TUTORIAL KLINIK 2 “NYAWA TAK BERDOSA JADI KORBAN”
DISUSUN OLEH :
Nico (406162100) Andi Eka Putra (406162109) Florencia Santoso (406162110) Stefan Cahyadi (406171044) Budi Setiawan L (406181012) Paat Natalia D (406181019) Reza Fahrian R (406162016)
PEMBIMBING:
dr. Ratna Relawati, Sp. KF, M.Si, Med
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG PERIODE 22 OKTOBER 2018 – 2018 – 25 25 NOVEMBER 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA 2018
BAB I PENDAHULUAN
Dalam ilmu kedokteran forensik, penyebab kematian asfiksia sangat sering ditemukan. Kasus kematian ini cukup mendapatkan perhatian karena mekanisme kematiannya sangat cepat, dengan penurunan kesadaran dapat terjadi dalam hitungan detik dan korban meninggal setelah beberapa menit.1 Asfiksia dalam Kamus Kedokteran Merriam Webster diartikan sebagai keadaan kekurang oksigen atau kelebihan karbondioksida dalam tubuh yang menyebabkan turunnya level kesadaran, bahkan kematian yang disebabkan oleh gangguan pernapasan atau pasokan oksigen yang tidak adekuat. 2 Kata Asfiksia sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “stopping of the pulse” atau diterjemahkan berhentinya denyut atau tidak ada denyut. 3 Secara umum terdapat tiga jenis asfiksia, yaitu asfiksia mekanik, asfiksia non mekanik, dan asfiksia patologis, dimana asfiksia mekanik menduduki peringkat pertama. Menurut data CDC (Central (Central for Disease Control and Prevention) Prevention ) pada tahun 1999 sampai 2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus kematian oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi. Di Indonesia sendiri kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL). Berdasarkan data yang dilaporkan di Bagian Kedokteran Forensik FKUI RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta mencapai 5,8%. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Dalam penelitian retrospektif di RSUP Sardjito tahun 2007-2012, prevalensi asfiksia mekanik terbanyak yaitu 64% pada pria dengan usia 21-40 tahun. 4-6 Secara etiologi, asfiksia dapat juga disebabkan oleh penyebab ilmiah, trauma mekanik, dan keracunan. Asfiksia alamiah didapatkan oleh karena penyakit yang menyumbat saluran pernapasan, juga bisa terjadi pada bayi baru lahir (asfiksia neonatorum). keracunan : Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika. Asfiksia dalam ilmu hukum diartikan dengan kata mati lemas, yang merujuk kepada keadaan dimana kekurang oksigen dalam tubuh. 7
Secara umum perlu diketahui tanda-tanda dari asfiksia, mengingat banyak jenis-jenis dari asfiksia itu sendiri. Petekiae, edema paru, pembengkakan jantung sebelah kanan, dan sianosis.
Walaupun
demikian
pembekapan( smothering ), ),
tenggelam,
penjeratan
( strangulation), strangulation), gantung (hanging ( hanging ), ), pencekikan ( suffocation) suffocation) mempunyai tanda-tanda khas tersendiri, sehingga pemeriksaan harus dengan teliti dilakukan untuk membedakannya. Oleh sebab itu, melalui penulisan referat ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui mengenai asfiksia dan jenis-jenis asfiksia, yang disertai dengan tanda-tanda khas masing-masing dari asfiksia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Asfiksia
Kata Asfiksia sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “stopping of the pulse” atau diterjemahkan berhentinya denyut atau tidak ada denyut. Menurut Kamus Kedokteran Merriam Webster, asfiksia diartikan sebagai keadaan kekurang oksigen atau kelebihan karbondioksida dalam tubuh yang menyebabkan turunnya level kesadaran, bahkan kematian yang disebabkan oleh gangguan pernapasan atau pasokan oksigen yang tidak adekuat. Asfiksia tidak bisa disamakan dengan anoksia, namun asfiksia merupakan bagian dari anoksia.2,3 Asfiksia merupakan suatu kondisi terjadi gangguan pertukaran udara pernapasan dimana O2 darah menurun (hipoksia) sementara CO2 dalam darah meningkat (hiperkapnia) sehingga mengakibatkan organ kekurangan O 2 (hipoksia hipoksik) dan menyebabkan kematian. Sementara anoksia merupakan suatu keadaan dimana tubuh kekurangan O 2. Asfiksia tidak sama dengan anoksia namun asfiksia merupakan bagian dari anoksia. 8 Penyebab anoksia dibagi menjadi 4 golongan: 1. Anoksia anoksik, kondisi dimana O 2 tidak sampai ke darah oleh karena kurangnya O 2 yang masuk ke paru-paru. 2. Anoksia anemik, kondisi dimana darah tidak dapat menyerap O 2. Hal ini terjadi pada kasus keracunan gas CO (karbomonoksida). CO mengikat hemoglobin lebih erat dibandingka O2. 3. Anoksia histotoksik, kondisi dimana jaringan tidak dapat menyerap O 2. Hal ini terjadi pada kasus keracunan CN (sianida). CN menginhibisi enzim sitokrom oksidase pada mitokondria yang berperan dalam pernapasan seluler suatu organisme. 4. Anoksia stagnan, kondisi dimana darah tidak mampu membawa O 2 ke jaringan seperti heart failure dan embolisme. Golongan anoksia anemik, histotoksik, dan stagnan disebabkan oleh racun sementara anoksia anoksik disebabkan oleh obstruksi saluran napas. Yang disebut asfiksia
sebenarnya adalah anoksia anoksik atau yang disebut juga asfiksia mekanik (mechanical asphixia). 2.2
Epidemiologi Asfiksia
Data CDC (Central for Disease Control and Prevention) pada tahun 1999 sampai 2004, berdasarkan data kematian di Amerika Serikat terdapat ± 20.000 kasus kematian oleh asfiksia seperti, tenggelam, gantung diri, strangulasi, dan sufonifikasi. Dimana kasus gantung diri dan stangulasi terdata banyak pada usia antara 35-44 tahun sedangkan kasus asfiksia homisidal jarang terjadi.4 Di Indonesia , kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL). Di RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di Jakarta mencapai 5,8%. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Dalam penelitian retrospektif di RSUP Sardjito Jogjakarta tahun 2007-2012, prevalensi asfiksia mekanik terbanyak yaitu 64% pada pria dengan usia 21-40 tahun. Data rekam medis RSUD Soetomo FK UNAIR periode Januari 2013 – Desember 2015, didapatkan 8 kasus asfiksia, dengan 5 kasus diantaranya adalah kasus asfiksia pembunuhan anak.5,6 2.3
Jenis-Jenis Asfiksia
Ada beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia 8, yaitu: 1. Strangulasi, antara lain: - Gantung (hanging ) - Penjeratan ( strangulation by ligature) - Cekikan (manual strangulation) 2. Sufonifikasi 3. Pembekapan ( smothering ) 4. Penyumpalan (choking/gaging ) 5. Tenggelam (drowning )
6. Crush asphyxia: - Tekanan pada dada oleh benda berat - Berdesakan 2.4
Gejala Asfiksia
Pada orang yang meninggal yang meninggal diakibatkan oleh asfiksia, maka akan melewati 4 fase7,8 yang mempengaruhi tubuh orang tersebut: 1. Fase Dispnea Fase ini merupakan gejala tahap awal yang terjadi pada orang yang mengalami asfiksia. Amplitode dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi menjadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Hal ini disebabkan karena penurunan kadar oksigen pada sel darah merah dan adanya penimbunan CO2 dalam plasma sehingga akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata. 2. Fase Konvulsi Merupakan fase yang terjadi setelah fase dispnea. Pada fase ini
orang yang
mengalami asfiksia akan mengalami kejang (kovulsi). Kejang disebabkan karena adanya peningkatan CO2 sehingga merangsang susunan saraf pusat. Kejang diawali dengan bentuk tonik klonik yang kemudian akan berubah menjadi kejang tonik saja, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Selain kejang, pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah juga menurun. Hal ini disebabkan karena paralisis yang lebih tinggi dalam otak yang disebabkan oleh kekurangan O2. 3. Fase Apnea Setelah melewati fase konvulsi, akan memasuki fase apnea. Pada fase ini depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran Ciaran sperma, urin dan tinja. 4. Fase Akhir Pada fase akhir akan terjadi paralisis pusat pernafasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernafasan berhenti.
Waktu yang diperlukan dari asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 terjadi lebih kurang 3-4 menit. Tetapi hal ini sangat bergantung dengan tingkat penghalang oksigen. Bila tidak 100% penghalang oksigen nya, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. 7 2.5
Patofisiologi Khusus Asfiksia
1. Tardieu's Spot
Tardieu’s spot merupakan bintik perdarahan ditemukan pada konjungtiva, pleura, perikardium, kulit kepala (umumnya pada jaringan ikat longgar dan transparan). Tardieu's spot merupakan bagian dari TRIAS asfiksia, yaitu sianosis, pembendungan dan petekhie. Karena adanya pembendungan yang disebabkan karena suatu obstruksi, menyebabkan gangguan pada aliran balik vena dan meningkatkan tekanan hidrostatik pembuluh. Meningkatnya tekanan hidrostatik akan mengakibatkan pecahnya pembuluh vena dah kapiler darah. Selain itu hipoksia jaringan juga menyebabkan permeabilitas pembuluh darah menurun dan terjadi statis pembuluh darah yang disertai kebocoran sehingga menyebabkan edema yang mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik.
7,9,10
2. Cutis Anserina
Cutis anserina ( goose flesh) merupakan gambaran kulit yang menyerupai gambaran kulit angsa. Cutis anserina merupakan salah satu tanda adanya kontak dengan air dan tanda adanya reaksi intravital. Hal ini dapat terjadi karena adanya rangsangan air dingin sehingga menyebabkan kontraksi M. Erector pili yang menciptakan gambaran kulit angsa. 7,9,10 3. Washer Women Skin
Washer women skin juga merupakan tanda kontak dengan air. Gambaran yang timbul berupa kulit yang pucat, keriput dan mengelupas dari dasar. Mekanismenya adanya suatu proses imbibisi sehingga lama-kelamaan lapisan keratin kulit menjadi lepas sehingga menimbulkan “ glove and stocking ” phenomena.7,9,10 2.6
Tanda Kardinal Asfiksia
a. Tardieu’s Spot
Tardieu’s spot merupakan bintik perdarahan ditemukan pada konjungtiva, pleura, perikardium, alis, kulit kepala (umumnya pada jaringan ikat longgar dan transparan).
Mekanisme pembentukannya oleh karena adanya suatu obstruksi yang menimbulkan pembendungan sehinga menyebabkan gangguan alir an balik vena dan meningkatkan tekanan hidrostatik pembuluh yang berakhir dengan pecahnya pembuluh vena dan kapiler darah. Selain itu hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan. 7,8 b. Edema Organ
Edema organ terjadi akibat perbendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh, sehingga organ menjadi lebih berat, bewarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). 7,8 c. Sianosis
Sianosis merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O 2). 7,8
d. Tetap Cairnya Darah
Terjadi akibat peningkatan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku. Gambaran tetntang tetap cairnya darah terlihat saat autopsi akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. 7,8 2.7
Gambaran Umum Post-Mortem Asfiksia
Pada Pemeriksaan Luar 7,8:
-
Ditemukan sianosis pada bibir, ujung jari dan kuku
-
Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO 2 yang lebih tinggi
-
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang di sertai sekresi selaput lender saluran napas bagian atas
-
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palbepra
Gambar 1. Gambaran lebam mayat pada jenazah asfiksiSIMPSON Pada Pemeriksaan Dalam7,8
-
Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinossin darah yang meningkat paska kematian.
-
Busa halus di dalam saluran pernafasan
-
Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis)
-
Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris.
2.8
Strangulasi
Tekanan pada leher dapat disebabkan oleh strangulasi manual, strangulasi dengan jerat, gantung diri, hantaman, arm-locks, dan beberapa keadaan bervariasi, seperti terlilit tali pusat.10
Mekanisme Kematian
Sejumlah faktor anatomis dan fisiologis yang dapat menyebabkan kematian akibat tekanan pada leher, antara lain sebagai berikut: 1. Sumbatan Saluran Napas Hal ini dapat terjadi akibat penekanan langsung pada laring atau trakea, atau keadaan dimana laring terangkat menyebabkan faring tertutup oleh pangkal lidah yang tertekan langit-langit mulut.10 2. Sumbatan Vena Leher Pada keadaan dimana vena leher tersumbat atau tertutup, dapat ditemui gejala klasik berupa kongesti, sianosis, edema dan petekie yang berada di atas lokasi penyempitan.
KNIGHT
Penelitian yang dilakukan oleh Brouardel menunjukkan bahwa penjeratan dengan tegangan 2 kg dapat menghalangi aliran balik vena jugularis. 10 3. Penekanan Arteri Karotis Beberapa fakta yang dapat ditemui pada penekanan arteri karotis 10 adalah sebagai berikut.
Kasus ini lebih jarang terjadi dibandingkan sumbatan pada vena, dikarenakan tekanan arteri karotis dapat melawan sumbatan dan terletak lebih dalam.
Sumbatan pada kedua sisi arteri karotis dapat menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran dengan segera; hal ini dikarenakan asupan pembuluh darah kepada otak menjadi tidak cukup untuk mempertahankan fungsi korteks.
Penutupan menyeluruh dari sirkulasi arteri karotis yang berlangsung 4-5 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan otak ireversibel.
Penekanan baroreseptor pada sinus karotis, lapisan karotis, dan badan karotis dapat memicu terjadinya bradikardi, atau henti jantung (cardiac arrest ). Mekanisme ini terjadi melalui refleks yang timbul dan memicu pembentukkan impuls dari ujung saraf aferen (sensoris) karotis. Kemudian, impuls memasuki otak melalui nervus glosofaringeal dan kembali melalui nervus vagus (eferen) yang mensuplai jantung dan organ lain. 10 2.8.1
Gantung (Hanging )
Peristiwa gantung adalah peristiwa dimana seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh suatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan
panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami tekanan.(undip) Kasus gantung sebenarnya hampir sama dengan penjeratan, perbedaannya terdapat pada asal dari tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada kasus penjeratan, tenaga berasal dari luar tubuh, sedangkan pada gantung tenaga berasal dari berat badan korban sendiri baik sebagian atau seluruhnya.7 Penekanan dengan kekuatan 10 pon (4,5 kg) pada leher sudah cukup untuk menghentikan aliran darah di daerah itu, sehingga tindakan gantung tetap dapat dilakukan dengan sebagian tubuh tetap berada di lantai. 8 Terdapat 2 macam gantung diri 8 : 1. Gantung diri tipikal : simpul penjerat terletak pada tengkuk bagian belakang leher. 2. Gantung diri atipikal : simpul penjerat terletak di bagian lain leher selain pada bagian tengkuk leher. Lokasi simpul biasanya terletak pada sudut mandibula, dekat mastoid atau di bawah pipi. Posisi korban pada kasus gantung 7 : 1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging ) 2. Duduk berlutut 3. Berbaring Mekanisme kematian pada kasus gantung7,8 : 1. Asfiksia. Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernapasan. 2. Iskemia otak. Terjadi akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher. 3. Syok karena vagal reflex. Terjadi akibat adanya perangsangan pada carotid body. 4. Kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi dari sendi atlantoaxial (pada hukum gantung). Hal ini terjai akibat dislokasi atau fraktur vertebra ruas leher, biasanya C2-C3 atau C3-C4. Jika sebab kematiannya karena asfiksia maka akan dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut : 1. Tanda-tanda umum asfiksia:
Sianosis
Bintik-bintik perdarahan dan pelebaran pembuluh darah
Kongesti di daerah kepala, leher dan otak
Darah lebih gelap dan lebih encer
2. Tanda-tanda khusus: Jejas jerat
-
Lekukan melingkari leher (secara penuh atau sebagian) dan di sekitarnya kadang-kadang terlihat adanya bendungan.
-
Kulit mencekung ke dalam sesuai dengan bahan penjeratnya.
-
Terdapat luka lecet di tepi jejas akibat gesekan bahan penjerat dengan kulit.
-
Arah jejas tidak melingkar secara horizontal, melainkan mengarah ke atas menuju ke arah simpul dan membentuk sudut atau jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara penuh) akan membentuk sudut yang semu.
-
Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar), perabaan keras seperti kertas perkamen.
-
Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan adanya pelepasan (deskuamasi) epitel serta reaksi jaringan. Apabila tidak ditemukan adanya reaksi jaringan maka kemungkinan korban sudah meninggal sebelum digantung.
Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot.
Patah tulang, biasanya os hyoid (cornu mayus) atau kartilago krikoid.
Lebam mayat -
Jika sesudah mati korban tetap dalam keadaan tergantung cukup lama makan lebam mayat dapat ditemukan pada tubuh bagian bawah, anggota badan bagian distal serta alat genitalia bagian distal.
-
Pada korban wanita, labium membesar dan terdapat lebam, sedangkan pada korban laki-laki hal ini terjadi pada skrotum.
-
Penis dapat tampak seolah mengalami ereksi akibat terkumpulnya darah, sedangkan semen keluar akibat relaksasi otot sfingter post mortem. Lidah
-
Jika posisi jerat di bawah cartilago thyroid maka lidah akan tampak menjulur keluar dan berwarna lebih gelap akibat proses pengeringan. Jika posisi jerat di atas cartilago thyroid maka lidah tidak menjulur.
Petekie pada mata dan kulit :
-
Bila jerat kecil dan keras maka terjadi hambatan total arteri sehingga muka akan tampak pucat dan tidak terdapat petekie pada kulit maupun konjungtiva. Jika jerat lebar dan lunak maka hambatan hanya terjadi pada saluran pernapasan dan pada aliran vena dari kepala ke leher sehingga akan tampak perbendungan pada daerah sebelah atas ikatan.
Jika pada suatu waktu ditemukan seseorang meninggal dunia dalam keadaan tergantung harus dilakukan penyelidikan yang teliti sebab peristiwa gantung dapat terjadi karena 7,8: 1. Bunuh diri 2. Pembunuhan. Biasanya sebelum digantung, korban dibunuh terlebih dahulu dengan cara lain. 3. Kecelakaan. Contohnya seperti pada waktu jatuh dari pohon bagian belakang bajunya tersangkut dahan atau pada waktu terjun payung, leher terlilit tali parasut. Untuk menentukan cara kematian tersebut perlu dilakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara. Tujuan utamanya ialah untuk mengetahui apakah korban benar-benar telah mati atau belum, jika ada dugaan belum mati maka hendaknya korban segera diturunkan utnuk kemudian dilakukan upaya penyelamatan. Tujuan kedua adalah untuk mengumpulkan fakta-fakta guna dipakai sebagai dasar membuat kesimpulan tentang car a kematia tersebut.7,8 Tabel 1. Perbedaan antara Pembunuhan dan Bunuh diri 7,8
Alat penjerat : Simpul Jumlah liitan Arah Jarak titik tumpu-simpul Korban: Jejas jerat Luka perlawanan Luka-luka lain
Pembunuhan
Bunuh diri
Biasanya simpul mati Satu Mendatar Dekat
Simpul hidup Satu atau lebih Serong ke atas Jauh
Berjalan mendatar + Ada, sering di daerah leher
Meninggi ke arah simpul Biasanya tidak ada, mungkin ada luka percobaan lain Dekat, dapat tidak tergantung
Jarak dari lantai
Jauh
TKP: Lokasi Kondisi Pakaian Alat
Bervariasi Tidak teratur Tidak teratur, robek Dari si pelaku
Tersembunyi Teratur Rapi dan baik Berasal dari yang ada di TKP
Surat peninggalan Ruangan
2.8.2
+ Tidak teratur, terkunci dari Terkunci dari dalam luar
Penjeratan ( Strangulation by ligature)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki, dan sebagianya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup. Berbeda dengan gantung diri, penjerata biasanya merupakan kasus pembunuhan. 7 Pada peristiwa penjeratan dengan tali maka kematian yang terjadi dapat disebabkan 7: 1. Tertutupnya jalan napas sehingga menimbulkan anoksia atau hipoksia 2. Tertutupnya vena sehingga menyebabkan anoksia pada otak 3. Refleks vagal 4. Tertutupnya pembuluh darah karotis sehingga jaringan otak kekurangan darah Pada gantung diri, semua arteri di leher mungkin tertekan, sedangkan pada penjeratan, arteri vertebralis biasanya tetap paten. Hal ini disebabkan oleh karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Bila jerat masih ditemukan melingkari leher, maka jerat tersebut harus disimpan dengan baik sebab dapat dijadikan benda bukti dan diserahkan kepada penyidik bersama dengan visum et repertum. 7 Terdapat dua jenis simpul jerat 7, yaitu: 1. Simpul hidup – lingkar jerat dapat diperbesar atau diperkecil. 2. Simpul mati – lingkar jerat tidak dapat diubah. Simpul harus diamankan dengan melakukan pengikatan dengan benang agar tidak berubah pada waktu mengangkat jerat. Untuk melepaskan jerat dari leher, jerat harus digunting serong pada tempat yang berlawanan dari letak simpul, sehingga dapat direkonstruksikan kembali. Kedua ujung jerat harus diikat sehingga bentuknya tidak berubah. 7 Tanda-tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung pada cara mencekik:
Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher dan terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus gantung. Jejas biasanya terletak setinggi atau di bawah tulang rawan tiroid (gondok). 7
Keadaan jejas jerat pada leher sangat bervariasi. Bila jerat lunak dan lebar seperti handuk atau selendang sutra, maka jejas dapat tidak ditemukan dan otot-otot sebalah dalam dapat atau tidak ditemukan resapan darah. Tali yang tipis seperti kaus kaki nilon akan meninggalkan jejas dengan lebar kurang dari 2-3 mm. 7
Dapat tampak garukan pada leher, biasanya ditimbulkan oleh korban yang berusaha melepaskan diri dari jerat.10
Bila jerat kasar seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban melawan akan menyebabkan luka lecet di sekitar jejas jerat, tampak jejas berupa kulit yang mencekung berwarna coklat dengan perabaan kaku seperti kertas perkamen (luka lecet tekan). Pada otot-otot leher sebalah dalam tampak banyak resapan darah. 7
Tampilan kulit yang disebabkan oleh material lunak dapat berwarna kemerahan, sedangkan kawat, tali dan kabel cenderung melecetkan permukaan kulit yang memberikan tampilan kekuningan atau kecoklatan.
10
Pada bagian dalam, dapat terjadi kerusakan pada bagian dalam seperti laring dan otot; tetapi cenderung lebih sedikit dibandingkan strangulasi manual. Dapat juga terjadi fraktur tulang hyoid dan kornu tiroid; tetapi kerusakan pada kartilago laring lebih sedikit dibandingan strangkulasi manual. 10
Pada tubuh jenazah yang mati akibat jeratan dengan ali dapat ditemukan kelainan sebagai berikut8. 1. Leher a. Jejas jerat: i. Tidak sejejas jejas gantung ii. Arahnya horizontal iii. Kedalamannya sama, tetapi jika ada simpul atau tali disilangkan maka jejas jerat pada tempat tersebut lebih dalam. iv. Tinggi kedua ujung jerat tidak sama b. Lecet/memar: Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet atau memar sekitar jejas. Kelainan tersebut terjadi karena korban berusaha membuka jeratan.
2. Kepala a. Terlihat tanda-tanda asfiksia b. Kongesti dan bintik-bintik perdarahan pada daerah di atas jejas. Jika kematiannya refleks vagal maka tanda tersebut diatas tidak ditemukan. 3. Tubuh bagian dalam a. Leher bagian dalam terdapat: i. Resapan darah pada otot dan jaringan ikat ii. Fraktur dari tulang rawan (terutama tulang rawan tiroid), kecuali pada korban muda dimana tulang rawan masih sengat elastik. iii. Kongesti pada jaringan ikat, kelenjar limfe dan pangkal lidah. b. Paru-paru: i. Sering ditemukan edema paru-paru ii. Sering ditemukan buih halus pada jalan napas Cara Kematian
Peristiwa jeratan dengan menggunakan tali dapat terjadi karena: 1. Pembunuhan – ditemukan lecet atau memar di sekitar jejas 2. Bunuh diri – terdapat simpul atau memiliki bentuk jeratan yang terkunci 3. Kecelakaan 2.8.3
Cekikan ( Manual strangulation)
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan dinding saluran napas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran napas sehingga udara tidak dapat lewat.7 Pencekikan hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan, dan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikan akan lepas begitu orang yang melaukan bunuh diri mulai tidak kehilangan kesadaran.Pencekikan dapat dilakukan dengan menggunakan satu tangan, kedua tangan, atau lengan bawah. 8 Mekanisme kematian pada pencekikan:
1. Asfiksia 2. Refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsang reseptor nervus vagus pada corpus caroticus di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Refleks vagal akan menyebabkan henti jantung secara mendadak. 7
Gambar 2: Mekanisme Kematian Pencekikan10
Sebab kematian pada pencekikan8:
1. Tertutupnya jalan nafas sehingga menyebabkan anoksia 2. Tertutupnya pembuluh balik sehingga menyebabkan anoksia otak 3. Tertutupnya pembuluh nadi karotis sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah ke otak. Kelainan post mortem:
1. Leher: a. Bagian luar:
Memar yang bentuknya bulat atau lonjong akibat tekanan jari-jari orang yang melakukannya. Luka memar pada kulit dan bekas tekanan jari merupakan petunjuk berharga untuk menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik.7,8
Lecet berbentuk bulan sabit akibat kuku. 7,8
Gambar 3: Luka memar, bekas tekanan jari, luka lecet akibat penekanan
kuku jari10
Gambar 4: Luka memar dan luka lecet pada leher dan rahang bawah akibat
pencekikan dengan letak jari tinggi atau pencekikan dengan lengan10
b. Bagian dalam:
Perdarahan atau resapan darah nampak lebih jelas dari pada strangulasi jenis lain; yaitu pada jaringan ikat dibawah kulit, dibelakang kerongkongan, dasar lidah dan kelenjar tir oid. 8
Fraktur dari tulang hyoid dan tulang rawan thyroid atau cricoid sering terjadi karena besar tenaga yang dipergunakan saat pencekikan.7
Gambar 5: Perdarahan mukosa laring 10
Gambar 6. Fraktur Os Hyoid dan Fraktur
10
2. Paru-paru: Edema paru terjadi jika anoksia berlangsung lama. Bila penekanan pada leher terjadi secara intermitten maka pada mulut dan lubang hidung akan terlihat, adanya buih halus. 8 2.9
Sufokasi
Sufokasi adalah kematian yang disebabkan oleh kurangnya konsentrasi oksigen pada atmosfer yang direspirasi.misalnya di tempat tahanan yang tidak ada ventilasinya atau di tempat penambangan yang mengalami keruntuhan. Kematian dapat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang ytang berada didalamnya8,10 Sebab kematian pada sufokasi biasanya merupakan kombinasi dari anoksia, keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga luka-luka akibat runtuhnya tempat penampangan itu. Kelainan Post-Mortem dapat dilihat adanya tanda-tanda umum asfiksia disertai tanda-tanda lain, seperti luka.8 2.10
Pembekapan
Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang menghambat pemasukan udara ke paru-paru.Kurangnya oksigen di atmosfir contohnya seperti dekompresi udara pada kabin pesawat, Obstruksi mekanik pernapasan atas dapat berujung mati lemas, seperti saat kantong plastik digunakan untuk bunuh diri ataupun karena kecelakaan. Pembekapan menimbulkan kematian akibat asfiksia.7 Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa: -
Bunuh diri ( suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur, bantal, pakainan, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut. 7,8
-
Kecelakaan (accidental smothering ). Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut terutup bantal dan selimut. Anak-anak dan dewasa yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau kantung plastic. Orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsy yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung dan sebagainya. 7,8
-
Pembunuhan (homicidal smothering ). Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras. 7,8 Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar
jenazah mungkin tidak dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan. 7,8 -
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat korban melawan. Luka memar atau lecet pada bagian/permukaan dalam bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi,gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh korban. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pemeriksaan luar maupun pada pembedahan jenazah seperti luka pada mulut bagian dalam (memar pada gusi atau laserasi bibir bagian dalam), pada diseksi jaringan lunak wajah dapat ditemukan memar subkutan disekitar mulut dan hidung. Objek yang tertinggal pada alat yang digunakan untuk pembekapan dapat digunakan seperti saliva yang diidentifikasi pada bantal yang digunakan untuk membekap. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah darah atau epitel kulit pelaku.
2.11
Asfiksia Traumatik
Asfiksia traumatik adalah terhalangnya udara untuk masuk dan keluar dari paru-paru akibat terhentinya gerakan napas yang disebabkan adanya suatu tekanan dari luar pada dada korban.7 Cara kematian pada kasus asfiksia traumatik: 1. Kecelakaan (paling sering), contohnya seperti terjepit antara lantai dengan elevator, antara dua kendaraan, atau antara dinding dengan kendaraan yang mundur, tertimbun reruntuhan benda atau bangunan, pasir, batubara atau berdesakan di keramaian. 2. Pembunuhan (burking / knee on belly position). Pada kasus asfiksia traumatik gambaran post mortem menunjukkan tanda-tanda mati lemas dan adanya tanda kekerasan pada dada atau abdomen. Akan didapatkan gambaran
sianosis dan pembendungan terutama pada bagian wajah, menyebabkan wajah membengkak dan penuh dengan petekie, edema konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva. Petekie terdapat pula pada leher, bokong dan kaki. 7 2.12
Tenggelam (Drowning )
Tenggelam merupakan salah satu kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan oleh masukknya cairan ke dalam saluran pernapasan, yang mengakibatkan anoksia. 7 Seluruh tubuh tidak masuk ke dalam air juga dapat disebut sebagai peristiwa tenggelam. 8 Intinya, di mana saluran pernapasan, seperti hidung dan mulut berada di bawah permukaan air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa, maka sudah dapat dikategorikan sebagai peristiwa tenggelam.7,8 Seringkali terdapat jenazah yang mengapung dalam air, tetapi ini tidak berarti tenggelam, namun dapat merupakan suatu kecelakaan atau bunuh diri ataupun suatu tindakan pidana (pembunuhan). Cara-cara kematian pada korban tenggelam dapat dilihat pada Tabel 1. 10 Oleh sebab itu, peristiwa tenggelam tidak harus terjadi di air laut, air tawar, kolam, sungai, selokan tetapi dapat juga terjadi di dalam wastafel, atau ember yang berisi air.8 Tabel 2. Cara Kematian pada Korban Tenggelam10 Cara Kematian pada Korban Tenggelam
Kematian wajar sebelum masuk ke dalam air (contoh: infark miokard)
Kematian wajar ketika di dalam air, air masuk secara tidak sengaja
Kematian terjadi akibat hipotermia di dalam air
Kematian tidak wajar sebelum masuk ke dalam air (contoh: kekerasan)
Kematian akibat kekerasan saat di dalam air (contoh: tertabrak kapal)
Kematian akibat tenggelam yang sebenarnya, akibat aspirasi cairan di dalam paru-paru
2.12.1 Klasifikasi Tenggelam 2.12.1.1 Klasifikasi berdasarkan penampakan paru pada saat otopsi 7
Dari definisi tenggelam tersebut, maka tenggelam dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: 1) wet drowning : cairan masuk ke dalam saluran pernapasan, setelah korban mengalami
tenggelam. Aspirasi 1-3 ml/kgBB air akan menimbulkan gangguan dalam pertukaran gas secara signifikan. Aspirasi air sampai ke paru menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah paru. Air segar bergerak dengan cepat ke dalam membra kapiler alveoli. Surfaktan juga menjadi rusak sehingga menyebabkan instabilitas alveoli, ateletaksis dan kemampuan paru untuk mengembang. 2) dry drowning: tidak terdapat cairan yang masuk ke dalam pernapasan, namun
terdapat penyumbatan saluran pernapasan akibat spasme laring ataupun karena refleks vagal tipe ini sangat banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menggunakan obat-obatan seperti golongan hipnotik sedative atau alkohol, di mana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri saat tenggelam. Kematian terjadi cepat; 3) secondary drowning : korban meninggal akibat suatu penyakit komplikasi, kemudian
jatuh dan tenggelam; 4) immersion syndrome: korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin
akibat refleks vagal. 2.13.2 Cara Kematian8 Dari tabel di atas, maka peristiwa kematian akibat tenggelam dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) Kecelakaan: biasanya terjadi akibat unsur ketidaksengajaan, di mana seseorang
mengalami kemabukan atau serangan epilepsy. 2) Bunuh diri: peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke dalam air. Kadangkala
pelaku tersebut akan mengikat dirinya dengan pemberat sehingga tubuhnya dapat tenggelam dengan mudah. 3) Pembunuhan: merupakan tindakan kesengajaan dan termasuk dalam tindak pidana,
di mana cara pembunuhan dapat beranekaragam, misalnya melemparkan korban ke laut atau memasukkan kepalanya ke dalam bak berisi air. Dalam otopsi, sering mengalami kesulitan untuk membedakan cara kematiannya, karena tanda-tanda yang didapatkan tidak khas.
2.12.3 Sebab Kematian Secara umum, peristiwa tenggelam dapat disebabkan oleh: 1) Asfiksia akibat spasme laring: kematian akibat spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang seklai untuk terjadi. Spasme laring terjadi akibat adanya rangsangan air yang masuk ke dalam laring. Spasme laring menyebabkan penutupan laring, sehingga air tidak masuk ke dalam saluran pernapasan, yang akhirnya juga mengganggu fungsi pernapasan dengan menghambat masuk keluar udara. Sehingga dalam pemeriksaan post-mortem tidak menemukan air atau benda-benda air dalam paru-paru.7,8 2) Asfiksia karena gaggi ng dan choking: kematian ini akibat terdapat air yang menutupi bagian saluran pernapasan atas, sehingga fungsi pernapasan menjadi terhambat. 3) Refleks vagal: kematian akibat refleks vagal dapat terjadi sangat cepat, di mana rangsangan vagal ini dapat disebabkan oleh suhu dingin dari air. Stimulasi dari rangsangan vagal menyebabkan pengaktifan sistem saraf parasimpatetis, sehingga menimbulkan bradikardia dan bradipnea. Suhu dingin dari air dapat menstimulasi ujung persarafan pada kulit ataupun mukosa, sehingga menimbulkan stimulasi pada rangsangan vagal. 4) Fibrilasi ventrikel: fibrilasi ventrikel yang terjadi pada peristiwa tenggelam memiliki hubungan dengan jenis air. Pada air tawar, memiliki konsentrasi yang rendah. Jika seseorang tenggelam, dan air tawar yang masuk ke dalam paru akan masuk ke dalam pembuluh darah menyebabkan terjadinya hemodilusi. Perbedaan konsentrasi antara plasma darah dan komposisi sel, maka air cenderung masuk ke dalam sel darah merah. Sel darah merah akan menjadi bengkak dan akhirnya menyebabkan terjadinya hemolysis. Ketika terjadi hemolysis, maka komponen dalam sel darah merah akan keluar. Di dalam eritrosit mengandung sejumlah ion kalium, oleh sebab itu, kalium akan meningkat di dalam plasma, sehingga menyebabkan terjadinya hyperkalemia. Hiperkalemia menimbulkan terjadinya fibrilasi ventrikel. 5) Edema pulmoner: edema pulmonal terjadi ketika tenggelam pada air asin. Air asin memiliki konsentrasi yang sangat tinggi. Maka ketika air asin yang masuk ke dalam paru-paru, konsentrasi yang tinggi akan menarik cairan dari plasma untuk masuk ke dalam paru-paru, kemudian secara langsung, juga akan menarik cairan dari dalam sel ke paru-paru, sehingga menimbulkan terjadinya edema pulmonal.
2.12.4 Pemeriksaan Post-Mortem Pemeriksaan jenazah akibat tenggelam memerlukan pemeriksaan yang rinci dan teliti, karena terdapat berbagai cara kematian yang terjadi pada jenazah yang tenggelam. Jenazah yang didapatkan dari air belum tentu merupakan kasus tenggelam yang sesungguhnya. Namun, kemungkinan korban tersebut telah mati yang kemudian di buang ke dalam air, ataupun korban tersebut masih hidup saat jatuh dalam air, tetapi mengalami kecelakaan sehingga meninggal. Oleh sebab itu, pemeriksaan pada jenazah yang tenggelam perlu lebih komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai cara kematian yang dapat terjadi. Semakin segar jenazah yang ditemukan, maka semakin mudah untuk menemukan tandatanda cara kematian yang lebih pasti, demikian juga se baliknya.7 Pemeriksaan yang penting untuk dilakukan pada jenazah yang tenggelam adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi korban
Pakaian dan benda-benda milik korban
Warna dan distribusi rambut dan identitas lain
Kelainan atau deformitas dan jaringan parut
Sidik jari
Pemeriksaan gigi
Teknik identifikasi lain
2) Menentukan apakah korban masih hidup sebelum tenggelam.
Metode yang memberikan hasil yang memuaskan adalah pemeriksaan diatom.
Kadar elektrolit magnesium
Benda asing dalam paru dan saluran napas
Kesamaan dalam pemeriksaan antara air di dalam tubuh dan di tempat kejadian
3) Menentukan penyebab kematian
Untuk menentukan penyebab kematian, maka mayat yang masih segar lebih muda untuk ditentukan dibandingkan dengan mayat yang sudah membusuk
4) Faktor-faktor yang berperan dalam proses kematian
Kekerasan
Alkohol atau obat-obatan
5) Tempat korban pertama kali tenggelam 6) Mencari adanya komplikasi yang mempercepat kematian
Pemeriksaan Luar J enazah Perubahan post-mortem pada korban tenggelam dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu jenis airnya, apakah air tersebut asin atau tawar; keadaan tempat kejadian, apakah air tersebut pasang atau surut; adanya predator; suhu air; pakaian yang digunakan serta permukaan dari dasar air. Seperti telah dikatakan di atas, bahwa semakin lama jenazah berada dalam air, maka perubahan yang terjadi semakin mempersulit pemeriksa. 7,8,10 1) Mayat dalam keadaan basah berlumuran pasir dan benda-benda asing lainnya yang terdapat di dalam air laut dan kadang-kadang bercampur lumpur 2) Busa halus pada hidung dan mulut, kadang disertai dengan darah. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau bendungan 3) Kutis anserinus pada ekstremitas akibat kontraksi otot erector pilli yang dapat terjadi karena rangsangan dinginnya air. Gambaran seperti kutis anserine dapat juga terjadi karena rigor mortis pada otot tersebut. Oleh sebab itu, tanda tersebut tidak menjadi tanda diagnostic yang signifikan. 4) Washer woman hand , maserasi yang terjadi pada kulit, khususnya pada kulit yang mengandung banyak keratin, seperti pada telapak tangan dan kaki. Apabila pada air yang hangat, maka maserasi pada kulit akan terjadi lebih cepat, biasanya dalam beberapa jam. Ketika pada air yang dingin, maka maserasi kulit akan tertunda, biasanya mulai tampak setelah 4-5 jam. Awalnya kulit akan mulai mengerut, pucat kemudian akan terlepas seperti membukan sarung tangan. 5) Cadaveric spasm, bisa ditemukan atau tidak. Sangat tergantung pada kejadian sebelum meninggal. 6) Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air 7) Hipostasis. Korban yang tenggelam pada saat ditemukan cenderung dengan posisi kepala, tangan dan kaki lebih ke bawah atau dalam, sedangkan punggung atau bokong merupakan posisi yang paling superfisial. Dengan demikian, maka hypostasis akan terdistribusi di bagian kepala, leher, tangan dan kaki. Pembusukan juga akan lebih mulai terjadi pada bagian tersebut.
Pemeriksaan Dalam Jenazah7,8,10 1) Ketika busa halus juga ditemukan dalam trakea, bronkus, bronkiolus dan termiminal alveoli, maka merupakan tanda yang penting untuk menegakkan diagnosis tenggelam.
Namun, apabila tanda tersebut tidak ditemukan belum berarti tidak tenggelam, karena dry drowning , tidak akan menemukan tanda tersebut. 2) Overinflation, ketika terjadi sumbatan dibagian saluran pernapasan lebih tinggi, maka akan mengganggu fungsi respirasi, sehingga udara tidak dapat masuk dan keluar. Udara yang tidak keluar akan terhambat dalam paru-paru. Akhirnya paru-paru membesar seperti balon, lebih berat, bahkan sampai menutupi kandung jantung. Jika keadaan ini terutama terjadi pada kasus tenggelam di laut. 3) Petekiae sedikit sekali karena kapiler terjepit di antara septum interalveolar. Kadang bisa temukan bercak-bercak perdarahan yang disebut sebagai bercak Paltauf, yang terjadi akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin) 4) Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan. 5) Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur, dan bagian dari tempat kejadian. 2.12.5 Estimasi Waktu Kematian Dari pemeriksaan luar, maka secara kasar dapat ditentukan dari pemeriksaan luar. Faktor yang dapat mempengaruhi adalah suhu dari air, adanya hewan predator, perubahan iklim di mana sangat mempengaruhi terhadap proses dekomposisi. 10 Jika tubuh berada pada air dengan suhu rata-rata udara, maka interval post-mortem: 1. Jika tidak menemukan pengerutan pada jari, menunjukkan kematian terjadi kurang dari beberapa jam. 2. Pengerutan pada jari, telapak tangan dan kaki, secara progresif menunjukkan kematian terjadi antara setengah hari sampai tiga hari. 3. Dekomposisi awal, sering terjadi pada bagian kepada dan leher, kemudian abdomen dan paha, dengan waktu kematian 4 – 10 hari. 4. Bengkak yang terjadi pada wajah dan abdomen dengan adanya vena “marbling” dan pelepasan epidermis dari tangan dan kaki, serta slippage pada scalp, menunjukkan 2 – 4 minggu 5. Pelepasan kulit secara menyeluruh, hilangnya otot dengan tampak skeletal, serta likuefaksi parsial, menunjukkan 1 – 2 bulan.
2.12.6 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang penting dilakukan untuk mencari tahu apakah korban tersebut telah meninggal atau belum meninggal ketika berada pada air. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan akhirnya dapat memberikan dukungan yang lebih kuat untuk menjelaskan suatu tindakan pidana ataupun bukan. 8 Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Tes Asal Air Tujuan dari tes ini antara lain : -
Membedakan apakah air dalam paru-paru berasal dari luar atau dari proses edema
-
Mencocokan air dalam paru-paru dengan air di lokasi tempat tenggelam yaitu dengan cara meneliti spesies dari ganggang diatom
Tes ini dilakukan dengan cara melihat air yang berasal dari paru-paru atau lambung dibawah mikroskop. Dapat juga dilakukan pemeriksaan destruksi pa ru. 2) Tes Kimia Darah Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hemokonsentrasi atau hemodilusi pada masing-masing sisi dari jantung. Tes ini dianggap reliabel jika dilakukan dalam waktu 24 jam setelah kematian. Cara pemeriksaan: -
Memeriksa gaya berat spesifik dari serum masing-masing sisi
-
Memeriksa kadar elektrolit dari serum masing-masing sisi, antara lain kadar sodium atau klorida
Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan. Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya. Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat menyokong diagnosis.10 3) Tes Diatom Diatome adalah alga atau ganggang bersel satu dengan dinding terdiri dari silikat (SiO2) yang tahan panas dan asam kuat. Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatome akan masuk ke dalam saluran pernafasan atau pencernaan kemudian diatome akan masuk kedalam aliran darah melalui kerusakan dinding
kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar keseluruh jaringan. Diatom dapat ditemukan dalam paru, ginjal, hepar, dan sum-sum tulang. Metode ini baik untuk menentukan apakah orang masih hidup pada waktu tenggelam. 10
Tes destruksi (digesti asam) paru Cara : -
Ambil jaringan perifer paru sebanyak 100 gram, masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat pekat sampai terbentuk cairan yang jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge. 7
-
Sedimen yang terjadi ditambah dengan akuades, pusing kembali dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau 10-20 per satu sediaan; atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu. 7
Pemeriksaan getah paru Permukaan paru disiram dengan air bersih, iris bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan lihat dengan mikroskop. 4) Pemeriksaan Histopatologis10 Investigasi histologis merupakan salah satu pemeriksaan utama dalam mendemonstrasikan perubahan pulmoner pada kasus tenggelam, seperti edema, kongesti, perdarahan, dan emfisema aquosum. Perubahan pulmoner ini bersifat tidak spesifik dan penilitian – penelitian sebelumnya mengatakan bahwa distribusi yang heterogen pada paru – paru menyebabkan kesulitan dalam menemukan bukti kuat pada kasus tenggelam. Surfactant protein A (SP-A) merupakan protein surfaktan terbanyak, yang telah digunakan sebagai marker diagnostik secara klinis dalam berbagai situasi pada trauma akut paru – paru. Kongesti, perdarahan, edema intra-alveolar dan interstisial, emfisema dan atelektasis lebih sering terdapat pada kematian oleh asfiksia dibanding pada kematian oleh sebab lain. Pada asfiksia, sering terdapat edema, kongesti, dan perdarahan pada semua lobus paru – paru. Pada kasus tenggelam, surfaktan pulmoner dilepaskan dan didistribusikan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan penyebab kematian lain. Pelepasan surfaktan disebabkan oleh pernapasan yang berat dan dipaksakan oleh
karena penyimpangan fisik daripada sel alveoli tipe II pada keadaan volume paru yang besar yang merupakan stimulus utama pada pelepasan surfaktan. Pada
berbagai
penelitian
yang
melakukan
pemeriksaan
pewarnaan
imunohistokimia SP-A pada kasus asfiksia, didapatkan jumlah agregat yang masif daripada pewarnaan granular SP-A yang positif terutama agregat intra-alveolar. Derajat keparahan kongesti pada lobus atas dan bawah paru pada kasus tenggelam dan asfiksia adalah sama, sedangkan penyebab kematian lain menunjukkan kongesti lobus bawah yang lebih berat. Sedangkan pewarnaan imunohistokimia SP-A menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara tenggelam dan asfiksia, di mana imunopositivitas SP-A pada kasus tenggelam lebih tinggi daripada kasus asfiksia lainnya.
BAB III KESIMPULAN Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan karbon dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian. Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning). Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase, yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalanhan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda=tanda asfiksia akan lbih jelas. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi. Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring terutama yang berhubungan dengan kekerasan.