Anjing Terkena Rabies Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebakan oleh virus dan dapat menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Penyakit Rabies juga merupakan penyakit Zoonosa yang sangat berbahaya karena bila telah menyerang manusia atau hewan bisa berakhir dengan kematian. Pada hewan yang menderita Rabies, virus ditemukan dalam jumlah banyak pada air liurnya. Virus ini akan ditularkan ke hewan lain l ain atau ke manusia terutama melalui luka lu ka gigitan. Hewan karnivora , seperti anjing,kucing dan serigala adalah hewan yang paling utama sebagai penyebar rabies. Masa inkubasi penyakit rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu. Anjing biasanya harus mendapat vaksinasi rabies pada umur 5 bulan. Terdapat tiga golongan penyakit rabies: 1. Stadium Melancholium yang Melancholium yang mengakibatkan anjing terlihat gelisah, kehilangan selera minum dan makan. 2. Stadium Exitatie yang Exitatie yang dalam beberapa hari saja dapat membuat anjing menggigit apa saja , lalu kabur sampai beberapa jauh kilometer. 3. Stadium Paraltycum yang Paraltycum yang dalam waktu seminggu dapat membuat anjing menjadi lumpuh dan mati. Tahapan penyakit rabies pada anjing dan kucing terbagi dalam 3 fase: 1. Fase Prodormal . Hewan mencari tempat dingin dan menyendiri , tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervus, pupil mata meluas dan sikap tubuh kaku (tegang). Fase ini berlangsung selama 1-3 hari . Setelah fase Prodormal dilanjutkan fase Eksitasi atau bias langsung ke fase Paralisa. 2. Fase Eksitasi. Eksitasi. Hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetaran , selanjutnya masuk ke fase Paralisa. 3. Fase Paralisa. Paralisa. Hewan mengalami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian. Tanda-tanda penyakit rabies pada anjing terbagi menjadi 2 jenis yakni bentuk diam dan bentuk ganas:
Tanda rabies bentuk diam 1. Terjadi kelumpuhan pada seluruh bagian tubuh. 2. Hewan tidak dapat mengunyah dan menelan makanan, rahang bawah tidak dapat dikatupkan dan air liur menetes berlebihan. 3. Tidak ada keinginan menyerang atau mengigit. Hewan akan mati dalam beberapa jam.
Tanda rabies bentuk ganas 1. 2. 3. 4.
Hewan menjadi agresif dan tidak lagi mengenal pemiliknya. Menyerang orang, hewan, dan benda-benda yang bergerak. Bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilipat diantara kedua paha belakangnya. Anak anjing menjadi lebih lincah dan suka bermain , tetapi akan menggigit bila dipegang dan akan menjadi ganas dalam beberapa jam.
Tindakan Jika anjing Anda terkena virus rabies, lakukan beberapa tindakan ini: 1. Menempatkan hewan peliharaan dalam kandang yang baik dan sesuai dan senantiasa memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya. 2. Menjaga kesehatan hewan peliharaan dengan memberikan makanan yang baik , pemeliharaan yang baik dan melaksanakan Vaksinasi Rabies secara teratur setiap tahun ke Dinas Peternakan atau Dokter Hewan Praktek. 3. Memasang rantai pada leher anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang diajak berjalan-jalan. Sumber : dari berbagai sumber Epidemiololgy Rabies pada hewan Domestik dan Satwa Liar
Distribusi penyakit Rabies sangat bervariasi untuk setiap belahan dunia. Rabies adalah penyakit zoonosis yang pada umumnya berasal dari satwa liar yang menyerang hewan-hewan domestik dan manusia atau dari hewan domestik yang tertular kemudian ke manusia. Hewan-hewan utama yang merupakan pembawa rabies (HPR=Hewan Pembawa Rabies) umumnya berbeda untuk setiap benua. Di Eropa hewan utama pembawa Rabies adalah rubah dan kelelawar, di Timur Tengah hewan pembawa rabies utama adalah srigala dan anjing, di benua Afrika HPR utama adalah anjing, mongoose dan antelop, untuk Asia ialah anjing, Amerika utara ialah rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga dan untuk Amerika selatan HPR yang utama adalah anjing dan kelelawar vampire(http://virology-online.com/, 2010). Kelelawar dikenal sebagai reservoir utama di alam di berbagai belahan dunia. Banyak dilaporkan perihal kasus Rabies setelah adanya gigitan oleh kelelawar. Hewan domestik yang utama sebagai hewan yang dapat terinfeski rabies adalah anjing, kucing dan ternak. Sedangkan untuk satwa liar HPR umumnya adalah sigung, kelelawar, rubah, tupai, rakun, badgers dan mongoose(http://virology-online.com/, 2010). Satwa-satwa liar inilah yang merupakan sumber penularan Rabies ke hewan-hewan domestik bahkan ke manusia. Rabies pada satwa liar umumnya melibatkan satwa k arnivora dan kelelawar. Satwa-satwa ini adalah reservoir utama penyakit Rabies yang menularkan ke hewan-hewan peliharaan dan ternak. Proses translokasi manusia ke daerah-daerah baru merupakan salah satu faktor dalam
Tanda rabies bentuk ganas 1. 2. 3. 4.
Hewan menjadi agresif dan tidak lagi mengenal pemiliknya. Menyerang orang, hewan, dan benda-benda yang bergerak. Bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilipat diantara kedua paha belakangnya. Anak anjing menjadi lebih lincah dan suka bermain , tetapi akan menggigit bila dipegang dan akan menjadi ganas dalam beberapa jam.
Tindakan Jika anjing Anda terkena virus rabies, lakukan beberapa tindakan ini: 1. Menempatkan hewan peliharaan dalam kandang yang baik dan sesuai dan senantiasa memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya. 2. Menjaga kesehatan hewan peliharaan dengan memberikan makanan yang baik , pemeliharaan yang baik dan melaksanakan Vaksinasi Rabies secara teratur setiap tahun ke Dinas Peternakan atau Dokter Hewan Praktek. 3. Memasang rantai pada leher anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang diajak berjalan-jalan. Sumber : dari berbagai sumber Epidemiololgy Rabies pada hewan Domestik dan Satwa Liar
Distribusi penyakit Rabies sangat bervariasi untuk setiap belahan dunia. Rabies adalah penyakit zoonosis yang pada umumnya berasal dari satwa liar yang menyerang hewan-hewan domestik dan manusia atau dari hewan domestik yang tertular kemudian ke manusia. Hewan-hewan utama yang merupakan pembawa rabies (HPR=Hewan Pembawa Rabies) umumnya berbeda untuk setiap benua. Di Eropa hewan utama pembawa Rabies adalah rubah dan kelelawar, di Timur Tengah hewan pembawa rabies utama adalah srigala dan anjing, di benua Afrika HPR utama adalah anjing, mongoose dan antelop, untuk Asia ialah anjing, Amerika utara ialah rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga dan untuk Amerika selatan HPR yang utama adalah anjing dan kelelawar vampire(http://virology-online.com/, 2010). Kelelawar dikenal sebagai reservoir utama di alam di berbagai belahan dunia. Banyak dilaporkan perihal kasus Rabies setelah adanya gigitan oleh kelelawar. Hewan domestik yang utama sebagai hewan yang dapat terinfeski rabies adalah anjing, kucing dan ternak. Sedangkan untuk satwa liar HPR umumnya adalah sigung, kelelawar, rubah, tupai, rakun, badgers dan mongoose(http://virology-online.com/, 2010). Satwa-satwa liar inilah yang merupakan sumber penularan Rabies ke hewan-hewan domestik bahkan ke manusia. Rabies pada satwa liar umumnya melibatkan satwa k arnivora dan kelelawar. Satwa-satwa ini adalah reservoir utama penyakit Rabies yang menularkan ke hewan-hewan peliharaan dan ternak. Proses translokasi manusia ke daerah-daerah baru merupakan salah satu faktor dalam
proses penularan Rabies dari satwa liar ke hewan domestik seperti anjing dan kucing maupun ternak ruminansia. Penularan virus rabies dari hewan liar ke hewan domestik
Sumber: (http://www.in.gov) Hampir setiap tahun di Amerika Serikat dan Puerto P uerto Rico kasus gigitian HPR satwa liar dilaporkan dengan jumlah proporsi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hewan domestik seperti anjing dan kucing. Keadaan ini terbalik dengan negara-negara berkembang yang sering melaporkan kasus-kasus gigitan yang berasal dari hewan domestik seperti anjing. Jumlah kasus Rabies yang dilaporkan dari hewan domestik dan hewan liar pertahun di Amerika Serikat dan Puerto Rico (1976-2006)
Sumber: (Center for Disease Control (CDC), 2007) Rabies di hewan domestik masih merupakan ancaman utama untuk penyakit Rabies di Negaranegara berkembang. Derajat kedekatan antar hewan domestik seperti anjing tanpa pemilik atau menjadi liar dengan manusia serta tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah merupakan hal utama yang menyebabkan tingkat ancaman Rabies oleh anjing lebih besar jika dibandingkan dengan hewan liar di alam meskipun gigitan oleh hewan liar pembawa rabies masih sering di laporkan. Anjing sebagai hewan sahabat bagi manusia merupakan permasalahan yang utama diberbagai negara berkembang khususnya di Asia yang mengalami masalah dalam kontrol populasi anjing liar. Rabies pada anjing pada negara-negara berkembang dapat memelihara proses siklus virus rabies di alam hingga menuju manusia. Pada hewan ternak Rabies juga merupakan salah satu penyakit yang berpotensial merugikan secara ekonomi terlebih di negaranegara Amerika Selatan seperti Argentina, Meksiko dan Brazil. Hal ini terkait dengan sebaran keberadaan kelelawar vampire (Desmodus rotudus) (Acha, 1967) yang memakan darah ternak sebagai salah satu sumber makanannya. Di Amerika Utara sigung dan rakun selalu dikaitkan dengan penyebaran Rabies pada ternak (Krebs et al., 2000). Di Indonesia HPR utama pada hewan domestik adalah anjing, kucing dan monyet. Serangan yang disebabkan oleh anjing hampir dilaporkan setiap tahun dari berbagai daerah tertular di Indonesia terutama Sumatera Barat, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2008 Provinsi Bali melaporkan adanya kasus gigitan pertama yang dikonfirmasi sebagai rabies. Ini adalah kasus pertama yang di pernah dilaporkan dari pulau dengan populasi anjing yang tinggi
jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Menurut perkiraan sekitar 600 ribu ekor (tidak ada data pasti mengenai jumlah populasi anjing yang sebenarnya di Bali) atau sekiktar 96 ekor per Km2 (Naipospos, 2010)(rasio manusia dengan anjing di B ali yaitu 1:8). Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia di Indonesia, kasus gigitan rabies ke manusia mencapai jumlah 20.926 kasus gigitan per tahun pada tahun 2010 yang terlaporkan kepada Dinas-Dinas Kesehatan di seluruh Kabupaten di Indonesia(Departemen Kesehatan, 20 08) Penularan Rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara atau tanpa pemilik (rural Rabies) yang berkembang hingga mencapai populasi yang sulit dikendalikan (Departemen Pertanian, 2007). Keadaan ini-lah yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia menjadi endemis terhadapa Rabies. Pola penyebaran Rabies di Indonesia umumnya terjadi pada anjing liar, anjing peliharaan dan manusia. Pola Penyebaran Rabies di Indonesia Sumber: (Departemen Pertanian, 2007) Epidemiologi Rabies Pada Manusia
Manusia adalah salah satu komponen dari siklus penyakit Rabies yang merupakan “dead end” dari siklus penyakit ini karena hampir selalu menyebabk an kematian. Transmisi manusia ke manusia adalah jarang, tetapi hal ini pernah dilaporkan di Perancis pada proses operasi transplantasi kornea mata pada tahun 1980 (Child, 2002). Bahkan pada tahun 2005 dari hasil investigasi kematian 4 pasien yang melakukan transplantasi ginjal, hati dan arterial segment yang mengalami enchepalitis tanpa diketahui penyebabnya. Hasil investagisai menyatakan bahwa terdapat partikel virus Rhabdovirus penyebab Rabies berdasarkan diagnosa pada SSP dengan mikroskop elektron, immunohistokimia, fluoroscent antibody (FAT) test (Srinivasan et al., 2005). Di berbagai belahan dunia sangat susah untuk mengestimasikan jumlah kasus kematian yang disebabkan oleh Rabies. Hal in terkait dengan sistem surveillans dan tidak adan ya laboratorium yang cukup dan memadai di berbagai belahan dunia. WHO menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun mati karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO, 2008). Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia kecil dibawah 15 tahun (WHO, 2008). Rute utama penyebaran penyakit Rabies ini adalah gigitan dari anjing yang terkena Rabies . Kematian umumnya disebabkan oleh tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment) dari korban yang terkena Rabies. Faktor risiko
Secara umum banyak faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit Rabies. Tetapi hal yang paling umum khususnya dinegara-negra berkembang (seperti di Indonesia) pada hewan domestic adalah pemeliharaan anjing yang dilepaskan tanpa pengawasan, praktek perburuan dengan menggunakan anjing dan lalulintas anjing menjadi salah satu faktor risiko utama penyebaran penyakit ini dari suatu daerah ke daerah lain.
II. Etiologi Agen Penyebab
Rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa, yang berarti mengamuk atau kemarahan) family Rahbdoviridae (dar bahasa Yunani, Rhabdos, yang berarti batang). Virus ini mendekati virus species Vesicular stomatitis Virus (VSV) dari genus Vesiculovirus. Keduanya memiliki persamaan morfologi, sturktur kimia dan siklus hidup yang mirip (Wunner, 2002). Klasifikasi
Order: Mononegavirales Famili: Rhabdoviridae Genus: Lyssavirus Spesies : Rhabdovirus (Virus Rabies)
Sifat Agen
Struktur Agen
Sturktur virus Rabies mirip dengan family Rhabdoviridae yang lain yaitu berbentuk batang seperti peluru (seperti Rhabdoviridae yang lain)dengan ukuran rata-rata 180 nm panjang 75 nm lebar dengan ukuran ukuran spike 10 nm. Virus ini terdiri dari RNA (2-3%), protein (67-74%), lemak (20-26%) dan karbohidrat (3%) yang menyatu menjadi strukutur utama virus ini (Wunner, 2002). Struktur dasar dari Lyssavirus dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Virus Rabies Penampang Memanjang
Virus Rabies Penampang Melintang
Sumber: (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010) Protein penyusun sturuktur pada virus Rabiespada utamanya disusun oleh 5 protein:, yaitu :Nucleoprtein (N), Phosphoprotein (P), Matrix Protein (M), Glycoprotein (G) dan Polymerase (L). Semua virus family Rhabdoviridae (termasuk species Lyssavirus) mempunyai dua komponen utama yaitu inti dari rantai heliks (ribonucleoprotein co re (RNP)), dan Amplop yang menutupinya. Didalam RNP, genom RNA diselimuti oleh Nucleoprotein (N) sedangkan untuk protein penyusun struktur virus lain seperti, Phosphoprotein (P) and polymerase (L) merupakan salah satu komponen penyusun yang berhubungan dengan RNP. Glycoprotein (G) merupakan protein penyusun permukaan virus yang berbentuk “spike” atau duri (berjumlah kurang lebih 400 duri) dari virus ini sedangkan M protein (M) bertanggung jawab sebagai struktur penyusun Amplop dan membungkus RNP. Pada bagian tengah struktur tersebut terdapat genom dari virus yang berupa protein RNA yang berbentuk helix yang tunggal, tidak bersegmen dan mempunyai polaritas yang negatif (Wunner, 2002). Karakter yang menonjol dari Rhabdovirus ini merupakan
virus yang bersusun luas dengan rentang inang yang lebar. Virus ini merupakan jenis virus uang mematikan. Kapsid melindungi genom dan juga memberikan bentuk pada virus. Sikus Hidup dan Replikasi
Genom Lyssavirus merupakai rantai tunggal, antisense, tidak bersegmen, mempunyai RNA dengan ukuran 12 kb. Berdasarkan hasil squence Genom Lyssavirus terdiri dari 50 nucleotida diikuti oleh gen untuk protein N, P, M, G dan L. Genom virus Rabies
Sumber: (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010) Genom Lyssavirus merupakai rantai tunggal, antisense, tidak bersegmen, mempunyai RNA dengan ukuran 12 kb. Berdasarkan hasil squence Genom Lyssavirus terdiri dari 50 nucleotida diikuti oleh gen untuk protein N, P, M, G dan L. Replikasi dari Lyssavirus diawali oleh menempelnya bagian struktur amplon dari virus kedalam mebran sel dari inang. Proses ini dikenal dengan sebutan adsorpsi. Proses ini merupakan hasil dari interaksi protein G dan permukaan sel inang yang spesifik (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010). Setelah proses adsorpsi, kemudian melakukan proses penetrasi kedalam sel inang dan masuk ke dalam sitoplasma sel dengan pinocytosis (via clathrin-coated pits). Virion kemudian berkumpul atau masuk kedalam vesikel cytoplasmic. Viral membran kemudian masuk kedalam membran endosome yang kemudian dikuti oleh lepasnya RNP kedalam sitoplasma. Virus rabies kemudian akan membuat mRNA untuk menjalankan proses replikasinya dengan menggunakan genom dengan mepengaruhi atau menyisipkan dengan proses dalam sel inang dan menginfeksi sel yang lain (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010).
Siklus Hidup Virus Rabies di dalam Sel Inang
Sumber : (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010) Berikut adalah siklus hidup dari virus Rabies : 1: Adsorpsi (receptors dan virion berinterkasi). 2: Penetrasi (masuknya virus ke dlaam sel inang). 3: Uncoating (pengilangan bagian amplop virus). 4. Transkripsi (sintesis mRNAs). 5. Translasi (Sintesis dari struktur protein). 6. Prosesing (G protein gycosylation). 7. Replikasi (produksi genom RNA dari intermediate strand). 8. Assembly. 9: Budding (keluar virus complete dari sel inang ) (Division of Viral and Rickettsial Diseases, 2010)
IV. Identifikasi Penyakit Gejala Klinis Gejala Klinis pada Hewan
Gejala klinis yang diperlihatkan hewan yang terinfeksi Rabies terkait dengan tipe penyakit Rabies dan tahapan yang dilewatin oleh penyakit ini. Pada Hewan Rabies dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (1) Rabies tipe Ganas (Furious Rabies) , Rabies tipe ini mempunya gejala seperti:
Tidak menurut perintah pemilik Air liur/Saliva berlebihan
Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor dilengkungkan ke bawah perut atau diantar dua paha Takut Cahaya Kejang-kejang yang kemudian disertai kelumpuhan setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah pengigitan.
(2) Rabies tipe Tenang (Dumb Rabies) , Rabies tipe ini mempunyai gejala seperti:
Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk Lumpuh, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat Kematian terjadi dalam waktu singkat
Rabies tipe Asymptomatik (tidak menunjukkan gejala) sering ditandai dengan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala sakit.
Proses perjalanan penyakit Rabies pada hewan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
Tahap Podormal, pada hewan tahap ini ditandai dengan hewalebih sennag menyendiri , menari tempat dingin tetapi dapt menjadi agresif dan gelisah, pupil mata lebar, dan sikap tubuh yang kaku/tegang. Tahap ini berlansgsung sekitar 1-3 hari. Tahap Eksitasi, pada hewan tahap ini ditandai dengan perilaku hewan yang menjadi ganas dengan meyerang apa saja yang ada disekitarnya, memakan-makan benda-benda aneh, mata keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetar. Pada tahap ini proses infeksi ke hewan lain dan manusia sering terjadi. Tahap ini berlangsung selama 5-7 hari Tahap Paralisa, pada tahap ini hewan mengalami kelumpuhan dan berakhir dengan kematian. Tahap ini berlangsung 1-3 hari.
Gejala Klinis pada Manusia
Masa inkubasi di manusia dari penyakit Rabies sangatlah bervariasi, dimulai dari 7 hari hingga beberapa tahun. Hal ini tergantung kepada:
Dosis dari inokulum Keparahan dari luka hasil gigitan Jarak luka dengan SSP, seperti luka yang terjadi diwajah mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek jika dibandingkan dengan luka di kaki.
Penyakit Rabies dimulai dengan tahap non spesifik atau tahap prodormal yang dikuti oleh gejala, demam, malaise, anorexia, gangguan tenggorokan, sakit otot, dan sakit kepala. Pada daerah sekitar perlukaan korban akan merasakan rasa gatal dan sensasi abnormal. Kemudian tahap ini diikuti oleh tahap dua klinis yaitu hyperexcitability, spasmus dan hydrophobia (furious). Yang lainnya adalah menunjukan gejala rabies untuk tipe Rabies Dumb (http://virology-online.com/, 2010).
Jika terjadi komplikasi biasanya diikuti gejala klinis yang melibatkan SSP, sistem kardiovaskular serta system respirasi. Gejala Cardiac dystrithmia akan diikuti oleh terganggunya pernafasan. Adanya tekanan intracranial menurunkan level kesadaran pada manusia dan fokal konvulsi. Hal ini karena adanya gangguan SSP adalah gangguan thermoregulasi tubuh (http://virologyonline.com/, 2010). Berikut adalah tanda-tanda penyakit Rabies pada manusia:
Sakit kepala, tidak bisa tidur, demam tinggi, mual/muntah, hilang nafsu makan Merasa panas atau nyeri atau gatal pada tempat gigitan Sangat takut pada air dan peka terhadap cahaya, suara serta hembusan udara Air mata dan air liur keluar berlebihan Pupil mata membesar Bicara tidak karuan, gelisah, selalu ingin bergerak dan tampak kesakitan Kejang-kejang, lumpuh dan akhirnya meninggal dunia (Departemen Pertanian, 2007)
Perubahan patologi antomis
Secara patologi, perubahan patologi yang disebabkan oleh Rabies dapat dilihat secara makroskopis dan mikroskopis. Perubahan Makroskopik
Perubahan Pathologi utama dari penyakit Rabies adalah perubahan pada SPP berupa enchepalomyelitis. Temuan maksroskopis pada otak untuk rabies yang bersifat akut sangat susah untuk dilihat perubahannya. Otak hanya terlihat sedikit mengalami kebengkakan pada bagian meningeal, pembuluh darah parenkim tersumbat. Temuan lain adalah adanya perubahan pada organ-organ respirasi, dan gagal jantung. Ada pendarahan atau haemorhage atau jaringan nekrosis bukanlah hal yang biasa ditemukan dari Rabies enchepalitis (Iwasaki and Tobita, 20 02). Proses inflamasi pada otak yang mirip juga dapat diperlihatkan oleh penyakit lain seperti Japanese enchepalitis. Pada umumnya perubahan patologi secara makroskopis pada penyakit Rabies sangat bervariasi dan tidak terdapat perubahan patognomonis yang menciri terhadap Rabies (Akoso, 2007). Perubahan yang makroskopis lainnya yang sering terlihat ialah adanya perdarahan pada selaput lendir didaerah mulut disebabkan oleh gejala pika atau anjing memakan segala sesuatu yang tidak wajar dan mengigit benda-benda keras yang meyebabkan trauma disekitar mulut. Hal ini sering diikuti oleh perubahan makroskopis yang berupa temuan barang-barang asing di perut seperti kawat, kayu dan sebagainya(Akoso, 2007). Gejala klinis yang terlihat dan riwayat penyakit merupakan hal yang penting dalam menunjang proses diagnosa penyakit ini. Pembukaan jaringan selain otak tidak diperlukan karena tidak akan membantu proses diagnosis (Akoso, 2007). Risiko terjadinya pencemaran virus ke lingkungan harus menjadi perhatian. Peralatan penunjang yang baik, lengkap dan proses nekropsi yang baik akan mengurangi risiko terjadi pencemaran terhadap lingkungan.
Pengambilan sampel berupa kelenjar ludah dan hypochampus dapat dilakukan untuk menunjang diagnosa. Untuk diagnosa banding, jika diperlukan dapat dilakukan dengan pengambilan sampel jaringan lain untuk pemerikasaan lebih lanjut. Perubahan Mikroskopik
Secara histologis tdak ada perubahan secara spesifik yang terjadi pada jaringan selain pada otak, terkecuali jika diikuti komplikasi dengan penyakit lain. Secara umum akan terlihat normal tanpa ada perubahan spesifik. Perubahan yang paling signifkan atau patognomonik adalah adanya badan negeri (negri bodies) yaitu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma sel neuron yang diinfeksi oleh Rabies(Akoso, 2007). Hal yang unik lainnya yang dapat dilihat dari Rabies adalah adan ya persitensi virus dalam organ extraneural. Pada kasus-kasus Rabies yang bersifat dumb atau paralytic Rabies dengan bentuk awal dan prominent paralysis, perubahan pada saraf spinal akan sangat terlihat bahkan pada beberapa kasus organ otak juga akan terlihat perubahan denagn memeperlihatakan gejala inflamasi pada batang otak (Iwasaki and Tobita, 2002). Adanya perlakuan postexposure, vaksin Rabies dan perlakuan lainnya memungkinkan perubahan patologi yang bervariasi tetapi hal yang paling penting adalah adanya badan negri dan Nodul glial pada temuan pathologi penyakit yang disebabkan Rabies(Iwasaki and Tobita, 2002). Tidak adanya temuan badan negri pada setiap kasus dengan gejala Rabies terkadang terjadi. Hal ini disebabkan karena tidak terjaringnya badan negri dalam sampel jaringan. Keberadaan badan negri sangat jarang, sehingga penjaringan sampel yang tepat untuk Rabies dan pengamatan hewan tersangka (sampai dengan 14 hari) sangatlah penting adanya. Pengambilan sampel sebaiknya diambil pada jaringan dengan neuro besar seperti hipokampus, mesenfalon, otak kecil dan berbagai macam ganglia (Akoso, 2007) sehingga kemungkinan untuk mendeteksi adanya badan negri lebih besar. Pengujian Laboratorium
Diagnosis Rabies
Prosedur diagnosis Rabies dilakukan pada umumn ya jika terdapat laporan kasus gigitan terhadap manusia atau secara potensial terdapat kasus yang menyebabkan Rabies. Proses diagnosis pemeriksaan post mortem adalah pemeriksaan paling umum dilakukan dalam proses diagnosis Rabies. Proses pemeriksaan post mortem memberikan kontribusi yang paling bes ar dalam proses diagnostik selain berbagai metode lain untuk menunjang proses diagnosis dan gejala klinis dari hasil pengamatan serta riwayat penyakit adalah p enunjang lain dalam proses diagnosis(Trimarchi and Smith, 2002). Temuan badan negri telah menjadi hal yang paling sering menjadi acuan dalam proses diagnosa selama lebih dari 100 tahun semenjak ditemukan pertama kali oleh Adelchi Negri pada tahun 1903. Dengan perkembangan teknologi saat ini berbagai prosedur diagnosis lain berkembang
dengan tingkat spesifitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dengan melakukan deteksi pada virion dari virus, protein spesifik pada virus, dan genome RNA pada virus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung partikel virus, deteksi protein virus dengan visualisasi adanya reaksi antara antibodi yang telah dilabel dan sebagainya. Pengambilan dan Pengiriman Sampel
Koleksi dan Preservasi Sampel
Untuk mendiagnosa Rabies, selain memperhatikan riwayat penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris perlu dilakukan. Diagnosa secara laboratoris didasarkan atas penemuan antigen rabies, penemuan badan negeri dan penemuan virus rabies pada spesimen yang diperiksa. Oleh karena itu pemilihan bahan pemeriksaan serta cara pengepakan dan pengirimannya ke laboratorium adalah satu faktor penting untuk menunjang proses diagnosa. Koleksi spesimen sebaiknya diperhatikan semenjak proses euthanasia secara baik dan benar menurut kaidah-kaidah kesejahteraan hewan. Prose euthanasia sebaiknya dilakukan sehingga tidak merusak bagian kepala. Hal ini dapat dilakukan dengan injeksi barbiturate atau non barbiturate atau gas. Kemudian bangkai secepatnya didinginkan untuk menghambat proses dekomposisi dan autolysis dari otak yang dapat menggangu proses diagnosis selanjutnya(Trimarchi and Smith, 2002). Pengambilan sampel jaringan untuk prosedur diagnosis laboratorium adalah salah satu faktor yang penting. Pengambilan sampel jaringan yang tepat akan menunjang diagnosa, karena badan negri sebagai ciri patognomonis pada Rabies tidak dapat selalu ditemukan pada semua jaringan dalam tubuh tetapi pada jaringan-jarinagan syaraf besar, seperti hipokampus, ganglia, mesenfalon dan otak kecil (Akoso, 2007). Kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negeri tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah HPR. Kontaminasi pada spesimen merupakan suatu faktor yang dapat menganggu pemeriksaan dan khususnya untuk isolasi virus. Pengiriman sampel sebaiknya seharusnya dilakukan sedemikian rupa sehingga vi rus dalam spesimen tetap terjamin sampai ke laboratorium. Untuk pemeriksaan diperlukan spesimen dapat berupa bangkai, kepala atau spesimen sampel jaringan seperti hipokampus, otak kecil dan spesimen lainnya sebanyak masing-masing 3 gram atau lebih. Spesimen, kemudian dimasukkan dalam kontainer logam (kontainer pertama) ditutup rapat dan disimpan dengan kedinginan 4°C atau dibekukan sampai saat pengiriman. Untuk mendiagnosa diperlukan sebanyak 6 buah preparat, masing-masing 2 buah untuk hippocampus (terpenting) otak besar bagian luar dan otak kecil dari masing-masing otak. Menurut cara membuatnya, terdapat 3 jenis preparat yakni preparat sentuh (impression method), preparat ulas (smear method) atau preparat putar (rolling method).
Kelenjar ludah penting artinya untuk mengetahui risiko pengigitan, karena itu perlu disertakan sebagai bahan pemeriksaan. Kelenjar ludah dapat dimasukkan dalam botol spesimen. Tutup botol/vial rapat-rapat dan simpan dalam keadaan dingin. Tanda pengenal perlu disertakan/ditempelkan pada kontainer (botol/vial) yang berisi bahan pemeriksaan. Tanda pengenal berisi: Nama jaringan/organ, bahan pengawet/fixative yang dipakai, species hewan dan tanggal pengambilan. Pengepakan dan Pengiriman Sampel
Spesimen sebaiknya dijaga dalam suhu refrigerator (4-8 0C)pada saat dilakukan transport. Penggunaan gliserol sebagai media transport sebaiknya dihaindari karena akan mengurangi intensitas immunofluoresecence meskipun telah dilakukan pencucian (Lennette et al., 1965) khusunya penggunaan aseton fiksasi untuk proses konjugasi (Andrulonis and Debbie, 1976). Pendinginan yang hanya dilakukan sekali tidak akan menggangu proses diagnosis selanjutnya. Proses thawing dan pendinginanyang dilakukan berulang kali akan berefek terhadap sensitifitas dari proses diagnosis selain proses dekomposisi pada SSP juga dap at menyebabkan terganggunya proses diagnosis khususnya untuk kesalahan diagnosis menjadi negatif palsu. Untuk itu jika bangkai telah mengalami proses dekomposisi sebaiknya segera pengambilan spesimen jaringan dikirimkan ke laboratorium. Pengepakan
Tempat spesimen sebaiknya terdiri dari dua tas, di tutup dengan plastic dan stryofoam sebagai insulasi dingin sehingga spesimen dapat terjaga dalam keadaan suhu refrigerator. Tas atau kontainer pertama yang berisi kepala atau spesimen dimasukkan ke dalam tas atau kontainer ke dua yang lebih besar. Diantara ke dua tas atau kontainer diberi es batu atau dry ice. Jumlah es batu atau dry ice disesuaikan dengan jarak dan lama waktu pengiriman ke laboratorium dan besar tas atau kontainer ke dua disesuaikan dengan jumlah es yang akan dipergunakan. Setelah itu kontainer atau tas ditutup rapat-rapat dan diberi tanda pengenal. Botol/vial yang berisi potongan jaringan yang telah ditutup rapat-rapat dan tidak bocor dimasukkan kedalam kantong plastik yang berfungsi sebagai pembungkus, pencegah terlepasnya tutup dan pencegah perluasan kebocoran. Selanjutnya bahan pemeriksaan dimasukkan kedalam kaleng atau kotak yang tidak tembus air dan tahan banting. Bahan pemeriksaan kalau dikirim dalam thermos atau peti berisi es atau dry ice. Pengiriman.
Untuk mencapai hasil yang baik dan mengurangi kerusakan terhadap spesimen sebaiknya proses transport dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan secara langsung, bisa dilakukan melalui layanan pengiriman atau kurir dengan menyertakan keterangan atau surat pengantar specimen dan perlu disertakan dengan pengiriman bahan pemeriksaan dan paket diberi tulisan “paket ini berisi bahan pemeriksaan penyakit yang disangka anjing gila (rabies)”. Alamat laboratorium yang dituju dan alamat pengirim ditulis dengan jelas. Sehingga menjadi perhatian bagi penyedia
layanan kurir sehingga mengurangi risiko kontaminasi terhadap lingkungan dan mengurangi kerusakan spesimen pada saat proses transportasi. Uji yang Dilakukan
Diagnosis Rabies pada hewan dan manusia dapat dilakukan dengan 4 metode yaitu; (1) histopathology, (2) kultivasi virus, (3) serologis dan (4) deteksi antigen dari virus. Meskipun 3 metode pertama memberikan berbagai kelebihan tetapi bukan diagnosa yang bersifat cepat (rapid test)
Histopatologi, badan negeri (negri bodies) merupakan temuan yang bersifat pathognomonis pada Rabies, meskipun adanya badan negeri han ya 71% dari kasus (http://virology-online.com/, 2010). Kultivasi virus, pemeriksaan diagnosa untuk Rabies yang paling b ersifat definitif adalah Kultivasi virus. Kultivasi virus adalah proses penanaman virus didalam suatu kultur jaringan (tissue culture) dengan maksud untuk memperbanyak virus sehingga akan lebih mudah untuk diisolasi dan di identifikasi. Kultur jaringan yang biasa digunakan untuk identifikasi penyakit Rabies adalah WI-38, BHK-21 atau CER.(http://virologyonline.com/, 2010). Immuno Fluororecent (IF) adalah test (melalui Flourorescence Antibody Test (FAT)) yang biasa dilakukan melihat keberadaan antigen atau virus rabies dalam kultur jaringan. Proses kultivasi yang paling umum dilakukan dengan cara melakukan inokulasi dari saliva hewan terjangkit Rabies atau dari jaringan kelenjar saliva dan atau jaringan intracerebral yang disuntikan ked alam mencit. Mencit kemudian dilakukan observasi dan akan mengalami paralisis dan kematian dalam waktu 28 hari. Setlah mati otak mencit kemudian diperiksa untuk keberadaan viruus Rabies dengan Immuno fluororesence test. Pemeriksaan Serologis adalah pemriksaan untuk melihat suatu infeksi yang terjadi di masa lampau. Pemeriksaan serologi, prinsipnya adalah memeriksa keberadaan antibodi pada sirkulasi darah sebagai akibat dari infeksi. Jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan untu pemeriksaan serologis dalam Rabies adalah pemeriksaan dengan metode Mouse Infection Neutralization Test (MNT) atau dengan Rapid fluororescent F ocus Inhibition Test (REFIT). Dari berbagai laporan pemeriksaan Rabies dengan serologis adalah periksaan yang paling berguna dalam diagnosa (http://virology-online.com/, 2010). Deteksi virus Rabies Cepat, dalam beberapa tahun terakhir, deteksi virus dengan menggunakan tekhnik IF makin sering dilakukan. Jaringan yang potensial terinfeksi (dalam hal ini kelenjar saliva, otak (hipokampus) dan kornea mata) di inkubasi dalam fluorescence antibodi yang dilabel. Kemudian spesimen diperiksa dengan penggunaan mikroskop elektron fluororescence dengan melihat adan ya inklusi di intracytoplasmic. Pemeriksaan dengan metode ini cenderung lebih cepat jika dibandingkan dengan metode lainnya meskipun lebih banyak membutuhkan peralatan yang lebih modern seperti mikroskop elektron fluoroescence.
Diagnosa Banding
Membuat diagnosa yang dapat diandalkan berdasarkan gejala klinis sangat susah untuk dilakukan karena hampir tidak gejala patognomonis yang menciri terhadap Rabies. Secara klinis
Rabies bisa sangat susah dibedakan dengan keadaan penyakit yang menyebabkan enchepalitis yang disebabkan oleh infeksi virus yang lain. Pada manusia gejala Rabies juga bisa sangat susah dibedakan dengan Guillain-Bare syndrome, poliomyelitis, tetanus, keracunan dan obat-obatan dan penyakit virus yang menyebabkan echepalitis yang lainnya(Trimarchi and Smith, 2002). Pada hewan penyakit yang berhubungan dengan SSP lainnya umumnya juga menunjukkan gejala seperti pada Rabies. Pada kondisi lain seperi infestasi parasit dan keracunan makanan juga akan menunjukkan perubahan tingkah laku yang mana gejalanya menyerupai Rabies. Beberapa penyakit yang lebih spesifik yang menyerupai Rabies adalah:
Canine Distemper Infectious Canine Hepatitis Ajueskzy Disease Equine Viral enchephalomylitis Equine Encephalosis Penyakit-penyakit Bakterial dan Mikal yang berhubungan dengan SSP termasuk Lysteriosis dan Cryptococcosis Keracunan oleh logam berat, Chlorinate Hydrocarbon atau pestisida Benda asing pada Oesopharynk atau Esofagus dan Perlukaan akibat trauma Phycosis akut pada anjing dan kucing
V. Penanganan Penyakit Rabies adalah salah satu penyakit penting berdasarkan aspek sosial-ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kesehatan manusia dan mencegah penyebarannya ke hewan domestik dan satwa liar. Dalam mencapai tujuan itu Pemerintah mengatur dengan melaksanakan strategi dibawah ini (Departemen Pertanian, 2007):
Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular Rabies diwilayah/daerah untuk mencegah penyebaran penyakit Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber viru Rabies yang paling berbahaya. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara didaerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan menguangi kontak terhadap manusia. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit; dan Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan ko munitas yang terkait.
Adapun langkah-langkah pencegahan rabies dapat dilihat dibawah ini:
Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies. Melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak betuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera nan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.
Tindakan terhadap Korban Gigitan atau Dijilat oleh Hewan Tersangka Rabies
Luka korban hasil gigitan dibersihkan dan segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat untuk tangani dan dirawat oleh pihak medis Korban yang digigit anjing atan dijilat oleh hewan yang tersangka Rabies harus segera diberikan pengobatan anti Rabies yaitu pemberian serum anti Rabies (SAR) atau vaksinasi Rabies. Semua anjing atau HPR lainnya yang mengigit khususnya pada daerah endemis Rabies atau pun mempunyai sejarah penyakit Rabies dianggap hewan terinfeksi Rabies, untuk itu penanganan korban adalah diberikan pengobatan anti Rabies yaitu pemberian serum anti Rabies (SAR) atau vaksinasi Rabies Tangkap HPR tersangka dan lakukan pengamatan sekurang-kurang selama 14 hari Setiap penderita gigitan oleh HPR harus mendapatkan pengobatan terlebih dahulu, sampai ada kepastian apakah HPR tersangka postif atau negative terhadap Rabies. Apabila HPR tersangka negatif maka pengobatan “post exposure” dihentikan. Sebaliknya jika positif maka pengobatan dilanjutkan Apabila hewan yang menggigit itu tidak dapat ditangkap, atau tidak dapat diobservasi atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka kita berasumsi bahwa HPR tersangka adalah terinfeksi Rabies.
Tindakan terhadap Hewan Tersangka Terinfeksi Rabies
Tindakan pada hewan tersangka rabies atau menderita rabies, petugas berwenang (Dinas setempat) harus melakukan penangkapan dan melakukan eliminasi pada hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika terinfeksi Rabies). Tindakan Terhadap Hewan yang Mengigit (Departemen Pertanian, 2007)
Hewan
Tindakan
Hewan yang di vaksin Menggigit/Mencakar
Hewan yang di vaksin kontak dengan HPR
Hewan yang tidak di vaksin Menggigit/Mencakar berpemilik
Hewan yang tidak di vaksin Menggigit/Mencakar tidak berpemilik
Isolasi dan Observasi selama 14 hari Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies Isolasi dan Observasi selama 14 hari Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies Isolasi dan Observasi selama 14 hari Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies
Anjing dieliminasi dan diambil spesimen untuk peneguhan diagnosa
Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka hewan tersangka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dilakukan eliminasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila tidak ada pemilikinya. Pelaporan Rabies
Apabila terjadi kasus gigitan oleh HPR, Kepala Desa harus segera melaporkan kepada Camat dan atau petugas Peternakan didaerah setempat. Camat setelah menerima laporan dari kepala desa/ Lurah tentang adanya kasus gigitan rabies pada hewan harus segera melaporkan kepada Bupati/Walikota didaerah tersebut. Petugas peternakan di Kecamatan setelah menerima laporan dari kepala desa dan pimpinan unit kesehatan setempat tentang adanya kasus gigitan oleh HPR harus segera melaporkan kepada kepala Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan Kabupaten/Kotamadya.
Kepala Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan di Kabupaten/Kotamadya setelah menerima laporan harus segera melaporkan kepada Bupati/Walikota madya. Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan setelah melakukan pemeriksaan klinis atau menerima hasil pemeriksaan laboratorium dari spesimen yang berasal dari HPR harus segera melaporkan kepada unit Kesehatan yang melakukan perawatan penderita. Instansi-instansi pemerintah seperti Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan dan Buoatiu atau Walikota setelah laporan untuk selanjutnya melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pimpinan Unit Kesehatan yang merawat orang yang digigit atau dijilat hewan yang tersangka rabies harus segera melaporkan kepada Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan setempat. Pimpinan Unit Kesehatan yang dimaksud selanjutnya melaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Pengendalian dan Pemberantasan
Vaksin Rabies
Vaksinasi Rabies adalah salah satu tindakan pencegahan dalam proses kontrol dan pemberantasan Rabies. Vaksinasi adalah tindakan yang dianggap paling efektif dalam melaksanakan kontrol dan pemberantasan Rabies serta menurunkan tingkat kasus gigitan oleh HPR kepada manusia. Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Selanjutnya vaksin tersebut dikembangkan oleh Louis Pasteur pada tahun 1880 dalam studinya untuk mencegah penularan Rabies kepada manusia. Vaksin ini dikembangkan dengan metode yang cukup sederhana jika dibandingkan dengan produksi pada saat ini yaitu dengan mengambil virus dari jaringan syaraf pada tulang belakang hewan terinfeksi Rabies kemudian diberikan melalui inokulasi intracerebral kepada kelinci secara serial dalam waktu spesifik tertentu. Kemudian virus diambil dan disuntikkan sebagai vaksin ke anjing dalam beberapa waktu spesifik tertentu dan di challenge dengan Rabies. Pasteur pada percobaan ini menemukan bahwa inokulasi intracerebral virus secara serial kepada monyet dengan virus yang berasal dari anjing yang terinfeksi. Masa Inkubasi akan meningkat dan virulensi dari virus berkurang atau menurun. Dengan berkembangnya cara pengembangbiakan virus dengan biakan sel, Naguchi pada tahun 191 3 dan Levaditi pada tahun 1914 berhasil membiakan virus rabies secara in vitro pada biakan gel. Produksi vaksin beberapa decade setelah metode pengembangan yang ditemukan oleh Pasteur adalah metode Nerve Tissue Origin (NTO) vaksin yang dilakukan inaktivasi oleh phenol, tetapi vaksinasi dengan menggunakan Vaksin NTO inaktif ini juga mengalami post vaksinasi yang cukup siginifikan, yaitu gejala syaraf hingga kematian. Kemudian berbagai metode pengembangan vaksin pun berkembang hingga sekarang, seperti Modified Live Virus Vaccines dan Killed Cell Culture Rabies Vaccines (Briggs et al., 2002).
Meskipun efikasi dan keamanan vaksin dengan metode baru berkembanag tetapi penggunaan metode NTO tetap banyak dipakai pada Negara-negara Asia dan masih memproduksi vaksinvaksin ini sehingga korban membutuhkan kunjungan beberapa kali ke rumah sakit dan mempunyai efek samping yang cukup signifikan. Modified Live Virus Vaccines (MLV)
Vaksin Rabies aktif (Live Vaccines) dihasilkan dari virus Flury and Kelev strain yang dikembang dalam sel telur bertunas berembrio (CEO=Chicken Embryonated Eggs), The Street Alabama Dufferin (SAD) yand dikembangkan dalam jaringan ginjal hamster dan EvelynRokitnicki-Abelseth (ERA) strain yang menggunakan ginjal babi. Prosedur diatas adalah prosedur yang sering digunakan untuk memproduksi Rabies MLV. Berbagai metode pun berkembang dalam memproduksi MLV vaksin tetapi strain yang dikembangkan dengan metode CEO, ERA dan SAD adalah MLV vaksin strain yang digunakan secara luas di Asia dan Afrika dan juga sebagain dari Eropa (Briggs et al., 2 002). Meskipun penggunaan MLV masih sering digunakan tetapi penggunaan vaksin inaktif (killed vaksin) juga telah berkembang diberbagai Negara yang masih menerapkan MLV vaksin. Killed Cell Culture Rabies Vaccines
Vaksin inakfit memerlukan jumlah virus yang sangat ban yak. Hal ini diatasi dengan pengembangan metode baru yaitu pengembang biakan virus dalam jaringan otak d ari kelinci, ginjal anak hamster, sel otak marmot, SMB dan CEO dan juga substraat yang lain oleh strainstrain virus seperti CVS-11, PM-NIL 2 dan PV-BHK 2. Proses inaktivasi virus yang dikembangkan dilakukan dengan menggunakan sinar UV, Agen inaktivasi β-propiolactone (BPL), acethyllethyleneimine dan amines lainnya. Penggunaan formadehyd dan phenol sudah tidak direkomendasikan. Yang paling sering digunakan adalah agen inaktivasi BPL. Jika telah di inaktivasi kemudian adjuvant akan ditambahkan untuk meningkatakan respon imun dari inang. Adjuvant yang paling sering digunakan adalah saponin, aluminium hidroksida, alumunium phosphate dan minyak adjuvant (Briggs et al., 2002) Jika dilihat dari tipe pemberian vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis:
Vaksin parenteral (melalui otot (intra muscular) dan melalui jaringan dibawah kulit (intra sub-cutaneous)), adalah vaksin yang paling umum digunakan untuk hewan-hewan potensial mendapatkan Rabies dan berpemilik (ada dalam pengawasan pemilik). Vaksin Oral adalah jenis vaksin alternatif yang banyak digunakan dalam tindakan pencegahan Rabies pada satwa liar.
Di Indonesia, vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967 oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya yang pad a saat itu masih bernama lembaga virologi kehewanan (LVK), menggunakan fixed virus rabies. Sebagai media untuk membiakkan virus rabies digunakan otak kambing/domba umur 3 bulan. Otak yang ditumbuhi virus digerus, dibuat suspensi kemudian diinaktifkan dengan phenol 0, 5%. Vaksin jenis ini disebut vaksin rabies
sampel yang selanjutnya diberi nama paten Rasivet Aplikasi vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml. Masa kebal vaksin rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan. Pada tahun 1983, metode baru dikembangkan. Metode baru ini menggunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies. Virus yang digunakan yaitu virus rabies galar Pastuer yang dibiakan pada kultur sel ginjal anak hamster (BHK 21), dengan bahan inaktif berupa 2-Bromo Ethylamin (BEA). Sel BHK 21 seperti yang din yatakan Bear (1975) merupakan sel yang paling peka untuk pembiakan virus rabies. Setelah melalui rangkaian percobaan, pada tahun 1984, Pusvetma mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat pembiakan virus. Vaksin baru ini diberi nama “Rabivet”. Vaksin Rabivet mempunyai kelebihan dibandingkan dengan vaksin sebelumnya, rasivet yaitu:
Rabivet tidak mengandung jaringan syaraf dan kandungan proteinnya lebih rendah sehingga efek samping berupa alergi dan paralisa non spesifik sangat dikurangi. Mudah diproduksi secara besar-besaran. Harga satuan lebih rendah. Pencemaran lingkungan dan resiko tersebarnya virus sangat rendah. Rabies mempunyai masa kekebalan yang lebih lama.
Pengobatan
Tindakan vaksinasi dan pemberian serum anti rabies sebagai tindakan post exposure treatment (PET) telah meningkatkan keberhasilan pengobatan bagi korban terutama manusia yang terkena gigitan dan berisiko.
C. PENYEBAB Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melaui gigitan dan kadang melalui jilatan. Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk lewat gigitan, selama 2 minggu virus akan tetap tinggal pada tempat masukdan disekitrnya. Kemudian, virus akan bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterios tanpa menunjukan perubahan-perubahan fungsinya. Sesampainya di otak , virus akan memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuronneuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbic, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian bergerak kea rah perifer dalam serabut saraf eferen,
volunteer dan otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hamper tiap organ dan jaringan di dalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringab seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya. Banyak hewan yang bias menularkan rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing, hewan yang lainnya juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah kucing, kelelawar, rakun, sigung, dan rubah. Rabies pada anjing masih sering ditemukan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia bahkan sekarang di Indonesia kasus rabie ini mulai muncul dan sudah banyak memakan korban. Ini disebabkan kareni tidak semua hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi untuk penyakit ini. Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas atau rabies jinak. Pada rabies buas, hewan yang terkena tampak gelisah dan ganas, kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak, sejak awal telah terjadi kelumpuhan local atau kalumpuhan total.
D.
FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
PENULARAN
a. Virus di air liur (saliva) pengigit : hewan yang positif Rabies belum tentu menularkan Rabies melalui gigitan karena hanya 50 sampai 90% dari hewan yang mati
karena
rabies
mengandung
virus
Rabies
dalam
salivanya.
b. Kepekaan species hewan : adalah suatu kenyataan bahwa satu species akan lebih tahan terhadap Rabies daripada species lainnya. Faktor yang mempengaruhi kepekaan hewan terhadap infeksi Rabies adalah umur hewan, cara infeksi dan sifat virus. c. Tempat gigitan : bila orang atau hewan tergigit di tangan (kaki depan), kepala atau leher maka ia akan mudah dan/atau lebih cepat terkena rabies. Hal ini terjadi bukan karena jauh atau dekatnya tempat gigitan tersebut dengan susunan syaraf pusat (CNS), tetapi karena lebih banyaknya jumlah syaraf perifer yang ada di bagian bagian tersebut sehingga memudahkan penyebaran virus karena sifat neurotropik
dari
virus
Rabies.
d. Pengobatan anti Rabies : hewan atau orang yang mendapatkan pengobatan antirabies, baik untuk pencegahan atau untuk pengobatan dengan serum akan menjadi lebih resisten terhadap infeksi.
E . GEJALA KLINIS 1.
Pada Hewan Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
a)
Stadium Prodromal Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
b)
Stadium Eksitasi Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal , bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
c)
Stadium Paralisis. Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
F. TANDA-TANDA PENYAKIT RABIES PADA HEWAN Gejala penyakit dikenal dalam 3 bentuk : o Bentuk ganas (Furious Rabies) Masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda terlihat. Tanda-tanda yang sering terlihat : Hewan menjadi penakut atau menjadi galak
Senang bersembunyi di tempat-tempat yang dingin, gelap dan menyendiri tetapi
dapat menjadi agresif Tidak menurut perintah majikannya
Nafsu makan hilang
Air liur meleleh tak terkendali
Hewan akan menyerang benda yang ada disekitarnya dan memakan barang, benda-
benda asing seperti batu, kayu dsb. Menyerang dan menggigit barabg bergerak apa saja yang dijumpai
Kejang-kejang disusul dengan kelumpuhan
Ekor diantara 2 (dua)paha
o Bentuk diam (Dumb Rabies) Masa eksitasi pendek, paralisa cepat terjadi. Tanda-tanda yang sering terlihat : Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk
Kejang-kejang berlangsung sangat singkat, bahkan sering tidak terlihat
Lumpuh, tidak dapat menelan, mulut terbuka
Air liur keluar terus menerus (berlebihan)
Mati
o Bentuk Asystomatis
Hewan tidak menunjukan gejala sakit
Hewan tiba-tiba mati
2.
Pada Manusia Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
a)
Stadium Prodromal Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
b)
Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
c)
Stadium Eksitasi Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
d)
Stadium Paralis Sebagian
besar
penderita
rabies
meninggal
dalam stadium
eksitasi.
Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif . Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
Gejala
Rabies
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya sangat bervariasi dari 10 hari sampai 1 tahun. Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan, dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan pada daerah otot yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba minum air bisa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum. Karena hal inilah, maka penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air). Pada salah satu sumber menyebutkan beberapa ciri-ciri dari korban yang telah terinfeksi virus rabies diamana korban tersebut akhirnya meninggal akibat terlambat mendapat pertolongan, yaitu : a.
Keluar keringat yang deras
b.
Dada sakit seperti tertusuk-tusuk dan sakit
c.
Sesak nafas
Identifikasi
Suatu penyakit encephalomyelitis viral akut dan fatal; serangan biasanya dimulai dengan perasaan ketakutan, sakit kepala, demam, malaise, perubahan perasaan sensoris, pada bekas gigitan binatang. Gejala yang sering muncul adalah eksitabilitas dan aerophobia. Penyakit ini berlanjut kearah terjadinya paresis atau paralisis, kejang otot-otot menelan menjurus kepada perasaan takut terhadap air (hydrophobia), diikuti dengan delirium dan kejang. Tanpa intervensi medis, basanya berlangsung 2-6 hari dan kadang-kadang lebih, 428 kematian biasanya karena
paralisis
pernafasan.
Diagnosa ditegakkan dengan teknik pewarnaan FA yang spesifik terhadap jaringan otak atau dengan isolasi virus pada tikus atau sistem pembiakan sel. Diagnosa presumptive dapat ditegakkan dengan teknik pewarnaan FA spesifik dari potongan kulit yang dibekukan diambil dari kuduk kepaa bagian yang berambut. Diagnosa serologis
didasarkan
pada
tes
neutralisasi.
Agen penular
Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. Semua anggota genus ini mempunyai persamaan antigen, namun dengan teknik antibodi monoklonal dan nucleotide sequencing dari virus menunjukkan adanya perbedaan tergantung spesies binatang atau lokasi geografis darimana mereka berasal. Virus yang mirip dengan rabies yang ditemukan di Afrika (Mokola dan Duvenhage) jarang menyebabkan kesakitan pada manusia mirip seperti rabies dan jarang yang fatal. Lyssavirus baru telah ditemukan pertama kali pada tahun 1996, pada beberapa spesies dari Flying fox dan kelelawar di Australia dan telah menyebabkan dua kematian pada manusia dengan gejala penyakit seperti rabies. Virus ini untuk sementara diberi nama ”Lyssavirus kelelawar Australia”. Virus ini mirip dengan virus rabies namun tidak identik dengan virus rabies klasik. Sebagian penderita penyakit yang disebabkan oleh virus yang mirip rabies inim dengan teknik pemeriksaan standard FA test kemungkinan didiagnosa sebagai rabies. Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain rakun (Procyon lotor) dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies yang masih tinggi Hewan
perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia melalui gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada kulit yang terluka. Setelah infeksi, virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke sumsum tulang belakang dan otak dan bereplikasi di sana. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air
liur.
kejadian
Tersebar di seluruh dunia, dengan perkiraan 35.000 – 40.000 kematian per tahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Dari tahun 1980 sampai dengan 1997, di Amerika Serikat, 36 kematian pada manusia oleh karena rabies telah dilaporkan; 12 diantaranya kemungkinan didapat di luar Amerika Serikat. Dari mereka yang diduga terinfeksi di Amerika Serikat, lebih dari separuh meninggal karena rabies yang dikaitkan dengan kelelawar. Sejak tahun 1950 kematian manusia karena rabies secara bertahap menurun, sebagai hasil dari pemberian imunisasi rabies secara rutin kepada anjing dan kucing dan meningkatnya efektivitas pengobatan prophylaxis pasca paparan. Rabies adalah penyakit yang terutama menyerang binatang. Daerah dengan populasi binatang yang saat ini bebas dari rabies hanyalah Australia, New Zaeland, Papua Nugini, Jepang, Hawaii, Taiwan, Oceania, United Kingdom, Irlandia, Iceland, Norwegia, Swedia, Finlandia, Portugal, Yunani, India bagian Barat dan Kepulauan Atlantik. Urban (atau Canine) rabies ditularkan oleh anjing, sedangkan sylvatic rabies adalah penyakit carnivora liar dan kelelawar, yang menular secara sporadis kepada anjing, kucing dan ternak. Di Eropa, rabies rubah menyebar luas, namun telah menurun sejak tahun 1978 pada saat imunisasi dengan vaksin rabies oral dimulai; Di Eropa Barat, jumlah kasus rabies menurun drastis sejak tahun 1992, kecuali rabies pada kelelawar. Sejak tahun 1986 kasus rabies kelelawar telah dilaorkan dari Denmark, Belanda dan Jerman
Barat. Di Amerika Serikat dan Kanada rabies liar sering melibatkan racoon, musang (skunk), rubah, coyotes dan kelelawar. Telah terjadi epizootik progresif diantara racoon di Amerika Serikat bagian Tenggara sejak lebih dari satu dekade dan sekarang telah mencapai New Enland, dan saat ini diantara coyotes dan anjing di Texas Selatan telah terjadi penyebaran virus ke binatang domestik dan umumnya adalah kepada kucing. Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika Selatan,Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih seringdaripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan,dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%.
Dilaporkan oleh WHO, setiap tahunnya kurang lebih ditemukan 40.000 kasus. Di Columbia hampir 2% penderita yang di otopsi menggambarkan suatu rabies. Di Amerika Serikat lebih dari 25 orang pertahun pada tahun 1940an tapi sejak tahun 1960 terdapat penurunan yakni hanya 6 orang pertahun. Di Amerika Serikat, pria lebih banyak dari wanita (1-4,6) pada penelitian ini ditemukan pria lebih banyak daripada wanita yakni pria sebanyak 4 orang (80 %) dan wanita hanya 1 orang (20%). Dengan kelompok umur terbanyak antara 61-70 tahun pada 2 orang (40%), 31-40 tahun pada 1 orang. (20%).
Kasus gigitan hewan penular rabies yang tahun 2009 tercatat 21.806 kasus, selama 2010 sampai 7 Oktober lalu melonjak menjadi 43.174 kasus. Adapun korban meninggal melonjak dari 28 orang pada tahun 2009 menjadi di atas 70 orang selama 2010.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus gigitan hewan penular rabies meningkat pesat dua tahun belakangan ini. Pada tahun 2008, kasus gigitan hewan penular rabies 20.926 kasus dan 104 orang meninggal karena rabies. Pada tahun 2009, jumlah gigitan naik menjadi 42.106 kasus dengan jumlah orang yang meninggal karena rabies 137 orang. Tahun 2010 hingga bulan Agustus, jumlah korban gigitan hewan penular 40.180 kasus dengan kematian 113 orang.
Tahun 2010, terjadi pula kejadian luar biasa rabies di Pulau Nias dan daerah Maluku Tenggara
yang
sebelumnya
tidak
pernah
terdapat
rabies.
Sejauh ini, terdapat 24 provinsi yang melaporkan kasus rabies di daerahnya dan hanya sembilan provinsi bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua,
dan
Papua
Barat.
Reservoir
Sebagai reservoir adalah berbagai Canidae domestic dan liar, seperti anjing, serigala, coyote, rubah, dan mamalia menggigit lainnya. Kelelawar frugivorous (pemakan buah) dan insectivorous (pemakan serangga) ditemukan di Amerika Serikat dan Kanada bahkan Eropa. Di Negara berkembang Anjing tetap menjadi reservoir utama.
2.6
Cara penularan
Penyakit rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Kuman yang terdapat dalam air liur binatang ini akan masuk ke aliran darah dan menginfeksi tubuh manusia.
Binatang yang sering menderita rabies adalah anjing, kucing, kelelawar dan kera. Selain lewat gigitan, rabies juga dapat ditularkan melalui mata, hidung, mulut dan luka yang terkontaminasi oleh air liur binatang yang terjangkit rabies. Penularan lewat cara ini sangat jarang terjadi, umumnya penularan melalui gigitan. Sedangkan penularan rabies dari manusia ke manusia sampai saat ini belum ada bukti maupun penelitian yang dapat membuktikannya, meskipun ada teori yang menyatakan bahwa rabies dapat ditularkan dari orang ke orang namun pada kenyataannya tidak dapat dibuktikan Kerentanan dan ketahanan
Semua hewan yang berdarah pans adalah hewan rentan dan ketahanan manusia tergantung dari daya tahan tubuh yang dimiliki. Semua mamalia rentan terhadap rabies dengan berbagai tingkatan yang sangat dipengaruhi oleh strain virus. Manusia paling resisten terhadap infeksi dibandingkan dengan banyak spesies binatang, hanya sekitar 40% dari orang Iran yang dipastikan digigit binatang yang menderita rabies berkembang menjadi sakit.
G. PATOFISIOLOGI virus rabies masuk kedalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebasar 50:1. Virus rabies tidak bisa menemus kulit yang utuh. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokolasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion
sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin dapat menghambat secara efektif transport akson tipe cepat tersebut. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi Genom RNA untai direkam oleh polymerase RNA terkait, varion menjadi lima sepsis mRNA. Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan pembentukan RNA keturunan RNA genomic berhubungan dengan transkriptase virus, fosfoprotein dan nukleuprotein. Setelah enkapsidasi, partikel berbentuk peluru mendapat selubung melalui pertusan yang melalui sla put plasma. Protein matriks virus membentuk lapisa pada sisi dalam seubung. Sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatuh diri kembali dan membentuk virus baru yang
menginfeksi
inang
yang
lainnya,
ke mud ian mel anjutkan
diri bergerak secara sentripetal sebagai sub viral, tanpa nukleoplasmid menuju jaringan otak. Setelah
melewati
medulla
spinalis
virus
akan
menginfeksi
tegmentum batang otak dan nukleus selebralis batang otak selanjutanya virus akan menyebar ke sel purkinya selebrum, diencephalon, ba sal ganglia dan akhirnya menunju hipokampus terjadi lebih lambat dengan girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi. Virus rabies tidak bias menginfeksi sel granuler pada girusdentatus yang sebagian besar mengandung reseptor AMPA dan Kinate Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi
khususterhadap sel-sel sistim limbik, hipotalamus, dan batang o tak. Khusus mengenaisystem limbik dimana berfungsi erat dengan pengontrolan dan kepekaan emosi. Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbic ini, pasien akan mengigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut aferen dan pada serabut saraf volunteer maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multiorgan melalui neuron otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung ja wa b at as in feksi pad a ke le njar lu da h, kul it , ja nt ung , dan org an la in. Replikasi di luar saraf terjadi pada kelenjar ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasi bergantung pada latar belakang genetic inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inag, jumlah nokulen, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari t itik masuk ke susunan sarf pus at . Ga mbara n yang pal ing menon jo l da lam in fe ks i ra bi es ad al ah terdapatnya badan negri yang khas terdapat dalam sitoplasma sel ganglion bes a. Masa Inkubasi Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi tergantung pada umur pasien, latar belakang genetic, status immune, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu. Masuknya ke susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada
gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan ditangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari. H. EPIDEMIOLOGI
1.
Berdasarkan Orang Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies, kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.
2.
Berdasarkan Tempat Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap darah (vampir ), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila. Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).
3.
Berdasarkan Waktu Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim.
I. PENANGANAN 1.
Pencegahan
Strategi biaya yang paling efektif untuk mencegah rabies pada orang adalah dengan menghilangkan rabies pada anjing melalui vaksinasi. Vaksinasi hewan (kebanyakan anjing) telah mengurangi jumlah manusia (dan hewan) kasus rabies di beberapa negara, khususnya di Amerika Latin. Namun, kenaikan terbaru dalam kematian rabies pada manusia di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa rabies adalah ulang muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius. Mencegah rabies pada manusia melalui kontrol rabies anjing piaraan adalah tujuan yang realistis bagi sebagian besar Afrika dan Asia, dan dibenarkan finansial dengan tabungan masa depan penghentian profilaksis pasca pajanan bagi orang-orang. Kasus zoonosis yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, cara penanganannya dan pencegahannya ditujukan pada hewan penularnya. Pada manusia, vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya. 2.
Pengobatan
Pada hewan tidak ada pengobatan yang efektif, sehingga apabila hasil diagnosa positif rabies, diindikasikan mati/euthanasia. Sedangkan pada manusia dapat dilakukan pengobatan Pasteur, pemberian VAR dan SAR sesuai dengan prosedur standar operasi (SOP)
J. PENANGGULANGAN
Tindakan
Penanganan
Kasus
Setiap penderita kasus gigitan oleh hewan penular rabies harus diduga tersangka rabies, tindakan yang harus dilakukan adalah:
Pertolongan pertama terhadap penderita gigitan:
Gigitan sebagai
1. Luka gigitan dicuci dengan detergen selama 5-10 menit, keringkan dan diberi yodium tinture atau alcohol 70% 2. Penderita di bawah ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk penanganan lebih lanjut.
Kejadian penggigitan dilaporkan ke petuga Dinas Peternakan/Pertanian setempat.
Hewan yang menggigit harus ditangkap dan dilaporkan ke Dinas Peternakan/Pertanian untuk diobeservasi. Diamati selama 14 hari, jika hewan mati dengan gejala rabies dalam masa masa obeservas maka hewan tersangka dinyatakan positif rabies
Apabila dalam masa observasi hewan tetap sehat maka hewan tersebut divaksinasi anti rabies dan dikembalikan pada pemiliknya atau dibunuh bila tidak ada pemilik.
Peraturan perundang-undangan tentang rabies yakni tahun 1926 pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang rabies pada anjing, kucing, dan kera. Yaitu Hondsdol heid Ordonantie Staatblad No. 452 tahun 1926 dan pelaksanaannya termuat
dalam
Staatblad
No.
452
tahun
1926.
Untuk pengendalian, saat ini, WHO telah mengendalikan penularan rabies dengan melakukan pemberian vaksin ke beberapa negara berkembang, meskipun dalam jumlah yang terbatas.Vaksin immunoglobulin (antibodi) yang direkomendasikan untuk kasus rabies kategori III memiliki harga yang mahal dan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas. Oleh karena itu, WHO memberikan vaksin immunoglobulin rabies yang berasal dari kuda (purified equine immunoglobulin) untuk digunakan sebagai campuran immunoglobulin manusia untuk menutupi kekurangan
vaksin
di
beberapa
negara
ini.
Vaksinasi rabies pada manusia direkomendasikan kepada para pelancong yang tinggal atau bepergian ke negara endemik rabies selama lebih dari 30 hari. Vaksinasi pra-penularan tidak begitu saja mencegah penularan rabies, namun vaksinasi pra penularan ini harus diikuti dengan tindakan pasca-penularan, yaitu dengan pemberian vaksin immunoglobulin untuk rabies. Selain para pelancong, vaksin rabies juga direkomendasikan kepada orang-orang yang aktivitasnya beresiko untuk tertular rabies, seperti pemburu, penjaga hutan, pekerja laboratorium, breeder anjing, pekerja pemotongan hewan, dan dokter hewan. Orang-orang yang beresiko ini harus secara rutin melakukan pemeriksaan kesehatan setiap 2 tahun untuk memeriksakan tingkat kekebalan tubuhnya atau untuk mendapatkan vaksin rabies. K. USAHA PERTOLONGAN PERTAMA RABIES
Menurut Depkes (2000), setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin, untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan. Pengobatan luka gigitan meliputi: Pertolongan pertama: Usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah atau lainnya). Tetapi, walaupun pencucian luka sudah dilakukan, harus dicuci kembali lukanya di puskesmas
atau
rumah
sakit.
Pengobatan luka secara khusus (dengan pengawasan dokter) Berdasarkan rekomendasi dari WHO pengobatan luka secara khusus sebagai berikut: 1.
Lakukan pencucian seperti di atas
2.
Semprotkan serum anti rabies ke dalam luka dan infiltrasikan serum tersebut di sekitar luka.
3.
Luka jangan segera dijahit, tapi jika perlu luka jahitan lakukanlah infiltrasi dengan serum anti rabies di sekitar luka.
4.
Berikan pencegahan terhadap tetanus bila ada indikasi dan antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder dengan kuman.
L. MASA INKUBASI L. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi tergantung pada umur pasien, latar belakang genetic, status immune, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu. Masuknya ke susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan ditangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari.
Pengobatan Rabies Penanganan rabies tergantung kepada status penyakit tersebut, apakah virus masih pada tahap inkubasi atau sudah menunjukkan gejala. Jika belum menunjukkan gejala, maka rangkaian pengobatan yang disebut profilaksis pasca pajanan harus dilakukan guna mencegah virus berkembang ke tahap gejala. Penanganan profilaksis pasca pajanan terdiri dari tiga tahap. Pertama adalah pembersihan luka. Gigitan hewan pembawa rabies harus segera dibersihkan. Gunakan air bersih yang mengalir untuk membersihkan luka. Setelah itu pakailah antiseptik atau alkohol untuk mensterilkan luka tersebut. Anda juga bisa menggunakan etanol atau larutan yodium jika ada. Biarkan luka tetap terbuka. Sangat tidak diperbolehkan untuk menjahit luka tersebut karena dikhawatirkan ujung saraf akan terekspos virus rabies. Pergilah ke klinik kesehatan atau rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Tahap penanganan profilaksis pasca pajanan yang kedua adalah pemberian immunoglobulin rabies sebagai persiapan khusus antibodi. Immunoglobulin rabies ini disebut juga sebagai serum anti rabies (SAR). Setelah dokter mendengar penjelasan Anda dan memperkirakan bahwa Anda
kemungkinan besar terjangkit virus rabies, maka Anda akan disuntik terlebih dahulu dengan immunoglobulin rabies , misalnya pada keadaan gigitan hewan pembawa virus rabies yang menyebabkan luka besar pada penderita. Jenis SAR yang paling utama digunakan saat ini adalah serum homolog yang dibuat dari serum darah manusia. Apabila serum homolog tidak tersedia, maka biasanya dokter akan memberikan serum heterolog yang dibuat dari serum darah kuda sebagai penggantinya. Immunoglobulin berfungsi sebagai antibodi yang dapat menetralkan virus rabies dan mencegah virus tersebut menyebar ke sistem saraf. Mengenai efek sampingn ya, immunoglobulin hanya menimbulkan rasa sakit sementara di beberapa titik suntikan. Tahap penanganan profilaksis pasca pajanan yang ketiga adalah pemberian serangkaian vaksinasi rabies. Dokter akan tetap memberikan Anda vaksinasi rabies meski Anda sudah pernah mendapatkannya. Dengan kata lain vaksinasi rabies selalu diberikan pada tiap kasus yang berisiko tinggi. Anda akan menerima empat suntikan vaksin rabies jika belum pernah divaksinasi sebelumnya. Dua suntikan diberikan langsung segera setelah terpapar dengan gigitan,sisanya masing-masing diberikan pada hari ke-7 dan ke-21. Bagi pasien yang pernah divaksinasi rabies, dokter hanya akan memberikan dua suntikan vaksin. Suntikan pertama diberikan di awal pengobatan, dan suntikan kedua diberikan tiga hari kemudian. Ada beberapa jenis vaksinasi rabies (VAR), di antaran ya adalah vaksin jaringan saraf, vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC) , vaksin sel diploid manusia (HDCV), dan vaksin sel ve ro yang dimurnikan (PVRV). Yang membedakan seluruh vaksin tersebut adalah sampel sebagai bahan pembuatnya. Vaksin jaringan saraf dibuat dengan menggunakan sampel saraf otak hewan, vaksin PCEC dibuat dengan menggunakan sampel embrio ayam, vaksin HDCV dibuat dengan menggunakan sampel sel manusia, dan vaksin PVRV dibuat dari sampel sel epitel yang terdapat pada ginjal monyet hijau Afrika. Jenis-jenis VAR yang disarankan oleh Badan Kesehatan Dunia atau WHO antara lain HDCV, PCEC, dan PVRV. Di Indonesia, PVRV adalah salah satu VAR yang sering digunakan. Vaksin jaringan saraf tidak termasuk yang direkomendasikan karena setelah diteliti, vaksin tersebut dapat menyebabkan cacat permanen, seperti kelumpuhan otot. Kendati begitu, peluang untuk terjadinya komplikasi serius sangatlah kecil. Bila tidak ada vaksin lain (HDCV, PCEC, PVRV), vaksin jaringan saraf tetap harus diberikan. Efek samping vaksin rabies
Umumnya efek samping yang timbul setelah pemberian vaksin rabies hanya berupa rasa sakit, bengkak, serta warna kemerahan pada bagian tubuh yang disuntik. Namun efek samping tersebut biasanya tidak berlangsung lama, yaitu hanya terasa 1-2 hari setelah disuntik. Pencegahan rabies dengan profilaksis pasca pajanan
Meski hingga saat ini belum ada laporan mengenai seseorang yang tertular rabies akibat berada dekat dengan pasien rabies atau terjadi kontak dengan pasien rabies, namun secara teori ada kemungkinan hal tersebut bisa terjadi. Karena itu bagi yang berada dekat dengan pasien rabies, terutama keluarga pasien atau dokter yang menangani, dianjurkan untuk melakukan prosedur profilaksis pasca pajanan sebagai pencegahan. Penanganan rabies yang sudah memasuki tahap gejala
Jika rabies terlambat ditangani dan sudah masuk t ahap munculnya gejala, itu artinya rabies sudah tidak dapat diobati lagi dan risiko kematian telah mengintai. Dalam kondisi ini, dokter biasanya hanya akan memberikan penanganan yang sifatnya menenangkan bagi pasien. Sebagai contoh, dokter akan memberikan obat penenang bahkan obat bius agar pasien tidak meronta-ronta dan agar pasien tidak menderita akibat sakit yang dirasakannya Symptoms
The incubation period for rabies is typically 1 – 3 months, but may vary from <1 week to >1 year, dependent upon factors such as location of rabies entry and rabies viral load. The initial symptoms of rabies are fever and often pain or an unusual or unexplained tingling, pricking or burning sensation (paraesthesia) at the wound site. As the virus spreads through the central nervous system, progressive, fatal inflammation of the brain and spinal cord develops. Two forms of the disease can follow. People with furious rabies exhibit signs of hyperactivity, excited behaviour, hydrophobia (fear of water) and sometimes aerophobia (fear of flying). After a few days, death occurs by cardiorespiratory arrest. Paralytic rabies accounts for about 30% of the total number of human cases. This form of rabies runs a less dramatic and usually longer course th an the furious form. The muscles gradually become paralyzed, starting at the site of the bite or scratch. A coma slowly develops, and eventually death occurs. The paralytic form of rabies is often misdiagnosed, contributing to the under-reporting of the disease. Post-exposure prophylaxis (PEP)
Post-exposure prophylaxis (PEP) means the treatment of a bite v ictim that is started immediately after exposure to rabies in order to prevent rabies from entering the central nervous system which would result in imminent death. This consists of:
local treatment of the wound, initiated as soon as possible after exposure; a course of potent and effective rabies vaccine that meets WHO standards; and the administration of rabies immunoglobulin (RIG), if indicated.
Effective treatment soon after exposure to rabies can prevent the onset of symptoms and death. Local treatment of the wound