REFERAT
KONJUNGTIVITIS NEONATUS
Oleh Ivan Buntara / 406152056
Pembimbing dr. Nanda Lessi Hafni Eka Putri, Sp.M-KVR
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI PERIODE 24 APRIL 2017 – 2 2 JUNI 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN
Nama / NIM
:
Ivan Buntara / 406152056
Fakultas
:
Kedokteran Umum
Universitas
:
Tarumanagara
Bidang Pendidikan
:
Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode Kepaniteraan Klinik :
24 April 2017 – 2 Juni 2017
Judul Referat
:
Konjungtivitis Neonatus
Diajukan
:
Mei 2017
Pembimbing
:
dr. Nanda Lessi Hafni Eka Putri, Sp.M-KVR
Telah diperiksa dan disahkan tanggal :..................................
Mengetahui,
Ketua SMF Mata
dr. Saptoyo Argo Morosidi, Sp.M
Pembimbing
dr. Nanda Lessi Hafni Eka Putri, Sp.M-KVR
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga referat dengan judul “Konjungtivitis Neonatus“ ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi periode 24 April 2017 – 2 Juni 2017. Dalam penulisan referat ini penulis telah mendapat bantuan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. dr. Saptoyo Argo Morosidi, Sp.M, selaku ketua SMF Mata dan pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata di RSUD Ciawi. 2. dr. Nanda Lessi Hafni Eka Putri, Sp.M-KVR, sel aku pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata di RSUD Ciawi. 3. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik baik dari UNTAR dan UKRIDA di Bagian Penyakit Mata RSUD Ciawi periode 24 April 2017 – 2 Juni 2017. Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini juga tidak luput dari kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu,
penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat bermanfaat demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Ciawi, Mei 2017
Penulis
BAB 1 PENDAHULUAN
Konjungtivitis neonatus, atau dikenal juga dengan istilah oftalmia neonatorum, merupakan salah satu penyebab mata merah pada neonatus yang sering dan penting, selain perdarahan subkonjungtiva, korpus alienum, dan malformasi vaskular. Kejadiannya mencapai 10% dari seluruh neonatus. Insiden konjungtivitis neonatus semakin berkurang sejak diterapkan terapi profilaksis untuk setiap bayi baru lahir. Namun, oftalmia neonatorum masih menyebabkan kebutaan sebanyak 10.000 bayi setiap tahunnya di seluruh dunia. Kasus ini terutama menjadi perhatian di negara berkembang. Penyebab konjungtivitis neonatus dapat berupa infeksi bakteri, klamidia, virus, serta bahan kimia. Kebanyakan infeksi diperoleh dari jalan lahir ibunya saat persalinan, namun tidak semua neonatus yang terpapar dengan penyebab infeksi harus mengalami konjungtivitis. Etiologi-etiologi tersebut terkadang dapat dibedakan berdasarkan waktu terjadinya, namun pemeriksaan apusan sekret serta biakan kuman tetap diperlukan. Diagnosis antenatal serta pengobatan infeksi genitalia pada ibu hamil akan sangat berperan dalam pencegahan konjungtivitis neonatus. Pengenalan serta diagnosis yang tepat juga sangat berperan dalam tatalaksana dan pencegahan kebutaan, komplikasi okular dan sistemik lainnya yang serius di tahun-tahun kehidupan berikutnya.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Konjungtivitis Neonatus
Konjungtivitis neonatus, atau dikenal juga dengan istilah oftalmia neonatorum, merupakan konjungtivitis yang terjadi pada 1 bulan pertama kehidupan, yang ditandai dengan terdapatnya sekret okular yang bersifat serosa atau purulen, dengan penyebabnya antara lain infeksi bakteri, virus, klamidia, atau respon toksik terhadap bahan kimia tertentu.
2.2 Epidemiologi Konjungtivitis Neonatus
Konjungtivits neonatus merupakan salah satu penyebab mata merah pada neonatus yang sering dan penting, selain perdarahan subkonjungtiva, korpus alienum, dan malformasi vaskular. Kejadiannya mencapai 10% dari seluruh neonatus. Insiden konjungtivitis neonatus semakin berkurang sejak diterapkan terapi profilaksis untuk setiap bayi baru lahir. Namun, oftalmia neonatorum masih menyebabkan kebutaan sebanyak 10.000 bayi setiap tahunnya di seluruh dunia.
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Konjungtivitis Neonatus
Penyebab konjungtivitis neonatus yang tersering adalah infeksi bakteri, diikuti dengan inflamasi kimia, serta infeksi virus. Berikut ini adalah tabel penyebab-penyebab konjungtivitis neonatus menurut waktu onsetnya. Tabel 1. Etiologi Konjungtivitis Neonatus menurut Waktu Onset Etiologi
Onset
Toksik (Kimia) : perak nitrat 1%, povidone
1 – 36 jam
iodine 2,5%, eritromisin 0,5%, tetrasiklin EO 1% Klamidia
1 – 3 minggu pertama kehidupan (5 – 14 hari)
Neisseria gonorrhoeae (gonokokus)
Hari ke-1 s/d 7 pertama kehidupan
Bakteri lainnya : Pseudomonas aeruginosa,
Hari ke-4 s/d 14 pertama kehidupan
Staphylococcus aureus, Streptococcus
(terutama akhir minggu pertama kehidupan)
pneumoniae, Haemophilus influenzae
Virus herpes simpleks
1 – 2 minggu pertama kehidupan
Oftalmia klamidia disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, merupakan penyebab bakterial yang paling banyak. Bakteri ini menyebabkan 40% kasus konjungtivitis pada neonatus berusia < 4 minggu. Prevalensi ibu yang mengalami infeksi klamidia berkisar antara 2 – 20%. Sekitar 30 – 50% neonatus lahir dari wanita yang terinfeksi secara akut, dimana 25 – 50% nya mengalami konjungtivitis serta 5 – 20% nya mengalami pneumonia. Oftalmia gonokokal (disebabkan Neisseria gonorrhoeae) saat ini lebih sedikit kasusnya di negara maju, namun sebelumnya berperan dalam menyebabkan 25% kebutaan pada anak-anak. Infeksi biasanya berasal dari kontak langsung jalan lahir, namun bakteri-bakteri tertentu diduga menyebar dari udara ke neonatus segera setelah lahir (nosokomial), serta dapat terkait dengan obstruksi duktus lakrimalis. Bakteri lainnya seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae menyebabkan 30 – 50% kasus. Bakteri-bakteri lain yang juga dapat menyebabkan konjungtivitis neonatus antara lain Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli, Proteus sp., Klebsiella pneumoniae, Enterobacter sp., Serratia marcescens, dan Pseudomonas sp. Obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital juga dapat menyebabkan konjungtivitis bakterial rekuren yang ringan. Konjungtivitis kimia biasanya disebabkan oleh pemberian terapi topikal untuk profilaksis okular. Salah satunya oleh perak nitrat, yang merupakan metode Crede untuk mencegah infeksi bakteri. Virus yang paling sering menyebabkan konjungtivitis neonatus yaitu virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 (paling sering virus herpes simpleks tipe 2). Keduanya dapat menyebabkan keratokonjungtivitis herpetik, namun secara keseluruhan virus hanya menyebabkan < 1% kasus. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya konjungtivitis neonatus antara lain :
Mikroorganisme di vagina saat persalinan
Ketuban pecah dini
Persalinan lama
Air mata neonatus sedikit dan kadar IgA rendah
Trauma terhadap barrier epitel
Pemberian profilaksis perak nitrat
2.4 Tanda dan Gejala Konjungtivitis Neonatus
Etiologi konjungtivitis neonatus sulit ditentukan secara klinis saja akibat tumpang tindih antara tampilan klinis dan onsetnya. Tanda-tanda yang secara umum ditemukan antara lain injeksi konjungtiva dan keluarnya sekret berair atau purulen. 1. Oftalmia klamidia (konjungtivitis inklusi) Gejala timbul pada 1 – 3 minggu pertama kehidupan (5 – 14 hari), dapat bersifat unilateral atau bilateral. Konjungtivitis bervariasi dari konjungtivitis ringan dengan sekret mukopurulen minimal hingga edema palpebra berat dengan produksi sekret terus-menerus serta pembentukan pseudomembran. Awalnya sekret dapat bersifat serosa, yang secara progresif berubah menjadi mukopurulen. Pada konjungtiva terdapat respon papiler namun tidak terdapat folikel. Infeksi biasanya bersifat ringan dan self-limited , namun pada kasus yang berat dapat menimbulkan scar konjungtiva serta pannus kornea perifer dengan scar kornea. Setelah terinfeksi 3 – 12 minggu juga dapat disertai pneumonitis.
Gambar 1. Gambaran Oftalmia Klamidia
2. Oftalmia gonokokal Oftalmia gonokokal disebabkan Neisseria gonorrhoeae, suatu bakteri gram negatif diplokokus yang dapat melakukan penetrasi melalui epitel yang intak. Bakteri menyebabkan konjungtivitis purulen akut bilateral yang timbul pada hari ke-1 sampai hari ke-7 pertama kehidupan. Onset dapat lebih cepat pada ketuban pecah dini. Pada neonatus terlihat edema palpebra yang berat, disertai dengan kemosis dan eksudat purulen berlebih (hiperpurulen). Dapat juga disertai dengan pembentukan membran konjungtiva. Bila tidak ditatalaksana dengan baik dapat menyebabkan ulkus kornea serta kebutaan.
Gambar 2. Gambaran Oftalmia Gonokokal
3. Konjungtivitis disebabkan bakteri lainnya Onsetnya bervariasi dari hari ke-4 sampai dengan hari ke-14 pertama kehidupan, terutama pada akhir minggu pertama kehidupan. Tanda-tandanya antara lain edema palpebra, kemosis, serta injeksi konjungtiva dengan sekret mukoid atau purulen. Pada infeksi Staphylococcus, mata dapat menjadi sedikit lengket.
4. Keratokonjungtivitis herpetik Onsetnya antara 1 – 2 minggu pertama kehidupan, dapat muncul sebagai infeksi terisolasi, maupun diseminata atau infeksi SSP. Setelah infeksi dapat muncul lesi vesikular pada kulit palpebra, tepi palpebra, atau periokular. Konjungtivitis bersifat unilateral atau bilateral, dengan sekret serosa, serta dapat diikuti blefaritis, keratitis herpetik atau keratouveitis. Terdapat sejumlah laporan kasus vitritis, retinitis, ablatio retina, neuritis optik, dan katarak terkait dengan herpes okular pada neonatus. Konjungtivitis ini dapat mirip dengan konjungtivitis bakteri maupun kimia, namun tanda patognomonisnya berupa keratitis dendritik.
Gambar 3. Gambaran Keratokonjungtivitis Herpetik
5. Konjungtivitis kimia Onsetnya antara 1 – 36 jam setelah paparan terjadi. Tanda-tanda yang dapat dilihat pada mata antara lain edema palpebra, konjungtiva hiperemis, dan sekret yang bersifat serosa hingga mukoid.
Gambar 4. Gambaran Konjungtivitis Kimia
2.5 Diagnosis Konjungtivitis Neonatus
Dalam anamnesis, beberapa hal yang harus ditanyakan antara lain :
Riwayat pemberian profilaksis
Gejala-gejala infeksi menular seksual pada kedua orang tua
Kejadian konjungtivitis akhir-akhir ini pada orang-orang sekitar yang dekat
Gejala-gejala penyakit sistemik pada anak-anak : pneumonitis, rhinitis, dan otitis pada infeksi klamidia; vesikel-vesikel kulit dan tanda-tanda ensefalitis pada HSV
Mata yang terus berair tanpa tanda-tanda inflamasi, menunjukkan adanya duktus nasolakrimalis yang tidak terbuka
Pemeriksaan terhadap materi konjungtiva harus dilakukan untuk mendeteksi adanya kuman gonorrhea, klamidia, maupun herpes. Materi konjungtiva dilakukan pewarnaan Gram, dikultur untuk mendeteksi Neisseria gonorrhoeae (misalkan pada media agar Thayer-Martin yang dimodifikasi) dan bakteri lainnya, serta diuji untuk klamidia (misalkan dengan pewarnaan Giemsa, kultur, imunofluoresensi langsung, ELISA, atau amplifikasi asam nukleat). Pemeriksaan sediaan apus (pap smear) atau kultur virus hanya dilakukan bila infeksi virus diduga menyebabkan lesi kulit atau infeksi maternal.
2.6 Diagnosis Banding Konjungtivitis Neonatus
Dakriosistitis neonatus
Gangguan ini bersifat simtomatik 2 – 4 minggu pertama kehidupan, dengan kemerahan dan edema pada regio sakus lakrimalis, serta sekret purulen dari puncta lakrimalis.
Glaukoma kongenital
Harus selalu dipertimbangkan terutama pada kasus monokular.
2.7 Tatalaksana Konjungtivitis Neonatus
1. Oftalmia klamidia Pilihan utamanya berupa terapi sistemik karena setidaknya pada 50% kasus juga didapatkan infeksi nasofaring dan beberapa mengalami pneumonia klamidia. Neonatus dianjurkan untuk diberikan eritromisin etilsuksinat 12,5 mg/kg atau erit romisin sirup 50 mg/kg PO, setiap 6 jam, selama 2 minggu. Efikasi terapi ini hanya sebesar 80%, oleh karena itu mungkin diperlukan terapi tambahan. Penggunaan eritromisin pada neonatus berhubungan dengan terjadinya stenosis pylorus hipertrofik, sehingga semua neonatus yang diterapi dengan eritromisin harus dipantau untuk tanda dan gejala stenosis pylorus. Suspensi azitromisin 20 mg/kg PO, sekali sehari, selama 3 hari juga efektif terhadap oftalmia klamidia.
2. Oftalmia gonokokal Neonatus dengan oftalmia gonokokal harus dirawat untuk evaluasi kemungkinan infeksi gonokokal sistemik serta diberikan ceftriaxone dosis tunggal 25 – 50 mg/kg IM, dengan dosis maksimum 125 mg. Neonatus dengan hiperbilirubinemia atau yang menerima cairan yang mengandung kalsium tidak boleh diberikan ceftriaxone, dan sebagai gantinya diberikan cefotaxime dosis tunggal 100 mg/kg IV atau IM. Antibiotik lainnya yang dapat diberikan adalah penisilin G IV 2.000.000 IU/hari, penisilin G tetes mata 10.000 – 20.000 IU setiap jam dengan dosis awal 1 tetes setiap 5 menit selama 30 menit. Irigasi mata berkala dengan salin mencegah adhesi sekret. Antimikroba topikal sendiri tidak efektif dan tidak diperlukan bila dapat diberikan terapi sistemik, kecuali bila terdapat ulkus kornea. Antibiotik topikal yang dapat diberikan yaitu gentamisin tetes mata setiap jam.
3. Konjungtivitis disebabkan bakteri lainnya Biasanya berespon dengan terapi topikal yang mengandung polimiksin plus basitrasin, eritromisin, atau tetrasiklin. Untuk bakteri gram positif, diberikan salep eritromisin 0,5%, 4 kali sehari. Sedangkan untuk bakteri gram negatif, diberikan obat tetes mata atau salep gentamicin, tobramycin, atau fluorokuinolon, 4 kali sehari.
4. Keratokonjungtivitis herpetik Keratokonjungtivitis herpetik harus diterapi dengan acyclovir sistemik 20 mg/kg, setiap 8 jam, selama 14 – 21 hari (21 hari bila terjadi penyebaran sistemik seperti pneumonitis, septikemia, atau ke SSP). Salep acyclovir juga dapat diberikan sebagai tambahan, dengan aplikasi di sakus konjungtiva dan palpebra, 5 kali sehari. Obat topikal lainnya yang dapat diberikan yaitu tetes mata ganciclovir 5 kali sehari, tetes mata atau salep trifluridine 1% setiap 2 jam untuk 7 hari, salep vidarabine 3%, atau iododeoksiuridine 0,1% setiap 2 – 3 jam, dengan dosis maksimum 9 dosis/24 jam. Terapi sistemik penting karena penyebaran virus ke SSP dan organ lainnya dapat terjadi.
5. Konjungtivitis kimia Konjungtivitis ini tidak memerlukan terapi spesifik. Biasanya hanya dilakukan irigasi teratur pada mata dan kelopak mata, serta diberikan artificial tears.
Berikut ini adalah tabel tampilan diagnostik serta tatalaksana konjungtivitis neonatus Etiologi Kimia (toksik)
Tampilan Klinis
Diagnosis
Noninfeksius Edema
Riwayat
Tatalaksana
paparan, Artificial tears
palpebra, self-limited dalam < Irigasi mata teratur
konjungtiva
48 jam
hiperemis,
sekret
serosa
hingga
purulen Gonokokal
Bilateral,
Kultur
konjungtivitis
pewarnaan Gram : mg/kg/hari IV dosis
purulen
sel
dan
Ceftriaxone 25 – 50
hiperakut, bakteri gram negatif tunggal
edema
palpebra intraselular
Cefotaxime
berat,
kemosis, berbentuk
mg/kg IV atau IM
membran
diplokokus
100
Penisilin
G
konjungtiva,
sekret
2.000.000 IU/hari IV
yang
terus.
Penisilin G 10.000 –
keluar
Dapat menyebabkan
20.000 IU tetes mata
perforasi
Irigasi topikal
kornea,
kebutaan Gejala
Antibiotik sistemik
rhinitis,
:
topikal
bila terdapat ulkus
artritis,
kornea
stomatitis, meningitis,
infeksi
anorektal, septikemia Klamidia
Unilateral
atau Kultur
sel, Eritromisin
bilateral,
pewarnaan Giemsa, etilsuksinat
12,5
konjungtivitis
pemeriksaan
mg/kg
atau
mukopurulen
imunofluoresen
eritromisin sirup 50
nonfolikular ringan,
langsung,
mg/kg PO, setiap 6
edema
palpebra, PCR
kemosis, pembentukkan pseudomembran
ELISA,
jam, minggu
selama
2
Pneumonitis setelah
Suspensi azitromisin
3 – 12 minggu
20 mg/kg PO, sekali
Pada kasus yang
sehari, selama 3 hari
berat
scar
→
konjungtiva, pannus kornea perifer dengan scar kornea Staphylococcus, Streptococcus,
Nosokomial, dan
bakteri lainnya
sekret
mukoid
Kultur
sel, Bakteri gram positif :
atau pewarnaan Gram
salep
eritromisin
mukopurulen,
0,5%, 4 kali sehari
konjungtiva
Bakteri
hiperemis,
edema
gram
negatif : obat tetes
palpebra
mata
atau
salep
gentamicin, tobramycin,
atau
fluorokuinolon,
4
kali sehari Virus simpleks
herpes Blefarokonjungtivitis Kultur unilateral
sel, Acyclovir
sistemik
atau pewarnaan antibodi 20 mg/kg, setiap 8
bilateral
fluoresen langsung, jam, selama 14 – 21
(nonfolikular), sekret
ELISA, PCR
hari
serosa,
edema Sel
palpebra,
vesikel multinuclear dengan kali sehari
palpebra
/
tepi
palpebra / periorbita,
raksasa Acyclovir
salep
inklusi
Ganciclovir
intrasitoplasmik
mata 5 kali sehari
5
tetes
ulkus geografik di
Tetes mata atau salep
kulit
trifluridine 1% setiap
sekitar
bola
mata, defek dendritik
2 jam untuk 7 hari
epitel kornea yang
Salep vidarabine 3%
terlihat
Iododeoksiuridine
pada
pemeriksaan fluorescein,
0,1% setiap 2 – 3 dengan
jam,
dosis
atau
tanpa
gejala
sistemik
maksimum
9
dosis/24 jam
2.8 Pencegahan Konjungtivitis Neonatus
Penggunaan rutin tetes mata perak nitrat 1% dosis tunggal, eritromisin 0,5%, serta tetrasiklin 1% dalam bentuk salep atau tetes mata setelah persalinan dapat dengan efektif mencegah oftalmia gonokokal. Namun, tidak satupun dari antimikroba tersebut dapat mencegah oftalmia klamidia. Untuk hal ini dapat diberikan tetes mata povidone iodine 2,5%. Ibu serta neonatus harus diskrining terhadap infeksi klamidia, HIV, dan sifilis.
2.9 Algoritme Tatalaksana untuk Konjungtivitis Neonatus
BAB 3 KESIMPULAN
Konjungtivitis neonatus (oftalmia neonatorum) merupakan konjungtivitis yang terjadi pada 1 bulan pertama kehidupan, yang ditandai dengan terdapatnya sekret okular yang bersifat serosa atau purulen, dengan penyebabnya antara lain infeksi bakteri, virus, klamidia, atau respon toksik terhadap bahan kimia tertentu. Pencegahan dengan terapi topikal antigonokokal harus rutin dilakukan. Diagnosis konjungtivitis neonatus didasarkan pada klinis dan biasanya dikonfirmasi dengan uji laboratorium. Semua kasus konjungtivitis neonatus akut harus ditatalaksana sebagai konjungtivitis gonokokal sampai terbukti sebaliknya. Tatalaksana definitifnya dengan antimikroba yang spesifik organisme.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR, Cunningham ET, editors. Vaughan & asbury’s general ophthalmology. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2011. 2. Lang GK. Ophthalmology: a short textbook. Stuttgart: Georg Thieme Verlag; 2000. 3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 4. Yanoff M, Duker JS, editors. Ophthalmology. 4 th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. 5. Gleason CA, Devaskar SU. Avery’s diseases of the newborn. 9 th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. 6. Caserta MT. Neonatal conjunctivitis (ophthalmia neonatorum). MSD Manual. 2015 Oct:14. 7. World Health Organization. Guidelines for the management of sexually transmitted infections. 2004 Feb:1-88.