GANGGUAN KONVERSI I. PENDAHULUAN Istilah konversi didasarkan pada teori kuno bahwa perasaan anxietas dikonversikan menjadi gejala-gejala dengan akibat tidak terselesaikannya konflik mental (keuntungan primer; primary gain) dimana memungkinkan pasien untuk mengungkapkan didapatkannya
konflik
yang
keuntungan
telah
praktis
ditekan
seperti
secara
tidak
memungkinkan
sadar. Atau pasien
untuk
menghindari situasi yang tidak menyenangkan dan mengumpulkan perhatian dari orang lain (keuntungan sekunder; secondary gain).(1,2) Gejala konversi menunjukkan gangguan fisik tetapi merupakan hasil dari faktor psikologis. Menurut model psikodinamik, gejala akibat konflik emosional, dengan represi konflik ke alam bawah sadar. Pada akhir 1880-an, Freud dan Breuer menyarankan bahwa gejala histeris akibat intrusi "kenangan yang terhubung ke trauma psikis" ke persarafan somatik. Proses pikiran-untuk-tubuh disebut sebagai konversi.(2) Gangguan konversi berkaitan dengan gangguan kecemasan. Dari beberapa literatur mengatakan bahwa gangguan konversi bisa merupakan bagian dari gangguan somatoform atau pada gangguan disosiatif, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami
gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara bersamaan.(3,4) Gangguan konversi, seperti yang tercantum dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima, (DSM-V), melibatkan gejala atau defisit mempengaruhi fungsi motorik atau fungsi sensorik yang menyarankan neurologis atau kondisi medis umum lainnya. Namun, setelah evaluasi menyeluruh, yang mencakup pemeriksaan neurologis rinci dan laboratorium yang sesuai dan tes diagnostik radiografi, tidak ada penjelasan neurologis ada untuk gejala, atau temuan pemeriksaan tidak sesuai dengan keluhan. Dengan kata lain, gejala gangguan medis organik atau gangguan dalam fungsi neurologis yang normal tidak berkaitan dengan penyebab medis atau neurologis organik.(2) II. DEFINISI Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat ataupun perifer. Gangguan ini secara khas terdapat saat stres dan menimbulkan disfungsi yang cukup bermakna. Kumpulan gejala saat ini disebut dgn gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, histeria, reaksi konversi, reaksi disosiatif.(5) Gangguan konversi (conversion disorders) menurut DSM-IV didefinisikan sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala neurologis (sebagai contohnya paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping itu diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan awal
atau eksaserbasi gejala. Adapun menurut PPDGJ III gangguan konversi atau disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan segera (awareness of identity and immediate sensations), dan kendali terhadap gerakan tubuh.(3,6) III.EPIDEMIOLOGI DSM-IV-TR memberikan kisaran dari yang paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi 500 kasus gangguan konversi per 100.000 populasi. Sering pada wanita dengan rasio 2:1 sampai 10:1. Anak perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki – laki. Onset boleh terjadi kapan pun, tersering pada remaja dan dewasa muda. Gangguan banyak terjadi pada golongan pendesaan. Sering berkomorbiditas dengan gangguan depresi, skizofrenia. Frekuensi meningkat pada keluarga yang anggotanya menderita gangguan konversi. Gangguan konversi lazim dikaitkan dengan diagnosis komorbid gangguan depresi berat, gangguan anxietas, dan skizofrenia (4,7,8) IV. ETIOLOGI Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi anxietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls berdasarkan
insting
(contohnya
agresi
atau
seksualitas)
dan
larangan
pengungkapan ekspresi. Gejalanya memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau dorongan terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat menghindari secara sadar untuk menghadapi impuls yang tidak dapat diterima tersebut yaitu
gejala gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala gangguan konversi juga memungkinkan pasien menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain.(5) Faktor Biologis. Semakin banyak data yang mengaitkan faktor biologis dan neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi. Studi pencitraan otak sebelumnya menemukan adanya hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan hemisfer yang terganggu sebagai penyebab gangguan konversi. Gejalanya dapat disebabkan oleh bangkitan korteks berlebihan yang mematikan lengkung umpan balik negative antara korteks serebri dengan formasio retikularis batang otak. Selanjutnya, peningkatan kadar keluaran kortikofugal menghambat kesadaran pasien akan sensasi yang berkaitan dengan tubuh, yang pada sebagian pasien dengan gangguan konversi dapat menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.(5) Hipotesis sosiokultural. Formulasi sosiokultural dari gangguan konversi mengamati bahwa dalam beberapa budaya ekspresi langsung dari emosi yang intens dilarang. Seperti disebutkan di atas, hal ini dapat mempengaruhi orang untuk menunjukkan gejala konversi sebagai bentuk yang lebih dapat diterima komunikasi. Gangguan konversi dengan demikian akan mewakili komunikasi non-verbal dari ide dilarang atau perasaan. Larangan tersebut dapat diperkuat oleh peran gender, keyakinan agama dan pengaruh sosial budaya. Ekspresi emosi yang
intens dalam ritual budaya didefinisikan dapat menjadi bagian dari proses penyembuhan.(9) V. GEJALA KLINIS Gejala konversi menunjukkan gangguan neurologi dari sistem sensorik atau motorik yang paling umum : paresis, kelumpuhan, aphonia, kejang, kebutaan, dan anestesi. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, anti sosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif dan anxietas sering dapat menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien ini memiliki rasio bunuh diri.(3,5) Gejala sensorik. Gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi terutama pada ekstremitas. Semua modilitas sensoris dapat terkena, distribusi tidak sesuai penyakit saraf pusat mau pun tepi. Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat unilateral maupun bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak.(7,10) a
Kebutaan: penglihatan yang buram atau kesukaran untuk membaca pada saat
b
pemeriksaan Halusinasi visual: halusinasi visual seringnya terlihat orang, sering disebut
c d
histerikal ( setelah menyingkirkan halusinasi karena zat) Ketulian: sering pada tentera Kehilangan sensori nevus periferal: pasien bisa tidak merasa sentuhan, tekanan, tusukan pin, atau getaran. Gejala motorik. Terdiri atas gerak abnormal, gangguan gaya berjalan,
kelemahan dan paralysis. Mungkin dapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak hentak. Gerakan memburuk bila mendapat perhatian. Paling sering adalah paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua atau seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari otot yang terlibat tidak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks tetap normal. (7,10) a b
Aphonia: gangguan pembicaraan. Pasien tidak bisa berbisik tetapi bisa batuk. Astasia–abasia: kesulitan berdiri atau berjalan meskipun pergerakan semua
c
kaki normal saat pasien duduk atau tiduran. Paralysis: bisa flasid atau dengan kontraksi. Pada spasme histerikal, kedua lengan dan tungkai kontraksi pada bagian tubuh yang sama, tangan mengepal
d
kuat, lutut fleksi, tungkai dan kaki ketarik ke atas. Tremor histerikal: pergerakan positif yang berulang tipe voluntary, tetapi
e
rapidity yang bervariasi. Gerakan yang abnormal: tiks pada wajah, blepharospasm, dyskinesia dan
f g h i
tourette’s syndrome Kejang histerikal: kejang yang berlaku saat ada yang lihat atau dekat. Hiperventilasi: respons terhadap fobia. Pasien berasa kesulitan untuk bernafas. Pusing: ketidakstabilan Globus histerikus: kesukaran untuk menelan Gejala bangkitan. Sulit membedakan gejala dari gangguan konversi yaitu
pseudo-seizure dengan bangkitas sebenar. Pada pseudo-seizure pasien tergigit lidah, inkontinensia urin, cedera karena jatuh, refleks tercekik dan pupil bertahan setelah pseudo-seizure, tidak terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin pasca bangkitan.(7,10) Gejala
visceral.
Gejala
visceralnya
adalah
muntah
pseudocyesis, globus hystericus, sinkop, retensi urin dan mencret.(7,10) Gambaran klinis lain:(7,10)
psikogenik,
1
Keuntungan primer Pasien peroleh keuntungan dengan mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
2
Keuntungan sekunder Pasien peroleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit. Misalnay dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit, mendapat dukungan dan bimbingan, dapat mengontrol perilaku orang lain.
3
La belle indifference Sikap angkuh yang tidak sesuai terhadap gejala serius yang dialami. Pasien tampak tidak peduli dengan hendaya berat yang dialaminya. Dapat juga dilihat pada pasien yang menderita penyakit medis yang serius yang menunjukkan sikap tabah.
4
Identifikasi Secara tidak disadari meniru gejala dari seseorang yang bermakna bagi dirinya. Misalnya, seseorang yang baru meninggal menjadi model untuk mengembangkan gejala konversi terutama selama reaksi berkabung yang patologis. Menurut PPDGJ_III gejala utama dari gangguan konversi adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara : (11)
Ingatan masa lalu Kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of identity and
immediate sensations), dan Kontrol terhadap gerakan tubuh
Pada gangguan konversi kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu sampai ke taraf yang dapat berlangsung dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam. (11) VI. PEDOMAN DIAGNOSIS Mungkin agak sulit menentukan diagnosis dan penatalaksanaan pada gangguan ini. Kemungkinan penyebab organik harus disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan yang ekstensif.(1) Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan dibuat-buatnya gejala tersebut. Di sini ada dua kemungkinan, gangguan buatan (factitious disorder) atau berpura-pura (malingering).(1) Pada gangguan buatan, gejala-gejala dibuat dengan sengaja yang bertujuan untuk mendapatkan perawatan medis (secondary gain),dimana prevalensi sering pada perempuan umur 20-40 dan orang yang bekerja di bidang kesehatan. Dengan gejala tidak konsisten, gejala yang dimiliki berbagai jenis penyakit, gejala sering yang tidak biasa dan susah untuk dipercaya dengan kesadaran yang baik (volunter).(1) Sedangkan
pada
berpura-pura
(malingering)
untuk
mendapatkan
keuntungan pribadi. Menentukan hal ini tidaklah mudah dan mungkin
memerlukan bukti bahwa ada inkonsistensi dalam gejalanya. Namun umumnya gejala bervariasi tetapi paling sering gangguan jiwa yang ringan.(1) Gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencermikan penyaluran, atau konversi dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke gejala fisik seperti adanya gangguan neurologis. Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada:(11) 1. Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F44.-; (misalnya F44.0 Amnesia Disosiatif) 2. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut; 3. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadian yang “stressful” atau hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita. Tabel Kriteria Diangnostik DSM-V-TR Gangguan Konversi (5,12) A. Satu atau lebih gejala atau deficit yang memengaruhi fungsi sensorik atau motorik volunter B. Gejala klinik membuktikan tidak terdapatnya kompabilitas antara gejala yang ditemukan dengan kondisi medis pada kelainan neurologic C. Gejala atau deficit tidak dapat dijelaskan dengan baik oleh medis dan gangguan mental. D. Gejala atau deficit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau hendaya dalam fungsi social, pekerjaan, atau area penting lain, atau memerlukan evalusi medis. Tentukan tipe gejala atau deficit : Dengan kelemahan atau paralisis Dengan pergerakan abnormal Dengan Swallowing symptoms
Dengan speech symptoms Dengan penyerangan atau kejang Dengan anestesi atau hilangnya fungsi saraf sensorik Dengan gejala saraf sensorik yang khas Dengan tampilan campuran Dari American Psychiatric Association.. Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorder. 5th ed. Text rev. Washington, DC : American Psychiatric Association.
VII.
DIAGNOSIS BANDING Salah satu masalah utama di dalam mendiagnosis gangguan konversi
adalah kesulitan untuk benar-benar menyingkirkan gangguan medis. Pemeriksaan neurologis dan medis yang menyeluruh penting dilakukan pada semua kasus.(1,5,8) Diagnosis banding untuk gangguan konversi seperti: gangguan neurologis seperti demensia atau penyakit degeneratif lainnya, tumor otak, dan penyakit ganglia basalis. Contohnya kelemahan pada gangguan konversi dapat juga didiagnosis banding dengan miastenia gravis, polimiositis, miopati yang didapat, dan bahkan multiple sklerosis.
Kebutaan pada gangguan konversi dapat di
diagnosis banding dengan neuritis optik. Gejala gangguan konversi terdapat pada skizofrenia, gangguan depresif, dan gangguan anxietas, tetapi gangguan ini disertai gejala khas yang akhirnya membuat diagnosis menjadi mungkin.(5) Memasukkan differensial diagnosis terutama gangguan somatisasi sangat sulit ketika yang mendasari karakterisitik penyakit ini dapat dengan gejala
neurologi yang tidak khas. Mendiagnosis gangguan konversi disarankan ketika gejala somatik tidak sesuai dengan gangguan somatik sebenarnya. Dimana gangguan somatisasi adalah penyakit kronis yang dimulai pada masa kehidupan awal dan mencakup gejala pada banyak sistem organ lain dan tidak terbatas pada gejala neurologis saja.(2,13,14) Pada hipokondriasis, pasien tidak mengalami distorsi atau kehilangan fungsi yang sebenarnya, melainkan terdapat perilaku serta keyakinan yang khas. Pada gangguan buatan atau malingering, gejala di dalam kendali kesadaran dan volunter. Riwayat seorang yang melakukan malingering biasanya lebih tidak konsisten dan kontradiktif daripada pasien dengan gangguan konversi, perilaku menipu seorang yang melakukakn melingering jelas memiliki tujuan.(5) VIII. PENATALAKSANAAN Penting dalam penatalaksanaan adalah menerima gejala pasien sebagai hal yang nyata, tetapi menjelaskan bahwa itu reversible. Diupayakan untuk kembali ke fungsi semula secara bertahap. Apabila ada depresi komorbid, hal ini harus diobati dengan baik. Psikoterapi dapat bermanfaat untuk gangguan disosiatif dan dalam beberapa kasus kronis yang mengenai fungsi motorik mungkin diperlukan rehabilitasi medis.(1) Perbaikan gejala gangguan konversi biasanya terjadi spontan, walaupun mungkin dipermudah oleh terapi perilaku atau terapi suportif berorientasi tilikan. Ciri terapi yang paling penting adalah hubungan dengan terapis yang penuh perhatian dan dapat dipercaya. Terhadap pasien yang resisten terhadap gagasan psikoterapi, dokter dapat memberi usul bahwa psikoterapi akan berfokus pada
stress dan koping. Mengatakan pada pasien bahwa gejala mereka adalah khayalan sering membuat mereka bertambah buruk.(5) Hypnosis, ansiolitik, dan latihan relaksasi perilaku efektif pada beberapa kasus. Lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh informasi historik tambahan, terutama ketika seorang pasien baru-baru ini mengalami peristiwa traumatik.(5) Pendekatan psikoterapeutik mencakup psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan. Pada terapi ini pasien menggali konflik intrapsikik dan simbolisme gejala gangguan konversi. Bentuk singkat dan langsung psikoterapi jangka pendek juga digunakan untuk menatalaksana gangguan konversi. Semakin lama durasi penyakit pasien dan semakin banyak mereka mengalami regresi, semakin sulit terapinya.(5) IX. PROGNOSIS Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi, mungkin 90 hingga 100 persen membaik dalam beberapa hari atau kurang dari satu bulan. Prognosis baik jika awitan mendadak, stressor mudah diidentifikasi, penyesuaian premorbid baik, tidak ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang menjalani proses hukum. Sedangkan semakin lama gangguan konversi ada, prognosisnya lebih buruk.(5) X. KESIMPULAN Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi system saraf pusat ataupun perifer. Gangguan ini secara khas terdapat saat stress dan menimbulkan disfungsi yang cukup bermakna. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya
psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari agresi yangdirepresikan ke gejala fisik. Etiologi yang sebenarnya belum diketahui, tetapi kebanyakan menganggap gangguan konversi disebabkan sebelumnya oleh stress yang berat, konflik emosional, atau gangguan jiwa yang terkait. Seseorang dengan gangguan konversi sering memiliki tanda-tanda fisik tetapi tidak memiliki tanda-tanda neurologis untuk mendukung gejala mereka seperti kelemahan otot, gangguan fungsi sensorik, maupun gangguan motorik. Kemungkinan penyebab organic harus disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan yang ekstensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan
dibuat-buatnyagejala
tersebut.
Dan
yang
penting
dalam
penatalaksanaan adalah menerima gejala pasien sebagai hal yang nyata, tetapi menjelaskan bahwa itu reversible. Ciri terapi yang paling penting adalah hubungan dengan terapis yang penuh perhatian dan dapat dipercaya. Hypnosis, ansiolitik, dan latihan relaksasi perilaku efektif pada beberapa kasus. Bentuk singkat dan langsung psikoterapi jangka pendek juga digunakan untuk menatalaksana gangguan konversi. Semakin lama durasi penyakit pasien dan semakin banyak mereka mengalami regresi, semakin sulit terapinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, W.F. Gangguan Disosiatif (Konversi). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. 2. Marshall SA, Bienenfeid D., et all. Conversion Disorder. Medscape Reference. http://emedicine.medscape.com/article/287464-overview#showall. Updated at Jun 26, 2013. 3. Hadisukanto Gitayanti. Gangguan Konversi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2010. hal. 268-272. 4. Kaplan, Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis/ benjamin J. Sadock, Virginia A.Sadock; alih bahasa, Profitasari, Tiara Mahatmi Nisa, editor edisi bahasa Indonesia, Husni Mutaqqin, Retna Nearyb Elseria Sihombing. –Ed. 2 . – Jakarta: EGC, 2010. 14. 268-280 5. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York. Lippincot Wiliam&Wilkins.
6. WHO. Gangguan Disosiatif (Konversi). Dalam: Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama. Jakarta: Dept. Kesehatan RI; 1993. hal. 196-208. 7. Buku Ajar Psikiatri. 2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2013. hal 287-303. 8. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion Disorder. Essential of Psychiatry. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. New York; 2006. 9. Owens C., Dein S. Conversion Disorder. Advances in Psychiatric Treatment, vol. 12, The Royal College of Psychiatrists, 2006: 152–157. 10. Gabbard GO Somatoform Compulsive Disorder dalam Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice. 3rd Ed. American Psychiatry Press Inc; 2007. hal 237-43. 11. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III dan DSM-5, Jakarta; 2001. 12. Tasman, Allan. First, B Michael. Convertion Disorder, Clinical Guide to the Diagnosis and Treatment of Mental Disoder. New York. Wiley ; 2006. 13. Loewenstein, Richard J. Share, Mackay MD. Convertion Disorder. Review of General Psychiatry, 5th edition by Vishal. 14. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder, Adult Psychiatry, second edition. Blackwell Publishing; 2005.