BAB I PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke utama yang memiliki potensi tinggi untuk dimodifikasi. Setiap peningkatan 7 mmHg TDD dapat meningkatkan risiko relative untuk terkena stroke sebesar 100 %. Terapi preventif untuk meurunkan angka morbiditas dan mortalitas stroke dengan cara pengendalian hipertensi menunjukkan keberhasilan yang bermakna. Regimen terapi hipertensi yang dapat mempertahankan penurunan TDD sebesar 5 – 6 mmHg dalam jangka waktu lama dapat menurunkan faktor risiko sebesar 35 – 40 40 %. 3 Hipertensi pada stroke akut adalah kenaikan tekanan darah diatas normal dan menjadi premorbid yang muncul dalam 24 jam pada pasien stroke. Fenomena ini dilaporkan > 60% pada pasien stroke stroke pada studi di Amerika Amerika Serikat. Sekitar 980.000 pasien yang dirawat dengan stroke setiap tahunnya diperkirakan lebih dari separuhnya terjadi hipertensi akut. Jumlah penderita stroke diseluruh dunia setiap tahun sekitar 15 juta dengan respon hipertensi akut sekitar 10 juta.2,11 International Society of Hypertension (ISH) Hypertension (ISH) mendefinisikan hipertensi pada stroke akut adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg dengan pengukuran 2 kali selang 5 menit dalam 24 jam timbul gejala. Definisi ini berfungsi
untuk
menyeragamkan
pengukuran
prevalensi
dan
bukan
untuk
menetapkan pemberian anti hipertensi, dimana tergantung dari tipe stroke dan pertimbangan yang lain.2 Prevalensi terjadinya hipertensi pada stroke akut cukup tinggi. Dalam salah satu studi terbesar di Amerika Serikat National Hospital Ambulatory Medical Care Survey, didapati dari 563.704 pasien stroke 63% pasien dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Dalam International Stroke Trial, sebanyak 17.398 pasien yang diambil secara acak dari 467 Rumah Sakit di 36 negara, dalam waktu 48 jam setelah timbul stroke (waktu rata-rata 20 jam) memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 160,1 mmHg, dan 82 % pasien mempunyai tekanan 1
darah tinggi tinggi berdasarkan Word Health Organization(WHO) Organization(WHO)
yaitu tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg.6 Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa tekanan darah akan meningkat secara spontan pada kasus stroke akut. Dan peningkatan tekanan darah semakin parah pada pasien dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa kasus peningkatan tekanan darah dapat ekstrem khususnya pada iskemik batang otak. Tekanan darah dapat menurun pada beberapa hari pertama dan minggu setelah timbul stroke tanpa intervensi farmakologis. 10
2
darah tinggi tinggi berdasarkan Word Health Organization(WHO) Organization(WHO)
yaitu tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg.6 Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa tekanan darah akan meningkat secara spontan pada kasus stroke akut. Dan peningkatan tekanan darah semakin parah pada pasien dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa kasus peningkatan tekanan darah dapat ekstrem khususnya pada iskemik batang otak. Tekanan darah dapat menurun pada beberapa hari pertama dan minggu setelah timbul stroke tanpa intervensi farmakologis. 10
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi 2.1.1 Definisi Hipertensi
Berdasarkan beberapa pedoman penatalaksanaan hipertensi internasional, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, 90 mmHg, pada pemeriksaan berulang.15 Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi.18
2.1.2 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan etiologi, hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi disebut primer bila tidak diketahui penyebabnya (95%), yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik dapat meliputi aktivitas yang tinggi dari sistem renin angiotensin aldosteron, sistem saraf simpatis, kerentanan terhadap asupan garam, sedangkan faktor lingkungan meliputi intake garam intake garam yang berlebihan, obesitas dan gaya hidup.3,11 Kasus hipertensi sekunder
jauh lebih sedikit daripada hipertensi primer,
sekitar 5% dari total penderita hipertensi dewasa. Hipertensi disebut sekunder bila penyebab tingginya tekanan darah dapat diidentifikasi.3,11 Beberapa penyakit yang menjadi
penyebab utama hipertensi
sekunder
adalah penyakit ginjal kronik, stenosis arteri renalis, sekresi aldosteron berlebihan, feokromasitoma, dan obstructive sleep obstructive sleep apnea. apn ea. Penyakit lain yang juga dapat menjadi penyebab hipertensi sekunder adalah sindroma cushing, koartasio aorta, penyakit paratiroid dan d an penyakit tiroid.3 Selain disebabkan oleh penyakit, hipertensi sekunder juga dapat d apat disebabkan disebabk an oleh ol eh obat o bat - obatan ob atan seperti golongan kortikosteroid ko rtikosteroid (prednison, fludrokortison, triamsinolon), amfetamin/anorektik (phendimetrazine, phentermine, 3
sibutramine), antivascular endothelin growth factor agents, estrogen (kontrasepsi oral),
calcineurin
inhibitor
(siklosporin,
tacrolimus),
dekongestan
( phenylpropanolamine & analog), erythropoesis stimulating agents (erythropoietin, darbapoentin), Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAIDs), Cyclooxygenase 2 inhibitors (COX-2 inhibitors), venlafaxin, bupropion, romokriptin, buspiron, carbamazepin, clozapin, ketamin, metoklopramid. Hipertensi sekunder juga dapat disebabkan oleh makanan (sodium, etanol, licorice) dan obat jalanan yang mengandung cocain, cocaine withdrawal , ephedra alkaloids, “herbal ecstacy”, phenylpropanolamine analog , nicotine withdrawal , anabolic steroid , narcotics withdrawal ,
metylphendate, phenicyclidine, ketamin,
ergot-containing
herbal
product.3,11 Resiko relative hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetic, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stress, obesitas dan nutrisi.15
2.1.3 Patogenesa Hipertensi
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi,diantaranya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, produksi berlebihan dari hormon-hormon yang mempertahankan natrium dan vasokonstriktor, konsumsi natrium dalam jumlah besar jangka panjang, kurang mengkonsumsi kalium dan kalsium, peningkatan sekresi renin yang berakibat peningkatan produksi angiotensin II dan aldosteron, defisiensi
vasodilatator,
perubahan
ekspresi
sistem
kalikrein-kinin
yang
mempengaruhi tonus vascular dan retensi garam, abnormalitas pembuluh darah, perubahan pada reseptor adrenergik yang mempengaruhi heart rate, peningkatan aktivitas vascular growth factors.14 Dari berbagai faktor yang mempengaruhi patogenesis hipertensi, terdapat 4 faktor yang paling mendominasi : 1) Peran volume intravascular 4
Tekanan darah adalah hasil interaksi dari curah jantung dan tahanan total perifer. Apabila asupan garam berlebihan, hal ini akan memacu ginjal untuk meningkatkan eksresi garam. Namun, apabila jumlah garam melebih batas emampuan ginjal maka ginjal akan meretensi garam yang berakibat peningkatan volume cairan. Peningkatan bolume cairan akan berakibat pada meningkatnya preload sehingga curah jantung juga akan meningkat. Sedangkan Tahanan total perifer akan meningkat jika terjadi vasokonstriksi dan menurun bila terjadi vasodilatasi pembuluh darah.3 2) Peran sistem saraf simpatis Sistem saraf simpatis menstimulasi visceral melalui neurotransmitter katekolamin, norepinefrin, epinefrin dan dopamin. Di dalam tubuh terdapat beberapa organ yang memiliki reseptor adrenergik sebagai reseptor yang menerima rangsang saraf simpatik, diantaranya yag berhubungan dengan pathogenesis hipertensi adalah reseptor yang terdapat di jantung, dinding pembuluh darah dan ginjal. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik misalnya akibat stress, genetik, rokok dan lain sebagainya
akan meningkatkan
neurotransmiter simpatis yang memicu peningkatkan tekanan darah melalui stimulasi ke jantung menggunakan reseptor α1, ß1 dan ß2 sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan aritmia. Dinding pembuluh darah perifer yang memiliki reseptor a1 akan mengalami vasokonstriksi, sedangkan pada ginjal
yang memiliki reseptor α1 dan
ß1, Norepinefrin akan meyebabkan
terjadinya retensi natrium, mengaktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA), dan memicu vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat menyebabkan peningkatan progresifitas pada hipertensi aterosklerosis. 3,14 Mekanisme peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik
pada kondisi
hipertensi dimediasi oleh perubahan baroreflex dan chemoreflex pada level sentral maupun perifer. Pada pasien hipertensi terdapat pengaturan ulang pada baroreflex aorta yang menyebabkan supresi dari penghambat kerja simpatis setelah baroreflex diaktifkan. Kondisi baroreflex ini dipengaruhi oleh aksi sentral angiotensin II. 5
Angiotensin II juga menguatkan stimulasi simpatik dengan mekanisme perifer, yakni memfasilitasi modulasi pelepasan norepinefrin di presinaps.14 3) Peran renin angiotensin aldosteron Renin dibiosintesis oleh sel juxtaglomerular yang berada di arteriol aferen glomerulus. Renin disintesis dalam bentuk prohormon dan hormon aktif. Sekresi renin dipengaruhi oleh empat faktor yakni :
Mekanisme baroreseptor ginjal di arteriol aferen yang akan aktif bila terjadi perubahan tekanan perfusi ginjal
Perubahan konsentrasi Natrium Chlorida (NaCl) di sel makula densa
Stimulasi sistem saraf simpatik melalui reseptor ß1 adrenergik
Feedback negatif oleh angiotensin II pada sel juxtaglomerular
Renin bekerja dengan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensinogen dihasilkan oleh hati secara konstitusif sehingga konsentrasi plasmanya tetap dan tidak meningkat secara akut. Produksi angiotensinogen dapat meningkat oleh karena glukokortikoid, estrogen dan sex steroid lain, hormon tirod, sitokin proinflamasi dan angiotensin II. 15 Angiotensin I yang masih inaktif akan dihidrolisa oleh ACE menjadi angiotensin II yang merupakan hormone aktif. ACE adalah exopeptidase yang berikatan dengan membran plasma pada berbagai jenis sel khususnya sel-sel endotel pembuluh darah, microvascular brush border dan sel-sel neuroepitelial. Selain itu ACE juga dapat ditemukan di plasma. 15 Angiotensin II yang terbentuk memiliki empat macam reseptor yakni AT1, AT2,,AT3, AT4. Ikatan pada reseptor AT1 memberikan efek paling besar pada sistem kardiovaskuler (vasokonstriksi, peningkatan tekanan darah, peningkatan kontraktilitas jantung, hipertrofi jantung), ginjal (reabsorpsi natrium, inhibisi pelepasan renin), sistem saraf simpatik, korteks adrenal (stimulasi sintesis aldosteron). Reseptor AT2 dominan saat fetus namun jumlahnya turun setelah lahir dan berfungsi sebagai vasodilator, antiproliferatif, efek apoptosis pada otot polos pembuluh darah dan menghambat remodeling di jantung, pada ginjal AT2 6
mempengaruhi reabsorbsi natrium di tubulus proksimal. Reseptor AT 3 sampai saat ini masih belum diketahui fungsinya. Reseptor memediasi pelepasan penghambat aktivasi plasminogen.15 Angiotensin III dan IV dibentuk dari perubahan struktur molekul angiotensin II. Angiotensin III kemungkinan mempengaruhi tonus tekanan darah dan kondisi hipertensi sedangkkan angiotensin IV bersama dengan angiotensin II dapat meingkatkan tekanan darah. 15 Kaskade selanjutnya adalah sintesis aldosteron. Aldosteron adalah pengatur utama
keseimbangan
garam
(natrium,
kalium)
dalam
tubuh.
Aldosteron
meningkatkan reabsorpsi natrium dan air pada tubulus distal dan tubulus kolektivus, serta meningkatkan eksresi kalium. 15 4) Peran dinding vaskuler pembuluh darah Nitric oxide adalah vasodilator yang poten, penghambat agregasi platelet dan mampu menekan migrasi dan proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Perubahan tekanan darah, shear stress, pulsatile stretch dan stimulus lain akan menyebabkan pelepasan Nitric oxide oleh sel endotel pembuluh darah. Pada orang dengan hipertensi, peran Nitric oxide sebagai vasodilator menurun. 14 Stress oksidatif berperan dalam inaktifasi Nitric oxide dan perkembangan disfungsi endotel pada kondisi hipertensi. Dalam hal ini Angiotensin II juga memiliki pengaruh pada peningkatkan pembentukan superoxide oksidan. Peningkatan stress oksidatif dan disfungsi endotel dapat menjadi penyebab terjadinya hipertensi.14 Disfungsi endotel akan berkembang menjadi disfungsi vascular, vascular biologi berubah lalu berakhir dengan TOD. Penanda adanya disfungsi endotel dapat dilihat di mata (retinopati hipertensi) dan ginjal.3
2.1.4 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi ditetapkan berdasarkan rerata dua atau tiga kali pengukuran yang cermat sewaktu duduk pada dua k ali atau lebih kunjungan. 9,13 7
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7 untuk usia ≥ 18 tahun
Klasifikasi Tekanan Darah
Normal
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Sistolik ( TDS)
Diastolik (TDD)
mmHg
mmHg
<120
<80
Prehipertensi
120-139
80-89
Hipertensi derajat 1
140-159
90-99
Hipertensi derajat 2
≥160
≥100
9
Peningkatan tekanan darah sisitolik yang tidak diikuti peningkatan tekanan darah diastolik disebut isolated systolic hypertension (ISH), sedangkan jika yang meningkat adalah diastoliknya saja disebut isolated diastolic hypertension (IDH). Selain itu terdapat terminologi white coat hypertension yaitu tekanan darah yang meningkat ketika diperiksa di tempat praktik, sedangkan tekanan darah yang diukur sendiri ternyata selalu terukur normal. Hipertensi persisten adalah tekanan darah tinggi yang tetap tinggi baik diukur di klinik maupun di luar klinik. Walaupun sama sama tinggi, namun biasanya tekanan darah di klinik terukur lebih tinggi. Terminologi hipertensi yang lain adalah hipertensi resisten yang berarti tekanan darah yang tidak mencapai target normal meskipun sudah mendapatkan tiga kelas obat antihipertensi yang berbeda dan sudah dengan dosis optimal.3 Hypertensive Encephalopathy atau ensefalopati hipertensi adalah sindrom klinik akut reversible yang dipresipitasi oleh kenaikan tekanan darah tiba-tiba sehingga melampaui batas autoregulasi otak. Hypertensive Encephalopathy dapat terjadi pada normotensi yang tekanan darahnya mendadak naik menjadi 160/100 mmHg. Sebaliknya mungkin belum terjadi pada hipertensi kronis meskipun tekanan arteri rata-rata mencapai 200-225 mmHg. Hypertensive Encephalopathy terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan kesadaran, peningatan tekanan intracranial,
8
retinopati dengan papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tetapi kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologi jarang ditemukan dan jika ada, lebih dipikirkan suatu infark/ perdarahan serebri atau transient ischemic attack .2 Ada beberapa teori yang dapat menerangkan patofisiologi Hypertensive Encephalopathy diantaranya : 1. Reaksi autoregulasi yang berlebihan Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah otak dan iskemik.Vasopspasme dan iskemia akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis fibrinoid, dan peradangan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan sawar darh otak sehingga dapt timbul edema cerebri. 2. Kegagalan autoregulasi Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi dan mendadak menyebabkan kegagalan autoregulasi sehingga tidak terjadi vasokonstriksi tetapi justru vasodilatasi. Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental ( sausage string pattern), tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotel yang dilatasi terganggu sehingga menyebabkan ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya menimbulkan edema cerebri.2
2.2 Stroke Iskemik 2.2.1 Definisi Stroke Iskemik
Menurut kriteria WHO, stroke secara klinis di definisikan sebagai gangguan fungsi otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda atau gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak.16 Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak.16 9
2.2.2
Etiologi Stroke Iskemik
Penyebab utama kejadian utama stroke iskemik adalah aterosklerosis arteri besar (makroangiopati), kardioemboli, dan penyakit pembuluh darah kecil otak (mikroangiopati). Penyebab lain yang lebih jarang adalah diseksi arteri serebral, serebral vaskulitis, koagulopati, kelainan hematologi dan lain-lain.1,16
2.2.3 Patogenesa Stroke Iskemik
Terjadi karena penyumbatan pembuluh darah (arteriol, kapiler, dan venule) yang memasuki parenkim otak menyebabkan daerah tersebut menjadi tidak ada aliran dan dikelilingi oleh penumbra dengan akibat : 1) Kegagalan elektrik(reversible) Pada keadaan ini terjadi kegagalan energy jaringan berupa penurunan oksigen dan glukosa, menurunnya energy (ATP dan fosfokreatin) dan timbulnya asidosis laktat, yang diikuti kegagalan homeostatis kation dalam bentuk menurunnya K +, Ca +, Cl, H2O ekstrasel dengan terjadinya edema sitotoksik dan pelepasan neurotransmitter bersama influk Ca2+.5,6,12 2) Kegagalan Metabolik Proses berlanjut dengan terjadinya toksisitas kalsium intrasel (fosfolipase diubah menjadi asam arakidonat, leukotrin dan prostaglandin). Oksigen radikal merusak membrane, protein dan DNA, sedangkan protease akan menyebabkan pemecahan protein dan arginin menjadi sitrulin + NO. Pada proses akhir terjadi infark dan nekrosis karena pecahnya sawar darah otak disertai edema vasogenik dengan aktivasi leukosit. Neutropil darah, makrofag, mikroglia dan astrosit memasuki zona infark, mengawali proses perubahan lesi nekrotik menjadi scar gliotik.5,6,12 Aktivasi leukosit yang berlebihan diprovokasi untuk meningkatkan sitokin yang akan mempengaruhi reaksi hiperviskositas. Adanya iskemik menyebabkan limfosit memperbanyak produksi TNF α, IL 1β. Sitokin- sitokin ini akan meningkatkan produksi intercellular adhesion moleculer (ICAM 1). 10
Sementara itu, iskemik leukosit pada daerah oklusi vascular memprovokasi peningkatan reseptor adhesi yang disebut dengan integrin (CD 11b dan CD 18). Integrin termasuk dalam kelompok reseptor adhesi yang menjadi perantara pengikatan interselular dalam system vascular.5,6,12 Pada proses ini CD 11b dan CD 18 terikat pada endotel ICAM 1 yang mengakibatkan sludging sel-sel sepanjang permukaan endotel dan bahkan terjadi transmigrasi leukosit pada endotel, sehingga terjadi efflux cairan dan plasma yang mengakibatkan hemokonsentrasi di daerah intravaskuler disertai peningkatan viskositas dan sludging.5,6,12 Respon radang ini mempengaruhi elemen darah, dengan perubahan protrombotik terjadi simultan. Pada iskemik, endotel akan mengurangi produksi tissue plasminogen activator (tPA) pada trombolitik normal, sehingga memacu thrombosis intravascular. 5,6,12 Selanjutnya tissue factor (TF) yang merupakan prokoagulan kuat dilepaskan dari jaringan otak, bersama faktor VIIa menghasilkan thrombin dan trombogenesis. 5,6,12 3) Perubahan Mikrosirkulasi Otak Dalam keadaan normal, sel endotel disepanjang pembuluh darah bekerja mencegah thrombolysis dan agregasi platelet, serta membantu menjaga tonus vascular akibat kerja NO yang disintesis sel endotel. Pelepasan NO tersebut pada pembuluh darah mempengaruhi sel otot polos untuk vasodilatasi. Juga terjadi pelepasan prostasiklin yang merupakan inhibitor thrombosis dan agregasi platelet. 5,6,12 Pada keadaan stroke trombotik dimana akan menyebabkan iskemik diikuti perubahan sel endotel yang selanjutnya mengakibatkan leukosit, platelet,
faktor
koagulasi
sehingga
menimbulkanaktifitas
memindahkan propagasi agregasi platelet. 5,6,12
11
radang
dan
2.2.4 Faktor resiko Stroke Iskemik
Resiko stroke meningkat seiring dengan beratnya dan banyaknya faktor resiko. Data epidemiologi menyebabkan resiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah 30% dan populasi yang
pernah menderita stroke memiliki
kemungkinan serangan ulang adalah adalah 9 kali dibandingkan populasi normal. Upaya untuk mencegah serangan
ulang stroke perlu mengenal dan
mengontrol
faktor resiko dan kalau perlu merubah faktor resiko tersebut.8 Faktor resiko stroke iskemik dibagi 2 yaitu nonmodifiable risk factor dan modifiable risk factor. Nonmodifiable risk factors merupakan kelompok faktor resiko yang ditentukan secara genetic atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Sementara modifiable risk factor merupakan akibat dari gaya hidup seseorang yang dapat dimodifikasi. Nonmodifiable risk factors
Usia
Jenis Kelamin
Riwayat stroke dalam keluarga atau genetik
Modifiable risk factor a. Behaviour -
Merokok
-
Diet tinggi lemak, tinggi garam, tinggi kolesterol dan rendah serat
-
Alkoholik
b. Physiological risk factors -
Hipertensi
-
Penyakit jantung
-
Diabetes Mellitus
-
Obesitas
-
Hiperkolesterolemia
-
Kelainan anomali pembuluh darah
12
Mayor Risk Factor
2.3
-
Hipertensi
-
Merokok
-
Diabetes Mellitus
-
Penyakit Jantung
-
Hiperkolesterolemia
Hubungan hipertensi dengan stroke
Hipertensi merupakan satu dari beberapa faktor resiko stroke iskemik. Berdasarkan adanya penyelidikan berbagai klinis dan meta-analisis menunjukkan bahwa dengan mengendalikan hipertensi akan mengurangi risiko terjadinya stroke.16 Hipertensi
juga
diduga
memicu
terjadinya
aterosklerosis,
namun
aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga tekanan darah yang tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Tidak hanya itu, diduga beberapa jenis zat yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin angiotensin dan lain-lain dapat menginduksi perubahan seluler yang menyebabkan aterogenesis.16 Pada orang normal terdapat suatusistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme ( vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian, aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk tekanan sistolik dan 110-120 mmHg untuk tekanan diastolik.19 Ketika
tekanan
darah
sistemik
meningkat,
pembuluh
serebral
akan
berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya
13
diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sitemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik, maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi hyperemia, edema dan kemungkinan perdarahan pada otak.19 Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter 1 mm. Mikroaneurisma ini dikenal dengan aneurisma Charcot- Bouchart dan terutama terjadi pada arteri lentikulostriata. Pada lonjatan tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau mengejan, aneurisma bisa pecah.19 Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Pada keadaan normal, endothelial menunjukkan fungsi dualistic. Sifat ini secara simultan mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor
(angiotensin
II,
endotelin-I,
tromboksan
A-2,
dan
radikal
superoksida) serta vasodilator(prostaglandin dan nitrit oksida). Faktor-faktor ini menyebabkan dan mencegah proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara system antagonis ini dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi endotel, terjadi vasokonstriksi, proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah, agregasi trombosit, adhesi lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen dan immunoglobulin. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis memegang peranan yang penting untuk terjadinya stroke infark.19 Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung. Dibandingkan dengan individu normotensive, penderita hipertensi mempunyai risiko penyakit jantung koroner 2 kali lebih besar dan risiko 14
yang lebih tinggi untuk mendapatkan stroke. Apabila tidak diobati, kurang lebih setengah dari penderita hipertensi akan meninggal akibat stroke dan 10-15% akan meninggal akibat gagal ginjal maka kontrol terhadap tekanan darah merupakan hal yang sangat penting dengan diharapkan akan menurunkan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular dan stroke secara bermakna . 19 Penanganan tekanan darah adalah salah satu strategi untuk mencegah stroke dan mengurangi risiko kekambuhan pada stroke iskemik dan perdarahan. Penanganan hipertensi dapat mengurangi kerusakan disekitar daerah iskemik hingga kondisi klinis pasien stabil. 21 Penelitian meta analisis mengenai pengobatan antihipertensi melaporkan bahwa pengurangan tekanan darah 5-6mmHg menghasilkan pengurangan serangan stroke sebanyak 42% dan penelitian dari SHEP menunjukkan pengurangan serangan stroke sebanyak 37% pada pasien yang mengalami stroke iskemik dan diterapi dengan antihipertensi. 20 Stroke merupakan penyebab kematian kedua didunia setelah penyakit jantung dengan angka kematian sekitar 4,4 juta orang pertahun. Insiden penyakit serebrovaskuler meningkat dengan tajam sesuai pertambahan usia dan bersama dengan pertambahan populasi usia lanjutakan terjadi peningkatan beban stroke di masyarakat. Secara umum diketahui sebanyak 25% pasien dengan stroke meninggal dalam bulan pertama dan 40% meninggal dalam tahun pertama setelah serangan akut dan separuh dari mereka yang hidup akan mengalami kecacatan fisik. Hipertensi hingga saat ini disebut sebagai faktor resiko utama untuk semua jenis stroke baik infark maupun perdarahan serebral. Dari data penelitian yang ada menunjukkan control terhadap tekanan darah akan mengurangi resiko stroke. Hipertensi akan mengganggu aliran darah serebral dan akan berperan pada kejadian penyakit serebrovaskuler. Komplikasi hipertensi pada otak dapat berupa ensefalopati hipertensi, hipertensi
maligna,
stroke
hemoragik
dan
stroke
non
hemoragik(iskemik).
Penanganan penderita hipertensi dengan komplikasi otak dibedakan menjadi 2(dua) 15
kelompok yaitu keadaan krisis hipertensi yang didapatkan pada ensefalopati hipertensi, stroke hemoragik dan hipertensi maligna.2 Komplikasi hipertensi pada otak dapat bersifat akut atau kronik. Komplikasi hipertensi pada otak yang bersifat akut biasanya karena kenaikan tekanan darah yang cepat dan mendadak seperti pada ensefalopati hipertensi. Sedangkan komplikasi yang bersifat kronis berupa kelainan-kelainan pembuluh darah otak berupa :
Nodular atherosclerosis (atheroma) Charcot-bourchard aneurysm Fibrinoid necrosis
Nodular atherosclerosis (atheroma) Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terpenting untuk terjadinya atheroma di pembuluh darah otak. Faktor resiko lainnya adalah : diabetes
mellitus,
merokok,
hiperkolesterolemia.
Atheroma
dapat
menyebabkan komplikasi stroke non hemoragik.2 Charcot-bourchard aneurysm Hipertensi
dianggap
sebagai
satu-satunya
faktor
utama
untuk
terjadinya aneurisma ini. Tekanan darah yang terus-menerus tinggi disertai komplikasi aneurysma Charcot-bourchard dapat mengakibatkan komplikasi stroke hemoragik.2 Fibrinoid necrosis Komplikasi lain hipertensi pada pembuluh darah otak adalah terjadinya Fibrinoid
necrosis.
Kelainan
pembuluh
darah
ini
akan
bermanifestasi klinis sebagai hipertensi maligna.2
2.4 Penatalaksanaan Hipertensi pada stroke akut
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi
16
pada pasien stroke akut sekitar 73,9 %. Sebesar 22,5-27,6% diantaranya mengalami peningkatan darah sistolik > 180 mmHg. 8 Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U(U- shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut ( iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan.8 Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keadaan neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai guiedeline (AHA/ASA dan ESO) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini : a) Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS < 185 mmHg dan TDD < 110 mmHg (AHA/ASA , Class I, Level of evidence B). Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS < 180 mmHg dan TDD < 105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat hipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena. b) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C ), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. c) Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan 17
intracranial.
Tekanan
darah
diturunkan
dengan
menggunakan
obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg. d) Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hatihati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B) e) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B) f) Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral. g) Pemaikaian obat aintihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas. h) Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak. i) Pada perdarahan subaraknoid 9psa) aneurisma, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia
18
pasien,
berat
ringannya
kemungkinan
vasospasme
dan
komorbiditas
kardiovaskular. j) Calsium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin. k) Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serenral pada PSA aneurisma (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas. l) Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensi. Target penurunan tersebut adalah 1525 % pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.20
Sebagian ahli tidak merekomendasikan terapi hipertensi pada stroke akut, kecuali terdapat hipertensi berat yang menetap yaitu tekanan darah sistolik >220 mmHg atau diastolik >120 mmHg.7,8 Obat-obat anti hipertensi yang sudah ada sebelum serangan stroke diteruskan pada fase awal stroke dan menunda pemberian obat anti hipertensi yang baru sampai dengan 7-10 hari paska awal serangan stroke. Pada penderita dengan tekanan darah diastolik >140 mmHg (atau > 110 mmHg bila akan dilakukan trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain.
Jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg
dan/atau tekanan darah diastolik >120 mmHg, berikan Labetolol i.v selama 1-2 menit. Dosis labetolol dapat diulang atau digandakan setiap 10-20 menit sampai dosis kumulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal,
19
labetolol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan. Masih ada pilihan pilihan obat lain sesuai guidelines.7,8 Jika tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolic <120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut , gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetolol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetolol adalah nifedipin oral 10 mg setiap 6 jam atau 6,25-25 mg Captopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan labetolol i.v seperti cara diatas atau obat pilihan lainnya (urgensi).7,8 Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-25% dari tekanan darah arterial
rerata pada 24 jam pertama, dan tindakan selanjutnya
ditentukan kasus perkasus.7,8
Stroke iskemik dengan pemberian trombolitik
Pada studi NIND ( National Institute of Neurological Disorder and Stroke) yang memberikan tPA (tissue Plasminogen Activator ) pada stroke akut, ditemukan adanya peningkatan resiko terjadi perdarahan cerebral pada tekanan darah diastolic yang meningkat (>110 mmHg).7,8 Perdarahan serebral setelah pemberian trombolitik berkisar 3-9%. Kejadian ini dihubungkan dengan prognosis yang jelek dengan angka kematian lebih dari 60% pada 30 hari. Akhir-akhir ini direkomendasikan pemberian infus platelet (6-8 U) dan cryoprecipitate yang berisi faktor VIII yang mengoreksi secara cepat pengaruh sistemik dari pemberian trombolitik.7,8 Australian Streptokinase Trial, melaporkan terjadinya peningkatan perdarahan sekitar 25 % pada pasien yang diterapi streptokinase dengan tekanan darah sistolik >165 mmHg. ASA and European Stroke Initiative merekomendasikan penurunan 20
tekanan darah (<180/105 mmHg) sebelum pemberian trombolitik. Pemberian anti hipertensi pre dan post trombolitik dapat mengurangi terjadinya perdarahan dalam 3 bulan.7,8
Tabel 2. AHA/ASA Recommendation for BP Management in Acute Ischemic Stroke
Stroke perdarahan intraserebral
Perdarahan intra parenkhim otak dengan atau tanpa ekstensi ke ventrikel dan jarang ke subarachnoid dikenal dengan stroke perdarahan intraserebral. Hipertensi kronis sebagai penyebab utama dari stroke perdarahan intraserebral. Autoregulasi serebral terjadi pada tingkat arteriol, dimana vasokonstriksi akan meningkatkan tekanan darah dan vasodilatasi akan menurunkan tekanan darah. Perubahan pada diameter pembuluh darah akan menjaga aliran darah serebral dalam keadaan normal. Nilai normal dari autoregulasi
serebral berkisar 50-150 mmHg. Pada hipertensi
kronis yang tidak diterapi akan meningkatkan resiko injuri iskemik dan menurunkan tekanan perfusi serebral dibawah limit autoregulasi.4 Ada beberapa perbedaan yang menjelaskan terjadinya kenaikan tekanan darah secara akut. Pertama, sebagai reaksi terhadap hipertensi yang tidak diterapi. Kedua,
21
Cushing-Kohler Response, dimana merupakan reaksi terhadap penekanan batang otak. Ketiga, meningkatnya katekolamin, aktifitas simpatetik dan parasimpatetik dan brain natriuretic peptide (BNP).4
Penatalaksanaan
Pada stroke perdarahan intraserebral dengan tekanan darah sistolik > 220 mmHg tekanan diastolik > 120 mmHg harus diturunkan sedini dan secepat mungkin untuk membatasi pembentukan edema vasogenik akibat robeknya sawar darah otak pada daerah iskemia sekitar perdarahan. Penurunan tekanan darah akan menurunkan resiko perdarahan ulang, akan tetapi daerah otak sekitar hematom bertambah iskemik karena autoregulasi pada daerah ini telah hilang. Atas dasar ini obat anti hipertensi diberikan kalau tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan sistolik > 100 mmHg.11,12,13 Dandapani et al menganjurkan penurunan tekanan darah sedini mungkin pada perdarahan intraserebral dengan MAP > 145 mmHg untuk mencegah perdarahan ulang, pengurangan tekanan intracranial dan edema otak.12 Bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan darah diastolik >140 mmHg diberikan nikardipin, diltiazem atau nimodipin. Bila tekanan darah sistolik 180-230 mmHg atau tekanan sistolik 105-140 mmHg atau MAP 130 mmHg diberikan labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai maksimum atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh labetalol drip 2-8 mg/menit atau nikardipin. Pada fase akut tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25% dari MAP. Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolic < 105 mmHg tangguhkan pemberian obat anti hipertensi. Penurunan tekana darah harus dipertahankan dibawah MAP 130 mmHg. Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg harus diberikan vasopressor.11,12,13
22
Tabel 3. Recommended Guidelines for Treating Elevated Blood Pressure in Spontaneous ICH
Golongan Obat Antihipertensi
Terdapat berbagai beberapa golongan obat yang digunakan dalam terapi antihipertensi, yaitu : diuretik, ß-bloker, ACE inhibitor , Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB), vasodilator dan golongan antihipertensi lain yang penggunaannya lebih jarang dibandingkan golongan obat yang disebutkan. Golongan obat antihipertensi : 1) Diuretik Diuretik tiazid merupakan terapi inisial untuk pasien hipertensi. Diuretik dapat meingkatkan efektifitas terapi pada terapi kombinasi dengan antihipertensi lain dalam mencapai tekanan darah target dan sangat terjangkau. Diuretik tiazid diberikan pada terapi inisial baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi dengan kelas antihipertensi lain.9 Diuretik bekerja dengan mendeplesi simpanan natrium tubuh. Beberapa diuretik juga memiliki efek vasodilatator selain efek diuresisnya. Diuretik efektif
23
menurunkan tekanan darah 10-15 mmHg pada sebagian besar penderita hipertensi. Golongan obat ini baik digunakna pada pasien dengan hipertensi esensial ringan sampai dengan sedang.2 Efek samping diuretik yang paling sering adalah deplesi kalium (kecuali diuretik hemat kalium yag malah dapat menimbulkan hiperkalemi), deplesi magnesium,
merusak
toleransi
glukosa,
meningkatkan
kadar
lipid
serum,
meningkatkan kadar asam urat dan mencetuskan gout. Penggunaan dengan dosis lebih rendah akan menurunkan efek sistemiknya.2 2) Beta Bloker Beta Bloker menurunkan tekanan darah terutama dengan menurunkan CJ, dan menurukan tahanan vaskuler perifer. Beta Bloker bekerja dengan menghambat reseptor ß adrenergik baik di jantung, pembuluh darah dan ginjal. Obat ini tidak bekerja di otak karena tidak menembus sawar darah otak. Beta Bloker dapat menurunkan jumlah renin plasma dengan bloking ß1mediated renin release oleh ginjal dan menurunkan sekresi aldosteron.2,15 3) ACE inhibitor ACE inhibitor
memblok kerja ACE sehingga menghambat konversi
angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menurunkan jumlah angiotensin II yang memegang peranan penting dalam pathogenesis hipertensi.15 4) Angiotensin Reseptor Blocker (ARB ) ARB bekerja dengan memblok angiotensin II pada reseptor AT1 sehingga jumlah angiotensin II plasma akan meningkat. Seperti ACE inhibitor, ARB menurunkan tekanan
darah
dengan
cara
menurunkan
resistensi
sistemik.
ARB
tidak
mempengaruhi heart rate dan memiliki efek yang minimal pada curah jantung di jantung yang sehat. ARB juga dapat menurunkan marker inflamasi pada pasien aterosklerosis.
5) Calsium Channel Bloker ( CCB )
24
CCB menurunkan tahanan vaskuler perifer dan tekanan darah. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat influx kalsium pada otot polos arteri. Berdasarkan penelitian, terjadi peningkatan risiko infark miokard dan peningkatan mortalitas pada pasien hipertensi yang diterapi dengan nifedipin lepas cepat. Obat penyekat kalsium lepas lambat mengendalikan tekanan darah lebih baik dan cocok untuk hipertensi kronik.15 6) Aldosteron Receptor Blocker Golongan aldosteron receptor blocker bekerja dengan menghambat kerja aldosteron sehingga terjadi penurunan reabsorbsi natrium. Penurunan reabsorbsi natrium ini kemudian akan menurunkan volume intravaskuler, menurunkan preload dan akhirnya menurunkan tekanan darah. Contoh golongan obatnya adalah spironolakton.2 7) Antihipertensi lain Beberapa golongan obat antihipertensi lain adalah :
Agonis α2 sentral Contoh obat Agonis α2 sentral sentral adalah metildopa dan klonidin. Obat-obatan golongan ini menurunkan aliran simpatis dari pusat vasopresor di batang
otak
namun
membiarkan
bahkan
meningkatkan
sensitivitas
baroreseptor. Obat-obatan golongan ini cenderung menyebabkan sedasi dan depresi mental serta menyebabkan gangguan tidur termasuk mimpi buruk.
Golongan obat penyekat saraf adrenergik Obat-obatan
golongan
ini
menurunkan
tekanan
darah
dengan
mencegah fisiologi normal NE post ganglion saraf simpatis.
Golongan obat penyekat α Obat penyekat α menurunkan tekanan arteri dengan mendilatasi pembuluh darah.
Vasodilatator Merelaksasi otot polos arteriol sehingga mengurangi tahanan vaskuler sistemik.15 25
Tabel 4. Obat antihipertensi pada stroke akut Golongan/
Mekanisme
Dosis
Keuntungan
Kerugian
Obat Tiazid
Diazoksid
Aktivasi ATP-
IV bolus : 50- Awitan < 5 menit
Retensi cairan
sensitive K-
100 mg
dan garam,
channels
IV infus : 15-
hiperglikemia
30 mg/menit
berat, durasi lama(1-12 jam)
ACEI
Enalaprilat
ACE inhibitor
0,625-1,25mg
Awitan <15 menit
Durasi lama
IV selama
(6 jam),
15 menit
disfungsi renal
Calcium Channel Bloker
Nikardipin
Penyekat kanal 5 mg/ jam IV
Awitan cepat(1-5
Takikardi
Clevidipin
kalsium
2,5 mg/jam
menit), tidak
bradikardia,
Verapamil
tiap 15 menit
terjadi rebound
hipotensi,
Diltiazem
sampai 15
yang bermakna
durasi lama (4-6
mg/ jam
jika dihentikan,
jam)
eliminasi tidak dipengaruhi oleh disfungsi hati atau renal, potensi interaksi obat rendah.
26
atau
Awitan cepat < 1 menit, tidak terjadi
rebound
atau takiflaksis
Beta Bloker
Labetalol
Antagonis
10-80 mg IV Awitan cepat
Bradikardia
reseptor
tiap 10 menit (5-10 menit)
Hipoglikemi,
α1,β1,β2
sampai
durasi lama
300 mg/hr ;
(2-12 jam),
Infus : 0,5-2
gagal jantung
mg/menit
kongestif, bronkospasme
Esmolol
Antagonis
0,25-0,5
Awitan segera,
Bradikardia,
selektif reseptor mg/kg IV
durasi singkat
Gagal
β1
< 15 menit
kongestif.
Awitan cepat
Takikardi
(2 menit),
Aritmia
bolus disusul
jantung
dosis pemeliharaan
Alfa Blocker
Fentolamin
Antagonis
5-20 mg IV
reseptor α1, α2
durasi singkat (10-15 menit)
27
Vasodilator langsung
Hidralasin
NO terkait
2.5-10 mg IV
Serum sickness
dengan
bolus (sampai
like, drug
mobilisasi
40 mg)
induced lupus,
kalsim dalam
Durasi lama (3-
otot polos
4 jam), awitan lambat (15-30 menit)
Tiopental
Aktivasi
30-60 mg IV
reseptor GABA
Awitan cepat
Depresi
(2 menit), durasi
miokardial
singkat (5-10 menit)
Trimetrafan
Blockade
1-5 mg/menit
Awitan segera,
Bronkospasme,
ganglionik
IV
durasi singkat (5-
retensi
10 menit)
siklopegia,
urine,
midriasis
Fenoldipam
Agonis DA-1
0,001-1,6
Awitan < 15
Hipokalemia,
dan reseptor α2
µg/kg/menit
menit, durasi 10-
takikardi,
IV
;
tanpa 20 menit
bradikardi
bolus
Sodium nitropusid
Nitrovasodilator
0,25-10
Awitan segera,
Keracunan
µg/kg/menit
durasi singkat
sianid,
IV
(2-3 menit)
vasodilator
28
serebral
(dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial), reflex takikardi
Nitrogliserin
Nitrovasodilator
5-100
Awitan 1-2 menit,
Produksi
µg/kg/menit
durasi 3-5 menit
methemoglobin,
IV
reflex takikardi
Sifat khusus obat a. Labetalol Labetalol adalah gabungan alfa dan beta sehingga selain memiliki efek penurunan frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontaktilitas jantung. Obat ini juga memiliki efek vasodilatasi. Obat ini berguna dan aman untuk kegawatdaruratan hipertensi, tetapi tidak boleh diberikan pada penderita gagal jantung akut atau blok AV derajat 2 atau 3 karena obat ini dapat menyebabkan bradikardi, blockade AV, dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien dengan riwayat asma bronchial atau PPOK(Penyakit Paru Obstruktif Kronis).17 b. Nikardipin dan Diltiazem Sediaan intravena dari preparat dihydropyridin yang merupakan calcium chanel blocker (CCBs) yang diberikan cara infus kontinyu. Efek hemodinamik
primer
adalah
menimbulkan
menurunkan fungsi jantung yang berarti.17
29
vasodilatasi
perifer
tanpa
c. Diltiazem Merupakan calcium chanel blocker (CCBs). Efek inotropic negatif sehingga dapat berbahaya jika diberikan pada pasien gagal jantung. Dan dapat menyebabkan bradiaritmia dan gangguan konduksi sehingga tidak boleh diberikan pada blok sino-arterial, blok AV derajat 2 atau 3 dan pasien dengan bradikardi.17 d. Nitroprusid Nitroprusid merupakan donor nitric oxide. Nitric oxide akan mengaktifkan guanylate cyclase dan menghasil vasodilatasi melalui cGMP. Denyut jantung akan meningkat akibat reflex simpatis namun curah jantung tidak banyak berubah akibat efek dilatasi vena. Resistensi perifer juga menurun akibat dilatasi arteriol sehingga obat ini menurunkan kerja jantung sehingga berefek baik pada gagal jantung.17 Pemantauan tekanan darah secara ketat dan pengaturan pompa infus harus dilakukan untuk mencegah efek samping akut karena hipotensi. Efek toksik akibat konversi nitroprusid menjadi sianida dan tiosianat dapat terjadi pada dosis tinggi (> 2 µg/kg/menit). Resiko keracunan tiosianat meningkat bila lama infus lebih dari 24-48 jam atau pada pasien gangguan fungsi ginjal. Kadar plasma tiosianat harus dimonitor dan tidak boleh melebihi 0,1 mg/ml.17
30
BAB III KESIMPULAN
Hipertensi pada stroke akut adalah kenaikan tekanan darah diatas normal dan menjadi premorbid yang muncul dalam 24 jam pada pasien stroke. Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa tekanan darah akan meningkat secara spontan pada kasus stroke akut. Tekanan darah akan menurun pada beberapa hari pertama dan minggu setelah stroke tanpa intervensi farmakologis. Peningkatan tekanan darah pada saat presentrasi stroke dikaitkan dengan prognosis yang jelek. Sebagian ahli tidak merekomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik akut, kecuali terdapat hipertensi berat yang menetap. Sedangkan pemberian anti hipertensi pre dan post trombolitik dapat mengurangi terjadinya perdarahan dalam 3 bulan. Pada stroke perdarahan intraserebral penurunan tekanan darah bertujuan untuk membatasi pembentukan edema vasogenik akibat robeknya sawar darah otak pada daerah iskemia sekitar perdarahan, menurunkan resiko perdarahan ulang. Obat anti hipertensi diberikan kalau tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan diastolic > 100 mmHg atau dengan MAP >145 mmHg. Obat antihipertensi yang bisa digunakan adalah golongan antagonis adrenergik, Calsium channel bloker, dihidropiridin, ACE inhibitor, Nitropusid (NTP), hidralazin.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam PH ,Guidelines for The Early Management of Patients with Ischemic Stroke, Stroke 2013; 34: 1056-83 2. Adnan I. Qureshi, MD , Acute Hypertensive Response in Patients with stroke Pathophysiology and Management Circulation , 2008;Vol 118:176187 3. Arthur
M
Pancioli,
MD
and
Scott
E.
Kasner,MD,
Hypertention
Management in acute neurovascular Emergencies. Emergency Medicine Cardiac Research and education, 2006 ;Vol 3 4. Bioderick et al,(2007), Guidelines for The management of spontaneous intracerebral hemorrhage in adult : 2007 Update : A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council, High Blood Pressure Research Council and the quality og care and outcomes in research interdisciplinary working group : The American Academy of Neurologi affirm the value of this guideline as an educational tool for neurologists. Stroke. 2007 ; 38:2001-2023. 5. Gilroy J, Cerebrovascular Disease, In Basic Neurology. 2002;Third edition. Editor Gilroy J. The Mc Graw- Hall Companies, p p 225-77 6. Kevin N. Sheth and David M, Greer,Intersive Care management of Ischemic stroke, In : Acute Ischemic stroke an Evidence Based Approach. Editor : David M. Greer.Published by John Wiley & Sons. Inc, Hoboken, New Jersey, 2000: p 163-198. 7. Larry B. goklstein, Blood Pressure Management in patient with Acute ischemic stroke, Hypertension,2004; Vol 43 : 137-141 8. Perhimpunan
Dokter
Spesialis
Saraf
Indonesia
(PERDOSSI),
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut. Guideline Stroke. 2011; p 4854
32