REFERAT BEDAH PLASTIK
PENGARUH REACTIVE OXYGEN SPECIES (ROS) PADA PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Disusun oleh: Debby Nirma Sari S.
G99181018
Annisa Julia N.
G99172003
Pembimbing: Amru Sungkar, dr., Sp.B, Sp.BP-RE
KEPANITERAAN ILMU BEDAH/SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2018
0
BAB I PENDAHULUAN
Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang kompleks yang ditandai dengan adanya serangkaian peristiwa yang terjadi pada hampir semua jenis kerusakan jaringan mulai dari goresan kulit sampai infark miokard yang pada awalnya menimbulkan peradangan sampai nantinya terjadi perbaikan dari jaringan yang mengalami kerusakan akibat cedera tersebut. Pada fase awal reaksi inflamasi , neutrofil dan makrofag akan masuk ke dalam jaringan yang mengalami cedera atau luka akibat adanya berbagai faktor kemotaktik. Sel-sel ini akan meproduksi Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang dapat memberikan efek menguntungkan maupun merugikan pada jaringan sekitarnya. Selain diproduksi oleh neutrofil, ROS yang dapat memberikan efek bakterisidal ini juga diproduksi oleh sel yang sedang mengalami proliferasi serta mempunyai peranan yang penting dalam intraseluler signaling sebagai tanggapan adanya berbagai rangsangan ekstraseluler, sebagai contoh Hidrogen peroksida akan terlihat dalam jumlah terbatas dan menginduksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada proses penyembuhan luka yang akan terekspresi
dalam
keratinosit
serta mendukung juga peningkatan
angiogenesisnya. Sebaliknya produksi ROS yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan mengganggu proses penyembuhan luka. Enzim phosphotyrosine fosfatase dan antioksidan dengan berat molekul rendah seperti glutathione memegang peranan penting dalam regulasi redoks selular terhadap homeostasis seluler yang terjadi karena produksi ROS yang berlebihan dapat mengganggu fungsi komunikasi antar sel dan akhirnya mempengaruhi proses penyembuhan luka (Luchi, 2010; Vermeij, W.P., Backendorf, C., 2010).
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyembuhan Luka (Wound Healing) 1. Definisi Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul : 1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ 2. Respon stres simpatis 3. Perdarahan dan pembekuan darah 4. Kontaminasi bakteri 5. Kematian sel Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya: 1. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi dan proliferasi) 2. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling 3. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan sisanya dalam beberapa minggu setelahnya 4. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan 5. Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007) Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik (Monaco and Lawrence, 2003). 2. Fase penyembuhan luka Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari: 2
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006) Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriktor
yang
mengakibatkan
pembuluh
darah
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel
kapiler
yang akan
menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin. Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah (MacKay and Miller, 2003): a. Sintesa kolagen b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai 3
sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)
2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia) Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim
yang
belum
berdiferensiasi,
menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka (Diegelmann and Evans, 2004). Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.
4
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan baru (Mallefet and Dweck, 2008). Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003): a.
Proliferasi
b. Migrasi c.
Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors). 5
Proses
selanjutnya
adalah
epitelisasi,
dimana
fibroblast
mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka,
fibroblas
akan
merubah
strukturnya
menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).
Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008) 3. Fase Remodelling Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah menyempurnakan
terbentuknya
jaringan
baru
menjadi
jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari 6
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Untuk
mencapai
penyembuhan
yang
optimal
diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet and Dweck, 2008; Schwartz and Neumeister, 2006).
Gambar 4. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)
7
Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1) fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran interaktif glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6, TNFα, dan IL-10). Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang penting untuk penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1), kemokin CC ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -lα), faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-β (TNF-β), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan platelet-derived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF) 3. Komplikasi Penyembuhan Luka Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini 8
teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah. Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak. Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut. Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
B. Reactive Oxygen Species (ROS) Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif atau molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma, peroksisom. ROS juga dapat disebabkan oleh sumber dari luar seperti bahan yang mengalami ionisasi, vitamin, atau herbisida. ROS dapat berinteraksi secara biomolekul dengan hasil oksidasi protein berupa residu amino ail dan menyebabkan mutasi DNA, serta bereaksi juga dengan proksidasi lipid untuk memproduksi radikal bebas yang lebih banyak lagi (Soreja, A., et al., 2005) Setiap organisme aerobik memproduksi ROS sementara ada juga perkembangan perhatian lain terhadap spesies nitrogen oksida reaktif atau reactive nitrogen oxide species (RNOS) (Robbins & Zhao 2004). Metabolit oksigen (O2) yang secara parsial direduksi membentuk ROS. Dibentuk dari 9
satu- atau dua- reduksi elektron dari O2 dan radikal hidroksil (*OH), ROS yang terbentuk adalah anion superoksida (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2). Superoksida adalah radikal bebas, yaitu atom atau kelompok atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Walaupun merupakan radikal bebas, O2- tidak dapat memasuki membran lipid dan dengan demikian terbatas pada kompartemen intraseluler di mana molekul tersebut dibuat. Utamanya, O2- diproduksi di mitokondria akibat kebocoran elektron dari rantai transpor elektron. Enzim antioksidan dismutase superoksida atau superoxide dismutase (SOD) secara cepat mengubah O2- menjadi H2O2. Pada sel eukaryota, terdapat tiga isoform SOD, yaitu SOD mangaan (MnSOD), SOD tembaga-seng (CuZnSOD), dan SOD ekstraseluler (EC-SOD) (Robbins & Zhao 2004). Sementara itu, H2O2 bukanlah radikal bebas. Walaupun merupakan agen oksidan yang lebih lemah daripada O2-, H2O2 penting dibahas karena kemampuannya dalam menerobos membran biologis. Senyawa hidrogen peroksida berperan sebagai senyawa antara pada pembentukan ROS yang lebih reaktif seperti misalnya asam hipoklor melalui myeloperoksidase di fagosom neutrofil (Robbins & Zhao 2004). Seperti telah disebut di atas, dengan adanya ion logam transisional, hidrogen peroksida dapat membentuk ROS yang paling reaktif dan toksik yaitu OH- melalui reaksi Fenton. Pada konsentrasi yang sangat tinggi, hidrogen peroksida dikonversi menjadi air dan oksigen melalui enzim katalase yang terutama berada di peroksisom sel mamalia. Di konsentrasi yang rendah, hidrogen peroksida diubah menjadi air oleh glutation peroksidase yang mengandung selenium (GPx) (Robbins & Zhao 2004). Timbul perhatian yang lebih terhadap peran penting radikal bebas diatomik nitrat oksida (NO-) dan RNOS, yang terbentuk dari reaksi NO- dengan oksigen molekuler atau O2-. Peran tersebut ada dalam mekanisme fisiologis maupun patofisiologis. Pada konsentrasi fisiologis, NO- berfungsi sebagai pembawa
pesan
intraseluler,
dapat
menerobos
membran
sel
dan
mentransmisikan sinyal ke sel yang lain. Selain itu, NO- juga berfungsi sebagai 10
antioksidan yang baik. Sebagai contoh adalah inhibisi reaksi oksidasi yang diperantarai katalis besi. Pada sel normal, ROS/RNOS dipercaya memainkan peran penting dalam sinyal intraseluler, ekspresi gen, dan berbagai fungsi fisiologis. Di bawah kondisi normal, pembentukan ROS/RNOS diseimbangkan oleh pertahanan antioksidan sel. Ketidakseimbangan antara pembentukan dan destruksi ROS/RNOS akan menimbulkan stres oksidatif (Robbins & Zhao 2004).
C. Pengaruh Reactive Oxygen Species (ROS) terhadap Penyembuhan Luka Secara fisiologis, fase inflamasi berlangsung 4 sampai 6 hari dan terjadi segera setelah luka, pembuluh darah akan menyempit terjadi pengaktifan agregasi platelet sepanjang endotelium. Terputusnya pembuluh darah dan vasokonstriksi ini menyebabkan bertambahnya hipoksia yang diperkuat dengan peningkatan konsumsi oksigen oleh sel-sel yang aktif secara metabolik berkontribusi terhadap penyembuhan luka. Hipoksia merupakan langkah awal pada saat penyembuhan luka dengan meningkatkan aktivitas ROS dan mengaktifkan platelet dan endothelium serta menginduksi sitokin yang akan dilepaskan oleh trombosit, monosit dan sel parenkim seperti growth factor VEGF, TGF-β, TNF (Schremi, S., et al., 2010). Dalam proses penyembuhan luka, ROS terlibat dalam setiap tahapnya yaitu migrasi, adesi, proliferasi, neovaskularisasi, remodelling, dan apoptosis (Wlaschek & Scharffetter-Kochanek 2005). ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif
memainkan
peranan
yang
sangat
penting
dalam
proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara menginduksi tissue factor (TF)-mRNA. TF yang dikeluarkan akibat adanya kerusakan jaringan akan menginisiasi jalur koagulasi ekstrinsik dan pembentukan selanjutnya akan berasal dari trombin. ROS yang dikeluarkan trombin akan menginduksi TFmRNA dan meningkatkan ketergantungan aktivitas permukaan prokoagulasi TF
dalam
mempotensiasi
siklus
trombogenik
(pembekuan) pembuluh darah yang rusak. ROS juga terlibat dalam peningkatan platelet
dan
kolagen.
Aktifasi
dan
agregasi
platelet
tersebut 11
merupakan hal penting dalam proses pembentukan bekuan darah yang dapat merangsang terjadinya pelepasan berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dalam memulai proses penyembuhan luka. Platelet yang diaktifkan selanjutnya mempotensiasi
pembentukan
bekuan
dengan
cara
pelepasan
ROS dan RNS sehingga meningkatkan ekspresi TF (Soreja, A., et al., 2005). Berbagai faktor pertumbuhan akan dilepaskan oleh platelet, leukosit dan fibroblast serta bertanggung jawab terhadap penarikan dan aktifasi neutrophil, monosit pada daerah luka yang akan memulai terjadinya angiogenesis dan reepitelisasi dengan cara mengaktifkan ekspresi kolagenase dan memediasi EGF signaling. H2O2 mengaktifkan Activator Protein-1 (AP-1) yang selanjutnya akan menginduksi ekspresi kolagenase (MMP-1) (11). Kolagenase membantu degradasi matriks ekstraseluler yang selanjutnya membantu dalam migrasi sel yang terkait dengan luka. Satu dua hari setelah cedera, keratinosit akan berproliferasi untuk mendukung kehadirannya pada luka tersebut (Soreja, A., et al., 2005; Ushio-Fukai, M., Nakamura, Y., 2008). Stres oksidatif, di pihak lain, dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka. Konsentrasi ROS yang meningkat pada luka kronis dapat menimbulkan efek yang merugikan melalui berbagai tahap yang berakhir pada keadaan luka yang tidak kunjung menyembuh. Sebagian besar ROS dikeluarkan oleh neutrofil dan makrofag, dan sampai batas tertentu oleh fibroblas dan sel endotel. Pada luka kronis, terdapat berbagai sumber ROS. Inflamasi yang memanjang dengan migrasi neutrofil ke jaringan yang rusak menimbulkan anion superoksida radikal pada reaksi ledakan oksidatif, hipoksia, dan reperfusi iskemia merupakan mekanisme-mekanisme penting yang mengakibatkan stres oksidatif. Karena fase inflamasi yang tidak selesai pada luka kronis, timbulnya ROS yang terus menerus menyebabkan kerusakan berlanjut dan inflamasi yang timbul terus menerus (Wlaschek & Scharffetter-Kochanek 2005).
12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan: Kesimpulan yang dapat diambil dari referat ini adalah : 1. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal yang sangat reaktif atau molekul yang diproduksi secara intraseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma, peroksisom yang mempunyai efek yang menguntungkan dan efek merugikan bila berlebihan serta berperan pada proses penyembuhan luka melalui mekanisme inflamasi, angiogenesis dan pembentukan matrik pada proses penyembuhan luka. 2. ROS yang dihasilkan pada stres oksidatif memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembekuan darah yang terjadi pada luka dengan cara meningkatkan produksi platelet dan kolagen 3. Konsentrasi ROS yang meningkat pada luka kronis dapat menimbulkan efek yang merugikan melalui berbagai tahap yang berakhir pada keadaan luka yang tidak kunjung menyembuh
13
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Q.-Y. et al., 2016. Heme Oxygenase-1 Promotes Delayed Wound Healing in Diabetic Rats. Journal of Diabetes Research, 2016, pp.1–10. Available at: http://www.hindawi.com/journals/jdr/2016/9726503/. David LD. 2004.Ethicon:Wound Closure Manual. Minnesota:Ethicon inc. pp: 6-8. Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute, fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9. Luchi, Y., et al, 2010. Spontaneous skin damage and delayed wound healing in SOD1-deficient mice. Mol Cell Biochem. 341; 181-194. MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt med rev.8(4):360-1. Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing. Biomed Scient.609-15. Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin Plastic Surg. 30:1-12. Robbins, M.E.C. & Zhao, W., 2004. Chronic oxidative stress and radiation-induced late normal tissue injury: a review. International journal of radiation biology, 80(4),
pp.251–9.
Available
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15204702. Schäfer, M., Werner, S., 2008. Oxidative stress in normal and impaired wound repair. Pharmacological Research. 58 (2); 165-171. Schwartz BF and Neumeister M. 2006. The mechanics of wound healing. In Future Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9. Serarslan, G. et al., 2007. Caffeic acid phenetyl ester accelerates cutaneous wound healing in a rat model and decreases oxidative stress. Clinical and Experimental Dermatology, 32(6), pp.709–715. Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta: EGC.3:72-81. Soreja, A., Drews, M., Malinski, T., 2005. Role of nitric oxide, nitroxidative and oxidative stress in wound healing. Pharmacological reports. 57; 108-119. 14
Tie, L. et al., 2009. Endothelium-specific GTP cyclohydrolase I overexpression accelerates refractory wound healing by suppressing oxidative stress in diabetes. American journal of physiology. Endocrinology and metabolism, 296(13), pp.E1423–E1429. Tie, L. et al., 2012. Ganoderma Lucidum Polysaccharide Accelerates Refractory Wound Healing by Inhibition of Mitochondrial Oxidative Stress in Type 1 Diabetes. Cellular Physiology and Biochemistry, 29, pp.583–594. Vermeij, W.P., Backendorf, C., 2010. Skin Cornification Proteins Provide Global Link between ROS Detoxification and Cell Migration during Wound Healing. PloS ONE. 5(8); e11957; 1-7. Wlaschek, M. & Scharffetter-Kochanek, K., 2005. Oxidative stress in chronic venous leg ulcers. Wound Repair and Regeneration, 13(5), pp.452–461.
15