REFERAT Manifestasi Nyeri pada Depresi
Irvania Limarus – Limarus – 112017089 112017089
Pembimbing Pembimbing : dr.Andri,SpKJ,FAPM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA PANTI SOSIAL BINA LARAS HARAPAN SENTOSA III FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 09 April 2018 – 12 12 Mei 2018
BAB I PENDAHULUAN
Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur, atau nafsu makan dan kurangnya konsentrasi. 1 Episode depresi berat harus ada setidaknya 2 minggu. Gangguan depresif berat adalah gangguan yang lazim ditemukan dengan prevalensi seumur hidup sekitar 25%. Insiden gangguan depresif berat 10% pada pasien yang berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di tempat rawat inap.2 Gejalagejala depresi terdiri dari gangguan emosi, gangguan kognitif, keluhan somatik, gangguan psikomotor, dan gangguan gangguan vegetatif. 3 Menurut data WHO (World ( World Health Organzation) Organzation) diperkirakan 350 juta orang menderita depresi.1 Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius, penyakit ini mengenai 20% wanita, dan 12% pria pada suatu waktu dalam kehidupan. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan keempat penyakit didunia pada tahun 2000. Pada tahun 2020, depresi diperkirakan menempati urutan kedua penyakit didunia. Sekarang depresi merupakan penyakit kedua yang terjadi pada pria dan wanita umur 15-44 tahun. 3,4 Gangguan depresif merupakan gangguan yang dapat me nganggu kehidupan dan dapat diderita tanpa memandang usia, status sosial, latar belakang maupun jenis kelamin. 4 Ada beberapa faktor penyebab depresi yaitu mulai dari dar i faktor genetik sampai non-genetik dengan faktor-faktor risiko seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, geografis, kepribadian, stresor sosial, dukungan sosial dan pekerjaan. 3 Depresi dapat menyebabkan gangguan fungsi seseorang dalam kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan, maupun sekolah. 1 Ansietas, penyalahgunaan alkohol, dan keluhan somatik sering mempersulit terapi depresi. Banyak pasien tidak menyadari bahwa mengalami depresi, sehingga datang dengan keluhan somatik. Studi menunjukkan bahwa pasien depresi lebih mungkin untuk mengeluhkan jumlah dan tingkat keparahan gejala fisik yang lebih besar. 5 Tujuan penulis membahas ini karena ingin memperdalam mengenai manifestasi keluhan nyeri pada pasien depresi khususnya pada kasus nyeri kepala, nyeri lambung, nyeri otot, dan nyeri punggung bawah, penulis berharap melalui tulisan ini dapat menjadi pengetahuan bahwa gangguan depresi sebagai penyakit yang serius dapat menurunkan kualitas pasien dan meningkatkan angka kesakitan di populasi umum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Depresi Definisi
Depresi adalah suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimis, dan kesepian. Keadaan ini sering disebutkan dengan istilah kesedihan, murung, dan kesengsaraan dalam ketentuan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Disorder (DSM IV). IV).6 Epidemiologi
Gangguan depresif adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling sering terjadi. Prevalensi gangguan depresif pada populasi dunia adalah 3-8% dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun. 4 Insiden gangguan depresif berat 10% pada pasien yang berobat di fasilias kesehatan primer dan 15% di tempat rawat inap. Dari suatu observasi yang hampir universal, prevalensi gangguan depresif berat dua kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki.2 Alasan dalam penelitian di negara barat dikatakan karena masalah hormonal, dampak melahirkan, stressor dan pola perilaku yang dipelajari. Gangguan depresif dapat terjadi pada semua umur, dengan riwayat keluarga mengalami gangguan depresif, biasanya dimulai pada usia 15 dan 30 tahun. Usia paling awal dikatakan 5-6 tahun sampai 50 tahun dengan rerata pada usia 30 tahun. 4 Usia rerata awitan gangguan depresif berat sekitar 40 tahun, dengan 50% pasien memiliki awitan antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga dimulai pada masa kanak-kanak atau usia t ua.2 Khusus gejala depresi pada masa remaja merupakan prediksi yang kuat untuk timbulnya depresi pada masa dewasa kemudian hari. Jumlah penderita anak laki-laki dan perempuan hampir sama. Pada remaja, prevalensi titik gangguan depresi berat diperkirakan 2.9-4.7%, gangguan distimik 1.6% - 8.0%, dan gangguan bipolar 1%. Kejadian pada jenis kelamin, tidak adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada prepubertas, tapi perempuan lebih sering dibanding laki-laki pada remaja. Rasio remaja perempuan dibandingkan laki-laki adalah 2:1. Kejadian gangguan depresi pada remaja bervariasi tergantung dari kelompok umur. kejadian depresi makin meningkat dengan bertambahnya umur anak. 6
Gangguan depresif berat paling sering terjadi pada orang tanpa hubungan antarpersonal yang dekat atau pada orang yang mengalami perceraian atau perpisahan. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara status sosioekonomi dan gangguan depresif berat. Depresi lebih lazim di daerah pendesaan daripada daerah perkotaan. 2 Etiologi dan Patofisiologi
Depresi merupakan kelompok penyakit gangguan mood dengan dengan dasar yang sama. Beberapa faktor yang berpengaruh: 2,4,6 1. Faktor Genetik a. Kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Gangguan mood cenderung cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orang tuanya menderita depresi, maka anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila kedua orang tuanya menderita depresi maka risiko untuk mendapat gangguan mood sebelum usia 18 tahun menjadi empat kali lipat. Studi keluarga berulang kali menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban (orang didalam keluarga yang pertama kali diidentifikasi sakit) 2-10 kali cenderung mengalami gangguan depresif berat. b. Studi anak kembar, pada kembar monozigot sekitar 50%, sedangkan pada kembar dizigot sebesar 10-25% untuk gangguan depresif berat. c. Studi adopsi, bahwa anak biologis dari orang tua yang mengalami gangguan mood , bahkan jika mereka diasuh di dalam keluarga adopsi yang tidak memiliki gangguan ini. 2. Faktor Biologis a. Regulator sistem monoamine-neurotransmitter, dimana berhubungan juga termasuk dengan norepinefrin dan serotonin. Pada norepinefrin adanya bukti k eterlibatan eterlibatan reseptor prasinaps β2-adrenergik β2-adrenergik pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah norepinefrin. Serotonin pun ikut berperan dalam patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di dalam cairan serebrospinal serta konsentrasi tempat uptake serotonin uptake serotonin yang rendah pada trombosit.
b. Regulator sistem adrenergic-asetilkolin, dimana dopamin juga memiliki peranan, perubahan keseimbangan adrenergic-asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya kolinergik sementara dopamin secara fungsional menurun. Aktivitas dopamin berkurang pada depresi dan meningkat me ningkat pada mania. 3. Faktor Psikososial a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan orang tua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan orang tua, perceraian, fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam terjadinya gangguan depresi pada anak. Ibu yang menderita depresi lebih besar pengaruhnya
terhadap
kemungkinan
gangguan
psikopatologi
anak
dibandingkan ayah yang mengalami depresi. b. Stres yang menyertai episode pertama mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologi otak. Perubahan yang bertahan lama l ama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem pemberian sinyal intraneuron, perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan. c. Orang yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran sosial
juga
menerangkan
kepada
kita
mengapa
masalah
psikologik
kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif. d. Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang khas merupakan predisposisi depresi. Namun orang dengan ciri kepribadian tertentu seperti obsesif kompulsif, histrionik, dan bonderline bonderline mungkin memiliki risiko lebih besar untuk mengalami depresif dibandingkan orang dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid
Diagnosis
Gangguan depresi merupakan gangguan mood depresi yang berlangsung selama sekurangkurangnya dua minggu. Untuk menegakkan diagnosis memerlukan gejala utama seperti afek depresif, kehilangan minat dan kegembiran, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas, dengan simptom tambahan seperti; konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang. 6-8 Klasifikasi
Klasifikasi depresi berdasarkan DSM V:2,4,8 1. Episode Depresif Ringan a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama (afek depresif, kehilangan minat dan kegembiran, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas) b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya (konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang) c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu e. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya. 2. Episode Depresif Sedang a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama (afek depresif, kehilangan minat dan kegembiran, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas) b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 dan sebaiknya 4 (konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang)
c. Lamanya Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekurang-kurangnya 2 minggu minggu d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga 3. Episode Depresif Berat a. Semua 3 gejala utama depresif harus ada (afek depresif, kehilangan minat dan kegembiran, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas) b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi, atau retardasi psokomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan d. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau urusan rumah tangga, kecuali pada pada taraf yang sangat terbatas. Tanda dan Gejala Klinis
Dengan semakin meningkatnya tekanan kehidupan semakin banyak orang-orang yang menunjukkan gejala depresi, salah satu contohnya adalah maraknya kasus bunuh diri di media massa.3 Sekitar duapertiga pasien depresi berpikir untuk melakukan bunuh diri, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang baru-baru ini dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri atau memiliki gagasan bunuh diri memiliki risiko seumur hidup yang lebih besar untuk berhasil melakukan bunuh diri daripada mereka yang belum pernah dirawat dirumah sakit.2 Beberapa pasien depresi tidak menyadari depresi yang dialami dan tidak mengeluhkan adanya gangguan mood , beberapa orang merasakan perasaan sedih dan murung dalam jangka waktu cukup lama dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tanda gangguan depresif meliputi: (a) pola tidur yang abnormal atau sering terbangun termasuk diselingi kegelisahan dan mimpi buruk, (b) sulit berkonsentrasi pada setiap kegiatan sehari-hari, (c) selalu kuatir,
mudah tersinggung dan cemas, (d) aktivitas yang tadinya disenangi menjadi makin lama makin dihentikan (e) bangun tidur pagi rasanya malas. 4 Gangguan depresif mempengaruhi pola pikir, perasaan dan perilaku seseorang serta kesehatan fisiknya, gangguan gangguan depresif tidak mempunyai simptom fisik yang sama dan pasti pada satu orang dan bervariasi dari satu orang ke orang lain. Gejala dapat berupa: (a) perubahan cara berpikir; terganggunya konsentrasi dan pengambilan keputusan membuat seseorang sulit mempertahankan memori jangka pendek, dan terkesan sebagai sering lupa. Pikiran negatif sering menghinggapi pikiran, menjadi pesimis, percaya diri rendah, beberapa merusak diri sendiri sampai melakukan tindakan bunuh diri atau membunuh diri (b) perubahan perasaan, merasa sedih, murung tanpa sebab se bab jelas, motivasi menurun dan menjadi tak peduli dengan apapun. Perasaan mudah tersinggung, mudah marah. Pada keadaan ekstrim dapat menjadi perasaan tidak berdaya dan putus asa (c) perubahan perilaku merupakan cerminan dari emosi negatif, menjadi sulit bergaul, pasien depresi menunjukkan penarikan diri dari keluarga, teman, dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi mereka. 4 Hampir semua pasien depresi 97% mengeluh berkurangnya energi, sulit menyelesaikan tugas, terganggu di sekolah dan tempat kerja, serta memiliki motivasi yang menurun untuk menangani proyek baru. 2 Seringkali juga sering menangis berlebihan tanpa sebab jelas, seringkali juga mengeluh tentang semua hal, marah dan mengamuk, minat seks sering menurun sampai hilang, tak lagi mengurus diri sendiri, termasuk mengurus hal dasar seperti mandi, meninggalkan tanggung jawab dan kewajiban baik pekerjaan maupun pribadi. 4 Sekitar 80% mengeluh sulit tidur, terutama terbangun saat dini hari, serta terbangun berulang di malam hari, saat terbangun itu pasien merenungkan permasalahannya. Banyak pasien mengalami penurunan nafsu makan dan kenaikkan berat badan dan tidur lebih lama digolongkan memiliki ciri atipikal. 2 (d) Perubahan kesehatan fisik, dengan emosi negatif merasa dirinya tidak sehat fisik selama gangguan depresif. Kelelahan kronis menyebabkan lebih senang di tempat tidur dan tidah melakukan apapun, mungkin tidur banyak atau tidak dapat tidur. Gelisah dan mondar-mandir sering menyertai. Keluhan yang banyak ditampilkan adalah sakit, nyeri bagian atau seluruh tubuh, kebanyakan gejala dikarenakan mengalami stres yang besar, kekuatiran, dan kecemasan terkait dengan gangguan depresifnya.4 Studi menunjukkan bahwa pasien depresi lebih mungkin untuk mengeluhkan jumlah dan tingkat keparahan gejala fisik yang lebih besar. 5 Studi epidemiologis yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa gejala somatisasi sebagai manifestasi dari depresi. 50%80% pasien depresi mengeluhkan gejala fisik yang tidak spesifik dan menghindari keluhan
yang berkaitan dengan perasaan.9 Keluhan fisik yang akan dibahas adalah keluhan nyeri pada kepala, lambung, dan otot. Gangguan depresi dapat terjadi pada siapa saja dengan risiko yang lebih tinggi pada penderita penyakit fisik yaitu sekitar 15-60%. 10 Nyeri kronis dan depresi sering terjadi secara komorbid. Timbulnya depresi pada pasien dengan nyeri kronis dikaitkan dengan penurunan fungsi, respon pengobatan yang lebih buruk, dan peningkatan biaya perawatan.11 Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan yang nyata atau potensial suatu jaringan. Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dar i dua komponen utama, yaitu sensorik dan emosional.11 Bila depresi sudah terjadi maka akan memperberat nyeri yang sudah ada karena mengurangi kemampuan untuk mengatasi keadaan nyeri. Penelitian telah membandingkan orang dengan nyeri kronis dan depresi dengan yang hanya menderita nyeri kronis. Mereka dengan nyeri kronis dan depresi maka akan; mengeluhkan nyeri yang lebih intens, lebih sedikit kontrol atas kehidupannya, dan lebih banyak menggunakan strategi coping yang kurang sehat. Karena nyeri kronis dan depresi saling terjalin, maka depresi dan nyeri kronis sering diterapi secara bersama.11 Hubungan Depresi dan Nyeri
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa jalur umum antara rasa nyeri dan depresi dapat dikaitkan dengan dua neurotransmiter serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE). Transmisi nyeri terjadi melalui jalur ascending (excitatory) dan descending (inhibitory) melibatkan NE dan 5-HT. Neuron serotoninergik berasal dari batang otak dan diproyeksikan pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), termasuk proyeksi desending ke sumsum tulang belakang yang mengakibatkan supresi input sensorik, juga diproyeksikan ke daerah otak termasuk korteks frontal (mediasi mood), hipotalamus (mediasi nafsu makan dan tidur), dan amigdala (memediasi rasa cemas dan respon rasa takut). Stres kronis dapat mengakibatkan deplesi serotonin pusat. Penurunan pelepasan serotonin presinaptik dan peningkatan kompensasi up-regulation 5-HT yaitu serotonin neuron postsinaptik telah ditemukan pada pasien dengan depresi. Penelitian terbatas juga menunjukkan bahwa nyeri dapat meningkatkan turnover serotonin.11,12 Sehubungan dengan depresi, bukti yang telah terkumpul mendukung gagasan bahwa 5-HT dan NE mengendalikan banyak aspek fisiologis tubuh dan memainkan peran penting dalam
patofisiologi. Gangguan neurotransmiter ini diyakini memiliki efek pada rasa bahagia, motivasi dan bertanggung jawab secara keseluruhan untuk banyak gejala depresi. Serotonin juga memiliki peran dalam pengolahan rasa nyeri dan persepsi dalam sistem saraf perifer. Jalur serotonergik dan norepinergik dari batang otak ascending ke otak dan memediasi berbagai fungsi emosional dan fisik, juga descending ke bawah ke sumsum tulang belakang yang akan menekan input nociseptive. Dengan demikian disregulasi terhadap 5-HT dan NE pada sumsum tulang belakang mungkin sebagian memediasi peningkatan respon nyeri pada individu yang mengalami depresi dengan memodulasi sensasi nyeri yang ascending dari sumsum tulang belakang. 11 Penurunan serotonin sentral mungkin juga menyebabkan peningkatan ascending transmisi nociseptive, terkait dengan radang perifer atau cedera neuropatik. Mekanisme patologis yang serupa juga dapat menjelaskan penurunan tingkat noradrenalin batang otak dan sumsum tulang belakang yang mengakibatkan ke peningkatan transmisi nociceptive. Down-regulation dan kehilangan umpan balik negatif pada reseptor glukokortikoid pada area seperti sistem limbik juga mungkin memiliki konsekuensi yang merugikan pada penilaian kognitif terhadap respon nyeri. Dengan demikian ambang nyeri dapat menurun pada pasien yang menderita depresi yang merupakan manifestasi sebagai bagian dari patologi depresi. 11 Pasien yang datang dengan gejala fisik yang tinggi mungkin lebih mungkin mengalami gangguan mood daripada daripada pasien yang hanya mengalami sedikit gejala fisik. Pada pasien yang melaporkan 0 atau 1 gejala fisik, 2% ditemukan memiliki mood gangguan, tetapi di antara pasien yang melaporkan 9 atau lebih gejala fisik, 60% ditemukan memiliki gangguan mood . Secara keseluruhan, kehadiran fisik apa pun gejala sekitar dua kali lipat kemungkinan bahwa pasien mengalami gangguan mood . Secara umum, semakin buruk gejala fisik yang menyakitkan, lebih parah depresi. Gejala fisik telah terjadi ditemukan untuk meningkatkan durasi suasana hati yang tertekan. Di sebuah studi tentang nyeri kronis sebagai prediktor morbiditas depresi dalam populasi umum. 13 Manifestasi Nyeri 1) Sakit Kepala
Nyeri kepala umumnya merupakan gejala umum yang pernah dialami hampir semua orang, setidak-tidaknya secara episode selama hidupnya. Nyeri kepala adalah semua nyeri yang berlokasi di kepala. Nyeri N yeri kepala diklasifikasikan diklasi fikasikan menjadi (a) nyeri kepala primer (migraine, tension type headache, nyeri headache, nyeri kepala kluster dan hemikrani paroksismal kronik, nyeri kepala
lain yang tidak berhubungan dengan lesi struktural) (b) nyeri kepala sekunder (nyeri kepala karena trauma kepala, nyeri kepala karena kelainan vaskular, nyeri kepala karena kelainan intrakranial nonvaskuler, nyeri kepala karena penggunaan zat, nyeri kepala karena infeksi, nyeri kepala karena kelainan metabolik, nyeri kepala atau nyeri wajah karena kelainan wajah, nyeri kepala karena kelainan saraf).14 Gangguan sakit kepala sangat umum. Dalam Global Burden of Disease Study Study 2010 (GBD2010), sakit kepala tipe-tegang (TTH) dan migrain ditemukan menjadi gangguan kedua dan ketiga yang paling umum di dunia. Selain itu, kelompok gangguan yang ditandai dengan sakit kepala berulang pada ≥15 hari / bulan mempengaruhi 1,7 -4% dari populasi orang dewasa di dunia, banyak dari mereka mengalami sakit kepala berlebihan ( MOH/ ( MOH/ medicationmedicationoveruse headache). headache). Gangguan sakit kepala juga melumpuhkan mereka terungkap sebagai penyebab ketiga kecacatan di seluruh dunia. di GBD2013 ( Global Burden of Disease), Disease ), depresi dan kecemasan, kedua gangguan kejiwaan umum, menduduki peringkat kedua dan penyebab kecacatan tertinggi ke sembilan di dunia. Gangguan umum terjadi te rjadi bersama (secara komorbid) secara kebetulan. Depresi dan kecemasan adalah komorbiditas dengan satu sama lain lebih dari kebetulan. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan probabilitas yang lebih tinggi (2 hingga 4 kali) gangguan kejiwaan di antara orang-orang dengan migrain. Beberapa penelitian telah secara khusus mempertimbangkan TTH, meskipun orang dengan TTH episodik ditemukan lebih mungkin daripada kontrol untuk mengalami kecemasan atau gangguan mood, sementara orang-orang di antara populasi lansia Cina dengan TTH kronis dua kali lebih mungkin menderita depresi. 14 a) Migraine i) Epidemiologi Prevalensi migraine bervariasi menurut umur dan jenis kelamin. Sebelum umur 12 tahun, migraine umumnya terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak wanita, tetapi prevalensi meningkat cepat pada anak wanita setelah pubertas. Setelah umur 12 tahun, wanita lebih sering terkena migraine dibandingkan dengan pria, kira-kira dua hingga tiga kalinya. Prevalensi tersebar terjadi pada usia 35 dan 45 tahun, onset biasanya terjadi pada usia 10 hingga 29 tahun tetapi onset migraine pada masa kanak-kanak tidak umum terjadi. 15
ii) Teori Hipotesis bahwa serotonin merupakan mediator penting pada patogenesis migrain masih berlaku sampai saat ini, karena agonis reseptor sertonin masih merupakan obat utama migrain akut. Hipotesis ini berdasarkan fakta pada eksperimen di laboratorium dan fakta pada manusia bahwa konsentrasi setoronin dan metabolitnya pada urin meningkat pada kebanyakan kasus selama serangan migraine. Hipotesis biokimia mengatakan bahwa pada migran, terjadi ketidakseimbangan neurotransmitter yang mungkin berhubungan dengan perubahan sensitivitas pada reseptor setoronin s etoronin sentral dan perifer. 13 Neurotransmitter maupun neurokimiawi lain yang berperanan pada proses nyeri kepala maupun migren adalah jenis katekolamin seperti misalnya noradrenalin /norepinefrin & dopamin yang terutama banyak dijumpai di locus ceruleous. ceruleous. Yang berperanan sebagai media proses vasokonstriksi maupun vasodilatasi dan pelepasan asam lemak bebas yang berguna sebagai signal kepada platelet untuk melepaskan serotonin. 12 b) Tension Type Headache i) Epidemiologi Kondisi medis yang telah lama dikatikan dengan gangguan depresi antara lain nyeri kepala primer tipe ti pe tegang atau tension-type headache (TTH). (TTH). Nyeri kepala tipe ini merupakan nyeri kepala yang paling umum dialami oleh 30-78% masyarakat dan sampai saat ini patogenesisnya masih belum be lum jelas dan bersifat multifaktorial. Gangguan depresi dapat terjadi bersama-sama dengan TTH sebagai komorbiditas dan berhubungan dengan awitan, perburukan, dan perjalanan nyeri kepala menjadi kronik, baik melalui proses biologik maupun psikologik. Sebanyak 68,3% penderita TTH akan mengalami depresi yang lebih berat dibandingkan dengan TTH episodik dan nyeri kepala kronik berhubungan dengan skor psikopatologi secara bermakna, tetapi arah hubungannya hubungannya belum jelas. 15 i) Teori Serotonin platelet (Platelet 5HT) disimpan dalam bentuk granul padat yang akan berubah secara lambat sekali jikalau sifat farmakologikalnya tidak aktif. Sebaliknya pada plasma 5HT ekstraselular sangat cepat berubah dan farmakologikalnya aktif. Kadar 5HT di platelet dan plasma mengekspresikan kandungan 5HT di serotonergic nerve ending dan sinaps. sinaps. Banyak laporan penelitian mengenai metabolisme dan kadar 5HT pada TTH, yang mendapatkan hasil yang berbeda beda secara tidak konsisten. Akan tetapi pada dasarnya disimpulkan bahwa
pasien dengan Episodik TTH menunjukkan platelet 5 HT uptake akan berkurang, dan terdapat peninggian kadar platelet 5HT dan plasma 5HT. Sedangkan pada TTH kronik didapati kadar platelet 5HT ataupun plasma 5HT adalah normal atau menurun. 5HT adalah suatu neurotransmitter penting yang berperan dalam modulasi nyeri secara kompleks. Yaitu sebagai antinociceptive pathway ascending maupun descending dari brain stem ke spinal cord . Efek antinoseptif dari 5 HT dimediasi oleh beberapa macam subtipe reseptor 5 HT J, 5HT2, 5-HT3 yang diikuti oleh dengan peninggian sensitifitas nyeri pada penderita TTH kronik.12 2) Nyeri Lambung (Gastritis) Gastritis adalah peradangan dari mukosa lambung, lambung, yang disebabkan oleh faktor faktor iritasi dan infeksi. gastritis bukanlah suatu penyakit tunggal, namun beberapa kondisi-kondisi yang berbeda yang semuanya mempunyai peradangan lapisan lambung. Keluhan sakit pada penyakit gastritis paling banyak ditemui akibat dari gastritis fungsional, yaitu mencapai 7080% dari seluruh kasus. Gastritis fungsional sering dipicu oleh pola makan yang kurang sesuai, faktor psikis, dan kecemasan bukan disebabkan oleh gangguan pada organ lambung. Gejala penyakit gastritis diantaranya adalah nyeri pada ulu hati, mual, muntah, kembung, diare, dan pusing. Kekambuhan penyakit gastritis atau gejala muncul berulang karena salah satunya dipengaruhi faktor kejiwaan atau stres. 16 a) Epidemiologi Gastritis adalah penyakit yang banyak ditemukan di masyarakat. Insiden gastritis di Asia Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap tahunnya. Di Indonesia angka kejadian gastritis cukup tinggi, penelitian dari Departemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis dibeberapa kota di Indonesia ada yang tinggi mencapai 91,6% yaitu di Kota Medan, di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5% Palembang 35,5%, Aceh 31,7% dan Pontianak 31,2%. Penyakit gastritis dapat menyerang dari semua tingkat usia maupun jenis kelamin. Beberapa survei menunjukkan bahwa gastritis sering menyerang usia produktif. Pada usia produktif (15 sampai 45 tahun) rentan terserang serta gaya hidup yang kurang memperhatikan kesehatan serta stres yang mudah terjadi akibat pengaruh faktor-faktor lingkungan.16
b) Teori Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. 17 Stres memiliki efek negatif melalui mekanisme neuroendokrin terhadap saluran pencernaan sehingga beresiko untuk mengalami gastritis, produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stres, misalnya pada beban kerja berat, panik, dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat menyebabkan terjadinya gastritis. Selain lingkungan sosial yang makin kompleks, kebiasaan orang dalam usia produktif yang tidak selektif dalam konsumsi makanan juga mempengaruhi stres. Makanan yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi perkembangan otak, kondisi otak yang kurang baik mempengaruhi kemampuan mental seseorang ketika menghadapi tantangan. 16 3) Nyeri Otot (Fibromialgia) Fibromialgia merupakan sindrom nyeri kronik yang ditandai dengan nyeri muskuloskeletal dan kekakuan otot yang tersebar luas, meliputi keempat tubuh, sisi kiri dan kanan serta atas dan bawah tubuh. Fibromialgia sering disertai gangguan tidur, cepat lelah, cemas, depresi, kaku di pagi hari, iirtable bowel syndrome, nyeri syndrome, nyeri kepala, vertigo, parestesia, dan sebagainya. Gejala utama adalah nyeri kronis muskuloskeletal yang tersebar luas diseluruh bagian tubuh. spektrum gejala sangat luas antara lain pasien mengalami nyeri tekan, cepat lelah, nyeri sendi nyeri kepala, nyeri punggung, sistitis, vulvodinia, tinitus, vertigo, kesemutan, IBS, gangguan tidur, kecemasan, depresi.17 Gambaran khas pemeriksaan fisik pasien fibromialgia ialah ditemukannya titik-titik yang dirasakan lebih nyeri oleh pasien dibandingkan orang lain. Titik-titik tersebut disebut tender points. points.18 a) Epidemiologi Berdasarkan data di Amerika Serikat, kira-kira 20% pasien klinik rheumatologi adalah pasien fibromalgia yang kebanyakan berusia 30-50 tahun. Dari data tersebut dapat dikatakan 1 dari 5 pasien yang berobat adalah fibromialgia. Fibromialgia lebih banyak menyerang perempuan dan laki-laki dengan rasio 9:1. Fibromialgia juga lebih sering ditemukan pada perempuan diatas 50 tahun.18 Prevalensi pada populasi umum di berbagai negara berkisar antara 2-5%, wanita 7 kali lebih banyak daripada pria, sebagian besar berusia 35-65 tahun. 17
b) Teori Hingga kini penyebab pasti belum dapat ditemukan tapi telah diketahui bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme, dan trauma, juga ditemukan pada pasien terinfeksi hepatitis C, HIV, Parvovirus B19, dan lyme disease.18 Pengetahuan tentang FM telah meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian-penelitian skala besar membuktikan bahwa nyeri pada Fibromialgia tersebar luas akibat disfungsi susunan saraf pusat. Nyeri diduga berasal dari ketidakseimbangan neurotransmiter susunan saraf pusat yang menyebabkan amplifi kasi/sensitisasi sentral. Menurut teori amplifikasi/sensitisasi sentral, kornu dorsale medula spinalis menjadi hiperresponsif terhadap stimulasi nosiseptif dan somatik sehingga terjadi hiperalgesia dan alodinia. Teori ini dapat menerangkan lebih baik mengenai hipersensitivitas pada pasien Fibromialgia.17 Pada Fibromialgia, terjadi fenomena wind up up yang berkaitan dengan reseptor N-methylDaspartate aspartate (NMDA) dan plastisitas neuron; akibatnya, stimulus berintensitas rendah di kulit maupun jaringan otot akan menghasilkan input nosiseptif tingkat tinggi yang bila ditransmisikan ke otak akan dipersepsikan sebagai rasa nyeri. Neurotransmiter Pada Fibromialgia, terjadi peningkatan kadar neurotransmiter eksitatorik glutamat, nerve growth factor , brain derived neurotrophic factor , dan substansi P; kadar substansi P cairan serebrospinal pasien Fibromialgia tiga kali lebih tinggi dibandingkan kontrol. Substansi P merupakan neurotransmiter nosiseptif yang berperan penting dalam munculnya hiperaktivitas neuronal serta proses sensitisasi sentral bersama asam amino eksitasi pronosiseptif yang bekerja pada reseptor NMDA dan neuropeptida lainnya. Kadar substansi P sangat dipengaruhi oleh kadar serotonin. Studi terbaru menunjukkan adanya korelasi negatif kuat antara konsentrasi metabolit serotonin dalam serum, 5 hidroksindolasetat , dan substansi P. 17 Substansi P juga merupakan inhibitor poten bagi Corticotropin Releasing Hormone Hormone (CRH), sehingga diduga turut berperan dalam penurunan kadar CRH pada sejumlah pasien Fibromialgia. Pasien Fibromialgia rentan mengalami gangguan psikiatri sebagai salah satu penyakit komorbid, seperti depresi, ansietas, dan somatisasi. Komorbiditas ini diduga turut memberikan kontribusi terhadap munculnya gejala Fibromialgia dan persistensi gejala. Dari teori-teori di atas, para ahli menyimpulkan bahwa Fibromialgia adalah penyakit akibat gangguan persepsi dan pemrosesan nyeri pada sistem saraf pusat ( pain ( pain processing ). ).17
Stres kronis dapat memicu gangguan stress response system tubuh yang menyebabkan munculnya Fibromialgia. Pada umumnya, pasien mengalami gangguan pada 2 komponen utama stres: (a) sistem saraf otonom: Pasien Fibromialgia menunjukkan gangguan respons simpatis terhadap stres berupa penurunan respons vasokonstriksi terhadap stres dingin dan akustik, penurunan respons denyut jantung terhadap latihan, penurunan variabilitas denyut jantung, penurunan respons epinefrin terhadap hipoglikemia, serta gangguan tidur. (b) aksis hipotakamus-pituitari-adrenal: Aksis HPA memegang peranan penting dalam respons fisiologis terhadap stres. Pada pasien FM, terjadi penurunan kadar kortisol, serotonin, dan norepinefrin, padahal serotonin dan norepinefrin berperan dalam inhibisi desenden pada kornu dorsale medula spinalis.17 4) Nyeri Punggung Bawah Nyeri punggung bawah merupakan masalah kesehatan dunia yang sangat umum, yang menyebabkan pembatasan aktivitas dan juga ketidakhadiran kerja. Nyeri punggung bawah memang tidak menyebabkan kematian, namun menyebabkan individu yang mengalaminya menjadi tidak produktif sehingga akan menyebabkan beban ekonomi yang besar baik pada individu, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. 19 a) Epidemiologi Berdasarkan The Global Burden of Disease 2010 Study (GBD 2010), dari 291 penyakit yang diteliti, NPB merupakan penyumbang terbesar kecacatan global, yang diukur melalui years lived with disability (YLD), serta menduduki peringkat yang keenam dari total beban secara keseluruhan, yang diukur dengan the disability adjusted life year (DALY). Pengukuran DALY adalah metrik standar untuk mengukur beban yang dihitung dengan menggabungkan years of life lost (YLL) dan years dan years lived with disability (YLD). disability (YLD).19 b) Teori Beberapa kondisi yang mungkin menjadi faktor pencetus antara lain adalah pekerjaan yang memerlukan pengerahan kekuatan atau pengulangan yang berlebihan dari gerakan-gerakan yang dapat menimbulkan cedera otot serta saraf, posisi canggung atau posisi yang tidak mendukung sehingga akan menimbulkan peregangan yang berlebihan, posisi posisi statis atau posisi pekerja harus diam atau tidak bergerak dalam jangka waktu lama, gerakan-gerakan seperti membungkuk dan juga memutar, serta waktu pemulihan yang tidak memadai karena lembur dan kurang istirahat.19 Nyeri punggung bawah yang kronis diketahui dapat menyebabkan
depresi, dan depresi membuat lebih sulit untuk mengatasi rasa sakit. Oleh karena itu, sering kali penting untuk mengatasi nyeri sakit dan obat depresi harus diperlakukan secara simultan untuk menghasilkan pengobatan yang sukses. 20 Tatalaksana Farmakologis
Pengelolaan depresi berat pada pasien dengan nyeri kronis harus terjadi sebagai bagian dari pendekatan yang terkoordinasi untuk manajemen nyeri, dengan memperhatikan proses psikologis yang relevan dan isu-isu sosial. Target manajemen pengobatan untuk rasa nyeri dan depresi adalah analgesia yang dapat meningkatkan mood . Bermacam obat telah dilaporkan bermanfaat bagi pasien yang menderita nyeri dan depresi. Obat antidepresan khususnya, mungkin berkhasiat sebagai analgesik. TCA memiliki sifat analgesik secara independen dari efek antidepresannya. Diduga melalui penguatan saraf-saraf noradrenergik descending spinal dan penginhibisi serotonergik. Data dari controlled trials menunjukkan bahwa TCA fektif sebagai analgesik dalam mengobati neuropati yang menyakitkan pada diabetes, neuralgia postherpetik, nyeri sentral, nyeri kepala tipe tension, tension, dan migrain.11,17 Dosis yang digunakan dalam studi analgesik dan dalam pengobatan nyeri (10-50 mg) adalah lebih rendah daripada yang digunakan untuk depresi (100-200 mg). Studi Analgesik telah menunjukkan penurunan gejala depresi bersama pengurangan rasa nyeri, tetapi pengobatan depresi belum tercapai pada dosis tersebut. Jika TCA digunakan untuk mengobati depresi, maka dosis antidepresan yang dibutuhkan. Dosis yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan efek samping, termasuk sedasi, penglihatan kabur, hipotensi ortostatik, jatuh dan peningkatan risiko delirium. Kekhawatiran akan toksisitas pada jantung terutama pada dosis yang berlebihan sehingga diperlukan kehati-hatian pada penggunaan TCA sebagai antidepresan. Pada pasien tanpa penyakit kardiovaskular dan kekhawatiran untuk menyakiti diri sendiri adalah rendah, TCA masih memiliki peranan, terutama ketika antidepresan lain belum efektif. Amina nortriptyline sekunder dan desipramine lebih baik ditoleransi daripada imipramine dan amitriptyline pada pasien dengan sakit medis dan juga mungkin lebih dipilih pada pasien dengan nyeri. Obat baru yang digunakan untuk mengobati nyeri dan depresi termasuk selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan serotonin – norepinephrine norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs). Obat-obat ini mempengaruhi jenis reseptor tunggal dan ganda dan bisa menyerupai TCA tetapi umumnya tanpa efek samping antikolinergik dan kardiovaskular yang terkait dengan spesifisitas relatif mereka..11,17
Non Farmakologis
Terapi psikologis digunakan dalam pengobatan depresi dan mengurangi gejala depresi yang nyata dengan nyeri kronis. Bukti yang paling kuat penggunaannya dalam pengobatan depresi berat dari uji coba terkontrol secara secar a acak yang melibatkan populasi umum dan pa sien dengan komorbiditas medis lainnya. Dalam sebuah riset, cognitive behaviour therapy (CBT) atau terapi interpersonal ditemukan setara dengan imipramine (200 mg) dan lebih efektif daripada plasebo atau terapi suportif dalam mengobati depresi.11 Sebuah studi CBT dan terapi antidepresan pada pasien dengan multiple sclerosis menunjukkan tingkat depresi yang lebih rendah pada dua kelompok perlakuan, dibandingkan dengan kelompok yang menerima pengobatan seperti biasa. Tantangan kognisi negatif pada CBT untuk depresi berhubungan dengan dunia (pesimisme), masa depan (keputusasaan) dan diri (rendah diri), dan fokus perubahan perilaku penarikan dan penghentian kegiatan menyenangkan. Tujuan dari CBT untuk depresi adalah untuk remisi dan pemulihan. CBT merupakan jenis psikoterapi, atau terapi bicara yang membantu perubahan orang terhadap gaya berpikir negatif dan perilaku yang dapat berkontribusi terhadap depresi yang terjadi. 11,17 Terapi psikologis efektif dalam mengurangi gejala depresi pada pasien dengan penyakit medis atau nyeri kronis. CBT pada pasien dengan nyeri kronis ditujukan pada penderita yang mengalami maladaptif kognisi nyeri dan perilaku seperti perasaan menderita dan rasa takut penghindaran. Tujuan CBT pada nyeri kronis adalah lebih kepada pengurangan gejala dan perbaikan fungsional daripada mengatasi nyeri sepenuhnya. Dalam program tatalaksana nyeri multidisiplin, metode ini dapat meningkatkan kontrol perasaan, yang mengarah ke penurunan rasa sakit dan gejala depresi dan perbaikan fungsi. Terapi kognitif juga merupakan pengobatan yang telah terbukti pada depresi. Menurut Thorn, terapi kognitif mengurangi gejala depresi dan kecemasan pada pasien nyeri kronis. Dalam satu studi Thorn program terapi kognitif selama 10 minggu, didapatkan 95% dari pasien merasa hidup mereka membaik, dan 50% mengatakan mereka nyeri berkurang, juga menyatakan banyak peserta juga mengurangi kebutuhan mereka terhadap obat-obatan. 11
BAB III KESIMPULAN
Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur, atau nafsu makan dan kurangnya konsentrasi. Episode depresi berat harus ada setidaknya 2 minggu. Gejala-gejala depresi terdiri dari gangguan emosi, gangguan kognitif, keluhan somatik, gangguan psikomotor, dan gangguan vegetatif. faktor yang berpengaruh: faktor genetik. faktor biologis. faktor psikososial. Untuk menegakkan diagnosis memerlukan gejala utama seperti afek depresif, kehilangan minat dan kegembiran, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas, dengan simptom tambahan seperti; konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang. Studi menunjukkan bahwa pasien depresi lebih mungkin untuk mengeluhkan jumlah dan tingkat keparahan gejala fisik yang lebih besar. Studi epidemiologis yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa gejala somatisasi sebagai manifestasi dari depresi. 50%80% pasien depresi mengeluhkan gejala fisik yang tidak spesifik dan menghindari keluhan yang berkaitan dengan perasaan. Salah satu keluhan fisik yang akan dibahas adalah keluhan nyeri pada depresi dapat terjadi keluhan sakit kepala seperti migraine dan tension type headache, nyeri lambung gastritis fungsional, nyeri otot fibromialgia, dan keluhan nyeri punggung bawah bawah Pengelolaan depresi berat pada pasien dengan nyeri kronis harus terjadi sebagai bagian dari pendekatan yang terkoordinasi untuk manajemen nyeri, dengan memperhatikan proses psikologis yang relevan dan isu-isu sosial. Penggunaan obat TCA dapat digunakan, namun untuk mengurangi efek sampingnya, dapat digunakan obat SSRI. Terapi psikologis, CBT dan terapi kognitif mengurangi gejala depresi dan kecemasan pada pasien nyeri kronis.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
1. Marsasina A, Fitrikasari A. Gambaran dan hubungan tingkat depresi dengan faktorfaktor yang mempengaruhi pada pasien rawat jalan puskesmas. Oktober 2016;5(4):440-50 2. Sadock B J, Sadock V A. Buku ajar psikiatri klinis. Ed ke-2. Jakarta:EGC;2017.h.189-90, 191-6, 205 3. Radityo E. Depresi dan gangguan tidur. Dapat diakses dari URL http://fmipa.umri.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/HESTI-DEPRESI-DANGANGGUAN-TIDUR.pdf , diakses pada tanggal 22 April 2018 4. Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik. Pharmaceutical care untuk penderita gangguan depresif. Jakarta:Departemen kesehatan RI;2007 5. Lubis W H. Nasution H H. Sibagariang H E. Depresi pada nyeri kronis. Dapat diakses dari URL http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/62818/5_69882080 http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789 /62818/5_69882080574360805 574360805 6.pdf?sequence=1,, diakses pada tanggal 23 April 2018 6.pdf?sequence=1 6. Infrando D, Sofyani S, Widiastuty. Gangguan mood pada remaja. Dapat diakses dari URL https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jms/article/download/18180/7725 https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jms/article/download/18180/7725,, diakses pada tanggal 23 April 2018 7. Rosani S, Diatri H. Gangguan suasana perasaan. Dalam kapita selekt a. Ed ke-4. Jakarta:Aesculapius;2014.h.913-5 8. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa. Ed ke-1. Jakarta:PT Nuh Jaya;2017.h.64-5 J aya;2017.h.64-5 9. Susana T. Proses somatisasi dan strategi koping pada individu alosentris. 2010;7(1):h.29-49 10. Setiawan C J. Hubungan antara gejala gangguan depresi dan tension type headache. MKB, 2013; 45(1):28-34 11. Lubis W H, Nasution H H, Sibagariang H E. Depresi pada nyeri kronis. Dapat diakses dari URL http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/62818/5_698820 http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789 /62818/5_69882080574360805 80574360805 6.pdf?sequence=1 , diakses pada tanggal 29 April 2018 12. Sjahrir H. Mekanisme terjadinya nyeri kepala primer dan prospek pengobatannya. Diaksesd ari URL http://library.usu.ac.id/download/fk/neurologi-hasan.pdf , diakses pada tanggal 29 April 2018
13. Trivedi M H. The link between depression and physical symptoms. JClin Psychiatry;2004;6.p.1 14. Lampl
C,
Thomas
H,
Tassorelli
C,
et
al.
Headache,
depression
and
anxiety:associations in the eurolight project. The journal of headache and pain 2016; 17:59.p.2 15. Kharisma yuktiana. Tinjauan umum penyakit nyeri kepala. Dapat diakes dari URL http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/8314/kharisma_mak_tinjau an_penyakit_nyeri_kepala_2017_sv.pdf?sequence=1&isAllowed=y , diakses pada tanggal 29 April 2018 16. Prasetyo D, Murharyati A, Nurul A C. Hubungan antara stres dengan kejadian gastritis di klinik dhanang husada sukoharjo. Dapat diakses dari URL : http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/21/01-gdl-dhanangpra-1046-1dhanang-l.pdf ,, diakses pada 29 April 2018 dhanang-l.pdf 17. Purwata T E. Diagnosis dan manajemen ma najemen fibromialgia. CDK 2014;41(5).h.327-8 18. Huldani.
Neck
pain.
Dapat
diakses
dari
URL
:
http://eprints.ulm.ac.id/209/1/HULDANI%20-%20NECK%20PAIN.pdf , diakses pada 30 April 2018 19. Patrianingrum M, Oktaliansah E, Surahman E. Prevalensi dan faktor resiko nyeri punggung bawah di lingkungan kerja anestesiologi rumah sakit dr hasan sadikin bandung. JAP;2015;3(1):47-56 JAP;2015;3(1):47-56 20. Rahim A H. Terapi konservatif untuk low back pain. Dapat diakses dari URL : https://qhseconbloc.files.wordpress.com/2011/07/low-back-pain.pdf ,, diakses pada 30 https://qhseconbloc.files.wordpress.com/2011/07/low-back-pain.pdf April 2018