HALAMAN JUDUL
REFERAT BAKTERI EXTENDED SPECTRUM SPECTRUM β LACTAMASE LACTAMASE (ESBL)
Pembimbing dr. Asna Rosida, Sp. PD
Diajukan Oleh: Ummi Utami, S.Ked J510170066
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR HARDJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018
i
HALAMAN PENGESAHAN REFERAT BAKTERI E XTE XTE NDED SPE SPE CTRUM CTRUM β LACTAMASE LACTAMASE (ESBL) Referat
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh : Ummi Utami, S.Ked J510170066
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari, Januari 2018
Pembimbing Nama : dr Asna Rosida, Sp. PD
(................................) (................................)
Dipresentasikan Nama
: dr Asna Rosida, Sp. PD
(................................) (................................)
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................................ ii DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG............................................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 3 A.
DEFINISI ............................................................................................................................... 3
B.
EPIDEMIOLOGI ................................................................................................................... 3
C.
FAKTOR RESIKO ................................................................................................................ 5
D.
KLASIFIKASI ....................................................................................................................... 7
E.
MEKANISME RESISTENSI PADA BAKTERI ESBL...................................................... 12
F.
DETEKSI BAKTERI ESBL ................................................................................................ 14
G.
MANAJEMEN INFEKSI BAKTERI ESBL........................................................................ 14
BAB III RINGKASAN .................................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 22
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas (sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim) telah mengakibatkan munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim extended s pektrum β laktamase (ESBL). ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik β laktam termasuk penisilin, sefalosporin dan monobaktam. Enzim β laktamase yang pertama ditemukan dinamakan TEM-1. TEM ditandai dengan adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutasi satu asam amino pada TEM-1 mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan hidrolisisnya terhadap antibiotik β laktam. Setiap adanya mutasi akan menghasilkan suatu enzim baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda. TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penicillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidim, seftriakson, atau sefepim. Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam penggunaan klinis pada awal 1980an. TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri pen ghasil enzim β laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant TEM. Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak dihasilkan oleh E.coli. Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim β laktamase mengakibatkan terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun 1983 dan merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp. Sama halnya dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim baru. Sampai saat ini dikenal 140 turunan SHV. Selain kedua enzim diatas dijumpai juga CTM-X yang lebih dominan resisten terhadap cefotaxime. Banyak kejadian outbreak ESBL diakibatkan turunan CTM-X.
1
2
Sampai saat ini terdapat 130 turunan CTM-X. CTM-X merupakan ESBL yang paling sering dijumpai saat ini. Antibiotik β laktamase inhibitor asam clavulanat kurang efektif terhadap ESBL CTM-X ini. Adapun enzim β laktamase yang lain dikenal dengan OXA β laktamae. OXA beta laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan kurang efektif terhadap asam clavulanat. ESBL OXA banyak dijumpai pada Pseudomonas aeroginosa. Enzim beta laktamase yang lain, seperti PER, VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada P.aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang juga cukup jarang, dan ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA. Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya bakteri gram negatif, seperti Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, Eschericia coli, Acinetobacter, Burkhlorderia,
Citobacter,
Salmonella, dan Seratia spp.
Enterobacter,
Morganella,
Proteus,
Pseudomonas,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAKTERI E XTE NDED SPE CTRUM β LACTAMASE (ESBL) A. DEFINISI
β -lactamase adalah enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri yang berfungsi untuk melawan / mempertahankan diri terhadap serangan antibiotik β lactam. Enzim ini mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis antibiotika golongan penicillin, cephalosporin generasi satu, dua, dan tiga, serta golongan aztreonam (namun bukan cephamycin dan carbapenem). β -lactamase pertama kali ditemukan pada tahun 1940 oleh Abraham dan Chain. Enzim ini berhasil ditemukan dari isolat S. aureus dan disebut sebagai penicillinase. Sejak saat itu semakin banyak pelaporan penemuan β -lactamase yang baru. Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya bakteri gram negatif, seperti Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, Eschericia coli, Acinetobacter, Burkhlorderia,
Citobacter,
Enterobacter,
Morganella,
Proteus,
Pseudomonas,
Salmonella, dan Seratia spp.
B. EPIDEMIOLOGI
Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community) maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Perbedaan kedua sumber infeksi ini seperti tertera pada tabel berikut. Tabel 1. Perbedaan onset infeksi ESBL Community onset
Hospital onset, particularly ITU
Organism
E. coli
Klebsiella spp
Type of ESBL
CTX-M
SHV, TEM
Type of infection
Usually UTIs, but also bacteraemia and GI infection
Bacteraemia, intraabdominal, and respiratory and urinary infection
3
4
Molecular epidemiology
Isolates not always related
Isoates usually related, that is, outbreak
Sumber : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Secara global kejadian prevalensi ESBL bervariasi diberbagai daerah. Dari hasil Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian tertinggi ESBL K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu 44%, 22,4%, 13,3% dan yang terakhir 7,5%. Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004 diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih tinggi dibandingkan non-ICU. Dari hasil penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (MYSTIC) tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadia ESBL E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4% sedangakan total kejadian ESBL secara keseluruhan 5,6%. Di Eropa, banyak Negara di Eropa yang mengalami outbreak ESBL. Isolat pertama ESBL dijumpai di Jerman, namun Outbreak pertama terjadi di Francis, dimana dari 50 pasien yang terkena ESBL di ICU, menyebarkan ke hampir seluruh ruang rawat lainnya. Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. Di Amerika Selatan merupakan daerah tertinggi infeksi ESBL dengan predominan jenis CTX-M dengan range kejadian 45-51% untuk ESBL K.pneumonia dan 8,5%-18% ESBL E.coli Di Asia, Cina merupakan daerah pertama yang dijumpai ESBL dengan angka kejadian ESBL E.Coli 13-15%. Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan Indonesia berkisar 12-24%. Laporan kesehatan Malaysia menyatakan prevalensi ESBL E.coli di Malaysia dan singapura 5,6% dan Indoneisa 23% sedangkan ESBL K.pneumoniae di Malaysia dan singapura 38% dan Indoneisa 33,3%. Hasil penelitian di Medan diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7% dari 282 sampel urin yang diperiksa. Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik Medan dijumpai kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian
5
ESBL 16,9% (12% ESBL K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83% isolat E.coli merupakan ESBL E.coli.
C. FAKTOR RESIKO
Banyak peneliti mencoba mencari faktor resiko terhadap kejadian ESBL sehingga dapat menduga adanya infeksi ESBL pada seseorang. Penelit ian oleh Rishi et al., memperoleh faktor resiko kejadian ESBL yaitu adanya infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan antibiotik sebelumnya, diabetes mellitus, penggunaan kateter ataupun alat lain di saluran kemih, jenis kelamin wanita dan usia lebih dari 65 tahun. Ikeda et al. mencoba mencari faktor resiko berupa pemeriksaa laboratorium dasar seperti hemoglobin, leukosit, CRP dan lainnya diperoleh bahwa albumin dan limfosit yang rendahlah berhubungan dengan kejadian ESBL pada pasien dengan infeksi. Selain hal diatas ada beberapa faktor resiko lain seperti; usia tua, lamanya rawatan, lamanya sakit, lama rawatan ICU, adanya tindakan invasif, penggunaan ventilator, penggunaan kateter urin, penggunaan nagogastric tube, hemodialisis, status nutrisi yang buruk, penggunaan antibiotik sebelumnya, penggunaan thermometer ataupun gel ultrasonografi yang terkontaminasi pasien lain ataupun tangan pekerja kesehatan. Beberapa Faktor- faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL dapat dilihat tertera pada tabel berikut Tabel 2. Faktor resiko infeksi ESBL
.
6
Sumber : Rupp ME et al. Drugs, 2003 1. I talian Score
Tumbarello et al memperkenalkan suatu scoring system untuk menilai adanya infeksi ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu dengan antibiotik terhadap bakteri ESBL tersebut. Tabel 3. Italian Score Kriteria penilaian
Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain Charlson Comorbidity Score ≥ 4 Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir Usia ≥ 70 tahun
Skor
2 3 3 2 2 2
Sumber : Tumbarello M et al, Antimicroba Agents Chemother 2011
Jika Pada penelitian itu, Tumbarello dkk menggunakan cutoff skor 8 atau lebih untuk mendapatkan spesifisitas yang tinggi (96%) dan positive predictive value 80%, namun hanya memiliki sensitivitas 50%. Namun pada saat divalidasi di institusi lain, yaitu di Duke University Hospital, maka pada tahun 2013, Steven dkk
7
mengusulkan suatu sistem skoring baru yang lebih sederhana, yang dikenal dengan Duke model score. Tabel 4. Kriteria penilaian
Skor
Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon 3 dalam 3 bulan terakhir Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 2 Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 4 Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 5 Riwayat Penggunaan imunosupresan 3 bulan terakhir 2 Sumber: Steven dkk, Infection Control and Hospital Epidemiology, 2013
Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan positive predictive value yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, maka pada Duke model score memiliki spesifisitas 95% dan positive predictive value 79%. Namun, sistem skoring ini belum diuji pada populasi dan organisme lain, seperti di Indonesia.
D. KLASIFIKASI
Saat ini sudah ditemukan lebih dari 700 jenis β -Lactamase sehingga perlu dibuat suatu klasifikasi agar mempermudah identifikasi enzim ini. Ada banyak cara yang digunakan untuk mengklasifikasi β -Lactamase, namun yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut Ambler molecular dan Bush-Jakoby-Medieros functional classification. Ambler membagi β -Lactamase ke dalam empat kelompok utama (A sampai D). Dasar pembagian ini terletak pada homologi protein (kesamaan dalam asam amino), bukan karakteristik phenotype. Serine β -Lactamase adalah dasar klasifikasi β -Lactamase kelas A, C, dan D, sebaliknya enzim kelas B adalah Metallo β -Lactamase.
Klasifikasi Bush-Jacoby-Medeiros
membagi
grup β -Lactamase
berdasarkan kesamaan fungsi (substrat dan profil inhibitor). Ada empat grup utama dan beberapa subgrup dalam sistem ini. Klasifikasi ini lebih relevan untuk praktisi medis atau mikrobiologi di laboratorium karena berdasarkan β -Lactamase inhibitor dan β -Lactamase substrate.
8
Tabel 5. Klasifikasi The bush-Jacoby-Medeiros
Sumber : Indian journal of microbiology
Jenis ESBL yang sering ditemukan adalah sebagai berikut : 1. SHV β lactamases (class A) ESBL SHV adalah tipe yang sering ditemukan di isolat klinis dibandingkan jenis lainnya. SHV mengacu pada variabel sulfhydril (sulfhydril variable) dan termasuk dalam grup 2be. Ada lebih dari 100 jenis variasi dari tipe SHV. SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang mirip, 68 % asam amino yang ada di SHV-1 juga terdapat di TEM-1. SHV-1 sering ditemukan dalam K. pneumoniae. Sekitar 20% plasmid-mediated ampicillin resistance disebabkan oleh organisme ini. Pada tahun 1983, di Jerman, suatu β -lactamase berhasil diidentifikasi dari isolat Klebsiella ozaenae. Enzim ini mampu menghidrolisis cefotaxime dan ceftazidime. Ternyata jenis β -lactamase ini berbeda dengan SHV-1. Posisi glycine diganti oleh serine pada posisi 238. Mutasi ini menunjukkan extended-spectrum β lactamase. Enzim ini diklasifikasikan sebagai SVH-2. Saat ini telah ditemukan ESBL golongan SHV pada Enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter spp. 2. TEM β lactamase (class A) ESBL golongan ini merupakan turunan dari TEM-1 dan TEM-2. Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi asam amino. TEM-1 pertama kali dilaporkan pada tahun 1965. TEM-1 dihasilkan oleh bakteri Gram negatif dan umumnya resisten terhadap ampicillin. TEM-1 ini berasal dari isolat E. coli di Athena,
9
Yunani dan disebut―Temoneira” sehingga sejak itu digunakan istilah TEM. TEM-1
memiliki daya hidrolisis yang sangat kuat terhadap ampicillin, namun terhadap carbenicilin, oxasilin, cephalotin,
atau
cephalosporin.
lemah Kemampuan
hidrolisis enzim ini dihambat oleh clavulanic acid . TEM-1 sering dijumpai pada bakteri Gram negatif seperti E coli, H influenza, N gonorrhoeae dan K pneumonia. TEM-2 memiliki profil hidrolitik yang sama seperti TEM-1. Letak perbedaan kedua TEM ini yaitu pada TEM-1 memiliki kemampuan alamiah yang lebih aktif dan berbeda dalam titik isoelektrik (pH TEM-1 = 5,6, TEM-2 = 5,4). TEM-13 juga memiliki profil hidrolitik mirip dengan TEM-1 dan TEM-2. TEM-1, TEM-2, dan TEM-13 bukan merupakan ESBL. Pada tahun 1987, sebuah isolat Klebsiella pneumoniae terdeteksi di Perancis, bakteri ini memiliki kesamaan seperti yang ditemukan tahun 1984 yaitu mengandung plasmid-mediated- β laktamase yang dibentuk oleh CTX-1. Awalnya enzim ini diberi nama CTX-1 karena terjadi peningkatan aktivitas melawan cefotaxime, namun kini disebut sebagai TEM-3. Berbeda dengan TEM-2, pada TEM-3 ditemukan dua substitusi asam amino. Ternyata TEM-3 bukanlah bentuk ESBL pertama di Klebsiella karena pada tahun 1982, di Liverpool, Inggris telah ditemukan Klebsiella oxytoca yang mengandung plasmid dan membawa gene encoding ceftazidime resistance. Enzim β lactamase ini disebut sebagai TEM-12. Menariknya, ada pelaporan tentang Klebsiella oxytoca yang diisolasi dari unit neonatal, ternyata dapat memproduksi TEM-1. Saat ini telah dilaporkan lebih dari 100 TEM-type β -Lactamase dengan titik isoelektrik berkisar 5,2 – 6,5. Sebagian besar dari enzim ini adalah ESBL. ESBL TEM juga telah ditemukan pada Enterobacter aerogenes, Proteus mirabilis, Morganella morganii dan Salmonella species, P.aeruginosa. Khusus P.aeruginosa, organisme ini memproduksi TEM-42. 3. CTX- M β -lactamases (class A) Enzim ini diberi nama karena tingginya kemampuan aktivitas hidrofilik melawan cefotaxime dibandingkan terhadap substrat oxyimino-beta-lactam lainnya, seperti ceftazidime, ceftriaxone atau cefepime. Mutasi enzim ini memiliki hubungan erat dengan gen plasmid β -lactamase yang ditemukan pada spesies Kluyvera (grup organisme komensal), misalnya kromosom yang mengkode β -lactamases Kluyvera georgiana juga mengkode ESBL KLUG-1, ternyata jenis ESBL ini memiliki 99%
10
kesamaan asam amino dengan CTX-M-8. Organisme penghasil CTX-M-type β lactamases biasanya memiliki resisten MIC (minimum inhibitory concentration) cefotaxime > 64 ug/ml, sedangkan MIC ceftazidime 2-8 ug/ml, namun CTX-M yang membentuk ESBL dapat menghidrolisis ceftazidime dan resisten terhadap cephalosporin (MIC ≥ 256 ug/ml). Enzim ini banyak ditemukan di Salmonella enterica serovar typhimurium dan E. coli, juga dapat ditemukan di spesies lain golongan Enterobacteriaceae. Tipe ini banyak ditemukan di Amerika selatan. CTX-M-type β -lactamases memiliki kesamaan dengan ESBL TEM dan SVH, namun kesamaan ini biasanya < 40 %. Saat ini ESBL jenis ini memiliki banyak tipe dan sudah terditeksi hampir di seluruh belahan dunia. CTX-M tipe 9,43,253,254,263,313,324 ditemukan di selatan Amerika dan Eropa. Jepang menemukan enzim yang strukturnya mirip dengan CTX-M-type β lactamases dan disebut Toho-1 dan Toho-2. Istilah Toho diambil dari nama fakultas kedokteran universitas Toho, Tokyo, Jepang. Mereka berhasil menemukan β lactamase producing E. coli yang ditemukan dari seorang anak yang dirawat di RS Amori, Jepang. Enzim ini kemudian disebut sebagai Toho-1. Toho-1 dan Toho-2 juga menghidrolisis cefotaxime dan ceftazidime. 4. OXA β lactamases (class D) Diberi nama OXA β lactamases karena golongan ini mampu menghidrolisis antibiotik golongan oxacillin. Enzim β lactamases ini termasuk grup 2d dan class D karena struktur molekul dan fungsinya berbeda jika dibandingkan dengan golongan TEM dan SHV. OXA-1 adalah jenis yang sering ditemukan. OXA sering ditemukan Pseudomonas aeruginosa, namun telah dilaporkan bahwa ESBL golongan ini juga terdeteksi di bakteri Gram negatif lainnya. Saat ini telah dilaporkan bahwa sekitar 10% dari E. coli dapat ESBL menghasilkan golongan ini. ESBL OXA awalnya ditemukan dari dari isolat Pseudomonas aeruginosa di suatu rumah sakit di Ankara, Turki. Di Perancis, juga dilaporkan telah menemukan OXA dari isolat Pseudomonas aeruginosa yang merupakan turunan dari OXA-10 dan disebut sebagai OXA-28. Sayangnya data epidemiologi ESBL golongan ini masih sedikit sehingga belum diketahui dengan pasti data penyebaran ESBL golongan ini.
11
Kebanyakan OXA β lactamases tidak menghidrolisis antibiotik golongan cephalosporin, sehingga sering tidak dianggap sebagai ESBL, namun kini telah dilaporkan bahwa Oxa ternyata mampu menghidrolisis cefotaxime, ceftriaxone, dan aztreonam, walaupun kemampuan hidrolisisnya lemah. OXA lainnya seperti : Oxa-11, -14, -16, -17, -19, -15, -18, -28, -31, -32, -35, dan -45 juga dilaporkan sebagai jenis yang dapat menghidrolisis antibiotik cefotaxime, namun kemampuan hidrolisis terhadap ceftazidime dan aztreonam masih lemah. 5. PER-type ESBL PER-type ESBL adalah ESBL yang memiliki kesamaan dengan TEM dan SHV sebanyak 25 – 27 %. PER-1 β -Lactamase mampu menghidrolisis penicillin dan cephalosporin, namun sensitif terhadap inhibisi clavulanic acid . PER-1 pertama kali terditeksi dari isolat Pseudomonas aeruginosa, namun kini telah ditemukan di isolat Salmonella enterica serovar Typhimurium dan Acinetobacter . Di Turki, sebanyak 46 % PER-1 ditemukan dari isolat Acinobacter spp dan 11 % ditemukan dari isolat Pseudomonas aeruginosa. Saat ini PER-1 baru dilaporkan di Turki, Prancis, Itali, Belgia dan Korea (khusus Korea, PER-1 berasal dari isolat Acinetobacter ). PER-2 memiliki 86 % kesamaan dengan PER-1 dan ditemukan di S. enteric serovar Typhimurium, E. coli, Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis dan Vibrio cholera. PER-2 hanya ditemukan di Amerika bagian selatan. 6. Tipe Tambahan ESBL Baru - baru ini ditemukan variasi dari β lactamases yang lain yaitu plasmidmediated atau integron-associated class A enzyme. Para ahli mengalami kesulitan dalam menggolongkan ESBL tipe ini karena mutasinya sulit dikenali, dan ditemukan di berbagai tempat yang berbeda geografisnya. Yang termasuk ESBL tipe ini antara lain VEB-1, BES-1. VEB-1 memiliki kesamaan dengan PER-1 dan PER-2 sebesar 38 %. Hal ini mengakibatkan resistensi yang tinggi terhadap ceftazidime, cefotaxime, dan aztreonam. Gen pengkode VEB-1 telah ditemukan dan merupakan plasmid-mediated ; gen ini memiliki resistensi terhadap antibiotik yang bukan berasal dari golongan β lactam. ESBL tipe ini telah ditemukan di Prancis, Thailand, Kuwait dan Cina. GES (76, 118, 320, 327, 410, 413, 416, 418), BES (45), TLA (8, 369), SFO (240), dan
12
IBC (133, 138, 191, 208, 241, 410-412) adalah contoh lain dari ESBL non-TEM, non-SHV dan telah ditemukan di banyak Negara. BES-1, IBC-1 SFO-1 dan TLA-1 dapat ditemukan dari isolat Enterobacteriaceae. AmpC- type β -lactamase umumnya diisolasi dari bakteri Gram negatif yang Extended-spectrum cephalosporin-resistant . AmpC β -lactamase (disebut juga sebagai Class C atau grup 1) biasanya dikodekan oleh kromosom bakteri Gram negatif seperti: Citrobacter, Serratia, dan Enterobacter . AmpC type β -lactamase juga ditemukan di plasmid . Berbeda dengan ESBL, AmpC β -lactamase dapat menghidrolisis cephalosporin, tetapi tidak dihambat oleh β -lactamase inhibitor seperti clavulanic acid. AmpC dan ESBL dapat ditemukan dalam mikroorganisme yang sama, namun mekanisme ketahanan terhadap antibiotiknya berbeda, sehingga pencegahan dan pengendalian infeksi terhadap keduanya harus spesifik.
E. MEKANISME RESISTENSI PADA BAKTERI ESBL
Antibiotik pertama ditemukan oleh Sir Alexander Fleming pada tahun 1927 dan dinamakan penisilin, yang merupakan beta laktam, yang mempunyai empat cincin beta laktam; tiga cincin karbon dan satu nitrogen. Pada awal 1940an, Florey, Chain dan Heatley dari Universitas Oxford menyempurnakan penisilin dan mulai digunakan untuk mengobati infeksi bakteri secara luas. Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri, dimana cincin beta laktam meniru komponen dinding sel tempat ikatan transpeptidase, dan secara kompetitif menghambat ikatan dari transpeptidase. Akibatnya, bakteri tidak lagi dapat memproduksi dinding sel, sehingga pecah dan mati. Untuk mengatasi kerja dari antibiotik beta laktam ini, bakteri menghasilkan enzim, yang disebut dengan beta laktamase, yang dapat merusak cincin beta laktam dari penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin beta laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan bakteri (gambar 1). Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan antibiotik beta laktam, dan bakteri ini akan digolongkan ke dalam bakteri yang resisten terhadap beta laktam.
13
Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004.
Gambar 2.1. Mekanisme Resistensi terhadap Beta laktam. Saat bakteri menemukan mekanisme resistensi terhadap golongan beta laktam ini, banyak obat-obatan baru yang dikembangkan dari penisilin untuk menandingi resistensi yang muncul pada bakteri. Turunan dari antibiotik ini disebut dengan beta laktam spektrum luas (extended spectrum beta-lactams), termasuk di dalamnya sefalosporin, monobaktam. Penggunaan antibiotik sefalosporin spektrum luas semakin intensif digunakan dalam dua dekade terakhir. Penggunaan obat ini secara luas dan tidak tepat mengakibatkan munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim extended spectrum beta lactamase (ESBL). ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik beta laktam, termasuk penisilin, sefalosporin, dan monobaktam aztreonam. Enzim-enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat beta laktam oxyimino, tetapi tidak dapat menyerang sefamisin (sefoksitin, sefotetan dan sefmetazole) dan karbapenem (imipenem, meropenem, doripenem, dan ertapenem). Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor beta laktamase, seperti klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam, sehingga dapat digabungkan dengan substrat beta laktam untuk menguji apakah ada mekanisme resistensi ini. Enzim-enzim ESBL ini ditemukan secara khusus pada bakteri gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.
14
Strain Enterobacteriaceae di atas, yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim ESBL menjadi sangat penting, karena kebanyakan dari kelompok bakteri ini adalah flora normal pada saluran cerna manusia, dan juga tersebar luas di lingkungan bebas. Lebih jauh, bakteri-bakteri ini dapat menyebabkan infeksi-infeksi yang berbeda, seperti septikaemia, infeksi saluran kemih, pneumonia, kolesistitis, kolangitis, peritonitis, infeksi luka, meningitis, dan gastroenteritis. Dan bakteri ini dapat muncul mengakibatkan infeksi sporadis atau wabah.
F.
DETEKSI BAKTERI ESBL
Pada tahun 2004, Indian Journal of Medical Microbiology mempublikasikan sebuah artikel tentang ESBL, dan merekomendasikan beberapa metode untuk menditeksi ESBL, yaitu: 1. Double Disc Synergy Test, 2. Three Dimensional Test, 3. Inhibitor Potentiated Disc Diffusion Test, 4. Disk Approximation Test, 5. MIC Reduction Test, 6. Vitek ESBL Test, 7. E Test. National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) yang kemudian berganti nama menjadi Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) merekomendasikan metode penyaring ESBL adalah: 1. Disk Diffusion Methods, 2. Screening by Dilution Antimicrobal Susceptibility Test . Tes konfirmasi ESBL, CLSI merekomendasikan : 1. Cephalosporin / Clavulanate Combination Disk, 2. Broth Microdilution.
G. MANAJEMEN INFEKSI BAKTERI ESBL
Adanya sistem skoring yang valid akan sangat membantu dalam menghadapi infeksi bakteri ESBL. Pemahaman menyeluruh terhadap kondisi klinis pasien dan pertimbangan praktis seperti biaya, kenyamanan dalam pemberian obat, kepatuhan pasien, efek samping obat, efikasi antibiotik yang dipilih harus menjadi unsur-unsur
15
penting dalam pembentukan keputusan dalam pemilihan intervensi klinis yang paling tepat. Untuk membedakan suatu infeksi dari kolonisasi, dapat dilihat dari berbagai hal: 1.
Asal spesimen (isolat dari spesimen yang secara fisiologis steril seperti darah, cairan bronko alveolar, biopsi jaringan harus dipertimbangkan secara serius; namun isolat dari lokasi yang tidak steril, seperti apusan dari luka kronis, sputum sepertinya lebih mengarah ke kolonisasi; isolat dari spesimen kateter dari urin biasanya menampilkan suatu kolonisasi dibandingkan isolat dari urin porsi tengah; namun, isolat dari kateter intravena meskipun dapat berupa kolonisasi tetapi harus dianggap sebagai sumber potensial untuk infeksi sistemik).
2.
Parameter inflamasi dari pasien leukosit, C-reactive protein (CRP), laju endap eritrosit, dimana infeksi ditunjukkan dengan adanya gangguan dari parameter ini.
3.
Keadaan umum pasien, seperti temperatur, tekanan darah, frekuensi nadi, saturasi oksigen, kebutuhan akan inotropik, dan alat penyokong hidup. Faktor-faktor ini harus dilihat secara menyeluruh, dan tidak terpisah-pisah, dan perubahan dari parameter diagnostik lebih signifikan daripada suatu nilai tunggal.
Pendekatan Non Farmakologis
Pendekatan tanpa antibiotik dalam manajemen infeksi ESBL merupakan suatu langkah kritis dalam terapi. Eliminasi dari sumber infeksi adalah manajemen penting dari infeksi, tidak terkecuali infeksi ESBL. Jika sumber infeksi merupakan benda asing seperti alat prostetik, penggantian atau pengeluaran alat prostetik itu menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena infeksi ESBL dihubungkan dengan tindakan operasi implan atau alat-alat lainnya, dengan terbentuknya biofilm. Pertumbuhan bakteri yang lambat, yang diikuti dengan penetrasi antibiotik yang terhalang oleh biofilm ini menyebabkan eradikasi dan terapi dari infeksi yang berhubungan dengan implan ini menjadi sulit. Pendekatan non farmakologis dalam manajemen infeksi ESBL termasuk penggantian jalur intravaskular yang terkolonisasi (central venous catheter, peripheral venous catheter ), kateter urin yang terkolonisasi, drainase dari abses intra abdominal maupun intra viseral lainnya, dan pengeluaran dari katup jantung atau sendi buatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik saja
16
dalam infeksi ESBL yang terkait dengan alat-alat implan tidak memberikan hasil klinis yang baik. Pendekatan Farmakologis
Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten terhadap antibiotik beta laktam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoksazol, aminogikosida khususnya gentamisin. Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya. Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk ESBL seperti tabel 6. Tabel 6. Rekomendasi pengobatan Infection type
Therapy of choice
Second-line therapy
Urinary tract infection
Quinolone*
Amoxicillin/clavulanat
Bacteremia
Carbapenem
Quinolone*
Hospital-acquaired pneumonia
Carbapenem
Quinolone*
Intra-abdominal infection
Carbapenem
Quinolone* (plus metronidazole)
Meningitis
Meropenem
Intrathecal polymixyn B
* If the organism is quinolone susceptible Sumber : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri ESBL: 1. Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama. Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih baik dari pada
17
meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari. Doripenem merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibitik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah. Dari penelitian oleh Muharrmi dkk, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem) 100% sensitif terhadap ESBL. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni dkk, Aminzadeh dkk, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL. Chien Lye dkk meneliti pada 47 pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan akses vaskular yang diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien. Penelitian Auer dkk, ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. Adapun dosis standar pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. Resistensi terhadap karbapenem mulai muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaannya haruslah rasional. 2. Βeta lactam/Βeta lactamase inhibitor
Βeta lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki kemampuan menghambat enzim beta laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada enzim beta laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik beta lactamase inhibitor ini. Oleh karena itu, antibiotik beta lactam/beta lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL yang tidak berat. Amoksisilin/Klavulanat efektif untuk infeksi saluran kemih komunitas akibat ESBL. Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan beta lactam lainnya dan sulbaktam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana pemeriksaan fenotif ini sulit dilakukan. Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan amoxicillin/clavulanat selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki angka kesembuhan 84%. Adapun dosis standar pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun intravena.
18
Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian Muharrmi dkk memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL K.pneumonia. DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1% terhadap ESBL K.pneumonia. Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilintazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin 73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia. Penelitian Aminzadeh dkk, Piperasilintazobactam 100% sensitif terhadap ESBL. Adapun dosis standar pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena. 3. Aminoglikosida
Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian Muharrmi dkk, memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL K.pneumonia. Penelitian Kulkarni dkk, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh dkk, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL. Adapun dosis standar pada dewasa 5 mg/KgBB perhari intravena. Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi dkk memperoleh kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia).
Penelitian Kulkarni dkk,
amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh dkk, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL. Adapun dosis standar pada dewasa 15 mg/KgBB perhari terbagi dalam dua dosis intravena. 4. Kuinolon
Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri untuk masuknya kuionolon
19
dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel. Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi dkk, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia). MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitif ESBL E.coli dan 57,5% ESBL K.pneumonia.
Kemampuan eradikasinya meningkat
dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia. Penelitian Kulkarni dkk, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL. 5. Sefalosporin
Secara umum sefalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem. Penggunaan sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian Kulkarni dkk, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL. 6. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi. Penelitian Kulkarni dkk, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh dkk, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Auer dkk, Nitrofurantoin 94% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. Adapun dosis standar pada dewasa 50 mg setiap 6 jam oral. 7. Fosfomisin
Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas dkk melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa fosfomisin sensitif pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan fosfomisin pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%.
BAB III RINGKASAN
A. RINGKASAN
β -lactamase adalah enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri yang berfungsi untuk melawan / mempertahankan diri terhadap serangan antibiotik β lactam. Enzim yang mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis antibiotika golongan penicillin, cephalosporin generasi satu, dua, dan tiga, serta golongan aztreonam (namun bukan cephamycin dan carbapenem). Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community) maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Faktor resiko infeksi bakteri berupa pemeriksaa laboratorium dasar seperti hemoglobin, leukosit, CRP dan lainnya diperoleh bahwa albumin dan limfosit yang rendahlah berhubungan dengan kejadian ESBL pada pasien dengan infeksi. Selain hal diatas ada beberapa faktor resiko lain seperti; usia tua, lamanya rawatan, lamanya sakit, lama rawatan ICU, adanya tindakan invasif, penggunaan ventilator, penggunaan kateter urin, penggunaan nagogastric tube, hemodialisis, status nutrisi yang buruk, penggunaan antibiotik sebelumnya, penggunaan thermometer ataupun gel ultrasonografi yang terkontaminasi pasien lain ataupun tangan pekerja kesehatan.Suatu scoring system untuk menilai adanya infeksi ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu dengan antibiotik terhadap bakteri ESBL tersebut. Keudian diusukan sistem skoring baru yang lebih sederhana, yang dikenal dengan Duke model score. Jenis ESBL yang sering ditemukan diantaranya SHV β -lactamases (class A), TEM β -lactamases (class A), CTX- M β -lactamases (class A), OXA β -lactamases (class D), PER-type ESBL, Other ESBL.
20
21
Untuk mengatasi kerja dari antibiotik beta laktam, bakteri menghasilkan enzim, yang disebut dengan beta laktamase, yang dapat merusak cincin beta laktam dari penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin beta laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan bakteri. Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) merekomendasikan metode penyaring ESBL menggunakan Disk Diffusion Methods dan Screening by Dilution
Antimicrobal
Susceptibility
Test .
Dan tes konfirmasi digunakan
Cephalosporin / Clavulanate Combination Disk dan Broth Microdilution. Manajemen farmakologi untuk infeksi ESBL bisa digunakan karbapenem, βeta lactam/βeta lactamase inhibitor , aminoglikosida, kuinolon, sefalosporin, nitrofurantoin, fosfomisin.
DAFTAR PUSTAKA
Antony SJ, The Changing Epidemiology of Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBL) Infections of the Urinary Tract Focusing on Clinical Resistance and Therapeutic Options, in Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection, Intechopen, 2011:20-5. Canadian External Quality Assessment Advisory Group for Antibiotic Resistance ; Guidelines on Susceptibility Testing of Antibiotic – Resistant Enterobacteriaceae due to extended Spectrum Beta-Lactamases; dowaloaded at http://www.phacaspc.gc.ca/ publicat/ ceqa-pceeq/esbl98-eng.php; 9-12-2010. Darouiche RO. Treatment of infections associated with surgical implants. N Engl J Med, 2004:350:1422-9. John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance. Available at: http://www.wiley.com/college. 2004. Mulvey Michael, Extended-Spectrum Beta-Lactamase Resistance. Canadian Antimicrobial Resistance Alliance.2006. Paterson DL, Bonomo RA, Extended-Spectrum Beta Lactamases: a Clinical Update, Clin. Microbiol. Rev. 2005, 18(4):657-86 Bhattacharya S, From Petri Disk to the Patient, Indian Journal of Medical Microbiology.2006;24(1):20-4. Pitout JD, Laupland KB, Extended- spectrum β-lactamase-producing Enterobacteriaceae: an emerging public-health concern, Lancet Infect Dis 2008; 8: 159 – 66. Rishi, Clark J, ESBL : A Clear and Present Danger?. Critical Care Research and Practice Journal, 2012. Rupp ME, Fey PD, Extended Spectrum β -Lactamase (ESBL)-Producing Enterobacteriaceae Considerations for Diagnosis, Prevention and Drug Treatment , Drugs 2003; 63 (4): 353-65 Steven WJ, Deverick JA, May DB, Richard HD, Utility of a Clinical Risk Factor Scoring Model in Predicting Infection with Extended-Spectrum β-Lactamase-Producing Enterobacteriaceae on Hospital Admission , Infection Control and Hospital Epidemiology.2013; 34(4) : 385-92. Tumbarello M, Trecarichi EM, Bassetti M, dkk. Identifying patients harboring extended spectrum-beta-lactamase-producing Entero bacteriaceae on hospital admission: derivation and validation of a scoring system. Antimicrob Agents Chemother 2011;55(7):3485 – 90. Winarto, Prevalensi Kuman ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) Dari Material Darah di RSUP Dr. Kariadi Tahun 2004-2005. Semarang: Media Medika Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.2009;260 – 7.
22