BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing.1 Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan
encephalomyelitis
(radang
yang
mengenai
otak
dan
medulla spinalis).2 Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan efisien baik penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca pajanan, sehingga akibat buruk virus ini dapat diminimalkan.3-6
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing. Penularan rabies juga biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi.1
2.2 Epidemiologi Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.7 Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, SumateraBarat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi(Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan SulawesiTenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, danKalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).8
2.3 Etiologi 2
Virus
rabies
merupakan
virus
RNA,
termasuk
dalam
familia
Rhabdoviridae , genus Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elips (lonjong). Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah,memiliki membran selubung (amplop) di bagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi (glikoprotein). Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.2 Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%, yodium, fenol dan klorofrom. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi yodium.4 Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50%. Pada suhu 600ºC virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40ºC dapat tahan selama bebarapa tahun.
Gambar 1. Gambar Struktur Virus Rabies. Keterangan : Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh paku-paku glikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari nukleoprotein, phosphorylated atau phosphoprotein dan polimerase. Diagram melintang ini menunjukkan lapisan konsentrik yaitu amplop dengan membran ganda, protein m dan digulung dalam RNA.
2.4 Patogenesis 3
Gambar 2. Perjalanan Penyakit Rabies
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput mukosa. Virus srabies tidak bisa menembus kulit yang utuh. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, 4
virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi.5 Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar kedalam semua bagian neuron. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Gambaran patognomonik dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar hewan yang terinfeksi rabies.7
Gambar 3. Negri body.
5
Gambar 4. Skema patogenesis infeksi virus rabies.
2.5 Masa Inkubasi Inkubasi (masa tunas) dari virus rabies masuk melalu gigtan sampai timbul gejala klinis berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, pada umumnya 3-8 minggu. Menurut WHO rata-rata 30-90 hari. Variasi masa inkubasi bisa tergantung oleh letak luka gigitan, semakin dekat dengan otak seperti di atas bahu, gejala klinis akan cepat timbul, juga kedalaman luka, jenis virus dan jumlah virus yang masuk. 4,5,11 Dipengarui juga oleh daya tahan tubuh penderita, virulensi virus, banyak gigitan, gigitan terdapat pada wajah karena dekat dengan medulla oblongata dan banyak mengandung saraf yang halus dan kecil.2 2.6 Gejala Klinis 6
1. Pada Hewan Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:8,9,11 a. Stadium Prodromal Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan. b.Stadium Eksitasi Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotofobia atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan. c. Stadium Paralisis Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
2. Pada Manusia 7
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium: 8,9 a. Stadium Prodromal Gejala awal yang terjadi adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari. b. Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris. c. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Penderita menjadi bingung, gelisah, dan rasa tidak nyaman. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang. d.Stadium Paralisis Gejala tidak khas, terdapat monoplegi atau paraplegi flaksid, kematian karena kelumpuhan otot nafas.
2.7 Diagnosis Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit ditegakan, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu hidrofobia. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dikerjakan: 5,9 1. Darah rutin
8
Dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000-13000/mm)dan penurunan hemoglobin serta hematokrit. 2. Urinalisis Dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit. 3. Cairan serebrospinal Rabies Virus–Specific (Rapid fluorescent
focus
Antibodies
dalam
serum
inhibition test/RFFIT), dapat
dan
LCS
ditemukan
monositosis sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal atau sedikit meninggi.
2.8 Diagnosis Banding Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi didaerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4 Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus. 4 Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidrofobia.4 Selain itu, intoksikasi obat-obatan juga dapat menjadi diagnosis banding.2
2.9 Penatalaksanaan11
9
Gambar 5. Tata Laksana Rabies
10
Prosedur
1) Penanganan luka gigitan hewan penular rabies :
o Cuci luka gigitan hewan tersangka rabies dengan air (sebai air yang mengalir), dengan sabun atau detergent selama 10 menit. o Beri antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain).
o Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan sit 2) Dosis dan cara pemberian vaksin anti rabies :
o Vaksin PVRV ( Purufied Vero Rabies Vaccine) terdiri dari va
kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit adal Cara
pemberiannya
adalah
disuntikkan
secara
muskular (im) didaerah deltoideus / lengan atas k
dan kiri. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu 0, dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua
pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian hari ke 21 satu kali pemberian. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan
sesudah digigit ; cara pemberiannya sama diatas. D
untuk anak dan dewasa sama yaitu Dasar 0,5 ml deng
kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemb
sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari k
satu kali pemberian. Ulangan 0,5 ml sama pada anak dewasa pada hari ke 90. 3) Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies ( SAR ).
o Serum heterolog ( Kuda ), mempunyai kemasan bentuk vial 2
( 1ml=100 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan muscular.
Dosis
40
Iu/KgBB
diberikan
bersamaan
de
pemberian VAR hari ke 0, dengan melakukan skin test ter dahulu.
o Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1
150 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi dise
luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. D
11
-
Vaksin Anti Rabies dilakukan lengkap bila: a. Hewan atau anjing yang menggigit positif rabies b. Hewan atau anjing liar atau gila yang tidak dapat di observasi atau
-
hewan tersebut dibunuh. Penyuntikan vaksin anti rabies tidak dilanjutkan bila hewan yang
-
menggigit tetap sehat selama observasi sampai 10 hari. Petugas atau tenaga medis harus memakai sarung tangan, pakaian dan
-
masker Dokter/perawat harus beri penjelasan mengenai jumlah VAR/SAR,
-
termasuk manfaat ataupun efek samping yang mungkin timbul. Minta persetujuan tindakan sebelum pemberian VAR/SAR Selain VAR/SAR, terapi hanya bersifat simptomatis dan suportif seperti pemberian anti kejang.
2.10 Pencegahan a. Pemeliharaan hewan piaraan dilaksanakan dengan tanggung jawab dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan diliarkan, atau dikeluarkan dari rumah tanpa pengawasan atau tanpa tali ikatan. b. Berikan vaksin anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala di Pusat Kesehatan Hewan (Puskewan), Dinas Kesehatan Hewan atau Dinas Peternakan, atau ke dokter hewan. c. Segera melapor ke puskesmas/Rumah Sakit terdekat apabila digigit oleh hewan tersangka rabies untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR) sesuai indikasi. d. Apabila melihat hewan dengan gejala rabies, segera laporkan ke Pusat Kesehatan Hewan (Puskewan), Dinas Peternakan/yang membawahi bidang peternakan atau Dinas Kesehatan Hewan.7,9,11
2.11 Komplikasi
12
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies. Komplikasi neurologik
dapat
berupa
peningkatan
tekanan
intracranial,
disfungsi
otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut.4
2.12 Prognosis Tanpa penanganan, penderita hanya bertahan sekitar 8 hari, sedangkan dengan penangan suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan. Sebelum ditemukan pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas, kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit rabies timbul. Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin rabies hampir selalu fatal terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah terpapar virus diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus.8
BAB III KESIMPULAN
13
Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, musang, anjing liar, kucing. Penularan rabies juga biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan
gagal
nafas.
Perawatan
intensif
hanyalah
metode
untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat.
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Harijanto, Gunawan, P. N. & Carta, A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007, p 1736-1740. 2. Bagian Neurologi KUH. Standar Pelayanan Medik Neurologi. Makassar: Bagian Neurologi FKUH; 2011. 3. Bleck, T. P. & Rupprecht, C. E.Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE,Dollin R (Eds). Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of I n f e c t i o u s D i s e a s e s . 5 th e d . P h i l a d e l p h i a : C h u r c h i l l L i v i n g s t o n e . 2 0 0 0 , p 1811-1820. 4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:American Public Health Association. 2000, p 427- 436.
Edisi
17.
5. Mardjono, M. & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan Ke13.Jakarta: PT. Dian Rakyat. p 169-170. 6. Haryono, Yudha, dkk (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Cetakan P e r t a m a . Airlangga University Press: Surabaya. 2006 7. Dr. R. Yoseph Budiman, Sp.S. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar Operasional Prosedur Neurologi. Refika Aditama ; 2013. 8. Deptan. Patofisiologi Rabies. Available http://www.deptan.go.id/rabies.pdf . Accessed on February 6th 2016.
from:
9. Smith, Jean S. New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States. C l i n i c a l Microbiology Reviews, Vol. 9, No. 2.27. 2000 10. Hiswani. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. 2003. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf . Accessed on February 6th 2016. 11. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Rabies 2014.
15