RHINOSINUSITIS
Disusun oleh: Arnold Fernando
11.2012.023
Gian Oktavianto
11.2013.124
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 5 MEI – 7 JUNI 2014 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA
ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. 2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
2
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus. Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.1,2 Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1,2 Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Selsel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan 3
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.1,2 Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.1,2 Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1,2 Kompleks Ostio-Meatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muaramuara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1,2 4
Gambar 1 : sinus paranasal12 Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal yakni :1,2 1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. 3. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna. 4. Membantu resonansi suara
5
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. 5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus 6. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. RHINOSINUSITIS Definisi Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi).1,2 Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 (EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI) Rhinosinusitis Initiative (RI), Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP), dan Clinical Practice Guidelines : Adult Sinusitis (CPG:AS), 4 diantaranya sepakat untuk mengadopsi istilah rinosinusitis sebagai pengganti sinusitis, sementara 1 pedoman yakni JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan istilah tersebut. Istilah rinosinusitis dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan mengingat konka nasalis media terletak meluas secara langsung hingga ke dalam sinus ethmoid, dan efek dari konka nasalis 6
media dapat terlihat pula pada sinus ethmmoid anterior. Secara klinis, inflamasi sinus (yakni, sinusitis) jarang terjadi tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di dekatnya. Namun, para ahli yang mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah rinosinusitis maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian, mengingat istilah rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade terakhir.10 Klasifikasi Terdapat banyak subklasifikasi dari rinosinusitis, namun yang paling sederhana adalah pembagian rinosinusitis berdasarkan durasi dari gejala. Rinosinusitis didefinisikan akut menurut 3 guidelines (pedoman) yakni oleh RI, JTFPP, dan oleh CPG:AS yakni apabila durasi gejala berlangsung selama 4 minggu atau kurang. Oleh CPG:AS rinosinusitis diklasifikasikan sebagai subakut apabila gejala berlangsung antara 4 minggu hingga 12 minggu, sedangkan definisi dari JTFPP menentukan durasi subakut mulai dari 4 minggu hingga 8 minggu. Lebih jauh lagi CPG:AS mendefinisikan rinosinusitis akut berulang (recurrent) sebagai 4 episode atau lebih rinosinusitis akut yang terjadi dalam setahun, tanpa gejala menetap di antara episode, sementara JTFPP mendefinisikan rinosinusitis akut berulang sebagai 3 episode atau lebih rinosinusitis akut per tahun. Untuk rinosinusitis kronik, hampir semua pedoman sepakat bahwa rinosinusitis kronik merupakan gejala rinosinusitis yang menetap selama 12 minggu atau lebih, kecuali JTFFP yang menetapkan gejala rinosinusitis yang menetap selama 8 minggu atau lebih sebagai kriteria rinosinusitis kronik.10 Etiologi dan Faktor Predisposisi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.1,2 Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan 7
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. 1 Penyebab sinusitis dibagi menjadi: 1. Rhinogenik Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang. 2. Dentogenik/odontogenik Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab adalah Streptococcus
pneumoniae,
Hemophilus
influenza,
Streptococcus
viridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain. Penyebab yang yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya kerusakan pada gigi.1,2
Sinusitis Dentogen Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.1
Sinusitis Jamur Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang jarang ditemukan.
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya 8
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis Aspergillus dan Candida.1 Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti berikut : Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran berwarna putih keabu-abu pada irigasi antrum. Para ahli membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan non-invasif. Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama dan
terapi imunosupresan.
Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah meyebabkan penyebaran jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus.
Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna biru-
kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering kali berakhir dengan kematian. 1 Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan ganguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gejala klinisnya tidak sehebat gejala klinis pada fulminan kerana perjalanan penyakitnya berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila.
Gejala klinik merupai
sinusitis kronik berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadangkadang ada massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam sinus.1
9
Epidemiologi Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan rinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.1,6,11 Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. 1 Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini boleh dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan. 1
10
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 1 Manifestasi Klinis Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu. 1 Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain) . nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida, nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini: a. Sakit kepala kronik b. Post-nasal drip c. Batuk kronik d. Ganguan tenggorok e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis, serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis. 1
Working Diagonsis
11
Diagnosis
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus medius.Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis yang disebut Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan atas gejala klinis yang dibagi atas kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis rhinosinusitis.3 RINOSINUSITIS Major Symptoms
Minor Symptoms
Facial pain/pressure
Headache
Facial congestion/fullness
Fever (non acute)
Nasal obstruction/blockage
Halitosis
Nasal
discharge/purulence/discolored Fatique
posterior drainage Hyposmia/anosmia
Dental pain
Purulence on nasal exam
Cough
Fever (acute rhinosinusitis only)
Ear pain/pressure/fullness
a. Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for diagnosis in the absence of another symptom or sign. b. Fever in acute sinusitis alone does not constitute a seggustive history for diangosis in the absence of another symptom or sign. Tabel 1: Bagan Task force on Rhinosinusitis 19963 Riwayat yang konsisten dengan rinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 mayor dan 2 faktor minor pada pasien dengan gejala lbih dari 7 hari. Ketika adanya 1 faktor mayor atau 2 atau lebih faktor minor yang ada, ini menunjukkan kemungkinan di mana rinosinusitis perlu di masukkan ke dalam diagnosa banding. 3
12
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,air-fluid level , atau penebalan mukosa. Rontgen sinus dapat menunjukkan kepadatan parsial pada sinus yang terlibat akibat pembengkakan mukosa atau dapat juga menunjukkan cairan apabila sinus mengandung pus. Pilihan lain dari rontgen adalah ultrasonografi terutama pada ibu hamil untuk menghindari paparan radiasi. 3
Gambar 2: Foto rontgen sinus yang menunjukkan air-fluid level pada sinus etmoid 4 CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. CT scan mampu memberikan gambaranyang bagus terhadap penebalan mukosa, air-fluid level, struktur tulang, dan
kompleks
osteomeatal. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.3,4
13
MRI sinus lebih jarang dilakukan dibandingkan CT scan karena pemeriksaan ini tidak memberikan gambaran terhadap tulang dengan baik. Namun, MRI dapat membedakan sisa mukus dengan massa jaringan lunak dimana nampak identik pada CT scan. Oleh karena itu, MRI akan sangat membantu untuk membedakan sinus yang terisi tumor dengan yang diisi oleh sekret. 3,4 Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah,karena akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya. Endoskopi nasal kaku atau fleksibel dapat digunakan untuk pemeriksaan sinusitis. Endoskopi ini berguna untuk melihat
kondisi
sinus
ethmoid
yang
sebenarnya,
mengkonfirmasi
diagnosis,
mendapatkan kultur dari meatus media dan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. Ketika dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi dari hidung, kultur meatus media sesuai dengan aspirasi sinus yang mana merupakan baku emas. Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. 3,4 Differential Diagnosis Dokter perlu memahami keluhan pasien yang menggambarkan sinus mereka bermasalah karena keluhan tersebut mungkin tidak melibatkan sinus. Banyak kondisi yang mempunyai keluhan nyeri wajah atau sakit kepala yang harus dipertimbangkan. Sindrom sakit kepala bisa termasuk tension headache, migrain, cluster headache atau arteritis temporal. Pada keluhan sakit mata harus dipertimbangkan glaukoma, kesalahan refraksi dan strabismus. Neuralgia tengkorak, nyeri leher kronis, penyakit gigi dan gangguan temporomandibular juga harus dipertimbangkan. Sakit kepala mungkin disebabkan dari kontak septum hidung dengan salah satu konka, disebut sakit kepala rhinologic(rhinologic headache). Kontak tersebut bisa dikurangkan dengan pengobatan vasomotor atau rinitis alergi, dapat memperbaiki sakit kepala pada beberapa pasien. Pasien yang mempunyai sinus sejati mungkin memiliki rhinitis alergi atau oklusi sinus karena neoplasma. Neoplasma yang sering adalah karsinoma epitel nasofaring yang biasanya berasal dari sel skuamosa. Kejadian ini lebih banyak di negara Mediterania dan Timur Jauh. Faktor genetik dan lingkungan juga mungkin memainkan peranan. DNA
14
virus Epstein-Barr telah dideteksi pada tumor dan kondisi premaligna, dan beberapa kelompok antigen limfosit manusia(HLA) juga telah diidentifikasi.5 Beberapa penyakit lain yang memiliki manifestasi atau keterkaitan dengan rinosinusitis yaitu :6
Granulomatosis Wegener melibatkan angiitis yang dikaitkan dengan nekrosis fokal dan reaksi granulomatosa. Penyakit ini pada awalnya mempengaruhi saluran pernapasan, tetapi dapat juga berkembang melibatkan organ lain.
Ataksia - telangiektasia
merupakan gangguan autosomal resesif yang
berhubungan dengan sinusitis berulang, infeksi paru, bronkiektasis, fibrosis paru, tracheomegalli, berkurangnya jaringan limfoid dan atrofi cerebellar.
Cystic fibrosis adalah gangguan autosomal resesif yang berhubungan dengan pernapasan, GI, kelainan jantung dan sinus.
Sindrom silia imotil (immotile cilia syndrome) adalah gangguan autosomal resesif yang terkait dengan infeksi paru berulang dan/atau konsolidasi paru, sinusitis, bronkiektasis dan sindrom Kartagener.
Sindrom Kartagener adalah penyakit autosomal resesif yang berhubungan dengan sinusitis, situs inversus, infeksi pernafasan berulang dan bronkiektasis.
Pasien yang hiperalergik mungkin memiliki polip yang tidak terhitung mengisi rongga hidung dan menghalangi sinus paranasal, hal ini dapat memberikan penampilan berkarakteristik pada pemeriksaan imaging. Penyakit ini sangat berkait erat dengan asma.
Sindrom Wiskott - Aldrich merupakan penyakit genetik yang bersifat X-linked, resesif dan penyakit defisiensi imun tubuh yang dikaitkan dengan infeksi berulang saluran pernapasan dan atau pneumonia, sinusitis dan mastoiditis.
Sindrom Kuku Kuning (Yellow-nail syndrome) dikaitkan dengan efusi pleura berulang,efusi perikardial, chylothorax, bronkiektasis dan sinusitis.
Sindrom Muda (Young Syndrome) dikaitkan dengan azoospermia sekunder pada obstruksi epididimis dan infeksi saluran pernapasan berulang dan sinusitis.
Penatalaksanaan Pengobatan tergantung pada etiologi dari
gejala rhinosinus. Tujuan terapi
sinusitis adalah: a) Mempercepat penyembuhan, 15
b) Mencegah komplikasi c) Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih alami.6,1 Medika Mentosa 1. Kebanyakan infeksi sinus akut disebabkan oleh virus, di mana mayoritas pasien dapat membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan antibiotik.7 2. Gejala awal dari infeksi saluran pernapasan atas dapat diobati dengan obatobatan lokal atau obat-obatan over-the-counter (OTC). 3. Irigasi dengan larutan salin normal direkomendasikan. 4. Dekongestan
topikal,
seperti
oxymetazoline,
dikombinasikan
dengan
dekongestan oral, seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung tersumbat dan untuk drainase. Pasien dinasihatkan tidak menggunakan vasokonstriktor nasal topikal untuk jangka masa yang panjang karena adanya risiko rinitis medikamentosa. Drainase medis dicapai dengan vasokonstriktor topikal dan sistemik. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per oral termasuk pseudoefedrin dan fenilefrin bisa digunakan selama 10-14 hari untuk mengembalikan fungsi mukosiliar dan drainase menjadi normal. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per oral
bisa
menyebabkan
hipertensi
dan
takikardi,
maka
mereka
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Obat ini juga dikontraindikasikan pada atlit yang mau berkompetisi karena peraturan pertandingannya.
Vasokonstriktor
topikal
(Oxymetazoline
hydrochloride)
membantu drainase menjadi baik, tetapi harus digunakan maksimal 3-5 hari, dengan peningkatan risiko rebound congestion, vasodilatasi dan rinitis medikamentosa bila digunakan untuk periode yang lama.5,6,7 5. Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari komunitas (community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi durasi penyakit dan membantu membasmi infeksi. Berdasarkan uji klinis, amoksisilin, doxycycline, atau trimethoprim-sulfametoksazol merupakan antibiotik yang disukai dan direkomendasikan selama 10 sampai 14 hari. Pilihan lain termasuk macrolide seperti azitromisin atau klaritromisin, atau sefalosporin generasi kedua/ketiga.5 Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada 16
sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. 1 Antibiotik harus disediakan untuk pasien dengan gejala yang disebabkan oleh bakteri. Namun, gejala rinosinusitis bakteri biasanya tidak berbeda dari yang disebabkan oleh virus. Simptom yang menunjukkan rinosinusitis bakteri termasuk demam, malaise seluruh badan dan sakit kepala pada bagian frontal unilateral. Selain itu rinosinusitis bakteri juga merupakan tanda komplikasi dini dan terjadi pada pasien berisiko (immunodeficiency, usia lanjut, dll). Infeksi bakteri harus dipertimbangkan jika gejala memburuk atau gagal untuk membaik dalam 7-10 hari. Karena adanya peningkatan resistensi penisilin pada bakteri patogen
utama
pada
rinosinusitis,
jadi
pemilihan
antibiotik
harus
dipertimbangkan. Pada pasien yang tidak beresiko resisten, amoksisilin merupkan terapi lini pertama. Alternatif lini pertama yang lain
termasuk
trimethoprimsulfamethoxazole atau doxycycline.7 6. Flurokuinolon mungkin juga berguna, tetapi belum disetujui untuk populasi anak. Penggunaan selama 10 hari dapat memberikan pemberantasan 90 %.5 7. Jika tidak ada perbaikan gejala klinis seperti penurunan batuk, penurunan nanah hidung, resolusi demam atau berkurangnya hidung tersumbat, standar pendekatan adalah dengan antibiotik lini kedua dengan spektrum yang lebih luas dan diberikan lebih lama. Jika responnya kurang pada antibiotik lini pertama, maka antibiotik harus beralih ke cakupan yang lebih luas. Antibiotik lini kedua termasuk amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin dan makrolida.5,7 8. Respons klinis dan pengobatan biasanya tergantung individual.5 9. Parameter praktis oleh Joint Task Force on Practice Parameters for Allergy and Immunology menetapkan penilaian respons gejala setelah 3-5 hari terapi dan diteruskan untuk tambahan 7 hari jika ada perbaikan. Namun, jika tiada respon, antibiotik seharusnya ditukar.7 10. Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan lebih tinggi. Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa efektif dengan melemahkan respon inflamasi, meskipun pada saat ini manfaat mereka masih tidak menyakinkan. Penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin memiliki kelebihan dibandingkan dengan penggunaan intranasal, seperti tingkat terapeutik yang 17
tinggi dan tidak ada risiko pelepasan buruk disebabkan oleh penyumbatan hidung. Review Cochrane baru-baru ini yang mengenai terapi kortikosteroid sistemik untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat ini mempunyai efek mengguntungkan jangka pendek.5,8 11. Pengobatan tambahan lainnya termasuk mucoevacuants untuk menipis sekresi lendir. Ini termasuk guaifenesin dan kalium iodida. Golongan mukolitik (guaifenesin) secara teori mempunyai manfaat seperti menipiskan sekresi mukus dan memperbaiki drainase. Ia jarang digunakan untuk praktek klinis pengobatan sinusitis akut.6,7 12. Belum data tersedia yang menunjukkan bahwa antihistamin bermanfaat pada sinusitis akut. Antihistamin mungkin berbahaya karena ia mengeringkan membran mukus dan menurunkan klirens sekresi. Antihistamin bermanfaat untuk mengurangkan obstruksi ostiomeatal pada pasien dengan alergi dan sinusitis akut; tetapi ia tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien sinusitis akut. Antihistamin mungkin memburukkan drainase dengan terjadinya
penebalan
dan
tertumpuknya(pooling)
sekresi
sinonasal.6
Antihistamin tidak diberikan rutin karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua.1 13. Peran antibiotik pada rinosinusitis kronis(CRS) masih dipertanyakan. Pada penyakit ini sangat penting untuk mengidentifikasikan faktor penyebab seperti rinitis alergi, kelainan struktur, immunodeficiency, asap tembakau dan faktor lingkungan atau kerja. Menurut Kelompok Kerja 2008 tentang CRS pada Dewasa, antibiotik harus disediakan untuk pasien dengan sinus drainase yang purulen. Lama pengobatan antibiotik masih kontroversial, tapi pengobatan antibiotik untuk jangka panjang selama 3-6 minggu mungkin lebih efektif daripada jangka waktu yang lebih pendek. Seperti pada rinosinusitis akut, perawatan lain termasuk steroid topikal dan irigasi sinus. Steroid oral jangka pendek mungkin bermanfaat dalam mengobati CRS terutama CRSwNP(chronic rhinosinusitis with nasal polyps). Evaluasi lebih lanjut diperlukan pada pasien yang gagal terapi medis dan mungkin memerlukan intervensi bedah. 14. Pada AFRs(allergic fungal rhinosinusitis), operasi biasanya diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menghapuskan mukus yang menebal. Setelah 18
intervensi bedah, diberikan kortikosteroid oral yang biasanya ditampering off secara bertahap ke dosis terendah yang diperlukan untuk mengendalikan simptom. Selain itu, semprotan hidung kortikosteroid topikal digunakan untuk mengendalikan peradangan. 15. Pengobatan antibiotik kronis mungkin memerlukan cakupan anaerobik, seperti klindamisin, amoksisilin/klavulanat, metronidazole yang dikombinasikan dengan macrolide, atau moksifloksasin. Lamanya pengobatan adalah 4 sampai 6 minggu. 7
16. Pasien sinusitis dengan penyebabnya dental atau mereka dengan discharge yang berbau busuk, pengobatan anaerobik diperlukan dengan menggunakan klindamisin atau amoksisilin dengan metronidazole. 17. Pasien dengan sinusitis nosokomial akut memerlukan pengobatan intravena yang adekuat untuk organisme gram negatif. Antibiotik aminoglikosida biasanya merupakan drug of choice karena mempunyai cakupan yang baik pada gram negatif dan penetrasi sinus. Seleksi antibiotik biasanya berdasarkan hasil kultur yang diambil dari sekresi maksila. 18. Selain dari pembedahan, komplikasi sinusitis akut ditangani dengan antibiotik intravena. Sefalosporin generasi ketiga (cefotaxime, ceftriaxone) dengan kombinasi vancomycin yang memberikan penetrasi intrakranial yang adekuat, merupakan pilihan pertama.6 19. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.1 Non Medika Mentosa 1. Pembedahan umumnya dicadangkan untuk pasien dengan kelainan anatomi dan hanya setelah terapi medis maksimal gagal. Kriteria mutlak untuk operasi meliputi setiap perluasan infeksi atau adanya tumor di rongga hidung atau sinus. Indikasi relatif termasuk sinusitis bakteri akut berulang, obstruksi oleh poliposis hidung, rinosinusitis kronis yang tidak responsif terhadap pengobatan dan penyakit penyerta seperti asma yang recalcitrant. Kerjasama yang erat dengan otolaryngologist berpengalaman sangat penting dalam kasus-kasus yang sulit. Bedah sinus endoskopi fungsional(BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah 19
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1,5 2. Jika perlu, dapat diberikan terapi seperti analgetik, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).1 Selain itu, simptomnya juga dapat dikurangkan dengan humidifikasi/vaporizer, kompresi hangat, hidrasi yang adekuat dan nutrisi seimbang.6 Pencegahan 1. Menghindari penularan infeksi saluran pernapasan atas dengan menjaga kebiasaan cuci tangan yang ketat dan menghindari orang-orang yang menderita pilek atau flu . 2. Disarankan mendapatkan vaksinasi influenza tahunan untuk membantu mencegah flu dan infeksi berikutnya dari saluran pernapasan bagian atas . 3. Obat antivirus untuk mengobati flu, seperti zanamivir (Relenza), oseltamivir (Tamiflu), rimantadine (Flumadine) dan amantadine (Symmetrel), jika diambil pada awal gejala, dapat membantu mencegah infeksi . 4. Dalam beberapa penelitian, lozenges seng karbonat telah terbukti mengurangi durasi gejala pilek. 5. Pengurangan stres dan diet yang kaya antioksidan terutama buah-buahan segar dan sayuran berwarna gelap, dapat membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh . 6. Rencana serangan alergi musiman . a. Jika infeksi sinus disebabkan oleh alergi musiman atau lingkungan, menghindari alergen sangat penting. Jika tidak dapat menghindari alergen, obat bebas atau obat resep dapat membantu. OTC antihistamin atau semprot dekongestan hidung dapat digunakan untuk serangan akut. b. Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat antihistamin yang tidak sedasi(non sedative) selama bulan musim-alergi. c. Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim alergi. Menutup jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat digunakan untuk menyaring alergen serta penggunaan humidifier juga dapat membantu. d. Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam mengurangi atau menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan dikelola 20
oleh ahli alergi secara teratur selama 3 sampai 5 tahun, tetapi sering terjadi pengurangan remisi penuh gejala alergi selama bertahun-tahun. 7. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan: a. Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan supaya sekresi hidung tipis. b. Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga saluran hidung
agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius.
Menghirup uap dari semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap juga dapat membantu. c. Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan semprotan dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga bagian sinus agar terbuka dan sering menggunakan saline nasal spray selama penerbangan. 8. Hindari alergen di lingkungan: Orang yang menderita sinusitis kronis harus menghindari daerah dan kegiatan yang dapat memperburuk kondisi seperti asap rokok dan menyelam di kolam diklorinasi.9 Komplikasi Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama orbital dan otak.5,6 Komplikasi mungkin timbul dengan cepat.
Komplikasi yang sering adalah
selulitis atau abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal diobati dengan antibiotik dan tidak diperlukan pembedahan.
Komplikasi yang lain mungkin
memerlukan pengobatan pembedahan segera. Perluasan pada postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi melalui lamina papyracea(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid. Sinus yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid yang mengakibatkan terjadinya trombosis . Gejalanya meliputi edema kelopak mata yang progresif, eritema, chemosis dan proptosis, yang jika tidak diobati, dapat berkembang 21
menjadi oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada intrakranial termasuk terjadinya meningitis, abses epidural atau subdural, abses otak atau sagital, atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien dengan sejarah rinosinusitis dan demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan status mental harus dicurigai memiliki komplikasi intrakranial.1,5 Osteomielitis dapat menyebabkan
komplikasi lokal. Pada tumor Pott
bengkak(Pott’s puffy tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang frontal menyebabkan dahi edema. Hal ini merupakan komplikasi akut yang membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses subperiostal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.1,5 Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles. Mereka merupakan lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus. Sinus frontal adalah yang paling sering terlibat. Mereka lambat tumbuh dan mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum gejala terjadi. Keterlibatan sinus frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata, mengakibatkan diplopia. Dekompresi sering menyebabkan hilangnya gejala. Erosi posterior oleh mucopyocele dapat menyebabkan infeksi . Mucoceles terlihat pada anak-anak dengan cystic fibrosis.5 Komplikasi lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobronkitis. Selain itu juga dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.1 Prognosis Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali. Rinosinusitis yang tidak diobati atau
22
diobati dengan tidak adekuat dapat menyebabkan komplikasi seperti meningitis, tromboflebitis sinus cavernous, selulitis orbita atau abses, dan abses otak.6 Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tandatanda edema mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan sinusitis sekunder. Jika kelenjar gondok secara kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat menghilangkan nidus infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus.6
23
DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.150-4. 2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240 3. Mark A. Zacharek, Preeti N. Malani, Michael S. Benninger. An approach to the diagnosis and management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005. Diunduh dari informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271 . 24 April 2014. 4. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming otolaryngology head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby; 2006.p.201. 5. Hallet R, Naguwa SM. Severe rhinosinusitis. Clinical reviews in allergy and immunology. California : Human Press Inc. 2003; 5(3):177-90. 6. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 23 April 2014. 7. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc. 2012 ;33 Suppl 1:24-7 8. Venekamp RP, Bonten MJM, Rovers MM, Verheij TJM, Sachs APE. Systemic corticosteroid monotherapy for clinically diagnosed acute rhinosinusitis: a randomized controlled trial. CMAJ. 2012; 184: 751-7 9. Cunha J P, Stoppler M C, Doerr S. Sinus infection. Diunduh dari http://www.emedicinehealth.com/sinus_infection/page12_em.htm#sinus_infecti on_prevention, 23 April 2014. 10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43 11. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011;7(1):2 12. Rhinosinusitis, diunduh dari : https://www.aaaai.org/conditions-andtreatments/conditions-a-to-z-search/sinuses,-sinusitis,-rhinosinusitis.aspx , 23 April 2014.
24