REFERAT Gangguan Konversi
Disusun oleh: Kelompok 3 Aqilah Binti Rozhan 11-2-12-214 Willy Pelano 11-2012-078 Ade Cristiani Wattimena 11-2012-306
Dosen Pembimbing: Dr. Imelda, Sp.KJ
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Ketergantungan Obat 13 Januari – 31 Januari 2014
1
KATA PENGANTAR Puji syukur
penulis
panjatkan
kepada
Tuhan
Yang Maha
Esa
atas
terselesaikannya referat ilmu kesehatan jiwa mengenai Gangguan Konversi. Juga penulis sampaikan terima kasih kepada dr. Imelda, Sp. KJ, dr. Carlamia H.L. SpKJ, dan dr.Adhi Wibowo, SpKJ yang membantu memberikan informasi sehingga makalah ini dapat terbentuk. Walaupun terdapat banyak kesulitan dalam pengerjaan makalah ini, mulai dari pengumpulan bahan, pembuatan dan penyusunannya, tetapi pada akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik walau mungkin terdapat berbagai kekurangan. Pada akhirnya, penulis mengucapkan maaf apabila terdapat kesalahan pada isi makalah ini dan harap dimaklumi. Atas kesempatan yg telah diberikan, penulis ucapkan terima kasih.
Jakarta, Januari 2014
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi
..............................................................................................2
..........................................................................................................3
BAB I Latar Belakang BAB II Isi
..................................................................................4
......................................................................................................... 5
Gangguan Somatoform
………………………………………….….6
Gangguan Konversi ………………………………………………….….8 Gangguan Somatisasi Gangguan Nyeri
…..……………………………………..….14 …………………………….………………………17
Gangguan Dismorfik Tubuh …………………………………………….19 Hipokondriasis
………………………………………………….…20
BAB III Kesimpulan .............................................................................................23 Daftar pustaka .........................................................................................................24
3
BAB I A. Latar Belakang Gangguan somatoform berasal dari kata “soma” berarti tubuh. Merupakan kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik yang tidak ditemukan penjelasan secara medis. Gejala gangguan ini adalah gangguan fisik yang tampak seperti disebabkan adanya kelainan fisik tetapi sebenarnya kelainan tersebut tidak ada. Orang yang mengalami gangguan ini mengeluhkan simtom-simtom fisik yang mengindikasikan kerusakan fisik(disfungsi) sehingga menyebabkan penderita stres emosional baik dalam kehidupan sosial maupun pekerjaan. Simtom-simtom fisik gangguan somatoform ini diduga terkait dengan faktor-faktor psikologis, diperkirakan kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis. Macam-macam gangguan somatoform yaitu gangguan somatisasi, gangguan konversi, gangguan nyeri, gangguan dismorfik tubuh dan hipokondriasis. Yang akan banyak dibahaskan dalam referat ini ada lah ganguan konversi yaitu ditandai oleh hilangnya atau ketidakmampuan dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke gejala fisik. Etiologi yang sebenarnya belum diketahui, tetapi kebanyakan
menganggap gangguan konversi disebabkan
sebelumnya oleh stress yang berat, konflik emosional, atau gangguan kejiwaan yang terkait. Gangguan
konversi yang sebenarnya jarang di dapatkan. Seseorang dengan
gangguan konversi sering memiliki tanda-tanda fisik tetapi tidak memiliki tanda-tanda neurologis untuk mendukung gejala mereka seperti kelemahan otot, gangguan fungsi sensorik maupun motorik. Kemungkinan penyebab organik harus disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan yang ekstensif B. Batasan Masalah Referat ini membahas tentang gangguan konversi dan macam – macam gangguan somatoform yang lainnya.
4
C.Tujuan Penulisan Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gangguan konversi dan macam – macam gangguan somatoform yang lainnya, seperti bagai mana cara mendiagnosisnya dan penanganannya. D.Metode Penulisan Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gangguan Somatoform Gangguan somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda tanda serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan ini mencakup interaksi pikiran-tubuh. Di dalam interaksi ini otak mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukkan adanya masalah serius di dalam tubuh. 1 Menurut diagnostic and statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV TR) memasukan somatoform spesifik yaitu : 1) gangguan konversi, 2) gangguan somatisasi, 3) hipokondriasis, 4) gangguan dismorfik tubuh, 5) gangguan nyeri. Gangguan somatoform memiliki kategori diagnostik sisa yaitu 1) memiliki gangguan yang tidak terinci, mencakup gangguan somatoform yang tidak dapat dijelaskan dan telah berlangsung selama 6 bulan atau lebih. 2) gangguan somatoform yang tidak tergolongkan yang merupakan gangguan yang tidak memenuhi diagnosis gangguan somatoform diatas.1 Pedoman diagnosis Ciri utama gangguan somatoform adalah adanya keluhan gejala fisik medik yang berulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan keluhan fisik yang menjadi dasar keluhannya. Seandainya ada gangguan fisik, maka 6
gangguan tersebut tidak menjelaskan gejala atau distres
atau preokupasi yang
dikemukakan pasien. Meskipun onset dan kelanjutan dari gejala-gejala tidak mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan ataupun konflik-konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis bahkan meskipun ditekukan adanya gejala ansietas dan depresi yang nyata. Taraf pengertian baik fisik maupun psikologis yang dapat dicapai perihal kemungkinan penyebab gejala-gejalanya sering kali mengecewakan dan menimbulkan frustasi pada kedua belah pihak baik pasien maupun dokter. Pada gangguan inin seringkali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang kesal kerana tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima bahwa keluhannya adalah memang penyakit fisik dan memerlukan adanya pemeriksaan fisik lebih lanjut.8
Diagnosis banding Untuk membedakan gangguan somatoform dengan waham-waham hipokondrik biasanya dilakukan pendekatan yang baik terhadap pasien. 2meskipun keyakinan akan keluhannya tersebut
sudah berlangsung
lama dan tampaknya dipertahankan meskipun tidak
didukung oleh alasan yang memadai, sampai taraf tertentu dan dalam jangka pendek keuletan dalam mempertahankan keyakinan tersebut biasanya dapat dipengaruhi oleh argumentasi, dukungan moril atau dengan dilakukan lagi pemeriksaan medis lain. Disamping itu adanya keluhan fisik yang tidak enak dan menakutkan dapat dianggap sebagai penjelasan yang wajar dan dapat diterima untuk timbulnya dan menetapnya suatu keyakinan akan adanya penyakit fisik.8
7
Gambar 1. Gangguan somatoform3 1. Gangguan Konversi Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai denga konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Khas terjadi adanya stress dan memunculkan disfungsi berat. Kumpulan gejala saat ini disebut dgn gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, histeria, reaksi konversi, reaksi disosiatif.1,2 Epidemiologi DSM-IV-TR memberikan kisaran dari yang paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi 500 kasus gangguan konversi per 100000 populasi. Sering pada wanita dengan rasio 2:1 sampai 10:1. Anak perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki – laki. Onset boleh terjadi kapan pun, tersering pada remaja dan dewasa muda. Gangguan banyak terjadi pada golongan pendesaan. Sering berkomorbiditas dengan ggn depresi, skizofrenia. Frekuensi meningkat pada keluarga yang anggotanya menderita gangguan konversi. 1,2
8
Etiologi 1. Factor psikodinamik Disebabkan oleh represi konflik-konfik intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke gejala fisik. Konflik terjadi antara dorongan instink (agresi atau seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan hal tersebut. Pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagian dorongan atau hasrat terlarang tersebut lewat gejala – gejala yang muncul namun tersamar, sehingga secara sadar pasien dapat menhindar dari konfrontasi terhadap impuls terlarangnya. 1,2 2. Teori pembelajaran Gejala yang dipelajari sejak masa anak digunakan sebagai coping dalam situasi tidak disukainya. 1,2 3. Factor biologis Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada hemisfer dominan dan hipermetabolisme pada hemisfer nondominan sehingga terganggu komunikasi antara hemisfer sehingga menimbulkan gejala konversi. Tes neuropsikosis kadang – kadang menunjukkan gangguan serebral ringan dalam komunikasi, daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi pada pasien gangguan konversi. 1,2 Gambaran Klinis 1. Gejala sensorik Gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi terutama pada ekstremitas. Semua modilitas sensoris dapat terkena, distribusi tidak sesuai penyakit saraf pusat mau pun tepi. Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat unilateral maupun bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak.2,6 a. Kebutaan: penglihatan yang buram atau kesukaran untuk membaca pada saat pemeriksaan
9
b. Halusinasi visual: halusinasi visual seringnya terlihat orang, sering disebut histerikal ( setelah menyingkirkan halusinasi karena zat) c. Ketulian: sering pada tentera d. Kehilangan sensori nevus periferal: pasien bisa tidak merasa sentuhan, tekanan, tusukan pin, atau getaran.5 2. Gejala motorik Terdiri atas gerak abnormal, gangguan gaya berjalan, kelemahan dan paralysis. Mungkin dapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik, dan menghentak hentak. Gerakan memburuk bila mendapat perhatian. Paling sering adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua atau seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari otot yang terlibat tidak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks tetap normal. 2,6 a. Aphonia: gangguan pembicaraan. Pasien tidak bisa berbisik tetapi bisa batuk. b. Astasia–abasia: kesulitan berdiri atau berjalan meskipun pergerakan semua kaki normal saat pasien duduk atau tiduran. c. Paralysis: bisa flasid atau dengan kontraksi. Pada spasme histerikal, kedua lengan dan tungkai kontraksi pada bagian tubuh yang sama, tangan mengepal kuat, lutut fleksi, tungkai dan kaki ketarik ke atas. d. Tremor histerikal: pergerakan positif yang berulang tipe voluntary, tetapi rapidity yang bervariasi. e. Gerakan yang abnormal: tiks pada wajah, blepharospasm, dyskinesia dan tourette’s syndrome f. Kejang histerikal: kejang yang berlaku saat ada yang lihat atau dekat. g. Hiperventilasi: respons terhadap fobia. Pasien berasa kesulitan untuk bernafas. h. Pusing: ketidakstabilan i. Globus histerikus: kesukaran untuk menelan5,10 3. Gejala bangkitan
10
Sulit membedakan gejala dari gangguan konversi yaitu pseudo-seizure dengan bangkitas sebenar. Pada pseudo-seizure pasien tergigit lidah, inkontinensia urin, cedera karena jatuh, refleks tercekik dan pupil bertahan setelah pseudo-seizure, tidak terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin pasca bangkitan.2,6 4. Gejala visceral Gejala visceralnya adalah muntah psikogenik, pseudocyesis, globus hystericus, sinkop, retensi urin dan mencret. 2,6 Gambaran klinis lain: 5. Keuntungan primer Pasien peroleh keuntungan dengan mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya. 6. Keuntungan sekunder Pasien peroleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit. Misalnay dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan bimbingan, dapat mengontrol perilaku orang lain. 7. La belle indifference Sikap angkuh yang tidak sesuai terhadap gejala serius yang dialami. Pasien tampak tidak peduli dengan hendaya berat yang dialaminya. Dapat juga dilihat pada pasien yang menderita penyakit medis yang serius yang menunjukkan sikap tabah. 8. Identifikasi Secara tidak disadari meniru gejala dari seseorang yang bermakna bagi dirinya. Misalnya, seseorang yang baru meninggal menjadi model untuk mengembangkan gejala konversi terutama selama reaksi berkabung yang patologis.2,6 Diagnosis 1. Kriteria diagnosis menurut DSM-IV-TR : A. Satu atau lebih gejala yang melibatkan fungsi motorik volunter atau sensorik yang diperkirakan suatu kondisi neurologis atau kondisi umum medik lainnya.
11
B. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala permulaan atau eksaserbasi gejala didahului oleh konflik atau stresor lainnya. C. Gejala tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura. D. Gejala setelah setelah cukup penelusuran, tidak dapat secara penuh dijelaskan sebgai kondisi medik umum, atau sebagai akibat langsung dari zat atau secara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan. E. Gejala menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut evaluasi medis. F. Gejala tak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi sematamata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena gangguan mental lainnya. 1-4 2. Pemeriksaan fisik3 Kondisi Anesthesia Hemianestesia Astasia-abasia
Test Map dermatomes Check midline Berjalan, menari
Hasil temuan Tidak dapat di konfirmasi “strict half-body split” Pasien yang tidak bisa berjalan masih bisa menari
Paralisis, paresis
dengan sugesti Menjatuhkan tangan yang Tangan jatuh tepi muka, paralysis pada muka Tes hoover
bukan diatas muka Dapat dirasakan tekanan pada tangan pemeriksa saat pemeriksa
meninggikan kaki pasien kekuatan Kelemahan motorik
Pemeriksaan Koma
motorik Pemeriksa
cuba
cuba
untuk Menahan saat cuba untuk
membukakan mata Prasaat ocular cephalic
dibukakan Mata memandang
lurus
kehadapan, tidak berubah Aphonia
Pasien disuruh batuk
ketepi Suara batuk menunjukkan
12
Bersin
korda tertutup Ekspresi fasial
Observasi
minimal, Sinkop Tunnel vision Kebutaan
mata
yang terbuka,
Pemeriksaan head – up tilt
berhenti saat tidur Perubahan pada TTV dan
Tes Lampang pandang
“venous pooling” Perubahan pattern
monocular Swinging
flashlight
pada
pemeriksaan yang berlainan sign Tidak adanya “relative
profound
(Marcus Gunn)
afferent pupillary defect”
Kebutaan bilateral
Binocular visual fields Gerakkan jari anda
Pasien cuba untuk meniru
Memperlihatkan
pergerakan baru cahaya Pasien menutup mata
terang secara tiba -tiba Lihat tangan kamu Sentuh jari telunjuk anda
Pasien tidak melihat tangan Pasien bisa dengan proprioreseption
Perjalanan penyakit dan prognosis Hampir 90-100% gejala awal membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi namun 25% mengalami episode tambahan saat mengalami tekanan. Prognosis baik berkaitan dengan awitan mendadak, ada stressor bermakna, riwayat pramorbid baik, tidak ada komorbid, tidak ada proses hukum sedang berlangsung. 1,2
Penatalaksanaan Pada gangguan ini dapat dilakukan psikoterapi suportif berorientasikan tilikan atau terapi perilaku. Hypnosis (Suatu bentuk terapi pemberdayaan pikiran bawah sadar dengan mengistirahatkan pikiran sadar), anticemas dan terapi relaksasi (Rangsangan fisiologik dan menurunkan ketegangan yang seterusnya menurunkan ansietas) sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian sodium amobarbital (Amytal) atau lorazepam dengan dosis 3-
13
6mg/hari perenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru sahaja mengalami peristiwa traumatic. Berikan sodium amobarbital secara perlahan – lahan larutan IV 10 % (1 mL/ menit, maksimum 500 mg). Pendekatan psikodinamik misalnya psikoanalisis dan psikoterapi berorientasikan tilikan, menuntun pasien memahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala pada gangguan konversi. 1,2 Gangguan Somatoform Yang Lainnya 2. Gangguan somatisasi Gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium 2. Gangguan
ini
biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun dan dapat berlanjut hingga tahunan. Menurut DSM IV TR sebagai kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal, seksual, neurologis. 1,2 Gangguan ini bersifat kronis dan disertai dengan stresor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. 7 Somatisasi dapat dikatakan sebagai bentuk pemanfaatan tubuh untuk tujuan psikologis yang sering tampak yaitu pemindahan perasaan yang tidak menyenangkan dalam bentuk gejala-gejala fisik seperti tidak berfungsinya usus besar sebagai perwujudan dari perasaan tertekan. Di samping itu somatisasi dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan suatu pemikiran atau perasaan melalui sarana simbolis seperti kelumpuhan yang sifatnya histeris untuk menyimbolkan dan mengkomunikasikan perasaan tidak berdaya. Bentuk lain dari tujuan somatisasi adalah untuk tujuan pribadi dengan jalan memanipulasi hubungan antar pribadi,untuk menghindari tugas dan tanggung jawab sosial dan untuk mendapatkan keuntungan materi setelah terjadi kecelakaan, seperti untuk mendapatkan asuransi dan yang tak kalah penting adalah untuk mendapatkan simpati atau perhatian dari orang lain.7 Gambaran klinis Ciri utama pada gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-
14
macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Kebanyakan pasien memiliki riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks baik ke pelayanan kesehatan dasar maupun ke spesialistik dengan hasil pemeriksaan atau bahkan operasi yang negatif. Keluhannya dapat dapat menegnai semua sistem atau bagian tubuh yang manapun, tetapi yang paling sering adalah mengenai keluhan gastrointestinal seperti perasaan sakit perut, kembung, mual dan muntah, dan sebagainya. Dapat pula adanya keluhan perasaan abnormal pada kulit seperti perasaan gatal-gatal, rasa terbakar, kesemutan, baal, pedih, bercak-bercak pada kulit
dan lain sebagainya. Terkadang disertai dengan keluhan
seksual.8 Menurut DSM-IV-TR gejala pseudoneurologis mencakup gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menelan, afonia, retensi urine, halusinasi, hilangnya sensasi raba, nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, bahkan hilangnya kesadaran selain pingsan. Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol pada gangguan ini dengan gejala cemas dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman ingin bunuh diri sering ada tetapi bunuh diri yang sesungguhnya jarang terjadi. Jika terjadi bunuh diri biasanya akibat penyalahgunaan zat. Riwayat medis pasien biasanya berbelit-belit, tidak pasti tidak konsisten dan kacau. Biasanya pasien mengungkapkan secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian dan manipulatif. 1,2,8 Diagnosis Menurut PPDGJ di Indonesia III, diagnostik pasti memerlukan semua hal berikut: •
Ada banyak dan berbgai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya dasar kelainan fisik yang memadai, yang sudah berlangsung sekurangnya 2 tahun
•
Selalu tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
•
Terdapat hendaya dalam taraf tertentu dalam berfungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak pada
15
perilakunya. 8 Menurut DSM-IV-TR diagnosis gangguan somatisasi memberi awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, satu gejala pseudoneurologis yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR: A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lainnya yang signifikan B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi dengan setiap gejala terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan: 1. Empat gejala nyeri : riwayat gejala nyeri dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi yang berbeda (misalnya kepala, abdomen, dada, rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual atau selama buang air kecil) 2. Dua gejala gastrointestinal : sedikitnya dua riwayat gejala gastrointestinal selain nyeri (misalnya : mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare atau intoleransi beberapa makanan berbeda) 3. Satu gejala seksual : sedikitnya satu riwayat gejala seksual atau reproduksi selain nyeri ( misalnya: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tidak teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan) 4. Satu gejala pseudoneurologik: sekurangnya satu riwayat gejala atau defisit psudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan di tenggorokkan, afonia, retensi urine halusinasi, , hilangnya sensasi raba, nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, bahkan hilangnya kesadaran selain pingsan). C. Baik 1 atau 2
16
1. Setelah penelitian yang sesuai, tiap gejala pada kriteria B tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan keadaan medis umum efek langsung dari zat (misalnya: penyalahgunaan zat, karena medikasi) 2. Jika terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang
diharapkan
berdasarkan
riwayat,
penemuan
fisik
maupun
laboratorium D. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)1,2,8 Terapi Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaanya. Dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid), obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obatnya dengan berganti-ganti dan tidak rasional. 1,2,8 3. Gangguan Nyeri Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah adanya nyeri yang merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologis sangat berperan pada gangguan ini. Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medik nonpsikiatrik maupun neurologik. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hendaya dalam fungsi kehidupan. Gangguan ini disebut juga sebagai gangguan nyeri somatoform, gangguan nyeri psikogenik, gangguan nyeri idiopatik dan gangguan nyeri atipikal. 1,2,8 Gambaran Klinis Pasien dengan gangguan nyeri merupakan sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri pinggang bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvik kronik dan nyeri lainnya. Nyeri mungkin terjadi setelah trauma, neuropatik, neurologik, iatrogenik
17
atau muskuloskeletal. Untuk menegakkan diagnosis gangguan nyeri harus terdapat faktor psikologis bermakna yang terlibat dalam terjadinya keluhan nyeri. Pasien dengan gangguan nyeri memiliki riwayat panjang perawatan medis dan pembedahan. Mereka mengunjungi banyak dokter, meminta banyak obat. bahkan mendesak untuk dilakukan pembedahan. Mereka berpreokupasi dengan rasa nyerinya dan menyalahkan hal itu sebagai sumber kesengsaraannya. Seringkali pasien menyangkal sumber lain sebagai penyebab emosi disforiknya dan menyakini hidupnya penuh kebahagiaan bila tidak didera nyeri. Gambaran klinis dapat bercampur dengan gangguan akibat penggunaan zat, apabila pasien menggunakan alcohol atau zat lainnya sebagai upaya untuk mengurangi rasa nyeri. Gangguan depresi berat dapat terjadi pada 20-50% pasien gangguan nyeri, dan 60-100% menderita gangguan distimik atau gejala gejala depresi. Adanya pendapat yang menyakini bahwa nyeri kronik merupakan varian dari gangguan depresi, depresi terselubung atau depresi dengan gejala somatisasi. Gejala depresi yang menonjol pada pasien nyeri adalah anergia,anhedonia,penurunan libido, insomnia dan iritabel. Sedangkan varian diurnal, penurunan berat badan dan retardasi psikomotor lebih jarang di alami. 1,2,8 Diagnosis Diagnosis bcrdasarkan DSM-IV-TR: A. Nyeri pada satu tempat anatomis atau lebih yang merupakan fokus utama dan manifestasi klinis dan cukup berat untuk dijadikan perhatian klinis. B. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya di bidang sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya. C. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. D. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). E. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan suasana perasaan (mood), cemas, atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria untuk dipareunia. 4. Body Dysmorphic Disorder
18
Pasien dengan body dysmorphic disorder mempunyai perasaan subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek penampilannya buruk padahal penampilannya normal atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini bahwa pasien berkeyakinan kuat atau takut kalau dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan. Ketakutan ini sulit diredakan dengan penentraman atau pujian, meskipun penampilan pasien ini sangat normal. 1,2,8 Gambaran Klinis Bagian tubuh yang menjadi keprihatinan umumnya adalah cacat/ kekurangan pada wajah, khususnya bagian tertentu misalnya hidung. Bagian tubuh lain yang sering menjadi perhatian adalah rambut, buah dada dan genitalia. Suatu penelitian menyebutkan bahwa keprihatinan pasien meliputi 4 bagian tubuh selama perjalanan penyakit berlangsung. Varian lain yang terjadi pada pria adalah hasrat untuk membesarkan otot-otot tubuhnya, yang usaha tersebut sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, pekerjaan atau kesehatannya. Gejala-gejala lain yang terkait adalah ide atau waham rujukan tentang orang-orang yang memperhatikan cacat tubuhnya, sering bercermin atau bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin, dan adanya usaha untuk menyembunyikan bagian tubuh yang dianggap mempunyai deformitas dengan pakaian atau riasan. Pengaruhnya terhadap kehidupan pasien sangat bermakna, seperti penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Sepertiga pasien dengan gangguan ini tak sanggup keluar rumah karena khawatir diejek karena kecacatannya, dan seperlimanya berusaha bunuh diri. Selain berkomorbid dengan gangguan depresif dan cemas, biasanya pasien-pasien ini juga memiliki cirri kepribadian obsesif-kompulsif, skizoid, dan narsistik. 1,2,8 Diagnosis Diagnosis menurut DSM-IV-TR: A. Preokupasi dengan cacat yang dikhayalkan. Bila terdapat anomali fisik ringan, keprihatinannya sangat berlebihan. B. Preokupasinya mengakibatkan penderitaan dan hendaya yang secara klinis bermakna dibidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. C. Preokupasinya bukan karena gangguan mental lainnya (mis: ketidakpuasan
19
dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa) Terapi Pengobatan pasien dengan body dysmorphic disorder dengan
prosedur medic
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi dan lainnya, biasanya tidak berhasil mengatasi keluhannya. Obat-obatan yang bekerja pada serotonin misalnya klomipramin dan fluoksetin dapat mengurangi gejala yang dikeluhkan pasien minimal 50%. Pemberian antidepresan trisiklik, penghambat monoamine oksidase dan pimozide bermanfaat pada kasus kasus individual. Apabila terdapat gangguan mental lain yang menyertai, seperti gangguan depresi atau cemas maka harus di atasi dengan pemberian farmakoterapi dan psikoterapi yang memadai. Tidak diketahui sampai kapan pengobatan harus tetap dilanjutkan setelah gejala body dismorphic disorder hilang. 1,2,8 5. Hipokondriasis Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis maupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi pasien menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidang sosial, interpersonal dan pekerjaan. Prevalesi hipokondriasis 4-6% dari populasi pasien medik umum, dan kemungkinan tertinggi adalah 15%. Awitan dari gejala dapat terjadi pada gejala usia, namun yang tersering pada usia 20-30 tahun . Angka kejadian tidak di pengaruhi oleh strata sosial, pendidikan maupun perkawinan. Keluhan hipokondnasis terjadi pada 3% mahasiswa kedokteran yang umumnya terjadi pada 2 tahun pertama pendidikan, namun bersifat sesaat saja. 1,2,8 Gambaran Klinis Pasien hipokondnasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum bisa dideteksi, dan mereka sulit diyakinkan yang sebaliknya. Mereka mempertahankan keyakinan bahwa dirinya mengidap suatu penyakit, dan dengan berjalannya waktu keyakinannya beralih ke penyakit lain. Keyakinannya bertahan meskipun hasil
20
laboratorium negatif, jinaknya perjalanan penyakit yang dicurigai, dan penentraman dari dokter. Meskipun demikian keyakinan tersebut tidak sampai bertaraf waham. Hipokondriasis sering kali disertai dengan gejala depresi, atau berkomorbid dengan gangguan depresi dan gangguan cemas. Meskipun DSM-IV-TR menyebutkan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung sekurangnya 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaait dapat saja terjadi seteiah adanva tekanan yang berat misalnya kematian atau penyakit serius yang diderita seorang yang bermakna bagi pasien. Keadaan ini yang berlangsung kurang dari 6 bulan harus didiagnosis sebagai Gangguan somatoform yang tak tergolongkan. Kondisi hipokondriasis sesaat sebagai respons terhadap tekanan biasanya hilang bila tekanan tak ada lagi, tetapi bisa menjadi kronik bila diperkuat oleh orang-orang dalam sistem sosial pasien atau oleh profesi kesehatan. 1,2,8 Diagnosis A. Diagnosis berdasarkan DSM-IV-TR kriteria Hipokondriasis adalah sebagai berikut : B. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala tubuh. C. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan penentraman. D. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas waham (seperti gangguan waham, jenis somatik) dan tak terbatas pada kepedulian tentang penampilan seperti pada body dysmorphic disorder). E. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau hendaya dalam bidang social, pekerjaan dan fungsi penting lainya. F. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan. G. Preokupasi bukan disebabkan karena gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik, episode depresif, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lainnya. 1,2,8 Terapi Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Beberapa bersedia menerima terapi psikiatrik apabila dilakukan pada setting medis dan dengan fokus menurunkan
21
stress dan edukasi untuk menghadapi penyakit kronik. Psikoterapi kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena member dukungan social dan interaksi social sehingga menurunkan kecemasan. Bentuk psiko terapi lain yang dapat bermanfaat adalah psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Pemeriksaan fisik terjadwal yang teratur
membantu menenangkan pasien, bahwa
dokternya tak meninggalkannya dan keluhannya ditangani secara serius. Namun prosedur diagnostik dan terapi invasif dilakukan hanya bila ada bukti obyektif untuk dilakukan tindakan
tersebut.
Farmakoterapi
diberikan
pada
pasien
hipokondriasis
yang
berkomorbiditas dengan gangguan lain seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila hipokondriasis merupakan kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer lainnya, maka gangguan primer harus diatasi. Apabila hipokondriasis merupakan reaksi situasional sesaat, maka pasien harus di bantu untuk mengatasi stres tanpa memperkuat perilaku sakitnya dan pemanfaatan peran sakitnya sebagai solusi terhadap masalahnya. 1,2,8
BAB III KESIMPULAN Gangguan konversi adalah suatu ditandai oleh hilangnya atau ketidakmampuan dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi seksual atau agresif yang
22
direpresikan ke gejala fisik. Etiologi yang sebenarnya belum diketahui, tetapi kebanyakan menganggap gangguan konversi disebabkan sebelumnya oleh stress yang berat, konflik emosional, atau gangguan kejiwaan yang terkait. Gangguan konversi yang sebenarnya jarang di dapatkan. Seseorang dengan gangguan konversi sering memiliki tanda-tanda fisik tetapi tidak memiliki tandatanda neurologis untuk mendukung gejala mereka seperti kelemahan otot, gangguan fungsi sensorik maupun motorik. Kemungkinan penyebab organik harus disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan yang ekstensif. Hal-hal yang perlu di pertimbangkan adalah kemungkinan dibuat-buatnya gejala terrsebut. Yang terpenting dalam penatalaksanaannya yaitu setelah penyebab fisik untuk gejala telah dikesampingkan, pasien dapat mulai merasa lebih baik dan gejala mungkin mulai memudar. Pilihan pengobatan dapat mencakup konseling dan terapi farmakologi biasanya digunakan anti depresan. Prognosis umumnya baik.
Daftar Pustaka 1. Kaplan,Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis/ benjamin J. Sadock, Virginia A.Sadock; alih bahasa, Profitasari, Tiara Mahatmi Nisa, editor edisi bahasa Indonesia, Husni Mutaqqin, Retna Nearyb Elseria Sihombing. –Ed. 2 . – Jakarta: EGC, 2010. 14. 268-280 2. Buku Ajar Psikiatri. 2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2013. hal 287-303 3. Review of General Psychiatry. 5th ed.NY: McGraw-Hill; 2000
23
4. Gelder MG, López-Ibor JJ, Andreasen N. New Oxford Textbook of Psychiatry. NY: Oxford University Press; 2000. 5. Kay J, Tasman A. Essentials of psychiatry. England: John Wiley & Sons Ltd; 2006. 6. Gabbard GO Somatoform Compulsive Disorder dalam Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice. 3rd Ed. American Psychiatry Press Inc; 2007. hal 237-43. 7. Hadjam, N. R. 2003. Peranan Kepribadian dan Stres Kehidupan Terhadap Gangguan Somatisasi. Laporan Penelitian.Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. 8. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. Cetakan Pertama. 9. American Psychiatric Association (2000) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed. Text Rev. APA, Washington DC 10. Martin RL, Yutzy SH. Somatoform disorders, in The American Psychiatric Press Textbook of Psychiatry, 2nd ed. 1991: Washington DC: American Psychiatric Press. hal 591–622.
24