15
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.1
Penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh ASNA (Asean Neurologic Association) di 28 Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study) dan dilakukan survey mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan dan mortalitas serta morbiditasnya. Hasilnya menunjukkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan di atas usia 65 tahun 33,5%. Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat dengan bertambahnya usia dan merupakan penyebab kecacatan yang utama diantara semua orang dewasa dan kecacatan yang memerlukan fasilitas perawatan jangka panjang diantara populasi usia tua.2
Pengobatan yang tepat pada stroke dapat meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dan tingkat pemulihan yang dapat diharapkan. Peningkatan pengobatan dari semua jenis stroke telah menghasilkan penurunan drastis dalam tingkat kematian dalam beberapa dekade terakhir. Rehabilitasi diperlukan untuk memperbaiki fungsi akibat gangguan ini.3
Rehabilitasi adalah semua upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari semua keadaan yang menimbulkan disabilitas dan atau handicap serta memungkinkan penyandang disabilitas dan atau handicap untuk berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.4
Tujuan rehabilitasi stroke yaitu lebih ke arah meningkatkan kemampuan fungsional penderita dari pada ke arah memperbaiki defisit neurologisnya, atau mengusahakan agar penderita sejauh mungkin dapat memanfaatkan kemampuan sisanya untuk mengisi kehidupan secara fisik, emosional, dan sosial ekonomi dengan baik.5,6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Menurut WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih ataupun menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.1
Gambar 1. Patogenesis stroke
EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan kematian nomor dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.7,8
Menurut WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Sebanyak 75% penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.9
KLASIFIKASI STROKE
1. Berdasarkan Waktu
a. TIA (Trancient Ischemic Attack)
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.10
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gangguan neurologi yang timbul dan akan menghilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.10
c. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.10
d. Completed Stroke
Gangguan neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen.10
2. Berdasarkan Etiologi
a. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah suatu kondisi yang terjadi terutama disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak. Pembuluh darah pecah dan kemudian melepaskan darah ke otak. Setelah pecahnya arteri, pembuluh darah tidak mampu membawa darah dan oksigen ke otak dan menyebabkan sel mati. Alasan lain yang dapat menyebabkan strok hemoragik adalah darah yang mengalir ke otak akibat pecahnya pembuluh darah tersebut membentuk gumpalan di dalam otak dan menyebabkan kerusakan jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan fungsi otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol. Stroke hemoragik terbagi menjadi intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).11
b. Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian otak tertentu. Aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi dan struktur sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan integritas susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron. Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun trombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.11
Klasifikasi Oxford Community Stroke Project (OCSP) juga dikenal sebagai Bamford, membaginya berdasarkan gejala awal dan episode stroke yaitu total anterior circulation infarct (TACI), partial anterior circulation infarct (PACI), lacunar infarct (LACI), dan posterior circulation infarct (POCI).
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor resiko umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu: 11,12
Tidak dapat dimodifikasi: Umur, jenis kelamin, ras dan factor genetik.
Dapat dimodifikasi: diabetes melitus, penyakit jantung, inaktivitas fisik, obesitas, peningkatan kolesterol dan hipertensi.
PATOGENESIS
Stroke Non Hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh trombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area trombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologi fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.3
Stroke Hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.3
Gambar 2. Stroke hemoragik dan stroke iskemik
MANIFESTASI KLINIK
Pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada saat melakukan aktivitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol, serta terdapat nyeri kepala dan terdapat muntah.
Sedangkan pada stroke non hemoragik umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, tidak ada muntah dan tidak terdapat nyeri kepala, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak serta sering terdapat gangguan bicara. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.13
DIAGNOSIS
Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke, dilakukan pemeriksaan klinis yang teliti, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak. Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan. Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah perdarahan atau tumor otak.7
DIAGNOSIS TOPIS
Diagnosis topis dapat ditentukan dari gejala yang timbul, antara lain dengan cara membedakan letak lesi apakah kortikal atau subkortikal (kapsula interna, ganglia basalis, thalamus), batang otak dan medula spinalis. 14
Gejala klinis pada topis di kortikal
Afasia
Wajah dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh
Kejang
Gangguan sensoris kortikal
Deviasi mata ke daerah lesi
Gejala klinis pada topis subkortikal
Wajah, lengan dan tungkai mengalami kelumpuhan yang sama berat
Gangguan sensorik
Sikap distonik
Gejala klinis pada topis di batang otak
Hemiplegi alternans
Nistagmus
Gangguan pendengaran
Tanda serebelar
Gangguan sensorik wajah ipsilateral dan pada tubuh kontralateral
Gejala klinis pada topis di medulla spinalis
Gangguan sensorik setinggi lesi
Gangguan miksi dan defekasi
Wajah tidak ada kelainan
Brown Sequard syndrome
PROGRAM REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA STROKE
Perhatian utama rehabilitasi adalah evaluasi potensi perkembangan pasien dengan rehabilitasi yang intensif. Tujuan dari rehabilitasi harus realistis dan fleksibel sebab status neurologis dari pasien dan derajat kelainan biasanya berubah seiring waktu. Hal terbaik didapatkan jika pasien dan keluarga berpartisipasi dalam mencapai tujuan rehabilitasi.12
1. Fase awal
Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan lingkup gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional.14
2. Fase lanjutan
Tujuannya adalah untuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini meliputi: 15,16
Fisioterapi
Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 ke bawah).
Diberikan terapi panas superficial (infrared) untuk melemaskan otot.
Latihan lingkup gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif tergantung dari kekuatan otot.
Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
Latihan fasilitasi atau reedukasi otot.
Latihan mobilisasi.
Gambar 3. terapi panas superficial (infrared)
Gambar 4. Latihan gerak sendi
Gambar 5. Latihan untuk menguatkan otot pada pasien stroke
Gambar 6. Latihan untuk menguatkan otot tangan dan jari pada stroke
Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang disesuaikan.
Gambar 7. Terapi okupasi pada penderita stroke
Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas, menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-kata.
Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-kata.
Pelaksana terapi adalah tim medic dan keluarga.
Gambar 8. Terapi bicara pada penderita stroke
Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara lain: arm sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up splint, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic (KAFO).
Gambar 9. Pemakaian kursi roda pada penderita stroke
Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.
f. Sosial Medik danVokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita.17
BAB III
KESIMPULAN
Stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu dan kematian nomor dua di dunia. Rehabilitasi medik pada pasien stroke terdiri dari fase awal dan fase lanjutan. Fase awal terdiri dari proper bed positioning, latihan lingkup gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional. Pada fase lanjutan terdiri dari fisioterapi, terapi okupasi, terapi bicara, terapi psikologis, pemakaian ortotik prostetik, serta terapi sosial dan vokasional.
DAFTAR PUSTAKA
Steven. Hubungan derajat spastisitas maksimal berdasarkan modified ashworth scale dengan gangguan fungsi berjalan pada penderita stroke iskemik [thesis]. Semarang: Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro; 2008. p. 1.
Hutagalung HS. Efek Aspirin, cilostazol serta clopidogrel terhadap outcome fungsional pada pasien stroke iskemik [thesis]. Medan: Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Sumatera Utara; 2011. p. 1-2.
Van GJ. Main groups of cerebral and spinal vascular disease: overview. In: Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular disease: pathophysiology, diagnosis, and management. 1 ed. Malden: Blackwell Science; 1998:1369-72.
Soendoro T. On behalf of RISKESDAS team. Report on result of National Basic Health Research. Jakarta: The National Institute of Health Research and Develompment Ministry of Health Republic of Indonesia; 2008.
Mardjonjo M, Sidharta P. Neuro klinis dasar. Edisi VI. Jakarta: Dian Rakyat, 1995; 269-302.
Prawirosumarto K. Rehabilitasi fisik pada pasien stroke; Rehabilitasi Medik, Hasil Simposium 1987. Departemen Rehabilitasi Medik. Jakarta. 1987: 121-5.
Wirawan RP. Rehabilitasi stroke dalam pelayanan kesehatan primer. SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati. Jakarta; 2009.p.61-2.
Sutrisno A. Stroke? you must know before you get it!. Jakarta: PT. GramediaPustakaUtama. 2007. Hal: 1-13.
Feigin V. Stroke Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke. Jakarta: PT. BhuanaIlmuPopuler. 2006.
Misbach J, Wendra A. Stroke in indonesia. A first large prospective hospital based study of acute stroke in 28 hospitals in indonesia. Jakarta. 1996.
Walelang Th. Faktor resiko dan pencegahan stroke. Poceeding symposium stroke update. Manado. Perdosi; 2001.
Sengkey L, Angliadi LS, Mogi TI. Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik. Manado: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik; 2006.p.55-9.
Kotambunan RC. Diagnosis stroke. Bagian Neurologi FK UNSRAT/SMF RSUP Manado. Manado, 1995; 1-12.
Angliadi LS. Rehabilitasi medic pada stroke. Proceeding symposium stroke update. Manado. Perdosi; 2001.
Sinaki M, Dorsher PT. Rehabilitation after stroke. In: basic clinical rehabilitation medicine. Philadelphia. Mosby, 1993; p. 87-8.
Kolb, Bryan, Whishaw, Ian Q. Fundamentals of Human Neuropsychology, Fourth Edition. New York: W. H. Freeman and Company, 1996.
Harvey RL, et all. Stroke syndromes. In: Braddom LR. Physical Medicine and Rehabilitation. Second Volume. New York: Elsevier Saunders. 2011; p. 1180-1.