Laporan Kasus
SPONDILITIS TB
Disusun oleh: K. Muhammad Tasrif, S.Ked
04084821719202 04084821719202
Sandy Prasaja, S.Ked
04084821719203 04084821719203
Kepaniteraan Klinik Bagian Rehabilitasi Medik Periode 24 Juli – Juli – 9 9 Agustus 2017
Pembimbing: dr.Haidar Nasution
BAGIAN REHABILITASI MEDIK RUMAH SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2017
i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Spondilitis Tb
Oleh :
K. Muhammad Tasrif, S.Ked Sandy Prasaja, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 24 Juli – 9 Agustus 2017.
Palembang, Juli 2017
dr.Haidar Nasution
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Spondilitis Tb”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Haidar Nasution selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Palembang, Juli 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spondilitis Tuberkulosa 2.1.1. Definisi ..................................................................................... 3 2.1.2. Epidemiologi ............................................................................ 3 2.1.3. Etiologi ..................................................................................... 3 2.1.4. Patogenesis ............................................................................... 4 2.1.5. Patologi..................................................................................... 6 2.1.6. Manifestasi Klinis .................................................................... 10 2.1.7. Diagnosis .................................................................................. 11 2.1.8. Penatalaksanaan ........................................................................ 15 2.1.9. Prognosis .................................................................................. 17 BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19
iv
BAB I PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa (TB) atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s
disease merupakan
penyakit yang banyak terjadi di seluruh
dunia dengan kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.1 Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882 sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. 2,3 Kolumna vertebralis terlibat kurang dari 1% dari kasus TB 4 dan kira-kira setengah dari seluruh kasus TB tulang. 5 Spondilitis TB merupakan salah satu jenis tipe yang sangat berbahaya dari TB tulang karena dapat mengakibatkan defisit neurologis akibat kompresi dari struktur neural terdekat dan deformitas spinal yang signifikan. Oleh karena itu, diagnosis dini dan tatalaksana dari spondilitis TB memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya komplikasi. 5 Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara dengan populasi TB terbanyak. 6 Setidaknya hingga 20 persen penderita TB paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu, dapat berupa TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, kelenjar getah bening, osteoartikular, dan endometrial.7 Sebelas persen dari TB ekstra paru adalah TB osteoartikular dan kurang lebih setengah penderita TB osteoartikular mengalami infeksi tulang belakang.8 Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah gejala konstitusional, nyeri punggung, nyeri tekan spinal, paraplegia, dan deformitas spinal. Untuk menegakkan diagnosis spondilitis TB, magnetic resonancance imaging (MRI) merupakan teknik pencitraan yang lebih sensitif jika dibandingkan dengan x-ray dan lebih spesifik jika dibandingkan dengan CT-scan. Teknik pencitraan dengan MRI biasanya menunjukkan adanya keterlibatan korpus vertebral pada sisi lain
1
2
diskus, perusakan diskus, abses dingin, kolaps vertebral, dan deformitas kolumna vertebralis. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis histopatologis dini adalah biospi jarum dengan bantuan neuroimaging .5 Tatalaksana spondilitis TB secara umum adalah kemoterapi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/saraf. Tindakan bedah mungkin dibutuhkan pada kasus-kasus tertentu seperti pembetukan abses besar, kifosis berat, defisit neurologis yang semakin memberat, dan tidak respon terhadap tatalaksana medis. 5 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi pendekatan penanganan spondilitis TB dengan hasil dan rekomendasi yang beragam. Dengan diagnosis dini dan terapi dini, prognosis dari penyakit ini secara umum baik.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Spondilitis Tb
2.1.1
Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s
disease
adalah peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh mikrobakterium TB yang mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun 1779. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus.9
2.1.2 Epidemiologi
Pada
tahun
2005,
World
Health
Organization
(WHO)
memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan yang sama, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun. 6 Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi. 6,10
2.1.3 Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk
4
batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin
dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat
pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 µm.11
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis penyakit ini sangat tergantung dari kema mpuan bakteri menahan
cernaan
enzim
lisosomal
dan
kemampuan
host
untuk
memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.12 Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat;
demam, retensi urine dan paralisis
arefleksi dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.12 Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari:12 1. Usia dan jenis kelamin Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari
5
kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14 tahun. Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun. 2. Nutrisi Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit. 3. Faktor toksik Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain. 4. Penyakit
6
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis,
leukemia
peningkatan
resiko
terkena
penyakit
tuberkulosa. 5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan) Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh. 6. Ras Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini. 2.1.5 Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius. 2, 5, 7, 8, 10 Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Bat son’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal i nilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. 3, 4, 10
7
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:7, 9 1. Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise
di
subkondral).
bawah
ligamentum
Banyak
ditemukan
longitudinal pada
orang
anterior dewasa.
/
area Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal. 2. Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak ditemukan di regio torakal. 3. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atasdan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. 4. Bentuk atipikal Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak
dapat
diidentifikasikan.
Termasuk
di
dalamnya
adalah
tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
8
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu
dengan
timbulnya
endarteritis
yang
menyebabkan
tulangmenjadi nekrosis Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
9
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular.3 Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulangtulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest .8 Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang
jaringan
fibrosa
itu
mengalami
osifikasi,
sehingga
mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps. 8 Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahanperkij uan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar
melalui
korteks
dan
berakumulasi
di
bawah
ligamentum
longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.8 Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran
abses
paravertebral
yang
menyerupai
‘sarang
burung’.
Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher.3
10
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis). Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.8
2.1.6 Manifestasi Klinis
Pasien TB tulang belakang memiliki gejala penderita TB pada umumnya seperti nafsu makan turun, berat badan turun, keringat malam hari, suhu tubuh meningkat sedikit pada sore dan malam hari. Gejala lain yang dapat ditemukan pada spondylitis TB adalah nyeri punggung yang merupakan gejala awal dan sering ditemukan, kekakuan, nyeri tekan lokal dan kadang- kadang demam. Kompresi tulang belakang dan kelumpuhan dapat terjadi akibat jaringan granulasi, destruksi tulang dan kolaps, atau perluasan ke kanalis spinalis. Kelainan neurologis dapat terjadi hingga 50% kasus. Selain paraplegia dan paresis, gangguan sensasi, nyeri akar saraf, atau cauda equina syndrome juga dapat terjadi. Cervical spine disease jarang terjadi tapi berpotensi lebih berbahaya karena komplikasi neurologis dapat berat. Nyeri daerah leher, kekakuan, suara serak, disfagia dan torticollis dapat muncul sebagai gejala TB tulang belakang. Perluasan penyakit ke dalam otot psoas dapat menghasilkan massa pangkal paha, keterbatasan gerakan pinggul dan nyeri yang menjalar. Pembentukan abses umum terjadi, dan dapat mengakibatkan kolapsnya satu vertebra atau lebih.
11
Kehilangan dukungan columna anterior membuat deformitas kifosis, yang mungkin terjadi baik pada fase aktif dan fase penyembuhan, dengan atau tanpa bedah arthrodesis. Perkembangan kifosis paling umum terjadi pada anak dengan berbagai tingkat keterlibatan tulang belakang daerah thoraks. Gambaran radiografi dapat menunjukkan peningkatan risiko kifosis yang progresif termasuk dislokasi faset, retropulsi tulang, translasi vertebral lateral, dan bertumpuknya satu vertebra atas vertebra lain. Jika tiga kolumna tulang belakang semuanya terlibat, ketidakstabilan tulang belakang (kelainan translasi atau rotasi) dapat makin berat. Abses dapat bermigrasi ke posterior, ke kanalis tulang belakang, ke anterior di bawah ligamentum longitudinal anterior, serta ke dalam struktur visera. Di bawah diafragma, abses biasanya bermigrasi sepanjang selubung m. psoas dan keluar melalui sinus di daerah paha atau pantat.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat gambaran klinis mayor, minor, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan lab dan pemeriksaan radiologi. Gambaran klinis mayor dapat berupa riwayat nyeri punggung kronis, demam tidak terlalu tinggi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, peningkatan laju endap darah (LED). Untuk gambaran klinis minor dapat berupa riwayat tuberkulosis sebelumnya, gibbus, defisit neurologis, cold abscess dan uji mantoux positif.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan
biakan
bakteri,
hematologi,
dan
PCR.
Pemeriksaan
bakteriologi untuk menemukan bakteri m. Tuberkulosis. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebropinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan biopsi jaringan (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH) dapat dibuat- kan sediaan apus kering di
12
gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan ditambahi NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi anatomi.
Pemeriksaan
bakteriologi
cara
mikroskopis
biasa
dengan
pewarnaan Ziehl- Nielsen dan mikroskopis uoresens dengan pewarnaan auramin-rhodamin. Pemeriksaan biakan bakteri dapat dilakukan secara tradisional yaitu Mycobacterium dibiak/ dikultur menggunakan media Lowenstein- Jensen, Ogawa dan Kudoh ( Egg-base media), Middle brook ( Agar-base media). Kultur dengan Lowenstein-Jensen memerlukan waktu 2-4 minggu. Namun sekarang terdapat pemeriksaan kembang biak yang hasilnya lebih cepat didapat seperti tes bactec yang hasilnya lebih cepat didapat. Waktu yang dibutuhkan adalah 5-12 hari. Pemeriksaan hematologi yang dilakukan dapat berupa menilai hitung leukosit biasanya normal dan terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang rata-rata mencapai 100 mm/jam. Pada be- berapa kasus anemia terjadi akibat penyakit PD yang bersifat
kronis
dan
faktor
malnutrisi.
Dapat
juga
ditemukan
hipoalbuminemia. Pemeriksaan kulit intra-dermal untuk mendapatkan respons infamasi telah banyak digunakan. Pemeriksaan kulit intradermal yang sering dilakukan adalah mantoux test. Pemeriksaan ini relatif murah dan secara teknis mudah. Namun kelemahannya harus dibaca pada saat tertentu mengikuti waktu inokulasinya; hal ini dapat menyebabkan ketidakakuratan jika pasien tidak kembali pada saat yang ditentukan. Hasil positif palsu karena pasien peka dengan vaksinasi BCG ( Bacilli Calmette Guerin) atau paparan terhadap lingkungan mycobacterium. Negatif palsu terjadi karena imunosupresi HIV, atau infeksi tuberkulosis sitotoksik atau kejadian luar biasa serta malnutrisi. Uji tuberculin umumnya dipakai untuk mengetahui seseorang telah terinfeksi kuman tuberkulosis atau menentukan tuberkulosis laten. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis tinggi uji tuberkulin kurang berarti sebagai alat bantu diagnostik penyakit pada dewasa
13
Gambar 1. Foto lateral sisi dorsal pasien menunjukkan kifosis berat (Jain, 2010).
Metode pemeriksaan imunologis sedang dikembangkan salah satunya dengan PCR. Amplifikasi asam nukleat dengan PCR hanya membutuhkan waktu singkat, namun harus ditunjang dengan fasilitas laboratorium yang memadai.Sensitivitas PCR berkisar 42-93% pada spesimen kultur, dan siap interpretasi
dalam
3
hari
sehingga
memungkinkan
diagnosis
dan
penatalaksanaan awal. Kelemahan pemeriksaan ini adalah tidak dapat mengetahui aktivitas kuman dan progresi tas penyakit, sehingga diperlukan data penunjang baik pemeriksaan hematologi maupun radiologi untuk memantau aktivitas kuman dan respons terhada pemberian obat. Radiologi
Radiografi polos mempunyai keterbatasan untuk evaluasi lengkung posterior, terutama tulang belakang thorak. Selain itu tidak ada temuan khusus atau patognomonis radiogra polos yang dapat membedakan TB dari infeksi piogenik tulang belakang Radiogra polos spondylodiscitis tuberkulosis
mungkin
menunjukkan
kehilangan
tinggi
tulang
belakang,
penyempitan ruang diskus, erosi, pengaburan end plate, massa paravertebra, dan kalsi kasi jaringan lunak. Namun, radiografi polos tidak sensitif untuk mendeteksi dini TB tulang belakang. Penyempitan ruang diskus yang mungkin sangat ringan dan keterlibatan tulang belakang tidak terdeteksi sampai setidaknya 50% trabekula tulang hilang
14
Pemeriksaan
Computed
Tomography
(CT)
scan
dapat
menggambarkan keadaan sklerosis dan proses destruksi tulang dalam korpus vertebrae. CT scan digunakan untuk menunjang pemeriksaan radiogra polos. Selain itu gambaran abses epidural, fragmentasi tulang, kompresi kanalis pinalis juga terlihat sangat baik. CT mielogra dapat mengevaluasi medula kompresi medula spinalis, jika tidak tersedia Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan juga dapat untuk panduan biopsi perkutaneus struktur tulang maupun jaringan lunak yang terinfeksi MRI dapat mendeteksi perubahan vertebrae dan iregularitas struktur lebih dini daripada radiogra polos maupun skintigra . Penggunaan kontras bertujuan untuk mem- berikan resolusi gambaran jaringan lunak dan kemampuan multiplanar pada MRI. Pada tahap awal spondylitis TB, pemeriksaan MRI sangat sensitif untuk mengevaluasi perubahan medula spinalis, serta mengetahui kondisi diskus intervertebralis. Abses epidural dan jaringan lunak dapat dilakukan dengan injeksi kontras intravena. MRI juga berfungsi untuk memantau evaluasi penyakit spondylitis TB yang telah diterapi.
Gambar 2. Kifosis pada vertebrae L3-L4. Terdapat infiltras i ke medulla spinalis dari dalam korpus vertebrae dan terdapat penyempitan kanalis spinalis (Teo, 2004).
15
2.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana yang utama adalah pemberian obat anti tuberculosis. Isoniazid (INH) merupakan golongan bakteri- sidal paling efektif, namun rifampisin (RIF) juga harus digunakan. RIF dan pirazinamid (PZA) merupakan obat dengan kerja sterilisasi kuman. Keduanya digunakan untuk mem- bunuh kuman persisten yang tidak dideteksi oleh imun tubuh, sehingga memicu reaktivasi. INH dan RIF merupakan kombinasi paling efektif untuk menekan resistensi terhadap obat lain sehingga terapi obat multipel penting urasi terapi Pott’s Disease masih kontroversial. Manajemen intensif tuberkulosis paru adalah 2 bulan, dan diikuti fase selanjutnya dengan 2 obat selama 4 bulan. Pada PD terdapat kematian tulang dan jaringan yang mengurangi penetrasi antibiotik, se- hinggga terapi PD lebih lama. Durasi terapi lebih pendek memiliki keuntungan kepatuhan pasien baik, namun risikonya adalah angka rekurensi tinggi. The British Thoracic Society menyarankan terapi selama 6 bulan jika tanpa keterlibatan saraf pusat; apabila mengenai saraf pusat dilanjutkan RIF dan INH hingga 12 bulan
The
Canadian
Thoracic
Society
merekomendasikan
terapi
tuberkulosis muskuloskeletal lebih panjang dari tuberkulosis paru, dengan batas waktu tidak ditentukan. Penelitian terakhir oleh British Medical Research Council meng- indikasikan PD harus diterapi selama 6-9 bulan Efek samping obat harus dipantau. Ketajaman visus harus dievaluasi pada penggunaan etionamid dan dapat ireversibel, obat ini tidak digunakan pada anak karena pemeriksaan yang lebih sulit dan kompleks. Streptomisin dan etambutol dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Banyak obat bersifat hepatotoksik. Adanya nausea harus dicurigai mungkin hepatitis. Apabila Transaminase (AST/ALT) meningkat 5 kali nilai normal atau terjadi hiperbilirubin, INH, RIF, PZA harus dihentikan; jika kembali normal, pengobatan dapat dimulai kembali dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap
16
Multi Drugs Resistance (MDR) dijumpai pada 1,8-5% kasus. Biasanya menyebabkan kegagalan terapi medis dan operatif, ditunjang hasil sensitivitas. Saat MDR ditegakkan maka pengobatan diubah men- jadi amikasin atau kanamisin (6 bulan), ofloksasin, etionamide, etambutol, PZA, INH, dan RIF dapat dipertimbangkan untuk mencegah resistensi. Protokol MDR juga mengharuskan injeksi intravena golongan aminoglikosida sehingga membutuhkan kepatuhan pasien dan dukungan keluarga.
Dekompresi
Indikasi pembedahan adalah PD dengan defisit neurologis, paling sering paraplegia. Tindakan yang dilakukan adalah dekompresi medula spinalis untuk menunjang stabilisasi tulang belakang. Indikasi yang jelas untuk tindakan dekompresi adalah pada kompresi ekstradural karena jaringan granulasi dengan komponen cairan yang menekan medula spinalis, dan dengan gambaran edema medula, myelitis atau myelomalasia. Instrumen Stabilisator
Stabilisasi dengan instrumen dapat menjadi cara aman apabila terjadi infeksi trabekula. Pada sebagian besar kasus pasien dengan kifosis 30o-35o bertujuan mencegah de-teriorasi. Indikasi tindakan ini adalah penyakit panvertebral, yang mengenai segmen panjang yang mana cangkok tulang setelah dekompresi anterior lebih dari dua korpus vertebrae. Instrumentasi posterior seperti implant Hartshill mengambil lokasi satu segmen di atas dan bawah. Fiksasi dengan pedicle screw juga dapat digunakan.
Koreksi Kifosis
Indikasi adalah kifosis berat dengan sudut ≥60 atau bila kifosis memicu deformitas dan gangguan fungsional. Hal ini terjadi jika tiga atau lebih vertebrae mengalami kerusakan struktur. Anak usia kurang dari 7 tahun dengan kelainan lebih dari 3 vertebrae pada sisi dorsal atau sisi
17
dorsolumbal harus segera dikoreksi. Pada saat operasi dilakukan dekompresi anterior, pemendekan kolumna posterior, stabilisasi instrument posterior, cangkok untuk menyambung segmen anterior dan posterior korpus vertebrae. 2.1.9 Prognosis
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat sembuh secara spontan akan memberikancacat pembengkokan pada tulang punggung. Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktusingkat sekitar 6 bulan. Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung
dari
cepatnya
dilakukan
terapi
dan
ada
tidaknya
komplikasineurologis. Diagnosis sedini mungkin dan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik walaupun tanpa operasi. Penyakitdapat kambuh apabila pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat karena terjadi resistensiterhadap pengobata. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf lebih baik sedangkan spondilitis denganparaplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Apabila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa prognosisnya ad functionam juga buruk
18
BAB III KESIMPULAN
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s
disease
adalah
peradangan granulonatosa yang bersifat kronis, destruktif oleh mikrobakterium TB yang mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun 1779. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Infeksi spinal oleh tuberkulosis diperkirakan sekitar satu hingga lima persen penderita tuberkulosis. Spondilitis TB berpotensi menyebabkan morbiditas serius yaitu kelumpuhan dan deformitas tulang belakang yang hebat. Diagnosis dini spondilitis TB masih terbatas. Keterlambatan diagnosis masih sering ditemukan dan mampu menyebabkan perburukan kualitas hidup penderita. MRI sampai saat ini merupakan sarana pembantu penegakan diagnosis yang paling baik sekaligus menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Namun, jika fasilitas tidak memadai, CT scan, sinar-X, dan pencitraan lainnya dapat membantu. Baku emas untuk diagnosis pasti tetap menggunakan pemeriksaan histologis
dan
mikrobiologis
Namunpemeriksaanterbaruseperti
dari PCRdapat
spesimen
biopsi
membantu,
lesi
TB.
tentunya
harus
dikorelasikan dengan klinis dan pemeriksaan lainnya. Kemoterapi OAT adalah pilihan pengobatan awal yang terbaik, terbukti paling efektif hingga saat ini. Terapi pembedahan relatif ditinggalkan sebagai pilihan pengobatan yang utama. Pembedahan dilakukan hanya dengan indikasiindikasi tertentu. Namun karena diagnosis dini spondilitis TB yang sulit, maka pembedahan tetap masih merupakan penatalaksanaan yang umum. Variasi teknik pembedahan sangat banyak dan belum ada teknik yang baku yang dianggap paling efektif mengoreksi defisit neurologis dan deformitas. Penatalaksanaan secara holistik harus dinilai setiap pasien secara individual dan kembali lagi disesuaikan dengan kemampuan tim medis yang ada.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., Welch K. 2001. The Lymphatic System and Immnity, In : Fundamentals of Anatomy and Physiology. 5 th ed. New Jersey : Upper Saddle River : 132,151 2. Savant C, Rajamani K. 1997. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : Springer – Verlag : 378-87 3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the Spine. In : Pediatric Orthopedics. 2 nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 1990 : 1449-54 4. WHO Global Tuberculosis Controll – Epidemiology, Strategy, Financing. WHO Report 2005. 5. AgarwalP, RathiP, Pradhan CG : Tuberculosis Spondilitis. Global lesion Special Issues on Tuberculosis. Bombay Hospital Jurnal. 1999 6. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis.In : Rom WN and Garay S, eds. Spinal Tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins. 2004 : 565-77 7. Hidalgo
A.
Pott
disease.
Didapat
dari
http://www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 9 maret 2005 8. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous Spondylitis. Didapat dari :URL : http://www.gentili.net/frame.asp?ID=823URLID=313541. Diakses tanggal 9 Maret 2005 9. Utji R, Harun H. Kuman Tahan Asam. Dalam : Syarurahman A, Chatim A, Soebandrio AWK. Penyunting. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.Edisi Revisi. Jakarta 10. E L H J Teo, W C G Peh. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004 Vol 45(9):439-45. 11. Jain AK. Tuberculosis of the spine : a fresh look at an old disease. J Bone Joint Surg (Br) 2010;92:905-13 12. Danny J J, Pott’s disease. Kalbemed 2014 vol 41(9): 676-683