Referat
URETEROLITHIASIS
Disusun Oleh : MUHAMMAD FIRDAUS 0808151167
Pembimbing: dr. INDRA JAYA, SpU
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Umum Arifin Achmad Pekanbaru 2013
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Uroliltiasis merupakan penyakit yang salah satu dari gejalanya adalah pembentukan batu di dalam saluran kemih. Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia belum dapat ditetapkan secara pasti.1,2 Dari data dalam negeri yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002, peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif ESWL ( Extracorporeal shock wave lithotripsy) yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi terbuka). 2 Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.
3
Berdasarkan letaknya, batu saluran kemih terdiri dari batu ginjal, batu ureter, batu buli-buli dan batu uretra. Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesiumamonium-fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin, silikat dan senyawa lainnya. Semua tipe batu saluran kemih memiliki potensi untuk membentuk batu staghorn, namun pada 75% kasus, komposisinya terdiri dari matriks struvit-karbonat-apatit atau
2
disebut juga batu struvit atau batu triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease.3 1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini antara lain: 1. Memahami dan mampu mendiagnosis batu ureter secara tepat berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik. 2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di Bagian Ilmu Bedah. 3. Memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
1.3
Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu pada beberapa literatur.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Saluran Kemih 4 Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat strukturstruktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120 - 170 gram, atau kurang lebih 0,4% dari berat badan. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal / supra-renal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia Gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal.
Ureter
4
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli-buli, secara anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih sempit daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain yang berasal dari ginjal seringkali tersangkut di tempat itu. Tempat-tempat penyempitan itu antara lain adalah: (1) pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi-ureter junction, (2) tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3) pada saat ureter masuk ke buli-buli. Ureter masuk ke buli buli dalam posisi miring dan berada di dalam otot buli-buli (intramural); keadaan ini dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau refluks
vesiko-ureter
pada
saat
buli-buli
berkontraksi.
Buli-buli
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa
5
buli-buli terdiri atas sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Secara anatomik bentuk buli-buli terdiri atas 3 permukaan, yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum, (2) dua permukaan inferiolateral, dan (3) permukaan
posterior. Permukaan superior
merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra
eksterna terdiri atas otot
bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. 2.2
Epidemiologi
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku bangsa Bantu di Afrika Selatan. Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
6
untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria. Dari data di luar negeri didapatkan bahwa resiko pembentukan batu sepanjang hidup (life time risk ) dilaporkan berkisar 5-10% (EAU Guidelines). Laki-laki lebih sering dibandingkan wanita (kira-kira 3:1) dengan puncak insidensi antara dekade keempat dan kelima, hal ini kurang lebih sesuai dengan yang ditemukan di RSUPN-CM. 2 Etiologi Batu Saluran Kemih 1
2.3
Idiopatik
Gangguan aliran kemih o
Fimosis, striktur meatus, hipertrofi prostat, refluks vesiko – uretral, uretrokel, konstriksi hubungan uteropelvik.
Gangguan metabolisme o
Hiperparatiroidisme
o
Hiperurisemia
o
Hiperkalsiuria
Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme yang mampu membuat urease (Proteus mirabilis)
Dehidrasi o
Benda asing o
2.4
Kurang minum, suhu lingkungan tinggi
Fragmen kateter, telur sistosoma
Jaringan mati (nekrosis papil)
Multifaktor o
Anak di negara berkembang
o
Penderita multitrauma
Teori Pembentukan Batu 5
Terdapat beberapa teori pembentukan batu :
7
A. Teori inti (nukleus); kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami supersaturasi. B. Teori matriks; matriks organik yang berasal dari serum atau protein protein urin memberikan kemungkinan pengendapan kristal. C. Teori inhibitor kristalisasi; beberapa substansi dalam urin menghambat terjadi kristalisasi, konsentrasi yang rendah atau absennya substansi ini memungkinkan terjadinya kristalisasi.
Ketiga faktor ini mempengaruhi pembentukan batu, pembentukan batu disebabkan oleh lebih dari satu faktor pada urin yang mengalami supersaturasi: Hiperkalsiuria dapat disebabkan oleh : - Hiperkalsiuria absorbtif; gangguan meabolisme yang menyebabkan absorpsi usus yang berlebihan juga pengaruh dari vitamin D dan hiperparatiroid -
Hiperkalsiuria renal; kebocoran pada ginjal
Hiperoksaluria: -
Primer
- Oral dan inhalasi, pemakaian vitamin C dosis tinggi dalam waktu yang lama, methoxyflurane (obat bius). -
Hiperoksaluria enternik
Hiperurikusuria:
8
-
Makanan yang banyak mengandung purine
-
Pemberian sitostatika pada pengobatan neoplasma
-
Dehidrasi kronis
-
Obat-obatan; thiazide (diuretik), salisilat.
-
Komposisi Batu 4,6
2.5
1. Batu Kalsium Batu jenis ini, paling banyak dijumpai, yaitu sekitar 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini, terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsur itu. Batu kalsium oksalat biasanya terbentuk pada suasana urine asam. Batu kalsium bentuknya bergerigi sehingga jarang keluar spontan. Faktor terjadinya batu kalsium adalah: a. Hiperkalsiuri Yaitu kadar kalsium dalam urine > 250-300 mg/24 jam. Terdapat 3 macam penyebab terjadinya hiperkalsiuria, antara lain : •
Hiperkalsiuria absorbtif : keadaan hiperkalsiuria absorbtif terjadi karena adanya peningkatan absorbsi kalsium melalui usus
•
Hiperkalsiuri renal : keadaan hiperkalsiuria renal dapat terjadi karena adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal
•
Hiperkalsiuria resorptif : keadaan hiperkalsiuria resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi kalsium tulang. Banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.
b. Hiperoksaluri Adalah ekskresi oksalat urine melebihi 45 gram / hari. Keadaan hiperoksaluria banyak dijumpai pada pasien dengan gangguan pada usus setelah menjalani pembedahan usus dan pada pasien yang banyak mengkomsumsi makanan kaya akan oksalat seperti teh, kopi instant, soft drink, kokoa, arbei, jeruk, sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam.
9
c. Hiperurikosuria Adalah kadar asam urat di dalam urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urine, bertindak sebagai inti batu / nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam urat di dalam urine berasal dari makanan mengandung banyak purin seperti daging, ikan, unggas maupun berasal dari metabolisme endogen. d. Hipositraturia Dapat terjadi pada asidosis tubulus ginjal, sindrom malabsorbsi, atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama e. Hipomagnesiuria Penyebab tersering hipomagnesiuria adalah penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease) yang diikuti gangguan malabsorbsi. 2. Batu struvit Disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu struvit disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi adalah kuman golongan pemecah urea yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat dan karbonat apatit. Karena terdiri atas 3 kation, dikenal sebagai batu triple phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus.
10
3. Batu Asam Urat Merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Sebagian besar terdiri atas batu asam urat murni, sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien-pasien penyakit gout, mieloproliferatif, pasien dengan terapi antikanker, dan banyak menggunakan obet urikosurik, antara lain sulfinpirazole, thiazide, dan salisilat. Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi protein berpeluang besar mendapat penyakit ini. Batu asam urat berbentuk bulat dan halus sehingga seringkali keluar spontan. Sumber asam urat berasal dari diet mengandung purin dan metabolisme endogen di dalam tubuh. Purin di dalam tubuh didegradasi oleh asam inosinat, dirubah menjadi hipoxanthin,. Dengan bantuan enzim xanthin oksidase, hipoxanthin dirubah menjadi xanthin yang akhirnya dirubah menjadi asam urat. Pada manusia, karena tidak memiliki enzim urikase, maka asam urat diekskresikan ke dalam urine dalam bentuk asam urat bebas dan garam urat. Garam urat lebih sering berikatan dengan natrium membentuk natrium urat, yang lebih mudah larut di dalam air dibandingkan asam urat bebas. Asam urat bebas relatif tidak larut di dalam urine, sehingga pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk kristal asam urat dan selanjutnya membentuk batu asam urat. Beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah : •
Urine yang terlalu asam ( pH urine < 6 )
•
Volume urine yang jumlahnya sedikit ( < 2 liter / hari ) atau dehidrasi
•
Hiperurikosuria atau kadar asam urat yang tinggi.
11
2.6
Batu Ureter (Ureterolithiasis)
4,7
Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter. Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding buli. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter dan hidronefrosis. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing pada umumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium oksalat monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri dari batu asam urat, batu struvit dan batu sistin. 2.7
Gambaran Klinis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien, tergantung pada posisi batu, ukuran batu dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang, baik berupa nyeri kolik maupun bukan kolik. Nyeri kolik disebabkan oleh adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik menyebabkan tekanan intraluminal meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal akibat stasis urine. (1,4,6,8)
12
Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa saluran kemih karena batu. Kadang hematuria didapatkan dari pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam, harus dicurigai suatu urosepsis. 4 Pada pemeriksaan fisis, mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, dan adanya retensi urine. 4 Pada pemeriksaan sedimen urine, menunjukkan adanya leukosituria, hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. 4
2.8
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, dan pemeriksaan fisik, selain itu perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, radiologik, dan dengan pencitraan untuk menentukan kemungkinan adanya gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan Penunjang yang dapat menegakan diagnosis antara lain : Laboratorium :
1. Urin -
pH urin
-
Batu kalsium, asam urat dan batu sistin terbentuk pada urin dengan pH yang rendah (pH<7).
-
Batu struvit terbentuk pada urin dengan pH yang tinggi (pH> 7)
-
Sedimen
-
Sel darah meningkat (90%), pada infeksi sel darah putih akan meningkat.
-
Ditemukan adanya kristal, misalnya kristal oksalat
-
Biakan urin untuk melihat jenis mikroorganisme penyebab infeksi pada saluran kemih
13
2. Darah -
Hemoglobin, adanya gangguan fungsi ginjal yang kronis dapat terjadi anemia
-
Leukosit, infeksi saluran kemih oleh karena batu menyebabkan leukositosis
-
Ureum kreatinin, parameter ini digunakan untuk melihat fungsi ginjal
-
Kalsium, dan asam urat.
Radiologik :
1. Foto Polos Abdomen Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih. Batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan paling sering dijumpai, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen.9 2. Pielografi Intra Vena Bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu juga dapat mendeteksi adanya batu semi opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika pielografi intra vena (selanjutnya disebut dengan PIV) belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai gantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograde. 9 3. Ultrasonografi Dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai
echoic shadow),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. 9 2.9
Penatalaksanaan
Tujuan pengelolaan batu pada ginjal adalah untuk menghilangkan obstruksi, mengobati infeksi, menghilangkan rasa nyeri, mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut
1,4,6,8
:
14
•
Diagnosis yang tepat mengenai adanya batu, lokasi dan besarnya batu
•
Menentukan akibat adanya batu seperti rasa nyeri, obstruksi yang disertai perubahan pada ginjal, infeksi dan adanya gangguan fungsi ginjal
•
Menghilangkan obstruksi, infeksi dan rasa nyeri
•
Analisis batu
•
Mencari latar belakang terjadinya batu
•
Mengusahakan pencegahan terjadinya rekurensi
Tindakan penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah 4: 1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan lebih bersifat simtomatis, yaitu bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan memberikan diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar. 2. ESWL ( Extracorporeal Shockwave Lithotripsy )
Alat ESWL dapat memecah batu ginjal tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang, pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria. 3. Endourologi
Tindakan
endourologi
adalah
tindakan
invasif
minimal
untuk
mengeluarkan batu, tindakan tersebut terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidroulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser. Beberapa tindakan endourologi untuk mengeluarkan batu pada ginjal adalah :
15
a. PNL ( Percutaneous Nephro Litholapaxy ) Yaitu mengeluarkan batu di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises ginjal melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil. b. Uretero atau Uretero-renoskopi Yaitu memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat kedaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureterorenoskopi. 4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-tindakan endourologi, laparaskopi maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan itu antara lain adalah pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal. Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan telah terjadi pionefrosis, korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan akibat batu yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang menahun
16
BAB III KESIMPULAN
Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter. Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding buli. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, dan pemeriksaan fisik, selain itu perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, radiologik, dan dengan pencitraan untuk menentukan kemungkinan adanya gangguan fungsi ginjal. Tujuan pengelolaan batu pada ginjal adalah untuk menghilangkan obstruksi, mengobati infeksi, menghilangkan rasa nyeri, mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi. Tindakan penatalaksanaan
yang
dapat
dilakukan
adalah
medikamentosa,
ESWL
( Extracorporeal Shockwave Lithotripsy), dan Endourologi (PNL, litotripsi, ureteroskopi/ureterorinoskopi, ekstraksi dormia).
17
DAFTAR PUSTAKA
1.
Samsuhidajat R, De Jong W. 2004. Buku ajar Ilmu bedah Edisi 2. Penerbit EGC: Jakarta. Hal. 756-764.
2.
Rahardjo D, Hamid R. 2004. Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal di RSCM tahun 1997-2002. J I Bedah Indonesia: Jakarta. Hal 58-63.
3.
Sjabani M. Batu Saluran Kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. 2006. 2-7.
4.
Purnomo B. Batu saluran Kemih. Dalam: Dasar-Dasar urologi. Edisi kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2007.
5.
Reksoprodjo, S. 2000. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah FKUI RSCM: Jakarta. Hal 156 -160.
6.
Tanagho EA, McAninch JW. 2004. Smith’s General Urology. Edisi ke-16. New York: Lange Medical Book. Hal 256-283.
7.
Anonim. 2006. Batu saluran kemih. Available from : [www.iaui.or.id/ast/file/batu_saluran_kemih.doc]
8.
Sabiston C. D. Jr, MD. 1997. Batu Ginjal dan Ureter . Buku Ajar Bedah 2. Penerbit EGC: Jakarta. Hal 472 – 483.
9.
Sjahriar dkk. 2000. Nefrolitiasis, Radiologi Diagnostik . Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
18