REFERAT
CHRONIC KIDNEY DISEASE
DISUSUN OLEH : R. Ifan Arief Fahrurozi 030.10.226
PEMBIMBING : dr. Alfian Nurbi, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT OTORITA BATAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 27 OKTOBER – 03 JANUARI 2014
LEMBAR PERSETUJUAN REFERAT
Referat dibawah ini :
Judul
: Gagal Ginjal Kronik
Penyusun
: R. Ifan Arief Fahrurozi, S.Ked
NIM
: 030.10.226
Universitas
: Fakultas Kedokteran Trisakti
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Otorita Batam.
Batam,
dr. Alfian Nurbi, Sp.PD
November 2014
R. Ifan Arief Fahrurozi, S.Ked
2
BAB I PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronis / CKD adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk pertahun. Konsekuensi utama dari CKD
tidak hanya mencakup progresi ke Gagal Ginjal
stadium akhir, tetapi juga peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Sehingga dianjurkan untuk dilakukan deteksi dini dan terapi untuk mencegah prognosis yang buruk.
3
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL A. ANATOMI GINJAL Lokasi dan Deskripsi Kedua ginjal berfungsi mensekresikan sebagian besar pdorduk sisa metabolism. Ginjal memiliki peran penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit didalam tubuh serta mempertahankan keseimbangan asam dan basa darah. Produk sisa yang dihasilkan oleh ginjal disebut urine, yang mengalir ke distal tubuh melalui ureter menuju ke vesika urinaria yang terletak didalam pelvis. Urine nantinya akan keluar dari tubuh melalui urethra. Ginjal berwarna coklat kemerahan, berbentuk seperti biji kacang hijau dan terletak di belakang peritoneum (retroperitoneum). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya lobus hepatis dekstra yang besar, sehingga mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Struktur Ginjal Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
4
Korteks yaitu bagian luar ginjal berwarna coklat gelap, didalamnya terdapat korpus Malpighi (glomerulus dan kapsula Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal.
Medula yaitu bagian dalam ginjal berwarma coklat lebih terang dibanding korteks. Setiap medulla terdiri dari sekitar 12 pyramida renalis yang masing – masing mempunyai basis yang menghadap ke korteks renalis. Ujung dari pyramida renalis yait bagian apex medulla terdapat papilla renalis. Di dalam pyramida renalis terdapat tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus kolektivus / pengumpul (ductus colligent).
Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki atau meninggalkan ginjal.
Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
Calix minor, yaitu percabangan dari calix mayor.
Calix mayor, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix mayor dan ureter.
Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
5
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letaknya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta. Pendarahan / Vaskularisasi
Ginjal divaskularisasi oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan vena renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, arteri renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. System vena berasal dari vena renalis keluar dari hilus renalis didepan arteri renalis dan mengalirkan darah ke vena cava inferior.
6
Persarafan Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
B. FISIOLOGI GINJAL Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan ekskretorik yaitu : 1. Filtrasi glomerulus Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman. Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau fenestra, yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain. Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori – pori diatas, pori – pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman. Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal 7
sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman. Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus. GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik. Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus. Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah. Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat
8
glomerulus setiap hari untuk GFR rata – rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita. 2. Reabsorpsi tubulus Merupakan proses perpindahan selektif zat – zat dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif karena sel – sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Berikut ini merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal : a. Reabsorpsi Glukosa Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi. b. Reabsorpsi Natrium Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada
yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga
berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea. c. Reabsorpsi Air Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
9
d. Reabsorpsi Klorida Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na e. Reabsorpsi Kalium Kalium
difiltrasi
seluruhnya
di
glomerulus,
kemudian
akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul f. Reabsorpsi Urea Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali. g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam urin. 3. Sekresi tubulus Proses perpindahan selektif zat – zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion – ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh 10
hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin. Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.
Membantu memelihara keseimbangan asam – basa tubuh, dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O
Mengeksresikan (eliminasi) produk – produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat – zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak.
Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada makanan, pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh.
Mensekresikan
eritropoietin,
suatu
hormon
yang
dapat
merangsang pembentukan sel darah merah.
Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
11
BAB III CHRONIC KIDNEY DISEASE A. DEFINISI Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh. Namun dapat diartikan sebagai suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori laju filtrasi glomerulus dan albuminuria.
B. KRITERIA Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan kriteria KDIGO 2012. Kriteria Chronic Kidney Disease (salah satu kriteria terjadi > 3 bulan) Marker / Penanda kerusakan ginjal
Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam, ACR > 30 mg/g
(satu atau lebih)
Hasil sedimen urin abnormal
Elektrolit abnormal dan kelainan yang berhubungan dengan gangguan tubulus
Ditemukan kelainan pada pemeriksaan histologi
Ditemukan kelainan pada pemeriksaan pencitraan (imaging test)
Penurunan GFR Keterangan
Riwayat transplantasi ginjal
GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 (kategori GFR G3a – G5)
: AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinine ratio; GFR =
glomerular filtration rate.
12
C. KLASIFIKASI Klasifikasi penyakit ginjal kronik disusun berdasarkan rekomendasi KDIGO yaitu klasifikasi berdasarkan penyebab, kategori GFR dan albuminuria. Kategori Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat GFR Kategori GFR
GFR (ml/menit/1,73 m2) ≥ 90
Keterangan
G1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
G2
60 – 89
Kerusakan ginjal derajat ringan*
G3a
45 – 59
Kerusakan ginjal derajat ringan hingga sedang
G3b
30 – 44
Kerusakan ginjal derajat sedang
G4
15 – 29
Kerusakan ginjal derajat berat
G5
< 15
Keterangan
Gagal ginjal
: *relatif pada usia dewasa muda.
Klasifikasi atas dasar GFR, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut : LFG (ml/mnt/1,73m2)
(140 – umur) X berat badan *)
=
72 X kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat Albuminuria Kategori
AER
ACR
Keterangan
(mg/24 jam)
(mg/mmol)
(mg/g)
A1
< 30
<3
< 30
A2
30 – 300
3 – 30
30 – 300
Derajat sedang*
A3
> 300
> 30
> 300
Derajat berat**
Keterangan
Normal atau derajat ringan
: AER = albumin excretion rate; ACR = albumin to creatinine ratio; *relatif
pada usia dewasa muda; **termasuk sindroma nefrotik (biasanya AER >2200 mg/24 jam, ACR >220 mg/mmol atau ACR >2220 mg/g.
13
Klasifikasi atas dasar albuminuria, yang dihitung adalah AER dan ACR dengan rumus sebagai berikut. AER (mg/24 jam) = albumin (mg/dl) x volume urin 24 jam ACR (mg/mmol)
= albumin (mg/dl) x 10
ACR (mg/g)
= (albumin (mg/dl) x 1000) ÷ creatinine (mg/dl)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Penyakit Sistemik dan Penemuan PA Ginjal
Penyakit Glomerulus
Penyakit Sistemik Yang
Penyakit Ginjal Primer Tanpa
Mempengaruhi Ginjal
Penyakit Sistemik
Diabetes
Autoimun
fokal
Infeksi sistemik
kresentik
Obat-obatan
Keganasan
Glomerulonefritis atau
difus,
proliferative
Glomerulosklerosis fokal dan segmental
Nefropati membranosa
Minimal change disease
Penyakit
Infeksi sistemik
Infeksi saluran kemih
Tubulointertisial
Autoimun
Batu saluran kemih
Sarkoidosis
Obstruksi saluran kemih
Obat-obatan
Racun
alam
(asam
aristolohik)
Penyakit Vaskular
Myeloma
Atherosklerosis
ANCA vasculitis
Hipertensi
Displasia fibromuskular
Iskemia
Kolesterol
Emboli
Vaskulitis sistemik
14
Mikroangiopati trombotik
Penyakit Kistik dan
Sklerosis sistemik
Penyakit
Displasia ginjal
ginjal
Penyakit kistik medular
Sindroma Alport
Podositopati
Penyakit Fabry
Kongenital
Keterangan
polikistik
: ANCA = Antineutrophil Cytoplasmic Antibody
D. ETIOLOGI Berdasarkan data insidensi penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat, terdapat beberapa penyebab utama terjadinya penyakit ginjal kronik yaitu sebagai berikut. Etiologi CKD di Amerika Serikat Penyebab
Insiden (%)
Diabetes mellitus
44
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
27
Glomerulonefritis
10
Nefritis interstisialis
4
Kista
3
Penyakit sistemik (Lupus, Vasculitis)
2
Neoplasma
2
Tidak diketahui
4
Penyakit lain
4
Berdasarkan data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) penyebab terjadinya gagal ginjal yang mengalami hemodialysis di Indonesia adalah sebagai berikut. Etiologi CKD di Indonesia Penyebab
Insiden (%)
Glomerulonefritis
46
Diabetes mellitus
18
15
Obstruksi dan infeksi
12
Hipertensi
8
Sebab lain
14
E. FAKTOR RISIKO Faktor resiko CKD diantara lain yaitu pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan populasi
yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African
Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians. F. PATOFISIOLOGI Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada CKD terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi :
Anemia Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu CKD dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering 16
menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada CKD akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis.
Dyspnoe dan Hipertensi Adanya kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah dan merangsang pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas
Hiperlipidemia Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
Hiperurisemia Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah. Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi artritis gout.
Hiponatremia Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat.
Hiperfosfatemia Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit yang bermanifestasi menjadi artritis dan pruritus.
Hipokalsemia Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi
kalsium
fosfat
dari
tulang.
Akibatnya
terjadi 17
demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terusmenerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Hiperkalemia Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia.
G. DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : 1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus (polidipsi, polifagia, polyuria, pruritus, polyneuritis, berat badan menurun), infeksi / batu traktus urinarius, hipertensi, SLE dan lainnya. 2. Sindroma uremia yaitu lemah, lethargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, volume overload, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang maupun koma. 3. Gejala komplikasi yang mungkin sudah terjadi seperti anemia, hipertensi, CHF, asidosis dan gangguan elektrolit.
Gambaran Laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi : 1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. 2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG.
18
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. 4. Kelainan
urinalisis
meliputi
albuminuria,
proteinuria,
hematuria,
leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran Radiologi Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : 1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak 2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan 3. Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi 4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi 5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
H. TATALAKSANA
Non Medikamentosa o Pengaturan asupan protein
Pasien non dialysis 0,6 – 0,75 gram/kgBB ideal/hari
Pasien hemodialysis 1 – 1,2 gram/kgBB ideal/hari
Pasien peritoneal dialysis 1,3 gram/kgBB/hari
o Pengaturan asupan kalori 35 Kal/kgBB ideal/hari o Pengaturan asupan lemak 30 – 40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh. o Pengaturan asupan karbohidrat 50 – 60% dari kalori total o Garam (NaCl) 2 – 3 gram/hari o Kalium 40 – 70 mEq/kgBB/hari o Fosfor 5 – 10 mg/kgBB/hari o Kalsium 1400 – 1600 mg/hari o Besi 10 – 18 mg/hari o Magnesium 200 – 300 mg/hari
19
o Air dengan menghitung jumlah urin 24 jam ditambah 500 ml.
Medikamentosa o Kontrol tekanan darah dengan ACE Inhibitor, Antagonis reseptor angiotensin B, calcium channel blocker, dan diuretic. o Pasien DM kontrol gula darah dengan menghindari pemakaian metformin dan obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi dan untuk DM tipe 2 adalah 6%. o Koreksi anemia dengan target Hb 10 -12 g/dL. o Kontrol manifestasi klinis dari komplikasi.
I. KOMPLIKASI
Gangguan cairan dan elektrolit Asidosis metabolic CHF Anemia Osteodistrofi renal Neuropati perifer dan ensefalopati
J. PROGNOSIS Prognosis pasien dapat diukur dengan melihat penyebab / etiologi dari CKD, tingkat GFR, tingkat ACR, dan faktor komorbid pasien yang dapat disimpulkan pada tabel berikut.
20
BAB IV KESIMPULAN Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh. Identifikasi CKD saat ini berbasis pada rekomendasi KDIGO 2012 yaitu penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori laju filtrasi glomerulus, albuminuria dan faktor komorbid maupun penyakit sistemik yang terjadi pada pasien. Hingga saat ini etiologi paling terbanyak masih diduduki oleh diabetes mellitus dan glomerulonephritis, sehingga manifestasi klinis yang muncul perlu diperhatikan secara seksama didukung oleh berbagai pemeriksaan fisik hingga penunjang karena pasien akan cenderung mengeluh gejala penyakit sistemik yang terjadi saat stadium awal CKD berlangsung. Dalam memberikan terapi pasien CKD harus berhati-hati karena pasien benar-benar dikontrol mengenai pola hidup nya terutama pola diet dan aktivitas. Penyakit CKD tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari CKD itu sendiri, dan biasanya CKD cenderung terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya sering terlambat.
21
DAFTAR PUSTAKA 1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. 2006. US : Saunders. 2. Snell RS. Anatomu Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. 2006. Jakarta : EGC. 3. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. 3rd ed. 2003. Jakarta : EGC. 4. Sudoyo, AW. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. 6 th ed. 2014. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 5. Silbernagl S. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. Jakarta : EGC 6. Rani AA. Penyakit Ginjal Kronik. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Jakarta : Interna Publishing. 7. Stevens PE, Levin A. Evaluation and management of chronic kidney disease: synopsis of the kidney disease: improving global outcomes 2012 clinical practice guideline. Annals of internal medicine. 2013;158(11):825-30.
22