ditempat plesiran itu ia menuntut supaja selirnja dikembalikanlikan kepadanja. Kalau tidak,ia aka mendjatuhkan granat itu disitu. Para hadirin mendjadi kaget dan panik melihat sikaja meng-atjung2kan granat. Hanja satu orang tinggal tetap tenang: Lo Ban Teng. Ia ini bangu dari tempatduduknja dan mendekati sihartawan. Dengan tenang dikatakannja kepada orang itu: ..Silakan! Lemparkanlah granat2 itu!" Sihartawan mundur beberap tindak. "Djika kaudatang dekat, kulepaskan ini!" antjamnja sambil terus meng-atjung2kan granat2-nja. Ban Teng semakin mendekatinja, bahkan men-epok2 bahunja sambil berkata: "Hajo, lepas!...... Hajo, lepaskan, sahabat! Leka sedikit!"...... Effeknja diluar dugaan. Sihartawan tidak melepaskan ata
melontarkan granat2nja, melainkan berbalik dan ter-birit2 lari keluar, sehingga Ban teng mendjadi tertawa terbahak2. Para hadirin, sahabat dan kawan2 Ban Teng, menghampiri pemuda kita. Mereka menghela napas lega dan menggeleng2kan kepala. "Haiya, Ban Teng," kata mereka. "Mengapa kauberlak begitu gila? Bagaimana, kalau tadi ia melepaskan Kaubermain2 dengan djiwa kita!" Ban Teng tertawa. "Kalian tidak mengerti." katanja kemudian "Dia seorang hartawan. Orang kaja umumnj tidak berani mati ! Dia 'kan hanja gertak-sambal belaka......" Mereka tertawa bersama......
Ke Indonesia AKAN mendjadi terlampau pandjang kiranja kisah ini djika kita mengikuti semua sepakterdjang Pek Bin Ki Kong Lo Ban Teng selagi ada di Tiongkok. Tjukup bil ditjeritakan, bahwa selama berdiam di Tiongkok Selatan, belum pernah ia menemui tandingannja. Ahli silat, lebih2 ang berani temberang dan mem-busuk2kan namanja atau nama Ho Yang Pay, seorang demi seorang didatanginja dan didjatuhkannja, sehingga tiada jang berani terhadapnja. Didalam tahun 1927, pada waktu Ban Teng berumur kira2 41 tahun, la mendapat undangan dari seorang pendudu Tionghoa di Semarang, Jo Kian Ting, supaja datang d Indonesia. Jo mengetahui, bahwa di Tiongkok Selatan Ba Teng tiada taranja. Maksud Jo ialah menjuruh Ban Teng bertanding dala sebuah pertempuran diatas sematjam loeitay melawan seorang Negro jang sangai temberang. Negro itu tenga melawat di Indonesia dan mengadakan pertundjukan2 tentang kekuatannja. Dalam pertjakapan2 ia serin mentjela2 silat Tionghoa, jang mana menimbulkan rasa mendongkol Jo. Maka timbullah pikiran padanja untu tjoba2 mempertandingkan Negro itu melawan Ban Teng. Ban Teng sendiri rupanja ada niat untuk datang di
Indonesia, terutama untuk mengundjukkan kepada saudaramisannja, Lo Ban Keng, jang dulu menganggapnja sebaga seorang manusia tidak punja guna, bahwa kini ia seorang ang sangat dimalui dan dihormati. Ia terima baik usul J dan ber-kemas2 untuk bertolak ke Indonesia. Pada waktu itu Lo Boen Lioe sudah ada di Indonesia da tinggal di Tjirebon, dimana ia memberi peladjara ilmusilat Tionghoa. Nama Lo Boen Lioe terkenal sampa di Semarang dan tempat2 lain. Lo Ban Teng datang d Indonesia dengan mengadjak seorang kemenakan lain, Li Tjoei Kang (jang namanja belakangan djuga terkena dalam kalangan khunthao di Indonesia) jang pada waktu it dititipkan pada susiok Lo Ban Teng, jaitu sinshe Sim Jan Tek di Singapura. (Sim kini masih hidup dan bekerdja sebagai sinshe di Singapura, disamping mengadjar sila Tionghoa. Jang mengadjar sebenarnja ialah anaknja jan perempuan. Dalam kalangan persilatan disitu Sim sangat disegani). Meskipun Sim sebenarnja merasa keberatan, namu terpaksa ia melepaskan Tjoei Kang pergi bersama Ba Teng, apalagi karena Ban Teng menerangkan: "Aku tida punja anak laki2. Kepada siapakah dapat kuturunka kepandaianku kalau tidak kepada Tjoei Kang dan Boe Lioe ? Kini Boen Lioe ada di Tjirebon dan kalau ak berdiam di Semarang, tentunja kumerasa kesepian. Tiada
kawan untuk berlatih. Di Indonesia takkan kutinggal lama. Sekembalinja, Tjoei Kang akan kutitipkan pula disini." Kedatangan Ban Teng di Semarang dan desas-desus tentang kemungkinan diadakannja pertandingan antara dia melawan orang Negro itu, menerbitkan kegemparan dala kalangan Tionghoa disitu. Jo segera mengadaka persiapan2 untuk mendirikan loeitay, akan tetapi pemerintah tidak memberikan izin, sehingga pertandingan itu mendjadi batal. Lo Ban Teng, jang sebermula nia berdiam paling lama 8 bulan di Indonesia, hendak kembali ke Tiongkok, akan tetapi atas desakan dan permintaan kenalan2nja, djuga mereka jang pernah disembuhkan daripada penjakitnja selama kediamannja jang pende disini, ia berkeputusan untuk menetap di Semarang. I mengusahakan rumah obat dan mendjadi sinshe. Waktu2nja ang terluang dipergunakannja untuk berlatih dan memberi pendidikan lebih djauh kepada Tjoei Kang. Belum lama berdiam di Semarang, ia berkenalan denga seorang gadis, Go Bin Nio, jang sangat ramahtamah, halu budi-bahasanja dan wadjahnja selalu dihiasi senjuman. Sinshe Lo Ban Teng mendjadi ketarik hati dan denga perantaraan beberapa sanak-keluarga dan sahabat2nja, antara keduanja dilangsungkanlah pernikahan. Nona ini mendjadi njonja Lo jang kedua, karena, seperti telah kita tahu, di Tiongkok Ban Teng sudah punja isteri dan seorang
anak perempuan,Lee Hwa.
Ba rongsa y berhidung hidjau SETAHUN kemudian, daripada perkawinan ini terlahirlah seorang anak laki2 jang dinamakan Siauw Hong. Sinsh kita mendjadi girang tertjampur sedih: girang karena untu pertama kalinja ia memperoleh seorang anak laki2, jang telah lama di-idam2kannja; sedih karena mengingat umurnja jg. telah landjut, jang mana menimbulkan keragu2annja, kalau2 ia tidak dapat menunggu sampai ana itu besar-dewasa dan mendidiknja se-baik2nja. Mengingat djandjinja kepada marhum guru nja Yoe Tjoen Gan, Ban Teng lalu bersembahjang kepada arwah guru itu, bahwa anak itu hendaknja dianggap sebagai anak gurunja dan diberinja she (nama-keturunan) Yoe pula. Pada tahun berikutnja (1931) lahirlah anak laki2 jan kedua, L o Siauw G o k, jang kini mewarisi keahlian sila dan pengetahuan ajahnja tentang ilmu obat2an. Dalam tahun 1931 Ban Teng menimbulkan gempar masjarakat Tionghoa dipulau Djawa dengan mengadaka pertundjukan2 Barongsay Berhidung Hidjau, diserta pertundjukan2 silat. Menurut adat-kebiasaan dan aturan di Tiongkok, orang jang berani mengadakan pertundjukan2 Barongsay Berhidung Hidjau jang dinamakan "Tjing Pi Say", berani pula dan bersedia diudji keahliannja dala
ilmu silat oleh siapapun djua. Maksud Lo Ban Teng adalah untuk mentjari tahu, kalau dipulau Djawa terdapat guru2 silat Tionghoa jang pandai. Turutserta dalam pertundjukan2 itu ialah Lo Boen Lioe Lim Tjoei Kang dan Tan Hoei Liong, lebih djauh murid Eng Bu Kwan jang dipimpin Lo Boen Lioe dan Tan Hoe Liong. Pertundjukan2 diadakan di Semarang, Solo dan Djokj serta mendapat penjambutan luar biasa hangat daripada penduduk2 Tionghoa. Selama pertundjukan2 ditempelka poster2 atau plakat2 jang berbunji: "Tjing Pie Pek Ba Pay, (Hidung Hidjau, Alis Putih), Bwee Pa, Tju Li La (Kalau mau tjoba2, silakan naik),Kia Sie Emtang La (Kalau takut mati, djangan datang disini), Pa Sie Ka Ti Tay (Kalau kena pukul sampai mati, kubur sendiri)". Poster2 jang bunjinja agak temberang dan 'beranimati' it tidak mendapat sambutan dari pihak ahlisilat2 Tionghoa ang pada waktu itu sudah ada dipulau Djawa. Melainka belakangan timbul reaksi jang berupa surat2-kaleng jang memaki2 Lo Ban Teng, antaranja ada jang berbunji: "Engkau djangan membuka mulut besar. Kutendang ka dengan sebelah kakiku, nanti kau terpental kembali ke Tiongkok!"
Berkenaan dengan surat2-kaleng itu sinshe Lo Ban Ten memasukkan iklan dalam koran2 Tionghoa, mengundang mereka jang begitu gagah bermain pena supaja memperkenalkan diri dengan terus-terang, dan memberikannja petundjuk2 setjara berterang. Atas iklan ini tidak terdapat sesuatu reaksi. Didalam pertundjukan barongsay itu, sinshe Lo Boen Lio memperlihatkan kemahirannja dengan bersilat dengan "sianggan", sematjam sendjata aneh jang berbentuk mirip potlot, udjungnja seperti bidji kana dan gagangnja pende pesegi lima seperti belimbing. ("Sianggan" pun dinamaka "Poan Koan Pit"). Sinshe Lim Tjoei Kang memperlihatka kekuatan 'laykang' dengan rebah terlentang, ditindih 4 karung beras dan diduduki lima orang dewasa jang mengibarkan2 bendera pesegi-tiga dengan menggunakan tenaga pinggang. Bendera itu dikibarkan sehingga melukiskan huruf "Gio Beng", nama pemimpin Ho Yang Pay. Sinshe Tan Hoei Liong mempertundjukkan kekuatan perutnja denga ditimpah sebuah batu Tiongkok (siang-tjio) besar. (Setelah ia wafat, batu itu didjadikan bongpay, nisan, kuburannja). Lebih djauh ia menelan pedang dan memuntahkannja kembali dengan kekuatan pernapasan ('laykang'). Sinshe Lo Ban Teng memberi tjeramah tentang intisar
ilmusilat Tionghoa tjiptaan Tat Mo Tjouwsoe, jan terpandang sebagai pentjiptanja, dan Thio Sam Hong Lebih djauh ia memberi demonstrasi tentang tjara latihan, tentang hasil latihan, tentang tenaga getaran atau kibasan tubuh, jang mentjontoh pada kibasan tubuh hewan2. Karena biaja2 pertundjukan besar dan tudjua pertundjukan2, jakni mentjari tahu ada atau tidak adanja ahli silat2 Tionghoa pandai disini, tidak tertjapai, pertundjukan itu diberhentikan.
Djandji jang te rpenuh i DALAM pada itu, nj. Lo Ban Teng jang ke-1, jang ada d Tiongkok, telah mendapat dengar dari orang2 jang kembali dari Indonesia, bahwa suaminja telah terkena "guna2" seorang perempuan disini. Kabar2 itu banjak di-lebih2kan, bahkan ada jang mengatakan bahwa sinshe Lo Ban Ten hidup mewah dengan isterinja jang kedua, naik-turun mobil dan, kalau mau kirim uang kepada anak-isterinja di Tiongkok, selalu dihalang2i isteri ke-2 itu. Memang benar, selama suatu waktu agak lama ia pernah tidak mengirim uang kepada isterinja jang ke-1, akan tetapi sebabnja ialah uangnja telah habis membiajai pertundjukan2 Barongsay Berhidung Hidjau itu. Karena kabar2 jang di-lebih2kan itu, maka atas desaka dan dengan persetudjuan para keluarga, njonja Lo Ba Teng jang ke-1 bersama putera-pungut mereka Lo Siauw Eng, anak perempuan mereka Lo Lee Hwa dan suami Le Hwa (Lee Hwa sementara itu sudah dewasa dan menikah Tentang Lee Hwa, disebelah bawahan akan ditjeriteraka lebih djauh. Pen.) bertolak ke Indonesia. Maksud mereka adalah untuk "menolong sinshe Lo Ba Teng dari tjengkeraman perempuan djahat" itu. Sinshe Lo Ban Teng jang tengah pusing karena kesulitan keuangan
sebagai akibat pertundjukan Barongsay, tambah lagi menerima banjak surat-kaleng jang me-maki2nja, mendjadi bingung djuga ketika menerima kabar bahwa isterinja jang pertama akan datang dari Tiongkok. Ia chawatir aka terdjadi onar dalam rumah-tangganja. Akan tetapi isterinja jang ke-2 menghiburkannja. "Merek sudah lama tidak pernah berdjumpa denganmu," begitu kata nj. Go Bin Nio", maka sudah barang tentu merek merindukan kau dan ingin melihat keadaanmu disini. Ini memang sudah sepantasnja. Kalau mereka datang, harus kita menjambutnja sendiri. Akan kuperlakukan mereka sebagai saudara dan anak2ku sendiri." Alangkah terperandjatnja nj.Lo jang ke-1 (Lie Hon Lan),ketika di Priok mereka disambut dengan begit ramahtamah oleh nj.Lo jang ke-2 (Go BinNio), sampai mereka tidak dapat mengatakan apa2, Tiba dirumah sinshe Lo Ban Teng di Semarang, nj. Go memperlakukan nj. Li dan anak-mantunja seolah2 tetamu2 agung. Segala keperluan mereka dilajani sendiri oleh nj. G dengan sangat manis-budi dan penuh kasihsajang dan hormat, sehingga nj.Lie mendjadi tertjengang. Prasangk dan rasa bentji terendap 'madu' itu, jang terkandung dalam sanubarinja semasa masih di Tiongkok dan dalam perdjalanan, mendjadi bujar.Sebagai gantinja timbullah
rasa suka dan simpati, sehingga kedUa njonja Lo it achirnja memandang satu sama lain lebih2 daripada saudara sekandung. "K.uheran," kata nj. Lie pada suatu hari kepada nj. Go orang mengatakan kepadaku bahwa orang perempuan di Indonesia djahat2. Tetapi mengapa kau begini baik dan memperlakukan aku begitu ramahtamah dan menjajang?" Djawab nj. Go: "Perempuan djahat terdapat dineger manapun djua. Di Indonesia tidak semua perempua djahat. Ada jang baik. Di Tiongkokpun tidak semua perempuan baik. Ada jang djahat, malah jang lebih djahat daripada di Indoesiapun ada. Terhadap tatji,bagaimana mungkin kuberbuat djahat? Tatji tidak salah apa2. Kalau aku ada ditempat tatji dan suamiku merantau kelain negeri, menikah dengan seorang perempuan lain dinegeri itu, kemudian kudatang menjambanginja, lalu perempuan itu mengadja kuberkelahi — bagaimana rasa hatiku? Aku tidak dapat berbuat demikian terhadap tatji......" Kata2 ini jan diutjapkan dengan airmata berlinang, menandakan ketulusan hati, menimbulkan rasa terharu pada nj. Lie da ang lain2. Ketika tiba waktunja untuk nj. Lie dan anak-nja kembali k
Tiongkok, dikatakannja kepada nj. Go: "Aku akan pulan ke Tiongkok — entah kapan dapat kita berdjumpa kembali. Tetapi djika benar engkau menjajangi aku dan menganggap aku sebagai saudaramu sendiri, seperti kaukatakan, marilah engkau dan Ban Teng turut kami menindjau ke Tiongkok. Bawalah anak2mu. Ban Tengpun bisa bertem lagi dengan sanak-keluarga disana." Dengan tiada ragu2 nj. Go menerima adjakan itu. Demikianlah Ban Teng dan isterinja jang kedua, sambil membawa kedua anak mereka jang masih ketjil, Siauw Hong jang sedang mungil2nja dan Siauw Gok jang masi baji, bertolak bersama nj. Lie, Lee Hwa, suami Lee Hw dan Siauw Eng ke Tiongkok. Mama-mertua Banteng jan ada disini sangat mengasihi kedua tjutjunja, maka dipesannja anaknja supaja kedua anak itu dibawa pulang kembali ke Indonesia — djangan ditinggalkan di Tiongkok. Tiba di Tiongkok dan dikampung halamannja, Ban Teng dan keluarganja tidak segera menudju kerumah mereka, melainkan langsung kemakam gurunja, Yoe Tjoen Gan. Disitu mereka bersembahjang, dimana Ban Ten memasang hio dan menjatakan bahwa ia mengadja anaknja Siauw Hong, jang terlahir di Indonesia dan jan telah diakuinja sebagai putera marhum guru itu. Setela sembahjang, barulah mereka pulang kerumah.
Dirumah sendiri, nj. Lie Hong Lan balas memperlakuka nj. Go Bin Nio dengan sangat ramahtamah. Ia melarang nj Go melakukan sesuatu pekerdjaan dan segala sesuatu ia sendirilah jang lakukan, sampai2 sanakkeluarganja merasa mendongkol dan menegurnja.Djawab nj. Lie: "Kalian tidak tahu, dirumahnja di Indonesia kam diperlakukan begitu ramahtamah sebagai tetamu2 agung. Maka dapatkah kubalas kebaikannja itu denga kedjahat2an? Walaupun kukenal dia belum lama, namun kujakin dan tahu benar, dia seorang baik dan berbudi. Maka kuanggap dia sebagai saudara sekandung." Kira2 7 bulan kemudian, ketika Ban Teng akan kembali ke Indonesia bersama isterinja jang ke-2 dan kedua ana mereka, nj. Lie nampak masgul sekali. Kepada nj. G dikatakannja: "Dengan sesungguhnja aku merasa bera berpisah denganmu. Ada sesuatu jang ingin kuminta daripadamu, kuharap sudilah kaupertimbangkan. Engkau masih muda, masih bisa memperoleh banjak anak. Aku sebaliknja sudah tua, tak mungkin kuperoleh seoran putera untuk menjambung turunan Ban Teng. Maka djika sungguh2 kautjinta kepadaku, tinggalkanlah salah seorang anakmu disini supaja kelak dapat mengurusi harituaku. Djika seorang daripada darah dagingmu tertinggal di
Tiongkok, sudah tentu suatu waktu akan kau kembali lagi disini, sehingga ada harapan kita berdjumpa pula." (Harapan ini belakangan ternjata hampa: sampai ia menutup mata nj. Lie tidak dapat bertemu lagi dengan nj. Go dan suaminja). Nj. Go merasa bingung, jang manakah diantara kedu anaknja akan ditinggalkannja di Tiongkok? Keduanja sangat dikasihinja. Lain daripada itu, Siauw Hong jan mungil adalah buahhati neneknja di Indonesia, sedangka Siauw Gok masih baji. Achirnja, setelah bermufakata dengan Ban Teng, diambilnja keputusan untu meninggalkan Siauw Gok sadja: anak ini belum tahu apa dan tentu tidak mendjadi terlalu sedih djika ditinggalkan. Nj. Lie girang sekali dengan keputusan nj. Go. Tetapi ap mau, ketika hari untuk keluarga Ban Teng bertolak sudah semakin dekat, dengan se-konjong2 Siauw Gok terseran penjakit buang2 air. Segala matjam obat tiada jang menolong. Maka pada waktu hari berangkat sudah tiba, nj. Lie berkata kepada nj. Go: "Anak ini masih begini ketjil lagi menderita sakit begini hebat. Bagaimana dapa kurawatnja? Lebih baik kau tinggalkan Siauw Hong sadj disini." Achir2 nj. Go dan Ban Teng mengalah. Siauw Hong ditinggalkan dan Siauw Gok dibawa pulang ke Indonesia
Aneh sekali, demi kapal bergerak meninggalka pelabuhan, penjakit Siauw Gok dengan tiba2 mendjad sembuh sendiri! Sinshe Lo Ban Teng meng-geleng2ka kepala oleh karenanja. "Haiya," katanja kepada isterinja",ar-wah Hoa Say (sebutannja terhadap mendiang gurunja, Yoe Tjoen Gan) sungguh sakti. Telah kudjandjikan arwah beliau untuk menjerahkan Siauw Hong sebagai puteranja. Engka hendak menjerahkan Siauw Gok. Tetapi rupanja Hoa Sa tidak mau!......"
Anak2 Shinshe Lo Ban Teng PERKAWINAN sinshe Lo Ban Teng dengan nona Go B Kio telah diberkahi Jang Maha Kuasa dengan banjak anak Sama sekali mereka memperoleh tidak kurang daripada 12 orang anak tidak terhitung Lee Hwa, dari isteri sinshe L ang ada di Tiongkok. dan Siauw Eng, putera pungu mereka. Anak2 itu ialah Siauw Hong (lahir 1930) da Siauw Gok (lahir 1931) jang surdah ditjeriterakan, kemudian Siauw Bok (lahir 1934), penggemar seni musi dan tari2an). Siauw Tiauw (djago ping-pong) jang tidak asing bagi peminat2 olahraga itu disini). kesemuanja dilahirkan di Semarang. Dalam tahun 1933. ketika keluarga Lo pinda dari Semarang dan tinggal bersama sinshe Lo Boen Lioe d Kongsi Besar. Djakarta, terlahirlah seorang ana perempuan Siauw Loan (jang kini tengah melandjutka peladjaran di Tiongkok), dalam tahun jang berikutnja mereka dikurnia pula seorang puteri, Siauw Gim. Dalam tahun 1941, ketika tentara Djepang menjerb Indonesia, keluarga Lo pindah ke Solo, mula2 diruma sinshe Lim Tjoei Kang, belakangan berumah sendiri. Pad waktu itu nj. Lo tengah berbadan dua, tetapi ketika djangka waktu mengandung jang normal telah lalu (9 bulan 10 hari), njonja Lo belum djuga melahirkan anak.
Sesudah mengandung tidak kurang daripada 12 bula lamanja, ketika tentara Djepang sudah masuk da penerangan dinjalakan kembali, lahirlah seorang ana laki2, Siauw Tjoen. Berkenaan dengan lamanja didala kandungan — tidak lahir pada waktunja — sinshe Lo Ba Teng mengatakan anak itu "Gek But" (anak jang keras kepala, kepalabatu). Ketika masih ketjil kepalanjapu djantuk sehingga ajahnja sering memanggilnja "Ong Nga". Sesudah Siauw Tjoen, terlahirlah seorang anak perempua Siauw Ling (1943) lalu Siauw Tjiok. djuga seorang ana perempuan (1947), kemudian seorang anak laki2 Siauw Tjioe (1949), Siauw Koan (pr., tahun 1952) dan ana keduabelas Siauw N'jo, pr. (1955). Beberapa antara anak2 itu djuga sangat mahir dalam ilmusilat, djuga Lee Hwa, anak perempuan jg. ada di Tiongko itu. dari isteri sinshe Lo jang pertama. Lee Hwa mula dilatihnja semendjak umur 14 th., jakni ketika sinshe Lo berumur 34 th. Anak ini punja bakat baik sekali dan sangat tjerdas, Sehingga peladjaran silat jg. diberikannja tjepa sekali dapat dimahirkannja. Pada masa kanak2 Lee Hwa memakai kuntjir (tauw-tjang Pukulannja begitu keras. sehingga diwaktu berlatih. apabila ia menggerakkan tubuh sambil memukul, kuntjirnja menjabat seperti udjung tjemeti dan tempo2 terlibat
didahinja sendiri. Pada masa hidupnja, sinshe Lo serin bertjeritera kepada penulis tentang Lee Hwa ini Dikatakannja. meskipun ia seorang anak perempuan. pukulanja Lee Hwa masih lebih hebat daripada Siau Gok. puteranja jang kini boleh dikatakan mewarisi seluru keahliannja. Orang jang pernah menjaksikan Siauw Go berlatih dan melihat betapa keras pukulannja, dapat membajang-bajangkan sendiri betapa hebat pukulan tatjinja. Lee Hwa itu. Pada suatu waktu, demikian ditjeriterakan, di Tjiobee ad keramaian. Djalanan penuh sesak dengan penonton2, djuga ang datang dari kota lain, antaranja sudah tentu terdapat pemuda2 jang tjeriwis, jg. tidak sadja bermaksud menonton tetapi djuga ingin memuaskan mata dgn. melihat gadis2 tjantik — bahkan tempo2 menggodanja. Djuga Lee Hwa. dengan diantar seorang bibinja. ber djalan2 menjaksikan keramaian itu. Melihat Lee Hwa jan tjantik. apalagi hanja berdjalan berdua tanpa diantar seorang laki2, beberapa pemuda tjeriwis berlaku tengi dan bertingkahlaku sebagai tjatjing kena abu. Mereka menguntit, mengeluarkan kata2 jang tidak pantas. dsb. Lee Hwa diam sadja. Beberapa antara pemuda2 tjeriwis itu semakin berani da
seorang antaranja mendekati Lee Hwa. Ia tjoba menjentu buah dada sinona,tetapi njatanja ia mentjari penjakit sendiri: dengan ketjepatan sebagai kilat, Lee-Hw mengegos dan serentak menjikut iga sitjeriwis itu. Akibatnja, sitjeriwis mendjerit saking kesakitan da berdjongkok ditengah djalan sambil meringis-ringis2 Lee Hwa berdjalan terus, se-olah2 tiada terdjadi sesuatu. Ketjuali rombongan pemuda tjeriwis itu, peristiwa ini tiada jang ketahui diantara keramaian itu. Namun seorang pemuda, jang tengah menonton dari atas loteng sebuah rumah melihatnja djuga. la merasa bersjukur, sitjeriwis mendapat bagiannja. Serentak iapun merasa ketarik hati dengan Lee Hwa. Belakangan pemuda itu. jan bernama Tjiok Kim Gwan. menjuruh orang tuanja melama Lee Hwa. Lamaran diterima baik. karena ia seoran pemuda baik dan sopan, sehingga demikianlah mereka menikah.
Ahliwaris Ho Jang Pay SEBAGAIMANA telah dikatakan. diantara ana mendiang Lo Ban Teng, jang dapat mewarisi keahlian sila dan pengetahuan tentang obat2an daripada ajahnja adalah Lo Siauw Gok. Ia kini melandjutkan usaha mendian ajabnja dalam ilmu pengobatan Tionghoa. Mengenai kemahirannja dalam ilmusilat golongan Ho Jang Pay, jan tadinja mendjadi keahlianja mendiang sinshe Lo. bolehla dikatakan bahwa ia ahliwaris Ho Jang Pay di Indonesia. Namun Siauw Gok hampir2 sadja gagal. Semendjak masi kanak2 ajahnja sudah mulai melatihnja, akan tetapi pada waktu itu ia berlatih setjara atjuh-tak-atjuh. Minat untu memahirkan ilmusilat tidak ada padanja. la lebih suka bermain2 bersama kawan2 diluar rumah, bahkan mengadu kelapa dan ......mengadu ajam tempo2, seperti lazim ana laki2 jang agak nakal dan binal. Disekolah iapun sering berkelahi, tetapi kebanjakan ia menderita labrakan, sehingga kawan2nja mengedjeknja. "Anak guru silat tidak punja kemampuan apa2" demikia edjekan tersebut. Lama2 ia mendjadi sakit hati dan ma djuga ia memperhatikan peladjaran ilmu silat. Dalam umur 17 tahun barulah ia berlatih dengan sungguh2. Sinshe Lo mendjadi girang sekali dan menggemblen
puteranja itu dengan saksama. Akan tetapi karena pada waktu itu beliau sudah berumur 60 tahun dan hatiketjilnja bergelisah, karena diantara putera2nja belum ada jang kelihatan akan dapat mewarisi keahlianja kelak. maka ia ingin Siauw Gok lekas2 pandai sehingga ia mendidi Siauw Gok dengan tangan besi. Bengis sekali pendidika sanj ajah, sampai2 Siauw Gok sering diumpat djik berbuat kesalahan2 dalam latihan. Tjara pendidikan itu membawa effek sebaliknja daripada ang diinginkan sinshe Lo. Siauw Gok bukan mendjad tjepat pintar. sebaliknja mendjadi semakin bebal dalam peladjaran silatnja,karena belum2 ia sudah ketakutan dimaki2. Tiap pagi. djika ajahnja sudah menantikannja diloteng untuk berlatihan dengan kaki dirasakannja berat sekali Siauw Gok mendaki tangga menudju ketempa latihan ditingkat kedua itu. Sinshe Lo semakin lam semakin tidak sabar mengadjarnja dan semakin pedas memakinja. sehingga kian lama semakin berkuranglah napsu beladjar Siauw Gok. Bahkan suatu waktu ia sudah mendapat pikiran untu berhenti beladjar pada ajahnja dan mentjari seorang guru lain sadja. Ibu Siauw Gok mendjadi kasihan kepad puteranja Istrinja seringkali menasehati suaminja supaja djangan bersikap terlampau keras.
"Bagaimana mungkin anak itu lekas pandai "ilmu silat." kata njonja Lo kepada suaminja, "kalau engkau selal memarahinja dan menghardik2nja dengan bengis. Lagipula, seorang jang baru beladjar. tidak mungkin dapat melaksanakan segala gerak-gerik jang diadjarkan tanpa sesuatu kesalahan. Hendaknja sabar2 sadja. lama2pu tentu ia mahir." Dalam pada itu, Siauw Gok sendiri mendapat edjekan daripada beberapa orang keluarganja. Kata salah seoran antaranja kepada Siauw Gok: "Engkau tidak mau beladia silat dengan giat. Semakin dimaki ajahmu, semakin ka mendjadi malas. Engkau seorang anak jang tidak punja guna. Hanja pandai berkelujuran sadja. Nanti kalau ajahm meninggal dunia, pastilah kaumendjadi djembel." Nasihat pedas ini se-olah2 membuka pikiran Siauw Gok Ia bertekad bulat untuk mempeladjari ilmu silat denga sungguh2, begitupun ilmu obat2an Tionghoa. tidak perduli bagaimana bengispun ajahnja mendidik dan memperlakukannja. Selama dua tahun pertama Siauw Gok tidak menerim banjak matjam peladjaran. melainkan beberapa djenis sadja jang merupakan pokok2 dasar ilmu silat Ho Jan Pay. Jang lebih diutamakan pada masa peladjarannja it ialah memperkembangkan pernapasannja (laykang) dengan
latihan jang dinamakan Tjing Tjo Tao Kie, lebih djau latihan Kao-ta dan Tjen-tjeng dgn. kaki-tangan kiri da kanan;memperkembangkan kerasnja pukulan dan dajatahan terhadap pukulan lawan; ketadjaman perasaan; ketjepatan; timing; menggerakkan kaki dan tangan dengan berbareng; melempar tjioso dan memperkeras lengan2 tangan dengan djalan, "go kie" mengadu lengan dengan seorang partner. Pada tahun 1952 Siauw Gok jang peladjaran silatnja suda dapat diandalkan, pula sudah paham ihmi obat2an Tionghoa dan dapat menjembuhkan penjakit2, pindah ke Bandung. Disitu ia mengusahakan sebuah toko obat. aka tetapi kurang beruntung; dalam tahun 1954 ia pindah lagi 'ke Djakarta disebabkan ia mendapat luka2 terbakar lantaran kompor meledak. Mulai waktu itu ia membant toko obat2an ajahnja di Djelakeng.
Kep alaba tu te tap i disajang LAIN daripada Siauw Gok, djuga, adiknja jang ketudju Siauw Tjoen, mahir pula dalam ilmu silat warisan ajahnj itu. Anak ini, jang kini berumu antar 17—18 tahun. benar seperti dikatakan sinshe Lo pada waktu dilahirkannja. aga ,"ngekbut", keras kepala alias kepalabatu. Pada waktu ia sudah agak besar. tidak djarang ia menimbulkan mendongkol mendiang ajahnja karena sikapnja jang selalu suka membatu djika disuruh melakukan sesuatu pekerdjaan. Alasannja ada2 sadja: ada kalanja ia mengatakan sibuk dengan peladjaran sekolah, atau lain2 lagi, supaja terbebas daripada tugas jang diberikan ajahnja. Seringkali mendiang ,sinShe Lo djad naik darah dan mentjomelinja. Tetapi Siauw Tjoen adalah jang paling sering menghibur ajahnja dan seringkali mengawani ajab itu mengobrol. Saudara2nja jang lain begitu menghormat sang ajah. sehingga tidak berani datang dekat djika tidak dipanggil. lebih2 mengobrol dengan ajah itu. Tjuma Siauw Tjoe seorang jang berani. Betapapun seringnja ia menimbulkan mendongkol ajahnja, tiap kalinja ia dapat menghilangkan pula rasa mendongkol itu dengan tingkahlakunja jang menjebabkan sang ajah
mendjadi suka kepadanja. Pada suatu hari sinShe Lo menjuruhnja Siauw Tjoe menggiling obat. Seperti biasa, Siauw Tjoen tjob mengegos daripada perintah itu. Kali ini dengan alasan: "Banjak peladjaran sekolah. Sebentar sadja saja giling." Sinshe Lo, jang memang tidak bisa melihat anak2nj menganggur sadja, apalagi malas2an, mendjadi marah bukan main dan memaki habis2. Siauw Tjoen tidak menjahut. djuga tidak mendjalanka perintah itu. melainkan pergi keluar dan duduk diruangan depan. Sinshe Lo bertambah marah, "Anak kurang adjar," katanja. "Kalau disuruh mengerdjakan apa2. ada sadja alasannja. Kalau dimarahi,tidak mau bitjara da menganggap orang tua seperti patung!" Setelah itu sinshe Lo pergi kedepan. Melihat Siauw Tjoe duduk diruangan itu. waktu melalui anak itu ia membuang muka. Ketika masuk kembali. sang ajah membuang muka lagi. Siauw Tjoen bangun dan menghampiri ajahnja. Setjara mandja, bahkan sambil mengusap2 belakan ajahnja, dikatakannja: "Lihatlah itu! Bukan saja jang tida mau bitjara, tetapi ajah jang tidak mau diadjak bitjara. Waktu ajah keluar tadi, melihat saja lantas ajah membuang muka. Masuk kedalam, ajahpun berbuat begitu. Tetapi
selalu saja jang disalahi......" Sinshe Lo tidak dapat tahan lagi hatinja. Amarahnja lantas bujar dan ia malah mendjadi...... tertawa! Ajah dan ana mendjadi berbaik kembali. Pada tahun 1955 sinshe Lo mulai kurang awas matanja. Kedua matanja bersejaput (staar), jang semakin lama semakin menghebat sehingga hampir2 tidak dapat melihat. Selaput ini dioperasi dalam tahun 1957 dalam rumah saki dr. Jap di Djokja. Akan tetapi pada waktu itu rupanja mulailah masa gelapnja. Sebulan lebih sekembalinja dari Djokja ia terseran penjakit njali jang hebat sekali, sehingga terpaksa masu dalam rumah sakit Jang Seng le untuk mendjalanka operasi. Empatpuluh enam hari ia tinggal dalam ruma sakit. Sekeluarnja dari rumah sakit, kesehatannja tida pulih seperti sediakala lagi. Belakangan ia menderita saki lagi, jang menjebabkannja meninggal dunia pada tgl. 27 Djuli 1958 dalam usia 72 tahun.
Jang mungkin dan jang nonsens PADA masa hidupnja sinshe Lo sering mengobrol denga anak2nja dan sahabat2nja tentang ilmu silat dan pengalamanja. Dalam. kongkou2 itu ia memberi penjuluha berharga kepada mereka. se-olah2 tengah memberi tjeramah2, jang membuka mata mereka tentang apa jang mungkin dan apa jang nonsens dalam ilmu silat. Kalau lagi ber"tjeramah demikian ia tahan berbitjara sampai berdjam2 lamanja. Pernah sekali ditjeriterakannja, bahwa didalam buku2 tjeritera silat seringkali dituturkan tentang gurusilat jang amat kesohor jang kalau tidur dirumahnja sendiri. tida berani orang membanguninja setjara biasa, melainkan dari djauh sadja dengan menggunakan kaju pandjang atau toja. Chawatir ia kaget dan otomatis memukul, katanja. "In sugguh tidak masuk pada akal." kata sinshe Lo. "Tjeritera itu terlampau dilebih2kan. Pikir sadja, kalau itu mendjadi kebiasaan sigurusilat, tent anak-isterinja bisa tjelaka. Siapa tahu, sianak atau isteri kelupaan dan membangunkanja setjara biasa tentulah kena pukul sehingga terluka parah! ...... Kalau tidur dirumah orang lain dalam perantauan didala kuil2 atau ditengah hutan. sudah barang tentu orang harus
siaga disegala waktu terhadap kemungkinan diserang. Tetapi dalam rumah sendiri lain perkara......" Pada kesempatan lain diundjuknja, bahwa ada jang bilang, djika orang sudah mahir silat, tidak bisa memperoleh anak. Dikatakannja: "Lihat sadja berapa banjak anakku. Tidak kurang daripada duabelas orang! Sampai2 ak kewalahan. rasanja!" Terhadap pembilangn, bahwa diwaktu hendak berlatih silat pada pagihari, sebaiknja djangan membuang air ketjil supaja air seni itu dapat mendjadi keringat, sinshe Lo berkata: "Bohong! Sebelum berlatih, malah harus membuang ai ketjil dahulu, supaja tidak mendjadikan penjakit. Djuga harus makan sedikit agar usus2 kita tidak terlalu banja mengeluarkan zat asam jang dapat menimbulkan sakit pada kantong nasi, dsb." Pada suatu ketika salah seorang sahabat bertanja: "Benarkah katanja dapat orang mempeladjari"kiu sien" (menarik masuk bidji kemaluan) dan "tiap kut" mengatur rapi duduknja tulang-belulang sendiri)?" Pertanjaan ini menjebabkan sinshe Lo tertawa terbahak2. Sebaga djawaban dituturkannja sebuah tjeritera: "Pada suatu peristiwa di Tiongkok ada seorang guri sila
ang mempunjai seorang murid sangat tjerewet dan banja kali mengadjukan pertanjaan2 jang menjebalkan serta aneh2. Pada suatu hari,saking mendongkolnja sang gur mendjawab salah satu pertanjaan murid itu: "Kau harus beladjar 'kiu sien' dan 'tiap kut'. Kalau kau sudah mahir benar, tiada seorang manusia dapat datang dekat denganmu." Simurid ketarik hati, tetapi berbaren bingung. Padahal ia Tidak tahu, bahwa gurunja sudah djengkel benar dan dengan kata2 itu seolah2 menjumpah muridnja supaja lekas2 mati — karena kalau bidji kemaluan sudah masuk kedalam, artinja orang jang bersangkutan hampir mati dan kalau tulang-belulang teratur beres, tentu orang itu sudah mati benar2 dan tinggal rerongkongnja sadja......" Dapatkah orang melontjat sekaligus sampai keatas gentin rumah seperti sering ditjeriterakan dalam tjeritera2 silat? bertanja salah seorang lain. Djawab sinshe Lo: "Manusia bagaimanapun dilatih atau berlatih, tidak mungkin mwelontjat lebih tinggi daripada tubuhnja sendiri. Ketjuali djika ia melontjat dengan gala atau mendjambret sesuatu sebelum melontjat Lagipula ini harus dilakukannja denga memakai awahan (aanloop) (Dalam perlombaan2 atletik ada jang dapa melontjat,sampai 2 m.lebih, tetapi ini harus memakai
aanloop, lagipula melonjatnja tidak dengan mengangkat kedua kaki berbareng melalui ritangan, melainkan setjara agak menunggangi rintangan itu atau dengan menggulingkan tubuh sesudah ada diatas rintangan. Peo.). — Jang dapat melontjat setinggi beberapa kali tubuhnja iala mahluk2 jang lututnja tertekuk kebelakang. misalnja kutjing, andjing, kidjang, belalang, djangkrik, dll. Kala ada orang jang mengatakan dapat melontjat setinggi genting rumah — dia djusta. Djika benar2 ia dapat berbuat begitu, mudah sadja ia mentjari uang dalam djumlah2 besar. Kumpulkan sadja orang disuatu lapangan, seperti lapanga basketball di Prinsenpark, dengan mendjual kartjis masuk. Lalu memberi demonstrasi melontjat itu. Dengan dua-tig kali melontjat sadja ia dapat mendjadi kaja, Akupun, kalau dapat melontjat setinggi itu, mau berbuat begitu. Siapa si ang tidak mau mendjadi kaja?"
Gurusilat tidak mungkin kena pukul? BERTANJA seorang sahabat lain: "Benarkah seoran gurusilat jang benar2 liehay, pada waktu 'twitju' berlatih dengan muridnja. tidak bisa kena pukul? Dan kalau kena djuga, tandanja belum mahir benar?" "Tiap2 guru," djawab sinshe Lo, "betapapun liehaynja, masih bisa kena pukul pada waktu twitju jakni kalau ia mengadjar murid itu dengan sungguh hati dan memberi kesempatan kepada simurid untuk masuk menjerang. Tjuma bedanja, pukulan itu tidak akan kena telak, karena ia sudah terlatih benar dan berpengalaman. Kebanjakan guru tidak mau kena tersentuh tindju muridnja pada waktu twitju — maka ia tidak memberi kesempatan untuk simurid melaksanakan serangan. Tiap kali simurid tjoba menjerang, siguru sudah mendahuluinja. Lama2 simurid mendjadi takut dan kurang kepertjajaan pada diri sendiri. Achirnja ia tidak bisa madju dalam peladjarannja. Ole karena selalu ada kemungkinan kena terpukul, entah dalam twitju. lebih2 dalam perkelahian jang sesunguhnja, perlulah kita berlatih laykang. Kalau kena terpukul djuga, pukulan itu tidak hebat djatuhnja pula kalau perlu dapatlah kita bertukar pukulan dengan lawan.
Lihatlah sadja pertandingan2 tindju (boksen). Tiada djuara ang tidak pernah kena pukul. Tjuma bedanja, pukulan jan satu lebih keras daripada pukulan lawannja. Dan jan pukulannja lebih keras itu achirnja akan menang." Tempo2 djawaban2 jang diberikannja terhadap pertanjaan2 agak djenaka, humoristis, sehingga menimbulkan gelaktertawa. Misalnja,misalnja waktu sala seorang bertanja, benarkah dapat orang memahirkan Ilm 'thiamhweekin', menotok djalan darah sehingga menjebabkan orang lumpuh sekudjur badan seketika atau biru — kemudian sembuh lagi djika ditotok kembali. shinshe Lo tertawa terbahak2. "Lebih baik kaupeladjari 'thiam' bakso didalam mangkok!" katanja sambil tertawa sehingga semua para hadirinpun tertawa. Kemudian disambungnja: "Kalau benar dapa orang memahirkan 'thiamhweekin",seperti sering dituturkan dalam tjeritera2 silat, gampang sadja orang mentjari uang dengan kepandaian itu. djika mau berlaku djahat. Datangi sadja se-orang2 jang kaja-raja, misalnja, lal 'thiam' djalan darahnja, sehingga ia tidak bisa bergerak. Lalu minta ia membajar sedjumlah uang, baru di'thiam' lagi sehingga dapat bergerak pula! Tjeritera2 tentan 'thiamhweekin' itu bohong! Jang benar ialah, pada tubu manusia memang terdapat bagian2 jang lemah, misalnja
tenggorokan, sambungan2 tulang, urat2 atau kelenjar2 jang lemah. Kalau bagian2 itu kena terpukul atau tersodok keras da tepat, memang orang dapat merasa lemas. Akan tetapi alangkah sukarnja tindju atau sodokan kita dapat mampir tepat dibagian2 itu, meskipun sengadja kita memtjarinja. Kalau kena djuga, kebanjakan adalah karena kebetula sadja." Dikatakannja lebih landjut, boleh djadi apa jang serin ditjeriterakan dalam kisah2 silat Tionghoa tentang 'thiamhweekin' ialah bersandarkan ilmu peredaran darah dalam tubuh manusia, seperti jang umumnja dikena] dalam ilmu obat2an Tionghoa. Menurut ilmu itu, pada waktu2 jang tertentu, lebih tegas pada djam2 jang tertentu, djika peredaran darah terganggu, misalnja kena pukul, pada bagian2 tubuh jang tertentu pula, dapat menimbulkan akibat jang hebat. Tetapi didalam perkelahian, bagaimana dapat orang perhatikan djam2, menit2 bahkan detik2 jang tertentu itu, lalu mengirim pukulan ke-bagian2 darah jang tertentu pula? Lewat sediki sadja, sudah tidak bisa. Lagipula, seperti dikatakan diatas, tidak mudah orang mengenakan bagian2 tubuh jang terpilih itu, ketjuali karena kebetulan belaka.
Sinshe Lo-pun sering tertawa kalau orang bertanja tentan keahlian, seperti sering dituturkan dalam tjeritera2 silat, menjemburkan katjang hidjau dari mulut begitu keras, sehingga tembok sekalipun dapat tembus! Berapa kerasnja katjang hidjau dan berapa kerasanja tembok? ia balas bertanja. Kalau dapat. orang menjembur katjang begitu luar biasa keras (jang mana adalah mustahil, ketjuali dengan menggunakan sumpitan), bukan temboknja jg, tembus, melainkan katjangnja jang mesti hantjur. Jang Jebih djau dikatakannja nonsens, ialah bahwa orang dapat berkelahi sampai ber-djam2, bahkan sampai setengah harian atau lebih. seperti sering ditjeriterakan — Ataupun dapat berdjalan luar biasa tjepat, sampai2 lebih tjepat dari lari kuda, jakni jang dinamakan 'hwihengsut' atau ilmu mengentengkan tubuh. Pertanjaan lain jang pernah diadjukan kepadanja ialah: benarkah dapat orang melatih djari2 tangan sehingga mendjadi luar biasa kuat dan dapat menembus segala sesuatu? Bahkan dapat menembusi tembok? Sinshe L hanja tertawa. Betapapun kuatnja djari2 tangan manusia berkat latiha saksama, takmungkin dapat menembusi sesuatu jang sangat
keras, apalagi sekeras tembok. Pikirlah, demikia ditambahkannja, djari2 dapat dilatih, tetapi bagaimana dengan kuku2 diudjungnja? Kalau menjodok sesuatu jan keras — kuku2 mungkin terbongkar dan ini tentu sakit sekali!
Sendi2 ilmu silat Tionghoa BEBERAPA tjontoh diatas tjukuplah kiranja membuktikan bagaimana dalam memberi penerangan2 dan penjuluhan tentang ilmu silat Tionghoa, mendiang sinshe Lo selal mengatakan hal jang se-benar2nja dan se-djudjur2njn. terutama untuk melenjapkan salahpaham orang (jang sebagian disebabkan tjeritera2 silat jang berke-lebihan) mengenai apa jang mungkin dan tidak mungkin tertjapai. Tjeritera2 jang bukan2 dan nonsens tentang kunthao — misalnja orang dapat melontjat sekaligus kewuwungan rumah, menotok djalan darah, dsb, seperti jang dibentangkan diatas — sangat ditetatangnja sebagai hal2 jang mustahil. Seringkali di tandaskan, bahwa ilmusila Tionghoa berpokok kepada beberapa sendi jang sedapat mungkin harus orang mahirkan djika mau berhasil dalam peladjaran itu. Sendi2 itu ialah: (1) ketabahan hati; (2) ketjerdasan; (3) pukulan keras; (4) kekuatan untuk menampung pukulan lawan; (5) ketjepatan dan ketadjaman mata, tjeli; (6) timing jang tepat, antara lain2 supaja, walaupun lawan memukul lebih dahulu, dapat kita mendahului memukulnja; (7) menaksir dengan tepat djarak antara kita dan lawan untuk mengetahui apakah tindju kita dapat mentjapai tubuh lawan atau tidak, jakni "tji-li", (Cool ketadjaman perasaa
atau firasat untuk mengetahui lebih dahulu daripada lawan kearah mana, tangan atau kaki lawan akan bargerak, jaitu ang dinamakan 'kui'. (9) ketenangan; (10) kepertjajaan kepada diri sendiri. Semasa hidupnja sinshe Lo Ban Teng tiada henti2nj memeladjari segala sesuatu jang dapat memperdalam pengetahuannja dalam. ilmusilat. Misalnja, ia sangat gemar memperhatikan gerak-gerik hewan2 jang sedang berkelahi, seperti ajam djago, kutjing, andjing, dsb. Bahkan ia sendiri memelihara beberapa ekor burun srigunting seringkali diadunja berkelahi. Lalu ia mempeladjari dengan saksama gerak-gerik mereka didalam pertempuran, (jara mereka menjerang, mengegos daripada serangan,dsb. Seperti sudah diterangka disebelah atas, salah satu bagian daripada teknik silatnja, akni; mengibaskan atau menggebarkan tubuh waktu memukul, menjontoh pada gerak2an hewan2 itu. Djuga taranja ia menampung pukulan pihak lawan denga djalan mengeraskan dan mentjiutkan tubuh-sambil mengerahkan seluruh otot; sehingga keras, spiercontractie — mirip dengan reaksi hewaxi2 itu. djika se-konjong2 disergap. Sering-kali diundjuknja bagaimana Ajam, kutjin atau andjing, misalnja, djika disergap dengan tiba2, sambil mengeluarkan seruan kaget serentak mengedjangkan dan
mengeraskan seluruh tubuhnja, sehingga tubuh itu se-olah2 mendjadi tjiut dan mengkerat. Selagi Siauw Gok dalam latihan, sinshe Lo seringkal mengudji reaksi tubuh Siauw Gok dalam hal2 demikian. Terkadang, Siauw Gok tengah menggobat, dengan tiba2 disodoknja putera itu dari belakang melihat apakah laykang Siauw Gok sudah tjukup baik sehingga dapa mengeluarkan reaksi tjepat dan tepat terhadap sodokan2 itu. Sampai achir2 putera itu mahir benar. Di Indonesia, lain daripada Lo Boen Lioe dan Lim Tjoe Kang, ada beberapa orang jang diterima sinshe Lo sebaga murid. Dizaman Djepang, misalnja, telah diterimanj beladjar sdr. Tan Tjoen Siang, jang dididiknja sendiri. Begitu berbakti sinshe Lo terhadap gurunja dahulu, Yoe Tjoen Hwa, begitu pula sdr. Tan mendjudjung budi gurunja itu. Pada waktu penghidupannja berubah mendjadi baik, pada beberapa kesempatan sdr. Tan telah membuktikan betapa ia selalu mengingat budi-kebaikan gurunja. Misalnja, ketika Siauw Gok merajakan perkawinannja, ia tidak sadj membantu tenaga, tetapi djuga menjediakan mobilnja, dsb., serta mengurus perajaan itu se-olah2 saudaranja sendiri ang menikah.
Ketika sinshe Lo Ban Teng menutup mata, dala pengurusan djenazahnja, sdr. Tan-pun telah mengeluarkan banjak tenaga, bahkan dalam pelbagai hal mendahului keluarga Lo mengeluarkan biaja untuk pelbagai keperluan. Sebagai kenang2an kepada mendiang gurunja, ia tela memberikan seperangkat medja sembahjang (altaar) untu abu mendiang sinshe Lo. Murid lain dari sinshe Lo adalah sdr. Lie Kim Bie. Aka tetapi pada waktu itu (1955) mata sinshe Lo sudah aga kurang awas, sehingga sdr. Lie dilatih oleh Siauw Go selama enam bulan. Sebagai penutup: sebuah peristiwa jang aga mentjengangkan Pada waktu djenazah mendiang sinshe L diperabukan di Muara Karang. Pada waktu djumlah kaj bakar jang normal dibutuhkan untuk maksud itu sudah habis, djenazah belum hangus. Kaju sampaikan harus ditambah lagi, sehingga pembakar2 djenazah merasa heran akan 'kuat'nja tubuh almarhum. Para hadirin ada jang saling bertanya, mungkinkah, berkat latihan2 hebat sepandjang tahun, tubuh almarhum telah mendjadi kelompok2 otot2 jang keras sekali? Entahlah!
TAMAT