ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
Redefining Arsitektur Arsitektur Regionalisme Kontemporer 1.
Pendahuluan: Berkenalan dengan Regionalisme
Di bawah tenda pecel tenda pecel ayam yang terletak di seberang gerbang kampus, malam itu saya dan seorang teman berbincang-bincang tentang bangunan Aula Barat yang baru saja kami lewati. “Dulu, mungkin bangunan dengan desain seperti itu dianggap luar biasa, tapi di zaman ‘teknologi sebagai dewa’ saat ini, yang begitu-begitu sudah tidak relevan. Budaya itu-kan itu-kan masa masa lalu, jadi agak membosankan untuk dinikmati saat ini.” “...” Saya terdiam mencerna komentar tersebut. Komentar yang cukup arogan memang, namun sudah sangat umum ditemukan dalam masyarakat sekarang. Pun, saya juga cenderung berfikiran yang serupa jika melihat karya-karya yang me-reka ulang arsitektur lokal. Namun dalam konteks bangunan Aula Barat, yang didesain oleh arsitek Maclain Pont, hingga saat ini bagi saya masih terlihat menawan, bahkan bersaing dengan gedunggedung pencakar langit sekalipun. Tulisan ini tidak bertendensi untuk menilai kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut. Terlepas dari benar atau tidak, kedua pandangan tersebut ada dan sudah menjadi bagian dari perkembangan arsitektur di Indonesia. Saya beranggapan, mungkin, kebosanan yang muncul pada arsitektur lokal, atau yang dikenal dengan arsitektur regional, bukanlah pada sifat ke-regional-an itu sendiri, namun pada bagaimana ke-regional-an ke-regional-an tersebut dipahami dan dihadirkan kembali kembali dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan kontemporer. Sehingga berdasarkan pemikiran tersebut, tulisan ini bukanlah sebuah rumusan baru tentang bagaimana seharusnya arsitektur regional, namun lebih berupa perjalanan ide dalam melihat dan memaknai ulang arsitektur regional dalam konteks kontemporer saat ini, khususnya di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, tersebut, tulisan ini disusun d isusun menjadi dua bagian utama. Bagian pertama adalah kajian literatur yang membahas garis besar kronologi yang menjadi milestone dalam sejarah arsitektur regional dari berbagai negara di dunia, dan juga di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana perkembangan gagasangagasan arsitektur regionalisme dari masa ke masa. Pembahasan dilakukan dengan 1 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
mengangkat dan menggarisbawahi perjalanan dari beberapa arsitek yang cukup berperan dalam perkembangan regionalisme dalam arsitektur. Sedangkan bagian kedua merupakan studi tentang seorang arsitek kontemporer yang (dianggap berhasil) mengangkat kembali gagasan regionalisme ke dalam karyakaryanya. Pada bagian ini, gagasan regionalisme yang pernah tercetus sebelumnya, sebagaimana yang dibahas pada bagian pertama, akan menjadi acuan untuk melihat kualitas ke-kontemporer-an dari arsitek yang telah dipilih. Sehingga pada bagian akhir tulisan ini, saya berusaha mengemukakan unsur kebaruan dari gagasan regionalisme sang arsitek dengan melihat bagaimana konsep regionalisme dibaca, didefenisikan dan diadaptasi ulang oleh sang arsitek. Terlepas dari tujuan untuk menilai tingkat kekontemporer-an sang arsitek, dengan menulis tulisan ini, saya berharap dapat memberikan pemahaman baru tentang arsitektur regionalisme dan keberanian berfikir kritis dalam melihat karya-karya arsitektur yang ‘menyilaukan mata’ yang menjamur d i tahun-tahun terakhir. Paling tidak, untuk diri saya sendiri. 2.
Perkembangan Konsep Regionalisme Dunia dalam Arsitektur Modern Hingga Sekarang
Pada awal perkembangan konsep regionalisme dalam sejarah arsitektur modern dunia, menurut Steele (1997), usaha-usaha yang memperjuangkan identitas lokal dengan kembali pada ekspresi-ekspresi arsitektur lokal, bukan sebuah gerakan yang disenangi. Arsitektur regionalisme dianggap masa lalu yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini disebabkan sedang digemarinya bentuk-bentuk arsitektur mutakhir yang terinspirasi dari perkembangan arsitektur Eropa. Pada tahap ini, arsitektur modern berkembang pesat dan memberikan pengaruh yang signifikan dalam sejarah arsitektur. Seiring waktu, gelombang pengaruh arsitektur modern mulai menarik perhatian, khususnya kekhawatiran akan hilangnya budaya dan identitas regional. Globalisasi dan modernisasi
yang
terjadi
dianggap
“mengambil
alih
keberagaman
menjadi
keseragaman” (Sulistyo, 2007). Kekhawatiran ini kemudian dikatalisasi oleh hangatnya isu kerusakan kondisi lingkungan (Steele, 1997). Sehingga muncul usaha-usaha baru 2 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
untuk menghidupkan romantisme budaya lokal yang awas terhadap keberlanjutan budaya dan kelestarian lingkungan. Meskipun kuantitas kehawatiran dan protes yang muncul terhadap arus modernisasi
tersebut sedikit, namun hal tersebut berhasil
‘menggoyang’ kekuatan modernitas. Dan secara bersamaan, tahap ini menjadi tanda lahirnya sebuah gerakan yang disebut gerakan regionalisme. a. Perkembangan Konsep Regionalisme I : Hassan AL-Fathy dan g enerasinya
Salah satu arsitek yang pertama kali menggaungkan semangat regionalisme adalah Hassan Al-Fathy, seorang arsitek lulusan Universitas King Fuad, yang sekarang menjadi Universitas Kairo. Beliau secara terang-terangan melawan arus modernisme dan menyatakan
ketidaksetujuannya
terhadap
paham
yang
menganggap
bahwa
universalitas adalah solusi bagi semua masalah. Sebaliknya, Hassan Al-Fathy melihat bahwa solusi bagi permasalahan (khususnya) bagi bangsanya terdapat dalam masyarakat itu sendiri (Armand, 2011). Melalui profesinya sebagai arsitek, beliau berusaha berkontribusi dalam membangun bangsanya dengan melakukan pencarian jati diri arsitektur Mesir lewat pandanganpandangan yang berakar pada lokalitas. Hal ini terlihat pada bagaimana Hassan ALFathy membangun sekolah di Talkha, kota kecil di sisi sungai Nil. Beliau berhasil membaca dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada site dengan baik, yaitu dengan menggunakan pendekatan terhadap material lokal, elemen-elemen arsitektur, serta sistem konstruksi yang berkembang dalam masyarakat setempat. Meskipun beberapa kritik muncul terhadap penggunaan bentuk arsitektur yang dianggap ‘mencaplok’ bentuk arsitektur lokal, namun pesan yang ingin disampaikan oleh Hasan AL-Fathy adalah bagaimana arsitektur seharusnya mampu mengangkat harkat dan martabat manusia melalui apresiasi dan pemberdayaan potensi-potensi lokal yang ada (Armand, 2011; Steele 1997). Semangat regionalisme tersebut kemudian dilanjutkan oleh generasi-generasi selanjutnya. Arsitek El-Wakil adalah salah satunya. El-Wakil berusaha menciptakan filosofi desain yang eksplisit dalam menggunakan bentuk-bentuk rumah tradisional Arab yang disajikan dalam konteks urban (Steele, 1997). Sedangkan arsitek generasi 3 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
selanjutnya, Rasem Badran, menggunakan pendekatan yang agak berbeda. Badran berpandangan
bahwa
solusi
untuk
permasalahan
arsitektur
adalah
dengan
mengoptimalkan hubungan antar faktor-faktor sosial-budaya, lingkungan, morfologi dan tidak lupa unsur teknologi yang sedang berkembang. Dengan pendekatan tersebut, Badran berusaha menjembatani jarak antara arsitektur lokal (yang dianggap masa lalu) dengan arsitektur modern (yang menjadi citra kekinian). Usaha tersebut dilakukan dengan menciptakan desain-desain bangunan yang tidak lagi ‘mencaplok’ langsung bentuk-bentuk arsitektur vernakular. Namun melalui pemaknaan yang dalam tentang filosofi nilai-nilai lokal yang berkembang, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bangunan yang bersifat kekinian (Steele, 1997). Pendekatan ini, menjadi sejarah penting dalam perkembangan konsep arsitektur regionalisme: bagaimana regionalisme seharusnya dilihat dan diadaptasikan dalam menjawab isu-isu saat ini dan di masa depan. b. Perkembangan Konsep Regionalisme II : dari Zumthor hingga Frampton
Beranjak dari tanah Mesir, setelah Hassan AL-Fathy mulai menyuarakan gaung regionalisme di tanah kelahirannya, sekitar tahun 1996 nama arsitek Peter Zumthor melejit melalui sebuah karyanya yang bernama Thermal Bath Vals di Swiss. Karya tersebut menjadi besar karena keberhasilannya membaca dan memperlakukan tapak. Peter Zumthor menjadikan gunung dan batu, yang menjadi unsur geologi utama di Vals, tapak di mana ia mendirikan bagunannya, menjadi sebuah karya arsitektur yang mengejutkan dunia (Armand, 2011). Meskipun Peter Zumthor tidak dikenal sebagai salah satu pioner regionalisme, namun saya memahami bahwa dibalik kepuitisan dan romantisme dari imaji-imaji sensorik masa kecil yang digunakannya dalam merancang Thermal Bath Vals, Zumthor telah berperan dalam konsep regionalisme, yang dilakukannya melalui pembacaan yang baik terhadap karakter tapak. Peter Zumthor memanfaatkan kondisi geologi tapak dengan memasukkan cahaya (light) dan menghadirkan kegelapan (darkness) melalui bukaanbukaan pada bangunan yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menghadirkan pengalaman ruang yang bias batas (Zumthor, 2006; Armand, 2011). 4 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
Lebih lanjut, dalam pembahasan tentang place dalam bukunya Thinking Architecture, Zumthor(2006) secara jelas menunjukkan sikap regionalitasnya terhadap nilai lokal yang ada. Ia menuliskan bagaimana ia sangat mengapresiasi place, sebuah unsur yang berperan penting dalam menciptakan soul dalam karya-karyanya: “When architectural design draws solely from tradition and only repeats the dictates of the site, I sense the lack of a genuine concern with the world and the emanations of contemporary life. If a work of architecture speaks only of contemporary trends and sophisticated visions without trigering vibrations in its place, this work is not anchored in its site, and I miss the specific gravity of the ground it stands on.” (Zumthor, Peter: Thinking Architecture, hal.42) Kutipan tersebutlah yang mendorong saya untuk berfikir bahwa sesungguhnya konsep regionalisme tidak sesempit apa yang tertanam dibenak saya sebelumnya, mungkin juga dibenak kabanyakan orang, yaitu regionalisme yang hanya terbatas pada perjuangan budaya masa lalu. Saya rasa, konsep regionalisme seharusnya dilihat dari dua sisi yang berbeda, sebagaimana Peter Zumthor melihat karya arsitektur dari dua sudut pandang yang berbeda: dari sisi lokalitas dan dari sisi modernitas. Dengan demikian, regionalisme seharusnya mampu menjembatasi kedua kelompok tersebut. Berbeda dengan Peter Zumthor yang membaca lokalitas melalui tapak, Kenneth Frampton dikenal sebagai salah satu tokoh pionir regionalisme yang membaca lokalitas dari permainan teori-teori regionalisme. Kenneth Frampton membaca lokalitas sebagai sebuah objek hasil cipta budaya masa lalu, yang harus bersifat adaptable terhadap lawannya, modernitas. Melalui tulisannya yang berjudul Critical Regionalism: Modern Architecture and Cultural Identity, Frampton (2007) menggambarkan bagaimana kedua hal tersebut, budaya dan modernitas, pada dasarnya bergerak ke arah yang saling berlawanan. Ketika, pada satu sisi negara harus berpijak pada akar sejarah masa lalunya, memperjuangkan semangat nasionalisme melalui budaya dan tradisi aslinya, pada sisi lain negara juga harus bergerak ke arah modernitas, yang artinya harus 5 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
terlibat dalam perkembangan sains, teknologi dan kekuatan politik yang sering kali menyaratkan kebebasan dari campur tangan budaya masa lalu. Hal ini disebabkan karena Frampton (2007) beranggapan bahwa budaya tidak akan mampu bertahan dan menyerap efek modernisasi yang terlalu besar. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep budaya lokal merupakan sebuah paradoks. Bukan hanya karena kebertolakbelakangan antara budaya dan modernitas, namun juga karena sifat semua budaya, baik yang kuno maupun yang modern, yang hanya akan terpengaruh oleh perkembangan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri, jika terjadi persentuhan dengan budaya lainnya (Frampton, 2007). Sehingga, critical regionalism merupakan sebuah tulisan yang memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya menempatkan budaya dalam modernisasi sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tidak tergerus oleh arus globalisasi. Dengan kata lain, critical regionalism yang terkandung dalam tulisan Kenneth Frampton (2007), saya pahami sebagai sebuah sudut pandang yang kritis dalam dalam memahami lokalitas, dimana lokalitas tidak dijadikan sebuah alat dalam mencapai universalitas, namun sebuah pendekatan yang digunakan untuk memunculkan ciri khas lokal yang bersifat lebih independen: tidak terisolasi dari modernisasi, namun juga tidak kehilangan budaya yang telah ada. 3.
Perkembangan Konsep Regionalisme di Indonesia
Kapan tepatnya kata-kata regionalisme muncul di Indonesia saya rasa sulit dipastikan. Namun, saya memahami bahwa gerakan yang mengusung lokalitas bisa diterjemahkan menjadi sebuah awal mula dirasakannya kesadaran regional dalam berarsitektur. 3.1
Regionalisme Pada dan Akhir Kolonialisme
Di Indonesia, gerakan kembali pada lokalitas sudah dimulai sejak awal periode modern arsitektur berkembang. Secara garis besar, perkembangan konsep lokalitas dapat dilihat dari periodesasi yang dilakukan oleh Johannes Widodo (2007). Beliau membagi periodesasi perkembangan arstitektur modern menjadi 4 periode: (1) proto-modern period: context for modernisation; (2)early modern period: the transplantation of 6 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
European typology ; (3)recent modern period: climatic adaptation and cultural accommodation; dan (4)hybridization and the maturity of Indonesian architecture. Jika dilihat dari keempat periode tersebut, perkembangan regionalisme dalam arsitektur di Indonesia sudah dimulai sejak periode ke tiga, periode recent modern. Tepatnya pada tahun 1940-an ketika kekuatan pemerintahan VOC di Indonesia mulai terganggu (Nas, 2007; pda, 2012). Hal ini ditandai dengan hangatnya isu adaptasi terhadap iklim tropis di Indonesia dibicarakan. Nas (2007) menyatakan bahwa adaptasi terhadap iklim dan lingkungan telihat paling nyata pada masa paska kemerdekaan. Yaitu melalui bentuk atap dan bukaan ventilasi serta jendela yang ditemukan di bangunan-bangunan Belanda di Indonesia. Hal lain yang menjadi tanda pergerakan regionalisme tercetus di Indonesia adalah masa ketika perbincangan tentang lokalitas Indonesia ramai dilakukan oleh arsitek asing. Jauh sebelum kemerdekaan, ketika Moojen, arsitek prefesional pertama yang datang ke Indonesia (saat itu dikenal Hindia-Belanda) dan menyaksikan kondisi arsitektur di Hindia-Belanda, beliau berpesan tentang pentingnya mempertahankan lokalitas dalam menciptakan arsitektur suatu bangsa. Moojen menyebutkan beberapa aspek lokalitas yang perlu diperhatikan yaitu iklim, material lokal, dan kemampuan tenaga kerja yang tersedia (Widyarta, pda, 2012). Pencarian dan perdebatan tentang lokalitas dalam arsitektur juga berlangsung di antara para arsitek Belanda yang berpraktek di Indonesia. Beberapa arsitek Belanda yang gencar dalam pencarian konsep arsitektur nusantara melalui penelaahan ulang terhadap arsitektur vernakular adalah Herman Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, dan kemudian V.R. van Romondt (Passchier, pda, 2012). Masing-masingnya memberikan kontribusi dalam pembangunan arsitektur di Indonesia dengan pendekatan pro-lokalitas. Ketiga tokoh ini kemudian menjadi motor dalam pergerakan lokalitas dan regionalisme arsitektur di Indonesia. V.R van Romondt, yang kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di ITB, percaya bahwa arsitektur Indonesia dapat dibentuk karena ia yakin “adanya sesuatu yang autentik, yang mengakar kuat pada sebuah tempat dan masyarakatnya” (Purwestri & 7 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
Widyarta, pda, 2012, hal.122). Van Romondt percaya bahwa Arsiektur Indonesia harus diciptakan oleh orang Indonesia itu sendiri sehingga ia selalu mengingatkan para wisudawan arsitektur ITB akan tanggung jawab kultural yang mereka miliki terhadap pembentukan “Arsitektur Indonesia” (Purwestri & Widyarta, pda, 2012, hal.123). Hal ini kemudian menjadi pemicu bagi arsitek Indonesia generasi selanjutnya dalam memaknai lokalitas dan regionalitas. 3.2
Regionalisme Adhi Moersid, Gunawan Tjahjono dan Y.B. Mangunwijaya
Tiga tokoh yang terlibat hebat dalam pencarian makna lokalitas dan regionalisme dalam perkembangan arsitektur modern di Indonesia adalah Adhi Moersid dengan biro Atelier 6-nya, Gunawan Tjahjono dengan Gedung Pusat Adimintrasi UI-nya dan Y.B Mangunwijaya dengan proyek humanis Kali Code-nya. Ketiganya bergerak dengan pendekatan regionalisme yang berbeda, namun masih dalam satu kerangka tujuan yang sama yaitu kontribusi dalam pencarian lokalitas atau yang pada saat itu disebut dengan pencarian Arsitektur Indonesia. - Adhi Moersid Adhi Moersid adalah salah satu murid dari V.R. van Romondt yang terlibat dalam proyek CONEFO (Conference of the New Engineering Forces) beserta lima anggota lainnya. Keenamnya adalah lulusan arsitekur ITB, namun pada tahun yang berbedabeda. Adhi Moersid beserta lima rekannya kemudian membentuk paguyuban yang yang bernama Atelier 6. Atelier 6 tidak menganut suatu gaya tertentu dalam menjalankan prakter arsitektur. Setiap anggotanya berhak menggunakan ciri khasnya masing-masing dalam berkarya (Moershid, pda, 2012). Namun, hal yang menggabungkan keenam tokoh tersebut tercermin dari konsep pendirian biro arsitektur tersebut. Mereka sepakat bahwa perlu “adanya akar agar tidak terjadi keterputusan historis”. Dalam sebuah desain hotel di Bali, misalnya, keenam rekan tersebut berusaha memunculkan ciri khas yang berakar pada tempat. Terdapat suatu suatu proses pencarian terhadap feeling yang terkandung di dalam tapak tersebut. Pencarian ini dilakukan melalui pengamatan 8 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
terhadap lingkungan tempat bangunan akan dibangun. Sehingga unsur lokalitas yang ingin ditekankan bukanlah pada teori ataupun bentuk kebudayaan lokal, namun lebih kepada keinginan untuk “berbeda dan berakar” pada kondisi sekitar. Sehingga tidak heran, meskipun desain tersebut mengadaptasi beberapa unsur modernis, namun konteks dari tempat di mana bangunan berdiri tidak hilang (Purwestri & Widyarta, pda, hal.123, 2012). Saya rasa, untuk memahami nilai regionalisme yang sesungguhnya ingin diperjuangkan oleh para tokoh tersebut tidak bisa luput dari sejarah pembentukan biro Atelier 6 itu sendiri, selain dari tampilan dan filosofi desain tentunya. Meskipun unsur kontekstual dan lokalitas ingin diterjemahkan ke dalam desain dengan berbagai pendekatan, namun hakikat pendirian biro inilah yang kemudian menjadikan keenam tokoh tersebut tetap aktif dalam mempertanyakan ke-Indonesia-an dari berbagai karya arsitek-arsitek yang gencar melakukan pembangunan beraliran modernis pada saat itu (Purwestri & Widyarta, pda, 2012, hal.123). - Gunawan Tjahjono Kisah lokalitas maupun regionalitas dari Gunawan Tjahjono dikenal melalui karyanya Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia. Dalam merancang Gedung Pusat Administrasi UI (GPAUI), terdapat keinginan untuk menghadirkan citra Indonesia pada kampus baru UI di Depok tersebut. Gunawan Tjahjono, selaku kepala tim arsitek GPAUI, berusaha mencari ke-Indonesia-an melalui pendekatan desain yang rasional, yaitu pendekatan tipologi. Sehingga bangunan yang ingin dihasilkan bukanlah bangunan dengan bentuk yang menggambarkan bangunan-bangunan tradisional, namun bangunan yang memiliki esensi ke-Indonesia-an. Pendekatan tipologi ini dilakukan dengan cara melihat arsitektur tradisional sebagai objek penelaahan yang “dianalisis melalui sebuah proses yang bersifat deduktif untuk mencapai esensi yang dicari tersebut” (Purwestri & Widyarta, pda, hal.131, 2012). Gambaran regionalitas lain dari sosok Gunawan Tjahjono adalah rumah batu, kediaman beliau di jalan Palakali, Depok. Jika regionalitas pada GPAUI ditempuh melalui rasionalitas tipologi, regionalitas dalam desain rumah batu saya rasa ditempuh 9 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
dari pendekatan yang lebih mengarah ke lingkungan dan iklim setempat. Pada suatu kunjungan saya ke rumah batu, beliau bercerita bahwa rumah batu adalah rumah yang sangat bersahabat dengan alam. Rumah dengan material batu alam tersebut mampu menciptakan suasana ruangan yang sejuk tanpa menggunakan AC. Hal ini menggambarkan
kepedulian
beliau
terhadap
alam
dan
kemampuan
beliau
menggunakan serta memanfaatkan material baik dalam hal konstruksi, kenyamanan ataupun keindahan. - YB. Mangunwijaya Beranjak dari konsep regionalisme yang dikembangkan oleh Adhi Moersid dan Gunawan Tjahjono, YB. Mangunwijaya lebih dikenal melalui proyek-proyek sosialnya yang mengangkat regionalitas melalui pemahaman kondisi sosial masyarakat setempat. Romo Mangun, panggilan akrab dari Yusuf Bilyarta Mangunwijaya merupakan seorang arsitek, disamping juga seorang pastor, budayawan dan sastrawan. Romo Mangun mendefenisikan arsitektur dengan sangat sederhana. Dalam bukunya Wastu Citra (2009), beliau mengatakan bahwa arsitektur merupakan serangkai kegiatan mengolah dan memanfaatkan alam sesuai kebutuhan dan kondisi untuk tujuan kesejahteraan hidup manusia. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, terdapat proses yang seharusnya dihayati pelaku arsitektur hingga melalui proses peningkatan kesejahteraan tersebut (pemenuhan makna guna arsitektur) mampu memberikan ‘arti’ dan melahirkan jati diri yang dimaknai oleh pelaku arsitektur tersebut (yang disebut sebagai makna citra). Kedua pokok pikiran tersebut, makna guna dan makna citra, saya rasa telah mampu menjelaskan kenapa dalam kontribusinya terhadap arsitektur, konteks budaya selalu menjadi perhatiannya. Hanya saja, pemaknaan budaya yang bagaimana yang bisa menjawab kebutuhan zaman sehingga kehadirannya tidak hanya dianggap sebagai aksesoris romantisme belaka. Romo Mangun, mendefenisikan konteks budaya melalui karya arsitekturnya yang melegenda yaitu kali Code, di Yogyakarta, dengan cara menjadikan nilai sosial sebagai motivasi utamanya. Dengan niat menyelamatkan dan 10 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
mengangkat harkat manusia masyarakat marginal di Kali Code, Romo membaca konteks lokalitas melalui pemberdayaan potensi masyarakat setempat (Nas, 2007). Melalui misi humanis yang diusungnya, Romo kemudian menjadikan material lokal, keahlian masyarakat setempat dan pendekatannya yang sangat tektonik dalam pengolahan material, menjadi aspek-aspek yang dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menciptakan wajah baru Kali Code yang lebih bermartabat. Beliau berharap, campur tangan tersebut akan mampu memberikan kekuatan dan kesadaran bagi masyarakat Kali Code untuk terus melakukan regenerasi terhadap kampung mereka, baik bersama ataupun tanpa kehadiran Romo Mangun. Sepak terjang Romo Mangun tidak saja menjadi milestone yang berarti bagi perjalanan arsitektur regionalisme di Indonesia, namun perjuangan humanis ini juga cukup mengagetkan masyarakat dunia. Sehingga tidak heran Romo Mangun melalui proyek humanis Kali Code-nya berhasil meraih berbagai penghargaan tingkat dunia. Setelah generasi Adhi Moersid, Romo Mangun dan Gunawan Tjahjono, pergerakan regionalisme di Indonesia seolah jalan di tempat, jika tidak kehilangan arah. Pergerakan regionalisme kemudian muncul kembali melalui kesadaran dan ketertarikan arsitekarsitek terkini yang mencoba menyentuh kembali aspek-aspek regionalisme yang dikembangkan oleh para arsitek sebelumnya. Salah satu arsitek terkini tersebut adalah Eko Prawoto, seorang murid dari Romo Mangun yang mengangkat regionalitas dan lokalitas melalui karya-karya. 4.
Regionalisme pada Arsitek Eko Prawoto: Studi Materialitas, Pertukangan dan Bentuk.
Eko Prawoto, merupakan arsitek yang terkenal melalui kemampuannya memanfaatkan material bambu dalam bangunannya. Arsitek ini juga dikenal sebagai salah satu arsitek yang ikut serta menyuarakan gerakan kembali pada lokalitas. Eko Prawoto, dalam sebuah diskusi yang dimuat oleh publikasi online, Ruang, menjelaskan bahwa beliau banyak belajar dan terinspirasi dari sang guru, yaitu Romo Mangun. Dalam wawancara dengan publikasi online arsitektur, Ruang, beliau mengaku bahwa karyanya banyak 11 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
terinspirasi dari sang guru. Hal ini juga dipengaruhi oleh pengalaman yang diperolehnya ketika masih menyandang status mahasiswa di Universitas Gajah Mada, pada tahun 70-80an, ketika isu pencarian identitas Arsitektur Indonesia sangat hangat dibicarakan (Nasution, publikasi online Ruang, 2013). Eko prawoto beranggapan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam konsep lokalitas dan regionalitas terhadap modernisasi adalah dengan melihat “dari dalam ke luar” bukan sebaliknya. Sehingga “pembacaan baru” terhadap lokalitas dan regionalitas dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berkembang seiring perkembangan zaman (Nasution, publikasi online Ruang, 2013). Pendekatan tersebut memberikan penekanan pada keyakinan Eko Prawoto bahwa akar arsitektur terdapat pada pemahaman yang lebih terbuka terhadap budaya, sehingga regionalisme tidak hanya muncul pada bentuk luar saja. Pendekatan
regionalisme
yang
digunakan
oleh
Eko
Prawoto
terlihat
pada
kekonsistenan-nya dalam memanfaatkan potensi lokal yang berupa penggunaan material material lokal yang ramah lingkungan, pemberdayaan tenaga kerja dan keahlian tukang lokal, serta keseriusannya dalam mengangkat semangat gotong royong dalam proses pembangunan karyanya (Nasution, publikasi online Ruang, 2013). Jika pendekatan Eko Prawoto tersebut dibaca melalui pembandingan terhadap konsep regionalisme yang telah berkembang baik di dunia maupun di Indonesia, ditemukan bahwa secara umum pendekatan yang digunakan Eko Prawoto bukanlah sesuatu hal yang baru dalam perkembangan arsitektur regionalisme kontemporer di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari karya-karya yang telah dihasilkan Eko Prawoto. Salah satu karya Eko Prawoto yang cukup ternama adalah Kampung Ngibikan. Kampung Ngibikan merupakan salah satu kampung yang rusak parah akibat gempa di Jogjakarta pada tahun 2006. Dalam pembangunan kampung ini, Eko Prawoto menggunakan beberapa pendekatan regionalisme dengan membaca potensi lokal, seperti material lokal, pemberdayaan tenaga kerja lokal dan penggunaan bentuk arsitektur vernakular dalam desain rumah paska gempa di Kampung Ngibikan tersebut. 12 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
Gambar 1. Rumah Limasan di Kampung Ngibikan karya arsitek Eko Prawoto.
(Sumber: Shim, 2010) Penggunaan material lokal seperti kayu sebagai material utama konstruksi bangunan merupakan salah satu pendekatan regionalisme yang digunakan oleh Eko Prawoto dalam merekonstruksi Kampung Ngibikan Yogyakarta. Pendekatan ini berlandaskan pada kemudahan ditemukannya material di sekitar kampung, serta keterjangkauan material dari segi ekonomi. Pendekatan ini sudah sangat akrab dengan dunia regionalisme sebaimana yang pernah diterapkan oleh arsitek Hasan Al-Fathy di Mesir dan arsitek Romo Mangun di Kampung Kali Code Yogyakarta. Selain alasan ketersediaan dan keterjangkauan ekonomi, pendekatan ini juga didukung oleh kemampuan masyarakat setempat dalam mengolah dan memanfaatkan material tersebut dalam bangunan. Hal ini mendukung usaha pemberdayaan masyarakat dalam membangun kampung mereka sendiri. Sehingga pendekatan sosial dan humanis, yaitu dengan menumbuhkan kembali kepercayaan diri masyarakat untuk bisa hidup secara mandiri setelah bencana alam melanda, menjadi salah satu pendekatan utama yang digunakan Eko Prawoto sebagaimana yang dilakukan oleh Romo Mangun pada masyarakat Kampung Kali Code dan Hassan Al-Fathy pada masyarakat kampung di pinggiran Mesir. Sedangkan penggunaan bentuk rumah ‘limasan’ pada Kampung Ngibikan paska gempa, diambil dari pembelajaran yang dilakukan oleh Eko Prawoto terhadap bentuk arsitektur vernakular yang ditemukan di Kampung Ngibikan dan sekitarnya sebelum luluh lantak oleh gempa. Penggunaan bentuk ‘limasan’ ini berusaha menumbuhkan kedekatan dengan masyarakat dan menumbuhkan semangat hidup yang dulunya 13 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
pernah ada. Di samping itu, bentuk ‘limasan’ dipilih karena kemampuan ketukangan masyarakat sangat mahir dalam membangun rumah ‘limasan’. Pendekatan bentuk dan ketukangan ini juga bukan konsep baru dalam regionalisme. Hal ini telah dikembangkan oleh arsitek El-Malik di Mesir dan beberapa arsitek Belanda yang berpraktek di Indonesia pada paska kemerdekaan seperti salah satunya Maclain Pont yang mengaplikasikan bentuk arsitektur vernakular pada bangunan baru dengan fungsi yang baru pula. Pendekatan regionalisme yang agak berbeda dari keempat pendekatan yang diterapkan pada Kampung Ngibikan di atas adalah pendekatan dari segi kualitas ruang yang terbentuk. Jika dilihat dari segi bentuk yang dihadirkan oleh Eko prawoto dalam karya-karyanya, dapat dipahami bahwa pengolahan nilai lokalitas melalui penggunaan material dan keahlian lokal mampu penghasilkan kesan bangunan yang lebih modern dalam memenuhi kebutuhan terkini masyarakat.
Gambar 2. Karya Eko Prawoto: rumah Butet Kertajasa (kiri), Via Via Cafe di Yogyakarta
(tengah) dan Cemeri Art House di Yogyakarta (kanan). (Sumber: www.google.com) Ketiga bangunan di atas merupakan karya Eko Prawoto yang menonjolkan karakter material lokal yang digunakannya yaitu kayu dan bambu, serta menonjolkan aspek budaya Yogyakarta yang sederhana dan bersahaja serta dekat dengan alam. Hal ini memberikan karakter yang kuat pada karya-karya Eko Prawoto yang dinilai dekat dengan masyarakat, baik masyarakat kelas menengah ke bawah maupun masyarakat kelas menengah ke atas. Berdasarkan penjelasan di atas, saya memahami bahwa pendekatan regionalisme yang dilakukan arsitek Eko Prawoto melalui pembacaan tapak tersebut, baik unsur-unsur tapak yang bersifal tangible seperti material dan bentuk arsitektur vernakular, maupun unsur tapak yang intangible seperti nilai-nilai dan keahlian masyarakat lokal, diterima 14 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
dengan baik oleh masyarakat luas. Hal ini kemudian saya terjemahkan sebagai bentuk keberhasilan Eko Prawoto dalam membaca ulang nilai regionalitas dan lokalitas yang ada, dan kemudian ditempatkan pada porsi yang harmonis dengan nilai modernitas dalam perkembangan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ko ntemporer. Akan tetapi, perlu disadari bahwa pengolahan unsur lokalitas yang sedemikian rupa, yang kemudian dilahirkan kembali dalam wujud yang lebih modern, telah banyak dilakukan oleh arsitek sebelumnya. Seperti misalnya Badran melalui pendekatan filosofinya, Zhumtor melalui kemampuan sensoriknya mengolah tapak, ataupun arsitek Adhi Moersid beserta tim, dalam karya hotelnya di Bali. Masing-masing menggunakan pendekatan aspek lokal baik yang tangible maupun intangible tersebut, yang kemudian diolah sehingga menghasilkan karya yang bernilai ‘baru’. Memang terdapat detail teknikal yang berbeda dari setiap pendekatan, namun saya memahami bahwa substansi regionalisme yang dilahirkan melalui bentuk, dari arsitek Eko Prawoto, masih menyuarakan nada yang sama dengan nada-nada sebelumnya. Secara umum konsep regionalisme yang digunakan Eko Prawoto dan arsitek-arsitek regionalis lainnya terkesan sama, namun pada dasarnya terdapat satu faktor pembeda, yaitu bentuk penerimaan masyarakat. Jika sebelumnya pendekatan-pendekatan regionalisme hanya diterima dan dirasakan manfaatkan oleh sekelompok orang yang terlibat dalam isu-isu tertentu saja, pada era Eko Prawoto, ketika informasi bisa disebar secara bebas, penerimaan masyarakat terhadap pendekatan regionalisme berubah menjadi sebuah kesadaran yang (mulai) mengglobal. Kesadaran ini tidak hanya tumbuh pada negara-negara yang baru berkembang yang sedang mencari jati diri, namun kesadaran regionalisme ini juga berkembang pada negara-negara maju. Karena pada hakekatnya, kesadaran regionalisme yang dikembangkan oleh Eko Prawoto merupakan kesadaran untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, baik dari segi alam, budaya maupun kemanusiaan (Nasution, 2011, Publikasi online Ruang). Tumbuhnya kesadaran regionalisme secara global ini dapat terlihat dari berbagai keterlibatan Eko Prawoto dalam event-event dunian yang membahas tentang regionalitas dan lokalitas. Beberapa event tersebut adalah sebagai berikut: 15 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
Gambar 3. Wormhole, karya Eko Prawoto pada Singapore Biennale 2013.
(Sumber: Artist Portofolio Singapore Biennale “If the World Changed ”)
Gambar 4. The Temple, karya Eko Prawoto di Singapore tahun 2010.
(Sumber: Publikasi arsitektur online ‘Ruang’ volume 4, 2011 “Kreativitas Tanpa Batas”) Keterlibatan Eko Prawoto dalam event membaca konteks dan lokalitas di berbagai negara tersebut berusaha untuk menyampaikan bahwa “kesadaran atas sesuatu yang lokal merupakan upaya untuk berdialog atau membuat perimbangan wacana” (Nasution, 2011). Menariknya, keterlibatan Eko Prawoto dalam ‘membaca dan melihat’ karakteristik lokal di negara-negara lain tersebut menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat setempat untuk melihat dan mengenali diri mereka sendiri, meskipun melalui kaca mata orang luar. Dari praktek regionalisme Eko Prawoto tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri, menciptakan sebuah bentuk kesadaran global akan pentingnya menyadari dan mengartikulasikan karakter regionalitas dan lokalitas dalam berarsitektur untuk selalu mengingatkan kita siapa kita sebenarnya. Karena menurut Eko Prawoto (dalam diskusi dengan Nasution, 2011) pada era dengan perubahan dan pergerakan yang sangat cepat ini, manusia memerlukan sebuah static point sebagai reference terhadap keberadaan mereka (Ibid ).
16 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
Kesimpulan
Merujuk pada tujuan penulisan tulisan ini, yaitu melihat nilai kekontemporeran dari konsep regionalisme terkini dari arsitek Eko Prawoto, membuat saya sedikit lebih “keras” dalam memberikan label kontemporer terhadap karya-karya arsitektur regionalisme saat ini. Dengan serangkaian teori dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap perkembangan konsep regionalisme yang pernah ada, baik di dunia maupun di Indonesia, memberikan pemahaman baru bahwa semangat regionalisme yang tergaung saat ini bukanlah sebuah kebaruan yang hanya ada di masa ini. Namun lebih kepada bentuk pengulangan dan pengadaptasian konsep-konsep regionalisme yang pernah berkembang terhadap tuntutan zaman saat ini. Meskipun dari segi perkembangan konsep, regionalisme yang ada saat ini tidak menunjukkan kebaruan yang signifikan, namun kondisi masyarakat sekarang memberikan dampak yang berbeda (dampak baru) dalam perkembangan arsitektur regionalisme di Indonesia dan dunia. Kebaruan ini muncul dari bentuk penerimaan masyarakat terhadap gerakan arsitektur regionalisme saat ini, yang lahir dari kemudahan persebaran informasi dan kemudahan pengadaan event-event yang bebau regionalisme. Kemudahan persebaran informasi ini memberikan dampak yang besar pada apresiasi yang muncul dari masyarakat. Sehingga saat ini, gerakan regionalisme tidak lagi hanya berupa sebuah perjuangan tunggal dari negara-negara berkembang, namun lebih berupa kesadaran global dari negara maju dan berkembang akan pentingnya merekam karakter diri. Hal ini terlihat dari berbagai keterlibatan Eko Prawoto dalam ‘membaca dan mengartikulasikan’ karakter lokal dari berbagai negara di dunia, yang menjadi sebuah bentuk pendekatan ataupun usaha untuk menemukan kembali ‘siapa diri mereka’ sesungguhnya. Sehingga unsur kebaruan dari arsitektur regionalisme yang berkembang saat ini adalah munculnya kesadaran yang mengglobal akan pentingnya mengenali diri sendiri, yang lahir dari salah satu faktor modernisasi, yaitu kebebasan aliran informasi. Dengan kata lain, regionalisme saat ini tidak hanya sebuah gerakan anti modernisasi namun lebih 17 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer
ARSITEKTUR KONTEMPORER DUNIA |AR6131|UAS FeniKurniati | 25214015
bijaksana, yaitu memanfaatkan kondisi modernisasi untuk mengembangkan kesadaran regionalisme dalam masyarakat dunia.
Daftar Pustaka Education Kit Artist Folios of Singapore Biennale, 2013, “If The World Changed ”. Armand, Avianti (2011). “Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur”. Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama. Frampton, Kenneth (Fourth edition, 2007). “Modern Architecture: A Critical History” . London: Thames & Hudson Lts. Heath, Kingston (2009). “Vernacular Architecture and Regional Design: Cultural Process and Environmental Response” . Great Britain: Elsevier Ltd. Istanto, H. Freddy (1999). “Arsitektur “Guna dan Citra” sang Romo Mangun. In Memoriam: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya 6 Mei 1929 - 10 Februari 1999”. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 27, No. 2, Desember 1999. Majalah Online Arsitektur. Konteks: Ketukangan. Diakses 9 Oktober 2014, pukul 11.00 WIB. Majalah Online Arsitektur. Ruang vol. 4 201. “Man is just passer by in nature” . Diakses 9 Oktober 2014, pukul 12.00 WIB. Mangunwijaya, Y.B. (2009). Wastu citra, pengantar ke ilmu budaya bentukarsitektur sendisendi filsafatnya beserta contoh-contoh praktis. Jakarta: GramediaPustaka Utama. Nas, Peter JM. (2007). “The Past in The Present: Architecture Indonesia”. Leiden: KITLV Press. Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia (2012). “Tegang Bentang: Seratus Tahun Persfektif Arsitektural di Indonesia”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Shim, Brigitte (2010). “Reconstruction of Ngibikan Village, Yogyakarta, Indonesia”. 2010 On Site Review Report. Steel, James (1997). “ Architecture Today ”. Phaidon Press. Sulistyo, Berti Hari (2007). Eko dan Arsitektur Kontemporer Indonesia. Harian Online Kabar Indonesia. Diakses 7 Oktober 2014, pukul 14.00 WIB. Zumthor, Peter (Second, expanded edition). “Thinking Architecture” . Birkhauser.
18 | R
edifiningRegionalismeArsitekturKontemporer