REFERAT “KEGAWATDARURATAN PADA CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)”
Oleh: Alfi Alfina 1113103000008 Amaryllis Anandini 1113103000030
Pembimbing: dr. Elizabeth Yasmine, SpPD
STASE ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim. Bismillahirahmanirahi m. Assalamu’alaikum Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya dan tak lupa shalawat dan salam Kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Refrat ini dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di RSUP Fatmawati. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF Penyakit Dalam RSUP Fatmawati, khususnya dr Elizabeth Yasmine, SpPD selaku pembimbing. Kami menyadari bahwa penyusunan Makalah Refrat ini masih jauh dari sempurna, serta banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan Makalah Refrat ini. Semoga Makalah Refrat ini bermanfaat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, Juli 2017
Penyusun
2
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim. Bismillahirahmanirahi m. Assalamu’alaikum Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya dan tak lupa shalawat dan salam Kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Refrat ini dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di RSUP Fatmawati. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF Penyakit Dalam RSUP Fatmawati, khususnya dr Elizabeth Yasmine, SpPD selaku pembimbing. Kami menyadari bahwa penyusunan Makalah Refrat ini masih jauh dari sempurna, serta banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan Makalah Refrat ini. Semoga Makalah Refrat ini bermanfaat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, Juli 2017
Penyusun
2
DAFTAR ISI
................................................................... ..................................... ............... 2 KATA PENGANTAR ............................................. DAFTAR ISI ........................................... ................................................................... .............................................. .............................. ........ 3 BAB I. PENDAHULUAN .............................................. .................................................................... .............................. ........ 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................. ................................................................. .................... 5
2.1 PENYAKIT GINJAL KRONIK 2.1.1 Definisi ............................................. ................................................................... ............................................ ........................... ..... 5 2.1.2 Klasifikasi ............................................. ................................................................... ............................................ ........................ 5 2.1.3 Epidemiologi ........................................... ................................................................. ........................................... ..................... 6 2.1.4 Etiologi ........................................... ................................................................. ............................................... .............................. ..... 7 2.1.5 Patofisiologi …………………………………………………………..8 2.1.6 Diagnosis ............................................... ..................................................................... .............................................1 .......................100 2.1.7 Tatalaksana ................................................. ....................................................................... ........................................12 ..................12 2.1.8 Prognosis ................................................. ....................................................................... ...........................................20 .....................20 2.2 KEGAWATDARURATAN PADA CKD ……………………….…….22 2.2.1 Asidosis Metabolik ………………………………………………… …………………………………………………...22 2.2.2 Hiperkalemia …………………………………………………………24 Fluid Overload ……………………………………………………… 2.2.3 Fluid Overload ……………………………………………………….28 2.2.4 Ensefalopati uremikum ……………………………………………….29 DAFTAR PUSTAKA ............................................... ..................................................................... .......................................31 .................31
3
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) adalah penurunan fungsi ginjal yang progresif yang onsetnya ≥3 bulan. CKD dibagi menjadi lima stage sesuai dengan laju filtrasi glomerulus atau glomerular filtration rate (GFR) pasien. 1 CKD mempunyai angka prevalensi global yang tinggi. Sebuah review sistematik dan metaanalisis yang dilakukan oleh Nathan dkk menemukan bahwa prevalensi CKD stage V adalah 13,4% (11,2-15,1%) dan stage III-1V adalah 10,6% (9,2-12,2%). 2 CKD umumnya tidak mempunyai gejala. Gejala baru dirasakan oleh pasien jika sudah timbul komplikasi. Asidosis metabolic merupakan komplikasi yang umum terjadi pada pasien CKD. 3 Pasien juga dapat datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sesak nafas, perut dan kaki bengkak. Hal tersebut menandakan adanya kondisi fluid overload . Selain itu juga terdapat beberapa kondisi gawat darurat lainnya yang dapat menyebabkan kematian pada pasien CKD yakni hiperkalemi dan ensefalopati uremikum. Untuk itu, makalah ini dibuat untuk lebih memahami mengenai penyakit ginjal kronis dan beberapa kondisi gawat daruratnya yaitu asidosis metabolik, hyperkalemia, fluid overload, ensefalopati uremikum, beserta tatalaksananya.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umumnya berakhir sebagai gagal ginjal. Kelainan ginjal baik struktur atau fungsinya yang onsetnya ≥3 bulan. 1
Kriteria penyakit ginjal kronik: 1
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi ini didasarkan pada derajat penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan LFGnya, dengan menggunakan rumus Kockroft-Gault sebagai berikut: 1 LFG (ml/menit/1,73m2) =
(140 −umur) x berat badan 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada wanita dikalikan 0.85. Setelah LFGnya ditentukan, maka derajat penyakit ginjal kronik dapat ditentukan sesuai yang ada pada tabel dibawah ini, Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi tercantum pada tabel selanjutnya. Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit.2
5
Uremia adalah sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pasa semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Tanda dan gejala uremia adalah sebagai berikut2:
Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi 1
2.1.3 Epidemiologi
Angka kejadian penyakit ginjal kronik secara global sebesar 11-13%. Di Malaysia dengan populasi 18 juta penduduk diperkirakan terdapat 1800 6
kasus baru penyakit ginjal kronik pertahunnya dan di negara-negara berkembang lainnya sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun. The National Health and Nutrition Examination Survei (NHANES) menyatakan penyakit ini distribusinya sama pada wanita dan pria. Namun United State Renal Data System (USRDS) pada tahun 2011 mengatakan insidensi
hemodialisa pada tahun 2009 lebih tinggi pada laki-laki yaitu dengan angka 415.1 per 1 juta orang dan 256.6 pada perempuan. 3 Lalu di Amerika Serikat, the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) melaporkan 1 dari 10 orang dewasa
di Amerika terkena Chronic Kidney Disease (CKD) dengan staging berbeda beda dan tejadi peningkatan 8% dalam setiap tahunnya. Penyakit ginjal kronik ini menjadi menyebab kematian ke-9 di Amerika. Angka kejadian penyakit ini meningkat seiring dengan penambahan umur yaitu 4% pada pasien umur 29-39 tahun, 47% pada pasien >70 tahun. Peningkatan tercepat pada pasien umur 60 atau lebih. Pada penelitian yang di lakukan oleh NHANES tahun 1999-2004 didapatkan data stage 1 (5.7%), stage 2 (5,4%), stage 3 (5.4%), stage 4 (0,4%), dan stage 5 (0,4%). Untuk insidensi kejadian End Stage Renal Disease (ESRD) yaitu sebesar 350 per 1 juta orang dan
kejadian tertinggi pada pasien umur > 65 tahun. 3 2.1.4 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi di antar negara. Penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat ada pada tabel dibawah ini:1 Tabel Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995-1999) Penyebab
Insiden
Diabetes mellitus - Tipe 1 (7%) - Tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
44%
27%
Glomerulonefritis
10%
Nefritis Interstitialis
4% 7
Kista dan penyakit bawaan lain
3%
Penyakit sistemik
2%
Neoplasma
2%
Tidak diketahui
4%
Penyakit lain
4%
Tabel Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia T ahun 2000
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes Melitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%
Sumber: Suwitra, 2009 2.1.5 Patofisiologi
Proses awalnya bergantung dari penyakit dasar, tetapi selanjutnya hampir sama. Terjadi pengurangan massa ginjal akibatnya terjadi hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephron) sebagai kompensasi, hal ini diperantai oleh vasoaktifi seperti sitokin dan growth factors. Akibatnya terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Adaptasi ini berlangsung terjadi sangat singkat, akhinya akan terjadi maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. 1 Stadium paling dini CKD dimana LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti terjadi kerusakan nefron yang progresif ditandai dengan peningkatan ureum dan kreatinin serum. LFG sampai 60% masih asimtomatik tetapi ureum dan kreatinin sudah meningkat. Sampai LFG 30% baru muncul gejala seperti nokturia, badan lemas, nafsu makan menurun dan berat badan turun, mual. LFG dibawah 30% menunjukkan 8
gejala dan tanda uremi nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual dan muntah, dan laiinya. LFG dibawah 15% sudah komplikasi lanjut, pasien memerlukan terapi pengganti ginjal antara dialisis atau tarnspalntasi ginjal.1
9
Gambar 2.2 Mekanisme dan manifestasi dalam CKD. 5
2.1.6 Diagnosis Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: 1 a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b. Sindrom uremia, seperti yang sudah dijelaskan diatas c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). Berikut gejala yang dapat muncul: lesu, lemah, sesak nafas, bengkak akibat retensi cairan, berdebar-debar, penurunan kesadaran, nokturnia, gatal, memar, perdarahan, pucat, sakit kepala, neuropati perifer, nyeri pericarditis, nyeri tulang, dan disfungsi ereksi.
10
Gambaran Laboratoris1
a.
Penurunan fungsi injal berupa peningkatan ureum dan kreatinin dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault
b.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan asam urat, hiper atau hipokalemi, hiponatremi, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, dan lainnya
c.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuri, hematuri, dan lainnya.
Gambaran Radiologi1
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi. f. CT-scan / MRI: untuk melihat massa ginjal dan kista. IV kontras sebaiknya dihindarkan dari orang dengan gangguan fungsi ginjal. MRI sebagai pemeriksaan pengganti CT scan yang tanpa kontras g. Venography renal dan arteriogrefi ginjal untuk melihat stenosis ginjal Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang 11
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.1
Penegakkan Diagnosis
Untuk menegakkan CKD perlu dilakukan pemeriksaan GFR dan urinalisa untuk menilai albumiuria. Berikut adalah algoritma untuk menegakkan CKD. 4
Gambar Algoritma penegakan diagnosis CKD.
2.1.7 Tata Laksana
Penatalaksanaan CKD meliputi:1 1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar 12
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid 3. Memperlambat perurukan fungsi ginjal 4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular 5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi 6. Terapi pegganti ginjal Perencanaan tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya: 1
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1
Pencegahan Dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1
13
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah : 1
Pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG <= 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.1
14
Batasan asupan protein dan fosfat untuk pasien CKD:
Terapi farmakologi
Terapi
farmakologis
ditujukan
untuk
mengurangi
hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus. 1 Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.1 Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik 15
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. 1 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ginjal kronik terdapat pada Tabel 2.9:1 Tabel Komplikasi pada penyakit Ginjal Kronik
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/menit) 90
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
2
Kerusakan ginjak dengan penurunan LFG ringan
60-89
Tekanan darah mulai meningkat
3
Penurunan sedang
LFG
30-59
4
Penurunan LFG berat
15-29
5
Gagal ginjal
Hiperfosfatemia Hipokalemia Anemia Hiperparatiroid Hipertensi Hiperhomosistinemia Malutrisi Asidosis metabolic Cenderung hiperkalemia Dislipidemia Gagal jantung Uremia
<15
Komplikasi -
16
Terapi Komplikasi
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. 1 Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <=10 g% atau hematokrit <=30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum),mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. 1 Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) mempakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin adalah 10 g/dL, keadaan lebih buruk jika target Hb terlalu tinggi. Monitoring anemia selama 1-3 kali dalam satu bulan.2 Tabel Penatalaksanaan Anemia pada penyakit Ginjal Kronik Menejemen koreksi anemia pada CKD Erythropoietin
Dosis awal :
80-120 unit/kg perminggu IV/SC (1-3x/minggu)
Darbepoetin alfa
Dosis awal : 17
0,45g/kg diberikan IV tunggal/SC 1x/minggu Zat besi 1. Monitor simpanan besi melalui persentase saturasi transferin dan serum ferritin
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini: 1
Gambar 2.6 Patofisioloogi Osteodistrofi Renal
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia
dan
pemberian
hormon
kalsitriol
(1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. 18
Mengatasi Hiperfosfatemia:1 a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi. b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate. c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhirakhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping berupa keluhan gastrointestinal, CNS dan jantung. Pemberian terapi dapat menurunkan angka paraidektomi, fraktur dan hospitalisasi karena jantung. Namun penggunaan masih jarang karena biaya mahal. d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.
19
Pencegahan Komplikasi
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah urin. 1 Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan
jika hiperkalemia dan oliguria.
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.1 Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 4 atau 5, yaitu pada LFG kurang dari 30 mI/mnt. Tapi pada umumnya stadium 5. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Pasien perlu dirujuk ke bagian Ginjal Hipertensi untuk terapi pengganti ginjal. 1
2.1.8 Prognosis
Pasien dengan GFR yang lebih rendah, proteinuria, usia muda, dan seks laki-laki memiliki progressifitas yang lebih tinggi. Serum albumin yang rendah, kalsium bikarbonat dan fosfat serum yang lebih tinggi memprediksi 20
peningkatan resiko gagal ginjal. Pasien ERSD yang menjalani transplantasi ginjal bertahan lebih lama dibandingkan dialisis kronis. Angka kematian yang berhubungan dengan hemodialisa mennunjukkan bahwa harapan hidup pasien masuk dengan hemodialisa nyata dipersingkat. Pada tahun 2003, lebih dari 69.000 pasien terdaftar dalam ERSD meninggal.
21
2.2 KEGAWATDARURATAN PADA CKD 2.2.1 Asidosis Metabolik Prevalensi
Asidosis metabolic merupakan komplikasi yang umum terjadi pada pasien CKD. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey, terdapat 26 juta orang di Amerika Serikat yang menderita CKD. Dan sebanyak 700.000 orang mempunyai eGFR <30 ml/menit/1.73 m 2. Sebanyak 30-50% dari angka tersebut menderita asidosis metabolic. Penelitian lain menunjukkan bahwa asidosis metabolic dialami sebanyak 2.3-13% orang dengan CKD stage 3 dan 19-37% pada CKD stage 4.8 Definisi
Asidosis metabolic diartikan sebagai suatu keadaan status asam basa tubuh bergeser kea rah asam akibat kehilangan basaatau retensi asam non bikarbonat, atau asam non volatile.8 Patofisiologi
Regulasi homeostasis asam-basa menyangkut tiga langkah dasar yakni: dapar kimia oleh dapar ekstraseluler dan intraseluler, perubahan ventilasi alveolar, serta perubahan ekskresi H+ oleh ginjal. Pengaturan ekskresi H + oleh ginjal dilakukan dengan cara reabsorpsi HCO 3- dan membentuk HCO 3- sebagai respons dari berbagai stimuli. H+ yang tersekresi berikatan dengan dapar urin seperti HPO42dan ammonia. Pada CKD, reduksi nefron fungsional menyebabkan defek pada eksresi ginjal, terutama dalam bentuk ammonium. 9 Produksi asam endogen menggambarkan jumlah proton dalam tubuh yang didapat dari metabolisme protein yang dimakan, dikurangi jumlah perbedaan dari bikarbonat hasil metabolisme anion asam organic (dari buah-buahan dan sayursayuran) dengan anion asam organic yang dikeluarkan urin. Oleh sebab itu, kadar serum bikarbonat berbanding terbalik dengan asupan protein yang diperoleh (bikarbonat turun 1.0 mEq/L tiap asupan protein 1 gr/kgBB/hari). Seiring dengan progresifitas CKD, kemampuan ginjal untuk mengekskresi ammonium dan reabsorpsi bikarbonat menurun. Secara umum, kemampuan ginjal untuk mengekskresi ammonium menurun saat CKD stage IIIb dan IV. Penurunan ekskresi ammonium menjadi penyebab utama terjadinya asidosis metabolic. Produksi ammonia juga meningkat akibat terjadinya hipertrofi nefron residu dan meningkatnya enzim ammoniogenik. 22
Peningkatan kadar ammonia mengaktivasi jalur komplemen sehingga terjadi fibrosis interstitial ginjal. Asidosis juga menginduksi hormone aldosterone dan angiotensin II untuk meningkatkan ekskresi asam. Namun hormone tersebut dapat memicu fibrosis ginjal sehingga menjadi target tatalaksana CKD. Asidosis pada CKD biasanya relative stabil. Pada asidosis tanpa komplikasi, kadar serum bikarbonat biasanya >12 mEq/L dan pH darah >7,2. Terdapat 2 kemungkinan penyebab kadar serum bikarbonat tetap stabil. Pertama adalah awal setelah terjadi retensi asam, ekskresi dan produksi asam seimbang. Kemungkinan lainnya adalah asidosis memicu mekanisme ekstrarenal yang mengeluarkan asam endogen Manifestasi klinis
Pasien CKD dengan asidosis metabolic biasanya asimptomatik dan gangguan keseimbangan asam basa diketahui lewat hasil laboratorium kimia darah. Serum bikarbonat jarang mencapai < 14 mEq/L, dan biasanya > 20mEq/L. Namun konsentrasi serum bikarbonat yang normal dapat terjadi meskipun adanya gangguan ekskresi asam.9 Komplikasi asidosis metabolik pada penyakit ginjal kronik
Komplikasi yang terjadi adalah 8:
Peningkatan degradasi protein otot dengan muscle wasting. Hal tersebut diakibatkan karena perubahan regulasi insulin growth factor 1 dan peningkatan inflamasi Eksaserbasi penyakit tulang. Hal ini diakibatkan keterlibatan garam karbonat pada tulang yang berfungsi sebagai dapar Penurunan sintesis albumin Intoleransi glukosa akibat resistensi insulin sebagai konsekuensi dari penurunan metabolisme oleh ginjal Penyakit jantung coroner. Penyakit ginjal kronik akan menyebabkan berkurangnya ekskresi homosistein. Keadaan hiperhomosisteinemia akan menyebabkan disfungsi endotel dan platelet sehingga memicu terjadinya pembentukan aterosklerosis
Tatalaksana
Mencegah atau memperbaiki komplikasi yang berhubungan dengan asidosis metabolic pada CKD adalah tujuan utama dari tatalaksana. Pemberian basa bikarbonat dapat membantu proses penyembuhan pada penyakit tulang, muscle wasting, dan mencegah progresifitas CKD. 6 23
Suplementasi bikarbonat oral diberikan pada pasien CKD dengan serum bikarbonat <22 mmol/L untuk mempertahan serum bikarbonat pada range normal (23-29 mmol/L). Tablet natrium bikarbonat mudah diberikan dan tidak mahal. Namun dapat menimbulkan produksi gas pada lambung sehingga tidak nyaman pada beberapa pasien. Selain itu, perlu dibatasi asupan protein hewani untuk mengatur jumlah asam yang diproduksi tubuh. Protein nabawi menghasilkan lebih sedikit asam. Buah dan sayur efektif untuk menyediakan kalori dan sumber kalium bagi tubuh.
2.2.2 Hiperkalemia Definisi
Hiperkalemia adalah suatu keadaan gawat yang dapat menyebabkan aritmia jantung hingga kematian mendadak. Hyperkalemia didefinisikan sebagai kadar serum kalsium melebihi batas normal yang dibagi menjadi beberapa derajat keparahan yakni >5, >5,5, dan >6 mmol/L. 10 Prevalensi
Pasien CKD mempunyai risiko tinggi untuk mengalami hyperkalemia dibandingkan populasi umum. Frekuensi hyperkalemia pada CKD adalah 40-50%, dibandingkan dengan populasi umum yakni 2-3% pada populasi umum. Risiko yang paling tinggi adalah pasien dengan CKD, diabetes, penerima donor ginjal, dan pasien yang mendapat pengobatan inhibitor system renin-angiotensin-aldosteron (RAA).10 Homeostasis Kalium
Ginjal mempunyai peran penting untuk menjaga keseimbangan kalium dengan menyeimbangkan asupan kalium dengan ekskresi kalium. Kalium bebas difiltrasi oleh glomerulus. Kemudian 90-95% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan lengkung Henle. Ekskresi kalium terjadi di tubulus distal. Jika terjadi hilangnya fungsi nefron pada penyakit ginjal akan terjadi retensi kalium. Regulator utama adalah aldosterone dan kadar serum kalium. 11 Peningkatan serum kalium berhubungan dengan memburuknya fungsi ginjal. Ekskresi kalium akan dipertahankan oleh sisa nefron yang masih berfungsi. Oleh sebab itu, hyperkalemia jarang terjadi pada GFR >15 ml/menit, kecuali jika sekresi dan fungsi aldosterone terganggu. 24
Kadar serum kalium juga dapat dipertahankan oleh ekskresi saluran pencernaan. Kapasitas kolon untuk mengekskresi kalium meningkat tiga kali lebih besar seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Hiperkalemi pada CKD
Beberapa faktor hyperkalemia pada CKD adalah sebagai berikut 11:
Asidosis metabolic. Kalium akan berpindah dari intraseluler ke ekstraseluler.
Anemia yang membutuhkan transfusi. Muatan kalium tinggi yang akut pada transfusi dalam jumlah banyak, atau transfusi dengan darah yang tidak segar.
Transplantasi ginjal. Penggunaan inhibitor kalsineurin menyebabkan hyperkalemia.
Acute kidney injury. Penurunan GFR dan aliran tubular secara cepat
menyebabkan hiperkatabolik, kerusakan jaringan, dan muatan kalium tinggi secara akut
Diabetes. Hiperglikemi menyebabkan muatan kalium sulit untuk bergerak ke interseluler.
Penggunaan obat-obatan inhibitor RAAS seperti inhibitor angiotensinconverting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor blockers (ARB). Risiko hyperkalemia meningkat terutama jika diberikan secara bersamaan atau dosis awal yang tinggi.
Obat-obatan yang mempengaruhi CKD 11 25
Tatalaksana
Tatalaksana untuk mencegah perkembangan atau rekurensi hyperkalemia adalah sebagai berikut10:
Estimasi GFR. GFR ≤ 30 ml/menit adalah ambang batas untuk
kemungkinan terjadinya hyperkalemia.
Menghindari penggunaan NSAID dan obat herbal
Diet rendah kalium dan menghindari penggunaan substitusi garam yang mengandung kalium
Penggunaan obat thiazide atau loop diuretic pada GFR < 30 ml/menit
Koreksi asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
Dosis awal ACE-I dan ARB yang rendah
Monitor kadar kalium setelah 1 minggu penggunaan ACE-I atau ARB. Hentikan pengobatan jika kadar kalium tetap >5,5 mmol/L
Jika langkah-langkah di atas gagal untuk mengatasi hyperkalemia, maka dipertimbangkan untuk penggunaan pengikat kalium. Yang paling umum digunakan adalah sodium polystyrene sulfonate. Namun penggunaan obat ini masih diragukan untuk tatalaksana hyperkalemia kronik karena dapat menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna atas dan nekrosis kolon. Untuk tatalaksana hyperkalemia akut adalah sebagai berikut 11:
Pemantauan EKG 12-lead atau 3-lead
Kalsium intravena meng-antagonis eksitabilitas membrane jantung sehingga melindungi jantung dari aritmia. Namun kalsium tidak dapat menurunkan kadar kalium. Biasanya diberikan sebanyak 10 ml kalsium glukonat 10% dapat diulangi tiap 5-10 menit, sampai maksimal 90 ml. Efek yang terlihat pada EKG adalah penyempitan kompleks QRS, reduksi amplitude gelombang T, dan peningkatan frekuensi nadi pada pasien bradikardi.
26
(a) EKG awal masuk pasien dengan kadar kalium 9,3 mmol/L dan kelemahan generalisata , (b) EKG setelah pemberian 20 ml kalsium glukonas 10% 11
Pemberian insulin-glukosa, yakni 10 U insulin pada 25gr glukosa, secara intravena pada hyperkalemia ≥ 6 mmol/L. Kemudian gula darah dipantau pada 0, 15, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360 menit. Insulin akan mengaktivasi Na+-K + ATPase. Sehingga natrium akan keluar dari sel dan kalium masuk ke dalam sel. Pada pasien dengan hiperglikemi, insulin diberikan tanpa dextrose.
Pemberian agonis β2 agonis salbutamol 10-20 mg secara inhalasi untuk hyperkalemia ≥ 6 mmol/L . Salbutamol bekerja sebagai aktivator Na +K + ATPase. Pemberian secara inhalasi untuk mengurangi efek samping dari salbutamol seperti tremor, palpitasi, dan sakit kepala. Selain itu, salbutamol juga menyebabkan hiperglikemia ringan sehingga dapat melindungi dari efek samping hipoglikemia oleh insulin. 27
Natrium bikarbonat tidak rutin diberikan pada hyperkalemia akut.
Cation-exchange resin seperti sodium polystyrene sulfonate tidak
diberikan pada keadaan gawat darurat hyperkalemia berat.
Pemantauan kalium pada jam ke-1,2,4,6, dan 24 untuk melihat efikasi dari tatalasksana yang telah diberikan dan untuk melihat adanya hyperkalemia rebound setelah efek obat pertama hilang. Pengambilan sampel darah menggunakan anti koagulasi lithium heparin
Komplikasi
Hiperkalemia menyebabkan hiperpolarisasi sel dan sulit untuk depolarisasi sehingga mengakibatkan aritmia jantung. Aritmia yang terjadi pada hyperkalemia adalah takikardia dengan QRS sempit, atrial fibrilasi, bradikardi, ventricular takikardi, dan irama idioventrikular. Beberapa aritmia tipikal pada hyperkalemia adalah sebagai berikut 11:
(a) Bradikardi dengan QRS lebar, (b) gelombang sinus dengan pause, (c) gelombang sinus tanpa pause, (d) ventricular takikardi11
2.2.3 CKD dengan Fluid Overload Definisi
Fluid overload (FO) adalah ketidakseimbangan antara input dan output cairan yang menyebabkan presentase berat badan naik ≥10 %. FO sering ditemukan pada pasien CKD yang menjalani renal replacement theraphy dan juga pasien CKD
predialisis.12
28
Patofisiologi
Pada pasien CKD terjadi penurunan ekskresi dari cairan karena terjadi penurunan filtrasi natrium pada glomerulus. Sehingga pada saat input cairan lebih banyak dari output maka akan terjadi gejala overload. Gejala overload yakni sesak, bengkak pada kaki, penumpukan cairan pada perut. Sesak diakibatkan karena penumpukan cairan sehingga menyebabkan edema paru sehingga mengganggu perfusi oksigen dan menyebabkan sesak. 12 Tatalaksana
Penggunaan diuretik secara umum digunakan untuk mengkontrol cairan ekstraseluler yang berlebih dan efeknya terhadap tekanan darah. Diuretic golongan thiazide digunakan pada CKD stage 1-3. Hidroklorotiazid dimulai dari dosis 25 mg/hari, dengan titrasi 50-100 mg/hari. Jika digunakan bersamaan dengan obat hipertensi non diuretic lainnya, hidroklorotiazid dapat digunakan dari dosis terkecil yakni 6,25 mg. 6 Loop diuretic dapat digunakan pada CKD stage 1-5. Pada CKD stage 4-5, dosis
furosemide dimulai dari dosis 40-80 mg sehari dengan titrasi tiap minggu sampai 25-50% sesuai respon dan volume ekstraseluler. 6 Diuretic hemat kalium digunakan pada pasien CKD dengan risiko hyperkalemia, yakni pasien dengan GFR < 30 ml/menit/1.73m 2 mendapat terapi inhibitor ACE dan ARB.6
2.2.4 Ensefalopati Uremikum Pada pasien gagal ginjal ensefalopati merupakan kejadian yang sering yang mungkin disebabkkan oleh uremia, defisiensi tiamin, dialisis, hipertensi dan sebagainya. Uremik ensefalopati adalah kelaianan otak organik yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan kadar nilai kreatinin clearance menurun dan tetap dibawah 15 mL/ mnt. Secara epidemiologi ensefalopati uremikum tidak diketahui. Hal ini bisa terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik stage V dan angka kejadian ensefalopati uremikum tergantung pada jumlah pasien CKD stage V. ensefalopati uremikum merupakan salah benuk kelainan metabolik. ensefalopati uremikum menyebabkan perubahan kesadaran, 29
perubahan tingkah laku, dn kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun di luar otak. 13 Kali ini akan sedikit dibahas mengenai ensefalopati karena uremik. Beberap afaktor yang terlibbat dalam patogenesis ensefalopati uremik 14
Gangguan hormon Pada gagal ginjal kronik seiring dengan berjalannya waktu kadar hormon PTH akan meningkat karena kadar kalsium yang tinggi. Jadi hormon PTH bersifat toksik pada sistim saraf pusat.
Stress oksidatif Kondisi kerusakan sel dan organel ginjal mengakibatkan peningkatan peroksidase
lipid.
Produk
beracun
ini
menyebabkan
inflamasi
berkepanjangan pada gagal ginjal kronis melalui ketidakseimbangan peningkatan produksi ROS dan kapasitas antioksidan yang menurun.
Akumulasi metabolik Akumulasi kynurenin akibat metabolisme triptofan juga menjadi penyebab ensefalopati urmik. Kynurenin akan diubah menjadi 3- hydroksikynurenin yang akan menghasilkan ROS. Kynurenin dan 3- hydroksikynurenin menyebabkan disfungsi neurologis. Langkah pertama dalam penanganan ensefalopati uremik adalah
mengetahui etiologi, hal ini bisa dilakukan dengan tes darah dan hitung darah legkap. Elektrolit, glukosa, uremum, kreatinin, B12, fungsi tiroid, enzim hati, dan amonia. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan EEG. Gambaran khas dari EEG tidak spesifik sepertti melambatnya ritme alfa dengan kelebihan delta. Indikasi hemodialisa segera adalah bila ditemukan kegawatan ginjal berupa keadaan klinis uremik berat, oligouria (produksi urine <200ml/12 jam), anuria (produksi urine 50 ml/12jam), hiperkalemia, asidosis berat, uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L), hipertermia serta keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis. 15 30
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 2. Sabatine MS. Pocket medicine 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins and Wolters Kluwer; 2011 3. United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in General population. 2015 USRDS annual data report: Epidemiology of Kidney Disease in the United States. Bethesda: National institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2015 4. The Australian Kidney Fondation. Chronic Kidney Disease in General Practice. Kidney Health 2015 5. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th ed. China: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins, 2009. 6. Garabed E, Norbert L, Bertram LK, et al. 2012. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. New York: National Kidney Foundation. 7. Nathan RH, Samuel TF, Jason LO, et al. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease – A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS One. 2016; 11(7): e0158765. 8. Jeffrey AK, Nicolaos EM. Metabolic acidosis of CKD: an update. Am J Kidney Dis. 2016;67(2):307-317
9. Wei C, Matthew KA. Metabolic acidosis and the progression of chronic kidney disease. BMC Nephrology. 2014, 15:55-65 10. National Kidney Disease. 2014. Clinical update in hyperkalemia. Diunduh dari
https://www.kidney.org/sites/default/files/02-10-
6785_HBE_Hyperkalemia_Bulletin.pdf 11. Annette A, Jasmeet S, Robert M, Jonathan F, Ilona S, et al. 2014. Treatment of acute hyperkalaemia in adults. UK Renal Assocciation: Inggris
31