BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus, durasi maupun jumlah perdarahan. Hal ini sering dijumpai pada wanita pada usia reproduksi.1 Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara industri, sebanyak 25% penduduk perempuan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus menstruasi yang memendek, 17% mengalami perdarahan intermenstrual, dan 6% mengalami perdarahan pascacoitus.2 Penyebab dari perdarahan uterus abnormal beraneka ragam. Untuk mendiagnosis perdarahan uterus abnormal diperlukan anamnesis yang mencakup pengenalan akan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang sesuai. Tatalaksananya pun juga beragam sesuai dengan penyebab dan patofisiologi yang mendasarinya. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk membahas mengenai perdarahan uterus abnormal.
1.2
Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui tentang perdarahan uterus abnormal 1.2.2 Tujuan Khusus Mengetahui definisi perdarahan uterus abnormal Mengetahui epidemiologi perdarahan uterus abnormal Mengetahui etiologi perdarahan uterus abnormal Mengetahui patofisiologi perdarahan uterus abnormal Mengetahui manifestasi klinis perdarahan uterus abnormal Mengetahui diagnosis perdarahan uterus abnormal Mengetahui tatalaksana perdarahan uterus abnormal
1.3
Manfaat Penulisan 1.3.1 Manfaat Akademik Memahami tentang perdarahan uterus abnormal sehingga dapat mengenali dan memberikan terapi yang sesuai 1.3.2 Manfaat bagi Pembaca Memberikan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai perdarahan uterus abnormal 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1
Definisi Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai dengan adanya
perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus, durasi maupun jumlah perdarahan.1 Siklus menstruasi yang normal biasanya memiliki interval atau panjang selama 28±7 hari, durasi selama 4±3 hari, dan jumlah perdarahan sebanyak 30 - 80 ml.3 Terdapat beberapa terminologi yang menunjukkan adanya perubahan tersebut seperti menoragia yaitu durasi menstruasi yang lebih lama dari tujuh hari atau jumlah perdarahan lebih dari 80 ml, metroragia
yaitu perdarahan intermenstrual, menometroragia yaitu
gabungan antara menoragia dan metroragia, hipomenore yaitu perdarahan dengan durasi yang lebih pendek atau jumlah perdarahan yang lebih sedikit dari menstruasi normal, oligomenore yaitu siklus menstruasi dengan interval lebih lama dari 35 hari.4 Perdarahan uterus abnormal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu perdarahan anovulasi dan ovulasi. Perdarahan anovulasi mempunyai karakteristik perdarahan yang iregular dengan jumlah perdarahan yang bervariasi dari sedikit hingga banyak. Yang termasuk dalam perdarahan anovulasi diantaranya amenorea (tidak terjadinya menstruasi selama lebih dari tiga bulan), oligomenore, metroragia, dan perdarahan uterus disfungsi (perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa adanya keadaan patologi pada panggul). Perdarahan ovulasi mempunyai karakteristik perdarahan yang regular tetapi dengan durasi yang lebih lama dan jumlah perdarahan yang lebih banyak. Yang termasuk perdarahan ovulasi yaitu menoragi.5 Menstrual Disorders Working Group of the International Federation of Gynecology and Obstetrics membagi parameter klinis menstruasi pada usia reproduksi berdasarkan dari frekuensi menstruasi, keteraturan siklus dalam 12 bulan, durasi menstruasi, dan volume darah menstruasi. Berikut parameter klinis menstruasi:6
Tabel 1. Parameter klinis menstruasi6 Parameter Menstruasi Frekuensi menstruasi (hari)
Definisi Klinis Sering Normal Jarang
Batasan (persentil ke-5-95) < 24 24 – 38 > 38 2
Keteraturan siklus dalam 12 Absen
Tidak ada perdarahan
bulan (hari) Durasi (hari) Volume darah (ml)
Reguler Ireguler Memanjang Normal Memendek Banyak Normal Sedikit
2 – 20 > 20 >8 4,5 – 8 < 4,5 > 80 5 – 80 <5
Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jenis perdarahan:7 Perdarahan uterus abnormal akut Perdarahan yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan darah. Pendarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada
kondisi perdarahan uterus abnormal kronik atau tanpa riwayat sebelumnya Perdarahan uterus abnormal kronik Perdarahan yang telah terjadi lebih dari tiga bulan. Kondisi ini biasanya tidak
memerlukan penanganan yang segera seperti perdarahan uterus abnormal akut Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) Perdarahan yang terjadi diantara dua siklus menstruasi yang teratur. Pendarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus.
2. 2
Epidemiologi Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering dijumpai pada wanita
pada usia reproduksi.1 Menurut penelitian Lee et al., keluhan ini banyak terjadi pada masa awal terjadinya menstruasi. Sebanyak 75% wanita pada tahap remaja akhir memiliki gangguan yang terkait dengan menstruasi. Penelitian yang dilakukan Bieniasz J et al. pada remaja wanita menunjukan prevalensi amenorea primer sebanyak 5,3%, amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%, polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran sebanyak 15,8%.8 Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara industri, sebanyak seperempat penduduk perempuan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus menstruasi yang memendek, 17% mengalami perdarahan intermenstrual, dan 6% mengalami perdarahan pascakoitus.2 2. 3
Etiologi Penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal akut maupun kronis merupakan
multifaktorial. Menstrual Disorders Working Group of the International Federation of Gynecology and Obstetrics menyatakan sistem klasifikasi dan terminologi standarisasi untuk etiologi pada gejala perdarahan uterus abnormal. Etiologi diklasifikasikan berdasarkan 3
penyebab yang berkaitan dengan abnormalitas struktur uterus dan tidak berkaitan dengan abnormalitas struktur yang dinyatakan dalam akronim PALM-COEIN : Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma, Malignancy, dan hyperplasia, Coagulatopathy, Ovulatory dysfunction, Endometrial, Iatrogenic, dan tidak terklasifikasikan.9 Tabel 2. Penyebab perdarahan iregular berkaitan dengan usia dan usia reproduktif10 15-20 20-30 STI: Servisitis (terutama
Kelompok usia 30-45
Chlamydia) Ektropion servikal
45-55 55+ Hormon replacing therapy Kanker endometrium
Polip endometrium Endometrium hiperplasia Uterine fibroid Alat kontrasepsi dalam rahim Hamil dan komplikasinya: keguguran/ hamil ektopik Kontrasepsi steroid (terutama progesteron) Endometriosis Trauma / operasi 2. 4
Patofisiologi Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan fungsionalis dan
lapisan basalis Lapisan basalis terletak di bawah lapisan fungsionalis, berkontak langsung dengan miometrium, dan kurang responsif terhadap hormon. Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir untuk regenerasi pada saat menstruasi sedangkan lapisan fungsionalis mengalami perubahan sepanjang siklus menstruasi dan akhirnya terlepas saat menstruasi. Secara histologis, lapisan fungsionalis memiliki epitel permukaan yang mendasari pleksus kapiler subepitel. Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah uterus, arteri uterina pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang mengarah ke bawah dan cabang asenden yang mengarah ke atas. Cabang asenden dari kedua sisi uterus membentuk dua arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan kavum uteri. Kedua arteri arkuata tersebut membentuk anastomose satu sama lain, membentuk cincin yang melingkari kavum uteri. Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri arkuata yang berjalan meninggalkan arteri arkuata secara tegak lurus menuju kavum uteri. Arteri radialis memiliki fungsi untuk memperdarahi miometrium lalu pada saat memasuki lapisan endometrium, arteri radialis memberi cabang arteri yang lebih kecil ke arah lateral yaitu arteri basalis. Arteri basalis memiliki fungsi untuk memperdarahi lapisan basalis endometrium dan tidak sensitif terhadap stimulus hormon. Arteri radialis kemudian memasuki lapisan fungsionalis endometrium dan menjadi arteri
4
spiralis. Arteri spiralis sangat peka terhadap stimulus hormon dan bertugas untuk memperdarahi lapisan fungsionalis endometrium. Sebelum terjadinya menstruasi, pada arteri ini terjadi peningkatan statis aliran darah, kemudian terjadi vasodilatasi dan perdarahan dari arteri spiralis dan dinding kapiler. Maka dari itu darah menstruasi akan hilang melalui pembuluh darah tersebut. Hal ini diikuti dengan terjadinya vasokonstriksi yang menyebabkan iskemi dan nekrosis endometrium. Jaringan nekrotik tersebut lalu luruh saat menstruasi.2, 4, 11 Perdarahan uterus disfungsional anovulasi merupakan pendarahan tidak teratur yang berkepanjangan dan berlebihan disebabkan oleh terganggunya fungsi aksis hipotalamushipofisis-ovarium. Hal ini sering terjadi pada wanita dalam usia ekstrim, yaitu pada masa perimenarchal dan perimenopausal. Pada masa tersebut terjadi perubahan siklus antara ovulasi dan anovulasi sehingga mengakibatkan keketidakteraturan pola menstruasi serta kehilangan darah dalam jumlah yang banyak. Mekanisme anovulasi tidak diketahui secara pasti, tetapi diketahui bahwa estrogen dapat menyebabkan proliferasi endometrium berlebihan dan hiperplasia dengan peningkatan dan melebar pembuluh darah dan supresi arteri spiralis. Pembuluh darah superfisial pada permukaan endometrium yang hiperplasia menjadi besar, berdinding tipis, dan melengkung. Perubahan tersebut yang menjadi sumber terjadinya peningkatan kehilangan darah. Paparan estrogen secara terus menerus memiliki efek langsung terhadap pasokan darah uterus dengan mengurangi tonus pembuluh darah. Efek tidak langsung dari estrogen melalui penghambatan terlepasnya vasopresin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah. Estrogen juga merangsang ekspresi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) stroma yang dapat menyebabkan terganggunya angiogenesis.12 Perdarahan uterus disfungsional ovulasi ditandai dengan episode reguler kehilangan menstruasi berat, dengan 90% dari kerugian pada 3 hari pertama seperti pada menstruasi normal. Tidak ada gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium dan gonadotropin dan profil steroid tidak berbeda dengan yang terlihat pada siklus menstruasi normal. Penurunan kadar estrogen dan progesteron pada akhir fase luteal memicu banyak proses yang mengarah terjadinya disintegrasi diikuti epitelisasi kembali lapisan fungsional endometrium selama menstruasi. Defek utama terdapat dalam mengontrol proses volume darah yang hilang selama menstruasi, terutama proses vasokonstriksi dan hemostasis. Perubahan fase folikular aliran darah endometrium pada wanita dengan perdarahan uterus disfungsional ovulasi mempengaruhi gangguan fungsi yang terjadi dalam jaringan. Jumlah estrogen di kelenjar dan stroma serta reseptor progesteron di endometrium dapat meningkat saat fase sekresi akhir pada wanita yang menderita perdarahan uterus disfungsional. Salah satu faktor yang berperan 5
dalam membatasi kehilangan banyak darah selama menstruasi yaitu prostaglandin. Pelepasaan prostaglandin (PG) di endometrium dipengaruhi oleh kadar steroid yang bersirkulasi. PGF2α merupakan salah satu substansi poten untuk mencegah agregrasi platelet dan formasi plak hemostatik. Peningkatan reseptor PGE2 dan PGI2 menjadi
faktor
predisposisi terjadinya vasodilatasi pada wanita dengan menoragia. Peningkatan sintesis PGI2 menjadi prekursor dalam perdarahan uterus disfungsional ovulasi. Pengobatan antiprostaglandin efektif dalam pengobatan perdarahan uterus disfungsional dengan mengurangi sintesis PG di endometrium dan disertai penghambatan menempelnya PGE pada reseptornya.12
2. 5
Manifestasi klinis Manifestasi klinis yang terjadi pada perdarahan uterus abnormal adalah sebagai berikut:4 Menoragia dan metroragia Adanya perubahan pola dalam siklus menstruasi berupa interval yang normal teratur tetapi jumlah darah dan durasinya lebih dari normal merupakan menoragia. Interval yang tidak teratur dengan jumlah perdarahan dan durasi yang lebih dari normal merupakan metroragia. Banyak gangguan yang bersifat patologis yang
menyebabkan menoragia, metroragia ataupun keduanya (menometroragia). Perdarahan pascakoitus Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum dijumpai pada wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang multipara. Lesi yang dijumpai pada perdarahan pascakoitus biasanya jinak. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada 248 wanita dengan perdarahan pascakoitus didapatkan bahwa seperempat dari kasus tersebut disebabkan oleh eversi serviks. Penyebab lain yang dapat mendasari diantaranya polip endoserviks, servisitis, dan polip endometrium. Pada servisitis, penyebab yang paling sering adalah infeksi Chlamydia trachomatis. Menurut penelitian Bax et al., risiko relatif infeksi klamidia pada wanita dengan pendarahan pascakoitus adalah 2,6 kali lebih tinggi daripada kelompok kontrol tanpa perdarahan. Pada beberapa wanita, perdarahan pascakoitus dapat berasal dari neoplasia serviks atau saluran kelamin. Pada neoplasia intraepitel serviks dan kanker yang invasif, epitel menjadi tipis dan rapuh sehingga mudah lepas dari serviks. Pada wanita 6
dengan perdarahan pascakoitus, neoplasia intraepitel seviks ditemukan sebanyak 7 – 10%, kanker yang invasif sebanyak 5%, dan kanker endometrium sebanyak kurang dari 1%. Dalam studi lain, Jha dan Sabharwal melaporkan bahwa sejumlah perempuan dengan perdarahan pascakoitus memiliki lesi patologis yang diidentifikasi dengan kolposkopi. Sebagian besar wanita dengan perdarahan yang tidak dapat dijelaskan pascakoitus harus menjalani pemeriksaan kolposkopi jika sumber perdarahan belum dapat diidentifikasi.
Nyeri pelvis Adanya
kram
yang
menyertai
perdarahan
diakibatkan
dari
peran
prostaglandin. Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan uterus abnormal dapat disebabkan oleh polip, leiomioma, adenomiosis, infeksi, dan komplikasi kehamilan. Nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual dan nyeri nonsiklik jarang dirasakan pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Jika nyeri ini dirasakan, maka penyebabnya adalah kelainan dari struktural atau infeksi. Lippman et al., melaporkan peningkatan tingkat dispareunia dan nyeri panggul nonsiklik pada wanita dengan leiomioma uterus. Sammour et al., menyatakan adanya korelasi nyeri panggul yang meningkat seiring dengan adanya invasi miometrium dengan adenomiosis. 2. 6
Diagnosis 2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pada sifat perdarahan ditanyakan apakah pasien mengalami perdarahan setelah berhubungan seksual atau perdarahan terjadi secara tiba-tiba. Waktu terjadinya perdarahan ditanyakan apakah perdarahan terjadi saat sedang menstruasi dalam bentuk perdarahan berlebih atau perdarahan terjadi diantara siklus haid atau saat pasien sudah menopause. Kehamilan adalah salah satu konsiderasi utama pada wanita usia subur yang mengalami perdarahan uterus abnormal.13 Beberapa hal yang dapat menyebabkan perdarahan adalah abortus, plasenta previa, kehamilan ektopik, dan lain-lain. Pada riwayat konsumsi obat ditanyakan apakah pasien sedang menggunakan obat-obatan yang mengganggu sistem hormon seperti penggunaan KB hormonal, tamoxifen atau obat-obat yang mengganggu proses pembekuan darah. Riwayat penyakit keluarga dan riwayat penyakit sistemik dari pasien juga perlu ditelusuri untuk mencari penyakit yang dapat berperan dalam terjadinya perdarahan uterus abnormal seperti defisiensi faktor pembekuan darah, diabetes mellitus, gangguan 7
tiroid, dan lain-lain. Keganasan pada genitalia juga dapat memicu terjadinya perdarahan uterus abnormal. Setelah melakukan anamnesis maka pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda dari penyebab perdarahan uterus abnormal. Pemeriksaan fisik untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik Memastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh
(IMT),
tanda
hiperandrogen,
pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid / hipertiroid, galaktorea (hiperprolaktinemia) gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa.7 Pemeriksaan ginekologi perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.13 2.6.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah lengkap serta faktor pembekuan darah untuk menilai adanya gangguan koagulasi, kadar TSH untuk menilai adanya gangguan tiroid, kadar β-hCG untuk pemeriksaan kehamilan, kadar estrogen, FSH, prolaktin juga perlu diperiksa untuk menentukan apakah perdarahan uterus abnormal berasal dari gangguan hormonal.14 Pencitraan pada umumnya menggunakan ultrasonography (USG) transvaginal untuk melihat adanya kelainan struktural pada organ genitalia atau untuk mencari adanya tumor atau anomali lainnya yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal yang dialami oleh pasien. Biopsi jaringan endometrium dilakukan apabila pasien berusia diatas 35 tahun atau berusia dibawah 35 tahun tetapi dengan faktor risiko karsinoma endometrium yaitu:
Siklus anovulasi kronis Obesitas Nulipara Diabetes mellitus Penggunaan tamoxifen13
2.7 Tatalaksana Tujuan dari terapi pada perdarahan uterus abnormal adalah menyembuhkan penyebab kelainan yang menyebabkan perdarahan tersebut. Berdasarkan algoritma yang ada pertama harus dibedakan terlebih dahulu perdarahan termasuk anovulasi atau ovulasi. 8
Pada tipe anovulasi, setelah mengevaluasi derajat risiko terjadinya karsinoma endometrium dan menentukan perlu tidaknya dilakukan biopsi endometrium maka terapi dapat dimulai. Apabila wanita tersebut tidak memiliki faktor risiko karsinoma endometrium dan masih berusia dibawah 35 tahun maka akan diberikan obat kontrasepsi oral kombinasi berupa ethinyl estradiol atau medroxyprogesterone asetat selama 10-14 hari per bulan. Bila keluhan berlanjut maka lakukan biopsi endometrium serta transvaginal USG untuk mencari penyebab perdarahan tersebut. Apabila wanita tersebut memiliki faktor risiko karsinoma endometrium atau berusia lebih dari 35 tahun maka lakukan biopsi endometrium. Hasil biopsi akan menentukan tatalaksana yang diberikan, hasil biopsi yang normal akan mendapatkan terapi yang telah disebutkan diatas. Sedangkan hasil biopsi berupa hiperplasia tanpa atypia akan mendapatkan medrodyprogesterone asetat 10 mg selama 14 hari per bulan atau megesterol 40 mg per hari atau dapat juga dipasang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dengan levonogestrel (mirena), setelah 3-6 bulan ulangi biopsi endometrium, apabila hasil masih menunjukan hiperplasia maka pasien dapat dirujuk ke ginekologis yang lebih berpengalaman. Untuk hasil biopsi hiperplasia dengan atipia sebaiknya pasien dirujuk langsung ke ginekologis, sedangkan untuk hasil biopsi adenokarsinoma dianjurkan pasien dirujuk ke ginekologis onkolog. Pada wanita dengan tipe perdarahan ovulasi dievaluasi terlebih dahulu apakah perdarahan disebabkan oleh kelainan sistemis, kelainan anatomis dengan menggunakan pemeriksaan lab dan pencitraan berupa USG transvaginal, bila terdapat kecurigaan akan adanya massa maka dapat dilakukan juga biopsi jaringan endometrium. Apabila tidak ditemukan kelainan anatomis dan gambaran USG memberikan
hasil
yang
normal
maka
pasien
dapat
diberikan
10
mg
medroxyprogesteron asetat selama 21 hari per bulan selama 3-6 bulan atau AKDR mirena atau digunakan NSAID pada hari pertama haid sampai haid berakhir atau dapat juga diberikan asam tranexamat sebanyak 2 kapsul 650 mg 3 kali sehari pada hari ke 1 sampai ke 5 saat haid. Bila perdarahan masih berlanjut setelah pemberian terapi selama 3-6 bulan maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan evaluasi ulang dengan biopsi endometrium, histeroskopi atau dilakukan tindakan ablasi endometrium, histerektomi.13
BAB III KESIMPULAN 9
Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai perdarahan yang ditandai dengan adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus, durasi maupun jumlah perdarahan. Perdarahan uterus abnormal dapat diklasifikasikan sebagai perdarahan anovulasi dan ovulasi. Klasifikasi ini penting untuk memberikan petunjuk mengenai etiologi dari perdarahan tersebut dan untuk menentukan terapi yang akan diberikan. Diagnosa dari perdarahan uterus abnormal dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menemukan penyebab dari perdarahan tersebut. Perlu ditanyakan sifat perdarahan, waktu perdarahan, penyakit sistemik yang sedang diderita dan riwayat pengobatan. Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan arah kecurigaan yang dilakukan dari anamnesis sambil mencari tandatanda dari penyakit sistemik atau kelainan yang menyebabkan perdarahan tersebut. Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan laboratorium darah, biopsi serta pencitraan berupa USG dan histerosalphingogram. Perdarahan uterus abnormal adalah keluhan yang sering dijumpai pada praktek sehari-hari pada wanita usia reproduksi maupun menopause, oleh karena itu petugas layanan primer diharapkan memiliki kemampuan untuk mendiagnosa serta menangani dan merujuk pasien dengan keluhan semacam ini.
DAFTAR PUSTAKA 1. Singh S et al. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2013 May;5:1–28. 10
2. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Bina Pustaka; 2011. 3. Rimsza ME. Dysfunctional Uterine Bleeding. Pediatrics in Review. 2002 Jul;23 (7):227–33. 4. Hoffman BL et al. Williams Gynecology. 2nd ed. United States: The McGraw-Hill Companies; 2012. 5. Sweet MG, Schmidt TA, Weiss PM, Madsen KP. Evaluation and Management of Abnormal Uterine Bleeding in Premenopausal Women. 2012 Jan 1;85 (1):35–43. 6. Fraser IS, Critchley HOD, Broder M, Munro MG. The FIGO Recommendations on Terminologies and Definitions for Normal and Abnormal Uterine Bleeding. Seminars in Reproductive Medicine. 2011;383–90. 7. Affandi B et al. Konsensus Tatalaksana Pendarahan Uterus Abnormal Karena Efek Samping Kontrasepsi. Jakarta: HIFERI & POGI. 8. Sianipar O et al. Prevalensi Gangguan Menstruasi dan Faktor-faktor yang Berhubungan pada Siswi SMU di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur. Maj Kedokt Indon. 2009 Jul;59 (6):308–13. 9. Munro MG, Crihley HO, Broder MS, Fraser IS. FIGO Classification System [PALM-COEIN] for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Nongravid Women of Reproductive Age. FIGO Working Group on Menstrual Disorders. Int J Gynaecol Obstet 2011;113:3-13. 10. The Royal Australian & New Zealand College statement C-Gyn6. Guidelines or Referral for investigation of intermenstrual and Postcoital Bleeding. July 2004. 11. Chittacharoen A, Theppisai U, Linasmita V, Manonai J. Sonohysterography in the Diagnosis of Abnormal Uterine Bleeding. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1447-0756.2000.tb01322.x/abstract.24 May 2010. Web. 12. Livingstone M, Fraser IS. Mechanisms of anormal uterine bleeding. Human Reproductive Update. 2002;8(1): 60-7. 13. Sweet MG, Schmidt-Dalton TA, Weiss PM, Madsen KP. Evaluation and management of abnormal uterine bleeding in premenopausal women. Am Fam Physician. 2012;85(1):35–43. 14. Dysfunctional Uterine Bleeding Workup: Laboratory Studies, Imaging Studies, Procedures [Internet]. [cited 2015 Jul 22]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/257007-workup.
11