BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir dalam tubuh, maka harus segera dikeluarkan. Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga prima. Pada bayi yang baru lahir, pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya tahan tubuh bayi. Semakin dewasa sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna. Namun pada orang lanjut usia, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya timbul penyakit degeneratif atau penyakit penuaan. Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada pola makan. Sarapan di dalam kendaraan, makan siang serba tergesa, dan malam karena kelelahan tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga, dan stres. Apabila terus berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan mudah terserang penyakit. Karena itu, banyak orang yang masih muda mengidap penyakit degeneratif. Kondisi stres dan pola hidup modern sarat polusi, diet tidak seimbang, dan kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan dini pada usia produktif. Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba pathogen disekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respon imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen
juga
berbeda.
Umumnya
gambaran
biologik
spesifik
mikroba
1
menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraseluler atau bakteri intraseluler mempunyai karakteriskik tertentu pula. Respon imun yang alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri gram negative dapat mangativasi komplemen jalur alternative tanpa adanya antibodi. Kerusakan jaringan yang terjadi ini adalah akibat efek samping dari mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian imunologi? 2. Apa pengertian serologi? 3. Apa saja jenis-jenis reaksi imunologi? 4. Apa saja jenis-jenis reaksi serologi? 5. Apa saja contoh pemeriksaan dari reaksi imunologi dan serologi? 6. Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan reaksi tersebut?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian imunologi? 2. Untuk mengetahui pengertian serologi? 3. Untuk mengetahui jenis-jenis reaksi imunologi? 4. Untuk mengetahui jenis-jenis reaksi serologi? 5. Untuk mengetahui contoh pemeriksaan dari reaksi imunologi dan serologi? 6. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan reaksi tersebut?
2
BAB II ISI
2.1 Pengertian Imunologi
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Jadi imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua organisme. Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis sistem imum baik dalam keadaan sehat maupun sakit, malafungsi sistem imun pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hipersensitivitas, defisiensi imun, penolakan allograft), karakteristik fisik, kimiawi, dan fisiologis komponen-komponen sistem imun in vitro, in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki berbagai penerapan pada berbagai disiplin ilmu dan karenanya dipecah menjadi beberapa subdisiplin.
2.2 Pengertian serologi
Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi kita harus dapat mengisolasi
atau
menemukan
kuman
penyebabnya.
Proses
isolasi
atau
menemukan kuman tersebut memakan waktu yang cukup lama dan sulit dalam pelaksanaannya. Apabila sebuah kuman masuk kedalam tubuh kita maka kuman tersebut akan merupakan suatu antigen (benda asing) bagi tubuh kita dan selanjutnya akan merangsang tubuh kitauntuk membentuk antibody terhadap kuman tersebut. Dengan dapat ditemukannya antibody tersebut dalam tubuh kita, mka hal ini akan membantu kita dalam menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi. Proses untuk menemukan atau mendeteksi adanya antigen dan antibody tersebut yang selanjutnya kita kenal dengan pemeriksaan serologi. Beberapa
3
contoh pemeriksaan serologi adalah: widal, VDRL, toxoplasmosis, hepatitis, AIDS, dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas pemeriksaan serologi untuk widal dan hepatitis A dan B.
2.3 Jenis-Jenis Reaksi Imunologi 2.3.1 Reaksi Peradangan
Respon peradangan terjadi setelah infeksi atau cedera jaringan. Peradangan dapat mendahului suatu respons imun. Terdapat 2 stadium pada reaksi peradangan yaitu : 1. Stadium vaskuler peradangan Stadium vaskuler peradangan dimulai hampir segera setelah cedera. Arteriol di atau dekat tempat cedera mengalami konstriksi secara singkat lalu vasodilatasi (relaksasi) berkepanjangan. Dilatasi arteriol menyebabkan peningkatan tekanan cairan di kapiler-kapiler setelah hilir sehingga terjadi peningkatan perpindahan filtrate plasma ke dalam ruang interstisium. Hal ini menyebabkan pembengkakan dan edema ruang interstisium 2. Stadium seluler peradangan Stadium seluler peradangan dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian yang cedera. Sel-sel darah putih dan trombosit tertarik ke daerah tersebut dan bermigrasi melalui kapiler yang bocor untuk mengelilingi sel-sel yang rusak. Sel-sel ini memfagositosis sel yang mati dan mikroorganisme serta merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol perdarahan. Sel-sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan melakukan penyembuhan.
2.3.2 Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas
adalah
respon
imun
yang
berlebihan
dan
dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs di bagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi.
4
1. Reaksi Tipe I Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi alergi atau reaksi anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi akibat adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonasi, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat menimbulkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Berikut mekanisme umum dari reaksi tersebut :
Alergen berkaitan silang dengan IgE
Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya
Timbul manifestasi
Reaksi anafilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang sering timbul sesudah allergen masuk ke dalam tubuh. Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipersentasikan ke sel Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat terutama oleh sel mast melalui reseptor Fc (juga oleh eosinofil dan basofil), bila ada alergen yang sama masuk tubuh akan diikat oleh IgE tadi (spesifik)
dan
menimbulkan
degranulasisel
mast.
Degranulasi
tersebut
mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang di dapat dalam granulgranul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Manifestasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi ini adalah berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronchial, atau dermatitis. Uji diagnortik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan atau intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (penyebab alergi) yang dicurigai.
5
2. Reaksi Tipe II Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik terjadi oleh karena dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibody tersebut dapat mensensitasi sel K sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity (AADC) atau mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh antibodi yang berupa Imunoglobulin G (IgG) dan Imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan yang ditimbulkan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen atau reaksi silang yang berkaitan dengan antibodi sel, sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II yaitu sebagai berikut :
Pemfigus, IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel epidermal
Anemia Hemolitik Autoimun, dipicu oleh obat-obatan seperti pensilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berkaitan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah
Sindrom Goodpasture, IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus, sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal
Mekanisme singkat dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut :
IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel
Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atua antibodi
Pengeluaran mediator kimiawi 6
Timbul manifestasi (anemia hemolitik autoimun, eritoblastosis fetalis, sindrom Good Pasture atau pemvigus vulgaris)
3. Reaksi Tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks antigen antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi biasanya jenis IgG. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor . Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitarnya. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi). Infeksi tersebut disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai respons antibodi efektif. Hipersensitivitas tipe II merupakan hipersensitivitsa kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, komleks antigen-anibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya dagosit. Namun terkadang kehadiran bakteri, virus, lingkungan anatu antigen seperti spora fungi, bahan sayuran, dan hewan yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut, sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus menerus. Pengendapan antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan didalam saluran kecil, sehingga dapat memengaruhi beberapa organ seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Secara umum, mekanisme reaksi tipe III ini adalah :
Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit
Mengaktifkan komplemen
Menarik perhatian Neutrofil
7
Pelepasan enzim lisosom
Pengeluaran mediator kimiawi
Timbul manifestasi, seperti reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR, Glomerulonefritis, dan penumonitis
4. Reaksi Tipe IV Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delay-tipe). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Dalam reaksi ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti Tuberkulin, reaksi inflamasi granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara umum adalah sebagai berikut :
Limfosit T tersensitasi
Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung
Timbul menifestasi (tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan transplant).
2.4 Jenis-Jenis Reaksi Serologi 2.4.1 Reaksi Presipitasi Pada reaksi presipitasi terjadi reaksi antara satu antigen yang dapat larut dengan antibodi homolognya. Reaksi ini berlangsung dengan pembentukan presipitat (endapan) kasat mata pada batas permukaan reaktan-reaktan bersangkutan. Reaksi semacam itu biasanya dilakukan dengan menggunakan antibodi (antiserum) dengan jumlah konstan dan antigenj dengan berbagai pengenceran.
Dengan mengingat bahwa konsentrasi
antibodi itu konstan, maka dapat kita lihat bahwa hanya terbentuk sejumlah kecil
8
presipitat bila antibodinya berlebihan. Dengan ditambahnya konsentrasi antigen, maka jumlah presipitat meningkat dan mencapai maksimum bila perbandingan antara antigen dan antibodinya optimum. Sesudah zone ini, dengan bertambahnya konsentrasi antigen, maka jumlah presipitat menurun lagi. Jadi ada tiga zone reaksi antigen-antibodi pada uji presipitin : zone kelebihan antibodi, zone setara, dan zone kelebihan antigen. Pada zone kelebihan antibodi, semua antigen telah bereaksi dengan antibodi dan telah diendapkan (tidak ada antigen bebas di dalam supernatan). Sebaliknya di dalam zone kelebihan antigen, semua antibodi telah bereaksi dengan antigen (tidak ada antibodi di dalam supernatan), tetapi kompleks yang terbentuk tetap dapat larut karena banyaknya kelebihan antigen mengikat antibodi menjadi kompleks yang berukuran kecil yang tidak terikat saling membentuk agregat besar yang kasat mata.di dalam zone setara terjadi presipitasi antigen dan antibodi secara maksimum (tidak terdapat antigen bebas maupun antibodi bebas di dalam supernatan) karena keduanya terdapat dalam proporsi optimum sehingga dapat membentuk kisi-kisi antigen dan antibodi yang menjadi kasat mata dan tidak dapat larut. Karena alasan ini, maka uji presipitin akan paling bermanfaat bila memungkinkan reaktan berdifusi sampai konsentrasi optimumnya tercapai.
2.4.2 Reaksi Aglutinasi
Reaksi aglutinasi merupakan salah satu uji serologi yang digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit. Uji aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menambahkan antibodi yang homolog pada antigen yang dapat berupa s el ataupun partikel lateks yang telah diserapi antigen yang dapat larut. Penambahan antibodi pada pertikel lateks ini dapat menyebabkan terjadinya proses aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menyebabkan terbentuknya agregat sel-sel yang kasat mata. Proses penggumpalan ini disebabkan karena antibodi berlaku sebagai jembatan untuk membentuk jaringan kisi-kisi antibodi dan antigen partikulat sehingga membentuk gumpalan. Uji aglutinasi ini tidak hanya dapat digunakan untuk diagnosis penyakit menular tertentu yang reaksi aglutinasi antigen-antigennya yang telah diketahui oleh
serum penderita,
tetapi
juga
dapat
digunakan untuk
mengetahui
mikroorganisme atau bakteri yang belum diketahui. Hal ini dapat diketahui karena kemampuan spesifik serum yang telah diketahui untuk menggumpalkan suspensi
9
sel-sel yang yang belum diketahui tersebut, sehingga mikroorganisme atau bakteri yang belum diketahui tersebut dapat diidentifikasi. Uji aglutinasi terhadap bakteri dapat diklakukan dalam tabung-tabung reaksi kecil atau sebuah kaca objek. Kebanyakan uji bakteri dilakukan dengan pengenceran antiserum secara serial di dalam tabung yang kedalamnya ditambahkan antigen dalan jumlah yang konstan. Setelah diinkubasi, pengamatan dapat dilakukan secara visual, kemudian ditentukan titernya. Titer antiserum adalah suatu nilai nisbi dan berbanding terbalik dengan pengenceran tertinggi yang memiliki gumpalan sel dan antibodi. Titer yang lebih tinggi menunjukkan adanya konsentrasi antibodi yang lebih tinggi pula.
2.4.3 Reaksi Fiksasi Komplemen Reaksi fiksasi (penambatan) komplemen didasarkan pada adanya antibodi penambatan komplemen di dalam serum. Adanya komplemen menyebabkan antibodi ini melisis selsel. Tujuan uji fiksasi komplemen adalah untuk menentukan ada atau tidaknya antibodi spesifik di dalam serum. Uji ini terdiri dari dua sistemyaitu sebagai berikut:
1. Sistem penambatan komplemen. Dalam sistem ini serum, suspense bakteri (antigen lain), dan komplemen dicampurkan.
Bila antigen dan antibodi dari dalam serum itu bergabung, maka
komplemen itu dinyatakan tertambat. Karakteristika Sistem Komplemen adalah sebagai berikut.
Komplemen adalah nama yang diberikan terhadap suatu seri protein(plasma) yang terdiri dari 21 protein.
Mekanisme kerja sistem ini seperti proses pembekuan darah yang membentuk suatu sistem enzim yang terstimulasi dalam plasma yang kebanyakan adalah proteinase-proteinase.
Ciri spesifik sistem ini : menghasilkan suatu respon yang cepat dan bertingkat terhadap suatu stimulus yang dapat berupa kompleks imun.
Protein plasma yang diberi simbol C diikuti dengan angka, menunjukkan nomor penemuan komplemen tersebut, bukan suatu nomor urutan reaksi.
10
Protein komplemen utama yaitu : C1 (q,r,s), C2, C3, C4 ,…dst hingga C9, faktor B, faktor D, faktor H, properdin,dll.
Pada setiap tahap aktivasi selalu dihasilkan suatu aktivitas enzim baru yang juga komponen komplemen.
Produk reaksi pertama berlaku sebagai katalis enzimatik yang mengaktifkan komponen-komponen selanjutnya, demikian seterusnya hingga dihasilkan suatu respon bertingkat yang menyerupai cascade. Kerja ini menyerupai “air terjun” yang terus berlangsung tanpa bisa dihentikan di tengah-tengah reaksi. Fragmen enzim diberi nama a dan b misalnya C2a dan C2b. -
Pusat katalitik sistem ini berada pada C3.
-
Akhir dari aktivitas komplemen adalah : terbentuknya suatu pori fungsional pada membran sel di mana komplemen tersebut melekat, kemudian terjadi perubahan konformasi fosfolipid sel yang menyebabkan lisis dan berakhir dengan kematian sel. Hal ini disebut MAC (membrane attack complex).
Sistem Komplemen terdiri dari tiga jalur yaitu sebagai berikut: -
Jalur Klasik. Jalur ini diawali dengan stimulasi dari kompleks antigen-antibodi yang kemudian mengaktivasi C1q, C1r, C1s, ketiga komponen ini menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi C4, C4 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasiC2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik dan menstimulasi C3 Convertase (pusat katalitik sistem komplemen).
-
Jalur MB-Lecitin. Jalur ini diawali oleh stimulasi dari kompleks manosa binding protein pada permukaan patogen yang kemudian menstimulasi MBL, MASP-1, MASP-2. Ketiga komponen ini kemudian mnghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi C4, (seperti halnya pada jalur klasik) C4, C4 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasiC2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik dan menstimulasi C3 convertase (pusat katalitik sistem komplemen).
-
Jalur Alternatif. Jalur ini diawali oleh stimulasi dari permukaan patogen yang mengandung LPS (Lipopolisakarida) yang kemudian langsung menstimulasi C3, C3 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi faktor B, faktor B menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi fakator D, faktor D
11
kemudian menghasilkan komponen enzimatik yang akhirnya mensimulasi C3 convertase. Setelah Ketiga jalur tersebut mengaktivasi C3 Convertase, C3 convertase ini kemudian menghasilkan C3a, C5a dan C3b. C3a, C5a kemudian menstimulasi peptida mediator untuk inflamasi dan menstimulasi rekrutmen sel fagositik. C3b kemudian berikatan dengan reseptor komplemen pada sel fagositik dan kemudian menstimulasi opsonisasi dan penghilangan kompleks imun. Selain itu, C3b juga menstimulasi komponen terminal komplemen yang kemudian terjadi reaksi cascade : menstimulasi C5b, C6,C7,C8,C9 dan akhirnya membentuk Membran attack complex dan menyebabkan lisis pada patogen. Persamaan atara ketiga jalur tersebut adalah sebagai berikut :
Ketiganya sama-sama akan mengaktivasi pusat katalitik sistem komplemen yaitu C3; Ketiganya pada akhirnya akan menginduksi C9; dan ketiganya sama-sama membentuk membran attack complex.
Perbedaan atara ketiga jalur tersebut adalah sebagai berikut :
Stimulus yang menginduksi masing-masing jalur berbeda-beda. Jalur Lecitin distimulasi oleh kompleks antigen antibodi, Jalur MB-Lecitin distimulasi oleh kompleks manosa-binding Lecitin, dan Jalur Alternatif distimulasi LPS (lipopolisakarida) dari permukaan patogen.
Komponen yang distimulasi oleh stimulus masing-masing jalur berbeda. Jalur Lecitin selanjutnya mengaktivasi C1q,C1r,C1s, C4 dan C2, jalur MB Lecitin selanjutnya mengaktivasi MBL, MASP-1, MASP-2, C4 dan C2, dan jalur alternatif mengaktivasi C3, B,dan D.
2. Sistem indikator hemolitik Antibody hemolitik (hemolisin)dibuat dengan cara mengimunisasi kelinci dengan selsel darah merah biri-biri. Serum dari kelinci yang sudah diimunisasi dengan sel biri-biri ini dicampur dengan sel-sel darah merah biri-biri. Bila komplemen tertambat digunakan di dalam reaksi antibodi uji dan atigen maka tidak akan terjadi hemolisis. Oleh sebab itu, reaksi hemolitik meninjukan uji negatif. Ini menunjukan bahwa semua reaktan didalam uji fiksasi komplemen harus disesuaikan dengan tepat. Uji fiksasi komplemen terutama bermanfaat bila kombinasi antara antigen uji dan antibodi tidak menimbulkan reaksi kasat mata seperti yang terjadi pada aglutinasi dan presipitasi. Uji fiksasi komplemen ini banyak digunakan secara luas di dalam diagnosis
12
laboratories penyakit menular, termasuk penyakit yang disebutkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan cendawan. Salah satu penerapan yang diketahui paling baik dari uji ini adalah uji Wasserman untuk sifilis, meskipun uji ini telah diganti oleh uji-uji lain
2.4.4
Reaksi Netralisasi
Reaksi antara antigen dan antibodi untuk mencegah adanya efek yang berbahaya antara lain adanya eksotoksin bakteri atau virus. Senyawa yang dapat menetralkan toksin disebut dengan antitoksin, merupakan antibodi spesifik yang diproduksi oleh sel hospes. Reaksi antara antitoksin yang dapat menetralkan toksin bakteri disebut dengan reaksi netralisasi.
2.4.5
Reaksi Imunofluoresensi
Teknik ini merupakan kombinasi antara zat warna fluoresein dengan antibodi sehingga menimbulkan warna pendaran ketika dilihat pada mikroskop dengan sinar ultra violet. Uji ini merupakan cara yang cepat, sensitif dan sangat spesifik.
2.4.6
Radioimmuno Assay (RIA)
Teknik RIA merupakan cara diagnostik yang mampu mengukur konsentrasi antigen maupun antibodi yang berkadar rendah, sehingga memungkinkan untuk mendeteksi adanya kelainan tubuh secara dini. Terdapat dua cara untuk melakukan pemeriksaan dengan teknik RIA ini, pertama dengan penentuan berdasarkan reaksi antigen antibodi dalam larutan (liquid phase radio immuno assay) dan yang kedua adalah berdasarkan reaksi pada zat padat atau partikel (solid phase radio immuno assay).
2.4.7
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA merupakan teknik yang paling luas digunakan dari kelompok enzyme immunoassay (EIA). Terdapat dua cara ELISA yaitu yang ecara langsung mendeteksi antigen dan secara tidak langsung untuk mendeteksi antibodi. Teknik
13
ELISA cukup sederhana sehingga interpretasi terhadap hasil pemeriksaan sangat jelas baik untuk menentukan hasil positif maupun negatif.
2.5 Contoh Pemeriksaan dari Reaksi
1. Reaksi Aglutinasi Beberapa contoh uji aglutinasi adalah sebagai berikut:
Uji Widal
Uji Widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri Salmonella enterica yang mengakibatkan penyakit Thipoid. Uji ini akan memperlihatkan reaksi antibodi Salmonella terhadap antigen O-somatik dan H-flagellar di dalam darah. Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Uji Weil-Felix
Uji Weil-Felix merupakan uji yang dilakukan terhadap infeksi oleh riketsia. Uji ini melibatkan antigen heterofil, beberapa riketsia memiliki antiten yang sama seperti yang terdapat pada galur-galur Proteus spp. Artinya serum dari pasien yang menderita infeksi oleh riketsia akan mengaglutinasikan suspensi bakteri Proteus spp.Reaksi Weil-Felix ini bersifat diferensial, atau diagnostik terhadap penyakit-penyakit tertentu yang disebabkan oleh riketsia karena terjadinya aglutinasi galur-galur ini secara selektif. Uji Aglutinasi biasanya digunakan dalam penentuan golongan darah ABO dan penentuan tipe Rh.
Penggolongan Darah ABO
Pada proses transfusi darah, pertimbangan utama ditunjukkan pada interaksi antara antibodi resipien dan sel-sel donor. Transfusi yang inkompatibel (tidak serasi) akan mengakibatkan terjadinya penggumpalan serta lisis sel yang
14
ditransfusikan oleh isoantibodi dan komplemen serum si donor. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi ginjal pada donor. Orang-orang dengan golongan darah O, yang memiliki agulitinin anti-A dan anti-B dalam serum darahnya disebut sebagai donor universal, sedangkan golongan darah AB yang memiliki aglutinogen A dan B disebut sebagai resipien universal.
Penentuan tipe darah Rh
Pada sistem Rh tidak dijumpai isoantibodi alamiah terhadap antigen Rh. Namun demikian, seseorang dengan Rh negatif yang menerima sel-sel darah dengan Rh positif akan memberikan respon dengan cara mensintesis antibodi terhadap faktor Rh. Untuk melakukan uji Rh dapat dilakukan dengan menambahkan antigen D pada darah. Penyakit yang dapat ditimbulkan apabila perkawinan terjadi antara rherus yang berbeda adalah eritroblastosis fetalis bada bayi mereka. Hal ini dapat terjadi bila ayah rhesus positif sedangkan ibunya rhesus negatif, rhesus positif lebih dominan terhadap rhesus negatif. . Anak dari pasangan beda rhesus punya kemungkinan 50-100% rhesus positif. Kemungkinan rhesus negatif hanya 0-50%. Artinya rhesus si anak lebih mungkin berbeda dengan si ibu. Perbedaan rhesus antara calon bayi dengan ibu akan menimbulkan masalah. Melalui plasenta, rhesus darah janin akan masuk ke peredaran darah si ibu. Selanjutnya ini akan menyebabkan tubuh si ibu memproduksi antirhesus. Melalui plasenta juga, antirhesus ini akan melakukan serangan balik ke dalam peredaran darah si calon bayi. Sel-sel darah merah si calon bayi akan dihancurkan.Pada kehamilan pertama, antirhesus mungkin hanya akan menyebabkan si bayi lahir kuning (karena proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang menyebabkan warna kuning pada kulit). Tapi pada kehamilan kedua, problemnya bisa menjadi fatal jika anak kedua juga memiliki rhesus positif. Saat itu, kadar antirhesus ibu sedemikian tinggi, sehingga daya rusaknya terhadap sel darah merah bayi juga hebat. Ini bisa menyebabkan janin mengalami keguguran.
2.
Beberapa uji serologi
15
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)
ELISA merupakan metode determinasi konsentrasi proteinberdasarkan spesifitas reaksi immunologis antara antigen dan antibodi yang dirangkai denganreaksi enzimatis.Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanyainteraksi antigen dengan antibodidi dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label). Prinsip kerja ELISA reader sama dengan spektofotometer.Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugatantigen. – enzim atau konjugat antobodi – enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzimsebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "Sandwich"
ELISA.
Uji
ini
dilakukan pada
plate
96
well
berbahan
polistirena.Untuk melakukan teknik "Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa tahap yang meliputi: 1. Well dilapisi atau ditempeli antigen 2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan. 3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidasealkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya. 4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi. 5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung rata-rata kontrol negatif yang digunakan, didapatkan
16
nilai cut-off untuk menentukan hasil positif-negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan hasil negatif, dan demikian jugasebaliknya.Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigenlain.
Serologi untuk hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi pada hati yang angka kejadiannya tinggi dan dapatmenimbulkan masalah kronis seperti sirosis hepatis dan kanker hati. Diagnosis hepatitis B dikerjakan dengan melakukan tes terhadap beberapa marker serologis dari virus hepatitis B dan dengan menambahkan tes tambahan untuk menyingkirkan penyebab lain seperti virus hepatitis Adan C. Sedangkan untuk penyaring, cukup dilakukan pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs. HBs Ag jika positif, pasien dianggap terinfeksi hepatitis B. Pengulangan tes setelah 6 bulan untukmenentukan infeksi telah sembuh atau kronik. HBsAg positif setelah 6 bulan tetap terdeteksi dalamdarah selama lebih dari enam bulan berarti telah menjadi kronis. Anti HBs jika positif, pasien dianggap memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (baik karena infeksi yang telahsembuh atau karena vaksinasi). Hepatitis B karier kronis dapat menunjukkan HBsAg dan Anti HBspositif. positif untuk HbsAg dan anti HBs pada saat yang bersamaan, tetapi hal ini sangat jarangterjadi (<1%). Jika negatif pasien belum memiliki kekebalan terhadap virus hepatitis B. HbeAg HBeAg positif berhubungan dengan tingkat infeksi yang tinggi dan pada karier kronik denganpeningkatan resiko sirosis. Tes ini dapat digunakan untuk mengamati perkembangan hepatitis B kronik. HBV DNA positif menunjukkan infeksi aktif, bergantung pada viral load (jumlah virus). Tes ini dapatdigunakan untuk mengetahui prognosis dan keberhasilan terapi.
17
Anti HBc jika positif, pasien telah terinfeksi oleh VHB. Infeksi telah sembuh (HBsAg negatif) atau masihberlangsung (HBsAg positif). Jika infeksi telah sembuh, pasien dianggap mempunyai kekebalanalami terhadap infeksi VHB. IgM anti HBc mungkin menjadi satu-satunya marker yang dapatterdeteksi selama masa window period ketika HbsAg dan anti-HBs masih negatif. Anti Hbe umumnya Anti HBe positif dengan HBeAg negatif menunjukkan tingkat replikasi virus yang rendah.Namun hal ini tidak berlaku pada virus hepatitis B mutan. Pemeriksaan tambahan Anti HCV dan Anti HAV untuk menyingkirkan adanya infeksi hepatitis C dan A.
2.6 Hal-Hal yang Berkaitan dengan Reaksi Tersebut a.
Uji Cincin
Uji cincin adalah uji presipitasi yang paling sederhana. Kedalam sebuah tabung bermulut kecil diletakkan larutan antigen diatas larutan serum yang mengandung antibodi. Kedua larutan tersebut akan berdifusi sampai keduanya mencapai konsentrasi optimum untuk terjadinya presipitasi, pada titik tersebut muncullah suatu zona rapat atau cincin endapan diantara kedua larutan tersebut.
b. Uji Tabung Dengan mencampur pada tabung, masukkan dilusi antigen atau antibodi dengan jumlah tertentu. Dilusi dilakukan dari konsentrasi tinggi (tabung pertama) sampai konsentrasi terendah (tabung terakhir). Presipitat timbul pada tabung yang mengandung Ag dan Ab secara proporsional.
c. Metode Difusi Agar Ketepatan yang lebih tinggi dan pemisahan komponen di dalam campuran antigen dan antibodi dapat diperoleh dengan cara membiarkan reaktan-reaktan tersebut berdifusi bersama-sama dalam di dalam suatu gel agar.
-
Metode difusi tunggal.
18
Dalam metode difusi tunggal yang dirancang Oudin, antigen ditaruh diatas gel agar yang mengandung antiserum di dalam suatu tabung reaksi bermulut sempit. Setelah dibiarkan selama beberapa jam atau beberapa hari, antigen itu merembes ke dalam gel membentuk pita-pita endapan pada berbagai taraf, bergantung kepada jumlah dan macam antigen-antibodi yang ada. Karena presipitasi terjadi ketika antigen menembus gel, maka cincin endapan mula-mula muncul di dekat puncak gel dan nampaknya bergerak perlahan ke arah bawah. Efek semacam ini mungkin sesungguhnya disebabkan karena adanya peningkatan jumlah antigen yang menyebabkan endapan itu melarut (karena reaksi antigen-antibodi itu dapat balik). Presipitasi terbentuk kembali pada posisi yang lebih kebawah dalam tabung tersebut, yaitu pada tempat konsentrasi antigen yang optimum. Faktor-faktor yang menentukan taraf untuk terjadinya reaksi ialah ukuran molekul dan konsentrasi nisbi reaktan.
-
Metode difusi ganda.
Oakley dan Fulthorpe memodifikasi teknik Oudin dalam metode difusi tunggal dengan cara menaruh antiserum di dalam agar di dasar tabung reaksi dan melapisinya dengan gel agar lalu diatasnya ditaruh larutan antigen. Kedua reaktan itu berdifusi kearah masing-masing di dalam agar dan presipitasi terjadi pada titik terdapatnya konsentrasi optimum. Ini adalah difusi ganda satu dimensi. Metode difusi ganda dua dimensi yang dirancang oleh Ouchterlony mempunyai keuntungan dibandingkan dengan metode sebelumnya, bahwa berbagai antigen dan antiserum dapat dibandingkan secara langsung. Dalam uji ini, reaktan merembes dari sumur-sumur yang berisi antiserum dan antigen homolog dalam konsentrasi optimum. Bila pita endapan yang dibentuk kedua antigen dan antibodi itu melebur pada titik pertemuannya, maka berarti kedua antigen itu sama. Bila bersilangan, artinya kedua antigen itu berbeda.
d. Radioimunoasai Radioimunoasai ialah suatu teknik mikro dengan kepekaan tinggi untuk meentukan jumlah antigen yang amat sedikit. Teknik ini pada hakikatnya merupakan proses dua langkah. Langkah yang pertama menyangkut kompetensi antara antigen uji (tidak berlabel atau tidak radio aktif) dengan konsentrasi yang tidak diketahui (beragam) dan suatu antigen indikator yang dikenal (berlabel atau radioaktif) dengan konsentrasi yang sudah diketahui (daoat dihitung). Mereka berkompetensi untuk bereaksi dengan antibodi yang dikenal dan jumlahnya terbatas, yang spesifik bagi antigen yang diberi label
19
radioisotop. Ketiga reaktan ini diinkubasikan selama beberapa jam sehingga dapat terjadi reaksi pengikatan antigen-antibodi. Langkah kedua menyangkut ditambahkannya kedalam sistem itu antiserum (antiantibodi) yang spesisifik dan erhadapnya mampu mengikat komponen antibodi dari kompleks kekebalan yang tebentuk selama inkubasi pada langkah yang pertama. Ini mengakibakan terjadinya presipitasi kompleks antigen-antibodi.Radioaktivitas endapan tersebut ditetapkan di dalam detektor dan penghitung radioisotop. Bila antigen uji pada langkah pertama telah bereaksi dengan antibodi, maka antigen indikator radioaktif tidak dapat bereaksi dengan antibodi itu. Hitungan radioaktifnya akan redah karena antigen indikator tidak terdapat dalam endapan. Namun demikian, bila antigen uji itu tidak bereaksi dengan antibodi, maka antibodi itu tentunya bebas untuk mengikat antigen indikator radioaktif. Maka hitungan radioaktifnya akan tinggi karena antigen indikator terikat dalam endapan. Jadi identitas dan konsentrasi antigen uji dapat ditentukan oleh radioaktivitas endapan. Teknik radioimunoasai ini penting untuk menentukan adanya antigen hepatitis B, yang mungkin ada di dalam serum donor darah yang tidak memperlihatkan gejala (donor yang membawa virus (antigen) tanpa memperlihatkan gejala). Substansi-substansi lain yang dapat diukur dengan radioimunoasai meliputi insulin, testosteron, estradiol, igE manusia, serta bahan-bahan lain yang biasanya ada dalam jumlah amat kecil di dalam darah atau air seni.
e. Immunoelektroforesis Jika terdapat sejumlah Ag dalam larutan seperti serum, sulit memisahkan pita presipitasi yang timbul pada setiap reaksi Ab-Ag, bila hanya menggunakan cara difusi di atas. Komponen serum dipisahkan dengan elektroforesis dalam agar gel dan antiserum dibiarkan berdifusi melalui komponen yang dihasilkan pada pita pita yang terbentuk. -
Elektroforesis roket
Merupakan metode kuantitatif, dilakukan elektroforesis antigen ke dalam gel yang telah mengandung antibodi. Presipitasi yang terjadi berbentuk roket, panjang masing-masing roket menunjukkan konsentrasi antigen.
20
-
Immunodifusi radial tunggal
Antiserum monospesifik ditambahkan ke dalam gel, kemudian dituang pada slide petridisk atau lempeng plastik. Dibuat lubang gel, larutan antigen dimasukkan pada lubang. Terjadi difusi sehingga terbentuk zona sirkuler yang menunjukkan jarak proporsional dengan jumlah antigen yang ditambahkan pada setiap lubang. Kuantitasi antigen yang diperiksa diketahui dari perbandingan cincin presipitasi dibandingkan dengan cincin presipitasi kontrol.
21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekulmolekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi kita harus dapat mengisolasi atau menemukan kuman penyebabnya.. Apabila sebuah kuman masuk kedalam tubuh kita maka kuman tersebut akan merupakan suatu antigen (benda asing) bagi tubuh kita dan selanjutnya akan merangsang tubuh kita untuk membentuk antibody terhadap kuman tersebut. Dengan dapat ditemukannya antibody tersebut dalam tubuh kita, mka hal ini akan membantu kita dalam menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi. Proses untuk menemukan atau mendeteksi adanya antigen dan antibody tersebut yang selanjutnya kita kenal dengan pemeriksaan serologi. Beberapa contoh pemeriksaan serologi adalah: widal, VDRL, toxoplasmosis, hepatitis, AIDS, dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas pemeriksaan serologi untuk widal dan hepatitis A dan B.
3.2 Saran
Imunoserologi adalah cabang ilmu yang sangat penting untuk menegakkan diagnose. Jadi sebagai ahli teknologi laboratorium medik, haruslah benar-benar mempelajari dan memahami ilmu ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
http://grahailmu.co.id/previewpdf/978-602-262-033-4-1042.pdf http://sharing-analiskesehatan.blogspot.co.id/2013/06/imunoserologi.html http://impujeng.blogspot.co.id/2012/01/imunologi.html http://www.pengobatanalergi.com/4-macam-reaksi-hipersensitivitas/ http://matakuliahbiologi.blogspot.co.id/2012/06/diagnosis-penyakit.html https://www.scribd.com/doc/95795703/Pemeriksaan-serologi http://analismuslim.blogspot.co.id/2013/12/pemeriksaan-serologi.html http://dokumen.tips/documents/reaksi-serologi.html http://hasananalis.blogspot.co.id/2012/04/uji-serologi.html http://percikcahaya.blogspot.co.id/2011/04/imunoserologi.html https://aboutlabkes.wordpress.com/2012/01/29/pemeriksaan-imunologiserologidi-laboratorium/
23