Rupiah
Output
Outcome
Akuntabilitas
Prioritas Nasional dalam RPJM 2010-2014 terdiri dari 11 buah ditambah 3 menjadi 14 buah. Untuk ini diperlukan strategi khusus atau reformulasi untuk keperluan pelaksanannya yang efektif misalnya dipisahkan antara prioritas program dan prioritas sektor.
72
0
Rupiah
Akuntabilitas
Output
Outcome
REVITALISASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
MUHAMMAD TAUFIQ
KODRAT WIBOWO
Jakarta, September 2011
Jakarta, September 2011
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
3
Permasalahan
8
Tujuan
9
Keluaran
9
Metode Penelitian
9
Kerangka Penulisan
9
BAB II
KERANGKA KONSEP
11
2.1. Konsep dan Paradigma Perencanaan Pembangunan
11
2.2. Perubahan Paradigma Perencanaan Pembangunan
20
2.3. Perencanaan Substantif dan Prosedural
28
2.4. Perencanaan Pembangunan Sebagai Kebijakan Publik
29
2.5. Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
33
2.6. Perbandingan Sistem Perencanaan di Beberapa Negara
39
BAB III
PERMASALAHAN DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA
44
3.1. Masalah Hubungan Perencanaan dan Penganggaran
44
3.2. Level Konseptual
46
3.3. Level Kebijakan
49
3.4. Level Kelembagaan
58
3.5. Level Teknis
62
BAB IV
ARAH REVITALISASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
68
4.1. Menuju Sistem Perencanaan yang Ideal
68
4.2. Penguatan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
69
4.3. Sinergitas Pusat dan Daerah
69
4.4. Sinergitas Antar Lembaga Kementrian di Tingkat Pusat dan Daerah
70
4.5. Basis Evaluasi dalam Siklus Proses Perencanaan
71
4.6. Manajemen Evaluasi Kinerja
72
4.7. Arah Penataan Tingkat Kebijakan Sistem Perencanaan Pembangunan
72
4.8. Arah Penataan Tingkat Kelembagaan dalam Mendukung Perencanaan Pembangunan yang Efektif dan Efisien
73
4.9. Penguatan Aspek Spasial dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
73
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
76
5.1. Kesimpulan
76
5.2. Rekomendasi
77
Daftar Pustaka
78
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tidak dipungkiri bahwa pemerintah/negara memiliki kedudukan dan peranan sangat penting terhadap masalah perencanaan, yaitu terhadap berhasil atau tidaknya pembangunan yang dilakukan, apakah pembangunan telah sesuai dengan apa yang ingin dicapai suatu negara.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, terjadi perubahan yang mendasar dalam proses Perencanaan Pembangunan Nasional yang juga berpengaruh pada proses Perencanaan Pembangunan Daerah, perubahan mendasar pada proses perencanaan pembangunan dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 1.1 Perubahan Paradigma Perencanaan
Perubahan mendasar paradigma perencanaan ditunjukkan pada proses Perencanaan Pembangunan Nasional yang lama lebih menekankan pada daftar usulan dengan membuat "Shopping List" kegiatan sebanyak-banyaknya, seindah-indahnya dan tidak terbatas, sehingga proses perencanaan pembangunan yang lama dianggap hanya sesuai dengan keinginan bukan kebutuhan, sedangkan Proses perencanaan pembangunan pada saat imi lebih menekankan pada rencana kerja atau "working plan" sebagai proses dari: (1) input yang berupa keuangan, tenaga kerja, fasilitas, dan lain-lain; (2) Kegiatan (proses); (3) Output/outcomes. Dimulai dengan informasi tentang ketersediaan sumber daya dan arah pembangunan nasional, sehingga perencanaan bertujuan untuk menyusun hubungan optimal antara input, proses, dan output/outcomes atau dapat dikatakan sesuai dengan kebutuhan, dinamika reformasi dan pemerintahan yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga masyarakatlah yang paling tahu apa yang dibutuhkannya.
Di dalam proses perencanaan peran serta masyarakat mutlak diperlukan sebab di dalam pembangunan masyarakat tidak hanyak sebagai objek tetapi subjek pembangungan. Perencanaan pembangunan baik ditingkat pusat maupun daerah partisipasi masyarakat wajib untuk didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah. Kepentingan masyarakat tersebut yang terwakilkan oleh wakil – wakilnya dalam fungsi legislatif. Dobell & Ulrich (2002) menyatakan bahwa peran penting legislatif adalah mewakili masyarakat, pemberdayaan pemerintah, dan mengawasi kinerja pemerintah. Ketiga peran ini menempatkan legislatur berkemampuan memberikan pengaruh signifikan terhadap kebijakan pemerintah.
GBHN yang selama orde baru dijadikan landasan dalam perencanaan, sesuai kebijakan otonomi daerah membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis, harmonis, dan berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi landasan dikeluarkannya undang-undang No.25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN).
Dalam hubungannya dengan pengelolaan keuangan negara sendiri, UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) merupakan suatu siklus yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Sumber: BPKP
Gambar 1.1 Hubungan SPPN dengan Pengelolaan Anggaran
Berdasarkan gambar diatas, terlihat hubungan antara Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dengan Sistem Administrasi Keuangan Negara (SAKN) dimana SPPN merupakan tahap awal dari siklus APBN yang terkandung makna/hakikat pembangunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh bangsa Indonesia dalam mewujudkan kehendaknya, kemudian berlanjut dengan fungsi–fungsi manajemen lainnya yang berdasarkan SAKN diatur dengan berbagai ketentuan, diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di dalamnya juga mengatur proses penganggaran daerah, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sebagai konsekuensi dari SAKN maka sistim perencanaan pembangunan nasional di tingkat pemerintahan pusat terpisah antara perencanaan program yang menjadi domain Bappenas dan perencanaan penganggaran yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan. Meskipun SPPN juga ditetapkan dengan UU tersendiri, tetapi harus tetap mengacu pada UUKN demi keselarasan. Secara detail gambar 1.2. berikut memperlihatkan bagaimana UU SPPN terkait dengan UU KN baik pada tingkat pemerintah nasional maupun tingkat daerah.
Sumber: Direktorat Otda Bappenas, 2010
Gambar 1.2. Proses Perencanaan dan Penganggaran Sesuai Amanat UU SPPN dan UU KN
Masalah yang sering timbul dari pemisahan urusan kewenangan antara proses perencanaan dan penganggaran program adalah terjadi deviasi alokasi anggaran indikatif (dalam RKP) menjadi anggaran definitif (dalam DIPA RKA-KL). Pelaksanaan koordinasi perencanaan dan penganggaran yang terjadi selama ini tidaklah mengikuti prinsip money follow function melainkan berdasarkan resource envelope yang disediakan oleh Kementerian Keuangan. Jumlah resource envelope ini sepenuhnya ditentukan oleh Kementerian Keuangan, padahal untuk menentukan besar anggaran definitif perlu melibatkan Bappenas sebagai implementasi pentingnya keselarasan sesuai dengan yang diamanatkan UU SPPN dan UUKN. Dengan kata lain Bappenas hanya terlibat sebagian dari proses perencanaan program dan penganggaran yang diamanatkan oleh UU SPPN dan UUKN. Selain itu, ditenggarai masih terdapat banyak loopholes pada proses perencanaan pembangunan yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti multi tafsir terhadap aturan, buruknya kualitas dan mekanisme perencanaan serta proses politik dalampengambilan kebijakan.
Sementara itu, kebijakan otonomi daerah dipayungi oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang juga mengatur tentang hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah. Sehingga, dalam kebijakan otonomi daerah tersebut diketahui bahwa terdapat empat Undang-undang yang secara berhimpitan mengatur mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No.25 tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004 juga mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Dengan kata lain, perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu pada keempat Undang-undang ini. Mengingat bahwa keempatnya mengatur substansi yang saling terkait, tidak menutup kemungkinan akan adanya multi interpretasi.
Disamping Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No. 25 Tahun 2004), di dalam lingkup perencanaan terdapat pula perencanaan keruangan atau tata ruang (Spatial Planning) yang juga telah dilegalkan dalam payung hukum yaitu UU No. 26 Tahun 2007. Perencanaan spasial lebih menekankan pada pembangunan fisik meskipun juga mempertimbangkan aspek pembangunan lainnya secara garis besar. Secara lebih rinci mengenai kaitan antara perencanaan ruang dengan SPPN yang dituangkan dalam dokumen – dokumen perencanaan sesuai dengan Undang – undang dan juga dalam hubungannya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat digambarkan melalui Gambar 1.2.
Berdasarkan gambar 1.3. terlihat bahwa terlihat bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) merupakan rencana jangka panjang (20 tahun) dan RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) yang juga merupakan rencana jangka panjang (20 tahun) mempunyai hubungan yang saling terkait, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) tidak mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Hubungan antara perencanaan pembangunan dan perencanaan keruangan akan menuntun pada terwujudnya perencanaan dan tujuan dari proses perencanaan.
Pemerintah menyadari akan pentingnya perencanaan itu diadakan sebelum sampai pada tahap pelaksanaan pembangunan itu sendiri, terbukti dengan adanya Badan Perencanaan Pembangunan baik di pusat maupun di daerah yang bertugas untuk menyusun perencanaan pembangunan dan penilaian atas pelaksanaannya. Oleh karena itu pemerintah memandang perlu untuk membentuk suatu badang tertentu sebagai badan perencanaan pembangunan, yang dimaksudkan agar melalui pembentukan badan ini, tugas perencanaan pembangunan dapat berjalan dengan baik sehingga maksud dan tujuan pembangunan dapat tercapai.
Sumber : Penataan Ruang Wilayah dalam Perencanaan Pembangunan Daerah (Ananto Yudono)
Gambar 1.2. Hubungan Dokumen Perencanaan dalam SPPN
Dalam rangka usaha peningkatan keserasian pembangunan di daerah diperlukan adanya peningkatan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah juga dalam rangka usaha menjamin laju perkembangan, keseimbangan dan kesinambungan pembangunan di daerah, diperlukan perencanaan yang lebih menyeluruh terarah dan terpadu sehingga sebagai realisasinya di daerah dibentuk Badan Pembangunan Daerah yang disingkat dengan Bappeda dibentuk pertama kali berdasarkan keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1974 yaitu tentang: "Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah" yang berlaku mulai tanggal 18 Maret 1974 yang kemudian dicabut dengan keluarnya keputusan Presiden Nomor 27 tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, yang mulai berlaku pada tanggal 29 Maret 1980. Bappeda adalah Badan staf yang langsung berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah yang bersangkutan. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Menyebabkan peran dan ruang lingkup Bappeda semakin lebih luas, tidak hanya mencakup perencanaan pembangunan pemerintah daerah, tetapi sudah mencakup kepada aspek perencanaan yang lebih luas lagi yaitu mencakup bidang pengembangan kebijakan publik di daerah.
Seiring perjalanan waktu, dinamika pembangunan telah membuat banyak perubahan pada paradigma maupun tata cara yang diinginkan utamanya dalam memperkuat kembali posisi UU SPPN yang terlihat statis dalam lingkungan yang cepat sekali berubah terutama terlihat pada upaya berjalannya revisi dan perbaikan pada perangkat UU lain yang terkait diantaranya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Usulan kebijakan terkait dengan revitalisasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) bertujuan untuk mewujudkan koordinasi perencanaan pembangunan Nasional yang lebih terintegrasi, terpadu, sistematis dan komprehensif sehingga tujuan yang ingin dicapai oleh perencanaan pembangunan nasional tersebut dapat terwujud. Untuk ini terdapat dua hal yang harus dibenahi yaitu penyusunan dari: (i) perencanaan program yang tepat sasaran dan (ii) perencanaan penganggaran yang lebih efektif dan efisien. Termasuk dalam kategori revitalisasi atas sistim perencanaan (terkait dengan perencanaan programnya) adalah bahwa program-program yang disusun adalah benar-benar bertujuan untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan pembangunan (prioritas nasional). Selanjutnya dalam penyusunan perencanaan penganggaran harus menggunakan prinsip "money follow function". Artinya penyusunan perencanaan program dan penganggarannya harus dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dengan menentukan program prioritas pembangunan terlebih dahulu. "Concern" pada kaitan aspek perencanaan dengan penganggaran pembangunan utamanya adalah aspek yang ingin dibahas pada kajian ekonomi karena erat kaitannya dengan keuangan publik atau ekonomi sektor publik
Sehubungan hal tersebut di atas, maka perlu disiapkan naskah untuk revitalasi perencanaan pembangunan secara utuh. Penyusunan ini dilakukan bersamaan dengan sedang berjalannya proses revisi dan pembahasan revisi beberapa UU yang erat kaitannya dengan proses perencanaan pembangunan yaitu: UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah oleh Kemendagri, UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah oleh Kemenkeu, dan UU No. 17 tentang Keuangan Negera oleh DPR. Naskah akademik Revitalisasi SPPN ini disusun untuk mengantisipasi hasil-hasil revisi-revisi tersebut di atas dan lebih jauh lagi mengakomodasi perkembangan peran daerah dalam pembangunan nasional. Selain itu, naskah akademik ini diperlukan juga untuk mengantisipasi perubahan arah koordinasi perencanaan pembangunan yang memberi penguatan lebih kepada peran pemerintah provinsi dalam hal ini peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Terkait dengan ini telah diterbitkan Revisi PP 19 dengan PP 23 Tahun 2011 dan Surat Edaran Bersama Bappenas, Kemenkeu dan Kemendagri tentang penguatan peran Gubernur. Perkembangan dan isu terkini yang terkait dengan fungsi pengawasan, percepatan pembangunan ekonomi serta Master Plan Ekonomi juga menjadi pertimbangan perlunya SPPN direvitalisasi.
Permasalahan
Bertolak dari paparan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat ditelaah lebih lanjut dalam kegiatan ini adalah:
Bagaimana Sistem Perencanaan Pembangunan nasional seharusnya dibangun?
Apa Permasalahan/kelemahan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional yang ada saat ini?
Apa upaya yang perlu dilakukan untuk memperkuat sistem perencanaan pembangunan nasional?
Tujuan
Naskah akademis tentang Revitalisasi SPPN diharapkan menjadi salah satu bahan masukan dalam rangka memposisikan kembali sistem perencanaan pembangunan yang lebih baik sesuai dengan UU SPPN dan substansi perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dalam sistem pemerintahan yang menganut asas desentralisasi dan otonomi daerah. Naskah ini diharapkan pula menjadi fondasi kuat untuk wacana merevisi UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) kedepan, terlebih dengan timbulnya kesadaran untuk perlunya mengantisipasi serta menyesuaikan UU SPPN terhadap berbagai perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem perencanaan dan pembangunan nasional.
Secara detail berikut adalah tujuan dari kegiatan ini:
Menyusun konsep ideal Posisi Perencanaan dalam konteks Pengelolaan Negara
Mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan bagi penguatan sistem perencanan pembangunan yang mampu menjamin tercapainya sinkronisasi dan sinergi perencanaan dan penganggaran antar tingkat pemerintah
Menyusun rekomendasi untuk lebih meningkatkan keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan nasional
Keluaran
Sedangkan keluaran dari kegiatan ini diharapkan dapat tersusun laporan naskah akademis yang berisi rekomendasi revitalisasi sistem perencanaan pembangunan nasional yang memuat beberapa isu strategis antara lain :
Revisi/perubahan UU terutama UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 33/2004;
Isu penguatan peran propinsi sebagai wakil pemerintah pusat;
Isu penguatan peran Bappenas, Kemenkeu dan Kemendagri sebagai 3 pilar kekuatan koordinator perencanaan dan penganggaran baik di pusat dan daerah;
Isu peningkatan efektifitas pelaksanaan program/kegiatan pembangunan nasional; dan
Isu revitalisasi pelaksanaan (Musrenbangnas) Musyawarah Pembangunan Nasional.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara riset kepustakaan dan metode diskusi sebagai ilustrasi untuk revitalisasi Sistem Perencanaan Pembangungan Nasional.
Kerangka Penulisan
Kerangka penulisan dari laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan, output yang diharapkan, metode penelitian dan kerangka penulisan.
Bab II Kerangka Berpikir berisi Konsep Perencanaan Pembangunan, Perencanaan Pembangunan sebagai Kebijakan Publik, Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah dan Perbandingan Sistem Perencanaan di Beberapa Negara
Bab III Permasalahan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan di Indonesia berisi level konsep, level kebijakan, level kelembagaan dan level teknis operasional.
Bab IV Arah Revitalisasi Sistem Perencanaan Pembangunan berisi arah penataan tingkat kebijakan sistem perencanaan pembangunan, arah penataan tingkat kelembagaan dalam mendukung perencanaan pembangunan yang efektif dan efisien dan arah penataan tingkat operasional
Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi
BAB II
KERANGKA KONSEP
Konsep dan Paradigma Perencanaan Pembangunan
Secara umum, perencanaan adalah suatu proses yang melibatkan penentuan sasaran atau tujuan organisasi, menyusun strategi yang menyeluruh untuk mencapai sasaran yang ditetapkan, dan mengembangkan hierarki rencana secara menyeluruh untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan. Maksud dari perencanaan adalah untuk memberikan arah, mengurangi dampak perubahan, memperkecil pemborosan, dan untuk menentukan standar yang digunakan dalam pengendalian (Robbins dan Coulter, 1999: 200). Perencanaan juga merupakan sebuah analisis yang menyeluruh dan sistematis dalam mengembangkan sebuah rencana kegiatan.
Disadari bahwa terdapat banyak sekali perbedaan dari definisi perencanaan bila melihat studi literatur yang tersedia. Cuningham (1993) menyatakan bahwa perencanaan adalah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima dan digunakan dalam penyelesaian. Perencanaan dalam pengertian ini menitikberatkan kepada usaha untuk menyeleksi dan menghubungkan sesuatu dengan kepentingan masa yang akan datang serta usaha untuk mencapainya. Definisi lain menyatakan bahwa perencanaan adalah hubungan antara apa yang ada sekarang dengan bagaimana seharusnya yang berkaitan dengan kebutuhan, penentuan tujuan, prioritas, program,dan alokasi sumber.
Perencanaan mempunyai makna yang komplek, perencanaan didefinisikan dalam berbagai bentuk tergantung dari sudut pandang, latar belakang yang mempengaruhinya dalam mendefinisikan pengertian perencanaan. Perencanaan adalah perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam mencapai tujuan tertentu, oleh siapa, dan bagaimana. Perencanaan dalam arti luas adalah proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Kaufman (1996) mengatakan bahwa perencanaan adalah suatu proyeksi tentang apa yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan secara sah dan berdaya guna. Dari pendapat Kaufman tersebut dapat dipahami bahwa perencanaan merupakan sesuatu yang menjadi keperluan dalam sebuah system untuk mendukung tercapainya tujuan. Tidak itu saja selain mendukung tercapainya tujuan suatu system maupun lembaga perencanaan yang dipersiapkan hendaknya bermanfaat secara aplikasi, dan lebih penting adalah dikerjakan dan disusun berdasarkan kepatutan serta tidak melanggar norma yang berlaku. Menurut Kaufman dalam perencanaan mengandung elemen-elemen sebagai berikut, pertama mengindentifikasi dan mendokumentasikan kebutuhan. Kedua, menentukan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat prioritas. Ketiga, memperinci spesifikasi hasil yang dicapai dari tiap kebutuhan yang dipioritaskan. Keempat, mengidentifikasi persyaratan untuk mencapai tiap-tiap alternatif. Kelima, mengidentifikasi strategi alternatif yang memungkinkan, termasuk di dalamnya peralatan untuk melengkapi tiap persyaratan untuk mencapai kebutuhan, untung rugi berbagai latar dan strategi yang digunakan.
Perencanaan juga merupakan aplikasi dari pemikiran yang tersusun untuk mencapai keinginan bersama. Dengan demikian perencanaan yang di susun merupakan konsep yang aplikatif dan oprasional. Dapat juga merupakan aktifitas untuk mengambil keputusan. Hal senada juga dikatakan oleh George R. Terry dengan definisi POAC bidang ilmu management bahwa perencanaan merupakan aktifitas pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan, di mana, kapan dilakukan, bagaimana melakukan dan siapa yang akan melakukan, sehingga tercapainya tujuan yang dinginkan.
Dengan demikian perencanaan adalah usaha untuk menggali siapa yang bertangungjawab terhadap berbagai aktifitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Aktifitas tersebutkan tergambar dalam sebuah perencanaan yang matang dan komprehensif. Hal ini dapat dipahami dari pendapat George R. Terry tersebut. Di sisi lain, perencanaan dapat dikatakan sebagai usaha mencari penangggungjawab terhadap berbagai rumusan kebijakan untuk dilaksanakan bersama sesuai dengan bidang masing-masing.
Jadi dapat disimpulkan, perencanaan adalah suatu proses pengembangan dan pengkoordinasian secara menyeluruh dari apa yang sudah ada sekarang untuk menjadi lebih baik agar dapat mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan, pembangunan merupakan suatu proses perubahan kearah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana (Kartasasmita,1994), pembangunan juga sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2000: 20)
Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan mereka.
Berdasarkan literatur-literatur ekonomi, pembangunan lebih sering didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil per kapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Pembangunan ekonomi digunakan secara bergantian dengan istilah seperti pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, kemajuan ekonomi dan perubahan jangka panjang. Schumpeter dan Ursula Hicks, menarik perbedaan yang lebih lazim antara istilah pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mengacu kepada negara terbelakang sedang pertumbuhan mengacu kepada masalah negara maju. Namun, ada juga pakar yang menganggap tidak terdapat perbedaan antara pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi karena mengacu kepada suatu peralihan ke sesuatu yang baru dari sesuatu yang lama, yang telah lama dipergunakan. Pertumbuhan merupakan acuan kepada kemajuan dan pembangunan hanyalah sebagai variasi. Pembangunan ekonomi juga tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Pengertian pertumbuhan ekonomi diberikan oleh Bannock dkk dalam "A Dictionary of Economics" merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam meliputi tanah dan kekayaan alam, sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut, dan keahlian atau kewirausahaan. Sedangkan, faktor non ekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.
Teori pembangunan ekonomi dapat digolongkan menjadi lima golongan besar yaitu Klasik, Karl Marx, Neoklasik, Scumpeter, dan Post Keynesian. Aliran-aliran ini mengemukakan sebab-sebab pertumbuhan pendapatan nasional dan proses pertumbuhannya. Teori pembangunan ekonomi sendiri dapat ditelusuri setidaknya sejak abad ke-18.
Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan diawali apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja. Teori ini didasarkan pada lingkungan social ekonomi yang berlaku di Inggris dan bagian – bagian tertentu di Eropa. Teori yang mengasumsikan adanya pembagian masyarakat secara jelas antara kapitalis dan para buruh. Adam Smith menyakini bahwa pembagian kerja akan meningkatkan daya produktivitas tenaga kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan.
Aliran klasik lainnya yaitu Malthus (1798), memandang bahwa terdapat hubungan pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan penduduk dimana negara yang hanya mengalami pertambahan penduduk saja, usaha peningkatan kesejahteraan akan berjalan sangat lambat. Tambahan permintaan tergantung kepada kenaikan jumlah penduduk yang terus menerus. Namun, hal itu juga perlu diikuti oleh perkembangan unsur lain seperti turunnya biaya produksi dan kenaikan jumlah capital. Apabila jumlah produksi bertambah maka secara otomatis permintaan akan ikut bertambah pula karena pada hakekatnya kebutuhan manusia tidak terbatas.
Malthus mengajukan beberapa saran dalam meningkatkan pembangunan ekonomi yaitu pertama, pertumbuhan berimbang, dimana Malthus membagi perekonomian yaitu sektor pertanian dan sektor industri. Kemajuan teknologi pada kedua sektor itulah yang dapat membawa kepada pembangunan ekonomi dan kedua, menaikkan permintaan efektif, tidak hanya kemajuan teknologi dapat mendorong pembangunan kecuali kalau permintaan efektif meningkat.
Teori David Ricardo yang sangat dipengaruhi dari teori perkembangan penduduk dari Malthus dan teori hasil lebih yang semakin berkurang, mengungkapkan pandangannya mengenai pembangunan ekonomi dengan cara yang tidak sistematis. Ricardo menekankan pentingnya pembangunan pertanian dalam pertumbuhan ekonomi, sebab pembangunan industri tergantung pada sektor ini. Disamping itu, Teori Ricardo juga memperlihatkan pentingnya perluasan berbagai sumber tabungan dan kenaikan tingkat keuntungan sebagai pemupukan modal atau keuntungan. Menurut Ricardo ada kecenderungan alamiah bahwa tingkat keuntungan akan menurun dalam perekonomian, sehingga negara akhirnya mencapai keadaan stationer. Apabila pemupukan modal meningkat sebagai akibat meningkatnya keuntungan, maka jumlah keseluruhan produksi meningkat sehingga dana upah meningkat. Dengan meningkatnya dana upah, penduduk akan meningkat yang pada gilirannya akan menaikkan permintaan gandum dan harganya. Dengan jumlah penduduk meningkat. sedang tanah tetap, maka kualitas tanah yang kurang baik terpaksa diolah untuk memenuhi permintaan gandum yang meningkat. Akibat dari penggunaan tanah yang semakin luas, sewa tanah akan naik. Hal ini akan mengurangi bagian dari pemilik modal dan buruh. Akibatnya keuntungan menurun begitu juga upah cenderung jatuh ke tingkat yang cukup untuk hidup secara minimal Sebaliknya pendapatan tuan tanah dari sewa akan mengalami peningkatan. Proses naiknya sewa dan menurunnya keuntungan ini berlanjut terus sampai out put dari tambahan tanah menyamai upah minimal dari buruh yang dipekerjakan. Akhirnya keuntungan adalah sama dengan nol. Tibalah apa yang disebut keadaan stationer.
Untuk mengatasi keadaan stationer tersebut dapat diatasi dengan adanya perkembangan/ kemajuan dibidang teknologi dan tuan tanah mau menggunakan pendapatan yang diterimanya untuk pembentukan modal. Kenaikan produktivitas yang tinggi disertai dengan adanya kemajuan di bidang teknologi mengakibatkan tingkat pendapatan pengusaha tinggi, tingkat upah juga tinggi dengan tingkat pendapatan yang tinggi ini maka dapat untuk usaha yang lebih besar lagi maka proses pertumbuhan ekonomi dapat berjalan terus. Namun demikian proses ini tidak dapat berlangsung terus karena penduduk terus bertambah yang mengakibatkan tingkat upah menjadi menurun, pendapatan pengusaha juga menurun. Dengan demikian kemajuan di bidang teknologi hanya bersifat memperlambat proses.
Berikutnya, Teori John Stuart Mill yang sependapat dengan Adam Smith mengemukkan bahwa spesialisasi atau pembagian kerja akan mempertinggi keahlian pekerja, memperbaiki organisasi produksi dan mendorong dilakukannya inovasi sehingga akan mempertinggi tingkat produktivitas dan mempelancar pembangunan ekonomi. Suatu spesialisasi luas ini dibatasi oleh luas pasar. Sedangkan Mengenai pandangan penduduk, Teori John Stuart Mill ini sejalan dengan Ricardo yaitu penduduk akan semakin meningkat terus, luas tanah tetap sehingga berlaku hukum hasil lebih yang semakin berkurang yang selanjutnya mengakibatkan keadaan stationer.
Sumbangan yang penting dari Mill dalam pembangunan ekonomi ini adalah mengenai faktor-faktor non ekonomi seperti Kepercayaan masyarakat, kebiasaan – kebiasaan berpikir masyarakat, adat istiadat ataupun corak institusi. Mill berpendapat bahwa faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang penting yang menyebabkan ketiadaan pembangunan ekonomi di Asia. Di samping itu tingkat pengetahuan masyarakat akan mempengaruhi pembangunan ekonomi, sebab tingkat pengetahuan ini akan menentukan tingkat kemajuan industri yang dapat dicapai. Kaum klasik seperti Adam Smith, Malthus, David Ricardo dan Mill pada dasarnya banyak membahas masalah-masalah mikroekonomi, yang dalam perkembangan selanjutnya teori tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh kaum neo klasik.
Pada abad 19, Karl Marx menggabungkan berbagai aliran pemikiran meliputi distribusi sosial dari sumber daya, mencakup karya Adam Smith, juga pemikiran socialism dan egalitarianism, dengan menggunakan pendekatan sistematis pada logika yang diambil dari George Wilhelm Friedrich Hegel untuk menghasilkan Das Kapital. Ajarannya banyak dianut oleh mereka yang mengkritik ekonomi pasar selama abad 19 dan 20. Karl Marx Mengemukakan teorinya berdasarkan atas sejarah perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat tersebut berlangsung dalam lima tahap yaitu: masyarakat primitif (sifatnya masih sangat sederhana, tidak ada surplus produksi karena masyarakat membuat sendiri barang-barang yang mereka butuhkan), masyarakat perbudakan (masyarakat yang tidak memiliki modal dijadikan budak), masyarakat feodal (kaum bangsawan yang memiliki tanah), masyarakat kapitalis (memperkerjakan kelas buruh karena mereka tidak memiliki alat produksi), masyarakat sosial (kepemilikan alat-alat produksi didasarkan atas hak milik social, memberi kesempatan kepada manusia untuk maju baik dilapangan produksi maupun didalam kehidupan).
Pendapat Karl Marx didasarkan pada kapitalis akan mengalami suatu keruntuhan dalam jangka panjang dan atas dasar ini maka komunis mendirikan bangunan besarnya. Analisa Marx merupakan suatu pengamatan yang paling tajam mengenai proses pembangunan kapitalis. Analisa ini memberikan pengaruh yang kuat dalam menentukan kebijakan yang dilakukan oleh Uni Soviet (dahulu), Cina dan negara komunis lainnya.
Selanjutnya, Aliran Neo-Klasik banyak menyumbangkan pendapatnya terhadap teori tingkat suku bunga dan dengan demikian banyak membahas masalah akumulasi kapital. Menurut Kaum Neo-Klasik, tingkat bunga dan tingkat pendapatan menentukan tingginya tingkat tabungan, tingkat bunga juga menentukan tingginya tingkat investasi, jika tingkat bunga rendah maka investasi akan tinggi dan sebaliknya (Akumulasi Kapital). Perkembangan ekonomi terjadi sebagai proses yang gradual. Perkembangan juga sebagai proses yang harmonis dan kumulatif, maksudnya adalah proses ini melibatkan faktor yang tumbuh bersama, sebagai contoh adalah perkembangan industri itu tergantung pada baiknya pembagian kerja di antara para buruh. Selain itu, kaum Neo-Klasik optimis bahwa manusia mampu untuk mengatasi terbatasnya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi juga memerlukan aspek internasional.
Bagi Neo-Klasik hal yang terpenting adalah adanya kemampuan untuk selalu menabung dan berhemat. Disamping Pemerintah selalu berusaha untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Suatu negara dalam perkembangan ekonomi akan mengalami tahapan-tahapan sebagai berikut :
Pada awalnya suatu negara merupakan negara peminjam atau impor kapital (immatture debtor)
Setelah kapital tersebut memberikan hasil, mulai negara tersebut membayar deviden dan bunga atas pinjaman kapital tersebut.
Setelah pendapatan nasionalnya meningkat terus, maka sebagian dari penghasilan tersebut digunakan untuk melunasi hutang dan sebagian lagi dipinjamkan ke negara lain yang membutuhkan. Akan tetapi deviden dan bunga yang harus dibayar masih melebihi deviden dan bunga yang diterima dari negara lain. Maka negara tersebut termasuk negara dengan tingkat debitur yang sudah mapan (mature debtor).
Akhirnya negara tersebut hanya menerima deviden dan bunga saja dari negara lain. Negara tersebut sekarang sudah pada tingkat kreditur yang sudah mapan (mature creditor).
Masih dalam aliran Neo-Klasik, Teori Keynes banyak ditujukan untuk negara kapitalis maju dari pada negara berkembang. Menurutnya pendapatan total merupakan fungsi dari pekerjaan total dalam suatu negara. Semakin besar pendapatan nasional, semakin besar volume pekerjaan yang dihasilkannya demikian pula sebaliknya. volume pekerjaan tergantung pada permintaan efektif. Permintaan efektif ini terdiri dari permintaan untuk konsumsi dan investasi. Sedang permintaan konsumsi sangat tergantung pada kecenderungan untuk berkonsumsi (MPC) yang kenaikannya tidak secepat kenaikan pendapatan.
Perbedaan antara besarnya pendapatan dan konsumsi dapat diatasi dengan adanya investasi. Bila jumlah investasi tidak terpenuhi maka harga akan turun. Akibatnya pendapatan dan pekerjaan akan turun sampai perbedaan tersebut terpenuhi. Volume investasi ini tergantung pada efisiensi marginal dari modal dan suku bunga. Hal ini merupakan tingkat hasil yang diharapkan dari aktiva modal baru. Kenaikan dalam volume investasi akan mengakibatkan naiknya pendapatan dan selanjutnya akan meningkat konsumsi masyarakat.
Teori pembangunan ekonomi selanjutnya didasarkan kepada teori Schumpeter. Joseph Alois Schumpeter pertama kali mengemukakan teori pertumbuhan ekonominya dalam buku Theory of economic Development yang terbit di Jerman tahun 1911, yang kemudian diuraikan dan direvisi dalam Business Cycles tahun 1939 dan Capitalism, Sosialicism, and Democracy pada tahun 1942 tanpa ada perubahan yang berarti.
Menurut Schumpeter pembangunan ekonomi merupakan perubahan spontan dan terputus-putus (discontinous), yaitu merupakan gangguan-gangguan terhadap keseimbangan yang telah ada. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan terutama dalam lapangan industri dan perdagangan. Adanya wiraswasta (Enterpreneur), innovator, yang melaksanakan kombinasi-kombinasi baru faktor produksi, seperti: mengemukakan atau mengenalkan barang-barang baru atau barang-barang berkualitas baru yang belum dikenal oleh konsumen, mengenalkan suatu metode produksi yang baru, pembukaan pasar baru bagi perusahaan, penemuan sumber-sumber ekonomi baru, menjalankan organisasi baru dalam industri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa individu adalah tiap perubahan dalam fungsi produksi yang akan mempengaruhi kenaikan hasil produksi. Schumpeter berkeyakinan sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun demikian dalam jangka panjang kapitalis akan mengalami keadaan tidak berkembang atau stagnan.
Terakhir, teori Post Keynesian, Teori-teori yang dikemukan sejak Perang Dunia II yang umumnya mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Keynes. Pemikiran Keynes ini ditandai dengan adanya unsur-unsur dinamika dalam sistem analisis tentang proses dan perkembangan ekonomi sehingga teori Keynes ini dapat terus berlangsung dan berkembang. Sebagai salah satu contoh teori yang bersumber dari Keynes ini adalah teori yang dikemukakan oleh Harrod.
Pokok pikiran Harrod berkisar pada masalah pertumbuhan ekonomi yang dapat berlangsung secara terus menerus dalam pola keadaan ekuilibrium yang stabil. Menurut pendapat Harrod, pertumbuhan yang stabil dan kontinu (pendapatan dan kesempatan kerja penuh) hanya bisa dicapai jika dipenuhi kedua syarat yaitu berlangsungnya laju pertumbuhan yang warranted atau laju pertumbuhan produksi dan pendapatan pada tingkat yang dianggap dari sudut pandang para pengusaha/ investasi maupun laju pertumbuhan yang natural atau laju pertumbuhan produksi dan pendapatan yang ditentukan oleh kondisi dasar (fundamental conditions) yang menyangkut antara lain : bertambahnya angkatan kerja, karena penduduk bertambah dan meningkatnya produktivitas kerja, karena kemajuan di bidang teknologi.
Membicarakan teori Harrod pasti akan dikaitkan dengan teori dari Domar sehingga secara implisit kedua teori ini seperti satu. Pada intinya analisanya berpusat pada penentuan keadaan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan pendapatan riil yang terus menerus tanpa ada suatu gangguan apa-apa. harrod dan Domar menakankan pada pentingnya peranan akumulasi kapital dalam proses pertumbuhan. Bahwa akumulasi kapital akan menimbulkan pendapatan dan di samping itu akan menaikkan kapasitas produksi dengan cara memperbesar persediaan kapital.
Analisis Post Keynesian menggunakan anggapan berdasarkan atas keadaan waktu sekarang seperti mengenai tingkat teknik tenaga kerja selera, dengan tidak memperhatikan keadaan jangka panjang. Teori ini juga berpendapat bahwa apabilah jumlah penduduk bertambah maka pendapatan rill perkapitah akan berkurang kecuali bila pendapat rill juga bertambah
Teori dan model pertumbuhan yang dihasilkan tersebut dijadikan panduan konsep pembangunan, walaupun tidak semua teori atau model dapat digunakan, namun berbagai pendapat mengenai peranan faktor pengeluaran termasuk buruh, tanah, modal dan pengusaha dapat menjelaskan penyebab tidak terlaksananya pembangunan dalam sebuah negara. Pada tahap awal, pendapatan per kapita menjadi alat ukur utama bagi pembangunan. Namun sesuai dengan perubahan waktu, aspek pembangunan manusia dan pembangunan sumber daya alam semakin ditekankan. Pembangunan sumber daya alam melihat kepada aspek manfaat kepada generasi akan datang melalui kebijakan masa kini. Oleh karena itu konsep pembangunan dan pertumbuhan tidak ditafsirkan dari perspektif ekonomi saja.
Pembangunan ekonomi sebuah negara pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. Kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat tercipta melalui bekerjanya pasar secara efisien. Mekanisme pasar akan bekerja secara efisien apabila tersedia tata aturan dan hukum-hukum pasar yang dilaksanakan dengan baik. Ketersediaan tata aturan dan hukum tersebut mengundang peran para pembuat undang-undang (parlemen) dan pelaksana undang-undang (pemerintah).
Menurut Rancangan awal rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025,Pembangunan ekonomi adalah kemampuan ekonomi untuk tumbuh yang cukup tinggi, berkelanjutan, mampu meningkatkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat secara luas, serta berdaya saing tinggi didukung oleh penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam mengembangkan sumber-sumber daya pembangunan.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pembangunan ekonomi diarahkan kepada pemantapan sistem ekonomi nasional untuk mendorong kemajuan bangsa dengan ciri-ciri sebagai berikut.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Terkait dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) tersebut, Deddy Bratakusumah (2004) mengartikan perencanaan pembangunan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan - keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktifitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental/spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. Dapat dikatakan bahwa Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang berdifat menyeluruh lengkap, tapi tetap berpegang teguh pada azas skala prioritas.
Proses perencanaan pembangunan dimulai dengan rencana pembangunan atau mungkin hanya dengan formulasi kebijaksanaan- kebijaksanaan pembangunan yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, kemudian diikuti dengan berbagai langkah-langkah kegiatan formulasi rencana dan implementasinya, dapat diusahakan rencana itu bersifat realistis dan dapat menanggapi masalah-masalah yang benar-benar dihadapi.
Pentingnya peranan perencanaan pembangunan menjadi bagian yang tak terhindarkan sebagai suatu kebutuhan untuk menyusun rancangan kebijakan, program dan kegiatan yang secara konsisten menuju pada cita-cita yang disepakati bersama. Fungsi perencanaan diperlukan untuk menjelaskan dan memberikan mekanisme pengambilan keputusan yang rasional dan bertanggungjawab atas berbagai pilihan.
Ciri-ciri perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut :
Menghasilkan program-program yang bersifat umum.
Analisis perencanaan bersifat makro.
Lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan jangka menengah dan panjang.
Memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas.
Fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan perencanaan pembangunan jangka pendek.
Selanjutnya, Menurut Arsyad (1999: 23), fungsi-fungsi perencanaan pembangunan secara umum adalah:
Dengan perencanaan, diharapkan terdapatnya suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan.
Dengan perencanaan, dapat dilakukan suatu perkiraan potensi-potensi, prospekprospek pengembangan, hambatan, serta resiko yang mungkin dihadapi pada masa yang akan datang.
Perencanaan memberikan kesempatan untuk mengadakan pilihan yang terbaik.
Dengan perencanaan, dilakukan penyusunan skala prioritas dari segi pentingnya tujuan.
Perencanaan sebagai alat untuk mengukur atau standar untuk mengadakan evaluasi.
Perubahan Paradigma Perencanaan Pembangunan
Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan pembangunan telah dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-rencana tersebut mencapai tahap yang matang dan membuahkan hasil yang memuaskan (Tjokroamidjoyo 1982).
Selanjutnya, Pada masa Orde Baru pemerintah berfokus pada pembangunan karena Indonesia merupakan negara berkembang dan salah satu cara agar tujuan negara tercapai yakni negara maju dengan mensejahterakan rakyatnya maka dibentuklah program atau perencanaan pembangunan. Adapun teori pembangunan yang dianut pada perencanaan pembangunan pada masa orde baru disebut teori Rostow.
Teori pembangunan Rostow termasuk dalam teori linier tahapan pertumbuhan ekonomi, yang memandang proses pembangunan sebagai suatu tahap-tahap yang harus dialami oleh seluruh negara. Proses pembangunan sebagai suatu urutan tahap-tahap yang harus dilalui oleh seluruh negara. Industrialisasi merupakan salah satu kunci dari perkembangan.
Menurut Walt W. Rostow, pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi suatu masyarakat modern merupakan proses yang multidimensi. Pembangunan ekonomi bukan saja pada perubahan dalam struktur ekonomi, tetapi juga dalam hal proses yang menyebabkan : perubahan reorientasi organisai ekonomi, perubahan masyarakat, perubahan penanaman modal, dari penanam modal tidak produktif ke penanam modal yang lebih produktif, perubahan cara masyarakat dalam membentuk kedudukan seseorang dalam sistem kekeluargaan menjadi ditentukan oleh kesanggupan melakukan pekerjaan dan perubahan pandangan masyarakat yang pada mulanya berkeyakinan bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh alam.
Dalam dimensi ekonominya menurut Rostow, semua masyarakat dikelompokkan ke dalam salah satu dari lima tahap pertumbuhan, yakni:
Masyarakat tradisional, dimana fungsi produksi yang terbatas dengan ditandai oleh cara produksi yang relative masih primitif dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai yang rasional. Menurut Rostow, dalam tahapan ini tingkat produktivitas per pekerja masih rendah, sehingga sebagian besar sumberdaya masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian.
Prasyarat tinggal landas yang didefinisikan Rostow sebagai suatu masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatan sendiri (self-sustained growth). Tahap ini mempunyai 2 corak yaitu pertama, tahap ini dicapai dengan perombakan masyarakat tradisional yang sudah lama ada. Tahap ini dialami oleh negara–negara Eropa, Asia Timur, Timur Tengah dan Afrika. Kedua, perombakan masyarakat tanpa harus merombak sistem masyarakat tradisional seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru.
Tinggal landas, pada tahap ini terjadi perubahan yang drastic dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbukanya pasar – pasar baru, sebagai akibat dari investasi. Investasi yang semakin tinggi ini akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan nasional dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk, dengan demikian tingkat pendapatan per kapita semakin besar.
Rostow mengemukakan 3 ciri utama dari negara – negara yang sudah mencapai masa tinggal landas yaitu :
Terjadinya kenaikan investasi produktif dari 5 persen atau kurang menjadi 10 persen dari Produk Nasional Bersih (Net National Product = NNP)
Berlakunya perkembangan satu atau beberapa sektor industri dengan tingkat laju perkembangan yang tinggi.
Terciptanya suatu rangka dasar politik, sosial dan institusional yang akan menciptakan perkembangan sektor modern dan eksternalitas ekonomi yang bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi terus terjadi
Adapun contoh negara yang sudah pernah mencapai tahap lepas landas menurut penafsiran Rostow dapat dikemukakan di bawah ini.
NEGARA
MASA TINGGAL LANDAS
SEKTOR PEMIMPIN
Inggris
1783 – 1802
Industri Tekstil
Perancis
1830 – 1860
Jaringan Jalan Kereta Api
Belgia
1833 – 1860
-
Amerika Serikat
1843 – 1860
Jaringan Jalan Kereta Api
Jerman
1850 – 1873
Jaringan Jalan Kereta Api
Swedia
1868 – 1890
Industri Kayu
Jepang
1878 - 1900
Industri Sutera
Rusia
1890 - 1914
Jaringan Jalan Kereta Api
Kanada
1896 - 1914
Jaringan Jalan Kereta Api
Argentina
1935
Industri Substitusi Impor
Turki
1937
-
India
1952
-
Cina
1952
-
Sumber:
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar negara Barat mencapai masa tinggal landas pada abad yang lalu, kecuali Inggris yang sudah mencapainya seabad sebelumnya kemudian masa tinggal landas berkisar antara 20 – 30 tahun.
Untuk masing-masing negara dalam menciptakan sektor pemimpin adalah berbeda-beda, sebagai contoh misalnya di Inggris sebagai sektor pemimpin dalam tahap lepas landas adalah tekstil katun, di Amerika Serikat, Perancis dan Jerman sebagai sektor pemimpin adalah perkembangan jaringan jalan kereta api. Namun demikian dalam menciptakan sektor pemimpin perlulah dipenuhi 4 faktor berikut:
Harus terdapat kemungkinan memperluas pasar untuk barang-barang yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi yang mempunyai kemungkinan untuk berkembang dengan cepat.
Dalam sektor ini harus dikembangkan teknik produksi yang lebih modern dan kapasitas memproduksinya harus dapat diperluas.
Dalam masyarakat harus tercipta tabungan dan para pengusaha harus menanamkan kembali keuntungannya untuk membiayai pengembangan sektor-sektor pemimpin.
Perkembangan dan transformasi teknis sektor pemimpin haruslah menciptakan permintaan akan perluasan kapasitas dan modernisasi sektor-sektor lain.
Dorongan Menuju Kedewasaan, merupakan tahap ketika masyarakat telah dengan efektif menerapkan teknologi modern terhadap keseluruhan sumber daya mereka. Tahapan ini merupakan satu tahap pertumbuhan swadaya jangka panjang yang melebihi masa empat dawawarsa. Teknik baru menggantikan teknik yang lama, berbagai sektor penting baru tercipta, tingkat investasi netto lebih dari 10 persen dari pendapatan nasional dan perekonomian yang kuat.
Rostow membuat suatu taksiran kasar mengenai tahap gerakan kearah kedewasaan yang telah dicapai oleh beberapa negara :
Inggris
1850
Amerika Serikat
1900
Jerman
1910
Perancis
1910
Swedia
1930
Jepang
1940
Rusia
1950
Kanada
1950
Ada tiga perubahan penting yang terjadi ketika suatu negara berada pada tahap kedewasaan teknologi yaitu pertama, sifat tenaga kerja yang berubah menjadi terdidik, orang yang lebih suka tinggal di kota daripada di desa, upah nyata mulai meningkat dan terciptanya serikat kerja dalam mendapat jaminan social dan ekonomi yang lebih besar. Kedua, watak dari pengusaha yang berubah, pekerja keras dan kasar berubah menjadi manajer yang efisien. Ketiga, masyarakat merasa bosan pada keajaiban industrialisasi dan menginginkan sesuatu yang baru menuju perubahan yang lebih jauh.
Era Konsumsi tinggi, suatu tahap dimana perhatian masyarakat telah lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat dan bukan lagi pada masalah produksi, masa ini ditandai dengan migrasi ke pinggiran kota, pemakaian mobil secara luas, barang – barang konsumen dan peralatan rumah tangga yang tahan lama.
Menurut sejarah, Amerika Serikat adalah negara pertama (1920) yang mencapai era konsumsi tinggi, diikuti Inggris pada 1930-an, Jepang dan Eropa Barat pada 1950-an dan Rusia setelah kematian Stalin.
Sejak tahun 1967, pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow tersebut dan menjadikannya landasan jangka panjang yang ditetapkan secara berkala untuk jangka waktu lima tahunan (Repelita). Program Repelita ini dimulai dari penguatan sektor pertanian tradisional, berkembang menjadi industri pertanian dan orientasi ekspor, sampai kemudian—pada Repelita terakhir—mengarah kepada pengembangan sektor jasa seperti telekomunikasi dan pendidikan. Repelita sendiri merupakan pedoman yang berisikan visi pemerintah ke depan. Pada saat Repelita awal dibuat, pemerintahan Soeharto sudah memiliki visi sampai 25 tahun ke depan. Perencanaan yang tidak dimiliki oleh pemerintahan sesudahnya.
Proses perencanaan pada era Repelita selalu didasarkan kepada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dihasilkan oleh MPR yang bersidang lima tahun sekali. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Repelita, proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama output perencanaan kurang dilibatkan secara aktif.Mekanisme dan bagan alir dari proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
UUD 1945GBHNREPELITAAPBNSARLITALAPORAN MANDATARISPIDATO TAHUNAN
UUD 1945
GBHN
REPELITA
APBN
SARLITA
LAPORAN MANDATARIS
PIDATO TAHUNAN
Sumber: Bappenas
Gambar 2.1. Siklus Perencanaan Pembangunan Nasional 1969 – 1998
Momentum reformasi membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004.
Adanya desentralisasi dan otonomi daerah mengakibatkan jenis rencana pembangunan menjadi beragam sesuai dengan jenis pemerintahan yang ada menurut UU No.22 Tahun 1999. Rencana-rencana tersebut tidak ada hubungan secara hierarkhi, sebagai contoh, Rencana Pembangunan Kota bukan merupakan turunan atau penjabaran dari Rencana Pembangunan Propinsi, dan seterusnya. Dengan mengacu kepada jenis pemerintahan yang ada, maka jenis rencana pembangunan setidaknya ada empat jenis yaitu: (1) Program Pembangunan Nasional, (2) Program Pembangunan Daerah Propinsi, (3) Program Pembangunan Daerah Kabupaten, dan (4) Program Pembangunan Daerah Kota. Bagan dari jenis perencanaan pada era desentralisasi terlihat pada Gambar2.2.
Propenas agak berbeda dengan Repelita. Paradigma yang digunakan dalam perumusan Repelita pada waktu itu sangat mendalam (komprehensif) yaitu menguraikan secara panjang lebar dan terinci rencana pembangunan menurut sektor dan daerah. Sedangkan dalam Propenas digunakan paradigma yang menekankan pada skala prioritas dalam perumusan masalah dan penyelesaiannya (strategic choices). Dalam Propenas agenda-agenda kebijakan yang penting, mendesak, dan mendasar yang menjadi prioritas bagi bangsa pada masa lima tahun ke depan lebih diutamakan dan ditonjolkan. Pendekatan ini sejalan dengan keterbatasan pembiayaan dalam masa krisis ini. Isu integrasi bottom up dan top down, pada masa itu tercermin dari terminologi AKU (Arah Kebijakan Umum) yang mewakili top down dan "Jaring Asmara" (penjaringan aspirasi masyarakat) sebagai cermin "suara akar rumput" (baca: bottom up).
Masa transisi reformasi itu juga terasa dalam kebijakan perencanaan. Jika reformasi diawali pada tahun 1998, kemudian pada tahun 1999 mulai ada amandamen pertama terhadap UUD 1945, lalu di tahun 2000 dunia perencanaan mulai "menanggalkan" GBHN dan menggantinya dengan Propenas yang kemudian terus berkembang ampai amandemen ketiga (2001) dan keempat (2002) yang pada akhirnya di tahun 2004 dikeluarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN.
Gambar 2.2. Perencanaan pada Awal Era Desentralisasi (PROPENAS)
UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional. UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Perencanaan pembangunan pasca reformasi maupun orde baru sebenarnya dipengaruhi oleh Teori Modernisasi dan Teori Dependensi. Teori Modernisasi berakar pada paradigma pembangunan struktural, sedangkan Teori Dependensi berakar dari pembangunan konflik. Modernisasai mewarisi pemikiran teori evolusi dan teori fungsionalisme dengan tokoh-tokoh misalnya Talcott Parson, Max Weber dan lain-lain. Teori Dependensi lahir dari dua induk, pertama berasal dari pemikiran ahli ekonomi liberal Raul Prebisch sedangkan yang kedua berasal dari teori-teori Marxis tentang Imperialisme dan Kolonialisme, serta seorang pemikir Marxis yang merevisi pandangan Marx tentang cara mengurai hubungan negara dunia ketiga dengan negara maju, serta memberikan makna tentang pembangunan bagi Negara Dunia Ketiga.
Kedua Teori yang berakar dan dua Paradigma diatas melahirkan strategi pembangunan yang berbeda pula di Negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, secara bergantian dan keduanya pernah diterapkan secara bergantian,yang terbagi dalam dua dekade besar yaitu 1945 -1966 dan pada 1966 -1990-an. Sedangkan sejak 1990-an hingga sekarang kita menggunakan strategi pembangunan campuran.
Strategi Pembangunan campuran ini ditandai antara lain oleh hal-hal berikut, masih membuka tangan bagi masuknya modal asing, walaupun selektif, masih mengandalkan investasi, khususnya dari luar untuk perluasan lapangan kerja, Defisit APBN tidak ditutup oleh pinjaman luar negeri tetapi pemasukan pajak dan Indonesia keluar dari konsep IMF. Indonesia mengandalkan Kebijakan Otonomi Daerah untuk meningkatkan pemerataan dan pendapatan daerah, meski tetap mempertahankan kebijakan Pembangunan berkelanjutan. Secara serius mengandalakan pembiayaan pembangunan proyek-proyek termasuk proyek infrastruktur kepada swasta.
Adapun perencanaan pembangunan pasca reformasi adalah Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari:
Rencana pembangunan jangka panjang;
Rencana pembangunan jangka menengah; dan
Rencana pernbangunan tahunan.
Perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam aspek perencanaan tercermin dalam hubungan antar berbagai dokumen perencanaan antara pusat dan daerah:
Selanjutnya mengenai dokumen perencanaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pernerintahan Negara Indonesia yang tercanturn dalam Pembukaan UUD 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pernbangunan Nasional.
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, mernuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif
Renstra-KL memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif.
Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta. memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
RPJP Daerah mernuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional
RPJM Daerah merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program SKPD, lintas SKPD, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKP, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
RPJP NASIONALRPJM NASIONALRENSTRA - KLRKP NASIONALRENJA - KLRPJP DAERAHRPJM DAERAHRENSTRA - SKPDRKP DAERAHRENJA - SKPD20 Tahun 5 Tahun5 Tahun1 Tahun1 Tahun
RPJP NASIONAL
RPJM NASIONAL
RENSTRA - KL
RKP NASIONAL
RENJA - KL
RPJP DAERAH
RPJM DAERAH
RENSTRA - SKPD
RKP DAERAH
RENJA - SKPD
20 Tahun
5 Tahun
5 Tahun
1 Tahun
1 Tahun
Sumber: UU No. 25 Tahun 2004
Gambar 2.3 Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan
Perencanaan Substantif dan Prosedural
Pengertian Perencanaan dalam kacamata substantif dan prosedural:
perencanaan substantif menyangkut unsur-unsur mutlak dalam perencanaan, mutlak karena dalam prosedur manapun, perencanaan substantif selalu menyangkut unsur dan tujuan sama: mengoptimalisasi pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan.
perencanaan prosedural menyangkut unsur-unsur relatif dalam perencanaan, relatif karena prosedur perencanaan akan berbeda-beda tergantung pada sistem sosial, politik, dan tata pemerintahan dalam suatu negara
Secara substantif, perencanaan diartikan sebagai "suatu upaya untuk mengoptimalisasi sumber daya yang terbatas untuk pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas, agar diperoleh masa depan yang lebih baik". Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga konsep pokok yang menjadi dasar dalam memahami pengertian perencanaan secara substantif yaitu: sumber daya, kebutuhan, dan masa depan. Dalam pendekatan ini, perencanaan adalah kegiatan kreatif untuk melakukan provisi dan regulasi agar pemenuhan kebutuhan publik dapat dilakukan secara optimal dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada.
Secara prosedural, perencanaan memiliki proses siklikal yang meliputi kegiatan: (1) merumuskan tujuan; (2) mengidentifikasi kebutuhan dan sumber daya; (3) merumuskan kegiatan; (4) memutuskan, alokasi sumber daya untuk kegiatan prioritas; (5) pelaksanaan kegiatan; (6) monitoring; dan (7) evaluasi. Dari pengertian ini nampak bahwa perencanaan memuat juga aktivitas pelaksanaan. Dengan demikian perencanaan prosedural diartikan sebagai pembagian peran antara masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam kegiatan provisi dan regulasi agar pemenuhan kebutuhan publik dapat dilakukan secara optimal dan mempertimbangkan sumber daya yang ada melalui suatu prosedur tertentu.
Secara prosedural terdapat pula 4 (empat) paradigma perencanaan:
Totally controlled system
Totally free market or anti planning
Prosedur perencanaan yang menekankan pada peran para ahli perencanaan sebagai klien pemerintah dan masyarakat. Mereka merumuskan alternatif provisi dan regulasi yang diperlukan masyarakat. Melalui serangkaian proses konsultasi publik, alternatif ini ditawarkan kepada masyarakat, kemudian diputuskan oleh pemerintah melalui mekanisme kenegaraan. Dalam hal ini, masyarakat adalah sumber informasi dan aspirasi bagi perumus kebijakan (pemerintah dan para profesional).
Prosedur perencanaan yang menekankan pada peran para aktivis sebagai pembela masyarakat dan pengontrol pemerintah. Mereka bekerja bersama masyarakat untuk merumuskan kebutuhan publik dan mengidentifikasi sumber daya untuk memenuhinya.
Dalam konsep perencanaan sering pula ditekankan pentingnya perencanaan strategis dalam kegiatan sektor publik dengan karakteristik tertentu. Secara singkat, berdasar rangkuman dari beberapa pustaka (antara lain: Bryson, 1988; Bryson dan Einsweiler, 1988; Gordon, 1993; Djunaedi, 1995), perencanaan strategis untuk sektor publik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Dipisahkan antara rencana strategis dengan rencana operasional. Rencana strategis memuat antara lain: visi, misi, dan strategi (arahan kebijakan); sedangkan rencana operasional memuat program dan rencana tindakan (aksi).
Penyusunan rencana strategis melibatkan secara aktif semua stakeholders di masyarakat (dengan kata lain, Pemerintah bukan satu-satunya pemeran dalam proses perencanaan strategis).
Tidak semua isu atau masalah dipilih untuk ditangani. Dalam proses perencanaan strategis, ditetapkan isu-isu yang dianggap paling strategis atau fokus-fokus yang paling diprioritaskan untuk ditangani.
Kajian lingkungan internal dan eksternal secara kontinyu dilakukan agar pemilihan strategi selalu "up to date" berkaitan dengan peluang dan ancaman di lingkungan luar dan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang ada di lingkungan internal.
Perencanaan Pembangunan sebagai Kebijakan Publik
Perencanaan Pembangunan ditinjau dari proses kebijakan publik
Suatu sistem pembanguan nasional berpengaruh terhadap berbagai bidang kehidupan, sehingga suatu sistem pembangunan nasional berkaitan erat dengan kebijakan yang ditempuh dan strategi yang dipilih. Kebijakan publik memiliki kaitan dengan administrasi pembangunan atau proses pembangunan nasional, baik itu perencanaan pembangunan jangka panjang (RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), rencana kerja pembangunan (RKP) serta APBN/D berkaitan dengan kebijakan publik yang dikuatkan dengan undang-undang atau perda. Produk-produk dokumen perencanaan tersebut termasuk taktik dan strategi pemerintah yang merupakan bagian dari kebijakan publik sebab implikasi dari produk-produk tersebut adalah masyarakat, dan pada hakekatnya pelaksanaan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Proses perencanaan pembangunan ditinjau dari kebijakan public meliputi empat kegiatan yaitu perumusan masalah, perumusan agenda (agenda setting), perumusan usulan dan pengesahan usulan. Proses tersebut dimulai dari tingkat musrenbang desa dimana masyarakat desa dapat berpartisipasi untuk memberikan masukan tentang permasalahan yang dihadapi mereka beserta alternatif pemecahannya di tingkat desa untuk dibawa ditingkat musrenbang kecamatan dan selanjutnya dibawa ke musrenbang kabupaten maupun provinsi. Namun, ditingkat kabupaten, provinsi ataupun negara ini terjadi proses selanjutnya yaitu penyusunan agenda pemerintah, di dalam proses inilah terjadi penyaringan usulan-usulan untuk disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan politik atau pemerintah yang dapat menyebabkan bias terhadap kepentingan publik terutama yang diusulkan masyarakat melalui musrenbang. Selanjutnya, setelah melalui tahapan agenda setting selanjutnya usulkan untuk proses legislasi yang dilakukan oleh pemerintah beserta DPR/D untuk ditetapkan sebagai Peraturan/Undang-Undang. Didalam penentuan kebijakan pembangunan daerah, aspirasi masyarakat dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu :
Jalur Musrenbang dimana masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya secara langsung sesuai dengan tingkatannnya.
Jalur musrenbang dapat dikatakan sebagai jalur utama didalam menyalurkan aspirasi dan peran serta masyarakat didalam penentuan perencanaan pembangunan. Melalui jalur inilah mayoritas aspirasi masyarakat disalurkan sebagai masukkan bagi proses perencanaan pembangunan selanjutnya
Jalur Politik atau melalui partai politik yang dilakukan oleh anggota dewan dalam masa reses.
Partai politik yang merupakan bagian dari stuktur politik bangsa ini mempunyai lima fungsi yaitu : Pendidikan politik, Mempertemukan kepentingan, Agregasi kepentingan, Komunikasi politik dan Seleksi kepemimpinan, parpol melalui wakil-wakilnya di DPRD harus dapat memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat dengan memcoba untuk mendengarkan keluhan masyarakat dan mengawal aspirasi masyarakat.
Jalur birokrasi yang dapat langsung disampaikan melalui SKPD maupun kepala daerah.
Berdasarkan UU 25 tahun 2004 tersebut, ada beberapa tahapan perencanaan pembangunan yang harus dilalui yaitu :
Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Tahap penetapan rencana yakni menetapkan rencana pembangunan jangka panjang Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Undang-Undang/Peraturan Daerah, rencana pembangunan jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah, dan rencana pembangunan tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah
Tahap Pengendalian Pelaksanaan Rencana dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Selanjutnya Menteri/Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya
Tahap Evaluasi Pelaksanaan Rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan inforrnasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact
Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah terdapat pada setiap tingkatan perencanaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dikemukakan bahwa:
Penegasan cakupan isi proses top-down dan bottom up. Proses top-down (atas bawah) merupakan langkah-langkah penyampaian batasan umum oleh Pemerintah Pusat kepada Kementerian/Lembaga tentang penyusunan rencana kerja. Batasan umum ini mencakup prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif. Dalam batasan ini, Kementerian/Lembaga diberi keleluasaan untuk merancang kegiatan-kegiatan pembangunan demi pencapaian sasaran pembangunan nasional yang telah disepakati. Rancangan ini disampaikan kembali ke Pemerintah Pusat, dan untuk selanjutnya diserasikan secara nasional. Inilah inti dari proses bottom-up (bawah-atas).
Sebagai tindak lanjut kebijakan desentralisasi, maka kegiatan Pemerintah Pusat di daerah menjadi salah satu perhatian utama. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar kegiatan Pemerintah Pusat di daerah terdistribusi secara adil dan dapat menciptakan sinergitas secara nasional. Untuk mencapai tujuan ini maka dalam rangka penyusunan RKP dilaksanakan musyawarah perencanaan baik antar Kementerian/Lembaga maupun antara Kementerian/Lembaga dengan Pemerintah Daerah Provinsi.
Perencanaan pembangunan nasional yang mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan akan menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi Pemerintah, maupun antara pusat dan daerah. Selain itu, juga menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan melalui optimalisasi peran masyarakat dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar dan etika perencanaan yang dapat mempergunakan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Perencanaan Pembangunan ditinjau dari hukum administrasi publik
Perencanaan dalam konteks Hukum Administrasi Publik adalah serangkaian kegiatan meliputi identifikasi permasalahan, penentuan landasan hukum, penyusunan rancangan-rancangan program, dan jangka waktu pelaksanaan yang dilakukan secara sistematis sebagai proses awal dalam pengambilan keputusan mengenai kegiatan publik atau negara.
Menurut Klaus Obermayer perencanaan dalam Hukum Administrasi Negara adalah suatu tindakan-tindakan yang memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan teratur secara tertentu. Perencanaan administrasi negara merupakan perbuatan penetapan melalui proses pengambilan keputusan mengenai kegiatan publik atau negara dan akan dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu di masa depan secara terarah sesuai tujuan yang ditetapkan bersama. Karena perencanaan publik tersebut bersifat kegiatan masyarakat umum secara keseluruhan, dipimpin oleh pemerintah dalam arti luas sebagai administrator publik. Menurut Hayek, setiap perencanaan harus didahului atau didasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku.
Undang – Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengariskan suatu perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan publik dalam konteks Hukum Administrasi Negara harus didasarkan terlebih dahulu pada aturan Perundang-Undangan yang berlaku. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : (i) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan Daerah.
Pembentukan peraturan perundang – undangan merupakan proses pembuatan peraturan perundang – undangan yang dimulai dari proses perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Pengharmonisasian terhadap pembentukan peraturan perundang–undangan tersebut menjadi suatu proses yang penting terkait mengingat potensi terhadap kondisi yang disharmoni terhadap peraturan perundang–undangan sangat besar dengan begitu banyaknya peraturan ada saat ini seperti diketahui untuk perencanaan pembangunan di Indonesia diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Daerah yang dilakukan dalam jangka waktu lima tahun dengan cara sistemik yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, atau Peraturan-peraturan Daerah.
Proses pengharmonisasian terhadap peraturan perundang memang tidak secara tegas disebutkan dalam proses pembentukannya, tetapi mengingat perannya, tahap pengharmonisasian dapat dilakukan di tingkat manapun, sejak dari tahap perencanaan hingga pada tahap pembahasan pembentukan peraturan perundang–undangan tersebut.
Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni yaitu antara lain pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda, pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian, pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem, lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum, akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas dan terakhir, belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, timbulnya ketidakpastian hukum, peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien dan disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.membuat peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, upaya pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dilakukan, selain untuk memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, paling tidak ada 3 alasan lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
Peraturan Perundang – undangan merupakan bagian integral dari sistem hukum
Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri antara lain ada saling keterkaitan dan saling tergantung dan merupakan satu kebulatan yang utuh, di samping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Penjelasan Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus mengalir dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Demikian pula Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi secara efektif.
Peraturan perundang-undangan dapat diuji (judicial review) baik secara materiel maupun formal.
Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan antara lain bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Kemudian Pasal 24 C ayat (1) antara lain menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berhubung dengan itu, pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai uapaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang berkompeten.
Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum.
Peraturan perundang-undangan harus dapat menjadi sarana yang penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antarwarga masyarakat dan antara warga masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur oleh karenanya proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara taat asas dalam rangka membentuk peraturan perundang-undangan yang baik yang memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta pemberlakuannya dengan membuka akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
Setidaknya ada 2 aspek yang diharmonisasikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan yaitu Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar, Konvensi/perjanjian internasional, asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, rancangan peraturan perundang-undangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang – undangan baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan.
Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Berdasarkan sejarah perkembangannya, reformasi sistem penganggaran sudah terjadi pada dekade 40-an di Amerika Serikat, dimana pemerintah federal saat itu menghendaki adanya pengukuran kinerja bagi institusi pemerintah. Pada awal tahun 1960-an, Departemen Pertahanan AS merancang suatu sistem perencanaan-pemrograman penganggaran (planning-programming budgeting), yang kemudian penerapannya diperluas ke organisasi sipil milik pemerintah.
Di Indonesia sndiri perubahan penganggaran terjadi sejak tahun 2002 setelah dikenalkannya sistem anggaran kinerja (performance budgeting). Pendekatan kinerja tersebut mengutamakan partisipasi masyarakat, yang juga melibatkan stakeholder lain termasuk Pemerintah dan DPRD. Pentingnya keterikatan antar elemen pembangunan dalam membangun sistem yang sinergis dijelaskan berturut – turut dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Khusus pada UU no. 25 Tahun 2004 dijelaskan bahwa proses perencanaan dan penganggaran diselenggarakan secara sinergis.
Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaanalokasi biaya atau input yang ditetapkan. Anggaran kinerja yang efektif lebih dari sebuah objek anggaran program atau organisasi dengan outcome yang telah diantisipasi. Hal ini akan menjelaskan hubungan biaya (Rp) dengan hasil. Penjelasan ini merupakan kunci dalam penanganan program secara efektif. Sebagai fariasi antara perencanaan dan kejadian sebenarnya, manajer dapat menentukan input-input reource dan bagaimana input-input tersebut berhubungan dengan outcome untuk menentukan efektivitas dan efisiensi program.
Sebuah program anggaran kinerja mendefinisikan semua aktivitas, langsung dan tidak langsung yang diperlukan untuk mendukung program itu sendiri sebagai tambahan untuk memperkirakan biaya aktivitas. Jika aktivitas di dalam dinas pemerintah adalah jumlah dari pekerjaan yang diselesaikan, maka langkah selanjutnya menghubungkan resource ke outcome. Dengan menelusuri biaya dan jumlah unit untuk setiap aktivitas, informasi outputI dan outcome unit biaya telah dapat dibangun.
Selanjutnya, Peraturan perundang-undangan mengenai perencanaan dan penganggaran tersebut telah dilengkapi dengan PP Nomor 20/200 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), PP Nomor 21/200 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), PP Nomor 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dan PP Nomor 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional yang menekankan pada perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja (Performance Based Budgeting), berjangka menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan sistem penganggaran terpadu (Unified Budgeting).
Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan output, melalui formal performance information yang terkait dengan tiga hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis.
Modul 1 Reformasi Perencanaan dan Penganggaran mengutip Adrienne Shall, memberikan tujuan daripada perencanaan dan penganggaran berjangka menengah berbasis kinerja berdasarkan lesson learned di negara Afrika Selatan yaitu:
Menentukan alokasi yang mencerminkan prioritas,
Merencanakan service delivery dari pelaksanaan suatu kegiatan,
Memantau efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya pada setiap program,
Mengidentifikasi pada hal apa dimana penghematan perlu dilakukan serta dimana pendanaan lebih dibutuhkan.
Sedangkan Sasaran perencanaan dan penganggaran berjangka menengah dan berbasis kinerja didefinisikan oleh Robinson, M., dan Brumby. J. (2005) dapat dijabarkan sebagai berikut :
Meningkatnya efisiensi alokasi dan efisiensi operasional dalampembelanjaan publik.
Meningkatnya keterkaitan yang kuat antara tujuan tingkat makro (prioritas) dengan pembelanjaan agregat dan kestabilan fiskal.
Meningkatnya upaya penghematan terhadap agregat belanja, dengan cara:
Efisiensi alokasi
Konsolidasi fiscal
Penyempurnaan prioritas pembelanjaan (memastikan lebih banyak sumberdaya yang diberikan langsung pada front line services)
Konsep Penganggaran berjangka menengah berbasis kinerja telah diterapkan di banyak negara sejak awal 1990-an. Australia dan negara berpenghasilan menengah maupun tinggi lainnya bahkan telah menerapkan lebih awal, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Penerapan konsep ini bertujuan untuk meningkatkan manajemen keuangan public di negara – negara berkembang dan trasisi terkait dengan pengentasan kemiskinan dan reformasi ekonomi. Dasar hukum bagi pelaksanaan Penganggaran berjangka menengah berbasis kinerja di Indonesia tertera dalam Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah No. 21/2004 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian / Lembaga (RKA-KL).
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang, Keselarasan dan sinergitas antara perencanaan dan penganggaran merupakan sebuah "loopholes" yang paling kentara mengalami masalah dalam implementasinya bila dikaitkan dengan amanat UU SPPN dan UUKN. Secara eksplisit dapat terlihat bahwa hasil perencanaan yang disusun akan mengalami kendala yang tidak mudah diatasi karena praktek yang terjadi adalah bukan 'money follow function', tapi 'resource empelove'. Gambar berikut menunjukkan bagaimana pada akhirnya penganggaran dari segala rencana program dan kegiatan pembangunan yang telah disusun harus tergantung pada ketersediaan dana APBN/APBD belaka.Gambar 2.1. Implementasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional
Penganggaran melalui APBN dan APBD pada intinya adalah instrumen teknis dari idealisme pembangunan yang ingin diwujudkan oleh suatu negara dan daerah. Idealisme tersebut tertuang dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang merupakan perencanaan untuk 10 tahun, RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang merupakan perencanaan selama 5 tahun, dan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) yang bersifat tahunan. Karenanya kebijakan perencanaan dan penganggaran punya kaitan yang sangat erat satu sama lain.
Perencanaan dan penganggaran ini punya kompleksitas problem baik dari sisi normatif (undang-undang sampai peraturan teknisnya) maupun di sisi politis seperti mekanisme, pelembagaan prosesnya, maupun intervensi kepentingan politik. Khusus untuk masalah perundang-undangan kita dapat memulai dari level undang-undang yang mengatur secara dominan masalah keuangan.
Terdapat tiga paket undang-undang tentang keuangan Negara yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Salah satu dari paket Undang-undang tersebut yakni UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang di dalamnya juga mengatur proses penganggaran. Sedangkan sistem perencanaan pembangunan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat memiliki landasan yaitu Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN).
Disamping itu dengan kompleksitas sistem pemerintahan dengan perluasan otonomi daerah sejak era reformasi terdapat dua paket undang-undang yaitu UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan jelas kedua UU ini juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran, khususnya APBD.
Dengan demikian terlihat jelas ada 4 undang-undang yang mengatur perencanaan dan penganggaran secara kaitan proses dan aturan yaitu: UU No.25 tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU No. 17 tahun 2004 mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah. Dipihak lain UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004 juga mengatur perencanaan dan penganggaran, khususnya di daerah. Dengan kata lain, perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu pada keempat Undang-undang ini. Mengingat bahwa keempatnya mengatur substansi yang saling terkait, tidak menutup kemungkinan akan adanya multi interpretasi
Dalam UU SPPN No. 25 tahun 2004, diatur pula tahapan-tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Sebagaimana tertulis di atas bahwa ada UU yang lain yang juga mengatur hal yang sama yakni UU No.32 tahun 2004, namun tidak terlalu detail dalam hal perencanaan seperti SPPN. Hanya ada 5 (lima) pasal yakni pasal 150-154. Akan tetapi UU No.32 tahun 2004 ini mengatur penganggaran dengan `lumayan` detail yakni pada bab VIII pasal 155-194, meskipun pada sisi yang bersamaan ada UU No.17 tahun 2003 yang juga mengatur tentang pernak-pernik di dalam APBD dan UU No.33 tahun 2004 yang juga demikian. Dalam hal perencanaan, kedua Undang-undang yang terakhir ini hanya mengatur tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD).
Sementara, wacana dalam melibatkan masyarakat bukan hanya pada tataran perencanaan tetapi juga pada penganggaran merupakan suatu hal yang positif dalam proses transparansi yang coba dibangun oleh Pemerintah. Proses partisipasi masyarakat dalam perencanaan telah dicoba direspon oleh berbagai daerah. Dalam proses perencanaan sesuai UU no. 25 Tahun 2004 proses pelibatan masyarakat tersebut dikenal dengan nama Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Proses perencanaan yang ada dimulai dari penggalian gagasan masyarakat untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di daerahnya masing-masing. Pergeseran paradigm ini terjadi masyarakat di tiap daerah dituntut dan merasa perlu berperan dalam perkembangan daerahnya. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 menyebutkan bahwa masyarakat berhak dan ikut serta dalam penyusunan dan pengambilan keputusan dalam anggaran dan amanat otonomi daerah yang menginginkan masyarakat untuk terlibat aktif memberikan masukan penyusunan anggaran (Cahyono, 2003).
Perbandingan Sistem Perencanaan di beberapa Negara
Kegiatan perencanaan di negara maju telah berkembang sedemikian rupa sebagai bagian dari proses untuk merespon permasalah social – ekonomi dan politik, bahkan sudah merupakan budaya masyarakat dan terkait erat dengan sistem manajemen public. Pada negara demokratik misalnya, proses perencana melibatkan masyarakat untuk mencapai kesepakatan dari masyarakat melalui proses "dengar pendapat public (public hearing)". Perbandingan sistem perencanaan di beberapa negara dijabarkan sebagai berikut :
Berbagai negara memiliki ciri dan warna tersendiri dalam penekanan substantif perencanaan pembangunannya sesuai dengan keunikan, kepemilikan dan keterbatasan sumber daya pada tiap negara. Sistem Perencanaan Pembangunan negara-negara tersebut menjadi perbandingan dari kajian ini dalam upaya revitalisasi SPPN kedepan yang lebih baik. Beberapa contoh dari Sistem Perencanaan Pembangunan yang dapat dijadikan 'benchmark" adalah sebagai berikut:
Negara-negara dengan sistem perencanaan Rationalized Structure seperti Jerman.
Negara-negara dengan sistem perencanaan Empowering Local Jurisdictions seperti Irlandia
Negara-negara dengan sistem perencanaan Central Control seperti Inggris
Negara-negara dengan sistem perencanaan Enabling of Effective Decentralization seperti Skotlandia
Negara-negara dengan sistem perencanaan Coordination seperti Spanyol yang dikenal pula dengan istilah Barcelona Style.
Namun dengan mempertimbangkan warna sosial budaya, struktur politik serta pemerintahan Indonesia maka sistem perencanaan yang dianggap dapat dibandingkan adalah yang dimiliki atau diterapkan mayoritas di negara-negara sedang berkembang, khususnya negara-negara di Asia atau negara maju yang memiliki dasar fondasi serupa yaitu demokrasi.
India
India adalah adalah sebuah negara di Asia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia, dengan populasi lebih dari satu miliar jiwa, dan adalah negara terbesar ketujuh berdasarkan ukuran wilayah geografis. Jumlah penduduk India tumbuh pesat sejak pertengahan 1980-an. Ekonomi India adalah terbesar keempat di dunia dalam PDB, diukur dari segi paritas daya beli (PPP), dan salah satu pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.
India terkenal dengan kebijakan rencana pembangunan lima tahun (five-year plans) sebagai landasan pembangunan ekonomi India. Hingga saat ini rencana pembangunan lima tahun dari pemerintah India telah memasuki periode ke-11 yang berlaku semenjak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012
Perencanaan di India dipengaruhi oleh dua teori pertumbuhan ekonomi yaitu Model Harrod Domar dan Model Mahalanobis. Model Harrod Domar menekankan kepada investasi dalam menciptakan pendapatan dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Model ini sangat mempengaruhi pada rencana pembangunan lima tahun pertama (1951 – 1955) India, dimana pada rencana pembangunan lima tahun pertama tersebut, India memfokuskan investasi – investasi penting pada sektor pertanian, power plant, transportasi dan kestabilan harga. Sementara, untuk rencana pembangunan lima tahun ke dua (1956 – 1961), sektor pertanian kurang lagi diprioritaskan dikarenakan pada rencana pembangunan lima tahun pertama hampir tercapai, sehingga pada rencana pembangunan lima tahun ke dua ini lebih difokuskan kepada pemenuhan industrialisasi terutama industri dasar dan industri berat yaitu besi dan baja. pemerintah India pada rencana pembangunan lima tahun ke-dua (1956-1961) sangat dipengaruhi oleh model pembangunan ekonomi Mahalanobis (Mahalanobisian Economic Development Model).
Model Mahalanobis adalah model dua sektor yang didasarkan pada asumsi sebagai berikut :
Perekonomian bersifat tertutup di mana tidak ada perdagangan luar negeri
Perekonomian tersebut terdiri dari dua sektor yaitu sektor barang konsumsi dan sektor barang modal.
Alat perlengkapa modal sama sekali tidak dapat dipertukarkan apabila alat tersebut telah dipasang pada salah satu sektor
Ada produksi dengan kapasitas penuh pada sektor barang konsumsi maupun pada sektor barang modal
Investasi ditentukan oleh persediaan barang – barang modal
Tidak ada perubahan harga
Rencana pembangunan lima tahun (repelita) yang ketiga hamper seluruhnya didasarkan pada model pertumbuhan yang sama seperti repelita kedua, tetapi perumusannya mengandung lebih banyak konsistensi antar industri. Model rencana ini menekankan saling ketergantungan antara pertanian dan industri, pembangunan ekonomi dan pembangunan social, pembangunan nasional dan pembangunan regional dan mobilisasi sumber dalam negeri serta luar negeri.
Model pertumbuhan Repelita Ketiga mengasumsikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2% per tahun selama periode 1961 – 1971. Rasio modal output inkrimental () diasumsikan 2,3 : 1, koefisien investasi (0) ditetapkan meningkat menjadi 14 – 15%, laju tabungan diasumsikan meningkat dari 8,5% menjadi 11,5%. Komisi perencanaan (Bappenas India) menyatakan bahwa jika keseluruah program yang dituangkan dalam rencana dapat diselesaikan tepat pada waktunya, pendapatan nasional
Repelita Keempat di India mengunakan Model Tepat yang diciptakan oleh Alan S Manne, Ashok Rudra dan kawan – kawan. Model tepat ini lebih bersifat terbuka dari tertutup. Untuk langkah pertamanya adalah memproyeksikan komponen utama pengeluaran domestic bruto dan menjabarkannya ke dalam permintaan akhir masing – masing komoditi. Langkah selanjutnya adalah menyimpulkan rentetan tingkat output sektoral, impor dan investasi yang diperlukan.
Model ini menghasilkan pelajaran sebagai berikut :
Output mesin dan baja khususnya ditentukan oleh laju pengeluaran investasi, output bahan makanan dan tekstil katun sepenuhnya ditentukan oelh pengeluaran pada konsumsi domestic, dan output produk minyak serta listrik tergantung pada keduanya.
Sementara laju output industri logam peka terhadap asumsi yang ada hubungannya dengan program substitusi impor, output sektor lainnya tidak
Keseluruhan laju investasi hamper tidak mudah terpengaruh oleh program substitusi impor.
Selanjutnya, model repelita kelima didasarkan pada dokumen "A Technical Note on the Approach to the Fifth Plan of India 1974 – 1979" yang dipersiapkan oleh Divisi Perencanaan Masa Depan dari Komisi Perencanaan di India. Model ini disusun dengan memperhatikan ciri – ciri teknologi dari perekonomian yang tercermin di dalam hubungan antar industri. Laju pertumbuhan sektoral yang ditetapkan dalam dokumen terakhir Repelita Kelima agak berlainan dengan yang diperhitungakan sebelumnya dalam, yang terutama disebabkan oleh perubahan tingkat harga berbagai komoditi, perbaikan perkiraan output, perkiraan ekspor yang terlalu tinggi dan beberapa penyesuaian prioritas karena kenaikan tajam harga internasional beberapa barang impor utama, oleh karenanya keseluruhan investasi diperkirakan akan dibiayai dari sumber dalam negeri.
Jepang
Jepang adalah Negara kepulauan yang terdiri dari 6.852 pulau dan secara administratif terdiri atas 47 perfektur. Populasi penduduk Jepang saat ini telah mencapai lebih dari 126 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 98 juta diantaranya (78%) tinggal di wilayah kota dan sisanya tinggal di pedesaan. Pembangunan di Jepang masih menitikberatkan pada perencanaan dan pengendalian fisik. Perencanaan pembangunan di Jepang pada umumnya diorientasikan pada pengendalian fisik di kawasan urban. Pengembangan daerah pedesaan berada dalam cakupan perencanaan statuter (statutory planning) dan dipengaruhi oleh berbagai hukum dan kebijakan menyangkut proteksi terhadap pertanian. Program pembangunan fisik Jepang ini dilakukan dengan tahapan-tahapan terpadu dengan tujuan akhirnya penghapusan kesenjangan sosial ekonomi (rectification of disparities) demi tercapainya keseimbangan pembangunan (balanced development of national land).
Dalam perencanaan pembangunannya, Jepang terkenal dengan zenso (otonomi daerah) dan machizukuri-nya (community participation). Perencanaan pembangunan nasional Jepang terangkum dalam Integrated National Physical Development Plan/INPD plan. Perencanaan tersebut mencakup perencanaan di tingkat nasional, regional, dan lokal. Sistem perencanaan pembangunan di Jepang adalah sistem yang kompleks yang diantaranya mencakup pengendalian legal dan legislatif, rencana pembuatan (plan-making), rencana pemanfaatan lahan (land use planning), zonasi (zonning), pengendalian kepadatan penduduk,dll.
Proses pengajuan anggaran pemerintah Jepang diawali dengan pembuatan rerangka dasar kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan manajemen kebijakan fiskal. Rerangka dasar ini dibuat setelah mendapat masukan dari Fiscal System Council (FSC) dan Council on Economics and Fiscal Policy (CEFP). Tahap berikutnya adalah proses penyusunan anggaran yang meliputi beberapa tahap,antara lain pembuatan proposal,pengajuan dan penjelasan anggaran oleh masing-masing kementerian. Setelah itu dilakukan negosiasi kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Dari proses itu dihasilkanlah draft pertama. Draft pertama itu kemudian dipresentasikan oleh departemen keuangan di sidang kabinet dan dilanjutkan dengan negosiasi tingkat menteri. Tahap tersebut menghasilkan keputusan kabinet tentang draft anggaran.
Draft anggaran kabinet kemudian diajukan ke parlemen. Proses negosiasi dengan parlemen biasanya relatif cepat karena pada tahap penyusunan anggaran pemerintah telah melibatkan berbagai kalangan, termasuk politisi. Oleh karena itu, draft anggaran yang disampaikan ke parlemen sudah mengakomodir keinginan dan pendapat dari partai-partai politik.
Rencana Pembangunan Nasional Komprehensif (RPNK) Jepang didasarkan pada Comprehensive National Land Development Act tahun 1950. RPNK tersebut ditetapkan oleh perdana menteri dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan menteri terkait. Rencana Pertama telah disetujui pada tahun 1962. Pertumbuhan yang tinggi dari kegiatan industri setelah Perang Dunia II menyebabkan konsentrasi penduduk dan industri yang berlebihan di daerah-daerah metropolitan dan menyebabkan penurunan sosial ekonomi di pedesaan. Pada tahap perencanaan tersebut pemerintah mengadopsi konsep Growth Pole atau kutub pertumbuhan untuk mendorong perkembangan kota-kota industri jauh dari kota metropolis yang telah ada. New Industrial City Act diundangkan pada tahun 1964 untuk mendukung rencana tersebut. Di tingkat prefektur rencana pembangunan mencakup isu-isu seperti target pembangunan industri, penduduk, penggunaan lahan, jalan, pelabuhan, lokasi pabrik, dan perumahan. Pada periode ini, pembangunan juga ditekankan pada pengembangan ekonomi dan struktur kepegawaian untuk mencapai perumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Rencana Kedua diumumkan pada tahun 1969 dan dirancang untuk melanjutkan Rencana Pertama dengan membangun jaringan transportasi bermotor dan sistem Shinkansen (kereta cepat) di seluruh wilayah Jepang serta melanjutkan proyek pengembangan industri, termasuk upaya relokasi industri dari daerah padat (removal areas) ke daerah yang kurang berkembang atau disebut "promotion areas". Rencana Ketiga diluncurkan tahun 1979 dengan menetapkan suatu skema penciptaan kualitas lingkungan huni yang mandiri. Skema tersebut dilaksanakan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang komprehensif untuk tempat tinggal manusia atau "comprehensive development projects for human habitation". Strategi pada periode ini merupakan strategi pendukung bagi rencana pembangunan dan pengembangan industri pada periode sebelumnya. Rencana Keempat dijalankan dari tahun 1989 hingga tahun 2000 (15 tahun). Rencana tahap keempat sangat berbeda dari periode-periode sebelumnya karena lebih mengedepankan pada National Capital Region (NCR) dan peran positifnya dalam pengembangan Jepang secara keseluruhan. Pertumbuhan penduduk, industri yang kuat ditambah adanya globalisasi ekonomi dan informasi,serta investasi besar dalam infrastruktur sosial menandai periode hingga tahun 1989. Sedangkan mulai periode ini, Jepang dibagi dalam 2 daerah NCR,yakni Area Tokyo Metropolitan dan "Daerah Luar" atau "Outer Areas". Strategi ini bermaksud agar pengembangan NCR berfungsi sebagai pusat nasional dan internasional, kegiatan politik, ekonomi dan budaya dan terakhir rencana Kelima diumumkan pada bulan Maret 1998 dan mulai dilaksanakan awal tahun 2001 hingga sekarang yang diwujudkan dalam sebuah "Grand Design For the 21st Century" dengan menekankan pada keseimbangan pembangunan untuk mencapai kemandirian daerah dan penciptaan Tanah Nasional Indah (Promotion of Regional Independence and Creation of Beautiful National Land).
Perencanaan pembangunan di Jepang, meskipun masih berada dalam kontrol pemerintah pusat, namun pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk mengembangkan daerahnya. Hal ini diwujudkan dalam skema desentralisasi yang disebut Zenkoku Sogo Kaihatsu Kaikaku atau lebih dikenal dengan zenso. Zenso merupakan perwujudan dari otonomi daerah di Jepang. Sasaran utama program Zenso berupa upaya pembangunan merata lewat pemberdayaan dan pengembangan potensi daerah masing-masing untuk pembangunan ekonomi daerah yang semuanya terjalin dalam satu konsep wide-area life zones.
3. Amerika
Setiap instansi pemerintah pusat dalam sistem perencanan pembangunan Amerika Serikat harus mempunyai rencana strategis (strategic plan), rencana kinerja tahunan (annual performance plan), dan laporan kinerja tahunan (annual program performance report) yang mencerminkan proses perencanaan, pelaksanaan program dan pelaporan (planning, program execution, and reporting).
Rencana-rencana dan laporan ini dibuat untuk digunakan oleh setiap instansi dalam melaksanakan kegiatan dan program pemerintah pusat; oleh Presiden dan DPR (Congress) untuk merumuskan keputusan mengenai kebijakan dan program serta untuk mengawasi (oversight) pelaksanaan program instansi federal; dan oleh masyarakat umum (the public) untuk sumber informasi mengenai tujuan, hasil pembangunan serta anggaran yang digunakan agar rakyat pun dapat memantau dan memberikan usulan mengenai kegiatan/pelayanan yang menjadi haknya.
Rencana strategis, rencana kinerja tahunan dan laporan pencapaian kinerja tahunan tersebut disampaikan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan panduan yang dibuat oleh Office of Management and Budget (OMB). Rencana strategis berisi pernyataan misi, tujuan dan sasaran umum, uraian mengenai cara dan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut dengan mengidentifikasikan faktor – faktor kunci yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan dan sasaran, dan uraian mengenai evaluasi program yang akan dilakukan. Rencana strategis di Amerika Serikat ini meliputi sedikitnya enam tahun, tahun anggaran saat rencana yang disampaikan dan sedikitnya lima tahun anggaran selanjutnya. Rencana stategis harus ditinjau dan diperbaharui setiap tiga tahun.
Rencana strategis merupakan dokumen publik; oleh sebab itu masyarakat harus mudah mendapatkannya. Setiap instansi perlu menempatkan rencana strategisnya pada websitenya, atau dengan cara-cara lain. Jika ada permintaandari masyarakat umum, rencana strategis harus dapat disediakan walaupun dengan biaya.
Pada setiap tahun anggaran, setiap instansi harus menyiapkan dua rencana tahunan: rencana tahunan awal, yang sekaligus memuat usulan anggaran; dan rencana akhir yang memuat kebijakan, kinerja dan anggaran yang sudah ditetapkan.
Suatu rencana tahunan memuat unsur-unsur pokok: tujuan kinerja (performance goal) dan indikator kinerja (performance indicator); uraian tentang proses pelaksanaan program seperti jumlah staf, teknologi, anggaran, barang modal, informasi, dan sumber daya lain yang dikerahkan untuk mencapai tujuan itu; dan uraian mengenai cara memverifikasi dan menilai kinerja secara terukur. Selain itu, perlu ditambahkan: uraian tentang revisi pada rencana strategis yang dilakukan; uraian mengenai tindakan yang dilakukan untuk mengatasi ketidaklengkapan informasi mengenai kinerja program, uraian jangka waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan hasil yang tidak mencapai target; studi-studi yang terkait dengan kinerja; dan permintaan untuk mengurangi persyaratan administratif jika ada guna kemudahan pelaksanaan program.
Terakhir, laporan kinerja tahunan merupakan laporan tahunan yang memberikan informasi mengenai pencapaian aktual dalam mencapai tujuan dan sasaran kinerja yang ditetapkan dalam rencana strategis dan dalam rencana tahunan. Laporan tahunan ini meliputi informasi kineja instansi selama beberapa tahun, yaitu capaian untuk tahun anggaran yang bersangkutan ditambah capaian untuk tiga tahun sebelumnya, sehingga dapat diketahui ada/tidaknya peningkatan pencapaian. Laporan kinerja ini dapat dijadikan satu dengan laporan akuntabilitas (Accountability Report yang dipersyaratkan oleh UU lain).
Isi dari laporan kinerja tahunan adalah: perbandingan antara pencapaian aktual dengan target yang ditetapkan dalam rencana tahunan, penjelasan mengenai ketidaktercapaian suatu target jika ada, uraian mengenai rencana untuk mencapai target yang belum tercapai atau tindakan yang harus dilakukan jika target yang ditetapkan ternyata tidak mungkin dicapai, penjelasan mengenai informasi yang tidak dapat diperoleh untuk mengukur kinerja. Setiap Pimpinan instansi harus mengirimkan laporan tahunan itu kepada Presiden dan DPR dalam waktu 150 hari setelah tahun anggaran berakhir . Laporan tahunan harus dapat diperoleh publik dengan mudah.
BAB III
PERMASALAHAN DALAM SISTEM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Masalah Hubungan Perencanaan dan Penganggaran
Sudah menjadi rahasia umum bahwa terjadi benturan kepentingan antara khususnya Bappenas, Kemenkeu, dan Kemendagri dalam pengambilan kebijakan dalam hal perencanaan dan penganggaran. Intinya terdapat dua undang-undang yang tarik menarik dalam hal perencanaan dan penganggaran yaitu Munculnya UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 25 tahun 2004 tentang SPPN. Belum lagi dengan eksistensi UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004 yang pada pelaksanaannya menunjukkan adanya kecenderungan dari tidak selarasnya kegiatan perencanaan dan penganggaran khususnya pada lingkup perencanaan dan penganggaran daerah (APBD).
Dalam UU 25 Tahun 2004 tentang SPPN, rencana jangka panjang yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) berperiode 20 tahun. Diamanatkan bahwa RPJP Propinsi memperhatikan RPJP Nasional dan RPJP Daerah memperhatikan RPJP Propinsi.
Namun bila melihat UU No. 32 tahun 2004 yang juga mengatur seluruh aspek kegiatan pemerintahan di tingkat daerah termasuk perencanaan dan penganggaran; walaupun jabaran pasal per pasalnya memang terlihat umum, namun disadari telah memicu masalah perbedaan interpretasi dalam proses pengambilan kebijakan perencanaan dan penganggaran.
Sesuai dengan UU SPPN, RPJP di tingkat nasional nantinya menjadi pedoman bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) yang berperiode 5 (lima) tahunan. RPJMD ini merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program dari kepala daerah terpilih. Artinya calon kepala daerah dalam ketika menyampaikan visi dan misinya dalam pilkada tidak boleh melenceng dari RPJP. Sebagai contoh adalah: landasan hukum penetapan RPJMD. Dalam UU No. 25 tahun 2004 SPPN, RPJMD cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui peraturan kepala daerah. Namun dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penetapan RPJMD melalui peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Dapat dibayangkan bagaimana landasan hukum yang "agak" berbeda ini dapat mengakibatkan perdebatan khususnya di politik lokal yang akhirnya mengakibatkan kualitas dari RPJMD maupun pemenuhan ketepatan waktu penyususunan menjadi tidak optimal.
Demikian pula halnya dengan implementasi UU No. 17 tahun 2003 dengan UU. No. 33 Tahun 2004 yang lagi-lagi menunjukkan banyaknya kemiripan-kemiripan dalam pasal-pasal yang tercantum dalam kedua Undang-undang tersebut. Memang relatif terjadi minimal benturan antara kedua Undang-undang tersebut, namun dikhawatirkan dapat saja menimbulkan inefisiensi dan dan efektifitas dalam proses perencanaan dan penganggaran serta mempengaruhi implementasinya.
Dalam kacamata ekonomi keuangan publik, tentunya revitalisasi UU tentang SPPN ini juga dibutuhkan guna menyelaraskan implementasi perencanaan dan penganggaran dengan upaya peningkatan efektifitas pelaksanaan program/kegiatan pembangunan nasional yang mendapatkan alokasi pendanaan APBN/APBD, yang salah satu poinnya menekankan perlunya meningkatkan sinergi pusat dan daerah, meningkatkan pembangunan penyediaan infrastruktur serta meningkatkan monitoring dan evaluasi yang tertuang dalam 9 (sembilan) Arahan Presiden Pada Raker III Presiden RI. Belum lagi Wacana revitalisasi pelaksanaan (Musrenbangnas) Musyawarah Pembangunan Nasional, yang lebih berkualitas, lebih terarah sebagai puncak dari seluruh proses perencanaan pembangunan nasional yang tentunya harus diuraikan dan diperkuat dalam pasal-pasal yang diatur dalam UU SPPN.
Dalam kerangka pikir keuangan publik, terdapat juga masalah yaitu ruang fiskal APBN masih terbatas. Komposisi belanja negara masih didominasi oleh belanja mengikat yang bersifat wajib (antara lain Gaji Pegawai, Operasional Rutin dll). Sebagai contoh, sekitar 97 % dari Pendapatan Dalam Negeri (Pajak dan PNBP) pada tahun 2010 digunakan untuk membiayai belanja mengikat yang bersifat wajib (mandatory), antara lain:
(1). untuk transfer ke daerah (35%);
(2). belanja pegawai dan barang (27%);
(3). subsidi (20%); dan
(4). bunga Utang (11%).
Dana yang tersisa untuk belanja tidak mengikat (Diskresioner), antara lain belanja modal untuk infrastruktur dan bantuan sosial menjadi sangat terbatas. Masalah serupa terjadi juga pada APBD.
Belanja wajib ini jumlahnya semakin membesar. Hal ini terutama karena beberapa Ketentuan peraturan perundang-undangan dan langkah-langkah kebijakan bersifat mengikat dan/atau membatasi ruang fiskal APBN:
Kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen UUD 1945;
Kewajiban pemenuhan tunjangan untuk guru (fungsional, profesi, maslahat tambahan, dan tunjangan khusus) sesuai UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No.14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen;
Kewajiban penyediaan dana perimbangan sekitar 27 - 30% terhadap belanja negara, yaitu: untuk DAU minimal 26% dari penerimaan dalam negeri neto, dan DBH sesuai ketentuan UU No 33/2004;
Penyediaan dana otonomi khusus (2% dari DAU Nasional) sesuai dengan Undang-undang otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam dan Papua; dan
Penyediaan alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN (sesuai UU No 36/2009).
Keinginan untuk Mencapai anggaran minimal 1.5% terhadap PDB untuk belanja anggaran pertahanan Renstra Kementrian Pertahanan
Sesuai dengan layout penulisan pada Bab I, akan diuraikan Permasalahan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan di Indonesia yang mencakup level konsep, Level Kebijakan, level kelembagaan dan level teknis.
Level Konseptual
Salah satu problem mendasar pada proses perencanaan pembangunan baik di Pusat maupun di Daerah adalah bagaimana membangun mekanisme pembangunan yang dapat mencapai tujuan yang dicita - citakan yaitu kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Dalam mewujudkan hal tersebut pemerintah haruslah dapat bersifat aspiratif atau dapat menjaring aspirasi – aspirasi yang disampaikan oleh masyarakatnya dan perlu sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya artinya pemerintah perlu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan mendengarkan apa kemauannya. Disamping itu pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dengan kata lain masyarakat perlu ditempatkan sebagai subjek pembangunan bukan objek pembangunan.
Penyusunan rencana pembangunan dilaksanakan secara bertahap yang pada prinsipnya mengacu pada sistem perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up planning) melalui sistem ini diharapkan terjadi peningkatan mutu perencanaan yang komprehensif dan terapdu serta dapat menjaring aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam koridor pembangunan nasional. Rakyat harus menjadi pelaku dalam pembangunan, masyarakat perlu dibina dan dipersiapkan untuk dapat merumuskan sendiri permasalahan yang dihadapi, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah diprogramkan, menikmati produk yang dihasilkan dan melestarikan program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan.
Sejalan dengan "kelahiran" otonomi daerah, konsep perencanaan pembangunan partisipatif kemudian mulai digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di indonesia. diikuti dengan adanya undang–undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional telah menggeser paradigma perencanaan pembangunan dari yang bersifat sentralistik dengan pendekatan top down planning, menjadi perencanaan pembangunan yang bersifat desentralistik dengan pendekatan bottom up planning melalui pola perencanaan partisipatif, yang dimulai dari musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbang-desa) hingga nasional. Perencanaan partisipatif sendiri mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan skala prioritas.
Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat.
Pada akhirnya, desentralisasi menjadi suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat, baik secara teoritis maupun secara empiris. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya dan tetap menjadi kewenangan pemerintah.
Cornelis Lay (2003) menyatakan bahwa dengan desentralisasi pengaturan politik dan pemerintahan yang stabil dapat dilakukan di dalam desentralisasi dapat diakomodasikannya sharing of power, sharing of revenue, dan penguatan lokalitas, selain pengakuan dan penghormatan terhadap identitas daerah. Berkaitan dengan sharing of power maka pemberian desentralisasi secara devolusi menjadi penting. Apalagi dalam era reformasi ini yang akan memunculkan pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah.
Desentralisasi di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, dimulai dari decentralisatie wet tahun 1903 sampai ke UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan tipologi World Bank, Indonesia masuk negara yang melaksanakan dentuman besar desentralisasi (big bang decentralization), bersama tiga negara lainnya yaitu Philipina, Pakistan dan Ethiopia. Indonesia melakukan perubahan besar dalam pola pembagian urusan pemerintahan maupun dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan dimensi yang luas dan sangat cepat. Hal ini terlihat dari luasnya urusan pemerintahan yang dijalankan oleh daerah otonom sebagaimana diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang ditindaklanjuti oleh PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai prinsip "Money follow Function". Desentralisasi di Indonesia diarahkan menuju desentralisasi keseimbangan (equilibrium decentralization) atau sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi jalan tengah yang menyeimbangkan hak, wewenang, kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antar pemerintah daerah.
Kewenangan yang dimiliki daerah melalui sistem desentralisasi merupakan perwujudan dari terselenggaranya pemerintahan yang partisipatif dan responsif, yang ditujukan dalam memberikan pelayanan dan pemenuhan hak – hak dasar masyarakat. Prinsip desentralisasi yang ditekankan dalam bentuk otonomi daerah dapat meminimalisir ketimpangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintah dengan mempermudah mekanisme layanan kepada masyarakat. Kebijakan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merekomendasikan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, harus lebih menekankan kepada prinsip – prinsip demokrasi dengan peran serta masyarakat.
Secara substantif bahwa point penting yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh pemerintahan daerah (otonom) berdasarkan pendapat Korten dalam Supriatna (2000: 65) bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi masyarakat, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional meretas kebuntuan paradigma pembangunan top-down menjadi pembangunan berbasis rakyat (bottom up) atau model partisipatoris yaitu model melibatkan masyarakat dalam rangkaian proses pembangunan. Dalam proses perencanaan sesuai UU no. 25 Tahun 2004 proses pelibatan masyarakat tersebut dikenal dengan nama Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Lebih jauh lagi,Musrenbang ini merupakan forum antar pelaku dalam menyusun perencanaan pembangunan.
Level Kebijakan
Hubungan Kebijakan SPPN dengan Kebijakan Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia mulai diimplementasikan sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah. Namun dalam perjalanannya banyak sekali permasalahan yang muncul dalam implementasi undang-undang ini sehingga pemerintah pusat kemudian merevisinya dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Seiring dengan perubahan – perubahan tersebut, menyebabkan paradigma birokrasi di Indonesia mengalami perubahan dari paradigm pemerintahan yang sentralistik kearah desentralistik. Perubahan ini membawa konsekuensi terhadap mekanisme pelaksanaan partisipasi publik dalam penyelengaaraan pemerintahan dan pembangunan.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004 pada hakekatnya merupakan perwujudan harapan yang diinginkan oleh setiap daerah yang didasarkan potensi dan kondisi daerah. Dengan otonomi daerah maka kewenangan, hak dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dioptimalkan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan atas aspirasi yang tumbuh dan sesuai dengan situasi, potensi dan kreatifitas daerah serta prioritas pembangunan daerah.
Era desentralisasi dan demokrasi memberi kesempatan untuk mengedepankan proses penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Usaha penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tersebut dilaksanakan pada tingkatan pusat hingga daerah. Hal ini sesuai dengan kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mensinkronkan dokumen perencanaan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP/D) kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen perencanaan lima tahunan, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai rencana tahunan.
Perencanaan pembangunan daerah sendiri secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang, Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM daerah), Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Seperti halnya, UU No 25 Tahun 2004 tersebut, UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah juga mengatur tentang sistem perencanaan pembangunan daerah walaupun tidak sedetail UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional khususnya perencanaan dan proses penganggarannya.
Dokumen perencanaan dan penganggaran tersebut bersifat hirarkis artinya dokumen yang jangka waktunya yang lebih panjang menjadi rujukan bagi dokumen yang jangka waktunya lebih pendek, dan dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah yang lebih tinggi menjadi rujukan bagi dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah di bawahnya.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus memiliki rencana pembangunan mulai dari pembangunan jangka panjang hingga rencana pembangunan tahunan, dengan prioritas utama adalah menyiapkan rencana pembangunan jangka menengah yang menguraikan visi, misi kepala daerah terpilih selama 5 (lima) tahun masa periodenya.
Diketahui bahwa produk dokumen perencanaan yang harus ada di daerah menurut Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004 ini tidak jauh berbeda produk dokumen perencanaan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004. Namun demikian terdapat perbedaaan yang sangat menyolok dari kedua peraturan tersebut diantaranya adalah kekuatan hukum dokumen RPJM daerah. Pada pasal 19 ayat (3) Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2004 disebutkan bahwa "RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik". Sedangkan pasal 150 ayat (3) huruf e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa "RPJP Daerah dan RPJM Daerah ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah". Kondisi ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Jika, RPJMD hanya ditetapkan oleh Peraturan Kepala Daerah, maka Kepala Daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan sendiri berdasarkan wewenang yang dimilikinya sebagai kepala daerah. Sedangkan jika RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sudah pasti Kepala Daerah harus duduk bersama terlebih dahulu dengan DPRD untuk membahas serta menetapkan RPJMD tersebut. Terlepas dari permasalahan penggunaan dasar hukum yang lebih tepat bagi penyusunan dokumen perencanaan di daerah, yang pasti daerah akan disibukkan dengan penyusunan berbagai dokumen perencanaan pembangunan dari RPJP daerah, RPJM Daerah, Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD.
RPJP Daerah seperti yang telah diuraikan di atas, haruslah memperhitungkan potensi ekonomi dah kekhususan sosial budaya daerah secara cermat sehingga dapat dipahami bahwa RPJP daerah akan sangat bervariasi satu sama lainnya. Tetapi tetap harus sejalan dan tidak bertentangan dengan RPJP Nasional sebagai keterpaduan dan sinergi dalam proses pembangunan. Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah tersebut, pemerintah daerah selanjutnya menyusun RPJM daerah yang berisi arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas sektoral maupun lintas wilayah.
Tidak serentaknya penetapan RPJMN dengan RPJMD juga menimbulkan dampak bagi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan nasional. Perbedaan jadwal pemilukada yang berbeda tiap daerah menjadikan penetapan RPJMD tiap daerah berbeda pula. Hal ini kemudian mengharuskan tiap daerah yang telah menetapkan RPJMD perlu merevisi jika RPJMN yang baru pada waktu berjalan ditetapkan. Perubahan ini diperlukan karena dalam ketentuan peraturan peraturan perundang undangan mengharuskan RPJMD memperhatikan RPJMN.
Permasalahan lainnya terkait sistem perencanaan pembangunan nasional dapat dilihat pada RPJP maupun RPJM yang dalam penyusunannya melalui Musrenbang artinya dengan mengikutsertakan masyarakat, sementara dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tidak diatur perlunya keterlibatan masyarakat padahal RKPD sebagai rencana tahunan merupakan perencanaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling langsung dirasakan masyarakat. Demikian pula dengan kekuatan hukum bagi RKPD itu yang dapat ditetapkan hanya dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal dokumen RKPD itu menjadi acuan bagi penyusunan RAPBD dan RAPBD memiliki kekuatan hukum ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung. Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur, data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada "how to achieve" suatu target.
Terkait lagi dengan konsistensi antara RPJM Daerah dengan Renstra SKPD, Undang – Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 5 ayat (2) sendiri menyatakan bahwa RPJM Daerah berpedoman kepada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, tetapi RPJM Daerah tidak disusun berdasarkan kepada Renstra SKPD sehingga menyebabkan kebijakan dan program yang tertuang dalam Renstra SKPD tidak terkait dengan RPJM Daerah.
Pada pasal lainnya, yaitu pada Pasal 7 ayat (1) mengatur tentang Renstra SKPD yang berisi mengenai visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah berpedoman kepada RPJM Daerah dalam pelaksanaannya berdasarkan format daripada RPJM Daerah sendiri ternyata arah kebijakan, program dan indikator kinerja tidak secara tegas menugaskan kepada SKPD tertentu sehingga terjadi diskontinuitas arah kebijakan RPJMD dan arah kebijakan SKPD. Selanjutnya, juga masih ditemukan dalam pelaksanaan beberapa SKPD masih menggunakan Renstra lama dikarenakan adanya perbedaan persepsi dalam menentukan prioritas kebijakan dan program yang dialami oleh penyelenggara pemerintahan daerah yang menyebabkan Inkonsistensi Renja-SKPD harus mengacu rancangan awal RKPD atau tidak terakomodasikannya perubahan dalam RKPD.
Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa setiap SKPD diwajibkan untuk menyusun dan memiliki Rencana Kerja (Renja) SKPD, dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKPD. Sangat berbeda, jika dilihat pada peraturan perundang – undangan lainnya yaitu pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Renja SKPD dirumuskan dari Renstra SKPD, tanpa memerintahkan mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU 33/2004, menyatakan Renja SKPD merupakan penjabaran dari RKPD tanpa berpedoman pada Renstra SKPD.
Pelaksanaan penyelenggaraan ternyata Renja – SKPD kurang fokus pada tugas dan fungsi utama SKPD terutama pada isu-isu prioritas dan lintas sektor sehingga menyebabkan terjadinya duplikasi kegiatan dan anggaran antara satu SKPD dengan SKPD lainnya
Hubungan Kebijakan SPPN dengan Kebijakan Keuangan Daerah
Keuangan daerah merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam konteks sektor publik. Definisi umum mengartikan bahwa keuangan daerah sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang itu belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan undangundang yang berlaku.Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata.
Pengertian keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang sekarang berubah menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termaksud didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah. Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah, sedangkan yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut.
Manajemen keuangan daerah, khususnya mengenai pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, sudah menampakkan peran serta dan partisipasi masyarakat. Dalam bidang keuangan, lebih dikenal Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam kaitannya dengan dokumen perencanaan, RKPD merupakan materi utama sebagai dasar penyusunan APBD. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Mardiasmo, 2004).
Isu pokok tentang desentralisasi di bidang keuangan tidak secara eksplisit disebutkan dalam dokumen RPJP karena sifatnya yang relatif spesifik dan merupakan bagian dari rencana pembangunan yang berjangka lebih pendek. Namun dapat dilihat keterkaitan antara RPJMN dengan RPJP dalam masalah ini mengenai pentingnya bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional (Penjelasan Umum). Kesemua tujuan jangka panjang ini tentu memerlukan pendanaan yang demikian besar dengan cara-cara yang cermat dan efisien.
Selanjutnya RPJP juga menyebutkan pentingnya kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Intinya adalah bahwa untuk menciptakan sistem pendanaan pembangunan yang efisien, semua lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah hendaknya bersedia mengutamakan tujuan nasional dan melakukan kerjasama lintas-sektoral di bidang pendanaan. Kemandirian dalam pendanaan sangat ditekankan di dalam RPJP yang disusun dalam periode di mana ekonomi secara nasional mengalami kemunduran akibat krisis pada tahun 1997. Dengan demikian, penting untuk diperhatikan bahwa keseluruhan pola manajemen keuangan daerah selanjutnya juga harus mengutamakan kemampuan lokal dengan sistem administrasi keuangan yang lebih profesional dan bertanggungjawab
Mengacu kepada Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang didalamnya mengatur mengenai penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) yaitu suatu kebijakan keuangan yang dapat menjamin kelangsungan program dalam jangka menengah (antara 3 sampai dengan 5 tahun), maka pemerintah daerah diharapkan mampu menyusun anggaran pendapatan dan belanja untuk tahun n dan indikatif anggaran minimal untuk tahun n+1, oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat menyusun rencana kinerja tahun/RKPD/Renja SKPD untuk tahun n dan tahun n+1, misalkan untuk penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006, maka pemerintah daerah harus menyusun RKPD/Renja SKPD untuk tahun 2006 pada tahun 2004 dan penajamannya melalui musrenbang pada tahun 2005, dan menyusun RKPD/Renja SKPD untuk tahun 2007 sebagai dasar penentuan anggaran indikatif tahun 2007.
UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), disamping mengatur penyusunan APBD. Permasalahan terkait Renja SKPD, pada UU 17 Tahun 2003 dan UU 33 Tahun 2004 disusun berdasarkan prestasi kerja sementara UU 25 tahun 2004 dan UU 32 tahun 2004 tidak memerintahkan hal ini. UU 32 tahun 2004 yang disusun berdasarkan prestasi kerja adalah RKA SKPD.
Berbagai Permasalahan lainnya terkait kebijakan SPPN dan keuangan daerah adalah:
Inkonsistensi antara RPJMD dan Renja-SKPD, Penerjemahan kebijakan ke dalam penganggaran tidak konsisten karena peran lebih besar diberikan pada tim penyusun anggaran eksekutif dibanding Kepala SKPD yang bertanggung jawab pada pencapaian sasaran.
Penentuan plafon berdasarkan wish list. Program pembangunan yang menjadi proritas di tingkat daerah belum sesuai dengan kebutuhan daerah. Program prioritas daerah masih belum measurable dan workable.
Anggaran SKPD masih terfokus pada rencana tahunan. Anggaran SKPD belum mencerminkan rencana jangka menengah, yang seharusnya sinkron dengan RPJMD.
Belum ada sinkronisasi lintas sektoral sebelum rancangan anggaran dibawa ke DPRD. Penyusunan prioritas RKPD tidak memperhitungkan program dan kegiatan linta SKPD
Hubungan Kebijakan SPPN dengan Penataan Ruang
Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UU No. 24 tahun 1992 merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 ini dilatarbelakangi oleh beberapa perubahan paradigma dan perkembangan kondisi dalam penataan ruang seperti adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masih belum diacunya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara sepenuhnya dalam pembangunan, dan masih kurangnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan arah kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 , penataan ruang adalah alat (tools) sekaligus pengendali yang digunakan di dalam implementasi kebijakan pembangunan dalam pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia di dalamnya.
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 diamanatkan adanya integrasi secara dua arah antara RTRW dengan rencana pembangunan, baik Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun RPJM. Di tingkat nasional, sebagai contoh, penyusunan RTRWN harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , sementara itu RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN dan RPJMN . Hal yang sama juga berlaku pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bisa dikatakan, secara garis besar RTRW merupakan mitra spasial dari RPJP .
Dalam prakteknya, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dalam menjalankan masa pemerintahannya selama 5 tahun mengacu kepada RPJM yang memuat visi dan misi Kepala Daerah. Hal ini akan menjadi masalah apabila RPJM yang diacu tidak sinkron dengan RTRW yang berlaku, terutama dalam batasan-batasan pembangunan baik dalam kawasan lindung maupun kawasan budidaya di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh masih kurang sinkronnya peraturan perundangan sektoral terkait dengan bidang penataan ruang, yang menyebabkan rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan di dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dari masing-masing sektor.
Permasalahan Kebijakan SPPN Terkait Dengan Isu – Isu Responsif dan Antisipatif dalam Dinamika Pembangunan
Masyarakat terus berkembang, terutama akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Masalah-masalah yang dihadapi umat manusia pun semakin kompleks, implikasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berimbas terhadap berbagai aspek kehidupan seperti agama, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.
Teori pembangunan dalam perkembangannya menjadi semakin komplek dan semakin tidak terikat pada satu disiplin ilmu (Bjorn, 1982). Dinamika teori pembangunan tersebut tidak terlepas dari pemahaman terhadap konsep pembangunan yang bersifat terbuka ujungnya. Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia.
Dinamika pembangunan selalu ditandai dengan adanya usaha rekayasa kebijaksanaan yang lebih baik untuk diimplementasikan adanya usaha perbaikan itu telah pula mempengaruhi perkembangan konsep atau pendekatan terhadap pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Konsep Pembangunan yang berwajah kemanusiaan/kerakyatan (people – centered development) telah semakin mendapat tempat yang proporsional.
Dampak dari pembangunan telah mengantarkan sebagian masyarakat menjadi lebih baik bahkan dapat sebagian lagi dapat dikatakan berlebihan sementara masyarakat lainnya, pembangunan justru mengantarkan pada kondisi yang dapat dikatakan menyengsarakan dimana angka pengangguran, kemiskinan menjadi bertambah sejalan dengan proses pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah.
Pada tahap awal pembangunan Indonesia, pemerintah khususnya pemerintah pusat, memegang peranan yang dominan di dalam pembangunan nasional beserta perencanaannya karena pemerintah pusatlah yang memiliki kemampuan dana-yang berasal dari minyak dan bantuan/pinjaman luar negeri-maupun daya. Sedangkan pemerintah daerah maupun masyarakat/swasta belum memiliki kemampuan tersebut. Akibatnya, pemerintah pusatlah yang melakukan hampir segala jenis kegiatan pembangunan termasuk perencanaannya. Masyarakat dan swasta hanya mendukung rencana pemerintah, baik sebagai supplier maupun kontraktor atau subkontraktor dari proyek pemerintah. Jadi pemerintah pusat berdiri paling depan, sedangkan masyarakat/swasta menyokong dari belakang.
Perencanaan pembangunan juga dilakukan secara menyeluruh dan terpusat dan dipercayakan kepada badan khusus, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang direorganisasi dalam tahun 1967, di mana Bappenas melakukan perencanaan kegiatan fisik/proyek bersama dengan departemen teknis maupun perencanaan kebijakan untuk menopang kegiatan fisik pemerintah. APBN pada waktu itu dibagi dalam anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dengan alokasi anggaran pembangunan ditentukan oleh Bappenas. Departemen Keuangan hanya mengadakan penghitungan mengenai penerimaan dalam negeri serta pengeluaran rutin untuk mengetahui besarnya tabungan pemerintah yang merupakan salah satu komponen anggaran pembangunan di samping pinjaman luar negeri yang pemanfaatannya juga menjadi wewenang Bappenas. Dengan demikian, di samping merencanakan hampir seluruh kegiatan pembangunan, Bappenas juga menetapkan prioritas pembiayaannya.
Dengan semakin berhasilnya pembangunan nasional yang diselenggarakan pemerintah, kemampuan masyarakat dan swasta juga semakin meningkat, baik dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan fisik/proyek maupun kemampuan dana untuk membiayainya. Sedangkan di lain pihak, kemampuan dana pemerintah semakin menurun. Dengan demikian, perencanaan pembangunan khususnya perencanaan kegiatan fisik/proyek, juga semakin bergeser ke masyarakat dan swasta. Sementara peranan pemerintah yaitu Bappenas dan Departemen Keuangan masih tetap relevan, hanya saja sifatnya berubah.
Kegiatan fisik pemerintah semakin menurun dan terbatas pada penyediaan public goods dan dengan digabungkannya anggaran rutin dan anggaran pembangunan maka wewenanga anggaran sepenuhnya berada di tangan Departemen Keuangan. Hal lainnya juga, dikarenakan sebagian besar kegiatan fisik pembangunan sudah berada di tangan masyarakat, maka masyarakat sekarang berada di depan sebagai pelopor pembangunan sehingga pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan melalui kebijakan public untuk mengarahkan dan mendukung kegiatan masyarakat.
Perencanaan atau penyusunan kebijakan ini yang harus dibuat oleh pemerintah dan lembaga pemerintah yang tepat, untuk itu adalah Bappenas. Karena yang direncanakan adalah kebijakan, maka sifatnya adalah issue-oriented, strategis dan lintas-sektoral bukan sektoral seperti dalam kegiatan fisik. Proses pembentukannya pun harus partisipatif konsultatif dari bawah di mana pemerintah dengan sungguh-sungguh mendengar pandangan dari masyarakat karena kebijakan itu dimaksudkan untuk memfasilitasi rencana dan kegiatan masyarakat.
Jadi dinamika pembangunan Indonesia menuntut adanya perubahan dalam peranan pemerintah, termasuk peranan Bappenas dan Departemen Keuangan di dalam perencanaan pembangunan. Perubahan yang sama juga terjadi di negara berkembang lainnya seperti Korea Selatan di mana Economic Planning Board/EPB terutama fungsinya sebagai perencana fisik sekarang digabung dengan Kementerian Keuangan.
Penggeseran di dalam sifat perencanaan pembangunan nasional di Indonesia, termasuk peranan Bappenas dan Departemen Keuangan, seharusnya tercermin di dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Arah UU No 17/2003, pelaksanaannya tidak memperhitungkan bahwa Departemen Keuangan masih harus membangun kapasitasnya di dalam hal perencanaan fisik. Sebaliknya, UU No 25/2004 masih terbuai di dalam pola lama di mana Bappenas masih berkecimpung di dalam perencanaan kegiatan fisik yang sifatnya operasional, sektoral, dan menyeluruh.
Level Kelembagaan
Permasalahan Penyelenggaraan Perencanaan Pembangunan dalam Konteks Penyelenggaraan Otonomi Daerah (yang proporsional)
Digulirkannya kebijakan otonomi daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebabkan terjadinya perubahan sistem pemerintahan cukup penting, yaitu yang semula bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Dengan sistem desentralisasi ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengelola dan mengoptimalkan potensi daerahnya sesuai kebutuhan dan kemampuan daerahnya masing-masing.
Amri (2000: 5-6) menyatakan bahwa pada dasarnya desentralisasi adalah melalui kebijakan pemerintah daerah tersebut diharapkan propinsi dan pusat tidak akan terlampau jauh dalam mencampuri urusan daerah Tingkat II. Propinsi diharapkan hanya akan melaksanakan fungsi – fungsi yang tidak dapat dilaksanakan Kabupaten dan Kota, yaitu fungsi – fungsi yang menyangkut lintas kabupaten seperti Kehutanan dan Transportasi sedangkan kepentingan Pusat adalah menyangkut politik luar negeri. Lebih tegas dinyatakan oleh Bagir Manan (1994: 170) desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat terkait dengan hak untuk mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan – badan politik di daerah – daerah, yang dipilih rakyat oleh rakyat dalam daerah – daerah tertentu sedangkan kewenangan pusat adalah menyangkut politik luar negeri, pertahanan keamana, peradilan, moneter dan fiskal.
Sejalan dengan terjadinya perubahan tersebut, terjadi pula perubahan struktur organisasi pemerintahan daerah, dimana pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang kemudian dirubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan terakhir digantikan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yaitu dalam membentuk organisasi perangkat daerah hendaknya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah;
2. Karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah;
3. Kemampuan keuangan daerah;
4. Ketersediaan sumber daya aparatur;
5. Pengembangan pola kerjasama antar daerah dan/atau pihak ketiga.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan instrumen manajemen pembangunan daerah. Aspek-aspek dalam manajemen pembangunan daerah terwadahi dalam satu atau beberapa SKPD. Penyusunan kebijakan dan koordinasi diwadahi dalam sekretariat, pengawasan diwadahi dalam bentuk inspektorat, perencanaan diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik diwadahi dalam lembaga teknis daerah, sedangkan aspek pelaksana urusan daerah diwadahi dalam dinas daerah. Kinerja SKPD menentukan kinerja pada tiap aspek manajemen pembangunan daerah, yang pada gilirannya, menentukan kinerja Daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Tugas dan fungsi masing-masing perangkat daerah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dengan ruang lingkup dan kewenangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, serta potensi dan karakteristik daerah masing-masing.
Revisi Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan terbitnya Undang- Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sisterm Perencanaan Pembangunan Nasional menyebabkan kewenangan Kepala Daerah menjadi lebih luas. Sebagai konsekuensi logis perubahan UU, terbitnya UU tersebut, beban kerja Bappeda sebagai salah satu satuan kerja akan semakin bertambah.
Managemen Pemerintahan menempatkan BAPPEDA dalam renah tugas perencanaan program, anggaran, pengendalian dan evaluasi serta koordinasi. Sebagai ilustrasi disajikan pada gambar 3.2.
Kepala DaerahSEKDA ASISTENKEBIJAKANPLANNINGACTUATINGPOSTPROGRAMMING UU 25/2004UU32/2004BUDGETING PJLS. PASAL 6 PP 58/2005SKPD-SKPDMELIPUTI SEMUA URUSAN PEM & (wajib+pilihan)MELIPUTI SELURUH WILAYAH MCKP KOORD DGN DPRD, VERTIKAL, SEMUA SKPD (SEMUA k/I) & KERJASAMA, (REGIONAL, APPSI)MENGKOORD, SEMUA SUMBER DANA (PUBLIK & PRIVATE)PENGENDALIANEVALUASIPP 39/2006PP 3/2007PENGAWASINSPEKTORAT
Kepala Daerah
SEKDA ASISTEN
KEBIJAKAN
PLANNING
ACTUATING
POST
PROGRAMMING UU 25/2004
UU32/2004
BUDGETING PJLS. PASAL 6 PP 58/2005
SKPD-SKPD
MELIPUTI SEMUA URUSAN PEM & (wajib+pilihan)
MELIPUTI SELURUH WILAYAH
MCKP KOORD DGN DPRD, VERTIKAL, SEMUA SKPD (SEMUA k/I) & KERJASAMA, (REGIONAL, APPSI)
MENGKOORD, SEMUA SUMBER DANA (PUBLIK & PRIVATE)
PENGENDALIAN
EVALUASI
PP 39/2006
PP 3/2007
PENGAWAS
INSPEKTORAT
Gambar 3.2. Ranah Tugas Perencanaan Program, Anggaran, Pengendalian Dan Evaluasi Serta Koordinasi
Berdasarkan ilustrasi diatas, BAPPEDA bertugas meliputi renah perencanaan (perancangan program dan penganggaran), pengendalian serta evaluasi semua urusan pemerintahan (wajib dan pilihan). Khusus evaluasi sebagaimana mestinya PP 39/2006 dan PP 7/2008 melakukan pelaporan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantu serta penyusunan LKPJ sebagaimana PP 3/2007.
Beban tugas Bappeda yang menjadi sangat padat dan kompleks terkait dengan kebijakan UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebabkan dapat menyebabkan pelaksanaan peran dan fungsinya dapat tidak maksimal. Selain itu, dengan tidak melibatkannya Bappeda proses pembahasan anggaran baik yang dibahas di pusat maupun di daerah akan menyebabkan duplikasi kegiatan dan pendanaan
Permasalahan Penyelenggaraan Perencanaan Pembangunan dalam Konteks Penyelenggaraan Kebijakan Sektoral
Perencanaan pembangunan ekonomi yang juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya dapat dicapai dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan PDB/PNB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Hal ini menjadi salah satu dari pengertian pembangunan ekonomi yaitu suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 1999:6). Pertumbuhan ekonomi itu sendiri dapat meningkat bila ada suatu/beberapa sektor ekonomi yang berkembang lebih cepat dari pada sektor-sektor lain. Dengan demikian, sektor yang mempunyai perkembangan lebih cepat dari sektor lain akan menjadi suatu sektor unggulan.
Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. Peniruan mentah-mentah pola kebijaksanaan yang pernah diterapkan dan berhasil pada suatu daerah, belum tentu memberikan manfaat yang sama bagi daerah lainnya. Menurut Bendavid-Val (1991:21) bahwa :
Regional development planning is not planning of a region; it is planning for a region. It is an effort organized to establish overall regional economic development objectives, collect and analyze information, and generate and evaluate project proposals within a strategic framework for regional development.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antarkota, antardesa, antara kota dan desa, antarsektor, serta pembukaan dan percepatan pembangunan kawasan tertinggal, daerah terpencil, daerah minus, sehingga mewujudkan pembangunan yang berwawasan nusantara (Kartasasmita, 1996:335-336).
Pelaksanaan otonomi telah memberikan kesempatan kepada setiap daerah provinsi di Indonesia untuk mengembangkan sendiri potensi daerah (faktor endowment) yang dimilikinya. Selama ini pengembangan potensi daerah telah diarahkan pada 9 sektor ekonomi, yaitu : Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri, Bangunan, Angkutan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Lembaga Keuangan dan Jasa Perbankan, serta Jasa-Jasa.
Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh masing-masing sektor tidaklah sama. Perbedaan itu terlihat dari kontribusi masing-masing sektor terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan pertumbuhan yang berbeda itu mempengaruhi kesejahteraan ekonomi secara agregat di daerah yang kini melaksanakan otonomi daerah. Kontribusi terbesar pada PDRB umumnya diperoleh dari sektor pertanian, sehingga sektor ini merupakan sektor andalan di daerah dan dijadikan ukuran efisiensi, sedangkan sektor lain yang kontribusinya terhadap PDRB kecil kurang diandalkan dan dianggap tidak efisien.
Di era otonomi, pembangunan ekonomi haruslah dilakukan secara serentak pada setiap sektor, walaupun menurut Hirschman dalam Todaro (1985), bahwa untuk negara (daerah) berkembang pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (unbalanced growth) yaitu dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan berimplikasi ke depan (forward linkages) dan hubungan ke belakang (backward linkages). Pemerintah harus memberikan kejelasan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai sesuai dengan kehendak masyarakat daerah., karena masyarakat itu sendirilah yang lebih mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu ditingkatkan, dikembangkan, dipertahankan, sesuai dengan sosio-kultur daerah tersebut.
Kebijakan ini menitikberatkan pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga pupuk murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh lainnya adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus digunakan untuk pendirian industry, misalnya, kawasan industri Cilacap. kawasan ini mempunyai hak khusus, misalnya di Batam impor bahan mentah tidak terkena pajak, sehingga hal ini akan mendorong produksi di sana.
Level Teknis
Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Pada Tingkat Pemerintah
Di dalam literatur-literatur ekonomi pembangunan sering disebutkan bahwa ada tiga peran pemerintah yang utama yaitu: (1) Sebagai pengalokasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh negara untuk pembangunan; (2) Penciptaan stabilisasi ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter; serta (3) Sebagai pendistribusi sumber daya.
Sebagai suatu organisasi, setiap negara pada dasarnya memerlukan rencana yang memuat tujuan dan sasaran nasional yang akan dicapai dalam suatu kurun waktu tertentu di masa yang akan datang serta strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Pemerintah Republik Indonesia menyadari bahwa alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif, serta koordinasi perencanaan Pembangunan Nasional adalah tugas, fungsi dan wewenangnya. Pada saat ini, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2002, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kantor Meneg PPN/Bappenas) mempunyai tugas membantu Presiden di bidang perencanaan pembangunan nasional.
Selanjutnya, Keputusan Meneg PPN/Kepala Bappenas Nomor: 050/M.PPN/03/2002 tanggal 26 Maret 2002 dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa "Kantor Meneg PPNN/Bappenas menyelenggarakan fungsi antara lain pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan nasional, serta pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional." Sedangkan Pasal 4 ayat d (ii) menyebutkan bahwa "Kantor Meneg PPN/Bappenas mempunyai kewenangan dalam merumuskan kebijakan perencanaan nasional secara makro dan memadukan perencanaan lintas sektoral dan lintas wilayah." Sejak dibentuknya pada tahun 1973, Bappenas telah melakukan peran strategis baik dalam penyusunan makro, sektoral dan regional.
Dinamika perubahan yang terjadi baik di jenjang nasional maupun global saat ini dan di masa datang menuntut terjadinya perubahan orientasi dan pendekatan yang digunakan dalam perencanaan dan koordinasi pembangunan. Perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional yang perlu diperhatikan antara lain:
Demokratisasi. Proses perencanaan pembangunan dituntut untuk disusun secara terbuka dan melibatkan semakin banyak unsur masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan yang dihasilkan merupakan komitmen kuat dari seluruh masyarakat mengenai tatanan masyarakat yang hendak dibangun dan bagaimana cara mencapainya.
Otonomi Daerah. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu sinkron dan sinergis antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten serta menghindari kemungkinan timbulnya kesenjangan yang makin melebar akibat perbedaan sumberdaya pembangunan yang dimiliki masing-masing daerah.
Globalisasi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk mampu mengantisipasi kepentingan nasional dalam kancah persaingan global. Diperlukan kebijakan yang mampu mewujudkan koordinasi dan integrasi upaya-upaya Pemerintah RI dengan pemerintah negara lain atau organisasi-organisasi internasional.
Perkembangan Teknologi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat yang dapat merubah perekonomian dunia dalam waktu singkat.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan pada tingkat pemerintah daerah
Perlunya pemerintah daerah untuk secara aktif mengadakan perencanaan atau program pembangunan daerahnya terutama disebabkan 3 (tiga) alasan berikut menurut Sadono Sukirno:
Untuk membantu pemerintah pusat dan pada waktu yang sama mengemukakan pendapatnya dalam meneliti proyek-proyek yang akan dilaksanakan di daerah tersebut;
Untuk menciptakan yang efektif dan selanjutnya menciptakan administrasi yang lebih efesien;
Untuk memberikan pengarahan kepada sektor swasta sehingga kegiatan investasi mereka dapat dilaksanakan secara efisien dan memberikan sumbangan yang maximal terhadap pembangunan ekonomi.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Setiap daerah diwajibkan menyusun RPJP/D, RPJMD dan RKPD sebagai Rencana Tahunan Daerah.
Untuk setiap proses penyusunan Dokumen Rencana Pembangunan di daerah diperlukan koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan Pembangunan melalui suatu Forum yang disebut MUSRENBANG (Musyawarah Rencana Pembangunan), sedangkan tata cara penyelenggaraan seluruh kegiatan Musrenbang baik di Tingkat Kab/Kota, Kecamatan, Kelurahan dalam menyusun RKP dan RKPD untuk satu Tahun Anggaran. Selanjutnya Pemerintah daerah melalui Bappeda wajib memfasilitasi kegiatan Musrenbang Kelurahan, Kecamatan serta menyediakan pembiayaan pelaksanaannya yang dituangkan dalam APBDnya.
Pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah mengukuhkan legitimasi formal bagi institusi perencanaan di daerah (BAPPEDA) yang merupakan salah satu sarana penting untuk mewujudkan sistem perencanaan yang efektif dan bertanggungjawab. Perencanaan hendaknya mampu menjamin bahwa pembangunan daerah menuju kearah yang tepat sesuai dengan tuntutan internal dan eksternal, ditunjang oleh potensi sumberdaya yang tersedia. Pembangunan daerah pada dasarnya merupakan upaya perubahan dalam berbagai bidang dan aktivitas kehidupan masyarakat menuju kearah pertumbuhan kualitas Sumber Daya Manusia. Untuk memenuhi hal ini diperlukan perencanan yang tepat dan dapat dipercaya dengan menggunakan berbagai metode dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dalam aspek legal-formal maupun aspek akademik.
Berbagai permasalahan terkait pelaksanaan perencanaan pembangunan antara lain: (i) Terjadinya duplikasi program dan kegiatan yang diusulkan oleh beberapa SKPD, (ii) Tidak ada perda khusus yang mengatur penyusunan anggaran, selama ini peraturannya terlalu banyak, (iii) Pengaturan nomenklatur anggaran masih memungkinkan terjadinya anggaran ganda, (iv) Anggaran pembangunan biasanya lebih kecil dari anggaran rutin dan prioritas pembangunan belum tercermin dalam APBD, (v) Persaingan antara Bappeda dan Biro Keuangan dalam penentuan anggaran, (vi) Terbatasnya keterlibatan publik dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan anggaran public, (vii) Musrenbang masih didominasi oleh aparat sehingga prioritas program dan kegiatan sebagian besar untuk aparat dan (viii) Terbatasnya anggaran yang disediakan untuk public. Jelasnya adalah sebagai berikut:
Terjadinya duplikasi program dan kegiatan yang diusulkan oleh beberapa SKPD. Yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah masih lemahnya proses pendokumentasian bentuk program dan kegiatan beberapa SKPD dan juga lemahnya koordinasi antar SKPD. Koordinasi diperlukan dalam mengatur hubungan kerjasama dari beberapa instansi/pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang yang saling berhubungan dengan tujuan untuk menghindarkan kesimpangsiuran dan duplikasi.
Tidak ada perda khusus yang mengatur penyusunan anggaran, selama ini peraturannya terlalu banyak. Belum adanya petunjuk teknis yang menyangkut pelaksanaan anggaran daerah, sehingga daerah masih mengacu pada berbagai pedoman. Petunjuk Teknis dimaksudkan untuk memberikan panduan agar terdapat kesamaan pemahaman dan langkah pada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran.
Pengaturan nomenklatur anggaran masih memungkinkan terjadinya anggaran ganda. Anggaran ganda jelas merupakan suatu penyimpangan, pembagian tugas penyusunan anggaran tidak dilakukan secara disiplin. Banyak anggaran rutin yang "disamarkan" seolah-olah merupakan anggaran pembangunan.
Anggaran pembangunan biasanya lebih kecil dari anggaran rutin dan prioritas pembangunan belum tercermin dalam APBD. Lemahnya analisis kebijakan dalam penyiapan prioritas RAPBD
Persaingan antara Bappeda dan Biro Keuangan dalam penentuan anggaran. Proses perencanaan dan proses penganggaran seringkali tidak sinkron
Terbatasnya keterlibatan publik dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan anggaran public. UU ini tidak menyebutkan bentuk pengawasan oleh masyarakat. Pengawasan masih dilakukan oleh birokrasi sendiri. Pelibatan masyarakat diberi ruang pada tahap pertama Perencanaan Pembangunan (yaitu penyusunan rencana). Ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan seperti itu disamping dinilai terlalu sempit, dalam prakteknya juga telah terjadi distorsi yang semakin memperkecil akses masyarakat dalam proses pembangunan.
Musrenbang masih didominasi oleh aparat sehingga prioritas program dan kegiatan sebagian besar untuk aparat. Peran masyarakat baru terbatas pada Musrenbang. Dalam banyak kasus, forum Musrenbang kurang optimal dimanfaatkan sebagai media penampung aspirasi masyarakat sehingga hasil yang kemudian diajukan hanyalah usulan dari aparat yaitu kepala desa/lurah dan perangkatnya tanpa melibatkan masyarakat lagi.
Terbatasnya anggaran yang disediakan untuk public. Standar pembiayaan yang dalam penyusunan APBD belum responsif tehadap kebutuhan masyarakat.
Permasalahan Perencanaan Pembangunan Terkait Dengan Penerapan Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini. Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah.
Paradigma good governance menghendaki kedudukan masyarakat (civil society) dapat berdiri sejajar dengan sektor pemerintahan (public sektor) dan sektor swasta (private sektor). Masyarakat diharapkan mampu menjaga dan mengembangkan aturan main (rule of the game) dan etika (rule of ethics) dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik – dalam hal ini masyarakat tidak ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficieris) semata. Sementara, sektor pemerintahan diharapkan mampu memberikan pengarahan kebijakan, pengaturan dan pengendalian kehidupan warga negara, dan sektor swasta menciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan melalui kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa.
Dalam penjelasan UU No. 25 Tahun 2004 disebutkan bahwa salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan adalah pendekatan partisipatif (selain pendekatan politik, teknokratik, top-down, dan bottom-up). Pendekatan partisipatif ini dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan ini untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Begitupun, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2 004 tentang Pemerintah Daerah merupakan kerangka dasar otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan pelaksanaan perencana an pembangu nan dari bawah secara partisipatif.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan dapat menjadi sarana pemberdayaan masyarakat karena masyarakat diberi kesempatan untuk mengemukakan usulannya dan mendapat kesempatan untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan. Manfaat dalam jangka panjang adalah peningkatan keterampilan politik masyarakat, karena sudah terbiasa bernegoisasi, melakukan kompromi, dan sekaligus menyepakati berbagai hal kepentingan publik.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 139 ayat (1) menyebutkan bahwa,
"masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda".
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kebutuhan dasar seperti halnya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan transportasi (Sumardi dan Evers, 1982). FAO (1991) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat adalah hak azasi, sehingga masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan. Kesempatan tersebut perlu diberikan karena tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sesuai dengan yang mereka inginkan. Masyarakat sendiri yang akan merasakan dan menilai apakah pembangunan tersebut berhasil atau tidak. Maka agar tujuan pembangunan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah, diperlukan persepsi yang sama antar individu yang terlibat dalam pembangunan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 25 butir (a) menyatakan bahwa:
"setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas".
Menurut Abe (2005) perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam pembangunan, yaitu: terhindar dari peluang terjadinya manipulasi, memberikan nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan, serta meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat. Suzetta (2007), sebagai cerminan lebih lanjut dari demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian dari good governance maka proses perencanaan pembangunan juga melalui proses partisipatif. Prinsip perencanaan partisipatif merupakan prinsip good governance dimana prinsip tersebut menekankan pengakuan akan kekuasaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. UNDP (United Nation Development Program) sebagai lembaga dunia yang bergerak dalam bidang pembangunan, mengungkapkan karakteristik perencanaan partisipatif (Osborne, 2005) sebagai berikut:
Partisipasi, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui badan perwakilan yang legitimate mewakili kepentingannya.
Peraturan Hukum
Keterbukaan
Ketanggapan
Kesepakatan Bersama
Bertanggungjawab
Keadilan
Efektif dan Efisien
Pelibatan masyarakat diberi ruang pada tahap pertama Perencanaan Pembangunan (yaitu penyusunan rencana). Tahap pertama sendiri memiliki 4 (empat) langkah, yaitu: pertama, adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur; kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan; ketiga, pelibatan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang); dan keempat, penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Namun demikian, dalam prakteknya perencanaan partisipatif tanpa didukung oleh kemampuan masyarakat untuk terlibat aktif di dalamnya adalah merupakan suatu in-efisiensi, yang pada akhirnya akan menghambat proses perencanaan secara keseluruhan. Menurut Sumarto (2003), ada tiga hambatan utama dalam penerapan partisipasi masyarakat, yaitu:
Hambatan struktural yang membuat iklim atau lingkungan menjadi kurang kondusif untuk terjadinya partisipasi. Di antaranya adalah kurangnya kesadaran berbagai pihak akan pentingnya partisipasi serta kebijakan atau aturan yang kurang mendukung partisipasi termasuk kebijakan desentralisasi fiskal.
Hambatan internal masyarakat sendiri, diantaranya kurang inisiatif, tidak terorganisir, dan tidak memiliki kapasitas memadai untuk terlibat secara produktif dalam proses pengambilan keputusan.
Hambatan akibat kurang terkuasainya metode dan teknik-teknik partisipasi.
Sementara dalam prosesnya, implementasi perencanaan partisipatif yang menjadi amanat – baik yuridis maupun sosiologis – dari pelaksanaan otonomi daerah, secara umum ditemukan partisipasi masyarakat relatif masih lemah, baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Berkaitan dengan ini Muslim (2001) mengutip hasil survey Public Integity Index menemukan bahwa permasalahan kita bukan pada rendahnya kualitas dan kuantitas tingkat partisipasi masyarakat, tetapi terletak pada ketertutupan mekanisme politik bagi keterlibatan warga negara dalam menuntut akuntabilitas dan keterbukaan.
Jika dilihat ke belakang, pola perencanaan berjenjang dari bawah ke atas (partisipatif) ternyata tidak banyak menjanjikan aspirasi murni warga desa yang bisa didengar. Perencanaan berjenjang dimulai dengan proses Musrenbangdes (musyawarah perencanaan pembangunan desa), dilanjutkan dengan musrenbang di tingkat kecamatan, lalu diikuti rapat koordinasi pembangunan di tingkat kabupaten hingga propinsi. Keterlibatan masyarakat desa dalam proses perencanaan itu selesai di tingkat kecamatan, sehingga implementasi pola tersebut dapat dikritisi mengandung banyak kelemahan. Misalnya partisipasi masyarakat selaku penerima manfaat sangat lemah, hasil berbagai forum koordinasi di tingkat lebih rendah (desa) kadang tidak digubris oleh pemerintah yang lebih tinggi, mekanisme perencanaan mulai dari Musrenbangdes hanya bersifat mencatat daftar kebutuhan masyarakat ketimbang sebagai proses perencanaan yang partisipatif. Proses tersebut akhirnya menjadi proses birokratis yang sangat panjang dan lama sehingga masyarakat tidak mendapatkan kepastian kapan kebutuhannya akan terwujud. Bila demikian adanya, maka realita ini tentu saja dapat menghambat jalannya implementasi perencanaan partisipatif. Padahal sebagimana telah dijelaskan di atas bahwa macetnya perencanaan partisipatif akan menghadirkan pola-pola pembangunan yang tidak aspiratif.
Secara ringkas seluruh bahasan pada bab III ini ditampilkan melalui matriks permasalahan dalam lampiran yang juga dilengkapi dengan rekomendasi yang paling memungkinkan dalam kacamata aturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
BAB IV
ARAH REVITALISASI SISTEM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN
Menuju Sistem Perencanaan yang Ideal
Dalam implementasinya, UU SPPN dan UU KN harus pula mewadahi dan mengakomodasi peraturan dan perundang-undangan lain yang terkait. Yang paling signifikan adalah bagaimana UU SPPN dan UUKN dapat mengakomodasi paket perundang-undangan terkait lainnya seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Gambaran dari perlunya mengakomodasi UU dan peraturan lain dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dapat dijelaskan oleh gambar berikut:
Sumber: Dirjen OTDA Bappenas, dimodifikasi
Gambar 4.1. Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Pusat/Daerah Integrasi dengan UU terkait lainnya
Penguatan Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah
Selain dari masalah integrasi UU SPPN dengan UU terkait lainnya disadari pula adanya dorongan yang lebih kuat terhadap penguatan peranan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melalui arahan dalam upaya memastikan bahwa program dan kegiatan yang dijabarkan dalam RPJPD, RPJMD, dan RKP serta dipedomani oleh Renstra SKPD dan Renja SKPD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengacu pada RPJPN dan RPJMN. Gambar berikut menunjukkan pola perencanaan yang harus diperkuat oleh peran Gubernur kepada SKPD dan Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah kewenangannya.
Gambar 4.2. Peran Gubernur yang Semakin Kuat sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Penguatan peran gubernur tersebut tidak saja ditetapkan dalam peraturan pemerintah sebagaimana saat ini diatur dalam pp no 23 tahun 2011 perubahan atas peraturan p emerintah nomor 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi namun sebaiknya diatur pada tingkat Undang Undang. Dalam hal ini perlu penguatan Gubernur tidak saja dalam perencanaan pembangunan tetapi juga terintegrasi dengan peran Gubernur dalam perencanaan spasial sebagai basis untuk menciptakan pembangunan Provinsi yang terintegrasi
Sinergitas Pusat dan Daerah
Selain penguatan peran Gubernur, dibutuhkan pula sinergitas Pusat dan daerah terutama dalam seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi mencakup sinergi dalam seluruh Dokumen Perencanaan (RPJP N/D, RPJM N/D, RKP /D, RENSTRA K/L DAN SKPD). Secara detail aspek yang perlu disinergikan adalah:
Sinergi Dalam Perencanaan Kebijakan
Sinergi Dalam Kerangka regulasi
Sinergi Dalam Kerangka anggaran
Sinergi Dalam Kerangka kelembagaan dan aparatur
Sinergi Dalam Kerangka pengembangan wilayah
Dalam hal penganggaran sebagai contoh, dapat dilakukan suatu sinergitas terhadap bidang-bidang yang diprioritaskan dengan tetap mengakomodasi prioritas pemenrintah daerah seperti digambarkan dalam gambar 4.3. berikut.
Gambar 4.3 Sinergitas Penganggaran APBN dan APBD
Sinergitas Antar Lembaga Kementrian di Tingkat Pusat dan Daerah
Sinergitas diperlukan pula dalam berbagai kegiatan pengambilan Kebiajakan di tingkat pusat oleh kementrian-kementrian terkait Perencanaan dengan tingkat daerah baik propinsi maupun Kabupaten Kota. Secara Ideal, hubungan tersebut dapat dilihat pada gamabr berikut.
DepkeuUU No. 17/2004DepdagriUU No. 32/2004BappenasUU No. 25/2004PP No. 20/2004PP No. 21/2004DAERAH
Depkeu
UU No. 17/2004
Depdagri
UU No. 32/2004
Bappenas
UU No. 25/2004
PP No. 20/2004
PP No. 21/2004
DAERAH
Gambar 4.4. Hubungan Kerja IDEAL antara Bappenas, Depkeu dan Kementerian/Lembaga
Basis Evaluasi dalam Siklus Proses Perencanaan
Dengan mengacu pada Konsep dan Paradigma Perencanaan, dapat disimpulkan sementara bahwa penekanan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berlaku saat ini sangat menekankan akan pentingnya pendekatan desentralisasi dan partisipasi. Hal ini terlihat secara nomenclature maupun interpretasi UU No. 25 Tahun 2007. Padahal masih terdapat satu pendekatan lain yang dapat dijadikan basis utama dari sistem perencanaan pembangunan tersebut yaitu unsur evaluasi. Gambar berikut menjelaskan bahwa perencanaan dan implementasi akan selalu idealnya dijembatani oleh hasil check and recheck sebagai satu kesatuan sirkulasi perencanaan.
Gambar 4.5. Perencanaan Berbasis Partisipasi dan dan Evaluasi Diri
Manajemen Evaluasi Kinerja
Terkait dengan pendekatan sistem perencanaan berbasis evaluasi, ditengarai pula bahwa UU No. 25/2004 tentang SPPN memiliki kelemahan dalam hal aturan dan pasal terkait prosedur evaluasi kinerja yang dapat dilakukan terhadap beberapa produk-produk dokumen perencanaan. Arah kedepan tentunya melengkapi UU SPPN tersebut dengan perangkat aturan tambahan mengenai manajemen evaluasi kinerja secara lengkap untuk beberapa produk dokumen perencanaan yang penting dalam menjaga sinergitas perencanaan pusat-daerah.
Tabel berikut menggambarkan kelemahan UU SPPN dibandingkan dengan UU terkait perencanaan lainnya.
Tabel 4.1. Manajemen Kinerja Menurut UU
Masalah
UU 17/2003
UU 33/2004
UU 32/2004
UU 25/2004
Penyusunan Renja SKPD
Berdasar Prestasi Kerja
Yang disusun berdasar prestasi kerja adalah RKA SKPD
Tidak berdasar prestasi kerja
Tidak berdasar prestasi kerja
Pedoman Penyusunan Renja SKPD
Renstra SKPD
Renstra SKPD dan RKPD
Pihak yang menetapkan prioritas dan plafon
DPRD dan Pemda
DPRD dan Pemda
Kepala Daerah
Prioritas dan Plafon
Acuan Penyusunan RKA SKPD
Acuan Penyusunan RKA SKPD
Dasar Penyusunan RKA SKPD
RKA SKPD
Dibahas dahulu oleh DPRD lalu disampaikan ke PPKD
Dibahas dahulu oleh DPRD lalu disampaikan ke PPKD
Diserahkan ke PPKD
Perubahan RAPBD
Usul DPRD
Tidak ditegaskan
Tidak ditegaskan
Sumber: DITJEN OTDA, Bappenas, dimodifikasi
Arah Penataan tingkat kebijakan sistem perencanaan pembangunan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), yang sedang disusun, diperbaiki lagi melalui suatu proses konsultasi yang lebih intensif untuk menghasilkan suatu kesepakatan bersama, sedangkan format dan isinya diperbaiki sehingga menjadi suatu rencana indikatif yang efektif.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah disusun perlu disesuaikan sehingga menjadi satu paket policy papers atau white papers yang lebih bersifat issue-oriented, strategis, dan lintas-sektoral. Kalau tidak dapat diubah lagi,maka dokumen RPJM paling tidak harus dilengkapi dengan white papers yang issue-oriented.
Arah Penataan Tingkat Kelembagaan dalam Mendukung Perencanaan Pembangunan yang Efektif Dan Efisien
Bappenas dan Departemen Keuangan yang komunikasi diantara pimpinannya dewasa ini sudah lebih baik, segera mengambil langkah-langkah untuk mengadakan revisi guna menyinkronkan UU No 25/2004 dengan UU No 17/2003 dengan memperhatikan kecenderungan global dan dinamika pembangunan di Indonesia.
Dalam penyusunan RKP 2006 sudah terlihat lebih nyata upaya menghindari duplikasi rencana kerja dengan melakukan kodifikasi anggaran menurut fungsi, sub fungsi, program, dan kegiatan pokok. Namun demikian kodifikasi tersebut masih belum menutup kemungkinan duplikasi kegiatan karena rincian kegiatan ada pada masing-masing Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga. Untuk memperkecil kemungkinan tersebut maka komunikasi antar-lembaga perlu diadakan seperti Musrenbang. Menimbang terbatasnya waktu dan kesempatan komunikasi dalam forum musyawarah tersebut, maka penayangan rencana kerja melalui situs kementerian/ lembaga kiranya sudah perlu dimulai agar lebih banyak pihak ikut memberikan masukan.
Peraturan menteri dalam negeri nomor 30 tahun 2007 tentang pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran 2008, Dalam rangka menghindari duplikasi penganggaran, baik dalam APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota, maka urusan pemerintahan daerah yang bukan merupakan kewenangan provinsi atau kabupaten/kota tidak dapat dianggarkan dalam bentuk program dan kegiatan pada SKPD provinsi atau kabupaten/kota, namun dapat dianggarkan pada Belanja Bantuan Keuangan, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Bantuan keuangan tersebut disalurkan ke kas daerah/desa yang bersangkutan.
Terhadap program dan kegiatan…dalam penerapannya setiap SKPD harus menjewatani Penyusunan Anggaran antara APBD I dan II sehingga duplikasi tidak terjadi dan dana tersebut dapat diarahkan kepada pekerjaan yang lain di beberapa sektor
Koordinasi adalah kegiatan yang meliputi pengaturan hubungan kerjasama dari beberapa instansi/pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang yang saling berhubungan dengan tujuan untuk menghindarkan kesimpangsiuran dan duplikasi
Penguatan aspek spasial dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Sistem perencanaan pembangunan saat ini belum terintegrasi dengan sistem spasial. Padahal proses pembangunan tidak selalu berbasis pada karateristik wilayah. Untuk itu diperlukan suatu perubahan dalam kebijakan yang menjadi dasar SPPN dimana perencanaan pembangunan akan selalu berbasis pada wilayah. Dengan cara ini masalah disharmonisasi kebijakan antar daerah dan antara pusat dan daerah dapat teratasi secara siginifikan karena terdapat parameter yang jelas mengenai permasalahan pembangunan dan prioritas pemecahannya.
UU No. 26 Tahun 2007 yang diterbitkan pada tanggal 26 April 2007 mengamanatkan agar setiap provinsi di Indonesia menyusun atau menyesuaikan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)-nya selambat-lambatnya dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan , dan agar setiap kabupaten/kota menyusun atau menyesuaikan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/K)-nya selambat-lambatnya dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun . Makna menyesuaikan disini adalah menyesuaikan dengan amanat dan muatan yang terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2007 maupun PP No. 26 Tahun 2008, karena adanya beberapa perbedaan antara UU dan PP ini dengan yang sebelumnya, yaitu UU No. 24 Tahun 1992 dan PP No. 47 Tahun 1997. Rencana tata ruang diamanatkan untuk disusun secara hirarkis dari tingkat nasional (RTRWN), provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam kenyataanya baru sedikti provinsi yang sudah mengeluarkan perda tentang tata ruang tersebut. Keharusan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyusun perda tentang rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) itu diamanatkan oleh Undang-undang No 26/2007. Hal yang juga ditegaskan dalam Instruksi Presiden No 1/2010 tentang Prioritas Pembangunan Nasional.
Pentingnya koordinasi atau sinkronisasi dengan UU lainnya, karena menyangkut pengaturan aspek lainnya misalnya UU tentang kehutanan dan pertambangan, dapat mempercepat proses pembuatan perda – perda terkait Penataan Ruang dan untuk pengoptimalan integrasi dengan SPPN, tentu saja diperlukan campur tangan Gubernur sebagaimana disebut diatas. Gubernur juga diharapkan dapat memainkan peran penting dalam pemberian dana alokasi khusus dan umum yang akan diberikan kepada Daerah Kabupaten dan Kota.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Pembangunan sebagai kunci survival negara bangsa sangat relevan bagi Negara Indonesia. Sebagai negara archipel terbesar di dunia dengan 17 ribu pulau dan 200 kelompok suku serta lima agama besar yang dipeluk oleh lebih dari 270 juta jiwa penduduk. Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai negara eks koloni yang dijajah selama 300 tahun menjadikan pembangunan memiliki peran yang sangat strategis. Pembangunan tidak sekedar sarana mengangkat martabat bangsa Indonesia dengan cara mengejar ketertinggalan ekonomi Indonesia dibanding dengan negara negara maju lainnya. Pembangunan merupakan proses perubahan untuk membentuk dan memperkuat identitas negara bangsa. Hal ini sangat relevan bagi Indonesia yang tengah mengalamai transisi dari model pembangunan yang sebelumnya berhasil dilaksanakan melalui model birorkasi otoriter menjadi model pembangunan berbasis sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang diperkenalkan sejak akhir 1990an, masih memerlukan pembuktian efektifitasnya dalam memecahkan masalah masalah kebangsaan. Banyak kritik ditujukan kepada sistem demokrasi yang ada sedang berjalan. Dari masalah korupsi, kemiskinan dsb. Berbagai survey menunjukkan adanya kinerja pemerintahan saat ini yang lebih rendah dibanding dengan sistem orde baru. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara sistem demokrasi dan berbagai tuntutan pembangunan yang semakin kompleks. Pembangunan tidak sekedar diartikan sebagai upaya mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga membangun kelembagaan dan kapasitas pemerintahan (governance capacity) sesuai dengan prinsip prinsip demokrasi.
Proses demokrasi membutuhkan adanya sistem perencanaan pembangunan yang mampu mendukung efektifitas sistem demokrasi dalam menjawab permasalahan pembangunan dan memperkokoh Indonesia sebagai entitas Negara bangsa. Banyak contoh Negara berkembang yang mengalami transisi demokrasi gagal dalam menciptakan kemakmuran dan memperkuat bangunan Negara bangsa. Kegagalan transisi demokrasi justru menciptakan kemiskinan, konflk berkepanjangan dan pembusukan politik (political decay) dimana institusi Negara dikendalikan dan dijarah oleh para politisi korup.
Dalam konteks tersebut, Indonesia sangat membutuhkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai sarana mendukung proses transisi Indonesia dalam mewujudkan sistem demokrasi yang mampu memperbaiki kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Karaktertik geografis dan masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut membutuhkan sistem perencanaan pembangunan yang mampu menjamin proses perubahan dan sekaligus menjadi alat pemersatu bangsa. Namun demikian, berbagai perubahan ketata negaraan yang berjalan sejak akhir 1990an telah menciptakan sistem administrasi Negara yang terfragmentasi. Sebagai akibatnya Sistem Perencanaan Nasional cenderung melemah karena kurangnya koordinasi dan harmonisasi antar berbagai bidang kebijakan maupun lembaga pemerintah khususnya antara pusat dan daerah. Implikasi dari dinamika tersebut adalah terbengkalainya berbagai prioritas kebijakan, ketidakkonsistenan arah pembangunan, dan tentu saja penghamburan sumber daya pembangunan dalam memecahkan masalah masalah kesejahteraan dan konsolidasi pembangunan kapasitas pemerintahan yang demokratis.
Bertolak dari kenyataan ini maka diperlukan adanya penguatan sistem perencanaan pembangunan nasional melalui penguatan implementasi Undang Undang no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sebagai sebuah sistem, Sistem perencanaan pembangunan nasional perlu dikaitkan secara selaras dengan sistem kebijakan lainnya terutama bidang administrasi keuangan Negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU no 25 tahun 2004 perlu diperkuat menjadi payung hukum yang mampu menjamin keselarasan dan keterpaduan mobilisasi sumber daya nasional dan daerah dalam rangka mencapai target target pembangunan sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat secara efektif dan efisien.
Rekomendasi
Diperlukan adanya Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman tata cara penyelenggaraan Sistem Perencanaan pembangunan Nasional dan Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur secara teknis prosedur dan format dalam perencanaan. Disamping itu Peraturan Pemerintah ini diharapkan akan memuat standardisasi terminology yang menjembatani kebijakan keuangan dan perencanaan pembangunan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Untuk mendukung pelaksaaan sistem perencanaan pembangunan sangat memerlukan dukungan kompetensi dari para pegawai. Untuk itu diperlukan adanya diklat teknis perencanaan pembangunan tidak saja bagi perencana tetapi juga semua pejabat/pegawai yang tugasnya terkait dengan perencanaan pembangunan.
Diperlukan adanya sistem evaluasi pembangunan nasional yang bersifat menyeluruh terkait dengan kinerja sektoral dan mudah diakses bagi masyarakat.
Perlunya adanya mekanisme yang mampu menjamin keterlibatan dari aktor non pemerintah dalam hal ini dunia usaha, wakil dunia profesi terutama petani, pedagang dsb. untuk memberikan masukan terkait dengan arah dan prioritas pembangunan.
Kebijakan perencanaan pembangunan nasional seyogyanya mampu mengakomodir berbagai isu isu stratejik dalam pembangunan yang khas. Isu isu tersebut adalah resolusi konflik, penguatan perbatasan, pemberantasan korupsi dsb.
Dinamika Perubahan yang sangat cepat dalam berbagai hal terkait perencanaan pembangunan dan aturan serta perangkat analisis saat ini menuntut agar aturan juga dapat diperbaharui, sehingga wacana revisi UU N0. 25 Tahun 2004 dapat saja dilakukan guna memperbaiki aturan-aturan yang dirasakan tidak lagi relevan atau butuh nuansa yang lebih up to date.
Daftar Pustaka
Abidin, Said Zainal. "Peran Pemerintah Dalam Pembangunan." n.d.
Advisory Service Support for Decentralization (ASSD;GTZ;CIDA;Bappenas (2009). Naskah Akademik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bidang Desentralisasi.
Anonymous. "Perkembangan Strategi dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia." n.d.
Arsyad, L. (1999) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,. Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.
Bappenas. "Kerangka Pemikiran Reformasi Perencanaan dan Pembangunan." n.d.
Bratakusumah, Deddy Supriadi (2004). "Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional." n.d.
Bendavid-val, A. (1991). Rural area development planning, principles, approaches and tools of economic analysis, Vol. 1&2
Cunningham, C.H. (1993). Strategic plans as viable guides. School Administrator, 50, 50-51
Departemen Pekerjaan Umum;Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Nasional. "Pembangunan Partisipatif." Modul, n.d.
Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM). Newsletter PBET. Bandung, April 2007.
Graham Bannock, Ron Eric Baxter and Evan Davis (2004). A Dictionary of Economics. Penguin Books Ltd.
Hicks, Ursula. (1967), "Learning About Economic Development." Oxford Economici Papers,.
Indaswari, Dian. Perbandingan Peran Negara dalam Pembangunan di Indonesia dan Malasyia. n.d.
Indonesia, Republik. "Undang - Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang." 2007.
Iryanto. "Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota Melalui Pendekatan Wilayan dan Kerjasama Antar Daerah." n.d.
Jhingan, M.L, (2007) dan Penerjemah D. Guritno. Ekonomi Pembangunan ddan Perencanaan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kartasasmita, Ginanjar. "Kebijaksanaan Perencanaan Pembangunan Memasuki Abad Ke-21." Lustrum VI Universitas Pancasila. Jakarta, 1996.
Kaufman, R. (1996). Visions, strategic planning, and quality--more than hype. Educational Technology, 36, 5, 60-62.
Kementerian Dalam Negeri. " Revisi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah." Naskah Akademis, Jakarta, 2011.
Kuhn, Thomas S. (2000), The Structure of Scientific Revolution : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Terjemahan. . Bandung: Remaja Rosdakarya
Lay, Cornelis (2003). Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia,. Yogyakarta.: Pustaka Pelajar.
Mahmuddin Muslim, (2006), Menanti APBD berbasis Partisipasi Masyarakat, Makalah Disampaikan pada Training APBD, Bukittinggi, Departemen Keuangan RI.
Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (PUSBINDIKLATREN-BAPPENAS). "Simpul Perencana." Juli 2009.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP. Sistem Administrasi Keuangan Negara II . Modul, Jakarta: BPKP, 2007.
Republik Indonesia. "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah." 2004.
Republik Indonesia. "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga." 2004.
Republik Indonesia. "Undang - Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara." Jakarta, 2003.
Republik Indonesia. "Undang - Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional." 2004.
Robins, P. Stephen, dan Coulter, Mary. (1999). Manajemen. Jakarta: Indeks Gramedia
Schumpeter, Joseph Alois (1982). Theory of Economic Development. Transaction Publishers.
Sj Sumarto, Hetifah. (2004). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Tjokroamidjojo, Bintoro (1995). Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT. Toko Buku Gunung Agung.
Todaro, Michael P., Stephen C Smith, and Penerjemah Haris Munandar (2003), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga,
Usman, Sunyoto (2003). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
LAMPIRAN
PERMASALAHAN SISI PERENCANAAN
Konsistensi RPJMN dan Renstra Kementerian/Lembaga
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 6 ayat 1
RPJMN disusun bukan berdasarkan Renstra KL
Kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh K/L seringkali tidak jelas kaitannya dengan arah kebijakan dan program RPJMN
Pembaharuan Resntra K/L sesuai dengan RPJMN
2
UU No. 25/2004 ps. 15 ayat 1 dan ayat 2
Format RPJMN terutama arah kebijakan, program dan indikator kinerja tidak secara tegas menugaskan kepada kementerian/lembaga tertentu.
Beberapa kementerian masih menggunakan Renstra lama misalnya Kementerian Pekerjaan Umum
Pemantauan dan nyusunan RPJMN perlu membaharuan Resntra K/L sesuai dengan RPJMN
3
UU No. 25/2004 ps. 19 ayat 1 dan ayat 2
RPJMN tidak memuat roadmap yang jelas tentang pembangunan dalam lima tahun.
Diskontinuitas arah kebijakan RPJMN dengan arah kebijakan K/L
Perbedaan persepsi mengenai prioritas kegiatan dan program
Inefisiensi dalam proses penyesuaian dan koordinasi prioritas kegiatan dan program
Konsistensi RPJMN dan RKP
No
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 4 ayat 3
RPJMN tidak memuat arahan yang jelas tentang prioritas kebijakan tahunan
Penentuan prioritas program dan kegiatan RKP dilakukan secara adhoc dan terus berubah.
Perbaikan format penyusunan RPJMN sehingga memberikan roadmap yang jelas tentang pembangunan selama lima tahun
2
UU No. 25/2004 ps. 20 ayat 1
RPJMN tidak memuat arahan yang jelas tentag investasi tahunan (termasuk rencana PHLN)
Lemahnya keterkaitan rencana investasi dengan pencapaian tujuan sasaran RPJM
Penyusunan RPJMN perlu memperhitungkan pentahapan pembangunan (development stages) yang jelas.
Indikator kinerja yang ada di RPJMN kurang memberikan arahan yang jelas (kualitatif dan tidak terukur).
Kesulitan dalam menentukan prioritas kegiatan dan pagu anggaran sesuai dengan indikator kinerja
Penyusunan RPJMN perlu dilengkapi dengan indikator kinerja yang terukur, jelas, operasional, dan akurat
RKP bersifat normatif dan tidak memuat terobosan kebijakan untuk memecahkan masalah bangsa
Prioritas program dan kegiatan RKP seringkali hanya ditujukan untuk mendukung kegiatan aparat, dan tidak mampu memecahkan masalah bangsa secara nyata
Penyusunan RKP harus didasari dengan evaluasi kinerja secara akurat, jujur dan cermat, serta pengolahan data dan infromasi sebagai indikator kinerja
Kegiatan yang dilaksanakan pemerintah tidak konsisten dengan RPJMN
Dinamika perekonomian dan kondisi sosial merubah prioritas tahunan pemerintah
Penyusunan RKP harus didasarkan dengan prioritas RPJMN dan forecasting dari kondisi Indonesia 1 tahun ke depan
Konsistensi Renstra KL dan Renja KL
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 6 ayat 2
Renstra-KL masih menggunakan yang lama
Inkonsistensi karena Renja-KL harus mengacu rancangan awal RKP
Pengaturan penyusunan Renstra KL beserta kaidah-kaidah yang harus dipedomani dari RPJMN
2
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 1
Renja-KL kurang fokus pada tugas dan fungsi utama K/L terutama pada isu-isu prioritas dan lintas sektor
Duplikasi kegiatan dan anggaran
Memperjelas leading sektor dalam penanganan isu lintassektor, disertai dengan pembagian tugas yang sinergis dan komplemen
Renja KL tidak berhasil mencapai target-targe dalam renstra KL
Renja KL setiap periode tidak konsisten dengan renja KL periode selanjutnya
Memperjelas kegiatan dan target-target dalam renstra KL (terukur dan kuantitatif)
Konsistensi RKP dan Renja KL
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 1
Kebijakan, program dan kegiatan dalam Renja K/L berbeda dengan RKP dan RPJMN
Penyusunan kegiatan Renja K/L tidak didasarkan pada prioritas RKP.
Renja K/L disusun kembali berdasarkan RKP
2
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 1 dan ayat 2
Renja K/L tidak memuat secara substansif mengenai prioritas pembangunan nasional
RKP tidak memberikan arahan yang jelas mengenai program-program dan kegiatan yang dilakukan oleh K/L tertentu
Sulitnya safeguarding dan monev program dan kegiatan K/L tahunan
RKP disusun harus berdasarkan data dan indikator yang terukur (kuantitatif) dan harus secara jelas menyebutkan tugas dan fungsi K/L dalam kegiatan
Indikator dalam RKP tidak terukur dan kuantitatif, sehingga K/L sulit menentukan sasaran tahunan.
Konsistensi RPJMD dan Renstra SKPD
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 5 ayat 2:
RPJMD disusun bukan berdasarkan Renstra SKPD
Kebijakan dan program yang tertuang dalam Renstra SKPD tidak terkait dengan RPJMD
Pembaharuan Renstra SKPD sesuai dengan RPJMD
2
UU No. 25/2004 ps. 7 ayat 1:
Format RPJMD terutama arah kebijakan, program dan indikator kinerja tidak secara tegas menugaskan kepada SKPD tertentu
Diskontinuitas arah kebijakan RPJMD dan arah kebijakan SKPD
Beberapa SKPD masih menggunakan Renstra lama
Perbedaan persepsi dalam menentukan prioritas kebijakan dan program
Penyusunan pedoman penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD
Penyusunan SKPD tidak mengacu pada kebijakan, program dan kegiatan RPJMD
Konsistensi Renstra SKPD dan Renja SKPD
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 7 ayat 2:
Renstra-SKPD masih menggunakan yang lama
Inkonsistensi karena Renja-SKPD harus mengacu rancangan awal RKPD (tidak mengakomodasi perubahan dalam RKPD)
Pengaturan penyusunan Renstra KL beserta kaidah-kaidah yang harus dipedomani dari RPJMN
Renja-SKPD kurang fokus pada tugas dan fungsi utama SKPD terutama pada isu-isu prioritas dan lintas sektor
Duplikasi kegiatan dan anggaran antara satu SKPD dengan SKPD lainnya
Penegasan leading sektor dalam penanganan isu lintassektor, disertai dengan pembagian tugas yang sinergis dan komplemen
LAMPIRAN
PERMASALAHAN ASPEK PENGANGGARAN
Konsistensi RPJMN dan RAPBN
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/200 4 ps. 4 ayat 3
RPJMN disusun dalam kerangka pengeluaran jangka menengah. Namun, penyusunan RAPBN masih terfokus pada penyusunan anggaran tahunan
Lemahnya kontinuitas kegiatan dan tahapan dari tahun sebelumnya.
Pengaturan penyusunan kerangka pengeluaran jangka menengah, khususnya untuk kegiatan multiyears
2
UU No. 25/200 4 ps. 25 ayat 1
RPJMN tidak memberikan arahan yang jelas tentang prioritas kebijakan tahunan.
Ada beberapa program dan kegiatan yang dibiayai dari RAPBN ternyata tidak ada dalam RPJMN
Penyempurnaan proses penyusunan RAPBN dengan mengacu RPJMN
Konsistensi RPJMN dan Renja Anggaran Kementerian/Lembaga
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
Agenda pokok pembangunan nasional lima tahunan diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan beserta sasarannya, tapi tidak jelas sinkronisasi antara rencana jangka menengah dan penganggaran tiap tahunnya
Tidak jelas kaitan antara RKA-KL dengan pencapaian sasaran nasional.
Memperjelas kaitan antara agenda pokok dan sasaran pembangunan nasional dengan program/kegiatan prioritas yang paling menentukan pencapaiannya, sekaligus sebagai indikasi tugas dan fungsi serta anggaran KL
Konsistensi RKP dan Renja Anggaran Kementerian/Lembaga
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/200 4 ps. 21 ayat 1
RKP disusun dengan memperhatikan Renstra KL dan perkiraan ketersediaan anggaran, maka seharusnya RKP dan RKA-KL tidak lagi memuat daftar belanja serta lebih jelas indikasi pagu per KL berdasarkan fungsinya
Prinsip money follow function masih belum optimal, terlihat dari masih besarnya bagian anggaran pembiayaan dan perhitungan yang dikelola Menkeu dibanding dengan bagian anggaran KL
RKP mempertegas pembagian fungsi KL serta mengelaborasi disagregasi sasaran nasional ke dalam sasaran program dan sasaran KL
2
UU No. 25/200 4 ps. 21 ayat 2
Penentuan priroitas RKP tidak didasarkan pada analisis kebijakan yang akurat.
Tidak adanya sinergi kegiatan antar K/L dalam mencapai prioritas
Penjelasan mekanisme koordinasi antar-KL dalam pelaksanaan program/kegiatan lintassektor
3
UU No. 17/2003 ps. 1 4 ayat 1
Terbatasnya penggunaan data dan informasi yang lengkap dan akurat dalam penentuan prioritas RKP
Indikator kinerja RKP dan Renja-AKL bersifat kualitatif dan tidak terukur.
Penyusunan anggaran berbasis kinerja secara konsisten.
4
UU No. 17/2003 ps. 1 4 ayat 2
Tidak adanya kriteria yang jelas dalam penentuan prioritas RKP.
Kesulitan dalam membedakan anatar kegiatan prioritas dan bukan prioritas
Perumusan kriteria prioritas yang jelas, transparan dan terukur.
Konsistensi RPJMD dan Renja Anggaran SKPD
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No.25/2004 pasal 5 ayat (2)
Penerjemahan kebijakan ke dalam penganggaran tidak konsisten karena peran lebih besar diberikan pada tim penyusun anggaran eksekutif dibanding Kepala SKPD yang bertanggung jawab pada pencapaian sasaran
Inkonsistensi antara RPJMD dan Renja-SKPD
Memperjelas peran dan fungsi Tim Penyusun Anggaran Eksekutif
2
UU No.17/2003
Program pembangunan yang menjadi proritas di tingkat daerah belum sesuai dengan kebutuhan daerah.
Penentuan plafon berdasarkan wish list?
Pengembangan data dan infromasi, serta perbaikan analisis kebijakan
Konsistensi RKPD dan Renja Anggaran SKPD
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 3
Penerjemahan kebijakan ke dalam penganggaran tidak konsisten karena peran lebih besar diberikan pada tim penyusun anggaran eksekutif dibanding Kepala SKPD yang bertanggung jawab pada pencapaian sasaran
Inkonsistensi antara RPJMD dan Renja-SKPD
Pembagian peran dan fungsi secara jelas anatara Tim Penyusun Anggaran Eksekutif, memperjelas pedoman pengklasifikasian fungsi dan jenis belanja, serta memperkuat keanggotaan Tim
2
UU No. 17/2003 ps. 19 ayat 1, 2 dan 3
Program prioritas daerah masih belum measurable dan workable.
Program yang menjadi prioritas daerah sering kali hanya bersifat wish list saja.
Pengembangan data dan infromasi, serta perbaikan analisis kebijakan
LAMPIRAN
PERMASALAHAN ASPEK KEBIJAKAN
Hubungan Kerja Bappenas dan Kementerian/Lembaga
No
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 14 ayat 1
Penyusunan prioritas kebijakan, program dan kegiatan tidak didasarkan pada kriteria yang jelas.
Adanya ego dan perbedaan kepentingan tiap K/L
Proses perencanaan dan penyusunan kegiatan dan program pembangunan harus didasarkan kepentingan bangsa bukan K/L
UU No. 25/2004 ps. 15 ayat 1 dan 2
UU No. 25/2004 ps. 16 ayat 3
UU No. 25/2004 ps. 20 ayat 1
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 1 dan 2
UU No. 25/2004 ps. 22 ayat 3
Lemahnya sistem informasi manajemen dan analisis kebijakan
Kebijakan, program dan kegiatan yang disusun seringkali tidak menjawab permasalahan.
Perbaikan sistem informasi dan analisis kebijakan
UU No. 25/2004 ps. 28 ayat 2
Ketidakjelasan tugas dan fungsi K/L dan tidak adanya perhitungan akurat mengenai kinerja K/L
Terjadinya distribusi alokasi kegiatan dan program yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi K/L dan tidak berdasarkan kebutuhan K/L yang dapat menunjang kinerja
Perlu disusun perhitungan yang akurat mengenai kebutuhan sarana dan prasarana K/L dalam menjalankan fungsinya secara optimal
UU No. 25/2004 ps. 29 ayat 3 dan 4
Perumusan kebijakan, program dan kegiatan disusun dalam waktu yang singkat.
Lemahnya kualitas dan akruasi kebijakan.
Pengembangan forum korodinasi dalam perbaikan analisis kinerja
Hubungan Kerja Bappenas dan Depkeu
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 14 ayat 1
Tidak adanya evaluasi kinerja terhadap alokasi anggaran dalam kaitannya dengan pencapaian sasaran pembangunan.
Lemahnya akuntabilitas dan transparansi pemerintah
Kerjasama dalam penyusunan indikator kinerja keterkaitan penganggaran dengan perencanaan
UU No. 25/2004 ps. 16 ayat 3
UU No. 25/2004 ps. 15 ayat 2
2
UU No. 25/2004 ps. 20 ayat 1
Kebijakan, program dan kegiatan yang direncanakan bersifat adhoc
Perhitungan alokasi anggaran bersifat incremental
Pertemuan koordinasi secara rutin
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 2
UU No. 25/2004 ps. 22 ayat 3
UU No. 25/2004 ps. 28 ayat 2
Penentuan alokasi anggaran seringkali tidak memperhatikan dokumen perencanaan
Lemahnya keterkaitan RAPBN dan pencapaian sasaran pembangunan
UU No. 25/2004 ps. 29 ayat 3 dan 4
UU No. 17/2004 ps. 8
Perbedaan dalam kodifikasi terhadap nomenklatur program dan kegiatan
Keterlambatan dalam proses penyusunan dan pengesahan dokumen anggaran
Hubungan Kerja Bappenas dan DPR
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 10 ayat 1
Tidak dilibatkannya legislatif dalam penentuan prioritas
Perbedaan pandangan dalam penentuan prioritas kegiatan dan program pembangunan
Dilibatkannya legislatif dalam perencanaan kegiatan dan program prioritas dalam kapasitas sebagai observer
2
UU No. 25/2004 ps. 11 ayat 2
3
UU No. 25/2004 ps. 12 ayat 1
4
UU No. 25/2004 ps. 13 ayat 1
5
UU No. 25/2004 ps. 20 ayat 1
Keputusan alokasi anggaran berbeda dengan prioritas pembangunan
Tidak ada logical framework yang terukur dalam penentuan prioritas dan penentuan anggaran indikatif
Penentuan prioritas kegiatan pembangunan harus berdasarkan data dan fakta yang terukur dan aktual
6
UU No. 25/2004 ps. 21 ayat 2
7
UU No. 25/2004 ps. 22 ayat 3
8
UU No. 17/2003 ps. 13 ayat 1 dan 2
4. Hubungan Kerja Bappenas dan Masyarakat Sipil
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 16 ayat 3
Perencanaan pembangunan kurang menyentuh kebutuhan masyarakat
Tidak berfungsinnya mekanisme musrenbang dengan semestinya
Perbaikan sistem musrenbang
2
UU No. 25/2004 ps. 22 ayat 3
Kurangnya keterlibatan masyarakat sipil dalam perencanaan pembangunan
Penentuan quota terendah keterlibatan masyarakat sipil dalam forum perencanaan minimal sama dengan unsur pemerintah
Kurangnya waktu untuk melaksanakan perencanaan partisipatif
Identifikasi masalah, formulasi dan implementasi kebijakan nasional harus dilakukan secara cepat, tepat waktu dan transparan (diinformasikan terus-menerus)
5. Hubungan Kerja Depkeu dan Kementerian/Lembaga
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 17/2004 ps. 8
Tidak adanya logical framework untuk alokasi anggaran negara
Tidak ada indikator yang jelas untuk mengevaluasi K/L dalam disbursement anggaran
Perlu pengembangan kerangka penganggaran jangka menengah disertai evaluasi kinerja K/L dalam kaitannya dengan pencapaian sasaran pembangunan
2
UU No. 17/2004 ps. 14 ayat 1, 4, 5
Perubahan anggaran dual budgeting system menjadi unified budgeting system
Tidak terintegrasinya rencana anggaran (rutin dan pembangunan) tahunan K/L
Pengambangan mekanisme penyaluran block grant bagi setiap K/L
6. Hubungan Kerja Bappenas dan Pemda
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No. 25/2004 ps. 14 ayat 1
Belum ada pembagian kewenangan yang jelas antara pusat dan daerah
Kerancuan dan kebingungan daerah dalam mendefinisikan kewenangan
Sinkronisasi berbagai peraturan perundangan mengenai kewenangan pusat dan daerah
UU No. 25/2004 ps. 16 ayat 3
Daerah mengalami kesulitan dalam menyusun dokumen perencanaan daerah
Rancunya berbagai peraturan perundangan dalam hal perencanaan pembangunan di daerah
Sinkronisasi berbagai peraturan perundangan mengenai perencanaan pembangunan di daerah
UU No. 25/2004 ps. 20 ayat 1
Lemahnya data dan informasi spasial
Terbatasnya pemahaman terhadap isu dan masalah pembangunan di daerah
Pengembangan sistem informasi pembangunan berbasis spasial
UU No. 25/2004 ps. 22 ayat 3
Lemahnya analisis spasial dalam perumusan kebijakan, program dan kegiatan.
Penyeragaman kebijakan, program dan kegiatan pembangunan tanpa memperhatikan dimensi wilayah
Pengembangan analisis kebijakan berbasis spasial
UU No. 25/2004 ps. 28 ayat 2
Perumusan strategi pengembangan wilayah
UU No. 25/2004 ps. 29 ayat 3 dan 4
Penyelenggaraan Musrenbang menjadi tidak efektif sebagai forum sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah
Penyempurnaan mekanisme musrenbang
Pengembangan forum konsultasi secara rutin
LAMPIRAN
PERMASALAHAN KEBIJAKAN PERENCANAAN DAERAH
Hubungan Kerja Bappeda dan SKPD
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No.25/200 4 pasal 7
Lemahnya koordinasi antar SKPD.
Terjadinya duplikasi program dan kegiatan yang diusulkan oleh beberapa SKPD.
Penguatan forum SKPD dalam sinkronisasi dan koordinasi kebijakan, prorgam dan kegiatan
2
UU No.25/200 4 pasal 15 ayat (4)
Belum adanya petunjuk teknis yang menyangkut pelaksanaan anggaran daerah, sehingga daerah masih mengacu pada berbagai pedoman
Tidak ada perda khusus yang mengatur penyusunan anggaran, selama ini peraturannya terlalu banyak
Penyusunan panduan dalam perencanaan pembangunan di daerah
Pemberian bantuan teknis dalam penyusunan rencana
Hubungan Kerja Bappeda dan Biro Keuangan
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
(Aturan Pemda)
Pembagian tugas penyusunan anggaran tidak dilakukan secara disiplin. Banyak anggaran rutin yang "disamarkan" seolah-olah merupakan anggaran pembangunan.
Pengaturan nomenklatur anggaran masih memungkinkan terjadinya anggaran ganda.
Penyusunan anggaran berbasis kinerja
Bappeda menyusun anggaran pembangunan, Biro Keuangan menyusun anggaran rutin.
Lemahnya analisis kebijakan dalam penyiapan prioritas RAPBD
Anggaran pembangunan biasanya lebih kecil dari anggaran rutin dan prioritas pembangunan belum tercermin dalam APBD
Perbaikan analisis kebijakan dalam penentuan prioritas anggaran
Proses perencanaan dan proses penganggaran seringkali tidak sinkron
Persaingan antara Bappeda dan Biro Keuangan dalam penentuan anggaran.
Penguatan konsultasi publik dalam pembahasan anggaran
Hubungan Kerja Bappeda dan Masyarakat Sipil
No.
Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan
Masalah
Rekomendasi
1
UU No.25/2004 tentag
UU ini tidak menyebutkan bentuk pengawasan oleh masyarakat. Pengawasan masih dilakukan oleh birokrasi sendiri.
Terbatasnya keterlibatan publik dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan anggaran publik
Penguatan forum lintas pelaku dalam perencanaan dan penganggaran daerah
Musrenbang
Peran masyarakat baru terbatas pada Musrenbang.
Musrenbang masih didominasi oleh aparat sehingga prioritas program dan kegiatan sebagian besar untuk aparat
Penyempurnaan format Musrenbang dengan melibatkan masyarakat secara aktif
Standar pembiayaan yang dalam penyusunan APBD belum responsif tehadap kebutuhan masyarakat
Terbatasnya anggaran yang disediakan untuk publik
Penajaman alokasi anggaran untuk prorgam dan kegiatan yang bermanfaat langsung pada rakyat