BAB I PENDAHULUAN
Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan. Penyakit ini ditandai dengan gangguan/ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi tendensi terbentuknya vesikel atau bula karena terkena trauma ringan atau gesekan ringan. Kobner mengemukakan istilah epidermolisis bulosa tersebut pada tahun ta hun 1986, sedangkan oleh Pearson Pears on penyakit p enyakit ini disebut mehanobulous sesuai dengan terjadinya bula karena trauma. Kemudian diketahui juga bahwa bula tidak hanya terletak di epidermis, tetapi juga dapat mengenai mukosa. mukosa.1,2 Epidermolisis bulosa berbeda dengan penyakit vesikobulosa kronik lainnya yang nonherediter, seperti dermatitis herpestiformis Duhring, pemfigoid bulosa dan pemfigus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis an amnesis terjadinya penyakit dalam keluarga, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan histopatologis untuk melihat letak bula terhadap stratum basal serta pemerikaan dengan imunoflorosens dan mikroskop elektron untuk melihat defek pada protein yang bisa digunakan untuk menentukan klasifikasi dari epidermolisis bulosa.2,3 Penyakit ini adalah penyakit genetik dan belum ditemukan pengobatan yang
tepat.
Penggunaan
dikontraindikasikan.4Dikarenakan
kortikosteroid epidermolisis
jangka bulosa
panjang
menyebabkan
masalah, bukan hanya bula pada kulit, tetapi pada mukosa, akral, saluran cerna, mata dan lain-lain, maka penatalaksaan pasien pun harus multidisiplin dan secara holistik.1,2,4 epidermolisis bullosa acquisitionita (EBA) adalah autoimun kronis pada kulit dan selaput lendir. Epidermolisis bullosa akuisisi disebabkan oleh antibodi yang menargetkan kolagen tipe VII, komponen utama dari anchoring fibril yang menghubungkan membran basal ke struktur kulit. Presentasi klasik 1
ditandai dengan lecet, keterlibatan mukosa ringan, dan penyembuhan dengan bekas luka yang cukup besar terutama di daerah rawan trauma. Presentasi klinis kedua, bentuk inflamasi dari epidermolisis bullosa akuisisi, melibatkan letusan vesikulobullum umum terutama pada batang dan daerah lentur.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.
EPIDEMIOLOGI
Selama tahun 1986-1990, prevalensi penyakit epidermolisis bulosa adalah sebesar 8 per satu juta populasi degan insiden 19 per 1 juta kelahiran hidup. Angka insiden per subtipe adalah, epidermolisis bulosa simplex(EBS) sebesar 11 per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa junctional (EBJ) sebesar 2 per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa distrofik (EBD)subtipe dominan sebesar 3 per satu juta kelahiran hidup serta EBDsubtipe resesif sebesar 2 per satu juta kelahiran hidup. 2 Menurut
data
dari Dystrophic
Epidermolysis
Bullosa
Research
Association of America (DebRA), insiden dari EBJ sebesar 3.86 per satu juta kelahiran hidup per tahun selama tahun 2007-2011. 5 Pada studi yang dilakukan oleh Australasian EB Registry 6 selama Januari 2006 hingga Desember 2008, dari total 259 pasien yang diikutsertakan dalam penelitian, yang menderita EBS sebanyak 139, EBJ sebanyak 28, EBD sebanyak 91, dan sindrom Kindler sebanyak 1 orang.Usia rata-rata pasien EBS dan EBD adalah 24.1 tahun dan rata-rata usia yang lebih muda ditemukan pada pasien EBJ.
II. ETIOPATOGENESIS
Untuk dapat mengerti etiopatogenesis dan klasifikasi epidermolisis bulosamaka penting untuk mengetahui struktur dan target protein di taut dermoepidermal ( Basement Membrane Zone=BMZ).
3
Gambar 1. Susunan skematis taut dermoepidermal
Epidermolsis Bulosa Acquisita (EBA) merupakan suatu kelainan autoimun kronik yang ditandai dengan adanya lepuh subepidermal. Imunoglobulin G (IgG) menjadi autoantibody terhadap kolagen tipe VII, sehingga menyebabkan lemahnya ikatan epidermis dan dermis. Autoantibodi IgG berikatan dengan kolagen tipe VII sehingga menyebabkan menurunnya jumlah fibril pengikat. Hal ini dapat terjadi akibat kolagen tipe VII tidak dapat membentuk struktur triple helix dan fibril pengikat yang stabil. Kolagen tipe VII merupakan suatu rantai alfa yang memiliki massa molekul antara 250 hingga 320 kDa, dan terdiri atas 3 rantai alfa indentik homotrimer. Setiap rantai alfa terdiri atas asam amino terminus globular besar non kolagen, yang disebut dengan noncollagenous1 (NC-1) dan menempati setengah dari keseluruhan berat molekul. Selain itu, terdapat juga NC-2 yang memiliki berat molekul yang lebih rendah. Sebagian besar autoantibody EBA mengenali keempat antigen epitop sebagai domain NC-1 dan tidak mengenali domain helical dan NC-2. Berkurangnya jumlah fibril pengikat dapat dilihat pada lesi dan daerah sekitar lesi pada kulit pasien EBA. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa autoantibody EBA sangat pathogen dan memiliki kemampuan untuk memisahkan penyatuan antara epidermis dan dermis .
4
III. GEJALA KLINIS
Pasien yang datang dengan keluhan adanya bulla yan tidak diketahui dengan jelas penyebabnya dan tidak mempunya riwayat serupa, perlu dilkukan pemeriksaan histopatologi yanitu dengan biopsy menngunakan Hematoxilin eosin dan dapat melalkukan pemeriksaan darah untuk mengecek antibody dan kolagen, dengan menngunakan indirect imuflorescen atau ELISA. Evaluasi ukuran, lokasi dan karakteristik bula. Biasanya bula superfisial bermanifestasi sebagai erosi berkrusta, bula intradermal terasa flaccid dan bisa bertambah besar dengan tekanan. Bula intralamina lucida terasa kencang dan menyembuh dengan atrofi tapi tanpa jaringan parut. Bula sublamina densa menyembuh dengan jaringan parut dan pembentukan milie r. Terdapat banyak variasi dari manifestasi klinis EBA. Manifestasi klinis dari EBA dibagi menjadi 5, yaitu tipe klasik, presentasi menyerupai pemfigus bulosa, menyerupai pemfigoid sikatrik, pemfigoid Burnsting-Perry, dan menyerupai dermatosis bulosa linear IgA . a. Tipe Klasik. Tipe klasik merupakan kelainan bulosa non-inflamasi dengan distribusi pada akral dan sembuh dengan meninggalkan scar dan milia. Bentuk ringan dari tipe ini sangat mirip dengan porfiria cutaneus tarda (PCT). Pasien EBA tipe klasik tidak memiliki gejala yang sama dengan porfiria, yaitu fotosentivitas, dan peningkatan kadar porfiria di urin. EBA tipe klasik ditandai dengan adanya lepuh, erosi, hingga scar pada tangan, siku, lutut, region scarum dan kaki. Terkadang juga ditemui adanya keterlibatan mucosa oral dengan erosi dan lepuh. Vesikel dan bula juga dapat dijumpai pada daerah kulit yang tidak mengalami inflamasi. Beberapa dapat mengalami perdarahan sehingga menjadi erosi, krusta, skuama, skar, alopecia, kista milia dan distrofi kuku. Lesi tersebut akan sembuh dan meninggalkan jaringan parut serta membentuk kista milia pada daerah yang terkena. Bahkan pada kasus yang lebih berat, akan
5
dijumpai fibrosis dari tangan dan jari-jari serta stenosis esophagus. Gambaran histology akan menunjukkan terpisahnya lapisan epidermis dan dermis pada membran basalis serta minimal inflamasi.
Gambar 2 : Epidermolisis Bulosa Tipe Klasik
b. Pemphigoid bullosa-like presentation. Pasien ini memiliki manifestasi klinis yang menyerupai kelainan autoimun pemfigoid bulosa dan EBA. Tipe ini merupakan manifestasi dari erupsi vesikobulosa yang menyebar pada trunkus, badan, ekstremitas dan lipatan-lipatan kulit dan disertai pruritus. Bula yang terbentuk sangat tegang dan dikelilingi oleh kulit yang mengalami inflamasi dan urtika. Walaupun terdapat pruritus, namun skar, dan milia tidak terbentuk seperti presentasi klinis pada EBA tipe klasik. Pada gambaran histology akan ditemukan aggregate infiltrate polimorfik dari sel mononuclear dan granulosit (neutrofil dan eosinofil)
6
Gambar 3 : epidermolisis Bullosa yang menyerupai pemfigoid Bullosa
c. Cicatrical Pemphigoid-like Presentation. Serupa dengan Cicatrical Pemphigoid , lesi dijumpai di mulut, esophagus atas, konjungtiva, anus dan vagina dengan atau tanpa adanya lesi tandus kulit. Selain itu, juga terdapat adanya keterlibatan trakea pasien atau mukosa tanpa adanya skar. Berbeda dengan EBA tipe klasik, pasien dengan CP-like presentation terkadang tidak menunjukkan adanya bula dari kulit yang signifikan, terjadinya lesi akibta trauma dan lepuh pada daerah predileksi (pars ekstensor). Gambaran histology menunjukkan terdapat skar mikroskopis pada lepuh subepidermal yang disertai dengan infiltrate inflamasi pada dermis atas dan BMZ.
7
Gambar 4 : Epidermolisis Bullosa acuisita serupa dengan cicatrical pemfigoid
d. Pemfigoid Burnsting-Perry . Tipe ini merupakan tipe lesi vesikobulosa kronik dan rekuren. Berbeda dengan tipe sikatrik pemfigoid, BurnstingPerry sedikit atau bahkan tidak menyerang mukosa. Lesi dapat dijumpai pada daerah leher dan kepala
yang disertai
dengan scar, bula
subepidermal, dan deposit IgG pada DEJ. Target antigen dari autoantibody IgG belum dapat diidentifikasikan, tetapi terdapat dugaan bahwa target autoantibody IgG berada di bawah lamina densa pada gambaran klini tipe ini. Oleh karena itu, dipercaya bahwa Burnsting-Perry merupakan salah satu manifestasi klinis dari EBA.
Gambar 5 : Epidermolisis Bullosa dengan tipe Pemfigoid Burnsting-
Perry e. I mmunoglobulin A B ullois Dermatosis-L ike Pr esentation. Manifestasi klinis dari tipe ini ditunjukkan dengan adanya erupsi bula, infiltrat neutrofil, dan deposit dari IgA pada BMZ yang dapat dilihat pada DIF. Autoantibodi yang berperan dalam pathogenesis kelainan ini adalah IgA dan atau IgG. Diagnosis dari kelainan ini ditegakkan bila ditemukan
8
deposit IgA pada BMZ. Beberapa pasien dengan kelainan ini memiliki titer IgA yang rendah untuk melawan proses autoimun dari kolagen tipe VII.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menetapkan diagnosis epidermolisis bullosa akuisisi (EBA), tes berikut harus dilakukan pemeriksaan histopatologi dari keseluruhan bullae, atau vesikula baru, jika mungkin, Imunofluoresensi langsung pada kulit sekitar lesi yang normal Imunofluoresensi tidak langsung dengan serum pasien pada substrat kulit manusia normal
Histopatologi Histopatologi mendokumentasikan adanya lepuh subepidermal, yaitu pemisahan terjadi antara epidermis dan dermis. Selain itu, histologi juga mengungkapkan sel inflamasi yang menfiltrasi dermis.
Imunofluoresensi langsung
Imunofluoresensi langsung yang dilakukan pada spesimen biopsi kulit perilesional dari pasien dengan epidermolisis bullosa akuisisi mendeteksi pita linier deposit imunoglobulin G sepanjang sambungan dermoepidermal. Lihat
gambar
di
bawah
ini.
Imunofluoresensi
langsung
mendokumentasikan proses penyakit yang dimediasi oleh kekebalan tubuh. Biasanya, ia mendeteksi IgG yang tebal, dan pada tingkat yang lebih rendah C3, diendapkan secara linear di zona membrane basalis. Imunoreactan lain seperti IgM atau IgA dapat dilihat. Pola U -serrated adalah khas dari epidermolisis bullosa acquisitionita, sedangkan n-serrated khas pemfigoid.
9
Imunofluoresensi tidak langsung Imunofluoresensi tidak langsung Lihat gambar di bawah ini. Imunofluoresensi tidak langsung menunjukkan adanya autoantibodi IgG yang beredar pada serum pasien yang menargetkan komponen membran basal kulit, kolagen tipe VII. Biasanya, mendeteksi autoantibodi IgG yang beredar pada serum pasien yang mengikat lantai dermal (bagian bawah) pada substrat kulit normal yang dipecah garam. Tes ini membedakan epidermolisis bullosa akuisisi dari pemfigoid bulosa karena autoantibodi IgG dari pasien dengan pemfigoid bulosa terikat pada lapisan epidermal (bagian atas) kulit yang terpisah.
Pemeriksaan penunjang lain untuk mendiagnosis epidermolisis bullosa acquisita (EBA) meliputi mikroskopi immunoelektron langsung dan tidak langsung, immunoblotting, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), imunopresipitasi, dan immunomapping tipe kolagen tipe IV.
10
Mikroskop immunoelectron langsung dan tidak langsung Mikroskopi
immunoelectron
langsung
dan
tidak
langsung
mendokumentasikan ultrastuktural autoantibodi IgG terikat in vivo (dengan metode langsung) atau tempat pengikatan autoantibodi IgG yang beredar (dengan metode tidak langsung) pada membran dasar. Teknik ini mendeteksi autoantibodi IgG pada daerah la mina densa dan sublamina densa pada membran dasar kulit.
Immunoblotting Immunoblotting mendokumentasikan antigen membran basal kulit spesifik yang dikenali oleh autoantibodi IgG pasien. Tes ini mendeteksi protein membran basal 290-kd yang didenaturasi atau rangkaian globular rantai alfa (145 kd) kolagen tipe VII.
Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) mendokumentasikan antigen membran dasar spesifik yang dikenali oleh autoantibodi yang berhubungan dengan IgG pasien. ELISA lebih disukai daripada imunoblotting karena metode ELISA menggunakan kolagen tipe nondenatured VII, biasanya dalam bentuk rekombinan. Ini adalah metode yang lebih sensitif dan spesifik daripada immunoblotting.
Imunopresipitasi Imunopresipitasi menunjukkan antigen membran dasar spesifik dalam bentuk asalnya yang diakui oleh autoantibodi yang berhubungan dengan IgG pasien. Metode ini mendeteksi protein 290 kd baik dari keratinosit kultur atau dari fibroblas. Ini adalah metode yang lebih sulit untuk digunakan daripada imunobloting.
V. DIAGNOSIS
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu di tempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma yang ringan. Lokalisasi bula ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik secara lengkap ditujukan untuk menilai kelainan pada
11
mukosa mulut, mata, serta kuku dan akralyang biasanya menyertai EB. Untuk pemeriksaan penunjang, diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk melihat letak bula terhadap membrana basalis, pemeriksaan imunoflorosens untuk melihat target protein yang mengalami defek serta untuk menentukan klasifikasi atau pemeriksaan mutasi DNA untuk melihat mutasi pada gen yang spesifik dari subtipe epidermolisis bulosa. Untuk saat ini, pemeriksaan yang menjadi gold standart untuk menegakkan diagnosis epidermolisis bulosa adalah pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron. 9 Berikut Kriteria Diagnosis dari epidermolisis bullosa acquisit : 1. Terdapat kelainan vesikobulosa yang diidentifikasikan dengan spectrum klinis 2. Tidak terdapat riwayat penyakit vesikobulosa dalam keluarga 3. Gambran histology menunjukkan terdapat lepuh subepidermal. 4. Terdapat deposit IgG di DEJ pada pemeriksaan DIF dan kulit di sekitar lesi. 5. Pada pemeriksaan IEM atau kulit di sekitar lesi menunjukkan lokasi deposit IgG terletak pada lamin densa bawah atau sublamina densa dari DEJ
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Epidermolisis bulosa memiliki gejala yang mirip dengan penyakit kulit lainnya, seperti: a. Pemfigoid bulosa Penderita biasanya usia lanjut (>60 tahun), keadaan umum baik, atau sakit ringan. Sering disertai gatal. Kelainan kulit terutama bula yang bercapur dengan vesikel, berdinding tegang, kadang hemoragik dengan daerah sekitar kemerahan. Lokasinya di daerah fleksor seperti ketiak dan lipat paha.13 12
b.
Dermatosis linier imunoglobulin A (IgA) (LAD) Dermatosis linier imunoglobulin A (IgA) (LAD) adalah penyakit vesikulobullis subepidermal autoimun yang mungkin idiopatik atau obat. Anak-anak dan orang dewasa terpengaruh, dengan penyakit yang sebelumnya secara historis disebut dermatosis bulosa kronis pada masa kanak-kanak. Presentasi klinisnya heterogen dan tampak serupa dengan penyakit terik lainnya, seperti pemfigoid bulosa dan dermatitis herpetiformis. Contoh ditunjukkan di bawah ini
13
IX. PENATALAKSANAAN a. Promotif
Untuk penatalaksanaan promotif adalah dengan memberikan edukasi pada masyarakat tentang apa itu epidermolisis bulosa dan bagaimana mengenali gejala dari penyakit ini. Diedukasikan juga bagi keluarga yang memiliki riwayat epidermolisis bulosa untuk melakukan konseling genetik bagi yang hendak memiliki anak. 4 b. Preventif
Lakukan konseling genetik pada pasangan yang memiliki riwayat penyakit
epidermolisis
bulosa
di
keluarganya.
Untuk
sekarang,
pengambilan sampel dapat dilakukan dari vili korionik pada minggu 8-10 atau cairan amnion pada kehamilan trimester kedua. Dengan melakukan konseling genetik, dapat dilihat apakah janin menderita epidermolisis bulosa dan apakah janin viabel atau tidak. 4Untuk keluarga yang memiliki anak dengan epidermolisis bulosa, sebaiknya diedukasikan mengenai kondisi dan perawatan yang diperlukan oleh anak, pencegahan trauma dengan memakai bantalan pada ekstremitas untuk mencegah terjadinya bula, serta nutrisi yang baik yang diperlukan oleh anak untuk mencegah terjadinya erosi mukosa oral dan esofagus.Untuk pencegahan masalah di mulut, kunjungan teratur ke dokter gigi sangat disarankan karena pasien dengan EBJ dan EBD sering mengalami masalah gigi karena defek enamel.4 c. Kuratif
1. Medikamentosa a) Topikal Sebagai pengobatan topikal dapat diberikan kortikosteroid dan antibiotik bila terdapat infeksi sekunder. Glutaraldehid 5% 3 kali sehari berfungsi sebagai pelumas dan dapat membantu mengurangi gesekan pada tangan dan kaki. 14Untuk masalah lesi
14
pada mata, bisa diberikan antibiotik topikal bila ada erosi kornea. Pasien EBS subtipe weber-Cockayne dan DowlingMeara dapat mengalami blefaritis yang berulang dan bisa menyebabkan ektropion sikatrik dan keratitis. Lubrikasi mata dengan tetes mata artifisial sering digunakan. b) Sistemik Pemberian antibiotik sistemik hanya kalau ada indikasi saja. Pemberian kortikosteroid sistemik bermanfaat pada kasus yang berat dan fatal, antara lain untuk mencegah mutilasi, distrofik dan life saving . Akan tetapi pemberian kortikosteroid jangka panjang dikontraindikasikan, karena efek samping yang tidak diinginkan.4Diberikan prednison 140-160 mg/hari lalu segera dilakukan tappering off . Terapi lainnya adalah pemberian vitamin E 600-2000 iu/hari atau difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari yang bertujuan untuk menghambat aktivitas kolagenase.1Terapi juga perlu diperhatikan pada kasus yang mengenai jaringan mukosa, yang paling sering adalah masalah di esofagus (pada Hallopeau-Siemens dan EBD inversa, Dowling-Meara, dan sebagian besar subtipe EBJ) yang membuat anak sulit makan. Terapi yang bisa diberikan adalah fenitoin dan steroid oral sirup untuk mengurangi gejala disfagia. 2. Bedah Tata laksana secara bedah diperlukan apabila sudah terjadi striktur esofagus, fusi jari-jari tangan atau pseudosindaktil, dan karsinoma sel skuamosa.4 3. Perawatan Dijelaskan kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien. Sebisa mungkin hindari terjadinya gesekan dan trauma yang bisa memicu terjadinya bula. Hindari menggunakan plester, karena bisa memicu terjadinya bula. Bula dipecahkan dengan jarum steril yang ditusukkan dan atapnya dibiarkan. Pada anak-anak, sebaiknya
15
dipilihkan jenis sepatu yang lunak dan hindari sepatu yang sempit. Kaos kaki dari bahan katun untuk membantu menyerap keringat dan menghindari gesekan. Hindari gosokan pada saat memandikan pasien. Suhu lingkungan diupayakan agar cukup dingin, karena bula mudah terjadi pada suhu panas. Bagian yang erosi diolesi krim atau salep antibiotik, perawatan jari tangan harus hati-hati, upayakan mencegah
terjadinya
kontraktur
dan
fusi
jari-jari
dengan
menggunakan bidai jari-jari tangan pada saat malam hari. 1,4 4. Diet Sebaiknya diberikan makanan tinggi kaori dan tinggi protein dalam bentuk lunak yang mudah ditelan, terutama apabila terdapat luka di daerah mulut. Penggonaan dot dihindarkan, karena bisa menembukan gelembung dan luka di mulut, untuk mencegah trauma, bayi disuapi dengan sendok. Penelitian mengkonfirmasi, bahwa kekurangan gizi pada anak dengan epidermolisis bulosa akan menghambat penyembuhan luka. 1,4
d.
Rehabilitatif
Pasien dengan epidermolisis bulosa perlu mendapatkan perawatan yang ketat untuk luka dan nutrisinya. Inaktivitas karena nyeri dan pembentukan jaringan parut dapat memicu terjadinya kontraktur. Terapi fisik
diperlukan
ekstremitas.Whirlpool
untuk
mencegah
therapy bisa
terjadinya
digunakan
untuk
kontraktur membantu
membersihkan luka, sehingga membantu penyembuhan luka.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi kulit sekunder karena kuman Staphylococcus atau Streptococcus. Pembentukan jaringan parut dan milia terjadi akibat pembentukan bula yang dalam. Epidermolisis bulosa yang 16
berat bisa menyebabkan fibrosis di tangan dan menyebabkan pseudosindaktil sehingga mengurangi ruang gerak dari palmar dan digiti. Karena luka dan fibrosis di kaki, pasien dengan epidermolisis bulosa akan mengalami kesulitan berjalan, Banyak pasien epidermolisis bulosa yang kehilangan kukunya. Pasien dengan keterlibatan mukosa bisa mengalami striktur esofagus,
sehingga
mengurangi
asupan
gizi
pada
anak.
Akhirnya
epidermolisis bulosa bisa menyebabkan anak gagal bertumbuh. Komplikasi yang fatal lainnya adalah terjadinya karsinoma sel skuamosa akibat dari luka kronis dan jaringan parut, terutama pada tipe epidermolisis bulosa yang diturunkan secara autosom resesif.4
XI. PROGNOSIS
EBS mempunyai prognosis yang baik. Pasien akan bertambah baik seiring dengan usia, namun pada EBS subtipe herpetiformis yang menyerang neonatus, mempunyai prognosis yang buruk karena bula generalisata yang luas. Pasien dengan EB juctional subtipe Herlitz mempunyai angka mortalitas sebesar 87% dalam 1 tahun pertama kehidupan. Penyebab kematian adalah sepsis, gagal bertumbuh dan komplikasi trakeolaringeal. 5Prognois buruk juga dialami pasien EBJ dengan atresia pilorus. Pada pasien dengan EBJ non-letal, akan mengalami perbaikan klinis seiring dengan pertambahan usia. Pada pasien dengan EBD tipe resesif, prognosisnya sulit ditentukan karena gejala klinisnya lebih berat dari EBS tapi lebih ringan dari EBJ. Pada pasien epidermolisis bulosa yang telah melewati masa anak-anak, penyebab kematian paling banyak adalah karsinoma sel skuamosa. Kanker ini terjadi khususnya pada pasien dengan EB yang diturunkan secara resesif, yang paling sering terjadi pada usia 15-35 tahun. 15
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah Siti. Epidermolisis bulosa. DalamDjuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor: Ilmu penyakit kulit dan kelamin; edisi ke 5. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 2007 : 218-25. 2. Fine JD. Inherited epidermolysis bullosa. Orphanet J Rare Dis 2010; 5: 12. 3. Lizbeth R.A. Intong, MD, Dédée F. Murrell, MA, BMBCh. Inherited epidermolysis bullosa: New diagnostic criteria and classification. Clinics in Dermatology 2012; 30: 70 – 77. 4. Marinkovich Peter. Epidermolysis bullosa. 2014. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217 Diakses pada 2017. 5. Kelly-Mansuco G, Kopelan B, Azizkhan RG, Lucky AW. Junctional epidermolysis bullosa incidence and survival; 5-year experience of the Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of America (DebRA) nurse educator, 2007-2011. Pediatr Dermatol 2014; 31-159. 6. Kho YC, Rhodes LM, Robertson SJ, et al. Epidemiology of epidermolysis bullosa in the antipodes: the Aaustralasian Epidermolysis Bullosa Registry with a focus on Herlitz junctional epidermolysis bullosa. Arch Dermatol 2010; 146: 635. 7. Hurwitz S. Bullous disorder of childhood. Dalam Clinical pediatric dermatology, a textbook of skin disorders of chidhood and adolesence; edisi ke-2. Philadelphia : W.B. Sauders. Co. 1993 : 432-5, 439-41. 8. Atherton DJ. Epidermolysis bullosa. Dalam Harper J. Oranje A, Prose N, editor : Textbook of Pediatric Dermatology. London: Blackwell Science Ltd. 2000 : 1075-80. 9. Mahajan VK, Sharma NL and Sharma RC, Kindler syndrome. Orphanet Encyclopedia. Mars 2005. Diunduh dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-kindler.pdf Diakses pada \ 2017 10. White GM, Cox-Neil H. Disease of the skin. Pediatric dermatology. 2002. Diunduh dar ihttp://www.merckmedicus.com Diakses pada 2017. 11. Woodley TD, Chen Mei. Epidermolysis bullosa acquisita. DalamFitzpatrick TB, Eizem AZ, Wolf K, freedberg and Austen KF’s : Dermatology in general medicine; edisi ke-7. New York : Mc.Graw-Hill Company.2008 : 494 12. Yiasemides E, Walton J, Marr P, et al. A comparative study between transmission electron microscopy and immunofluorescence mapping in the diagnosis of epidermolysis bullosa. Am J Dermatopathol 2006;28: 387-94. 13. Siregar RS. Epidermolisis bulosa. Dalam Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta : EGC. 2005 : 141-4.
18
14. Tjipta GD, Nasution A. EpidermolisisBullosa, Laporan kasus. 2001. Diunduh dar ihttp://www.kalbe.co.id Diakses pada 2017. 15. ARisser J, Lewis K, Weinstock MA. Mortality of bullous skin disorders from 1979-2002 in the United States. Arch Dermatol. Sep 2009; 145(9): 1005-8.
19