REFERAT
MORBUS HANSEN
Pembimbing: Dr. Sri Primawati Indraswari, Sp.KK, MM
Disusun Oleh : Zahidah binti Abdul Rahman 030.08.308
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH KOTA TEGAL PERIODE 4 NOVEMBER- 7 DESEMBER 201
PENGESAHAN 1
Dengan Hormat,
Referat “Morbus Hansen“ , dalam rangka memenuhi kewajiban di kepaniteraan klinik kulit di RSU Kardinah Tegal telah dilaksanakan oleh: Nama
: Zahidah binti Abdul Rahman
NIM
: 030.08.308
Fakultas
: Kedokteran Universitas Trisakti
Periode Kepaniteraan : 4 November- 7 Desember 2013 Dan hasilnya telah disetujui dan dikoreksi pembuatannya oleh:
Pembimbing: Jakarta, November 2013
(dr. Sri Primawati Indraswari, Sp.KK.MM )
2
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan referat tentang “Morbus Hansen’ ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepanitraan klinik bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSU Kardinah Tegal periode 4 November – 7 Desember 2013. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. S. Primawati Indraswari sp.KK,MM atas bimbingannya dalam menyusun referat ini serta teman-teman dan semua pihak yang ikut membantu dalam menyelesaikan referat ini sehingga dapat selesai pada waktunya. Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan atas segala keterbatasan yang saya miliki, maka semua saran dan kritik yang membangun akan saya terima. Besar harapan saya semoga referat yang saya susun ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi teman-teman klinik, pembaca dan saya sendiri.
Tegal, November 2013
Penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................i KATA PENGANTAR...................................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1 BAB II. KUSTA...........................................................................................................2 BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………................30 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...31
4
BAB 1 PENDAHULUAN Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal sekarang. Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf.
Karekteristik
penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi ata eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.(3)
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi(1) Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2.2 Epidemiologi (1)(5) Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Belum ditemukan medium artificial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang mengandung 10 7 basil per gram jaringan. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1
tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. 6
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda. Menurut laporan resmi yang diterima dari 115 negara dan wilayah, prevalensi terdaftar secara global pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai 189.018 kasus, sementara jumlah kasus baru terdeteksi selama 2012 adalah 232.857 (tidak termasuk jumlah kecil kasus di Eropa). Meskipun prevalensi terdaftar adalah indikator yang berguna untuk mencapai tonggak eliminasi kusta, bukan merupakan indikator yang memadai untuk mencerminkan perubahan dalam tren epidemiologi kusta. (WHO 2013) Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2009 tercatat 17.260 kasus baru kusta dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat 10.706 dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per 10.000 penduduk. (Depkes, 2012) Selain itu indonesia juga mampu mengeliminasikan kusta pada tahun 2000 di 19 propinsi dan sekitar 300 kab/kota. Eliminasi yaitu menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. Lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih 1 juta penderita diselamatkan dari kecacatan. (DEPKES RI, 2011) Prevalensi juga menurun sebesar 81% dari 107.271 penderita pada tahun 1990 menjadi 21.026 penderita tahun 2009.(WHO 2006). Provinsi Jawa Tengah sudah eliminasi kusta (EKT) sejak tahun 1994, tetapi terjadi peningkatan jumlah penderita baru dan terdaftar dari tahun ke-tahun sampai dengan tahun 2005. Transmisi penularan cukup tinggi yaitu 12,7% demikian juga angka cacat yaitu 11,4% (DINKES JATENG, 2006). Dari data rekam medis, insidens penyakit kusta di RSU Kardinah periode November 2012 sampai dengan Oktober 2013 tercatat sebanyak 53 kasus baru dengan 33 kasus pada jenis kelamin laki-laki dan 20 kasus pada jenis kelamin wanita. 2.3 Etiologi(1)(4) 7
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.
Gambar :Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen 2.4 Patogenesis(1)(2)(3) Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang. Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada
8
sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae. Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat simetris.
9
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.
Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik
Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik
10
Sel Schwann (SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat. Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas utama pada permukaan
M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan
kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor yang ditarget, iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam degenerasi saraf awal. Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi, dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.
Gambar : Patofisiologi Kusta
11
2.5 Klasifikasi(1)(3)(5) Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu: TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti: tuberkuloid indefinite BT: borderline tuberculoid BB: mid borderline
bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous Li: lepromatosa indefinite LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah. Klasifikasi Ridley & Jopling Madrid WHO Puskesmas
Zona Spektrum Kusta TT BT BB BL LL Tuberkuloid Borderline Lepromatosa Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB) PB MB
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
12
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley- Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan rejimen MDT-MB. Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil kulit hapusan. Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit, pasien menunjukkan apusan negatif yang dikelompokkan sebagai pausibasilar kusta (PB), sementara mereka yang menunjukkan apusan positif di situs manapun dikelompokkan sebagai memiliki kusta multibasiler (MB). Namun, dalam praktiknya, sebagian besar program menggunakan kriteria klinis untuk mengklasifikasikan dan menentukan rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terutama mengingat tidak-tersedianya layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk tujuan pengobatan meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan pausibasilar (PB) kusta.
Lesi kulit datar,
PB ( makula 1-5 lesi
papul
MB >5 lesi
yang Hipopigmentasi/ eritema
meninggi, nodus)
Distribusi
yang
tidak Hilangnya
simetris Hilangnya Kerusakan (
Distribusi yang simetris sensasi
kurang jelas sensasi
yang
jelas saraf Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf
menyebabkan 13
hilangnya sensasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang terkena) Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995) 2.6. Gambaran Klinis(1)(6) 2.6.1 Gejala Klinis Masa inkubasinya 40 hari– 40 tahun (rata-rata 3 – 5 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut. Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba). Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesi sangat membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung 14
reaksi. Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi. Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N. Tibialis posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat lesinya. Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : a) Lesi kulit yang anestesi , b) Penebalan saraf perifer, c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.
2.6.2 Pemeriksaan fisik 1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT) Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, 15
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.
Gambar : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular
Gambar :Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy
16
Gambar :Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit 2. Borderline Leprosy Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
Gambar : Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy
3. Lepromatous Leprosy 17
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.
Gambar: Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki. Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris, ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot, 2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas saddlenose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak. Kerusakan kornea dapat 18
terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.
19
Tabel : Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB) SIFAT Lesi Bentuk
LL
BL
Makula, Infiltrat
Makula, Plakat,
Plakat, Dome
Difus, Papul, Nodul
Papul
Shaped (Kubah),
Tidak terhitung, Jumlah
BB
Punched Out
praktis tidak ada
Sukar dihitung,
Dapat dihitung,
kulit sehat
masih ada kulit
kulit sehat jelas ada
sehat
Asimetris
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Agak Kasar/berkilat
Permukaan
Halus Berkilat
Halus Berkilat
Agak Jelas
Batas
Tidak Jelas
Agak Jelas
Lebih Jelas
Anestesia BTA
Biasanya Tak Jelas
Tak Jelas
Lesi kulit
Banyak (ada globus)
Banyak
Agak Banyak
Sekret hidung Tes
Banyak (ada globus) Negatif
Biasanya Negatif Negatif
Negatif Biasanya negative
Lepromin Tabel Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB) SIFAT Lesi Bentuk
Jumlah
TT
BT
Makula saja, makula
Makula dibatasi
dibatasi infiltrat
infiltrat
Satu, dapat beberapa
Beberapa, atau
I Hanya makula
Satu atau beberapa
satu dengan satelit Distribusi
asimetris
Masih asimetris
variasi
Permukaan
kering bersisik
Kering bersisik
halus agak berkilat
Batas
Jelas
Jelas
jelas/tidak
Anestesia
Biasanya Tak Jelas
Tak Jelas
tidak ada sampai tidak jelas
BTA Lesi kulit
Negatif
Negatif/positif 1
Biasanya negatif
Sekret hidung Tes
Banyak (ada globus) Positif kuat (3+)
Biasanya Negatif Positif lemah
Negatif Positi lemah sampai
Lepromin
negatif
2.7 Pemeriksaan penunjang a) Pemeriksaaan bakterioskopik Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelsen. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak. M.Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP 2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP 3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP 4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP 5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 % / Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. Ada pendapat , bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya tetapi tidak dinyatakan dalam %, tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperbesar atau diperkecil. b) Pemeriksaan histopatologi Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur- unsur tersebut. Sel Virchow adalah histiosit yang dijadikan M. Leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. c) Pemeriksaan serologik Didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae , yaitu 22antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan 22antibodi antiprotein 16kD serta 35 kD. Sedangkan antibody tidak spesifik antara lain antibody antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan kuman M. Tuberkulosis.Pemeriksaan serologik kusta adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. Leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
2.7 Deformitas Pada Kusta(1) Deformitas pada kusta, dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa respiratorius bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umunya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama kerana keruskaan saraf. Gejala kerusakan saraf: N. ulnaris
- anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis - clawing kelingking dan jari manis - atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
N. medianus
lumbrikalis medial - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah - tidak masuk aduksi ibu jari - clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah - ibu jari kontraktur
N. radialis
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral - anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk - tangan gantung (wrist drop)
N. poplitea lateralis
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan - anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis - kaki gantung (foot drop)
N. tibialis posterior
- kelemahan otot peroneus - anestesia telapak kaki - claw toes
N. Fasialis
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis - cabang zigomatik dan temporal menyebabkan lagoftalmus - cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan
N. Trigeminus
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir - anestesia kulit wajah, kornea dan konjugtiva mata
Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang dapat membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomestia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. 2.8 Reaksi Kusta(1) Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Eritema nodusum leprosum (E.N.L) ENL timbul terutama pada tipe lepromatosa polar dan BL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun. Hal ini terjadi karena, pada tipe lepromatosa, jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid . ENL lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan karena banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody, mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menyebabkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis , orkitis dan nefritis akut dengan adanya proteinuria . ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat . Reaksi reversal atau reaksi upgrading
Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT,Ti) sehingga disebut juga sebagai reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam terjadi hal ini adalah SIS. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M.leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Pada reaksi reversal, dapat terjadi perpindahan 25egativ arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritemotosa, lesi makula menjadi 25egative25e, lesi 25egative25e menjadi lebih 25egative25e dan lesi lama bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid. Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1 2.9 Pengobatan(1)(3)(5)(6) Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk , mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan
mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya. i.
DDS atau Dapsone Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan
obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo. ii.
Lamprene atau Clofazimin
Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari, namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare, anokresia dan vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan. iii.
Rifampicin Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit. iv.
Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%. Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness, nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. v.
Minosiklin Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan. vi.
Klaritromisin Merupakan
kelompok
antibiotic
makrolid
dan
mempunyai
aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg. Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan . Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap 27egative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi: 1. Pausi Basiler (PB) 2. Multi Basiler (MB) Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anakanak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel : Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES RI
Dewasa
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
(50-70 kg) Anak
300 mg
200 mg
50 mg
(5-14 th) PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (69) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat. Tabel : Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Dewasa
Rifampicin
Dapson
600 mg/bulan
100 mg/hr diminum di
Diminum
di
depan
rumah
petugas kesehatan Anak-anak
450 mg/bulan
(10-14 th)
Diminum
di
50 mg/hari diminum di depan
rumah
petugas kesehatan MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB) Rifampicin Dewasa
600 diminum
Dapson
Lamprene
mg/bulan100 mg/hari diminum300 mg/bulan diminum di di
depandi rumah
petugas kesehatan
depan petugas kesehatan dilanjutkan dgn 50 mg/hari diminum di rumah
Anak-anak (10-14 th)
450 diminum
mg/bulan50 mg/hari diminum150 mg/bulan diminum di di
petugas
depandi rumah
depan petugas kesehatan dilanjutkan
dg
50
mg
selang sehari diminum di rumah
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga hanya bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan dan lagi selama 8 bulan. Pengobatan reaksi kusta. i
Pengobatan ENL Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap. Thalidomide merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik. Pada saat ini , obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin dengan dosis
200-300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. ii
Pengobatan reaksi reversal Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang
dosisnya disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone 4060 mg per hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan dapat diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand, drop foot, claw toes, dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti
reaksi
dan
pemberian
obat-obat
kortikosteroid
misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik). Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari. Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar: Regimen MDT
Pencegahan cacat Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya memakai sepatu untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindunginya. Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Cacat pada kaki dan tangan Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau
Tingkat 1 Tingkat 2 Cacat pada mata Tingkat 0 Tingkat 1
kecacatan yang terlihat. Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan ata deformitas yang terlihat. Terdapat kerusakan atau deformitas Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
Tingkat 2
menghitung jari pada jarak 6 meter) Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter) Tabel : Klasifikasi Cacat
2.10 Prognosis(7) Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
BAB 3 KESIMPULAN Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL, dan menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Penatalaksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi. Akses terhadap informasi, diagnosis dan pengobatan dengan terapi multidrug (MDT) tetap menjadi elemen penting dalam strategi untuk mengeliminasi penyakit ini sebagai masalah kesehatan masyarakat, yang didefinisikan sebagai mencapai suatu prevalensi kurang dari 1 kasus kusta per 10.000 penduduk. Walaupun kusta adalah penyakit tradisional negara-negara berkembang, mobilitas masyarakat saat ini membuatnya lebih mudah untuk mengimpor M. leprae ke negara-negara maju. Dengan pelaksanaan MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi dini dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan
merupakan kunci untuk mencegah kecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif normal.
DAFTAR PUSTAKA 1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88 2. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67 3. Smith D.S. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/220455-
overview#a0104. Accessed on 17th November 2013. 4. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology. Available
at http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. Accessed on 16th November 2013. 5. WHO. Leprosy elimination : classification of leprosy. Available at
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Accessed on 17th November 2013.
6.
Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Accessed on 16th November 2013.
7. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796 8. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671