1
BAB I PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Infeksi adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) di dalam jaringan tubuh. Infeksi-infeksi pada sistem saraf pusat menimbulkan masalah medis yang serius dan membutuhkan pengenalan dan penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa neurologis yang serius dan memastikan kelangsungan hidup pasien.1,2 Penyakit infeksi pada anak yang menjadi mendapat perhatian khusus dan membutuhkan perawatan intensif antara lain penyakit infeksi dan inflamasi sistem saraf pusat yaitu meningitis dan ensefalitis. Meningitis dan ensefalitis dapat bersifat primer atau hanya merupakan bagian dari penyakit sistemik.1,2 Meningitis dan ensefalitis merupakan radang pada sistem saraf pusat. Meningitis merupakan suatu reaksi peradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus, sedangkan ensefalitis merupakan suatu peradangan yang mengenai jaringan otak. Meningitis dan ensefalitis yang terjadi secara bersamaan disebut meningoensefalitis.3,4 Ensefalitis pada infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan peradangan pada parenkim otak akibat komplikasi dari infeksi HIV, baik komplikasi
2
primer oleh karena infeksi HIV itu sendiri ataupun komplikasi sekunder oleh karena keadaan immunodefisiensi (infeksi opportunistik).5,6 Gejala dan tanda neurologi terjadi pada 30-70% kasus infeksi HIV. Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat dikelompokkan menjadi: (a) Primer/komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV yaitu apabila perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri, dan (b) Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Kelainan neurologi dapat muncul pada setiap stadium dari infeksi pertama dan terjadinya serokonversi pada AIDS. Sebagian besar kelainan neurologi terbatas pada stadium simptomatik dari infeksi HIV (AIDS dementia complex). Kelainan neurologi dapat muncul dalam waktu 10 minggu dari infeksi HIV. Pendapat lain menyatakan dalam waktu 6 minggu dari infeksi. 5,6,7
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI Meningen (selaput otak) adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinalis), memperkecil benturan atau getaran yang terdiri dari tiga lapisan:8,9
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak. [sumber: The Meninges - Dura - Arachnoid - Pia - TeachMeAnatomy [Internet]. [cited 2016 May 20]. Available from: http://teachmeanatomy.info/neuro/structures/meninges/]
4
1. Duramater Duramater (lapisan luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Duramater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Duramater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Duramater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam duramater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim8 2. Arakhnoid Arakhnoid (lapisan tengah) merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piamater membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan duramater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah
5
dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.8,9 3. Piamater Piamater (lapisan sebelah dalam) merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piamater disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang, ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang. Piamater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara piamater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabangcabang neuroglia, melekat erat pada piamater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Piamater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Piamater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.8,9
6
B. DEFINISI MENINGOENSEFALITIS Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.10,11 Meningoensefalitis dapat terjadi karena selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus.12,13
C. ETIOLOGI MENINGOENSEFALITIS Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang noninfektif seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Agen
7
virus, seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. Virus herpes manusia
juga dapat menjadi agen
penyebab. CDC telah mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi organ dan melalui transfusi darah. Vektor hewan penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus), dan mamalia seperti rabies.14,15 Meningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya, akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun Meningitis disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius, misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya kemampuan belajar, bahkan bisa menyebabkan kematian. Sedangkan Meningitis disebabkan oleh jamur sangat jarang, jenis ini umumnya diderita orang yang mengalami kerusakan imun (daya tahan tubuh) seperti pada penderita AIDS.5,7,16 Penyebab meningitis terbagi atas beberapa golongan umur:5,16 1.
Neonatus: Eserichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria monositogenes
2.
Anak di bawah 4 tahun: Hemofilus influenza, meningococcus, Pneumococcus.
3.
Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa: Meningococcus, Pneumococcus.
D. EPIDEMIOLOGI MENINGOENSEFALITIS Insiden meningitis bervariasi sesuai dengan etiologi dan hubungannya dengan sumber pelayanan medis. Insiden ini lebih tinggi di negara-negara berkembang karena kurangnya akses pelayanan untuk pencegahan, seperti vaksinasi. Di negaranegara berkembang, kejadian meningitis dilaporkan 10 kali lebih tinggi daripada di
8
negara-negara maju. Meningitis mempengaruhi semua ras. Di Amerika Serikat, orang kulit hitam memiliki resiko lebih tinggi dari orang kulit putih dan orang Hispanik. Hampir 4100 kasus dengan 500 kematian yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, meningitis bakteri terus menjadi sumber signifikan dari morbiditas dan mortalitas. Kejadian tahunan di Amerika Serikat adalah 1,33 kasus per 100.000 penduduk.17 Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Sekitar 150-3000 kasus, yang kebanyakan ringan dapat terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Kebanyakan kasus herpes virus ensefalitis di Amerika Serikat. Arboviral ensefalitis lebih lazim dalam iklim yang hangat dan insiden bervariasi dari daerah ke daerah dan dari tahun ke tahun. St Louis ensefalitis adalah tipe yang paling umum, ensefalitis arboviral di Amerika Serikat, dan ensefalitis Jepang adalah tipe yang paling umum di bagian lain dunia. Ensefalitis lebih sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda.18,19
E. PATOFISIOLOGI MENINGOENSEFALITIS Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses
9
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.2 Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virusvirus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.2
10
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.20 Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll.1
F. MANIFESTASI KLINIS MENINGOENSEFALITIS Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tandatanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.21 Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang, dan penurunan kesadaran. Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa prodormal
11
berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron.18,22 Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia.2,18 Gejala klinis meningitis dan ensefalitis pada anak umur lebih 2 tahun lebih khas dibandingkan anak yang lebih muda. Gejala tersebut antara lain terdapatnya
12
panas, menggigil, muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan kesadaran, dan yang paling utama terdapatnya tanda-tanda rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque. Yang membedakan meningitis dan ensefalitis dari segi pemeriksaan fisik ialah pada meningitis didapatkan tanda-tanda perangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque, sedangkan pada ensefalitis tidak terdapat tanda-tanda tersebut melainkan adanya gejala-gejala fokal kerusakan jaringan otak tergantung dari lokasi infeksi.2,18
G. DIAGNOSIS MENINGOENSEFALITIS Selain berdasarkan gejala yang muncul berdasarkan anamnesis dengan pasien, beberapa hal yang dapat mendukung diagnosis meningitis adalah munculnya tandatanda rangsangan meningeal pada pasien. Tanda-tanda rangsangan meningeal tersebut adalah sebagai berikut:11 1.
Pemeriksaan Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri sehingga dagu tidak dapat disentuhkan ke dada. Kaku kuduk yang disebabkan oleh iritasi selaput otak tahanan didapatkan ketika menekukan kepala, sedangkan bila kepala hiperekstensi dan rotaasi kepala dapat dilakukan dengan mudah. Sedangkan pada kelainan lain (myositis otot kuduk, artritis servikalis, tetanus) biasanya rotasi dan hiperekstensi kepala terganggu.11
13
2.
Pemeriksaan tanda Lasegue Pasien berbaring terlentang diluruskan kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat lurus dan difleksikan pada persendian panggul. Tungkai sisi sebelahnya harus dalam keadaan ekstensi. Pada keadaan normal dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbulnya rasa nyeri atau tahanan, bila sudah terdapat nyeri atau tahanan sebelum mencapai 70 derajat maka dapat dikatakan Lasegue positif. Tanda Lasegue juga ditemukan pada keadaan ischilagia, iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya ( misalnya pada HNP Lumbal).11
Gambar 2. Tanda Laseque [Sumber: [sumber: Rozsypal H. Infections of the Nervous System I [Internet]. [cited 2016 May 20]. Available from: http://www1.lf1.cuni.cz/~hrozs/cnsenga1.htm]
3.
Pemeriksaan tanda Kernig Pasien berbaring terlentang, lalu difleksikan paha pada persendian panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya dapat dilakukan ekstensi hingga sudut tangan 135° antara tungkai bawah dan tungkai atas. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi
14
sendi lutut tidak mencapai sudut 135° yang disertai nyeri dan adanya tahanan. Seperti pada tanda Lasegue, tanda Kernig positif terjadi pada keadaan iritasi meningeal dan iritasi akar lumbosacral atau pleksusnya ( misalnya pada HNP Lumbal). Pada meningitis tanda Kernig positif bilateral sedangkan HNP Lumbal Kernig positif unilateral.11
Gambar 3. Tanda Kernig [sumber: Rozsypal H. Infections of the Nervous System I [Internet]. [cited 2016 May 20]. Available from: http://www1.lf1.cuni.cz/~hrozs/cnsenga1.htm]
4.
Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher) Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi kedua tungkai.11
15
Gambar 4. Tanda Brudzinski I [sumber: Rozsypal H. Infections of the Nervous System I [Internet]. [cited 2016 May 20]. Available from: http://www1.lf1.cuni.cz/~hrozs/cnsenga1.htm]
5.
Pemeriksaan Tanda Brudzinski II (Brudzinski Kontra Lateral Tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi paha pada sendi panggul sedangkan tungkai satunya lagi dalam keadaan ekstensi. Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi pada sendi panggul kontralateral.11 Selain berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang muncul, ada beberapa
pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis meningoensefalitis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis meningoensefalitis adalah pemeriksaan pungsi lumbal, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan radiologis. 1.
Pemeriksaan Pungsi Lumbal Pada
meningitis
purulenta,
diperoleh
hasil
pemeriksaan
cairan
serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri.11 Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal,
16
biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.23
Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan
cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba.20 Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial.30 Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau MRI kepala.18,21 Pada tabel berikut ditampilkan hasil analisa cairan serebrospinal pada beberapa jenis meningitis:
Tabel 1. hasil analisa cairan serebrospinal pada beberapa jenis meningitis [available from: Tidy, C. 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis. [cited may 5 2016]. Available from http://www.patient.co.uk/doctor/EncephalitisandMeningoencephalitis.htm] Tes
Meningitis Bakterial
Meningitis Virus
Meningitis TBC
Tekanan LP
Meningkat
Biasanya normal
Bervariasi
Warna
Keruh
Jernih
Xanthochromia
Jumlah sel
> 1000/ml
< 100/ml
Bervariasi
Jenis sel
Predominan PMN
Predominan MN
Predominan MN
Protein
Sedikit meningkat
Normal/meningkat
Meningkat
17
Glukosa
2.
Normal/menurun
Biasanya normal
Rendah
Pemeriksaan Darah Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit.11 Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.2 Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.2
3.
Pemeriksaan Radiologis CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA virus. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak difus.23
H. TATALAKSANA MENINGOENSEFALITIS
18
Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari.13,24 Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan etambutol. Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba lainnya.20
I. PROGNOSIS MENINGOENSEFALITIS Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali.
19
Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, serta adanya kondisi patologik lainnya.2,26 Tingkat kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok.2 Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta epilepsi.23 Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera berat seperti hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari rumah sakit akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan kehilangan pendengaran.27
20
BAB III PENUTUP
Meningitis dan ensefalitis merupakan radang pada sistem saraf pusat. Meningitis merupakan suatu reaksi peradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus, sedangkan ensefalitis merupakan suatu peradangan yang mengenai jaringan otak. Meningitis dan ensefalitis yang terjadi secara bersamaan disebut meningoensefalitis. Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang noninfektif seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis bisa disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Agen virus, seperti virus HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE), virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orangMeningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya, akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun Meningitis disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius, misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya kemampuan belajar, bahkan bisa menyebabkan kematian. Sedangkan Meningitis disebabkan oleh jamur sangat jarang, jenis ini umumnya diderita orang yang mengalami kerusakan immun (daya tahan tubuh) seperti pada penderita AIDS
21
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tandatanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. Yang membedakan meningitis dan ensefalitis dari segi pemeriksaan fisik ialah pada meningitis didapatkan tanda-tanda perangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque, sedangkan pada ensefalitis tidak terdapat tandatanda tersebut melainkan adanya gejala-gejala fokal kerusakan jaringan otak tergantung dari lokasi infeksi. Selain berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang muncul, ada beberapa pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis meningoensefalitis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis meningoensefalitis adalah pemeriksaan pungsi lumbal, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan radiologis. Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono, M, Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta: 2004. 2. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: 2003. 3. Saharso, D. Meningitis. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSU Dr.Soetomo. Surabaya: 2006. 4. Mumenthaler, M. Penyakit-penyakit Inflamasi Pada Otak dan Selaput Otak Dalam Neurologi Jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta: 1995. 5. Clifford DB. Neurologic Diseases Associated with HIV-1 Infection. In: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current Therapy in Neurologic Disease. 6th ed. St. Louis: Mosby; 2002. p. 130-4. 6. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2000. 7. Marra CM. Human Immunodeficiency Virus. In: Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM, editors. Infections of the Central Nervous System. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. p.273-86. 8. Drake, RL, 2015. Gray's Anatomy for Students. 3rd ed. Canada: Churchill Livingstone Elsevier. 9. Suwono W, 1996. Diagnosis Topik Neurologi, Edisi Kedua. EGC. Jakarta. 10. Dorlan, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC, Jakarta. 11. Mansjoer, A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis, Jakarta.
23
12. Shulman, TS. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Gadjah Mada University, Yogyakarta. 13. Slaven, EM. 2007. Infectious Diseases: Emergency Departement Diagnosis and Management. Edisi Pertama. McGraw-Hill, North America. 14. Behrman RE, Vaughan, V.C, Ensefalitis Viral dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak, edisi 12, Bag 2, EGC, Jakarta: 42-48. 15. Encephalitis. Pediatrics in review. [cited may 4, 2016] Available at: http://pedsinreview.aappublications.org/content/26/10/353.full.pdf+html 16. Gatof P. Samuel. 2000. Sepsis Dan Meningitis Neonatus. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Editor: Richard E. Behrman, Robert Kliegman, Ann M.Arvin. volume 1. Edisi 15. Penerbit: EGC. Hal 655-656. 17. Thigpen MC, Whitney CG, Messonnier NE, Zell ER, Lynfield R, Hadler JL, et al. Bacterial meningitis in the United States, 1998-2007. N Engl J Med. May 26 2011;364(21):2016-25. 18. Lazoff M. Encephalitis. [Online] February 26, 2010 [Cited May 5, 2016]. Available from : URL ; www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm 19. Neurology Channel. Encephalitis. [ Online ] September 25, 2002 [Cited May 5 2016]. Available from : URL ; www.neurologychannel.com/encephalitis/index.shtml 20. Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya. 21. Tidy, C. 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis. [cited may 5 2016]. Available from http://www.patient.co.uk/doctor/EncephalitisandMeningoencephalitis.htm
24
22. Sastroasmoro, S. Ensefalitis. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007 23. Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi. Edisi Delapan. Erlangga, Jakarta. 24. Warlow, Charles. 2006. The Lancet Handbook of Treatment in Neurology. Elsevier, USA. 25. Gillespie, Stephen, dkk,. 2008. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Erlangga, Jakarta.
26. Lazoff M. Encephalitis. [ Online ] February 26, 2010 [ Cited May 7, 2016 ]. Available from: www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm 27. WHO.
2011.
Biological
Tick
Borne
Encephalitis.
Available
http://www.who.int/biologicals/vaccines/tick_borne_encephalitis/en/
from: