BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan khususnya, maupun masyarakat luas pada umunya. Hal ini dikarenakan penyakit ini dapat menimbulkan wabah yang apabila penanganannya tidak tepat dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk dari family Flaviviridae yaitu Aedes aegypty, Aedes albopictus, dan beberapa spesies Aedes lainnya. 1,2 Gejala klinis dari demam berdarah dengue bersifat dinamis dan terdiri dari tiga fase, yaitu fase febris, fase kritis dan penyembuhan.1 Demam dengue (DD) adalah suatu penyakit infeksi akut, yang disebabkan oleh virus Dengue yang mempunyai 4 macam serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4). Dengan ciri-ciri demam yang bersifat bifasik, mialgia, sakit kepala, nyeri di beberapa bagian tubuh, rash, limfadenopati, dan leukopenia. Dalam kebanyakan kasus, DD bersifat self-limited, akan tetapi ada resiko perkembangan progresif menjadi demam berdarah dengue (DBD) atau sindrom syok dengue (SSD)3. Demam berdarah dengue adalah penyakit virus dengan vektor nyamuk yang paling cepat tersebar penularannya di dunia. Dalam lima puluh tahun terakhir, jumlah kasus dengue telah meningkat tiga puluh kali dan telah menyebar ke negara-negara baru, sehingga kurang lebih lima puluh juta infeksi dengue yang telah terjadi pada masa tersebut dan
1
sekitar 2,5 miliar populasi beresiko terjangkit virus ini karena tinggal di daerah endemis.1 Masyarakat di Asia Tenggara memiliki resiko yang sangat besar terhadap penularan virus dengue. Dari 2,5 miliar orang yang beresiko tertular, sekitar 1,8 miliar tinggal di negara-negara Asia Tenggara dan region pasifik Barat.1,2,4 Negara yang memiliki kerentanan terhadap serangan endemis dengue antara lain Indonesia, Malaysia, Thailand dan Timor Leste. Hal ini disebabkan karena cuaca yang tropis dan masih merupakan area equatorial dimana Aedes aegypti menyebar di seluruh daerah tersebut1. Di Indonesia DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968.5 Sejak awal ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadik selalu terjadi KLB tiap tahun. Daerah rawan DBD merata hampir di seluruh pulau di Indonesia. DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Jawa Barat dan Papua Barat merupakan provinsi-provinsi yang pernah tercatat sebagai pemilik lima besar angka insiden DBD dalam jangka 4 tahun (2005-2009). Namun, data Depkes RI 2009 menyebutkan bahwa daerah resiko DBD dari tahun 2005-2009 juga pernah mencatat Jawa Tengah, Lampung, Sulawesu Tengah dan Gorontalo sebagai daerah dengan resiko tinggi.6 Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD bisa berkembang biak di air bersih. Tempat penampungan air, sampah yang menampung air hujan dan bentuk bangunan yang mampu menampung air hujan seperti pagar bambu 2
merupakan tempat yang digunakan Aedes aegypri untuk berkembang biak. Normalnya, nyamuk Aedes aegypri tidak terbang terlalu jauh. Jangkauannya 100 meter dari tempat tinggalnya. Maka, sarang nyamuk Aedes aegypri tidak akan jauh dari masyarakat dan nyamuk Aedes aegypri aktif saat pagi dan siang hari.1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
EPIDEMIOLOGI Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang persebarannya paling cepat. Dalam lima puluh tahun terakhir, insidens penyakit meningkat tiga puluh kali dan menyebar secara geografis ke Negara yang sebelumnya belum terjangkit. Menurut data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di Negara endemis.1 Dari 2,5 miliar populasi masyarakat di Negara endemis, sekitar 1,8 miliar tinggal di daerah Asia Tenggara dan Pasifik barat.1,4 Di daerah Asia Tenggara, Dengue telah menjadi masalah kesehatan publik di Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang diketahui daerah beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona equatorial, tempat dimana Aedes 3
Aegypti menyebar secara merata baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.1,2 DBD telah menjadi penyakit berpotensi tinggi menjadi penyebab kematian pada anak.4 Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia. Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk, jumlah penyebaran dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga sekarang sudah menyebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Menurut data Depkes RI, sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan penyebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota menjadi 32 dan 382 kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, dari 58 kasus pada tahun 1969 menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.6 Dengue di Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga sepuluh tahunan. Hal in terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael, perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, kelembaban suhu, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap perkembangan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan membaiknya sarana 4
transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.6 Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun, di tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥ 15 tahun. Dan bila dilihat distribusi kasus dilihat berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, presentase laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang dan perempuan berjumlah 8.991 orang. Hal ini menggambarkan bahwa risiko tinggi terkena DBD untuk laki-laki dan 2.2
perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. ETIOLOGI Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota dari genus flavivirus dalam family flaviviridae, terdiri dari single stranded RNA virus, berdiameter 30 nm, yang biasa berkembang di berbagai tipe nyamuk dan keluar jaringan.4 Diketahui terdapat 4 serotipe berbeda, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. 2,4,7 Semua serotip tersebut memiliki antigen yang bereaksi silang dengan virus lain yang bergenus sama, seperti Yellow fever, Japanese Encephalitis dan West Nile virus. Ditemukan bukti dari studi laboratorium, bahwa ada perbedaan variasi genetik antara empat strain tersebut. Sampai sekarang, diketahui ada tiga subtype dari DENV-1, enam dari DENV2, empat dari DENV-3, dan empat dari DENV-4.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa masing-masing 5
subtype memiliki distribusi geografi yang berbeda. DENV-2 memiliki dua subtype yang terbatas penyebarannya di Asia Tenggara dan Amerika. Ditemukan juga bahwa virulensi dari setiap subtype berbeda-beda, kapasitas untuk menyebabkan penyakit berat seperti demam berdarah dengue pun 2.3
berbeda-beda.4 PATOFISIOLOGI (BOOK DBD 2009) Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue, dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan adalah: a) respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit maupun makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b) limfosit T baik T helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 akan memproduksi IL4, IL-5, IL-6, dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis bakteri
dengan
opsonisasi
antibodi.
Namun
proses
fagositosis
ini
menyebabkan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun akan menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.8 Halstead
pada
tahun
1973
mengajukan
hipotesis
secondary
heterelogous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang 6
terinfeksi ulang virus dengue tipe yang berbeda.Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik yang tinggi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Kurane dan Enis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virusantibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue mengakibatkan aktivasi sel T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma.8 Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus Dengue. Orang ini biasanya menunjukan gejala sakit tetapi juga tidak sakit yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue. Jika orang digigit nyamuk Ae. aegypti maka virus akan masuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus Dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Dalam waktu satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang 7
tersebut dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar air liur nyamuk agar darah yang dihisap tidak membeku.3 Bersama dengan air liur nyamuk Ae. aegypti yang membawa virus Dengue itu akan terserang penyakit demam berdarah, orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, dia akan sakit demam ringan bahkan sakit berat yaitu demam tinggi disertai perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.3 Mekanisme perdarahan Manifestasi perdarahan pada DBD yang paling sering didapatkan berupa petekie di kulit dan kadang-kadang pada submukosa. Tes tourniquet positif merupakan peningkatan fragilitas kapiler yang dijumpai lebih awal. Gejala perdarahan yang berat sering terjadi adalah perdarahan gastrointestinal dalam bentuk hematemesis dan atau melena. Pada kasus dengan prolonged shock dapat terjadi perdarahan masif di jantung, paru, hati, dan otak.3 Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler disertai efusi cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya syok 8
hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada DBD.3 Vaskulopati Karakterisktik DBD adalah adanya plasma leakage dengan manifestasi hemokonsentrasi, efusi, dan atau asites. Sebelumnya plasma leakage diduga akibat peningkatan permeabilitas vaskuler selain adanya penemuan baru, yaitu menduga adanya destruksi sel endotel disertai pelepasan mediator inflamasi (il-6, il-8) yang dilepas oleh virus Dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi komplemen dan menimbulkan ekspresi molekul adhesi seperti icam-1, ekspresi dari icam-1 bersama dengan il-8 akan meningkatkan permeabilitas vaskuler pula.3 2.4
GEJALA KLINIS (DX DAN TATALAKSANA DBD TERKINI 2014) Dengue merupakan penyakit sistemik yang dinamis.Perubahan yang terjadi terdiri dari beberapa fase. Setelah peride inkubasi, penyakit mulai berkembang menuju 3 fase febris, kritis dan penyembuhan.1 A. Fase febris Pasien mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fibrilasi akut ini bertahan 2-7 hari dan disertai eritema kulit, wajah yang memerah, sakit sekujur badan, myalgia, arthralgia dan sakit kepala. Pada beberapa pasien juga ditemukan radang tenggorokan, infeksi faring dan infeksi 9
konjungtiva. Anorexia, pusing dan muntah-muntah juga sering ditemui. Febris antara dengue dan non dengue pada awal fase febris sulit dibedakan. Oleh karena itu, monitoring dari tanda bahaya dan parameter klinik lainnya sangat krusial untuk menilai progresif ke fase kritis. Manifestasi hemoragik seperti petechie dan perdarahan membran mukosa (hidung dan gusi) mungkin timbul. Perdarahan massif vagina dan gastrointestinal juga mungkin timbul dalam fase ini. Hati juga sering mengalami pembengkakan setelah beberapa hari demam. Tanda abnormal pertama dari pemeriksaan darah rutin adalah penurunan total sel darah putih yang menunjukkan kemungkinan besar terjangkit dengue.1 B. Fase kritis Penurunan suhu setelah demam hingga temperature badan sekitar 37,5 – 38 ˚C atau kurang, dapat terjadi selama 3-7 hari. Peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan hematokrit mungkin terjadi. Kondisi tersebut menjadi tanda awal fase kritis. Kebocoran plasma bisa terjadi 24-48 jam.1 Leukopenia progresif yang diikuti penurunan jumlah platelet bisa terjadi setelah kebocoran plasma. Pada kondisi ini pasien yang permeabilitas kapilernya tidak meningkat, kondisinya membaik. Sebaliknya pada pasien yang permeabilitas kapilernya meningkat, terjadi kehilangan banyak volume plasma. Derajat kebocoran plasma pun berbeda-beda. Efusi pleura dan asites dapat terjadi. Derajat tingginya hematokrit menggambarkan kebocoran plasma yang parah.1
10
Syok dapat terjadi ketika kehilangan cairan plasma hingga volume yang kritis. Kemudian kondisi tersebut dilanjutkan dengan tanda bahaya berupa temperatur badan yang subnormal. Apabila syok terjadi cukup panjang dapat menyebabkan kerusakan organ, asidosis metabolik dan DIC.1 C. Fase penyembuhan Apabila pasien bertahan selama 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi gradual cairan ektravaskuler akan terjadi dalam 48-72 jam kemudian. Kondisi akan membaik, nafsu makan meningkat, gejala gastrointestinal mereda, hemodinamik makin stabil dan diuresis membaik. Namun pada fase ini dapat terjadi pruritus, bradikardi dan perubahan pada EKG.1 Distress pernafasan yang diakibatkan oleh efusi pleura massif dan ascites dapat muncul bila pasien diberikan cairan intravena yang berlebihan. Pada fase kritis dan fase penyembuhan, pemberian cairan berlebihan dihubungkan dengan edem pulmoner dan gagal jantung kongestif. Berikut ini adalah tabel gambaran klinis dari setiap fase :
NO 1
FASE DBD
GEJALA KLINIS
Fase febris
Dehidrasi,
demam
mungkin gangguan
tinggi
menyebabkan neurologis
dan
kejang demam pada anak 2
Fase kritis
Syok 11
karena
kebocoran
plasma, perdarahan berat dan kegagalan organ 3
Fase penyembuhan
Hypervolemia pemberian
cairan
(apabila intravena
berlebihan) Sumber: WHO,20091 2.5
DIAGNOSIS A. Laboratorium9 1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis hematokrit dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari ke 5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD 2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14 dan akan
menurun/menghilang pada akhir minggu keempat sakit. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke 14 dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi
pada hari sakit ke-2 Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder. Apabila rasio IgM : IgG > 1,2 menunjukkan
12
infeksi primer namun apabila IgM : IgG rasio < 1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Diagnosis
Antibodi anti dengue IgM
IgG
Infeksi primer
Positif
Negatif
Infeksi sekunder
Positif
Positif
Infeksi lampau
Negatif
Positif
Bukan dengue
Negatif
Negatif
Keterangan
Apabila klinis mengarah ke infeksi dengue, pada fase penyembuhan : IgM dan IgG diulang
B.
Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi : Distress pernafasan/sesak Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis terjadi apabila perembesan plasma telah mencapai
20% - 40% Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema paru karena overload pemberian cairan 13
Kelainan radiologi yang dapat terjadi : dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radiopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi dari pada
kiri, dan efusi pleura Pada pemeriksaan USG dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika
felea dan dinding buli-buli Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi : Demam tinggi medadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus, selama 2-7 hari Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan / melena. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml) Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma : o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin. o Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya o Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura,
asites,
hipoproteinemia, hiponatremia. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 20119 DD/DBD Derajat
Tanda dan gejala
DD
Demam
disertai
dengan 2 gejala Nyeri kepala 14
Laboratorium minimal
Leukopenia (jumlah leukosit
≤4000
Nyeri retro-orbital Nyeri otot Nyeri sendi/tulang Ruam
makulopapular Manifestasi perdarahan Tidak ada tanda
sel/mm3) Trombositopenia (jumlah
kulit
perembesan plasma
trombosit
<100.000 sel/mm3) Peningkatan hematokrit (5 % 10%) Tidak
ada
bukti
perembesan plasma DBD
I
Demam
dan
perdarahan
(uji
positif)
dan
manifestasi Trombositopenia bendung 100.000
II
sel/mm3;
tanda peningkatan
perembesan plama DBD
<
hematokrit ≥ 20%
Seperti derajat I ditambah Trombositopenia perdarahan spontan
100.000
<
sel/mm3;
peningkatan hematokrit ≥20% DBD
III
Seperti derajat I atau II Trombositopenia ditambah kegagalan sirkulasi 100.000
<
sel/mm3;
(nadi lemah, tekanan nadi peningkatan ≤20
mmHg,
hipotensi, hematokrit ≥20%
gelisah, diuresis menurun) DBD
IV
Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia
15
<
darah dan nadi yang tidak 100.000 terdeteksi
sel/mm3;
peningkatan hematokrit ≥20%
Diagnosis infeksi dengue : Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau uji serologi anti dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue postif)
2.6
KOMPLIKASI Demam Dengue : perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.9 Demam Berdarah Dengue Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal
2.7
ginjal akut Edema paru dan/atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan pada masa perembesan plasma Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik dan
perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multiple) Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai DIAGNOSIS BANDING9 Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan campak, rubella, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid perlu ditanyakan gejala penyerta 16
lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila
2.8
diperlukan Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan
apabila anak mengalami demam atau syok PENATALAKSANAAN Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan oral pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan oral tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.10 Parameter yang harus dimonitor:10
Keadaan umum, selera makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala
yang lain Perfusi perifer sebagai indikator terjadinya syok Tanda vital dicek setiap 2-4 jam pada pasien tidak syok dan 1-2 jam pada
pasien syok Hematokrit diperiksa setiap 4-6 jam pada pasien yang stabil dan lebih
sering pada pasien yang tidak stabil atau yang terjadi perdarahan. Produksi urin setiap 8-12 jam
17
Terapi intravena untuk DHF selama periode kritis Indikasi terapi intravena:10
Pasien tidak mendapat cairan oral yang adekuat atau muntah Peningkatan hematokrit terus menerus 10-20% walaupun rehidrasi oral
baik Syok
Prinsip umum terapi cairan pada DHF yaitu:10
Cairan isotonik kristaloid harus digunakan selama periode kritis kecuali
pada bayi <6 bulan menggunakan NaCl 0,45% Pasien dengan kebocoran plasma yang hebat dapat menggunakan dextran
40 atau gelatin. Durasi terapi intravena tidak boleh lebih dari 24-48 jam untuk pasien syok. Namun, pada pasien non-syok durasi terapi bisa lebih lama antara
60-72 jam. Pada pasien obesitas, berat badan ideal menjadi patokan utama untuk terapi cairan
Berat
Maintenanc
M+5%
Berat
badan
e (ml)
defisit (ml)
badan ideal e (ml)
ideal (Kg) 5 10 15 20 25 30
Maintenanc
M+5%
(kg) 500 1000 1250 1500 1600 1700
750 1500 2000 2500 2850 3200
35 40 45 50 55 60
1800 1900 2000 2100 2200 2300
3550 3900 4250 4600 4950 5300
DHF grade I dan II Secara umum, tunjangan cairan (oral + IV) adalah tentang pemeliharaan (untuk satu hari) + 5% defisit (oral dan cairan IV bersamasama), yang akan diberikan selama 48 jam. Sebagai contoh, pada anak dengan 18
berat 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2500 ml . Volume ini harus diberikan selama 48 jam non syok pasien. Tingkat penggantian IV harus disesuaikan sesuai dengan tingkat kehilangan plasma, dipandu oleh kondisi klinis, tanda-tanda vital, produksi urine dan kadar hematokrit.10 DHF grade III DSS adalah syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan ditandai dengan peningkatan vaskular sistemik resistensi, dimanifestasikan dengan tekanan nadi menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg). Bila hipotensi ada, kita harus menduga bahwa pendarahan parah, dan sering tersembunyi perdarahan gastrointestinal, mungkin telah terjadi di samping. Sebagian besar kasus DSS akan merespon 10 ml / kg pada anak-anak atau 300-500 ml pada orang dewasa lebih satu jam atau dengan bolus, jika perlu. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti grafik. Namun, sebelum mengurangi tingkat penggantian IV, kondisi klinis, tanda-tanda vital, urine output dan hematokrit harus diperiksa untuk memastikan perbaikan klinis.10
Singkatan A (acidosis)
Pemeriksaan laboratorium Catatan Analisa gas darah (vena Indikasi syok.
B (bleeding)
maupun arteri) Hematokrit
Jika turun dibandingkan dengan sebelumnya nilai
atau
tidak
naik,
cross-match darah yang cepat transfusi. 19
C (calcium)
Elektrolit, kalsium
Hipokalsemia ditemukan hampir
disetiap
kasus
DHF tetapi asimptomatik. Suplemen
kalsium
diindikasikan pada kasus yang
berkomplikasi.
Dosis 1ml/kgbb, dengan dosis S (blood sugar)
maksimum
10ml/hari Pada kasus yang parah
Gula darah
pasien mempunyai nafsu makan yang buruk dan disertai muntah. Sangat penting bahwa tingkat cairan IV dapat dikurangi sebagai perfusi perifer meningkatkan; tetapi harus dilanjutkan untuk jangka waktu minimal 24 jam dan dihentikan sebesar 36 sampai 48 jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi besar karena permeabilitas kapiler meningkat. Penggantian Volume untuk pasien dengan DSS diilustrasikan di bawah ini : Tanda vital tidak stabil Penurunan produki urin Tanda-tanda syok Oksigen via mask atau nasal kanul Penggantian cairan dengan cepat (kristaloid 10 ml/kg/jam iv selama 1-2 jam) Tanpa perbaikan
perbaikan Turunkan menjadi 7, 5, 3, 1.5 ml/kg/jam
Koreksi ABC
20
Perbaikan lebih lanjut
Hematokrit meningkat
Hentikan terapi iv untuk 24-48 jam
Koloid iv (dextran 40)
Hematokrit menurun
PRC 5ml/kg/jam
Transfusi darah 10ml/kg/jam Whole blood 10ml/kg/jam atau PRC 5ml/kg/jam
perbaikan Turunkan menjadi 7, 5, 3, 1.5
ml/kg/jam
Alogaritma Penanganan Pasien DSS. Di kutip dari kepustakaan 2
DHF grade IV Resusitasi cairan awal di Kelas 4 DBD lebih kuat agar cepat mengembalikan darah. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesegera mungkin untuk ABC serta organ yang terlibat lainnya. Bahkan hipotensi ringan harus ditangani secara agresif. 10 ml / kg cairan bolus harus diberikan secepat mungkin, idealnya dalam waktu 10 sampai 15 menit. Ketika tekanan darah dipulihkan, cairan intravena selanjutnya dapat diberikan seperti di kelas 3. Jika syok tidak reversibel setelah pertama 10 ml / kg, bolus ulangi 10 ml / kg dan laboratorium hasil harus dikejar dan diperbaiki secepat mungkin.10 Transfusi darah darurat harus dianggap sebagai langkah berikutnya dan diikuti dengan pemantauan lebih dekat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi arteri atau jalur vena sentral. Jika tekanan darah dipulihkan setelah resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah, dan adanya gangguan organ, pasien harus dikelola dengan tepat. Contoh 21
dukungan organ adalah dialisis peritoneal, terapi penggantian ginjal terus menerus dan ventilasi mekanik. Jika akses intravena tidak dapat diperoleh, coba solusi elektrolit oral jika pasien sadar atau rute intraosseous jika sebaliknya. Akses intraosseous adalah tindakan life-saving dan harus dicoba setelah 2-5 menit atau setelah dua usaha yang gagal di akses vena perifer atau setelah rute oral gagal.10 Penanganan perdarahan berat Jika sumber perdarahan diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk menghentikan perdarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat dikendalikan oleh nasal packing. Transfusi tidak boleh ditunda sampai hematokrit turun ke tingkat rendah. Jika darah yang hilang dapat diukur, harus diganti. Namun, jika tidak dapat diukur, aliquot dari 10 ml / kg darah segar utuh atau 5 ml / kg sel darah merah baru dikemas harus ditransfusi dan respon dievaluasi. Pada perdarahan gastrointestinal, H-2 antagonis dan inhibitor pompa proton telah digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan kemanjurannya. Tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan komponen darah seperti trombosit konsentrat, plasma beku segar atau kriopresipitat. Penggunaannya dapat berkontribusi pada overload cairan. Recombinant Factor 7 mungkin bisa membantu dalam beberapa pasien tanpa kegagalan organ, tetapi sangat mahal dan umumnya tidak tersedia.10 Penanganan pasien beresiko tinggi Pasien obesitas memiliki cadangan kurang pernapasan dan perawatan harus dilakukan untuk menghindari berlebihan infus cairan intravena . Berat badan yang ideal harus digunakan untuk menghitung cairan resusitasi dan penggantian dan koloid harus dipertimbangkan pada tahap awal cairan terapi. Setelah stabil, furosemide dapat diberikan untuk menginduksi diuresis .Bayi juga memiliki cadangan kurang pernapasan dan lebih rentan terhadap kerusakan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Mereka mungkin memiliki durasi yang lebih singkat kebocoran plasma dan biasanya merespon dengan 22
cepat untuk resusitasi cairan. Karena itu, harus dievaluasi lebih sering untuk asupan cairan oral dan output urin. Insulin intravena biasanya diperlukan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien dengan diabetes melitus. Ibu hamil dengan demam berdarah harus dirawat dini. Perawatan bersama antara kebidanan, kedokteran dan pediatri spesialisasi sangat penting. Keluarga mungkin harus diberi konseling dalam beberapa situasi yang parah. Jumlah dan tingkat cairan IV untuk ibu hamil harus sama dengan yang untuk wanita tidak hamil. Terapi anti - koagulan mungkin harus dihentikan sementara selama periode kritis .Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: Pasien-pasien ini beresiko hemolisis dan akan memerlukan transfusi darah.10 Tanda-tanda perbaikan10
Stabil nadi, tekanan darah dan denyut pernapasan. Suhu normal. Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal. Kembali nafsu makan. Tidak ada muntah, tidak ada rasa sakit perut. Output urin baik. Stabil hematokrit pada tingkat dasar.
Manajemen overload cairan Semua terapi cairan harus dihentikan .Pada tahap awal overload cairan , beralih dari kristaloid koloid solusi sebagai cairan bolus. Dekstran 40 efektif sebagai 10 ml / kg infus bolus, tetapi dosisnya dibatasi untuk 30 ml / kg / hari karena efek pada ginjal. Dekstran 40 diekskresikan dalam urin dan akan mempengaruhi osmolaritas urine. Pada tahap akhir overload cairan atau mereka dengan edema paru, furosemide mungkin diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika syok, cairan 10ml / kg / jam koloid (dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah stabil, biasanya dalam waktu 10 sampai 30 menit, injeksi IV furosemide 1 mg / kg / dosis dan lanjutkan dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan intravena harus dikurangi
23
menjadi serendah 1 ml / kg / jam sampai penghentian ketika hematokrit menurun untuk baseline atau di bawah (dengan perbaikan klinis).10 Hal-hal berikut harus diperhatikan:10
Pasien-pasien ini harus memiliki kandung kemih kateter untuk memonitor
output urin per jam . Furosemide harus diberikan selama infus dekstran karena hiperonkotik yang sifat dekstran akan mempertahankan volume intravaskular sementara
furosemide menghabiskannya dalam kompartemen intravaskular . Setelah pemberian furosemide, tanda-tanda vital harus dipantau setiap 15
menit selama satu jam untuk dicatat dampaknya . Jika tidak ada output urin dalam menanggapi furosemide, memeriksa status volume intravaskular. Pasien dalam keadaan gagal ginjal akut. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan dukungan ventilasi segera. Jika volume intravaskular tidak memadai atau tekanan darah tidak stabil,
periksa laboratorium (ABC) dan ketidakseimbangan elektrolit lainnya. Dalam kasus dengan tidak ada respon terhadap furosemide (tidak ada urin yang diperoleh), dosis berulang furosemide dan dua kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Jika gagal ginjal, ginjal terapi penggantian yang harus
dilakukan sesegera mungkin . Kasus-kasus ini memiliki prognosis buruk. Pada kasus-kasus gangguan pernafasan parah tindakan penyelamatan jiwa harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perdarahan traumatis adalah komplikasi yang paling serius dan mengarah sampai mati.
Informed consent kepada keluarga sangat penting dilakukan. PENCEGAHAN DAN KONTROL Kunci kontrol dari demam berdarah dan DHF / DSS adalah kontrol dari Aedes aegypti.11 Nyamuk ini berkembang biak terutama pada wadah yang digunakan untuk penyimpanan air, vas bunga, guci tua, kaleng tipis, dan menggunakan ban dalam dan di sekitar tempat tinggal manusia. Penghapusan tempat-tempat perkembangbiakan ini merupakan metode yang efektif dan definitif pengendalian vektor dan mencegah penularan DBD.12 Penggunaan 24
larvasida dan insektisida selama wabah terbatas. upaya sekarang berfokus pada pendidikan kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengendalikan vektor dengan mengurangi tempat perkembangbiakan. Vaksin dengue dilemahkan berada dalam tahap akhir pembangunan dan telah menghasilkan hasil yang menjanjikan dalam tes awal. Apakah vaksin dapat memberikan
yang
aman,
tahan
lama
untuk
kekebalan
penyakit
immunopatologi seperti DHF / DSS di daerah endemik adalah masalah yang harus diuji, namun diharapkan bahwa vaksinasi akan mengurangi penularan.11
DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Dengue Guidelines Control.2009.
[cited
:
For Diagnosis, Treatment, Maret
28,
2015].
Prevention And
Available
from
:
http://apps.who.int/tdr/svc/publications/training-guideline-publications/denguediagnosis-treatment. 2. WHO Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2010. [cited: Maret
28,
2015].
Available
from
:
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_DHF_preventioncontrol_guidelines_ rev.pdf.
25
3. Nasronudin. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue dalam : Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Nasronudin. Surabaya : Airlangga University Press : 2-11. H 103-7 4. Cook, Gordon dan Alimuddin L. Zumla. Manson’s Tropical Disease 22 th Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier. 2009.p. 753-762. 5. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo. Buku Ajar Ilmu Kesehatan AnakInfeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. 6. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Volume 2. 2010. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN DBD.pdf 7. Nelson WE., Kligman R. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab.2000. Jakarta: EGC.2000 8. Sundaru Heru, Sukamto. Demam Berdarah. Dalam : Sudoyo, Ayu W, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.h.2772-5. 9. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67. 10. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and Expanded Edition. India: WHO Library Cataloguing;2011. H 5-53. 11. Clarence J. Peters. Dengue Hemorrhagic fever/ Dengue Shock Syndrome. In: Lanco, etc, editors. Horrison’s Principle of International Medicine. 18th Ed. USA : McGraw Hill;2012.p 1632-3. 26
12. Nimmannitya, Suchitra. Dengue and Dengue Haemorrhagic fever. In: Gordon C. Cook, Alimuddin I. Zumla, editors. Manson’s Tropical Disease. 22 nd Ed. USA; 2009.P 753.
27