REFERAT ILMU PENYAKIT MATA
PTERYGIUM
Pembimbing: dr. Yulia Fitriani, Sp.M
Disusun oleh: Hanifan Sastranegara GIA016092
SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2017
LEMBAR PENGESAHAN TUGAS REFERAT
PTERYGIUM
Disusun oleh: Hanifan Sastranegara G4A016092
diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti program profesi dokter pada SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal,
Juli 2017
Pembimbing,
dr. Yulia Fitriani, Sp. M NIP. 19820730 19820730 201412 2 001 001
i
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut setianya. Penulis
mengucapkan
banyak
terimakasih
kepada
para
pengajar,
fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Yulia Fitriani, Sp.M selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi pembaca.
Purwokerto, Juli 2017
Penulis
ii
I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskuler konjungtiva yang dapat menyebabkan astigmatisme, jaringan parut pada kornea, mengaburkan aksis visual, sehingga menyebabkan gangguan penglihatan pada kasus berat. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas hingga kornea1,2. Pterigium banyak ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa3,4. Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard et al (2002) melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%) 5. Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangkan pterigium pada salah satu mata 1,9%. Prevalensi pterigium pada kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (9,4%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium pada salah salah satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara barat (4,1%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,2%). Provinsi Jawa tengah sendiri memiliki prevalensi pterigium pada kedua mata sebesar (2,9%) dan pada satu mata sebesar (2,1%) 4. Cukup tingginya prevalensi pterigium diharapkan dapat diturunkan dengan memberi pengetahuan mengenai faktor risiko dan dist ribusi penyakit untuk mencegah bekembangnya penyakit sampai ke tingkat lanjut. Sehingga dapat menurunkan dampak sosial dan ekonomi untuk penyakit ini. Melalui referat pterigium ini, penulis berharap dokter umum dapat mengenali gejala dan tanda, dapat membuat diagnosis berdasakan pemeriksaan fisik, dan memberi terapi pendahuluan sesuai kompetensinya sebelum merujuk ke spesialis mata.
2
3
B.
Tujuan
1. Mengetahui definisi tentang penyakit pterigium 2. Mengetahui faktor risiko penyakit pterigium 3. Mengetahui penegakkan diagnosis pterigium 4. Mengetahui penatalaksanaan pterigium
3
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Pteron” yang artinya sayap (wing ). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada kantus. Gambaran histologi dari pterigium adalah terdapatnya proliferasi fibrovaskuler berlebihan, degradasi membran basal, dan invasi stroma kornea oleh jaringan fibrovaskuler (Ardalan et al , 2010). B. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva
Gambar 1. Anatomi Konjungtiva Potongan Sagital (Jogi, 2009) Konjungtiva merupakan membran mukosa yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian, antara lain, konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks. Konjungtiva tarsal menutupi tarsus dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi
4
5
menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak (Harvey et al , 2013; Ilyas et Yulianti, 2011). Konjungtiva mempunyai fungsi antara lain, melindung jaringan lunak orbita dan palpebral, menyediakan film air mata (glandula Krause dan Wolfring) dan lapisan mukosa (sel goblet), menyediakan jaringan imun (MALT), dan memfasilitasi gerakan bola mata. Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa6. 1. Epitel Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan
dalam
bagian-bagian
sebagai berikut: Konjungtiva marginal
memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng. 2. Lapisan adenoid Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan
ini tidak ditemukan ketika bayi
lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan
bahwa
peradangan
konjungtiva
pada
bayi
tidak
menghasilkan reaksi folikuler. 3. Lapisan fibrosa Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana 5
6
lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar. C. Epidemiologi Kejadian pterygium di Amerika Serikat bervariasi dengan adanya lokasi geografis. Insidensi pterygium berkurang daerah geografi tinggi dan relative meningkat di daerah geografis rendah. Diduga peningkatan kejadian pterygium di daerah geografis rendah disebabkan peningkatan pajanan terhadap sinar ultraviolet pada ketinggian rendah (Fisher, 2015). Pterygium terjadi dua kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan. Pterygium tidak umum terjadi sebelum umur 20 tahun. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai prevalensi tertinggi terjadinya pterygium (Fisher, 2015). D. Etiopatogenesis Pterygium diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan, dan lingkungan dengan angin. Hal tersebut didasarkan pada penyakit ini sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu, atau berpasir. Temuan patologik yang diadapatkan pada konjugtiva yaitu lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastin (GarciaFerrer et al , 2007).
6
7
Gambar 2. Lapisan kornea (Jogi, 2009) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pathogenesis pterygium adalah sebagai berikut (Coroneo et Chui, 2013; Lee et Slomovic, 2004): 1. Sinar Ultraviolet Sinar ultraviolet yang diserap oleh kornea dan konjungtiva mencetuskan kerusakan, kemudian proliferasi sel. Banyaknya sinar ultraviolet yang diserap bergantung pada ketinggian, medan reflektif, dan waktu yang dihabiskan diluar ruangan. Efek sinar ultraviolet terhadap kejadian pterygium mempunyai predileksi pada medial limbus. Kerusakan fokal kronik oleh sinar ultraviolet diduga mengaktivasi sel stem limbal. 2. Herediter Pola gen autosomal dominan diduga berperan pada faktor genetik pada patogenesis pterygium. 3. Stress oksidatif dan Pensinyalan Reseptor Growth Factor Induksi
oksidatif
stress
oleh
sinar
UV
berhubungan
dengan
pathogenesis pterygium. Hal ini dibuktikan dengan adanya Reaktif Oksigen Spesies seperti 8-hydroxydeoxyguanosine (produk foto oksidasi DNA) malondialdehyde (produk peroksidasi lipid), inducible nitrit oksida sintase dan
7
8
nitrit oksida (NO) pada jaringan pterygium. ROS dapat mangaktivasi Epidermal Growth Factor Receptors (EGFRs) dan pensinyalan downstream melalui jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK) seperti c-jun aminoterminal kinase (JNK) dan p38. Pada kultur sel pterygium, sinar ultraviolet mengaktivasi JNK dan p38 yang kemudian menginduksi ekspresi sitokinsitokin proinflamatori. 4. Sitokin-sitokin proinflamasi dan mekanisme imunologi Inflamasi di jungture pembuluh darah konjungtiva dan membran bowman mendagradasi protein yang berperan sebagai faktor angiogenik. Interleukin (IL-1, IL-6, IL-8) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) diketahui dapat diinduksi oleh sinar UV. Selanjutnya, molekul-molekul tersebut akan memediase influks sel-sel imun dan induksi expresi MMP pada pterygium. Enzime lain yang dapat diinduksi oleh sinar UV yaitu cycloxigenase-2 (COX-2) yang mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Ekspresi enzime tersebut berhubungan dengan faktor anti apoptosis. Stem Cell Factor (SCF) juga meningkat di plasma dan jaringan ocular pada pasien pterygium. SCF menarik
dan menginduksi maturasi
sel
mast,
dan
kehadirannya dapat meningkatkan fibrosis dan neovaskularisasi pada pterygium. 5. Faktor Pertumbuhan Fibroangiogenik Faktor-faktor pertumbuhan menginduksi proliferasi dan migarsi sel-sel epitel, sel fibroblas yang berperan terhadap hyperplasia, fibrosis, dan angiogenesis pada pterygium. TGF-β salah satu faktor pertumbuhan yang
8
9
terekspresi pada pterygium dapat menginduksi diferensiasi miyofibroblas, transisi mesenkim epitel, dan perubahan sintesis komponen matriks ekstraseluler. Perubahan sinyaling TGF-β diduga berkontribusi terhadap terjadinya fibrosis pada pterygium. Aktivitas TGF-β dapat disupresi oleh membrane amniotik, yang dapat menjelaskan efisasi dari terapinya tersebut. Elevasi faktor-faktor proangiogenic (IL-8, TNF-α, VEGF, dan sebagainya) bersamman
dengan
berkurangnya
inhibitor
angiogenic
(PEDF
dan
thrombospondin-1) meningkatkan neovaskularisasi pada pterygium. VEGF sebagai faktor proangiogenik yang utama, meningkat di air mata, plasma, dan jaringa ocular pasien pterygium. Ekspresi VEGF dapat meningkat dengan adanya stimulus oleh sinar UV, hipoksia, sitokin-sitokin, dan faktor-faktor pertumbuhan. 6. Matriks metalloproteinase dan remodeling matriks ekstraseluler. Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan endopeptidase tergantung zink yang mendagradasi komponen dari matriks ekstraseluler dan molekul permukaan sel. Enzim ini di-counterbalance oleh inhibitor endogen yang dinamakan tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP). MMP berperan dalam proliferasi, migrasi sel, inflamasi dan angiogenesis. Ekspresi berlebihan MMP relative terhadap TIMP diduga berperan pada fenotip invasive pterygium, Ekspresi MMP dapat diinduksi oleh sinar ultraviolet, sitokin (IL-1 dan TNF-α), dan faktor pertumbuhan (EGF). 7. Infeksi Virus Peran virus onkogenik dalam patogenesis pterygium terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu, predisposisi genetik pterygium, atau kerusakan
9
10
DNA berasal dari pajanan sinar UV. Tahap kedua yaitu, infeksi oleh Humam Papillomavirus (HPV) atau Herpes Simplex Virus (HSV). 8. Genetik Akumulasi kerusakan genome diduga terlibat dalam patogenesis pterygium. Salah satu mutasi genome, p53 diduga mengalami mutasi pada pterygium. Secara normal protein P53 berfungsi sebagai tumor supresor.
Bagan 1. Patogenesis Pterygium (Girolamo et al , 2002) E. Stadium Pterygium Tingkat keparahan pterygium diklasisifikasikan berdasarkan lokasi head dari pterygium melewati kornea antara lain (Zhong et al , 2012), 1. Stadium I Head dari pterygium terdapat pada limbus 2. Stadium II Sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil
10
11
3. Stadium III Sudah mencapai pupil 4. Stadium IV Sudah melewati pupil F. Tipe Pterygium Berdasarkan progres penyakit, pterygium dibagi menjadi (Khurana, 2007): 1. Pterygium Progresif Pterygium
progresif
memiliki
penampakan
tebal,
berdaging,
dan
bervaskularisasi dengan beberapa infiltrate di kornea, di depan head dari pterygium, yang dinamkan cap of pterygium 2. Pterygium Regresif Pterygium regresif memiliki penampakan tipis, atrofik, dengan sedikit vaskularisasi. Pterygium regresif tidak memiliki cap. Pterygium regresif pada akhirnya akan menjadi bermembran dan tidak akan menghilang. G. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:12 a. T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat. b. T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat. c. T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah tidak jelas. H. Penegakkan Diagnosis 1. Anamnesis Pada stadium awal, pterygium tidak memberikan keluhan kecuali berupa cosmetic intolerance. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterygium melewati are pupil atau oleh karena astigmantisme yang
11
12
disebabkan oleh fibrosis pada stadium regresif. Kadang-kadang terjadi diplopia yang disebabkan oleh hambatan pergerakan bola mata (Khurana, 2007).
2. Pemeriksaan Fisik Pada inspeksi akan didapatkan lipatan konjungtiva berbentuk segitiga menutupi korea dalam area pembukaan palpebra. Pterygium dapat terjadi unilateral ataupun bilateral. Pteriguim biasanya terdapat pada sisi nasal, walaupun dapat juga terjadi pada sisi temporal. Pterygium yang berkembang sempurna, terdiri dari tiga bagian yaitu, head, neck, dan body. Head merupakan bagian apikal yang terdapat pada kornea, neck merupkan bagian limbal dan body merupakan bagian sklera yang memanjang diantara limbus dan kantus (Khurana, 2007). Pterygium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat ker ing), serta garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung pterygium (Ilyas et Yulianti, 2011).
Gambar 3. Bagian dari Pterygium
12
13
Gambar 4. Slitlamp dari Pterygium (AAO, 2015 dalam: Reidy, 2010)
Gambar 5. Iron Line dari Stocker (Panah) (AAO, 2015)
Gambar 6. Sklera Dellen (AAO, 2015) I. Penatalaksanaan 1. Medikamentosa (Fisher, 2015) a. Artificial tears (tetes lubrikan topical) Obat ini berfungsi untuk melubrikasi permukaan ocular dan menggantikan defek film air mata. Artificial tears menyediakan
13
14
lubrikasi topikal permukaan ocular pada pasien dengan permukaan kornea dan film air mata yang ireguler. Konsdisi ini sangat umum terjadi pada pterygium.
b. Salep lubrikan topikal Obat ini merupkan lubrikan permukaan okular yang mempunyai viskositas yang tinggi. Preparat cenderung mengaburkan pandangan pasien untuk sementara. Oleh karena itu, preparat umumnya digunakan di malam hari. c. Tetes anti inflamasi Obat ini bertujuan mengurangi inflamasi pada permukaan okuli dan jaringan di sekitarnya. Kortikosteroid dapat membantu mengurangi edem jaringan di sekitar lesi. Termasuk dalam prepart ini yaitu prednisolone ophthalmic. Penggunaanya harus dibatasi pada mata yang tidak dapat berkurang inflamasi secara signikan dengan lubrikan topikal. 2. Nonmedikamentosa Bedah eksisi merupakan terapi yang paling memuaskan dengan indikasi sebagai berikut (Khurana, 2007), a. Alasan kosmetik b. Ancaman penyakit berkembang progresif melewati area pupilaris c. Diplopia akibat gangguan pergerakan okuli. Tindakan bedah tidak perlu dilakukan pada pterygium tipe regresif. Pada pterygium progresif tindakan bedah dilakukan dengan
14
15
simple exicision (ombrain’s method). Pada pterygium yang menginvasi area pupilaris dilakukan simple exicision dengan lamellar keratoplasty. Pada keadaan ini, pterygium dibiarkan untuk tumbuh melewati area pupilaris untuk mencegah parut kornea. Pterygium rekuren diterapi dengan mucous membrane autograft, transposition method (McReynold’s), lamellar corneal graft , dan lain-lain (Jogi, 2009). 3. Edukasi Pasien dengan risiko tinggi untuk mengalami perkembangan pterygium seperti riwayat keluarga pterygium atau pajanan lama terhadap sinar ultraviolet perlu untuk memakai kacamata anti sinar ultraviolet atau instrumen sejenis untuk mengurani pajanan terhadapa sinar ultraviolet (Fisher, 2015). J. Diagnosis Banding 1. Pseudopterygium Pseudopterygium muncul dari adesi kunjungtival ke defek kornea sebagai hasil dari trauma, riwayat operasi, atau inflamasi. Pseudopterygium mempunyai tepi yang luas, datar
pada tempat perlekatan. Lesi yang
menonjol tidak melekat pada kornea (Coroneo et Chui, 2013).
Gambar 8. Pseudopterygium (AAO, 2015)
15
16
Tabel 1. Perbedaan Pterygium dan Pseudopterygium (Khurana, 2007)
1
Etiologi
Pterygium
Pseudopterygium
Degeneratif (jaringan
Inflamasi
subkonjungtiva)
(ulkus korna perifer)
2
Umur
Pasien usia lanjut
Semua umur
3
Letak
Selalu di sisi aperture
Semua lokasi
4
Stadium
Dapat progresif, regresif, atau
Selalu setasioner
stasioner 5
Uji probe
Probe tidak dapat melewati
Probe dapat melewati
lapisan
lapisan
2. Pinguekula Pinguekula tampak sebagai plak putih kuning yang meninggi pada konjungtiva yang berdekatan dengan limbus nasal atau temporal. Perbedaan
pinugkula
dengan
pterygium
yaitu
pinguekula
kurang
menginvasi kornea yang mungkin disebabkan oleh batas limbus intak. Kebanyakan pinguekula tumbuh lambat dengan perjalanan penyakit yang jinak. Beberapa pinguekula dapat berkembang menjadi pterygium (Coroneo et Chui, 2013).
Gambar 9. Pingueculae (AAO, 2015)
16
17
K. Komplikasi Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan visus dan skar pada konjungtiva, kornea, dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang terjadi (Fisher, 2015). Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft konjungtiva/limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi (Fisher, 2015). L. Prognosis Hampir seluruh kasus pterygium tidak menimbulkan masalahan dan tidak membutuhkan tindakan bedah (Lusby, 2016). Prognosis ad visam dan ad kosmetika pasca eksisi pterium adalah bonam. Prosedurnya dapat ditoleransi oleh pasien. Walapun dapat terjadi ketidaknyamanan beberapa hari pasca operasi, kebanyakan pasien dapat kembali beraktivitas penuh dalam beberapa jam setelah operasi. Pasien yang mengalami pterygium rekurent dapat diterapi dengan eksisi ulang dan grafting dengan konjungtival/limbal autograph atau transplantasi
mambran
amnion
pada
17
pasien
tertentu
(Fisher,
2015).
III. KESIMPULAN
1. Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada kantus. 2. Pterygium disebabkan oleh fenomena iritatif akibat sinar matahari, debu, dan pasir. 3. Indikasi bedah eksisi pada pterygium antara lain, alasan kosmetik, pterygium melewati area pupilarias, astigmatisma dan diplopia. 4. Penatalaksanaan pterigium dapat dilakukan dengan terapi medikamentosa dan operatif.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2010. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls American Academy of Ophthalmology (AAO). 2015. Pterygium (online). https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-latin-america. Diakses Juni 2017 Coroneo, Minas T.; et Jeanie J. Y. Chui. 2013. Pterigium. Dalam: Edward J. Holland; Mark J. Mannis; et W. Barry Lee (Eds.) Ocular Surface Disease. New York: Elsevier. Hal.: 125 – 144 Dartt, Darlene A. Tanpa tahun. The Conjunctiva-structure and function (online). http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v8/v8c002. html. Diakses Juni 2017 Dorland, W. A. Newman. 2008. Kamus Saku Kedokteran Droland Edisi 28. Jakarta: EGC Fisher, Jerome P. 2015. Pterygium (online). http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#a6. Juni 2017
Diakses
Garcia-Ferrer, Francisco J.; Ivan R. Schwab; et Debra J. Shetlar. Konjungtiva. 2007. Dalam: Paul Riordan-Eva et John P. Whitcher (Eds.) Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC. Hal.: 119 Girolamo, Nick Di; Rakesh K. Kumar; Minas T. Coroneo; et Denis Wakefield. UVB-Mediated induction of interleukin 6 and 8 in pterygia and cultured human pterygium epithelial cell. Investigative Ophtalmology & Visual Science 43(11): 3430 – 3437 Harvey, Thomas M.; Aana G. Alzaga Fernandez; Ravi Pael; David Goldman; et Jessica Ciralsky. 2013. Conjunctival anatomy and physiology. Dalam: Edward J. Holland; Mark J. Mannis; et W. Barry Lee (Eds.) Ocular Surface Disease. New York: Elsevier. Hal.: 42 – 43 Ilyas, Sidarta; et Sri Rahayu Yulianti. Anatomi dan Fisologi Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal.:2 – 3 Jogi, Renu. 2009. Basic Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
17
18
Khurana, A. K. 2007. Diseases of Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age International Zhong, Hua; Xueping Cha; Tao Wei; Xianchai Lin; Xun Li; et Jun li. 2012. Prevalance of and Risk Factors for Pterygium in Rural adult Chinese populations of the bai nationality in dali: the Yunnan minority eye study. Clinical and Epidemiologic Research 53(10): 6617 – 6621