Memahami Perilaku Stakeholders Indonesia Dalam Adopsi Ifrs: Tinjauan Aspek Kepentingan, Bahasa, Dan Budaya. page 138-164. Sujoko Efferin & Felizia Arni Rudiawarni (2014)
Albu et al. (2014) menyatakan bahwa implementasi IFRS tidak terlepas dari kepentingan pencarian legitimasi dari stakeholders dari stakeholders setempat setempat dalam lingkungan institusionalnya sehingga berimplikasi pada cara mereka dalam merespons tuntutan implementasi tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang masalah apa saja beserta respons para stakeholders stakeholders di Indonesia dalam lingkungan institusionalnya yang mengondisikan dinamika implementasi IFRS di Indonesia, muncul pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “apa sajakah problematika yang muncul dalam implementasi IFRS di Indonesia dan bagaimanakah respons para stakeholders selama ini?”. ini?” . adalah principle-based standard yang yang kompleks serta Tantangan dalam Implementasi IFRS adalah principle-based membutuhkan banyak judgment dan pedoman interpretasinya. Untuk meningkatkan akurasi dan konsistensi dari judgment tersebut, dibutuhkan alat bantu berupa panduan tambahan untuk interpretasinya maupun mekanisme enforcement yang yang kuat. Dapat disimpulkan bahwa tantangan yang muncul dalam implementasi IFRS meliputi berbagai aspek institusional di mana setiap negara akan memiliki keunikannya sendiri s endiri yang berkontribusi pada permasalahan yang ada, berbagai tantangan tersebut tidak dapat dilakukan secara apriori, namun perlu dieksplorasi terlebih dahulu. Apriori adalah beranggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya. Sedangkan eksplorasi meliputi kegiatan persiapan dan penyelidikan untuk mengetahui keadaan dan dan kemungkinan pengolahannya secara ekonomis. Budaya dan Bahasa: High Context vs Low Context. Masyarakat High Context memiliki jejaring informasi yang ekstensif sehingga tidak membutuhkan membutuhkan informasi yang yang banyak tentang latar belakang dari sebuah pesan untuk memahaminya. Anggota masyarakat high context cenderung tidak suka jika rekannya dari masyarakat low context berupaya memberikan informasi selengkap-lengkapnya tentang sesuatu hal. Sebaliknya, anggota masyarakat masyarakat low context seringkali seringkali menganggap pesan yang disampaikan rekannya dari masyarakat high context kurang informatif dan tidak lengkap maknanya. Karenanya, penelitian ini mencoba mendalami interaksi para stakeholders stakeholders IFRS agar menemukan pemahaman yang mendalam dan tidak terjebak pada label high context atau atau low context secara secara apriori. Perilaku Stakeholders: Kepentingan Kepentingan dalam dan Respons terhadap Adopsi IFRS
Aktor, tindakan sosial, dan bentuk organisasi bertransformasi mengikuti perkembangan lingkungan institusionalnya. Institusi adalah tatanan sosial yang memiliki elemen-elemen kognitif, normatif, regulatif, dan membentuk aturan mainnya sendiri. Albu et al. (2014) menyatakan bahwa IFRS harus dikembangkan dalam konteks lokal dengan mengadopsi makna spesifik dalam konteks tersebut, yang bisa dilihat di Gambar 1. Pemaknaan lokal tersebut merupakan proses yang bersifat politis terkait kekuasaan dan legitimasi. Artinya, konteks lokal terdiri dari berbagai stakeholders yang memiliki sumber daya, kekuasaan, dan kepentingannya masing-masing. Mereka berupaya mendapatkan legitimasi dalam kapasitas kekuasaannya masing-masing sehingga memengaruhi bagaimana IFRS “diterjemahkan” dan diimplementasikan menjadi praktik lokal-spesifik. Implementasi IFRS adalah proses yang kompleks dan memerlukan analisis kekuasaan, kepentingan, dan tekanan institusional pada tingkatan organisasi dan lokal/institusional. Dengan melakukan kajian pada konteks institusional dan organisasional, mekanisme proses adopsi, dan tipe-ti pe respons oleh berbagai organisasi, dapat dijelaskan dalam sebuah konteks lokal. METODE PENELITIAN
Menggunakan Grounded theory method, mengandalkan saling peran antara data dengan teori yang sudah ada. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen yang ditampilkan dalam Tabel 1, 2 dan 3.
1. Wawancara dilakukan terhadap anggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), tim implementasi/ sosialisasi IFRS, auditor/partner KAP, akuntan perusahaan (preparer), akademisi, dan pengguna laporan keuangan. Wawancara menggunakan metode semi terstruktur dan direkam. 2. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang proses pembelajaran akuntansi terkait PSAK/IFRS, meliputi diskusi, isu yang menjadi sorotan, kontroversi dan konsensus yang terjadi selama proses berlangsung dengan metode non-participant observation. 3. Analisis dokumen dilakukan untuk mendapatkan data spesifik khususnya “aturan main” tertulis yang meliputi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang sudah mengadopsi IFRS dan exposure draf -nya, masukan yang diberikan kepada Dewan Standar, dan laporan keuangan auditan dan nonauditan dari perusahaan yang diwawancarai. Dokumen tersebut menunjukkan bagaimana implementasi dari PSAK baru yang sudah berbasis IFRS. Data yang terkumpul kemudian dilakukan triangulasi antar metode dan intra metode untuk meminimalisasi bias peneliti. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Indonesia melakukan proses adopsi IFRS secara bertahap (gradual), yaitu tahap adopsi (2008 2011), persiapan (2011), dan implementasi (2012). Stakeholders IFRS di Indonesia memiliki respons yang berbeda-beda: patuh, kompromi, penghindaran, perlawanan, dan manipulasi. lima stakeholders utama yang dianalisis secara berjenjang sesuai posisinya masing-masing: (1) Regulator (meliputi DSAK, IAI, dan tim sosialisasi dan implementasi) dengan konstituen eksternal IFRS, pemerintah, auditor, preparer, dan perguruan tinggi; Kesamaan pemahaman terhadap IFRS merupakan tanggung jawab bersama dari KAP, DSAK, Komite Interpretasi IFRS, dan pihak regulator. Regulator menganggap auditor adalah ujung tombak implementasi IFRS sehingga wajib melakukan pemutakhiran pengetahuannya melalui pendidikan dan pelatihan melalui program Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang diselenggarakan regulator (IAPI). Selain itu, regulator menghadapi
keterbatasan sumber daya dan berharap dukungan pemerintah untuk menjalankan fungsinya secara lebih efektif . Beberapa pihak yang dianggap krusial dalam membantu sosialisasi IFRS selain pemerintah adalah akademisi, preparer, dan perusahaan.
Sosialisasi tersebut bersamaan dengan upaya untuk mengatur kecepatan adopsi IFRS melalui PSAK. Bagi regulator, implementasi IFRS perlu dilakukan tidak secara langsung agar akuntan (preparer) Indonesia memiliki lebih banyak waktu untuk menyiapkan dirinya. Salah satunya adalah melalui proses penerjemahan IFRS dan PSAK. Mekanisme penerjemahan IFRS dalam bentuk PSAK memiliki tujuan yang lebih luas dari sekadar menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan itu sendiri memungkinkan proses implementasi yang lebih bertahap agar dapat menambah waktu (strategi buying time) yang dibutuhkan oleh akuntan Indonesia untuk menyiapkan dirinya. Dapat disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi regulator terkondisi oleh ketiadaan SDM di tingkat pengambilan kebijakan/keputusan strategis yang bekerja secara full-time, independensi yang dimiliki dan ketertinggalan akuntan Indonesia menghadapi MEA 2015. Di satu sisi, regulator berkepentingan memastikan terimplementasikannya IFRS dengan baik, namun di sisi lain regulator juga ha rus melindungi auditor dan akuntan Indonesia saat MEA diberlakukan. Pihak regulator berada dalam posisi yang dilematis sehingga merespons konstituen eksternalnya dengan cara kompromi. Regulator menerima IFRS sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, tetapi berupaya menegosiasikan dengan stakeholders lainnya apa yang bisa dihindari untuk sementara waktu dan apa yang bisa dikerjakan bersama agar kepentingan regulator dapat terakomodasi tanpa berbenturan dengan agenda IFRS. Legitimasi regulator terletak pada keberhasilannya melindungi akuntan dan auditor Indonesia dari “serbuan” negara lain. Karenanya, adopsi IFRS menjadi PSAK adalah alat untuk bernegosiasi dengan IASB dalam bentuk buying time sambil mempersiapkan kompetensi auditor dan akuntan Indonesia. Temuan studi ini juga mengungkapkan bahwa regulator memandang pemerintah belum memberikan dukungan yang cukup apalagi ideal untuk aktivitas regulator. (2) Auditor dengan konstituen eksternal regulator dan preparer; Independensi auditor saat ini dianggap positif oleh preparer dan perusahaan. Namun demikian, auditor sendiri dianggap kurang efektif jika tidak didukung oleh berbagai pihak lain yang berkepentingan terhadap kualitas pelaporan keuangan di Indonesia. Dalam perspektif auditor, independensi adalah sesuatu yang problematis di lapangan, karena di satu pihak mengemban fungsi pemberian professional judgment yang independen dan di lain pihak berhadapan dengan klien yang membutuhkan layanan “optimal”. Seringkali, klien bertanya kepada auditornya dan dalam banyak kasus justru staf auditor bersedia membantu karena auditor adalah sumber utama untuk berkonsultasi terkait standar yang baru ataupun yang bersifat kompleks bagi entitas yang menerapkan IFRS. Sehingga muncul ketergantungan klien terhadap auditor yang mempengaruhi independensi auditor. Jadi, tantangan lain yang dihadapi auditor adalah bagaimana memastikan staf lapangannya bisa satu suara dengan partner dalam menjaga independensi ini. Selain itu, ada perbedaan perilaku antara perusahaan besar dan perusahaan menengah/kecil di Indonesia dalam mencari solusi implementasi IFRS. Perusahaan besar relatif lebih siap mengimplementasikan IFRS karena memiliki sumber daya yang cukup baik dari segi manusianya maupun uang untuk melatih dan mempersiapkan akuntannya dengan kompetensi yang dibutuhkan. Di pihak lain, perusahaan menengah/kecil cenderung pragmatis. Dalam hal ini, memang auditor membutuhkan metode dan pendekatan yang
berbeda dalam menghadapi kedua tipe klien tersebut. Sehingga problematika yang dihadapi auditor untuk menjaga independensinya cenderung lebih besar jika berhadapan dengan klien perusahaan menengah/kecil dibandingkan perusahaan besar. Dapat disimpulkan bahwa respons umum dari auditor adalah cenderung bersikap kompromistis terhadap konstituen eksternalnya. Ada hubungan saling membutuhkan antara auditor dengan regulator. Dapat disimpulkan bahwa respons umum dari auditor adalah cenderung bersikap kompromistis terhadap konstituen eksternalnya. Ada hubungan saling membutuhkan antara auditor dengan regulator. (3) Preparer dengan konstituen eksternal regulator dan auditor; Akuntan perusahaan selaku preparer memegang peranan yang signifikan terkait kualitas laporan keuangan. Namun, seringkali preparer menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan tugas profesionalnya sehingga memengaruhi kualitas laporan keuangan yang dibuatnya. Tiga kendala utama tersebut adalah pragmatisme dan loyalitas terhadap pimpinan perusahaan, budaya, dan bahasa. Jika tujuan pembuatan laporan keuangan hanya untuk kebutuhan internal, maka pihak manajemen hanya memerhatikan informasi yang dianggap penting bagi perusahaannya. Dalam hal ini, pihak manajemen tidak terlalu memedulikan sejauh mana kesesuaian perlakuan akuntansinya dengan PSAK. Bahkan, jika PSAK dianggap “merepotkan” untuk diterapkan, maka pihak pimpinan memilih untuk tetap menggunakan kebiasaan yang lama. Jadi, budaya pragmatis di kalangan preparer (bahkan manajemen) membutuhkan “pemaksaan” dari eksternal. Apabila user laporan keuangan tersebut menuntut implementasi IFRS, maka pihak preparer dan manajemen akan menggunakannya sebagai rujukan. Para preparer merasa penggunaan bahasa Indonesia dalam PSAK sering dianggap sebagai bagian dari masalah daripada solusi untuk memahami IFRS. Ini dikonfirmasi juga oleh regulator dan akademisi. Proses penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia diakui tidak mudah dan ada banyak tantangan bagi DSAK yang memerlukan dukungan dari pemerintah. Jadi, problematika yang dihadapi adalah dilema menghadapi tuntutan pemberi kerja versus tuntutan profesionalisme, keterbatasan penguasaan bahasa Inggris dan Indonesia, lingkungan yang terbiasa dengan budaya lisan daripada tertulis dalam komunikasi, dan rasa enggan untuk keluar dari zona nyaman (mempelajari hal baru). Kesemuanya ini dipersepsikan oleh preparer sebagai disinsentif untuk mempelajari dan menerapkan IFRS secara serius. Konsekuensinya, respons dari preparer adalah mengikuti keinginan pemberi kerja. Preparer tentunya berkepentingan untuk memiliki karir yang lancar dalam perusahaan tersebut sehingga memilih untuk menuruti keinginan pihak manajemen. (4) Perguruan tinggi dengan konstituen eksternal IFRS, regulator, auditor, dan preparer; Keberhasilan adopsi dan implementasi IFRS di Indonesia amat membutuhkan dukungan dari perguruan tinggi untuk menghasilkan calon akuntan yang kompeten. Ada empat hal yang menjadi masalah: kesiapan dosen, bahasa dalam pemilihan literatur, metode pembelajaran yang sesuai untuk membentuk pola pikir calon akuntan, dan respons mahasiswa. Beberapa akademisi menganggap studi kasus harus diperbanyak sedini mungkin disertai pemaknaan lebih dalam tentang esensi dari prinsip akuntansi agar mahasiswa terbiasa mengedepankan professional judgment .
(5) Pengguna laporan keuangan dengan konstituen eksternal IFRS, regulator, dan klien. Pengguna laporan keuangan meliputi investor institusional dan individual, analis keuangan, dan bank. Hal yang amat menonjol adalah bahwa mereka tidak terlalu menganggap implementasi IFRS sebagai satu-satunya hal yang penting, bahkan dalam beberapa kasus, laporan keuangan dianggap tidak lebih (ata u bahkan kurang) penting dari informasi lainnya. Didukung oleh pengakuan dari dua orang investor individual dan seorang broker bahwa laporan keuangan sangat jarang dipertimbangkan untuk pengambilan keputusan investasi. Berita-berita pasar dan analisis teknikal dianggap lebih relevan untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan. Para pengguna menganggap IFRS penting karena memiliki daya komparasi antar negara dan merupakan ketentuan normatif dari regulator. Mereka tidak/belum melihat ini sebagai sebuah upaya perbaikan kualitas laporan keuangan yang signifikan dibandingkan standar terdahulu. Bahkan informasi di dalam laporan keuangan itu sendiri seringkali dianggap tidak s epenting informasi lain yang mereka butuhkan untuk mengambil putusan. SIMPULAN
Lingkungan institusional sebuah negara berimplikasi pada respons dan interaksi antar pihak dalam implementasi IFRS. Lingkungan institusional di Indonesia tidak terlepas dari faktorfaktor regulator, preparer, pemerintah, akademisi, bahasa, dan budaya dengan kompleksitas dan keunikan masalah dalam konteks Indonesia. Lingkungan institusional Indonesia lebih banyak diwarnai oleh kepentingan regulator untuk melindungi akuntan Indonesia dari MEA 2015, keterbatasan sumber daya yang dimiliki regulator, peranan pemerintah yang belum optimal, dilema auditor dalam berhubungan dengan klien, pragmatisme dan loyalitas preparer (akuntan) terhadap pimpinan perusahaan, keterbatasan bahasa Indonesia, keberadaan budaya lisan, dan belum optimalnya peranan perguruan tinggi. Regulator dan auditor cenderung mengambil respons kompromistis terhadap konstituen eksternalnya agar tetap bisa menjaga legitimasi dan kepentingannya masing-masing. Respons dari preparer lebih ke arah mematuhi kehendak dari pemberi kerja karena kepentingan preparer sangat berkaitan dengan kepentingan perusahaan. Sebaliknya, respons dari perguruan tinggi terhadap konstituen eksternalnya dapat bersifat patuh atau kompromi tergantung pada akses yang dimilikinya ke regulator. Bagi pengguna, mereka merespons dengan cara patuh karena IFRS merupakan alat legitimasi. Jadi, lingkungan institusional mengondisikan munculnya problematika dan respons yang unik dari berbagai stakeholders IFRS di Indonesia. Kepentingan masing-masing pihak adalah alasan yang paling fundamental di balik setiap jenis respons yang diberikan oleh para stakeholders. Stakeholders Indonesia umumnya terbuka menerima perubahan apapun yang diminta betapapun besar kesulitan yang muncul. Ini dikarenakan mereka lebih fokus ke kepentingan masing-masing daripada mengutamakan idealisme berlabel “kualitas laporan keuangan”. Interaksi di kalangan akuntan dan perguruan tinggi menjadi semakin jauh dari bahasa tertulis sehingga memperkuat budaya high context yang telah ada. Jadi, ada proses kultural yang kontraproduktif bagi kemampuan menghasilkan professional judgment: budaya high context → keterbatasan kemampuan berbahasa → ketidakmampuan memahami IFRS/PSAK → lebih suka bertanya apa yang harus dilakukan → professional judgment menjadi lemah.
Management Controls in Family-owned Businesses (FOBs): A Case Study of an Indonesian Family-Owned University. page 62-74 Mathew Tsamenyi, Irvan Noormansyah, Shahzad Uddin (2008)
Studi ini berasal dari minat dalam bisnis yang dikendalikan keluarga dan peran kontrol di dalamnya. Makalah ini mencoba untuk menjelaskan sifat dan dinamika kontrol manajemen dalam bisnis milik keluarga ( family-owned businesses (FOB)) terutama dalam konteks negara yang kurang berkembang (less developed country (LDC)). Ini melaporkan hasil studi kasus pada kontrol manajemen di Universitas swasta Indonesia yang dimiliki oleh dua keluarga Jawa. Dalam studi ini, bisnis milik keluarga didefinisikan sebagai bisnis yang dimiliki dan dijalankan oleh anggota satu atau dua keluarga. Bisnis milik keluarga dapat bersifat menguntungkan atau tidak untuk dibiayai, yayasan atau kelompok investasi (maka instit usi pendidikan yang dikelola keluarga berada di bawah lingkup FOB). Proporsi bisnis yang secara luas diklasifikasikan sebagai FOB bervariasi dari satu negara ke negara lain. Di Indonesia, telah dilaporkan bahwa FOB berkontribusi sebanyak 82% dari GNP negara. FOB ini berlokasi di berbagai industri yang berbeda seperti manufaktur, ritel, perbankan, dan pendidikan. Universitas swasta yang dimiliki keluarga merupakan pusat pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia dan di negara Asia lainnya. Penulis mencatat bahwa: “Banyak [universitas swasta Asia] dimiliki oleh individu atau keluarga, terkadang dengan manajemen formal yang menutupi elemen pengontrol struktur pemerintahan sekolah. Pola lembaga akademis yang dikelola keluarga ini hanya menerima sedikit perhatian dari para analis, meskipun ini adalah fenomena yang semakin penting di seluruh dunia bahkan di negara-negara yang tidak mendorong pendirian lembaga pendidikan tinggi yang pro-profit”. Mayoritas FOB di Indonesia dimiliki oleh minoritas Indonesia-Tionghoa. Namun, tahun-tahun belakangan ini telah memperlihatkan kemunculan orang pribumi Jawa sebagai pengusaha FOB. Literatur tentang FOB di Asi a Tenggara (termasuk Indonesia) masih didominasi oleh sistem manajemen 'bisnis keluarga Cina'. Karena itu, tersedia sedikit bukti empiris untuk isu-isu manajerial dalam FOB Indonesia asli. Dengan demikian, makalah ini meneliti masalah-masalah penelitian berikut: 1. Dinamika proses pengendalian manajemen dalam bisnis milik keluarga. 2. Pengaruh budaya masyarakat pada proses pengendalian manajemen. Kontrol bisa formal atau informal. Kontrol formal terdiri dari tingkat output dan kontrol proses yang tinggi seperti penganggaran, pengukuran kinerja, sistem insentif dan peran administratif lainnya. Proses kontrol dalam makalah kami mengacu pada peran fungsional formal dalam organisasi termasuk penganggaran, pengukuran kinerja, sistem insentif dan peran administratif lainnya dan juga proses informal yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi. Pendekatan kami terhadap penerapan nilai-nilai budaya dalam menjelaskan praktik kontrol tidak statis. Ini adalah studi tentang proses simbolik di mana orang memproduksi dan mereproduksi tatanan sosial. Data kami tidak hanya terdiri dari wawancara dan percakapan teta pi juga pengamatan pribadi.
Penerapan pemahaman antropologis budaya bukanlah konsep baru dalam literatur akuntansi manajemen, tetapi kontribusi makalah ini adalah untuk menerapkannya dalam konteks bisnis milik keluarga yang kurang berkembang. Tulisan ini bertujuan untuk berkontribusi pada literatur yang muncul tentang pengendalian manajemen dan kepemilikan keluarga, terutama untuk LDC. Secara teoritis, makalah ini menunjukkan kegunaan budaya dalam menjelaskan proses pengendalian manajemen di LDC. METODE Penelitian ini didasarkan pada studi lapangan untuk mengeksplorasi kontrol manajemen dalam konteks organisasinya. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif di mana data dikumpulkan dari pengamatan pribadi, wawancara dan analisis dokumen. Salah satu penulis bekerja di Universitas ini selama tiga tahun berturut-turut (1999-2002) selama Juni-Agustus. Wawancara dan dokumentasi formal dimulai pada Juni 2003 dan berlangsung selama 3 bulan dan melibatkan wawancara dengan para pejabat Universitas. Pada tahap awal, wawancara dilakukan dengan manajer keuangan dan tiga staf lain dari Departemen Keuangan. Selain itu, dokumen seperti laporan anggaran, laporan keuangan, risalah rapat dan laporan pengendalian stok ditinjau. Tahap berikutnya dari penelitian ini melibatkan wawancara semi-terstruktur dengan 15 orang. Ini termasuk lima kepala administratif, tiga anggota fakultas, dan tujuh karyawan tingkat lebih rendah. Orang yang diwawancarai dipilih dari berbagai departemen termasuk keuangan, SDM, pembelian, akademik dan urusan umum. Wawancara dengan setiap peserta berlangsung rata-rata 2 jam. Wawancara dan diskusi dengan orang yang diwawancarai difokuskan pada isu keuangan dan praktik kontrol dan praktik organisasi lainnya, pengaruh pemilik dalam desain dan penggunaan sistem kontrol, dan partisipasi bawahan dalam desain sistem kontrol. Catatan diambil selama wawancara karena rekaman tidak diizinkan. Tahap akhir dari penelitian ini melibatkan peninjauan dokumen internal dan eksternal yang relevan seperti manual universitas, risalah rapat eksekutif, struktur organisasi dan tindakan pendidikan tinggi di Indonesia. KONTEKS POLITIK DAN SOSIO-BUDAYA INDONESIA Jawa adalah pusat dalam pengembangan Indonesia modern. Selama berabad-abad Pulau Jawa telah menjadi pusat budaya, politik, dan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, sebagian besar lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia berlokasi di Pulau Jawa dan pulau ini juga memiliki lebih banyak perkembangan daripada pulau lain di Indonesia. Pengaruh Jawa juga terkait dengan kekuatan politik di Indonesia. Di bawah rezim Presiden Soeharto yang memerintah Indonesia antara 1965 dan 1997, orang Indonesia mengalami apa yang umumnya dikenal sebagai 'Javanisasi'. Javanisasi mungkin menjadi alat mereka untuk memuaskan bagian masyarakat yang berpengaruh ketika orang-orang dari etnis Jawa dipekerjakan dalam peran yang paling penting dalam pemerintahan dan militer. Bahkan setelah rezim Soeharto, orang Jawa terus menikmati perlakuan istimewa dari pemerintah untuk mendirikan bisnis baru, pekerjaan dan pendidikan. Ini mungkin telah menyebabkan keluarga-keluarga Jawa untuk membentuk bisnis-bisnis milik keluarga baru seperti studi kasus ini. PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA DAN UNIVERSITAS Universitas terdiri dari dua lembaga — yayasan, dan Universitas itu sendiri. Menurut peraturan pemerintah Indonesia, lembaga pendidikan harus diatur oleh yayasan karena lembaga
pendidikan adalah lembaga yang tidak berorientasi profit. Salah satu dari dua orang memiliki tanggung jawab sebagai Kepala Yayasan dan yang lainnya sebagai CEO Universitas. CEO adalah pengambil keputusan tertinggi di Universitas dan bertanggung jawab untuk menetapkan kebijakan dan peraturan Universitas. Kepala Yayasan, di sisi lain, bertanggung jawab untuk membangun visi, misi, tujuan, strategi, dan perencanaan Universit as untuk pendanaan, fasilitas, dan infrastruktur Universitas. Yayasan ini juga memiliki fungsi memantau dan mengevaluasi program dan kegiatan Universitas selain hak untuk mengotorisasi, mengendalikan, dan mengawasi biaya tahunan dan pendapatan Universitas. Secara formal, yayasan bertindak sebagai dewan pengawas untuk Universitas. CEO dan Kepala terdiri dari manajemen puncak Universitas.
1. Kontrol keuangan Pada awalnya, Universitas tidak membuat perencanaan keuangan jangka panjang. Kemudian, di bawah bimbingan manajer Keuangan, semua kepala departemen menghasilkan anggaran untuk unit kegiatan mereka untuk periode 1 tahun. Para kepala departemen dan tim keuangan kemudian mengadakan pertemuan di mana anggaran departemen dikonsolidasikan ke dalam anggaran induk. Namun CEO meninggalkan sistem penganggaran tahunan setelah 1 tahun beroperasi. Beberapa pejabat universitas yang diwawancarai berkomentar bahwa CEO tidak terlalu antusias dengan anggaran tahunan. Dengan demikian, lembaga kembali ke sistem penganggaran bulanan. 2. Kontrol fungsional lainnya Audit internal dan kontrol tampaknya menjadi salah satu bidang fungsional penting pada manajemen puncak Universitas. Ini bukan hanya karena terkait dengan penganggaran tetapi juga karena peraturan pemerintah yang mewajibkan yayasan, sebagai penyelenggara Universitas, untuk memenuhi persyaratan keuangannya. Untuk memenuhi persyaratan, Universitas awalnya telah menetapkan satu departemen yaitu departemen pengendalian internal untuk memantau beberapa kegiatan penting seperti pembelian, stock controls dan area terkait keuangan lainnya. 3. Pengukuran kinerja Secara formal, kepala departemen SDM melapor kepada CEO tentang penunjukan, promosi, dll. Wawancara dengan karyawan menunjukkan bahwa ada sanksi di Universitas,
misalnya, pemotongan gaji karena tidak hadir, dll. Pendekatan manajemen terpusat CEO telah sangat sukses, karena ia telah berhasil mengadopsi pendekatan yang sama dari ta huntahun awal lembaga sebagai universitas kecil untuk bentuk yang sekarang sebagai salah satu universitas swasta terbesar di negara ini. Keberhasilan ini telah meningkatkan kepercayaan CEO dalam penggunaan kontrol terpusat. 4. Kontrol sosial dan informal — peran CEO Umumnya, manajemen didasarkan pada konsep keluarga, di mana karyawan lebih bergantung pada feedback verbal yang konstruktif dalam melakukan tugas sehari-hari. Secara resmi, Universitas diawasi oleh yayasan. Kenyataannya, yayasan dan pimpinannya jarang mempertanyakan keputusan CEO. Ketika perlu merekrut karyawan baru, keluarga karyawan yang mendaftar selalu mendapat prioritas. Alasan dibalik hal ini karena budaya Indonesia, yang didasarkan pada prinsip bahwa terdapat kewajiban orang-orang dalam posisi menguntungkan untuk membantu anggota keluarga mereka. Karena itu, prioritas selalu diberikan kepada anggota keluarga dalam situasi perekrutan karyawan. Pendekatan ini, bagaimanapun, tampaknya memiliki beberapa kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang timbul antara karyawan menggunakan sarana formal. Dengan demikian, sifat kontrol aktual di Universitas dan peran CEO tidak pernah dipertanyakan karena mencerminkan konteks sosial di mana institusi tersebut beroperasi. DISKUSI DAN KESIMPULAN
Beberapa bentuk kontrol manajemen formal yang ada di organisasi, dalam prakteknya mereka tunduk pada kontrol sosial dan budaya. Sementara beberapa bentuk penjelasan teknis- rasional dapat ditawarkan untuk praktik pengendalian, mayoritas kontrol dalam organisasi dapat dijelaskan berdasarkan budaya dan hubungan sosial. Akuntansi formal tampaknya ada hanya untuk tujuan ritualistik, karena sebagian besar keputusan dibuat dengan tidak memperhatikan data akuntansi formal. Sebagai contoh, sistem penganggaran formal jarang diikuti dalam praktek. Demikian pula dengan pembentukan departemen pengendalian audit internal terutama untuk memenuhi persyaratan Kementerian Pendidikan.
Salah satu masalah utama yang diidentifikasi adalah ada tingkat sentralisasi kekuasaan yang tinggi, dengan otoritas ditelusuri ke satu individu — CEO. Paternalisme atau bapakisme masyarakat Jawa ini telah membentuk kontrol manajemen dalam organisasi. CEO, yang dianggap oleh sebagian besar karyawan sebagai fi gur ayah, membuat semua keputusan penting
dan semua karyawan harus mematuhi keputusan tersebut. Alasannya adalah usia dipandang sebagai basis kekuasaan dalam masyarakat Jawa dan CEO lebih tua dari Kepala Yayasan. Dalam Gambar 2, Budaya sebagai variabel penjelas dalam penelitian ini sangat kuat dan mampu menjelaskan banyak praktik pengendalian di Universitas yang merupakan hasil dari nilai-nilai budaya individu dan masyarakat. Praktek kontrol manajemen di Universitas secara signifikan dibentuk oleh budaya Jawa. Di masyarakat Jawa, bawahan diharapkan untuk menghormati pihak yang berkuasa dan tidak diizinkan untuk mempertanyakan otoritas tersebut. Dalam situasi di mana ada atasan yang jelas, orang itu memutuskan. Posisi yang lebih tinggi memiliki status yang sangat tinggi di organisasi Indonesia. Ini akan memengaruhi cara karyawan Indonesia memperlakukannya dan ia harus memahami dan menghormati kewajiban yang diberlakukan statusnya kepadanya.
Gambar 2 The control structures.
Dari hasil wawancara juga ditemukan bahwa sementara beberapa bentuk konflik ada di antara pejabat tertentu, ini tidak diperlihatkan di permukaan karena kebutuhan untuk menjaga perdamaian yang jelas dengan satu sama lain terutama dengan anggota senior dari lembaga / masyarakat. Dengan demikian, karyawan mencoba untuk menyembunyikan konflik dan perasaan negatif dan karena itu perilaku disfungsional hampir tidak ditunjukkan. Rukun adalah kata Jawa penting yang menggambarkan "sebuah negara di mana semua pihak setidaknya secara terbuka pada perdamaian sosial dengan satu sama lain." Ketergantungan pada prosedur informal telah menghasilkan pengembangan hubungan yang lebih dan lebih pribadi antara bawahan dan anggota staf superior, menyebabkan munculnya budaya ewuh pakewuh. Ewuh pakewuh adalah ungkapan Jawa, yang berarti keengganan dan kegagalan di kalangan atasan untuk menghukum bawahan karena perkembangan hubungan keluarga di tempat kerja. Budaya Jawa menetapkan bahwa konflik diselesaikan melalui musyawarah dan negosiasi, yang disebut sebagai musyawarah. Konsep ini, yang merupakan cara asli pengambilan keputusan, sehingga menjadikan peran kontrol manajemen formal kurang relevan. Argumen penulis tentu bergantung pada satu studi kasus dan tidak ingin menyamaratakan pandangan ini ke semua pengaturan. Namun, kasus ini telah menyoroti beberapa masalah budaya penting yang dapat menjelaskan beberapa praktik manajerial di organisasi Indonesia khususnya dan negara kurang berkembang pada umumnya. Dengan demikian, kami menambahkan pada penelitian empiris lapangan yang kecil namun terus berkembang di bidang ini.