SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI (SNTI) DAN SEMINAR NASIONAL TERPADU KEILMUAN TEKNIK INDUSTRI (SATELIT) 2017
“PERAN SERTA TEKNIK INDUSTRI DALAM KOLABORASI INDUSTRI MENGHADAPI ERA INDUSTRY 4.0”
PROSIDING Amarta Hills Hotel and Resort, Batu 4-6 Oktober 2017
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG - 2017
Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri (SNTI) dan Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri (SATELIT) 2017 “Peran Serta Teknik Industri dalam Kolaborasi Industri Menghadapi Era Industry 4.0” Terbitan: Oktober 2017 Penanggung Jawab: Ishardita Pambudi Tama, ST., MT., Ph.D. Tim Editor: Ratih Ardia Sari, S.T., M.T. Rio Prasetyo Lukodono, S.T., M.T. Wifqi Azlia, S.T., M.T. Sylvie Indah Kartika Sari, S.T., M.Eng. Tim Reviewer: Prof. Dr. Ir. Budi Santosa, M.Sc., Ph.D. (Institut Teknologi Sepuluh November) Dr. Akhmad Hidayatno, ST., MBT. (Universitas Indonesia) Muhammad Kusumawan Herliansyah, ST., MT., Ph.D (Universitas Gadjah Mada) Ir. Markus Hartono, S.T., M.Sc., Ph.D., CHFP., IPM. (Universitas Surabaya) Catharina Badra Nawangpalupi, S.T., M.Eng.,Sc.,MTD., Ph.D. (Universitas Katolik Parahyangan) Dr.Eng. Dani Yuniawan, S.T., MT. (Universitas Merdeka Malang) Dr. Ellysa Nursanti, S.T., M.T. (Institut Teknologi Nasional Malang) Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, S.T., M.Eng. (Universitas Brawijaya) Ir. Purnomo Budi Santoso, M.Sc., Ph.D. (Universitas Brawijaya) Ishardita Pambudi Tama, S.T., M.T., Ph.D. (Universitas Brawijaya) Sugiono, S.T., M.T., Ph.D. (Universitas Brawijaya) Yeni Sumantri, S.Si., M.T., Ph.D. (Universitas Brawijaya) Oyong Novareza, ST., M.T., Ph.D (Universitas Brawijaya) Arif Rahman, S.T., M.T. (Universitas Brawijaya) Remba Yanuar Efranto, S.T., M.T (Universitas Brawijaya) Ceria Farela Mada Tantrika, S.T., M.T. (Universitas Brawijaya) Agustina Eunike, S.T., M.T., M.BA. (Universitas Brawijaya) Penerbit: Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. MT Haryono 167 Malang (65145) Telp. (0341) 587710 ext. 1283 E-Mail:
[email protected] Website: http://industri.ub.ac.id Bekerjasama dengan: Badan Kerjasama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri Indonesia (BKSTI)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu ii
ISBN. 978 – 602 – 73385 – 2 – 4 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak isi prosiding ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit. Isi makalah di luar tanggung jawab Penerbit.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu iii
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu iv
PANITIA PENYELENGGARA KONGRES VIII BADAN KERJASAMA PENYELENGGARA PENDIDIKAN TEKNIK INDUSTRI – SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI (SNTI) DAN SEMINAR NASIONAL TERPADU KEILMUAN TEKNIK INDUSTRI (SATELIT) 2017 Steering Committee Penanggung Jawab: Dr. Ir. T.M.A. Ari Samadhi, M.SIE (Ketua Umum Pengurus Pusat BKSTI) Ir. Indracahya Kusumasubrata, IPU (BKTI-PII) Ir. Faizal Safa, M.Sc., IPM. (ISTMI)
Pengarah: Prof. Dr. Ir. Abdul Hakim Halim, M.Sc. (Institut Teknologi Bandung) Prof. Dr. Ir. Budi Santosa (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Prof. Dr. Ir. Teuku Yuri M. Zagloel, M.Sc. (Universitas Indonesia) Prof. Dr. Ir. Susy Sumartini, MSIE (Universitas Sebelas Maret) Dr. Ir. Sri Gunani, M.T. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Ir. Sritomo Wignjosoebroto. M.Sc. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Dr. Ir. Tri Wulandari SD, MM (Universitas Trisakti) Dr. Oktri Mohammad Firdaus, S.T., M.T. (Universitas Widyatama) Dr. Rina Fitriana, S.T., MM. (Universitas Trisakti) Pratya Poeri Suryadhini, S.T., M.T. (Universitas Telkom) Ir. Gunawarman Hartono, M.Eng. (Universitas Bakrie) Dr. Ir. Paulus Sukapto (Universitas Katolik Parahyangan) Catharina Badra Nawangpalupi, ST., M.Eng.Sc., MTD, Ph.D. (Universitas Katolik Parahyangan) Dr. Ir. Anas Ma'ruf (Institut Teknologi Bandung) Dr. Wahyudi Sutopo, S.T., M.Si. (Universitas Sebelas Maret) Dr. Eng. Ir. Ahmad Rusdiansyah, M.Eng. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M.Eng.Sc. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Dr. Ir. Sukoyo, M.T. (Institut Teknologi Bandung)
Organizing Committee Penanggung Jawab: Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS (Rektor Universitas Brawijaya) Dr. Ir. Pitojo Tri Juwono, M.T. (Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya) Ishardita Pambudi Tama, S.T., M.T., Ph.D. Ir. Purnomo Budi Santoso, M.Sc., Ph.D.
Pengarah: Arif Rahman, S.T., M.T. Ketua: Nasir Widha Setyanto, S.T., M.T. Wakil: Oyong Novareza, S.T., M.T., Ph.D.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu v
Sekretaris: Raditya Ardianwiliandri, S.T., M.MT. Bendahara: Rahmi Yuniarti, S.T., M.T. Amanda Nur Cahyawati, S.T., M.T. Bidang Acara Koordinator Kongres: Remba Yanuar Efranto, S.T., M.T. Koordinator Seminar dan Pemakalah: Ceria Farela Mada Tantrika, S.T., M.T. Anggota: Sri Widyawati, S.T., M.T.; Rakhmat Himawan, S.T., M.Sc. Bidang Ilmiah Koordinator Pemakalah: Agustina Eunike, ST., M.T., M.BA. Anggota: Debrina Puspita Andriani, S.T., M.Eng.; Yeni Sumantri, S.Si., M.T., Ph.D. Koordinator Prosiding: Ratih Ardia Sari, S.T., M.T. Anggota: Rio Prasetyo Lukodono, S.T., M.T. Bidang Hubungan Massa Koordinator : Sugiono, S.T., M.T., Ph.D. Anggota: Suluh Elman Swara, S.T., M.T.; Dwi Hadi Sulistyarini, S.T., M.T. Bidang Dana Koordinator: Angga Akbar Fanani, S.T., M.T. Anggota: Endra Yuafanedi Arifianto, S.T., M.T. ; Ir. Mochamad Choiri, M.T. Ihwan Hamdala, S.T., M.T.; Marudut Sirait, ST., M.T. Wisnu Wijayanto Putro, S.T., M.T.; Marjuki Prabowo, S.Kom. Bidang Publikasi & Dokumentasi Koordinator: Dewi Hardiningtyas, S.T., M.T., M.BA. Anggota: Astuteryanti Tri Lustiyana, S.T., M.T.; Andi Muhammad Mawardi, S.T. Bidang Konsumsi Koordinator : Wifqi Azlia, S.T., M.T. Anggota: Sylvie Indah Kartika Sari, S.T., M.Eng.; Rosdyana Latifah, S.Sos Novia Eka Wati, S.T. Bidang Perlengkapan Reza Budi Firmansyah, S.AP.; Muhammad Hidayat, S.E. Jaenuri
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu vi
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Teknik Industri (SNTI) dan Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri (SATELIT) 2017 dapat kami terbitkan. Buku abstrak ini merupakan kumpulan abstrak SNTI dan SATELIT 2017 yang diselenggarakan pada tanggal 4-6 Oktober 2017 di Amarta Hills Hotel and Resort, Batu, Malang, oleh Badan Kerjasama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya (JTI FT UB). SNTI dan SATELIT 2017 mengambil tema “Peran Serta Teknik Industri dalam Kolaborasi Industri Menghadapi Era Industry 4.0”. Seminar SNTI diselenggarakan bersamaan dengan SATELIT yang merupakan seminar ilmiah tingkat nasional di bidang Teknik Industri yang diselenggarakan untuk ketiga kalinya oleh Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya. SNTI dan SATELIT 2017 bertujuan memperluas pengetahuan dan mensinergikan persepsi masyarakat terkait kesiapan industri dalam menyongsong era industry 4.0 dengan menyajikan topik-topik terbaru yang relevan dengan pengembangan sistem industri yang komprehensif. Secara keseluruhan makalah yang dipresentasikan dalam SNTI dan SATELIT 2017 terbagi dalam 9 (sembilan) sub tema yaitu Pendidikan dan Keprofesian Teknik Industri (A), Ergonomi, Perancangan Sistem Kerja dan Perancangan Produk (B), Sistem Produksi/ Manufaktur (C), Rekayasa dan Manajemen Kualitas (D), Penelitian Operasional dan Pemodelan Sistem (E), Manajemen Industri, Kewirausahaan, dan Inovasi (F), Sistem Informasi dan Keputusan (G), Logistik dan Manajemen Rantai Pasok (H), dan Topik Lain yang Relevan (I). Kami berharap penerbitan Buku Abstrak SATELIT 2017 ini dapat menjadi pendukung data sekunder dalam pengembangan penelitian di masa mendatang, serta memacu para akademisi dan praktisi Teknik Industri untuk saling bersinergi dan berkolaborasi demi kemajuan bangsa dan negara. Oleh karenanya kami juga mengharapkan masukan bagi perbaikannya di masa mendatang. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan dari pihak yang telah berkontribusi dalam Kongres VIII Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri Indonesia (BKSTI) – Seminar Nasional Teknik Industri (SNTI) dan Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri (SATELIT) baik pembicara utama, reviewer, pemakalah, sponsorsip, peserta, dan seluruh panitia yang terlibat. Kami menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat kekurangan atau kesalahan pada penyusunan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu vii
Prosiding Seminar SNTI dan SATELIT 2017. Semoga kita bersama dapat memberikan kontribusi yang lebih baik bagi bangsa dan negara. Malang, 5 Oktober 2017 Tim Penyusun
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu viii
SAMBUTAN KETUA PANITIA KONGRES VIII BKSTI – SEMINAR NASIONAL TEKNIK INDUSTRI & SATELIT 2017 Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Kongres VIII Badan Kerjasama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri Indonesia (BKSTI) yang diselenggarakan bersama Seminar Nasional Teknik Industri dan Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri 2017 di Amarta Hills Hotel and Convention, Batu, Malang, Jawa Timur pada tanggal 4-6 Oktober 2017 dapat dilaksanakan. Pada tahun ini Kongres VIII BKSTI dan SNTI bersama dengan SATELIT 2017 mengusung Tema “Peran Serta Teknik Industri dalam Kolaborasi Industri untuk Menghadapi Era Industry 4.0” untuk menjawab berbagai tantangan dan rintangan dalam menghadapi revolusi industri keempat yang saat ini telah berlangsung. Dengan adanya globalisasi, persaingan yang dihadapi oleh para pelaku industri menjadi lebih keras dan persoalan yang dihadapi juga akan semakin kompleks sehingga diperlukan berbagai inovasi yang ditujukan agar para pelaku industri di dalam negeri memiliki keunggulan kompetitif dalam menghadapi kompetisi di pasar global. Langkah menuju Industry 4.0 ini akan memberikan manfaat bagi para pelaku industri yang akan dapat mengoptimalkan serta menyederhanakan rantai suplai. Akan tetapi dalam penerapannya, tentu terdapat banyak hambatan maupun dampak yang akan terjadi dengan penerapan industry 4.0 tersebut. Sehingga diperlukan kolaborasi berbagai pihak pemangku kepentingan baik dari industri, pemerintah, maupun akademisi untuk dapat mengatasi berbagai hambatan dan tantangan yang ada. Kongres VIII BKSTI – SNTI & SATELIT 2017 ini bertujuan untuk mengakomodasi berbagai pihak diantaranya perguruan tinggi, para akademisi dan praktisi yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia untuk memantapkan dan meningkatkan mutu serta relevansi pendidikan tinggi Teknik Industri di Indonesia serta berbagi, berkontribusi, dan memberikan sudut pandang dalam pengembangan ide-ide kreatif, inovatif, dan solutif demi pengembangan keilmuan teknik industri. Pada kesempatan kali ini, perkenankan kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi baik dari pihak BKSTI, perguruan tinggi seluruh Indonesia, para pembicara, para pemakalah, peserta kongres dan tentunya pihak sponsorship sehingga acara Kongres VIII BKSTI – SNTI & SATELT 2017 ini dapat terselenggara. Serta perkenankan pula kami menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat hal yang kurang berkenan bagi Bapak/Ibu sekalian.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu ix
Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Malang, 05 Oktober 2017 Ketua Pelaksana Kongres VIII BKSTI – SNTI & SATELIT 2017
Nasir Widha Setyanto, ST., MT.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu x
SAMBUTAN KETUA UMUM BADAN KERJA SAMA PENYELENGGARA PENDIDIKAN TINGGI TEKNIK INDUSTRI INDONESIA (BKSTI) 2014-2017 Kegiatan Kongres Nasional BKSTI yang merupakan agenda organisasi rutin bersamaan dengan pergantian kepengurusan selalu disertai dengan berbagai rangkaian kegiatan yaitu Seminar Nasional Teknik Industri (SNTI), pemberian penghargaan kepada himpunan mahasiswa teknik industri yang berprestasi, dan sebagainya. Kongres kali ini untuk penyelenggaraan SNTI juga dilakukan bersamaan dengan Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri (SATELIT) yang merupakan seminar nasional periodik dari Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya, Malang. Sangat kuat harapan yang muncul agar Kongres Nasional yang kedelapan ini dapat merumuskan arah-arah baru pengembangan program kerja organisasi mengingat perubahan-perubahan yang terjadi semakin cepat, baik pada kebijakan pendidikan tinggi yang merupakan kepentingan utama organisasi ini maupun berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi dan internet yang membawa kita pada revolusi industri keempat yang tentu membawa dampak pada proses penyiapan lulusan teknik industri di berbagai jenjang program pendidikan. Di samping itu pemberlakukan pendidikan profesi insinyur juga memerlukan tanggapan dari BKSTI sehingga dapat membantu secara berarti dalam mendukung penyiapan insinyur-insinyur profesional teknik industri yang sangat dibutuhkan untuk membuat industri di Indonesia semakin kompetitif. Penerapan Kurikulum Perguruan Tinggi (KPT) yang menggunakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai dasar kebijakan, memerlukan pendekatan baru dalam menyiapkan program pendidikan melalui kurikulum maupun dalam menyelenggarakan proses pembelajaran dan penjaminan mutunya. Perubahan ini membawa pendidikan tinggi di Indonesia menjadi pendidikan berbasis hasil atau Outcomes Based Education, dimana pendidikan harus menghasilkan lulusan dengan capaian pembelajaran yang ditentukan oleh para pemangku kepentingan pendidikan. Arah perubahan ini menuntut program studi mengubah pola-pola pembelajaran ke arah pola pembelajaran yang dikenal sebagai student centered learning atau active learning. Perubahan ini juga membawa pada diperlukannya praktik melakukan asesmen baik di tingkat matakuliah maupun program studi untuk memberikan jaminan pembentukan capaian pembelajaran yang dijanjikan. Semuan ini sudah menjadi praktik umum di perguruan-perguruan tinggi internasional dan harus bersama kita ikuti jika pendidikan tinggi teknik industri di Indonesia tidak ingin terus tertinggal. Dalam kaitan ini, BKSTI ini seharusnya menjadi alternatif yang paling mudah bagi penyelenggara program studi teknik industri untuk saling berbagi dan belajar dari hasil-hasil inovasi proses
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xi
pembelajaran serta cara-cara melakukan asesmen yang dilakukan oleh masing-masing anggota BKSTI yang mengarah pada pembelajaran berpusat pada mahasiswa tersebut. Dengan demikian BKSTI dapat menjadi penggerak kemajuan mutu pendidikan tinggi teknik industri di Indonesia yang merupakan cita-cita dari organisasi ini. Seminar-seminar yang mendiseminasikan hasil-hasil penelitian para dosen, mahasiswa, dan praktisi teknik industri sudah menjadi bagian yang harus ada dalam tridharma perguruan tinggi. Penyelenggaraan SNTI yang dilakukan bersama dengan pelaksanaan SATELIT semestinya harus terus ditumbuh-kembangkan. Namun di sisi yang lain masih sangat diperlukan sebuah pengaturan dalam penjadwalan dan tema seminar-seminar keteknik-industrian yang ada di Indonesia saat ini. Tujuan utama dari perencanaan dan penyelenggaraan yang terkoordinasi dengan baik dalam kegiatan seminar ini adalah untuk memungkinkan penyelenggaraan seminar keilmuan teknik industri yang semakin bermutu untuk para peneliti di bidang teknik industri dalam melakukan dialog pengembangan keilmuan teknik industri dari hasil-hasil penelitiannya. Ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan ekosistem penelitian keteknik-industrian nasional yang mampu mendukung proses pendidikan tinggi teknik industri yang semakin bermutu pula. Semestinya BKSTI dapat memerankan posisi simpul yang lebih kuat untuk melakukan kerja sama baik antar perguruan tinggi maupun dengan organisasi profesi teknik industri seperti BKTI-PII (Badan Kejuruan Teknik Industri-Persatuan Insinyur Indonesia) dan ISTMI (Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri) serta dengan berbagai asosiasi profesi lain yang relevan dan industri dalam penyelenggaraan seminar-seminar keilmuan teknik industri tersebut. Pada akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada para pemakalah di seminar nasional teknik industri pada Kongres Nasional BKSTI kedelapan ini untuk semua kontribusi yang telah diberikan. Semoga seminar ini dapat menjadi tempat yang baik bagi para peserta seminar dalam melakukan pengembangan diri dalam melakukan penelitian serta membangun jejaring kerjasama dalam penelitian dan juga dalam pendidikan. Terimakasih pula kepada semua yang mendukung rangkaian kegiatan Kongres Nasional BKSTI kedelapan ini, dan tentu saja terutama kepada Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya sebagai panitia dan tuan rumah Kongres Nasional ini. Bantuan yang telah diberikan baik dalam bentuk sumbangan, saran, pemikiran, tenaga, dan partisipasi pada rangkaian acara Kongres ini adalah aset terpenting dari keberlangsungan organisasi BKSTI ini. Semoga kebaikan selalu menyertai kita bersama dan Kongres Nasional ini berjalan dengan baik dan lancar dan dapat menghasilkan arah pengembangan BKSTI ke depan yang semakin berarti bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi teknik industri di Indonesia. Malang, 05 Oktober 2017 Ketua Umum BKSTI Periode 2014-2017
Dr. Ir. T.M.A. Ari Samadhi, M.SIE
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xii
DAFTAR ISI Kata Pengantar Sambutan Ketua Panitia Kongres VIII BKSTI – SNTI dan SATELIT 2017 Sambutan Ketua Umum Badan Kerja Sama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri Indonesia (BKSTI) 2014-2017 Daftar Isi PENDIDIKAN DAN KEPROFESIAN TEKNIK INDUSTRI (A) A-1 Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi (Anizar, Dwi Endah Widyastuti, M. Zainul Bahri Torong, Kus Hariyono) A-2 Analisa Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri (Ismu Kusumanto, Maulana Syahri) A-3 Pengembangan Serious Simulation Game Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri (Arry Rahmawan Destyanto, Akhmad Hidayatno, Armand Omar Moeis) A-4 Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ) (Singgih Saptadi, Heru Prastawa, Yoga Satria) A-5 Pengembangan Kurikulum Program Studi Teknik Industri Dengan Menggunakan Metode Quality Function Development (Ansarullah Lawi, Tonaas Kabul Wangkok Yohanis Marentek) A-6 Analisis Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Aidil Ikhsan, Yulherniwati) A-7 Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri ITENAS (Sugih Arijanto, Fadillah Ramadhan, Rian Fitriawanti) ERGONOMI, PERANCANGAN SISTEM KERJA DAN PERANCANGAN PRODUK (B) B-1 Pengaruh Jenis Musik dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi (Rini Dharmastiti, Akmal Fatah Fainusa) B-2 Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience (Thedy Yogasara, Janice Loanda) B-3 Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil Pengaruh (Luciana Triani Dewi, Kevin Dantes) B-4 Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) (Herlina K. Nurtjahyo, Nicko Chandra, Boy N. Moch) B-5 Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin (Idhar Yahya, Farida Ariani, Erwin, Anizar, Zul Ardian Amralis) B-6 Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi (Ishardita Pambudi Tama, Debrina Puspita Andriani, Nikita Ashardika Putri) B-7 Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis (Naniek Utami Handayani, Diana Puspita Sari, Devi Amalia Ayuningtias, Fatmila)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu ix
viii ix xi xiii
A-1 A-8
A-14
A-21
A-27 A-33 A-39
B-1 B-8 B-18
B-24 B-30
B-36
B-42
B-8 B-9
B-10
B-11 B-12
B-13
B-14
B-15 B-16
B-17
B-18 B-19
B-20
B-21
B-22 B-23
B-24 B-25 B-26
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) Untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru (Ekie Gilang Permata, Muslim) Desain Perbaikan Layout Produksi Pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga (Tigar Putri Adhiana, Maria Krisnawati, Seto Sumargo) Perancangan Pallet Ergonomis di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ) (Satriardi, Dedi Dermawan, Achmad Asyhari Aminudin) Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif (Subagyo, Fadhila Nastiti, dan Fitria Kurniasany) Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun (Hilma Raimona Zadry, Dina Rahmayanti, Hayattul Riski, Difana Meilani, Lusi Susanti) Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 Pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara (Yuana Delvika) Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker (M. Kumroni Makmuri, Amiludin Zahri) Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian Dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna (Dominikus Budiarto) Perancangan Alat Pelindung Diri (APD) Penutup Bahu dan Lengan yang Ergonomis pada Proses Pengelasan di PT McDermott (M. Ansyar Bora, Larisang, Dedi Bastian Tarigan) Pengaruh Asupan Ice Slurry Sebelum Melakukan Aktivitas Fisik di Lingkungan Panas Terhadap Respon Termoregulasi (Titis Wijayanto, Valentina K. Bratadewi, Harendrasena S. Prakasa, Ghani F.A. Rahman) Perbandingan Metode-Metode Evaluasi Postur Kerja (Desto Jumeno) Usulan Desain Proses Pengangkatan Sari Kedelai ke Penyaringan (Studi Kasus Pabrik Tahu di Batam) (Benedikta Anna Haulian Siboro, Muhammad Fadly Siagian, Annisa Purbasari) Rancangan Jemuran Pakaian Otomatis Menggunakan Sensor Cahaya dan Hujan yang Ergonomis (Anwardi, Ami Oktavia Aziz, Boni Fitri Maulani) Analisis Human Error pada Pramudi Transjakarta dengan Pendekatan HEART dan Fault Tree Analysis (Dian Mardi Safitri, Arum Oktaviasari, Pudji Astuti, Nora Azmi) Perbandingan Pengukuran Situational Awareness Secara Online dan Freeze pada Pengemudi (Amalia Azka Rahmayani, Titis Wijayanto) Perancangan Lampu Tidur Sensor Gerak Hemat Energi dengan Pendekatan House of Quality (Rosnani Ginting, Siti Soraya Faiza Nasution) Perbaikan Desain Kemasan Untuk Produk Makanan Rendang (Ayu Bidiawati, Aidil Ikhsan, Anna Maria) Desain Kursi Kerja Ergonomis bagi Perajin Karawo (Idham Halid Lahay, Hasanuddin, Stella Junus) Identifikasi Modularity Architecture Suatu Kendaraan Listrik dalam Mendukung Sustainable Design (Dawi Karomati Baroroh, Diyta Alfiah)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu x
B-51
B-57
B-62 B-69
B-76
B-82
B-87 B-93
B-100
B-106 B-112
B-118
B-125
B-131 B-137
B-143 B-149 B-154 B-161
B-27 B-28 B-29
B-30 B-31
B-32
B-33 B-34
B-35
B-36 B-37
B-38
B-39
B-40 B-41 B-42
B-43
B-44
B-45
Potensi Pengembangan Rumah Berkonsep Ergo-Ekologi untuk Daerah Beriklim Tropis (Lusi Susanti, Hilma Raimona Zadry, Prima Fithri) Perancangan Alat Pengontrol Pengaman Pintu Ruangan dengan Bluetooth Berbasis Android (Marwan) Causal Effects Diagram dalam Memodelkan Risiko K3 Dengan Mempertimbangkan Keterkaitan Penyebab Risiko Pada Gedung Bertingkat (Dwi Iryaning Handayani, Tri Prihatiningsih) Reduksi Kelelahan Otot Deltoit Dokter Gigi Melalui Pendekatan Ergonomi (Listiani Nurul Huda, dan Nurwany) Perancangan Furniture Alat Belajar Anak di Rumah Susun Menggunakan Standar Ergonomi, Antropometri, Perancangan dan Pengembangan Produk (Valentina Lilian Utomo) Analisis Beban Kerja dan Jumlah Pekerja pada Kegiatan Pengemasan Tepung Beras (Dini Wahyuni, Irwan Budiman, Savudan N Sihombing, Meilita Tryana Sembiring, Nismah Panjaitan) Analisis Efisiensi Operator Pemanis CTP dengan Westing House System’s Rating (Amanda Nur Cahyawati, Dinda Aprilyani Pratiwi) Analisis User Experience pada Penggunaan Aplikasi Mobile Jakarta Smart City (Danu Hadi Syaifullah, Maya Arlini Puspasar, Asma Hanifah) Desain Gelas Ergonomis untuk Orang Tua dengan Menggunakan Quality Function Deployment (Sri Widiyawati, Astuteryanti Tri Lustyana, Ivan Eliata) Performansi David Laser Scanner untuk Pengukuran Antropometri Kaki (I G. B. Budi Dharma, N. A. Nathania) Pengembangan Produk Sumber Tenaga Listrik Mini dengan Pendekatan VDI (Verein Deutscher Ingeniure) 2221 (Albertus L. Setyabudhi, Ganda Sirait) Analisa dan Estimasi Penurunan Risiko dengan Job Safety Analysis pada Departemen Warehouse (Rahmi Yuniarti, Anindita Dyah Ayu Prameswari) Pendekatan Data Envelopment Analysis untuk Mengukur Efisiensi Healthcare Supply Chain dalam Konteks Ergonomi Makro di Poliklinik UB (Sugiono, Ihwan Hamdala, Novia Ayu Sundari) Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDS) pada Pengasuh Anak (Dian Palupi Restuputri, Teguh Baroto, Puspita Enka) Analisis Ergowaste pada Proses Produksi Yoke dengan Pendekatan Lean Ergonomics di PT.X (Sumiyanto, Nataya Charoonsri Rizani) Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan (Astuteryanti Tri Lustyana, Sri Widiyawati, Ivan Eliata) Analisis Risiko K3 di PLTA berdasarkan Hazard Identification Risk Analysis and Risk Control (HIRARC) (Ratih Ardia Sari, Kartika Yanuar Budi) Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keselamatan dengan Fingerprint) Menggunakan Kualitas Fungsi Deployment (Rossi Septy Wahyuni, Prameswari Rizcha Julianda, Ahmad Fauzi) Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis dan Kesejahteraan Masyrakat Sekitar Melalui Program PKM (I.K Tjahjani, Mochammad Hatta, Agung Wahyudi)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xi
B-168 B-174
B-184 B-190
B-197
B-206 B-211
B-217
B-233 B-239
B-244
B-250
B-259 B-265 B-272
B-278
B-285
B-291
B-298
B-46 B-47
B-48
B-49
B-50
B-51 B-52
Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong (Dewi Hardiningtyas, Yana Windy Sesha Putri, Remba Yanuar Efranto) Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp Pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur (Amrin Rapi, Arminas) Analisis Potensi Risiko Cidera Karyawan Proses Packing Di Area Store in House Dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL) Pada PT. Toyota Boshoku Indonesia (Arminas, Muhammad Basri) Analisis Pengukuran Beban Kerja Mental Perawat Unit Gawat Darurat Dengan Metode NASA-Task Load Index (Susi Susanti, Andi Pawennari, Irma Nur Afiah, Muhammad Dahlan, Nurhayati Rauf) Perancangan Alat Pengering Keripik Samiler Mentah untuk Peningkatan Produktivitas UKM Samijali Surabaya (Ratna Sari Dewi, Anny Maryani, Adithya Sudiarno, Burniadi Moballa) Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja pada Proses Produksi Trafo (Anny Maryani, Faradila Dwi Handayani, Yudha Prasetyawan) Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang dengan Pendekatan QFD dan Antropometri (Ismail Hasan, Erni Suparti, Bagus Ismail A. W.)
SISTEM PRODUKSI / MANUFAKTUR (C) C-1 Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion (Shadila Atma, Rayinda Pramuditya Soesanto, Amelia Kurniawati, Umar Yunan Kurnia Septo Hediyanto) C-2 Perencanaan Jadwal Perawatan Pencegahaan Untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharaan Komponen Bearing 22208 C3 (Elisabeth Ginting, Mangara Tambunan, Rahmi M.Sari, Liasta Ginting) C-3 Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang (Anita Mustikasari, Desynta Elina Pangestuti) C-4 Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu Untuk Meningkatkan Jumlah Produksi Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing (Melfa Yola, Tengku Nurainun, Yuyun Novinda Sari Pane) C-5 Implementasi Lean Manufacturing untuk Identifikasi Waste Pada Bagian Wrapping di PT. X Medan (Eddy, Edi Aswin) C-6 Metode Penentuan Jumlah Tenaga Kerja pada Pekerjaan Perawatan (Andi Rahadiyan Wijaya) Analisa Pengembangan Produk Sepatu Kulit Dengan Metode Rekayasa Nilai Dalam Rangka Penghematan Biaya (Studi Kasus pada Home C-7 Industri Kerajinan Kulit Figha Di Magetan) (Eko Sulistyono, Agustin Sukarsono) C-8 Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 dengan Metode Reliability-Centered Maintenance (RCM) (Anna Annida Noviyanti, Fransiskus Tatas Dwi Atmaji, Widia Juliani) C-9 Analisis Process Capability dalam Menentukan Kemampuan Proses Produksi pada Industri Baja (Khawarita Siregar, Khalida Syahputri) C-10 Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D “CLab A01” (Herianto, Erika Aulia Irlanda)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xii
B-305
B-312
B-319
B-324
B-329 B-335
B-342
C-1
C-8 C-14
C-20 C-27 C-33
C-39
C-45 C-52 C-56
C-11
C-12
C-13 C-14 C-15
C-16
C-17
C-18
C-19 C-20
C-21 C-22 C-23
C-24
C-25
C-26
C-27
C-28 C-29
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance dan Pengelolaan Spare Part Mesin Weaving dengan Metode RCM dan RCS (Nurfitriana Siswi Martasari, Judi Alhilman, Nurdinintya Athari) Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus: Desa Wisata Batik Jarum, Bayat) (Rizky Saraswati, Eko Liquiddanu, Fakhrina Fahma) Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang (Taufik, Prima Fithri, Ririn Arsita) Penentuan Jumlah Produksi Roti Berdasarkan Estimasi Kerugian Minimal (Nur Indrianti, Alfonsa Radite Asthingkara, Sutrisno) Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter (Farida Ariani, Syahrul Fauzi, Khalida Syahputri) Pembuatan Mesin Produksi Senar (Benang Monofilamen) dalam Pemberdayaan UKM Kain Kasa di Kota Malang (Samsudin Hariyanto, Dani Yuniawan, Aang Fajar Pasha Putra) Implementasi Alat Cetak Mekanis Opak Ketan Guna Meningkatkan Produktivitas (Studi Kasus: IKM Opak Ketan, Sumedang) (Rosad Ma’ali El Hadi, Wawan Tripiawan, Rohmat Saedudin) Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura (Eucharistia Yacoba Nugraha, I Wayan Suletra, Eko Liquiddanu) Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi (Naufal Abyan, Wildan Trusaji, Fariz Muharram Hasby, Dradjad Irianto) Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7 (Raden Muhamad Marjan Faisal, Pratya Poeri Suryadhini, Widia Juliani) Penerapan Lean Manufacturing dalam Proses Produksi Common Rail (Reinny Patrisina, Kurnia Medio SE Ramadhan) Impelemetasi Manajemen Risiko di Departemen Tambang PT Semen Padang (Henmaidi, Alwedria Zamer) Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko Pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi (Herliwanti Prisilia, Dimas Aji Purnomo) Perawatan Mesin Kompresor Udara Dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus Di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran) (Uyuunul Mauidzoh, Yasrin Zabidi, Dana Mufti Prasetya) Penjadwalan Pemeliharaan Mesin Pengelasan Titik Bergerak Menggunakan Metode Realibility Centered Maintenance (RCM) (Asep Mohamad Noor, Musafak, Nanih Suhartini) Perbaikan Workshop dengan Menerapkan Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) Di Workshop PT. Semen Padang (Mufrida Meri. Z, Putri Lenggogeni) Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan Pada PT. Perkebunan Nusantara VIII (Ambar Harsono, Hendro Prassetyo, Mohammad Triadji) Evaluasi Efektivitas Mesin Filter Press (Yusrizal, Trisna Mesra) Evaluasi Deviasi Dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Korektif Dan Preventif (Arif Rahman)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xiii
C-62
C-68 C-75 C-85
C-91
C-97
C-103
C-108 C-115
C-123 C-131 C-137
C-143
C-150
C-158
C-163
C-168 C-175 C-181
C-30
C-31 C-32 C-33
C-34 C-35
C-36
C-37
C-38 C-39
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A (Ratri Sinatrya Aulia, Oyong Novareza, Dwi Hadi Sulistyarini) A Customized Lease Contract for Fleet (Hennie Husniah, Leni Herdiani, Widjajani) Optimasi Produksi Produk Kdt Di PT. XYZ Menggunakan Programa Dinamik (Umi Marfuah, Luthfia Nurul Anwar) Analisa Kegagalan Dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II (Nurwidiana, Akhmad Syakhroni, Noor M Charis) Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT Semen Padang (Henny Yulius, Irsan, Putri Lenggogeni) Analisis Kerusakan Dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) Dan Failure Mode And Effect Analysis (FMEA) Di PT. XYZ (Endang Widuri Asih, Muhammad Yusuf, Fajar Muhamad Fauzan) Perancangan Penjadwalan Perawatan Mesin dengan Metode Map Value Stream Mapping (MVSM) di PT XXX (Nurhayati Sembiring, Ahmad Husaini Nst) Analisis Efektivitas Mesin Stripping Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis (Rakhmat Himawan, Mochamad Choiri, Baramuli Saputra) Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler (Anita Christine Sembiring) Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang Sale di Desa Bandar Tinggi (Tugiman, Suprianto, Nismah Panjaitan, Farida Ariani, Sarjana)
REKAYASA DAN MANAJEMEN KUALITAS (D) D-1 Analisis Pengendalian Kualitas Kantong Di PPI PT Semen Padang Dengan Metode SQC (Statistical Quality Control) (Prima Fithri, Muhammad Iqbal) D-2 Analisis Kualitas Produk Dengan Pendekatan Six Sigma (Supriyadi, Gina Ramayanti, Alex Chandra Roberto) D-3 Perspektif Kepuasan Penumpang Terhadap Kualitas Layanan Trans Padang (Elita Amrina, Nilda Tri Putri, Rendy Kaban) D-4 Perceived Fairness dalam Revenue Management : Kasus untuk Industri Bioskop (Nur Aini Masruroh, Stella Nadya Arvita) D-5 Analisis Kepuasan Masyarakat Penerima Raskin di Kelurahan Tangkerang Selatan Kecamatan Bukitraya Pekanbaru Dengan Pendekatan Importance Performance Analysis (Dewi Diniaty) D-6 Analisis Quality of Work Life (QWL) terhadap Kepuasan Kerja Tenaga Perawat di Rumah Sakit (Yesmizarti Muchtiar, Dessi Mufti, Diki Novrialdi) D-7 Perbaikan Kualitas Pada Proses Produksi BJTP 24 S-08 di PT. I Dengan Penerapan Metode FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) dan Metode Taguchi (Rina Fitriana, Muhammad Alfianto) D-8 Perancangan Usulan Perbaikan Kualitas Proses Penanganan Gangguan Layanan Internet & Broadband dengan Metode Six Sigma (Yunisa Arini, Wildan Trusaji, Rachmawati Wangsaputra, Dradjad Irianto)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xiv
C-187 C-194 C-200
C-207 C-212
C-222
C-229
C-236 C-242 C-248
D-1 D-7 D-14 D-21
D-28
D-37
D-43
D-50
D-9 D-10
D-11 D-12
D-13
D-14
D-15
D-16 D-17
D-18 D-19 D-20
Model Estimasi Waktu Operasi Untuk Pemesinan di Industri Berbasis Make-To-Order (Anas Ma’ruf , Sonya A. S. Meliala) Pengendalian Proses Produksi Dengan Metode Statistical Process Control Dalam Upaya Minimasi Cacat Tissue Paper (Sukanta, Iwan Irawan) Pengendalian Kualitas Produk Kantong Plastik dalam Menurunkan Tingkat Kegagalan Produk Jadi (Suliawati, Vita Sari Gumay) Pengaruh Pemasaran Dan Kualitas Layanan Terhadap Loyalitas Pengunjung Pada Produk Fashion (Atikha Sidhi Cahyana, Dadang Sukoriyono) Usulan Perbaikan Kualitas Pelayanan dengan Metode Servqual dan QFD pada Bank Aceh Cabang Krueng Geukueh (Bakhtiar, Syukriah, Tira Yustika) Penggunaan Metode FMEA dan FTA untuk Perumusan Usulan Perbaikan Kualitas Sepatu Running (Bryan Febby Sentosa, Oyong Novareza, Suluh Elman Swara) Analisis Preferensi Konsumen Tehadap Produk Minuman Kopi Berdasarkan Uji Organoleptik (Rio Prasetyo Lukodono, Oyong Novareza, Ihram Rachmansyah) Analisis Pengaruh Stressor Waktu dan Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Performansi Mengemudi (Akbar Mohammad Syawqi, Rini Dharmastiti) Peningkatkan Kualitas Layanan 4G LTE Telkomsel Berdasarkan Servqual Dan Quality Function Deployment Yang Terintegrasi (Suhartini, Setyo Bayu Prayogo) Perbaikan Kualitas Menggunakan Metode Seven Tools Dan Fault Tree Analysis (FTA) DI PT. XYZ (Syahrul Fauzi, Khawarita Siregar) Analisis Perbaikan Kualitas Pada Mesin Warping Terhadap Defect Putus Lusi (Nisrina Ardine, Rio Prasetyo Lukodono, Raditya Ardianwiliandri) Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tepung Terigu dengan Pendekatan Six Sigma dan Cost of Poor Quality (Retnari Dian M, Andi Hermawan)
PENELITIAN OPERASIONAL DAN PEMODELAN SISTEM (E) E-1 Kerangka Kerja Perencanaan Operasional Layanan Taksi Online Berbasis Crowd-sourcing (Budhi Sholeh Wibowo) E-2 Analisis Penjadwalan Produksi Flowshop dengan Membandingkan Metode Harmony Search dan Algoritma Nawaz, Enscore And Ham (Ukurta Tarigan, Neneng Isnaini Lubis, Uni Pratama P. Tarigan) E-3 Penggunaan Metode Shared Storage dalam Perencanaan Tata Letak di Gudang PT. X (Qomariyatus Sholihah) E-4 Model Simulasi Penentuan Unit Kendaraan Cadangan pada Armada Komuter CT (Kusmaningrum Soemadi, Rhazi Aditya Pratama, Cahyadi Nugraha, Chandra Ade Irawan) E-5 Model Linear Programming Pasokan Batu Bara di PT XYZ (Jonrinaldi, Alexie Herryandie, Natasha Frides) E-6 Analisis Optimasi Waktu Proyek Menggunakan Program Evaluation and Review Technique (Imam Safi’i, Heribertus Budi Santoso) E-7 Penjadwalan Job Shop Fleksibel dengan Mempertimbangkan Saat Siap dan Saat Tenggat (Revalda Putawara, Wisnu Aribowo, Anas Ma’ruf)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xv
D-58
D-64 D-70
D-76
D-80
D-86
D-93 D-99
D-102 D-110 D-118
D-125
E-1
E-7 E-13
E-19 E-26 E-36 E-41
E-8 E-9
E-10
E-11
E-12
E-13 E-14
E-15 E-16
E-17
Optimasi Penjadwalan Mata Kuliah Menggunakan Pewarnaan Graf (Theresia Sunarni, R. Kristoforus Jawa Bendi, dan Achmad Alfian) Analisis Penerapan Line Balancing Dengan Pendekatan Simulasi dan Metode Ranked Position Weight (RPW) (Prima Denny Sentia, Andriansyah, dan Abdul Hanan) Penentuan Skenario Kebijakan Persediaan Terbaik dengan Pendekatan Simulasi Montecarlo (Ganjar Hendrik Kusuma, Widi Astuti, Moh. Rifki Nurhakim, dan Utaminingsih Linarti) Pemodelan Simulasi untuk Analisis Performansi Penjadwalan pada Sistem Manufaktur Make to Order dengan Mesin Paralel (T. Yuri M. Zagloel, Romadhani Ardi, dan Levina Adriana) The Development of Coal Transshipment Model for Floating Crane Allocation with Mixed Integer Programming (MIP) (Zulkarnain, Komarudin, dan Rifqi Putra Fadillah) Air Cargo Revenue Optimization with Overbook Capacity (Komarudin, Henry Suropati, Akhmad Hidayatno) Simulasi Arena Untuk Mengurangi Bottle Neck Pada Proses Produksi Kaos (Studi kasus di UKM “Greentees Order Division”) (Annie Purwani, Yusuf Tsani) Simulator untuk Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri Interval (Suprayogi, Muhammad Hanief Meinanda) Penerapan Analytic Hierarchy Process dan Goal Programming untuk Pengalokasian Pemesanan Bahan Baku Kertas Daur Ulang (Ceria Farela Mada Tantrika, Wifqi Azlia, Alief Arfiansyah) Optimalisasi Pengadaan Tandan Buah Segar (TBS) Sebagai Bahan Baku Produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel PT Ukindo-Palm Oil Mill (Muhammad Fazri Pasaribu, Riana Puspita)
MANAJEMEN INDUSTRI, KEWIRAUSAHAAN, DAN INOVASI (F) F-1 Pemodelan Kansei Engineering Type I & Kansei Quality Management Untuk Peningkatan Kinerja Layanan Logistik (Markus Hartono) F-2 Studi Komparasi Pengaruh Bauran Pemasaran terhadap Keputusan Pembelian pada Olahan Bandeng dan Olahan Udang (Yeriska Anggraeni, Aisyah Larasati, Nunung Nurjanah) F-3 Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Menggunakan Metode Balanced Scorecard dan Analytical Hierarchy Process (Alina Cynthia Dewi, Akhmad Nidhomuz Zaman, Muhammad As’adi) F-4 Pengukuran Produktivitas Proses Produksi Stand Assy Main dengan Metode OMAX di PT. IP Karawang (Dene Herwanto, Damara Widi Ardiatma) F-5 Perkembangan Model Knowledge Management Cycle: Sebuah Tinjauan Pustaka (Amelia Kurniawati, Rayinda Pramuditya Soesanto, T.M.A. Ari Samadhi, Iwan Inrawan Wiratmadja, Indryati Sunaryo) F-6 Motif Berprestasi Wirausaha Ibu – Ibu Rumah Tangga dan Pengaruhnya Terhadap Pengambilan Keputusan Berwirausaha (Vinsensius Widdy Tri Prasetyo) F-7 Hubungan Bauran Pemasaran Jasa dan Kepuasan Pelanggan Rumah Karaoke di Kota Luwuk (Chaerul Fahmi Yusuf)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xvi
E-48
E-54
E-61
E-66
E-72 E-77
E-82 E-88
E-95
E-101
F-1
F-6
F-14
F-21
F-28
F-34 F-40
F-8
F-9
F-10
F-11 F-12 F-13
F-14 F-15 F-16
F-17 F-18
F-19
F-20 F-21 F-22 F-23 F-24
F-25 F-26 F-27
Kajian Potensi dan Pengembangan Strategi Sustainable Pariwisata pada Wisata Sejarah Candi Pari (Akhmad Nidhomuz Zaman, Agung Henaulu K, Alina Cynthia Dewi) Pengukuran Tingkat Kesiapan Technoware dan Humanware pada Pakan Buatan Ikan Lele Dumbo dalam Memenuhi SNI 01-4087-2006 (Alexandrio Adinanda Nababan, Mohammad Mi’radj Isnaini, Dradjad Irianto) Identifikasi Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Eco – Label pada Produk Perikanan oleh Konsumen (Ratna Purwaningsih, Aries Susanty, Amru Khaifa Wafa) Perancangan Tata Letak Fasilitas Pabrik Tahu untuk Meminimalisasi Material Handling (Sri Rahayuningsih, Lolyka Dewi Indrasari) Pola Siklus Hidup Produk – Produk Kendaraan Bermotor Roda Empat di Indonesia (Citrasari Andadari, Subagyo) Perancangan Manajemen Strategi Bisnis Distribution Outlet Khas Minangkabau (Difana Meilani, Hilma Raimona Zadry, Iqbhal Wanahara) Analisis Budaya Kerja UKM Industri Bambu di Cebongan Sleman Yogyakarta (Marni Astuti, Riani Nurdin) Pengukuran Kepuasan Pelanggan dengan Pendekatan Customer Satisfaction Index (Shanty Kusuma Dewi) Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor Dengan Benchmarking Rantai Nilai (Studi Kasus PT X Dan PT Y) (Litasari Kusuma Putri, Eko Liquiddanu, dan I Wayan Suletra) Analisa Strategi Pemasaran Polis Asuransi Kebakaran (Nanang Alamsyah, Trenggono Widodo, Vrendi Adi Prayoga) Pengaruh Ekosistem Kewirausahaan terhadap Perilaku Kewirausahaan Didasarkan Tingkat Perkembangan Ekonomi Nasional (Frida Soedjito, Catharina B Nawangpalupi, Gandhi Pawitan) Integrasi Balanced Scorecard dan Data Envelopment Analysis dalam Pengukuran Kinerja dan Efisiensi (Boy Nurtjahyo Moch, Erlinda Muslim, Laura Karina) Pengaruh Motivasi, dan Kepuasan Kerja Terhadap Budaya Organisasi, dan Dampaknya Terhadap Kinerja Dosen (Tyas Eka Kurnia) Model Kinerja Pemasaran Dengan Menggunakan Smart PLS (Studi Kasus, PT. EPFM) (Nadzirah Ikasari, Nurul Chairany, Nur Hayati) Pengaruh Latar Belakang Seseorang Menjadi Pengusaha Terhadap Karakteristik (Sunardi Koesugito, Handoyo, Purwati) Effective Transition from Engineers to First-time Managers: Initial Evidence from Indonesia (Budi Hartono, Alwan Hafizh) Studi Peningkatan Daya Saing Industri dan Penguatan Inovasi IKM Alat dan Mesin Pertanian Sumatera Barat (Insannul Kamil, Rika Ampuh Hadiguna, Berry Yuliandra, Mutia Alius, Irsyadul Halim) Pengembangan Model Bisnis Koperasi Ritel Kareb Bojonegoro Jawa Timur (Zulfa Fitri Ikatrinasari) Analisis Pemborosan Pada Unit Pelayanan Kesehatan Poliklinik Dengan Pendekatan Lean Service (Sugiono, Rakhmat Himawan, Achmad Fadla) Studi Kelayakan Investasi Pengadaan Mesin Cetak Kalkir pada UKM yang Berbasis Offset Printing CV Plasmagraph (Wibowo Suryo Tiyarto, Budi Praptono, Maria Dellarosawati Idawicaksati)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xvii
F-44
F-51
F-57 F-64 F-77
F-83 F-91 F-98
F-104 F-111
F-118
F-125 F-132 F-143 F-152 F-158
F-164 F-171 F-178
F-184
F-28
F-29 F-30
F-31
F-32
F-33 F-34
F-35
F-36
F-37
F-38
F-39 F-40
F-41
Identifikasi Sumber Makanan Pokok Untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Pangan Menggunakan Analisa Hirarki Process (AHP) (Iphov Kumala Sriwana) Pengaruh Pendidikan, Ketrampilan dan Pendapatan Non Kerja Terhadap Partisipasi Kerja Lansia di Kota Medan (Asfriyati, Erna Mutiara) Analisis Kelayakan Finansial Produk Pakan Ternak Sapi Perah di Koperasi Susu Kota Batu (Raditya Ardianwiliandri, Ceria Farela Mada Tantrika, Nimas Mustika Arum) Analisis Gap Kualitas Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit Swasta di Kota Malang (Remba Yanuar Efranto, Risna Aditya Prahasta, Dewi Hardiningtyas) Pengaruh Kemampuan Pembelajaran Organisasi Terhadap Kinerja Industri Menengah Bidang Pangan di Kota Padang (Alizar Hasan, Prima Fithri, Indah Qisty Annisa) Analisis Kausal Kinerja dan Layanan Transportasi Bunga Krisan (Emirul Bahar, Syarifuddin Nasution) Peningkatan Kinerja Toyota Auto2000 Banyuwangi Dengan Penilaian Kinerja Menggunakan Metode Integrated Performance Measurement Systems (IPMS) (Endang Suprihatin, Muhamad Ali Amsori) Analisis Performansi Kualitas Pelayanan Biro Travel Dan Paket: Sebuah Study Komparatif Antara Kinerja Kantor Pusat Dan Cabang (Yeni Sumantri, Ratih Ardia Sari, Gadis Ghanatika) Analisis Produktivitas Dengan Menggunakan Metode Objective Matrix (OMAX) Pada Baitul Mal Kabupaten Aceh Utara (Anwar, Sri Deza Kurnia Devi) Analisis Pengaruh Perilaku Kepemimpinan terhadap Rasa Saling Percaya (Studi Kasus: IKM Surya Jaya Stone, Tulungagung) (Augustina Asih Rumanti, Wawan Tripiawan, Iwan Inrawan Wiratmadja, Bobby Andrew) Analisis Pengukuran Kinerja Departemen Pengadaan dengan Metode Objective Matrix (OMAX) (Wifqi Azlia, Endra Yuafanedi Arifianto, Iwan Noegroho) Analisis Pengaruh Motivasi Terhadap Kinerja Sumberdaya Manusia Di IAIIG (Amin Syukron) Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Budidaya Ayam Ras Petelur Maya Rolet (Ratih Iba Gustin, Rosad Ma’ali El Hadi, Maria Dellarosawati) Model Asessmen dalam Upaya Meningkatkan Efisiensi Produksi AAC pada Perusahaan Kalla Block (Suradi, Andi Haslindah)
SISTEM INFORMASI DAN KEPUTUSAN (G) G-1 Model Sistem Informasi Rantai Pasok Berbasis Cloud Computing untuk Menciptakan Keunggulan Kompetitif Agroindustri Olahan Apel (Alfredo Tutuhatunewa, Surachman, Purnomo B. Santoso, Imam Santoso) G-2 Rancang Bangun Aplikasi Perhitungan Predetermined Time System (Waktu Standar Tidak Langsung) dengan Metode Brainstorming (Ch Desi Kusmindari, Ari Muzakir, M. Kumroni Makmuri) G-3 Disain Sistem Informasi Equipment Stop Alert Menggunakan SMS Gateway (Maria Krisnawati, Ratna Octodinata, Endro Sutrisno)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xviii
F-193 F-199
F-203
F-209
F-215 F-223
F-229
F-237
F-242
F-250
F-258 F-265
F-269 F-275
G-1
G-10 G-17
G-4
Penentuan Kriteria Pemilihan Lokasi IPAL Bersama Industri Tahu Tempe di Kelurahan Mojosongo dengan Pendekatan Fuzzy AHP (Hansen Kusuma, I Wayan Suletra, Yusuf Priyadari, Wakhid Ahmad Jauhari) G-5 Perancangan Model Relasi Data Dokumen Akreditasi Program Studi (Intan Mardiono, I Gusti Bagus Budi Dharma) G-6 Evaluasi Usabilitas Antarmuka Website Reservasi Tiket Travel dengan Analisis Eye Tracking (Monica Febe Sintiara, Johanna Renny Octavia) G-7 Aplikasi Cross Entropy Pada Support Vector Machine Untuk Prediksi Financial Distress (Herlina, Dwi Yuli Rakhmawati) G-8 Optimasi Waktu Tunggu Resep Pulang Farmasi Rawat Inap RS XYZ dengan Metode E-Presscribing (Silvi Ariyanti, Era Cicilia) G-9 Analisis Pengaruh Marketing Mix Terhadap Keputusan Pembelian Sepeda Motor Merek Yamaha Pada PT. Alfa Scorpii Lambaro Banda Aceh (Bakhtiar, Syukriah, Khairanita) G-10 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Rekomendasi Teknologi pada Pengguna Chip-Based Electronic Money (Erlinda Muslim, Romadhani Ardi, Tashia Putri Nandari) G-11 Kerangka Pendukung Keputusan yang Mempertimbangkan Keberlanjutan untuk Pemilihan Teknologi Pemerosesan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (Aulia Ishak, Khalida Syahputri) G-12 Konsep Integrasi Knowledge Management dengan Case-Based Reasoning (Purnomo Budi Santoso, Mohamad Choiri) LOGISTIK DAN MANAJEMEN RANTAI PASOK (H) H-1 Effectiveness of Integrated Location-Routing Problem (Bertha Maya Sopha, Anna Maria Sri Asih, Arlita Nurmaya Asri) H-2 Humanitarian Logistics Information System for Merapi Disaster Relief Operations (Anna Maria Sri Asih, Bertha Maya Sopha, Yulianita Rahayu, Heru Saptono) H-3 Penerapan Model Traffic Light System Dalam Melakukan Evaluasi Kinerja Pemasok PT XYZ (Nilda Tri Putri, Restu Mustaqim, Elita Amrina) H-4 Optimasi Rute Distribusi Bantuan Logistik Bencana Erupsi Gunung Merapi Menggunakan Algoritma Sweep (Sinta Rahmawidya Sulistyo, Muhammad Zulfikar) H-5 Optimasi Vehicle Routing Problem Berkarakteristik Time Window dengan Algoritma Bee Colony Optimization (Nur Mayke Eka Normasari, Budi Hartono, Rizky Riyadhi) H-6 Supply Chain Management Tembakau Kabupaten Sumenep dengan Multi Supplier, Kelompok Tani, dan Gudang Perusahaan (Kukuh Winarso, Sabarudin Akhmad, Achmad Nabil) H-7 Pengembangan Model Pemilihan Supplier dengan Mempertimbangkan Voice of Customer (Rury Muhandar, Titi Indarwati, Nur Aini Masruroh) H-8 Penentuan Rute Kendaraan Proses Pendistribusian Beras Bersubsidi di Kota Pekanbaru (Misra Hartati, Ika Riandi Putra) H-9 Penentuan Indikator Kinerja Rantai Pasok Tangkas Berbasis Perspektif Balance Scorecard Menggunakan Fuzzy-ANP dan Fuzzy-QFD: Aplikasi pada Industri Semen (Dicky Fatrias, Insannul Kamil, Rini Syahfitri)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xix
G-22 G-30 G-36 G-43 G-48
G-54
G-61
G-68 G-77
H-1
H-7
H-14
H-24
H-30
H-34 H-40 H-46
H-52
H-10 Analisis Rantai Pasok Industri Pengolahan Berbasis Salak di Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah (Ratih Wulandari, Rakhma Oktavina) H-11 Model Penentuan Lokasi Pendirian Distribution Center (Putu Eka Dewi Karunia Wati, Hilyatun Nuha, Hery Murnawan) H-12 Penentuan Kriteria Kinerja Nominated Supplier pada Industri Garmen (Katherin Yohana) H-13 Analisa Kebutuhan dan Penyedian LPG 3 Kg Menggunakan MAPE dan EOQ (Sukarno Budi Utomo, Rita Hariningrum) H-14 Identifikasi Aktivitas Rantai Pasok Industri Hijab Pemula Berdasarkan Value Chain Analysis (Wiwik Sudarwati, Meri Prasetyawati) H-15 Penentuan Kriteria Evaluasi Vendor Pada Perusahaan Hulu Minyak Dan Gas Dengan Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) (Inaki Maulida Hakim, Zainina Saphira) H-16 Analisa Kapasitas Produksi Pembuatan Rokok Sigaret Keretek Mesin (SKM) Menggunakan Metode Rougt Cut Capacity Planning (RCCP) (Studi Kasus: PT Cakra Guna Cipta) (Nasir Widha Setyanto, Bachtiar Herdianto, Agustina Eunike) H-17 Evaluasi Penggunaan Energi dan Emisi Gas CO2 pada Rantai Pasok Daur Ulang Sampah Plastik (Marudut Sirait) H-18 Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku Dengan Validasi Capacity Requirement Planning (CRP) Pada Perusahaan Rokok Sigaret Keretek Mesin (SKM) (Agustina Eunike, Bachtiar Herdianto, Nasir Widha Setyanto) H-19 Pengendalian Persediaan Dengan Pola Permintaan Dinamik (Studi Kasus PT. SAI) (Mirna Lusiani, Filscha Nurprihatin, Hendy Tannady, Hendra Suyanto, Christian Lois, Eko Verdianto) H-20 Penentuan Alternatif Lokasi Terminal Bongkar Muat dengan Mempertimbangkan Kondisi Lalu Lintas dan Content Analysis (Yeni Sumantri, Imma Widyawati, Chintya Nindyarini) H-21 Analisis Performansi Supply Chain Management Menggunakan Model Supply Chain Operation Reference (SCOR) (Henny, Asep Lucky Kharisma) H-22 Pengendalian Persediaan Bahan Baku Untuk Waste Water Treatment Plant (WWTP) Dengan Metode ABC dan EOQ Pada PT X (Fatimah, Syukriah, Nurul Annisa) H-23 Model Lokasi-Perutean-persediaan Untuk Multi Produk (Nova Indah Saragih, Senator Nur Bahagia, Suprayogi, Ibnu Syabri) H-24 Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol) (Dhila Hapsari, Eko Liquiddanu, Eko Pujiyanto) TOPIK LAIN YANG RELEVAN (I) I -1 Pengembangan Produk Bovine Hydroxyapatite-Magnesium Oxyde Bone Scaffold Melalui Indirect Fused Deposition Method (Muhammad Kusumawan Herliansyah, Dhananjaya Yama Huda Kumarajati) I-2 Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Pelanggan Internet Service Provider dalam Layanan Fixed Broadband (Romadhani Ardi, Erlinda Muslim, dan Nur Annisamatin)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xx
H-63 H-70 H-75 H-82 H-87
H-96
H-102 H-108
H-114
H-121
H-126
H-131
H-137 H-144
H-149
I-1
I-7
I-3
Pemanfaatan Pohon Bintaro di Kampus ITS Surabaya sebagai Bahan Bakar Alternatif melalui Proses Hydrocracking (Nunki Fathurrozi, Aries Purijatmiko, Atiqa Rahmawati)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu xxi
I-13
PENDIDIKAN DAN KEPROFESIAN TEKNIK INDUSTRI (A) A-1
A-2
A-3
A-4
A-5
A-6
A-7
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi (Anizar, Dwi Endah Widyastuti, M. Zainul Bahri Torong, Kus Hariyono) Analisa Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri (Ismu Kusumanto, Maulana Syahri) Pengembangan Serious Simulation Game Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri (Arry Rahmawan Destyanto, Akhmad Hidayatno, Armand Omar Moeis) Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ) (Singgih Saptadi, Heru Prastawa, Yoga Satria) Pengembangan Kurikulum Program Studi Teknik Industri Dengan Menggunakan Metode Quality Function Development (Ansarullah Lawi, Tonaas Kabul Wangkok Yohanis Marentek) Analisis Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Aidil Ikhsan, Yulherniwati) Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri ITENAS (Sugih Arijanto, Fadillah Ramadhan, Rian Fitriawanti)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
ERGONOMI, PERANCANGAN SISTEM KERJA DAN PERANCANGAN PRODUK (B) B-1
B-2
B-3 B-4
B-5 B-6
B-7
B-8
B-9
B-10
B-11
Pengaruh Jenis Musik dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi (Rini Dharmastiti, Akmal Fatah Fainusa) Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience (Thedy Yogasara, Janice Loanda) Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil Pengaruh (Luciana Triani Dewi, Kevin Dantes) Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) (Herlina K. Nurtjahyo, Nicko Chandra, Boy N. Moch) Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin (Idhar Yahya, Farida Ariani, Erwin, Anizar, Zul Ardian Amralis) Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi (Ishardita Pambudi Tama, Debrina Puspita Andriani, Nikita Ashardika Putri) Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis (Naniek Utami Handayani, Diana Puspita Sari, Devi Amalia Ayuningtias, Fatmila) Penerapan Quality Function Deployment (QFD) Untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru (Ekie Gilang Permata, Muslim) Desain Perbaikan Layout Produksi Pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga (Tigar Putri Adhiana, Maria Krisnawati, Seto Sumargo) Perancangan Pallet Ergonomis di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ) (Satriardi, Dedi Dermawan, Achmad Asyhari Aminudin) Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif (Subagyo, Fadhila Nastiti, dan Fitria Kurniasany)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
B-12
B-13
B-14
B-15
B-16
B-17
B-18 B-19
B-20
B-21
B-22
B-23
B-24 B-25 B-26
B-27
B-28
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun (Hilma Raimona Zadry, Dina Rahmayanti, Hayattul Riski, Difana Meilani, Lusi Susanti) Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 Pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara (Yuana Delvika) Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker (M. Kumroni Makmuri, Amiludin Zahri) Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian Dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna (Dominikus Budiarto) Perancangan Alat Pelindung Diri (APD) Penutup Bahu dan Lengan yang Ergonomis pada Proses Pengelasan di PT McDermott (M. Ansyar Bora, Larisang, Dedi Bastian Tarigan) Pengaruh Asupan Ice Slurry Sebelum Melakukan Aktivitas Fisik di Lingkungan Panas Terhadap Respon Termoregulasi (Titis Wijayanto, Valentina K. Bratadewi, Harendrasena S. Prakasa, Ghani F.A. Rahman) Perbandingan Metode-Metode Evaluasi Postur Kerja (Desto Jumeno) Usulan Desain Proses Pengangkatan Sari Kedelai ke Penyaringan (Studi Kasus Pabrik Tahu di Batam) (Benedikta Anna Haulian Siboro, Muhammad Fadly Siagian, Annisa Purbasari) Rancangan Jemuran Pakaian Otomatis Menggunakan Sensor Cahaya dan Hujan yang Ergonomis (Anwardi, Ami Oktavia Aziz, Boni Fitri Maulani) Analisis Human Error pada Pramudi Transjakarta dengan Pendekatan HEART dan Fault Tree Analysis (Dian Mardi Safitri, Arum Oktaviasari, Pudji Astuti, Nora Azmi) Perbandingan Pengukuran Situational Awareness Secara Online dan Freeze pada Pengemudi (Amalia Azka Rahmayani, Titis Wijayanto) Perancangan Lampu Tidur Sensor Gerak Hemat Energi dengan Pendekatan House of Quality (Rosnani Ginting, Siti Soraya Faiza Nasution) Perbaikan Desain Kemasan Untuk Produk Makanan Rendang (Ayu Bidiawati, Aidil Ikhsan, Anna Maria) Desain Kursi Kerja Ergonomis bagi Perajin Karawo (Idham Halid Lahay, Hasanuddin, Stella Junus) Identifikasi Modularity Architecture Suatu Kendaraan Listrik dalam Mendukung Sustainable Design (Dawi Karomati Baroroh, Diyta Alfiah) Potensi Pengembangan Rumah Berkonsep Ergo-Ekologi untuk Daerah Beriklim Tropis (Lusi Susanti, Hilma Raimona Zadry, Prima Fithri) Perancangan Alat Pengontrol Pengaman Pintu Ruangan dengan Bluetooth Berbasis Android (Marwan) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
B-29
B-30 B-31
B-32
B-33
B-34
B-35
B-36 B-37
B-38
B-39
B-40
B-41
B-42
B-43
B-44
B-45
Causal Effects Diagram dalam Memodelkan Risiko K3 Dengan Mempertimbangkan Keterkaitan Penyebab Risiko Pada Gedung Bertingkat (Dwi Iryaning Handayani, Tri Prihatiningsih) Reduksi Kelelahan Otot Deltoit Dokter Gigi Melalui Pendekatan Ergonomi (Listiani Nurul Huda, dan Nurwany) Perancangan Furniture Alat Belajar Anak di Rumah Susun Menggunakan Standar Ergonomi, Antropometri, Perancangan dan Pengembangan Produk (Valentina Lilian Utomo) Analisis Beban Kerja dan Jumlah Pekerja pada Kegiatan Pengemasan Tepung Beras (Dini Wahyuni, Irwan Budiman, Savudan N Sihombing, Meilita Tryana Sembiring, Nismah Panjaitan) Analisis Efisiensi Operator Pemanis CTP dengan Westing House System’s Rating (Amanda Nur Cahyawati, Dinda Aprilyani Pratiwi) Analisis User Experience pada Penggunaan Aplikasi Mobile Jakarta Smart City (Danu Hadi Syaifullah, Maya Arlini Puspasar, Asma Hanifah) Desain Gelas Ergonomis untuk Orang Tua dengan Menggunakan Quality Function Deployment (Sri Widiyawati, Astuteryanti Tri Lustyana, Ivan Eliata) Performansi David Laser Scanner untuk Pengukuran Antropometri Kaki (I G. B. Budi Dharma, N. A. Nathania) Pengembangan Produk Sumber Tenaga Listrik Mini dengan Pendekatan VDI (Verein Deutscher Ingeniure) 2221 (Albertus L. Setyabudhi, Ganda Sirait) Analisa dan Estimasi Penurunan Risiko dengan Job Safety Analysis pada Departemen Warehouse (Rahmi Yuniarti, Anindita Dyah Ayu Prameswari) Pendekatan Data Envelopment Analysis untuk Mengukur Efisiensi Healthcare Supply Chain dalam Konteks Ergonomi Makro di Poliklinik UB (Sugiono, Ihwan Hamdala, Novia Ayu Sundari) Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDS) pada Pengasuh Anak (Dian Palupi Restuputri, Teguh Baroto, Puspita Enka) Analisis Ergowaste pada Proses Produksi Yoke dengan Pendekatan Lean Ergonomics di PT.X (Sumiyanto, Nataya Charoonsri Rizani) Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan (Astuteryanti Tri Lustyana, Sri Widiyawati, Ivan Eliata) Analisis Risiko K3 di PLTA berdasarkan Hazard Identification Risk Analysis and Risk Control (HIRARC) (Ratih Ardia Sari, Kartika Yanuar Budi) Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keselamatan dengan Fingerprint) Menggunakan Kualitas Fungsi Deployment (Rossi Septy Wahyuni, Prameswari Rizcha Julianda, Ahmad Fauzi) Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis dan Kesejahteraan Masyrakat Sekitar Melalui Program PKM (I.K Tjahjani, Mochammad Hatta, Agung Wahyudi) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
B-46 B-47
B-48
B-49
B-50
B-51
B-52
Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong (Dewi Hardiningtyas, Yana Windy Sesha Putri, Remba Yanuar Efranto) Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp Pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur (Amrin Rapi, Arminas) Analisis Potensi Risiko Cidera Karyawan Proses Packing Di Area Store in House Dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL) Pada PT. Toyota Boshoku Indonesia (Arminas, Muhammad Basri) Analisis Pengukuran Beban Kerja Mental Perawat Unit Gawat Darurat Dengan Metode NASA-Task Load Index (Susi Susanti, Andi Pawennari, Irma Nur Afiah, Muhammad Dahlan, Nurhayati Rauf) Perancangan Alat Pengering Keripik Samiler Mentah untuk Peningkatan Produktivitas UKM Samijali Surabaya (Ratna Sari Dewi, Anny Maryani, Adithya Sudiarno, Burniadi Moballa) Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja pada Proses Produksi Trafo (Anny Maryani, Faradila Dwi Handayani, Yudha Prasetyawan) Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang dengan Pendekatan QFD dan Antropometri (Ismail Hasan, Erni Suparti, Bagus Ismail A. W.)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
SISTEM PRODUKSI / MANUFAKTUR (C) C-1
C-2
C-3
C-4
C-5
C-6
C-7 C-8
C-9
C-10 C-11
C-12
Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion (Shadila Atma, Rayinda Pramuditya Soesanto, Amelia Kurniawati, Umar Yunan Kurnia Septo Hediyanto) Perencanaan Jadwal Perawatan Pencegahaan Untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharaan Komponen Bearing 22208 C3 (Elisabeth Ginting, Mangara Tambunan, Rahmi M.Sari, Liasta Ginting) Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang (Anita Mustikasari, Desynta Elina Pangestuti) Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu Untuk Meningkatkan Jumlah Produksi Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing (Melfa Yola, Tengku Nurainun, Yuyun Novinda Sari Pane) Implementasi Lean Manufacturing untuk Identifikasi Waste Pada Bagian Wrapping di PT. X Medan (Eddy, Edi Aswin) Metode Penentuan Jumlah Tenaga Kerja pada Pekerjaan Perawatan (Andi Rahadiyan Wijaya) Analisa Pengembangan Produk Sepatu Kulit Dengan Metode Rekayasa Nilai Dalam Rangka Penghematan Biaya (Studi Kasus pada Home Industri Kerajinan Kulit Figha Di Magetan) (Eko Sulistyono, Agustin Sukarsono) Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 dengan Metode Reliability-Centered Maintenance (RCM) (Anna Annida Noviyanti, Fransiskus Tatas Dwi Atmaji, Widia Juliani) Analisis Process Capability dalam Menentukan Kemampuan Proses Produksi pada Industri Baja (Khawarita Siregar, Khalida Syahputri) Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D “CLab A01” (Herianto, Erika Aulia Irlanda) Usulan Kebijakan Preventive Maintenance dan Pengelolaan Spare Part Mesin Weaving dengan Metode RCM dan RCS (Nurfitriana Siswi Martasari, Judi Alhilman, Nurdinintya Athari) Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus: Desa Wisata Batik Jarum, Bayat) (Rizky Saraswati, Eko Liquiddanu, Fakhrina Fahma)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
C-13
C-14 C-15
C-16
C-17
C-18
C-19 C-20 C-21 C-22
C-23
C-24
C-25
C-26
C-27
C-28 C-29
C-30
Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang (Taufik, Prima Fithri, Ririn Arsita) Penentuan Jumlah Produksi Roti Berdasarkan Estimasi Kerugian Minimal (Nur Indrianti, Alfonsa Radite Asthingkara, Sutrisno) Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter (Farida Ariani, Syahrul Fauzi, Khalida Syahputri) Pembuatan Mesin Produksi Senar (Benang Monofilamen) dalam Pemberdayaan UKM Kain Kasa di Kota Malang (Samsudin Hariyanto, Dani Yuniawan, Aang Fajar Pasha Putra) Implementasi Alat Cetak Mekanis Opak Ketan Guna Meningkatkan Produktivitas (Studi Kasus: IKM Opak Ketan, Sumedang) (Rosad Ma’ali El Hadi, Wawan Tripiawan, Rohmat Saedudin) Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura (Eucharistia Yacoba Nugraha, I Wayan Suletra, Eko Liquiddanu) Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi (Naufal Abyan, Wildan Trusaji, Fariz Muharram Hasby, Dradjad Irianto) Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7 (Raden Muhamad Marjan Faisal, Pratya Poeri Suryadhini, Widia Juliani) Penerapan Lean Manufacturing dalam Proses Produksi Common Rail (Reinny Patrisina, Kurnia Medio SE Ramadhan) Impelemetasi Manajemen Risiko di Departemen Tambang PT Semen Padang (Henmaidi, Alwedria Zamer) Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko Pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi (Herliwanti Prisilia, Dimas Aji Purnomo) Perawatan Mesin Kompresor Udara Dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus Di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran) (Uyuunul Mauidzoh, Yasrin Zabidi, Dana Mufti Prasetya) Penjadwalan Pemeliharaan Mesin Pengelasan Titik Bergerak Menggunakan Metode Realibility Centered Maintenance (RCM) (Asep Mohamad Noor, Musafak, Nanih Suhartini) Perbaikan Workshop dengan Menerapkan Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) Di Workshop PT. Semen Padang (Mufrida Meri. Z, Putri Lenggogeni) Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan Pada PT. Perkebunan Nusantara VIII (Ambar Harsono, Hendro Prassetyo, Mohammad Triadji) Evaluasi Efektivitas Mesin Filter Press (Yusrizal, Trisna Mesra) Evaluasi Deviasi Dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Korektif Dan Preventif (Arif Rahman) Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A (Ratri Sinatrya Aulia, Oyong Novareza, Dwi Hadi Sulistyarini)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
C-31 C-32
C-33
C-34
C-35
C-36
C-37
C-38
C-39
A Customized Lease Contract for Fleet (Hennie Husniah, Leni Herdiani, Widjajani) Optimasi Produksi Produk Kdt Di PT. XYZ Menggunakan Programa Dinamik (Umi Marfuah, Luthfia Nurul Anwar) Analisa Kegagalan Dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II (Nurwidiana, Akhmad Syakhroni, Noor M Charis) Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT Semen Padang (Henny Yulius, Irsan, Putri Lenggogeni) Analisis Kerusakan Dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) Dan Failure Mode And Effect Analysis (FMEA) Di PT. XYZ (Endang Widuri Asih, Muhammad Yusuf, Fajar Muhamad Fauzan) Perancangan Penjadwalan Perawatan Mesin dengan Metode Map Value Stream Mapping (MVSM) di PT XXX (Nurhayati Sembiring, Ahmad Husaini Nst) Analisis Efektivitas Mesin Stripping Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis (Rakhmat Himawan, Mochamad Choiri, Baramuli Saputra) Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler (Anita Christine Sembiring) Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang Sale di Desa Bandar Tinggi (Tugiman, Suprianto, Nismah Panjaitan, Farida Ariani, Sarjana)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
REKAYASA DAN MANAJEMEN KUALITAS (D) D-1
D-2 D-3 D-4
D-5
D-6
D-7
D-8
D-9
D-10
D-11
Analisis Pengendalian Kualitas Kantong Di PPI PT Semen Padang Dengan Metode SQC (Statistical Quality Control) (Prima Fithri, Muhammad Iqbal) Analisis Kualitas Produk Dengan Pendekatan Six Sigma (Supriyadi, Gina Ramayanti, Alex Chandra Roberto) Perspektif Kepuasan Penumpang Terhadap Kualitas Layanan Trans Padang (Elita Amrina, Nilda Tri Putri, Rendy Kaban) Perceived Fairness dalam Revenue Management: Kasus untuk Industri Bioskop (Nur Aini Masruroh, Stella Nadya Arvita) Analisis Kepuasan Masyarakat Penerima Raskin di Kelurahan Tangkerang Selatan Kecamatan Bukitraya Pekanbaru Dengan Pendekatan Importance Performance Analysis (Dewi Diniaty) Analisis Quality of Work Life (QWL) terhadap Kepuasan Kerja Tenaga Perawat di Rumah Sakit (Yesmizarti Muchtiar, Dessi Mufti, Diki Novrialdi) Perbaikan Kualitas Pada Proses Produksi BJTP 24 S-08 di PT. I Dengan Penerapan Metode FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) dan Metode Taguchi (Rina Fitriana, Muhammad Alfianto) Perancangan Usulan Perbaikan Kualitas Proses Penanganan Gangguan Layanan Internet & Broadband dengan Metode Six Sigma (Yunisa Arini, Wildan Trusaji, Rachmawati Wangsaputra, Dradjad Irianto) Model Estimasi Waktu Operasi Untuk Pemesinan di Industri Berbasis Make-To-Order (Anas Ma’ruf , Sonya A. S. Meliala) Pengendalian Proses Produksi Dengan Metode Statistical Process Control Dalam Upaya Minimasi Cacat Tissue Paper (Sukanta, Iwan Irawan) Pengendalian Kualitas Produk Kantong Plastik dalam Menurunkan Tingkat Kegagalan Produk Jadi (Suliawati, Vita Sari Gumay)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
D-12
D-13
D-14
D-15
D-16
D-17
D-18
D-19
D-20
Pengaruh Pemasaran Dan Kualitas Layanan Terhadap Loyalitas Pengunjung Pada Produk Fashion (Atikha Sidhi Cahyana, Dadang Sukoriyono) Usulan Perbaikan Kualitas Pelayanan dengan Metode Servqual dan QFD pada Bank Aceh Cabang Krueng Geukueh (Bakhtiar, Syukriah, Tira Yustika) Penggunaan Metode FMEA dan FTA untuk Perumusan Usulan Perbaikan Kualitas Sepatu Running (Bryan Febby Sentosa, Oyong Novareza, Suluh Elman Swara) Analisis Preferensi Konsumen Tehadap Produk Minuman Kopi Berdasarkan Uji Organoleptik (Rio Prasetyo Lukodono, Oyong Novareza, Ihram Rachmansyah) Analisis Pengaruh Stressor Waktu dan Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Performansi Mengemudi (Akbar Mohammad Syawqi, Rini Dharmastiti) Peningkatkan Kualitas Layanan 4G LTE Telkomsel Berdasarkan Servqual Dan Quality Function Deployment Yang Terintegrasi (Suhartini, Setyo Bayu Prayogo) Perbaikan Kualitas Menggunakan Metode Seven Tools Dan Fault Tree Analysis (FTA) DI PT. XYZ (Syahrul Fauzi, Khawarita Siregar) Analisis Perbaikan Kualitas Pada Mesin Warping Terhadap Defect Putus Lusi (Nisrina Ardine, Rio Prasetyo Lukodono, Raditya Ardianwiliandri) Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tepung Terigu dengan Pendekatan Six Sigma dan Cost of Poor Quality (Retnari Dian M, Andi Hermawan)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
PENELITIAN OPERASIONAL DAN PEMODELAN SISTEM (E) E-1
E-2
E-3
E-4
E-5 E-6
E-7
E-8 E-9
E-10
E-11
Kerangka Kerja Perencanaan Operasional Layanan Taksi Online Berbasis Crowd-sourcing (Budhi Sholeh Wibowo) Analisis Penjadwalan Produksi Flowshop dengan Membandingkan Metode Harmony Search dan Algoritma Nawaz, Enscore And Ham (Ukurta Tarigan, Neneng Isnaini Lubis, Uni Pratama P. Tarigan) Penggunaan Metode Shared Storage dalam Perencanaan Tata Letak di Gudang PT. X (Qomariyatus Sholihah) Model Simulasi Penentuan Unit Kendaraan Cadangan pada Armada Komuter CT (Kusmaningrum Soemadi, Rhazi Aditya Pratama, Cahyadi Nugraha, Chandra Ade Irawan) Model Linear Programming Pasokan Batu Bara di PT XYZ (Jonrinaldi, Alexie Herryandie, Natasha Frides) Analisis Optimasi Waktu Proyek Menggunakan Program Evaluation and Review Technique (Imam Safi’i, Heribertus Budi Santoso) Penjadwalan Job Shop Fleksibel dengan Mempertimbangkan Saat Siap dan Saat Tenggat (Revalda Putawara, Wisnu Aribowo, Anas Ma’ruf) Optimasi Penjadwalan Mata Kuliah Menggunakan Pewarnaan Graf (Theresia Sunarni, R. Kristoforus Jawa Bendi, dan Achmad Alfian) Analisis Penerapan Line Balancing Dengan Pendekatan Simulasi dan Metode Ranked Position Weight (RPW) (Prima Denny Sentia, Andriansyah, dan Abdul Hanan) Penentuan Skenario Kebijakan Persediaan Terbaik dengan Pendekatan Simulasi Montecarlo (Ganjar Hendrik Kusuma, Widi Astuti, Moh. Rifki Nurhakim, dan Utaminingsih Linarti) Pemodelan Simulasi untuk Analisis Performansi Penjadwalan pada Sistem Manufaktur Make to Order dengan Mesin Paralel (T. Yuri M. Zagloel, Romadhani Ardi, dan Levina Adriana)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
E-12
E-13 E-14
E-15 E-16
E-17
The Development of Coal Transshipment Model for Floating Crane Allocation with Mixed Integer Programming (MIP) (Zulkarnain, Komarudin, dan Rifqi Putra Fadillah) Air Cargo Revenue Optimization with Overbook Capacity (Komarudin, Henry Suropati, Akhmad Hidayatno) Simulasi Arena Untuk Mengurangi Bottle Neck Pada Proses Produksi Kaos (Studi kasus di UKM “Greentees Order Division”) (Annie Purwani, Yusuf Tsani) Simulator untuk Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri Interval (Suprayogi, Muhammad Hanief Meinanda) Penerapan Analytic Hierarchy Process dan Goal Programming untuk Pengalokasian Pemesanan Bahan Baku Kertas Daur Ulang (Ceria Farela Mada Tantrika, Wifqi Azlia, Alief Arfiansyah) Optimalisasi Pengadaan Tandan Buah Segar (TBS) Sebagai Bahan Baku Produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel PT Ukindo-Palm Oil Mill (Muhammad Fazri Pasaribu, Riana Puspita)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
MANAJEMEN INDUSTRI, KEWIRAUSAHAAN, DAN INOVASI (F) F-1
F-2
F-3
F-4
F-5
F-6
F-7
F-8
F-9
F-10
F-11
Pemodelan Kansei Engineering Type I & Kansei Quality Management Untuk Peningkatan Kinerja Layanan Logistik (Markus Hartono) Studi Komparasi Pengaruh Bauran Pemasaran terhadap Keputusan Pembelian pada Olahan Bandeng dan Olahan Udang (Yeriska Anggraeni, Aisyah Larasati, Nunung Nurjanah) Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Menggunakan Metode Balanced Scorecard dan Analytical Hierarchy Process (Alina Cynthia Dewi, Akhmad Nidhomuz Zaman, Muhammad As’adi) Pengukuran Produktivitas Proses Produksi Stand Assy Main dengan Metode OMAX di PT. IP Karawang (Dene Herwanto, Damara Widi Ardiatma) Perkembangan Model Knowledge Management Cycle: Sebuah Tinjauan Pustaka (Amelia Kurniawati, Rayinda Pramuditya Soesanto, T.M.A. Ari Samadhi, Iwan Inrawan Wiratmadja, Indryati Sunaryo) Motif Berprestasi Wirausaha Ibu – Ibu Rumah Tangga dan Pengaruhnya Terhadap Pengambilan Keputusan Berwirausaha (Vinsensius Widdy Tri Prasetyo) Hubungan Bauran Pemasaran Jasa dan Kepuasan Pelanggan Rumah Karaoke di Kota Luwuk (Chaerul Fahmi Yusuf) Kajian Potensi dan Pengembangan Strategi Sustainable Pariwisata pada Wisata Sejarah Candi Pari (Akhmad Nidhomuz Zaman, Agung Henaulu K, Alina Cynthia Dewi) Pengukuran Tingkat Kesiapan Technoware dan Humanware pada Pakan Buatan Ikan Lele Dumbo dalam Memenuhi SNI 01-4087-2006 (Alexandrio Adinanda Nababan, Mohammad Mi’radj Isnaini, Dradjad Irianto) Identifikasi Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Eco – Label pada Produk Perikanan oleh Konsumen (Ratna Purwaningsih, Aries Susanty, Amru Khaifa Wafa) Perancangan Tata Letak Fasilitas Pabrik Tahu untuk Meminimalisasi Material Handling (Sri Rahayuningsih, Lolyka Dewi Indrasari) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
F-12
F-13
F-14
F-15
F-16
F-17 F-18
F-19
F-20
F-21
F-22
F-23
F-24
F-25 F-26
F-27
F-28
Pola Siklus Hidup Produk – Produk Kendaraan Bermotor Roda Empat di Indonesia (Citrasari Andadari, Subagyo) Perancangan Manajemen Strategi Bisnis Distribution Outlet Khas Minangkabau (Difana Meilani, Hilma Raimona Zadry, Iqbhal Wanahara) Analisis Budaya Kerja UKM Industri Bambu di Cebongan Sleman Yogyakarta (Marni Astuti, Riani Nurdin) Pengukuran Kepuasan Pelanggan dengan Pendekatan Customer Satisfaction Index (Shanty Kusuma Dewi) Peningkatan Daya Saing Perusahaan Mebel Ekspor Dengan Benchmarking Rantai Nilai (Studi Kasus PT X Dan PT Y) (Litasari Kusuma Putri, Eko Liquiddanu, dan I Wayan Suletra) Analisa Strategi Pemasaran Polis Asuransi Kebakaran (Nanang Alamsyah, Trenggono Widodo, Vrendi Adi Prayoga) Pengaruh Ekosistem Kewirausahaan terhadap Perilaku Kewirausahaan Didasarkan Tingkat Perkembangan Ekonomi Nasional (Frida Soedjito, Catharina B Nawangpalupi, Gandhi Pawitan) Integrasi Balanced Scorecard dan Data Envelopment Analysis dalam Pengukuran Kinerja dan Efisiensi (Boy Nurtjahyo Moch, Erlinda Muslim, Laura Karina) Pengaruh Motivasi, dan Kepuasan Kerja Terhadap Budaya Organisasi, dan Dampaknya Terhadap Kinerja Dosen (Tyas Eka Kurnia) Model Kinerja Pemasaran Dengan Menggunakan Smart PLS (Studi Kasus, PT. EPFM) (Nadzirah Ikasari, Nurul Chairany, Nur Hayati) Pengaruh Latar Belakang Seseorang Menjadi Pengusaha Terhadap Karakteristik (Sunardi Koesugito, Handoyo, Purwati) Effective Transition from Engineers to First-time Managers: Initial Evidence from Indonesia (Budi Hartono, Alwan Hafizh) Studi Peningkatan Daya Saing Industri dan Penguatan Inovasi IKM Alat dan Mesin Pertanian Sumatera Barat (Insannul Kamil, Rika Ampuh Hadiguna, Berry Yuliandra, Mutia Alius, Irsyadul Halim) Pengembangan Model Bisnis Koperasi Ritel Kareb Bojonegoro Jawa Timur (Zulfa Fitri Ikatrinasari) Analisis Pemborosan Pada Unit Pelayanan Kesehatan Poliklinik Dengan Pendekatan Lean Service (Sugiono, Rakhmat Himawan, Achmad Fadla) Studi Kelayakan Investasi Pengadaan Mesin Cetak Kalkir pada UKM yang Berbasis Offset Printing CV Plasmagraph (Wibowo Suryo Tiyarto, Budi Praptono, Maria Dellarosawati Idawicaksati) Identifikasi Sumber Makanan Pokok Untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Pangan Menggunakan Analisa Hirarki Process (AHP) (Iphov Kumala Sriwana) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
F-29
F-30
F-31
F-32
F-33 F-34
F-35
F-36
F-37
F-38
F-39
F-40
F-41
Pengaruh Pendidikan, Ketrampilan dan Pendapatan Non Kerja Terhadap Partisipasi Kerja Lansia di Kota Medan (Asfriyati, Erna Mutiara) Analisis Kelayakan Finansial Produk Pakan Ternak Sapi Perah di Koperasi Susu Kota Batu (Raditya Ardianwiliandri, Ceria Farela Mada Tantrika, Nimas Mustika Arum) Analisis Gap Kualitas Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit Swasta di Kota Malang (Remba Yanuar Efranto, Risna Aditya Prahasta, Dewi Hardiningtyas) Pengaruh Kemampuan Pembelajaran Organisasi Terhadap Kinerja Industri Menengah Bidang Pangan di Kota Padang (Alizar Hasan, Prima Fithri, Indah Qisty Annisa) Analisis Kausal Kinerja dan Layanan Transportasi Bunga Krisan (Emirul Bahar, Syarifuddin Nasution) Peningkatan Kinerja Toyota Auto2000 Banyuwangi Dengan Penilaian Kinerja Menggunakan Metode Integrated Performance Measurement Systems (IPMS) (Endang Suprihatin, Muhamad Ali Amsori) Analisis Performansi Kualitas Pelayanan Biro Travel Dan Paket: Sebuah Study Komparatif Antara Kinerja Kantor Pusat Dan Cabang (Yeni Sumantri, Ratih Ardia Sari, Gadis Ghanatika) Analisis Produktivitas Dengan Menggunakan Metode Objective Matrix (OMAX) Pada Baitul Mal Kabupaten Aceh Utara (Anwar, Sri Deza Kurnia Devi) Analisis Pengaruh Perilaku Kepemimpinan terhadap Rasa Saling Percaya (Studi Kasus: IKM Surya Jaya Stone, Tulungagung) (Augustina Asih Rumanti, Wawan Tripiawan, Iwan Inrawan Wiratmadja, Bobby Andrew) Analisis Pengukuran Kinerja Departemen Pengadaan dengan Metode Objective Matrix (OMAX) (Wifqi Azlia, Endra Yuafanedi Arifianto, Iwan Noegroho) Analisis Pengaruh Motivasi Terhadap Kinerja Sumberdaya Manusia Di IAIIG (Amin Syukron) Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Budidaya Ayam Ras Petelur Maya Rolet (Ratih Iba Gustin, Rosad Ma’ali El Hadi, Maria Dellarosawati) Model Asessmen dalam Upaya Meningkatkan Efisiensi Produksi AAC pada Perusahaan Kalla Block (Suradi, Andi Haslindah)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
SISTEM INFORMASI DAN KEPUTUSAN (G) G-1
G-2
G-3 G-4
G-5 G-6
G-7
G-8
G-9
G-10
G-11
G-12
Model Sistem Informasi Rantai Pasok Berbasis Cloud Computing untuk Menciptakan Keunggulan Kompetitif Agroindustri Olahan Apel (Alfredo Tutuhatunewa, Surachman, Purnomo B. Santoso, Imam Santoso) Rancang Bangun Aplikasi Perhitungan Predetermined Time System (Waktu Standar Tidak Langsung) dengan Metode Brainstorming (Ch Desi Kusmindari, Ari Muzakir, M. Kumroni Makmuri) Disain Sistem Informasi Equipment Stop Alert Menggunakan SMS Gateway (Maria Krisnawati, Ratna Octodinata, Endro Sutrisno) Penentuan Kriteria Pemilihan Lokasi IPAL Bersama Industri Tahu Tempe di Kelurahan Mojosongo dengan Pendekatan Fuzzy AHP (Hansen Kusuma, I Wayan Suletra, Yusuf Priyadari, Wakhid Ahmad Jauhari) Perancangan Model Relasi Data Dokumen Akreditasi Program Studi (Intan Mardiono, I Gusti Bagus Budi Dharma) Evaluasi Usabilitas Antarmuka Website Reservasi Tiket Travel dengan Analisis Eye Tracking (Monica Febe Sintiara, Johanna Renny Octavia) Aplikasi Cross Entropy Pada Support Vector Machine Untuk Prediksi Financial Distress (Herlina, Dwi Yuli Rakhmawati) Optimasi Waktu Tunggu Resep Pulang Farmasi Rawat Inap RS XYZ dengan Metode E-Presscribing (Silvi Ariyanti, Era Cicilia) Analisis Pengaruh Marketing Mix Terhadap Keputusan Pembelian Sepeda Motor Merek Yamaha Pada PT. Alfa Scorpii Lambaro Banda Aceh (Bakhtiar, Syukriah, Khairanita) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Rekomendasi Teknologi pada Pengguna Chip-Based Electronic Money (Erlinda Muslim, Romadhani Ardi, Tashia Putri Nandari) Kerangka Pendukung Keputusan yang Mempertimbangkan Keberlanjutan untuk Pemilihan Teknologi Pemerosesan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (Aulia Ishak, Khalida Syahputri) Konsep Integrasi Knowledge Management dengan Case-Based Reasoning (Purnomo Budi Santoso, Mohamad Choiri)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
LOGISTIK DAN MANAJEMEN RANTAI PASOK (H) H-1 H-2
H-3
H-4
H-5
H-6
H-7
H-8
H-9
H-10
H-11 H-12
Effectiveness of Integrated Location-Routing Problem (Bertha Maya Sopha, Anna Maria Sri Asih, Arlita Nurmaya Asri) Humanitarian Logistics Information System for Merapi Disaster Relief Operations (Anna Maria Sri Asih, Bertha Maya Sopha, Yulianita Rahayu, Heru Saptono) Penerapan Model Traffic Light System Dalam Melakukan Evaluasi Kinerja Pemasok PT XYZ (Nilda Tri Putri, Restu Mustaqim, Elita Amrina) Optimasi Rute Distribusi Bantuan Logistik Bencana Erupsi Gunung Merapi Menggunakan Algoritma Sweep (Sinta Rahmawidya Sulistyo, Muhammad Zulfikar) Optimasi Vehicle Routing Problem Berkarakteristik Time Window dengan Algoritma Bee Colony Optimization (Nur Mayke Eka Normasari, Budi Hartono, Rizky Riyadhi) Supply Chain Management Tembakau Kabupaten Sumenep dengan Multi Supplier, Kelompok Tani, dan Gudang Perusahaan (Kukuh Winarso, Sabarudin Akhmad, Achmad Nabil) Pengembangan Model Pemilihan Supplier dengan Mempertimbangkan Voice of Customer (Rury Muhandar, Titi Indarwati, Nur Aini Masruroh) Penentuan Rute Kendaraan Proses Pendistribusian Beras Bersubsidi di Kota Pekanbaru (Misra Hartati, Ika Riandi Putra) Penentuan Indikator Kinerja Rantai Pasok Tangkas Berbasis Perspektif Balance Scorecard Menggunakan Fuzzy-ANP dan Fuzzy-QFD: Aplikasi pada Industri Semen (Dicky Fatrias, Insannul Kamil, Rini Syahfitri) Analisis Rantai Pasok Industri Pengolahan Berbasis Salak di Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah (Ratih Wulandari, Rakhma Oktavina) Model Penentuan Lokasi Pendirian Distribution Center (Putu Eka Dewi Karunia Wati, Hilyatun Nuha, Hery Murnawan) Penentuan Kriteria Kinerja Nominated Supplier pada Industri Garmen (Katherin Yohana)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
H-13
H-14
H-15
H-16
H-17
H-18
H-19
H-20
H-21
H-22
H-23 H-24
Analisa Kebutuhan dan Penyedian LPG 3 Kg Menggunakan MAPE dan EOQ (Sukarno Budi Utomo, Rita Hariningrum) Identifikasi Aktivitas Rantai Pasok Industri Hijab Pemula Berdasarkan Value Chain Analysis (Wiwik Sudarwati, Meri Prasetyawati) Penentuan Kriteria Evaluasi Vendor Pada Perusahaan Hulu Minyak Dan Gas Dengan Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) (Inaki Maulida Hakim, Zainina Saphira) Analisa Kapasitas Produksi Pembuatan Rokok Sigaret Keretek Mesin (SKM) Menggunakan Metode Rougt Cut Capacity Planning (RCCP) (Studi Kasus: PT Cakra Guna Cipta) (Nasir Widha Setyanto, Bachtiar Herdianto, Agustina Eunike) Evaluasi Penggunaan Energi dan Emisi Gas CO2 pada Rantai Pasok Daur Ulang Sampah Plastik (Marudut Sirait) Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku Dengan Validasi Capacity Requirement Planning (CRP) Pada Perusahaan Rokok Sigaret Keretek Mesin (SKM) (Agustina Eunike, Bachtiar Herdianto, Nasir Widha Setyanto) Pengendalian Persediaan Dengan Pola Permintaan Dinamik (Studi Kasus PT. SAI) (Mirna Lusiani, Filscha Nurprihatin, Hendy Tannady, Hendra Suyanto, Christian Lois, Eko Verdianto) Penentuan Alternatif Lokasi Terminal Bongkar Muat dengan Mempertimbangkan Kondisi Lalu Lintas dan Content Analysis (Yeni Sumantri, Imma Widyawati, Chintya Nindyarini) Analisis Performansi Supply Chain Management Menggunakan Model Supply Chain Operation Reference (SCOR) (Henny, Asep Lucky Kharisma) Pengendalian Persediaan Bahan Baku Untuk Waste Water Treatment Plant (WWTP) Dengan Metode ABC dan EOQ Pada PT X (Fatimah, Syukriah, Nurul Annisa) Model Lokasi-Perutean-persediaan Untuk Multi Produk (Nova Indah Saragih, Senator Nur Bahagia, Suprayogi, Ibnu Syabri) Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol) (Dhila Hapsari, Eko Liquiddanu, Eko Pujiyanto)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
TOPIK LAIN YANG RELEVAN (I)
I -1
I-2
I-3
Pengembangan Produk Bovine Hydroxyapatite-Magnesium Oxyde Bone Scaffold Melalui Indirect Fused Deposition Method (Muhammad Kusumawan Herliansyah, Dhananjaya Yama Huda Kumarajati) Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Pelanggan Internet Service Provider dalam Layanan Fixed Broadband (Romadhani Ardi, Erlinda Muslim, dan Nur Annisamatin) Pemanfaatan Pohon Bintaro di Kampus ITS Surabaya sebagai Bahan Bakar Alternatif melalui Proses Hydrocracking (Nunki Fathurrozi, Aries Purijatmiko, Atiqa Rahmawati)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu
Petunjuk Sitasi: Anizar, Widyastuti, D. E., Torong, M. B., & Hariyono, K. (2017). Perbaikan Desain Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A1-7). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi Anizar(1), Dwi Endah Widyastuti (2), M. Zainul Bahri Torong (3), Kus Hariyono(4) (1), (2), (3), (4) Universitas Sumatera Utara Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155 (1)
[email protected] ABSTRAK Ternak sapi merupakan komoditi utama yang menjadi fokus usaha peternakan rakyat di Kabupaten Asahan karena mudah dalam pemeliharaan. Potensi produksi daging sapi memiliki prospek cukup besar untuk pengembangan wilayah namun peternak kesulitan memenuhi pakan ternak. Pemanfaatan pelepah sawit yang selama ini hanya menjadi limbah yang dibiarkan membusuk di perkebunan menjadi pilihan untuk mengantisipasi berkurangnya ketersediaan pakan ternak. Pelepah sawit harus dicacah menjadi bagian yang lebih kecil sehingga dapat dikonsumsi ternak sapi. Alat pencacah pelepah sawit yang ada saat ini menghasilkan kualitas cacahan yang kurang baik, alat sulit dioperasikan serta desain tidak ergonomis. Perbaikan disain alat pencacah pelepah sawit akan meningkatkan kualitas pakan tanpa perlu dilakukan fermentasi. Informasi yang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi alat pencacah pelepah sawit menggunakan Quality Function Deployment (QFD). Proses disain dan pengembangan didasarkan pada hasil penyebaran kuesioner terbuka dan tertutup. Kuesioner terbuka yang digunakan adalah kuesioner keluhan peternak sapi terhadap alat pencacah pelepah sawit saat ini. Kuesioner tertutup merupakan penilaian terhadap atribut bahan, dimensi, desain, dan warna. Desain alat pencacah pelepah sawit usulan didasarkan pada dimensi tubuh peternak sehingga lebih nyaman, kualitas cacahan pelepah sawit yang lebih kecil dan lembut serta waktu lebih cepat. Kata kunci—Alat pencacah, Pelepah sawit, Postur kerja, SNQ, QFD
I. PENDAHULUAN Pekerjaan dengan beban berat dan frekuensi tinggi serta berulang akan menimbulkan keluhan rasa sakit operator. Keluhan disebabkan otot menerima tekanan akibat gaya dari pengangkutan beban kerja fisik terus menerus secara berulang tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. Postur kerja tidak alamiah, peregangan otot berlebihan, getaran dengan frekuensi tinggi, dan tekanan langsung pada jaringan otot lunak dapat menyebabkan keluhan rasa sakit (Anizar, 2015). Nyeri muskuloskeletal kronis umum terjadi pada pekerja tani yang dipengaruhi oleh posisi kerja (Xiao, 2013). Fasilitas yang dipergunakan oleh operator akan menjadi potensi bagi masalah kesehatan dan keselamatan kerja seperti nyeri otot yang disebabkan oleh keseleo atau dislokasi karena beban berlebih, gerakan berulang dan postur kerja canggung (Mandang, 2015). Manusia beresiko mengalami gangguan fisik maupun mental sebagai akibat ketidaksesuaian kondisi fisik dan mental manusia dengan kondisi lingkungan kerja. Gangguan fisik dapat berupa cedera otot atau tulang, kelelahan, pembengkakan, iritasi termasuk pula munculnya Musculoskeletal Disorders (MSDs). Exposure MSDs yang tinggi salah satunya disebabkan oleh peralatan yang terlalu berat (Fahmi, 2014). Kondisi kerja yang memaksa postur kerja manusia seperti badan membungkuk, kaki menekuk, dan frekuensi kegiatan repetitive (berulang) dapat mengakibatkan keluhan fisik. Salah satu dampak yang ditimbulkan keluhan fisik yaitu penurunan performansi kerja atau pegal pada sistem otot-rangka untuk melakukan kegiatan dalam waktu yang lama. Keluhan pekerja terhadap rasa sangat sakit pada bagian lutut dan kaki disebabkan posisi kaki yang tidak seimbang dan fasilitas kerja yang tidak sesuai mengakibatkan kaki sering mengalami kram. Analisis dari lembar kerja REBA menunjukkan bahwa tingkat resiko tinggi dialami pekerja pada saat kegiatan produksi berlangsung sehingga dibutuhkan adanya perbaikan pada fasilitas kerja yang disesuaikan dengan dimensi tubuh (Hasibuan, 2014). SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-1
Anizar, Widyastuti, Torong, Hariyono
Pemanfaatan limbah perkebunan kelapa sawit sebagai pakan alternatif merupakan salah satu solusi untuk menanggulangi kekurangan pakan ternak sapi di Kabupaten Asahan Sumatera Utara. Perkebunan kelapa sawit yang berada di lingkungan pemukiman penduduk menyediakan limbah berupa pelepah sawit yang memiliki potensi prospektif sebagai penyedia pakan ternak sapi. Peternak sapi memanfaatkan pelepah sawit sebagai pakan ternak setelah dicacah menjadi bagian yang lebih kecil dengan alat pencacah. Alat pencacah pelepah sawit yang ada saat ini memiliki beberapa kelemahan baik pada saat dioperasikan maupun pada hasil cacahannya. Alat pencacah harus dihidupkan dengan sistem engkol, memiliki penutup ruang pencacah seberat 25 kg yang harus dibuka tutup setiap kali akan dioperasikan serta letak posisi corong pengumpan yang rendah mengakibatkan postur kerja peternak membungkuk saat akan memasukkan pelepah sawit (Gambar 1).
a
b
Gambar 1 (a) Kegiatan menghidupkan mesin (b) Kegiatan memasukkan pelepah sawit
Peternak mengeluhkan rasa sakit pada beberapa bagian tubuh karena harus melakukan membungkuk selama 6 jam setiap harinya untuk memasukkan pelepah sawit ke alat pencacah. Cacahan pelepah sawit yang dihasilkan juga masih kasar dengan ukuran sekitar 5 cm sehingga tidak dapat langsung diberikan kepada ternak karena akan melukai lambung ternak sapi. Cacahan harus di fermentasi secara anaerob namun kurang disukai ternak sapi. Perbaikan desain alat pencacah pelepah sawit dilakukan dengan mempertimbangkan keinginan peternak menggunakan metode Quality Function Deplyoment (QFD) (Cohen, 1995). Kepuasan peternak dalam menggunakan alat pencacah pelepah sawit didasarkan pada parameter berupa harapan (the voice of customer) yang diterjemahkan dalam paramater teknis (engineering specification). Diharapkan akan memenuhi keingingan peternak dimana hasil cacahan pelepah sawit lebih halus sehingga dapat langsung diberikan kepada ternak. Penelitian Muslimah (2015) terhadap masalah keluhan (sakit pada leher, lengan, pinggul, kedua tangan, bahu, dan betis) oleh pekerja pada kegiatan penjemuran kain batik. Nordic body map dan wawancara pekerja tentang bagian tubuh yang merasakan sakit. Rancangan alat bantu yang mempertimbangkan keluhan dan kebutuhan operator ditentukan menggunakan QFD. Alat bantu berupa troli dengan meja yang dapat diatur ketinggian, dua unit gagang yang memiliki busa, dan roda. Rancangan yang ergonomis untuk mengurangi keluhan menggunakan data antropometri dan memperbaiki postur kerja. Penelitian mengintegrasikan metode QFD dengan teori inovasi pemecahan masalah dengan pendekatan rancangan produk ergonomis dilakukan oleh Zhang (2014) ditujukan untuk kepuasan konsumen. Penelitian yang dilakukan oleh Poernomo (2016) terkait dengan implementasi metode QFD dalam mengatasi keterbatasan alat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pada perancangan alat sangrai kacang tanah. Metode QFD digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhkan konsumen dengan menghubungkannya dengan karakteristik teknis. Penelitian Dantes (2013) mengkaji indikator penting dalam pengembangan tang jepit Jaw Locking Pliers menggunakan metode QFD. Permintaan customer merupakan masukan utama QFD dengan pengembangan pada mulut penjepit, handle atas bawah, panjang dan berat tang jepit. Berdasarkan permasalahan tersebut, gerakan manusia dalam bekerja perlu dirancang secara ergonomis agar meminimalkan keluhan dan beban kerja melalui perancangan fasilitas kerja. Perancangan fasilitas kerja pada aktivitas tersebut dilakukan dengan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-2
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit Untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi
mengidentifikasi keluhan dan beban kerja, pengambilan gambar postur kerja kerja dan penilaian level risiko postur kerja (Stanton, 2005). Pertimbangan atribut yang menjadi kebutuhan pengguna berdasarkan metode QFD. Pertimbangan ergonomis dalam rancangan fasilitas kerja melalui dimensi tubuh dengan prinsip antropometri. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada proses pencacahan pelepah sawit yang dilakukan oleh 10 orang peternak. Pengamatan terhadap kegiatan pencacahan pelepah sawit dengan menggunakan alat pencacah dilakukan selama 10 hari. Peternak sapi memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan secara berulang selama 6 jam dalam sehari. Elemen kegiatan yang dilakukan peternak sapi pada kegiatan pencacahan pelepah sawit adalah menghidupkan mesin dan memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan. Penilaian postur kerja dilakukan terhadap tubuh peternak sapi pada bagian kanan dan kiri menggunakan lembaran penilaian Rapid Entire Body Assessment (REBA). Faktor postur tubuh yang dinilai dibagi atas dua kelompok utama atau grup yaitu grup A yang terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri batang tubuh A(trunk), leher (neck) dan kaki (legs). Grup B terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), dan pergelangan tangan (wrist). Skor yang diperoleh dari grup A dan grup B akan dimasukkan ke tabel C sehingga skor REBA merupakan penjumlahan nilai tabel C dengan nilai aktivitas. Penentuan karakteristik QFD dilakukan mulai dari klasifikasi tujuan, penetapan fungsi, penyusunan kebutuhan hingga penentuan karakteristik. Data karakteristik teknik digunakan untuk melihat kemungkinan mewujudkan rancangan. Teknik pengambilan data dengan purposive sampling dengan tenaga terampil berjumlah 7 orang. Langkah yag dilakukan adalah penyebaran kuesioner tertutup kepada 10 orang peternak untuk mengidetifikasi keinginan peternak dalam bentuk atribut produk dan penggunaan house of quality untuk menerjemahkan keinginan peternak. Dimensi atribut dari alat pencacah pelepah sawit yang ditanyakan adalah dimensi tabung, tinggi alat, bahan kerangka, bahan tabung pencacah, fungsi tambahan dari alat pencacah, desain pisau pemotong, desain penutup tabung, putaran mesin, cara menghidupkan mesin dan warna alat. Kuesioner tertutup untuk kinerja atribut disusun dengan memberikan penilaian atas atribut pencacah pelepah sawit dengan skala likert. Nilai yang digunakan terdiri dari A bernilai 5 jika performansi sangat baik, B bernilai 4 jika performasi baik, C bernilai 3 jika performansi cukup, D bernilai 2 jika performansi buruk dan E bernilai 1 jika berformansi sangat buruk. Desain alat pencacah pelepah sawit dilakukan pengujian validitas dengan teknik korelasi product moment menggunakan rumus : N XY ( X )( Y ) rxy N X 2 ( X ) 2 N Y 2 ( Y ) 2 (1)
dimana : rxy : Koefisien korelasi product moment X : Jumlah jawaban seluruh responden per pertanyaan Y : Jumlah jawaban seluruh pertanyaan per responden N : Jumlah seluruh responden Uji reliabilitas untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Instrument yang menghasilkan reliabilitas yang tinggi cenderung menghasilkan data yang sama tentang suatu variabel atau unsur-unsurnya jika diulang pada waktu yang berbeda pada kelompok individu yang sama. Teknis yang digunakan untuk menghitung besarnya reabilitas dalam penelitian, yaitu dengan menggunakan rumus Sperman-Brown. dimana r adalah reliabilitas kuesioner dan rho ditentukan sebagai koefisien korelasi. r
2 x rho 1 rho
(2)
Langkah perbaikan desain dengan metode QFD dimulai dari klarifikasi tujuan (clarifiying objectives), penetapan fungsi (establishing function), menyusun kebutuhan dan penentuan karakteristik. Metode pohon tujuan dilakukan dengan membuat daftar yang disesuaikan dengan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-3
Anizar, Widyastuti, Torong, Hariyono
kebutuhan konsumen dan diurutkan berdasarkan skala prioritas tujuan sehingga diketahui tujuan utama dan tujuan tambahan. Penetapan fungsi menggunakan metode analisis fungsi dengan tahapan menyusun fungsi sistem secara keseluruhan, membagi fungsi menjadi sub-sub fungsi yang esensial. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keluhan Sakit Peternak Sapi Keluhan sakit peternak sapi pada proses pencacahan pelepah sawit berbeda antara satu peternak dengan peternak lainnya namun keluhan sakit terdapat pada semua segmen tubuh. Umumnya peternak mengeluhkan rasa sakit pada siku kanan sebanyak 6,81%, pinggang sebanyak 6,53%, diikuti oleh bahu kanan, tangan kanan dan pergelangan tangan kanan sebanyak 6,26%, bahu kiri sebanyak 5,45%, bokong dan pantat sebanyak 5,17%. Sebaran keluhan yang dialami peternak disebabkan postur kerja yang tidak ergonomis saat memasukkan pelepah sawit ke corong pencacahan karena fasilitas kerja yang digunakan tidak sesuai dengan dimensi tubuh peternak. Perbaikan terhadap disain alat pencacah akan meminimalkan keluhan rasa sakit yang timbul. B. Penilaian Postur Kerja Penilaian postur kerja peternak sapi pada kegiatan pencacahan pelepah sawit dilakukan terhadap 2 elemen kegiatan yaitu menghidupkan mesin pencacah dan memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan. Elemen kegiatan menghidupkan mesin pada grup A didapati batang tubuh membungkuk ke samping kiri, leher membentuk sudut kurang dari 20o, kaki menekuk membentuk sudut antara 30o dan 60o dengan berat beban melebihi 5 kg sehingga memperoleh skor 5. Pada grup B didapati bahwa lengan atas membentuk sudut antara 20o hingga 45o, lengan bawah membentuk sudut 600 hingga1000, sudut pergelangan tangan melebihi 15o dengan kekuatan pegangan tidak aman sehingga perolehan skor sebesar 7. Perolehan skor REBA untuk elemen kegiatan menghidupkan mesin adalah 9. Elemen kegiatan memasukkan pelepah ke corong pengumpan pada grup A didapati batang tubuh membungkuk, leher membentuk sudut sudut melebihi 20o, kaki menekuk membentuk sudut 30o hingga 60o dengan beban lebih dari 5 kg sehingga perolehan skor 5. Pada grup B didapati lengan atas membentuk sudut 45o hingga 90o, lengan bawah membentuk sudut 600 hingga 1000 dengan sudut pergelangan tangan melebihi 15o dan kekuatan pegangan cukup baik tapi tidak ideal sehingga perolehan skor 5. Perolehan skor REBA untuk elemen kegiatan memasukkan pelepah ke corong pengumpan adalah 8. Rekapitulasi penilaian postur kerja untuk kedua elemen kegiatan tertera pada Tabel 1. No 1
2
Tabel 1 Rekapitulasi Penilaian Postur Kerja Bagian tubuh Skor Level Resiko REBA Menghidupkan mesin kanan 9 Tinggi pada alat pencacah pelepah sawit kiri 6 Sedang Memasukkan pelepah kanan 8 Tinggi sawit ke corong pengumpan mesin kiri 8 Tinggi pencacah pelepah sawit Elemen kegiatan
Tindakan Perlu tindakan segera Perlu tindakan Perlu tindakan segera Perlu tindakan segera
Bagian tubuh kanan mendapatkan skor REBA 9 dengan level resiko tinggi disebabkan menghidupkan mesin dengan cara diengkol sehinga sangat membebani tubuh dan membutuhkan tindakan segera. Bagian tubuh kanan dan kiri pada elemen kegiatan memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan mendapatkan skor REBA 8 dengan level resiko tinggi disebabkan tubuh harus membungkuk, kaki tertekuk dan leher menunduk saat memasukkan pelepah sawit ke dalam corong pengumpan alat pencacah pelepah sawit sehingga diperlukan tindakan segera. Perbaikan desain alat pencacah diharapkan dapat mengurangi level resiko.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-4
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit Untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi
C. Desain Alat Pencacah Pelepah Sawit Alat pencacah pelepah sawit dirancang berdasarkan kebutuhan peternak dengan menggunakan metode pohon tujuan (Objectives Tree Method). Skala prioritas tujuan diperoleh dengan mengurutkan tujuan perancangan dari level tertinggi hingga level terendah. Alat pencacah pelepah sawit memiliki 5 tujuan utama yaitu bahan pembuat, dimensi alat, desain alat, fungsi dan atribut tambahan. Atribut bahan dari alat pencacah sawit mempertimbangkan bahan kerangka dengan pilihan besi U, besi siku dan besi H dan bahan tabung pencacah dengan ketebalan plat 2 mm, 3 mm atau 5 mm. Atribut dimensi mempertimbangkan dimensi tabung dengan pilihan diameter 45 cm dan panjang 75 cm atau dimensi 50 cm dan panjang 75 cm. Sedangkan tinggi alat pencacah memiliki pilihan 80 cm, 100 cm atau 110 cm. Atribut desain terdiri dari pisau pemotong dengan pilihan mudah diganti atau lainnya, desain penutup tabung yang terdiri atas engsel dan kait pengunci, pilihan putaran mesin 1600 rpm, 2000 rpm atau 2200 rpm. Cara menghidupkan mesin terdiri dari starter elektrik atau manual dengan engkol. Atribut fungsi memiliki tambahan penarik pelepah otomatis sedangkan atribut warna terdiri atas warna orange, hijau dan merah. Atribut desain alat pencacah pelepah sawit dituangkan dalam bentuk pohon tujuan sehingga diketahui tujuan utama dan tujuan tambahan. Hubungan antara tujuan utama dan tujuan tambahan terlihat jelas dalam digram sistematis. Rekapitulasi hasil uji validitas kinerja dan harapan untuk 10 atribut alat pencacah pelepah sawit yang dicantumkan dlam kuesioner terbuka sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 2 Rekapitulasi Uji Validitas Kinerja dan Harapan Atribut Alat Pencacah Atribut r hitung r hitung r tabel Keterangan kinerja harapan Bahan kerangka 0,940 0,982 0,576 Valid Bahan tabung pencacah 0,977 0,984 0,576 Valid Dimensi tabung 0,933 0,989 0,576 Valid Tinggi alat pencacah 0,974 0,974 0,576 Valid Desain pisau potong 0,951 0,981 0,576 Valid Desain penutup tabung 0,976 0,987 0,576 Valid Putaran mesin 0,965 0,987 0,576 Valid Cara hidupkan mesin 0,972 0,994 0,576 Valid Fungsi tambahan 0,972 0,990 0,576 Valid Warna 0,973 0,990 0,576 Valid
R hitung untuk kinerja dan harapan dari atribut alat pencacah pelepah sawit yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat seluruhnya lebih besar daripada r tabel sebesar 0,576 sehingga atribut tersebut valid. Uji reliabilitas kuesioner yang disebarkan kepada peternak memiliki = 0,05, responden sebanyak 10 orang sehingga diperoleh r tabel sebesar 0.576 sehingga wilayah r tabel (0,576) < r hitung. Penggunaan rumus Sperman-Brown diperoleh reliabilitas kuesioner rxy sebesar 0,584 dengan koefisien 0,737 sehingga karena nilai r hitung > r tabel (0,737 > 0,570) maka Ho diterima sehingga kuesioner merupakan instrumen yang reliabel dan dapat dipergunakan. Penetapan fungsi (establishing function) pada proses pembuatan alat pencacah pelepah sawit dengan prinsip black box. Tahapan dalam penggunaan metode analisis fungsi ini adalah menyusun fungsi sistem secara keseluruhan dalam bentuk transformasi input-output. Fungsi perancangan alat pencacah pelepah sawit adalah sub fungsi pengukuran, pemotongan, pengerolan, pengelasan, perakitan dan finishing. Input berupa bahan yang terdiri atas bahan utama, bahan penolong, bahan tambahan, peralatan yang digunakan, mesin, tenaga kerja, modal dan informasi. Penyusunan kebutuhan (setting requirement) pada alat pencacah pelepah sawit dilakukan dengan membandingkan keinginan peternak sapi (demand) dengan keinginan produsen (wish) dengan menyebarkan kuesioner kepada peternak sapi. Langkah penyusunan kebutuhan ini adalah dengan menentukan produk alternatif untuk menemukan solusi yang dapat diterima, mendominasi level of generality untuk pelaksanaan produksi berupa desain yang menarik, fungsi yang tepat, bahan yang baik dan kualitas tinggi. Atribut yang merupakan demand pada perancangan adalah bahan kerangka, bahan tabung pencacah, dimensi tabung, tinggi alat SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-5
Anizar, Widyastuti, Torong, Hariyono
pencacah, desain pisau pemotong, desain penutup tabung, putaran mesin, cara menghidupkan mesin, fungsi tambahan, warna. Penetapan 5 W + 1 H dengan metode analisa 5W (What, Who, Why, Where, When) dan How digunakan untuk perancangan alat pencacah pelepah sawit hingga menentukan performansi kebutuhan untuk setiap atribut yang didasarkan pada demands dari peternak sapi dan wishes dari produsen. Penentuan karakteristik (determing characteristics) untuk mengetahui rancangan alat pencacah pelepah sawit yang diinginkan peternak sapi. Analisis dari rumah mutu adalah karakteristik teknik berat komponen, harga material, ketahanan komponen, waktu/kesulitan produksi dan usia pakai secara keseluruhan memiliki tingkat kesulitan yang sangat sulit. Semua karakteristik teknik memilki derajat kepentingan yang penting terkecuali ketahanan komponen yang memliki derajat kepentingan sangat penting. Semua karakteristik teknik memiliki perkiraan biaya yang murah. Kuesioner terbuka untuk atribut bahan dengan pertanyaan bahan kerangka memiliki modus besi U sedangkan bahan tabung pencacah modusnya plat 3 mm. Atribut dimensi dengan pertanyaan dimensi tabung memiliki modus diameter 45 cm dan panjang 75 cm sedangkan pertanyaan tinggi alat pencacah memiliki modus 100 cm. Atribut desain dengan pertanyaan desain pisau potong dengan modus mudah diganti, pertanyaan penutup tabung dengan modus engsel dan kait pengunci, pertanyaan putaran mesin dengan modus 22000 rpm pertanyaan cara menghidupkan mesin dengan modus starter elektrik. Atribut fungsi dengan modus penarik pelepah otomatis dan atribut warna dengan modus orange. Karakteristik teknis yang diperoleh adalah berat komponen, harga material, ketahanan komponen, waktu dan kesulitan produksi, usia pakai serta kemudahan pengganti part. Peningkatan kualitas hasil cacahan pelepah yang dihasilkan dengan memodifikasi mesin pencacah yang ada sekarang. Perbaikan dilakukan dengan mendesain pengatur kehalusan pelepah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengatur kehalusan cacahan
Gambar 2 Desain alat pencacah pelepah sawit dengan pengatur kehalusan
IV. PENUTUP Artikel ini bertujuan untuk melakukan perbaikan desain alat pencacah pelepah sawit untuk mengurangi keluhan sakit yang dirasakan peternak sapi serta memperbaiki kualitas hasil pencacahan sehingga dapat langsung dikonsumsi ternak sapi. Peternak sapi sebagian besar mengeluhkan sakit pada beberapa bagian tubuh akibat postur kerja yang tidak ergonomis saat memasukkan pelepah sawit ke corong pencacahan. Kedua elemen kegiatan memiiki level resiko tinggi sehingga dibutuhkan tindakan segera kecuali untuk tubuh bagian kiri pada elemen kegiatan menghidupkan mesin. Perbaikan desain rancangan didasarkan kepada keinginan dan kebutuhan peternak sapi sehingga terdapat perbaikan pada bahan penutup tabung, menghidupkan mesin secara otomatis dan penggunaan penarik otomatis sehingga pelepah tidak perlu lagi didorong secara manual untuk masuk ke ruang pencacah. Alat pencacah pelepah sawit usulan yang digunakan sudah sesuai dengan dimensi tubuh peternak sapi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-6
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit Untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi
DAFTAR PUSTAKA Anizar, 2015, “Analisis Desain Tojok Sebagai Alat Sortasi TBS Kelapa Sawit di Loding Ramp”, J@TI Jurnal Teknik Industri, Vol. X, No. 3, September 2015, hlm.149-154, Semarang: Universitas Diponegoro. Anizar. 2014, “Ergonomic Work Facilities Design to Reduce Musculoskeletal Disorders Among Chips Worker”, Proceedings of Joint International Conference APCHI-ERGOFUTURE-PEI-IAIFI 2014, Denpasar, hlm. AC46, Denpasar:Universitas Udayana. Cohen, L., 1995, Quality Function Deployment: How to Make QFD Work for You, USA : Addison-Wesley Publishing Company. Cross, N., 1996, Engineering Design Methods: Strategies for Product Design, New York: John Wiley dan Sons. Dantes, K.R., 2013, “Kajian Awal Pengembangan Produk Dengan Menggunakan Metode QFD (Quality Function Deployment) Studi Kasus Pada Tang Jepit Jaw Locking Pliers”, Jurnal Sains dan Teknologi, Vol. 2 No. 1, hlm.173-183, Bandung: Universitas Pendidikan Ganesha. Fahmi, H., Tama, IP., Efranto, RY., 2014, “Perbaikan Beban Kerja Fisik Dan Mental Pada Pembuatan Keripik Singkong Menggunakan Quick Exposure Check Dan National Aeronautics And Space Administration - Task Load Index”, Portal Garuda, hlm. 1077-1087 Hariyono, K., Anizar, Sitorus, E., 2016, Rancangan Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Meningkatkan Kualitas Cacahan dengan Metode Quality Function Deployment, Skripsi tidak dipublikasikan, Medan: Universitas Sumatera Utara. Hasibuan, M., Anizar, Pujangkoro, S., 2014, “26 Analisis Keluhan Rasa Sakit Pekerja dengan Menggunakan Metode REBA di Stasiun Penjemuran”, Jurnal Teknik Industri Vo. 5, No. 1, hlm 2630, Medan: Universitas Sumatera Utara. Muslimah, E., Nursanti, I., Mazuki, AA., 2015, “Perancangan Alat Bantu Untuk Mengurangi Keluhan Pekerja Pada Proses Penjemuran Kain Batik Cabut”. Proceeding Seminar Nasional Perhimpunan Ergonomi Indonesia : Sustainable Ergonomics for Better Human Well-Being, hlm.P 52 - P 56, Yogjakarta: Universitas Atmajaya. Poernomo, A.K., 2016, “Perancangan Mesin Sangrai Kacang dengan Menggunakan Metode Rasional”, Prosiding Seminar Nasional Industrial Engineering Conference 2016 (IDEC 2016), hlm. 459-469, Surakarta, Universitas Sebelas Maret. Mandang, T., 2015, “Conceptual Design Knapsack Sprayer for Palm Oil Cultivation by Ergonomic Approach”, International Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 6, Issue 8, 13781382. Stanton, N. 2005, Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods, New York: CRC Press LLC. Zhang, F.; Yang, M.; Liu, W., 2014, “Using Integrated Quality Function Deployment and Theory of Innova tion Problem Solving Appreach for Ergonomic Product Design”, Computer & Industrial Engineering 76, 1 Agustus, hlm. 60-74. Xiao, H., 2013. “Agricultural Work And Chronic Musculoskeletal Pain Among Latino Farm Workers: The MICASA Study”. American Journal of Industrial Medicine.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-7
Petunjuk Sitasi: Kusumanto, I., & Syahri, M. (2017). Analisa Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A8-13). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri Ismu Kusumanto(1), Maulana Syahri(2) (1), (2) Jurusan Teknik Industri, UIN Sultan Syarif Kasim Riau Jl. Soebrantas No. 155 Pekanbaru, RIAU (2)
[email protected] ABSTRAK Salah satu kendala utama dalam percepatan masa studi mahasiswa adalah penyelesaian tugas akhir. Banyak mahasiswa mampu menyelesaikan teori tepat waktu, namun terkendala dalam penyelesaian tugas akhir sehingga masa studi menjadi lama. Dampak dari kondisi ini adalah nilai akreditasi program studi yang tidak maksimal. Tujuan penelitian adalah menganalisa variabel dan atribut yang menyebabkan mahasiswa lambat dalam menyelesaikan tugas akhir dan menyebabkan tidak dapat menyelesaikan studi tepat waktu. Penelitian dilakukan di Jurusan Teknik Industri UIN Suska Riau. Data dikumpulkan melalui kuesioner kepada 57 responden dan dianalisis menggunakan Uji Cochran Q-Test serta dicari penyebabnya dengan menggunakan diagram tulang ikan (Fishbone Diagram). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang dapat menyebabkan lambatnya masa studi mahasiswa adalah faktor kemampuan efektif dosen, prosedur pelaksanaan seminar dan sidang TA, pelayanan bimbingan TA, kurikulum, fasilitas laboraturium, administrasi jurusan, administrasi fakultas, fasilitas perpustakaan dan pelayanan personal pegawai, dengan demikian perlu dicari variabel yang lebih dominan dengan menggunakan One Way ANOVA. Dari pengolahan data variable diperoleh faktor dominan adalah prosedur pelaksanaan seminar dan sidang TA. Usulan strategi perbaikan adalah adanya prosedur yang disepakati seluruh dosen terkait prosedur yang dapat memberi peluang mahasiswa dapat menyelesaikan tugas akhir dengan cepat. Kata kunci— Cochran Q-Test, Fishbone Diagram, Masa studi mahasiswa, One Way ANOVA
I. PENDAHULUAN UIN Sultan Syarif Kasim Riau merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang keberadaanya telah mendapat perhatian dari masyarakat Riau. Hal ini disebabkan materi pendidikan menggabungkan kemampuan sains dan teknologi dengan ilmu agama Islam. Perhatian dan harapan masyarakat yang besar terhadap UIN Sultan Syarif Kasim Riau menyebabkan peningkatan kualitas menjadi faktor utama agar dapat memenuhi harapan masyarakat Riau maupun masyarakat yang ada di sekitar Riau. Kualitas lembaga pendidikan tinggi tercermin, salah satunya, memenuhi persyaratan penilaian akreditas, dan mendapatkan nilai akreditasi yang baik dari pemerintah melalui Badan Akreditas Nasional Pergurunan Tinggi (BAN-PT). Untuk mendapat nilai akreditasi tinggi, salah satu poin didalam penilaian tersebut adalah tingkat kelulusan mahasiswa. (BAN-PT, 2008) Kurikulum yang diterapkan oleh jurusan Teknik Industri menegaskan bahwa mahasiswa pada semester 8 melaksanakan Tugas Akhir (TA) sehingga mahasiswa dapat lulus dalam 8-9 semester. Tetapi realita di Jurusan Teknik Industri UIN Suska Riau hanya sebahagian kecil yang dapat menyelesaikan tugas akhir tepat waktu. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa mahasiswa Jurusan Teknik Industri mengalami kesulitan, baik karena faktor diri mahasiswa maupun faktor eksternal mahasiswa. Tingkat kelulusan pada suatu lembaga pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri mahasiswa maupun dari lingkungan. Faktor-faktor dari dalam diri SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-8
Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri
mahasiswa hanya dapat diperbaiki dengan introspeksi diri dan penyadaran akan tugas dan kewajiban mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Hal ini tentu diluar kemampuan dan kendali pengelola jurusan. Sementara faktor lingkungan dipengaruhi oleh beberapa pihak yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Pengaruh lingkungan dari pihak pengelola jurusan diantaranya adalah penetapan aturan dan prosedur yang dapat mempercepat proses penyelesaian tugas akhir. Penentuan pembimbing dan penguji serta penentuan jadwal sidang tugas akhir. Hal ini sangat penting untuk dirancang agar mampu efisien dan efektif. Namun, faktor-faktor mana yang berpengaruh menghambat proses penyelesaian tugas akhir mahasiswa memerlukan kajian lebih dalam dan tidak dapat diselesaikan melalui dugaan semata. II. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan pedoman dalam proses penelitian yang dirancang secara sistematis sehingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara umum, tahapan dalam penelitian ini terdiri dari tahapan-tahapan utama, diantaranya adalah tahapan prapenelitian, tahapan pengumpulan dan pengolahan data, tahapan analisa hasil pengolahan dan penutup. Flowchart penelitian adalah sebagai berikut. Mulai Studi Pendahuluan Studi Pustaka Penentuan Populasi dan sample Penyusunan dan penyebaran kuisioner Pengumpulan Data Uji Cochran Q-test Tidak Jika Qhit < Q tab Y a Pemisahan Faktor Eksternal dan Internal Analisa Fish Bone Penutup
Gambar 1. Flowchart penelitian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-9
Kusumanto, Syahri
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Rincian penyebaran kuesioner di Jurusan Teknik Industri UIN SUSKA Riau adalah Tabel 1 Rincian Hasil Penyebaran Kuesioner Penelitian Jumlah kuesioner Disebar 68
Jumlah kuesioner Kembali 57
Jumlah kuesioner Sah 57
Kuesioner dianggap sah apabila semua pertanyaan dijawab dan memilih satu jawaban untuk setiap pertanyaan. Data-data yang diperoleh selanjutnya direkap dan diolah.
A. Analisa Uji Cochran Q-Test Pengolahan data menggunakan uji Cochran Q Test, dimana pengujian dapat dihentikan apabila Hipotesa H0 diterima. Hal ini berarti terdapat bukti untuk menyatakan bahwa dari 28 atribut menjadi 20 atribut memiliki jawaban Ya yang sama untuk semua atribut. Untuk keperluan pengujian, pertama (1), jawaban responden disusun terlebih dahulu, dimana jawaban YA diberi angka 1 dan jawaban TIDAK diberi angka 0. Dari rekap data dapat diketahui nilai sebagai berikut : 20
R i 1
i
10
C i 1
i
646
20
R i 1
646
10
C i 1
2
i
2 I
8210
17162
Dengan demikian, Q hitung dapat dicari :
Q
Qhit
2
k
k - 1k kj C 2j C j j
28 - 12817162 6462 28 x 646 8210
n
k i
n
R
i
i
R
2 i
Qhit 27 480536 417316 18088 8061
Qhit 1706940 10027
Qhit = 170,23 Dengan ά =0,05, dk=28-1=27 diperoleh Qtab (0,05;27) = 40,11 keputusan pengujian 1 : tolak H0 karena Qhit (170,23) > Qtab. Dengan demikian , perlu dilakukan pengujian 2 dengan membuang atribut yang memiliki jawaban YA yang paling sedikit, pada atribut ke-21 yaitu “Panca Indra “, seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Pengujian dapat dihentikan apabila Hipotesa H0 diterima, yaitu pada pengujian ke-9. Dimana diperoleh ά =0,05, dk=19-1=18 diperoleh Qtab (0,05;18) = 28,87. Dengan demikian, keputusan pengujian ke-9 adalah diterima H0 karena Qhit (2,76) < Qtab (28,87). Artinya, ke-20 atribut pada 8 variabel dapat dianggap sah sebagai faktor yang menyebabkan mahasiswa lambat menyelesaikan studi. Adapun variabel dan atribut tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri, 2017, Universitas Brawijaya – Malang A-10
Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri
Tabel 2. Proporsi Jawaban Ya pada Pengujian Pertama (1) No
Indikator
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biaya dalam menyelesaikan kuliah Kiriman uang orang tua Jarak kampus UIN Suska dengan tempat tinggal Suasana di sekitar rumah/ kos Teman dekat Status menikah Pantauan Orang tua terhadap perkembangan kuliah Teman-teman di lingkungan tempat tinggal Kurikulum yang Ada Kompetensi afektif dosen (perhatian, dan kesabaran). Kompetensi kognitif dosen (berpikir, menganalisa, dan wawasan). Kompetensi psikomotor dosen (body language, cara mengajar dan ekspresi) Fasilitas laboratorium yang tersedia. Fasilitas perpustakaan yang tersedia Administrasi Fakultas dalam mengurus surat Administrasi Jurusan dalam mengurus surat Pelayanan pegawai fakultas. Pelayanan pegawai jurusan. Pelayanan bimbingan KP/TA. Kondisi Fisik Tubuh anda Kondisi Panca Indra Anda Bakat Yang Anda Miliki Minat anda dalam melaksanakan tugas akhir Motivasi dari diri anda Motivasi dari orang-orang terdekat anda Sifat negatif (malas, segan) anda Kecerdasan yang Anda Miliki Kemampuan kognitif (Berfikir & Bertindak)
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Proporsi Jawaban YA 32 24 31 20 17 15 24 29 35 29 18 27 33 31 31 26 30 18 24 10 5 22 16 21 19 29 18 16
B. Pengolahan ANOVA Adapun Output pengolahan ANOVA diperoleh hasil sebagai berikut: Ekonomi Between Groups Within Groups Total
Tabel 3. Anova Variabel Ekonomi Sum of Squares Df Mean Square 3.267 1 3.267 59.667 58 1.029 62.933 59
F 3.175
Sig. .080
Data menggunakan hipotesis satu arah: H0 : 0 = 1 H1 : 0 ≠ 1 Indikator pngambilan keputusan : H0 ditolak : Jika Fhitung > Ftabel H0 diterima : Jika Fhitung < Ftabel Dari output didapat bahwa Fhitung 3,175 < Ftabel 4,01 N = 60, df = 58, Convidence Interval = 95%. Dengan probabilitas 0,000 < 0,005. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa F hitung < F Tabel, maka Ho ditolak artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel ekonomi dengan waktu penyelesaian kuliah.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-11
Kusumanto, Syahri
Tabel 4. Rekap Variabel dan Atribut hasil pengujian ke-9 No
Variabel
1
Ekonomi
2
Geografis
3
Sosial
4
Kurikulum
5
Dosen
6
Fasilitas
7
Administrasi
8
Pelayanan
9
Bakat
10
Motivasi
11 12
Sifat Negatif Kecerdasan
Indikator Biaya dalam menyelesaikan kuliah Kiriman uang orang tua Jarak kampus UIN Suska dengan tempat tinggal Suasana di sekitar rumah/ kos Pantauan Orang tua terhadap perkembangan kuliah Teman-teman di lingkungan tempat tinggal Kurikulum yang Ada Kompetensi afektif dosen (perhatian, dan kesabaran). Kompetensi psikomotor dosen (body language, cara mengajar dan ekspresi) Fasilitas laboratorium yang tersedia. Fasilitas perpustakaan yang tersedia Administrasi Fakultas dalam mengurus surat Administrasi Jurusan dalam mengurus surat Pelayanan pegawai fakultas. Pelayanan bimbingan KP/TA. Bakat yang Anda miliki Motivasi dari diri Anda Motivasi dari orang-orang terdekat Anda Sifat negatif (malas, segan) yang Anda miliki Kecerdasan yang Anda miliki
Proporsi Jawaban YA 32 24 31 20 24 29 35 29 27 33 31 31 26 30 24 22 21 19 29 18
C. Analisa Penglompokan Faktor Internal dan Faktor Eksternal Analisa pengelompokan faktor internal dan faktor eksternal diperlukan untuk memisahkan antara faktor internal dengan faktor eksternal yang menjadi masalah dalam menyelesaikan studi. Dari 12 variabel dan 20 atribut diperoleh faktor internal, sebanyak 4 variabel dan 5 atribut sedangkan faktor eksternal, sebanyak 8 variabel dan 12 atribut. D. Analisa Tahap Perbaikan Faktor Internal Fasilitas Laboratorium Analisa tahapan perbaikan dilakukan dengan menggunakan metode Fishbone, salah satu analisa yang dipergunakan pada Variabel Fasilitas dan Indikator Fasilitas Laboratorium adalah. SARANA Sofware komputer tidak lengkap
Jumlah lap kurang
Komputer kurang banyak
Alat peraga kurang
FASILITAS LABORATORIUM
Asisten kurang terlatih Asisten mengajar kurang optimal
MANUSIA
Jadwal praktikum sering bentrok dengan jadwal kuliah
WAKTU
Gambar 2. Fishbone Diagram Fasilitas Laboratorium
E. Analisa ANOVA Faktor Eksternal dirancang dengan menggunakan pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menjawab suatu permasalahan yang ada yaitu antara mahasiwa dengan variabel-variabel, seperti kurikulum, dosen, fasilitas, administrasi dan pelayaan. Usulan perancangan ditujukan untuk mendapatkan solusi agar mahasiswa dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu.
Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri, 2017, Universitas Brawijaya – Malang A-12
Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri
Dalam pengujian hipotesis ini digunakan Uji F, yaitu statistik parametrik yang berlaku untuk dua kelompok berpasangan (variabel terhadap waktu penyelesaian kuliah). Dari hasil pengujian One Way Anova didapat dua variabel yang memiliki pengaruh adapun variabel tersebut adalah variabel kurikulum dengan nilai F hitung = 4.943 < Ftabel = 4,01 dan variabel administrasi Fhitung = 6.964 < Ftabel=4,01 dengan keputusan jika Fhitung < Ftabel Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel yang ada dengan waktu penyelesaian kuliah.
1.
2.
3. 4.
IV. PENUTUP Beberapa kesimpulan yang diperoleh, yaitu sebagai berikut Motivasi yang dilakukan dengan dua cara yaitu : a. Motivasi bersifat positif diberikan dosen kepada mahasiswa dengan memberikan masukan-masukan agar mahasiswa tepat waktu dalam menyelesaikan kuliah. b. Motifasi yang bersifat negatif dimana mahasiswa diberi peringatan yang sifatnya bersifat menekan mahasiswa agar cepat menyelesai-kan studi dengan tepat waktu. Untuk kesimpulan faktor eksternal yang menjadi masalah perlu dilakukan usulan perancangan standar oprasional prosedur agar mahasiswa lebih mengetahui dan lebih jelas dalam mengurus sesuatu kepada dosen, jurusan, fakultas maupun pihak rektorat. Dari perhitungan dengan menggunakan uji Cochran Q-Test dari 28 faktor, didapat 20 atribut pada 8 variabel yang menyebabkan mahasiswa lambat menyelesaikan studi. Hasil pengujian One Way Anova didapat dua variabel yang memilki pengaruh yaitu variabel kurikulum dengan nilai F hitung = 4.943 < Ftabel = 4.01 dan variabel administrasi Fhitung = 6.964 < Ftabel = 4.01. DAFTAR PUSTAKA
BAN-PT, 2009, Pedoman Penyusunan Portofolio Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi” [Online] Available http://www.scribd.com, (diakses 17 Desember 2016). Simamora, Bilson., 2003, Panduan Riset Perilaku Konsumen, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta, Rineka Cipta.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-13
Petunjuk Sitasi: Destyanto, R. A., Hidayatno, A., & Moeis, A. O. (2017). Pengembangan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi pada Mahasiswa Teknik Industri. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A14-20). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengembangan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi pada Mahasiswa Teknik Industri Arry Rahmawan Destyanto(1), Akhmad Hidayatno(2), Armand Omar Moeis(3) (1), (2), (3) Laboratorium Systems Engineering, Modeling, and Simulation Departemen Teknik Industri, Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok, 16424 (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected] ABSTRAK Lulusan program studi Teknik Industri merupakan lulusan yang diharapkan memiliki kompetensi lengkap khususnya dalam merancang, meningkatkan, dan memecahkan masalah dalam sistem yang terpadu di berbagai sektor industri. Salah satu sektor yang penting untuk dipelajari adalah industri keuangan. Dengan kemampuan memahami sistem keuangan dan investasi, diharapkan lulusan teknik industri mampu memberikan kontribusi dalam mewujudkan stabilitas dan kemajuan perekonomian Indonesia melalui pendekatan multidisiplin yang telah dipelajarinya. Sayangnya, konsep sistem keuangan dan investasi itu sendiri bukanlah sebuah konsep yang sederhana dan dirasa tidak cukup diajarkan hanya melalui buku teks karena sifat sistem keuangan dan investasi yang dinamis. Untuk menghadapi hal tersebut, peneliti mengembangkan sebuah purwarupa permainan simulasi (serious simulation game / SSG) yang dapat memberikan pengalaman belajar mengambil keputusan investasi dalam sistem keuangan yang dinamis. Invest-Man merupakan nama dari purwarupa SSG berbasis papan yang dikembangkan untuk membantu mahasiswa memahami konsep keputusan investasi dalam sistem keuangan. Dengan menggunakan alat bantu SSG, diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep investasi dengan lebih baik dan juga menyenangkan. Hasil pengujian sementara purwarupa SSG kepada mahasiswa menunjukkan sebagian besar pemahaman yang diharapkan berhasil ditanamkan kepada mahasiswa dan juga memotivasi mahasiswa untuk menerapkan ilmunya dalam berinvestasi di dunia nyata. Berdasarkan hasil pengembangan purwarupa yang dilakukan, penulis merekomendasikan bahwa penggunaan SSG dalam pembelajaran keputusan investasi dalam mata kuliah tentang sistem keuangan dalam kurikulum teknik industri merupakan alternatif yang layak untuk dipertimbangkan. Kata kunci— Serious Simulation Game, Sistem Keuangan, Investasi, Simulasi Pembelajaran, Experiential Learning
I. PENDAHULUAN Lulusan program studi teknik industri merupakan salah satu lulusan perguruan tinggi yang diharapkan memiliki kompetensi lengkap dalam merancang, mengembangkan, dan memecahkan masalah dalam sistem terintegrasi yang terdiri dari manusia, material, informasi, peralatan, dan energi (Institute of Industrial and Systems Engineers, 2017). Sistem terintegrasi yang dimaksud bisa dalam konteks beragam industri, seperti industri manufaktur, penerbangan, minyak dan gas, jasa pendidikan, keuangan, dan lain sebagainya. Sehingga, kurikulum pendidikan teknik industri sebaiknya mendukung agar mahasiswa dapat menggunakan pendekatan – pendekatan teknik industri di bidang tersebut sesuai peminatannya. Salah satu bidang dari beragam industri yang memberikan dampak signifikan bagi Indonesia dan banyak negara di dunia adalah industri keuangan. Industri keuangan seringkali diandalkan untuk menciptakan stabilitas perekonomian dan mendukung pembangunan berkelanjutan (Hadad, 2017). Peran lulusan teknik industri dalam merancang dan meningkatkan sistem di industri keuangan tentunya sangat diharapkan karena telah dibekali dengan berbagai macam pendekatan multidisiplin untuk memecahkan masalah. Sehingga, pengenalan terkait sistem keuangan dan investasi sebagai sebuah industri menjadi penting untuk diberikan kepada mahasiswa.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-14
Pengembangan Permainan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri
Sistem keuangan sendiri diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan, dan teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa keuangan dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh dunia (Rose, 2000). Pengelolaan keuangan dan investasi merupakan subjek yang semakin penting untuk dipelajari karena tingkat kesadaran finansial masyarakat Indonesia yang rendah (Wibowo, 2007). Namun, data terbaru Bank dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk tanpa rekening bank menurun besar. Sebagai contoh di Indonesia, kepemilikan rekening dalam kelompok 40% masyarakat termiskin nasik 2 kali lipat menjadi 22% (World Bank, 2015). Hal ini menunjukkan kenaikan tren masyarakat dalam mengelola aset melalui tabungan dan juga menunjukkan kenaikan peluang bahwa di masa akan datang, pengelolaan aset berupa deposito, emas, valas, saham, dan juga obligasi akan cenderung naik sehingga upaya pengenalan mengenai industri keuangan dirasa semakin penting. Bentuk pengenalan industri keuangan tersebut dapat dilakukan melalui pembukaan mata kuliah, seperti misalnya mata kuliah Sistem Keuangan dan Investasi di Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia. Melalui mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami bagaimana sistem keuangan dan investasi bekerja. Namun, banyaknya konsep keuangan yang kompleks, jumlah bahan ajar yang sangat banyak, dan banyaknya istilah yang tidak familiar menyebabkan turunnya minat mahasiswa untuk mempelajari industri keuangan. Penyebab lainnya adalah mahasiswa merasa bahwa memahami industri keuangan bukanlah kompetensi utama yang harus dicapai. Faktor lain yang menyebabkan turunnya minat mahasiswa, berdasarkan survey internal, adalah dinamika sistem keuangan dan investasi yang tidak efektif apabila disampaikan hanya melalui ceramah konvensional dan pembelajaran berbasis buku teks. Berdasarkan hal tersebut tersebut, diperlukan sebuah pendekatan yang dapat membantu mahasiswa belajar mengenai sistem keuangan dan investasi menjadi lebih efektif. Selain dapat meningkatkan minat mahasiswa teknik industri dalam mempelajari konsep investasi dan sistem keuangan, pembelajaran ini juga perlu dapat menggambarkan dinamika investasi dalam sistem keuangan yang sebenarnya. Menurut Mayer (2012), minat belajar seseorang dapat ditingkatkan dengan menggunakan permainan simulasi non – hiburan (serious simulation gaming / SSG). Pemainan simulasi merupakan lingkungan eksperimental yang berdasar pada aturan tertentu dan bersifat interaktif sehingga meningkatkan keterlibatan peserta dengan materi yang dipelajari. Penggunaan SSG dalam pembelajaran selain meningkatkan motivasi, juga dapat meningkatkan retensi terhadap konsep yang dipelajari dibandingkan dengan ceramah atau berbasis buku teks (Vogel et al, 2006). Efektivitas pembelajaran yang dihasilkan SSG diakui lebih besar dibandingkan dengan beberapa pendekatan lain, terutama pendekatan konvensional (Gee, 2004; Squire, 2008). Hal ini disebabkan SSG memungkinkan peserta untuk melakukan eksplorasi lebih dalam melalui simulasi yang seru, grafis yang menarik, serta kesempatan untuk berinteraksi yang tidak didapatkan dalam pendekatan konvensional (Deshpande & Huang, 2011). Kemampuan SSG untuk meningkatkan efekivitas belajar membuatnya sudah diadopsi di banyak bidang yang berkaitan dengan kompetensi bidang teknik industri, seperti sustainable resource management (Pierce & Madani, 2013, 2014), pemrograman komputer (Coelho, Kato, Xavier, & Gonclaves, 2011), manajemen bisnis (Faria, Hutchison, Wellington, Gold, 2009), matematka (Chang, Wu, Weng, & Sung, 2012), dan bidang keinsinyuran lain yang terkait (Mayo 2007; Coller & Scott 2009; Pierce, 2013). Penelitian kali ini mencoba untuk menjelaskan proses pengembangan purwarupa SSG sebagai alat bantu untuk meningkatkan minat dan pemahaman mahasiswa teknik industri dalam memahami konsep dan dinamika investasi di sistem keuangan. Proses pengembangan purwarupa SSG ini merupakan langkah awal untuk menguji hipotesis utama bahwa serious simulation game (SSG) adalah pendekatan yang lebih baik dalam memberikan pemahaman konsep investasi dibandingkan kuliah konvensional yang berbasis kepada buku teks. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi untuk membantu proses pembelajaran dalam kurikulum teknik industri. khususnya mengenai sistem keuangan dan investasi. II. METODOLOGI PENELITIAN Serious Simulation Game (SSG) terdiri dari dua karakteristik utama, yaitu gabungan dari Serious dan Simulation Game. Serious Game merupakan permainan yang diciptakan bukan untuk hiburan sebagai tujuan utamanya (non – entertainment purpose), sementara Simulation Game SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-15
Destyanto, Hidayatno, Moeis
adalah permainan yang merepresentasikan dinamika dunia nyata untuk diuji coba oleh aktor mengambil keputusan dan menggambarkan konsekuensi atas keputusannya tersebut sehingga mampu untuk mengkonstruksi pengetahuan (Klabbers, 1999). Perbedaan permainan simulasi biasa dengan serious game adalah karena tujuannya untuk menanamkan pengetahuan atau keterampilan tertentu, maka fase refleksi peserta setelah bermain sangat penting untuk mengevaluasi pengalaman dan pembelajaran setelah bermain atau biasa juga disebut dengan fase debriefing (Kriz, 2003). Fase ini merupakan salah satu pembeda antara permainan umum dengan serious game, karena debriefing memberikan kesempatan kepada peserta untuk membandingkan konsekuensi keputusan dalam dunia simulasi dan dunia nyata, menemukan persamaan dan perbedaan, yang pada akhirnya diharapkan terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dari bermain permainan tersebut. Pengembangan SSG untuk memberikan pemahaman konsep investasi kepada mahasiswa merupakan proses yang cukup kompleks, karena permainan yang dikembangkan harus mampu menyesuaikan dengan capaian pembelajaran yang ingin dituju (learning outcome). Capaian pembelajaran yang dijadikan referensi penelitian ini adalah kurikulum di Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia tahun 2013 pada mata kuliah Sistem Keuangan dan Investasi. Untuk mengembangkan SSG pada penelitian kali ini, digunakan Kriz’s Gaming Simulation Approach (Kriz, 2003). Pendekatan ini membagi aspek reality dalam pengembangan SSG menjadi 5 tingkatan. Tingkat 1 (reality level 1) adalah memilih realita dunia nyata (baik secara sosial maupun fisik) yang dijadikan referensi untuk merancang permainan simulasi sebagai basis mental model. Tingkat 2 (reality level 2) adalah proses pembuatan permainan berdasarkan mental model yang sudah dibuat ke dalam bentuk fisik. Tingkat 3 (reality level 3) adalah tahap mengimplementasikan realita yang dibuat dalam permainan kepada peserta. Tingkat 4 (reality level 4) masuk ke tahap debriefing di mana terdapat refleksi dari apa yang dipelajari di permainan baik berupa insight, pengetahuan, ataupun keterampilan untuk nantinya diaplikasikan dalam dunia nyata. Tingkat 5 (reality level 5) merupakan fase kedua dari proses debriefing, yaitu meta – debriefing dan evaluasi untuk mengukur secara kuantitatif seberapa besar permainan simulasi mampu mencapai tujuan pembelajaran / learning outcome. Proses pengembangan SSG secara lebih detil dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 Proses pengembangan SSG Invest-Man menggunakan Kriz’s Gaming Simulation Approach
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-16
Pengembangan Permainan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Fase awal penelitian ini adalah menciptakan sebuah SSG yang dapat digunakan untuk membantu proses pemahaman konsep investasi. Purwarupa SSG yang dikembangkan diberinama Invest – Man. Invest – Man adalah permainan papan yang memiliki komponen berupa: (1) Papan permainan beserta dadu dan pion; (2) Set kartu yang terdiri dari kartu profesi, skenario, dan kepemilikikan instrumen investasi; dan (3) Set cek dengan berbagai pecahan nilai dan mata uang. Permainan ini mengakomodir peserta dalam membuat keputusan untuk dialokasikan pada tabungan, oblgasi, saham, emas, deposito, dan valuta asing. Permainan dapat dilakukan oleh 2 – 4 orang pemain, 2 bank, 1 fasilitator permainan, dan 1 game master. Untuk membuat permainan yang sesuai dengan realita, dibuat alur permainan seperti yang dijelaskan bagan pada gambar 2.
Gambar 2 Alur permainan dari SSG Invest – Man
Purwarupa awal dari SSG Invest – Man diujikan kepada mahasiswa teknik industri semester 6. Pemilihan sampel dilakukan dengan asumsi bahwa mahasiswa di tingkat tersebut sudah mendapatkan mata kuliah sistem keuangan dan investasi, sehingga tidak terlalu asing dengan istilah – istilah dasar dalam dunia investasi. Purwarupa awal permainan diujikan kepada beberapa subject matter expert yang ada di bidang keuangan dan investasi untuk menajamkan aspek realita terhadap permainan. Pada gambar 2, ada beberapa poin yang diberikan tanda (*) sebagai bentuk penambahan alur permainan dibanding purwarupa awalnya. Sebagai contoh, poin nomor 2 ditambahkan karena secara realita masyarakat atau organisasi dapat menggunakan dananya untuk berinvestasi setelah dikurangi kewajiban – kewajiban yang harus dibayarkan sesuai opsi jasa keuangan yang mereka pilih. Misalnya, seseorang yang memilih menggunakan jasa asuransi kehilangan kesempatan untuk mengalokasikan dana tersebut dalam berinvestasi. Poin nomor 6 juga merupakan tambahan skenario acak terkait dengan risiko dalam kehidupan nyata individu yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan. Jika pada purwarupa awal sebelumnya skenario yang dijalankan tidak mempertimbangkan keputusan yang dilakukan pada poin 2, dengan pengujian purwarupa selanjutnya apa yang diputuskan pemain pada poin 2 akan berpengaruh pada poin 6. Misalnya, apabila pemain memilih menggunakan asuransi, maka saat mendapatkan risiko sakit secara tiba – tiba tidak akan mempengaruhi kondisi keuangan secara signifikan. Untuk menajamkan kondisi sesuai dengan realita sebenarnya, subject matter expert memberikan masukan terkait dengan fluktuasi nilai yang terjadi pada masing – masing instrumen investasi seiring berjalannya waktu. Hal ini membuat skenario yang disusun bukan hanya skenario individu (yang ditunjukkan poin 6), tetapi juga skenario eksternal yang menunjukkan variasi acak untuk nilai instrumen investasi dalam rentang deret waktu. Mekanisme skenario acak SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-17
Destyanto, Hidayatno, Moeis
ini ditentukan oleh kartu skenario yang diambil dan dibacakan oleh game master di akhir periode. Kartu ini berisikan nilai nominal instrumen seperti emas, valas, bunga, saham, dan obligasi yang berubah – ubah setiap periode. Pasca pengujian dengan subject matter expert, dilakukan iterasi perancangan permainan dari reality level 3 menuju kembali ke reality level 2. Perancangan kembali permainan ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang lebih sesuai dengan realita sebenarnya. Setelah permainan diperbaiki berdasarkan umpan balik, selanjutnya diujikan kepada peserta untuk dimainkan hingga 30 periode. Berdasarkan pengujian yang dilakukan kepada mahasiswa semester 6, didapatakan beberapa umpan balik seperti yang ditunjukkan oleh tanda (**) pada gambar 2. Poin 3 menunjukkan adanya umpan balik dari purwarupa awal yang hanya memberikan modal awal sebesar 1x penghasilan bersih yang bisa diinvestasikan. Modal awal yang begitu kecil menjadi sangat riskan untuk terjadi loss apabila dialokasikan ke instrumen yang memiliki risiko tinggi. Hal ini akan berimplikasi pada motivasi peserta yang menjadi tidak percaya diri untuk berkompetisi di periode – periode berikutnya. Maka dari itu, nilai modal awal ditingkatkan menjadi 6x penghasilan bersih yang dapat diinvestasikan. Umpan balik pada poin 9 diusulkan oleh pemain setelah mengkritisi informasi posisi aset yang dipublikasikan hanya pada periode 15 dan 30 pada rancangan purwarupa awalnya. Posisi aset dirancang awalnya dipublikasikan hanya di periode 15 dan 30 agar permainan setiap periode bisa dilakukan dengan cepat. Hanya saja, sistem ini ternyata membuat pemain bingung terkait strategi apa yang harus dilakukan selanjutnya karena tidak mengetahui posisi aset di akhir periode. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan spreadsheet perhitungan fasilitator yang juga dilengkapi dengan dashboard sederhana untuk ditunjukkan kepada pemain. Penambahan alur ini ternyata juga meningkatkan semangat peserta untuk menuntaskan permainan dibandingkan dengan alur sebelumnya. Penambahan lain juga dilakukan pada poin 12, di mana mengubah cara penilaian pemenang permainan dari yang sebelumnya berdasarkan total aset menjadi besarnya rasio pertumbuhan dibandingkan dengan aset kekayaan awalnya. Hal ini bisa dipahami karena setiap peserta memiliki tingkat pendapatan berbeda di mana profesi yang dijalankannya juga berbeda seperti yang dilakukan pada poin 1. Dengan penilaian yang berbasis rasio pertumbuhan dinilai lebih adil dan membuat peserta termotivasi untuk menuntaskan permainan hingga akhir. Purwarupa yang telah diperbaiki, termasuk beberapa masukan terkait dengan perbaikan desain antar muka permainan, kemudian diujikan kepada mahasiswa semester 6 yang sudah mengambil mata kuliah sistem keuangan dan investasi seperti yang ditunjukkan oleh gambar 3. Mahasiswa memainkan purwarupa SSG sekitar 5 – 6 bulan setelah mata kuliah tersebut diambil. Setelah bermain, mahasiswa diminta untuk melakukan debriefing dan melakukan konstruksi pengetahuan terkait dengan apa yang dipelajari.
Gambar 3 Pengujian purwarupa SSG hasil iterasi kepada mahasiswa Teknik Industri
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-18
Pengembangan Permainan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri
Beberapa insight yang didapatkan mahasiswa setelah memainkan invest-man memiliki beberapa kesamaan dalam poin – poin berikut: (1) Mampu menjelaskan instrumen keuangan yang termasuk dalam kategori investasi dan tidak, serta menjelaskan masing – masing karakteristiknya; (2) Mampu menjelaskan konteks kapan perlu melakukan diversifikasi melalui beberapa instrumen investasi; (3) Mampu menjelaskan risiko masing – masing instrumen investasi dan juga tingkat pengembaliannya; (4) Memiliki motivasi untuk menerapkan konsep investasi yang dipelajari dalam kehidupan sehari – hari; (5) Mampu menjelaskan mengapa sebuah investasi dapat memberikan keuntungan dan kapan menghasilkan kerugian, berdasarkan refleksi dari tim yang mengalami keuntungan serta kerugian terbesar. Sebuah evaluasi awal juga dilakukan dengan membandingkan performa penilaian post – test antara mahasiswa yang diminta mempelajari konsep investasi dari buku dan jurnal serta mahasiswa yang belajar melalui SSG Invest – man. Berdasarkan hasil post – test yang menguji pengetahuan tentang keputusan investasi, siklus instrumen investasi, diversifikasi investasi, dan risiko – risiko investasi, mahasiswa yang belajar melalui SSG Invest-Man memiliki nilai 20 – 30% lebih baik dibandingkan yang belajar melalui buku teks secara kuantitatif. Namun, hasil ini masih sangat prematur untuk dijadikan patokan dasar dampak penggunaan SSG untuk belajar manajemen investasi. Teknik evaluasi yang lebih baik untuk permainan Invest – Man saat ini masih dalam proses pengembangan dan penelitian lebih lanjut, untuk dapat menguji hipotesis bahwa SSG merupakan pendekatan yang lebih baik dalam memberikan pemahaman konsep investasi dibandingkan dengan ceramah konvensional yang berbasis buku teks. IV. PENUTUP Purwarupa SSG Invest – Man merupakan langkah awal untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan proses dan kualitas pembelajaran dalam kelas, khususnya untuk mata kuliah yang berkaitan dengan sistem keuangan dan keputusan investasi. Berdasarkan proses pengembangan dengan menggunakan Kriz’s Simulation Gaming Approach, secara umum pemain sudah dapat melakukan konstruksi pengetahuaun yang sesuai dengan apa yang diharapkan saat fase debriefing. Selain itu, saat proses pengembangan permainan, peneliti berkesimpulan bahwa perlu menyeimbangkan antara aspek realita atau kesesuaian dengan dunia nyata, dengan aspek mekanisme permainan yang ramah terhadap pemain agar termotivasi untuk menuntaskan permainan sehingga maksud yang terkandung dalam permainan dapat ditangkap dengan baik oleh peserta. Pengujian komparatif secara statistik untuk fase evaluasi dari permainan ini masih dilanjutkan untuk dapat menyimpulkan apakah menggunakan SSG lebih baik dibandingkan ceramah konvensional. Pengujian ini direncanakan bukan hanya untuk mengukur efektivitas materi yang dikuasai, tetapi juga berapa lama peserta mengingat materi tersebut. Apabila terbukti secara statistik bahwa permainan SSG ini memberikan dampak yang lebih baik, maka peneliti berkesimpulan bahwa penggunaan SSG Invest – Man di dalam kelas merupakan alternatif belajar yang sangat layak untuk dipertimbangkan. Untuk penelitian yang akan datang, juga dapat dilakukan pengujian terhadap unsur perilaku peserta dalam berinvestasi untuk mengetahui pengaruh perilaku investor terhadap pola berinvestasi dan hasil investasinya. Penelitian yang akan datang juga perlu mempertimbangkan kemungkinan transaksi di pasar sekunder (secondary market) untuk meningkatkan unsur realita dalam permainan simulasi yang dibuat.
DAFTAR PUSTAKA Chang, K.E., Wu, L.J., Weng, S.E., & Sung, Y.T. 2012. ―Embedding Game-based Problem-Solving phase into Problem-posing System for Mathematics Learning‖, dalam Computer & Education, 58(2), hlm. 775 – 786. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2011.10.002 Coelho, A., Kato, E., Xavier, J., & Gonclaves, R. 2011. ―Serious Game for Introductory Programming‖, dalam Lecture Notes in Computer Science, 6944, hlm. 61 – 71. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-64223834-5_6
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-19
Destyanto, Hidayatno, Moeis
Coller, B.D., & Scott, M.J., 2009, ―Effectiveness of Using a Video Game to Teach a Course in Mechanical Engineering‖, dalam Computers & Education, 53(3), hlm. 900 – 912. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2009.05.012 Deshpande, A.A., & Huang, S.H. 2011. ―Simulation Games in Engineering Education: a State-of-the-art Review‖, dalam Computer Applications in Engineering Education, 19 (3), hlm. 399 – 410. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/cae.20323/abstract Faria, A.J., Hutchison, D., Wellington, W.J., & Gold, S., 2009, ―Developments in Business Gaming: a Reviewof the Past 40 Years‖, dalam Simulation and Gaming, 40, hlm. 464 – 487. Sage Publishing. Gee, J.P. 2004. What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy. New York: Palgrave Macmillan Hadad, M.D., 2017, OJK Dorong Kontribusi Industri Jasa Keuangan dalam Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi. Jakarta : Pertemuan Tahunan Pelaku Industri Jasa Keuangan 2017. http://s.id/uLE (diakses 12 Juli 2017). Institute of Industrial and Systems Engineers., 2017, IISE Official Definition. http://www.iise.org/details.aspx?id=282. Diakses pada Rabu, 12 Juli 2017. Klabbers, J., 1999, ―Three Easy Pieces: A Taxonomy on Gaming‖, dalam Simulation and Gaming Yearbook Vol. 7. Simulation and Gamers for Strategy and Policy Planning, hlm. 16 – 33. London : Kogan Page. Kriz, C.W., 2003, ―Creating Effective Learning Environments and Learning Organizations Through Gaming Simulation Design‖, dalam Simulation and Gaming, vol 34 No. 4, hlm. 495 – 511. Thousand Oaks, California : Sage Publications. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1046878103258201 Mayer, I., 2012, ―Towards a Comprehensive Methodology for the Research and Evaluation of Serious Games‖, dalam Wm. Agresti (Editor), Procedia Computer Science 15, hlm. 233 – 247, Amsterdam: El Sevier. Mayo, M.J., 2007, ―Games for Science and Engineering Education‖, dalam Communications of the ACM, 50(7), hlm. 30 – 35. Pierce, T., & Madani, K. 2013. ―Online Gaming for Sustainable Common-Pool Resource Management and Tragedy of the Commons Prevention‖, dalam Proceedings of the 2013 IEEE International Conference on Systems, Man, and Cybernetics (SMC), hlm. 1765 – 1770. http://dx.doi.org/10.1109/SMC.2013.304 Pierce, T.W., 2013. Virtual Interactions with Real-Agents for Sustainable Natural Resource Management, M.Sc Thesis. Orlando, FL: Department of Civil, Environmental, and Construction Engineering, University of Central Florida. Rose, A.K., 2000. One Money, One Market : Estimating the Effect of Common Currencies on Trade. California: University of California, Berkeley. https://faculty.haas.berkeley.edu/arose/Grav.pdf (diakses 12 Juli 2017) Squire, K.D. 2008. ―Video Game-Based Learning: an Emerging Paradigm for Instruction‖, dalam Performance Improvement Quarterly, 21 (2), hlm. 7-36. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/piq.20020/full Vogel, J. J., Vogel, D.S., Cannon-Bowers, J., Bowers, C.A., Muse, K., & Wright, M. 2006. ―Computer Gaming and Interactive Simulation for Learning: a Meta – Analysis‖, dalam Journal of Educational Computing Research, 34(3), hlm. 229 – 243. Wibowo, P.P., 2007. Financial Education and Awareness: Indonesia Experience. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). https://www.oecd.org/finance/financialmarkets/42551235.pdf (diakses 11 Juli 2017)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-20
Petunjuk Sitasi: Saptadi, S., Prastawa, H., & Satria, Y. (2017). Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A2126). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ) Singgih Saptadi (1), Heru Prastawa(2) ,Yoga Satria (3) Program Studi Teknik Industri Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 50239 (3)
[email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Media pembelajaran adalah salah satu penunjang dalam proses kegiatan belajar mengajar, untuk meningkatkan minat belajar peserta didik tentunya dapat diupayakan dengan menggunakan media belajar yang unik dan menarik. Mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga (MPPJO) adalah salah satu mata pelajaran wajib di SMA Negeri 2 Semarang, rata-rata nilai yang didapatkan dari cara pembelajaran MPPJO saat ini belum mencapai Kriteria Ketuntusan Minimal (KKM) untuk aspek teoritis, oleh karena itu dirancang pelengkap pembelajaran melalui media smartphone (mobile learning) yang dapat digunakan dimana saja dan kapan saja. Pembuatan media belajar dirancang sesuai dengan taksonomi kognitif bloom yang disesuaikan dengan kompetensi dasar MPPJO, kemudian dilakukan proses analisis kebutuhan untuk mengetahui konten yang akan dimuat, selanjutnya adalah proses perancangan aplikasi kemudian dilakukan uji coba ke calon pengguna dan diuji tingkat usabilitasnya menggunakan kuesioner computer system usability questionnaire (CSUQ). Hasil dari pengujian tersebut didapatkan skor setiap aspek usabilitas antara lain yaitu : kegunaan sistem 6.17, kualitas informasi 6.11, kualitas tampilan antar muka 5.83, dan total kepuasan pengguna 6.3 dengan hasil tersebut tingkat usabilitas aplikasi mobile learning MPPJO mendapatkan rata-rata skor 6.09 dari skala 7 sehingga dapat dikatakan bahwa aplikasi memiliki tingkat usabilitas yang cukup dan dapat diterapkan pada SMA Negeri 2 Semarang. Kata kunci— Analisis kebutuham, CSUQ, mobile learning, taksonomi bloom, usabilitas.
I. PENDAHULUAN Media pembelajaran merupakan perantara pembawa informasi mencakup instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran antara sumber dan penerima (Heinich, 1993), melalui media pembelajaran pengajar dapat terbantu dalam menyampaikan materi yang telah dirancang untuk melengkapi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Rata-rata hasil kegiatan belajar mengajar MPPJO di SMA 2 Negeri Semarang khususnya kelas X belum mencapai kriteria KKM yaitu 70, salah satu hal yang menyebabkan kesenjangan nilai tersebut adalah tidak ada pemisahan waktu antara pembelajaran teori dan praktik. Pembelajaran MPPJO baik praktik maupun teori dilakukan secara bersamaan di lapangan, hal ini mempengaruhi tingkat penyerapan materi yang disampaikan karena daya tangkap siswa berbeda-beda antara satu dengan lainya. Untuk mengisi kekosongan pembelajaran aspek teori, dapat diupayakan dengan menggunakan media pelengkap pembelajaran yang diharapkan dapat digunakan kapan saja dan dimana saja. Tujuan tersebut dapat diupayakan dengan memberikan siswa fasilitas belajar melalui media aplikasi mobile learning, pembelajaran melalui mobile learning diartikan sebagai perpaduan antara pembelajaran elektronik (e-learning) dengan perangkat mobile yang memberikan pengalaman belajar menarik, karena dapat mengakses informasi dimanapun, kapanpun, serta kaya akan interaksi yang mendukung efektivitas pembelajaran. Dalam penelitian sebelumnya, Wang & SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-21
Saptadi, Prastawa, dan Satria
Li (2015) membangun model perancangan media pembelajaran dengan aspek kognitif melalui taksonomi bloom namun tanpa pengujian usabilitas aplikasi, sehingga tidak didapatkan umpan balik dari pengguna aplikasi. Untuk merancang sebuah aplikasi yang mudah digunakan, maka perlu dilakukan pendekatan Usability, pendekatan usability bertujuan untuk mengetahui bagaimana membuat sebuah aplikasi yang mudah digunakan oleh pengguna (Kela, 2006). Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk merancang aplikasi media pembelajaran dengan mempertimbangkan aspek usabilitas aplikasi sehingga dapat dirancang aplikasi media pembelajaran MPPJO yang mudah digunakan, sesuai dengan kebutuhan, dan memuaskan pengguna yaitu guru dan siswa SMA Negeri 2 Semarang, objek yang akan diteliti pada penelitian ini adalah media pembelajaran MPPJO yang telah dirancang, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil evaluasi usabilitas melalui kuesioner CSUQ dan subjek penelitian yang terlibat adalah guru MPPJO dan 50 siswa kelas X SMA Negeri 2 Semarang yang dipilih secara acak. II. MATERIAL DAN METODOLOGI Metodologi penelitian penelitian ini terdiri dari penentuan metode, penentuan indikator, perancangan kuesioner, responden. A. Model Konseptual Model konseptual yang digunakan adalah model konseptual yang dibangun oleh Wang & Li (2015) serta dilakukan penyesuaian terhadap model tersebut, dan menggunakan objek penelitian pada MPPJO SMA Negeri 2 Semarang. APLIKASI MOBILE LEARNING · ·
Tujuan Tujuan Pembelajaran Pembelajaran Meningkatkan Meningkatkan aspek aspek kognitif kognitif dalam dalam MPPJO MPPJO
Konten (Materi, Latihan) Desain Interface (Layout, Ikon,Gambar,Warna)
PENGETAHUAN PENGETAHUAN ·· P1: P1: Faktual Faktual ·· P2: P2: Konseptual Konseptual ·· P3: P3: Prosedural Prosedural
PROSES PROSES KOGNITIF KOGNITIF ·· ·· ·· ·· ··
K1 K1 :: Mengingat Mengingat K2 K2 :: Memahami Memahami K3 K3 :: Mengaplikasikan Mengaplikasikan K4 K4 :: Menganalisa Menganalisa K5 : Mengevaluasi. K5 : Mengevaluasi.
Konsep Pembelajaran Bloom · · · · ·
Pengetahuan Pemahaman Aplikasi Analisis Evaluasi
Gambar 1 Model Konseptual Penelitian Pada penelitian ini tujuan pembelajaran MPPJO adalah meningkatkan pemahaman aspek kognitif siswa. Untuk meningkatkan pemahaman kognitif pada siswa, Benjamin S. Bloom (1956) mengemukakan konsep tentang dimensi pembelajaran kognitif untuk siswa. Dimensi yang dilibatkan pada penelitian ini, antara lain : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi. Dimensi kognitif tersebut didalamnya mencakup komponen pengetahuan dan komponen proses kognitif yang kemudian diadopsi dalam materi pembelajaran mobile learning. Meninjau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari MPPJO, hal tersebut dapat dilihat di tabel 1. Tabel 1 Identifikasi Proses Kognitif Bloom No 1 2 3 4 5
Kompetensi Dasar Siswa dapat memahami teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat memahami variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat menerapkan variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat menganalisis variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat mengevaluasi variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-22
Proses Kognitif yang Terlibat Mengingat, Memahami Mengingat, Memahami Mengaplikasikan Menganalisis Mengevaluasi
Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ)
B. Computer System Usability Questionnaire (CSUQ) Salah satu cara mengukur tingkat usabilitas adalah menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Lewis, J.R. (1995) IBM pada Computer Usability Satisfaction Questionnaires : Psychometric Evaluation and Instruction for Use, kuesioner ini dirancang untuk mengetahui tingkat kegunaan suatu sistem komputer pada penelitian ini diadopsi untuk aplikasi mobile learning MPPJO. Terdapat 18 pertanyaan yang telah disesuaikan dengan penelitian ini untuk mengetahui tingkat usabilitas aplikasi rancangan mobile learning MPPJO. Tabel 2 Kuesioner CSUQ No
Usabilitas yang diukur
1 2 3
4
System Usefulness
5 6 7 8 9 10 11
Information Quality
12 13 14 15 16 17 18
Interface Quality Overall Satisfaction
Pernyataan Secara keseluruhan, saya puas dengan kemudahan penggunaan aplikasi ini. Penggunaan aplikasi ini sederhana. Saya dapat belajar mengenai permainan bola besar secara efektif dari aplikasi ini. (mengetahui dan memahami aktivitas permainan bola besar dalam MPPJO) Saya dapat belajar permainan bola besar lebih cepat melalui aplikasi ini daripada menggunakan buku pelajaran MPPJO. Saya dapat belajar permainan bola besar melalui aplikasi ini, tanpa perlu membeli berbagai buku pelajaran MPPJO. Saya merasa nyaman menggunakan aplikasi ini untuk belajar. Penggunaan aplikasi ini mudah dipelajari. Saya yakin saya dapat menjadi lebih produktif belajar MPPJO dengan menggunakan aplikasi ini. (menarik minat dalam belajar) Ketika saya melakukan kesalahan dalam menggunakan aplikasi, saya dapat kembali ke kondisi awal dengan mudah. Materi yang ditampilkan dalam aplikasi cukup jelas (dapat dimengerti). Materi yang saya butuhkan pada aplikasi ini dapat saya akses dengan mudah. Materi yang ditampilkan pada aplikasi dapat saya pahami. Materi yang diberikan sangat efektif dalam membantu saya belajar tentang aktivitas permainan bola besar (sesuai dengan kebutuhan saya). Tata letak materi yang ditampilkan di layar sangat jelas (dapat terbaca). Tampilan / antar muka yang dimiliki aplikasi ini nyaman untuk digunakan. Saya menyukai desain antar muka / tampilan aplikasi ini. Aplikasi ini memiliki fungsi dan kemampuan sesuai dengan yang saya harapkan. Secara keseluruhan saya puas dengan aplikasi ini.
C. Analisis Kebutuhan Tahap ini merupakan proses untuk menggali informasi mengenai kebutuhan dari stakeholder terkait seperti guru sebagai pengguna aplikasi untuk membantu pembelajaran dan siswa sebagai penggunanya. untuk memperoleh informasi tersebut diadopsi menggunakan requirement engineering (RE) yaitu serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan tujuan dalam perancangan suatu sistem perangkat lunak. Tahapan utama dalam RE antara lain Inception and elicitation, Identification, analysis and negotiation, System modelling and goal specification, System validation, risk and change management. 1) Elisitasi Kebutuhan : Tahap awal dalam RE adalah inception (permulaan) dan elisitasi kebutuhan, Elisitasi merupakan rancangan yang dibuat berdasarkan sistem yang baru yang diinginkan oleh pihak stakeholder terkait dan disanggupi oleh penulis untuk dieksekusi, elisitasi didapat melalui metode wawancara dan kuesioner terhadap guru MPPJO dan siswa SMA Negeri 2 Semarang khususnya kelas X. Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan informasi dan faktafakta yang terjadi di lapangan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-23
2) Identifikasi, Analisis, dan Persetujuan : Pada tahap ini informasi yang telah diperoleh kemudian diidentifikasi dan dianalisis sesuai dengan permasalahan dan tujuan nantinya aplikasi akan dirancang, setelah mendapatkan hasil analisis kemudian selanjutnya adalah persetujuan dengan stakeholder yang merupakan guru pengampu MPPJO. Proses ini merupakan tahap yang penting karena persetujuan dari pihak stakeholder akan menentukan bagaimana aplikasi akan dirancang selanjutnya tentunya kebutuhan harus sesuai dengan tujuan awal pada perancangan mobile learning MPPJO yaitu media pelengkap pembelajaran, setelah data awal dikumpulkan, kemudian dilakukan persetujuan dengan guru pengampu MPPJO. 3) Model Sistem dan Spesifikasi Tujuan Aplikasi : Dengan menggunakan model identifikasi fitur dan proses, pada tahap elisitasi didapatkan informasi mengenai rancangan aplikasi yang sesuai dengan tujuan stakeholder kemudian pengembang menggunakan data tersebut untuk menentukan kebutuhan aplikasi yaitu terdiri dari kebutuhan fungsional dan non-fungsional. 4) Validasi Sistem, Risk & Change Management : Validasi sistem dimaksudkan untuk mengevaluasi kembali mengenai spesifikasi yang dirancang apakah sudah sesuai dengan keinginan stakeholder apabila masih kurang maka dapat dilakukan perubahan yang disetujui oleh kedua pihak baik stakeholder maupun pengembang. Pada perancangan guru pengampu MPPJO telah menyetujui usulan spesifikasi yang akan dijadikan acuan pembuatan mobile learning MPPJO sehingga dapat dilanjutkan ke proses perancangan aplikasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan proses pengumpulan data melalui wawancara dengan guru dan kuesioner terhadap siswa maka didapatkan hasil kebutuhan aplikasi yang terdiri dari kebutuhan fungsional dan non-fungsional seperti yang terdapat pada tabel 3 : Spesifikasi Spesifikasi 1 Spesifikasi 2 Spesifikasi 3 Spesifikasi 4 Spesifikasi 5 Spesifikasi 6 Spesifikasi 7 Spesifikasi 8 Spesifikasi 9 Spesifikasi 10
Tabel 3 Spesifikasi Kebutuhan Aplikasi Kebutuhan Aplikasi Aplikasi mampu menampilkan materi permainan bola besar pada sub-bab sepak bola. Aplikasi mampu membacakan teks dari materi yang ditampilkan. Aplikasi dilengkapi gambar pendukung sesuai materi yang dibahas. Aplikasi dilengkapi video pendukung mengenai materi yang dibahas. Aplikasi memiliki latihan soal mengenai materi sepak bola. Pada latihan soal aplikasi mampu memberikan respon dari jawaban pengguna. Aplikasi mampu diakses dimana saja dan kapan saja. Aplikasi hanya dapat digunakan di sistem operasi Android. Aplikasi memerlukan akses internet untuk mengakses beberapa konten. Kebutuhan memory minimal 512 Mb RAM
A. Desain Aplikasi Berikut berupakan hasil rancangan awal aplikasi mobile learning MPPJO :
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 (a) Rancangan Spesifikasi 1, (b) Rancangan Spesifikasi 2, (c) Rancangan Spesifikasi 3&4, (d) Rancangan Spesifikasi 5&6
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-24
Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ)
B. Uji Coba Aplikasi Uji coba aplikasi dilakukan 2 tahap yaitu melalui tes usabilitas dan tes kognitif, bertujuan untuk mengetahui respon dari pengguna mengenai aplikasi yang telah dirancang. 1) Tes Usabilitas : pada uji coba usabilitas dilakukan tes penggunaan aplikasi melalui skenario pada Tabel 4, hasil uji coba didapatkan responden dapat menyelesaikan tugas yang diberikan tanpa kendala, kemudian responden mengisi kuesioner CSUQ. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tabel 4 Skenario Penggunaan Aplikasi Task Responden diminta untuk menjalankan Aplikasi mobile learning MPPJO. Responden diminta untuk membuka menu bantuan. Responden diminta untuk kembali ke menu utama. Responden diminta untuk memilih menu materi pelajaran sepak bola. Responden diminta untuk memilih materi tentang ketentuan lapangan sepak bola. Responden diminta untuk menyalakan teks narasi tentang ketentuan lapangan sepak bola. Responden diminta untuk kembali ke menu materi tentang teknik dasar sepak bola. Responden diminta untuk membuka materi tentang menendang bola. Responden diminta untuk kembali ke menu utama. Responden diminta untuk membuka materi kontrol menggunakan dada pada menu latihan mandiri. Responden diminta untuk menuju tautan video yang disediakan pada laman materi kontrol menggunakan dada. Responden diminta untuk kembali ke menu utama. Responden diminta untuk membuka menu latihan soal, dan menjawab soal yang tersedia dan mendapatkan hasil / feedback dari latihan soal. Responden diminta untuk menutup aplikasi mobile learning MPPJO.
Error Step 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Gambar 3 Skor Usability CSUQ
System usefulness pada aplikasi mobile learning MPPJO didapatkan skor yaitu 6.17 dari 7. Hal ini dapat diartikan bahwa secara keseluruhan aplikasi mobile learning MPPJO merupakan sistem yang dapat digunakan untuk siswa SMA Negeri 2 Semarang. Variabel information quality aplikasi MPPJO mendapatkan skor 6.11 dari 7 dari hasil yang didapatkan dapat diartikan bahwa kualitas informasi yang ditampilkan pada aplikasi ini mudah dipahami oleh pengguna. Variabel interface quality mendapatkan skor 5.83 dari 7 maka aplikasi sudah cukup baik, responden setuju bahwa aplikasi ini bermanfaat namun masih terdapat ruang untuk improvisasi pada tampilan aplikasi. Variabel overall satisfaction mendapatkan skor 6.3 dari 7. Hal ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan responden sudah merasa puas pada aplikasi mobile learning MPPJO yang dirancang, hal ini memperkuat pernyataan bahwa aplikasi ini dapat digunakan untuk pembelajaran. 2) Tes Kognitif : respoden diberikan soal pilihan ganda mengenai materi permainan sepak bola, kemudian didapatkan hasil rata-rata nilai pretest sebelum menggunakan aplikasi adalah
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-25
52,00 dan hasil setelah responden menggunakan aplikasi nilai rata-rata responden naik menjadi 91,00. C. Redesain Aplikasi Setelah mendapatkan masukan dari responden kemudian dilakukan redesain pada aplikasi seperti perubahan ukuran font yang digunakan dan penambahan variasi warna pada aplikasi seperti pada Gambar 4
(a)
(b)
Gambar 4 (a) Penambahan variasi warna, (b) Pengaturan ulang layout letak ikon video
IV. PENUTUP Pembuatan aplikasi pelengkap pembelajaran MPPJO memerlukan konten yang sesuai dengan kebutuhan pengajar, pada penelitian ini konten yang diperlukan oleh aplikasi didapatkan melalui proses identifikasi kebutuhan yang dilakukan melalui wawancara dan kuesioner terhadap guru dan siswa, konten yang dibutuhkan pada pembuatan aplikasi mobile learning MPPJO antara lain : Materi pelajaran, pelangkap materi seperti video dan gambar, narasi dari teks materi, dan juga latihan soal mengenai materi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga pada penelitian ini mengambil subjek Permainan Sepak Bola. Uji coba rancangan aplikasi dilakukan untuk mengetahui umpan balik dari responden dan mengukur sejauh mana tingkat usabilitas aplikasi setelah diujicobakan, rancangan awal aplikasi sudah memenuhi tingkat usability yang cukup baik yaitu 6.2 dari 7, dengan rancangan konten yang telah disusun diperoleh hasil tes kognitif yang cukup baik dimana hasil tes kognitif berupa soal pilihan ganda yang dilakukan siswa sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi mengalami peningkatan rata-rata dari 57 menjadi 91. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan aplikasi mobile learning MPPJO dapat membantu kognitif siswa dalam belajar dan dapat di terapkan di SMA Negeri 2 Semarang. DAFTAR PUSTAKA Bloom, B. S,1956, Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain, New York: David Mc Kay. Heinich, R.,1993, Instructional media (and the new technologies of instruction), New York:Memillan Publishong. Kela, J., 2006, “Customizing User Interaction in Smart Phones”, dalam Maria R, IEEE Pervasive Computing, hlm. 82-90 Lewis, J. R. 1995, “IBM Computer Usability Satisfaction Questionnaires: Psychometric Evaluation and Instructions for Use”, dalam Julie, International Journal of Human-Computer Interaction 7.1, hlm. 5778. Olasoji, R., Preston, D.; &Mousavi, A.,2014, “Requirement engineering for effective mobile learning: Modelling mobile device technologies integration for alignment with strategic policies in learning establishments”, dalam IEEE, Computer Science and Information Systems (FedCSIS), hlm. 851-860. Wang, C. S., Li, Y. C., & Tzeng, Y. R.,2015, “How to replicate the cognitive process in computer gamebased learning units”, dalam Information Technology & People, 28(2), hlm. 327-343.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-26
Petunjuk Sitasi: Anizar, Widyastuti, D. E., Torong, M. B., & Hariyono, K. (2017). Perbaikan Desain Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A1-7). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi Anizar(1), Dwi Endah Widyastuti (2), M. Zainul Bahri Torong (3), Kus Hariyono(4) (1), (2), (3), (4) Universitas Sumatera Utara Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155 (1)
[email protected] ABSTRAK Ternak sapi merupakan komoditi utama yang menjadi fokus usaha peternakan rakyat di Kabupaten Asahan karena mudah dalam pemeliharaan. Potensi produksi daging sapi memiliki prospek cukup besar untuk pengembangan wilayah namun peternak kesulitan memenuhi pakan ternak. Pemanfaatan pelepah sawit yang selama ini hanya menjadi limbah yang dibiarkan membusuk di perkebunan menjadi pilihan untuk mengantisipasi berkurangnya ketersediaan pakan ternak. Pelepah sawit harus dicacah menjadi bagian yang lebih kecil sehingga dapat dikonsumsi ternak sapi. Alat pencacah pelepah sawit yang ada saat ini menghasilkan kualitas cacahan yang kurang baik, alat sulit dioperasikan serta desain tidak ergonomis. Perbaikan disain alat pencacah pelepah sawit akan meningkatkan kualitas pakan tanpa perlu dilakukan fermentasi. Informasi yang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi alat pencacah pelepah sawit menggunakan Quality Function Deployment (QFD). Proses disain dan pengembangan didasarkan pada hasil penyebaran kuesioner terbuka dan tertutup. Kuesioner terbuka yang digunakan adalah kuesioner keluhan peternak sapi terhadap alat pencacah pelepah sawit saat ini. Kuesioner tertutup merupakan penilaian terhadap atribut bahan, dimensi, desain, dan warna. Desain alat pencacah pelepah sawit usulan didasarkan pada dimensi tubuh peternak sehingga lebih nyaman, kualitas cacahan pelepah sawit yang lebih kecil dan lembut serta waktu lebih cepat. Kata kunci—Alat pencacah, Pelepah sawit, Postur kerja, SNQ, QFD
I. PENDAHULUAN Pekerjaan dengan beban berat dan frekuensi tinggi serta berulang akan menimbulkan keluhan rasa sakit operator. Keluhan disebabkan otot menerima tekanan akibat gaya dari pengangkutan beban kerja fisik terus menerus secara berulang tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. Postur kerja tidak alamiah, peregangan otot berlebihan, getaran dengan frekuensi tinggi, dan tekanan langsung pada jaringan otot lunak dapat menyebabkan keluhan rasa sakit (Anizar, 2015). Nyeri muskuloskeletal kronis umum terjadi pada pekerja tani yang dipengaruhi oleh posisi kerja (Xiao, 2013). Fasilitas yang dipergunakan oleh operator akan menjadi potensi bagi masalah kesehatan dan keselamatan kerja seperti nyeri otot yang disebabkan oleh keseleo atau dislokasi karena beban berlebih, gerakan berulang dan postur kerja canggung (Mandang, 2015). Manusia beresiko mengalami gangguan fisik maupun mental sebagai akibat ketidaksesuaian kondisi fisik dan mental manusia dengan kondisi lingkungan kerja. Gangguan fisik dapat berupa cedera otot atau tulang, kelelahan, pembengkakan, iritasi termasuk pula munculnya Musculoskeletal Disorders (MSDs). Exposure MSDs yang tinggi salah satunya disebabkan oleh peralatan yang terlalu berat (Fahmi, 2014). Kondisi kerja yang memaksa postur kerja manusia seperti badan membungkuk, kaki menekuk, dan frekuensi kegiatan repetitive (berulang) dapat mengakibatkan keluhan fisik. Salah satu dampak yang ditimbulkan keluhan fisik yaitu penurunan performansi kerja atau pegal pada sistem otot-rangka untuk melakukan kegiatan dalam waktu yang lama. Keluhan pekerja terhadap rasa sangat sakit pada bagian lutut dan kaki disebabkan posisi kaki yang tidak seimbang dan fasilitas kerja yang tidak sesuai mengakibatkan kaki sering mengalami kram. Analisis dari lembar kerja REBA menunjukkan bahwa tingkat resiko tinggi dialami pekerja pada saat kegiatan produksi berlangsung sehingga dibutuhkan adanya perbaikan pada fasilitas kerja yang disesuaikan dengan dimensi tubuh (Hasibuan, 2014). SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-1
Anizar, Widyastuti, Torong, Hariyono
Pemanfaatan limbah perkebunan kelapa sawit sebagai pakan alternatif merupakan salah satu solusi untuk menanggulangi kekurangan pakan ternak sapi di Kabupaten Asahan Sumatera Utara. Perkebunan kelapa sawit yang berada di lingkungan pemukiman penduduk menyediakan limbah berupa pelepah sawit yang memiliki potensi prospektif sebagai penyedia pakan ternak sapi. Peternak sapi memanfaatkan pelepah sawit sebagai pakan ternak setelah dicacah menjadi bagian yang lebih kecil dengan alat pencacah. Alat pencacah pelepah sawit yang ada saat ini memiliki beberapa kelemahan baik pada saat dioperasikan maupun pada hasil cacahannya. Alat pencacah harus dihidupkan dengan sistem engkol, memiliki penutup ruang pencacah seberat 25 kg yang harus dibuka tutup setiap kali akan dioperasikan serta letak posisi corong pengumpan yang rendah mengakibatkan postur kerja peternak membungkuk saat akan memasukkan pelepah sawit (Gambar 1).
a
b
Gambar 1 (a) Kegiatan menghidupkan mesin (b) Kegiatan memasukkan pelepah sawit
Peternak mengeluhkan rasa sakit pada beberapa bagian tubuh karena harus melakukan membungkuk selama 6 jam setiap harinya untuk memasukkan pelepah sawit ke alat pencacah. Cacahan pelepah sawit yang dihasilkan juga masih kasar dengan ukuran sekitar 5 cm sehingga tidak dapat langsung diberikan kepada ternak karena akan melukai lambung ternak sapi. Cacahan harus di fermentasi secara anaerob namun kurang disukai ternak sapi. Perbaikan desain alat pencacah pelepah sawit dilakukan dengan mempertimbangkan keinginan peternak menggunakan metode Quality Function Deplyoment (QFD) (Cohen, 1995). Kepuasan peternak dalam menggunakan alat pencacah pelepah sawit didasarkan pada parameter berupa harapan (the voice of customer) yang diterjemahkan dalam paramater teknis (engineering specification). Diharapkan akan memenuhi keingingan peternak dimana hasil cacahan pelepah sawit lebih halus sehingga dapat langsung diberikan kepada ternak. Penelitian Muslimah (2015) terhadap masalah keluhan (sakit pada leher, lengan, pinggul, kedua tangan, bahu, dan betis) oleh pekerja pada kegiatan penjemuran kain batik. Nordic body map dan wawancara pekerja tentang bagian tubuh yang merasakan sakit. Rancangan alat bantu yang mempertimbangkan keluhan dan kebutuhan operator ditentukan menggunakan QFD. Alat bantu berupa troli dengan meja yang dapat diatur ketinggian, dua unit gagang yang memiliki busa, dan roda. Rancangan yang ergonomis untuk mengurangi keluhan menggunakan data antropometri dan memperbaiki postur kerja. Penelitian mengintegrasikan metode QFD dengan teori inovasi pemecahan masalah dengan pendekatan rancangan produk ergonomis dilakukan oleh Zhang (2014) ditujukan untuk kepuasan konsumen. Penelitian yang dilakukan oleh Poernomo (2016) terkait dengan implementasi metode QFD dalam mengatasi keterbatasan alat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pada perancangan alat sangrai kacang tanah. Metode QFD digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhkan konsumen dengan menghubungkannya dengan karakteristik teknis. Penelitian Dantes (2013) mengkaji indikator penting dalam pengembangan tang jepit Jaw Locking Pliers menggunakan metode QFD. Permintaan customer merupakan masukan utama QFD dengan pengembangan pada mulut penjepit, handle atas bawah, panjang dan berat tang jepit. Berdasarkan permasalahan tersebut, gerakan manusia dalam bekerja perlu dirancang secara ergonomis agar meminimalkan keluhan dan beban kerja melalui perancangan fasilitas kerja. Perancangan fasilitas kerja pada aktivitas tersebut dilakukan dengan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-2
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit Untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi
mengidentifikasi keluhan dan beban kerja, pengambilan gambar postur kerja kerja dan penilaian level risiko postur kerja (Stanton, 2005). Pertimbangan atribut yang menjadi kebutuhan pengguna berdasarkan metode QFD. Pertimbangan ergonomis dalam rancangan fasilitas kerja melalui dimensi tubuh dengan prinsip antropometri. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada proses pencacahan pelepah sawit yang dilakukan oleh 10 orang peternak. Pengamatan terhadap kegiatan pencacahan pelepah sawit dengan menggunakan alat pencacah dilakukan selama 10 hari. Peternak sapi memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan secara berulang selama 6 jam dalam sehari. Elemen kegiatan yang dilakukan peternak sapi pada kegiatan pencacahan pelepah sawit adalah menghidupkan mesin dan memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan. Penilaian postur kerja dilakukan terhadap tubuh peternak sapi pada bagian kanan dan kiri menggunakan lembaran penilaian Rapid Entire Body Assessment (REBA). Faktor postur tubuh yang dinilai dibagi atas dua kelompok utama atau grup yaitu grup A yang terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri batang tubuh A(trunk), leher (neck) dan kaki (legs). Grup B terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), dan pergelangan tangan (wrist). Skor yang diperoleh dari grup A dan grup B akan dimasukkan ke tabel C sehingga skor REBA merupakan penjumlahan nilai tabel C dengan nilai aktivitas. Penentuan karakteristik QFD dilakukan mulai dari klasifikasi tujuan, penetapan fungsi, penyusunan kebutuhan hingga penentuan karakteristik. Data karakteristik teknik digunakan untuk melihat kemungkinan mewujudkan rancangan. Teknik pengambilan data dengan purposive sampling dengan tenaga terampil berjumlah 7 orang. Langkah yag dilakukan adalah penyebaran kuesioner tertutup kepada 10 orang peternak untuk mengidetifikasi keinginan peternak dalam bentuk atribut produk dan penggunaan house of quality untuk menerjemahkan keinginan peternak. Dimensi atribut dari alat pencacah pelepah sawit yang ditanyakan adalah dimensi tabung, tinggi alat, bahan kerangka, bahan tabung pencacah, fungsi tambahan dari alat pencacah, desain pisau pemotong, desain penutup tabung, putaran mesin, cara menghidupkan mesin dan warna alat. Kuesioner tertutup untuk kinerja atribut disusun dengan memberikan penilaian atas atribut pencacah pelepah sawit dengan skala likert. Nilai yang digunakan terdiri dari A bernilai 5 jika performansi sangat baik, B bernilai 4 jika performasi baik, C bernilai 3 jika performansi cukup, D bernilai 2 jika performansi buruk dan E bernilai 1 jika berformansi sangat buruk. Desain alat pencacah pelepah sawit dilakukan pengujian validitas dengan teknik korelasi product moment menggunakan rumus : N XY ( X )( Y ) rxy N X 2 ( X ) 2 N Y 2 ( Y ) 2 (1)
dimana : rxy : Koefisien korelasi product moment X : Jumlah jawaban seluruh responden per pertanyaan Y : Jumlah jawaban seluruh pertanyaan per responden N : Jumlah seluruh responden Uji reliabilitas untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Instrument yang menghasilkan reliabilitas yang tinggi cenderung menghasilkan data yang sama tentang suatu variabel atau unsur-unsurnya jika diulang pada waktu yang berbeda pada kelompok individu yang sama. Teknis yang digunakan untuk menghitung besarnya reabilitas dalam penelitian, yaitu dengan menggunakan rumus Sperman-Brown. dimana r adalah reliabilitas kuesioner dan rho ditentukan sebagai koefisien korelasi. r
2 x rho 1 rho
(2)
Langkah perbaikan desain dengan metode QFD dimulai dari klarifikasi tujuan (clarifiying objectives), penetapan fungsi (establishing function), menyusun kebutuhan dan penentuan karakteristik. Metode pohon tujuan dilakukan dengan membuat daftar yang disesuaikan dengan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-3
Anizar, Widyastuti, Torong, Hariyono
kebutuhan konsumen dan diurutkan berdasarkan skala prioritas tujuan sehingga diketahui tujuan utama dan tujuan tambahan. Penetapan fungsi menggunakan metode analisis fungsi dengan tahapan menyusun fungsi sistem secara keseluruhan, membagi fungsi menjadi sub-sub fungsi yang esensial. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keluhan Sakit Peternak Sapi Keluhan sakit peternak sapi pada proses pencacahan pelepah sawit berbeda antara satu peternak dengan peternak lainnya namun keluhan sakit terdapat pada semua segmen tubuh. Umumnya peternak mengeluhkan rasa sakit pada siku kanan sebanyak 6,81%, pinggang sebanyak 6,53%, diikuti oleh bahu kanan, tangan kanan dan pergelangan tangan kanan sebanyak 6,26%, bahu kiri sebanyak 5,45%, bokong dan pantat sebanyak 5,17%. Sebaran keluhan yang dialami peternak disebabkan postur kerja yang tidak ergonomis saat memasukkan pelepah sawit ke corong pencacahan karena fasilitas kerja yang digunakan tidak sesuai dengan dimensi tubuh peternak. Perbaikan terhadap disain alat pencacah akan meminimalkan keluhan rasa sakit yang timbul. B. Penilaian Postur Kerja Penilaian postur kerja peternak sapi pada kegiatan pencacahan pelepah sawit dilakukan terhadap 2 elemen kegiatan yaitu menghidupkan mesin pencacah dan memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan. Elemen kegiatan menghidupkan mesin pada grup A didapati batang tubuh membungkuk ke samping kiri, leher membentuk sudut kurang dari 20o, kaki menekuk membentuk sudut antara 30o dan 60o dengan berat beban melebihi 5 kg sehingga memperoleh skor 5. Pada grup B didapati bahwa lengan atas membentuk sudut antara 20o hingga 45o, lengan bawah membentuk sudut 600 hingga1000, sudut pergelangan tangan melebihi 15o dengan kekuatan pegangan tidak aman sehingga perolehan skor sebesar 7. Perolehan skor REBA untuk elemen kegiatan menghidupkan mesin adalah 9. Elemen kegiatan memasukkan pelepah ke corong pengumpan pada grup A didapati batang tubuh membungkuk, leher membentuk sudut sudut melebihi 20o, kaki menekuk membentuk sudut 30o hingga 60o dengan beban lebih dari 5 kg sehingga perolehan skor 5. Pada grup B didapati lengan atas membentuk sudut 45o hingga 90o, lengan bawah membentuk sudut 600 hingga 1000 dengan sudut pergelangan tangan melebihi 15o dan kekuatan pegangan cukup baik tapi tidak ideal sehingga perolehan skor 5. Perolehan skor REBA untuk elemen kegiatan memasukkan pelepah ke corong pengumpan adalah 8. Rekapitulasi penilaian postur kerja untuk kedua elemen kegiatan tertera pada Tabel 1. No 1
2
Tabel 1 Rekapitulasi Penilaian Postur Kerja Bagian tubuh Skor Level Resiko REBA Menghidupkan mesin kanan 9 Tinggi pada alat pencacah pelepah sawit kiri 6 Sedang Memasukkan pelepah kanan 8 Tinggi sawit ke corong pengumpan mesin kiri 8 Tinggi pencacah pelepah sawit Elemen kegiatan
Tindakan Perlu tindakan segera Perlu tindakan Perlu tindakan segera Perlu tindakan segera
Bagian tubuh kanan mendapatkan skor REBA 9 dengan level resiko tinggi disebabkan menghidupkan mesin dengan cara diengkol sehinga sangat membebani tubuh dan membutuhkan tindakan segera. Bagian tubuh kanan dan kiri pada elemen kegiatan memasukkan pelepah sawit ke corong pengumpan mendapatkan skor REBA 8 dengan level resiko tinggi disebabkan tubuh harus membungkuk, kaki tertekuk dan leher menunduk saat memasukkan pelepah sawit ke dalam corong pengumpan alat pencacah pelepah sawit sehingga diperlukan tindakan segera. Perbaikan desain alat pencacah diharapkan dapat mengurangi level resiko.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-4
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit Untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi
C. Desain Alat Pencacah Pelepah Sawit Alat pencacah pelepah sawit dirancang berdasarkan kebutuhan peternak dengan menggunakan metode pohon tujuan (Objectives Tree Method). Skala prioritas tujuan diperoleh dengan mengurutkan tujuan perancangan dari level tertinggi hingga level terendah. Alat pencacah pelepah sawit memiliki 5 tujuan utama yaitu bahan pembuat, dimensi alat, desain alat, fungsi dan atribut tambahan. Atribut bahan dari alat pencacah sawit mempertimbangkan bahan kerangka dengan pilihan besi U, besi siku dan besi H dan bahan tabung pencacah dengan ketebalan plat 2 mm, 3 mm atau 5 mm. Atribut dimensi mempertimbangkan dimensi tabung dengan pilihan diameter 45 cm dan panjang 75 cm atau dimensi 50 cm dan panjang 75 cm. Sedangkan tinggi alat pencacah memiliki pilihan 80 cm, 100 cm atau 110 cm. Atribut desain terdiri dari pisau pemotong dengan pilihan mudah diganti atau lainnya, desain penutup tabung yang terdiri atas engsel dan kait pengunci, pilihan putaran mesin 1600 rpm, 2000 rpm atau 2200 rpm. Cara menghidupkan mesin terdiri dari starter elektrik atau manual dengan engkol. Atribut fungsi memiliki tambahan penarik pelepah otomatis sedangkan atribut warna terdiri atas warna orange, hijau dan merah. Atribut desain alat pencacah pelepah sawit dituangkan dalam bentuk pohon tujuan sehingga diketahui tujuan utama dan tujuan tambahan. Hubungan antara tujuan utama dan tujuan tambahan terlihat jelas dalam digram sistematis. Rekapitulasi hasil uji validitas kinerja dan harapan untuk 10 atribut alat pencacah pelepah sawit yang dicantumkan dlam kuesioner terbuka sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 2 Rekapitulasi Uji Validitas Kinerja dan Harapan Atribut Alat Pencacah Atribut r hitung r hitung r tabel Keterangan kinerja harapan Bahan kerangka 0,940 0,982 0,576 Valid Bahan tabung pencacah 0,977 0,984 0,576 Valid Dimensi tabung 0,933 0,989 0,576 Valid Tinggi alat pencacah 0,974 0,974 0,576 Valid Desain pisau potong 0,951 0,981 0,576 Valid Desain penutup tabung 0,976 0,987 0,576 Valid Putaran mesin 0,965 0,987 0,576 Valid Cara hidupkan mesin 0,972 0,994 0,576 Valid Fungsi tambahan 0,972 0,990 0,576 Valid Warna 0,973 0,990 0,576 Valid
R hitung untuk kinerja dan harapan dari atribut alat pencacah pelepah sawit yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat seluruhnya lebih besar daripada r tabel sebesar 0,576 sehingga atribut tersebut valid. Uji reliabilitas kuesioner yang disebarkan kepada peternak memiliki = 0,05, responden sebanyak 10 orang sehingga diperoleh r tabel sebesar 0.576 sehingga wilayah r tabel (0,576) < r hitung. Penggunaan rumus Sperman-Brown diperoleh reliabilitas kuesioner rxy sebesar 0,584 dengan koefisien 0,737 sehingga karena nilai r hitung > r tabel (0,737 > 0,570) maka Ho diterima sehingga kuesioner merupakan instrumen yang reliabel dan dapat dipergunakan. Penetapan fungsi (establishing function) pada proses pembuatan alat pencacah pelepah sawit dengan prinsip black box. Tahapan dalam penggunaan metode analisis fungsi ini adalah menyusun fungsi sistem secara keseluruhan dalam bentuk transformasi input-output. Fungsi perancangan alat pencacah pelepah sawit adalah sub fungsi pengukuran, pemotongan, pengerolan, pengelasan, perakitan dan finishing. Input berupa bahan yang terdiri atas bahan utama, bahan penolong, bahan tambahan, peralatan yang digunakan, mesin, tenaga kerja, modal dan informasi. Penyusunan kebutuhan (setting requirement) pada alat pencacah pelepah sawit dilakukan dengan membandingkan keinginan peternak sapi (demand) dengan keinginan produsen (wish) dengan menyebarkan kuesioner kepada peternak sapi. Langkah penyusunan kebutuhan ini adalah dengan menentukan produk alternatif untuk menemukan solusi yang dapat diterima, mendominasi level of generality untuk pelaksanaan produksi berupa desain yang menarik, fungsi yang tepat, bahan yang baik dan kualitas tinggi. Atribut yang merupakan demand pada perancangan adalah bahan kerangka, bahan tabung pencacah, dimensi tabung, tinggi alat SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-5
Anizar, Widyastuti, Torong, Hariyono
pencacah, desain pisau pemotong, desain penutup tabung, putaran mesin, cara menghidupkan mesin, fungsi tambahan, warna. Penetapan 5 W + 1 H dengan metode analisa 5W (What, Who, Why, Where, When) dan How digunakan untuk perancangan alat pencacah pelepah sawit hingga menentukan performansi kebutuhan untuk setiap atribut yang didasarkan pada demands dari peternak sapi dan wishes dari produsen. Penentuan karakteristik (determing characteristics) untuk mengetahui rancangan alat pencacah pelepah sawit yang diinginkan peternak sapi. Analisis dari rumah mutu adalah karakteristik teknik berat komponen, harga material, ketahanan komponen, waktu/kesulitan produksi dan usia pakai secara keseluruhan memiliki tingkat kesulitan yang sangat sulit. Semua karakteristik teknik memilki derajat kepentingan yang penting terkecuali ketahanan komponen yang memliki derajat kepentingan sangat penting. Semua karakteristik teknik memiliki perkiraan biaya yang murah. Kuesioner terbuka untuk atribut bahan dengan pertanyaan bahan kerangka memiliki modus besi U sedangkan bahan tabung pencacah modusnya plat 3 mm. Atribut dimensi dengan pertanyaan dimensi tabung memiliki modus diameter 45 cm dan panjang 75 cm sedangkan pertanyaan tinggi alat pencacah memiliki modus 100 cm. Atribut desain dengan pertanyaan desain pisau potong dengan modus mudah diganti, pertanyaan penutup tabung dengan modus engsel dan kait pengunci, pertanyaan putaran mesin dengan modus 22000 rpm pertanyaan cara menghidupkan mesin dengan modus starter elektrik. Atribut fungsi dengan modus penarik pelepah otomatis dan atribut warna dengan modus orange. Karakteristik teknis yang diperoleh adalah berat komponen, harga material, ketahanan komponen, waktu dan kesulitan produksi, usia pakai serta kemudahan pengganti part. Peningkatan kualitas hasil cacahan pelepah yang dihasilkan dengan memodifikasi mesin pencacah yang ada sekarang. Perbaikan dilakukan dengan mendesain pengatur kehalusan pelepah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengatur kehalusan cacahan
Gambar 2 Desain alat pencacah pelepah sawit dengan pengatur kehalusan
IV. PENUTUP Artikel ini bertujuan untuk melakukan perbaikan desain alat pencacah pelepah sawit untuk mengurangi keluhan sakit yang dirasakan peternak sapi serta memperbaiki kualitas hasil pencacahan sehingga dapat langsung dikonsumsi ternak sapi. Peternak sapi sebagian besar mengeluhkan sakit pada beberapa bagian tubuh akibat postur kerja yang tidak ergonomis saat memasukkan pelepah sawit ke corong pencacahan. Kedua elemen kegiatan memiiki level resiko tinggi sehingga dibutuhkan tindakan segera kecuali untuk tubuh bagian kiri pada elemen kegiatan menghidupkan mesin. Perbaikan desain rancangan didasarkan kepada keinginan dan kebutuhan peternak sapi sehingga terdapat perbaikan pada bahan penutup tabung, menghidupkan mesin secara otomatis dan penggunaan penarik otomatis sehingga pelepah tidak perlu lagi didorong secara manual untuk masuk ke ruang pencacah. Alat pencacah pelepah sawit usulan yang digunakan sudah sesuai dengan dimensi tubuh peternak sapi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-6
Perbaikan Disain Alat Pencacah Pelepah Sawit Untuk Mengurangi Keluhan Sakit Peternak Sapi
DAFTAR PUSTAKA Anizar, 2015, “Analisis Desain Tojok Sebagai Alat Sortasi TBS Kelapa Sawit di Loding Ramp”, J@TI Jurnal Teknik Industri, Vol. X, No. 3, September 2015, hlm.149-154, Semarang: Universitas Diponegoro. Anizar. 2014, “Ergonomic Work Facilities Design to Reduce Musculoskeletal Disorders Among Chips Worker”, Proceedings of Joint International Conference APCHI-ERGOFUTURE-PEI-IAIFI 2014, Denpasar, hlm. AC46, Denpasar:Universitas Udayana. Cohen, L., 1995, Quality Function Deployment: How to Make QFD Work for You, USA : Addison-Wesley Publishing Company. Cross, N., 1996, Engineering Design Methods: Strategies for Product Design, New York: John Wiley dan Sons. Dantes, K.R., 2013, “Kajian Awal Pengembangan Produk Dengan Menggunakan Metode QFD (Quality Function Deployment) Studi Kasus Pada Tang Jepit Jaw Locking Pliers”, Jurnal Sains dan Teknologi, Vol. 2 No. 1, hlm.173-183, Bandung: Universitas Pendidikan Ganesha. Fahmi, H., Tama, IP., Efranto, RY., 2014, “Perbaikan Beban Kerja Fisik Dan Mental Pada Pembuatan Keripik Singkong Menggunakan Quick Exposure Check Dan National Aeronautics And Space Administration - Task Load Index”, Portal Garuda, hlm. 1077-1087 Hariyono, K., Anizar, Sitorus, E., 2016, Rancangan Alat Pencacah Pelepah Sawit untuk Meningkatkan Kualitas Cacahan dengan Metode Quality Function Deployment, Skripsi tidak dipublikasikan, Medan: Universitas Sumatera Utara. Hasibuan, M., Anizar, Pujangkoro, S., 2014, “26 Analisis Keluhan Rasa Sakit Pekerja dengan Menggunakan Metode REBA di Stasiun Penjemuran”, Jurnal Teknik Industri Vo. 5, No. 1, hlm 2630, Medan: Universitas Sumatera Utara. Muslimah, E., Nursanti, I., Mazuki, AA., 2015, “Perancangan Alat Bantu Untuk Mengurangi Keluhan Pekerja Pada Proses Penjemuran Kain Batik Cabut”. Proceeding Seminar Nasional Perhimpunan Ergonomi Indonesia : Sustainable Ergonomics for Better Human Well-Being, hlm.P 52 - P 56, Yogjakarta: Universitas Atmajaya. Poernomo, A.K., 2016, “Perancangan Mesin Sangrai Kacang dengan Menggunakan Metode Rasional”, Prosiding Seminar Nasional Industrial Engineering Conference 2016 (IDEC 2016), hlm. 459-469, Surakarta, Universitas Sebelas Maret. Mandang, T., 2015, “Conceptual Design Knapsack Sprayer for Palm Oil Cultivation by Ergonomic Approach”, International Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 6, Issue 8, 13781382. Stanton, N. 2005, Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods, New York: CRC Press LLC. Zhang, F.; Yang, M.; Liu, W., 2014, “Using Integrated Quality Function Deployment and Theory of Innova tion Problem Solving Appreach for Ergonomic Product Design”, Computer & Industrial Engineering 76, 1 Agustus, hlm. 60-74. Xiao, H., 2013. “Agricultural Work And Chronic Musculoskeletal Pain Among Latino Farm Workers: The MICASA Study”. American Journal of Industrial Medicine.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-7
Petunjuk Sitasi: Kusumanto, I., & Syahri, M. (2017). Analisa Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A8-13). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Faktor yang Berpengaruh terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri Ismu Kusumanto(1), Maulana Syahri(2) (1), (2) Jurusan Teknik Industri, UIN Sultan Syarif Kasim Riau Jl. Soebrantas No. 155 Pekanbaru, RIAU (2)
[email protected] ABSTRAK Salah satu kendala utama dalam percepatan masa studi mahasiswa adalah penyelesaian tugas akhir. Banyak mahasiswa mampu menyelesaikan teori tepat waktu, namun terkendala dalam penyelesaian tugas akhir sehingga masa studi menjadi lama. Dampak dari kondisi ini adalah nilai akreditasi program studi yang tidak maksimal. Tujuan penelitian adalah menganalisa variabel dan atribut yang menyebabkan mahasiswa lambat dalam menyelesaikan tugas akhir dan menyebabkan tidak dapat menyelesaikan studi tepat waktu. Penelitian dilakukan di Jurusan Teknik Industri UIN Suska Riau. Data dikumpulkan melalui kuesioner kepada 57 responden dan dianalisis menggunakan Uji Cochran Q-Test serta dicari penyebabnya dengan menggunakan diagram tulang ikan (Fishbone Diagram). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang dapat menyebabkan lambatnya masa studi mahasiswa adalah faktor kemampuan efektif dosen, prosedur pelaksanaan seminar dan sidang TA, pelayanan bimbingan TA, kurikulum, fasilitas laboraturium, administrasi jurusan, administrasi fakultas, fasilitas perpustakaan dan pelayanan personal pegawai, dengan demikian perlu dicari variabel yang lebih dominan dengan menggunakan One Way ANOVA. Dari pengolahan data variable diperoleh faktor dominan adalah prosedur pelaksanaan seminar dan sidang TA. Usulan strategi perbaikan adalah adanya prosedur yang disepakati seluruh dosen terkait prosedur yang dapat memberi peluang mahasiswa dapat menyelesaikan tugas akhir dengan cepat. Kata kunci— Cochran Q-Test, Fishbone Diagram, Masa studi mahasiswa, One Way ANOVA
I. PENDAHULUAN UIN Sultan Syarif Kasim Riau merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang keberadaanya telah mendapat perhatian dari masyarakat Riau. Hal ini disebabkan materi pendidikan menggabungkan kemampuan sains dan teknologi dengan ilmu agama Islam. Perhatian dan harapan masyarakat yang besar terhadap UIN Sultan Syarif Kasim Riau menyebabkan peningkatan kualitas menjadi faktor utama agar dapat memenuhi harapan masyarakat Riau maupun masyarakat yang ada di sekitar Riau. Kualitas lembaga pendidikan tinggi tercermin, salah satunya, memenuhi persyaratan penilaian akreditas, dan mendapatkan nilai akreditasi yang baik dari pemerintah melalui Badan Akreditas Nasional Pergurunan Tinggi (BAN-PT). Untuk mendapat nilai akreditasi tinggi, salah satu poin didalam penilaian tersebut adalah tingkat kelulusan mahasiswa. (BAN-PT, 2008) Kurikulum yang diterapkan oleh jurusan Teknik Industri menegaskan bahwa mahasiswa pada semester 8 melaksanakan Tugas Akhir (TA) sehingga mahasiswa dapat lulus dalam 8-9 semester. Tetapi realita di Jurusan Teknik Industri UIN Suska Riau hanya sebahagian kecil yang dapat menyelesaikan tugas akhir tepat waktu. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa mahasiswa Jurusan Teknik Industri mengalami kesulitan, baik karena faktor diri mahasiswa maupun faktor eksternal mahasiswa. Tingkat kelulusan pada suatu lembaga pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri mahasiswa maupun dari lingkungan. Faktor-faktor dari dalam diri SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-8
Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri
mahasiswa hanya dapat diperbaiki dengan introspeksi diri dan penyadaran akan tugas dan kewajiban mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Hal ini tentu diluar kemampuan dan kendali pengelola jurusan. Sementara faktor lingkungan dipengaruhi oleh beberapa pihak yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Pengaruh lingkungan dari pihak pengelola jurusan diantaranya adalah penetapan aturan dan prosedur yang dapat mempercepat proses penyelesaian tugas akhir. Penentuan pembimbing dan penguji serta penentuan jadwal sidang tugas akhir. Hal ini sangat penting untuk dirancang agar mampu efisien dan efektif. Namun, faktor-faktor mana yang berpengaruh menghambat proses penyelesaian tugas akhir mahasiswa memerlukan kajian lebih dalam dan tidak dapat diselesaikan melalui dugaan semata. II. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan pedoman dalam proses penelitian yang dirancang secara sistematis sehingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara umum, tahapan dalam penelitian ini terdiri dari tahapan-tahapan utama, diantaranya adalah tahapan prapenelitian, tahapan pengumpulan dan pengolahan data, tahapan analisa hasil pengolahan dan penutup. Flowchart penelitian adalah sebagai berikut. Mulai Studi Pendahuluan Studi Pustaka Penentuan Populasi dan sample Penyusunan dan penyebaran kuisioner Pengumpulan Data Uji Cochran Q-test Tidak Jika Qhit < Q tab Y a Pemisahan Faktor Eksternal dan Internal Analisa Fish Bone Penutup
Gambar 1. Flowchart penelitian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-9
Kusumanto, Syahri
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Rincian penyebaran kuesioner di Jurusan Teknik Industri UIN SUSKA Riau adalah Tabel 1 Rincian Hasil Penyebaran Kuesioner Penelitian Jumlah kuesioner Disebar 68
Jumlah kuesioner Kembali 57
Jumlah kuesioner Sah 57
Kuesioner dianggap sah apabila semua pertanyaan dijawab dan memilih satu jawaban untuk setiap pertanyaan. Data-data yang diperoleh selanjutnya direkap dan diolah.
A. Analisa Uji Cochran Q-Test Pengolahan data menggunakan uji Cochran Q Test, dimana pengujian dapat dihentikan apabila Hipotesa H0 diterima. Hal ini berarti terdapat bukti untuk menyatakan bahwa dari 28 atribut menjadi 20 atribut memiliki jawaban Ya yang sama untuk semua atribut. Untuk keperluan pengujian, pertama (1), jawaban responden disusun terlebih dahulu, dimana jawaban YA diberi angka 1 dan jawaban TIDAK diberi angka 0. Dari rekap data dapat diketahui nilai sebagai berikut : 20
R i 1
i
10
C i 1
i
646
20
R i 1
646
10
C i 1
2
i
2 I
8210
17162
Dengan demikian, Q hitung dapat dicari :
Q
Qhit
2
k
k - 1k kj C 2j C j j
28 - 12817162 6462 28 x 646 8210
n
k i
n
R
i
i
R
2 i
Qhit 27 480536 417316 18088 8061
Qhit 1706940 10027
Qhit = 170,23 Dengan ά =0,05, dk=28-1=27 diperoleh Qtab (0,05;27) = 40,11 keputusan pengujian 1 : tolak H0 karena Qhit (170,23) > Qtab. Dengan demikian , perlu dilakukan pengujian 2 dengan membuang atribut yang memiliki jawaban YA yang paling sedikit, pada atribut ke-21 yaitu “Panca Indra “, seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Pengujian dapat dihentikan apabila Hipotesa H0 diterima, yaitu pada pengujian ke-9. Dimana diperoleh ά =0,05, dk=19-1=18 diperoleh Qtab (0,05;18) = 28,87. Dengan demikian, keputusan pengujian ke-9 adalah diterima H0 karena Qhit (2,76) < Qtab (28,87). Artinya, ke-20 atribut pada 8 variabel dapat dianggap sah sebagai faktor yang menyebabkan mahasiswa lambat menyelesaikan studi. Adapun variabel dan atribut tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri, 2017, Universitas Brawijaya – Malang A-10
Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri
Tabel 2. Proporsi Jawaban Ya pada Pengujian Pertama (1) No
Indikator
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biaya dalam menyelesaikan kuliah Kiriman uang orang tua Jarak kampus UIN Suska dengan tempat tinggal Suasana di sekitar rumah/ kos Teman dekat Status menikah Pantauan Orang tua terhadap perkembangan kuliah Teman-teman di lingkungan tempat tinggal Kurikulum yang Ada Kompetensi afektif dosen (perhatian, dan kesabaran). Kompetensi kognitif dosen (berpikir, menganalisa, dan wawasan). Kompetensi psikomotor dosen (body language, cara mengajar dan ekspresi) Fasilitas laboratorium yang tersedia. Fasilitas perpustakaan yang tersedia Administrasi Fakultas dalam mengurus surat Administrasi Jurusan dalam mengurus surat Pelayanan pegawai fakultas. Pelayanan pegawai jurusan. Pelayanan bimbingan KP/TA. Kondisi Fisik Tubuh anda Kondisi Panca Indra Anda Bakat Yang Anda Miliki Minat anda dalam melaksanakan tugas akhir Motivasi dari diri anda Motivasi dari orang-orang terdekat anda Sifat negatif (malas, segan) anda Kecerdasan yang Anda Miliki Kemampuan kognitif (Berfikir & Bertindak)
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Proporsi Jawaban YA 32 24 31 20 17 15 24 29 35 29 18 27 33 31 31 26 30 18 24 10 5 22 16 21 19 29 18 16
B. Pengolahan ANOVA Adapun Output pengolahan ANOVA diperoleh hasil sebagai berikut: Ekonomi Between Groups Within Groups Total
Tabel 3. Anova Variabel Ekonomi Sum of Squares Df Mean Square 3.267 1 3.267 59.667 58 1.029 62.933 59
F 3.175
Sig. .080
Data menggunakan hipotesis satu arah: H0 : 0 = 1 H1 : 0 ≠ 1 Indikator pngambilan keputusan : H0 ditolak : Jika Fhitung > Ftabel H0 diterima : Jika Fhitung < Ftabel Dari output didapat bahwa Fhitung 3,175 < Ftabel 4,01 N = 60, df = 58, Convidence Interval = 95%. Dengan probabilitas 0,000 < 0,005. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa F hitung < F Tabel, maka Ho ditolak artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel ekonomi dengan waktu penyelesaian kuliah.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-11
Kusumanto, Syahri
Tabel 4. Rekap Variabel dan Atribut hasil pengujian ke-9 No
Variabel
1
Ekonomi
2
Geografis
3
Sosial
4
Kurikulum
5
Dosen
6
Fasilitas
7
Administrasi
8
Pelayanan
9
Bakat
10
Motivasi
11 12
Sifat Negatif Kecerdasan
Indikator Biaya dalam menyelesaikan kuliah Kiriman uang orang tua Jarak kampus UIN Suska dengan tempat tinggal Suasana di sekitar rumah/ kos Pantauan Orang tua terhadap perkembangan kuliah Teman-teman di lingkungan tempat tinggal Kurikulum yang Ada Kompetensi afektif dosen (perhatian, dan kesabaran). Kompetensi psikomotor dosen (body language, cara mengajar dan ekspresi) Fasilitas laboratorium yang tersedia. Fasilitas perpustakaan yang tersedia Administrasi Fakultas dalam mengurus surat Administrasi Jurusan dalam mengurus surat Pelayanan pegawai fakultas. Pelayanan bimbingan KP/TA. Bakat yang Anda miliki Motivasi dari diri Anda Motivasi dari orang-orang terdekat Anda Sifat negatif (malas, segan) yang Anda miliki Kecerdasan yang Anda miliki
Proporsi Jawaban YA 32 24 31 20 24 29 35 29 27 33 31 31 26 30 24 22 21 19 29 18
C. Analisa Penglompokan Faktor Internal dan Faktor Eksternal Analisa pengelompokan faktor internal dan faktor eksternal diperlukan untuk memisahkan antara faktor internal dengan faktor eksternal yang menjadi masalah dalam menyelesaikan studi. Dari 12 variabel dan 20 atribut diperoleh faktor internal, sebanyak 4 variabel dan 5 atribut sedangkan faktor eksternal, sebanyak 8 variabel dan 12 atribut. D. Analisa Tahap Perbaikan Faktor Internal Fasilitas Laboratorium Analisa tahapan perbaikan dilakukan dengan menggunakan metode Fishbone, salah satu analisa yang dipergunakan pada Variabel Fasilitas dan Indikator Fasilitas Laboratorium adalah. SARANA Sofware komputer tidak lengkap
Jumlah lap kurang
Komputer kurang banyak
Alat peraga kurang
FASILITAS LABORATORIUM
Asisten kurang terlatih Asisten mengajar kurang optimal
MANUSIA
Jadwal praktikum sering bentrok dengan jadwal kuliah
WAKTU
Gambar 2. Fishbone Diagram Fasilitas Laboratorium
E. Analisa ANOVA Faktor Eksternal dirancang dengan menggunakan pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menjawab suatu permasalahan yang ada yaitu antara mahasiwa dengan variabel-variabel, seperti kurikulum, dosen, fasilitas, administrasi dan pelayaan. Usulan perancangan ditujukan untuk mendapatkan solusi agar mahasiswa dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu.
Seminar Nasional Terpadu Keilmuan Teknik Industri, 2017, Universitas Brawijaya – Malang A-12
Analisa Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penyelesaian Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Industri
Dalam pengujian hipotesis ini digunakan Uji F, yaitu statistik parametrik yang berlaku untuk dua kelompok berpasangan (variabel terhadap waktu penyelesaian kuliah). Dari hasil pengujian One Way Anova didapat dua variabel yang memiliki pengaruh adapun variabel tersebut adalah variabel kurikulum dengan nilai F hitung = 4.943 < Ftabel = 4,01 dan variabel administrasi Fhitung = 6.964 < Ftabel=4,01 dengan keputusan jika Fhitung < Ftabel Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel yang ada dengan waktu penyelesaian kuliah.
1.
2.
3. 4.
IV. PENUTUP Beberapa kesimpulan yang diperoleh, yaitu sebagai berikut Motivasi yang dilakukan dengan dua cara yaitu : a. Motivasi bersifat positif diberikan dosen kepada mahasiswa dengan memberikan masukan-masukan agar mahasiswa tepat waktu dalam menyelesaikan kuliah. b. Motifasi yang bersifat negatif dimana mahasiswa diberi peringatan yang sifatnya bersifat menekan mahasiswa agar cepat menyelesai-kan studi dengan tepat waktu. Untuk kesimpulan faktor eksternal yang menjadi masalah perlu dilakukan usulan perancangan standar oprasional prosedur agar mahasiswa lebih mengetahui dan lebih jelas dalam mengurus sesuatu kepada dosen, jurusan, fakultas maupun pihak rektorat. Dari perhitungan dengan menggunakan uji Cochran Q-Test dari 28 faktor, didapat 20 atribut pada 8 variabel yang menyebabkan mahasiswa lambat menyelesaikan studi. Hasil pengujian One Way Anova didapat dua variabel yang memilki pengaruh yaitu variabel kurikulum dengan nilai F hitung = 4.943 < Ftabel = 4.01 dan variabel administrasi Fhitung = 6.964 < Ftabel = 4.01. DAFTAR PUSTAKA
BAN-PT, 2009, Pedoman Penyusunan Portofolio Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi” [Online] Available http://www.scribd.com, (diakses 17 Desember 2016). Simamora, Bilson., 2003, Panduan Riset Perilaku Konsumen, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta, Rineka Cipta.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-13
Petunjuk Sitasi: Destyanto, R. A., Hidayatno, A., & Moeis, A. O. (2017). Pengembangan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi pada Mahasiswa Teknik Industri. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A14-20). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengembangan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi pada Mahasiswa Teknik Industri Arry Rahmawan Destyanto(1), Akhmad Hidayatno(2), Armand Omar Moeis(3) (1), (2), (3) Laboratorium Systems Engineering, Modeling, and Simulation Departemen Teknik Industri, Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok, 16424 (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected] ABSTRAK Lulusan program studi Teknik Industri merupakan lulusan yang diharapkan memiliki kompetensi lengkap khususnya dalam merancang, meningkatkan, dan memecahkan masalah dalam sistem yang terpadu di berbagai sektor industri. Salah satu sektor yang penting untuk dipelajari adalah industri keuangan. Dengan kemampuan memahami sistem keuangan dan investasi, diharapkan lulusan teknik industri mampu memberikan kontribusi dalam mewujudkan stabilitas dan kemajuan perekonomian Indonesia melalui pendekatan multidisiplin yang telah dipelajarinya. Sayangnya, konsep sistem keuangan dan investasi itu sendiri bukanlah sebuah konsep yang sederhana dan dirasa tidak cukup diajarkan hanya melalui buku teks karena sifat sistem keuangan dan investasi yang dinamis. Untuk menghadapi hal tersebut, peneliti mengembangkan sebuah purwarupa permainan simulasi (serious simulation game / SSG) yang dapat memberikan pengalaman belajar mengambil keputusan investasi dalam sistem keuangan yang dinamis. Invest-Man merupakan nama dari purwarupa SSG berbasis papan yang dikembangkan untuk membantu mahasiswa memahami konsep keputusan investasi dalam sistem keuangan. Dengan menggunakan alat bantu SSG, diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep investasi dengan lebih baik dan juga menyenangkan. Hasil pengujian sementara purwarupa SSG kepada mahasiswa menunjukkan sebagian besar pemahaman yang diharapkan berhasil ditanamkan kepada mahasiswa dan juga memotivasi mahasiswa untuk menerapkan ilmunya dalam berinvestasi di dunia nyata. Berdasarkan hasil pengembangan purwarupa yang dilakukan, penulis merekomendasikan bahwa penggunaan SSG dalam pembelajaran keputusan investasi dalam mata kuliah tentang sistem keuangan dalam kurikulum teknik industri merupakan alternatif yang layak untuk dipertimbangkan. Kata kunci— Serious Simulation Game, Sistem Keuangan, Investasi, Simulasi Pembelajaran, Experiential Learning
I. PENDAHULUAN Lulusan program studi teknik industri merupakan salah satu lulusan perguruan tinggi yang diharapkan memiliki kompetensi lengkap dalam merancang, mengembangkan, dan memecahkan masalah dalam sistem terintegrasi yang terdiri dari manusia, material, informasi, peralatan, dan energi (Institute of Industrial and Systems Engineers, 2017). Sistem terintegrasi yang dimaksud bisa dalam konteks beragam industri, seperti industri manufaktur, penerbangan, minyak dan gas, jasa pendidikan, keuangan, dan lain sebagainya. Sehingga, kurikulum pendidikan teknik industri sebaiknya mendukung agar mahasiswa dapat menggunakan pendekatan – pendekatan teknik industri di bidang tersebut sesuai peminatannya. Salah satu bidang dari beragam industri yang memberikan dampak signifikan bagi Indonesia dan banyak negara di dunia adalah industri keuangan. Industri keuangan seringkali diandalkan untuk menciptakan stabilitas perekonomian dan mendukung pembangunan berkelanjutan (Hadad, 2017). Peran lulusan teknik industri dalam merancang dan meningkatkan sistem di industri keuangan tentunya sangat diharapkan karena telah dibekali dengan berbagai macam pendekatan multidisiplin untuk memecahkan masalah. Sehingga, pengenalan terkait sistem keuangan dan investasi sebagai sebuah industri menjadi penting untuk diberikan kepada mahasiswa.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-14
Pengembangan Permainan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri
Sistem keuangan sendiri diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan, dan teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa keuangan dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh dunia (Rose, 2000). Pengelolaan keuangan dan investasi merupakan subjek yang semakin penting untuk dipelajari karena tingkat kesadaran finansial masyarakat Indonesia yang rendah (Wibowo, 2007). Namun, data terbaru Bank dunia menunjukkan bahwa jumlah penduduk tanpa rekening bank menurun besar. Sebagai contoh di Indonesia, kepemilikan rekening dalam kelompok 40% masyarakat termiskin nasik 2 kali lipat menjadi 22% (World Bank, 2015). Hal ini menunjukkan kenaikan tren masyarakat dalam mengelola aset melalui tabungan dan juga menunjukkan kenaikan peluang bahwa di masa akan datang, pengelolaan aset berupa deposito, emas, valas, saham, dan juga obligasi akan cenderung naik sehingga upaya pengenalan mengenai industri keuangan dirasa semakin penting. Bentuk pengenalan industri keuangan tersebut dapat dilakukan melalui pembukaan mata kuliah, seperti misalnya mata kuliah Sistem Keuangan dan Investasi di Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia. Melalui mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami bagaimana sistem keuangan dan investasi bekerja. Namun, banyaknya konsep keuangan yang kompleks, jumlah bahan ajar yang sangat banyak, dan banyaknya istilah yang tidak familiar menyebabkan turunnya minat mahasiswa untuk mempelajari industri keuangan. Penyebab lainnya adalah mahasiswa merasa bahwa memahami industri keuangan bukanlah kompetensi utama yang harus dicapai. Faktor lain yang menyebabkan turunnya minat mahasiswa, berdasarkan survey internal, adalah dinamika sistem keuangan dan investasi yang tidak efektif apabila disampaikan hanya melalui ceramah konvensional dan pembelajaran berbasis buku teks. Berdasarkan hal tersebut tersebut, diperlukan sebuah pendekatan yang dapat membantu mahasiswa belajar mengenai sistem keuangan dan investasi menjadi lebih efektif. Selain dapat meningkatkan minat mahasiswa teknik industri dalam mempelajari konsep investasi dan sistem keuangan, pembelajaran ini juga perlu dapat menggambarkan dinamika investasi dalam sistem keuangan yang sebenarnya. Menurut Mayer (2012), minat belajar seseorang dapat ditingkatkan dengan menggunakan permainan simulasi non – hiburan (serious simulation gaming / SSG). Pemainan simulasi merupakan lingkungan eksperimental yang berdasar pada aturan tertentu dan bersifat interaktif sehingga meningkatkan keterlibatan peserta dengan materi yang dipelajari. Penggunaan SSG dalam pembelajaran selain meningkatkan motivasi, juga dapat meningkatkan retensi terhadap konsep yang dipelajari dibandingkan dengan ceramah atau berbasis buku teks (Vogel et al, 2006). Efektivitas pembelajaran yang dihasilkan SSG diakui lebih besar dibandingkan dengan beberapa pendekatan lain, terutama pendekatan konvensional (Gee, 2004; Squire, 2008). Hal ini disebabkan SSG memungkinkan peserta untuk melakukan eksplorasi lebih dalam melalui simulasi yang seru, grafis yang menarik, serta kesempatan untuk berinteraksi yang tidak didapatkan dalam pendekatan konvensional (Deshpande & Huang, 2011). Kemampuan SSG untuk meningkatkan efekivitas belajar membuatnya sudah diadopsi di banyak bidang yang berkaitan dengan kompetensi bidang teknik industri, seperti sustainable resource management (Pierce & Madani, 2013, 2014), pemrograman komputer (Coelho, Kato, Xavier, & Gonclaves, 2011), manajemen bisnis (Faria, Hutchison, Wellington, Gold, 2009), matematka (Chang, Wu, Weng, & Sung, 2012), dan bidang keinsinyuran lain yang terkait (Mayo 2007; Coller & Scott 2009; Pierce, 2013). Penelitian kali ini mencoba untuk menjelaskan proses pengembangan purwarupa SSG sebagai alat bantu untuk meningkatkan minat dan pemahaman mahasiswa teknik industri dalam memahami konsep dan dinamika investasi di sistem keuangan. Proses pengembangan purwarupa SSG ini merupakan langkah awal untuk menguji hipotesis utama bahwa serious simulation game (SSG) adalah pendekatan yang lebih baik dalam memberikan pemahaman konsep investasi dibandingkan kuliah konvensional yang berbasis kepada buku teks. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi untuk membantu proses pembelajaran dalam kurikulum teknik industri. khususnya mengenai sistem keuangan dan investasi. II. METODOLOGI PENELITIAN Serious Simulation Game (SSG) terdiri dari dua karakteristik utama, yaitu gabungan dari Serious dan Simulation Game. Serious Game merupakan permainan yang diciptakan bukan untuk hiburan sebagai tujuan utamanya (non – entertainment purpose), sementara Simulation Game SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-15
Destyanto, Hidayatno, Moeis
adalah permainan yang merepresentasikan dinamika dunia nyata untuk diuji coba oleh aktor mengambil keputusan dan menggambarkan konsekuensi atas keputusannya tersebut sehingga mampu untuk mengkonstruksi pengetahuan (Klabbers, 1999). Perbedaan permainan simulasi biasa dengan serious game adalah karena tujuannya untuk menanamkan pengetahuan atau keterampilan tertentu, maka fase refleksi peserta setelah bermain sangat penting untuk mengevaluasi pengalaman dan pembelajaran setelah bermain atau biasa juga disebut dengan fase debriefing (Kriz, 2003). Fase ini merupakan salah satu pembeda antara permainan umum dengan serious game, karena debriefing memberikan kesempatan kepada peserta untuk membandingkan konsekuensi keputusan dalam dunia simulasi dan dunia nyata, menemukan persamaan dan perbedaan, yang pada akhirnya diharapkan terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dari bermain permainan tersebut. Pengembangan SSG untuk memberikan pemahaman konsep investasi kepada mahasiswa merupakan proses yang cukup kompleks, karena permainan yang dikembangkan harus mampu menyesuaikan dengan capaian pembelajaran yang ingin dituju (learning outcome). Capaian pembelajaran yang dijadikan referensi penelitian ini adalah kurikulum di Departemen Teknik Industri Universitas Indonesia tahun 2013 pada mata kuliah Sistem Keuangan dan Investasi. Untuk mengembangkan SSG pada penelitian kali ini, digunakan Kriz’s Gaming Simulation Approach (Kriz, 2003). Pendekatan ini membagi aspek reality dalam pengembangan SSG menjadi 5 tingkatan. Tingkat 1 (reality level 1) adalah memilih realita dunia nyata (baik secara sosial maupun fisik) yang dijadikan referensi untuk merancang permainan simulasi sebagai basis mental model. Tingkat 2 (reality level 2) adalah proses pembuatan permainan berdasarkan mental model yang sudah dibuat ke dalam bentuk fisik. Tingkat 3 (reality level 3) adalah tahap mengimplementasikan realita yang dibuat dalam permainan kepada peserta. Tingkat 4 (reality level 4) masuk ke tahap debriefing di mana terdapat refleksi dari apa yang dipelajari di permainan baik berupa insight, pengetahuan, ataupun keterampilan untuk nantinya diaplikasikan dalam dunia nyata. Tingkat 5 (reality level 5) merupakan fase kedua dari proses debriefing, yaitu meta – debriefing dan evaluasi untuk mengukur secara kuantitatif seberapa besar permainan simulasi mampu mencapai tujuan pembelajaran / learning outcome. Proses pengembangan SSG secara lebih detil dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 Proses pengembangan SSG Invest-Man menggunakan Kriz’s Gaming Simulation Approach
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-16
Pengembangan Permainan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Fase awal penelitian ini adalah menciptakan sebuah SSG yang dapat digunakan untuk membantu proses pemahaman konsep investasi. Purwarupa SSG yang dikembangkan diberinama Invest – Man. Invest – Man adalah permainan papan yang memiliki komponen berupa: (1) Papan permainan beserta dadu dan pion; (2) Set kartu yang terdiri dari kartu profesi, skenario, dan kepemilikikan instrumen investasi; dan (3) Set cek dengan berbagai pecahan nilai dan mata uang. Permainan ini mengakomodir peserta dalam membuat keputusan untuk dialokasikan pada tabungan, oblgasi, saham, emas, deposito, dan valuta asing. Permainan dapat dilakukan oleh 2 – 4 orang pemain, 2 bank, 1 fasilitator permainan, dan 1 game master. Untuk membuat permainan yang sesuai dengan realita, dibuat alur permainan seperti yang dijelaskan bagan pada gambar 2.
Gambar 2 Alur permainan dari SSG Invest – Man
Purwarupa awal dari SSG Invest – Man diujikan kepada mahasiswa teknik industri semester 6. Pemilihan sampel dilakukan dengan asumsi bahwa mahasiswa di tingkat tersebut sudah mendapatkan mata kuliah sistem keuangan dan investasi, sehingga tidak terlalu asing dengan istilah – istilah dasar dalam dunia investasi. Purwarupa awal permainan diujikan kepada beberapa subject matter expert yang ada di bidang keuangan dan investasi untuk menajamkan aspek realita terhadap permainan. Pada gambar 2, ada beberapa poin yang diberikan tanda (*) sebagai bentuk penambahan alur permainan dibanding purwarupa awalnya. Sebagai contoh, poin nomor 2 ditambahkan karena secara realita masyarakat atau organisasi dapat menggunakan dananya untuk berinvestasi setelah dikurangi kewajiban – kewajiban yang harus dibayarkan sesuai opsi jasa keuangan yang mereka pilih. Misalnya, seseorang yang memilih menggunakan jasa asuransi kehilangan kesempatan untuk mengalokasikan dana tersebut dalam berinvestasi. Poin nomor 6 juga merupakan tambahan skenario acak terkait dengan risiko dalam kehidupan nyata individu yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan. Jika pada purwarupa awal sebelumnya skenario yang dijalankan tidak mempertimbangkan keputusan yang dilakukan pada poin 2, dengan pengujian purwarupa selanjutnya apa yang diputuskan pemain pada poin 2 akan berpengaruh pada poin 6. Misalnya, apabila pemain memilih menggunakan asuransi, maka saat mendapatkan risiko sakit secara tiba – tiba tidak akan mempengaruhi kondisi keuangan secara signifikan. Untuk menajamkan kondisi sesuai dengan realita sebenarnya, subject matter expert memberikan masukan terkait dengan fluktuasi nilai yang terjadi pada masing – masing instrumen investasi seiring berjalannya waktu. Hal ini membuat skenario yang disusun bukan hanya skenario individu (yang ditunjukkan poin 6), tetapi juga skenario eksternal yang menunjukkan variasi acak untuk nilai instrumen investasi dalam rentang deret waktu. Mekanisme skenario acak SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-17
Destyanto, Hidayatno, Moeis
ini ditentukan oleh kartu skenario yang diambil dan dibacakan oleh game master di akhir periode. Kartu ini berisikan nilai nominal instrumen seperti emas, valas, bunga, saham, dan obligasi yang berubah – ubah setiap periode. Pasca pengujian dengan subject matter expert, dilakukan iterasi perancangan permainan dari reality level 3 menuju kembali ke reality level 2. Perancangan kembali permainan ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang lebih sesuai dengan realita sebenarnya. Setelah permainan diperbaiki berdasarkan umpan balik, selanjutnya diujikan kepada peserta untuk dimainkan hingga 30 periode. Berdasarkan pengujian yang dilakukan kepada mahasiswa semester 6, didapatakan beberapa umpan balik seperti yang ditunjukkan oleh tanda (**) pada gambar 2. Poin 3 menunjukkan adanya umpan balik dari purwarupa awal yang hanya memberikan modal awal sebesar 1x penghasilan bersih yang bisa diinvestasikan. Modal awal yang begitu kecil menjadi sangat riskan untuk terjadi loss apabila dialokasikan ke instrumen yang memiliki risiko tinggi. Hal ini akan berimplikasi pada motivasi peserta yang menjadi tidak percaya diri untuk berkompetisi di periode – periode berikutnya. Maka dari itu, nilai modal awal ditingkatkan menjadi 6x penghasilan bersih yang dapat diinvestasikan. Umpan balik pada poin 9 diusulkan oleh pemain setelah mengkritisi informasi posisi aset yang dipublikasikan hanya pada periode 15 dan 30 pada rancangan purwarupa awalnya. Posisi aset dirancang awalnya dipublikasikan hanya di periode 15 dan 30 agar permainan setiap periode bisa dilakukan dengan cepat. Hanya saja, sistem ini ternyata membuat pemain bingung terkait strategi apa yang harus dilakukan selanjutnya karena tidak mengetahui posisi aset di akhir periode. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan spreadsheet perhitungan fasilitator yang juga dilengkapi dengan dashboard sederhana untuk ditunjukkan kepada pemain. Penambahan alur ini ternyata juga meningkatkan semangat peserta untuk menuntaskan permainan dibandingkan dengan alur sebelumnya. Penambahan lain juga dilakukan pada poin 12, di mana mengubah cara penilaian pemenang permainan dari yang sebelumnya berdasarkan total aset menjadi besarnya rasio pertumbuhan dibandingkan dengan aset kekayaan awalnya. Hal ini bisa dipahami karena setiap peserta memiliki tingkat pendapatan berbeda di mana profesi yang dijalankannya juga berbeda seperti yang dilakukan pada poin 1. Dengan penilaian yang berbasis rasio pertumbuhan dinilai lebih adil dan membuat peserta termotivasi untuk menuntaskan permainan hingga akhir. Purwarupa yang telah diperbaiki, termasuk beberapa masukan terkait dengan perbaikan desain antar muka permainan, kemudian diujikan kepada mahasiswa semester 6 yang sudah mengambil mata kuliah sistem keuangan dan investasi seperti yang ditunjukkan oleh gambar 3. Mahasiswa memainkan purwarupa SSG sekitar 5 – 6 bulan setelah mata kuliah tersebut diambil. Setelah bermain, mahasiswa diminta untuk melakukan debriefing dan melakukan konstruksi pengetahuan terkait dengan apa yang dipelajari.
Gambar 3 Pengujian purwarupa SSG hasil iterasi kepada mahasiswa Teknik Industri
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-18
Pengembangan Permainan Serious Simulation Game untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Investasi Pada Mahasiswa Teknik Industri
Beberapa insight yang didapatkan mahasiswa setelah memainkan invest-man memiliki beberapa kesamaan dalam poin – poin berikut: (1) Mampu menjelaskan instrumen keuangan yang termasuk dalam kategori investasi dan tidak, serta menjelaskan masing – masing karakteristiknya; (2) Mampu menjelaskan konteks kapan perlu melakukan diversifikasi melalui beberapa instrumen investasi; (3) Mampu menjelaskan risiko masing – masing instrumen investasi dan juga tingkat pengembaliannya; (4) Memiliki motivasi untuk menerapkan konsep investasi yang dipelajari dalam kehidupan sehari – hari; (5) Mampu menjelaskan mengapa sebuah investasi dapat memberikan keuntungan dan kapan menghasilkan kerugian, berdasarkan refleksi dari tim yang mengalami keuntungan serta kerugian terbesar. Sebuah evaluasi awal juga dilakukan dengan membandingkan performa penilaian post – test antara mahasiswa yang diminta mempelajari konsep investasi dari buku dan jurnal serta mahasiswa yang belajar melalui SSG Invest – man. Berdasarkan hasil post – test yang menguji pengetahuan tentang keputusan investasi, siklus instrumen investasi, diversifikasi investasi, dan risiko – risiko investasi, mahasiswa yang belajar melalui SSG Invest-Man memiliki nilai 20 – 30% lebih baik dibandingkan yang belajar melalui buku teks secara kuantitatif. Namun, hasil ini masih sangat prematur untuk dijadikan patokan dasar dampak penggunaan SSG untuk belajar manajemen investasi. Teknik evaluasi yang lebih baik untuk permainan Invest – Man saat ini masih dalam proses pengembangan dan penelitian lebih lanjut, untuk dapat menguji hipotesis bahwa SSG merupakan pendekatan yang lebih baik dalam memberikan pemahaman konsep investasi dibandingkan dengan ceramah konvensional yang berbasis buku teks. IV. PENUTUP Purwarupa SSG Invest – Man merupakan langkah awal untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan proses dan kualitas pembelajaran dalam kelas, khususnya untuk mata kuliah yang berkaitan dengan sistem keuangan dan keputusan investasi. Berdasarkan proses pengembangan dengan menggunakan Kriz’s Simulation Gaming Approach, secara umum pemain sudah dapat melakukan konstruksi pengetahuaun yang sesuai dengan apa yang diharapkan saat fase debriefing. Selain itu, saat proses pengembangan permainan, peneliti berkesimpulan bahwa perlu menyeimbangkan antara aspek realita atau kesesuaian dengan dunia nyata, dengan aspek mekanisme permainan yang ramah terhadap pemain agar termotivasi untuk menuntaskan permainan sehingga maksud yang terkandung dalam permainan dapat ditangkap dengan baik oleh peserta. Pengujian komparatif secara statistik untuk fase evaluasi dari permainan ini masih dilanjutkan untuk dapat menyimpulkan apakah menggunakan SSG lebih baik dibandingkan ceramah konvensional. Pengujian ini direncanakan bukan hanya untuk mengukur efektivitas materi yang dikuasai, tetapi juga berapa lama peserta mengingat materi tersebut. Apabila terbukti secara statistik bahwa permainan SSG ini memberikan dampak yang lebih baik, maka peneliti berkesimpulan bahwa penggunaan SSG Invest – Man di dalam kelas merupakan alternatif belajar yang sangat layak untuk dipertimbangkan. Untuk penelitian yang akan datang, juga dapat dilakukan pengujian terhadap unsur perilaku peserta dalam berinvestasi untuk mengetahui pengaruh perilaku investor terhadap pola berinvestasi dan hasil investasinya. Penelitian yang akan datang juga perlu mempertimbangkan kemungkinan transaksi di pasar sekunder (secondary market) untuk meningkatkan unsur realita dalam permainan simulasi yang dibuat.
DAFTAR PUSTAKA Chang, K.E., Wu, L.J., Weng, S.E., & Sung, Y.T. 2012. ―Embedding Game-based Problem-Solving phase into Problem-posing System for Mathematics Learning‖, dalam Computer & Education, 58(2), hlm. 775 – 786. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2011.10.002 Coelho, A., Kato, E., Xavier, J., & Gonclaves, R. 2011. ―Serious Game for Introductory Programming‖, dalam Lecture Notes in Computer Science, 6944, hlm. 61 – 71. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-64223834-5_6
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-19
Destyanto, Hidayatno, Moeis
Coller, B.D., & Scott, M.J., 2009, ―Effectiveness of Using a Video Game to Teach a Course in Mechanical Engineering‖, dalam Computers & Education, 53(3), hlm. 900 – 912. https://doi.org/10.1016/j.compedu.2009.05.012 Deshpande, A.A., & Huang, S.H. 2011. ―Simulation Games in Engineering Education: a State-of-the-art Review‖, dalam Computer Applications in Engineering Education, 19 (3), hlm. 399 – 410. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/cae.20323/abstract Faria, A.J., Hutchison, D., Wellington, W.J., & Gold, S., 2009, ―Developments in Business Gaming: a Reviewof the Past 40 Years‖, dalam Simulation and Gaming, 40, hlm. 464 – 487. Sage Publishing. Gee, J.P. 2004. What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy. New York: Palgrave Macmillan Hadad, M.D., 2017, OJK Dorong Kontribusi Industri Jasa Keuangan dalam Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi. Jakarta : Pertemuan Tahunan Pelaku Industri Jasa Keuangan 2017. http://s.id/uLE (diakses 12 Juli 2017). Institute of Industrial and Systems Engineers., 2017, IISE Official Definition. http://www.iise.org/details.aspx?id=282. Diakses pada Rabu, 12 Juli 2017. Klabbers, J., 1999, ―Three Easy Pieces: A Taxonomy on Gaming‖, dalam Simulation and Gaming Yearbook Vol. 7. Simulation and Gamers for Strategy and Policy Planning, hlm. 16 – 33. London : Kogan Page. Kriz, C.W., 2003, ―Creating Effective Learning Environments and Learning Organizations Through Gaming Simulation Design‖, dalam Simulation and Gaming, vol 34 No. 4, hlm. 495 – 511. Thousand Oaks, California : Sage Publications. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1046878103258201 Mayer, I., 2012, ―Towards a Comprehensive Methodology for the Research and Evaluation of Serious Games‖, dalam Wm. Agresti (Editor), Procedia Computer Science 15, hlm. 233 – 247, Amsterdam: El Sevier. Mayo, M.J., 2007, ―Games for Science and Engineering Education‖, dalam Communications of the ACM, 50(7), hlm. 30 – 35. Pierce, T., & Madani, K. 2013. ―Online Gaming for Sustainable Common-Pool Resource Management and Tragedy of the Commons Prevention‖, dalam Proceedings of the 2013 IEEE International Conference on Systems, Man, and Cybernetics (SMC), hlm. 1765 – 1770. http://dx.doi.org/10.1109/SMC.2013.304 Pierce, T.W., 2013. Virtual Interactions with Real-Agents for Sustainable Natural Resource Management, M.Sc Thesis. Orlando, FL: Department of Civil, Environmental, and Construction Engineering, University of Central Florida. Rose, A.K., 2000. One Money, One Market : Estimating the Effect of Common Currencies on Trade. California: University of California, Berkeley. https://faculty.haas.berkeley.edu/arose/Grav.pdf (diakses 12 Juli 2017) Squire, K.D. 2008. ―Video Game-Based Learning: an Emerging Paradigm for Instruction‖, dalam Performance Improvement Quarterly, 21 (2), hlm. 7-36. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/piq.20020/full Vogel, J. J., Vogel, D.S., Cannon-Bowers, J., Bowers, C.A., Muse, K., & Wright, M. 2006. ―Computer Gaming and Interactive Simulation for Learning: a Meta – Analysis‖, dalam Journal of Educational Computing Research, 34(3), hlm. 229 – 243. Wibowo, P.P., 2007. Financial Education and Awareness: Indonesia Experience. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). https://www.oecd.org/finance/financialmarkets/42551235.pdf (diakses 11 Juli 2017)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-20
Petunjuk Sitasi: Saptadi, S., Prastawa, H., & Satria, Y. (2017). Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A2126). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ) Singgih Saptadi (1), Heru Prastawa(2) ,Yoga Satria (3) Program Studi Teknik Industri Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 50239 (3)
[email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Media pembelajaran adalah salah satu penunjang dalam proses kegiatan belajar mengajar, untuk meningkatkan minat belajar peserta didik tentunya dapat diupayakan dengan menggunakan media belajar yang unik dan menarik. Mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga (MPPJO) adalah salah satu mata pelajaran wajib di SMA Negeri 2 Semarang, rata-rata nilai yang didapatkan dari cara pembelajaran MPPJO saat ini belum mencapai Kriteria Ketuntusan Minimal (KKM) untuk aspek teoritis, oleh karena itu dirancang pelengkap pembelajaran melalui media smartphone (mobile learning) yang dapat digunakan dimana saja dan kapan saja. Pembuatan media belajar dirancang sesuai dengan taksonomi kognitif bloom yang disesuaikan dengan kompetensi dasar MPPJO, kemudian dilakukan proses analisis kebutuhan untuk mengetahui konten yang akan dimuat, selanjutnya adalah proses perancangan aplikasi kemudian dilakukan uji coba ke calon pengguna dan diuji tingkat usabilitasnya menggunakan kuesioner computer system usability questionnaire (CSUQ). Hasil dari pengujian tersebut didapatkan skor setiap aspek usabilitas antara lain yaitu : kegunaan sistem 6.17, kualitas informasi 6.11, kualitas tampilan antar muka 5.83, dan total kepuasan pengguna 6.3 dengan hasil tersebut tingkat usabilitas aplikasi mobile learning MPPJO mendapatkan rata-rata skor 6.09 dari skala 7 sehingga dapat dikatakan bahwa aplikasi memiliki tingkat usabilitas yang cukup dan dapat diterapkan pada SMA Negeri 2 Semarang. Kata kunci— Analisis kebutuham, CSUQ, mobile learning, taksonomi bloom, usabilitas.
I. PENDAHULUAN Media pembelajaran merupakan perantara pembawa informasi mencakup instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran antara sumber dan penerima (Heinich, 1993), melalui media pembelajaran pengajar dapat terbantu dalam menyampaikan materi yang telah dirancang untuk melengkapi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Rata-rata hasil kegiatan belajar mengajar MPPJO di SMA 2 Negeri Semarang khususnya kelas X belum mencapai kriteria KKM yaitu 70, salah satu hal yang menyebabkan kesenjangan nilai tersebut adalah tidak ada pemisahan waktu antara pembelajaran teori dan praktik. Pembelajaran MPPJO baik praktik maupun teori dilakukan secara bersamaan di lapangan, hal ini mempengaruhi tingkat penyerapan materi yang disampaikan karena daya tangkap siswa berbeda-beda antara satu dengan lainya. Untuk mengisi kekosongan pembelajaran aspek teori, dapat diupayakan dengan menggunakan media pelengkap pembelajaran yang diharapkan dapat digunakan kapan saja dan dimana saja. Tujuan tersebut dapat diupayakan dengan memberikan siswa fasilitas belajar melalui media aplikasi mobile learning, pembelajaran melalui mobile learning diartikan sebagai perpaduan antara pembelajaran elektronik (e-learning) dengan perangkat mobile yang memberikan pengalaman belajar menarik, karena dapat mengakses informasi dimanapun, kapanpun, serta kaya akan interaksi yang mendukung efektivitas pembelajaran. Dalam penelitian sebelumnya, Wang & SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-21
Saptadi, Prastawa, dan Satria
Li (2015) membangun model perancangan media pembelajaran dengan aspek kognitif melalui taksonomi bloom namun tanpa pengujian usabilitas aplikasi, sehingga tidak didapatkan umpan balik dari pengguna aplikasi. Untuk merancang sebuah aplikasi yang mudah digunakan, maka perlu dilakukan pendekatan Usability, pendekatan usability bertujuan untuk mengetahui bagaimana membuat sebuah aplikasi yang mudah digunakan oleh pengguna (Kela, 2006). Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk merancang aplikasi media pembelajaran dengan mempertimbangkan aspek usabilitas aplikasi sehingga dapat dirancang aplikasi media pembelajaran MPPJO yang mudah digunakan, sesuai dengan kebutuhan, dan memuaskan pengguna yaitu guru dan siswa SMA Negeri 2 Semarang, objek yang akan diteliti pada penelitian ini adalah media pembelajaran MPPJO yang telah dirancang, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil evaluasi usabilitas melalui kuesioner CSUQ dan subjek penelitian yang terlibat adalah guru MPPJO dan 50 siswa kelas X SMA Negeri 2 Semarang yang dipilih secara acak. II. MATERIAL DAN METODOLOGI Metodologi penelitian penelitian ini terdiri dari penentuan metode, penentuan indikator, perancangan kuesioner, responden. A. Model Konseptual Model konseptual yang digunakan adalah model konseptual yang dibangun oleh Wang & Li (2015) serta dilakukan penyesuaian terhadap model tersebut, dan menggunakan objek penelitian pada MPPJO SMA Negeri 2 Semarang. APLIKASI MOBILE LEARNING · ·
Tujuan Tujuan Pembelajaran Pembelajaran Meningkatkan Meningkatkan aspek aspek kognitif kognitif dalam dalam MPPJO MPPJO
Konten (Materi, Latihan) Desain Interface (Layout, Ikon,Gambar,Warna)
PENGETAHUAN PENGETAHUAN ·· P1: P1: Faktual Faktual ·· P2: P2: Konseptual Konseptual ·· P3: P3: Prosedural Prosedural
PROSES PROSES KOGNITIF KOGNITIF ·· ·· ·· ·· ··
K1 K1 :: Mengingat Mengingat K2 K2 :: Memahami Memahami K3 K3 :: Mengaplikasikan Mengaplikasikan K4 K4 :: Menganalisa Menganalisa K5 : Mengevaluasi. K5 : Mengevaluasi.
Konsep Pembelajaran Bloom · · · · ·
Pengetahuan Pemahaman Aplikasi Analisis Evaluasi
Gambar 1 Model Konseptual Penelitian Pada penelitian ini tujuan pembelajaran MPPJO adalah meningkatkan pemahaman aspek kognitif siswa. Untuk meningkatkan pemahaman kognitif pada siswa, Benjamin S. Bloom (1956) mengemukakan konsep tentang dimensi pembelajaran kognitif untuk siswa. Dimensi yang dilibatkan pada penelitian ini, antara lain : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi. Dimensi kognitif tersebut didalamnya mencakup komponen pengetahuan dan komponen proses kognitif yang kemudian diadopsi dalam materi pembelajaran mobile learning. Meninjau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari MPPJO, hal tersebut dapat dilihat di tabel 1. Tabel 1 Identifikasi Proses Kognitif Bloom No 1 2 3 4 5
Kompetensi Dasar Siswa dapat memahami teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat memahami variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat menerapkan variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat menganalisis variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola. Siswa dapat mengevaluasi variasi dan kombinasi teknik dasar permainan bola besar melalui permainan sepakbola SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-22
Proses Kognitif yang Terlibat Mengingat, Memahami Mengingat, Memahami Mengaplikasikan Menganalisis Mengevaluasi
Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ)
B. Computer System Usability Questionnaire (CSUQ) Salah satu cara mengukur tingkat usabilitas adalah menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Lewis, J.R. (1995) IBM pada Computer Usability Satisfaction Questionnaires : Psychometric Evaluation and Instruction for Use, kuesioner ini dirancang untuk mengetahui tingkat kegunaan suatu sistem komputer pada penelitian ini diadopsi untuk aplikasi mobile learning MPPJO. Terdapat 18 pertanyaan yang telah disesuaikan dengan penelitian ini untuk mengetahui tingkat usabilitas aplikasi rancangan mobile learning MPPJO. Tabel 2 Kuesioner CSUQ No
Usabilitas yang diukur
1 2 3
4
System Usefulness
5 6 7 8 9 10 11
Information Quality
12 13 14 15 16 17 18
Interface Quality Overall Satisfaction
Pernyataan Secara keseluruhan, saya puas dengan kemudahan penggunaan aplikasi ini. Penggunaan aplikasi ini sederhana. Saya dapat belajar mengenai permainan bola besar secara efektif dari aplikasi ini. (mengetahui dan memahami aktivitas permainan bola besar dalam MPPJO) Saya dapat belajar permainan bola besar lebih cepat melalui aplikasi ini daripada menggunakan buku pelajaran MPPJO. Saya dapat belajar permainan bola besar melalui aplikasi ini, tanpa perlu membeli berbagai buku pelajaran MPPJO. Saya merasa nyaman menggunakan aplikasi ini untuk belajar. Penggunaan aplikasi ini mudah dipelajari. Saya yakin saya dapat menjadi lebih produktif belajar MPPJO dengan menggunakan aplikasi ini. (menarik minat dalam belajar) Ketika saya melakukan kesalahan dalam menggunakan aplikasi, saya dapat kembali ke kondisi awal dengan mudah. Materi yang ditampilkan dalam aplikasi cukup jelas (dapat dimengerti). Materi yang saya butuhkan pada aplikasi ini dapat saya akses dengan mudah. Materi yang ditampilkan pada aplikasi dapat saya pahami. Materi yang diberikan sangat efektif dalam membantu saya belajar tentang aktivitas permainan bola besar (sesuai dengan kebutuhan saya). Tata letak materi yang ditampilkan di layar sangat jelas (dapat terbaca). Tampilan / antar muka yang dimiliki aplikasi ini nyaman untuk digunakan. Saya menyukai desain antar muka / tampilan aplikasi ini. Aplikasi ini memiliki fungsi dan kemampuan sesuai dengan yang saya harapkan. Secara keseluruhan saya puas dengan aplikasi ini.
C. Analisis Kebutuhan Tahap ini merupakan proses untuk menggali informasi mengenai kebutuhan dari stakeholder terkait seperti guru sebagai pengguna aplikasi untuk membantu pembelajaran dan siswa sebagai penggunanya. untuk memperoleh informasi tersebut diadopsi menggunakan requirement engineering (RE) yaitu serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan tujuan dalam perancangan suatu sistem perangkat lunak. Tahapan utama dalam RE antara lain Inception and elicitation, Identification, analysis and negotiation, System modelling and goal specification, System validation, risk and change management. 1) Elisitasi Kebutuhan : Tahap awal dalam RE adalah inception (permulaan) dan elisitasi kebutuhan, Elisitasi merupakan rancangan yang dibuat berdasarkan sistem yang baru yang diinginkan oleh pihak stakeholder terkait dan disanggupi oleh penulis untuk dieksekusi, elisitasi didapat melalui metode wawancara dan kuesioner terhadap guru MPPJO dan siswa SMA Negeri 2 Semarang khususnya kelas X. Pada tahap ini akan dilakukan pengumpulan informasi dan faktafakta yang terjadi di lapangan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-23
2) Identifikasi, Analisis, dan Persetujuan : Pada tahap ini informasi yang telah diperoleh kemudian diidentifikasi dan dianalisis sesuai dengan permasalahan dan tujuan nantinya aplikasi akan dirancang, setelah mendapatkan hasil analisis kemudian selanjutnya adalah persetujuan dengan stakeholder yang merupakan guru pengampu MPPJO. Proses ini merupakan tahap yang penting karena persetujuan dari pihak stakeholder akan menentukan bagaimana aplikasi akan dirancang selanjutnya tentunya kebutuhan harus sesuai dengan tujuan awal pada perancangan mobile learning MPPJO yaitu media pelengkap pembelajaran, setelah data awal dikumpulkan, kemudian dilakukan persetujuan dengan guru pengampu MPPJO. 3) Model Sistem dan Spesifikasi Tujuan Aplikasi : Dengan menggunakan model identifikasi fitur dan proses, pada tahap elisitasi didapatkan informasi mengenai rancangan aplikasi yang sesuai dengan tujuan stakeholder kemudian pengembang menggunakan data tersebut untuk menentukan kebutuhan aplikasi yaitu terdiri dari kebutuhan fungsional dan non-fungsional. 4) Validasi Sistem, Risk & Change Management : Validasi sistem dimaksudkan untuk mengevaluasi kembali mengenai spesifikasi yang dirancang apakah sudah sesuai dengan keinginan stakeholder apabila masih kurang maka dapat dilakukan perubahan yang disetujui oleh kedua pihak baik stakeholder maupun pengembang. Pada perancangan guru pengampu MPPJO telah menyetujui usulan spesifikasi yang akan dijadikan acuan pembuatan mobile learning MPPJO sehingga dapat dilanjutkan ke proses perancangan aplikasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan proses pengumpulan data melalui wawancara dengan guru dan kuesioner terhadap siswa maka didapatkan hasil kebutuhan aplikasi yang terdiri dari kebutuhan fungsional dan non-fungsional seperti yang terdapat pada tabel 3 : Spesifikasi Spesifikasi 1 Spesifikasi 2 Spesifikasi 3 Spesifikasi 4 Spesifikasi 5 Spesifikasi 6 Spesifikasi 7 Spesifikasi 8 Spesifikasi 9 Spesifikasi 10
Tabel 3 Spesifikasi Kebutuhan Aplikasi Kebutuhan Aplikasi Aplikasi mampu menampilkan materi permainan bola besar pada sub-bab sepak bola. Aplikasi mampu membacakan teks dari materi yang ditampilkan. Aplikasi dilengkapi gambar pendukung sesuai materi yang dibahas. Aplikasi dilengkapi video pendukung mengenai materi yang dibahas. Aplikasi memiliki latihan soal mengenai materi sepak bola. Pada latihan soal aplikasi mampu memberikan respon dari jawaban pengguna. Aplikasi mampu diakses dimana saja dan kapan saja. Aplikasi hanya dapat digunakan di sistem operasi Android. Aplikasi memerlukan akses internet untuk mengakses beberapa konten. Kebutuhan memory minimal 512 Mb RAM
A. Desain Aplikasi Berikut berupakan hasil rancangan awal aplikasi mobile learning MPPJO :
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 (a) Rancangan Spesifikasi 1, (b) Rancangan Spesifikasi 2, (c) Rancangan Spesifikasi 3&4, (d) Rancangan Spesifikasi 5&6
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-24
Perancangan Media Pembelajaran Mobile Learning Ramah Guna Berdasarkan Evaluasi Usabilitas Computer System Usability Questionnaire (CSUQ)
B. Uji Coba Aplikasi Uji coba aplikasi dilakukan 2 tahap yaitu melalui tes usabilitas dan tes kognitif, bertujuan untuk mengetahui respon dari pengguna mengenai aplikasi yang telah dirancang. 1) Tes Usabilitas : pada uji coba usabilitas dilakukan tes penggunaan aplikasi melalui skenario pada Tabel 4, hasil uji coba didapatkan responden dapat menyelesaikan tugas yang diberikan tanpa kendala, kemudian responden mengisi kuesioner CSUQ. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tabel 4 Skenario Penggunaan Aplikasi Task Responden diminta untuk menjalankan Aplikasi mobile learning MPPJO. Responden diminta untuk membuka menu bantuan. Responden diminta untuk kembali ke menu utama. Responden diminta untuk memilih menu materi pelajaran sepak bola. Responden diminta untuk memilih materi tentang ketentuan lapangan sepak bola. Responden diminta untuk menyalakan teks narasi tentang ketentuan lapangan sepak bola. Responden diminta untuk kembali ke menu materi tentang teknik dasar sepak bola. Responden diminta untuk membuka materi tentang menendang bola. Responden diminta untuk kembali ke menu utama. Responden diminta untuk membuka materi kontrol menggunakan dada pada menu latihan mandiri. Responden diminta untuk menuju tautan video yang disediakan pada laman materi kontrol menggunakan dada. Responden diminta untuk kembali ke menu utama. Responden diminta untuk membuka menu latihan soal, dan menjawab soal yang tersedia dan mendapatkan hasil / feedback dari latihan soal. Responden diminta untuk menutup aplikasi mobile learning MPPJO.
Error Step 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Gambar 3 Skor Usability CSUQ
System usefulness pada aplikasi mobile learning MPPJO didapatkan skor yaitu 6.17 dari 7. Hal ini dapat diartikan bahwa secara keseluruhan aplikasi mobile learning MPPJO merupakan sistem yang dapat digunakan untuk siswa SMA Negeri 2 Semarang. Variabel information quality aplikasi MPPJO mendapatkan skor 6.11 dari 7 dari hasil yang didapatkan dapat diartikan bahwa kualitas informasi yang ditampilkan pada aplikasi ini mudah dipahami oleh pengguna. Variabel interface quality mendapatkan skor 5.83 dari 7 maka aplikasi sudah cukup baik, responden setuju bahwa aplikasi ini bermanfaat namun masih terdapat ruang untuk improvisasi pada tampilan aplikasi. Variabel overall satisfaction mendapatkan skor 6.3 dari 7. Hal ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan responden sudah merasa puas pada aplikasi mobile learning MPPJO yang dirancang, hal ini memperkuat pernyataan bahwa aplikasi ini dapat digunakan untuk pembelajaran. 2) Tes Kognitif : respoden diberikan soal pilihan ganda mengenai materi permainan sepak bola, kemudian didapatkan hasil rata-rata nilai pretest sebelum menggunakan aplikasi adalah
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-25
52,00 dan hasil setelah responden menggunakan aplikasi nilai rata-rata responden naik menjadi 91,00. C. Redesain Aplikasi Setelah mendapatkan masukan dari responden kemudian dilakukan redesain pada aplikasi seperti perubahan ukuran font yang digunakan dan penambahan variasi warna pada aplikasi seperti pada Gambar 4
(a)
(b)
Gambar 4 (a) Penambahan variasi warna, (b) Pengaturan ulang layout letak ikon video
IV. PENUTUP Pembuatan aplikasi pelengkap pembelajaran MPPJO memerlukan konten yang sesuai dengan kebutuhan pengajar, pada penelitian ini konten yang diperlukan oleh aplikasi didapatkan melalui proses identifikasi kebutuhan yang dilakukan melalui wawancara dan kuesioner terhadap guru dan siswa, konten yang dibutuhkan pada pembuatan aplikasi mobile learning MPPJO antara lain : Materi pelajaran, pelangkap materi seperti video dan gambar, narasi dari teks materi, dan juga latihan soal mengenai materi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga pada penelitian ini mengambil subjek Permainan Sepak Bola. Uji coba rancangan aplikasi dilakukan untuk mengetahui umpan balik dari responden dan mengukur sejauh mana tingkat usabilitas aplikasi setelah diujicobakan, rancangan awal aplikasi sudah memenuhi tingkat usability yang cukup baik yaitu 6.2 dari 7, dengan rancangan konten yang telah disusun diperoleh hasil tes kognitif yang cukup baik dimana hasil tes kognitif berupa soal pilihan ganda yang dilakukan siswa sebelum dan sesudah menggunakan aplikasi mengalami peningkatan rata-rata dari 57 menjadi 91. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan aplikasi mobile learning MPPJO dapat membantu kognitif siswa dalam belajar dan dapat di terapkan di SMA Negeri 2 Semarang. DAFTAR PUSTAKA Bloom, B. S,1956, Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain, New York: David Mc Kay. Heinich, R.,1993, Instructional media (and the new technologies of instruction), New York:Memillan Publishong. Kela, J., 2006, “Customizing User Interaction in Smart Phones”, dalam Maria R, IEEE Pervasive Computing, hlm. 82-90 Lewis, J. R. 1995, “IBM Computer Usability Satisfaction Questionnaires: Psychometric Evaluation and Instructions for Use”, dalam Julie, International Journal of Human-Computer Interaction 7.1, hlm. 5778. Olasoji, R., Preston, D.; &Mousavi, A.,2014, “Requirement engineering for effective mobile learning: Modelling mobile device technologies integration for alignment with strategic policies in learning establishments”, dalam IEEE, Computer Science and Information Systems (FedCSIS), hlm. 851-860. Wang, C. S., Li, Y. C., & Tzeng, Y. R.,2015, “How to replicate the cognitive process in computer gamebased learning units”, dalam Information Technology & People, 28(2), hlm. 327-343.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu A-26
Petunjuk Sitasi: Lawi, A., & Marentek, T. K. (2017). Pengembangan Kurikulum Program Studi Teknik Industri dengan Menggunakan Metode Quality Function Development. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A27-32). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengembangan Kurikulum Program Studi Teknik Industri dengan Menggunakan Metode Quality Function Development Ansarullah Lawi(1), Tonaas Kabul Wangkok Yohanis Marentek(2) (1) Program Studi Teknik Industri, Universitas Universal Kompleks Maha Vihara Duta Maitreya, Bukit Beruntung, Sungai Panas, Batam 29456, Indonesia (1)
[email protected] ABSTRAK Dinamika revolusi teknologi yang cukup pesat, seiring perubahan kebutuhan setiap perusahaan atau organisasi bisnis terkait skill tenaga kerja. Suatu fenomena yang banyak ditemui adalah meningkatnya ketimpangan lulusan Teknik Industri dalam memenuhi kualifikasi kebutuhan perusahaan saat ini. Dengan situasi seperti ini, perguruan tinggi sudah sewajibnya mengembangkan kualitas kurikulum dalam menghasilkan profil lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri modern. Quality Function Deployment (QFD) adalah salah satu teknik dari Total Quality Management (TQM) di mana dapat diaplikasikan dalam proses pengembangan dan rancangan perbaikan berkelanjutan. Studi ini menggunakan QFD sebagai tool untuk mengembangkan kualitas profil lulusan Teknik Industri pada perguruan tinggi di Batam. Data-data yang dikumpulkan adalah rangkuman kualifikasi skill kebutuhan perusahaan untuk lulusan Teknik Industri berdasarkan iklan lowongan, dan matakuliah bidang sejenis yang ditawarkan oleh perguruan tinggi di Batam. Kedua kumpulan data ini kemudian dihubungkan dengan matriks House of Quality (HOQ). Studi ini menghasilkan temuan di mana nilai tertinggi matakuliah yang memberi konstribusi banyak pada persyaratan kebutuhan pengguna lulusan adalah secara berturutturut; Sistem Informasi Manajemen (8,2%), Enterprise Resource Planning (8,0%), Manajemen Teknologi (6,5%), Sistem Pengendalian Kualitas (6,2%), dan Perancangan Sistem Industri (5,9%). Usulan menambah materi pada kurikulum karena terkait kebutuhan kompetensi profil lulusan, di mana dirasakan sangat penting oleh organisasi bisnis saat ini berturut-turut adalah; Familiar with Oracle, Good command in speaking & writing English, Knowledge on plastics & molding process technology, Familiar in application of ISO 9001, ISO 14001 & ISO 26000, dan Having knowledge of TPM. Rekomendasi pada peneitian ini selanjutnya menjadi masukan yang sangat berguna dalam penyusunan kurikulum saat ini pada Program Studi Teknik Industri Universitas Universal untuk menghasilkan profil lulusan yang sesuai dengan market signal kota Batam. Kata kunci— Kurikulum, Profil Lulusan, Quality Function Deployment, House of Quality
I. PENDAHULUAN Revolusi teknologi melahirkan banyak perubahan pada sosio-ekonomi, geopolitik dan demografis yang lebih luas, di mana masing-masing dimensi tersebut saling berinteraksi dan saling berketergantungan. Dengan perubahan-perubahan ini beberapa pekerjaan mengalami perubahan dari segi skill atau kompetensi yang dibutuhkan. Salah satu fenomena pada situasi ini dapat dilihat pada awal tahun 2016 yaitu sejak digulirkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di era MEA lulusan Perguruan Tinggi (PT) nasional dihadapkan situasi yang krusial dalam mengembangkan profil lulusan. Hal ini berkenan karena persaingan lulusan tidak hanya antar regional atau nasional saja, tetapi meluas ke negara-negara tetangga dalam memenuhi demand kualifikasi tenaga kerja pada organisasi bisnis di wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, banyak lulusan PT menganggur SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-27
Lawi, Marentek
karena adanya ketimpangan antara profil lulusan universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan perusahaan (Mikhael Gewati, 2016). Dengan kondisi seperti ini, PT sudah sewajibnya mengembangkan kualitas kurikulum dalam menghasilkan profil lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri modern. Profil lulusan program studi Teknik Industri memiliki potensi area kompetensi yang kompleks dibanding program studi lainnya. Lingkup program studi ini, sangat luas dengan mencakup mulai dari lini produksi teknis (mikro) sampai ke lini manajemen strategis (makro) mengintegrasikan manusia, material, peralatan dan energi. Dengan kata kunci efektivitas, efisien, dan produktivitas, Teknik Industri mulai merambah ke area baru terkait rancangan dan implementasi dari Sistem Informasi yang mendukung proses produksi (Shtub & Cohen, 2016). Dengan dinamika kompleksitas dan pengaruh dari revolusi teknologi, maka seperti program studi lainnya, Teknik Industri dalam mengembangkan penyusunan kurikulum mengacu pada jenjang kualifikasi KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) dan SNPT (Standar Nasional Perguruan Tinggi). Namun dalam menetapkan profil lulusan Teknik Industri, ada 3 (tiga) persyaratan wajib yang harus dipertimbangkan antara lain (Arifin & Rahmawati, 2012); (1) masukan dari asosiasi program studi (dalam hal ini, BKSTI (Badan Kerjasama Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri)), (2) menyesuaikan visi & misi institusi, dan (3) studi identifikasi keunggulan dan kearifan lokal yang memuat informasi mengenai kemampuan untuk menjawab persoalan dan tantangan yang berkembang atau muncul di daerah. Poin nomor 3 di atas merupakan tujuan dari penelitian ini di mana daerah yang menjadi sasarannya adalah kota Batam, provinsi Kepulauan Riau. Metode QFD (Quality function Development) kemudian digunakan untuk menerjemahkan skill yang dibutuhkan oleh organisasi bisnis di daerah ke dalam kualitas kurikulum yang tepat sasaran. Analisa ini dapat dijadikan nilai unggul atau value-added yang bisa ditawarkan oleh program studi sebuah PT, karena kurikulum dasar setiap program studi sejenis biasanya sama saja dengan yang lainnya (Sallis, 2014). Penelitian dengan metode QFD ini masih sangat minim digunakan dalam mengembangkan sistem pendidikan di PT. Dari jumlah yang minim tersebut, sebagian besar hanya menganalisa kualitas pelayanan pada proses pembelajaran. Suhendar & Suroto (2014) mengusulkan pengembangan pelayanan akademik universitas dengan memperhatikan urutan prioritas berdasarkan hasil pengolahan dan analisis QFD agar sesuai dengan harapan/keinginan mahasiswa. Demikian pula Nursyamsiah & Isti’adah (2008), dengan QFD, diberikan prioritas atribut proses pembelajaran yang perlu diperbaiki di lingkungan Universitas Islam Indonesia. Padahal dari hasil penelusuran peneliti, beberapa penelitian dari luar negeri telah menggunakan QFD untuk mengembangkan kualitas kurikulum yang tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan customer (pengguna lulusan). Salah satunya, Aytac & Deniz (2005) memberikan proposal kurikulum baru, yang disetujui untuk digunakan, pada Jurusan Tyre Technology, Kocaeli University Kosekoy Vocational School of Higher Education (KU-KVSHE) berdasarkan studi dengan metode QFD.
II. METODOLOGI QFD (Quality function Development) adalah suatu metode terstruktur dalam mendengarkan suara customer (pengguna) atau dikenal dengan VOC (Voice of Customer), dan mengoptimalkan rancangan, material dan proses guna memastikan harapan pengguna telah terpenuhi secara maksimal. Metode QFD tumbuh dari teknik TQM (Total Quality Management) atau manajemen mutu terpadu, yang kemudian dari istilah QFD tersebut timbul gagasan bahwa mutu berarti menghasilkan kepuasan pengguna dan tugas pengembangan mutu adalah memastikan produk tersebut tercipta sesuai dengan fungsinya (Nursyamsiah & Isti’adah, 2008). Salah satu komponen utama dari QFD adalah HOQ (House of Quality) atau rumah mutu. Disebut demikian karena kemiripan dari strukturnya yang berbentuk sebuah rumah. HOQ adalah suatu tool grafis yang digunakan untuk menentukan hubungan antara keinginan pengguna dan kapabilitas dari produk atau jasa. Hal ini dilakukan dengan menggunakan suatu matriks korelasi antara keinginan pengguna dengan bagaimana sebuah organisasi akan mencapai keinginan-keinginan tersebut (Chen, SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-28
Pengembangan Kurikulum Program Studi Teknik Industri Dengan Menggunakan Metode Quality Function Development
2007). HOQ kemudian memiliki beberapa sasaran yang diantaranya: (i) memenuhi persayaratan pengguna secara lebih efektif, (ii) meningkatkan kapabilitas dari organisasi, dan (iii) memaksimalkan tujuan dari organisasi. A. Prioritas kebutuhan dari pengguna lulusan vs karakteristik kualitas (matakuliah) Pada penelitian ini, stakeholder yang ditentukan adalah perusahaan-perusahaan yang membutuhkan lulusan Teknik Industri (pengguna lulusan) dan PT program studi Teknik Industri di regional kota Batam provinsi Kepulauan Riau. Kumpulan lowongan kerja pada iklan koran harian Batam Pos periode 2015-2017 dianggap sangat mewakili kebutuhan pengguna lulusan Teknik Industri di mana didapatkan sekitar 300 skill yang dibutuhkan oleh lebih dari 150 perusahaan manufaktur dan jasa. Semua kebutuhan tersebut kemudian dikumpulkan, dikategorikan, dan diurutkan rankingnya berdasarkan frekuensi permintaan pengguna lulusan dalam rentang 3 (tiga) tahun tersebut. Hasilnya dapat dijabarkan pada Tabel 5.1 di mana terdiri dari 21 item yang selanjutnya dijadikan input untuk membangun HOQ. Tabel 2.1 Kebutuhan utama user lulusan teknik Industri dan peringkatnya Rank of Importance Good command in speaking & writing English 1 Computer literate 2 Able to interpret and understand drawing 3 Understand ERP System 4 Familiar with statistical tools 5 Quality/Process Improvement, Failure invest. 6 Have a good leadership and team work 7 Having knowledge of TPM is desirable. 8 Good Understanding for manpower calculation 9 Familiar with Oracle 10 Familiar in MRP or SAP system 11 Basic knowledge to make procedure (SOP) 12 Knowledge on plastics & molding process technology 13 Ability in data analysis and good in reporting 14 Have a knowledge in electronics industry 15 Requirements
Knowledge of QMS & methods Ability to lead projects involving cross-functional teams
16 17
Strong oral/written communication & interpersonal skills Knowledge of supply chain practice Familiar in application of ISO 9001, ISO 14001 & ISO 26000 Have knowledge about Machining and maintenance
18 19 20 21
Peneliti tidak mempertimbangkan mahasiswa sebagai salah satu stakeholder dengan alasan bahwa meskipun mahasiswa mengikuti kurikulum yang ada, biasanya mereka tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kompetensi yang diinginkan dari studinya. Selain itu, mahasiswa belum mampu menilai kualitas kurikulum berdasarkan sudut pandang pengguna lulusan. PT program studi-lah yang idealnya memiliki kompetensi untuk mengevaluasi matakuliah yang akan diambil oleh mahasiswa. Setelah mendapatkan daftar prioritas kebutuhan skill lulusan Teknik Industri berdasarkan permintaan pengguna pada iklan lowongan kerja, berikutnya adalah menentukan karakteristik kualitas, dalam hal ini matakuliah yang diberikan oleh PT program studi Teknik Industri di Batam. Peneliti mempelajari kurikulum dan isinya dari 3 (tiga) PT di Batam yang memiliki program studi ini (Universitas Putera Batam, Universitas Riau Kepulauan, dan STT Ibnu Sina), mengelompokkan yang sejenis, dan memilih matakuliah yang mungkin mempengaruhi satu atau lebih persyaratan stakeholder atau kebutuhan prioritas dari pengguna. Matakuliah yang terpilih kemudian juga dijadikan input selanjutnya dalam membangun HOQ.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-29
Lawi, Marentek
B. Membangun Struktur House of Quality (HOQ) Atribut-atribut dari kebutuhan pengguna lulusan dihubungkan dengan karakteristik kualitas dari PT sehingga akan menghasilkan korelasi antara keinginan pengguna lulusan dengan karakteristik universitas dalam matrik hubungan, di mana selanjutnya akan ditemukan hubungan kuat, sedang, lemah, dan tidak memiliki hubungan. Setiap hubungan tersebut memiliki nilai bobot tersendiri. Apabila hubungan tersebut kuat maka nilai bobotnya 9, jika sedang nilai bobotnya 6, jika lemah nilai bobotnya 3, dan jika tidak mempunyai hubungan antara keduanya maka nilai bobotnya adalah 0 (kosong). Berhubung karena semua karakteristik mutu (matakuliah) mempunyai pengaruh positif satu sama lain, maka “atap” pada rumah mutu diabaikan. Pada ujung kanan rumah mutu di tambahkan evaluasi apakah untuk memenuhi kebutuhan pengguna lulusan perlu ditambahkan matakuliah baru atau penambahan SKS pada matakuliah yang sudah ada. Gambar 2.1 menampilkan detail rumah mutu atau HOQ yang dibangun. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan pada model matrik HOQ yang diterjemahkan dalam bentuk parameter teknik, sekitar 23% kurikulum prodi Teknik Industri di Batam perlu diperbaiki pada program rancangan berikutnya. Adapun pembahasan tentang hasil penerapan QFD pada Gambar 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut: Nilai tertinggi matakuliah yang memberi konstribusi banyak pada persyaratan kebutuhan pengguna lulusan Teknik Industri adalah secara berturut-turut; Sistem Informasi Manajemen (8,2%), Enterprise Resource Planning (8,0%), Manajemen Teknologi (6,5%), Sistem Pengendalian Kualitas (6,2%), dan Perancangan Sistem Industri (5,9%), Nilai terendah yang relevan dengan kebutuhan organisasi bisnis di Batam pada iklan lowongan kerja (jarang disebutkan) adalah secara berturut-turut sebagai berikut; Keselamatan dan Kesehatan Kerja (0,9%), Ekonomi Teknik(1,4%), Psikologi Industri (1,4%), Riset Operasi (1,5%), dan Manajemen Rantai Pasok (1,8%). Usulan menambah materi pada kurikulum (penambahan SKS atau matakuliah baru yang sejenis) karena terkait kebutuhan kompetensi profil lulusan, di mana dirasakan sangat penting oleh organisasi bisnis saat ini berturut-turut adalah sebagai berikut; Familiar with Oracle, Good command in speaking & writing english, Knowledge on plastics & molding process technology, Familiar in application of ISO 9001, ISO 14001 & ISO 26000, dan Having knowledge of TPM, Sedangkan materi yang dipertimbangkan sudah cukup atau bahkan over match pada kurikulum program studi Teknik Industri di Batam saat ini secara berturut-turut adalah sebagai berikut; Quality/Process Improvement, Failure investigation, Knowledge of QMS & methods, Ability in data analysis and good in reporting, Good Understanding for manpower calculation, dan Understand ERP System. IV. PENUTUP Metode QFD dapat digunakan untuk mengembangkan semua tingkatan aktivitas-aktivitas pendidikan di PT, mulai dari kualitas pelayanan, teknik pembelajaran, sampai pada perancangan kurikulum. Rekomendasi pada peneitian ini selanjutnya menjadi masukan yang sangat berguna dalam penyusunan kurikulum saat ini pada Program Studi Teknik Industri Universitas Universal untuk menghasilkan profil lulusan yang sesuai dengan market signal kota Batam.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-30
Pengembangan Kurikulum Program Studi Teknik Industri Dengan Menggunakan Metode Quality Function Development
Relationship matrices symbols
254 113 124 42.3 43.2 119 129 203 104 58.8 175 29.1 145 176 47.4 158 129 128 56.4 194 58.8 249 183 95.4 91.5 8.2% 3.6% 4.0% 1.4% 1.4% 3.8% 4.2% 6.5% 3.4% 1.9% 5.6% 0.9% 4.7% 5.7% 1.5% 5.1% 4.2% 4.1% 1.8% 6.2% 1.9% 8.0% 5.9% 3.1% 2.9%
1
15
13
24
23
14
11
3
16
19
7
25
9
6
22
8
10
12
21
4
19
Gambar 2.1 Penerapan QFD pada kajian kesesuaian kurikulum dan kebutuhan organisasi bisnis di Batam.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-31
2
5
17
18
New Courses Necessity? (Yes/No)
Ranking
25 Manajemen Proyek
24 Kepemimpinan
23 Perancangan Sistem Industri
22 Enterprise Resource Planning (ERP)
21 Perancangan dan Pengembangan Produk
20 Sistem Pengendalian Kualitas
19 Manajemen Rantai Pasok
18 Perancangan Tata Letak Fasilitas Pabrik
17 Perencanaan dan pengendalian produksi
16 Sistem Manufaktur
15 Riset Operasi
14 Manajemen Produksi dan Operasional
13 Proses Manufaktur
12 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
9 Statistika
8 Manajemen Teknologi
7 Otomasi Sistem Produksi
6 Bahasa Inggris
5 Psikologi Industri
4 Ekonomi Teknik
3 Gambar Teknik
12.6 12.5 12.4 10.6 8.6 7.9 5.2 3.9 3.7 3.5 2.9 2.8 2.3 1.9 1.9 1.1 1.0 1.0 1.0 0.9 0.6
Req. Fulfillment Index
Stakeholder Requirements Good command in speaking & writing english Computer literate Able to interpret and understand drawing Understand ERP System Familiar with statistical tools Quality/Process Improvement, Failure invest. Have a good leadership and team work Having knowledge of TPM Good Understanding for manpower calculation Familiar with Oracle Familiar in MRP or SAP system Basic knowledge to make procedure (SOP) Knowledge on plastics & molding process technology Ability in data analysis and good in reporting Have a knowledge in electronics industry Knowledge of QMS & methods Ability to lead projects involving cross-functional teams Strong oral/written communication & interpersonal skills Knowledge of supply chain practice Familiar in application of ISO 9001, ISO 14001 & ISO 26000 Have knowledge about Machining and maintenance Course Scores Relative Importance (%) Ranking
2 Matematika & Ilmu Alam
Stakeholders/User Needs
1 Sistem Informasi Manajemen
Relative Importance
Quality Characteristics (Courses)
11 Manajemen Sumber Daya Manusia
- 9 - 6 - 3
10 Ergonomi dan Perancangan Sistem Kerja
Strong Relationship : Medium Relationship : Weak Relationship :
9 27 24 36 33 87 33 18 48 3 24 33 12 57 33 72 33 30 36 15 36
Y N N N N N N Y N Y N N Y N N N N N N Y N
20 14 15 5 8 1 8 17 4 21 15 8 19 3 8 2 8 13 5 18 5
Lawi, Marentek
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Z., & Rahmawati, L. E, 2012, SNPT- and KKNI-Based Curriculum Organization. In The Progressive & Fun Education Seminar (pp. 212–219). Aytac, A., & Deniz, V, 2005, Quality Function Deployment in Education: A Curriculum Review. Quality & Quantity, 39, 507–514. https://doi.org/10.1007/s11135-004-6814-8. Chen, S, 2007, "Using Quality Function Deployment to Plan Curricula in Higher Education". Journal of Human Resource and Adult Learning, 3(December), 39–49. Mikhael, Gewati, 2016, Kenapa Lulusan Perguruan Tinggi Makin Susah Mendapat Pekerjaan? - Kompas.com. Retrieved December 10, 2016, http://edukasi.kompas.com/read/2016/04/23/17424071/Kenapa.Lulusan. Perguruan.Tinggi.Makin.Susah.Mendapat.Pekerjaan. Nursyamsiah, S., & Isti’adah, T. 2008. "Implementasi Metode Quality Function Deployment (QFD) Untuk Perbaikan Proses Pembelajaran di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia". Aplikasi Bisnis, 7(9), 1198–1217. Sallis, E, 2014, Total Quality Management in Education (Third Ed.). Routledge. Shtub, A., & Cohen, Y, 2016, Introduction to Industrial Engineering (2nd Ed.), CRC Press. Suhendar, E., & Suroto, 2014, Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Akademik Pada UB. Faktor Exacta, 7(4), 372–386.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-32
Petunjuk Sitasi: Ikhsan, A., & Yulherniwati. (2017). Analisis Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A33-38). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (1)
Aidil Ikhsan(1), Yulherniwati(2) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Bung Hatta (2) Jurusan Teknologi Informasi, Politeknik Negeri Padang (1)
[email protected] ABSTRAK Dengan diberlakukannya MEA 31 Desember 2015 maka kompetisi negara negara Asia menjadi terbuka. Untuk bisa mengambil kesempatan tersebut, kualitas sumber daya manusia sangat menentukan daya saing bangsa. Pendidikan tinggi sebagai pilar utama kualitas sumberdaya manusia belum mampu memberikan hasil yang diharapkan.Tujuan pendidikan tinggi belum tercapai, mutu pendidikan tinggi masih rendah dan pengingkatannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut UU no 12 2012 pasal 53 menyatakan bahwa: Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi terdiri atas : a) sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi; dan b) sistem penjaminan mutu eksternal (SPME) yang dilakukan melalui akreditasi. Untuk meningkatkan system penjaminan mutu dikembangkan empat alternative yang kemudian dipilih dengan menggunakan metoda multi dimensional scaling dengan enam criteria yaitu biaya, efektifitas, efek ganda dan ektsternalitas, hambatan, serta fisibilitas.. Hasil analisisi, terpilih alternative solusi yaitu kebijakan yang bersifat operasional (teknis / pelaksanaan) berkaitan dengan Lembaga Pelayanan Perguruan Tinggi. Kebijakan ini untuk mengatur tentang peran dan mekanisme pada Lembaga Pelayanan Perguruan Tinggi dalam membantu perguruan tinggi melaksanakan penjaminan mutu.. Kata kunci— Pendidikan Tinggi, Analisis kebijakan, penjaminan mutu, Multi Dimensi Scaling.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan diberlakukannya MEA 31 Desember 2015 maka kompetisi negara negara Asia menjadi terbuka. Untuk bisa mengambil kesempatan tersebut, kualitas sumber daya manusia kita akan sangat menentukan daya saing. Untuk menjamin kualitas pendidikan tinggi di indonesia telah diterbitkan Landasan peraturan UU no 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi khususnya pada Bab III. tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Setelah diberlakukan selama lima tahun, perlu kiranya dilakukan analisis lebih jauh tentang kebijakan apa yang perlu diambil agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Sampai saat ini peringkat perguruan tinggi di indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga di asia tenggara secara umum. Undang undang pendidikan tinggi Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, program profesi, program spesialis, dan program sub spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Adapun Tujuan Pendidikan Tinggi Menurut PP No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (PT), Pasal 2, adalah : 1). Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian; 2) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-33
Ikhsan, Yulherniwati
Mutu pendidikan tinggi adalah tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan standar pendidikan tinggi. Standar Pendidkan Tinggi terdiri atas Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang ditetapkan pemerintah dan Standar Pendidikan Tinggi yang ditetapkan perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Standar Nasional Pendidikan Tinggi merupakan Satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat. Standar Pendidikan Tinggi terdiri atas sejumlah standar dalam bidang akademik dan nonakademik yang melampaui Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Standar Nasional Pendidikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas : Standar isi; Standar proses; Standar kompetensi lulusan; Standar pendidik dan tenaga kependidikan; Standar sarana dan prasarana; Standar pengelolaan; Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, merupakan kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. Adapun tujuan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi telah diatur dalam UU no 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Bab III Penjaminan Mutu, yang terdiri dari beberapa bagian yaitu Sistem Penjaminan Mutu, Standar Pendidikan Tinggi, Akreditasi, Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi. B. Rumusan masalah Pendidikan tinggi belum memberikan hasil yang diharapkan, yaitu tujuan pendidikan tinggi belum tercapai, mutu pendidikan tinggi masih rendah dan tidak meningkat. Dapat disimpulkan bahwa penjaminan mutu pendidikan tidak berjalan dengan semestinya. Hal ini ditandai dengan : 1. Tingginya korupsi di Indonesia. Menurut survei Transparency International tahun 2012, Indonesia menempati urutan 118 dari 176 negara (diurutkan dari yang terbersih hingga terkorup). Dibandingkan dengan negara-negara di regional ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura (5), Brunei Darussalam (46), Malaysia (54) dan Thailand (88). Indonesia hanya lebih baik bila dibandingkan dengan Vietnam (123), Laos (160) dan Myanmar (172) (http://cpi.transparency.org). 2. Peringkat perguruan tinggi Indonesia di dunia tidak meningkat, Pada pemeringkatan THE dan SJT tidak terdapat perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam top 500. Pada QS WUR tahun 2015 terdapat 9 (sembilan) perguruan tinggi Indonesia dalam top 800. (laporan tahunan 2015 Kemen RISTEK dan DIKTI) 3. Hasil akreditasi PT belum banyak yang mendapat nilai A. Di tahun 2013 dari hasil akreditasi institusi oleh BAN-PT terhadap 30 perguruan tinggi dihasilkan sebanyak 8 perguruan tinggi dengan nilai A (yaitu ITB, UI, IPB, UII, UGM, UMY, UMM, Unhas), 10 perguruan tinggi dengan nilai B, 2 perguruan tinggi dengan nilai C. Usaha untuk memecahkan masalah tersebut sudah tertuang dalam sejumlah kebijakan sebelumnya hingga yang berlaku sampai sekarang, yaitu : 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008 menyatakan pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Hasilnya : kebijakan ini belum dilaksanakan sepenuhnya. 2. Dilaksanakannya sistem penjaminan mutu yang terdiri dari Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) melalui Akreditasi, dan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) (sebelumnya EPSBED), berdasarkan PP no 63. Tahun 2009 dan UU no 12 tahun 2012. Hasilnya : a) Sistem Penjaminan Mutu Internal belum memperlihatkan korelasi positif dengan mutu pendidikan tinggi atau nilai akreditasi SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-34
Analisis Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
3.
yang diperoleh. b) Tidak adanya tindak lanjut untuk meningkatkan nilai akreditasi / Nilai akreditasi yang diperoleh cendrung tidak meningkat. Adanya bantuan pemerintah kepada perguruan tinggi dalam melaksanakan penjaminan mutu yang didasarkan pada PP no 19 2005 pasal 92 ayat 1 : “Menteri Pendidikan Nasional mensupervisi dan membantu perguruan tinggi melaksanakan penjaminan mutu”. Bantuan ini berupa : a. Penerbitan Buku Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu (Tahun 2008) mengenai pedoman penjaminan mutu pendidikan tinggi yang dilakukan oleh dan atas inisiatif perguruan tinggi masing-masing, Penerbitan Buku Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT) (Tahun 2010) yang merupakan revisi dari buku sebelumnya, yang mencakup SPMI, SPME, PDPT. Hasilnya : masih banyak perguruan tinggi yang tidak menjalankan secara komprehensif. b. Sudah adanya aturan dalam UU no 12 Tahun 2012 yaitu Bab III Penjaminan Mutu, Bagian Kelima tentang pembentukan Lembaga Layanan Pendidikan di wilayah yang membantu penjaminan mutu. Hasilnya : belum terlihat implementasinya, karena belum ada kebijakan yang sifatnya lebih mendukung operasional dan teknis pelaksanaan.
Kebijakan yang sudah ada sebenarnya sudah memberikan arah dan dasar yang baik bagi penjaminan mutu pendidikan tinggi, namun implementasi dari kebijakan-kebijakan di atas pada kenyataannya tidak efektif meningkatkan mutu, sehingga perlu diperkuat dan dilengkapi. C. Maksud dan Tujuan 1) Maksud Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah disajikan di atas, masalah yang dianalisis adalah pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan tinggi berdasarkan Bab III UU no 12 tahun 2012 belum efektif, sehingga tujuan pendidikan tinggi belum tercapai. 2) Tujuan Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan kebijakan dalam penjaminan mutu pendidikan tinggi agar menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan tinggi. Ukuran efektifitas kebijakan ini dapat dilihat dari : (1) meningkatnya peringkat perguruan tinggi Indonesia di dunia; dan (2) meningkatnya nilai akreditasi. 3) Ruang lingkup Pemangku kepentingan utama yang mempengaruhi secara signifikan pelaksanaan Penjaminan Mutu PendidikanTinggi Dalam UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi adalah (1) Perguruan Tinggi, (2) Masyarakat (3) Pemerintah. Potensi solusi dalam analisis ini adalah setiap upaya untuk meningkatkan efektifitas penjaminan mutu berdasarkan UU no 12 tahun 2012 yang memperhitungkan lamanya proses implementasi, biaya implementasi dan tingkat efektifitasnya.
II. METODOLOGI Dalam analisis kebijakan ini, pendekatan analisis yang digunakan adalah pendekatan valuatif dan normatif. Pendekatan valuatif ditekankan pada pertanyaan “Apakah manfaat dari kebijakan yang ada?” sehingga dihasilkan informasi yang evaluatif tentang kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi yang sudah dan sedang dijalankan. Sedangkan pendekatan normatif ditekankan pada pertanyaan “Apakah yang harus diperbuat?” sehingga dihasilkan suatu rekomendasi tindakan berkaitan dengan kebijakan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Analisis kebijakan yang dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu 1) perumusan masalah, 2) peramalan masa depan kebijakan dan 3) rekomendasi kebijakan. Tahap perumusan masalah dilakukan dengan pendekatan Synecties yaitu mengenalkan kesamaan antarmasalah, dipadukan dengan Brainstorming untuk menghasilkan generalisasi ide. Tahap peramalan masa depan kebijakan yang dilakukan merupakan peramalan ekstrapolasi, dimana ramalan didasarkan pada ekstrapolasi hari ini ke masa depan, menghasilkan suatu proyeksi. Tahap rekomendasi kebijakan SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-35
Ikhsan, Yulherniwati
menggunakan analisis cost-effectiveness. Rasionalitas yang mendasari pilihan kebijakan adalah rasionalitas substantif, yaitu kombinasi dari pilihan efektif, pilihan efisiensi dan pilihan akseptabilitas. Potensi solusi yang dadapatkan dari proyeksi dalam analisis ini adalah setiap upaya untuk meningkatkan efektifitas kebijakan penjaminan mutu berdasarkan UU no 12 tahun 2012 yang memperhitungkan lamanya proses implementasi, biaya implementasi dan tingkat efektifitasnya. 4 (empat) alternatif kebijakan yang akan dievaluasi untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut : 1. Kebijakan untuk menskenariokan semua SDM di perguruan tinggi (dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa) untuk peduli mutu, misalnya: Sosialisasi secara berkelanjutan dengan mengeksplorasi kemungkinan penggunaan berbagai sarana sosialisasi yang tersedia. Semua pejabat struktural harus mendapatkan pelatihan penjaminan mutu di awal masa jabatan ataupun secara rutin Pencanangan bulan mutu Pembuatan slogan yang dirumuskan secara singkat dengan bahasa sederhana, tetapi tepat sasaran untuk memotivasi semua dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa agar bekerja sesuai dengan standar. Penetapan sistem rewards and punishment dalam rangka implementasi SPMI kepada semua unit kerja dan semua SDM. 2. Kebijakan tentang peningkatan mutu SDM pelaksana SPMI di perguruan Tinggi, dengan cara : Memberikan pelatihan SDM sehingga menghasilkan SDM yang akhirnya betul-betul menguasai dan mampu mengeksekusi hingga terbentuk gugus kendali di beberapa orang. Hendaknya tercipta SDM professional yang mempunyai sertifikat kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi penjaminan mutu. Memberikan kompensasi yang sesuai, sehingga SDM pada SPMI tidak lagi mengejar jabatan eksekutif, karena jabatan di bidang SPMI juga sudah merupakan jenjang karir dan posisinya strategis dalam Perguruan Tinggi. 3. Kebijakan tentang bantuan dan pendampingan kepada perguruan tinggi untuk meningkatkan hasil akreditasinya. Pembinaan dapat berupa bantuan dan pendampingan dapat dilakukan oleh pemerintah, atau oleh perguruan tinggi yang nilai akreditasinya lebih tinggi kepada perguruan tinggi yang nilai akreditasinya lebih rendah. 4. Membuat kebijakan yang bersifat operasional (teknis / pelaksanaan) berkaitan dengan Lembaga Pelayanan Perguruan Tinggi. Kebijakan ini untuk mengatur tentang peran dan mekanisme pada Lembaga Pelayanan Perguruan Tinggi dalam membantu perguruan tinggi melaksanakan penjaminan mutu.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Perbandingan alternatif dilakukan berdasarkan biaya, efektifitas, efek ganda dan ektsternalitas, hambatan, serta fisibilitas. Nilai perbandingan merupakan nilai relatif terhadaf alternatif yang lain. Deskripsi dan hasil perbandingan dapat dlihat pada tabel 1.
Keterangan : 1 = Sangat Rendah/Kecil, 2 = Rendah/Kecil, 3 = Sedang, 4 = Tinggi/Besar, 5 = Sangat Tinggi/Besar
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-36
Analisis Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Tabel 1 Nilai perbandingan Alternati f 1 2 3 4
Hemat Biaya 3.2 3.8 3.1 4.9
Efektifita s 4.7 3.2 3.8 4.9
Efek ganda
Eksternalitas
4.6 2.9 4.2 4.8
4.8 3.3 3.9 4.8
Sedikitnya Hambatan 3.2 4.8 3.9 4.8
Fisibilitas 3.3 3.9 4.3 4.9
Tota l 23.8 21.9 23.2 29.1
B. Pembahasan 1) Alternatif 1 Biaya sangat besar karena melibatkan berbagai pihak dan strategi. Waktu lebih lama. Efektifitas sangat besar karena bila sudah tumbuh budaya peduli mutu, semua pihak menyadari pentingnya mutu dan memahami bagaimana mekanisme agar pendidikan menghasilkan mutu yang baik, maka penjaminan mutu akan dilakukan secara bersama-sama tanpa paksaan pihak lain, dan semua pihak dapat saling membantu dan saling mengingatkan. Hambatan sangat besar dan fisibilitas lebih rendah dibandingkan alternatif yang lain karena berkaitan dengan upaya merubah budaya, maka kemungkinan ada penolakan-penolakan. Menumbuhkan kesadaran mutu butuh waktu dan upaya yang tidak sedikit dan keterlibatan banyak pihak. Efek ganda sangat besar karena budaya peduli mutu sangat berperan meningkatkan moral, produktifitas, kinerja. Ketika suatu budaya mutu sudah tumbuh, maka manfaat beruntun di berbagai aspek kehidupan akan didapatkan. Eksternalitas besar karena dapat meningkatkan daya saing SDM Indonesia di dunia. 2) Alternatif 2 Biaya besar. Waktu lebih singkat dari alternatif 1. Fisibilitas lebih tinggi dari alternatif 1 karena pihak yang terlibat lebih terbatas. Efektifitas sedang, karena baru mencakup SDM pelaksana di lembaga penjaminan mutu perguruan tinggi, tetapi masih belum mencakup pihak eksekutif dan SDM perguruan tinggi lainnya. Jika sejumlah pelaksana SPMI di setiap perguruan tinggi sudah menguasai dan dapat menjalankan SPMI dengan baik, maka dapat berfungsi sebagai gugus kendali. Dengan demikian SPMI diharapkan akan berjalan dengan semestinya dengan basis SDM lembaga penjaminan mutu perguruan tinggi yang kuat. Hambatan paling rendah dbandingkan alternatif yang lain karena lingkup tidak besar dan jumlah pihak yang terlibat tidak banyak. Efek ganda sedang, karena pelatihan lebih berdampak langsung kepada staf yang dilatih, dan tidak berdampak secara langsung kepada yang lain. Eksternalitas sedang, sejalan dengan efektifitas dan efek ganda yang sudah dijelaskan sebelumnya. 3) Alternatif 3 Biaya sangat besar. Waktu hampir sama dengan alternatif 2. Fisibilitas hampir sama dengan alternatif 2. Efektifitas lebih besar dari alternatif 2, karena interaktifitas dan diskusi dalam program bantuan dan pendampingan tentunya lebih intens. Pelaksanaan secara langsung dibantu dan didampingi sehingga diharapkan hasil akreditasi dapat ditingkatkan dengan upaya yang lebih terarah, lebih memaksimalkan potensi dan mengatasi kelemahan yang ada, dan mendapat transfer pengetahuan serta masukan yang konkret tentang praktik baik untuk mencapai standar yang ditentukan. Hambatan lebih besar dari alernatif 2. Hambatan dapat berasal dari komitmen pihakpihak yang terlibat. Efek ganda dan Eksternalitas lebih besar dari alternatif 2. 4) Alternatif 4 : Biaya sedang, karena di dalam lembaga sudah ada biaya rutin ditambah insentif-insentif. Waktu lebih singkat dari alternatif 1, namun bisa jadi lebih lama dari alternatif 2 dan 3 mengingat persiapan yang lebih menyeluruh. Fisibilitas paling tinggi, karena sifatnya kokoh, melembaga, diatur pemerintah dalam UU dan produk hukum lainnya sehingga lebih dapat dipatuhi dan diterima perguruan tinggi. Efektifitas besar, karena dapat menjadi solusi yang lebih komprehensif (dengan terpadunya pelatihan, bantuan dan pendampingan serta adanya akses ke PDPT). Hambatan paling kecil dibandingkan alternatif lain. Hambatan dapat berupa kurang seriusnya SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-37
Ikhsan, Yulherniwati
perguruan tinggi yang dibina, dan kemungkinan ada kesulitan mendapatkan staf profesional dan berkompeten di bidang penjaminan mutu perguruan tinggi, dalam jumlah yang cukup di wilayah tertentu. Efek ganda dan Eksternalitas sama besar dengan alternatif 1.
IV. PENUTUP Alternatif yang dipilih sebagai rekomendasi kebijakan adalah Alternatif 4, yaitu membuat kebijakan yang sifatnya operasional tentang pemberdayaan Lembaga Pelayanan Perguruan Tinggi sebagai perwakilan pemerintah di wilayah untuk membantu perguruan tinggi dalam melaksanakan penjaminan mutu. Alternatif ini dipilih karena berdasarkan kriteria-kriteria evaluasi, alternatif ini mendapatkan skor tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa fisibilitas, efektifitas, efek ganda dan eksternalitasnya termasuk yang paling tinggi, biaya dan hambatannya termasuk yang paling rendah.
DAFTAR PUSTAKA Dunn, William N, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. http://www. Lintasgayo.com. Dikti Sosialisasi Undang-Undang Baru di ISI Padangpanjang. http://kampus.okezone.com/read/2013/09/09/373/863131/large http://cpi.transparency.org/cpi2012/ Laporan Tahunan Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi , 2015 Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi , Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,Direktorat Jender al Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Penjaminan Mutu 2016 Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Repulik Indonesia Nomor 13 tahun 2015 Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT). Kementrian Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Tinggi. 2010. Tentang Rencana Strategis Kementerian Riset , Teknologi dan Pendidikan Tinggi Tehun 2015-2019 . UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Republik Indonesia. 2012.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-38
Petunjuk Sitasi: Arijanto, S., Ramadhan, F., & Fitriawanti, R. (2017). Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri ITENAS. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. A39-45). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri ITENAS Sugih Arijanto(1), Fadillah Ramadhan(2), Rian Fitriawanti(3) (1), (2), (3) ITENAS (1) (2)
[email protected],
[email protected], (3)
[email protected] ABSTRAK Makalah ini membahas tentang perancangan sistem perangkat lunak dalam sistem pendukung keputusan untuk mengembangkan sistem analisis pengukuran kinerja perkuliahan di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Nasional. Sistem analisis ini dirancang untuk melakukan proses evaluasi terhadap mata kuliah yang kinerjanya berada di bawah standar (IP mata kuliah kecil dan tingkat ketidaklulusan tinggi). Salah satu dugaan penyebab mata kuliah berada di bawah standar dengan melihat hubungan dari hasil kuesioner pembelajaran, jadwal perkuliahan, dan faktor lain sebagainya dengan menggunakan metode regresi dan korelasi. Perangkat lunak yang dihasilkan dalam penelitian ini kemudian diaplikasikan untuk mengevaluasi kinerja perkuliahan TI Itenas periode 2014-2016. Perangkat lunak ini menghasilkan indikator-indikator utama kinerja perkuliahan seperti rata-rata IP mahasiswa dan IP matakuliah; hasil penyebaran kuesioner kinerja perkuliahan; kehadiran dosen – mahasiswa dan sebagainya.Perangkat lunak ini dapat memberikan informasi mata kuliah dan dosen yang kinerjanya terendah agar dapat ditindaklanjuti oleh pimpinan jurusan. Kata kunci— Perangkat Lunak, Kinerja Perkuliahan, Evaluasi Kinerja Dosen, Evaluasi Sistem Perkuliahan
I. PENDAHULUAN Prestasi akademik yang diperoleh alumni Jurusan TI-Itenas ini rata-rata cukup baik. Meskipun prestasi akademik yang diperoleh alumni TI-Itenas cukup baik hal ini seringkali mengakibatkan waktu studi yang lama karena banyaknya mata kuliah yang diambil kembali atau mata kuliah yang diulang. Idealnya prestasi akademik yang diperoleh memberikan nilai IPK yang besar dengan waktu studi yang cepat pula. Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian pada kinerja perkuliahan yang ada di Jurusan TI-Itenas seperti pada mata kuliah-mata kuliah yang memiliki prestasi akademik kurang dari standar indikator audit internal mutu akademik (prestasi IPK mata kuliah < 2,75) sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk dijadikan peringatan dini serta pendukung keputusan pada mata kuliah-mata kuliah tersebut. Tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah menghasilkan sistem analisis pengukuran kinerja perkuliahan Jurusan TI-Itenas. Sistem analisis pengukuran kinerja ini didukung dengan proses evaluasi terhadap mata kuliah-mata kuliah yang kinerjanya di bawah standar, sistem ini diharapkan dapat diterapkan pada tahun akademik 2017/2018 di Jurusan TI-Itenas dan jika berhasil akan diterapkan di Itenas Bandung diawali dengan best practice sharing.
II. ISI MAKALAH Langkah-langkah untuk mencapai tujuan akhir penelitan dapat dilihat pada Gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-39
Arijanto, Ramadhan, dan Fitriawanti
Mulai
Identifikasi Masalah
Studi Literatur
Identifikasi Tools Pengukuran Kinerja Perkuliahan
Pengumpulan Data -Data Umum TI-Itenas -Data-data Akademik (Data Nilai tiap Mata Kuliah, Data Monev Akademik, Data Mahasiswa tiap Kelas) -Data Hasil Kuesioner Pembelajaran -Laporan Kegiatan Pengampuan
Pengolahan Data
Langkah Perancangan Sistem - Perancangan Basic Data -Perancangan Interface
Implementasi Sistem
Analisis
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Gambar 1 Metodologi Penelitian
A. Pengumpulan Data Sub bab pengumpulan data ini didalamnya berisikan data-data yang dibutuhkan pada penelitian ini seperti data umum TI-Itenas, data-data akademik seperti data nilai tiap mata kuliah; data monev akademik; data mahasiswa tiap kelas, data hasil kuesioner pembelajaran, dan laporan kegi atan pengampuan. B. Pengolahan Data Sub bab pengolahan data ini berisikan pengolahan terhadap beberapa data dengan menggunakan metode regresi dan korelasi. 1) Uji Korelasi dan Regresi Linear Sederhana Teknik korelasi dan regresi ini digunakan pada data hasil kuesioner pembelajaran terhadap IPK mata kuliah per kelas dari periode ganjil 2015/2016 hingga periode ganjil 2016/2017. Tabel berikut ini merupakan rekapitulasi korelasi dan regresi linear sederhana kuesioner pembelajaran terhadap IPK kelas, dan dapat dilihat pada Tabel 1. C. Perancangan Sistem Sub bab perancangan sistem ini didalamnya berisikan usulan prosedur perancangan sistem analisis, perancangan basic data (database) yang berisikan data flow diagram, kamus data, normalisasi data, entity relationship diagram, dan perancangan user interface sistem yang berisikan perancangan input dan output dari sistem. Usulan prosedur perancangan sistem ini menjelaskan bagaimana usulan prosedur dalam menganalisis pengukuran kinerja perkuliahan dengan menentukan pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Gambar berikut ini merupakan usulan prosedur sistem analisis pengukuran kinerja perkuliahan, dan dapat dilihat pada Gambar 2.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-40
Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri Itenas
Tabel 1. Rekapitulasi Korelasi dan Regresi Linear Sederhana Kuesioner Pembelajaran terhadap IPK Kelas Tahun Ajaran 2015/2016 Semester Ganjil No X Y r R2 Keterangan Persamaan Ytopi 1 Kehadiran Dosen IPK Kelas 0,171 0,029 Sangat Lemah Ytopi = 2,909 – 0,216Xi 2 Frekuensi Tugas IPK Kelas 0,007 0,000 Sangat Lemah Ytopi = 2,147 + 0,009Xi 3 Umpan Balik IPK Kelas 0,260 0,068 Lemah Ytopi = 0,667 + 0,435Xi 4 Melibatkan Mahasiswa IPK Kelas 0,048 0,002 Sangat Lemah Ytopi = 1,901 + 0,080Xi 5 Motivasi IPK Kelas 0,035 0,001 Sangat Lemah Ytopi = 1,975 + 0,060Xi 6 Materi IPK Kelas 0,008 0,000 Sangat Lemah Ytopi = 2,133 + 0,013Xi 7 Efektifitas IPK Kelas 0,292 0,085 Lemah Ytopi = 0,900 + 0,391Xi Tahun Ajaran 2015/2016 Semester Genap Noo X Y R R2 Keterangan Persamaan Ytopi 1 Kehadiran Dosen IPK Kelas 0,314 0,099 Lemah Ytopi = 0,608 + 0,566Xi 2 Frekuensi Tugas IPK Kelas 0,205 0,042 Lemah Ytopi = 1,615 + 0,275Xi 3 Umpan Balik IPK Kelas 0,436 0,190 Sedang Ytopi = 0,531 + 0,588Xi 4 Melibatkan Mahasiswa IPK Kelas 0,340 0,115 Lemah Ytopi = 0,720 + 0,535Xi 5 Motivasi IPK Kelas 0,370 0,137 Lemah Ytopi = 0,437 + 0,635Xi 6 Materi IPK Kelas 0,306 0,094 Lemah Ytopi = 0,933 + 0,492Xi 7 Efektifitas IPK Kelas 0,561 0,315 Sedang Ytopi = -0,135 + 0,830Xi Tahun Ajaran 2016/2017 Semester Ganjil No X Y r R2 Keterangan Persamaan Ytopi 1 Kehadiran Dosen IPK Kelas 0,047 0,002 Sangat Lemah Ytopi = 1,846 + 0,096Xi 2 Frekuensi Tugas IPK Kelas 0,202 0,041 Lemah Ytopi = 1,294 + 0,272Xi 3 Umpan Balik IPK Kelas 0,043 0,002 Sangat Lemah Ytopi = 2,400 - L0,070Xi 4 Melibatkan Mahasiswa IPK Kelas 0,002 0,000 Sangat Lemah Ytopi = 2,157 + 0,003Xi 5 Motivasi IPK Kelas 0,126 0,016 Sangat Lemah Ytopi = 1,533 + 0,195Xi 6 Materi IPK Kelas 0,158 0,025 Sangat Lemah Ytopi = 1,390 + 0,241Xi 7 Efektifitas IPK Kelas 0,239 0,057 Lemah Ytopi = 0,885 + 0,402Xi
1) Data Flow Diagram Data flow diagram (DFD) atau diagram alir data ini merupakan suatu diagram yang menggambarkan hubungan keseluruhan pada suatu sistem. Levelisasi DFD terdiri dari beberapa level mulai dari level 0 hingga level seterusnya. Setiap level DFD dapat memberikan informasi gambaran diagram yang berbeda mulai dari informasi secara keseluruhan hingga dapat memberikan informasi yang detail. Gambar berikut ini merupakan DFD (level 1) pada sistem analisis pengukuran kinerja perkuliahan, dan dapat dilihat pada Gambar 3. Prosedur Sistem Analisis Pengukuran Kinerja Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri ITENAS
Administrasi Jurusan
Lembaga Penjaminan Mutu
Kuesioner Pembelajaran
Mulai
Laporan Kegiatan Pengampuan
Unit Pelaksana Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi
Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan
Data Audit Internal Mutu Akademik
Nilai Mata Kuliah
Data Mahasiswa
Nilai Mata Kuliah
Ketua Program Studi
Data Monev Impassing
Rekap Keseluruhan Data
Informasi Sistem
Analisis
Selesai
Gambar 2 Usulan Prosedur Sistem Analisis Pengukuran Kinerja Perkuliahan SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-41
Arijanto, Ramadhan, dan Fitriawanti
File Data Analisis Dosen
2.P Sistem Penilaian Kinerja Dosen
Sistem Peringatan Dini Mata Kuliah
D1
Ketua Program Studi Informasi Data Analisis Mahasiswa
File Data Analisis
4.P
Unit Pelaksana Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi
Informasi Data Analisis Dosen
Administrasi Jurusan
Jumlah Pelanggaran Praktikum
Data Analisis Dosen
Kehadiran Perkuliahan
Data Analisis Mata Kuliah Data Analisis Mata Kuliah
D4
D2
Fasilitas Pembelajaran Tahun Buku Referensi Kesesuaian Materi
Administrasi Jurusan
3.P
Data Analisis
File Data Analisis
File Data Analisis Mahasiswa
D3
Data Analisis Mahasiswa
Informasi Data Analisis Mata Kuliah
File Data Analisis
File Data Analisis
Sistem Peringatan Dini Mahasiswa
Ketua Program Studi
Informasi Data Analisis
1.P
Laporan Kegiatan Pengampuan
Administrasi Jurusan
Sistem Analisis Data Nilai Mata Kuliah
Kuesioner Pembelajaran
Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan
Data AIMA Data Mahasiswa Data Monev
Unit Pelaksana Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi
Lembaga Penjaminan Mutu
Gambar 3 DFD (Level 1) Sistem Analisis Pengukuran Kinerja Perkuliahan
Keterangan : perancangan sistem analisis pengukuran kinerja perkulihan hanya dilakukan pada proses sistem analisis data (1.P). D. Implementasi Sistem Gambar tampilan sistem dapat dilihat pada Gambar 4-8.
Gambar 4 Tampilan Pengukuran Kinerja Perkuliahan TI-Itenas
Gambar 5 Tampilan Informasi IPK Mata Kuliah
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-42
Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri Itenas
Gambar 6 Tampilan Analisis Data (Kehadiran)
Gambar 7 Tampilan Analisis Data
Gambar 8 Tools Academic Performance
1) Analisis Pengukuran Kinerja Perkuliahan Analisis pengukuran kinerja perkuliahan Jurusan TI-Itenas ini berisikan gambaran usulan yang dapat dilakukan untuk menganalisis pengukuran kinerja perkuliahan Jurusan TI-Itenas. Analisis pengukuran kinerja ini terbagi menjadi 2 yaitu analisis yang dapat dilakukan oleh program (berada diluar kotak garis putus-putus berwarna biru) serta analisis yang tidak dapat dilakukan oleh program (berada didalam kotak garis putus-putus berwarna biru). Gambar berikut ini merupakan usulan proses analisis pengukuran kinerja perkuliahan jurusan TI-Itenas, dan dapat dilihat pada Gambar 9.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-43
Arijanto, Ramadhan, dan Fitriawanti
Mulai
b
c
Kehadiran Dosen < 90%
Terdapat Mahasiswa Mengulang
Data-data yang dibutuhkan
IPK MK Rata-rata < 2,75
Tidak
Ya
Ya
a
Sistem Pembelajaran Perlakuan Khusus
Cek Hasil Kuesioner Pembelajaran dan Laporan Kegiatan Pengampuan Ya
Tidak
Tidak
Kehadiran Dosen < standar
MK dengan IPK < standar
Kesesuian Soal Ujian dengan Materi Pembelajaran
Tidak
Kehadiran Mahasiswa di Kelas < 80%
IPK MK per Kelas < Rata-rata IPK MK
Sesuaikan Soal Ujian dengan Materi Pembelajaran
Ya Ya
Ya
Kehadiran Mahasiswa < standar
Soal Ujian Layak di Ujikan
Tidak
Sistem Penilaian Sudah Sesuai Standar
Tidak
Kehadiran Asisten < 90%
Ya
Tidak
% Distribusi Kelulusan Nilai Akhir Rata-rata dan Standar Deviasi Nilai MK Data Mahasiswa per Kelas
Penilaian Mata Kuliah Standarkan
RKPSS/RPS Memenuhi Kaidah Penyusunan RPS (Ada Target Capaian Pembelajaran)
Ya
Tidak
Kehadiran Asisten < standar Tidak
Evaluasi RKPSS
Ya
Cek Hasil Kriteria Kuesioner Pembelajaran
Ya RKPSS Layak
Kehadiran Mahasiswa di Responsi < 80% untuk Tingkat X dan < 60% untuk Tingkat X-1, … , X-n
For I = 1 to 7
Sistem Pendukung Keputusan a
Nilai kriteria < 3
Ya
Selesai
Kehadiran Mahasiswa < standar
Ya
Tidak
Kriteria Kuesioner < standar
Tidak
c
Next I
b
Gambar 9 Usulan Analisis Pengukuran Kinerja Perkuliahan
IV. PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1) Sistem perangkat lunak yang dapat menganalisis pengukuran kinerja perkuliahan Jurusan TI-Itenas dan didukung analisis mata kuliah yang berada di bawah standar. 2) Faktor yang mempengaruhi kinerja mata kuliah seperti kehadiran dosen dan mahasiswa, jumlah komponen penilaian, hasil kuesioner pembelajaran, dan lain sebagainya. 3) Tidak adanya hubungan antara hasil kuesioner pembelajaran terhadap IPK kelas. 4) Tidak adanya hubungan antara jadwal perkuliahan terhadap IPK kelas. B. Saran Saran yang dapat diberikan adalah: 1) Sistem pengarsipan (foldering) di Jurusan TI-Itenas harus diperbaiki karena sistem pemfolderan yang ada saat ini belum tertata atau tersimpan rapih sesuai dengan yang seharusnya. 2) Kuesioner pembelajaran harus diperbaiki (konten, metode pengisian, jumlah sampel, dan lain sebagainya). 3) Jurusan TI-Itenas harus mempunyai alat bantu untuk mengecek soal ujian yang diberikan sudah sesuai dengan materi yang telah diajarkan. 4) Sistem informasi terintegrasi dimana data yang dibutuhkan dapat langsung terhubung pada sistem sehingga tidak diperlukan proses pencarian, pengambilan, peng-input-an secara manual. 5) Sistem dapat memberikan informasi mengenai data IPK lulusan Itenas beserta lama studi perkuliahan mahasiswa.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-44
Perangkat Lunak Evaluasi Hasil Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri Itenas
DAFTAR PUSTAKA Hasan, M.I., 2002, Pokok-pokok Materi Statistika 1 (Statistik Deskriptif), Edisi Kedua, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Riduwan, 2012, Dasar-dasar Statistika, Cetakan kesepuluh, Bandung: Alfabeta. Fitriawanti, R., 2017, Pengembangan Sistem Analisis Pengukuran Kinerja Perkuliahan di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Nasional. Tugas Akhir, Itenas Siegel, S., 1986, Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial, Terjemahan, Jakarta : PT.Gramedia. Sprent, P., 1991, Metode Statistik Nonparametrik Terapan, UNIVERSITAS INDONESIA, Jakarta. Sugiyono, 2007, Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur Dalam Penelitian (Dilengkapi Aplikasi Program SPSS), Bandung: CV Pustaka Setia. Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta. Sugiyono, 2014, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods), Bandung: Alfabeta. Tavi, S., 2010, Statistik Non Parametrik, Medan: USU Press. Turban, E., 1995, Decision Support System and Expert System. United State: Prentice Hall Internasional.
SNTI dan SATELIT, 4 – 6 Oktober 2017, Batu A-45
Petunjuk Sitasi: Dharmastiti, R., & Fainusa, A. F. (2017). Pengaruh Jenis Musik dan Volume Suara terhadap Situational Awareness Pengemudi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B1-7). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengaruh Jenis Musik dan Volume Suara terhadap Situational Awareness Pengemudi (1), (2)
Rini Dharmastiti(1), Akmal Fatah Fainusa(2) Departemen Teknik Mesin dan Industi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika 2 Yogyakarta 55281 (1)
[email protected] ABSTRAK
Mendengarkan musik sambil mengendarai mobil merupakan aktivitas yang sudah umum dilakukan. Jenis musik yang didengar dan besarnya volume suara musik tersebut dapat memberikan pengaruh kepada pengemudi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis musik dan tingkat volume suara terhadap situational awareness pengemudi. Penelitian ini menggunakan responden sebanyak 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan yang sudah mempunyai pengalaman mengemudi dan mempunyai SIM A, lebih dari satu tahun. City Car Driving Simulator digunakan sebagai alat untuk mensimulasikan kondisi mengemudi. Jenis musik yang digunakan dalam penelitian ini adalah musik klasik dan musik rock. Variasi tingkat voulume suara yang digunakan yaitu pada tingkat 55-65 dBA dan 75-80 dBA. Penilaian situational awareness dilakukan dengan menggunakan kuesioner SAGAT (Situational Awareness Globat Assessment Technique). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada nilai situational awareness tingkat satu dan tingkat dua, faktor yang berpengaruh secara signifikan adalah jenis musik, sedangkan perbedaan tingkat volume suara dan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Pada nilai situational awareness tingkat tiga, baik faktor jenis musik, perbedaan tingkat volume suara dan jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Selanjutnya pada nilai situational awareness keseluruhan diketahui bahwa faktor jenis musik merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan. Kata kunci— Jenis musik, tingkat suara musik, situational awareness.
I. PENDAHULUAN Kecelakaan lalu lintas saat mengemudi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sabey dalam Hadiyan (2014) menyebutkan bahwa sebesar 65% kecelakaan disebabkan oleh faktor kesalahan manusia. Faktor tersebut pada umumnya disebabkan karena aktivitas sekunder selama berkendara. Survei yang telah dilakukan oleh Dibben dan Williamson (2007) di Inggris dan Wales, diketahui bahwa untuk usia 19-24 tahun hanya 3% pengendara mobil yang diam tanpa melakukan aktivitas berbicara atau mendengarkan. Selebihnya pengendara melakukan aktivitas mendengarkan musik radio (33%), CD/tape (32%), berbicara (21%), lainnya (11%). Bellinger (2008) menyebutkan bahwa terdapat empat jenis gangguan saat mengendarai kendaraan, yaitu gangguan visual, auditory, biomechanical, dan cognitive. Pendapat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa hasil survai Dibben dan Williamson (2007) tersebut merupakan aktivitas yang memicu gangguan auditory. Mendengarkan musik sambil mengendarai mobil merupakan aktivitas wajar. Mendengarkan musik saat mengendarai mobil akan memberikan efek positif dan efek negatif. Menurut Dibben dan Williamson (2007) serta Zwaag et al. (2011), mendengarkan musik akan mengurangi kebosanan dan memberi efek relaksasi, sedangkan efek negatif dari musik selama mengendarai mobil adalah dapat menyebabkan penurunan atensi dan performansi mengemudi. Dalton dan Behm (2007) menyebutkan bahwa musik di dalam mobil dapat mempengaruhi driver stress, subjective anxiety, relaksasi, dan persepsi terhadap kecepatan. Terdapat tiga aspek dalam musik yang dikaitkan dengan efek distraksi, yaitu tempo (Dibben dan Williamson, 2007; Pêcher et al., 2009; Brodsky, 2002; Ünal, 2013; Dalton dan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-1
Dharmastiti, Fainusa
Behm, 2007), genre (Bottiroli, 2014; Dalton dan Behm, 2007), dan loudness (Ünal, 2013; Dalton dan Behm, 2007). Tempo musik yang cepat cenderung akan memicu terjadinya insiden bila dibandingkan dengan tempo sedang atau lambat. Tempo musik yang cepat akan mempengaruhi persepsi terhadap waktu dan kecepatan. Selain itu tempo cepat dan ritme yang kuat dianggap akan mengaktifkan saraf simpatetik dan akan meningkatkan performansi. Sedangkan musik tempo lambat dan ritme yang lemah akan mengaktifkan sistem saraf parasimpatetik sehingga memicu relaksasi. Genre musik juga memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Genre musik rock cenderung dikorelasikan dengan kebiasaan negatif, reckless driving, dan traffic violation. Sebaliknya, genre musik klasik akan memberikan efek menenangkan dan relaksasi bagi pendengarnya. Tingkatan loudness akan mempengaruhi kenyamanan selama berkendara. Volume musik akan mempengaruhi waktu reaksi. Hal ini dinyatakan oleh Ünal (2012) bahwa dalam penelitiannya intensitas loudness 75 dBA mempunyai waktu reaksi yang lebih cepat bila dibanding 95 dBA. Dari penjelasan tersebut, dijelaskan bahwa musik dapat mempengaruhi performansi kognitif seseorang. Tauhid (2013) telah meneliti mengenai pengaruh musik pop dengan intensitas yang berbeda terhadap situational awareness, sedangkan Afifah (2015) telah meneliti pengaruh musik tradisional jawa terhadap situational awareness saat mengemudi. Dalam penelitianpenelitian tersebut terlihat bahwa musik yang digunakan hanya satu jenis. Oleh sebab itu perlu untuk diadakan penelitian mengenai pengaruh perbedaan jenis music (klasik dan rock) dan intensitas volume terhadap situational awareness dan saat mengemudi. II. METODE PENELITIAN Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan, dengan rentang usia 18–24 tahun. Semua responden mampu mengendarai mobil dengan baik, telah memiliki SIM A, dan mempunyai pengalaman mengendarai mobil secara legal minimal satu tahun. Responden laki-laki mempunyai rata-rata usia 21.03±1.04 tahun dan rata-rata pengalaman mengemudi secara legal selama 3.93±1.62 tahun. Pada responden perempuan, rata-rata usianya adalah 20.8±0.86 tahun dengan rata-rata pengalaman mengemudi secara legal selama 2.73±1.03 tahun. Situational awareness (tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga) merupakan variable tidak bebas, sedangkan variabel independen adalah perlakuan jenis musik, intensitas volume, dan jenis kelamin. Jenis musik yang digunakan yaitu musik klasik instrumental karya Mozart dan musik rock karya band Avanged Sevenfold. Intensitas volume yang digunakan yaitu 55-60 dBA dan 75-80 dBA. Sebagai kontrol dilakukan pengujian mengendarai tanpa menggunakan musik. Pemilihan decibel rendah 55-60 dBA karena pada intensitas tersebut masih masuk dalam kategori nyaman untuk didengarkan, sedangkan pemilihan 75-80 dBA karena pada tingkat ini suara yang terdengar sudah cukup keras dan dirasa cukup menganggu (noise). City car driving simulator merupakan sebuah software yang digunakan untuk melakukan simulasi berkendara. Software ini dapat diatur situasi dan kondisinya sesuai dengan faktor yang akan diteliti. Dengan software ini, responden diminta untuk melakukan simulasi menyetir dengan kondisi yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini personal computer (PC) digunakan untuk menjalankan program City Car Driving Simulator, Windows Media Player, Bandicam, SPSS, Microsoft Word, dan Microsoft Excel. PC Steering Wheel berfungsi sebagai kendali arah jalannya mobil, sedangkan pedals controller berfungsi untuk menambah dan mengurangi kecepatan. Program Windows Media Player digunakan untuk memutar musik. Speaker berfungsi untuk memunculkan suara musik maupun efek audio saat simulasi berlangsung. Bandicam merupakan software yang digunakan untuk merekam saat simulasi berlangsung. Kuesioner berfungsi untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan situational awareness (tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga). Penelitian ini menggunakan kuesioner situational awareness yang dibuat oleh Gozali (2013). Sound Pressure Tingkat (SPL) digunakan untuk mengukur tingkat intensitas volume agar sesuai dengan intensitas yang diinginkan selama simulasi berlangsung. Musik yang digunakan dalam penelitian ini adalah musik yang paling disukai oleh responden. Dari lembar kuesioner pra eksperimen tersebut, didapatkan musik yang dipakai dalam penelitian ini adalah musik klasik dengan judul Rondo alla Turca karangan Mozart dengan tempo 2.85 kbpm dan musik rock berjudul Afterlife milik grup musik Avanged Sevenfold dengan tempo 2.5 kbpm. Pada sesi ekperimen, responden diminta
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-2
Pengaruh Jenis Musik Dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi
untuk mengerjakan task dengan sungguh-sungguh sebagaimana berkendara di jalan raya semestinya. Tingkat traffic dalam simulasi ini diatur dengan presentase 70% dan tingkat pejalan kaki dengan presentase 60%. Setiap responden diminta untuk melakukan simulasi sebanyak lima kali yang dibagi menjadi dua sesi. Kondisi perlakuan dalam penelitian ini adalah tanpa musik, musik klasik instrumental dengan intensitas volume 55-60 dBA, dengan intensitas volume 75-80 dBA, musik rock dengan intensitas volume 55-60 dBA dan dengan intensitas volume 75-80 dBA. Urutan responden selama simulasi dipilih secara acak agar tidak terjadi bias dan effect learning. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan task berkisar antara 15–20 menit untuk setiap perlakuan. Hal ini dilakukan agar eksperimen tidak terlalu lama. Selama ekperimen akan dikumpulkan data mengenai situational awareness (tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga) dari repsonden saat berkendara. hal ini dilkukan dengan membagikan kuesioner kepada responden. Prosedur pembagian kuesioner dilakukan setelah eksperimen berjalan lima hingga delapan menit. Pada saat pembagian dan pengisian kuesioner, simulator diatur dalam kondisi freeze. Setelah pengisian kuesioner selesai, maka simulator dijalankan lagi hingga responden menyelesaikan tugasnya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai situational awareness keseluruhan merupakan nilai rata-rata dari SA tingkat 1, 2, dan 3. Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai signifikansi perbedaan antar perlakuan menggunakan nilai situational awareness total. Hal ini dikarenakan situational awareness merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan, sehingga nilai situational awareness dianggap sebagai satu kesatuan.
Gambar 1. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Tanpa Musik pada Responden Laki-laki
Gambar 2. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Rock Rendah dan Tinggi pada Responden Laki-laki
Gambar 3. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Klasik Rendah dan Tinggi pada Responden Laki-laki
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-3
Dharmastiti, Fainusa
Gambar 4. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Tanpa Musik pada Responden Perempuan
Gambar 5. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Klasik Rendah dan Tinggi pada Responden Perempuan
Gambar 6. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Rock Rendah dan Tinggi pada Responden Perempuan
Risk Behavior dalam penelitian ini didapatkan dengan cara mengevaluasi video setiap skenario. Terdapat empat kategori risk behavior, yaitu safe behavior, precaution behavior, hazardous behavior, dan accident. Kategori perilaku aman (safe behavior) yaitu kondisi dimana responden tidak melakukan pelanggaran selama simulasi berlangsung. Kategori precaution behavior yaitu apabila selama simulasi responden melakukan pelanggaran seperti melebihi batas kecepatan, tidak menggunakan lampu sinyal berbelok, melanggar lampu merah, dan mengabaikan pejalan kaki. Kategori hazardous behavior yaitu apablia selama simulasi responden melakukan perilaku yang sangat berbahaya seperti mengerem terlalu mendadak dan kecepatan melebihi 20 km/jam dari batas kecepatan yang diizinkan. Kategori accident yaitu kondisi dimana responden menabrak kendaraan lain atau menabrak pejalan kaki. Tabel 1 menunjukkan rekapitulasi nilai risk behavior pada responden laki-laki dan perempuan untuk setiap kondisi. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada kondisi tanpa musik mayoritas responden tergolong pada kategori accident (73%). Sedangkan pada kondisi musik klasik rendah, mayoritas responden termasuk dalam kategri precaution behavior (53%), 20% dalam kategori hazardous, dan terdapat 27% yang tergolong dalam kategori accident. Pada perlakuan musik rock rendah, diketahui bahwa perilaku beresiko responden terbagi menjadi tiga kategori sama rata yaitu kategori precaution (33.33%), kategori hazardous (33.33%), dan kategori accident (33.33%). Pada kondisi musik SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-4
Pengaruh Jenis Musik Dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi
klasik tinggi terdapat 47% dalam kategori accident, 40% dalam kategori precaution, dan 13% dalam kategori hazardous. Serupa dengan perlakuan rock rendah, pada perlakuan musik rock tinggi responden terbagi ke dalam tiga kategori yang sama rata, yaitu kategori precaution (33.33%), hazardous (33.33%), dan accident (33.33%). Pada kondisi tanpa musik diketahui bahwa responden perempuan terdapat 73% masuk dalam kategori accident dan 27% dalam kategori hazardous. Pada kondisi musik klasik rendah, terdapat 20% tergolong dalam kategori precaution, 20% dalam kategori hazardous, dan 60% kategori accident. Pada kondisi musik rock rendah, perilaku beresiko responden perempuan didominasi oleh kategori accident (67%), 20% dalam kategori hazardous, dan 13% dalam kategori precaution. Hampir sama dengan perlakuanperlakuan sebelumnya, pada kondisi musik klasik tinggi mayoritas responden termasuk dalam kategori accident (53.33%), 33.33% dalam kategori hazardous, dan 13.33% dalam kategori precaution. Pada kondisi musik rock tinggi, terdapat 60% tergolong dalam kategori accident, 33% dalam kategori hazardous, dan 7% dalam kategori precaution. Hasil risk behavior pada penelitian ini menunjukkan bahwa kategori empat (accident) lebih dominan baik pada responden laki-laki maupun perempuan. Sedangkan bila dibandingkan antara responden laki-laki dan perempuan, kategori accident lebih banyak pada responden perempuan.
No 1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 1. Risk Behavior Responden Laki-laki dan Perempuan Perempuan (%) Kondisi Kategori Risk Behavior Laki-laki (%) Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 20% 0% Tanpa Musik Hazardous Behavior 7% 27% Accident 73% 73% Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 53% 20% Klasik Rendah Hazardous Behavior 20% 20% Accident 27% 60% Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 33.33% 13% Rock Rendah Hazardous Behavior 33.33% 20% Accident 33.33% 67% Safe Behavior 0% 0.00% Precaution Behavior 40% 13.33% Klasik Tinggi Hazardous Behavior 13% 33.33% Accident 47% 53.33% Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 33.33% 7% Rock Tinggi Hazardous Behavior 33.33% 33% Accident 33.33% 60%
Tabel 2. Hasil Parameter Estimates Uji Regresi Logistik Ordinal Parameter Estimates 95% Confidence Interval Lower Upper Estimate Std. Error Wald df Sig. Bound Bound [Y = 2] -3.161 2.014 2.464 1 .116 -7.109 .786 Threshold [Y = 3] -1.972 2.004 .968 1 .325 -5.901 1.956 Location X1 -.977 1.275 .587 1 .444 -3.475 1.522 X2 -1.452 .981 2.192 1 .139 -3.375 .470 X3 .462 .895 .267 1 .606 -1.291 2.215 X5 -.009 .016 .289 1 .591 -.040 .023 X4 .979 .330 8.802 1 .003 .332 1.625 X6 -.331 .270 1.505 1 .220 -.861 .198 Link function: Logit. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-5
Dharmastiti, Fainusa
Yi = Model logit ke-i X1 = Situational awareness tingkat 1 X2 = Situational awareness tingkat 2 X3 = Situational awareness tingkat 3 X4 = Jenis kelamin responden (1 = Laki-laki, 2 = Perempuan) X5 = Tingkat volume suara (dBA) X6 = Jenis musik (1 = Tanpa musik, 2 = Musik klasik, 3 = Musik rock) Dari Tabel 5.217 tersebut dihasilkan dua persamaan logit, yaitu: 1. Y1 = – 3.161 –0.977X1 – 1.452X2 + 0.462X3 + 0.979X4 – 0.009X5 – (1) 0.331X6 2. Y2 = – 1.972– 0.977X1 – 1.452X2 + 0.462X3 + 0.979X4 – 0.009X5 – (2) 0.331X6 Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai situational awareness tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga tidak mempengaruhi risk behavior secara signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05. Faktor yang tenyata menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap risk behavior yaitu jenis kelamin responden (Sig. 0.03 < 0.05). Hal ini didukung oleh Cheney (2012) yang menyatakan bahwa perempuan cenderung mempunyai resiko yang lebih tinggi saat mengendarai mobil bila dibandingkan dengan laki-laki. Pada dasarnya lakilaki mempunyai kemampuan teknis yang lebih baik. Selain itu Cheney (2012) berpendapat bahwa berdasarkan data yang diperoleh dari jasa asuransi, dilaporkan bahwa perempuan lebih banyak mengajukkan klaim akibat kecelakaan bila dibanding laki-laki. Kasus yang sering dilaporkan adalah tergelincir atau kehilanagn kendali, Sedangkan menurut Phillips (2011) menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kemampuan mengemudi yang lebih baik dibanding perempuan. Bila dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih banyak mengalami tabrakan saat memarkirkan mobil. Menurut Herbert (2011) berdasarkan riset yang dilakukan di Universitas Michigan ditemukan bahwa 6.500.000 angka kecelakaan di Amerika Serikat dari tahun 1998 hingga tahun 2007 menunjukkan bahwa 68.1% dari angka kecelakaan dialami oleh pengemudi perempuan. Padahal perbandingan waktu mengemudi antara laki-laki dengan perempuan di Amerika Serikat adalah 60:40 yang berarti lebih banyak pengemudi laki-laki. Hal ini menjelaskan bahwa meskipun pengemudi perempuan mempunyai waktu mengemudi yang lebih sedikit, akan tetapi angka kecelakaan justru didominasi oleh pengemudi perempuan. IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis musik mempengaruhi nilai situational awareness keseluruhan. Perlakuan tingkat volume suara musik tidak menunjukkan perbedaan nilai situational awareness secara signifikan, demikian juga jenis kelamin. Berkaitan dengan risk behavior, diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi risk behavior seara signifikan adalah jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA Afifah, I. L., 2015, Pengaruh Musik Tradisional Jawa Tengah Terhadap Situational awareness, Heart Rate, dan Risk behavior pada Pengendara Mobil, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadajah Mada. Badan Pusat Statistika, 2013, Jumlah Kecelakaan, Korban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan Kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2013, [Online, diakses tanggal 28 September 2015]. URL: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1415 Belford, Z., Neher, C., Pernsteiner, T., Stoffregen, J., dan Tariq, Z., 2013, Music and physical performance: The effects of different musik genres on physical performance as measured by the heart rate, electrodermal arousal, and maximum grip strength, Physiology. Bellinger, D. B., Budde, B. M., Machida, M., Richardson, G. B., dan Berg, W. P., 2009, The effect of cellular telephone conversation and music listening on response time in braking, Transportation Research, Vol. 12, pp. 441-451.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-6
Pengaruh Jenis Musik Dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi
Bottiroli, S., Rosi, A., Russo, R., Vecchi, T., dan Cavallini, E., 2014, The cognitive effects of listening to background music on older adults: processing speed improves with upbeat music, while memory seems to benefit from both upbeat and downbeat music, Aging Neuroscience, Vol. 6. Brodsky, W., 2002, The effect of music tempo on simulated driving performance and vehicular control, Transportation Research, Vol. 4, pp. 219–241. Campbell, D., 2001, Efek Mozart Bagi Anak-anak, Jakarta : Gramedia. Cheney, P., 2012, Men versus women: who are better drivers, [Online, diakses tanggal 13 Januari 2016]. URL: http://www.theglobeandmail.com/globe-drive/culture/commuting/men-vs-women-who-arebetter-drivers/article1389780/ Dalton, B. H., dan Behm, D. G., 2007, Effects of noise and music on human and task performance: A systematic review, Occupational Ergonomics, pp. 143-152 Dibben, N., dan Williamson, V. J., 2007, An exploratory survey of in-vehicle music listening, Psychology of Music, Vol. 35, Iss. 4, pp. 571-589 Dolegui, A. S., 2013, The Impact of Listening to Music on Cognitive Performance, Phsycology, Vol. 5. Endsley, M. R., 1995, Toward a Theory of Situation Awareness in Dynamic Systems, Human Factors, Vol. 37, No. 1, pp. 32 – 64. Endsley, M. R., Selcon, S. J., Hardiman, T. D., dan Croft, D. G., 1998, A Comparative Analysis of SAGAT and SART for Evaluation of Situational awareness, Human Factor and Ergonomic Society, Vol. 42. Endsley, M. R., dan Garland, D. J., 2000, Direct Measurement of Situational awareness: Validity and Use of SAGAT, Situational Analysis and Measurement. Fauzi, H. D., dan Mulyadi, 2015, Seni Budaya, Bandung : Yrama Widya. Fatimahhayati, L. D., 2013, Pengaruh Musik Tradisional Indonesia Sebagai Musik Background terhadap Denyut Jantung , Stroop Test, dan Short Term Memori, Tesis, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. Gozali, M., 2013, Analisis Hubungan antara Situational Awareness dengan Perilaku Beresiko pada Pengendara Mobil, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. Hadiyan, T., 2014, Kajian Eksperimen Pengaruh Physical Workload dan Kepadatan Lalu Lintas Terhadap Situational awareness dan Risk behavior Pengendara Mobil, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. Herbert, G., 2011, Study says women are worse drivers, get in more crashes despite driving less than men, [Online, diakses pada 13 Januari 2016]. URL: http://www.syracuse.com/news/index.ssf/2011/07/women_worse_drivers_more_crashes_than_me n_less_driving.html Koskinen-Kannisto, A., 2013, Situational Awareness Concept in A Multinational Collaboration Environement, Doctoral Dissertation, Department of Military Technology, National Defense University. Pêcher C., Lemercier, C., dan Cellier, J. M., 2009, Emotions drive attention: effects on driver’s behavior, Safety Science, Vol. 47, pp. 1254-1259. Phillips, S., 2011, Men and Women Drivers: The Gender Devide, [Online, diakses tanggal 13 Januari 2016]. URL: http://blogs.psychcentral.com/healing-together/2011/07/men-and-women-drivers-thegender-divide/ Schellenberg, E. G., dan Weiss, M. W., 2102, Music and Cognitive Abilities, Physiological Science. Soedarsono, 1992, Pengantar Apresiasi Seni, Jakarta: Balai Pustaka. Stasi, L. L. D., Valbuena, V. A., Caňas, J. J., Maldonado, A., Catena, A., Antolí, A., Candido, A., 2009, Risk behavior and mental work load: Multidimensional assessment techniques applied to motorbike riding simulation, Transportation Research, Vol. 12, pp. 361-370. Tauhid, M. F., 2013, Pengaruh Intensitas Suara Musik Pop Terhadap Situational awareness dan Risk Behaviour Pengendara Mobil, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ünal, A. B., Steg, L., dan Epstude, K., 2012, The influence of music on mental effort and driving performance, Accident analysis and prevention, Vol. 48, pp. 271–278. Ünal, A. B., Waard, D. D., Steg, L., dan Epstude, K., 2013, Driving with music: Effect on arousal and performance, Transportation research, Vol. 21, pp. 52-65. Zwaag, M. D. V. D., Dijksterhuis, C., Waard, D. D., Mulder, B. L. J. M., Westerink, J. H. D. M., dan Brookhuis, K. A., 2012, The influence of music on mood and performance while driving, Ergonomics, Vol. 55, No. 1, pp. 12-22.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-7
Petunjuk Sitasi: Yogasara, T., & Loanda, J. (2017). Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B8-17). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience (1), (2)
Thedy Yogasara(1), Janice Loanda(2) Program Studi Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 (1)
[email protected], (2)
[email protected] ABSTRAK
Berbagai produk berteknologi mutakhir terus bermunculan mengubah persepsi dan preferensi masyarakat dalam memilih produk. Konsumen tidak lagi hanya melihat sisi pragmatis dari suatu produk, tetapi juga aspek hedonis. Salah satu produk inovatif yang mulai dikenal oleh konsumen adalah bottom-loading dispenser, dimana kemudahan pemasangan galon air pada dispenser ini menjadi hal yang menarik. Bottom-loading dispenser saat ini sudah menyediakan fungsi inti sesuai kebutuhan penggunanya. Namun demikian, persepsi pengguna perlu didalami untuk mengetahui pengalaman (experience) seperti apa yang dihadirkan oleh bottom-loading dispenser, sehingga performansi produk dapat lebih baik lagi dari segi pragmatis maupun hedonis. Untuk mengumpulkan informasi mengenai bottom-loading dispenser yang mengutamakan user experience, dilakukan studi literatur mengenai unsur-unsur user experience. Selain itu, pengumpulan data secara empiris berupa bentuk-bentuk interaksi antara produk dan pengguna diperoleh melalui studi diary. Dengan menggunakan qualitative content analysis, diary responden kemudian diberi kode sesuai unsur user experience, yaitu unsur pragmatis dan hedonis dari penggunaan produk. Hasil coding diary menunjukkan bahwa aspek pragmatis dari produk bottomloading dispenser lebih dominan, sedangkan aspek hedonis yang menonjol pada bottomloading dispenser hanya meliputi faktor identifikasi dan stimulasi. Relasi aspek pragmatis dan hedonis memungkinkan perbaikan rancangan yang meningkatkan kedua aspek tersebut secara simultan. Analisis diary juga menghasilkan kriteria perancangan bottomloading dispenser yang memperhatikan aspek pragmatis dan hedonis. Kriteria tersebut dijadikan dasar perancangan dua konsep dispenser. Konsep terpilih menghasilkan rancangan produk usulan yang dievaluasi dengan metode interview. Rancangan produk usulan dinilai baik, dimana hasil evaluasi didominasi dengan konfirmasi positif mengenai pemenuhan kriteria perancangan dispenser yang berfokus pada user experience. Kata kunci: hedonis, perancangan produk, pragmatis, studi diary, usability, user experience
I. PENDAHULUAN Era globalisasi yang diiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mendorong hadirnya berbagai produk inovatif. Kehadiran produk-produk tersebut menimbulkan fenomena baru, yaitu berkembangnya cara pandang dan preferensi konsumen dalam memilih produk dari ragam produk sejenis yang tersedia. Konsumen tidak lagi hanya melihat sisi fungsional dasar dari suatu produk, tetapi juga mempertimbangkan aspek desain, inovasi tambahan, dan afeksi yang dirasakan selama berinteraksi dengan produk tersebut (Bargas-Avila & Hornbæk, 2011; Jordan, 2000; Väänänen-Vainio-Mattila, et al., 2008). Untuk menjawab tuntutan konsumen modern tersebut, produsen produk dapat merancang inovasi atau melakukan improvisasi. Kedua cara tersebut tidak sekedar dilakukan dengan tujuan utama yang berpusat pada peningkatan teknologi, tetapi juga memfokuskan proses perancangan pada konsumen yang berperan sebagai pengguna. Tuntutan perbaikan terhadap produk berdasarkan kebutuhan penggunanya terjadi pada banyak produk, khususnya produk yang digunakan dengan intensitas tinggi, seperti meja dan kursi, laptop, dispenser, smartphone, dan produk lain yang sering atau rutin digunakan sehari-hari. Pada penelitian ini, produk dispenser dipilih sebagai obyek studi karena fungsinya digunakan oleh banyak kategori pengguna, dimana
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-8
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
dispenser juga termasuk dalam jenis produk yang berinteraksi intens dengan penggunanya. Dispenser air minum awalnya memposisikan galon air secara terbalik, namun kini mulai banyak produk dispenser yang memposisikan galonnya secara tegak di bagian bawah (bottom-loading). Dibandingkan dengan dispenser jenis konvensional, bottom-loading dispenser lebih memberikan kemudahan bagi pengguna dalam berinteraksi dengan produk. Akan tetapi, produk tersebut masih memiliki kekurangan dari sisi fungsi ataupun sisi afeksi, yang dapat teridentifikasi setelah pengguna mengalami interaksi langsung. Penelitian terhadap bottom-loading dispenser dalam rangka memaksimalkan kualitas produk dilakukan dengan menjadikan user experience (UX) sebagai fokus utama. UX dapat didefinisikan sebagai persepsi dan respon seseorang yang dihasilkan dari penggunaan dan/atau antisipasi penggunaan suatu produk, sistem, atau jasa (ISO 9241-210, 2010). Sedangkan menurut Sutcliffe (2010, h. 3), UX adalah penilaian (judgment) pengguna terhadap kualitas produk, yang muncul dari pengalaman berinteraksi dan kualitas desain produk yang menghasilkan penggunaan efektif dan kesenangan. Fokus terhadap UX ditentukan selain berdasarkan intensitas interaksi antara produk dan pengguna yang tinggi serta tuntutan fokus desain produk di masa sekarang, juga disebabkan oleh kelemahan metode perancangan dan pengujian produk lain yang kebanyakan hanya dapat menangkap unsur-unsur fungsional (pragmatis) pada produk. Berbeda dengan metode lain yang umumnya hanya berfokus pada aspek usability suatu produk, metode yang fokus pada UX dapat menemukan hasil tidak terduga dan menyeluruh, karena metode UX lebih mengizinkan pengguna mengeksplorasi produk secara mendalam dan mengungkapkan hal-hal yang dirasakan dengan lebih bebas dalam konteks penggunaan sebenarnya. Hasil yang menyeluruh diperoleh karena penelitian dengan fokus UX menggali sedalam mungkin setiap persepsi konsumen sejak awal mengenal produk hingga mereka memahami dengan baik produk tersebut, baik aspek pragmatis maupun hedonisnya (Hassenzahl, 2003, 2004). Atribut pragmatis berkaitan dengan kemampuan produk untuk membantu pengguna mencapai tujuannya. Atribut pragmatis lebih mengukur atau mementingkan keberhasilan suatu produk untuk berfungsi (utility) dan keberhasilan pengguna untuk menggunakan fungsi (usability) produk tersebut (Hassenzahl, 2003, 2004). Sedangkan atribut hedonis berkaitan dengan bagaimana produk dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologis pengguna, dimana atribut hedonis dibagi menjadi tiga, yaitu identifikasi, stimulasi, dan evokasi (Hassenzahl, 2003, 2004). Identifikasi berkaitan dengan kemampuan produk menunjukkan identitas diri pengguna, termasuk membantu pengguna membentuk citra melalui produk (self-expression). Stimulasi merupakan bagaimana produk mampu menghadirkan perasaan tertentu, seperti kegembiraan (excitement) dan dorongan untuk belajar atau mengembangkan diri melalui produk. Evokasi berkaitan dengan kemampuan produk membangkitkan kenangan pengguna akan suatu kejadian (Hassenzahl, 2003). Terdapat berbagai metode evaluasi UX, diantaranya co-discovery, think-aloud protocols, wawancara, immersion (Jordan, 2000), experience diary (Karapanos, et al., 2009), kuesioner (Hassenzahl, 2004), dan teknik psycho-physiological (Mahlke & Thüring, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk merancang produk bottom-loading dispenser yang berfokus pada aspek user experience melalui metode studi diary (experience diary). II. METODE PENELITIAN Subbab ini menjelaskan dua metode utama yang digunakan pada penelitian ini. Pertama, metode studi diary yang diterapkan untuk mengumpulkan ragam interaksi pengguna dengan produk. Kedua, qualitative content analysis untuk mengolah hasil studi diary. A. Studi Diary Karapanos, et al. (2009) menggunakan studi diary dengan teknik Day Reconstruction Method (DRM), dimana responden diminta mengingat dan merekonstruksi kejadian yang dialami dalam satu hari menjadi suatu narasi di akhir hari tersebut atau di awal hari berikutnya. Rekonstruksi kejadian atau pengalaman yang berkaitan dengan produk dibuat dalam interval-interval waktu secara berurutan dan dituliskan setiap harinya, sehingga pengalaman pengguna dapat tercatat dengan rinci dan dalam, serta tidak hanya berupa pengalaman secara umum atau global saja. Karakteristik studi diary cocok untuk memperoleh data yang diungkapkan oleh partisipan secara natural. Partisipan hanya diarahkan untuk menuliskan pengalamannya berinteraksi secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-9
Yogasara dan Loanda
langsung atau tidak langsung dengan produk, dengan ketentuan minimal satu pengalaman per hari. Dengan ketentuan tersebut, dapat diperoleh informasi yang andal mengenai individu dan perubahan perilaku pengguna serta perbedaan antar pengguna. Akan tetapi, pada pelaksanaan studi diary diperluk an komitmen dan dedikasi yang besar dari partisipan, juga training dan monitoring secara khusus dan berkelanjutan terhadap partisipan. Bolger, et al. (2003) menjelaskan bahwa studi diary memiliki dua tipe desain yang umum diterapkan pada penelitian, yaitu desain diary berdasarkan waktu (time-based design) dan berdasarkan kejadian (event-based design). Time-based design diterapkan pada penelitian ini karena diary tipe tersebut cocok untuk memantau perilaku atau interaksi individu pada jenis aktivitas atau waktu tertentu. Data dari diary ini umumnya memiliki resiko cukup tinggi untuk mengandung bias akibat retrospeksi atau kemampuan partisipan dalam mengingat keseluruhan pengalamannya selama berinteraksi dengan produk (Bolger, et al., 2003). Akan tetapi, hal tersebut dapat diatasi dengan pelaksanaan penulisan diary dalam jangka waktu yang cukup panjang. Waktu yang memadai memberikan peluang bagi peneliti untuk menangkap variasi perilaku pengguna seiring perubahan waktu. Pada penelitian ini, diary didesain berdasarkan teknik DRM dan tipe time-based serta menggunakan format elektronik (file Microsoft Word). Desain diary tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Desain Diary Untuk pengumpulan data, 6 responden (2 pria, 4 wanita) direkrut menggunakan teknik convenience sampling. Responden berusia 18-50 tahun dan seluruhnya merupakan pengguna bottom-loading dispenser dengan jangka waktu pemakaian produk berkisar 3 minggu hingga 30 bulan. Setiap responden selama 14 hari berturut-turut diminta untuk menuliskan minimal satu pengalaman atau kejadian per hari, termasuk perasaan positif dan negatif yang timbul, terkait dengan penggunaan bottom-loading dispenser dalam bentuk cerita atau narasi menggunakan format diary seperti pada Gambar 1. Partisipan diminta untuk menyerahkan hasil pengisian diary secara bertahap pada hari ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, dan ke-14. Pada setiap saat penyerahan tersebut, dilakukan wawancara untuk memperjelas atau mengklarifikasi narasi yang telah dituliskan, dan hasil wawancara tersebut dituliskan dalam kolom „deskripsi tambahan‟ pada format diary. B. Qualitative Content Analysis Creswell (2007) menyatakan bahwa suatu penelitian kualitatif adalah proses pemahaman terhadap suatu fenomena dan masalah manusia, dimana peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata atau laporan dari sudut pandang responden, dan melakukan pengamatan pada kondisi natural. Neuman (1997, dalam Macnamara, 2005) menggolongkan content analysis sebagai metode kunci untuk penelitian tanpa interupsi. Hsieh & Shannon (2005) mengkategorikan 3 jenis pendekatan content analysis untuk menginterpretasikan makna dari isi teks (Tabel 1). Directed content analysis merupakan pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini. Pendekatan tersebut bertujuan untuk melengkapi teori atau penelitian yang sudah ada mengenai suatu fenomena, juga memvalidasi suatu kerangka teori atau teori. Teori atau penelitian yang sudah ada dapat membantu memfokuskan pertanyaan dan hal yang ingin diteliti. Pada penelitian ini, teori aspek pragmatis dan hedonis dari user experience yang dikemukakan Hassenzahl (2003, SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-10
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
2004) dijadikan sebagai acuan. Aspek tersebut dapat memprediksi variabel kepentingan atau hubungan antar variabel, sehingga berguna untuk menentukan skema kode (coding scheme) awal. Tabel 1. Tiga Jenis Pendekatan Content Analysis
(Sumber: Hsieh dan Shannon, 2005)
Pada content analysis, pemberian kode terhadap data sangatlah krusial. Karapanos, et al. (2009) menjelaskan dua jenis pengodean, yaitu open coding dan axial coding. Open coding merupakan pemberian kode dimana peneliti mengidentifikasi tema-tema kunci dari pengalaman yang ada tanpa memikirkan kategori-kategori terlebih dahulu. Sedangkan axial coding merupakan proses dimana fenomena hasil open coding dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pada penelitian ini dibentuk skema kode awal berdasarkan studi literatur dan karakteristik produk yang diteliti. Skema kode awal terdiri dari 5 kode yang merupakan anggota kategori pragmatis (efektivitas, efisiensi, keamanan, learnability, dan memorability) dan 3 kode anggota kategori hedonis (identifikasi, stimulasi, dan evokasi). Selain itu, kelima kode pragmatis memiliki 4 sub-kode (bottom-loading, display, pemanas, dan pendingin). Masing-masing kode dan subkode tersebut memiliki definisi dan cakupan (scope) yang akan memandu pengkodean pernyataan responden dari diary. Proses pemberian kode dimulai dengan membaca kalimat-kalimat dalam diary dan menandai kalimat yang menunjukkan adanya pembahasan tentang aspek pragmatis maupun hedonis dari penggunaan produk. Selanjutnya, kalimat tersebut diberi kode sesuai dengan kecocokannya dengan cakupan kode awal yang sudah ditentukan. Keseluruhan proses pemberian kode dibantu dengan software NVIVO 10. Berdasarkan hasil pengkodean diary dari 6 responden, terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai untuk dikodekan dengan skema kode awal, sehingga ditambahkan beberapa kode dan sub-kode baru. Skema kode final dapat dilihat pada Tabel 2. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dijelaskan hasil dari studi diary, hasil pengolahan diary dengan qualitative content analysis, dan perancangan produk bottom-loading dispenser. A. Hasil Diary Study Diary diisi oleh 6 responden dengan latar belakang dan usia yang bervariasi, sehingga lebih luas cakupan persepsi dan pengalaman yang muncul dan terkumpul dari interaksi pengguna dengan dispenser. Hasil diary yang terkumpul selama 14 hari dari masing-masing partisipan kemudian digabungkan dan dijadikan sebagai sumber data primer. Contoh potongan diary responden terdapat pada Tabel 3. B. Hasil Content Analysis Proses coding dilakukan dengan bantuan software NVIVO 10 dengan menyesuaikan konten diary terhadap cakupan kode. NVIVO 10 juga membantu merekapitulasi konteks dan frekuensi kode, serta mencari relasi kode. Namun demikian, ketelitian dan konsistensi penelitilah yang menentukan kualitas hasil analisis. Contoh proses coding dapat dilihat pada Tabel 4. Tulisan tebal pada baris pertama sesuai dengan cakupan kode efektivitas. Efektivitas fitur pemanas adalah inti dari pengalaman yang dibahas, sehingga kode dilengkapi sub-kode pemanas. Sub-kode ditambahkan agar perbaikan rancangan produk dapat sesuai sasaran. Rekapitulasi kode pragmatis dan hedonis dari keseluruhan diary dapat dilihat pada Tabel 5.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-11
Yogasara dan Loanda
Secara umum diketahui bahwa bottom-loading dispenser saat ini didominasi oleh atribut pragmatis yang positif, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Terdapat atribut hedonis, tetapi belum menonjol. Hassenzahl (2004) berargumen bahwa justru aspek hedonis dari produklah yang merupakan inti (core) dari positive user experience. Oleh karena itu, kondisi seperti pada Gambar 2 mendorong dilakukannya perancangan perbaikan untuk bottom-loading dispenser, karena akan lebih baik bila produk dapat memiliki keseimbangan antara aspek pragmatis dan hedonis. Keseimbangan tersebut akan memberi pengalaman yang unik bagi pengguna, sehingga pengguna dapat lebih loyal dan calon pengguna lebih tertarik untuk membayar harga yang setimpal demi pengalaman tersebut. Tabel 2. Skema Kode Final dari Kategori Pragmatis dan Hedonis KODE DAN SUB-KODE KATEGORI PRAGMATIS No Kode Cakupan 1 Efektivitas Kemampuan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk berfungsi sesuai tujuan yang seharusnya. 2 Efisiensi Kemampuan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk tidak hanya berfungsi seperti seharusnya, tetapi juga dengan benar, cepat, dan sesuai keinginan penggunanya. Kode 3 Error Kesalahan teknis bagian-bagian bottom-loading dispenser. 4 Keamanan Keamanan yang ditunjang oleh keseluruhan bagian bottom-loading dispenser. 5 Learnability Kemudahan atau kesulitan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk dimengerti di awal pemakaian. 6 Memorability Kemudahan atau kesulitan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk diingat (cara kerja dan fungsi) oleh pengguna. No Sub-Kode Cakupan 1 Alarm Alarm atau penanda pada bottom-loading dispenser. 2 Bottom-loading Sistem bottom-loading (galon bawah) dan bagian-bagian yang menunjang sistem bottom-loading, yaitu pompa, selang, dan pengunci mulut galon. 3 Display Gambar dan warna simbol, layar interaktif dan light (bila ada), dan panel kontrol Sub(tombol, keran, dan safety lock) yang terdapat pada dispenser. Kode 4 Kerangka Fisik Bentuk kerangka fisik, pintu galon, dan berat keseluruhan dispenser. 5 Pemanas Pemanas air pada dispenser. 6 Pendingin Pendingin air pada dispenser. 7 Tangki Fungsi dan ukuran dari tangki penampung air panas, air dingin, dan air biasa. 8 Tray Fungsi dan ukuran tray pada dispenser. KODE KATEGORI HEDONIS No Kode Cakupan 1 Identifikasi Hal-hal pada bottom-loading dispenser yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna untuk menunjukkan identitas diri, membentuk citra, atau berkomunikasi melalui produk. 2 Stimulasi Hal-hal seperti keunikan, kebaruan, atau fungsi dan fitur pada bottom-loading Kode dispenser yang menstimulasi pengguna untuk merasakan emosi positif (kesukaan, kegembiraan, ketertarikan, atau dorongan bagi pengguna untuk melakukan pengembangan pribadi) atau emosi negatif (kesal, tidak suka, atau tidak peduli). 3 Evokasi Hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan produk bottom-loading dispenser untuk membangkitkan memori tentang perasaan atau kejadian di masa lalu.
Tabel 3. Potongan Diary Responden Hari 4-1
Jam 20.0000.00
4-2
20.0000.00
RESPONDEN 4 Pengalaman/Kejadian Saya dan anak laki-laki saya suka membuat mie instan di malam hari untuk dimakan sambil menonton DVD. Anak saya mengusulkan untuk menggunakan air panas dispenser agar lebih cepat. Tetapi sayang sekali tatakan penampung tetesan airnya sempit dan saya tidak bisa meletakkan panci kecil saya di sana, jadi saya harus terus memegang gagang panci sambil mengisi air panas. Adik saya yang dari Taiwan datang ke rumah, anak-anaknya masih berusia sekitar 7 atau 8 tahun. Mereka main kejar-kejaran. Mereka juga main buka-tutup kulkas, tekan-tekan tombol kipas angin, juga iseng di dekat dispenser sampai akhirnya menyenggol pengaman air panas. Untungnya tombol air panas hanya tertekan sedikit dan keluar airnya sedikit sekali, jadi anak itu tidak kenapa-kenapa. Bagusnya juga pengaman itu langsung balik ke posisi mengunci saat tombol pengeluar air sudah tidak ditekan.
SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-12
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
Keterangan: 4-1 pada kolom pertama menunjukkan responden 4 pada hari 1 Tabel 4. Contoh Proses Coding 2-9
20.0000.00
4-4
08.0012.00
Saya membuat sereal instan dan panasnya sepertinya sedang maksimal, jadi cepat sekali matangnya dan sereal-serealnya juga jadi empuk, bukannya alot karena airnya hangat-hangat saja. Sebelum berangkat ke toko hari ini, tiba-tiba alarm dispenser berbunyi. Saya langsung menelpon jasa delivery galon dekat rumah. Saat petugas antarnya datang, istri saya ke depan dan langsung membawa roda pengangkut galon. Istri saya bisa memasang galon sendiri dan tanpa harus berat mengangkat galon, tinggal dorong roda dan sudah ada jalur tanjakannya.
EfektivitasPemanas EfisiensiKerangka Fisik
Tabel 5. Rekapitulasi Frekuensi Kemunculan Kode No.
Kode
PRAGMATIS 1 Efektivitas 2 Efisiensi 3 Error 4 Keamanan 5 Learnability 6 Memorability HEDONIS 7 Identifikasi 8 Stimulasi 9 Evokasi
Frekuensi
Positif Persentase
Negatif Frekuensi Persentase
40 26 0 2 3 1
93,02% 50% 0% 66,67% 100% 100%
3 26 5 1 0 0
6,98% 50% 100% 33,33% 0% 0%
6 12 2
75% 42,86% 50%
2 16 2
25% 57,14% 50%
Gambar 2. Perbandingan Kemunculan Kode Pragmatis dan Hedonis Kode-kode anggota kategori hedonis (identifikasi, stimulasi, dan evokasi) sering kali muncul akibat adanya pengaruh aspek pragmatis. Oleh karena itu, relasi antara kedua jenis kode tersebut dapat dianalisis. Tabel 6 menunjukkan contoh relasi antara kode hedonis (identifikasi, yaitu rasa malu terhadap teman) dan kode pragmatis (efisiensi-bottom loading, yaitu suara dispenser saat memompa air). Rekapitulasi relasi antara kode hedonis dan pragmatis dapat dilihat pada Tabel 7. Tanda positif (+) dalam kolom „jenis relasi‟ pada Tabel 7 berarti bahwa konteks yang mendasari relasi merupakan hal positif mengenai dispenser, sedangkan tanda negatif (-) bermakna sebaliknya. Relasi antara kode pragmatis dan hedonis menunjukkan bahwa sebagian besar kode hedonis (82,5%) berkaitan dengan kode pragmatis. Hasil tersebut memungkinkan dilakukannya perancangan produk usulan yang memperbaiki aspek-aspek pragmatis sekaligus meningkatkan aspek-aspek hedonisnya. Perancangan yang demikian dapat meningkatkan positive user experience yang dihadirkan bottom-loading dispenser.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-13
Yogasara dan Loanda
Tabel 6. Contoh Relasi antara Kode Hedonis dan Kode Pragmatis 5-6
12.0016.00
Teman saya sedang datang ke rumah dan saat kita mengobrol di ruang tengah, dia sempat berkomentar “itu kenapa suaranya begitu amat ya?” saat dispenser sedang memompa air. Agak memalukan juga jadinya.
Tabel 7. Rekapitulasi Relasi Kode Hedonis dan Kode Pragmatis No. 1
2
Hedonis Identifikasi
Relasi Pragmatis Efektivitas-Bottom Loading
Stimulasi
Efisiensi-Bottom Loading Efisiensi-Kerangka FIsik Efektivitas-Alarm Efektivitas-Bottom Loading Efektivitas-Display Efektivitas-Kerangka Fisik Efektivitas-Tangki Efisiensi-Alarm Efisiensi-Bottom Loading
3
Evokasi
Efisiensi-Display Efisiensi-Kerangka Fisik Efisiensi-Pemanas Efisiensi-Tray Error-Bottom Loading Efektivitas-Bottom Loading Efisiensi-Bottom Loading
Jenis Relasi
Frekuensi
+ + + + + + + + + + -
4 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 2 1 2 4 3 1 1 1
Tabel 8. Kriteria Perancangan Bottom-Loading Dispenser Prioritas 1
Fitur Alarm
2
BottomLoading
3
Display
4
Kerangka Fisik
5
Pemanas
6 7
Pendingin Tangki
8
Tray
K.1 K.2 K.3 K.4 K.5 K.6 K.7 K.8 K.9 K.10 K.11 K.12 K.13 K.14 K.15 K.16 K.17 K.18 K.19 K.20 K.21 K.22 K.23 K.24 K.25 K.26 K.27 K.28 K.29 K.30 K.31 K.32 K.33 K.34 K.35 K.36
Kriteria Terus berbunyi sampai galon air diganti Bunyi alarm diselingi jeda (tidak mengganggu) Berbunyi di waktu yang tepat Menandai pintu tidak rapat Sistem alarm dapat dinon-aktifkan Mudah untuk mengganti galon air Pompa menghisap air dengan baik dan lancar Komponen mudah dibersihkan Selang dinamis (mudah disesuaikan) Bentuk pengunci galon air mudah disesuaikan Suara aktivitas pompa tidak mengganggu Menampilkan informasi sesuai kebutuhan Fungsi lengkap dan ditunjukkan dengan jelas Tampilan menarik Tombol mudah ditekan atau didorong Posisi dan bentuk simbol, gambar, atau tombol mudah dikenali dan umum (sesuai standar) Tombol air memungkinkan pengisian air dengan satu tangan Safety lock mengunci kembali secara otomatis Kokoh tetapi tetap mudah untuk dipindahkan Pintu galon air rapat dan mudah dibuka Bagian luar tidak mengalirkan panas/arus listrik Menunjang proses perawatan dan pemasangan galon air Bagian atas berbentuk datar Bentuk atau jarak antar bagian proporsional Bentuk kerangka unik dan modern Kombinasi warna permukaan luar kerangka menarik dan terdiri dari beberapa pilihan Rancangan memungkinkan pengguna berkreasi Selalu stand-by menyediakan air panas Temperatur sesuai Suara aktivitas pemanas tidak mengganggu Pemanas dapat dinon-aktifkan Temperatur sesuai Berkapasitas besar Mampu menjaga kondisi air Menggunakan bahan yang aman (tidak berbahaya, beracun, dan berbau) Berkapasitas besar
SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-14
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
Keterangan: kriteria yang diberi garis bawah menunjukkan kriteria yang sudah terpenuhi pada beberapa jenis bottomloading dispenser yang dimiliki oleh responden.
C. Perancangan Bottom-Loading Dispenser Pemberian kode pada diary dan pencarian relasi kode menghasilkan konteks-konteks yang diterjemahkan atau diinterpretasikan menjadi 36 kriteria perancangan bottom-loading dispenser (Tabel 8). Dengan mengambil contoh pada Tabel 6, relasi antara kode hedonis (identifikasi) dan kode pragmatis (efisiensi-bottom loading) dengan konteks „rasa malu pemilik dispenser akibat suara pompa air yang keras‟ dapat diterjemahkan menjadi kriteria perancangan untuk fitur bottom loading, yaitu „suara aktivitas pompa tidak mengganggu‟ (kriteria K.11 pada Tabel 8). Kriteria hasil interpretasi konteks yang disesuaikan dengan fitur (sub-kode) tersebut digunakan untuk merancang dua alternatif produk (Gambar 3). Alternatif pertama lebih mengutamakan unsur minimalis, sedangkan alternatif kedua lebih mengutamakan unsur high-technology dalam mewujudkan kriteria perancangan yang sudah ditentukan.
Gambar 3. Rancangan Alternatif Pertama (Kiri) dan Alternatif Kedua (Kanan)
Enam responden dari studi diary sebelumnya kembali dilibatkan dalam proses pemilihan alternatif rancangan dispenser. Mereka diminta untuk memberikan score dengan skala 1 sampai 5 (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=biasa, 4=baik, 5=sangat baik) terhadap kedua alternatif sesuai dengan 8 kriteria pemilihan. Masing-masing kriteria pemilihan diberikan bobot yang menunjukkan tingkat kepentingan kriteria tersebut. Score yang diberikan oleh responden untuk suatu kriteria selanjutnya dikalikan dengan bobot kriteria tersebut untuk memperoleh score terbobot, dan akhirnya ditotalkan dengan score terbobot dari kriteria lainnya. Tabel 9 menunjukkan contoh hasil scoring dari responden 1. Berdasarkan hasil scoring dari 6 responden, rancangan alternatif pertama dan kedua secara berturut-turut memperoleh score terbobot total 71,35 dan 84,1, sehingga alternatif kedua merupakan rancangan produk terpilih. Tabel 9. Hasil Scoring Alternatif Rancangan dari Responden 1 No 1 2 3 4 5 6 7
8
Selection Criteria Desain fisik dan fitur efektif Desain fisik dan fitur efisien Desain fisik dan fitur aman Kegunaan dan cara pakai display mudah dipelajari dan dimengerti Kegunaan dan cara pakai display mudah diingat Dispenser menunjukkan identitas atau citra user Dispenser menarik user untuk mempelajari dan terus menggunakan produk Dispenser mengingatkan pada kejadian masa lalu yang menyenangkan Total Score
Alternatif 1 Score Terbobot 0,45 0,6 0,45
Alternatif 2 Score Terbobot 0,6 0,6 0,45
Bobot (%) 15 15 15
Score 3 4 3
10
4
0,4
4
0,4
10
4
0,4
5
0,5
15
2
0,3
4
0,6
15
3
0,45
3
0,45
5
3
0,15
3
0,15
10,7
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-15
Score 4 4 3
14,45
Yogasara dan Loanda
Rancangan final (Gambar 4) merupakan rancangan alternatif kedua yang dikombinasikan dengan fitur alarm dan alas galon dari alternatif satu. Keputusan untuk mengkombinasikan dua fitur tersebut diperoleh dari evaluasi hasil scoring dan wawancara. Wawancara menggali lebih dalam dasar atau alasan dari penilaian responden saat scoring. Rancangan final (berupa virtual prototype) dievaluasi dengan metode wawancara yang mengandung 10 buah pertanyaan (Tabel 10). Enam responden baru (2 pria, 4 wanita, usia 20-54 tahun, dan pengguna bottom-loading dispenser) dilibatkan dalam evaluasi rancangan. Hasil evaluasi yang diperoleh berupa konfirmasi positif mengenai ketersediaan aspek pragmatis dan hedonis yang ada pada rancangan. Fitur dan fisik rancangan dispenser dinilai sudah efektif, efisien, dan aman. Dispenser memiliki display yang lengkap, jelas, dan mudah diingat. Selain aspek pragmatis, aspek hedonis yang dinilai pada rancangan ini adalah dispenser mampu menunjukkan identitas pengguna dan menarik untuk terus digunakan. Akan tetapi, dispenser ini lemah pada unsur evokasi, yaitu tidak secara khusus mampu memicu kenangan pengguna terhadap suatu kejadian menyenangkan di masa lalu. Desain dispenser yang minimalis juga dinilai menarik, modern, dan mewah. Secara keseluruhan, persentase responden yang memberikan respon positif terhadap 10 atribut rancangan dispenser adalah sebagai berikut: efektivitas (100%), efisiensi (100%), keamanan (100%), learnability (66,7%), memorability (100%), identifikasi (83,3%), stimulasi (100%), evokasi (16,7%), desain/tampilan (100%), pemenuhan kebutuhan dan keinginan pengguna (100%).
Gambar 4. Rancangan Final Produk Bottom-Loading Dispenser Tabel 10. Pertanyaan Wawancara untuk Evaluasi Rancangan Final 1. 2. 3. 4.
Apakah desain fisik dan fitur dispenser ini sudah efektif? Sebutkan bagian secara spesifik dan jelaskan alasan Anda. Apakah desain fisik dan fitur dispenser ini sudah efisien? Sebutkan bagian secara spesifik dan jelaskan alasan Anda. Apakah desain fisik dan fitur dispenser aman? Sebutkan bagian secara spesifik dan jelaskan alasan Anda. Apakah display menunjukkan informasi yang lengkap dan mudah dipelajari kegunaan serta cara kerjanya? Jelaskan alasan Anda. 5. Apakah kegunaan dan cara kerja display pada dispenser mudah diingat? Jelaskan alasan Anda. 6. Apakah dispenser mampu menunjukkan identitas diri atau citra dari penggunanya? Jelaskan alasan Anda. 7. Apakah dispenser menarik pengguna untuk terus menggunakan produk tersebut? Jelaskan alasan dengan lengkap. 8. Apakah dispenser mampu membangkitkan ingatan pengguna pada kejadian menyenangkan di masa lalu? Jelaskan. 9. Apakah dispenser memiliki tampilan atau desain keseluruhan yang menarik? Sebutkan dan jelaskan alasan dengan lengkap. 10. Apakah rancangan dispenser ini memenuhi kriteria bottom-loading dispenser yang sesuai kebutuhan dan keinginan pengguna?
IV. KESIMPULAN Hal yang dapat diidentifikasi dari pengamatan user experience dalam penggunaan bottomloading dispenser melalui studi diary adalah produk bottom-loading dispenser lebih menghadirkan pengalaman yang mengandung aspek pragmatis daripada hedonis. Sebagian besar pernyataan dalam diary menilai produk bottom-loading dispenser secara positif. Aspek pragmatis yang unggul di mata responden adalah efektivitas, keamanan, learnability, dan memorability. Sedangkan aspek hedonis yang unggul menurut penilaian responden adalah identifikasi. Aspek hedonis evokasi merupakan unsur yang paling lemah. Berdasarkan hasil pengolahan diary, juga ditemukan adanya relasi antara aspek pragmatis dengan hedonis. Oleh karena itu, dengan SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-16
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
memperkuat unsur-unsur pragmatis pada rancangan, aspek hedonis pada bottom-loading dispenser juga sekaligus dapat meningkat. Kriteria perancangan dihasilkan dari interpretasi konteks-konteks yang melatar-belakangi kemunculan suatu kode pragmatis dan hedonis. Kriteria yang diutamakan adalah kriteria yang mempengaruhi banyak kode, kriteria yang sudah dinilai positif oleh pengguna, dan terakhir adalah kriteria yang berupa perbaikan. Hasil evaluasi terhadap rancangan usulan menunjukkan desain dan bahan kerangka luar, modifikasi setiap fitur, dan cara kerja fitur telah berhasil menyajikan aspek pragmatis dan hedonis dari bottom-loading dispenser yang dapat menghadirkan positive user experience. Akan tetapi, aspek hedonis-evokasi memang tetap tidak menonjol dari produk dispenser. Hal ini dapat disebabkan jangka waktu penggunaan produk oleh responden yang belum terlalu lama, responden tidak berinteraksi secara langsung dengan rancangan produk (hanya digunakan virtual prototype), dan dibutuhkannya konteks penggunaan yang khusus. Penelitian selanjutnya dengan fokus user experience dapat menggunakan produk yang mengandung aspek pragmatis (usability) dan hedonis (identifikasi, stimulasi, dan evokasi) yang lebih seimbang. Hal itu dapat diwujudkan dengan memilih produk yang tidak hanya dibutuhkan untuk beraktivitas, tetapi juga diinginkan untuk pemenuhan diri, seperti smartphone, kamera, laptop, dan lain-lain. Dengan demikian, evokasi yang tidak dominan pada penelitian ini dapat lebih terlihat. Pada tahap pengumpulan data, pelaksanaan studi diary dapat dilakukan dengan periode yang lebih panjang untuk menangkap peristiwa-peristiwa yang mungkin lebih beragam dan untuk melihat perubahan perilaku pengguna dengan lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Bargas-Avila, J. A. & Hornbæk, K., 2011, “Old Wine in New Bottles or Novel Challenges: A Critical Analysis of Empirical Studies of User Experience”, dalam Proceedings of the Annual Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'11, hlm. 2689-2698, New York: ACM Press. Bolger, N.; Davis, A. & Ravaeli, E., 2003, “Diary Methods: Capturing Live as it is Lived”, Annual Review of Psychology, Vol. 54, hlm. 579-616. Creswell, J.W., 2007, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Approaches, 2nd Ed., Thousand Oaks, California: Sage. Hassenzahl, M., 2003, “The Thing and I: Understanding the Relationship between User and Product”, dalam Blythe, M. A.; Overbeeke, K.; Monk, A. F. & Wright, P. C. (Editor), Funology: From Usability to Enjoyment, hlm. 31-42, Boston: Kluwer Academic Publishers. Hassenzahl, M., 2004, “The Interplay of Beauty, Goodness, and Usability in Interactive Products”, HumanComputer Interaction, Vol. 19 No. 4, hlm. 319-349. Hsieh, H.-F. & Shannon, S. E., 2005, “Three Approaches to Qualitative Content Analysis”, Qualitative Health Research, Vol. 15 No. 9, hlm. 1277-1288. ISO 9241-210, 2010, Ergonomics of Human System Interaction - Part 210: Human-Centred Design for Interactive Systems, Switzerland: International Organization for Standardization (ISO). Jordan, P. W., 2000, Designing Pleasurable Products: An Introduction to the New Human Factors, London: Taylor & Francis. Karapanos, E.; Zimmerman, J.; Forlizzi, J. & Martens, J.-B., 2009, “User Experience Over Time: An Initial Framework”, dalam Proceedings of the 27th International Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'09, hlm. 729-738, New York: ACM Press. Macnamara, J., 2005, “Media Content Analysis: Its Uses, Benefits and Best Practice Methodology”, Asia Pacific Public Relations Journal, Vol. 6 No. 1, hlm. 1-34. Mahlke, S. & Thüring, M., 2007, “Studying Antecedents of Emotional Experiences in Interactive Contexts”, dalam Proceedings of the International Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'07, hlm. 915-918, New York: ACM Press. Sutcliffe, A., 2010, Designing for User Engagement: Aesthetic and Attractive User Interfaces, San Rafael, California: Morgan & Claypool Publishers. Väänänen-Vainio-Mattila, K.; Roto, V. & Hassenzahl, M., 2008, “Now Let's Do It in Practice: User Experience Evaluation Methods in Product Development”, dalam Extended Abstracts of the International Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'08, hlm. 3961-3964, New York: ACM Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-17
Petunjuk Sitasi: Dewi, L. T., & Dantes, K. (2017). Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Industri Kecil. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B18-23). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Industri Kecil (1), (2)
Luciana Triani Dewi(1), Kevin Dantes(2) Program Studi Teknik Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 43 Yogyakarta (1)
[email protected], (2)
[email protected]
ABSTRAK Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Pemerintah Republik Indonesia memberikan aturan bagi setiap industri untuk menyediakan dan mewajibkan penggunaan APD bagi pekerja. Namun faktanya, banyak ditemui industri yang tidak mematuhi aturan tersebut, terlebih industri skala mikro-kecil. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi penggunaan APD pada pekerja suatu industri kecil yang melibatkan mesin, perkakas dan instalasi yang berpotensi bahaya pada pekerja. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab pekerja tidak mematuhi penggunaan APD dan menganalisis pengaruh penggunaan APD pada hasil kerja. Metode yang digunakan adalah kuesioner terstruktur untuk identifikasi respon pekerja terhadap APD dan uji statistik paired t-test untuk menentukan signifikansi perbedaan hasil kerja menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil studi menunjukkan pekerja tidak nyaman menggunakan APD saat beraktivitas dan terdapat perbedaan signifikan hasil kerja saat menggunakan APD dan tanpa APD, dimana hasil kerja lebih baik saat tanpa APD. Rekomendasi diberikan untk mengevaluasi APD yang disediakan serta kebijakan dalam penentuan target produksi dengan memperhatikan kelonggaran akibat penggunaan APD. Kata kunci— alat pelindung diri, industri kecil, keselamatan dan kesehatan kerja
I. PENDAHULUAN Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri mendefinisikan alat pelindung diri (APD) sebagai suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Menurut PER.08/MEN/VII/2010 pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja dan APD wajib digunakan di tempat kerja dengan kondisikondisi khusus, diantaranya tempat kerja yang menggunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan. Namun pada kenyataannya, fakta menunjukkan banyak terjadi pelanggaran dan penyimpangan dari aturan tersebut, terlebih di industri skala mikro kecil. Padahal industri mikro kecil tidak lepas dari potensi-potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja dalam menjalankan aktivitasnya. Permasalahan umum yang dihadapi industri terkait dengan APD dapat bersumber dari pihak manajemen maupun dari sisi pekerja. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan permasalahan dari pihak manajemen antara lain kelemahan dalam menerapkan strategi yang dapat mendukung dan memotivasi karyawan akan manfaat dan pentingnya APD (Andrews, 2000), permasalahan kebijakan dan pengawasan (Agustina & Khayan, 2014), manajemen dan lingkungan kerja (Atmanto, 2011). Permasalahan dari sisi pekerja antara lain faktor pengetahuan, sikap dan tindakan dalam menjalani program APD (Parimalam, Kamalamma, & Ganguli, 2007 ; Prasetyo, 2015) dan tipe kepribadian karyawan (Prasetyawati dkk, 2016). Studi ini dilakukan di sebuah industri kecil yang bergerak di bidang pemrosesan sheet metal dan berbagai pengerjaan logam. Dalam prosesnya melibatkan mesin-mesin, proses pengerjaan, proses penanganan material dan lingkungan kerja yang berpotensi bahaya bagi pekerjanya. Data SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-18
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil
historis menunjukkan seringnya terjadi cedera yang dialami pekerja akibat kejadian kecelakaan kerja. Cedera dapat terjadi dengan tingkat keparahan meningkat karena pekerja tidak menggunakan APD selama bekerja. Wawancara terbuka kepada pekerja teridentifikasi beberapa faktor penyebab pekerja tidak menggunakan APD selama bekerja. Pertama, pekerja tidak terbiasa bekerja dengan memakai APD dan merasa tidak nyaman jika bekerja menggunakan APD sehingga justru memperlama waktu kerja. Kedua, pekerja merasa tidak perlu menggunakan APD karena sudah mahir dan sangat menguasai pekerjaannya sehingga mampu menghindari bahaya. Ketiga, pekerja harus melakukan aktivitas yang beragam dalam pekerjaannya dengan beragam APD yang sesuai untuk setiap jenis aktivitas. Pekerja merasa APD akan memperlambat pekerjaan karena harus berkali-kali melepas dan menggunakan APD yang sesuai setiap berganti aktivitas kerja. Studi dilakukan dengan tujuan utama untuk menganalisis pengaruh penggunaan APD pada output yang dihasilkan pekerja. Hasil analisis dapat digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi kebijakan perusahaan terkait program APD yang diterapkan selama ini. Penelitian terdahulu menunjukkan hasil bahwa dengan penggunaan APD yang tepat akan memberikan perlindungan optimal pada penggunanya. APD memiliki peran penting dalam mengurangi bahaya kerja dan cidera, serta mengurangi dampak risiko kecelakaan yang mungkin terjadi pada lantai produksi (Afandi & Desrianty, 2014; Kwame, Kusi, & Lawer, 2014; Mitchual, Donkoh, & Bih, 2015). II. METODOLOGI A. Identifikasi Respon Pekerja Terhadap APD Kuesioner terstruktur digunakan sebagai instrumen untuk identifikasi respon pekerja terhadap kondisi dan pelaksanaan program APD saat ini. Sebagai responden adalah 11 (sebelas) orang pekerja bagian produksi. Kuesioner yang digunakan menggunakan skala Likert yaitu ukuran yang menyatakan seberapa setuju responden dengan pernyataan yang diberikan dengan 5 poin skala yaitu: 1 = sangat setuju, 2 = setuju, 3 = ragu-ragu, 4 = tidak setuju, 5 = sangat tidak setuju. Respon yang diidentifikasi meliputi 1) ketersediaan APD; 2) kondisi APD; 3) kebiasaan menggunakan APD; 4) problem kenyamanan saat penggunaan APD; 5) gangguan pergerakan karena APD dan 6) efek APD memperlambat kerja. Selanjutnya dilakukan analisis statistik deskriptif terhadap hasil jawaban responden untuk mengidentifikasi respon pekerja tentang APD. B. Analisis Pengaruh Penggunaan APD Terhadap Hasil Kerja Riset observasional dengan pendekatan cross sectional dilakukan untuk menguji pengaruh penggunaan APD terhadap hasil kerja. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaan APD dan variabel tak bebas adalah output yang dihasilkan pekerja. Penentuan sampel menggunakan judgement sampling dimana para pekerja yang dijadikan subjek penelitian telah mencapai usia produktif yaitu 15 tahun atau lebih berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, Pasal 1 Butir 10. Subjek memiliki ketrampilan yang setara dan bekerja dalam kondisi sehat. Proses kerja yang diamati adalah proses pengerjaan produk engsel meja pingpong yang merupakan pesanan utama yang dikerjakan saat penelitian dilakukan. Jenis pekerjaan yang diuji adalah cutting (C), punching (P), bending (B), welding (W) dan grinding (G). Pengambilan data dilakukan saat subjek tidak menggunakan APD selama 5 (lima) hari kerja. Selanjutnya diberikan perlakuan pada subjek yaitu bekerja dengan menggunakan APD yang sesuai dengan setiap jenis pekerjaan yang dilakukan. Dilakukan uji coba selama 7 hari kerja dengan tujuan agar diperoleh data pada kondisi pekerja telah terbiasa bekerja dengan APD yang sesuai. Setelah masa uji coba, dilakukan pengambilan data saat subjek menggunakan APD selama 5 hari kerja. Analisis statistik paired t-test digunakan untuk menguji adanya perbedaan rata-rata hasil kerja tanpa APD dan hasil kerja menggunakan APD. Hipotesis yang diuji adalah H 0 : tidak terdapat perbedaan signifikan hasil kerja tanpa menggunakan APD dan hasil kerja menggunakan APD dan H1 : terdapat perbedaan signifikan hasil kerja tanpa menggunakan APD dan hasil kerja menggunakan APD. Tingkat signifikansi ditetapkan untuk p < 0,05.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-19
Dewi dan Dantes
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil skor respon pekerja terhadap kondisi dan program APD ditunjukkan pada Tabel 1. Terdapat 4 butir respon yang masuk kriteria level 5, yang artinya mutlak terjadi atau positif dirasakan oleh pekerja. Ada satu butir respon termasuk kriteria level 2 dan satu butir respon lainnya masuk kriteria level 3. Dari hasil identifikasi respon menunjukkan bahwa pekerja sangat tidak biasa menggunakan APD, APD sangat menyebabkan ketidaknyamanan dan mengganggu gerakan serta memperlama penyelesaian pekerjaan. Pekerja menyadari bahwa manajemen telah menyediakan APD untuk para pekerja. Untuk respon terhadap kondisi APD yang disediakan, pekerja tidak tahu (tidak paham) apakah APD yang disediakan layak atau tidak. No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1 Respon pekerja terhadap APD Skor Rating skor (%) Manajemen tidak menyediakan APD 17 30,91 APD yang disediakan tidak layak 25 45,45 Pekerja tidak terbiasa menggunakan APD 48 87,27 APD menyebabkan ketidaknyamanan saat 49 89,09 bekerja APD mengganggu gerakan kerja 49 89,09 Penggunaan APD memperlama pekerjaan 49 89,09 Butir
Level kriteria 2 3 5 5 5 5
Data output kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD ditunjukkan pada Tabel 2. Analisis paired t-test digunakan untuk menguji hipotesis perbedaan rata-rata output menggunakan APD dan tanpa APD, diolah dengan software Minitab. Hasil pengujian untuk pekerjaan Cutting menunjukkan hasil t(9) = 4,36 dengan p = 0,002 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Punching menunjukkan hasil t(19) = 3,45 dengan p = 0,003 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Bending menunjukkan hasil t(4) = 5,83 dengan p = 0,004 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Welding menunjukkan hasil t(9) = 5,85 dengan p = 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Grinding menunjukkan hasil t(9) = 5,46 dengan p = 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD.
Tabel 2 . Hasil output tanpa APD dan memakai APD Rata-rata hasil (unit) Job Subjek Tanpa APD Memakai APD C1 483,4 460 C C2 482,4 465,8 P1 239,4 233,6 P2 241,2 237 P P3 236,6 232,8 P4 241 234,6 B B1 282,2 262,8 W1 193,6 166,6 W W2 191,6 170 G1 290,8 267 G G2 289,2 269,4
Hasil pengujian untuk seluruh job menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa menggunakan APD. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa penggunaan APD memberi dampak pada output yang dihasilkan pekerja. Data pada Tabel 2 menunjukkan rata-rata hasil output pada saat menggunakan APD menunjukkan nilai yang lebih SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-20
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil
rendah dibandingkan saat bekerja tanpa APD. Artinya dampak penggunaan APD yang ditunjukkan adalah menurunkan hasil output pekerja. Fenomena ini sesuai dengan respon pekerja yang menyatakan bahwa penggunaan APD menganggu kenyamanan bekerja dan memperlambat waktu kerja. Studi terdahulu menunjukkan hasil yang sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana penggunaan APD akan mempengaruhi kelonggaran (allowance) dalam proses penyelesaian kerja (Sugarda, Santiasih & Juniani, 2014). Oleh karena itu dilakukan investigasi lebih lanjut penyebab menurunnya hasil akibat penggunaan APD saat bekerja. Tabel 3 menunjukkan potensi bahaya kerja dan daftar APD yang digunakan pekerja. Berdasarkan analisis potensi bahaya di setiap jenis pekerjaan, pihak manajemen telah menyediakan jenis APD yang sesuai sebagai bentuk perlindungan pada pekerja. Identifikasi karakteristik dan spesifikasi setiap jenis APD dilakukan dengan observasi terhadap perilaku pekerja selama menggunakan APD untuk menelusuri sumber penyebab ketidaknyamanan akibat penggunaan APD. Tabel 3 Jenis-jenis potensi bahaya kerja dan APD yang digunakan APD yang Job Potensi bahaya digunakan Cutting Pisau potong & benda kerja tajam Safety shoes Punching Sarung tangan Gerak pisau potong naik turun Bending Lantai yang licin Serpihan material tajam Welding Percikan Api Safety shoes Sarung tangan Arus Listrik Apron Cahaya intensitas tinggi Masker (topeng) las Serpihan material tajam Benda kerja tajam Grinding Mata pisau gerinda yang tajam Safety shoes Kacamata Rotasi mata pisau gerinda Masker Arus listrik Debu serpihan material Serpihan material tajam di lantai & permukaan kerja
Berdasarkan observasi ditemukan permasalahan yang dihadapi pekerja terkait penggunaan sepatu pelindung (safety shoes). Pekerja menggunakan safety shoes tanpa dilengkapi dengan kaus kaki. Sementara jenis safety shoes yang digunakan adalah jenis yang berbahan tebal untuk melindungi kaki dari benda tajam, akibatnya kaki akan terasa panas dan berkeringat setelah beberapa saat bekerja. Dampak dari kondisi ini adalah pekerja merasakan gangguan dan ketidaknyamanan dalam bekerja serta gerakan langkah kaki menjadi terhambat. Terkait dengan penggunaan sarung tangan, ditemukan permasalahan yang diakibatkan jenis bahan sarung tangan yang tidak sesuai. Sarung tangan berbahan kain yang rapat dan tebal sehingga menyebabkan tangan terasa panas dan berkeringat setelah beberapa saat bekerja. Selain itu, sarung tangan yang digunakan juga mempersulit gerakan jari saat beraktivitas. Beberapa pekerja mengatasi permasalahan ini dengan pemulihan kondisi dengan cara melepas sarung tangan sesaat umtuk menguapkan keringat dan merilekskan jari-jari. Tentu saja hal ini berakibat memperlama waktu penyelesaian pekerjaan. Permasalahan juga ditemukan pada kacamata yang digunakan pada pekerjaan grinding. Bahan kacamata terbuat dari plastik keras tanpa cushion untuk bagian hidung dan telinga. Akibatnya saat pekerja menggunakan kacamata grinding dalam waktu yang lama, rasa sakit muncul pada bagian hidung dan telinga karena terjepit bingkai kacamata. Berdasarkan temuan-temuan ketidaksesuaian tersebut, diusulkan penggunaan APD yang sesuai untuk jenis pekerjaan yang dilakukan. Safety shoes yang disediakan sudah sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, hanya saja pada penggunaannya perlu dilengkapi dengan kaus kaki untuk menghindari gesekan kulit dengan permukaan sepatu dan menyerap keringat. Sarung tangan yang digunakan untuk proses cutting, punching, dan bending kurang sesuai sehingga menimbulkan permasalahan dalam penggunaannya. Sebaiknya digunakan sarung tangan berbahan serat aramid atau sarung tangan khusus untuk proses metal fabricating. Menurut OSHA, kacamata SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-21
Dewi dan Dantes
untuk proses grinding yang tepat adalah cushioned fitting goggles. Jenis kacamata ini tidak menimbulkan embun dan rasa sakit pada hidung dan telinga (OSHA,2003). Alternatif dengan biaya yang lebih adalah menggunakan face shield yang dapat melindungi mata sekaligus pernafasan karena dilengkapi dengan respirator. Penggunaan APD yang lebih tepat diharapkan dapat menurunkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi pekerja saat bekerja dengan APD. Meskipun demikian, pertimbangan tambahan kelonggaran waktu tetap perlu diperhatikan dalam penentuan target produksi. Hal ini mempertimbangkan kemungkinan menurunnya performansi kerja dapat terjadi akibat dari penggunaan APD (Johnson, 2005). APD dapat meningkatkan produktivitas dalam arti menghilangkan waktu kerja hilang (day lost) akibat cedera atau sakit akibat kerja (Sebestyen, 1993). Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menentukan besaran kelonggaran untuk mengakomodir penurunan performansi akibat penggunaan APD, sehingga penentuan target produksi pun dapat disesuaikan dengan kondisi ini. IV. PENUTUP Penggunaan APD mempengaruhi performansi kerja dalam menghasilkan output. Dampak yang ditimbulkan adalah penurunan rata-rata hasil kerja saat menggunakan APD. Pemilihan APD yang tepat dapat mengurangi resiko penurunan performansi kerja. Meskipun demikian, efek penurunan performansi tidak bisa mutlak dihilangkan pada penggunaan APD. Oleh karena itu, pertimbangan kelonggaran diperlukan dalam penentuan waktu penyelesaian pekerjaan dan target produksi dengan memperhatikan aspek keselamatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA Afandi, R., & Desrianty, A. (2014). Usulan Penanganan Identifikasi Bahaya Menggunakan Teknik Hazard Identification Risk Assessment and Determining Control ( HIRADC ). Reka Integra Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Vol.02, No.03, hlm 25–35. Agustina & Khayan. (2014). Faktor yang Berhubungan Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri Oleh Pekerja PT. Hok Tong Di Pontianak. Sanitarian Jurnal Kesehatan, 6(3), hlm 312-317 Andrews, T. (2000, January). Getting employees comfortable with PPE: You can do it! Occupational Hazards, hlm 35-37. Atmanto, I.S. (2011). Behavioral Determinants Workers in The Use of PPE Based on Hazard Assessment in Foundry Company Ceper Klaten. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-2 Tahun 2011, hlm C24-C29 Jhonson, A. (2005). PPE and Productivity. AIHA Synergist, November 2005. Dikutip dari http://artjohnson.umd.edu/bioe/PPE-and-Productivity.pdf. Diakses 1 Februari 2017 Kwame, Ochire Bodau, Kusi, E dan Lawer E. A. (2014). Occupational Hazards and Safety Practices : A Concern among Small Scale Sawmilling Industries in Tamale Metropolis Ghana. International Journal of Scientific & Technology Research, Vol.3, issue10, hlm 234-236. Mitchual, S.J., Donkoh, M., Bih, F. (2015). Assessment of Safety Practices and Injuries Associated with Wood Processing in a Timber Company in Ghana. Open Journal of Safety Science and Technology. Vol.5, hlm 10–19 OSHA. (2003). Personal Protective Equipment. U.S. Department of Labor. Occupational Safety and Health Administration Parimalam, P., Kamalamma, N., & Ganguli, A. K. (2007). Knowledge, Attitude and Practice Related to Occupational Health Problems Among Garment Workers in Tamil Nadu, Indis. J. Occup Health, 49, hlm 528-534. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri Prasetyawati, Ardiyanto, D., Widati, S. (2016). The Influence of Personality Types on Adherence Workers Using Personal Protective Equipment at Mega Andalan Kalasan Company. Indian Journal of Basic and Applied Medical Research, 5(4), hlm 509-517. Prasetyo, E. (2015). Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) Terhadap Kepatuhan Dalam Menggunakan APD di Unit Coating PT. Pura Barutama Kudus. The 2nd University Research Coloquium 2015. hlm 526-535. Sebestyen, A. (1993). Managing a PPE Program. OH & S Canada; Nov/Dec 1993, hlm 26-29
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-22
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil
Sugarda, A., Santiasih, I., Juniani, A.I. (2014). Analisa Pengaruh Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Terhadap Allowance Proses Kerja Pemotongan Kayu (Studi Kasus : PT. PAL Indonesia). J@TI Undip, IX(3), hlm 139-146.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-23
Petunjuk Sitasi; Nurtjahyo, H. K., Chandra, N., & Moch, B. N. (2017). Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B24-29). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Herlina K. Nurtjahyo(1), Nicko Chandra(2) , Boy N. Moch(3) (1) Teknik Industri, Universitas Islam As’Syafiiyah, (2) Departemen Teknik Industri UI, (3)Departemen Teknik Industri UI Fakultas Sain dan Teknologi – Universitas Islam As’Syafiiyah Jatiwaringin, Jakarta Timur (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected] ABSTRAK Kereta api sebagai moda transportasi darat yang memiiki efisiensi paling tinggi, memiliki peran penting dalam perkembangan negara Indonesia. Namun, peningkatan penumpang dan kepadatan lalu lintas perkeretaapian dapat berdampak pada tugas dari seorang pengatur perjalanan kereta api (PPKA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis PPKA dengan dibantu oleh simulator pelayanan kereta sederhana. Pengukuran terhadap 10 petugas PPKA dilakukan dengan menggunakan NASA-TLX, detak jantung, tekanan darah, serta waktu reaksi dengan software design tools. Hasil yang diperoleh adalah signifikansi pengaruh terjadi pada hasil subjektif namun tidak pada hasil pengukuran, serta perubahan kondisi fisiologis lebih signifikan pada jenis percobaan time on task dibanding dengan jenis percobaan task complexity. Kata kunci— Beban Kerja Mental, Ergonomi, Fisiologis, NASA-TLX, PPKA .
I. PENDAHULUAN Mental workload sebagai sebuah hal yang berkaitan dengan kognitif manusia sangat perlu dijaga agar berada pada tingkat yang sesuai dikarenakan operator atau petugas merupakan komponen vital dari sebuah sistem (Fallahi et al., 2016). Berbagai jenis penelitian terkait mental workload telah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya, seperti analisis berbasis performa, penilaian fisiologis, dan penilaian subjektif dalam melakukan pengukuran terhadap beban kerja mental (Miller, 2001). Ryu (2005) melakukan evaluasi terhadap beban kerja mental dengan melakukan kombinasi pengukuran fisiologis dalam mengerjakan tugas berkaitan dengan aritmatika. Sedangkan Fallahi et al. (2016) melakukan penelitian terkait beban kerja mental dengan melihat respon fisiologis dan subjektif pada operator pemantau intensitas kemacetan. Pada kondisi saat ini, moda transportasi kereta api yang dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia atau PT KAI merupakan moda transportasi andalan bagi pemerintah Indonesia dalam mengurai kemacetan. Menurut RIPNAS 2030, kereta api merupakan moda tranportasi yang paling efisien dengan efisiensi energi 6-10 kali lipat lebih baik dibandingkan moda darat lain sehingga pemerintah berniat untuk meningkatkan pangsa pasar penumpang dan barang KA sebesar 6 % dan 16 % (Kementerian Perhubungan, 2011). Pertumbuhan sektor perkeretaapian sudah semakin terlihat sejak saat ini. Menurut statistik perhubungan, sejak tahun 2010 hingga 2014, angka pertumbuhan sektor perkeretaapian sebesar 8,98 persen dan 24,68 persen untuk penumpang dan barang pulau jawa serta 4,6 persen dan 10,04 persen untuk penumpang dan barang pulau sumatera (Kementerian Perhubungan, 2014). Peningkatan ini pun menjadikan peningkatan kepadatan lalu lintas perkeretaapian. Pada pelaksanaannya, salah satu peran penting dalam pemantauan dan pengaturan perjalanan kereta api dilakukan oleh seorang petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA). Tugas utama seorang petugas PPKA adalah untuk mengendalikan perjalanan kereta api agar dapat berjalan lancar dan sesuai dengan jadwal. Seorang PPKA wajib memiliki sebuah sertifikat kecakapan pengatur perjalanan kereta api yang sah dan masih berlaku yang diterbitkan oleh direktorat jenderal dan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-24
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA)
juga badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri. Seiring dengan semakin padatnya jumlah perjalanan kereta api, maka semakin padat pula pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang petugas PPKA. Hal ini disebabkan, seorang petugas PPKA harus melayani kereta api yang masuk ke dalam daerah operasinya dan memastikan kereta tersebut dapat berangkat dengan aman dengan melakukan koordinasi dengan daerah operasi sekitar. Melihat semakin tingginya tuntutan tugas dari seorang PPKA tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis dari petugas PPKA. Analisis ini berguna untuk membuat klasifikasi tingkatan beban kerja dengan melihat kepada perubahan kondisi fisiologis para petugas PPKA. Hal ini sangat menarik karena selain penelitian serupa di sektor perkeretaapian Indonesia masih sedikit, juga dapat memberikan sebuah perlakuan yang sesuai kepada para petugas apabila kita telah mencapai kepada sebuah tingkatan beban kerja tertentu. Selanjutnya melalui penelitian ini, diharapkan dapat membuat sektor perkeretaapian Indonesia semakin baik lagi untuk kedepannya dan menjadi transportasi masa depan di negara Indonesia. II. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis serta klasifikasi dari masing-masing kondisi fisiologis tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat Omron HEM-650 untuk mengukur tekanan darah dan Polar FT-7 untuk mengukur detak jantung. Responden penelitian berjumlah 10 orang petugas PPKA PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi I dengan usia 23 – 38 tahun dan memiliki sertifikasi kecakapan O-50 serta seluruh pengumpulan data dilakukan setelah jam dinas. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan data beban kerja secara subjektif, pengukuran data perubahan kondisi fisiologis (detak jantung dan tekanan darah), dan pengukuran hasil dengan perangkat lunak design tools. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sebuah simulasi sederhana pelayanan kereta yang dilakukan oleh petugas PPKA. Simulasi direkayasa dengan dua jenis kondisi yang menggambarkan beban kerja mental yakni dengan perbedaan tingkat kesulitan (task complexity) dan simulasi dengan durasi tertentu (time on task). Berikut merupakan tahapan pengumpulan data yang dilakukan: 1. Pengaturan, persiapan, dan persiapan alat kemudian memasangkan tali Polar FT-7 ke responden 2. Pengumpulan data simulasi yang terdiri atas dua jenis kategori beban kerja mental, task complexity dan time on task. 3. Pada time on task, diawali dengan melakukan pengukuran tekanan darah dan hasil design tools sebelum pengerjaan tugas, pengukuran data detak jantung simulasi per 1 menit, serta pengukuran tekanan darah dan hasil design tools setelah pengerjaan tugas. 4. Pada task complexity, diawali dengan melakukan pengukuran tekanan darah sebelum pengerjaan tugas, pengukuran data detak jantung per tingkat kesulitan task, dan melakukan pengukuran tekanan darah setelah pengerjaan tugas. 5. Pengisian kuesioner beban kerja mental NASA-TLX. Data hasil pembobotan dan penilaian dari kuesioner 10 orang responden akan diolah sehingga didapat nilai beban kerja mental terbobot pada masing-masing responden. Kemudian akan dilakukan uji beda untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara kondisi normal dan gangguan. Pengolahan yang sama dilakukan pada data detak jantung, tekanan darah, dan design tools untuk mengetahui signifikansi perbedaan dua buah kondisi beban kerja mental. Setelah itu dibuat persamaan regresi dengan menjadikan nilai NASA-TLX menjadi variabel terikat dan seluruh variabel lain menjadi variabel bebas. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner, pengukuran dengan menggunakan penilaian subjektif pada kondisi normal dan kondisi gangguan, memberikan hasil yang cukup sesuai dengan hipotesis. Pada dua kondisi pengukuran, skala yang memiliki nilai tertinggi adalah mental demand (MD) yang berarti beban pikiran menjadi faktor yang paling mendominasi dibandingkan faktor-faktor SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-25
Nurjahtyo, Chandra, and Moch
lain. Hal ini dikarenakan pekerjaan sebagai seorang PPKA merupakan pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab tinggi sehingga semakin tinggi tuntutan dari pekerjaan, maka akan menyebabkan kebutuhan pikiran yang dibutuhkan berada pada angka yang tinggi pula (Fallahi et al.,2016) Hasil pengukuran dari kuesioner NASA TLX pada kondisi gangguan, cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kondisi normal. Hal ini dikarenakan peningkatan pekerjaan akan menyebabkan operator merasakan ketegangan yang lebih ketika menjalankan pekerjaannya. Seluruh skala pengukuran kuesioner menunjukkan sebuah peningkatan dari kondisi normal ke gangguan kecuali pada skala performance (PE) yang justru mengalami penurunan pada kondisi gangguan. Hal ini dapat disebabkan pada kondisi gangguan fokus beban kerja telah jauh meningkat sehingga para petugas PPKA menjadi cenderung lebih mudah puas terhadap performa yang ada sehingga tidak mengejar kepuasan terhadap performa yang lebih tinggi lagi. Gambar 1 berikut menunjukkan hasil pengukuran kuesioner dari para petugas PPKA.
Data NASA-TLX Low
High
70
NILAI WWL
60 50 40 30 20 10 0 MD
PD
TD
EF
PE
FR
Total WWL
Low
15.73
11.23
8.7
11.734
7.8
1.67
56.87
High
15.83
15.73
9.47
15.3
5.73
2.93
65
SKALA PENGUKURAN
Gambar 1 Grafik Persebaran Hasil Kuesioner NASA-TLX Pengukuran dengan menggunakan NASA-TLX yang terdiri atas beberapa skala memberikan nilai signifikansi sebesar 0,003 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara nilai weighted workload yang dihasilkan pada kondisi normal dengan nilai pada kondisi gangguan karena nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha = 0,05. Namun, signifikansi dari nilai total weighted workload ini, hanya diikuti oleh skala physical demand (PD) tanpa diikuti skala lainnya. Hal ini berarti peningkatan paling tinggi dan signifikan antara kondisi normal dan gangguan terjadi pada tuntutan fisik yang harus dialami oleh petugas PPKA. Hal ini dapat terjadi dikarenakan seorang PPKA yang bertugas pada kondisi normal tidak melakukan aktivitas fisik berarti. Namun, pada kondisi gangguan seorang petugas. PPKA dituntut untuk turun langsung ke area lapangan untuk melakukan pengecekan bersama dengan petugas lapangan terkait gangguan yang terjadi. Peningkatan yang signifikan akan berdampak pada peningkatan ketegangan mental yang tinggi sehingga akan berimbas pada terjadinya ketidakteraturan pada kondisi mental PPKA (Fallahi et al., 2016) dan akan berdampak juga terhadap performa serta kesejahteraan dari pekerja (Johnson dan Widyanti, 2011) sehingga menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam memberikan perlakuan kepada para petugas PPKA. Kemudian, dilakunan analisis detak jantung terhadap responden. Masing-masing responden memiliki variasi tren detak jantung yang menandakan bahwa nilai beban kerjaan setiap responden berbeda dan bergantung dengan kapasitas yang dimiliki oleh setiap responden, karena secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-26
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA)
konsep beban kerja mental merupakan interaksi antara kapasitas dengan operator (Hilburn dan Jorna, 2001) sehingga perbedaan respon yang dikeluarkan oleh tubuh masing-masing responden adalah hal yang wajar. Rekapitulasi tren detak jantung responden ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Rekapitulasi Perubahan Detak Jantung Responden No. Responden
Detak Jantung Diskrit Kontinu
R01
Menurun
Meningkat
R02
Menurun
Menurun
R03
Menurun
Menurun
R04
Menurun
Meningkat
R05 R06 R07 R08 R09 R10
Meningkat Meningkat Menurun Menurun Menurun Meningkat
Menurun Menurun Meningkat Meningkat Menurun Menurun
Kemudian, dilakukan analisis tekanan darah sebagaimana tersaji pada tabel 2. Pada tekanan darah, tren cenderung menurun setelah para petugas melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat disebabkan dalam proses pengukuran tekanan darah ini masih menyisakan beban kerja dari proses pelayanan kereta sesungguhnya sehingga angka awal cenderung tinggi. Sama seperti detak jantung, proses perubahan ini juga dapat dikarenakan terdapat sebuah perbedaan kapasitas dari masing-masing operator yang membuat beban kerja yang diberikan tidak dapat sama satu sama lain (De Waard, 1996). Selain dari pada itu faktor pengalaman juga menjadi satu hal yang perlu dipertimbangkan karena pengalaman yang lebih tinggi tentunya dapat membuat kapasitas yang dimiliki oleh operator menjadi lebih besar. Hasil analisis signifikansi uji beda, baik detak jantung maupun tekanan darah, menghasilkan kesimpulan yakni tidak adanya suatu perbedaan signifikan secara statistik antara hasil pengukuran pada kondisi normal dengan kondisi gangguan dikarenakan nilai signifikan yang berada diatas nilai yaitu 0,05. Makna hasil uji tersebut pula, perbedaan tingkat beban kerja mental baik itu dengan task complexity ataupun dengan time on task tidak dapat tergambarkan melalui perubahan kondisi fisiologis. Hasil yang tidak signifikan ini dapat terjadi dikarenakan oleh kesalahankesalahan dalam pengerjaan penelitian. Argumen ini dikarenakan dari hasil yang diperoleh, beberapa variabel memperlihatkan nilai signifikansi yang tidak terpaut terlalu jauh dengan daerah penolakan H0 seperti variabel tekanan darah systol pada pengukuran dengan time on task serta pengukuran detak jantung dan tekanan darah diastol pada percobaan dengan task complexity. Faktor kesalahan yang paling utama ialah pengukuran dilakukan dengan simulator sederhana yang tidak sepenuhnya menggambarkan hal-hal yang setiap harinya dialami PPKA. Penggunaan simulator memberikan tekanan yang berbeda dengan kegiatan pelayanan kereta yang sesungguhnya. Karena pada nyatanya tingkat beban kerja mental seseorang juga didasari oleh keinginan dari orang tersebut dalam mengalokasikan sumber daya atau kemampuan yang dimilikinya (O’Donnell dan Eggemeier, 1986). Hal ini berarti ketika tidak adanya keinginan dari petugas dalam memfokuskan dirinya terhadap suatu pekerjaan akan berdampak pada tidak adanya perubahan beban kerja mental yang terjadi pada dirinya. Faktor lain adalah tidak diberikannya sebuah tuntutan terhadap waktu yang diluar waktu yang tersedia yang dimiliki oleh petugas. Hal ini cukup penting untuk mendapat signifikansi dari perbedaan hasil pengukuran dikarenakan beban kerja mental dapat menjadi tinggi ketika suatu pekerjaan membutuhkan hampir keseluruhan waktu tersedia yang dimiliki oleh petugas.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-27
Nurjahtyo, Chandra, and Moch
Tabel 2 Rekapitulasi Perubahan Tekanan Darah Dari Responden No. Responden
Systol Diskrit
Diastol
Kontinu
Diskrit
Kontinu
R01
Menurun
Menurun
Menurun
Meningkat
R02
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
R03
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
R04
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
R05
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
R06
Meningkat
Menurun
Menurun
Menurun
R07
Meningkat
Meningkat
Menurun
Menurun
R08
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
R09
Menurun
Menurun
Meningkat
Meningkat
R10
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Berdasarkan hasil pengolahan data, hasil analisis regresi akan dianalisis dengan tiga jenis pendekatan yakni pendekatan koefisien determinasi (Adjusted R Square), Uji F, dan Uji T. Analisis yang pertama adalah pada time on task. Pada hasil regresi pada jenis percobaan ini memberikan bentuk persamaan yakni Y = 65,284 + 0,851X1 - 0,37X2 - 0,485X3. Dimana X1 merupakan nilai detak jantung, X2 merupakan tekanan darah sistol dan X3 merupakan tekanan darah diastol. Hasil ini menandakan bahwa dengan kenaikan satu satuan pada setiap variabel, dapat meningkatkan beban kerja mental sebesar koefisien. Pada koefisien determinasi (R 2adj) yang ada yakni sebesar 0,449 menandakan bahwa variabel bebas yang terdapat pada persamaan mengambarkan 44,9% terhadap variabel terikat atau pada kategori sedang (Sugiyono, 2007). Pada hasil regresi pada jenis percobaan task complexity ini memberikan bentuk persamaan yaitu Y = 131,563 - 0,59X1 - 1,047X2 + 1,348X3. Dimana X1 merupakan nilai detak jantung, X2 adalah tekanan sistol responden serta X3 adalah tekanan diastol dari responden. Selanjutnya dengan melihat nilai koefisien determinasi yang bernilai 0,074 menandakan variabel bebas yang terdapat dalam persamaan menggambarkan variabel terikat sebesar 7,4% yang berarti sangat rendah. Berdasarkan hasil model regresi, klasifikasi diperoleh dengan terlebih dahulu memperoleh nilai Y prediksi. Kemudian hasil Y prediksi akan diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni kelompok tinggi (>50) dan kelompok agak tinggi (<50) seperti makna intepretasi dari nilai NASA-TLX. Berikut merupakan nilai rata-rata, minimum dan maksimum dari masing-masing kelompok pengukuran yang ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3 Nilai Rata-Rata, Minimum, dan MaksimumY Prediksi Tinggi
Variabel
Agak Tinggi
Average
Min
Max
Average
Min
Max
88,2
79,3
98,7
103,3
81,0
120,7
115,3
96,0
145,0
149,0
111,0
170,0
78,4
60,0
98,0
98,0
60,0
119,0
87,6
71,2
102,4
90,0
84,4
95,8
106,9
97,0
121,0
150,5
143,0
168,0
68,9
52,0
81,0
100,5
98,0
107,0
Task Complexity HR Sistol Diastol Time on Task HR Sistol Diastol
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-28
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA)
IV. PENUTUP Penelitian tentang analisis pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis pada petugas PPKA ini bertujuan untuk mencari tahu pengaruh anatara beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis serta memberika klasifikasi tingkat beban kerja mental dengan berdasarkan kepada kondisi fisiologis dari perugas PPKA. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut: • Berdasarkan hasil pengukuran subjektif, terdapat pengaruh beban kerja mental yang ditunjukkan dengan perbedaan yang signifikan antara kondisi normal dan gangguan pada total weighted workload yang didukung oleh poin physical demand. • Berdasarkan signifikansi hasil pengukuran, secara statistik perubahan beban kerja mental pada dua kondisi (task complexity dan time on task) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap seluruh variabel fisiologis baik detak jantung maupun tekanan darah. DAFTAR PUSTAKA de Waard, D., 1996. ―The Measurement of Drivers’ Mental Workload‖. Universit of Gronigen. Fallahi, M. Motamedzade, M., Heidarimoghadam, R., Soltanian, A.R., Miyake, S., 2016. ―Effects of mental workload on physiological and subjective responses during traffix density monitoring: a field study‖. Applied Ergonomics, Vol. 52, hlm. 95-103. Hilburn, B., Jorna, P., 2001. ―Workload in Air Traffic Control‖. In P.A. Hancock and P. Desmond (Eds.) Stress, Workload, and Fatigue: Theory, Research and Practice. Hillsdale, New Jersey, USA: Lawrence Erlbaum Associates, 384-394. Johnson, A. & Widyanti, A., 2011, ―Cultural influences on the measurement of subjective mental workload‖ Ergonomics, vol 54, no. 6, pp. 509-518. Kementerian Perhubungan, 2011, ―Rencana Induk Perkeretaapian Nasional‖. Diakses di http://ppid.dephub.go.id/files/dataka/RIPNAS-2030.pdf pada Agustus 2017. Kementerian Perhubungan, 2014, ―Buku Statistik Perhubungan‖. Miller, S., 2001. ―Literature review workload measures‖. University of Iowa. O’Donnel, C.R.D., Eggemeier, F.T., 1986. ―Workload Assessment Methodology‖. Ryu, K., Myung, R., 2005. ―Evaluation of mental workload with a combined measure based on physiological indices during a dual task of tracking and mental arithmetic‖. International Journal of Industrial Ergonomics, Vol. 35, hlm. 991-1009.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-29
Petunjuk Sitasi: Yahya, I., & Ariani, F. (2017). Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B30-35). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin Idhar Yahya(1), Farida Ariani(2), Erwin(3), Anizar(4), Zul Ardian Amralis(5) (1), (2), (3), (4), (5) Universitas Sumatera Utara, Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155 (1)
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mengamati kinerja pengrajin sapu ijuk yang bertugas merapikan ijuk secara manual dengan sisir kayu berpaku. Penyisiran dilakukan dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri memegang sapu yang akan disisir. Pengrajin mengeluhkan rasa sakit pada beberapa bagian tubuh sehingga mempengaruhi proses penyelesaian target produksi yang telah ditetapkan. Identifikasi keluhan pengrajin dikumpulkan menggunakan Standard Nordic Questionairre (SNQ) yang berisi 28 item pertanyaan. Dimensi tubuh pengrajin yang diukur dengan human body martin adalah tinggi siku duduk (TSD) dan jangkauan tangan (JT). Dalam penelitian ini diketahui bahwa pengrajin mengeluhkan sakit pada tangan kanan, betis kiri kanan dan bahu serta sangat sakit pada bahu kanan, lengan atas dan bokong, punggung dan leher. Alat penyisir ijuk dirancang sesuai dengan dimensi tubuh pengrajin yaitu panjang 67,2 cm, lebar 40 cm dan tinggi 71,5 cm. Alat penyisir ijuk ergonomis mengakibatkan pengrajin dapat menyisisr ijuk dengan nyaman sehingga waktu lebih singkat dan hasil lebih banyak. Kata kunci—Alat penyisir ijuk, Ergonomis, Keluhan, SNQ .
I. PENDAHULUAN Manusia dalam beraktifitas membutuhkan alat bantu yang dirancang khusus untuk membantu pekerjaan agar menjadi lebih mudah sehingga terasa lebih ringan, nyaman dan cepat. Fasilitas kerja yang dipergunakan sangat berpengaruh terhadap pekerja baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengaruh jangka pendek berupa keluhan rasa sakit akibat beban kerja berupa beban aktivitas fisik, mental, sosial. Beban yang diterima seseorang dan harus diselesaikan dalam waktu tertentu seharusnya disesuaikan dengan kemampuan fisik maupun keterbatasan pekerja. Pekerjaan harus selalu diusahakan memiliki postur kerja yang ergonomis sehingga tidak menimbulkan keluhan (Nurmianto, 1998). Gangguan muskuloskeletal di negara berkembang dianggap sebagai penyebab utama gangguan dan kecacatan kerja yang berhubungan dengan beban sosial ekonomi pada individu, organisasi dan masyarakat pada umumnya. Lumbar, lutut dan daerah leher memiliki gangguan muskuloskeletal yang paling umum yang disebabkan pekerja menangani beban berat secara manual dengan postur kerja yang tidak ergonomis (Aghilinejad, 2012). Gangguan muskuloskeletal atas memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor psikososial dan merupakan salah satu penyebab terjadinya tambahan biaya di tempat kerja (Behrani, 2017). Pekerja yang pekerjaannya melibatkan gerakan tangan secara berulang dan kuat maka akan rentan dengan resiko sakit pada pergelangan tangan atau carpal tunnel syndrome (CTS) (Chiang, 2017). Proses pembuatan sapu ijuk dimulai dari kegiatan memilah ijuk, merangkainya menjadi sapu hingga menyisirnya. Ijuk yang telah dirangkai menjadi sapu harus disisir supaya kotoran yang melekat terbuang dan sapu ijuk mengembang. Proses penyisiran ijuk merupakan kegiatan yang dilakukan secara manual dengan alat penyisir dari kayu yang ujungnya diberi 10 buah paku berukuran 2 inci. Seorang pengrajin setiap hari bertugas menyisir 200 buah sapu ijuk. Jika setiap sapu ijuk disisir sebanyak 150 kali dalam waktu 2 menit maka seorang pengrajin harus menyisir sebanyak 30.000 kali selama 6,67 jam. Proses penyisiran dilakukan dengan postur kerja duduk di atas sebuah papan kecil berukuran 30 cm x 15 cm x 10 cm sehingga terbentuk postur kerja yang tidak alamiah (Gambar-1). Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pengrajin sapu ijuk diketahui adanya keluhan sakit pada beberapa bagian tubuh akibat kegiatan penyisiran sapu ijuk
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-30
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin
yang dilakukan secara manual. Beban kerja fisik secara berulang-ulang (repetitif) membuat otototot cepat berkonstraksi sehingga mengalami kelelahan dan menimbulkan rasa sakit. Keluhan tersebut mengindikasikan bahwa ada pembebanan yang tidak seimbang pada bagian tubuh pengrajin sapu ijuk. Keluhan inilah yang biasanya disebut sebagai musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1998). Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Salah satu faktor yang menyebabkan keluhan muskuloskeletal adalah sikap kerja yang tidak alamiah karena harus membungkuk dan kaki tertekuk selama bekerja.
a
b
Gambar 1 (a) Proses penyisiran ijuk (b) Alat penyisir ijuk Proses penyisiran sapu ijuk secara manual dengan bantuan alat yang sangat sederhana menyebabkan kinerja proses sangat tergantung sepenuhnya pada manusia, baik dalam hal penggunaan tenaga maupun pengendalian kerja. Keterbatasan kemampuan dalam melakukan proses penyisiran ijuk mengakibatkan pengrajin merasa cepat lelah sehingga berdampak terhadap penurunan kualitas dan kuantitas sapu ijuk yang dihasilkan (Sutalaksana, 2005). Pengrajin sering tidak masuk jika sudah merasa sangat lelah dan istirahat di rumah untuk memulihkan rasa sakit berupa pegal yang dialami. Hal tersebut menyebabkan pekerjaan pembuatan sapu ijuk terkendala dan terhenti untuk sementara sampai pengrajin masuk kembali. Setiadi (2013) melakukan penelitian terhadap keluhan operator pemindahan batako dengan SNQ menemukan adanya rasa sakit pada sakit leher bagian atas, leher bagian bawah, punggung, pinggang, bokong, lengan bagian atas, lengan bagian bawah, pergelangan tangan, tangan, lutut dan pada kaki operator. Alat bantu berupa troli ergonomis dan pallet batako mengurangi resiko dari katagori berbahaya menjadi katagori aman. Anwar (2013) melakukan penelitian terhadap operator perajangan daun pandan pada proses pembuatan es dawet yang mengeluhkan sakit hingga sangat sakit. Rasa sangat sakit dialami pada kegiatan membungkuk saat memotong daun pandan sedangkan rasa sakit dialami pada saat berdiri. Rancangan meja dan kursi kerja ergonomis berdasarkan simulasi kerja menunjukkan terjadi perubahan postur sehingga mengurangi resiko MSDs. II. METODE PENELITIAN Pengamatan dan pengukuran langsung dilakukan terhadap pengrajin yang sedang menyisir ijuk mengunakan alat sederhana. Keluhan pengrajin terhadap pemakaian alat penyisir ijuk manual dikumpulkan dengan SNQ (Kourinka, 1987). Kuesioner ini berisi 28 item pertanyaan yang digunakan untuk mendapatkan identifikasi awal kelelahan dan keluhan otot yang dialami pengrajin. Katagori SNQ mulai dari tidak sakit berbobot 1, agak sakit berbobot 2, sakit berbobot 3 dan sangat sakit berbobot 4. SNQ disebarkan kepada 12 orang pengrajin dimana cara pengisian kuesioner dengan membubuhkan tanda silang (Х) atau checklist (√) pada lembar jawaban yang tersedia sesuai dengan keluhan. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampling. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-31
Yahya, Ariani, Erwin, Anizar, Amralis
Alat penyisir ijuk didasarkan pada dimensi tubuh (antropometri) pengrajin. Pengukuran dilakukan terhadap 30 orang dengan dimensi tubuh yang diukur adalah tinggi siku duduk (TSD) dan jangkauan tangan (JT). Tinggi dari alat penyisir ijuk yang akan dibuat didasarkan pada TSD dan lebar didasarkan pada JT. Alat yang digunakan untuk mengukur dimensi tubuh pengrajin adalah human body martin.Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai rata-rata, standar deviasi serta nilai maksimum dan minimum. Uji keseragaman data digunakan peta kontrol untuk pengendalian proses bagian data yang ditolak atau tidak seragam karena tidak memenuhi spesifikasi. Apabila dalam satu pengukuran terdapat satu jenis atau lebih data yang tidak seragam maka data tersebut tidak dapat digunakan. Persamaan peta kontrol sebagai berikut;
BKA X ks
(1)
BKB X ks
(2)
Dimana: ̅ = Rata-rata data hasil pengamatan = Standar deviasi dari populasi = Koefisien indeks tingkat kepercayaan Uji kecukupan data digunakan untuk menganalisa jumlah pengukuran apakah sudah representatif, dimana tujuannya untuk membuktikan bahwa data sampel yang diambil sudah mewakili populasi. Untuk melakukan uji kecukupan data digunakan persamaan berikut:
( dimana : N’ = N = Xi = k = s =
√ (∑
) (∑ ∑
)
)
(3)
Jumlah pengamatan teoritis yang diperlukan Jumlah pengamatan aktual yang dilakukan Data pengamatan ( hasil pengukuran ) Tingkat kepercayaan Tingkat ketelitian dalam bentuk persen (%)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keluhan Pengrajin Keluhan sakit yang dialami pengrajin pada kegiatan menyisir ijuk diperoleh dari SNQ dimana keluhan sakit dirasakan oleh 83% pengrajin pada tangan kanan, 75% pada betis kiri dan betis kanan, 66,67% pada leher dan bahu kanan. Keluhan sangat sakit dirasakan oleh 75% pengrajin pada bahu kanan, 66,67% pada lengan atas dan bokong, 58,33% pada punggung, dan 50% pada leher. Namun tidak ada pengrajin yang mengalami keluhan sangat sakit pada siku kiri, paha kiri, paha kanan, lutut kiri, lutut kanan, betis kiri dan betis kanan. Pada Gambar 2 ditampilkan persentase keluhan rasa sakit pengrajin yang diperoleh dari SNQ. Hal ini disebabkan pengrajin melakukan kegiatan penyisiran ijuk dengan postur kerja duduk di sebuah bangku kecil yang rendah dan melakukan kegiatan secara repetitif dengan tangan kanan selama hampir 8 jam kerja setiap hari. Keluhan sakit yang dialami pengrajin hanya dapat diatasi dengan menggunakan alat penyisir ijuk otomatis sehingga tidak ada lagi kegiatan penyisiran ijuk secara manual.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-32
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin
Persentase Operator
100 80
60 40
Sakit %
20 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Dimensi Tubuh
Gambar 2 Persetase keluhan sakit pengrajin sapu ijuk
Persentase Operator
Rasa sangat sakit pada bahu kanan dikeluhkan oleh 75% pengrajin sapu ijuk dan 67% pengrajin mengeluhkan sangat sakit pada lengan atas kanan dan bokong. Sebanyak 58% pengrajin mengeluhkan sangat sakit pada bokong dan pinggang. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sangat Sakit (%)
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Dimensi Tubuh
Gambar 3 Persentase keluhan sangat sakit pengrajin sapu ijuk
Gambar 3 menampilkan bahwa hanya tubuh bagian kanan pengrajin yang mengalami keluhan mulai dari rasa sakit hingga sangat sakit. Namun pengrajin hanya mengalami sedikit keluhan sakit pada tubuh bagian kiri. Hal ini disebabkan pembebanan kerja lebih didominasi oleh tubuh bagian kanan. B. Dimensi Alat Penyisir Ijuk Rancangan alat penyisir ijuk disesuaikan dengan dimensi tubuh pengrajin dimana TSD digunakan untuk menentukan tinggi dari alat penyisir ijuk dan JT untuk menentukan lebar alat penyisir ijuk. Nilai rata-rata untuk TSD adalah 25,033 cm dengan nilai nilai Xmax sebesar 31,5 cm dan Xmin sebesar 20 cm dengan besaran standar deviasi untuk TSD sebesar 3,39 cm dan JT sebesar 1,19 cm. Pengujian keseragaman data TSD dan JT telah dinyatakan seragam dan hasil pengujian data menyatakan bahwa 30 data dinyatakan cukup. Data TSD memiliki BKA sebesar 31,81 cm dan BKB sebesar 18,26 cm sedangkan data JT memiliki BKA 72,05 cm dan BKB 67,31 cm. Pengolahan uji kenormalan data dilakukan dengan bantuan software SPSS 19. Dimensi tubuh pengrajin untuk TSB dan JT pada persentil 5, 50 dan 95 ditampilkan pada Tabel 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-33
Yahya, Ariani, Erwin, Anizar, Amralis
Data
Tabel 1 Dimensi Tubuh Pengrajin Pada Beberapa Persentil Dimensi tubuh Xmax Xmin P5 (cm) P50 (cm) Tinggi Siku Duduk (TSD) 20 19 25 31,5 Jangkauan Tangan (JT) 71,5 68 69 67,2
800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1
2
3
4 5 Parameter
6
7
P95 (cm) 31 72
8
Gambar 4 Kenormalan data TSD dan JT pengrajin Gambar 4 menunjukkan hasil uji kenormalan data untuk pengrajin dengan jumlah pengamatan (N) adalah 30. Uji kenormalan data dengan Software SPSS 19.0 menunjukkan untuk TSD dan JT adalah normal dengan rata-rata jangkauan tangan 69,68 dan tinggi siku berdiri 25,03. Rancangan alat penyisir ijuk menggunakan data ekstrim atas untuk dimensi TSD yaitu 31,5 cm dan ekstrim bawah untuk dimensi JT yaitu 67,2 cm. Alat penyisir ijuk dirancang dengan dimensi panjang 67,2 cm, lebar 40 cm dan tinggi 71,5 cm sehingga dapat digunakan dengan nyaman oleh populasi pengrajin sapu ijuk (Gambar 5).
Gambar 5 Alat penyisi ijuk ergonomis
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-34
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin
Penggunaan alat penyisir ijuk ergonomis akan meniadakan pembebanan kerja yang terlalu besar pada tubuh bagian kanan. Pengrajin hanya meletakkan sapu ijuk yang akan dirapikan pada alat penyisir sehingga sapu ijuk yang dihasilkan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat dan pengrajin terhindar dari keluhan sakit yang selama ini dirasakan. IV. PENUTUP Artikel ini bertujuan menilai keluhan kegiatan penyisiran ijuk yang dilakukan pengrajin sapu secara manual dengan alat penyisir dari kayu dengan ujung berpaku. Parameter utama adalah keluhan sakit yang dialami pengrajin dan dimensi tubuh pengrajin. Pengrajin mengeluhkan sangat sakit pada bahu kanan (75%), lengan atas dan bokong (66,67%), punggung (58,33%) dan leher (50%). Sedangkan keluhan sakit dialami pengrajin pada tangan kanan (83%), betis kiri dan betis kanan (75%), leher dan bahu kanan (66,67%). Tinggi alat penyisir ijuk adalah 71,5 cm berdasarkan data ekstrim atas tinggi siku duduk (TSD) dan panjang 67,2 cm berdasarkan data ekstrim bawah jangkauan tangan (JT). Kesimpulan utama yang dapat digambarkan di sini adalah alat penyisir ijuk dapat digunakan dengan nyaman, waktu menyisir ijuk yang singkat dan hasil lebih banyak sehingga produktivitas meningkat. DAFTAR PUSTAKA Aghilinejad, M; Choobineh, A R; Sadeghi, Z; Nouri, M K; Ahmadi, A Bahrami, 2012. Prevalence of Musculoskeletal Disorders among Iranian Steel Workers. Iranian Red Crescent Medical Journal; Tehran 14.4 (Apr 2012): 198-203. Anwar, M.Z., Matondang, A.R., Anizar, 2013. Usulan Rancangan Fasilitas Kerja Pada Stasiun Pemotongan Daun Pandan untuk Mengurangi Resiko Musculoskeletal Disorders di CV. XYZ. E-jurnal Teknik Industri, FT. USU, Vol.1 No.2 Maret 2013 pp 21-28. Behrani, Paras; Nizam, Ahmed Shahrul. 2017, Association between Psychosocial Factors at Work and Prevalence of Upper Musculoskeletal Systems Disorders: A Pilot Study. Global Business and Management Research, suppl. Special Issue; Boca Raton 9.1s (2017): 181-187. Chiang, Chia-Liang; Liao, Chu-Yung; Kuo, Hsien-Wen, 2017. Postures Of Upper Extremity Correlated With Carpal Tunnel Syndrome (CTS). International Journal of Occupational Medicine and Environmental Health; Heidelberg 30.2 (2017): 281-290. Grandjean, E., 1998, Fitting The Task to The Man : a Textbook of Occupational Ergonomics, 4 th Edition, Great Britain : Taylor & Francis Ltd. Kourinka, I., Jonsson B., Kilbom A., Vinterberg H., Boerog-Sorensen, F., Andersson, G., Jorgensen K, 1987. Standard Nordic Questionairee, Applied Ergonomics. Nurmianto, E., 1998, Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasnya, Jakarta: PT. Guna Widya. Setiadi, M.Y., Poewanto, Anizar, 2013, Usulan Alat Bantu Pemindahan Batako Untuk Mengurangi Risiko Musculoskeletal Disorders di PT. XYZ, e-Jurnal Teknik Industri FT USU Vol 1, No.3, April 2013 pp. 37-43. Sutalaksana, Iftikar Z. 2005, Teknik Perancangan Sistem Kerja, Bandung: ITB Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-35
Petunjuk Sitasi: Tama, I. P., Andriani, D. P., & Putri, N. A. (2017). Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B3641). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi Ishardita Pambudi Tama(1), Debrina Puspita Andriani(2), Nikita Ashardika Putri(3) (1), (2), (3) Teknik Industri, Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 167, Malang (65145) – Indonesia
[email protected] ABSTRAK Saat ini penempatan produk jadi pada gudang perusahaan dilakukan secara acak tanpa adanya pembakuan penyimpanan yang belum memperhatikan frekuensi perpindahan sehingga untuk produk yang bersifat fast moving harus menempuh perjalanan jauh untuk aktivitas storage/retrieval (S/R). Usaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu melalui perbaikan tata letak. Kebijakan yang digunakan dalam penelitian adalah Class Based Storage (CBS) dan pendekatan simulasi. Tahapan penelitian dilakukan dengan menghitung luas utilitas gudang awal, frekuensi perpindahan, jumlah tempat penyimpanan, dan jarak perpindahan. Perancangan layout diawali dengan mengelompokkan produk jadi ke dalam tiga kelas A, B dan C dengan kebijakan CBS berdasarkan pada frekuensi perpindahan dan prinsip pareto, serta memperhatikan level aktivitas S/R dalam gudang. Alternatif layout disusun berdasarkan konsep within aisle dan across aisle. Sedangkan untuk pendekatan simulasi dilakukan perhitungan waktu trasportasi, meliputi kategori wait time, transfer time, total time dan utilitas transporter. Hasil penelitian menunjukkan alternatif layout terpilih untuk gudang adalah alternatif layout CBS dengan konsep across aisle yang menurunkan jarak material handling sebesar 40,67% dari 57.234,93 meter menjadi 33.957,41 meter dan waktu material handling 13,1% dari 1.877,11 jam menjadi 1.632,56 jam. Kata kunci — class based storage, material handling, tata letak, simulasi, S/R.
I. PENDAHULUAN Persaingan pada dunia industri beberapa tahun terakhir yang semakin pesat memicu perusahaan untuk merumuskan strategi baru dalam mencapai hasil yang optimal, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan fungsi tata letak dalam gudang (Mulcahy, 1992). Gudang dinyatakan sebagai bagian terpenting dalam kelancaran produksi karena fungsinya receive, storage, order picking dan shipment (Tompkins, 2003). Selain itu, pengaturan sistem operasional dan fasilitas pada gudang adalah suatu masalah yang sering dijumpai dalam dunia industri (Wignjosoebroto, 2009). Pengaturan tata letak fasilitas tidak hanya dilakukan ketika perusahaan membuat sistem baru, tetapi ketika ada perluasan fasilitas, penggabungan fasilitas, atau modifikasi sistem yang ada (Purnomo, 2004). Salah satu metode yang efektif untuk meningkakan produktivitas adalah dengan pengaturan tata letak yang mempertimbangkan berbagai hal, salah satunya meminimalkan aktivitas material handling (Apple, 1977). Perusahaan pada penelitian ini merupakan perusahaan multinasional industri pengolahan susu sapi yang memiliki 3 lokasi gudang, salah satunya adalah Gudang I yang merupakan gudang utama perusahaan. Gudang I terdiri dari 2 tempat penyimpanan, yaitu Gudang A merupakan tempat penyimpanan dari 14 jenis produk jadi susu ultra high temperature (UHT) dan Gudang B yang merupakan tempat penyimpanan raw material kering. Terdapat beberapa masalah pada Gudang A yang berukuran 36×24×6 m3 dan terdiri dari 9 area penyimpanan. Pertama diketahui bahwa jumlah produk jadi keluar masuk (I/O) gudang belum sebanding dengan kapasitas Gudang A, yaitu sebesar 630 pallet, sehingga menyebabkan penyimpanan produk jadi mengalami kelebihan muatan atau out of block sebesar 20,36%. Selama satu periode didapatkan data rata-rata produk jadi I/O adalah sebesar 1.323 dan 879 pallet untuk masingmasing produk masuk dan keluar. Layout Gudang A saat ini ditunjukan pada Gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-36
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi
4
16
4
3
18
5
17
5
17
5
6
18
6
18
6
1.5
20.6
3
7
19
7
19
7
20
8
20
8
20
8
9
21
9
21
9
22
10
22
10
22
10
1.5
19
21
51
57
56
12.1
12
14
15
4.8
4.5
6
9
10
11
E
12
2
0.2
1.5
11
1.2
11
24
12
23
24
11
23
12
24
11
12
1.5
11
0.5
1.5
G 7
12
3
8
13
4
9
14
5
10
15
1.2
23
5.1 6
2
1
13
14
2
10
11
3
7
15
12
6.0
52
58
8
0.3 1.0
G4
8.0
53
59
5
7
G3
Up
54
60
10
13
TANGGA 1
1.5
0.2
55
4
4
1.2
46
3
6
9
3
1.2
47
2
1.2
48
5
8
9
STAIRS
49
7
9
Up
50
1
2
0.2
41
8
2
4
TANGGA 1
17
1.5
42
1.5
43
7
6
8.0 6.0
16
36
44
Up
1.5
0.2
1
4
3
31
45
3.8
Up
8 1.5 1.5
16
0.2 1.5
3
5
24.0
37
2
15
4.0
4
24.0
38
39
2
14
3
4.0
0.2
26
32
D
2
15
1.5
27
33
C
14
3
1.5
28
34
2
2
0.2
29
35
B
15
1.5
30
14
1.5
0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2
21
3.9
1
5.1
16
13
6.8
11
17
1
6.0
12
18
0.2
13
13
3
0.2
A
19
1
2
2
14
20
13
F
1
1.3
15
H 1
1
0
6
22
360cm.
2.4
2.4
0.2
7
2.4
1.2 1.2
1.5
8
0.3
0.2
9
12.8
OFFICE
STAIRS
10
23
Charge Forklift
19.4
1
19.4
1.2
2
19.4
1.2
3
24
G1
0.2
1.2
4
1.5
1.2
5
1.5
0.2
0.5
1.8
12.4 12.9
24.0
6.0
1.2
40
I / O POINT
G2
9.0 6.0
2.7
MEJA
25
14.2
12.8
2.7
1.2 0.5
2.0
LEMARI
36.0
36.0
21.8
9.0 0.8
18.5
I
4
4
5
6
5
1
2
3
36.0
36.0
(a) (b) Gambar 1 Tata Letak Gudang Eksisting (a) Lantai 1, (b) Lantai 2 Kedua adalah permasalahan yang berkaitan dengan jarak material handling. Pada Gudang A saat ini produk jadi yang masuk ke dalam gudang masih ditata secara acak dan belum memperhatikan frekuensi perpindahan barang. Produk jadi yang bersifat fast moving juga tidak diletakkan dekat pintu I/O, sehingga akses material handling yang ditempuh oleh operator forklift dalam operasional gudang semakin panjang dan lama. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, metode yang dapat digunakan dalam mengatur tata letak penyimpanan produk jadi adalah dengan kebijakan Class Based Storage (CBS) dan pendekatan simulasi. Dalam perancangan penyimpanan produk menggunakan CBS diberikan dua alternatif konsep, yaitu within aisle dan across aisle. Sedangkan simulasi digunakan untuk menghitung waktu nyata yang dibutuhkan untuk proses operasional gudang. Hasil analisa pengolahan data berupa alternatif layout yang dilengkapi dengan jarak dan waktu yang dihasilkan operator dalam aktivitas material handling untuk pergudangan. II. METODOLOGI PENELITIAN Tahapan penelitian dilakukan dengan menghitung utilitas gudang pada layout awal, frekuensi perpindahan, jumlah tempat penyimpanan dan jarak perpindahan. Setelah diketahui kondisi pada layout awal kemudian dilakukan perbaikan tata letak. Alternatif perbaikan menggunakan kebijakan CBS dengan melakukan pembentukan kelas berdasarkan prinsip pareto yang memperhatikan level aktivitas storage/retrieval (S/R) dalam gudang yaitu 80% aktivitas diberikan pada 20% jenis barang, 15% aktivitas diberikan pada 30% dari jenis barang dan 5% aktivitas diberikan pada 50% jenis barang (Heragu, 2008). Setelah kebijakan ini dilakukan selanjutnya dibuat dua alternatif konsep layout sebagai perbandingan, within aisle dan across aisle. Dari alternatif konsep layout yang dihasilkan, diperlukan sebuah metode yang dapat mensimulasikan rancangan tata letak yang baru. Simulasi dilakukan untuk menganalisis aspek lain sebagai pertimbangan pemilihan layout, yaitu output produk dan kategori waktu transportasi, meliputi waktu tunggu (wait time), waktu perpindahan (transfer time), waktu total dan utilitas transporter. Tahapan simulasi meliputi penentuan distribusi waktu proses, pembuatan activity cycle diagram (ACD), merancang model simulasi alternatif dengan software ARENA, verifikasi model, validasi model, penentuan jumlah replikasi, dan perbandingan output simulasi. Ukuran performansi dalam penelitian ini adalah luas area penyimpanan, utilitas gudang, utilitas area penyimpanan, kapasitas area penyimpanan dan jarak perjalanan produk jadi, serta waktu yang dibutuhkan untuk proses operasional di Gudang A. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahap ini dilakukan perhitungan pada layout awal, kemudian dilakukan perbaikan dengan alternatif layout yang berasal dari kebijakan penyimpanan pada gudang dan pendekatan simulasi. Layout terpilih adalah layout perbaikan yang mampu menurunkan jarak dan waktu material handling dari layout awal. A. Perhitungan Layout Awal Berikut merupakan langkah-langkah perhitungan pada layout awal: SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-37
Tama, Andriani, Putri
1) Perhitungan Utilitas: Perhitungan utilitas ruang berdasarkan utilitas blok yang tersedia dan total luas ruang. Pada gudang ini diketahui luas ruang dan luas total blok yang tersedia adalah 960 m2 dan 378,72 m2, sehingga utilitas ruang pada gudang ini adalah 39,45%. 2) Perhitungan Frekuensi Perpindahan: Frekuensi perpindahan dihitung dari seberapa banyak produk jadi I/O (dalam pallet) gudang dengan menggunakan peralatan material handling. 3) Perhitungan Jumlah Tempat Penyimpanan: Perhitungan jumlah tempat penyimpanan yang dibutuhkan diperoleh dari data maksimal jumlah produk jadi yang masuk setiap bulannya. Pada Tabel 1 menunjukan kebutuhan luasan penyimpanan yang didapat dari kebutuhan tempat penyimpanan dibagi dengan jumlah tumpukan maksimum produk jadi, yaitu 731 pallet. 4) Perhitungan Perpindahan Jarak Produk Jadi: Perhitungan jarak dilakukan dengan mengukur jarak titik I/O dengan titik pusat blok penyimpanan. Pada pengukuran jarak perpindahan diasumsikan jarak penyimpanan maupun pengambilan bolak-balik menggunakan jalur yang tetap sehingga jaraknya sama. Untuk menentukan titik pusat dari suatu benda, dilakukan dengan mencari titik berat dari benda tersebut. Titik berat gabungan beberapa benda homogen berbentuk luasan ditentukan dengan Rumus 1-3. X0 =
(1)
Y0 =
(2)
Z0 =
(3)
Dengan menganggap titik pada pojok kiri bagian depan gudang sebagai titik (0,0), maka koordinat titik pusat dari setiap blok penyimpanan adalah titik berat (x,y) dari blok tersebut. Terdapat beberapa produk jadi yang mempunyai lokasi penyimpanan lebih dari satu area, maka titik pusat ditentukan berdasarkan gabungan dari titik berat area penyimpanan. Berdasarkan perhitungan titik berat dihasikan titik pusat seperti Tabel 2. Selanjutnya dilakukan perhitungan jarak dengan menggunkan metode perhitungan jarak rectilinear (Rumus 4). dij = |xi – xj| + |yi - yj|
(4)
Dimana xi dan xj adalah koordinat x pada pusat fasilitas i dan j, sedangkan yi dan yj adalah koordinat y pada pusat fasilitas i dan j. Hasil perhitungan jarak perpindahan berdasarkan Tabel 2 untuk setiap produk diketahui bahwa total jarak perpindahan keseluruhan produk per bulannya adalah sebesar 57.234,93 m. Tabel 1 Frekuensi Perpindahan dan Kebutuhan Tempat Penyimpanan Setiap Produk pada Gudang A Jenis Produk
Produk In
Produk Out
CM E CM L SK E SK L LF E LF L MAG FC E MAG LF E FC E FC L NF KH NF FC WC E WC L TOTAL
19 42 43 36 36 103 194 165 261 187 23 26 133 55 1.324
7 26 20 19 16 41 171 146 233 147 12 14 54 26 876
Total Frekuensi 26 68 63 56 52 143 365 311 494 333 35 40 187 81 2.200
Maksimal In Produk (box) (A) 4.350 13.975 13.195 12.590 11.695 17.874 35.950 28.987 35.970 30.965 9.805 10.905 23.865 14.955
Kebutuhan tempat penyimpanan (Pallet) (B = A / 90 ) 48 155 147 140 130 199 377 322 400 344 109 121 265 166 2.923
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-38
Tumpukan (C) (*) 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Kebutuhan luasan penyimpanan (pallet) (D = B / C) 12 39 37 35 32 50 94 81 100 86 27 30 66 42 731
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi
Tabel 2 Koordinat Akhir Titik Pusat Area Penyimpanan dan Jarak Perpindahan Produk Layout Awal Item CM E CM L SK E SK L LF E LF L MAG FC E MAG LF E FC E FC L NF KH NF FC WC E WC L
Blok Penyimpanan I H, I C C B B C–D D –E – F – G – I A A–B C C B B-C TOTAL
Koordinat Titik Pusat Gabungan (x,y,z) (m) (33,73; 19,49; 4,5) (33,73; 11,99; 4,5) (18,5; 12,93; 3) (18,5; 12,93; 3) (12,05; 12,93; 3) (12,05; 12,93; 3) (21,7; 12,93; 3) (30,75; 14,46; 3,3) (3,8; 12,38; 3) (6,07; 12,53; 3) (18,5; 12,93; 3) (18,5; 12,93; 3) (12,05; 12,93; 3) (15,28; 12,93; 3)
Frekuensi Perpindahan 26 68 63 56 52 143 365 311 441 333 35 40 187 81 2.200
Jarak Penyimpanan (m) 35,92 28,42 19,23 19,23 25,68 25,68 16,03 25,86 33,38 31,26 19,23 19,23 25,68 22,46
Total jarak perpindahan (m) 929,66 1.932,17 1.205,95 1.069,08 1.323,16 3.684,03 5.858,82 8.033,31 14.734,40 10.418,59 673,14 763,20 4.793,65 1.815,78 57.234,93
B. Perhitungan Layout Perbaikan Class Based Storage Berikut merupakan langkah-langkah pembuatan layout perbaikan dengan Kebijakan CBS. Layout perbaikan dibuat dengan 2 alternatif konsep, yaitu dengan within aisle dan across aisle. 1) Pengurutan Aktivitas Perpindahan dan Pembentukan Kelas: Pengurutan aktivitas perpindahan berdasarkan total frekuensi perpindahan aktivitas S/R. Pembentukan kelas dengan membagi 14 jenis produk jadi ke dalam 3 kelas yang berbeda dengan prinsip Pareto. Pada kelas A dengan total persentase frekuensi perpindahan sebesar 80,94% dan jumlah item sebesar 25% terdiri dari item FC E, MAG FC E, FC L, MAG LF E, WC E, dan LF L. Pada kelas B dengan total persentase frekuensi perpindahan sebesar 14,49% dan jumlah item sebesar 25% terdiri dari item WC L, CM L, SK E, SK L, dan LF E. Sisa item berikutnya masuk pada kelas C. 2) Penentuan Luas Penyimpanan: Tempat penyimpanan yang digunakan berupa rak bertingkat dengan penggunaan pallet ukuran 120x120x16 cm3. Rak yang digunakan untuk satu pallet memiliki panjang 170 cm dan lebar 120 cm, serta tinggi 201,5 cm. Allowance untuk lebar aisle agar forklift dapat bermanuver adalah 4 m. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada Tabel 3. 3) Perancangan Layout Perbaikan: Layout perbaikan dengan within aisle, sebagai contoh untuk produk pada kelas A menempati blok penyimpanan dekat I/O point. Produk kelas A membutuhkan luasan tempat penyimpanan 477 pallet dan menempati blok A, B, C, D. Blok penyimpanan memiliki kapasitas 480 pallet, sehingga cukup untuk menampung keseluruhan produk. Untuk perhitungan utilitas diketahui luas gudang adalah 864 m2 dan luas blok yang tersedia 386,9 m2, maka utilitas gudang adalah sebesar 44,7%. Perhitungan yang sama dilakukan pula untuk konsep accross aisle. Tabel 3 Perhitungan Kebutuhan dan Koordinat Titik Pusat Tempat Penyimpanan pada Alternatif Layout Kelas
Item
FC E MAG FC E FC L A MAG LF E WC E LF L WC L CM L B SK E SK L LF E NF FC C NF KH CM E TOTAL
Kebutuhan tempat penyimpanan (Pallet)
Total kebutuhan luasan penyimpanan (pallet)
Alternatif Within Aisle
Alternatif Across Aisle
Blok Penyimpanan
Koordinat Titik Pusat Gabungan (x,y,z) (m)
Blok Penyimpanan
Koordinat Titik Pusat Gabungan (x,y,z) (m)
477
A, B, C, D
(26,25; 13,23; 3)
A, B, C, D, E
(20,39; 8,48; 3)
184
D1, E
(6,54; 8,10; 3)
A1, B1, C1, D1, E1
(20,22; 17,59; 3)
70
E2
(3,76; 18,37; 3)
A2, B2, C2, D2, E2
(30,63; 20,91; 3)
100 94 86 81 66 50 42 39 37 35 32 30 27 12 731
731
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-39
Tama, Andriani, Putri
Tabel 4 Perhitungan Frekuensi dan Jarak Perpindahan Produk Jadi pada Alternatif Layout Kelas
FC E MAG FC E FC L MAG LF E WC E LF L WC L CM L SK E SK L LF E NF FC NF KH CM E Total
A
B
C
Alternatif Within Aisle Jarak Perpindahan Total jarak (m) perpindahan (m) 9.129,43
Frekuensi Perpindahan
Item
441 365 333
7.559,17 6.893,56
20,68
311 187 143 81 68 63 56 52 40 35 26 2.200
Alternatif Across Aisle Jarak Perpindahan Total jarak (m) perpindahan (m) 5.849,55
13,25
6.424,06 3.860,72 2.967,06 2.131,03 1.791,99 1.652,69 1.465,11 1.357,87 1.564,10 1.379,53 1.019,99 49.196,3
26,35
39,41
4.843,43 4.416,96 4.116,13 2.473,70 1.901,10 1.792,30 1.507,15 1.389,99 1.232,23 1.142,03 1.299,40 1.146,06 847,37 33.957,41
22,69
32,74
4) Perhitungan Jarak Perpindahan: Dari koordinat blok penyimpanan, dihitung titik berat gabungan dari tempat penyimpanan setiap produk (Tabel 4). Selanjutnya perhitungan jarak dilakukan dengan metode rectilinear. Berdasarkan hasil pembuatan alternatif layout dan penempatan produk jadi disajikan pada Gambar 2. Setelah dilakukan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis terhadap hasil yang didapatkan yaitu tata letak barang dengan kebijakan CBS. Dengan hasil perbandingan alternatif antara konsep within aisle dan across aisle didapatkan alternatif terbaik adalah konsep across aisle yang memberikan penurunan jarak dari total jarak perpindahan kondisi eksisting adalah 57.234,93 m menjadi 33.957,41 m untuk kapasitas, luas blok, dan utilitas ruang yang sama. C. Simulasi Dari dua alternatif konsep tata letak sistem penyimpanan pada gudang dan selanjutnya dilakukan simulasi menggunakan software ARENA. Dari rancangan tata letak sistem penyimpanan dapat ditentukan jarak antar blok untuk masing-masing produk yang kemudian dijadikan input untuk menentukan waktu proses dan untuk mengetahui output produk (Law, 2000). Input lain adalah distribusi waktu tiap proses, kecepatan forklift sebagai transporter untuk material handling, distribusi waktu kedatangan, dan kecepatan material handling. Evalusi rancangan tata letak sistem penyimpanan pada gudang menggunakan ARENA melalui tahapan antara lain pembuatan activity cycle diagram (ACD), penentuan parameter distribusi waktu proses, pembuatan model simulasi menggunakan ARENA, verifikasi dan validasi, penentuan jumlah replikasi, dan membandingkan output simulasi untuk kedua alternatif. Pembuatan ACD dilakukan untuk pembuatan model konseptual dari sistem yang akan dimodelkan. Pada penentuan distribusi waktu tiap proses yang dilakukan pendugaan parameter dengan input analyzer ARENA.
13
12
11
1
13
1
2
D
14
2
14
2
15
3
15
3
15
3
16
4
16
4
16
4
17
5
17
5
17
5
13
1
B
C
7
20
19
18
17
23
22
17.8
32
31
38
37
36
49
54
43
48
53
42
47
52
41
18
6
18
6
18
6
19
7
19
7
19
7
D1 150cm.20cm.150cm.
50
55
E1
12
13
14
17
18
19
23
24
46
51
20
8
20
8
21
9
21
9
21
9
22
10
22
10
23
11
20
11
13
20
19
24
18
23
26
27
28
31
32
33
29
34
29
28
41
37
42
38
43
39
44
46
51
47
52
48
53
49
54
58
57
56
24
12
24
24
12
12
6
12
11
57
58
59
35
34
33
17
22
27
13
2
14
2
3
15
3
4
16
2
14
15
3
15
4
16
10
9
15
14
20
16
1
8
7
6
13
12
11
19
18
17
16
4
25
17
5
17
5
24
23
22
21
5
26
39
38
32
37
18
6
18
6
18
6
19
7
19
7
19
7
31
36
30
29
28
35
34
33
45
44
43
45
49
48
42
D1
41
E1 47
46
8
20
8
20
8
21
9
21
9
21
9
22
10
50
54
53
55
59
58
52
51
23
E2
57
11
D2
56
24
60
40
20
12
B1
C1 22
23
45
10
10
22
23
11
27
26
11
C2 24
B2 24
12
12
11.8
32.3 36.0
36.0
(a)
(b)
Gambar 2 Tata Letak Gudang Alternatif (a) Within Aisle, (b) Across Aisle SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-40
50
55
39
44
38
32
43
A1
49
54
48
53
37
31
42
47
52
36
41
46
51
6
18.1
18.1
A
1
B
21
40
3.8
11.8
150cm.
0.2
1
C
13
1
14
2
35
60
56
100cm.
0.5 7
1.0
59
1.0
3.8
3
30
6 60
D
13
8
30
50
10
22
23
11
14
4
25
55
23
E
17
36
8
5
16
22
40
20
9
OFFICE
2.4
15
26
19.4
33
39
20.6
28
34
40
20cm.150cm.20cm.150cm.20cm.
24.0
29
35
44
1
25
30
45
2
10
21 21
27
10
16 16
24
9
3
15
11
25
8
A
4
0.2
6
5
1.5
1.2
13
14
120
0.2
1.2
8.9
6
5
1.2
21.8
14
7
4
14.5
8
3
24.0
15
E
9
2
1.2
12.7
10
1
0.5
0.2
2.4 1
1.2
0.2
2
6.0 Charge Forklift
P1 6.0
1.2
1.5
3
P2
0.2
4
MEJA
1.5
5
6.0
1.2
14.2 3.0 I/O POINT
1.2
LEMARI
6.0
1.5
1.2
2.0m.
2.1 0.7
20.6
1.2
Office
8.1
1.2
36.0
3.0
0.8
Charge Forklift
P1
6.0 1.2
3.8
6.0
3.0
1.5
P2
21.8
14.2 I/O POINT
Meja
1.0
1.2
0.5
0.5
0.2
2.0
Lemari
19.4
36.0
21.8 3.0
0.8
60
59
A2 58
57
56
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi
Tabel 5 Hasil Output Kategori Waktu Transportasi Eksisting dan Alternatif (jam) Replikasi 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata Replikasi 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
Eksisting 366,44 355,1 364,1 354,3 359,09 354,2 362,9 347,8 357,99 Eksisting 1.869,61 1.875,3 1.877,78 1.906,64 1.879,55 1.876,75 1.867,35 1.863,97 1.877,11
Wait Time Within Aisle 58,23 57,38 58,26 57,24 57,45 56,23 58,16 56,56 57,43 Total time Within Aisle 1.655,55 1.672,3 1.629,63 1.654,06 1.665,87 1.671,35 1.649,57 1.636,91 1.654,41
Across Aisle 31,52 30,93 31,6 31,66 32,03 30,97 30,83 30,67 31,27
Eksisting 8,059 8,375 8,374 8,334 8,385 8,364 8,375 8,365 8,328
Across Aisle 1.639,53 1.628,08 1.619,87 1.625,82 1.639,72 1.647,04 1.646,38 1.614,02 1.632,56
Eksisting 0,8094 0,7963 0,8062 0,7889 0,7953 0,8007 0,7944 0,7919 0,7978
Transfer time Within Aisle 6,275 6,274 6,265 6,254 6,264 6,314 6,345 6,286 6,286 Utilitas Transporter Within Aisle 0,2435 0,2433 0,2420 0,2441 0,2423 0,2431 0,2438 0,2404 0,2427
Across Aisle 5,655 5,643 5,643 5,654 5,614 6,316 5,635 5,614 5,711 Across Aisle 0,1657 0,1634 0,1653 0,1651 0,1647 0,1655 0,1638 0,1639 0,1647
Dari hasil penelitian, sistem yang dimodelkan dengan ARENA telah dianggap terverifikasi dan tervalidasi. Selanjutnya untuk mendapatkan error 5%, dilakukan penentuan jumlah replikasi. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah replikasi untuk setiap alternatif adalah sebanyak 8 kali. Berikut analisa antara kondisi eksisting dengan alternatif konsep layout. 1) Output Produk: Output dalam model simulasi aliran produk jadi dalam satuan pallet dimana satu pallet terdapat 90 box unit produk. Hasil simulasi dalam 8 kali replikasi untuk periode satu bulan menunjukkan rata-rata output alternatif konsep within aisle adalah 177 pallet, sedangkan untuk alternatif konsep across aisle adalah 179 pallet. Persentase peningkatan pengiriman bila dibandingkan dengan rata-rata pengiriman gudang eksisting (175 pallet) adalah 1,011% dan 1,016% untuk masing-masing alternatif konsep, within aisle dan across aisle. 2) Waktu Transportasi: Waktu trasportasi terdiri dari wait time, transfer time, total time dan utilitas transporter. Tabel 5 menunjukkan waktu transportasi dalam 8 kali replikasi untuk periode satu bulan. Rata-rata waktu transportasi pada alternatif layout diketahui lebih rendah daripada rata-rata waktu transportasi sistem penyimpanan eksisiting. IV. PENUTUP Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan perbaikan layout dengan kebijakan CBS dan 2 alternatif konsep yang telah dibuat, within aisle dan across aisle, maka terpilih alternatif layout dengan kebijakan CBS dan konsep across aisle yang mampu menurunkan jarak perpindahan sebesar 40,67% dari total jarak perpindahan pada kondisi eksisting sebesar 57.234,93 meter menjadi 33.957,41 meter. Demikian pula untuk hasil simulasi didapatkan alternatif CBS dengan konsep across aisle adalah yang paling optimal, karena menurunkan waktu material handling sebesar 13,1% dari 1.877,11 jam menjadi 1.632,56 jam. Oleh karena itu, tata letak sistem penyimpanan yang terpilih dari keseluruhan perbandingan hasil yang dianalisis dan sebaiknya diterapkan oleh perusahaan adalah alternatif CBS dengan konsep Across Aisle. DAFTAR PUSTAKA Apple, J. M., 1977, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Jilid III Cetakan Tahun 1990, terjemahan N. Mardiono, Bandung: Intitut Teknologi Bandung. Heragu, S., 2008, Facilities Design Third Edition, New York: CRC Press. Law, A.M., & Kelton, W.D., 2000, Simulation Modelling and Analysis, 3rd Ed, New York: McGraw-Hill. Mulcahy, D.E., 1992, Warehouse and Distribution Operation Handbook International Edition, New Jersey: Prentice Hall. Purnomo, H., 2004, Perencanaan dan Perancangan Fasilitas, Yogyakarta: Graha Ilmu. Tompkins, J.A., & Smith, J.D., 2003, The Warehouse Management Handbook. Wignjosoebroto, S., 2009, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Surabaya: Guna Widya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-41
Petunjuk Sitasi: Handayani, N. U., Sari, D. P., Ayuningtyas, D. A., & Fatmila. (2017). Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B42-50). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis Naniek Utami Handayani(1), Diana Puspita Sari(2), Devi Amalia Ayuningtias(3), Fatmila(4) ( 1), (2), (3), (4) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia 50275 (1)
[email protected] ABSTRAK Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) merupakan pengembangan dari unit terminal peti kemas dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Kegiatan bongkar muat merupakan inti dari kegiatan yang ada di TPKS yang memiliki banyak risiko yang mungkin terjadi dan dapat menimbulkan kerugian terutama bagi pemilik kapal maupun pemilik barang. Penelitian ini bertujuan untuk meminimasi risiko yang terjadi melalui identifikasi dan analisis terhadap variabel-variabel risiko serta menentukan mitigasi risiko. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis (PIA). Berdasarkan studi pendahuluan didapatkan 22 risiko pada kegiatan bongkar muat yang berdampak terhadap variabel kecelakaan kerja, biaya, dan waktu. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan 5 risiko dengan nilai indeks risiko total tertinggi yaitu kapal menabrak dermaga sebesar 9.750; pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal sebesar 9.286; pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading sebesar 8.741; petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal sebesar 8.250; dan pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading sebesar 8.143. Berdasarkan hasil tersebut diusulkan mitigasi risiko, seperti dijelaskan sebagai berikut. Untuk risiko kapal menabrak dermaga, mitigas risiko yang dapat dilakukan adalah mengalihkan risiko pada pihak ketiga dan mengoptimalkan penggunaan peralatan navigasi pada saat kapal berlabuh. Sedangkan risiko kecelakaan kerja pada pekerja, mitigasi risiko yang dapat dilakukan adalah pelatihan tentang K3 dalam kegiatan bongkar muat, pemasangan SOP dan rambu-rambu tanda bahaya, serta penggunaan alat pelindung diri bagi pekerja dalam kegiatan bongkar muat barang di TPKS. Kata kunci— Risiko; AHP Pairwise Comparison; Probability Impact Analysis, Matriks Risiko; Mitigasi
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan keberadaan sistem transportasi laut yang mampu menjadi penggerak pertumbuhan, perdagangan dan pembangunan ekonomi. Posisi geografis yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menjadikan wilayah laut Indonesia sebagai jalur perdagangan yang padat untuk rute internasional maupun domestik. Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) merupakan pengembangan dari unit terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Sejak tanggal 1 Juli 2001 TPKS ditetapkan menjadi unit bisnis tersendiri yang terpisah dari manajemen Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. TPKS berfungsi sebagai pintu gerbang utama perekonomian Jawa Tengah dan DIY untuk moda transportasi laut. Kegiatan pelayanan di TPKS sendiri berupa bongkar muat, receiving, delivering, ubah status (behandle) dan Less Than Container Load (LCL). Berdasarkan hasil studi penahuluan, arus bongkar muat peti kemas mengalami peningkatan tiap tahunnya, hal ini dapat dilihat dari throughput tahun 2014 575.671 TEU’s (Twenty Foot Equivalent Unit) dan meningkat hingga mencapai 608,201 TEU’s di tahun 2015. Namun, hal ini
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-42
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
belum diimbangi dengan upaya peningkatan performansi pelayanan yang berujung pada peningkatan efisiensi kerja. Kegiatan bongkar muat pada TPKS bukanlah tanpa risiko dan dapat menimbulkan kerugian terutama bagi pemilik kapal maupun pemilik barang. Risiko yang timbul dapat mengakibatkan kerugian yang dikategorikan berdasarkan K3, biaya dan waktu. Kegiatan bongkar muat memiliki risiko yang tinggi seperti tenggelam, kebakaran, tabrakan, dan lain-lain (Liu dan Wirtz, 2006, Wang dan Foinikis, 2001). Risiko tersebut dapat menimbulkan kerugian material, sistem, bahkan nyawa (Wang, 2008). Untuk mengatasi risiko serta kerugian yang timbul diperlukan suatu sistem yang mampu mengendalikan risiko (Wang, 2008). Manajemen risiko adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengidentifikasi hazard, mengevaluasi risiko, dan mengendalikan risiko untuk mengurangi kecelakaaan. Untuk menghindari risiko yang terjadi baik itu kecelakaan kerja, biaya yang ditimbulkan dan waktu kegiatan di TPKS, maka dilakukan analisis terhadap variabel-variabel risiko yang ada, kemudian ditentukan langkah tepat untuk memitigasi risiko tersebut, sehingga kegiatan bongkar muat di TPKS dapat berjalan lancar dan optimal. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi risiko yang terjadi dari seluruh kegiatan operasional bongkar muat petikemas. (2) menilai risiko-risiko yang terjadi pada kegiatan bongkar muat petikemas. (3) menentukan respon penanganan terhadap risiko yang tertinggi. II. METODOLOGI PENELITIAN A. AHP Pairwise Comparison AHP adalah suatu metode/teknik pengambilan keputusan secara sistematis atas persoalan yang kompleks berupa sebuah model yang dibuat menyerupai proses pengambilan keputusan manusia (human decision process) (Saaty, 1980, 2003). Tujuan analisis AHP adalah untuk mendapatkan prioritas unsur dalam elemen. Untuk itu, perlu dilakukan pengukuran tingkat kepentingan (prioritas) antar unsur dalam elemen. Teknik untuk mendapatkan ukuran tingkat kepentingan ini dilakukan dengan cara membandingkan tiap unsur satu sama lain atau disebut sebagai pairwise comparison. Basis dari ukuran ini adalah persepsi manusia (human perception), lebih khusus lagi adalah persepsi dari ahli pada bidangnya (Saaty, 1980, 2003). Tabel 1 Nilai Kepentingan AHP Tingkat Definisi Sama 1 Pentingnya Sedikit lebih 3 penting 5
Lebih Penting
7
Sangat Penting
9
Mutlak lebih penting
2,4,6,8 Nilai Tengah
Keterangan Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya Satu elemen sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, dibandingkan dengan elemen pasangannya. Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, dibandingkan dengan elemen pasangannya. Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai dibandingkan dengan pasangannya, pada keyakinan tertinggi. Diberikan bila terdapat keraguan penilaian di antara dua tingkat kepentingan yang berdekatan.
Langkah penyelesaian Pairwise Comparison : 1. Tetapkan permasalahan, kriteria dan sub kriteria (jika ada), dan alternative pilihan. 2. Membentuk matrik Pairwise Comparison,kriteria. Terlebih dahulu melakukan penilaian perbandingan dari kriteria. 3. Menentukan rangking kriteria dalam bentuk vector prioritas (disebut juga eigen vector ternormalisasi). a. Ubah matriks Pairwise Comparison ke bentuk desimal dan jumlahkan tiap kolom tersebut b. Bagi elemen-elemen tiap kolom dengan jumah kolom yang bersangkutan. c. Hitung Eigen Vektor normalisasi dengan cara menjumlahkan tiap baris kemudian dibagi dengan jumlah kriteria
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-43
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
B.
PIA (Probability Impact Analysis) Probability Impact Analysis adalah proses penilaian risiko dengan memperhatikan tingkat peluang terjadinya risiko dengan dampaknya. Risk assessment ini menggunakan tabel matriks yang terbagi menjadi beberapa warna dengan kriteria masing-masing (Bourne dan Walker, 2005; Chen, dkk, 2010). Risk Criteria adalah ukuran standar seberapa besar dampak atau konsekuensi yang mungkin akan terjadi dan seberapa besar kemungkinan atau frekuensi atau likelihood risiko akan terjadi. Gambar 1 merupakan contoh kriteria risiko. Risk Identification yaitu cara melakukan identifikasi risiko-risiko yang dapat terjadi di masa yang akan datang (yaitu: risiko apa, kapan, di mana, bagaimana, mengapa suatu risiko bisa terjadi). Identifikasi ini termasuk pengidentifikasian poses-proses/tugas-tugas/aktifitas-aktifitas kritikal atau kunci, pengenalan area-area risiko dan katagorinya. Risk Analysis yaitu proses menentukan berapa besar dampak (impact atau consequences) dan kemungkinan (frequency atau likelihood) risiko-risiko yang akan terjadi, serta menghitung berapa besar level risikonya dengan mengalikan antara besar dampak dan besar kemungkinan (Risk = Consequences x Likelihood). Risk Evaluation atau membandingkan risiko-risiko yang sudah dihitung diatas dengan Kriteria Risiko yang sudah distandarkan (menempatkan posisi risiko-risiko pada gambar kriteria risiko), apakah risiko-risiko itu acceptable/dapat diterima, menjadi issue/diwaspadai, atau unacceptable/tidak diterima, serta memprioritaskan mitigasi atau penangannya. Lihat gambar di bawah ini, risiko nomor 1 dan 5 terletak di daerah warna merah Unacceptable Risk dan menjadi prioritas untuk dilakukan penanganan atau mitigasinya.
Gambar 1 Matriks Risk criteria
Tabel 2 Matriks Risk evaluation
C.
Tahapan Penelitian Tahap pertama penelitian ini adalah mengidentifikasi risiko dengan cara brainstorming kepada pihak manajemen K3 serta observasi secara langsung, setelah itu didapatkan bahwa risiko yang terjadi pada saat kegiatan bongkar muat peti kemas berjumlah 22 risiko. Setiap risiko SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-44
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
tersebut dicari peluang dan dampak yang terjadi terhadap ketiga variabel yaitu kecelakaan kerja, biaya, dan waktu. Selanjutnya diperoleh nilai Probability Impact Analysis dengan mengalikan nilai peluang dengan masing-masing dampak. Selanjutnya penilaian perbandingan berpasangan diolah dengan menggunakan metode Pairwise Comparison, sehingga didapatkan bobot dari masing-masing variabel kecelakaan kerja, biaya dan waktu. Kemudian masing-masing variabel tersebut dikalikan dengan bobot, dimana Indeks = Probabilitas (P) x Dampak (I) x Bobot untuk mendapatkan indeks risiko dari masing masing variabel risiko tersebut. Setelah didapatkan nilai indeks risiko kemudian dilakukan penjumlahan dari masing-masing variabel untuk mendapatkan nilai indeks risiko total. Hasil penjumlahan dari masing-masing variabel risiko keccelakaan kerja, biaya dan waktu maka didapatkan 5 nilai indeks risiko total tertinggi Dari 5 nilai indeks risiko tertinggi didapatkan penanganan/ respon risiko serta dilakukan pengendalian risiko yang tepat. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Risiko Tahap pertama penelitian ini adalah mengidentifikasi resiko dan mengklasifikasikannya berdasarkan kategori resiko yang mungkin terjadi. Identifikasi resiko disajikan pada Tabel 3, sedangkan klasifikasi resiko disajikan pada Tabel 4. Tabel 3 Identifikasi Risiko No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Risiko Kapal kemungkinan akan tabrakan / bersenggolan / bersinggungan dengan kapal lain Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Kapal larat/hanyut terbawa arus Tali kapal tunda/tali tross putus Kapal menabrak dermaga Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM terjatuh dari ketinggian sewaktu berada diatas petikemas loading/unloading Komponen kapal ditabrak oleh petikemas Pencemaran udara (gas buang dari knalpot HT (Head Truck), engine CC dan kapal CC Roboh dan menimpa HT Sakit punggung, mata pusing (Ergonomics) Loading and Unloading Containers tidak tepat lokasi Kebakaran Limbah oli bekas dan barang/material yang terkontaminasi oli serta gemuk Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading RTG Roboh RTG tertabrak HT (Head Truck) Stacker, Side Loader & Forklift tertabrak HT Truck Loading and Truck Lossing Tabrakan antar HT Gate In/Out tertabrak HT
pada
waktu
Tabel 4 Klasifikasi Risiko Kategori
Machine
No 1 2 4 6 7 10 12 14
Risiko Kapal kemungkinan akan tabrakan / bersenggolan /bersinggungan dengan kapal lain Menabrak atau tertabrak perahu nelayan yang berada di alur pelayaran Kapal larat/hanyut terbawa arus Kapal menabrak dermaga Haluan kapal menabrak Container Crane (CC) Komponen kapal ditabrak oleh petikemas CC Roboh dan menimpa HT Loading and Unloading Containers tidak tepat lokasi
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-45
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
Kategori
Man
Material Environment
No 19 20 21 22 23 24 3 8 9 13 17 18 5 15 16
Risiko RTG Roboh RTG tertabrak HT (Head Truck) Stacker, Side Loader & Forklift tertabrak HT Truck Loading and Truck Lossing Tabrakan antar HT Gate In/Out tertabrak HT Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM terjatuh dari ketinggian sewaktu berada diatas petikemas pada waktu loading/unloading Sakit punggung, mata pusing (Ergonomics) Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading Tali kapal tunda/tali tross putus Kebakaran Limbah oli bekas dan barang/material yang terkontaminasi oli serta gemuk
B. Risk Assessment Setelah dilakukan identifikasi dan klasifikasi resiko, selanjutkan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan risk assessment seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai Indeks dengan Bobot No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
K3 0.536 4.714 0.857 0.938 2.786 4.527 1.929 1.071 3.536 1.714 3.000 3.536 2.813 3.134 4.420 3.536 1.714 2.143 2.786 2.679 2.063 2.625
Biaya 1.393 2.357 1.393 1.688 5.223 3.482 1.768 2.946 1.929 1.929 1.500 1.768 2.625 1.741 3.241 3.536 1.500 2.143 2.143 1.875 1.875 2.063
Waktu 0.357 1.179 0.536 0.625 1.741 1.277 0.589 0.893 0.429 0.464 1.000 0.688 0.875 0.696 1.080 1.071 0.500 0.714 0.714 0.536 0.625 0.500
Jumlah 2.286 8.250 2.786 3.250 9.750 9.286 4.286 4.911 5.893 4.107 5.500 5.991 6.313 5.571 8.741 8.143 3.714 5.000 5.643 5.089 4.563 5.188
C. Matriks Penilaian Indeks Risiko Akibat Kecelakaan Kerja Tahap selanjutnya dilakukan penilaian risiko yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja, seperti disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa risiko akibat kecelakaan kerja ditunjukkan oleh risk agent 6, 12, 16, 2, dan 15.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-46
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
Tabel 6 Matrik Risiko Akibat Kecelakaan Kerja
D. Matriks Penilaian Indeks Risiko Akibat Biaya Penilaian risiko yang diakibatkan oleh biaya, seperti disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa risiko akibat kecelakaan kerja ditunjukkan oleh risk agent 6, 8, 15, 16, dan 5. Tabel 7 Matrik Risiko Akibat Biaya
E. Matriks Penilaian Indeks Risiko Akibat Waktu Penilaian risiko yang diakibatkan oleh waktu, seperti disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa risiko akibat kecelakaan kerja ditunjukkan oleh risk agent 2, 6, 15, 16, dan 5. Tabel 8 Matrik Risiko Waktu
F. Penentuan Risiko Tertinggi Tabel 9 merupakan lima risiko tertinggi pada kegiatan bongkar muat peti kemas Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Tabel 9 Identifikasi Risiko Tertinggi No 1 2 3 4 5
Risiko Kapal menabrak dermaga Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-47
Jumlah 9.750 9.286 8.741 8.250 8.143
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
Tabel 10 menyajikan perencanaan penanganan (respon) terhadap risiko yang terjadi pada TPKS Tanjung Mas Semarang. Tabel 10 Respon Risiko No 1 2 3 4 5
Risiko Kapal menabrak dermaga Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading
Penanganan Transferred Avoidance Avoidance Avoidance Avoidance
G. Mitigasi Risiko Setelah diketahui risiko tertinggi, selanjutnya dilakukan mitigasi risiko, seperti disajikan pada Tabel 11. Mitigasi risiko hanya dilakukan pada lima risiko tertinggi agar dapat dilakukan tindakan perbaikan sesegera mungkin. Tabel 11 Mitigasi Risiko Risiko
Kapal menabrak dermaga
Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal
Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading
Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal
Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading
Pengendalian Menggunakan semua alat navigasi yang ada di kapal Menggunakan lampu sorot (malam hari) untuk menghindari tabrakan antar perahu ataupun dermaga Menggunakan lampu sorot (malam hari) jika kondisi lampu Bouy padam Nahkoda yang akan keluar/masuk kolam pelabuhan, dalam pengoperasian kapalnya harus mengikuti saran petugas pandu Memperhatikan kekuatan arus/angin karena banyaknya kapal yang berlabuh/tambat di Rede. Memperhatikan radio panggil di stasiun pandu Memperhatikan posisi tambat/labuh Memperhatikan jarak berlabuh diantara kapal Memperhatikan posisi jangkar kapal yang lain. Pekerja/TKBM menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Pekerja/TKBM mendapatkan pelatihan handling petikemas diatas deck kapal Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pemberian rambu‐rambu peringatan di deck kapal. Pekerja/TKBM menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pemberian rambu‐rambu peringatan di area loadng/unloading Petuags pandu menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pekerja/TKBM menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pemberian rambu‐rambu peringatan di area loadng/unloading Pembatasan area/jalur khusus forklift sehingga tidak untuk jalur pejalan kaki
H. Analisis SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-48
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
Berdasarkan tahap pengolahan data, dapat diidentifikasi bahwa risiko yang terjadi pada saat kegiatan bongkar muat peti kemas berjumlah 22 risiko. Setiap risiko tersebut dicari peluang dan dampak yang terjadi terhadap ketiga variabel yaitu kecelakaan kerja, biaya, dan waktu. Selanjutnya diperoleh nilai Probability Impact Analysis dengan mengalikan nilai peluang dengan masing-masing dampak. Selanjutnya penilaian perbandingan berpasangan dilakukan dengan menggunakan metode Pairwise Comparison, sehingga didapatkan bobot dari masing-masing variabel kecelakaan kerja, biaya dan waktu adalah secara berurutan yaitu 42,857%, 42,857%, 14,286%. Kemudian masing-masing variabel tersebut dikalikan dengan bobot, dimana Indeks = Probabilitas (P) x Dampak (I) x Bobot untuk mendapatkan indeks risiko dari masing masing variabel risiko tersebut. Setelah didapatkan nilai indeks risiko kemudian dilakukan penjumlahan dari masing-masing variabel untuk mendapatkan nilai indeks risiko total. Hasil penjumlahan dari masing-masing variabel risiko keccelakaan kerja, biaya dan waktu maka didapatkan 5 nilai indeks risiko total tertinggi yaitu kapal menabrak dermaga sebesar 9.750, pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal sebesar 9.286, pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading sebesar 8.741, petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal sebesar 8.250 dan pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading sebesar 8.143. Mengacu pada 5 nilai indeks risiko tertinggi, respon risiko dapat dilakukan dengan mengalihkan/transfer risiko pada pihak ketiga (pihak asuransi) untuk kegiatan kapal menabrak dermaga. Sedangkan untuk pekerja/TKBM yang bekerja diatas kapal dengan risiko terpeleset, tersandung, kejatuhan benda, pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading, petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal, pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading respon risiko adalah menghindari risiko dengan cara pemberian pelatihan tentang K3 khususnya kegiatan operasional bongkar muat petikemas di pelabuhan dan penempatan gambar-gambar atau ramburambu peringatan tentang bahaya kerja. Untuk kegiatan kapal berada di sepanjang alur pelayaran menuju rede terdapat risiko kapal menabrak dermaga pengendalian risiko diantaranya menggunakan semua alat navigasi yang ada di kapal, menggunakan lampu sorot (malam hari) untuk menghindari tabrakan antar perahu ataupun dermaga, serta jika kondisi lampu Bouy padam, nahkoda yang akan keluar/masuk kolam pelabuhan, dalam pengoperasian kapalnya harus mengikuti saran petugas pandu, memperhatikan kekuatan arus/angin karena banyaknya kapal yang berlabuh/tambat di Rede, memperhatikan radio panggil di stasiun pandu, memperhatikan posisi tambat/labuh, memperhatikan jarak berlabuh diantara kapal, dan memperhatikan posisi jangkar kapal yang lain. Untuk risiko pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal, pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading, petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal, dan pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading pengendalian risiko yang dilakukan adalah dengan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet, Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift, dan pemberian rambu‐rambu peringatan di area loadng/unloading.
IV. PENUTUP Berdasarkan penelitian didapatkan 5 risiko dengan nilai indeks risiko total tertinggi adalah Kapal menabrak dermaga sebesar 9.750, Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal sebesar 9.286, Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading sebesar 8.741, Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal sebesar 8.250 dan Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading sebesar 8.143. Penanganan untuk risiko tinggi dengan perlakuan/tindakan atas risiko adalah perlu rencana penurunan (Mitigasi) risiko (Action Plan) menghindari risiko (Risk Avoid) dan/atau melakukan transfer risiko dan untuk Moderate maka perlakuannya adalah perlu rencana penurunan risiko dan monitoring pelaksanaan oleh pemilik risiko. DAFTAR PUSTAKA SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-49
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
Bourne, L., dan Walker, D.H.T., (2005). Visualising and mapping stakeholder influence. Management decision, 43(5), 649-660. Chen, S., Fath, B.D., dan Chen, B., (2010). Ecological risk assessment of hydropower dam construction based on ecological network analysis. Procedia Environmental Sciences 2, 725-728. Liu, X., dan Wirtz, K.W., (2006). Total oil spill costs and compensations. Maritime Policy and Management, 33(1), 469-60. Saaty, T.L., (1980). The Analytic Hierarchy Process, Planning, Piority Setting, Resource Allocation. McGraw-Hill, New York. Saaty, T.L., (2003). Decision-making with the AHP: Why is the principal eigenvector necessary. European Journal of Operational Research, 145(1), 85-91. Wang, H., (2008). Safety Factors and Leading Indicators in Shipping Organizations: Tanker and Container Operation. Doctor of Philosophy Dissertation. Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York Wang, J. dan Foinikis P., (2001). Formal Safety Assessment of Containerships. Marine Policy, 25, 143 –57. doi:10.1016/S0308-597X(01)00005-7
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-50
Petunjuk Sitasi: Permata, E. G., & Muslim. (2017). Penerapan Quality Function Deployment (QFD) untuk Pengembangan Produk Kaos Distro. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B51-56). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru Ekie Gilang Permata(1), Muslim (2) (1), (2)
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sultan Syarif Kasim Riau Jl. HR. Soebrantas No. 155 Simpang Baru, Panam, Pekanbaru, 28293 (1)
[email protected]
ABSTRAK Kaos distro di Kota Pekanbaru sudah berkembang dengan baik, ditunjukkan dengan banyaknya gerai distro yang bermunculan. Namun sebagian besar kaos distro yang ada di Kota Pekanbaru adalah produk yang berasal dari luar daerah sehingga harganya relatif mahal. Beberapa pengusaha konveksi di Kota Pekanbaru telah memproduksi kaos distro dengan brand lokal membawa konsep masing-masing dan menawarkan harga lebih murah dari produk luar, tetapi produk lokal tersebut kalah bersaing. QFD (Quality Function Deployment) adalah metode perencanaan dan pembangunan produk secara terstruktur yang memungkinkan tim pengembang mendefinisikan secara jelas kebutuhan dan harapan konsumen dan mengevaluasi kemampuan produk/jasa secara sistematik untuk memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk dengan metode QFD, menguji konsep produk kepasar, dan menentukan HPP (harga pokok produksi) serta harga jual per unit menggunakan metode mark up. Berdasarkan hasil penelitian, untuk dapat membuat produk sesuai keinginan konsumen pihak produsen harus melakukan upaya agar produk unggul dalam kualitas atau setidaknya sama, menekan biaya produksi hingga harga berada dibawah rata-rata pesaing dan memperbaiki aspek pelayanan. melalui hasil perhitungan harga pokok produksi adalah sebesar Rp.30.000,- untuk tipe kaos O-neck unisex dan harga jual sebesar Rp.60.000,Kata kunci— Harga Jual, Harga Pokok Produksi, Kaos Distro, Quality Function Deployment
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekembangan produk kaos distro mulai pesat di Kota Pekanbaru mengikuti trend segmen remaja yang dinamis. Beberapa gerai yang menjual kaos distro bermunculan di berbagai sudut kota. Bahkan di beberapa mal besar yang ada di Kota Pekanbaru, gerai distro cukup dominan keberadaannya. Perkembangan tersebut tidak sebanding dengan jumlah produsen lokal kaos distro yang ada di Kota Pekanbaru. Sebagian besar produk kaos distro masih berasal dari luar kota, terutama Bandung dan Jakarta. Melihat potensi pasar yang ada, seharusnya produsen lokal bisa mengoptimalkan angka penjualan. Berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa brand lokal, rata-rata penjualan adalah sekitar 82 unit. Angka pejualan ini kalah dibanding produk luar yang berkembang. tentu masalah diatas membutuhkan solusi. Jumlah penduduk di Provinsi Riau sekitar 5 juta jiwa tersebar di 13 kota/kabupaten yang ada. Sedangkan penduduk Kota Pekanbaru sebesar 999.031 orang yang merupakan calon konsumen kaos distro. Segmen potensial produk kaos distro berada pada jenjang umur 15-29 tahun, dengan jumlah sebanyak 308.632 jiwa atau sebesar 30,89 % dari total jumlah penduduk Kota Pekanbaru. Penerapan QFD dapat mengurangi waktu desain sebesar 40 % dan biaya desain sebesar 60 % secara bersamaan dengan dipertahankan dan ditingkatnya kualitas desain. QFD berperan besar dalam meningkatkan kerja sama tim interfungsional yang terdiri dari anggota-anggota departemen pemasaran, riset dan pemasaran, pemanufakturan, dan penjualan dalam berfokus pada pengembangan produk (Diana dkk, 2001). B. Tujuan Penelitian Berdasarkan Latar Belakang dan Perumusan Masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-51
Permata, Muslim
1. 2.
Untuk mengetahui respon teknis yang sesuai dengan kemampuan pengembang berdasarkan VoC (Voice of Costumer) Untuk menentukan aspek teknis yang tepat dalam mengembangkan produk kaos distro di Kota Pekanbaru
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kota Pekanbaru dengan populasi masyarakat berjenis kelamin lelaki dengan range usia 15-29 tahun. Metode yang digunakan adalah Quality Function Deployment (QFD) dan menentukan harga jual produk A. Quality Function Deployment (QFD) Membangun House of Quality diperlukan beberapa persamaan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Menentukan nilai importance to costumer Untuk mengetahui tingkat kepentingan yang paling diperhatikan oleh responden. Dapat diselesaikan menggunakan persamaan berikut: (1) 2. Menentukan nilai current satisfaction performance Untuk mengetahui atribut kuesioner yang paling diinginkan costumer agar dapat memuaskan responden. Perhitungnnya dapat diselesaikan dengan persamaan berikut: CSP
(2)
3. Menentukan expected Satisfaction Costumer Untuk mengetahui atribut kuesioner yang paling diharapkan costumer agar dapat memenuhi ekspektasi responden. Perhitungannya dapat diselesaikan dengan persamaan berikut: (3) 4. Menghitung improvement ratio Merupakan rasio perbandingan antara expected satisfaction ratio dengan current satisfaction performance. (4) 5. Menentukan sales point Tujuan menentukan sales point adalah untuk melihat atribut mana yang paling mempengaruhi konsumen untuk memberi produk. Tabel 1. Nilai dan Keterangan Sales Point
Nilai Sales Ponit 1 1.2 1.5
Keterangan Tidak ada titik jual Titik penjualan menengah Titik penjualan kuat
6. Menghitung raw wight Model ini menggambarkan perioritas kebutuhan konsumen yang harus dikembangkan oleh produsen (perusahaan) dari masing-masing costumer needs. Perhitungannya dapat diselsaikan menggunakan persamaan berikut: Raw weight = Importence to costumer x Improvement ratio
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-52
(5)
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) Untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru
7. Menghitung normalized raw wight Merupakan persentase raw wight, perhitungannya dapat diselasikan menggunakan persamaan berikut:
(6) 8. Mengembangkan hubungan antara matriks whats dan hows. Pada setiap elemen matriks kebutuhan pelanggan akan dicari solusi atau rekayasa teknisnya. Tetapi perlu diketahui seberapa jauh pengaruh technical descriptor dalam menangani dan mengendalikan kebutuhan konsumen atau pelanggan. 9. Menentukan hubungan antara matriks hows Tahap ini berfungsi memetakan interrelationship dan interdependencies antar rekayasa teknis. 10. Menentukan urutan perioritas respons teknis Digunakan untuk menentukan urutan perioritas pelaksanaan respons teknis. Nilai kebutuhan proses diperoleh dengan rumus: (7) Dimana: KPi : Nilai absolut parameter teknik setiap atribut. BPi : Kepentingan relatif (normalisasi bobot) atibut jasa yang di inginkan yang memiliki hubungan dengan kebutuhan proses. Hi : Nilai hubungan atau interaksi antara atribut 11. Kepentingan relatif Merupakan persentase nilai absolut parameter teknis. Dapat dihitung melalui persamaan berikut:
(8)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Populasi penelitian adalah Masyarakat kota Pekanbaru Usia 15-29 tahun dengan Sampel yang telah ditentukansebelumnya sebesar 120 responden. Metode penentuan jumlah sampel menngunakan rumus slovin. Data yang disebarkan kepada sampel adalah kuesioner VoC (Voice of Costumer) yang merupakan pengembangan dari dimensi kualitas produk yang dikembangkan oleh Davin Garvin tahun 1987 B. Pengujian Konsep Produk ke Pasar Tujuan pengujian konsep ke pasar adalah untuk melihat perkiraan berapa produk yang akan dibeli pasar dalam periode waktu tertentu, selain untuk memberi gambaran berapa seharusnya produk awal yang akan diproduksi, juga dapat digunakan untuk acuan menentukan harga pokok produksi (HPP) dan harga jual. Q=NxAxP
(9)
Diketahui P = Cdefinitely x Fdefinitely x Cprobably x Fprobably Q = Jumlah produk yang diaharapkan terjual pada periode waktu tertentu N = Jumlah pelanggan potensial yang diharapkan membeli selama periode waktu tertentu. A = Proporsi pelanggan potensial P = Peluang produk akan dibeli jika tersedia dan jika pelanggan menyadari keberadaan produk tersebut.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-53
Permata, Muslim
Fprobably Fdefinitely
= Proporsi pelanggan survei yang memilih skala “mungkin akan membeli” (second box score) = Proporsi pelanggan survei yang memilih skala “pasti akan membeli” (top box score)
Cdefinitely & Cprobably merupakan Konstanta kalibrasi yang biasanya ditetapkan berdasarkan pengalaman perusahaan dengan produk yang sama dimasa lalu. Umumnya berkisar pada interval : 0.10 < Cdefinitely < 0.50, dan 0 < Cprobably < 0.25. jika tidak terdapat masa lalu, sebagian besar tim pengembang menggunakan nilai 0.4 Cdefinitely untuk dan 0.2 untuk Cprobably. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tabel 2. Atribut Kuesioner VoC (Voice of Costumer) Butir Pertanyaan Kualitas jahitan lingkar leher Kualitas jahitan sambungan bagian ketiak Kualitas jahit obras bagian dalam kaos Kualitas jahitan pada pundak Kerapian jahitan kaos Kesesuaian keinginan terhadap konsep desain Kesesuaian keinginan terhadap variasi model kaos distro Kesesuaian keinginan terhadap variasi warna kaos distro Kesesuaian harga dengan kualitas Daya tahan sablon pada kaos Daya tahan kain yang digunakan pada kaos distro Kemampuan Promosi Kemampuan pelayan berkomunikasi dengan costumer Kemudahan menghubungi pusat informasi produk Penanganan keluhan costumer Ketepatan pelayanan Keramahan, perhatian, dan kesopanan penjual (pelayan) Desain sablon kaos distro menarik Desain sablon kaos distro unik Kenyamanan bahan kain yang digunakan
C.
Menghitung Harga Pokok Produksi Menurut Wijaya (2011) harga pokok produksi meliputi keseluruhan bahan baku langsung, tenaga kerja langsung dan overhead pabrik yang dikeluarkan untuk memproduksi barang atau jasa. Penetapan jumlah harga pokok produksi diawali dengan jumlah harga pokok produksi barang dalam proses pada awal periode. Jumlah ini kemudian ditambah dengan biaya bahan baku yang dimasukkan dalam produksi (Widyawati, 2013). Untuk mencari harga pokok produksi berikut merupakan cara dan persamaan yang digunakan: - Biaya bahan baku - Biaya tenaga kerja langsung - Biaya overhead pabrik HPP (Harga Pokok Produksi)
= Rp.xxx = Rp.xxx = Rp.xxx + = Rp.xxx
D. Hasil Pengolahan Quality Fuction Deployment hasil dari pengolahan QFD adalah HoQ (House of Quality) yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Dari susunan HoQ tedapat beberapa komponen yang saling mendukung
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-54
8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nilai Target
5,22
0,045
5
1,25
1,5
0,044
5
3.
Kualitas jahitan obras bagian dalam kaos
1,20
1,5
5,08 4,74
0,041
5
4.
Kualitas jahitan pada pundak
1,24
1,5
0,042
5
5.
Kerapian jahitan kaos
1,13
1,5
4,85 4,75
5
6.
Kesesuaian keinginan terhadap konsep desain kaos
1,85
1,2
8,40
0,041 0,073
7.
Kesesuaian terhadap variasi model kaos distro
1
5,83
Kesesuaian terhadap variasi warna kaos distro
1,2
4,17
0,051 0,036
5
8.
1,48 1,08
9.
Kesesuaian harga dengan kualitas
1,48
1,5
6,64
0,058
5
10.
Daya tahan sablon pada kaos
1,22
1,2
5,01
5
11.
Daya tahan kain yang digunakan pada kaos
1,37
1,5
5,75
0,043 0,050
12.
Kemampuan promosi
1,2
1,27
0,052
5 5 5
Sales Point
Raw Wight
1,5
Kualitas jahitan sambungan bagian ketiak
Improvement Ratio 1,27
2.
Atribut Pernyataan (Hows)
Jahitan obras rapat dan kuat
Kualitas jahitan lingkar leher
Jahitan ketiak disambung dan rapi
1.
No.
Jahitan leher
Normalized Raw Weight
Jahitan bahu menggunakan jahit rantai
7.
Menggunakan kain cotton combed (100 % Katun)
6.
Menjual dengan harga dibawah rata-rata pasaran
Membuat desain kaos bertema kearifan lokal Riau
5.
Menyediakan layanan costumer sevice
4.
Melakukan promosi saat ada event
3.
Memberikan layanan cetak desain custom/sesuai keinginan pelanggan
2.
Membuat website toko online/menjual di toko online yang sudah ada
Membuat promosi melalui media internet
1.
Memberikan paket-paket penjualan yang menarik
Menyediakan kotak saran pada outlite
Membuatan SOP (Standard Operating procedure) Pelayanan
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) Untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru
13.
Kemampuan pelayan berkomunikasi dengan costumer
1,93 1,56
1,2
1,27
14.
Kemudahan menghubungi pusat informasi produk
1,62
1,2
1,27
15.
Penanganan keluhan costumer
2,03
1,2
1,27
0,045 0,044 0,062
16.
Ketepatan pelayanan
1,20
1,2 1,2
1,27
0,034
1,27
1,5
1,27
0,072 0,055
20.
Kenyamanan bahan kain yang digunakan
1,10
1,5
1,27
0,042
65,79
96,18
4,96
12,57 166,72
10,17 134,83 4,61 61,19 7,13 94,55
9
7,25
7 14 10 11 15 8
70,00
4
4,98
Urutan Perioritas
5,06
Persentase
Jumlah
127,64
0,059
5,28 9,62
1,27
31,14 82,68
1,5
2,34 6,23
1,62
60,66 67,16 66,15
Desain sablon kaos distro unik
4,57
19.
114,50 86,54
1,99 1,49
6,52
Keramahan, perhatian dan kesopanan penjual (pelayan) Desain sablon kaos distro menarik
8,63
17. 18.
3 12 5
1
2 13 6
5 5
5
5 5 5 5 5 5
Gambar 1 Matrix House of Quality Biaya-biaya yang telah ditentukan, maka dapat diselesaikan penyusunan HPP sebagai berikut: Tabel 3 Perhitungan HPP Kaos O-neck Lengan Pendek Unisex Size ML (All Size) Biaya Harga Bahan baku kaos (7222 x 21.000) = Rp. 151.662.000,Pembuatan film dan cetakan (50.000 x 301) = Rp. 15.050.000,Bahan cat, pengencer dan obat afdruk (7222/24 x 108.000) = Rp. 32.508.000,Biaya tenaga kerja langsung Tenaga kerja sablon (7222/24 x 35.000) = Rp. 10.535.000,Biaya listrik + air (200.000 x 12) = Rp. 2.400.000,Total HPP = Rp. 212.155.000,HPP per unit = Rp. 29.376,2116,-
IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. perioritas penerapan respon teknis berdasarkan kepentingan relatif sebagai berikut: a. Menggunakan kain cotton combed (100% katun) = 12,57 % b. Jahitan leher kaos kuat dan tidak molor = 10,17 % c. Memberikan layanan costumer service = 9,62 % SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-55
Permata, Muslim
Menyediakan kotak saran pada outlet = 8,63 % Menggunakan kain cotton combed (100% katun) = 7,25 % Jahitan obras bagian dalam baju rapat,rapi dan kuat = 7,13 % Membuat SOP (Standard Operating Procedure) pelayanan = 6,52 % Memberikan pelayanan cetak desain custom/sesuai keinginan costumer = 6,23 % Membuat desain kaos bertema kearifan lokal Riau = 5,28 % Membuat website toko online/membuat toko online yang sudah ada = 5,06 % Menawarkan paket-paket penjualan yang menarik = 4,98 % Menjual dengan harga dibawah rata-rata pasaran = 4,96 % Jahitan ketiak disambung kuat dan rapi = 4,61 % Membuat promosi melalui media internet = 4,57 % Memberikan promosi saat ada event = 2,35 % 2. Aspek teknis yang tepat adalah dengan memproduksi menggunakan metode sablon manual dan metode sablon DTG. Namun, untuk menghindari biaya investasi awal yang sangat besar dan untuk bentuk-bentuk desain tertentu yang memerlukan printer DTG, dapat juga menggunakan jasa outsourcing. 3. Adapun hasil pengujian konsep yang dilakukan terhadap konsep produk yang telah dikembangkan bahwa produk dalam periode waktu 1 tahun akan terjual sebesar 7221,99 ≈ 7222 Unit. Dengan asusmsi bahwa 30 % dari segmentasi pasar mengetahui keberadaan produk. 4. Produksi hingga harga berada dibawah rata-rata pesaing dan memperbaiki aspek pelayanan. melalui hasil perhitungan harga pokok produksi adalah sebesar Rp.30.000,- untuk tipe kaos O-neck unisex dan harga jual sebesar Rp.60.000,d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
DAFTAR PUSTAKA Widyawati, 2013 Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi dan Penerapan Metode Mark Up dalam Penetuan Harga Jual Produk pada Usaha Amplang di Samarinda”. e-Jurnal Administrasi Bisnis, 2013, 1 (2): 192-201|ISSN 0000-0000, Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman Wijaya, Tony 2011. Manajemen Kualitas Jasa : Desain Serqual, QFD, dan Kano Disertai Contoh Aplikasi dalam Kasus Penelitian. Jakarta., PT. Indeks
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-56
Petunjuk Sitasi: Adhiana, T. A., Krisnawati, M., & Sumargo, S. (2017). Desain Perbaikan Layout Produksi pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B57-61). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Desain Perbaikan Layout Produksi pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga Tigar Putri Adhiana(1), Maria Krisnawati(2) , Seto Sumargo(3) (1), (2), (3) Universitas Jenderal Soedirman Jl.Mayjen Sungkono KM No.5, Blater, Purbalingga (1)
[email protected] ABSTRAK Perencanaan fasilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses operasi perusahaan. Perencanaan tata letak (layout planning) merupakan metode untuk menganalisis, membentuk konsep, merancang, dan mewujudkan sistem bagi pembuatan barang atau jasa. Manfaat yang diharapkan dari layout yang optimal adalah waktu dari proses produksi akan lebih kecil dibandingkan layout yang tidak optimal. Penelitian ini dilakukan di IKM Sapu “Go Work Handy Craft” yang terletak di Kelurahan Mewek Purbalingga. Hasil studi pendahuluan diperoleh bahwa terdapat beberapa masalah di proses produksi IKM tersebut. Beberapa masalah yang ditemukan adalah, masih belum terpisahnya storage untuk bahan baku sorgum dan sorgum jadi, adanya backtracking dan masih adanya lahan/area yang belum terpakai membuat proses produksi sapu sorgum menjadi belum optimal. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain perbaikan layout produksi kerajinan sapu dengan cara mengoptimalkan area yang tersedia. Analisis perbaikan layout menggunakan Activity Relationship Chart (ARC) yaitu analisis berdasarkan keterkaitan satu proses produksi dengan proses produksi lainnya. Hasil yang diperoleh adalah layout produksi yang optimal karena dengan layout usulan, tidak ada backtracking dan seluruh area dapat digunakan secara optimal untuk proses produksi. Kata kunci— Berupa kata atau frase kunci, dipisahkan dengan koma, disusun secara alfabetik, empat sampai enam frase.
I. PENDAHULUAN Terdapat beberapa definisi mengenai tata letak. Tata letak pabrik dapat didefinisikan sebagai tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas pabrik guna menunjang kelancaran proses produksi. Pengaturan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan luas area untuk penempatan mesin atau fasilitas penunjang produksi lainnya, kelancaran gerakan perpindahan material, penyimpanan material baik yang bersifat temporer maupun permanen, personal pekerja, dan sebagainya.(Wignjosoebroto ,2000 dalam Putri, Alifah et al.). Perencanaan fasilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses operasi perusahaan. Perencanaan dan perancangan tata letak fasilitas yang baik dibutuhkan dalam proses perpindahan material. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi dan meminimumkan biaya material handling (Apple 1990). Tujuan perancangan tata letak ini berhubungan erat dengan strategi manufaktur. Strategi ini umumnya melibatkan beberapa kriteria seperti ongkos, kualitas produk, utilitas sumber daya, waktu pengiriman, persediaan, dan keamanan kerja. Dalam perencanaan tata letak lantai produksi, maka harus pula dipikirkan mengenai sistem pemindahan barang (material handling). (Nurhasanah and Simawang 2013) Produk sapu merupakan salah satu dari tiga produk unggulan di Kabupaten Purbalingga. Pemerintah Kabupaten Purbalingga sangat mendukung pengembangan terhadap produk sapu, hal ini dapat dilihat dalam Draft Peraturan Daerah Rencana Aksi Pengembangan Industri Purbalingga (Disperindagkop & UMKM, 2015). Kerajinan sapu “Go Work Handy Craft” merupakan sebuah IKM yang terletak di Kelurahan Mewek, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Produk yang diproduksi terdiri dari berbagai varian berdasarkan bahan utamanya yaitu sapu sorgum, sapu SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-57
Adhiana, Krisnawati , Sumargo
glagah, dan sapu lidi. Market dari produk ini tidak hanya untuk pasar lokal/domestik saja namun sudah merambah kepada pasar internasional (ekspor). Produk sorgum diekspor ke Korea dan Jepang, glagah diekspor ke Korea sedangkan sapu lidi diekspor ke Jepang saja.Jumlah pekerja berjumlah 15 orang untuk semua produk sapu. Sedangkan proses produksi dari sapu sorgum meliputi perendaman, penganyaman, penjemuran dan pergudangan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan permasalahan bahwa tata layout dari IKM “Go Work Handy Craft” ini dirasa belum tepat karena masih bercampurnya storange bahan baku dan bahan jadi, sehingga menimbulkan kesan berantakan di masing-masing departemen. Proses produksi pun dirasa masih belum baik karena adanya backtracking pada proses produksi. Selain itu ada area kosong yang dapat digunakan tapi tidak digunakan oleh IKM sapu “Go Work Handy Craft” ini sehingga belum semua area digunakan secara optimal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sekaligus memperbaiki tata letak produksi IKM Sapu “Go Work Handy Craft” sehingga proses produksi dapat lebih efektif, efisien dan dapat mengurangi backtracking. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada IKM Sapu “Go Work Handy Craft” yang terletak di Kelurahan Mewek, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Periode penelitian dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2017. Metode yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi langsung ke lantai produksi dan wawancara ke pemilik IKM sapu “Go Work Handy Craft” tersebut. Sedangkan observasi adalah pengumpulan data dengan jalan pengamatan langsung, dan wawancara adalah pengambilan data dengan cara tanya jawab secara langsung ke karyawan atau staf yang ada di perusahaan tersebut (Rusdiana and Anggraini 2010). Selain data primer, juga dikumpulkan data sekunder yaitu kajian pustaka dari penelitian sebelumnya serta teori-teori yang relevan dan dapat menambah pengetahuan terkait dengan pemecahan masalah penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan ARC (Activity Relationship Chart). Activity Relationship Chart (ARC) adalah suatu metode untuk merencanakan dan menganalisa keterkaitan antara setiap kelompok kegiatan yang saling berkaitan. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah layout yang diteliti hanya layout untuk proses produksi sapu sorgum. Hal ini dikarenakan proses produksi sorgum lebih bersifat kontinyu dan selalu ada daripada produk sapu lainnya. Produk sapu lainnya hanya diproduksi jika ada pesanan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Layout Fasilitas IKM Sapu “Go Work Handy Craft” Berikut merupakan proses produksi sapu sorgum: 1. Bahan baku diambil dari storage bahan baku 2. Bahan baku direndam sekitar 10-15 menit di tempat perendaman 3. Bahan baku diambil dan diletakkan di tiap WS penganyaman 4. Bahan baku sorgum dianyam 5. Sorgum yang sudah dianyam kemudian dijemur selama kurang lebih 12 jam 6. Sorgum disimpan di storage barang jadi Untuk penjelasan lebih lengkapnya dapat dilihat pada gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-58
Desain Perbaikan Layout Produksi Pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga
E
F
G
H
D
C
I
J
B
K
A
L
M
N
Gambar 1 Layout IKM Sapu Keterangan : A : Bahan Baku B : Storage Sorgum Jadi C : Penganyaman D : Penganyaman E : Toilet F : Storage Barang Jadi (Produk Lain) G : Oven
H : Perendaman I : Penganyaman J : Penganyaman K : Penganyaman L : Storage Bahan Baku M : Storage Sorgum Jadi N : Penjemuran
Dari penjelasan dan gambar layout di atas dapat diketahui bahwa layout fasilitas IKM belum tertata secara maksimal. Storage bahan baku (A) maupun sorgum jadi (B) masih belum terpisah dan belum tertata rapi. Selain itu juga masih adanya backtrack dari pengambilan bahan baku sorgum (A) ke perendaman (H) kemudian kembali lagi ke WS penganyaman (C, D, I, J, K). Kemudian dari seluruh area yang ada, masih ada area belum digunakan di dekat perendaman. Berdasarkan beberapa masalah yang disebutkan di atas dan proses produksi serta letak WS kemudian dilakukan analisis layout berdasarkan Activity Relationship Chart untuk mendapatkan layout perbaikan. B. Activity Relationship Chart Activity Relationship Chart (ARC) adalah suatu metode untuk merencanakan dan menganalisa keterkaitan antara setiap kelompok kegiatan yang saling berkaitan. Di dalam ARC terdapat beberapa sandi keterkaitan yang menunjukan keterkaitan satu kegiatan dengan kegiatan yang lainnya dan seberapa penting setiap keterdekatan hubungan yang ada.(Yeni 2011). Di bawah ini adalah peta hubungan aktivitas layout perusahaan yang telah didiskusikan dengan pemilik maupun pekerja IKM Sapu.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-59
Adhiana, Krisnawati , Sumargo
Gambar 2 Activity Relationship Chart Keterangan : A : absolutely important, mutlak perlu kegiatan-kegiatan tersebut berhampiran satu sama lain E : extremely/especially important, sangat penting kegiatan-kegiatan tersebut berdekatan O : ordinary, biasa kedekatannya, dimana saja tidak ada masalah U : unimportant, tidak perlu adanya keterkaitan geografis apapun X : undesirable, tak diinginkan kegiatan-kegiatan bersangkutan berdekatan Dari hasil ARC diatas diketahui bahwa storage bahan baku letaknya harus berdekatan dengan perendaman. Kemudian perendaman juga harus dekat dengan tempat menganyam. Dari hasil ARC kemudian dibuat usulan layout perbaikan. C. Usulan Perbaikan Layout Fasilitas IKM Sapu “Go Work Handy Craft” Setelah dilakukan analisis ARC, maka diperoleh layout usulan untuk IKM sapu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
F
E
D
C
B A
G
H
I
J
L
M
Gambar 3 Usulan Layout Perbaikan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-60
L
Desain Perbaikan Layout Produksi Pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga
Keterangan : A B C D E F G
: Storage Bahan Baku : Storage setelah perendaman : Penganyaman : Penganyaman : Toilet : Storage Barang Jadi (Produk Lain) : Oven
H : Storage Sorgum Jadi I : Penganyaman J : Penganyaman K : Penganyaman L : Perendaman M : Penjemuran
Gambar 3 merupakan usulan perbaikan layout IKM Sapu. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa layout perbaikan dirasa cukup baik. Hal ini karena tiap departemen sudah didekatkan dengan departemen yang memiliki keterkaitan menurut Activity Relationship Chart (ARC). Selain itu juga, pada layout usulan ini, backtracking dari bahan baku ke perendaman kemudian kembali ke penganyaman yang semula ada menjadi tidak ada. Pada layout usulan pun disediakan area untuk meletakkan bahan baku sorgum setelah perendaman. Sehingga penyimpanan pun lebih rapi dan tidak berantakan di tiap-tiap tempat departemen penganyaman. Aliran bahan dari bahan baku sampai barang jadi pun menjadi lancar. Selanjutnya, ruang yang awalnya kosong dapat dimanfaatkan secara optimal untuk storage sorgum jadi. Sehingga, storage sorgum jadi tidak bercampur dengan storage bahan baku maupun produk sapu lain. Dengan beberapa usulan perbaikan pada layout produksi diperoleh bahwa semua area produksi dapat dioptimalkan dan tidak ada backtracking sehingga proses produksi menjadi lebih efektif dan efisien.
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada IKM Sapu diperlukan perbaikan penataan layout produksi karena layout atau proses produksi eksisting masih belum rapi dan berantakan serta adanya backtrack. Dari analisis ARC, diperoleh layout usulan dimana layout tersebut mempertimbangkan kedekatan dan keterkaitan tiap departemen. Sehingga diperoleh layout yang rapi dan tidak ada backtrack sehingga proses produksi lebih teratur dan lancer. Area yang tersedia pun dapat digunakan secara optimal. Sehingga para pekerja pun dapat bekerja dengan nyaman dan aman.
DAFTAR PUSTAKA Apple, J. M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Nurhasanah, N. and B. P. Simawang 2013. "Perbaikan Rancangan Tata Letak Lantai Produksi di CV. XYZ." Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI 2(2): 81-91. Putri, A., et al. "Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Pabrik Pembuatan Rangka Meja Ping-Pong pada CV Shiamiq Terang Abadi. Rusdiana, E. and S. Anggraini. 2010. Analisa Tata Letak Industri Pengalengan Buah Nenas Di Batu, Jawa Timur. Buana Sains 10(2): 159-166. Wignjosoebroto, S. 2000. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Surabaya: Guna Widya. Yeni. 2011. Perancangan Tata Letak Fasilitas Produksi Pada Industri Makanan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-61
Petunjuk Sitasi: Satriardi, Dermawan, D., & Aminudin, A. A. (2017). Perancangan Pallet Ergonomis di Stasiun Loading dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B62-68). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Pallet Ergonomis di Stasiun Loading dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ) Satriardi (1), Dedi Dermawan(2) Achmad Asyhari Aminudin(3) (1), (2),(3) Teknik Industri, Universitas Muhammadiyah Riau Jl. Tuanku Tambusai Ujung (Samping Mall SKA) Pekanbaru
[email protected](1),
[email protected](2),
[email protected](3) ABSTRAK PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dibidang produksi minuman kemasan cup180 ml. Hampir seluruh kegiatan di lantai produksi menggunakan permesinan automatic. Fokus penelitian ini akan lebih ditujukan pada stasiun loading dimana masih ditemukan beberapa pekerja memindahkan produk minuman dalam kemasan dus dengan cara mengangkat secara manual sehingga dapat menimbulkan rasa lelah (fatique) yang berlebihan dan keluhan Musculoskeletal. Pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki metode kerja untuk mendeteksi keluhan Musculoskeletal dipakai Standart Nordic Questionnaire (SNQ), sedangkan untuk mengetahui batasan berat beban yang diangkat digunakan metode Recommended Weight Limit (RWL) dan untuk mengetahui beban kerja yang dialami oleh pekerja digunakan metode Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram). Hasil penilaian untuk kondisi aktual dari metode yang ada dianalisis berdasarkan keluhan Musculoskeletal yang terjadi. Kemudian digunakan metode Quality Function Deployment untuk menerjemahkan kebutuhan pekerja loading terhadap pallet yang akan dirancang. Gambaran kondisi aktual yang terjadi dianalisis sehingga menghasilkan suatu rancangan pallet yang ergonomis. Rencangan berupa pallet yang didapatkan dari metode Quality Function Deployment (QFD) menghasilkan sebuah rancangan pallet yang dapat bergerak dan digunakan pekerja dalam aktivitas pemindahan produk dari Gudang Distributor Center kedalam bak mobil. Kata kunci— Fishbone Diagram, MSDs(Musculoskeletal Disorsders , Quality Function Deployment, Recommended Weight Limit, Standart Nordic Questionnaire
I. PENDAHULUAN Perkembangan perusahaan manufaktur yang sangat pesat menyebabkan perubahan pengoperasian permesinan menjadi semi-automatis bahkan full-otomatis. Perkembangan tersebut berdampak pada perusahaan yang ada di Indonesia. Perusahaan di Indonesia masih banyak melakukan pekerjaan secara manual (manual material handling) yang merupakan sumber utama komplain pekerja di perusahaan. Aktivitas manual material handling yang tidak tepat dan beban kerja yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak buruk pada pekerja, salah satunya adalah keluhan pada sistem muskoloskeletal. Sistem muskoloskeletal adalah suatu sistem yang terditri dari tulang, otot, kartilago, ligament, tendon, fascia, bursae, dan persendian. (Depkes, 1995;3) PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri minuman berperisa dalam kemasan cup dengan isi 180 ml dan di packing dalam kemasan dus dengan jumlah isi 24 cup/dus. PT.XYZ memiliki kapasitas produksi 50,400 dus/hari dan memiliki tujuh departemen kerja, yaitu : Departemen produksi, Departemen HCS, Departemen FA dan IT. Departemen PDCA, dan Departemen distributor center. Berdasarkan pengamatan pada saat proses loading di Departemen distributor center,masih ditemukan kegiatan manual material handling dan terdapat beberapa keluhan pekerja yang mengalami rasa nyeri atau sakit pada beberapa bagian anggota tubuh akibat dari proses kerja pada saat proses loading. Aktivitas proses loading oleh pekerja dilakukan dalam waktu 7 jam/hari. Gerakan mengangkat dan memindahkan produk dari pallet ke dalam mobil menjadi kendala dan terdapat beberapa keluhan yang dialami pekerja saat melakukan pekerjaan pada proses loading. Berdasarkan hasil kuesioneryang diambil dari 8 pekerja, diketahui keluhan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-62
Perancangan Pallet Ergonomis Di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ)
yang paling banyak dialami oleh pekerja yaitu pada bagian tangan, bagian punggung, dan bagian kaki.
Gambar 1. Pekerjaan Loading
1.
2.
3.
4.
5.
II. METODOLOGI PENELITIAN Adapun tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Studi Pendahuluan dan Studi Literatur Pada tahapan pendahuluan ini dilakukan studi pendahuluan dan studi literatur. Untuk studi pendahuluan diawali dengan melakukan meninjau secara langsung kondisi pabrik untuk melihat kondisi eksisting dalam upaya mengumpulkan informasi penelitian serta teori-tori terkait untuk menentukan masalah-masalah yang terjadi dilantai produksi. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan dan pengolahan data. Tujuan dari perumusan masalah adalah untuk memperjelas tentang masalah yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian ini. Dari identifikasi masalah yang ada, maka didapatlah suatu permasalahan. Penetapan Tujuan Dalam sebuah penelitian, akan ada hasil yang akan dicapai. Suksesnya penelitian dapat dilihat dari tujuan penelitian apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Oleh karena itu, penetapan tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam upaya menjawab segala permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti. Pengumpulan Data Pada tahap ini Data yang dikumpul merupakan data pendukung penelitian. Adapun bentuk pengumpulan data ialah Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara terhadap operator distasiun loading. Wawancara dilakukan terkait permasalahan apa saja yang terjadi selama proses loading. Data sekunder meliputi spesifikasi pallet, struktur organisasi, dan ruang lingkup perusahaan. Implementasi Metode Pada tahap melakukan pendekatan melalui analisis dengan metode-metode yang digunakan meliputi : (1). SNQ (Standart Nordic Questionnaire) dilakukan untuk mengukur dan mendefiniskan keluhan rasa sakit pada bagian anggota tubuh pekerja. (2). RWL(Recommended Weight Limit) dilakukan untuk menentukan batas angkatan yang diperbolehkan untuk diangkat oleh para pekerja loading. (3). LI (Lifting Index) digunakan untuk mengestimasi tingkat tegangan fisik dalam suatu kegeiatan pemindahan material secara manual (manual material handling). Dengan interpretasi Jika LI > 1, maka aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan resiko dan Jika LI < 1, maka aktivitas tersebut tidak berpotensi menimbulkan resiko. (4). Pareto Diagram digunakan untuk mengetahui jenis SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-63
Satriardi, Dermawan, Aminudin
keluhan yang menjadi prioritas di dalam SNQ (Standart Nordic Questionnaire)dan (5). Fishbone Diagram dilakukan untuk menentukan sebab dan faktor yang menjadi atau mengakibatkan tingginya beban kerja pada pekerja, serta (6). Perancangan fasilitas kerja dengan pendekatan metode QFD (Quality Function Deployment) melakukan perancangan pallet. 6. Analisadan Pembahasan Melakukan analisa hasil dari perbaikan dan memberikan solusi yang terbaik sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan pendekatan metode yang dipakai dalam penelitian didalam ruang lingkup perusahaan. 7. Penutup Berisikan kesimpulan hasil terhadap penelitian yang dilakukan serta saran dan rekomendasi yang konstruktif kepada mahasiswa, perusahaan ataupun komunitas lainnya yang nantinya akan membaca dan mahasiswa lainnya yang akan melaksanakan penelitian.
A START
1. 2. 3. 4.
STUDI PENDAHULUAN Kondisi Pabrik Proses Produksi Informasi Pendukung Masalah-masalah
STUDI LITERATUR 1. Teori Buku 2. Referensi Jurnal 3. Langkah-langkah Penyelesaian
PEMBAHASAN Quesioner SNQ (Standart Nordic Questionnaire) - Mendefinisikan Keluhan Operator
PERUMUSAN MASALAH
PENETAPAN TUJUAN
RWL (Recommended Weight Limit) - Analisa Hasil Pengukuran RWL (Recommended Weight Limit)
PENGUMPULAN DATA 1. Data Primer - Wawancara dengan operator Stasiun loading - Quesioner SNQ (Standart Nordic Questionnaire) 2. Data Sekunder - Struktur organisasi dan ruang lingkup perusahaan - Data Spesifikasi Pallet
LI (Lifting Index) - Analisa Hasil Penentuan LI (Lifting Index)
IMPLEMENTASI METODE Quesioner SNQ (Standart Nordic Questionnaire) - Mendefinisikan atau mengukur Keluhan Pekerja
Pareto Diagram - Analisa Prioritas Masalah Fishbone Diagram - Analisa Penyebab Masalah
RWL (Recommended Weight Limit) - Mengukur RWL (Recommended Weight Limit)
LI (Lifting Index) - Mengukur LI (Lifting Index)
Analisis Perancangan Fasilitas Kerja Dengan pendekatan Metode QFD (Quality Function Deployment)
Pareto Diagram - Menentukan Prioritas Masalah Fishbone Diagram - Menentukan Penyebab Masalah
Analisis Perancangan Desain Produk Perancangan Fasilitas Kerja Dengan pendekatan Metode QFD (Quality Function Deployment)
Perancangan Desain Produk
PENUTUP A
FINISH
Gambar 2 Kerangka Penelitian III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data MSDs (Musculoskeletal Disorsders) Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui hasil pengisian dari SNQ (Standart Nordic Questionaire) merupakan data primer yang berasal dari pekerja di stasiun loading dengan jumlah pekerja 8 orang. Data tersebut direkapitulasi dengan melakukan pembobotan untuk masingmasing rasa sakit, sehingga dapat diketahui bagian tubuh mana yang paling merasakan sakit.
Tabel 1. Tingkat Keluhan Pekerja Berdasarkan Kelompok Bagian Tubuh SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-64
Perancangan Pallet Ergonomis Di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ)
Kelompok Bagian Tubuh
No
Jenis Keluhan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Total
Sakit/kaku di leher bagian atas Sakit/kaku di leher bagian bawah Sakit di bahu kiri Sakit di bahu kanan Sakit pada lengan atas kiri Sakit pada lengan atas kanan Sakit pada siku kiri Sakit pada siku kanan Sakit pada lengan bawah kiri Sakit pada lengan bawah kanan Sakit pada pergelangan tangan kiri Sakit pada pergelangan tangan kanan Sakit pada tangan kiri Sakit pada tangan kanan Sakit di punggung Sakit pada pinggang Sakit pada bokong Sakit pada pantat Sakit pada paha kiri Sakit pada paha kanan Sakit pada lutut kiri Sakit pada lutut kanan Sakit pada betis kiri Sakit pada beyis kanan Sakit pada pergelangan kaki kiri Sakit pada pergelangan kaki kanan Sakit pada kaki kiri Sakit pada kaki kanan
Tubuh Bagian Atas
Tubuh Bagian Tangan
Tubuh Bagian Belakang
Tubuh Bagian Kaki
Jumlah Nilai Bobot 5 11 16 16 16 16 2 2 12 10 8 7 10 13 16 16 2 0 8 8 2 2 17 18 4 3 12 10 262
Total
%
48
18%
96
37%
34
13%
84
32%
262
100%
Sumber : Pengolahan Data, 2017 Dari tabel 1 terlihat keluhan pada anggota tubuh bagian tangan memliki presentase tertinggi dengan 37% pekerja mengalami keluhan pada anggota tubuh bagian tangan, disusul dengan anggota tubuh bagian kaki dengan 32%, anggota tubuh bagian atas dengan 18%, dan anggota tubuh bagian belakang 13% dengan situasi pekerjaan saat ini. B. Recommended Weight Limit (RWL) Recommended Weigh Limit (RWL) adalah suatu perhitungan yang dilakukan untuk menentukan batas angkatan atau batasan berat yang direkomendasikan atau ditentukan dalam suatu proses kerja, terutama untuk pemindahan material secara manual (manual material handling). Adapun beban kerja yang diangkat adalah produk minuman cup yang dikemas dalam dus dengan ukuran dus panjang 34,9 cm, lebar 25,6 cm, dan tinggi 9,7 cm denganjumlah isi 1 dus adalah 24 cup minuman dengan berat 1 dus adalah 4,3 kg. untuksekali angkat pekera loading mengangkat 2 dus dan dimuat kedalam mobil dengan tinggi tumpukan sebanyak 13 tumpukan. Berikut adalah perhitungan RWL (Recommended Weigh Limit) dengan jarak 5 meter, 3 meter, dan 1 meter :
144,4 cm
80 cm 60 cm
32 cm
40 cm 20 cm 500 cm
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-65
Satriardi, Dermawan, Aminudin
Gambar 3 Sketsa aktivitas Loading Tabel 2. Jarak Horizontal dan Faktor Pengali Horizontal Jarak Horizontal Faktor Pengali No H Asal (cm) H Tujuan (cm) H Asal H Tujuan 1 32 500 0,781 0,050 2 32 300 0,781 0,083 3 32 100 0,781 0,250 Sumber : Pengumpulan dan Pengolahan Data, 2017 Tabel 3. Jarak Vertikal dan Faktor Pengali Vertikal Jarak Vertikal Faktor Pengali No V Asal (cm) V Tujuan (cm) V Asal V Tujuan 1 144,4 0 0,792 1,225 Sumber : Pengumpulan dan Pengolahan Data, 2017
Perhitungan RWL mengikuti rumus : (1) Keterangan : LC = Konstanta pembebanan = 23 Kg HM = Faktor pengali horizontal = 25/H (H dalam Cm) VM = Faktor pengali vertikal = (1-(0,003[V 75])) (V dalam Cm) DM = Faktor pengali Perpindahan = 0,82 + 4,5/D (D dalam Cm) AM = Faktor pengali asimetrik (1 (0,0032 Aº) FM = Faktor pengali frekuensi (lihat pada tabel) CM = Faktor pengali kopling (handle) (lihat pada tabel) C. Lifting Index (LI) Lifting Index (LI) untuk mengetahui pengangkatan yang dilakukan memiliki resiko cidera atau tidak. (2) Keterangan :
L = Berat beban aktual (1 dus = 4,3 kg) karna frek pengangkatan 2 dus = 8,6 kg
RWL = Batas beban yang direkomendasikan Dengan interpretasi Jika LI > 1, maka aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan resiko dan Jika LI < 1, maka aktivitas tersebut tidak berpotensi menimbulkan resiko. Tabel 4. Rekap Perhitungan RWL dan LI Jarak 5
LC HM VM 23 0,781 0,792 23 0,050 1,225 3 23 0,781 0,792 23 0,083 1,225 1 23 0,781 0,792 23 0,250 0,792 Sumber : Pengolahan Data, 2017
DM 1 0,85 1 0,85 1 0,85
AM 1 0,424 1 0,424 1 0,424
FM 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65
CM 1 1 1 1 1 1
RWL 9,2480 0,330 9,2480 0,551 9,2480 1,652
Ket Asal Tujuan Asal Tujuan Asal Tujuan
LI 0,93 26,06 0,93 15.61 0,93 5,21
D. Perancangan Fasilitas Kerja dengan Pendekatan QFD (Quality Function Deployment) Dari penyebaran kuesioner ini diketahui karateristik pallet yang sesuai dengan kebutuhan para pekerja loading di gudang Distributor Center PT. XYZ dan langkah selanjutnya adalah menyusun HOQ (House Of Qulity) dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-66
4
Tahan lama/tidak cepat rusak
4
Mudah digunakan
4
Mudah diperbaiki
4 Total
Rata-rata %
Dimensi
Fleksibel/dapat bergerak
Desain
4
Bahan Baku
Punya daya tahan yang kuat
Kualitas
Perancangan Pallet Ergonomis Di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ)
148
148
116
76
30% 30% 24% 16%
488 100%
Gambar 4. House Of Quality
Gambar 5. Tampak Atas dan samping Rancangan Pallet
IV. PENUTUP 1. Resiko cidera musculoskletal disorders yang paling besar dialami pekerja berdasarkan kuesioner SNQ terdapat pada tubuh bagian tangan dengan nilai 37% dan tubuh bagian kaki dengan nilai 32%. Keluhan ini disebabkan oleh pengangkatan beban yang secara terus menerus dari gudang distributor center dan disusun kedalam mobil.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-67
Satriardi, Dermawan, Aminudin
2. Hasil perhitungan RWL (Recommended Weight Limit) menunjukan untuk pengangkatan awal, berat beban maksimal untuk diangkat adalah 13, 5 kg dan untuk pengangkatan tujuan, berat beban maksimal untuk diangkat adalah 0,55 kg. Dan perhitungan LI (Lifting Indexs) menunjukan untuk pengangkatan awal tidak terdapat resiko cidera dengan nilai ≤ 1 dan untuk pengangkatan tujuan terdapat resiko cidera dengan nilai ≥ 1. 3. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya beban kerja yang diterima oleh pekerja loading berasal dari faktor : a. Manusia Berdasarkan faktor manusia yaitu operator atau pekerja yang bekerja pada saat proses loading. Kurangnya jumlah pekerja untuk melakukan proses loading, dimana jumlah pekerja yang ada saat ini hanya ada 8 orang dengan pembagian masing-masingshift kerja adalah 4 orang/Shift, dan untuk setiap proses loading hanya terdapat 2 orang untuk setiap proses loading. b. Metode Berdasarkan faktor metode maka penyebab nya adalah banyaknya produk yang harus dimuat dan pekerja yang harus berulang kali mengambil dan membawa produk untuk dimuat kedalam mobil c. Mesin Berdasarkan faktor mesin, maka penyebabnya adalah belum adanya alat bantu pada pallet untuk masuk kedalam mobil dan pallet produk tidak bisa bergerak masuk kedalam, Sehingga pekerja harus mengambil dan membawanya kedalam mobil dengan jarak tertentu dan membuat beban kerja yang diterima oleh pekerja menjadi berat d. Lingkungan. Berdasarkan faktorlingkungan, maka penyebabnya adalah suhu ruang didalam mobil yang pengap, serta tidak adanya sirkulasi udara. Sehingga hal tersebut membuat beban kerja yang diterima oleh pekerja menjadi berat dan menjadi cepat lelah. 4. Untuk mengurangi keluhan MSDs yang diperoleh dari hasil SNQ, RWL, dan LI, maka dibuatlah suatu usulan alat bantu pemindahan produk berupa pallet yang ergonomis, yang dirancang berdasarkan dengan pendekatan QFD (Quality Function Deployment)denganpanjang 112 cm, lebar 112 cm, dantinggi 21,9 cm
DAFTAR PUSTAKA A.Haslindah,2013, Analisa Pengendalian Mutu Minuman Rumput Laut DenganMenggunakan Metode Fishbone Chart Pada PT. Jasuda di Kabupaten Takalar,ILTEK, Vol. 7, Nomoe 14. Fadil Ihram, 2016, Perancangan Fasilitas Kerja Yang Ergonomis di Stasiun PemarutanKelapa pada UKM Santani,USU e-Repository. Fandil Achmad, 2013, IntegrasiMetode QFD (Quality Function Deployment) dan AHP (Analytic Herarchy Procless) untuk Meningkatkan Kualits Produk sabun mandi padat Antiseptik (Studi Kasus : Di Pt. OLEHCJEM and SOAP Industri) Gea Gita Rismahardi, 2012, Aplikasi Fishbone Analysis Dalam Meningkatkan Kualitas Pare Putih di Aspakusa Makmur Kabupaten Boyolali, e-Jurnal Agrista – ISSN 2302-1713 Hari Agung,Dkk,Perbaikan Pada Fishbone Diagram Sebagai Root Cause Analysis Tool,Jurnal Teknik Industri ISSN : 1411-6340
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-68
Petunjuk Sitasi: Subagyo, Nastiti, F., & Kurniasany, F. (2017). Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B69-75). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif (1), (2), (3)
Subagyo(1), Fadhila Nastiti(2), Fitria Kurniasany(3) Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281. (1)
[email protected] ABSTRAK
Produk-produk industri kreatif, misalnya produk-produk film, fesyen, dan kuliner tidak seluruhnya mempunyai karakter mirip dengan produk-produk industri manufaktur. Produk-produk industri kreatif pada umumnya lebih bersifat musiman dan mempunyai masa hidup yang relatif pendek. Oleh karena itu, model-model untuk memprediksi kesuksesan suatu produk yang berbasis produk-produk di industri manufaktur misalnya model berbasis Konsep Kano perlu dilakukan penyesuaian agar bisa dipakai di industri kreatif. Dalam makalah ini dibahas model untuk prediksi kesuksesan produk-produk industri kreatif, terutama untuk industri kuliner dan toko daring. Model dibangun dengan menggunakan pendekatan Konsep Kano yang membagi hubungan antara kesuksesan dengan faktor-faktornya dalam hubungan linier, eksponensial, dan logaritmis. Model yang terbentuk diharapkan bisa digunakan sebagai dasar prediksi kesuksesan dalam tahap desain dan pengembangan produk-produk industri kreatif. Kata kunci— concurrent engineering; industri kreatif; Model Kano; product design; product development.
I. PENDAHULUAN Sektor ekonomi kreatif merupakan salah satu sektor yang akan dijadikan salah satu sektor penting Indonesia di masa mendatang. Menurut Badan Ekonomi Kreatif (2016), pada tahun 2019 ditargetkan kontribusi ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto sebesar 10%, kontribusi ekspor 10%, dan menyerap tenaga kerja sebesar 13 juta orang. Pada tahun 2015 kontribusi ekonomi kreatif sebesar 7,05% produk domestik bruto atau setara sekitar Rp 642 trilyun (Hartawan, 2016). Oleh karena itu, kebijakan terkait industri kreatif menjadi kebijakan penting dan ke depan menjadi makin strategis posisinya. Lebih lanjut, dalam industri kreatif walaupun faktor modal dan teknologi penting namun faktor kreativitas mempunyai peran yang sangat sentral. Oleh karenanya, potensi tumbuh-kembangnya relatif berimbang baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia. Salah satu contoh industri kreatif yang perkembangannya relatif tinggi adalah industri makanan-minuman, terutama bisnis kuliner. Selain disebabkan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, kenaikan jumlah kelas menengah di Indonesia juga ditengarai sebagai pemicu tumbuhnya bisnis kuliner. Lebih lanjut, ditinjau dari sisi permodalan, bisnis kuliner tergolong bisnis yang dapat dijalankan dengan modal yang relatif kecil—terutama akibat bahan bakunya yang banyak tersedia sehingga bisa meminimalkan modal kerja—namun mampu menghasilkan pendapatan yang besar. Di Indonesia, rata-rata pendapatan restoran skala menengah dari penjualan makanan dan minuman pada tahun 2015 sebesar Rp 4.638.944.700 (Badan Pusat Statistik, 2017). Sejak industri kuliner dimasukkan sebagai subsektor ekonomi kreatif pada tahun 2011, kontribusinya langsung menggeser industri fesyen (fashion). Pada tahun 2013, kontribusi industri kuliner pada industri kreatif senilai 33%, sementara industri fesyen 27%, dan industri kerajinan 15% (Hariyani dan Yustisia, 2015). Walaupun sumbangan ekonomi kreatif terhadap PDB hanya 7.05%, namun tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini sekitar 10,7% tenaga kerja Indonesia, atau setara 11,8 juta orang (Hartawan, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa industri kreatif merupakan industri yang relatif padat kerja dan ekonomi kreatif merupakan sektor keempat terbesar dalam penyerapan tenaga kerja. Produk-produk industri kreatif dibandingkan dengan industri manufaktur pada umumnya relatif lebih menonjolkan aspek kreativitas dan properti intelektual sebagai sumber SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-69
Subagyo, Nastiti, Kurniasany
keunggulannya—atau alasan konsumen memilihnya. Industri kreatif menggunakan kreativitas sebagai sumber utama nilai melalui pengembangan ide menjadi properti (kekayaan) intelektual baru dan mengkomersialisasikan hasilnya (Higgs et al, 2007) maka aspek ―kreativitas‖ lebih dominan dibanding aspek ―produk‖. Properti intelektual, misalnya desain, tampilan, merk, atau mekanisme kerja dijadikan sebagai nilai andalan dalam mendapatkan konsumen. Sebagaimana produk pada umumnya, maka produk-produk industri kreatif juga mengikuti karakter produk yaitu mengalami siklus kehidupan—lahir, berkembang, dewasa, dan akhirnya mati—dan tidak semua produk akan sukses diterima pasar. Seiring dengan kecenderungan siklus hidup produk yang makin pendek maka kegiatan perancangan dan pengembangan produk di industri kreatif posisinya makin penting. Salah satu alat (tool) penting dalam perancangan dan pengembangan produk adalah alat untuk mendeteksi potensi sukses/gagal-nya produk sedini mungkin. Dalam makalah ini disajikan model untuk memprediksi potensi kesuksesan produk dengan berbasis Konsep Kano untuk produk-produk industri kreatif. Model ini diharapkan bisa digunakan untuk membantu para perancang/pengembang produk kreatif untuk mengestimasi peluang sukses dari produk-produk di awal-awal tahap pengembangan.
II. TIJAUAN PUSTAKA Mengingat pentingnya prediksi potensi kesuksesan produk dalam tahap pengembangan— baik pada tahap awal maupun saat akan memasuki pasar—maka kajian terkait prediksi kesuksesan produk menjadi tema riset yang menarik. Contoh riset-riset tersebut misalnya Cooper et al (1979; 1982), Griffin & Page (1993;1996), Hulting & Robben (1995), dan Wijaya (2011). Cooper et al (1979; 1982) membahas faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar produk baru yang dikembangkan bisa sukses diterima pasar dan meningkatkan pendapatan perusahaan. Hulting dan Robben (1995) menjelaskan bahwa perspektif waktu mempengaruhi ukuran kesuksesan suatu produk sedangkan Griffin & Page (1993;1996) membahas mengenai pengukuran kesuksesan pengembangan produk. Sementara itu, Wijaya (2011) mengembangkan model prediksi kesuksesan produk dengan menggunakan pendekatan analogi dari prinsip Kano. Beberapa indikator bisa digunakan untuk mengukur kesuksesan produk, misalnya kepercayaan pelanggan, kinerja produk, persentase penjualan, level produk, jumlah penjualan, dan profit (Griffin & Page, 1993; Craig & Hart, 1993). Model prediksi kesuksesan produk biasanya dibangun untuk menghubungkan indikator kesuksesan produk dengan faktor-faktor yang mempengaruhi misalnya terkait karakter produk, kondisi pasar, dan karakter perusahaan yang memiliki produk. Model prediksi ini biasanya digunakan untuk memprediksi produk sejak tahap awal pengembangan produk, terutama untuk memilih calon-calon produk yang akan dikembangkan atau yang akan dihentikan pengembangannya. Beberapa riset telah dilakukan untuk mengembangkan model ini misalnya Uletika (2009), Trapsilawati (2010), dan Wijaya (2011). Uletika (2009) membangun model prediksi kesuksesan produk dengan basis produk-produk industri manufaktur dengan menggunakan ordinary least squares (OLS) dan maximum likelihood estimator, sedangkan Trapsilawati (2010) menggunakan partial least squares (PLS), ordinary least squares (OLS) dan weighted least squares (WLS), sementara Wijaya (2011) mengembangkan model berbasis prinsip Kano. Dalam model-model yang telah dikembangkan tersebut, indikator kesuksesan digunakan parameter representasi pangsa pasar dan karakteristik produk, kondisi pasar, dan karakter perusahaan digunakan sebagai prediktornya. Model yang dihasilkan menunjukkan bahwa model-model berbasis konsep Kano memberikan kemampuan prediksi yang baik (R 2 di atas 80%) dan bentuk persamaannya relatif sederhana. Konsep Kano, secara umum menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan konsumen dengan pemenuhan kebutuhan tidak semuanya berbanding linier (Berger et al, 1993). Seperti diilustrasikan dalam Gambar 1, kebutuhan pelanggan kaitannya dengan kepuasan pelanggan dapat diuraikan dalam tiga jenis kebutuhan, yaitu: must-be requirements, one-dimensional requirements, dan attractive requirements. Dengan mengacu pada konsep Kano, maka hubungan antara kesuksesan produk dengan faktor-faktor yang mempengaruhi bisa dirumuskan sebagai berikut: (1) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-70
3.8. Model Kano Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif
Model Kano merupakan suatu metode untuk mengelompokkan atribut dalam
(2) suatu produk berdasarkan cara atribut tersebut mempengaruhi konsumen. Metode
(3) (4) Kano dikembangkan oleh Dr. Noriaki Kano yang menolak hipotesis bahwa Dengan Z = Indikator kesuksesan, y1 = must be requirements, y2 = one-dimensional requirements, y3 = attractivekepuasan requirements,konsumen dan a, b, c, d, dan g = konstanta.lurus Jika hubungan antara y1, y2, dan y3 permintaan peningkatan berbanding dengan pemenuhan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan, xi, sejumlah n faktor dapat diasumsikan linier, maka dapat diperoleh persamaan berikut: konsumen. Yang (2005) menjelaskan bahwa model kano adalah sebuah diagram (5) (6) yang membagi spesifikasi dari pelanggan menjadi tiga jenis, yaitu must-be (7) Selanjutnya, jika = b + d maka persamaan (1)-(4) dapat ditulis menjadi: requirements, one-dimensional requirements, danulangattractive requirements (8) Dengan menggunakan persamaan (8), apabila kita memiliki sejumlah data hubungan antara Penempatan requirement pada grafik kepuasan pelanggan – fungsi produk dapa kesuksesan (Z) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi (xi), maka nilai konstanta , a, c, dan g bisa dievaluasi dengan cara meminimasi nilai
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Konsep Kano
Gambar Model Kano (Berger 3.2. et al, 1993). III.
METODE RISET
A. Objek Riset Dalam riset ini, industri kreatif yang dipakai sebagai obyek adalah toko daring mcommerce kategori e-mall dan industri restoran kategori kelas menengah ke atas. Untuk toko daring kategori e-mall—penyedia tempat untuk jual beli daring yang menyediakan berbagai barang dan berperan sebagai penjamin pembayaran—dipilih 14 aplikasi m-commerce e-mall yang terdaftar dalam 100 besar aplikasi kategori belanja di Indonesia. Keempat-belas aplikasi mcommerce e-mall yang dievaluasi disajikan pada Tabel 1. Sedangkan untuk restoran kelas menengah ke atas ditinjau sebanyak 11 restoran yang ada di wilayah Yogyakarta yang persentase penjualannya tersaji pada Tabel 1. B. Metode Pada Gambar 2 disajikan diagram alir langkah-langkah penelitian. Seperti tersaji dalam gambar riset diawali dengan melakukan kajian pustaka untuk mengidentifikasi indikator kesuksesan dan kandidat faktor-faktor kesuksesan, baik untuk restoran maupun untuk toko daring e-mall. Dalam tahap ini peluang bentuk hubungan antara indikator kesuksesan dengan kandidat faktor-faktor juga sudah diidentifikasi, apakah masuk kategori must-be, linier, atau exponential requirements.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-71
Subagyo, Nastiti, Kurniasany
Setelah indikator sukses dan kandidat faktor-faktor kesuksesan teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih objek riset yang akan dievaluasi dengan pertimbangan penguasaan pasarnya. Dalam riset ini dipilih industri yang masuk dalam kelompok 80% penguasa pasar dengan asumsi bahwa penguasaan pasarnya merupakan akibat dari karakter produknya yang sukses. Untuk restoran, pemilihan objek berdasarkan pendapatan restoran tersebut pada tahun 2016, sedangkan untuk toko daring e-mall objek dipilih berdasarkan total unduhan melalui Google Play Store. Tabel 1. Daftar m-commerce e-mall dan restoran yang menjadi objek riset No
M-Commerce E-Mall E-Mall Pengembang
1
Klik Indomaret
2 3 4 5
Blanja JD.id Qoo10 LYKE
6 7
Mataharimall
8 9 10 11
Blibli.co Elevenia Shopee ID
12 13 14
Bukalapak Tokopedia Lazada
Alfacart
Zalora
PT Indomarco Prismatama PT MetraPlasa JingDong Indonesia GIOSIS PTE. LTD LYKE eServices Indonesia MatahariMall PT Sumber Trijaya Lestari blibli.com XL PLANET Shopee Zalora South East Asia Pte. Ltd. PT Bukalapak.com Tokopedia Lazada Mobile
No 1
Restoran Kelas Menengah ke atas Restoran Persentase Pendapatan (tahun 2016), % A 13,98
2 3 4 5
B C D E
10,55 10,49 9,14 7,89
6 7
F
7,82
G
8 9 10 11
H I J K
6,54 6,51 4,84 4,44 3,19
Start
Penentuan indikator sukses dan faktorfaktor kesuksesan
Pemilihan objek riset dengan pertimbangan pangsa pasar
Pengembangan model-model
Uji validasi model-model
Tidak Valid?
Memilih model terbaik
Ya Gambar 2. Diagram alir riset SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-72
Stop
Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif
Langkah selanjutnya adalah membangun model dengan mengelompokkan faktor kesuksesan menjadi tiga kelompok, yaitu must-be requirements, one-dimensional requirements, dan attractive requirements. Hasil studi literatur dan nilai error model (SSE, sum of squares error) digunakan sebagai justifikasi dalam penentuan kelompok faktor kesuksesan. Setelah itu dilakukan validasi dengan cara validasi silang untuk mengevaluasi kemampuan model dalam memprediksi kesuksesan. Model terbaik dipilih berdasarkan ketepatan hasil validasi silang.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Tabel 2 disajikan hasil pengelompokan kategori faktor-faktor kesuksesan untuk restoran kelas menengah ke atas dan m-commerce e-mall. Seperti tersaji dalam tabel, untuk restoran kelas menengah ke atas kategori must-be requirements diisi oleh makanan dan layanan, untuk kategori one-dimensional requirements diisi oleh lokasi dan brand, sedangkan untuk kategori attractive requirements diisi oleh faktor atmosfer dan harga. Sementara untuk mcommerce e-mall, faktor kemudahan dan kepercayaan masuk kategori must-be requirements, kelengkapan fitur pendukung masuk kategori one-dimensional requirements, dan faktor variasi produk dan iklan (competitiveness) dan kesesuaian dengan sistem operasi perangkat mobile masuk kategori attractive requirements. Dengan mengelompokkan faktor-faktor kesuksesan seperti yang tersaji pada Tabel 2, maka tingkat kesuksesan berdasarkan data sebelas restoran kelas menengah ke atas diperoleh persamaan: (9) Sedangkan untuk m-commerce e-mall persamaannya: (10) Pada Gambar 3 disajikan perbandingan antara tingkat kesuksesan aktual dengan prediksi menggunakan persamaan (9) dan (10). Seperti terlihat dalam gambar, tingkat akurasi relatif dapat dipertanggung-jawabkan dengan mempertimbangkan kesederhanaan persamaan (9) dan (10).
Kategori y1 (Must-be requirements)
y2 (one-dimensional requirements) y3(Attractive requirements)
Tabel 2. Pengelompokan faktor-faktor kesuksesan. Restoran m-commerce e-mall x1 (Food: rasa, presentasi, dan variasi menu) x3 (Layanan: waktu tunggu, responsiveness, fasilitas, jumlah prosedur) x5 (Lokasi: Lingkungan, visibilitas, dan pesaing) x6 (Brand: TOM, LU, FI) x2 (Atmosfer: dekorasi, view, dan ambience) x4 (Price: harga murah nilai makin tinggi)
x1 (Kemudahan) x2 (Kepercayaan dan pengalaman delivery)
x3 (Fitur pendukung:jumlah)
x4 (Daya saing: variasi produk dan strategi menarik pelanggan) x3 (Kesesuaian OS: jumlah update per-periode waktu)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-73
Subagyo, Nastiti, Kurniasany
Gambar 3. Perbandingan antara data dengan hasil prediksi persamaan (9) dan (10) IV. PENUTUP Berdasarkan hasil riset ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola faktor-faktor dalam mempengaruhi kesuksesan produk industri kreatif—dengan mengacu pada konsep Kano—untuk restoran kelas menengah ke atas dan m-commerce emall telah berhasil diidentifikasi. Faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan restoran kelas menengah dan besar adalah food, atmosfer, service, price, lokasi, dan brand sedangkan untuk e-mall adalah kemudahan, kepercayaan, fitur, daya saing, dan kesesuaian sistem operasi. 2. Persamaan untuk memprediksi potensi kesuksesan untuk restoran kelas menengah ke atas dan m-commerce e-mall telah dapat dibangun berdasarkan 14 data restoran dengan pangsa pasar terbesar di Yogyakarta dan 11 e-mall yang paling dominan di Indonesia.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan kepada Departemen Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada yang telah memberi dukungan finansial sehingga riset ini dapat berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA Badan Ekonomi Kreatif, 2016, Bekraf Gandeng BPS Susun Database Ekonomi Kreatif, http://www.bekraf.go.id/kegiatan/detail/bekraf-gandeng-bps-susun-database-ekonomi-kreatif, diakses pada 20 September 2016. Badan Pusat Statistik, 2017, Statistik Restoran/Rumah Makan Tahun 2015, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Berger, C., Blauth, R., Boger, D., Bolster, C., Burchill, G., DuMouchel, W., Pouliot, F., Richter, R., Rubinoff, A., Shen, D., Timko, M., and Walden, D. 1993. Kano's Methods for Understanding Customer-Defined Quality, The Center for Quality Management Journal 2(4). Cooper, R. G., 1979, Identifying Industrial New Product Success: Project NewProd, Industrial Marketing Managament, 8, 124-135. Cooper, R. G., 1982, New Product Success in Industrial Firm, Industrial Marketing Management, 11, 215223. Craig, A., dan Hart, S., 1993, Dimensions of Success in New Product Development, Perspective on Marketing Management, 3, 207-243. Griffin, A., dan Page, A. L., 1993, An Interim Report on Measuring Product Development Success and Failure, Journal of Product Innovation Management, 10, 291–308. Griffin, A., dan Page, A. L., 1996, The PDMA Success Measurement Project: Recommended Measures for Product Development Success and Failure, Journal of Product Innovation Management, 13(6), 478496.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-74
Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif
Hariyani, I., dan Yustisia S., C., 2015, Peran Kekayaan Intelektual dalam Pengembangan Waralaba dan Ekonomi Kreatif, Media Hak Kekayaan Intelektual, 6, 2-11. Hartawan, T., 2016, Industri Kreatif Sumbang Rp 642 Triliun dari Total PDB RI, https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/090750007/industri-kreatif-sumbang-rp-642-triliun-daritotal-pdb-ri, diakses pada 20 September 2016.
Higgs, P., Cunningham,S., and Pagan, J., 2007, Australia’s Creative Economy: Definitions of the Segments and Sectors, ARC Centre of Excellence for Creative Industries & Innovation (CCI), Brisbane, http://eprints.qut.edu.au/archive/0008242/ , diakses pada 2 July 2017. Hulting, E. J., dan Robben, H. S. J., 1995, Measuring New Product Success: The Difference that Time Perspective Make, Journal of Product Innovation Management, 12, 392-405. Trapsilawati, F., 2010, Analisis Faktor-Faktor Kesuksesan Produk, Tugas Akhir, Program Studi Teknik Industri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Uletika, N. S., 2009, Model Prediksi Produk Sukses berdasarkan Kanvas Strategi, Tesis, Program Studi Teknik Industri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wijaya, 2011, Pengembangan Model Prediksi Kesuksesan Produk, Program Studi Teknik Industri, Jurusan Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-75
Petunjuk Sitasi: Zadry, H. R., Rahmayanti, D., Riski, H., Meilani, D., & Susanti, L. (2017). Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B76-81). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun Hilma Raimona Zadry(1), Dina Rahmayanti(2), Hayattul Riski(3), Difana Meilani(4), Lusi Susanti(5) (1), (2) , (3) , (4) ,(5) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang 25163 (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected], (4)
[email protected], (5)
[email protected] ABSTRAK Perancangan kursi dan meja belajar untuk siswa Sekolah Dasar (SD) usia 7-12 tahun merupakan hal yang penting diperhatikan karena pada usia ini dimensi tubuh lebih varuatif dan cepat berubah. Salah satu perancangan kursi dan meja belajar untuk siswa SD ini dilakukan oleh Junitra (2011). Hasil evaluasi terhadap rancangan Junitra (2011) menunjukkan bahwa hasil rancangan tidak ergonomis untuk siswa kelas I-IV SD. Penelitian ini melanjutkan penelitian Junitra (2011) dengan merancang meja dan kursi untuk siswa kelas IV SD dengan mengaplikasikan data antropometri dan mempertimbangkan postur duduk siswa selama belajar. Data antropometri yang diperoleh dari siswa kelas IV SD dengan usia 9-10 tahun. Data antropometri yang digunakan dalam perancangan ini adalah tinggi siku duduk, jangkauan tangan kedepan, rentang siku, tinggi bahu duduk, lebar bahu, tinggi sandaran punggung, lebar pinggul, pantat popliteal dan tinggi popliteal. Perbaikan yang dilakukan adalah penempatan footrest, permukaan meja dimiringkan sebesar 120, material yang lebih ringan dan ramah lingkungan, serta tempat gantungan tas yang dipindahkan ke bagian belakang kursi. Evaluasi terhadap hasil rancangan menunjukkan bahwa postur siswa pada saat menggunakan meja dan kursi lebih baik dibandingkan ketika menggunakan meja dan kursi rancangan Junitra (2011), baik dalam posisi menulis, membaca dan posisi saat mendengarkan di kelas. Kata Kunci- Antropometri, Furnitur, Perancangan, Postur Tubuh, Sekolah Dasar
I. PENDAHULUAN Sekolah Dasar merupakan sekolah tingkat pertama dalam dunia pendidikan wajib belajar 9 tahun. Pendidikan tingkat dasar ditempuh dalam waktu enam tahun dan merupakan waktu pendidikan terlama yang harus dilalui oleh anak. Dalam sistem pendidikan saat ini, tidak hanya mengenai kurikulum yang perlu diperhatikan, tetapi fasilitas atau sarana prasarana penunjang pendidikan juga menjadi aspek penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Salah satu fasilitas yang perlu diperhatikan adalah penyediaan peralatan belajar, seperti meja dan kursi. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena 80% dari waktu proses belajar mengajar dihabiskan dalam posisi duduk (Castellucci et al., 2010). Menurut Hira (1980) dalam Castellucci et al. (2010) penggunaan meja dan kursi yang tidak ergonomis (postur yang tidak baik) ketika belajar, dapat menyebabkan terganggunya kegiatan belajar dan berpengaruh terhadap ketertarikan siswa dalam proses belajar. Sehingga selain memperhatikan kesesuaian dimensi tubuh dengan meja dan kursi sekolah untuk anak, juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek samping yang timbulkan oleh penggunaan meja dan kursi sekolah dalam waktu yang lama. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan furnitur ergonomis selain antropometri adalah biomekanika tubuh manusia (Naqvi, 1994 dalam Panagiotopoulou et al., 2004) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-76
Zadry, Rahmayanti, Hayattul Riski, Meilani, Susanti
dan efisiensi fungsional, kemudahan penggunaan, kenyamanan, serta kesehatan dan keselamatan (Oyewole et al., 2010). Junitra (2011) telah melakukan penelitian dengan hasil berupa prototype meja dan kursi belajar untuk siswa SD berusia 6-10 tahun. Rancangan ini menggunakan data antropometri dan menghasilkan inovasi berupa tersedianya foot rest pada kursi, ketinggian alas meja sesuai dengan data antropometri, dan alas duduk serta sandaran yang nyaman. Namun evaluasi terhadap prototype hasil penelitian ini belum dilakukan. Penelitian ini melanjutkan penelitian Junitra (2011) dengan melakukan evaluasi terhadap prototype yang dibuat. Evaluasi dilakukan pada tanggal 16 Februari-4 Maret 2015 dengan jumlah responden sebanyak 30 siswa kelas IV SD pada beberapa SD di Kota Padang. Evaluasi dilakukan melalui penyebaran kuisioner Nordic Body Map (NBM), serta evaluasi postur tubuh dan perbandingan dimensi produk. Penyebaran kuisioner NBM dilakukan untuk mengetahui keluhan siswa setelah penggunaan prototype meja dan kursi. Hasil NBM menunjukkan bahwa keluhan terbesar terdapat pada leher bagian bawah dan pinggang sebesar 60% dari 30 responden. Tingkat keluhan terbesar kedua terjadi pada bagian paha sebesar 40%. Hasil pengamatan menemukan bahwa keluhan yang terjadi pada leher, pinggang dan paha disebabkan oleh ketinggian kursi yang tidak sesuai dengan meja. Evaluasi berikutnya berupa evaluasi postur tubuh dengan menggunakan metode Posture Evaluation Index (PEI). Evaluasi postur tubuh dilakukan pada tiga orang siswa saja. Ketiga siswa tersebut mewakili persentil 5, persentil 50 dan persenti 95 dari responden yang ada. Evaluasi postur tubuh dilakukan pada tiga kegiatan yaitu menulis, membaca, dan mendengarkan. Berdasarkan hasil evaluasi PEI, diketahui bahwa untuk seluruh aktivitas yang dilakukan oleh responden skor yang dihasilkan berada pada kategori middle-low injury yang berarti postur tubuh dapat menyebabkan kelelahan dalam kegiatan repetitif dalam kurun waktu tertentu (Caputo et al., 2006). Evaluasi terakhir berupa perbandingan dimensi hasil rancangan dengan postur tubuh responden. Hasil yang diperoleh dari perbandingan ini, ketinggian meja yang digunakan tidak sesuai dengan ketinggian popliteal responden, dimana ketinggian rongga meja hampir sama dengan tinggi popliteal sehingga kaki responden sulit untuk masuk ke rongga meja. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang ulang meja dan kursi yang ergonomis dan dikhususkan untuk siswa kelas IV SD.
II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data antropometri siswa kelas IV SD di Kota Padang, serta rumusan karakteristik perancangan. Rumusan rancangan dilakukan dengan penentuan alternatif dan pemilihan dari alternatif yang dipilih. 1) Data Antropometri: Variabel data antropometri yang diamati dalam penelitian ini yaitu berat badan, tinggi badan, tinggi siku duduk, jangkauan tangan kedepan, rentang siku, tinggi bahu duduk, lebar bahu, tinggi sandaran punggung, lebar pinggul, pantat popliteal, dan tinggi popliteal. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode random sampling. Perhitungan jumlah sampel yang diamati mengunakan rumus Slovin (Setiawan, 2007): (1) dimana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan Nilai galat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10%. Dimana peneliti menetapkan toleransi data yang error sebesar 0,1. 2) Rumusan Karakteristik Teknik Rancangan: Tahapan ini merupakan penentuan konsep ide perancangan yang dilakukan, bagian-bagian yang akan dirancang ulang dan penentuan konsep perubahannya. Proses perancangan ini secara garis besar terdiri dari beberapa langkah, yaitu: Pemodelan Produk SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-77
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun
Penentuan Material Perhitungan Biaya
B. Pemilihan Alternatif Rancangan Penentuan alternatif terpilih dilakukan berdasarkan kemampuan produksi dan biaya produksi. Berdasarkan beberapa alternatif, dipilih satu hasil rancangan meja dan kursi untuk siswa SD. Hasil rancangan terpilih divisualisasikan dengan menggunakan data antropometri yang telah diperoleh. C. Visualisasi Akhir Rancangan Hasil pengolahan data yang telah dilakukan, diimplementasikan pada visualisasi awal yang dilakukan sebelumnya. Proses pengaplikasian data antropometri ini dilakukan melalui perhitungan dimensi rancangan. Dimensi ditentukan dengan memperhatikan persentil yang dipilih untuk setiap data antropomteri yang digunakan. Proses pemilihan persentil didasarkan pada prinsip perancangan dan alternatif desain yang dipilih untuk setiap bagian dari desain. Selain itu harus diperhatikan juga pemberian kelonggaran (aIllowance) dalam menentukan dimensi rancangan untuk mempertimbangkan faktor ketebalan pakaian atau alas kaki pengguna. D. Pembuatan Prototype Pembuatan prototype dilakukan dengan pemberian gambar teknik hasil rancangan kepada pekerja furniture. Penentuan material dan dimensi telah ditetapkan sebelumnya. Pembuatan prototype bertujuan untuk mevisualisasikan hasil rancangan yang telah dibuat. E. Analisis Hasil Rancangan Analisis dilakukan pada data antopometri yang dikumpulkan hingga perhitungan nilai persentil. Analisis dilanjutkan dengan penentuan persentil yang digunakan dalam perancangan. Analisis hasil rancangan dilakukan dengan melakukan komparasi atas prototype yang dibuat. Analisis juga dilakukan dengan membandingkan rancangan yang usulan dengan rancangan Junitra (2011).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data antropometri siswa kelas IV SD di Kota Padang. Hal ini dikarenakan siswa kelas IV memiliki waktu belajar yang lebih lama dibandingkan siswa kelas I-III, sedangkan siswa kelas V-VI sudah sesuai dengan ukuran meja dan kursi yang ada saat ini. Pengumpulan data menggunakan random sampling karena data bersifat homogen dengan jumlah populasi siswa kelas IV di Kota Padang sebanyak 12.000 siswa, data ini diperoleh dari dinas pendidikan Kota Padang. Berdasarkan perhitungan, jumlah sampel yang digunakan adalah 100 sampel, dengan jumlah sampel siswa laki-laki adalah 55 orang dan perempuan 45 orang. B. Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan adalah uji kenormalan data, uji keseragaman data dan perhitungan persentil. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian (α) sebesar 5%. Uji kenormalan data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS v.15 dan diperoleh hasil bahwa seluruh data berdistribusi normal. Hasil pengolahan data juga menunjukkan bahwa semua data antropometri yang digunakan adalah seragam. Perhitungan nilai persentil dilakukan untuk menentukan nilai P5, P10, P50, P90, dan P95. C. Perumusan Karakteristik Rancangan Produk Produk yang dirancang merupakan perbaikan dari hasil rancangan Junitra (2011), dimana meja dan kursi yang dirancang bertipe single seater (satu siswa, satu kursi, satu meja). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perancangan produk, yaitu (Wignjosoebroto, 2000): SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-78
Zadry, Rahmayanti, Hayattul Riski, Meilani, Susanti
1) Aspek fungsional: Aspek fungsional bertujuan untuk menetapkan fungsi utama dari produk yang dirancang. Fungsi utama dari produk yang dirancang adalah untuk menunjang proses belajar di kelas. Berikut merupakan inovasi yang dilakukan dalam menunjang proses belajar : a. Permukaan meja dirancang miring sebesar 12 o yang bertujuan untuk mendukung aktifitas menulis (Nurmianto, 2004). Selain itu terdapat permukaan rata yang memberi ruang untuk menempatkan alat tulis sehingga tidak jatuh dan mengganggu proses belajar mengajar. b. Footrest dirancang pada meja belajar dengan tujuan agar pengguna nyaman saat belajar dan menghindari kelelahan pada bagian dalam paha. Footrest dirancang dengan miring agar kaki dapat ditopang dan menjaga sudut antara betis dan kaki tetap pada posisi 90 o. c. Laci pada meja berada pada bagian dalam meja. Permukaan yang miring pada meja dapat dibuka, terdapat ruang yang dijadikan laci. Perancangan ini bertujuan agar pengguna lebih nyaman saat menggunakan laci tanpa perlu memiringkan badan saat menyimpan dan mencari barang di laci. d. Permukaan kursi diberi busa yang diberi lapisan kulit sintetis agar pengguna merasa nyaman meskipun duduk dalam waktu yang lama. 2) Aspek teknis: Material yang digunakan yaitu kayu meranti, karena mudah didapatkan, proses produksi tidak sesulit material besi atau jenis lainnya serta harga yang terjangkau. 3) Aspek ekonomis: Aspek ekonomis dipertimbangkan karena produk yang dirancang bertujuan untuk pendidikan. Produk harus tahan dalam pemakaiannya dan memiliki nilai ekonomis. 4) Aspek ergonomi: Perancangan menggunakan konsep ergonomi dengan penggunaan data antropometri dari beberapa variabel dan persentilnya serta menerapkan prinsip perancangan. 5) Aspek estetika: Produk dirancang berdasarkan konsep ergonomi dengan bentuk yang menarik dan unik. Bentuk rancangan ini disesuaikan dengan kebutuhan siswa SD. D. Rancangan Produk Tiga alternatif meja dan 3 alternatif kursi hasil rancangan diperoleh dengan menerapkan prinsip perancangan produk yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketiga alternatif yang dirancang telah memenuhi kekurangan rancangan Junitra (2011), yaitu postur siswa dalam aktivitas menulis dan membaca, serta ukuran rancangan yang telah sesuai dengan antropometri siswa kelas IV SD. Perbedaan pada ketiga alternatif adalah pada fitur yang ditambahkan serta aspek estetika. Desain terpilih berdasarkan alternatif yang ditawarkan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Meja dan kursi hasil rancangan
Tabel 1 menunjukkan perbandingan antara rancangan Junitra (2011) dan penelitian ini. Perbaikan dilakukan dengan menggunakan data antropometri siswa berusia 9-10 tahun, sehingga produk lebih spesifik untuk siswa kelas IV SD. Selain itu terdapat perbedaan pada tempat penyimpanan tas. Berdasarkan hasil evaluasi rancangan Junitra (2011) diketahui bahwa ruang gerak lutut terganggu dengan adanya tempat penyimpanan tas tersebut. Rancangan usulan menempatkan tas siswa pada bagian belakang kursi. Penggunaan bantalan pada alas duduk dan sandaran tetap dipertahankan pada SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-79
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun
rancangan usulan, karena penggunaan bantalan dapat meningkatkan kenyamanan siswa selama proses belajar. Perbaikan lainnya dilakukan pada bagian footrest, yang dapat menjaga posisi tubuh siswa tetap berada pada sudut yang dianjurkan, yaitu sudut antar popliteal 90 o. Inovasi selanjutnya yaitu pada perancangan meja belajar, dimana pada permukaan meja diberi kemiringan sebesar 12 o, ini bertujuan untuk mempermudah siswa dalam menulis. No
Parameter
1
Material
2
Pemukaan Meja
3
Laci
4
Footrest
5
Tempat tas
Tabel 1 Perbandingan rancangan usulan dan Junitra (2011) Rancangan Rancangan Junitra Keterangan Usulan (2011) Bahan utama Bahan utama dari Kayu lebih ringan dibandingkan besi, tidak dari kayu besi karatan dan proses reparasi lebih mudah. Besi harga terjangkau, berat dan sulit direparasi. Miring-datar Datar Permukaan meja dirancang miring agar siswa tidak membungkuk ketika menulis dan membaca. Bagian bawah Bagian bawah Penempatan laci pada bagian bawah permukaan meja meja meja mempermudah siswa dalam mengakses laci. Meja Kursi Footrest ditempatkan pada meja dengan tujuan mempertahankan kenyamanan siswa persentil rendah. Digantungkan Ruang bawah Penempatan tas pada ruang bawah meja akan di kursi meja menggangu ruang gerak lutut.
Material yang digunakan dalam perancangan produk usulan ini, berbeda dari produk Junitra (2011). Material yang digunakan yaitu kayu meranti, karena bahan kayu lebih ringan dibandingkan dengan besi. Selain itu penggunaan kayu dimaksudkan agar proses reparasi lebih mudah dilakukan. Kursi yang dirancang tidak menggunakan sandaran tangan agar siswa lebih mudah berinteraksi dengan lingkungannya. Pengujian prototype dilakukan pada siswa dengan persentil 95. Tabel 2 menjelaskan perbedaan hasil rancangan usulan dengan rancangan Junitra (2011). No 1
2
Tabel 2 Perbandingan postur tubuh pada rancangan usulan dan Junitra (2011) Rancangan usulan Rancangan Junitra (2011) Permukaan meja dirancang miring untuk memperbaiki postur siswa saat menulis agar tidak membungkuk.
Postur duduk siswa saat membaca lebih baik, karena rancangan meja dan kursi telah sesuai dengan data antropometri siswa.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-80
Postur siswa membungkuk saat menulis karena dimensi meja yang rendah serta permukaan meja yang datar Rancangan meja menggunakan data antropometri siswa kelas I, hal ini menyebabkan siswa kurang nyaman pada saat melakukan aktifitas.
Zadry, Rahmayanti, Hayattul Riski, Meilani, Susanti
No
Rancangan usulan Perancangan kursi sesuai dengan data antropometri siswa, sehingga postur duduk siswa lebih nyaman.
Rancangan Junitra (2011) Alas kursi pada rancangan Junitra sangat sempit, sehingga postur duduk siswa tidak nyaman. Ini karenakan dimensi pantat popliteal yang digunakan terlalu kecil, yang mengakibatkan tidak dapat menahan paha secara sempurna.
IV. PENUTUP Perancangan ulang produk dibuat berdasarkan data antropometri dengan interval yang lebih kecil, yakni siswa kelas IV SD dengan rentang usia 9-10 tahun. Perbaikan yang dilakukan pada produk sebelumnya adalah pada fitur footrest, kemiringan permukaan meja, laci dan gantungan tas. Selain itu material yang digunakan berbeda, yaitu kayu jenis meranti. Data antropometri yang digunakan dalam perancangan ini adalah tinggi siku duduk, jangkauan tangan kedepan, rentang siku, tinggi bahu duduk,lebar bahu, tinggi sandaran punggung, lebar pinggul, pantat popliteal dan tinggi popliteal. Produk hasil rancangan usulan memilIki kelebihan rancangan yang disesuaikan dengan aktifitas belajar siswa. Kursi pada rancangan ini mempunyai alas duduk dan sadaran punggung yang dilapisi dengan busa sehingga siswa lebih nyaman ketika duduk dalam waktu yang lama. Sedangkan pada rancangan meja usulan, permukaan meja dirancang miring dengan tujuan mempertahankan posisi tubuh agar siswa tidak membungkuk ketika menulis dan membaca. Selain itu meja ini dilengkapi dengan laci yang berada pada bagian dalam meja yang bertujuan agar siswa tidak perlu lagi menunduk ketika menggunakan laci. DAFTAR PUSTAKA Caputo, F., Di Gironimo, G. and Marzano, A. (2006) ‘Ergonomic optimization of a manufacturing system work cell in a virtual environment’, Acta Polytechnica, 46(5). Castellucci, H. I., Arezes, P. M. and Viviani, C. A. (2010) ‘Mismatch between classroom furniture and anthropometric measures in Chilean schools’, Applied Ergonomics, 41(4), pp. 563–568. Junitra, R. (2011) Pengukuran Antropometri Anak Usia 6-10 Tahun dan Penerapan Antropometri dalam Perancangan Produk. Universitas Andalas. Nurmianto, E. (2004) Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya: Tinjauan Anatomi, Fisiologi, Antropometri, Psikologi dan Komputasi untuk Perancangan Kerja dan Produk. Surabaya: Guna Widya. Oyewole, S. A., Haight, J. M. and Freivalds, A. (2010) ‘The ergonomic design of classroom furniture/computer work station for first graders in the elementary school’, International Journal of Industrial Ergonomics, 40(4), pp. 437–447. Panagiotopoulou, G., Christoulas, K., Papanckolaou, A. and Mandroukas, K. (2004) ‘Classroom furniture dimensions and anthropometric measures in primary school’, Applied Ergonomics, 35(2), pp. 121–128. Setiawan, N. (2007) Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan Tabel Krejie-Morgan: Telaahan Konsep dan Aplikasinya. Universitas Padjajaran, Bandung. Wignjosoebroto, S. (2000) Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktifitas Kerja. 1st edn. Surabaya: PT. Guna Wydia.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-81
Petunjuk Sitasi: Delvika, Y. (2017). Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B82-86). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara Yuana Delvika Universitas Medan Area, Medan, Indonesia Jalan Setia Budi No. 79 B, Tj. Rejo, Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara 20112
[email protected] ABSTRAK Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja. Di Indonesia, kecelakaan yang terjadi dapat dicegah atau dikurangi melalui penerapan UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Menurut data Depnakertrans, pada tahun 2007 jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 190.267, tetapi yang sudah memenuhi kriteria sistem keselamatan dan kesehatan kerja baru mencapai 643 perusahaan. Sedangkan dalam dunia internasional sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dikenal dengan OHSAS 18001:2007. OHSAS 18001:2007 adalah suatu standar internasional untuk Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) yang bertujuan untuk mengelola aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada setiap proses kerja di tempat kerja. Organisasi yang mengimplementasi OHSAS 18001:2007 memiliki struktur manajemen yang terorganisasikan dengan wewenang dan tanggung-jawab yang tegas, sasaran perbaikan yang jelas, hasil pencapaian yang dapat diukur dan pendekatan yang terstruktur untuk penilaian risiko. Salah satu perusahaan perkebunan di Sumatera Utara yang menjadi objek penelitian telah menerapkan sistem OHSAS 18001:2007. Setelah dilaksanakan implementasi selama ini, peneliti akan melakukan evaluasi penerapan Sistem OHSAS 18001:2007 diperusahaan tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah ada 3 klausul yang tidak terpenuhi yaitu klausul 4.3.3, klausul 4.4.3.1 dan klausul 4.4.3.2 Kata kunci—Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kecelakaan Kerja, OHSAS 18001:2007
I. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ini perkembangan industri yang sangat pesat menuntut adanya pelaksanaan Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di setiap tempat kerja khususnya untuk mengembangkan dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka menekan serendah mungkin resiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja di semua area. Dalam sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%. Sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus dikelola sebagaimana dengan aspek lainnya dalam perusahaan seperti operasi, produksi, logistik, sumber daya manusia dan lainnya. Aspek K3 tidak SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-82
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara
akan berjalan tanpa adanya intervensi dari manajemen berupa upaya terencana untuk mengelolanya. Semua sistem manajemen K3 bertujuan untuk mengelola risiko K3 yang ada dalam perusahaan agar kejadian yang tidak diinginkan atau dapat menimbulkan kerugian dapat dicegah. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi dapat dicegah atau dikurangi melalui penerapan UU No 1 1970 tentang keselamatan kerja. Untuk mengukur apakah suatu perusahaan telah mentaati UU No 1 1970, maka diperlukan suatu audit yang disebut dengan audit sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2012 tentang pedoman penerapan SMK3. Untuk itulah manajemen berkewajiban agar selalu meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan tersebut. Menurut data Depnakertrans, pada tahun 2007 jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 190.267, tetapi yang sudah memenuhi kriteria SMK3 baru mencapai 643 perusahaan. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah telah mencanangkan upaya peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya dengan mewajibkan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Dalam dunia internasional, Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dikenal dengan OHSAS 18001:2007. OHSAS 18001:2007 adalah suatu standar internasional untuk Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang bertujuan untuk mengelola aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada setiap proses kerja di tempat kerja. Organisasi yang mengimplementasi OHSAS 18001:2007 memiliki struktur manajemen yang terorganisasikan dengan wewenang dan tanggung-jawab yang tegas, sasaran perbaikan yang jelas, hasil pencapaian yang dapat diukur dan pendekatan yang terstruktur untuk penilaian risiko. Demikian pula, pengawasan terhadap kegagalan manajemen, pelaksanaan audit kinerja dan melakukan tinjauan ulang kebijakan dan sasaran K3. Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Sumatera Utara telah menerapkan sistem manajemen K3 OHSAS 18001:2007. Dalam hal ini Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel menggunakan SMK3 dengan sistem penilaian kinerja K3 nya berdasarkan OHSAS 18001:2007. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel berdasarkan standar atau persyaratan SMK3 yaitu OHSAS 18001:2007, dimana perusahaan ini merupakan perusahaan besar yang berpotensi bahaya tinggi dan melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam aktivitas kerjanya sehari-hari guna menunjang produktivitas karyawannya. A. Perumusan Masalah Masalah yang diselidiki dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Klausul yang paling besar diterapkan oleh perguruan tinggi setelah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001:2007. 2. Klausul yang paling kecil diterapkan oleh perguruan tinggi setelah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001:2007. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan penelitian ini adalah mengevaluasi klausul yang memberikan manfaat terbesar kepada Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel setelah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001:2007 C. Urgensi Penelitian Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel penelitian telah menerapkan OHSAS 18001:2007 dengan biaya investasi yang dikeluarkan cukup besar namun belum jelas manfaat yang diterima dari penerapan setiap klausul. Sehingga hasil yang diperoleh dari penelitian ini lebih objektif. Untuk itu, penelitian ini penting untuk diteliti lebih lanjut. II. ISI MAKALAH Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan action research, yaitu suatu metode yang menyelesaikan suatu indikasi keadaan, gejala pada kondisi yang sudah ada dan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-83
Yuana Delvika
sedang berjalan, yang dilakukan dengan pengumpulan data, mentabulasi dan mengklarifikasi serta menginterpretasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang dihadapi dan pada akhirnya usulan pengembangan yang dilakukan. A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan pada Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara yang menjadi sampel dan telah menerapkan sistem manaejmen keselamatan dan kesehatan kerja OHSAS 18001:2007. B. Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai cara, sebagai berikut: 1. Melakukan observasi langsung, yaitu mencatat sendiri data yang diperlukan yang diperoleh terhadap pengamatan di lapangan. 2. Melakukan Tanya jawab secara langsung dengan pihak yang terkait. 3. Melakukan penelusuran berbagai dokumen yang terkait seperti data masa lalu, kebijakan dan berbagai dokumen yang terkait. C. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini secara garis besar terdiri dari dua jenis data, yaitu: 1. Data Primer Dalam penelitian ini tidak menggunakan data primer. 2. Data Sekunder Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Manual keselamatan dan kesehatan kerja, Standar operasional prosedur dan instruksi kerja yang berlaku yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja, Hasil identifikasi bahaya, Hasil identifikasi kepatuhan perundang-undangan dan data lain terkait dengan kebutuhan tiap klausul dalam OHSAS 18001:2007. Diagram alir atau tahapan-tahapan dalam melakukan dapat ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini : Mulai Latar Belakang Masalah Perumusan Tujuan Pembuatan Kuisioner Penyebaran Kuisioner Rekapitulasi Kuisioner Analisis Kuisioner Kesimpulan dan saran Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian III. HASIL PENELITIAN Sistem Manajemen K3 Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel sesuai dengan klausulklausul yang ada pada OHSAS 18001:2007 dapat dilihat pada diagram laba-laba/spider diagram berikut:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-84
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara
Gambar 2. Spider Diagram Keterangan Gambar 2 : Klausul 4.2 : Kebijakan K3 Klausul 4.3.1 : Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan penentuan pengendalian bahaya. Klausul 4.3.2 : Persyaratan Hukum dan Persyaratan lainnya Klausul 4.3.3 : Tujuan sasaran dan program SMK3 Klausul 4.4.1 : Sumber daya, peran dan tanggung jawab dan wewenang Klausul 4.4.2 : Kompetensi, Pelatihan dan Kepedulian Klausul 4.4.3.1 : Komunikasi Klausul 4.4.3.2 : Partisipasi dan konsultasi Klausul 4.4.4 : Dokumentasi Klausul 4.4.5 : Pengendalian Dokumen Klausul 4.4.6 : Pengendalian Operasi Klausul 4.4.7 : Persiapan dan tanggap darurat Klausul 4.5.1 : Pemantauan dan pengukuran kinerja Klausul 4.5.2 : Evaluasi Pemenuhan Klausul 4.5.3.1 : Investigasi Insiden Klausul 4.5.3.2 : Ketidaksesuaian, Tindakan Koreksi dan Pencegahan Klausul 4.5.4 : Pengendalian rekaman Klausul 4.5.5 : Audit internal Klausul 4.6 : Tinjauan manajemen Setiap titik pada lingkaran yang membentuk jaring-jaring laba menunjukkan poin yang diberikan pada penerapan OHSAS 18001:2007 sesuai klausul-klausul yang ada pada OHSAS 18001:2007. Semakin tinggi poinnya maka semakin tinggi tingkat pencapaiannya, adapun cara penilaian yang dilakukan yaitu dengan mengasumsikan setiap poin yang terpenuhi oleh perusahaan sebesar 20% dimana setiap pertanyaan terdiri dari 5 point.
IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan pemenuhan kriteria OHSAS 18001:2007, manfaat yang paling besar saat implementasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah klausul 4.2, klausul 4.3.1, klausul 4.4.1, klausul 4.4.2, klausul 4.4.4, klausul 4.4.5, klausul 4.4.6, klausul 4.4.7, klausul 4.5.1, klausul 4.5.2, klausul 4.5.3.1, klausul 4.5.3.2, klausul 4.5.4, klausul 4.5.5, dan klausul 4.6. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-85
Yuana Delvika
2. Klausul yang belum sepenuhnya diterapkan antara lain klausul 4.3.3 terkait tujuan, sasarna dan program K3 yang belum dilakukan pembaharuan pada tahun berjalan 3. Klausul lain yang belum sepenuhnya terpenuhi adalah klausul 4.4.3.1 terkait komunikasi baik komunikasi internal maupun komunikasi eksternal. Papan informasi K3 telah ada namun tidak ada berita yang informatif yang bisa diakses oleh semua orang yang berada saat berada diperusahaan. Ada beberapa signage dan jalur evakuasi tidak berada pada posisi yang seharusnya. Sistem mailing list juga tidak difungsikan. 4. Klausul 4.4.3.2 terkait Partisipasi dan Konsultasi juga tidak sepenuhnya diterapkan. Perusahaan telah mengundang Pakar K3 sebanyak 3 kali pada tahun berjalan namun hasil konsultasi tidak didistribusikan kepada pihak-pihak terkait dalam perusahaan. Beberapa unit juga tidak dilibatkan dalam pelaksanaan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Template ini wajib digunakan oleh pemakalah pada Kongres VIII BKSTI – SNTI dan SATELIT. Makalah yang tidak sesuai dengan template yang ditentukan akan berakibat tidak dimuatnya makalah pada proceeding.
DAFTAR PUSTAKA Akbar, Ali. 2012. Integrasi Sistem Manajemen Lingkungan, Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Bennett, Rumondang Silalahi. 1985. Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Cetakan Pertama. Jakarta. Mutoif. 2009. Pentingnya K3 Bagi Perusahaan Industry. Www.Kompas.Co.Id. Ramli, Soehatman. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja OHSAS 18000, Dian Rakyat. Jakarta. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Graha Ilmu. Jakarta. Suma’mur P.K. 1987. Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan. Cetakan Ketiga. Jakarta. __________. Undang-Undang No 01 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Depnakertrans. __________. Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Kerja. Depnakertrans. __________. Majalah PT.PP. London Sumatera Indonesia Tbk Tahun 2010.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-86
Petunjuk Sitasi: Makmuri, M. K., & Zahri, A. (2017). Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B87-92). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker M. Kumroni Makmuri (1), Amiludin Zahri (2) (1), (2) Universitas Bina Darma Jl. A. Yani no 3 Palembang (1)
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendisain alat bantu bagi truk pengangkut hasil perkebunan untuk mengatasi hambatan prasarana jalan perkebunan yang rusak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Pengunci gardan (differential locker) merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mengatasi prasarana jalan perkebunan yang rusak. Produsen harus mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap produk melalui metode Quality Function Deployment (QFD) juga kekuatan bahan baku besi. Hasil penelitian pertama mendapati konsumen lebih menyukai produk locker manual (353) berbanding otomatis (125,42). Berdasarkan urutan kepentingan, daya tahan produk urutannya 1, Bahan baku yang baik urutannya 2, dan kemampuan operasi produk urutannya 3. Sedangkan hasil rancangan proses produksi Differential Locker berdasarkan prioritas adalah pemilihan jenis bahan dengan nilai 49%, prioritas ke dua pembuatan alat dengan nilai 25%, prioritas ke tiga pemilihan lampu indikator dengan nilai 15 %. Hasil penelitian kedua mendapati bahwa pembuatan produk Differential Locker untuk kendaraan truk dengan kapasitas angkut sebesar 5,032 ton sesuai dengan standar uji dari Dinas Perhubungan Sumatera Selatan untuk truk Colt Diesel FE 73 110 PS memerlukan bahan baku Baja Karbon Sedang dengan kadar karbon antara 0,25 %- 0.6 % dengan kode S 50 C yang berkekuatan 62 kg/mm2 Kata kunci— bahan baku baja, differential locker, kebutuhan dan keinginan konsumen, Quality Function Deployment.
I. PENDAHULUAN Sumatera selatan merupakan provinsi yang terletak di lintang pada posisi antara 102 º 40′ 0″103º 0′ 0″ bujur timur dan 3º 4′ 10″ – 3º 22′ 30″ lintang selatan memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah. Salah satu sumber daya alam provinsi ini adalah memiliki sumber daya perkebunan seluas 1.878.983 ha yang merupakan perkebunan milik rakyat dan perusahaan, terdiri dari perkebunan karet, kelapa sawit, tebu, kopi, kelapa, lada dan lainnya dengan total produksi 4.040.150 ton.(BPS Sumsel 2014). Selama 20 tahun terakhir, laju pertumbuhan komoditas perkebunan ini sangat fantastis sebagai hasil kerja keras semua komponen yang berkecimpung dibidangnya. Sektor pertanian menempati urutan kedua sesudah pertambangan penyumbang PDRB Sumatra Selatan sebesar 16 %. (BPS Sumsel, 2014). Melihat dari besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Sumatera Selatan dan penyerapan tenaga kerja, maka sektor perkebunan sebagai salah satu bagian dari sektor pertanian ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian masyarakat Sumatera Selatan. Untuk itu sektor perkebunan perlu diberikan perhatian khusus. Hasil perkebunan tersebut tidaklah berarti apabila tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Melalui Transportasi yang baik, hasil kebun tersebut dapat dipasarkan ke daerah yang membutuhkan dengan harga yang juga akan baik. Tetapi apabila sarana dan prasarana transportasi tersebut tidak baik, berakibat hasil kebun tersebut tidak dapat dipasarkan dan akhirnya akan menumpuk di kebun dan rusak. Sarana dan prasarana transportasi yang tidak
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-87
Makmuri, Zahri
baikpun berakibat harga komoditi ini akan mahal jika sudah sampai di pasar atau akan sangat murah jika masih di kebun. Untuk itu sarana dan prasarana transportasi yang baik sangat diperlukan sehingga hasil kebun dapat didistribusikan atau dipasarkan. Kondisi nyatanya jalan sebagai salah satu prasarana transportasi di perkebunan sebagian besar rusak dan sukar untuk dilalui. Mengingat keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memperbaiki prasarana jalan yang ada di perkebunan dalam waktu yang singkat, maka pemilik usaha perkebunan harus mencari solusi untuk mengatasi kerusakan jalan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan agar distribusi hasil perkebunan dapat sampai di pasar adalah melalui perbaikan sarana transportasi. Sarana transportasi perlu didisain untuk mengatasi kerusakan jalan tersebut agar kelangsungan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian dapat terjamin. Sarana transportasi yang dimaksud adalah kendaraan. Semua kendaraan pasti memiliki gardan (diffrential) yaitu peranti yang berfungsi menyalurkan daya dari mesin pada kedua ban belakang sehingga bisa bergerak maju atau mundur. Pada gardan standar (open differential) tenaga dari mesin sebenarnya hanya diteruskan ke roda yang putarannya paling minim hambatan. Namun, untuk kendaraan yang banyak bermain tanah, akan timbul masalah saat off-road. Contohnya ketika salah satu roda tergantung (saat melintas gundukan misalnya). Dengan open differential, maka tenaga akan tersalur ke roda yang tergantung itu. Alhasil, kendaraan stuck, karena roda yang bertenaga justru tak ada traksi. Begitu juga saat melintas lumpur atau tanah licin. Tenaga akan tersalur ke roda yang putarannya lancar. Padahal, untuk traksi maksimal, justru harus tersalur merata. Pada saat kondisi slip, roda kendaraan yang berputar hanya roda kendaraan bagian yang tidak slip. Semua kekuatan kendaraan hanya digunakan untuk roda bagian yang tidak slip. Akan tetapi apabila roda kendaraan yang slip dapat berputar bersamaan dengan roda kendaraan yang tidak slip, kondisi slip itu akan dapat diatasi. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mendisain alat bantu kendaraan yang dapat digunakan mengatasi kondisi jalan rusak yang ada di perkebunan. Locker atau differential Locker merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh kendaraan mengikat kedua roda yang terdapat dalam as roda sehingga kedua roda tersebut dapat berputar secara bersamaan
II. METODOLOGI PENELITIAN Dalam proses perancangan dikenal dengan sebutan NIDA, yang merupakan kepanjangan dari Need, Idea, Decision dan Action. Artinya tahap pertama seorang perancang menetapkan dan mengidentifikasi kebutuhan (need) terhadap alat atau produk yang harus dirancang. Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan ide-ide (idea) yang akan melahirkan berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan tadi dilakukan suatu penilaian dan penganalisaan terhadap berbagai alternatif yang ada, sehingga perancang akan dapat memutuskan (decision) suatu alternatif yang terbaik. Pada akhirnya dilakukan suatu proses pembuatan (Action). Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu rancangan (Ainul.Gunadarma.ac.id) : 1. Analisa Teknik (Ilmu Logam) Banyak berhubungan dengan ketahanan, kekuatan, kekerasan bahan dan seterusnya. 2. Analisa Ekonomi Berhubungan dengan ekonomis pembiayaan atau ongkos dalam merealisir rancangan yang telah dibuat. A. Pengertian Locking Differential dan Limited Slip Differential Ada 2 macam cara penguncian sistem diferensial, pertama adalah Limited Slip Differential, kedua Differential Locker. Kedua macam metode penguncian diferensial adalah sebagai berikut : 1. Locking Differential Alat ini berfungsi untuk mengunci gerakan as roda poros sebelah kiri dan sebelah kanan. Hal ini diperlukan saat kondisi dimana traksi pada kedua roda dibutuhkan untuk melewati sebuah medan yang licin. 2. Limited Slip Differential SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-88
Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker
Sistem pertama, sesuai dengan namanya, mengunci poros roda kiri dan kanan berdasarkan beda putaran yang terjadi pada poros kiri dan kanan. Penguncian pada Limited Slip Differential (LSD) tergantung dari settingan awal dari pabrik pembuatnya, dilambangkan dengan prosentase, biasanya berkisar antara 70% sampai 90%. Prosentase tersebut melambangkan perbedaan putaran kiri dan kanan maksimum sehingga piranti LSD mengunci putara kedua poros roda.
IMPORTANCE CUST (%)
LOCKER MANUAL
LOCKER OTOMATIS
Concept selection Better + Same s Worse -
LOCKER
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Produk menggunakan Metode Quality Function Deployment (QFD) Hasil perhitungan dengan menggunakan metode QFD didapat konsep rancangan produk, seperti di bawah ini:
S
+
Tahan lama
S
+
106
Kualitas fungsi/kemampuan operasi
-
S
Kualitas posisi penempatan
S
+
S
S
S
S
+
S
Berfungsi sebagai cakar pada medan berat
S
S
TOTAL + (positip)
129,42
353
TOTAL – (negatif)
144
162
85
Kualitas bahan
144
Quality Characteristic
Dapat bekerja secara otomatis
TOTAL
125,42
75,06
Menjaga traksi pada roda
170,76 129,42
Mengunci putaran roda kanan dan kiri
70,3
FUNCTION
353
Gambar 1 Penentuan Konsep Rancangan Produk Sumber : Hasil olahan Setelah matriks penentuan konsep diperoleh maka selanjutnya dilakukan pemilihan terhadap kedua konsep yang direncanakan. Sedangkan untuk memilih konsep yang terbaik didasarkan pada nilai konsep positip tertinggi, yaitu produk Locker Manual. Untuk dapat menentukan tingkat kepentingan dilihat pada tabel di bawah ini :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-89
Makmuri, Zahri
Tabel 1 Tingkat Kepentingan No
Atribut Produk
Nilai Ratarata
Urutan Kepentingan
Tingkat Kepentingan
1
bahan baku yang baik
4,24
2
85%
5
2
kemudahan pengoperasian
3,78
5
76%
4
3
harga produk
3,26
8
65%
4
4
disain produk
2,62
12
52%
3
5
pelayanan purna jual
3,1
10
62%
4
6
daya tahan produk
4,44
1
89%
5
7
waktu pemasangan produk
2,76
11
55%
3
8
kemampuan operasi produk
4,08
3
82%
5
9
kemudahan bongkar pasang
3,16
9
63%
4
10
pengaruh produk atau dampaknya terhadap alat yang lain ketergantungan produk dengan peralatan yang lain posisi penempatan di gardan
3,72
6
74%
4
3,24
7
65%
4
4,1
4
82%
5
11 12
Sumber: hasil pengolahan data Untuk hasil perhitungan berdasarkan tingkat kepuasan konsumen dari atribut-atribut lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Tingkat Kepuasan Konsumen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hasil Kuesioner Skala Pengukuran
Kebutuhan
bahan baku yang baik kemudahan pengoperasian harga produk disain produk pelayanan purna jual daya tahan produk waktu pemasangan produk kemampuan operasi produk kemudahan bongkar pasang pengaruh produk atau dampaknya 10 terhadap alat yang lain ketergantungan produk dengan 11 peralatan yang lain 12 posisi penempatan di gardan Sumber: hasil olahan
1 2 1 1 7 2 2 5
Total Skor
Tingkat Kepuasan
2
2 1 4 12 20 13 0 11 1 7
3 3 12 18 12 18 4 26 6 26
4 21 21 11 7 12 12 7 31 11
5 23 12 8 4 5 32 1 12 4
4,24 3,78 3,26 2,62 3,1 4,44 2,76 4,08 3,16
4,24 3,78 3,26 2,62 3,1 4,44 2,76 4,08 3,16
0
2
17
24
7
3,72
3,72
0
15
16
11
8
3,24
3,24
2
2
5
21
20
4,1
4,1
Setelah proses QFD selesai, maka dihasilkan prioritas dari rancangan produk dan proses yang perlu dilaksanakan. Langkah selanjutnya yang akan dikerjakan oleh perancang yaitu menentukan perencanaan produksi, yang menyangkut hal-hal operasional, seperti menyiapkan bahan baku sesuai dengan keinginan konsumen, desain dari locker dan lain-lain. Cara menghitung
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-90
Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker
persen prioritas adalah nilai prioritas design factor dibagi dengan jumlah dari design factor dikalikan 100 persen.Contoh :
Persen prioritas
prioritas design factor x 100% prioritas design factor
Butir pemilihan jenis bahan : prioritas _ desain _ faktor
128717,58 49% 261725,8
PRIORITAS DESAIGN FACTOR
Pembutan alat
Pemilihan jenis as
Pemilihan lampu indikator
Pemilihan jenis per
Pemilihan jenis bahan
Wants Vs Measure Stronght 9 Moderate F 3 Weak 1
PROSES FACTOR
untuk lebih jelasnya hal tersebut di atas dibuat dalam matriks QFD seperti tampak pada gambar di bawah ini.
DESIGN FUNCTION (char.) 1
Memiliki alat pengoperasian berupa tuas
2
Menggunakan sling
3
Menggunakan lampu indikator
147,93
F
2844
1296
4
Memakai as roda yg sudah dimodifikasi
1865,35
5
Menggunakan per untuk mempermudah kembalinya tuas
3079,84
6
Menggunakan besi bersuri
4551,84
Menggunakan per untuk mengembalikan locker
1
16.788
66.287
49 %
39.328
PERSEN PRIORITAS
10.605
Prioritas Desain Faktor
PRIORITAS
3535,05
F
128.718
7
4%
15 %
6%
25 %
5
3
4
2
Gambar 2 Penentuan Proses Produksi Sumber: hasil olahan B. Penentuan Bahan Baku Differential Locker Setelah dilakukan pengukuran dan pengujian terhadap gardan truk, didapat bahwa produk tersebut harus berbentuk selinder dengan garis tengah sebesar 85 mm agar tidak mengganggu selongsong gardan, dikarenakan selongsong gardan bergaris tengah 100 mm. Ditengah locker terdapat lubang dengan garis tengah sebesar 48 mm dengan dibuat gigi suri sebanyak 18 buah. Lubang berguna untuk dilewati as roda (axle shaft). Locker dapat bergerak kiri dan kanan dengan bertumpu pada as roda (axle shaft). Pergerakan locker menggunakan sendok besi. Sendok besi dibaut seperti setengah lingkaran dengan garis tengah 69 mm dengan tebal 8 mm. Untuk menempatkan sendok besi dibuat lubang keluar diantara bonggol gardan berbentuk persegi empat dengan ukuran 80 x70 mm. Sedangkan panjang seling tergantung pada jauhnya lokasi meletakkan tuas Untuk menentukan bahan baku besi produk Diffrential Locker disamakan dengan bahan baku besi as roda. Penentuan bahan baku as roda menggunakan perhitungan beban yang dipikul oleh as roda tersebut. Perhitungan beban as roda dilakukan sebagai berikut :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-91
Makmuri, Zahri
Setelah dilakukan perhitungan diatas, beban yang ditanggung oleh sumbu roda belakang kendaraan adalah sebesar 1,9069 kg. Dikarenakan beban yang ditanggung oleh kendaraan bersifat dinamis, maka diberikan Safety Factor (SF) sebesar 2. Sehingga beban yang harus ditanggung oleh sumbu roda adalah sebesar 3,8138 ton kg, maka dapat ditentukan kualitas daripada bahan baku besi yang dipergunakan. Bahan baku besi baja untuk pembuatan produk Diffrential Locker adalah besi baja dengan kode S 50 C yang berkekuatan 62 kg/mm2 (Sularso dan Suga, 1987).
IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Produk Locker berbentuk selinder dengan garis tengah sebesar 85 mm Panjang seling 500 mm, tuas penggerak dengan panjang 250 mm diletakkan di sebelah kiri bawah pengemudi. 2. Bahan baku yang dipergunakan untuk membuat produk locker adalah baja Sedang dengan kadar karbon antara 0,25 %- 0.6 % dengan kode S 50 C yang berkekuatan 62 kg/mm2
DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik, 2014, Sumatera Selatan Dalam Angka 2013. Couhen Lou, 2005, Quality Function Deployment, Addison-Wesley Publishing Company Gaspersz, Vincent, 1998, Manajemen Kualitas, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta Gulo, D.H. 1989. Dasar – Dasar Perhitungan Kekuatan Bahan (Alih Bahasa dari : Strength of Material, Part I : Elementary, by S. Timoshenko, Robert E. Klinger Publishing Co., Inc., 1968). Cetakan Kedua, Penerbit Restu Agung, Jakarta. Hikmah, 1987, Total Quality Management, Yogyakarta, Anda Offset. http://angieorex.blogspot.co.id/2014/11/mengenal-differential-locker.html (diakses 10 Februari 2015) https://devisofiah23.blogspot.co.id/2015/06/pengertian-bagian-bagian-fungsi-dan.html (diakses 2 Februari 2015) http://gangsarnovianto.blogspot.co.id/2013/04/perancangan-produk-atau-alat.html (diakses 15 April 2017) http://sabrintechno.blogspot.co.id/2016/11/rumus-menghitung-biaya-produksi.html (diakses 3 Januari 2017) Imam Djati Widodo. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Produk, Produk Planning and Design. Yogyakarta, Penerbit UII Press Indonesia. Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Isi dan Data Sekunder. Jakarta. PT Rajag Grafindo Persada. Nicholas, Total Quality Management, New York, Mc Graw Hill. Purnomo, Hari. 2004. Pengantar Teknik Industri, Yogayakarta, Penerbit Graha Ilmu. sep-sp.blogspot.com/2014/10/pengertian-dan-fungsi- gardan.html (diakses 27 April 2015) Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit ALFABETA. Sularso & K. Suga. 1987. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. Cetakan Keenam. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta. Turner Wayne C., &Mize Joe H, 2000, Pengantar Teknik dan Sistem Industri, Jakarta, Penerbit Guna Widya. Ulrich, Karl T, 2001, Perancangan dan Pengembangan Produk, Jakarta, Penerbit Salemba.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-92
Petunjuk Sitasi: Budiarto, D. (2017). Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian Dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B93-99). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian Dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna Dominikus Budiarto Prodi Teknik Industri Fakultas Sains & Teknologi, Universitas Katolik Musi Jalan Bangau No 60 Palembang 30113
[email protected] ABSTRAK Proses pembelahan durian yang dilakukan oleh masyarakat umum atau industri kecil relatif masih manual. Proses pengupasannya menjadi sulit karena alat pemotong pisau yang standar dan posisi durian yang tidak mantab. Prosesnya mudah dilakukan jika dilakukan oleh orang yang berpengalaman/ahli. Desain alat ini bertujuan memberikan inovasi dalam pengembangan teknologi tepat guna (TTG). Alat ini dikembangkan untuk digunakan pada industri kecil yang berbahan baku durian. Peralatan TTG yang ada terkait dengan pembelah durian diidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Hasil kekurangan peralatan yang ada yaitu terkait portabilitas (bentuk, ukuran/dimensi dan berat produk), fleksibilitas dalam hal perawatan/spare part mata pisau pengganti, kemampuan proses untuk berbagai ukuran durian dan waktu setup (banyaknya langkah/operasi). Pengembangan produk (alat) pembelah durian ini dikembangkan dari teknologi pengungkit dan pembelah. Teknologi yang di adopsi adalah mekanisme kerja tang kombinasi/Tang pengupas kabel dan baji. Alat yang dihasilkan bekerja dengan di tekan dan membuka/ menutup (seperti tang), dengan menambah kepala pembuka (mata pisau pembelah). Hasil analisis simulasi gerakan dengan bantuan program 3Ds Max, untuk kedua alternatif mekanisme tersebut, kemudian dikumpulkan data terkait dimensi, fleksibilitas dan banyaknya gerakan dari alat tersebut. Hasil yang didapat yaitu dimunculkannya 4 jenis mata pisau yang bisa digunakan, dan 2 bentuk alat pembelah durian. Alat pembelah durian ini memiliki dimensi panjang (L) 200 - 300 mm (sesuai ukuran tang di pasaran). Kebanyakan responden memilih alternatif produk 1. Karena produk tersebut memiliki ukuran-portabilitas, fleksibilitas yang baik dan waktu setup yang singkat. Penelitian ini perlu di kaji lebih lanjut terkait implementasi pengembangan produk (alat) pembelah durian tersebut di home industri, terkait dengan keandalan (kekuatan/umur), keamanan dan kinerjanya. Kata kunci— Pengembangan produk, home industry, pembelah durian.
I. PENDAHULUAN Buah durian merupakan buah musiman dan memiliki ciri khas yaitu kulit yang berduri serta memiliki aroma yang khas. Buah durian selain sebagai makanan (buah) dapat diolah menjadi dodol, lempo, selai, isian pada roti isi, kue pancake dan juga dapat sebagai aroma pada makanan seperti roti, dan permen. Untuk memperoleh isi (daging) buah durian, perlu dilakukan proses pengupasan durian. Proses ini yang disebut membelah durian. Pada saat proses pengupasan ini kerap kali terjadi masalah yaitu pekerja mengalami kesulitan dalam proses pengupasan karena alat pembelah durian yang digunakan masih tradisional (menggunakan pisau atau parang). Pada proses ini potensi kecelakaan kerja ditandai dengan penggunaan alat yang seringkali meleset dan tangan terkena duri durian sehingga dapat menimbulkan luka/bahaya pada pekerja Sani, dkk. (2014). Untuk mendapatkan proses pengupasan yang cepat, diperlukan tenaga kerja yang telah ahli (jam terbang dan pengalaman menggunakan alat pembelah durian tradisional). Jika tenaga kerja tersebut absen maka proses pengupasan yang cepat menjadi terkendala, Chandra, Y., (2017). Hasil observasi awal terkait teknologi yang digunakan di masyarakat untuk membelah durian didapat beberapa macam peralatan (lihat gambar 5). Model produk pembelah kulit durian yang telah ada menggunakan beberapa prinsip dalam ilmu fisika yaitu prinsip tuas/pengungkit dan gaya SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-93
Budiarto
dorong/tarik serta gaya puntir. Prinsip tuas merupakan salah satu jenis pesawat sederhana yang dapat digunakan untuk memudahkan melakukan usaha. (Sani, dkk. (2014). Beberapa kelemahan terkait produk pembelah durian yang sudah ada terletak pada perawatan (pengantian komponen pisau), ukuran, bentuk, mekanisme kerja yang membutuhkan banyak langkah atau waktu setup dan kepraktisan alat. Berikut hasil perbandingan produk yang sudah ada berdasarkan perbandingan karakteristik kualitatif dan visual relatif terhadap keseluruhan alat. Tabel 1 Data Hasil Observasi Produk Pembelah durian yang sudah ada.
Produk
Produk 1 Produk 2 Produk 3 Produk 4 Produk 5 Produk 6 Produk 7 Produk 8 Produk 9 Produk 10
Ukuran Pemotong K/S/B S K K B B B B B B B
Portabilitas KP / S / SP SP S S S S KP S S KP S
Mekanisme Kerja P1 / P2 / P3 P1 P1 Gaya Tekan P2 Gaya Tarik Gaya Tekan Gaya Tarik Gaya Tekan Gaya Tekan Gaya Tekan
∑ Langkah Setup
Waktu Proses
5 5 5 5 10 10 10 5 10 10
<15‖ <15‖ <15‖ <15‖ 15‖-60‖ 15‖-60‖ 15‖-60‖ 15‖-60‖ > 60‖ > 60‖
Keterangan: Ukuran: Kecil / Sedang / Besar relatif terhadap ukuran diameter durian; Mekanisme Kerja: Jenis Pesawat Ungkit P1, P2, P3. Langkah : Cepat (<5) – Sedang (5 - 10) – Banyak (>10). Kepraktisan (Portabilitas): Kurang Praktis – Sedang - Sangat Praktis
Analisis terhadap peralatan tersebut, kekurangannya yaitu terkait portabilitas (bentuk, ukuran/dimensi dan berat produk), fleksibilitas dalam hal perawatan / spare part mata pisau pengganti, kemampuan proses untuk berbagai ukuran durian dan waktu setup (banyaknya langkah/operasi). Dari beberapa kekurangan tersebut maka penelitian ini ingin mencoba merancang alat pembelah durian (mata pisau) dan mekanisme kerja alat yang mampu mereduksi ukuran, fleksibilitas dan banyaknya langkah operasi pada proses pembelahan durian. Tujuan yang ingin dicapai yaitu tersedianya desain alat pembelah durian yang nantinya mampu di produksi dan diimplementasikan guna membantu masyarakat umum atau industri kecil dalam proses pengupasan durian walau tanpa pengalaman dan jam terbang.
II. METODOLOGI Berdasarkan metode dan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian pengembangan, (Sugiyono, 2010) dan bersifat konfirmatori Sekaran, (2010). Kerangka awal yang digunakan dalam menyelesaikan masalah penelitian (problem solving) didasarkan pada model TRIZ (Theoria Resheneyva Isobretatelskehuh Zadach/Creative Problem Solving Method), Ekmekci, I. & Koksal, M. (2015) dan konsep Teknologi Tepat Guna (TTG) Tanaka, Nao (2015) digunakan. Untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif solusi langkah selanjutnya mengikuti model dari Krick (1969) dalam Mital, (2008). Secara khusus proses pemecahan masalah mengikuti langkah-langkah yaitu: (1) Formulate the problem. (2) Analyze the problem. (3) Search for alternative solutions. (4) Decide among the alternative solutions. (5) Specify the solution. Cross, Nigel. (2000) dan Priest, J.W. dan Shchez, J. M. (2001).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Masalah Proses operasi yang dilakukan oleh pengguna (penjual buah) dan pelaku usaha home industri yang produknya berbahan durian, dilakukan beberapa tahap seperti: (a) Proses pengupasan/pembelahan kulit. Pada proses ini durian dikupas/dibelah menggunakan pisau. (b) Proses pemisahan kulit. Durian yang telah dikupas/dibelah diambil daging duriannya (c) buah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-94
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna
durian di makan atau durian tersebut dipisahkan antara daging dan bijinya selanjutnya dipindahkan ke wadah. (d) Proses selanjutnya (pelaku usaha home industri). Dari 25 data pengukuran untuk proses pembelahan kulit durian dengan pisau, rata-rata waktu yang dibutuhkan yaitu 1,1 menit belum termasuk setup (memposisikan durian). Jika keseluruhan proses untuk mendapatkan daging buah durian, proses (a) – (b) membutuhkan waktu sekitar 3 menit untuk satu buah durian. Potensi peluang meleset saat proses tersebut antara 0.16 – 0.3 peluang tersebutlah yang menyebabkan luka pada tangan baik terkena kulit durian atau pisau. B. Analisis Masalah Dari hasil analisis terhadap 10 produk pembelah durian yang sudah ada, kebutuhan alat yang diinginkan terlihat dalam tabel 2.
Fitur Produk
Tabel 2 Analisis Kebutuhan Produk sekarang 4 5 6 7 8
1
2
3
Holder durian
X
√
√
√
√
√
√
Hand grip
√
X
X
X
X
√
Berat produk Ukuran (PxLxT dalam cm) Durasi waktu proses ((a) dan (b) dalam menit) Perawatan komponen/produk Banyaknya langkah operasi Keterangan:
9
10
√
√
√
X
X
X
X
Kebutuhan Sangat dibutuhkan sebagai jig/fixture durian Sangat dibutuhkan untuk kenyamanan gengaman
± 0.5 Kg 40x 5x 8
±1 Kg
±1 Kg
±2 Kg
±4 Kg
±6 Kg
±4 Kg
±5 Kg
±5 Kg
±3 Kg
Diharapkan seringan mungkin
60x 60x 40
80x 40x 20
80x 10x 60
20x 15x 60
40x 40x 80
20x 15x 60
30x 25x 80
100x 100x 120
40x 25x 80
Diharapkan sekecil mungkin
1
1
0.5
2
2
2
2
2
3
3
Diharapkan secepat mungkin
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
5
5
5
5
10
10
10
5
10
10
Diharapkan semudah mungkin Diharapkan sedikit mungkin
X : tidak ada / belum sempurna √ : ada / baik
C. Mencari Alternatif Solusi Konsep produk adalah perkiraan dari teknologi, prinsip kerja dan bentuk dari produk. Secara teknologi desain produk dibuat dengan mempertimbangkan kriteria teknis (bahan lokal, menggunakan peralatan sederhana, mudah diperbaiki dan dirawat), ekonomis (terjangkau dari segi biaya produk, bahan baku), sosial-budaya (keinginan, kebiasaan pekerja/masyarakat). Secara prinsip kerja dan bentuk dari produk pemilihan prinsip desain: parameter/atribut yang di ambil dari parameter dalam model TRIZ. Solusi untuk pemilihan alternatif desain sebagai berikut: Tabel 3 Prinsip Triz untuk menemukan solusi desain produk Solusi untuk prinsip dan bentuk produk
Principle Number 1
Deskripsi
2 3 5
Mengurangi elemen/part Kualitas Lokal Mengabungkan (identical/similiar perform paralel operation) Perubahan dimensi
17
Segmentasi
to
Mengelompokkan fungsi part (holder, pembelah/mata pisau, hand grip/mekanisme) Kurangi elemen/part menjadi sedikit mungkin Bahan, Mekanisme kerja yang sederhana Gabungkan fungsionalitas part / copy mekanisme produk sejenis Ubah dimensi (Volume, Panjang, Lebar, Tinggi)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-95
Budiarto
Principle Number 35
Deskripsi
Solusi untuk prinsip dan bentuk produk
Perubahan Parameter (Flexibility)
Kurangi dimensi produk (Berat, banyak langkah)
Point-point utama ide pengembangan yang dikembangkan yaitu mata pisau, holder dan mekanisme proses (hand grip). Hasil pembangkitan ide yang dihasilkan yaitu ada 3 Jenis landasan/holder, 6 bentuk dasar mekanisme pembelahan (hand grip) dan 4 jenis bentuk mata pisau. Hasil generasi dari beberapa solusi yang dihasilkan untuk mata pisau seperti pada gambar 2. D. Memilih Alternatif Solusi Poin-poin utama ide pengembangan yang dikembangkan yaitu mata pisau, holder dan mekanisme proses. 1) Landasan/holder
2) Mata Pisau:
1
Gambar 1 Holder
2
3
4
Gambar 2 Alternatif desain pisau pembelah durian
3) Mekanisme Proses (Hand Grip):
Gambar 3 Hand grip
1
4
Gambar 4 Hasil desain pisau (Alat) pembelah
Berdasarkan mekanisme dan generasi solusi terhadap produk di pasaran yang paling banyak adalah dengan mekanisme tekan maka yang dipilih adalah produk mata pisau 1 dengan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-96
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna
mekanisme ditekan (lihat gambar 3). Model rekayasa produk pembelah durian yang ditekan seperti gambar 4.
E. Menetapkan (Spesifikasi) Solusi Spesifikasi desain produk / Spesifikasi desain produk / Spesifikasi fungsional untuk Spesifikasi fungsional untuk holder : Mata Pisau : 1) Fungsi kegunaan: 1) Fungsi kegunaan: Pemegang buah durian. Pembelah kulit durian. 2) Bahan: Logam besi atau 2) Bahan: Logam besi/baja Kayu atau Kayu 3) Dimensi: dibawah Panjang 3) Dimensi: dibawah Panjang 30 cm x Lebar 30 cm x 30 cm x Lebar 30 cm x Tinggi 10 cm. Tinggi 30 cm. 4) Performansi: Bisa 4) Performansi: Bisa menahan buah durian membelah buah durian dengan diameter minimal dengan diameter minimal 15 cm, berat kurang dari 15 cm 0.5 Kg. mampu menahan 5) Biaya: bisa dibuat sendiri benda sampai 50 Kg. biaya kurang dari 50.000. 5) Biaya: bisa dibuat sendiri Produk di pasaran Rp ± biaya kurang dari 50.000. 50.000. Produk di pasaran Rp 6) Perawatan Mata Pisau: 13.000. Perawatan dibutuhkan jika 6) Perawatan holder: komponen Part Rusak Perawatan dibutuhkan jika (diganti dengan membeli komponen Part Rusak, part pendulum, pahat, tidak dibutuhkan peralatan paku/membuat sendiri), khusus untuk perawatan, tidak dibutuhkan peralatan umur holder bisa khusus untuk perawatan, mencapai ± 5 tahun. umur mata pisau bisa mencapai ± 5 tahun atau kurang tergantung pemakaian.
Spesifikasi desain produk / Spesifikasi fungsional untuk Hand Grip : 1) Fungsi kegunaan: Pemegang mata pisau (dengan mekanisme). 2) Bahan: Logam besi/baja, Plastik, Karet, Kayu atau kombinasi. 3) Dimensi: diameter dibawah 10 cm dan Panjang dibawah 80 cm. 4) Performansi: Bisa menahan beban sampai denan 50 Kg. 5) Biaya: bisa dibuat sendiri biaya kurang dari 50.000. Produk di pasaran Rp 10.000-50.000. 6) Perawatan holder: Perawatan dibutuhkan jika komponen Part Rusak, tidak dibutuhkan peralatan khusus untuk perawatan, umur hand grip bisa mencapai ± 5 tahun.
F. Analisis / Evaluasi Desain Matrik evaluasi terhadap desain produk yang dihasilkan mempertimbangkan hal berikut: Tampilan, ergonomi (hand grip), keamanan, perawatan, performansi proses, biaya produk, dimensi produk dan umur hidup produk.
IV. PENUTUP Dari hasil perancangan alat pembelah durian dan hasil analisis dapat disimpulkan produk yang memenuhi spesifikasi alat pembelah durian (mata pisau) dan mekanisme kerja alat yang mampu mereduksi ukuran, fleksibilitas dan banyaknya langkah operasi pada proses pembelahan durian yaitu desain alternatif 1. Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan atau perlu dilakukan uji performansi produk terkait perbaikan (ide generasi konsep) dari 4 jenis yang sudah dihasilkan. Misal hasil generasi produk 1 mata Pisau dibuat menjadi dua bagian dengan mekanisme ditekan dan membelah (mekanisme ditekan keluar atau ditekan di dalam).
DAFTAR PUSTAKA SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-97
Budiarto
Chandra, Y.2017. Perancangan alat pengupas buah durian di ukm pancake lena. Skripsi Teknik Industri. Universitas Katolik Musi Charitas. Cross, Nigel.2000. Engineering Design Methods Strategies for Product Design Fourth Edition. UK: John Wiley & Sons. Ekmekci, I. dan Koksal, M.,2015, ―Triz Methodology and Application Example for Product Development‖. Procedia Social and Behavioral Sciences 195 (2015) 2689-2698. Mital, Anil., Desai, A., Subramanian, A. dan Mital, Aashi. 2008: Product Development A Structured Approach to Consumer Product Development Design and Manufacture. UK: Butterworth-Heinemann. Priest, J.W. dan Shchez, J. M.2001. Product Development And Design For Manufacturing A Collaborative Approach to Producibility and Reliability Second Edition, Revised and Expanded. NY: Marcel Dekker. Sani, A. A., Mardiana, Seprianto, D.2014. ―Desain Inovasi Alat Bantu Pembuka Kulit Buah Durian untuk Industri Kecil‖. Jurnal Austenit. Vol 6 No 1. hl. 1- 4. Sekaran, U. dan Bougie, R.. 2010. Research Methods for Business a Skill Buiding Approach. UK : Jhon Wiley and Sons. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Tanaka, Nao. 2015. Teknologi Tepat Guna & Dunia Alternatif. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Lampiran 1 Ragam Produk Pembelah Duren
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-98
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna
Produk 1
Produk 6
Produk 2
Produk 7
Produk 3
Produk 4
Produk 5
Produk 8
Produk 9
Produk 10
Gambar 5 Ragam Produk Pembelah Durian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-99
Petunjuk Sitasi: Dharmastiti, R., & Fainusa, A. F. (2017). Pengaruh Jenis Musik dan Volume Suara terhadap Situational Awareness Pengemudi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B1-7). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengaruh Jenis Musik dan Volume Suara terhadap Situational Awareness Pengemudi (1), (2)
Rini Dharmastiti(1), Akmal Fatah Fainusa(2) Departemen Teknik Mesin dan Industi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika 2 Yogyakarta 55281 (1)
[email protected] ABSTRAK
Mendengarkan musik sambil mengendarai mobil merupakan aktivitas yang sudah umum dilakukan. Jenis musik yang didengar dan besarnya volume suara musik tersebut dapat memberikan pengaruh kepada pengemudi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis musik dan tingkat volume suara terhadap situational awareness pengemudi. Penelitian ini menggunakan responden sebanyak 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan yang sudah mempunyai pengalaman mengemudi dan mempunyai SIM A, lebih dari satu tahun. City Car Driving Simulator digunakan sebagai alat untuk mensimulasikan kondisi mengemudi. Jenis musik yang digunakan dalam penelitian ini adalah musik klasik dan musik rock. Variasi tingkat voulume suara yang digunakan yaitu pada tingkat 55-65 dBA dan 75-80 dBA. Penilaian situational awareness dilakukan dengan menggunakan kuesioner SAGAT (Situational Awareness Globat Assessment Technique). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada nilai situational awareness tingkat satu dan tingkat dua, faktor yang berpengaruh secara signifikan adalah jenis musik, sedangkan perbedaan tingkat volume suara dan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Pada nilai situational awareness tingkat tiga, baik faktor jenis musik, perbedaan tingkat volume suara dan jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Selanjutnya pada nilai situational awareness keseluruhan diketahui bahwa faktor jenis musik merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan. Kata kunci— Jenis musik, tingkat suara musik, situational awareness.
I. PENDAHULUAN Kecelakaan lalu lintas saat mengemudi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sabey dalam Hadiyan (2014) menyebutkan bahwa sebesar 65% kecelakaan disebabkan oleh faktor kesalahan manusia. Faktor tersebut pada umumnya disebabkan karena aktivitas sekunder selama berkendara. Survei yang telah dilakukan oleh Dibben dan Williamson (2007) di Inggris dan Wales, diketahui bahwa untuk usia 19-24 tahun hanya 3% pengendara mobil yang diam tanpa melakukan aktivitas berbicara atau mendengarkan. Selebihnya pengendara melakukan aktivitas mendengarkan musik radio (33%), CD/tape (32%), berbicara (21%), lainnya (11%). Bellinger (2008) menyebutkan bahwa terdapat empat jenis gangguan saat mengendarai kendaraan, yaitu gangguan visual, auditory, biomechanical, dan cognitive. Pendapat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa hasil survai Dibben dan Williamson (2007) tersebut merupakan aktivitas yang memicu gangguan auditory. Mendengarkan musik sambil mengendarai mobil merupakan aktivitas wajar. Mendengarkan musik saat mengendarai mobil akan memberikan efek positif dan efek negatif. Menurut Dibben dan Williamson (2007) serta Zwaag et al. (2011), mendengarkan musik akan mengurangi kebosanan dan memberi efek relaksasi, sedangkan efek negatif dari musik selama mengendarai mobil adalah dapat menyebabkan penurunan atensi dan performansi mengemudi. Dalton dan Behm (2007) menyebutkan bahwa musik di dalam mobil dapat mempengaruhi driver stress, subjective anxiety, relaksasi, dan persepsi terhadap kecepatan. Terdapat tiga aspek dalam musik yang dikaitkan dengan efek distraksi, yaitu tempo (Dibben dan Williamson, 2007; Pêcher et al., 2009; Brodsky, 2002; Ünal, 2013; Dalton dan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-1
Dharmastiti, Fainusa
Behm, 2007), genre (Bottiroli, 2014; Dalton dan Behm, 2007), dan loudness (Ünal, 2013; Dalton dan Behm, 2007). Tempo musik yang cepat cenderung akan memicu terjadinya insiden bila dibandingkan dengan tempo sedang atau lambat. Tempo musik yang cepat akan mempengaruhi persepsi terhadap waktu dan kecepatan. Selain itu tempo cepat dan ritme yang kuat dianggap akan mengaktifkan saraf simpatetik dan akan meningkatkan performansi. Sedangkan musik tempo lambat dan ritme yang lemah akan mengaktifkan sistem saraf parasimpatetik sehingga memicu relaksasi. Genre musik juga memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Genre musik rock cenderung dikorelasikan dengan kebiasaan negatif, reckless driving, dan traffic violation. Sebaliknya, genre musik klasik akan memberikan efek menenangkan dan relaksasi bagi pendengarnya. Tingkatan loudness akan mempengaruhi kenyamanan selama berkendara. Volume musik akan mempengaruhi waktu reaksi. Hal ini dinyatakan oleh Ünal (2012) bahwa dalam penelitiannya intensitas loudness 75 dBA mempunyai waktu reaksi yang lebih cepat bila dibanding 95 dBA. Dari penjelasan tersebut, dijelaskan bahwa musik dapat mempengaruhi performansi kognitif seseorang. Tauhid (2013) telah meneliti mengenai pengaruh musik pop dengan intensitas yang berbeda terhadap situational awareness, sedangkan Afifah (2015) telah meneliti pengaruh musik tradisional jawa terhadap situational awareness saat mengemudi. Dalam penelitianpenelitian tersebut terlihat bahwa musik yang digunakan hanya satu jenis. Oleh sebab itu perlu untuk diadakan penelitian mengenai pengaruh perbedaan jenis music (klasik dan rock) dan intensitas volume terhadap situational awareness dan saat mengemudi. II. METODE PENELITIAN Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan, dengan rentang usia 18–24 tahun. Semua responden mampu mengendarai mobil dengan baik, telah memiliki SIM A, dan mempunyai pengalaman mengendarai mobil secara legal minimal satu tahun. Responden laki-laki mempunyai rata-rata usia 21.03±1.04 tahun dan rata-rata pengalaman mengemudi secara legal selama 3.93±1.62 tahun. Pada responden perempuan, rata-rata usianya adalah 20.8±0.86 tahun dengan rata-rata pengalaman mengemudi secara legal selama 2.73±1.03 tahun. Situational awareness (tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga) merupakan variable tidak bebas, sedangkan variabel independen adalah perlakuan jenis musik, intensitas volume, dan jenis kelamin. Jenis musik yang digunakan yaitu musik klasik instrumental karya Mozart dan musik rock karya band Avanged Sevenfold. Intensitas volume yang digunakan yaitu 55-60 dBA dan 75-80 dBA. Sebagai kontrol dilakukan pengujian mengendarai tanpa menggunakan musik. Pemilihan decibel rendah 55-60 dBA karena pada intensitas tersebut masih masuk dalam kategori nyaman untuk didengarkan, sedangkan pemilihan 75-80 dBA karena pada tingkat ini suara yang terdengar sudah cukup keras dan dirasa cukup menganggu (noise). City car driving simulator merupakan sebuah software yang digunakan untuk melakukan simulasi berkendara. Software ini dapat diatur situasi dan kondisinya sesuai dengan faktor yang akan diteliti. Dengan software ini, responden diminta untuk melakukan simulasi menyetir dengan kondisi yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini personal computer (PC) digunakan untuk menjalankan program City Car Driving Simulator, Windows Media Player, Bandicam, SPSS, Microsoft Word, dan Microsoft Excel. PC Steering Wheel berfungsi sebagai kendali arah jalannya mobil, sedangkan pedals controller berfungsi untuk menambah dan mengurangi kecepatan. Program Windows Media Player digunakan untuk memutar musik. Speaker berfungsi untuk memunculkan suara musik maupun efek audio saat simulasi berlangsung. Bandicam merupakan software yang digunakan untuk merekam saat simulasi berlangsung. Kuesioner berfungsi untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan situational awareness (tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga). Penelitian ini menggunakan kuesioner situational awareness yang dibuat oleh Gozali (2013). Sound Pressure Tingkat (SPL) digunakan untuk mengukur tingkat intensitas volume agar sesuai dengan intensitas yang diinginkan selama simulasi berlangsung. Musik yang digunakan dalam penelitian ini adalah musik yang paling disukai oleh responden. Dari lembar kuesioner pra eksperimen tersebut, didapatkan musik yang dipakai dalam penelitian ini adalah musik klasik dengan judul Rondo alla Turca karangan Mozart dengan tempo 2.85 kbpm dan musik rock berjudul Afterlife milik grup musik Avanged Sevenfold dengan tempo 2.5 kbpm. Pada sesi ekperimen, responden diminta
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-2
Pengaruh Jenis Musik Dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi
untuk mengerjakan task dengan sungguh-sungguh sebagaimana berkendara di jalan raya semestinya. Tingkat traffic dalam simulasi ini diatur dengan presentase 70% dan tingkat pejalan kaki dengan presentase 60%. Setiap responden diminta untuk melakukan simulasi sebanyak lima kali yang dibagi menjadi dua sesi. Kondisi perlakuan dalam penelitian ini adalah tanpa musik, musik klasik instrumental dengan intensitas volume 55-60 dBA, dengan intensitas volume 75-80 dBA, musik rock dengan intensitas volume 55-60 dBA dan dengan intensitas volume 75-80 dBA. Urutan responden selama simulasi dipilih secara acak agar tidak terjadi bias dan effect learning. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan task berkisar antara 15–20 menit untuk setiap perlakuan. Hal ini dilakukan agar eksperimen tidak terlalu lama. Selama ekperimen akan dikumpulkan data mengenai situational awareness (tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga) dari repsonden saat berkendara. hal ini dilkukan dengan membagikan kuesioner kepada responden. Prosedur pembagian kuesioner dilakukan setelah eksperimen berjalan lima hingga delapan menit. Pada saat pembagian dan pengisian kuesioner, simulator diatur dalam kondisi freeze. Setelah pengisian kuesioner selesai, maka simulator dijalankan lagi hingga responden menyelesaikan tugasnya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai situational awareness keseluruhan merupakan nilai rata-rata dari SA tingkat 1, 2, dan 3. Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai signifikansi perbedaan antar perlakuan menggunakan nilai situational awareness total. Hal ini dikarenakan situational awareness merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan, sehingga nilai situational awareness dianggap sebagai satu kesatuan.
Gambar 1. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Tanpa Musik pada Responden Laki-laki
Gambar 2. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Rock Rendah dan Tinggi pada Responden Laki-laki
Gambar 3. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Klasik Rendah dan Tinggi pada Responden Laki-laki
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-3
Dharmastiti, Fainusa
Gambar 4. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Tanpa Musik pada Responden Perempuan
Gambar 5. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Klasik Rendah dan Tinggi pada Responden Perempuan
Gambar 6. Nilai SA Keseluruhan Kondisi Musik Rock Rendah dan Tinggi pada Responden Perempuan
Risk Behavior dalam penelitian ini didapatkan dengan cara mengevaluasi video setiap skenario. Terdapat empat kategori risk behavior, yaitu safe behavior, precaution behavior, hazardous behavior, dan accident. Kategori perilaku aman (safe behavior) yaitu kondisi dimana responden tidak melakukan pelanggaran selama simulasi berlangsung. Kategori precaution behavior yaitu apabila selama simulasi responden melakukan pelanggaran seperti melebihi batas kecepatan, tidak menggunakan lampu sinyal berbelok, melanggar lampu merah, dan mengabaikan pejalan kaki. Kategori hazardous behavior yaitu apablia selama simulasi responden melakukan perilaku yang sangat berbahaya seperti mengerem terlalu mendadak dan kecepatan melebihi 20 km/jam dari batas kecepatan yang diizinkan. Kategori accident yaitu kondisi dimana responden menabrak kendaraan lain atau menabrak pejalan kaki. Tabel 1 menunjukkan rekapitulasi nilai risk behavior pada responden laki-laki dan perempuan untuk setiap kondisi. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada kondisi tanpa musik mayoritas responden tergolong pada kategori accident (73%). Sedangkan pada kondisi musik klasik rendah, mayoritas responden termasuk dalam kategri precaution behavior (53%), 20% dalam kategori hazardous, dan terdapat 27% yang tergolong dalam kategori accident. Pada perlakuan musik rock rendah, diketahui bahwa perilaku beresiko responden terbagi menjadi tiga kategori sama rata yaitu kategori precaution (33.33%), kategori hazardous (33.33%), dan kategori accident (33.33%). Pada kondisi musik SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-4
Pengaruh Jenis Musik Dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi
klasik tinggi terdapat 47% dalam kategori accident, 40% dalam kategori precaution, dan 13% dalam kategori hazardous. Serupa dengan perlakuan rock rendah, pada perlakuan musik rock tinggi responden terbagi ke dalam tiga kategori yang sama rata, yaitu kategori precaution (33.33%), hazardous (33.33%), dan accident (33.33%). Pada kondisi tanpa musik diketahui bahwa responden perempuan terdapat 73% masuk dalam kategori accident dan 27% dalam kategori hazardous. Pada kondisi musik klasik rendah, terdapat 20% tergolong dalam kategori precaution, 20% dalam kategori hazardous, dan 60% kategori accident. Pada kondisi musik rock rendah, perilaku beresiko responden perempuan didominasi oleh kategori accident (67%), 20% dalam kategori hazardous, dan 13% dalam kategori precaution. Hampir sama dengan perlakuanperlakuan sebelumnya, pada kondisi musik klasik tinggi mayoritas responden termasuk dalam kategori accident (53.33%), 33.33% dalam kategori hazardous, dan 13.33% dalam kategori precaution. Pada kondisi musik rock tinggi, terdapat 60% tergolong dalam kategori accident, 33% dalam kategori hazardous, dan 7% dalam kategori precaution. Hasil risk behavior pada penelitian ini menunjukkan bahwa kategori empat (accident) lebih dominan baik pada responden laki-laki maupun perempuan. Sedangkan bila dibandingkan antara responden laki-laki dan perempuan, kategori accident lebih banyak pada responden perempuan.
No 1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 1. Risk Behavior Responden Laki-laki dan Perempuan Perempuan (%) Kondisi Kategori Risk Behavior Laki-laki (%) Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 20% 0% Tanpa Musik Hazardous Behavior 7% 27% Accident 73% 73% Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 53% 20% Klasik Rendah Hazardous Behavior 20% 20% Accident 27% 60% Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 33.33% 13% Rock Rendah Hazardous Behavior 33.33% 20% Accident 33.33% 67% Safe Behavior 0% 0.00% Precaution Behavior 40% 13.33% Klasik Tinggi Hazardous Behavior 13% 33.33% Accident 47% 53.33% Safe Behavior 0% 0% Precaution Behavior 33.33% 7% Rock Tinggi Hazardous Behavior 33.33% 33% Accident 33.33% 60%
Tabel 2. Hasil Parameter Estimates Uji Regresi Logistik Ordinal Parameter Estimates 95% Confidence Interval Lower Upper Estimate Std. Error Wald df Sig. Bound Bound [Y = 2] -3.161 2.014 2.464 1 .116 -7.109 .786 Threshold [Y = 3] -1.972 2.004 .968 1 .325 -5.901 1.956 Location X1 -.977 1.275 .587 1 .444 -3.475 1.522 X2 -1.452 .981 2.192 1 .139 -3.375 .470 X3 .462 .895 .267 1 .606 -1.291 2.215 X5 -.009 .016 .289 1 .591 -.040 .023 X4 .979 .330 8.802 1 .003 .332 1.625 X6 -.331 .270 1.505 1 .220 -.861 .198 Link function: Logit. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-5
Dharmastiti, Fainusa
Yi = Model logit ke-i X1 = Situational awareness tingkat 1 X2 = Situational awareness tingkat 2 X3 = Situational awareness tingkat 3 X4 = Jenis kelamin responden (1 = Laki-laki, 2 = Perempuan) X5 = Tingkat volume suara (dBA) X6 = Jenis musik (1 = Tanpa musik, 2 = Musik klasik, 3 = Musik rock) Dari Tabel 5.217 tersebut dihasilkan dua persamaan logit, yaitu: 1. Y1 = – 3.161 –0.977X1 – 1.452X2 + 0.462X3 + 0.979X4 – 0.009X5 – (1) 0.331X6 2. Y2 = – 1.972– 0.977X1 – 1.452X2 + 0.462X3 + 0.979X4 – 0.009X5 – (2) 0.331X6 Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai situational awareness tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga tidak mempengaruhi risk behavior secara signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi yang lebih besar dari 0.05. Faktor yang tenyata menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap risk behavior yaitu jenis kelamin responden (Sig. 0.03 < 0.05). Hal ini didukung oleh Cheney (2012) yang menyatakan bahwa perempuan cenderung mempunyai resiko yang lebih tinggi saat mengendarai mobil bila dibandingkan dengan laki-laki. Pada dasarnya lakilaki mempunyai kemampuan teknis yang lebih baik. Selain itu Cheney (2012) berpendapat bahwa berdasarkan data yang diperoleh dari jasa asuransi, dilaporkan bahwa perempuan lebih banyak mengajukkan klaim akibat kecelakaan bila dibanding laki-laki. Kasus yang sering dilaporkan adalah tergelincir atau kehilanagn kendali, Sedangkan menurut Phillips (2011) menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kemampuan mengemudi yang lebih baik dibanding perempuan. Bila dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih banyak mengalami tabrakan saat memarkirkan mobil. Menurut Herbert (2011) berdasarkan riset yang dilakukan di Universitas Michigan ditemukan bahwa 6.500.000 angka kecelakaan di Amerika Serikat dari tahun 1998 hingga tahun 2007 menunjukkan bahwa 68.1% dari angka kecelakaan dialami oleh pengemudi perempuan. Padahal perbandingan waktu mengemudi antara laki-laki dengan perempuan di Amerika Serikat adalah 60:40 yang berarti lebih banyak pengemudi laki-laki. Hal ini menjelaskan bahwa meskipun pengemudi perempuan mempunyai waktu mengemudi yang lebih sedikit, akan tetapi angka kecelakaan justru didominasi oleh pengemudi perempuan. IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah jenis musik mempengaruhi nilai situational awareness keseluruhan. Perlakuan tingkat volume suara musik tidak menunjukkan perbedaan nilai situational awareness secara signifikan, demikian juga jenis kelamin. Berkaitan dengan risk behavior, diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi risk behavior seara signifikan adalah jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA Afifah, I. L., 2015, Pengaruh Musik Tradisional Jawa Tengah Terhadap Situational awareness, Heart Rate, dan Risk behavior pada Pengendara Mobil, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadajah Mada. Badan Pusat Statistika, 2013, Jumlah Kecelakaan, Korban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan Kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2013, [Online, diakses tanggal 28 September 2015]. URL: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1415 Belford, Z., Neher, C., Pernsteiner, T., Stoffregen, J., dan Tariq, Z., 2013, Music and physical performance: The effects of different musik genres on physical performance as measured by the heart rate, electrodermal arousal, and maximum grip strength, Physiology. Bellinger, D. B., Budde, B. M., Machida, M., Richardson, G. B., dan Berg, W. P., 2009, The effect of cellular telephone conversation and music listening on response time in braking, Transportation Research, Vol. 12, pp. 441-451.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-6
Pengaruh Jenis Musik Dan Volume Suara Terhadap Situational Awareness Pengemudi
Bottiroli, S., Rosi, A., Russo, R., Vecchi, T., dan Cavallini, E., 2014, The cognitive effects of listening to background music on older adults: processing speed improves with upbeat music, while memory seems to benefit from both upbeat and downbeat music, Aging Neuroscience, Vol. 6. Brodsky, W., 2002, The effect of music tempo on simulated driving performance and vehicular control, Transportation Research, Vol. 4, pp. 219–241. Campbell, D., 2001, Efek Mozart Bagi Anak-anak, Jakarta : Gramedia. Cheney, P., 2012, Men versus women: who are better drivers, [Online, diakses tanggal 13 Januari 2016]. URL: http://www.theglobeandmail.com/globe-drive/culture/commuting/men-vs-women-who-arebetter-drivers/article1389780/ Dalton, B. H., dan Behm, D. G., 2007, Effects of noise and music on human and task performance: A systematic review, Occupational Ergonomics, pp. 143-152 Dibben, N., dan Williamson, V. J., 2007, An exploratory survey of in-vehicle music listening, Psychology of Music, Vol. 35, Iss. 4, pp. 571-589 Dolegui, A. S., 2013, The Impact of Listening to Music on Cognitive Performance, Phsycology, Vol. 5. Endsley, M. R., 1995, Toward a Theory of Situation Awareness in Dynamic Systems, Human Factors, Vol. 37, No. 1, pp. 32 – 64. Endsley, M. R., Selcon, S. J., Hardiman, T. D., dan Croft, D. G., 1998, A Comparative Analysis of SAGAT and SART for Evaluation of Situational awareness, Human Factor and Ergonomic Society, Vol. 42. Endsley, M. R., dan Garland, D. J., 2000, Direct Measurement of Situational awareness: Validity and Use of SAGAT, Situational Analysis and Measurement. Fauzi, H. D., dan Mulyadi, 2015, Seni Budaya, Bandung : Yrama Widya. Fatimahhayati, L. D., 2013, Pengaruh Musik Tradisional Indonesia Sebagai Musik Background terhadap Denyut Jantung , Stroop Test, dan Short Term Memori, Tesis, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. Gozali, M., 2013, Analisis Hubungan antara Situational Awareness dengan Perilaku Beresiko pada Pengendara Mobil, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. Hadiyan, T., 2014, Kajian Eksperimen Pengaruh Physical Workload dan Kepadatan Lalu Lintas Terhadap Situational awareness dan Risk behavior Pengendara Mobil, Skripsi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. Herbert, G., 2011, Study says women are worse drivers, get in more crashes despite driving less than men, [Online, diakses pada 13 Januari 2016]. URL: http://www.syracuse.com/news/index.ssf/2011/07/women_worse_drivers_more_crashes_than_me n_less_driving.html Koskinen-Kannisto, A., 2013, Situational Awareness Concept in A Multinational Collaboration Environement, Doctoral Dissertation, Department of Military Technology, National Defense University. Pêcher C., Lemercier, C., dan Cellier, J. M., 2009, Emotions drive attention: effects on driver’s behavior, Safety Science, Vol. 47, pp. 1254-1259. Phillips, S., 2011, Men and Women Drivers: The Gender Devide, [Online, diakses tanggal 13 Januari 2016]. URL: http://blogs.psychcentral.com/healing-together/2011/07/men-and-women-drivers-thegender-divide/ Schellenberg, E. G., dan Weiss, M. W., 2102, Music and Cognitive Abilities, Physiological Science. Soedarsono, 1992, Pengantar Apresiasi Seni, Jakarta: Balai Pustaka. Stasi, L. L. D., Valbuena, V. A., Caňas, J. J., Maldonado, A., Catena, A., Antolí, A., Candido, A., 2009, Risk behavior and mental work load: Multidimensional assessment techniques applied to motorbike riding simulation, Transportation Research, Vol. 12, pp. 361-370. Tauhid, M. F., 2013, Pengaruh Intensitas Suara Musik Pop Terhadap Situational awareness dan Risk Behaviour Pengendara Mobil, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ünal, A. B., Steg, L., dan Epstude, K., 2012, The influence of music on mental effort and driving performance, Accident analysis and prevention, Vol. 48, pp. 271–278. Ünal, A. B., Waard, D. D., Steg, L., dan Epstude, K., 2013, Driving with music: Effect on arousal and performance, Transportation research, Vol. 21, pp. 52-65. Zwaag, M. D. V. D., Dijksterhuis, C., Waard, D. D., Mulder, B. L. J. M., Westerink, J. H. D. M., dan Brookhuis, K. A., 2012, The influence of music on mood and performance while driving, Ergonomics, Vol. 55, No. 1, pp. 12-22.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-7
Petunjuk Sitasi: Yogasara, T., & Loanda, J. (2017). Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B8-17). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience (1), (2)
Thedy Yogasara(1), Janice Loanda(2) Program Studi Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 (1)
[email protected], (2)
[email protected] ABSTRAK
Berbagai produk berteknologi mutakhir terus bermunculan mengubah persepsi dan preferensi masyarakat dalam memilih produk. Konsumen tidak lagi hanya melihat sisi pragmatis dari suatu produk, tetapi juga aspek hedonis. Salah satu produk inovatif yang mulai dikenal oleh konsumen adalah bottom-loading dispenser, dimana kemudahan pemasangan galon air pada dispenser ini menjadi hal yang menarik. Bottom-loading dispenser saat ini sudah menyediakan fungsi inti sesuai kebutuhan penggunanya. Namun demikian, persepsi pengguna perlu didalami untuk mengetahui pengalaman (experience) seperti apa yang dihadirkan oleh bottom-loading dispenser, sehingga performansi produk dapat lebih baik lagi dari segi pragmatis maupun hedonis. Untuk mengumpulkan informasi mengenai bottom-loading dispenser yang mengutamakan user experience, dilakukan studi literatur mengenai unsur-unsur user experience. Selain itu, pengumpulan data secara empiris berupa bentuk-bentuk interaksi antara produk dan pengguna diperoleh melalui studi diary. Dengan menggunakan qualitative content analysis, diary responden kemudian diberi kode sesuai unsur user experience, yaitu unsur pragmatis dan hedonis dari penggunaan produk. Hasil coding diary menunjukkan bahwa aspek pragmatis dari produk bottomloading dispenser lebih dominan, sedangkan aspek hedonis yang menonjol pada bottomloading dispenser hanya meliputi faktor identifikasi dan stimulasi. Relasi aspek pragmatis dan hedonis memungkinkan perbaikan rancangan yang meningkatkan kedua aspek tersebut secara simultan. Analisis diary juga menghasilkan kriteria perancangan bottomloading dispenser yang memperhatikan aspek pragmatis dan hedonis. Kriteria tersebut dijadikan dasar perancangan dua konsep dispenser. Konsep terpilih menghasilkan rancangan produk usulan yang dievaluasi dengan metode interview. Rancangan produk usulan dinilai baik, dimana hasil evaluasi didominasi dengan konfirmasi positif mengenai pemenuhan kriteria perancangan dispenser yang berfokus pada user experience. Kata kunci: hedonis, perancangan produk, pragmatis, studi diary, usability, user experience
I. PENDAHULUAN Era globalisasi yang diiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern mendorong hadirnya berbagai produk inovatif. Kehadiran produk-produk tersebut menimbulkan fenomena baru, yaitu berkembangnya cara pandang dan preferensi konsumen dalam memilih produk dari ragam produk sejenis yang tersedia. Konsumen tidak lagi hanya melihat sisi fungsional dasar dari suatu produk, tetapi juga mempertimbangkan aspek desain, inovasi tambahan, dan afeksi yang dirasakan selama berinteraksi dengan produk tersebut (Bargas-Avila & Hornbæk, 2011; Jordan, 2000; Väänänen-Vainio-Mattila, et al., 2008). Untuk menjawab tuntutan konsumen modern tersebut, produsen produk dapat merancang inovasi atau melakukan improvisasi. Kedua cara tersebut tidak sekedar dilakukan dengan tujuan utama yang berpusat pada peningkatan teknologi, tetapi juga memfokuskan proses perancangan pada konsumen yang berperan sebagai pengguna. Tuntutan perbaikan terhadap produk berdasarkan kebutuhan penggunanya terjadi pada banyak produk, khususnya produk yang digunakan dengan intensitas tinggi, seperti meja dan kursi, laptop, dispenser, smartphone, dan produk lain yang sering atau rutin digunakan sehari-hari. Pada penelitian ini, produk dispenser dipilih sebagai obyek studi karena fungsinya digunakan oleh banyak kategori pengguna, dimana
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-8
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
dispenser juga termasuk dalam jenis produk yang berinteraksi intens dengan penggunanya. Dispenser air minum awalnya memposisikan galon air secara terbalik, namun kini mulai banyak produk dispenser yang memposisikan galonnya secara tegak di bagian bawah (bottom-loading). Dibandingkan dengan dispenser jenis konvensional, bottom-loading dispenser lebih memberikan kemudahan bagi pengguna dalam berinteraksi dengan produk. Akan tetapi, produk tersebut masih memiliki kekurangan dari sisi fungsi ataupun sisi afeksi, yang dapat teridentifikasi setelah pengguna mengalami interaksi langsung. Penelitian terhadap bottom-loading dispenser dalam rangka memaksimalkan kualitas produk dilakukan dengan menjadikan user experience (UX) sebagai fokus utama. UX dapat didefinisikan sebagai persepsi dan respon seseorang yang dihasilkan dari penggunaan dan/atau antisipasi penggunaan suatu produk, sistem, atau jasa (ISO 9241-210, 2010). Sedangkan menurut Sutcliffe (2010, h. 3), UX adalah penilaian (judgment) pengguna terhadap kualitas produk, yang muncul dari pengalaman berinteraksi dan kualitas desain produk yang menghasilkan penggunaan efektif dan kesenangan. Fokus terhadap UX ditentukan selain berdasarkan intensitas interaksi antara produk dan pengguna yang tinggi serta tuntutan fokus desain produk di masa sekarang, juga disebabkan oleh kelemahan metode perancangan dan pengujian produk lain yang kebanyakan hanya dapat menangkap unsur-unsur fungsional (pragmatis) pada produk. Berbeda dengan metode lain yang umumnya hanya berfokus pada aspek usability suatu produk, metode yang fokus pada UX dapat menemukan hasil tidak terduga dan menyeluruh, karena metode UX lebih mengizinkan pengguna mengeksplorasi produk secara mendalam dan mengungkapkan hal-hal yang dirasakan dengan lebih bebas dalam konteks penggunaan sebenarnya. Hasil yang menyeluruh diperoleh karena penelitian dengan fokus UX menggali sedalam mungkin setiap persepsi konsumen sejak awal mengenal produk hingga mereka memahami dengan baik produk tersebut, baik aspek pragmatis maupun hedonisnya (Hassenzahl, 2003, 2004). Atribut pragmatis berkaitan dengan kemampuan produk untuk membantu pengguna mencapai tujuannya. Atribut pragmatis lebih mengukur atau mementingkan keberhasilan suatu produk untuk berfungsi (utility) dan keberhasilan pengguna untuk menggunakan fungsi (usability) produk tersebut (Hassenzahl, 2003, 2004). Sedangkan atribut hedonis berkaitan dengan bagaimana produk dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologis pengguna, dimana atribut hedonis dibagi menjadi tiga, yaitu identifikasi, stimulasi, dan evokasi (Hassenzahl, 2003, 2004). Identifikasi berkaitan dengan kemampuan produk menunjukkan identitas diri pengguna, termasuk membantu pengguna membentuk citra melalui produk (self-expression). Stimulasi merupakan bagaimana produk mampu menghadirkan perasaan tertentu, seperti kegembiraan (excitement) dan dorongan untuk belajar atau mengembangkan diri melalui produk. Evokasi berkaitan dengan kemampuan produk membangkitkan kenangan pengguna akan suatu kejadian (Hassenzahl, 2003). Terdapat berbagai metode evaluasi UX, diantaranya co-discovery, think-aloud protocols, wawancara, immersion (Jordan, 2000), experience diary (Karapanos, et al., 2009), kuesioner (Hassenzahl, 2004), dan teknik psycho-physiological (Mahlke & Thüring, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk merancang produk bottom-loading dispenser yang berfokus pada aspek user experience melalui metode studi diary (experience diary). II. METODE PENELITIAN Subbab ini menjelaskan dua metode utama yang digunakan pada penelitian ini. Pertama, metode studi diary yang diterapkan untuk mengumpulkan ragam interaksi pengguna dengan produk. Kedua, qualitative content analysis untuk mengolah hasil studi diary. A. Studi Diary Karapanos, et al. (2009) menggunakan studi diary dengan teknik Day Reconstruction Method (DRM), dimana responden diminta mengingat dan merekonstruksi kejadian yang dialami dalam satu hari menjadi suatu narasi di akhir hari tersebut atau di awal hari berikutnya. Rekonstruksi kejadian atau pengalaman yang berkaitan dengan produk dibuat dalam interval-interval waktu secara berurutan dan dituliskan setiap harinya, sehingga pengalaman pengguna dapat tercatat dengan rinci dan dalam, serta tidak hanya berupa pengalaman secara umum atau global saja. Karakteristik studi diary cocok untuk memperoleh data yang diungkapkan oleh partisipan secara natural. Partisipan hanya diarahkan untuk menuliskan pengalamannya berinteraksi secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-9
Yogasara dan Loanda
langsung atau tidak langsung dengan produk, dengan ketentuan minimal satu pengalaman per hari. Dengan ketentuan tersebut, dapat diperoleh informasi yang andal mengenai individu dan perubahan perilaku pengguna serta perbedaan antar pengguna. Akan tetapi, pada pelaksanaan studi diary diperluk an komitmen dan dedikasi yang besar dari partisipan, juga training dan monitoring secara khusus dan berkelanjutan terhadap partisipan. Bolger, et al. (2003) menjelaskan bahwa studi diary memiliki dua tipe desain yang umum diterapkan pada penelitian, yaitu desain diary berdasarkan waktu (time-based design) dan berdasarkan kejadian (event-based design). Time-based design diterapkan pada penelitian ini karena diary tipe tersebut cocok untuk memantau perilaku atau interaksi individu pada jenis aktivitas atau waktu tertentu. Data dari diary ini umumnya memiliki resiko cukup tinggi untuk mengandung bias akibat retrospeksi atau kemampuan partisipan dalam mengingat keseluruhan pengalamannya selama berinteraksi dengan produk (Bolger, et al., 2003). Akan tetapi, hal tersebut dapat diatasi dengan pelaksanaan penulisan diary dalam jangka waktu yang cukup panjang. Waktu yang memadai memberikan peluang bagi peneliti untuk menangkap variasi perilaku pengguna seiring perubahan waktu. Pada penelitian ini, diary didesain berdasarkan teknik DRM dan tipe time-based serta menggunakan format elektronik (file Microsoft Word). Desain diary tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Desain Diary Untuk pengumpulan data, 6 responden (2 pria, 4 wanita) direkrut menggunakan teknik convenience sampling. Responden berusia 18-50 tahun dan seluruhnya merupakan pengguna bottom-loading dispenser dengan jangka waktu pemakaian produk berkisar 3 minggu hingga 30 bulan. Setiap responden selama 14 hari berturut-turut diminta untuk menuliskan minimal satu pengalaman atau kejadian per hari, termasuk perasaan positif dan negatif yang timbul, terkait dengan penggunaan bottom-loading dispenser dalam bentuk cerita atau narasi menggunakan format diary seperti pada Gambar 1. Partisipan diminta untuk menyerahkan hasil pengisian diary secara bertahap pada hari ke-3, ke-6, ke-9, ke-12, dan ke-14. Pada setiap saat penyerahan tersebut, dilakukan wawancara untuk memperjelas atau mengklarifikasi narasi yang telah dituliskan, dan hasil wawancara tersebut dituliskan dalam kolom „deskripsi tambahan‟ pada format diary. B. Qualitative Content Analysis Creswell (2007) menyatakan bahwa suatu penelitian kualitatif adalah proses pemahaman terhadap suatu fenomena dan masalah manusia, dimana peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata atau laporan dari sudut pandang responden, dan melakukan pengamatan pada kondisi natural. Neuman (1997, dalam Macnamara, 2005) menggolongkan content analysis sebagai metode kunci untuk penelitian tanpa interupsi. Hsieh & Shannon (2005) mengkategorikan 3 jenis pendekatan content analysis untuk menginterpretasikan makna dari isi teks (Tabel 1). Directed content analysis merupakan pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini. Pendekatan tersebut bertujuan untuk melengkapi teori atau penelitian yang sudah ada mengenai suatu fenomena, juga memvalidasi suatu kerangka teori atau teori. Teori atau penelitian yang sudah ada dapat membantu memfokuskan pertanyaan dan hal yang ingin diteliti. Pada penelitian ini, teori aspek pragmatis dan hedonis dari user experience yang dikemukakan Hassenzahl (2003, SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-10
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
2004) dijadikan sebagai acuan. Aspek tersebut dapat memprediksi variabel kepentingan atau hubungan antar variabel, sehingga berguna untuk menentukan skema kode (coding scheme) awal. Tabel 1. Tiga Jenis Pendekatan Content Analysis
(Sumber: Hsieh dan Shannon, 2005)
Pada content analysis, pemberian kode terhadap data sangatlah krusial. Karapanos, et al. (2009) menjelaskan dua jenis pengodean, yaitu open coding dan axial coding. Open coding merupakan pemberian kode dimana peneliti mengidentifikasi tema-tema kunci dari pengalaman yang ada tanpa memikirkan kategori-kategori terlebih dahulu. Sedangkan axial coding merupakan proses dimana fenomena hasil open coding dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pada penelitian ini dibentuk skema kode awal berdasarkan studi literatur dan karakteristik produk yang diteliti. Skema kode awal terdiri dari 5 kode yang merupakan anggota kategori pragmatis (efektivitas, efisiensi, keamanan, learnability, dan memorability) dan 3 kode anggota kategori hedonis (identifikasi, stimulasi, dan evokasi). Selain itu, kelima kode pragmatis memiliki 4 sub-kode (bottom-loading, display, pemanas, dan pendingin). Masing-masing kode dan subkode tersebut memiliki definisi dan cakupan (scope) yang akan memandu pengkodean pernyataan responden dari diary. Proses pemberian kode dimulai dengan membaca kalimat-kalimat dalam diary dan menandai kalimat yang menunjukkan adanya pembahasan tentang aspek pragmatis maupun hedonis dari penggunaan produk. Selanjutnya, kalimat tersebut diberi kode sesuai dengan kecocokannya dengan cakupan kode awal yang sudah ditentukan. Keseluruhan proses pemberian kode dibantu dengan software NVIVO 10. Berdasarkan hasil pengkodean diary dari 6 responden, terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai untuk dikodekan dengan skema kode awal, sehingga ditambahkan beberapa kode dan sub-kode baru. Skema kode final dapat dilihat pada Tabel 2. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dijelaskan hasil dari studi diary, hasil pengolahan diary dengan qualitative content analysis, dan perancangan produk bottom-loading dispenser. A. Hasil Diary Study Diary diisi oleh 6 responden dengan latar belakang dan usia yang bervariasi, sehingga lebih luas cakupan persepsi dan pengalaman yang muncul dan terkumpul dari interaksi pengguna dengan dispenser. Hasil diary yang terkumpul selama 14 hari dari masing-masing partisipan kemudian digabungkan dan dijadikan sebagai sumber data primer. Contoh potongan diary responden terdapat pada Tabel 3. B. Hasil Content Analysis Proses coding dilakukan dengan bantuan software NVIVO 10 dengan menyesuaikan konten diary terhadap cakupan kode. NVIVO 10 juga membantu merekapitulasi konteks dan frekuensi kode, serta mencari relasi kode. Namun demikian, ketelitian dan konsistensi penelitilah yang menentukan kualitas hasil analisis. Contoh proses coding dapat dilihat pada Tabel 4. Tulisan tebal pada baris pertama sesuai dengan cakupan kode efektivitas. Efektivitas fitur pemanas adalah inti dari pengalaman yang dibahas, sehingga kode dilengkapi sub-kode pemanas. Sub-kode ditambahkan agar perbaikan rancangan produk dapat sesuai sasaran. Rekapitulasi kode pragmatis dan hedonis dari keseluruhan diary dapat dilihat pada Tabel 5.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-11
Yogasara dan Loanda
Secara umum diketahui bahwa bottom-loading dispenser saat ini didominasi oleh atribut pragmatis yang positif, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Terdapat atribut hedonis, tetapi belum menonjol. Hassenzahl (2004) berargumen bahwa justru aspek hedonis dari produklah yang merupakan inti (core) dari positive user experience. Oleh karena itu, kondisi seperti pada Gambar 2 mendorong dilakukannya perancangan perbaikan untuk bottom-loading dispenser, karena akan lebih baik bila produk dapat memiliki keseimbangan antara aspek pragmatis dan hedonis. Keseimbangan tersebut akan memberi pengalaman yang unik bagi pengguna, sehingga pengguna dapat lebih loyal dan calon pengguna lebih tertarik untuk membayar harga yang setimpal demi pengalaman tersebut. Tabel 2. Skema Kode Final dari Kategori Pragmatis dan Hedonis KODE DAN SUB-KODE KATEGORI PRAGMATIS No Kode Cakupan 1 Efektivitas Kemampuan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk berfungsi sesuai tujuan yang seharusnya. 2 Efisiensi Kemampuan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk tidak hanya berfungsi seperti seharusnya, tetapi juga dengan benar, cepat, dan sesuai keinginan penggunanya. Kode 3 Error Kesalahan teknis bagian-bagian bottom-loading dispenser. 4 Keamanan Keamanan yang ditunjang oleh keseluruhan bagian bottom-loading dispenser. 5 Learnability Kemudahan atau kesulitan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk dimengerti di awal pemakaian. 6 Memorability Kemudahan atau kesulitan bagian-bagian bottom-loading dispenser untuk diingat (cara kerja dan fungsi) oleh pengguna. No Sub-Kode Cakupan 1 Alarm Alarm atau penanda pada bottom-loading dispenser. 2 Bottom-loading Sistem bottom-loading (galon bawah) dan bagian-bagian yang menunjang sistem bottom-loading, yaitu pompa, selang, dan pengunci mulut galon. 3 Display Gambar dan warna simbol, layar interaktif dan light (bila ada), dan panel kontrol Sub(tombol, keran, dan safety lock) yang terdapat pada dispenser. Kode 4 Kerangka Fisik Bentuk kerangka fisik, pintu galon, dan berat keseluruhan dispenser. 5 Pemanas Pemanas air pada dispenser. 6 Pendingin Pendingin air pada dispenser. 7 Tangki Fungsi dan ukuran dari tangki penampung air panas, air dingin, dan air biasa. 8 Tray Fungsi dan ukuran tray pada dispenser. KODE KATEGORI HEDONIS No Kode Cakupan 1 Identifikasi Hal-hal pada bottom-loading dispenser yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna untuk menunjukkan identitas diri, membentuk citra, atau berkomunikasi melalui produk. 2 Stimulasi Hal-hal seperti keunikan, kebaruan, atau fungsi dan fitur pada bottom-loading Kode dispenser yang menstimulasi pengguna untuk merasakan emosi positif (kesukaan, kegembiraan, ketertarikan, atau dorongan bagi pengguna untuk melakukan pengembangan pribadi) atau emosi negatif (kesal, tidak suka, atau tidak peduli). 3 Evokasi Hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan produk bottom-loading dispenser untuk membangkitkan memori tentang perasaan atau kejadian di masa lalu.
Tabel 3. Potongan Diary Responden Hari 4-1
Jam 20.0000.00
4-2
20.0000.00
RESPONDEN 4 Pengalaman/Kejadian Saya dan anak laki-laki saya suka membuat mie instan di malam hari untuk dimakan sambil menonton DVD. Anak saya mengusulkan untuk menggunakan air panas dispenser agar lebih cepat. Tetapi sayang sekali tatakan penampung tetesan airnya sempit dan saya tidak bisa meletakkan panci kecil saya di sana, jadi saya harus terus memegang gagang panci sambil mengisi air panas. Adik saya yang dari Taiwan datang ke rumah, anak-anaknya masih berusia sekitar 7 atau 8 tahun. Mereka main kejar-kejaran. Mereka juga main buka-tutup kulkas, tekan-tekan tombol kipas angin, juga iseng di dekat dispenser sampai akhirnya menyenggol pengaman air panas. Untungnya tombol air panas hanya tertekan sedikit dan keluar airnya sedikit sekali, jadi anak itu tidak kenapa-kenapa. Bagusnya juga pengaman itu langsung balik ke posisi mengunci saat tombol pengeluar air sudah tidak ditekan.
SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-12
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
Keterangan: 4-1 pada kolom pertama menunjukkan responden 4 pada hari 1 Tabel 4. Contoh Proses Coding 2-9
20.0000.00
4-4
08.0012.00
Saya membuat sereal instan dan panasnya sepertinya sedang maksimal, jadi cepat sekali matangnya dan sereal-serealnya juga jadi empuk, bukannya alot karena airnya hangat-hangat saja. Sebelum berangkat ke toko hari ini, tiba-tiba alarm dispenser berbunyi. Saya langsung menelpon jasa delivery galon dekat rumah. Saat petugas antarnya datang, istri saya ke depan dan langsung membawa roda pengangkut galon. Istri saya bisa memasang galon sendiri dan tanpa harus berat mengangkat galon, tinggal dorong roda dan sudah ada jalur tanjakannya.
EfektivitasPemanas EfisiensiKerangka Fisik
Tabel 5. Rekapitulasi Frekuensi Kemunculan Kode No.
Kode
PRAGMATIS 1 Efektivitas 2 Efisiensi 3 Error 4 Keamanan 5 Learnability 6 Memorability HEDONIS 7 Identifikasi 8 Stimulasi 9 Evokasi
Frekuensi
Positif Persentase
Negatif Frekuensi Persentase
40 26 0 2 3 1
93,02% 50% 0% 66,67% 100% 100%
3 26 5 1 0 0
6,98% 50% 100% 33,33% 0% 0%
6 12 2
75% 42,86% 50%
2 16 2
25% 57,14% 50%
Gambar 2. Perbandingan Kemunculan Kode Pragmatis dan Hedonis Kode-kode anggota kategori hedonis (identifikasi, stimulasi, dan evokasi) sering kali muncul akibat adanya pengaruh aspek pragmatis. Oleh karena itu, relasi antara kedua jenis kode tersebut dapat dianalisis. Tabel 6 menunjukkan contoh relasi antara kode hedonis (identifikasi, yaitu rasa malu terhadap teman) dan kode pragmatis (efisiensi-bottom loading, yaitu suara dispenser saat memompa air). Rekapitulasi relasi antara kode hedonis dan pragmatis dapat dilihat pada Tabel 7. Tanda positif (+) dalam kolom „jenis relasi‟ pada Tabel 7 berarti bahwa konteks yang mendasari relasi merupakan hal positif mengenai dispenser, sedangkan tanda negatif (-) bermakna sebaliknya. Relasi antara kode pragmatis dan hedonis menunjukkan bahwa sebagian besar kode hedonis (82,5%) berkaitan dengan kode pragmatis. Hasil tersebut memungkinkan dilakukannya perancangan produk usulan yang memperbaiki aspek-aspek pragmatis sekaligus meningkatkan aspek-aspek hedonisnya. Perancangan yang demikian dapat meningkatkan positive user experience yang dihadirkan bottom-loading dispenser.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-13
Yogasara dan Loanda
Tabel 6. Contoh Relasi antara Kode Hedonis dan Kode Pragmatis 5-6
12.0016.00
Teman saya sedang datang ke rumah dan saat kita mengobrol di ruang tengah, dia sempat berkomentar “itu kenapa suaranya begitu amat ya?” saat dispenser sedang memompa air. Agak memalukan juga jadinya.
Tabel 7. Rekapitulasi Relasi Kode Hedonis dan Kode Pragmatis No. 1
2
Hedonis Identifikasi
Relasi Pragmatis Efektivitas-Bottom Loading
Stimulasi
Efisiensi-Bottom Loading Efisiensi-Kerangka FIsik Efektivitas-Alarm Efektivitas-Bottom Loading Efektivitas-Display Efektivitas-Kerangka Fisik Efektivitas-Tangki Efisiensi-Alarm Efisiensi-Bottom Loading
3
Evokasi
Efisiensi-Display Efisiensi-Kerangka Fisik Efisiensi-Pemanas Efisiensi-Tray Error-Bottom Loading Efektivitas-Bottom Loading Efisiensi-Bottom Loading
Jenis Relasi
Frekuensi
+ + + + + + + + + + -
4 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 2 1 2 4 3 1 1 1
Tabel 8. Kriteria Perancangan Bottom-Loading Dispenser Prioritas 1
Fitur Alarm
2
BottomLoading
3
Display
4
Kerangka Fisik
5
Pemanas
6 7
Pendingin Tangki
8
Tray
K.1 K.2 K.3 K.4 K.5 K.6 K.7 K.8 K.9 K.10 K.11 K.12 K.13 K.14 K.15 K.16 K.17 K.18 K.19 K.20 K.21 K.22 K.23 K.24 K.25 K.26 K.27 K.28 K.29 K.30 K.31 K.32 K.33 K.34 K.35 K.36
Kriteria Terus berbunyi sampai galon air diganti Bunyi alarm diselingi jeda (tidak mengganggu) Berbunyi di waktu yang tepat Menandai pintu tidak rapat Sistem alarm dapat dinon-aktifkan Mudah untuk mengganti galon air Pompa menghisap air dengan baik dan lancar Komponen mudah dibersihkan Selang dinamis (mudah disesuaikan) Bentuk pengunci galon air mudah disesuaikan Suara aktivitas pompa tidak mengganggu Menampilkan informasi sesuai kebutuhan Fungsi lengkap dan ditunjukkan dengan jelas Tampilan menarik Tombol mudah ditekan atau didorong Posisi dan bentuk simbol, gambar, atau tombol mudah dikenali dan umum (sesuai standar) Tombol air memungkinkan pengisian air dengan satu tangan Safety lock mengunci kembali secara otomatis Kokoh tetapi tetap mudah untuk dipindahkan Pintu galon air rapat dan mudah dibuka Bagian luar tidak mengalirkan panas/arus listrik Menunjang proses perawatan dan pemasangan galon air Bagian atas berbentuk datar Bentuk atau jarak antar bagian proporsional Bentuk kerangka unik dan modern Kombinasi warna permukaan luar kerangka menarik dan terdiri dari beberapa pilihan Rancangan memungkinkan pengguna berkreasi Selalu stand-by menyediakan air panas Temperatur sesuai Suara aktivitas pemanas tidak mengganggu Pemanas dapat dinon-aktifkan Temperatur sesuai Berkapasitas besar Mampu menjaga kondisi air Menggunakan bahan yang aman (tidak berbahaya, beracun, dan berbau) Berkapasitas besar
SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-14
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
Keterangan: kriteria yang diberi garis bawah menunjukkan kriteria yang sudah terpenuhi pada beberapa jenis bottomloading dispenser yang dimiliki oleh responden.
C. Perancangan Bottom-Loading Dispenser Pemberian kode pada diary dan pencarian relasi kode menghasilkan konteks-konteks yang diterjemahkan atau diinterpretasikan menjadi 36 kriteria perancangan bottom-loading dispenser (Tabel 8). Dengan mengambil contoh pada Tabel 6, relasi antara kode hedonis (identifikasi) dan kode pragmatis (efisiensi-bottom loading) dengan konteks „rasa malu pemilik dispenser akibat suara pompa air yang keras‟ dapat diterjemahkan menjadi kriteria perancangan untuk fitur bottom loading, yaitu „suara aktivitas pompa tidak mengganggu‟ (kriteria K.11 pada Tabel 8). Kriteria hasil interpretasi konteks yang disesuaikan dengan fitur (sub-kode) tersebut digunakan untuk merancang dua alternatif produk (Gambar 3). Alternatif pertama lebih mengutamakan unsur minimalis, sedangkan alternatif kedua lebih mengutamakan unsur high-technology dalam mewujudkan kriteria perancangan yang sudah ditentukan.
Gambar 3. Rancangan Alternatif Pertama (Kiri) dan Alternatif Kedua (Kanan)
Enam responden dari studi diary sebelumnya kembali dilibatkan dalam proses pemilihan alternatif rancangan dispenser. Mereka diminta untuk memberikan score dengan skala 1 sampai 5 (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=biasa, 4=baik, 5=sangat baik) terhadap kedua alternatif sesuai dengan 8 kriteria pemilihan. Masing-masing kriteria pemilihan diberikan bobot yang menunjukkan tingkat kepentingan kriteria tersebut. Score yang diberikan oleh responden untuk suatu kriteria selanjutnya dikalikan dengan bobot kriteria tersebut untuk memperoleh score terbobot, dan akhirnya ditotalkan dengan score terbobot dari kriteria lainnya. Tabel 9 menunjukkan contoh hasil scoring dari responden 1. Berdasarkan hasil scoring dari 6 responden, rancangan alternatif pertama dan kedua secara berturut-turut memperoleh score terbobot total 71,35 dan 84,1, sehingga alternatif kedua merupakan rancangan produk terpilih. Tabel 9. Hasil Scoring Alternatif Rancangan dari Responden 1 No 1 2 3 4 5 6 7
8
Selection Criteria Desain fisik dan fitur efektif Desain fisik dan fitur efisien Desain fisik dan fitur aman Kegunaan dan cara pakai display mudah dipelajari dan dimengerti Kegunaan dan cara pakai display mudah diingat Dispenser menunjukkan identitas atau citra user Dispenser menarik user untuk mempelajari dan terus menggunakan produk Dispenser mengingatkan pada kejadian masa lalu yang menyenangkan Total Score
Alternatif 1 Score Terbobot 0,45 0,6 0,45
Alternatif 2 Score Terbobot 0,6 0,6 0,45
Bobot (%) 15 15 15
Score 3 4 3
10
4
0,4
4
0,4
10
4
0,4
5
0,5
15
2
0,3
4
0,6
15
3
0,45
3
0,45
5
3
0,15
3
0,15
10,7
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-15
Score 4 4 3
14,45
Yogasara dan Loanda
Rancangan final (Gambar 4) merupakan rancangan alternatif kedua yang dikombinasikan dengan fitur alarm dan alas galon dari alternatif satu. Keputusan untuk mengkombinasikan dua fitur tersebut diperoleh dari evaluasi hasil scoring dan wawancara. Wawancara menggali lebih dalam dasar atau alasan dari penilaian responden saat scoring. Rancangan final (berupa virtual prototype) dievaluasi dengan metode wawancara yang mengandung 10 buah pertanyaan (Tabel 10). Enam responden baru (2 pria, 4 wanita, usia 20-54 tahun, dan pengguna bottom-loading dispenser) dilibatkan dalam evaluasi rancangan. Hasil evaluasi yang diperoleh berupa konfirmasi positif mengenai ketersediaan aspek pragmatis dan hedonis yang ada pada rancangan. Fitur dan fisik rancangan dispenser dinilai sudah efektif, efisien, dan aman. Dispenser memiliki display yang lengkap, jelas, dan mudah diingat. Selain aspek pragmatis, aspek hedonis yang dinilai pada rancangan ini adalah dispenser mampu menunjukkan identitas pengguna dan menarik untuk terus digunakan. Akan tetapi, dispenser ini lemah pada unsur evokasi, yaitu tidak secara khusus mampu memicu kenangan pengguna terhadap suatu kejadian menyenangkan di masa lalu. Desain dispenser yang minimalis juga dinilai menarik, modern, dan mewah. Secara keseluruhan, persentase responden yang memberikan respon positif terhadap 10 atribut rancangan dispenser adalah sebagai berikut: efektivitas (100%), efisiensi (100%), keamanan (100%), learnability (66,7%), memorability (100%), identifikasi (83,3%), stimulasi (100%), evokasi (16,7%), desain/tampilan (100%), pemenuhan kebutuhan dan keinginan pengguna (100%).
Gambar 4. Rancangan Final Produk Bottom-Loading Dispenser Tabel 10. Pertanyaan Wawancara untuk Evaluasi Rancangan Final 1. 2. 3. 4.
Apakah desain fisik dan fitur dispenser ini sudah efektif? Sebutkan bagian secara spesifik dan jelaskan alasan Anda. Apakah desain fisik dan fitur dispenser ini sudah efisien? Sebutkan bagian secara spesifik dan jelaskan alasan Anda. Apakah desain fisik dan fitur dispenser aman? Sebutkan bagian secara spesifik dan jelaskan alasan Anda. Apakah display menunjukkan informasi yang lengkap dan mudah dipelajari kegunaan serta cara kerjanya? Jelaskan alasan Anda. 5. Apakah kegunaan dan cara kerja display pada dispenser mudah diingat? Jelaskan alasan Anda. 6. Apakah dispenser mampu menunjukkan identitas diri atau citra dari penggunanya? Jelaskan alasan Anda. 7. Apakah dispenser menarik pengguna untuk terus menggunakan produk tersebut? Jelaskan alasan dengan lengkap. 8. Apakah dispenser mampu membangkitkan ingatan pengguna pada kejadian menyenangkan di masa lalu? Jelaskan. 9. Apakah dispenser memiliki tampilan atau desain keseluruhan yang menarik? Sebutkan dan jelaskan alasan dengan lengkap. 10. Apakah rancangan dispenser ini memenuhi kriteria bottom-loading dispenser yang sesuai kebutuhan dan keinginan pengguna?
IV. KESIMPULAN Hal yang dapat diidentifikasi dari pengamatan user experience dalam penggunaan bottomloading dispenser melalui studi diary adalah produk bottom-loading dispenser lebih menghadirkan pengalaman yang mengandung aspek pragmatis daripada hedonis. Sebagian besar pernyataan dalam diary menilai produk bottom-loading dispenser secara positif. Aspek pragmatis yang unggul di mata responden adalah efektivitas, keamanan, learnability, dan memorability. Sedangkan aspek hedonis yang unggul menurut penilaian responden adalah identifikasi. Aspek hedonis evokasi merupakan unsur yang paling lemah. Berdasarkan hasil pengolahan diary, juga ditemukan adanya relasi antara aspek pragmatis dengan hedonis. Oleh karena itu, dengan SSNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-16
Aplikasi Studi Diary untuk Perancangan Produk Berdasarkan Aspek User Experience
memperkuat unsur-unsur pragmatis pada rancangan, aspek hedonis pada bottom-loading dispenser juga sekaligus dapat meningkat. Kriteria perancangan dihasilkan dari interpretasi konteks-konteks yang melatar-belakangi kemunculan suatu kode pragmatis dan hedonis. Kriteria yang diutamakan adalah kriteria yang mempengaruhi banyak kode, kriteria yang sudah dinilai positif oleh pengguna, dan terakhir adalah kriteria yang berupa perbaikan. Hasil evaluasi terhadap rancangan usulan menunjukkan desain dan bahan kerangka luar, modifikasi setiap fitur, dan cara kerja fitur telah berhasil menyajikan aspek pragmatis dan hedonis dari bottom-loading dispenser yang dapat menghadirkan positive user experience. Akan tetapi, aspek hedonis-evokasi memang tetap tidak menonjol dari produk dispenser. Hal ini dapat disebabkan jangka waktu penggunaan produk oleh responden yang belum terlalu lama, responden tidak berinteraksi secara langsung dengan rancangan produk (hanya digunakan virtual prototype), dan dibutuhkannya konteks penggunaan yang khusus. Penelitian selanjutnya dengan fokus user experience dapat menggunakan produk yang mengandung aspek pragmatis (usability) dan hedonis (identifikasi, stimulasi, dan evokasi) yang lebih seimbang. Hal itu dapat diwujudkan dengan memilih produk yang tidak hanya dibutuhkan untuk beraktivitas, tetapi juga diinginkan untuk pemenuhan diri, seperti smartphone, kamera, laptop, dan lain-lain. Dengan demikian, evokasi yang tidak dominan pada penelitian ini dapat lebih terlihat. Pada tahap pengumpulan data, pelaksanaan studi diary dapat dilakukan dengan periode yang lebih panjang untuk menangkap peristiwa-peristiwa yang mungkin lebih beragam dan untuk melihat perubahan perilaku pengguna dengan lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Bargas-Avila, J. A. & Hornbæk, K., 2011, “Old Wine in New Bottles or Novel Challenges: A Critical Analysis of Empirical Studies of User Experience”, dalam Proceedings of the Annual Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'11, hlm. 2689-2698, New York: ACM Press. Bolger, N.; Davis, A. & Ravaeli, E., 2003, “Diary Methods: Capturing Live as it is Lived”, Annual Review of Psychology, Vol. 54, hlm. 579-616. Creswell, J.W., 2007, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Approaches, 2nd Ed., Thousand Oaks, California: Sage. Hassenzahl, M., 2003, “The Thing and I: Understanding the Relationship between User and Product”, dalam Blythe, M. A.; Overbeeke, K.; Monk, A. F. & Wright, P. C. (Editor), Funology: From Usability to Enjoyment, hlm. 31-42, Boston: Kluwer Academic Publishers. Hassenzahl, M., 2004, “The Interplay of Beauty, Goodness, and Usability in Interactive Products”, HumanComputer Interaction, Vol. 19 No. 4, hlm. 319-349. Hsieh, H.-F. & Shannon, S. E., 2005, “Three Approaches to Qualitative Content Analysis”, Qualitative Health Research, Vol. 15 No. 9, hlm. 1277-1288. ISO 9241-210, 2010, Ergonomics of Human System Interaction - Part 210: Human-Centred Design for Interactive Systems, Switzerland: International Organization for Standardization (ISO). Jordan, P. W., 2000, Designing Pleasurable Products: An Introduction to the New Human Factors, London: Taylor & Francis. Karapanos, E.; Zimmerman, J.; Forlizzi, J. & Martens, J.-B., 2009, “User Experience Over Time: An Initial Framework”, dalam Proceedings of the 27th International Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'09, hlm. 729-738, New York: ACM Press. Macnamara, J., 2005, “Media Content Analysis: Its Uses, Benefits and Best Practice Methodology”, Asia Pacific Public Relations Journal, Vol. 6 No. 1, hlm. 1-34. Mahlke, S. & Thüring, M., 2007, “Studying Antecedents of Emotional Experiences in Interactive Contexts”, dalam Proceedings of the International Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'07, hlm. 915-918, New York: ACM Press. Sutcliffe, A., 2010, Designing for User Engagement: Aesthetic and Attractive User Interfaces, San Rafael, California: Morgan & Claypool Publishers. Väänänen-Vainio-Mattila, K.; Roto, V. & Hassenzahl, M., 2008, “Now Let's Do It in Practice: User Experience Evaluation Methods in Product Development”, dalam Extended Abstracts of the International Conference on Human Factors in Computing Systems - CHI'08, hlm. 3961-3964, New York: ACM Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-17
Petunjuk Sitasi: Dewi, L. T., & Dantes, K. (2017). Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Industri Kecil. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B18-23). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Industri Kecil (1), (2)
Luciana Triani Dewi(1), Kevin Dantes(2) Program Studi Teknik Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 43 Yogyakarta (1)
[email protected], (2)
[email protected]
ABSTRAK Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Pemerintah Republik Indonesia memberikan aturan bagi setiap industri untuk menyediakan dan mewajibkan penggunaan APD bagi pekerja. Namun faktanya, banyak ditemui industri yang tidak mematuhi aturan tersebut, terlebih industri skala mikro-kecil. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi penggunaan APD pada pekerja suatu industri kecil yang melibatkan mesin, perkakas dan instalasi yang berpotensi bahaya pada pekerja. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab pekerja tidak mematuhi penggunaan APD dan menganalisis pengaruh penggunaan APD pada hasil kerja. Metode yang digunakan adalah kuesioner terstruktur untuk identifikasi respon pekerja terhadap APD dan uji statistik paired t-test untuk menentukan signifikansi perbedaan hasil kerja menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil studi menunjukkan pekerja tidak nyaman menggunakan APD saat beraktivitas dan terdapat perbedaan signifikan hasil kerja saat menggunakan APD dan tanpa APD, dimana hasil kerja lebih baik saat tanpa APD. Rekomendasi diberikan untk mengevaluasi APD yang disediakan serta kebijakan dalam penentuan target produksi dengan memperhatikan kelonggaran akibat penggunaan APD. Kata kunci— alat pelindung diri, industri kecil, keselamatan dan kesehatan kerja
I. PENDAHULUAN Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri mendefinisikan alat pelindung diri (APD) sebagai suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Menurut PER.08/MEN/VII/2010 pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja dan APD wajib digunakan di tempat kerja dengan kondisikondisi khusus, diantaranya tempat kerja yang menggunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan. Namun pada kenyataannya, fakta menunjukkan banyak terjadi pelanggaran dan penyimpangan dari aturan tersebut, terlebih di industri skala mikro kecil. Padahal industri mikro kecil tidak lepas dari potensi-potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja dalam menjalankan aktivitasnya. Permasalahan umum yang dihadapi industri terkait dengan APD dapat bersumber dari pihak manajemen maupun dari sisi pekerja. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan permasalahan dari pihak manajemen antara lain kelemahan dalam menerapkan strategi yang dapat mendukung dan memotivasi karyawan akan manfaat dan pentingnya APD (Andrews, 2000), permasalahan kebijakan dan pengawasan (Agustina & Khayan, 2014), manajemen dan lingkungan kerja (Atmanto, 2011). Permasalahan dari sisi pekerja antara lain faktor pengetahuan, sikap dan tindakan dalam menjalani program APD (Parimalam, Kamalamma, & Ganguli, 2007 ; Prasetyo, 2015) dan tipe kepribadian karyawan (Prasetyawati dkk, 2016). Studi ini dilakukan di sebuah industri kecil yang bergerak di bidang pemrosesan sheet metal dan berbagai pengerjaan logam. Dalam prosesnya melibatkan mesin-mesin, proses pengerjaan, proses penanganan material dan lingkungan kerja yang berpotensi bahaya bagi pekerjanya. Data SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-18
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil
historis menunjukkan seringnya terjadi cedera yang dialami pekerja akibat kejadian kecelakaan kerja. Cedera dapat terjadi dengan tingkat keparahan meningkat karena pekerja tidak menggunakan APD selama bekerja. Wawancara terbuka kepada pekerja teridentifikasi beberapa faktor penyebab pekerja tidak menggunakan APD selama bekerja. Pertama, pekerja tidak terbiasa bekerja dengan memakai APD dan merasa tidak nyaman jika bekerja menggunakan APD sehingga justru memperlama waktu kerja. Kedua, pekerja merasa tidak perlu menggunakan APD karena sudah mahir dan sangat menguasai pekerjaannya sehingga mampu menghindari bahaya. Ketiga, pekerja harus melakukan aktivitas yang beragam dalam pekerjaannya dengan beragam APD yang sesuai untuk setiap jenis aktivitas. Pekerja merasa APD akan memperlambat pekerjaan karena harus berkali-kali melepas dan menggunakan APD yang sesuai setiap berganti aktivitas kerja. Studi dilakukan dengan tujuan utama untuk menganalisis pengaruh penggunaan APD pada output yang dihasilkan pekerja. Hasil analisis dapat digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi kebijakan perusahaan terkait program APD yang diterapkan selama ini. Penelitian terdahulu menunjukkan hasil bahwa dengan penggunaan APD yang tepat akan memberikan perlindungan optimal pada penggunanya. APD memiliki peran penting dalam mengurangi bahaya kerja dan cidera, serta mengurangi dampak risiko kecelakaan yang mungkin terjadi pada lantai produksi (Afandi & Desrianty, 2014; Kwame, Kusi, & Lawer, 2014; Mitchual, Donkoh, & Bih, 2015). II. METODOLOGI A. Identifikasi Respon Pekerja Terhadap APD Kuesioner terstruktur digunakan sebagai instrumen untuk identifikasi respon pekerja terhadap kondisi dan pelaksanaan program APD saat ini. Sebagai responden adalah 11 (sebelas) orang pekerja bagian produksi. Kuesioner yang digunakan menggunakan skala Likert yaitu ukuran yang menyatakan seberapa setuju responden dengan pernyataan yang diberikan dengan 5 poin skala yaitu: 1 = sangat setuju, 2 = setuju, 3 = ragu-ragu, 4 = tidak setuju, 5 = sangat tidak setuju. Respon yang diidentifikasi meliputi 1) ketersediaan APD; 2) kondisi APD; 3) kebiasaan menggunakan APD; 4) problem kenyamanan saat penggunaan APD; 5) gangguan pergerakan karena APD dan 6) efek APD memperlambat kerja. Selanjutnya dilakukan analisis statistik deskriptif terhadap hasil jawaban responden untuk mengidentifikasi respon pekerja tentang APD. B. Analisis Pengaruh Penggunaan APD Terhadap Hasil Kerja Riset observasional dengan pendekatan cross sectional dilakukan untuk menguji pengaruh penggunaan APD terhadap hasil kerja. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaan APD dan variabel tak bebas adalah output yang dihasilkan pekerja. Penentuan sampel menggunakan judgement sampling dimana para pekerja yang dijadikan subjek penelitian telah mencapai usia produktif yaitu 15 tahun atau lebih berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014, Pasal 1 Butir 10. Subjek memiliki ketrampilan yang setara dan bekerja dalam kondisi sehat. Proses kerja yang diamati adalah proses pengerjaan produk engsel meja pingpong yang merupakan pesanan utama yang dikerjakan saat penelitian dilakukan. Jenis pekerjaan yang diuji adalah cutting (C), punching (P), bending (B), welding (W) dan grinding (G). Pengambilan data dilakukan saat subjek tidak menggunakan APD selama 5 (lima) hari kerja. Selanjutnya diberikan perlakuan pada subjek yaitu bekerja dengan menggunakan APD yang sesuai dengan setiap jenis pekerjaan yang dilakukan. Dilakukan uji coba selama 7 hari kerja dengan tujuan agar diperoleh data pada kondisi pekerja telah terbiasa bekerja dengan APD yang sesuai. Setelah masa uji coba, dilakukan pengambilan data saat subjek menggunakan APD selama 5 hari kerja. Analisis statistik paired t-test digunakan untuk menguji adanya perbedaan rata-rata hasil kerja tanpa APD dan hasil kerja menggunakan APD. Hipotesis yang diuji adalah H 0 : tidak terdapat perbedaan signifikan hasil kerja tanpa menggunakan APD dan hasil kerja menggunakan APD dan H1 : terdapat perbedaan signifikan hasil kerja tanpa menggunakan APD dan hasil kerja menggunakan APD. Tingkat signifikansi ditetapkan untuk p < 0,05.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-19
Dewi dan Dantes
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil skor respon pekerja terhadap kondisi dan program APD ditunjukkan pada Tabel 1. Terdapat 4 butir respon yang masuk kriteria level 5, yang artinya mutlak terjadi atau positif dirasakan oleh pekerja. Ada satu butir respon termasuk kriteria level 2 dan satu butir respon lainnya masuk kriteria level 3. Dari hasil identifikasi respon menunjukkan bahwa pekerja sangat tidak biasa menggunakan APD, APD sangat menyebabkan ketidaknyamanan dan mengganggu gerakan serta memperlama penyelesaian pekerjaan. Pekerja menyadari bahwa manajemen telah menyediakan APD untuk para pekerja. Untuk respon terhadap kondisi APD yang disediakan, pekerja tidak tahu (tidak paham) apakah APD yang disediakan layak atau tidak. No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1 Respon pekerja terhadap APD Skor Rating skor (%) Manajemen tidak menyediakan APD 17 30,91 APD yang disediakan tidak layak 25 45,45 Pekerja tidak terbiasa menggunakan APD 48 87,27 APD menyebabkan ketidaknyamanan saat 49 89,09 bekerja APD mengganggu gerakan kerja 49 89,09 Penggunaan APD memperlama pekerjaan 49 89,09 Butir
Level kriteria 2 3 5 5 5 5
Data output kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD ditunjukkan pada Tabel 2. Analisis paired t-test digunakan untuk menguji hipotesis perbedaan rata-rata output menggunakan APD dan tanpa APD, diolah dengan software Minitab. Hasil pengujian untuk pekerjaan Cutting menunjukkan hasil t(9) = 4,36 dengan p = 0,002 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Punching menunjukkan hasil t(19) = 3,45 dengan p = 0,003 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Bending menunjukkan hasil t(4) = 5,83 dengan p = 0,004 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Welding menunjukkan hasil t(9) = 5,85 dengan p = 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD. Hasil pengujian untuk pekerjaan Grinding menunjukkan hasil t(9) = 5,46 dengan p = 0,00 yang berarti terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa APD.
Tabel 2 . Hasil output tanpa APD dan memakai APD Rata-rata hasil (unit) Job Subjek Tanpa APD Memakai APD C1 483,4 460 C C2 482,4 465,8 P1 239,4 233,6 P2 241,2 237 P P3 236,6 232,8 P4 241 234,6 B B1 282,2 262,8 W1 193,6 166,6 W W2 191,6 170 G1 290,8 267 G G2 289,2 269,4
Hasil pengujian untuk seluruh job menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan hasil kerja dengan menggunakan APD dan tanpa menggunakan APD. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa penggunaan APD memberi dampak pada output yang dihasilkan pekerja. Data pada Tabel 2 menunjukkan rata-rata hasil output pada saat menggunakan APD menunjukkan nilai yang lebih SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-20
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil
rendah dibandingkan saat bekerja tanpa APD. Artinya dampak penggunaan APD yang ditunjukkan adalah menurunkan hasil output pekerja. Fenomena ini sesuai dengan respon pekerja yang menyatakan bahwa penggunaan APD menganggu kenyamanan bekerja dan memperlambat waktu kerja. Studi terdahulu menunjukkan hasil yang sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana penggunaan APD akan mempengaruhi kelonggaran (allowance) dalam proses penyelesaian kerja (Sugarda, Santiasih & Juniani, 2014). Oleh karena itu dilakukan investigasi lebih lanjut penyebab menurunnya hasil akibat penggunaan APD saat bekerja. Tabel 3 menunjukkan potensi bahaya kerja dan daftar APD yang digunakan pekerja. Berdasarkan analisis potensi bahaya di setiap jenis pekerjaan, pihak manajemen telah menyediakan jenis APD yang sesuai sebagai bentuk perlindungan pada pekerja. Identifikasi karakteristik dan spesifikasi setiap jenis APD dilakukan dengan observasi terhadap perilaku pekerja selama menggunakan APD untuk menelusuri sumber penyebab ketidaknyamanan akibat penggunaan APD. Tabel 3 Jenis-jenis potensi bahaya kerja dan APD yang digunakan APD yang Job Potensi bahaya digunakan Cutting Pisau potong & benda kerja tajam Safety shoes Punching Sarung tangan Gerak pisau potong naik turun Bending Lantai yang licin Serpihan material tajam Welding Percikan Api Safety shoes Sarung tangan Arus Listrik Apron Cahaya intensitas tinggi Masker (topeng) las Serpihan material tajam Benda kerja tajam Grinding Mata pisau gerinda yang tajam Safety shoes Kacamata Rotasi mata pisau gerinda Masker Arus listrik Debu serpihan material Serpihan material tajam di lantai & permukaan kerja
Berdasarkan observasi ditemukan permasalahan yang dihadapi pekerja terkait penggunaan sepatu pelindung (safety shoes). Pekerja menggunakan safety shoes tanpa dilengkapi dengan kaus kaki. Sementara jenis safety shoes yang digunakan adalah jenis yang berbahan tebal untuk melindungi kaki dari benda tajam, akibatnya kaki akan terasa panas dan berkeringat setelah beberapa saat bekerja. Dampak dari kondisi ini adalah pekerja merasakan gangguan dan ketidaknyamanan dalam bekerja serta gerakan langkah kaki menjadi terhambat. Terkait dengan penggunaan sarung tangan, ditemukan permasalahan yang diakibatkan jenis bahan sarung tangan yang tidak sesuai. Sarung tangan berbahan kain yang rapat dan tebal sehingga menyebabkan tangan terasa panas dan berkeringat setelah beberapa saat bekerja. Selain itu, sarung tangan yang digunakan juga mempersulit gerakan jari saat beraktivitas. Beberapa pekerja mengatasi permasalahan ini dengan pemulihan kondisi dengan cara melepas sarung tangan sesaat umtuk menguapkan keringat dan merilekskan jari-jari. Tentu saja hal ini berakibat memperlama waktu penyelesaian pekerjaan. Permasalahan juga ditemukan pada kacamata yang digunakan pada pekerjaan grinding. Bahan kacamata terbuat dari plastik keras tanpa cushion untuk bagian hidung dan telinga. Akibatnya saat pekerja menggunakan kacamata grinding dalam waktu yang lama, rasa sakit muncul pada bagian hidung dan telinga karena terjepit bingkai kacamata. Berdasarkan temuan-temuan ketidaksesuaian tersebut, diusulkan penggunaan APD yang sesuai untuk jenis pekerjaan yang dilakukan. Safety shoes yang disediakan sudah sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, hanya saja pada penggunaannya perlu dilengkapi dengan kaus kaki untuk menghindari gesekan kulit dengan permukaan sepatu dan menyerap keringat. Sarung tangan yang digunakan untuk proses cutting, punching, dan bending kurang sesuai sehingga menimbulkan permasalahan dalam penggunaannya. Sebaiknya digunakan sarung tangan berbahan serat aramid atau sarung tangan khusus untuk proses metal fabricating. Menurut OSHA, kacamata SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-21
Dewi dan Dantes
untuk proses grinding yang tepat adalah cushioned fitting goggles. Jenis kacamata ini tidak menimbulkan embun dan rasa sakit pada hidung dan telinga (OSHA,2003). Alternatif dengan biaya yang lebih adalah menggunakan face shield yang dapat melindungi mata sekaligus pernafasan karena dilengkapi dengan respirator. Penggunaan APD yang lebih tepat diharapkan dapat menurunkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi pekerja saat bekerja dengan APD. Meskipun demikian, pertimbangan tambahan kelonggaran waktu tetap perlu diperhatikan dalam penentuan target produksi. Hal ini mempertimbangkan kemungkinan menurunnya performansi kerja dapat terjadi akibat dari penggunaan APD (Johnson, 2005). APD dapat meningkatkan produktivitas dalam arti menghilangkan waktu kerja hilang (day lost) akibat cedera atau sakit akibat kerja (Sebestyen, 1993). Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menentukan besaran kelonggaran untuk mengakomodir penurunan performansi akibat penggunaan APD, sehingga penentuan target produksi pun dapat disesuaikan dengan kondisi ini. IV. PENUTUP Penggunaan APD mempengaruhi performansi kerja dalam menghasilkan output. Dampak yang ditimbulkan adalah penurunan rata-rata hasil kerja saat menggunakan APD. Pemilihan APD yang tepat dapat mengurangi resiko penurunan performansi kerja. Meskipun demikian, efek penurunan performansi tidak bisa mutlak dihilangkan pada penggunaan APD. Oleh karena itu, pertimbangan kelonggaran diperlukan dalam penentuan waktu penyelesaian pekerjaan dan target produksi dengan memperhatikan aspek keselamatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA Afandi, R., & Desrianty, A. (2014). Usulan Penanganan Identifikasi Bahaya Menggunakan Teknik Hazard Identification Risk Assessment and Determining Control ( HIRADC ). Reka Integra Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Vol.02, No.03, hlm 25–35. Agustina & Khayan. (2014). Faktor yang Berhubungan Dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri Oleh Pekerja PT. Hok Tong Di Pontianak. Sanitarian Jurnal Kesehatan, 6(3), hlm 312-317 Andrews, T. (2000, January). Getting employees comfortable with PPE: You can do it! Occupational Hazards, hlm 35-37. Atmanto, I.S. (2011). Behavioral Determinants Workers in The Use of PPE Based on Hazard Assessment in Foundry Company Ceper Klaten. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-2 Tahun 2011, hlm C24-C29 Jhonson, A. (2005). PPE and Productivity. AIHA Synergist, November 2005. Dikutip dari http://artjohnson.umd.edu/bioe/PPE-and-Productivity.pdf. Diakses 1 Februari 2017 Kwame, Ochire Bodau, Kusi, E dan Lawer E. A. (2014). Occupational Hazards and Safety Practices : A Concern among Small Scale Sawmilling Industries in Tamale Metropolis Ghana. International Journal of Scientific & Technology Research, Vol.3, issue10, hlm 234-236. Mitchual, S.J., Donkoh, M., Bih, F. (2015). Assessment of Safety Practices and Injuries Associated with Wood Processing in a Timber Company in Ghana. Open Journal of Safety Science and Technology. Vol.5, hlm 10–19 OSHA. (2003). Personal Protective Equipment. U.S. Department of Labor. Occupational Safety and Health Administration Parimalam, P., Kamalamma, N., & Ganguli, A. K. (2007). Knowledge, Attitude and Practice Related to Occupational Health Problems Among Garment Workers in Tamil Nadu, Indis. J. Occup Health, 49, hlm 528-534. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri Prasetyawati, Ardiyanto, D., Widati, S. (2016). The Influence of Personality Types on Adherence Workers Using Personal Protective Equipment at Mega Andalan Kalasan Company. Indian Journal of Basic and Applied Medical Research, 5(4), hlm 509-517. Prasetyo, E. (2015). Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) Terhadap Kepatuhan Dalam Menggunakan APD di Unit Coating PT. Pura Barutama Kudus. The 2nd University Research Coloquium 2015. hlm 526-535. Sebestyen, A. (1993). Managing a PPE Program. OH & S Canada; Nov/Dec 1993, hlm 26-29
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-22
Studi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pekerja Industri Kecil
Sugarda, A., Santiasih, I., Juniani, A.I. (2014). Analisa Pengaruh Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Terhadap Allowance Proses Kerja Pemotongan Kayu (Studi Kasus : PT. PAL Indonesia). J@TI Undip, IX(3), hlm 139-146.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-23
Petunjuk Sitasi; Nurtjahyo, H. K., Chandra, N., & Moch, B. N. (2017). Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B24-29). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Herlina K. Nurtjahyo(1), Nicko Chandra(2) , Boy N. Moch(3) (1) Teknik Industri, Universitas Islam As’Syafiiyah, (2) Departemen Teknik Industri UI, (3)Departemen Teknik Industri UI Fakultas Sain dan Teknologi – Universitas Islam As’Syafiiyah Jatiwaringin, Jakarta Timur (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected] ABSTRAK Kereta api sebagai moda transportasi darat yang memiiki efisiensi paling tinggi, memiliki peran penting dalam perkembangan negara Indonesia. Namun, peningkatan penumpang dan kepadatan lalu lintas perkeretaapian dapat berdampak pada tugas dari seorang pengatur perjalanan kereta api (PPKA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis PPKA dengan dibantu oleh simulator pelayanan kereta sederhana. Pengukuran terhadap 10 petugas PPKA dilakukan dengan menggunakan NASA-TLX, detak jantung, tekanan darah, serta waktu reaksi dengan software design tools. Hasil yang diperoleh adalah signifikansi pengaruh terjadi pada hasil subjektif namun tidak pada hasil pengukuran, serta perubahan kondisi fisiologis lebih signifikan pada jenis percobaan time on task dibanding dengan jenis percobaan task complexity. Kata kunci— Beban Kerja Mental, Ergonomi, Fisiologis, NASA-TLX, PPKA .
I. PENDAHULUAN Mental workload sebagai sebuah hal yang berkaitan dengan kognitif manusia sangat perlu dijaga agar berada pada tingkat yang sesuai dikarenakan operator atau petugas merupakan komponen vital dari sebuah sistem (Fallahi et al., 2016). Berbagai jenis penelitian terkait mental workload telah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya, seperti analisis berbasis performa, penilaian fisiologis, dan penilaian subjektif dalam melakukan pengukuran terhadap beban kerja mental (Miller, 2001). Ryu (2005) melakukan evaluasi terhadap beban kerja mental dengan melakukan kombinasi pengukuran fisiologis dalam mengerjakan tugas berkaitan dengan aritmatika. Sedangkan Fallahi et al. (2016) melakukan penelitian terkait beban kerja mental dengan melihat respon fisiologis dan subjektif pada operator pemantau intensitas kemacetan. Pada kondisi saat ini, moda transportasi kereta api yang dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia atau PT KAI merupakan moda transportasi andalan bagi pemerintah Indonesia dalam mengurai kemacetan. Menurut RIPNAS 2030, kereta api merupakan moda tranportasi yang paling efisien dengan efisiensi energi 6-10 kali lipat lebih baik dibandingkan moda darat lain sehingga pemerintah berniat untuk meningkatkan pangsa pasar penumpang dan barang KA sebesar 6 % dan 16 % (Kementerian Perhubungan, 2011). Pertumbuhan sektor perkeretaapian sudah semakin terlihat sejak saat ini. Menurut statistik perhubungan, sejak tahun 2010 hingga 2014, angka pertumbuhan sektor perkeretaapian sebesar 8,98 persen dan 24,68 persen untuk penumpang dan barang pulau jawa serta 4,6 persen dan 10,04 persen untuk penumpang dan barang pulau sumatera (Kementerian Perhubungan, 2014). Peningkatan ini pun menjadikan peningkatan kepadatan lalu lintas perkeretaapian. Pada pelaksanaannya, salah satu peran penting dalam pemantauan dan pengaturan perjalanan kereta api dilakukan oleh seorang petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA). Tugas utama seorang petugas PPKA adalah untuk mengendalikan perjalanan kereta api agar dapat berjalan lancar dan sesuai dengan jadwal. Seorang PPKA wajib memiliki sebuah sertifikat kecakapan pengatur perjalanan kereta api yang sah dan masih berlaku yang diterbitkan oleh direktorat jenderal dan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-24
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA)
juga badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri. Seiring dengan semakin padatnya jumlah perjalanan kereta api, maka semakin padat pula pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang petugas PPKA. Hal ini disebabkan, seorang petugas PPKA harus melayani kereta api yang masuk ke dalam daerah operasinya dan memastikan kereta tersebut dapat berangkat dengan aman dengan melakukan koordinasi dengan daerah operasi sekitar. Melihat semakin tingginya tuntutan tugas dari seorang PPKA tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis dari petugas PPKA. Analisis ini berguna untuk membuat klasifikasi tingkatan beban kerja dengan melihat kepada perubahan kondisi fisiologis para petugas PPKA. Hal ini sangat menarik karena selain penelitian serupa di sektor perkeretaapian Indonesia masih sedikit, juga dapat memberikan sebuah perlakuan yang sesuai kepada para petugas apabila kita telah mencapai kepada sebuah tingkatan beban kerja tertentu. Selanjutnya melalui penelitian ini, diharapkan dapat membuat sektor perkeretaapian Indonesia semakin baik lagi untuk kedepannya dan menjadi transportasi masa depan di negara Indonesia. II. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis serta klasifikasi dari masing-masing kondisi fisiologis tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan alat Omron HEM-650 untuk mengukur tekanan darah dan Polar FT-7 untuk mengukur detak jantung. Responden penelitian berjumlah 10 orang petugas PPKA PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi I dengan usia 23 – 38 tahun dan memiliki sertifikasi kecakapan O-50 serta seluruh pengumpulan data dilakukan setelah jam dinas. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengambilan data beban kerja secara subjektif, pengukuran data perubahan kondisi fisiologis (detak jantung dan tekanan darah), dan pengukuran hasil dengan perangkat lunak design tools. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sebuah simulasi sederhana pelayanan kereta yang dilakukan oleh petugas PPKA. Simulasi direkayasa dengan dua jenis kondisi yang menggambarkan beban kerja mental yakni dengan perbedaan tingkat kesulitan (task complexity) dan simulasi dengan durasi tertentu (time on task). Berikut merupakan tahapan pengumpulan data yang dilakukan: 1. Pengaturan, persiapan, dan persiapan alat kemudian memasangkan tali Polar FT-7 ke responden 2. Pengumpulan data simulasi yang terdiri atas dua jenis kategori beban kerja mental, task complexity dan time on task. 3. Pada time on task, diawali dengan melakukan pengukuran tekanan darah dan hasil design tools sebelum pengerjaan tugas, pengukuran data detak jantung simulasi per 1 menit, serta pengukuran tekanan darah dan hasil design tools setelah pengerjaan tugas. 4. Pada task complexity, diawali dengan melakukan pengukuran tekanan darah sebelum pengerjaan tugas, pengukuran data detak jantung per tingkat kesulitan task, dan melakukan pengukuran tekanan darah setelah pengerjaan tugas. 5. Pengisian kuesioner beban kerja mental NASA-TLX. Data hasil pembobotan dan penilaian dari kuesioner 10 orang responden akan diolah sehingga didapat nilai beban kerja mental terbobot pada masing-masing responden. Kemudian akan dilakukan uji beda untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara kondisi normal dan gangguan. Pengolahan yang sama dilakukan pada data detak jantung, tekanan darah, dan design tools untuk mengetahui signifikansi perbedaan dua buah kondisi beban kerja mental. Setelah itu dibuat persamaan regresi dengan menjadikan nilai NASA-TLX menjadi variabel terikat dan seluruh variabel lain menjadi variabel bebas. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner, pengukuran dengan menggunakan penilaian subjektif pada kondisi normal dan kondisi gangguan, memberikan hasil yang cukup sesuai dengan hipotesis. Pada dua kondisi pengukuran, skala yang memiliki nilai tertinggi adalah mental demand (MD) yang berarti beban pikiran menjadi faktor yang paling mendominasi dibandingkan faktor-faktor SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-25
Nurjahtyo, Chandra, and Moch
lain. Hal ini dikarenakan pekerjaan sebagai seorang PPKA merupakan pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab tinggi sehingga semakin tinggi tuntutan dari pekerjaan, maka akan menyebabkan kebutuhan pikiran yang dibutuhkan berada pada angka yang tinggi pula (Fallahi et al.,2016) Hasil pengukuran dari kuesioner NASA TLX pada kondisi gangguan, cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kondisi normal. Hal ini dikarenakan peningkatan pekerjaan akan menyebabkan operator merasakan ketegangan yang lebih ketika menjalankan pekerjaannya. Seluruh skala pengukuran kuesioner menunjukkan sebuah peningkatan dari kondisi normal ke gangguan kecuali pada skala performance (PE) yang justru mengalami penurunan pada kondisi gangguan. Hal ini dapat disebabkan pada kondisi gangguan fokus beban kerja telah jauh meningkat sehingga para petugas PPKA menjadi cenderung lebih mudah puas terhadap performa yang ada sehingga tidak mengejar kepuasan terhadap performa yang lebih tinggi lagi. Gambar 1 berikut menunjukkan hasil pengukuran kuesioner dari para petugas PPKA.
Data NASA-TLX Low
High
70
NILAI WWL
60 50 40 30 20 10 0 MD
PD
TD
EF
PE
FR
Total WWL
Low
15.73
11.23
8.7
11.734
7.8
1.67
56.87
High
15.83
15.73
9.47
15.3
5.73
2.93
65
SKALA PENGUKURAN
Gambar 1 Grafik Persebaran Hasil Kuesioner NASA-TLX Pengukuran dengan menggunakan NASA-TLX yang terdiri atas beberapa skala memberikan nilai signifikansi sebesar 0,003 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara nilai weighted workload yang dihasilkan pada kondisi normal dengan nilai pada kondisi gangguan karena nilai signifikansi lebih kecil dari nilai alpha = 0,05. Namun, signifikansi dari nilai total weighted workload ini, hanya diikuti oleh skala physical demand (PD) tanpa diikuti skala lainnya. Hal ini berarti peningkatan paling tinggi dan signifikan antara kondisi normal dan gangguan terjadi pada tuntutan fisik yang harus dialami oleh petugas PPKA. Hal ini dapat terjadi dikarenakan seorang PPKA yang bertugas pada kondisi normal tidak melakukan aktivitas fisik berarti. Namun, pada kondisi gangguan seorang petugas. PPKA dituntut untuk turun langsung ke area lapangan untuk melakukan pengecekan bersama dengan petugas lapangan terkait gangguan yang terjadi. Peningkatan yang signifikan akan berdampak pada peningkatan ketegangan mental yang tinggi sehingga akan berimbas pada terjadinya ketidakteraturan pada kondisi mental PPKA (Fallahi et al., 2016) dan akan berdampak juga terhadap performa serta kesejahteraan dari pekerja (Johnson dan Widyanti, 2011) sehingga menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam memberikan perlakuan kepada para petugas PPKA. Kemudian, dilakunan analisis detak jantung terhadap responden. Masing-masing responden memiliki variasi tren detak jantung yang menandakan bahwa nilai beban kerjaan setiap responden berbeda dan bergantung dengan kapasitas yang dimiliki oleh setiap responden, karena secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-26
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA)
konsep beban kerja mental merupakan interaksi antara kapasitas dengan operator (Hilburn dan Jorna, 2001) sehingga perbedaan respon yang dikeluarkan oleh tubuh masing-masing responden adalah hal yang wajar. Rekapitulasi tren detak jantung responden ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Rekapitulasi Perubahan Detak Jantung Responden No. Responden
Detak Jantung Diskrit Kontinu
R01
Menurun
Meningkat
R02
Menurun
Menurun
R03
Menurun
Menurun
R04
Menurun
Meningkat
R05 R06 R07 R08 R09 R10
Meningkat Meningkat Menurun Menurun Menurun Meningkat
Menurun Menurun Meningkat Meningkat Menurun Menurun
Kemudian, dilakukan analisis tekanan darah sebagaimana tersaji pada tabel 2. Pada tekanan darah, tren cenderung menurun setelah para petugas melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat disebabkan dalam proses pengukuran tekanan darah ini masih menyisakan beban kerja dari proses pelayanan kereta sesungguhnya sehingga angka awal cenderung tinggi. Sama seperti detak jantung, proses perubahan ini juga dapat dikarenakan terdapat sebuah perbedaan kapasitas dari masing-masing operator yang membuat beban kerja yang diberikan tidak dapat sama satu sama lain (De Waard, 1996). Selain dari pada itu faktor pengalaman juga menjadi satu hal yang perlu dipertimbangkan karena pengalaman yang lebih tinggi tentunya dapat membuat kapasitas yang dimiliki oleh operator menjadi lebih besar. Hasil analisis signifikansi uji beda, baik detak jantung maupun tekanan darah, menghasilkan kesimpulan yakni tidak adanya suatu perbedaan signifikan secara statistik antara hasil pengukuran pada kondisi normal dengan kondisi gangguan dikarenakan nilai signifikan yang berada diatas nilai yaitu 0,05. Makna hasil uji tersebut pula, perbedaan tingkat beban kerja mental baik itu dengan task complexity ataupun dengan time on task tidak dapat tergambarkan melalui perubahan kondisi fisiologis. Hasil yang tidak signifikan ini dapat terjadi dikarenakan oleh kesalahankesalahan dalam pengerjaan penelitian. Argumen ini dikarenakan dari hasil yang diperoleh, beberapa variabel memperlihatkan nilai signifikansi yang tidak terpaut terlalu jauh dengan daerah penolakan H0 seperti variabel tekanan darah systol pada pengukuran dengan time on task serta pengukuran detak jantung dan tekanan darah diastol pada percobaan dengan task complexity. Faktor kesalahan yang paling utama ialah pengukuran dilakukan dengan simulator sederhana yang tidak sepenuhnya menggambarkan hal-hal yang setiap harinya dialami PPKA. Penggunaan simulator memberikan tekanan yang berbeda dengan kegiatan pelayanan kereta yang sesungguhnya. Karena pada nyatanya tingkat beban kerja mental seseorang juga didasari oleh keinginan dari orang tersebut dalam mengalokasikan sumber daya atau kemampuan yang dimilikinya (O’Donnell dan Eggemeier, 1986). Hal ini berarti ketika tidak adanya keinginan dari petugas dalam memfokuskan dirinya terhadap suatu pekerjaan akan berdampak pada tidak adanya perubahan beban kerja mental yang terjadi pada dirinya. Faktor lain adalah tidak diberikannya sebuah tuntutan terhadap waktu yang diluar waktu yang tersedia yang dimiliki oleh petugas. Hal ini cukup penting untuk mendapat signifikansi dari perbedaan hasil pengukuran dikarenakan beban kerja mental dapat menjadi tinggi ketika suatu pekerjaan membutuhkan hampir keseluruhan waktu tersedia yang dimiliki oleh petugas.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-27
Nurjahtyo, Chandra, and Moch
Tabel 2 Rekapitulasi Perubahan Tekanan Darah Dari Responden No. Responden
Systol Diskrit
Diastol
Kontinu
Diskrit
Kontinu
R01
Menurun
Menurun
Menurun
Meningkat
R02
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
R03
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
R04
Menurun
Menurun
Menurun
Menurun
R05
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
R06
Meningkat
Menurun
Menurun
Menurun
R07
Meningkat
Meningkat
Menurun
Menurun
R08
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
R09
Menurun
Menurun
Meningkat
Meningkat
R10
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Berdasarkan hasil pengolahan data, hasil analisis regresi akan dianalisis dengan tiga jenis pendekatan yakni pendekatan koefisien determinasi (Adjusted R Square), Uji F, dan Uji T. Analisis yang pertama adalah pada time on task. Pada hasil regresi pada jenis percobaan ini memberikan bentuk persamaan yakni Y = 65,284 + 0,851X1 - 0,37X2 - 0,485X3. Dimana X1 merupakan nilai detak jantung, X2 merupakan tekanan darah sistol dan X3 merupakan tekanan darah diastol. Hasil ini menandakan bahwa dengan kenaikan satu satuan pada setiap variabel, dapat meningkatkan beban kerja mental sebesar koefisien. Pada koefisien determinasi (R 2adj) yang ada yakni sebesar 0,449 menandakan bahwa variabel bebas yang terdapat pada persamaan mengambarkan 44,9% terhadap variabel terikat atau pada kategori sedang (Sugiyono, 2007). Pada hasil regresi pada jenis percobaan task complexity ini memberikan bentuk persamaan yaitu Y = 131,563 - 0,59X1 - 1,047X2 + 1,348X3. Dimana X1 merupakan nilai detak jantung, X2 adalah tekanan sistol responden serta X3 adalah tekanan diastol dari responden. Selanjutnya dengan melihat nilai koefisien determinasi yang bernilai 0,074 menandakan variabel bebas yang terdapat dalam persamaan menggambarkan variabel terikat sebesar 7,4% yang berarti sangat rendah. Berdasarkan hasil model regresi, klasifikasi diperoleh dengan terlebih dahulu memperoleh nilai Y prediksi. Kemudian hasil Y prediksi akan diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni kelompok tinggi (>50) dan kelompok agak tinggi (<50) seperti makna intepretasi dari nilai NASA-TLX. Berikut merupakan nilai rata-rata, minimum dan maksimum dari masing-masing kelompok pengukuran yang ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3 Nilai Rata-Rata, Minimum, dan MaksimumY Prediksi Tinggi
Variabel
Agak Tinggi
Average
Min
Max
Average
Min
Max
88,2
79,3
98,7
103,3
81,0
120,7
115,3
96,0
145,0
149,0
111,0
170,0
78,4
60,0
98,0
98,0
60,0
119,0
87,6
71,2
102,4
90,0
84,4
95,8
106,9
97,0
121,0
150,5
143,0
168,0
68,9
52,0
81,0
100,5
98,0
107,0
Task Complexity HR Sistol Diastol Time on Task HR Sistol Diastol
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-28
Analisis Pengaruh Beban Kerja Mental Terhadap Perubahan Kondisi Fisiologis Pada Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA)
IV. PENUTUP Penelitian tentang analisis pengaruh beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis pada petugas PPKA ini bertujuan untuk mencari tahu pengaruh anatara beban kerja mental terhadap perubahan kondisi fisiologis serta memberika klasifikasi tingkat beban kerja mental dengan berdasarkan kepada kondisi fisiologis dari perugas PPKA. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut: • Berdasarkan hasil pengukuran subjektif, terdapat pengaruh beban kerja mental yang ditunjukkan dengan perbedaan yang signifikan antara kondisi normal dan gangguan pada total weighted workload yang didukung oleh poin physical demand. • Berdasarkan signifikansi hasil pengukuran, secara statistik perubahan beban kerja mental pada dua kondisi (task complexity dan time on task) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap seluruh variabel fisiologis baik detak jantung maupun tekanan darah. DAFTAR PUSTAKA de Waard, D., 1996. ―The Measurement of Drivers’ Mental Workload‖. Universit of Gronigen. Fallahi, M. Motamedzade, M., Heidarimoghadam, R., Soltanian, A.R., Miyake, S., 2016. ―Effects of mental workload on physiological and subjective responses during traffix density monitoring: a field study‖. Applied Ergonomics, Vol. 52, hlm. 95-103. Hilburn, B., Jorna, P., 2001. ―Workload in Air Traffic Control‖. In P.A. Hancock and P. Desmond (Eds.) Stress, Workload, and Fatigue: Theory, Research and Practice. Hillsdale, New Jersey, USA: Lawrence Erlbaum Associates, 384-394. Johnson, A. & Widyanti, A., 2011, ―Cultural influences on the measurement of subjective mental workload‖ Ergonomics, vol 54, no. 6, pp. 509-518. Kementerian Perhubungan, 2011, ―Rencana Induk Perkeretaapian Nasional‖. Diakses di http://ppid.dephub.go.id/files/dataka/RIPNAS-2030.pdf pada Agustus 2017. Kementerian Perhubungan, 2014, ―Buku Statistik Perhubungan‖. Miller, S., 2001. ―Literature review workload measures‖. University of Iowa. O’Donnel, C.R.D., Eggemeier, F.T., 1986. ―Workload Assessment Methodology‖. Ryu, K., Myung, R., 2005. ―Evaluation of mental workload with a combined measure based on physiological indices during a dual task of tracking and mental arithmetic‖. International Journal of Industrial Ergonomics, Vol. 35, hlm. 991-1009.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-29
Petunjuk Sitasi: Yahya, I., & Ariani, F. (2017). Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B30-35). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin Idhar Yahya(1), Farida Ariani(2), Erwin(3), Anizar(4), Zul Ardian Amralis(5) (1), (2), (3), (4), (5) Universitas Sumatera Utara, Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155 (1)
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mengamati kinerja pengrajin sapu ijuk yang bertugas merapikan ijuk secara manual dengan sisir kayu berpaku. Penyisiran dilakukan dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri memegang sapu yang akan disisir. Pengrajin mengeluhkan rasa sakit pada beberapa bagian tubuh sehingga mempengaruhi proses penyelesaian target produksi yang telah ditetapkan. Identifikasi keluhan pengrajin dikumpulkan menggunakan Standard Nordic Questionairre (SNQ) yang berisi 28 item pertanyaan. Dimensi tubuh pengrajin yang diukur dengan human body martin adalah tinggi siku duduk (TSD) dan jangkauan tangan (JT). Dalam penelitian ini diketahui bahwa pengrajin mengeluhkan sakit pada tangan kanan, betis kiri kanan dan bahu serta sangat sakit pada bahu kanan, lengan atas dan bokong, punggung dan leher. Alat penyisir ijuk dirancang sesuai dengan dimensi tubuh pengrajin yaitu panjang 67,2 cm, lebar 40 cm dan tinggi 71,5 cm. Alat penyisir ijuk ergonomis mengakibatkan pengrajin dapat menyisisr ijuk dengan nyaman sehingga waktu lebih singkat dan hasil lebih banyak. Kata kunci—Alat penyisir ijuk, Ergonomis, Keluhan, SNQ .
I. PENDAHULUAN Manusia dalam beraktifitas membutuhkan alat bantu yang dirancang khusus untuk membantu pekerjaan agar menjadi lebih mudah sehingga terasa lebih ringan, nyaman dan cepat. Fasilitas kerja yang dipergunakan sangat berpengaruh terhadap pekerja baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengaruh jangka pendek berupa keluhan rasa sakit akibat beban kerja berupa beban aktivitas fisik, mental, sosial. Beban yang diterima seseorang dan harus diselesaikan dalam waktu tertentu seharusnya disesuaikan dengan kemampuan fisik maupun keterbatasan pekerja. Pekerjaan harus selalu diusahakan memiliki postur kerja yang ergonomis sehingga tidak menimbulkan keluhan (Nurmianto, 1998). Gangguan muskuloskeletal di negara berkembang dianggap sebagai penyebab utama gangguan dan kecacatan kerja yang berhubungan dengan beban sosial ekonomi pada individu, organisasi dan masyarakat pada umumnya. Lumbar, lutut dan daerah leher memiliki gangguan muskuloskeletal yang paling umum yang disebabkan pekerja menangani beban berat secara manual dengan postur kerja yang tidak ergonomis (Aghilinejad, 2012). Gangguan muskuloskeletal atas memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor psikososial dan merupakan salah satu penyebab terjadinya tambahan biaya di tempat kerja (Behrani, 2017). Pekerja yang pekerjaannya melibatkan gerakan tangan secara berulang dan kuat maka akan rentan dengan resiko sakit pada pergelangan tangan atau carpal tunnel syndrome (CTS) (Chiang, 2017). Proses pembuatan sapu ijuk dimulai dari kegiatan memilah ijuk, merangkainya menjadi sapu hingga menyisirnya. Ijuk yang telah dirangkai menjadi sapu harus disisir supaya kotoran yang melekat terbuang dan sapu ijuk mengembang. Proses penyisiran ijuk merupakan kegiatan yang dilakukan secara manual dengan alat penyisir dari kayu yang ujungnya diberi 10 buah paku berukuran 2 inci. Seorang pengrajin setiap hari bertugas menyisir 200 buah sapu ijuk. Jika setiap sapu ijuk disisir sebanyak 150 kali dalam waktu 2 menit maka seorang pengrajin harus menyisir sebanyak 30.000 kali selama 6,67 jam. Proses penyisiran dilakukan dengan postur kerja duduk di atas sebuah papan kecil berukuran 30 cm x 15 cm x 10 cm sehingga terbentuk postur kerja yang tidak alamiah (Gambar-1). Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pengrajin sapu ijuk diketahui adanya keluhan sakit pada beberapa bagian tubuh akibat kegiatan penyisiran sapu ijuk
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-30
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin
yang dilakukan secara manual. Beban kerja fisik secara berulang-ulang (repetitif) membuat otototot cepat berkonstraksi sehingga mengalami kelelahan dan menimbulkan rasa sakit. Keluhan tersebut mengindikasikan bahwa ada pembebanan yang tidak seimbang pada bagian tubuh pengrajin sapu ijuk. Keluhan inilah yang biasanya disebut sebagai musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1998). Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Salah satu faktor yang menyebabkan keluhan muskuloskeletal adalah sikap kerja yang tidak alamiah karena harus membungkuk dan kaki tertekuk selama bekerja.
a
b
Gambar 1 (a) Proses penyisiran ijuk (b) Alat penyisir ijuk Proses penyisiran sapu ijuk secara manual dengan bantuan alat yang sangat sederhana menyebabkan kinerja proses sangat tergantung sepenuhnya pada manusia, baik dalam hal penggunaan tenaga maupun pengendalian kerja. Keterbatasan kemampuan dalam melakukan proses penyisiran ijuk mengakibatkan pengrajin merasa cepat lelah sehingga berdampak terhadap penurunan kualitas dan kuantitas sapu ijuk yang dihasilkan (Sutalaksana, 2005). Pengrajin sering tidak masuk jika sudah merasa sangat lelah dan istirahat di rumah untuk memulihkan rasa sakit berupa pegal yang dialami. Hal tersebut menyebabkan pekerjaan pembuatan sapu ijuk terkendala dan terhenti untuk sementara sampai pengrajin masuk kembali. Setiadi (2013) melakukan penelitian terhadap keluhan operator pemindahan batako dengan SNQ menemukan adanya rasa sakit pada sakit leher bagian atas, leher bagian bawah, punggung, pinggang, bokong, lengan bagian atas, lengan bagian bawah, pergelangan tangan, tangan, lutut dan pada kaki operator. Alat bantu berupa troli ergonomis dan pallet batako mengurangi resiko dari katagori berbahaya menjadi katagori aman. Anwar (2013) melakukan penelitian terhadap operator perajangan daun pandan pada proses pembuatan es dawet yang mengeluhkan sakit hingga sangat sakit. Rasa sangat sakit dialami pada kegiatan membungkuk saat memotong daun pandan sedangkan rasa sakit dialami pada saat berdiri. Rancangan meja dan kursi kerja ergonomis berdasarkan simulasi kerja menunjukkan terjadi perubahan postur sehingga mengurangi resiko MSDs. II. METODE PENELITIAN Pengamatan dan pengukuran langsung dilakukan terhadap pengrajin yang sedang menyisir ijuk mengunakan alat sederhana. Keluhan pengrajin terhadap pemakaian alat penyisir ijuk manual dikumpulkan dengan SNQ (Kourinka, 1987). Kuesioner ini berisi 28 item pertanyaan yang digunakan untuk mendapatkan identifikasi awal kelelahan dan keluhan otot yang dialami pengrajin. Katagori SNQ mulai dari tidak sakit berbobot 1, agak sakit berbobot 2, sakit berbobot 3 dan sangat sakit berbobot 4. SNQ disebarkan kepada 12 orang pengrajin dimana cara pengisian kuesioner dengan membubuhkan tanda silang (Х) atau checklist (√) pada lembar jawaban yang tersedia sesuai dengan keluhan. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampling. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-31
Yahya, Ariani, Erwin, Anizar, Amralis
Alat penyisir ijuk didasarkan pada dimensi tubuh (antropometri) pengrajin. Pengukuran dilakukan terhadap 30 orang dengan dimensi tubuh yang diukur adalah tinggi siku duduk (TSD) dan jangkauan tangan (JT). Tinggi dari alat penyisir ijuk yang akan dibuat didasarkan pada TSD dan lebar didasarkan pada JT. Alat yang digunakan untuk mengukur dimensi tubuh pengrajin adalah human body martin.Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai rata-rata, standar deviasi serta nilai maksimum dan minimum. Uji keseragaman data digunakan peta kontrol untuk pengendalian proses bagian data yang ditolak atau tidak seragam karena tidak memenuhi spesifikasi. Apabila dalam satu pengukuran terdapat satu jenis atau lebih data yang tidak seragam maka data tersebut tidak dapat digunakan. Persamaan peta kontrol sebagai berikut;
BKA X ks
(1)
BKB X ks
(2)
Dimana: ̅ = Rata-rata data hasil pengamatan = Standar deviasi dari populasi = Koefisien indeks tingkat kepercayaan Uji kecukupan data digunakan untuk menganalisa jumlah pengukuran apakah sudah representatif, dimana tujuannya untuk membuktikan bahwa data sampel yang diambil sudah mewakili populasi. Untuk melakukan uji kecukupan data digunakan persamaan berikut:
( dimana : N’ = N = Xi = k = s =
√ (∑
) (∑ ∑
)
)
(3)
Jumlah pengamatan teoritis yang diperlukan Jumlah pengamatan aktual yang dilakukan Data pengamatan ( hasil pengukuran ) Tingkat kepercayaan Tingkat ketelitian dalam bentuk persen (%)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keluhan Pengrajin Keluhan sakit yang dialami pengrajin pada kegiatan menyisir ijuk diperoleh dari SNQ dimana keluhan sakit dirasakan oleh 83% pengrajin pada tangan kanan, 75% pada betis kiri dan betis kanan, 66,67% pada leher dan bahu kanan. Keluhan sangat sakit dirasakan oleh 75% pengrajin pada bahu kanan, 66,67% pada lengan atas dan bokong, 58,33% pada punggung, dan 50% pada leher. Namun tidak ada pengrajin yang mengalami keluhan sangat sakit pada siku kiri, paha kiri, paha kanan, lutut kiri, lutut kanan, betis kiri dan betis kanan. Pada Gambar 2 ditampilkan persentase keluhan rasa sakit pengrajin yang diperoleh dari SNQ. Hal ini disebabkan pengrajin melakukan kegiatan penyisiran ijuk dengan postur kerja duduk di sebuah bangku kecil yang rendah dan melakukan kegiatan secara repetitif dengan tangan kanan selama hampir 8 jam kerja setiap hari. Keluhan sakit yang dialami pengrajin hanya dapat diatasi dengan menggunakan alat penyisir ijuk otomatis sehingga tidak ada lagi kegiatan penyisiran ijuk secara manual.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-32
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin
Persentase Operator
100 80
60 40
Sakit %
20 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Dimensi Tubuh
Gambar 2 Persetase keluhan sakit pengrajin sapu ijuk
Persentase Operator
Rasa sangat sakit pada bahu kanan dikeluhkan oleh 75% pengrajin sapu ijuk dan 67% pengrajin mengeluhkan sangat sakit pada lengan atas kanan dan bokong. Sebanyak 58% pengrajin mengeluhkan sangat sakit pada bokong dan pinggang. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sangat Sakit (%)
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 Dimensi Tubuh
Gambar 3 Persentase keluhan sangat sakit pengrajin sapu ijuk
Gambar 3 menampilkan bahwa hanya tubuh bagian kanan pengrajin yang mengalami keluhan mulai dari rasa sakit hingga sangat sakit. Namun pengrajin hanya mengalami sedikit keluhan sakit pada tubuh bagian kiri. Hal ini disebabkan pembebanan kerja lebih didominasi oleh tubuh bagian kanan. B. Dimensi Alat Penyisir Ijuk Rancangan alat penyisir ijuk disesuaikan dengan dimensi tubuh pengrajin dimana TSD digunakan untuk menentukan tinggi dari alat penyisir ijuk dan JT untuk menentukan lebar alat penyisir ijuk. Nilai rata-rata untuk TSD adalah 25,033 cm dengan nilai nilai Xmax sebesar 31,5 cm dan Xmin sebesar 20 cm dengan besaran standar deviasi untuk TSD sebesar 3,39 cm dan JT sebesar 1,19 cm. Pengujian keseragaman data TSD dan JT telah dinyatakan seragam dan hasil pengujian data menyatakan bahwa 30 data dinyatakan cukup. Data TSD memiliki BKA sebesar 31,81 cm dan BKB sebesar 18,26 cm sedangkan data JT memiliki BKA 72,05 cm dan BKB 67,31 cm. Pengolahan uji kenormalan data dilakukan dengan bantuan software SPSS 19. Dimensi tubuh pengrajin untuk TSB dan JT pada persentil 5, 50 dan 95 ditampilkan pada Tabel 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-33
Yahya, Ariani, Erwin, Anizar, Amralis
Data
Tabel 1 Dimensi Tubuh Pengrajin Pada Beberapa Persentil Dimensi tubuh Xmax Xmin P5 (cm) P50 (cm) Tinggi Siku Duduk (TSD) 20 19 25 31,5 Jangkauan Tangan (JT) 71,5 68 69 67,2
800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
1
2
3
4 5 Parameter
6
7
P95 (cm) 31 72
8
Gambar 4 Kenormalan data TSD dan JT pengrajin Gambar 4 menunjukkan hasil uji kenormalan data untuk pengrajin dengan jumlah pengamatan (N) adalah 30. Uji kenormalan data dengan Software SPSS 19.0 menunjukkan untuk TSD dan JT adalah normal dengan rata-rata jangkauan tangan 69,68 dan tinggi siku berdiri 25,03. Rancangan alat penyisir ijuk menggunakan data ekstrim atas untuk dimensi TSD yaitu 31,5 cm dan ekstrim bawah untuk dimensi JT yaitu 67,2 cm. Alat penyisir ijuk dirancang dengan dimensi panjang 67,2 cm, lebar 40 cm dan tinggi 71,5 cm sehingga dapat digunakan dengan nyaman oleh populasi pengrajin sapu ijuk (Gambar 5).
Gambar 5 Alat penyisi ijuk ergonomis
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-34
Alat Penyisir Ijuk Ergonomis Mengurangi Keluhan Pengrajin
Penggunaan alat penyisir ijuk ergonomis akan meniadakan pembebanan kerja yang terlalu besar pada tubuh bagian kanan. Pengrajin hanya meletakkan sapu ijuk yang akan dirapikan pada alat penyisir sehingga sapu ijuk yang dihasilkan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat dan pengrajin terhindar dari keluhan sakit yang selama ini dirasakan. IV. PENUTUP Artikel ini bertujuan menilai keluhan kegiatan penyisiran ijuk yang dilakukan pengrajin sapu secara manual dengan alat penyisir dari kayu dengan ujung berpaku. Parameter utama adalah keluhan sakit yang dialami pengrajin dan dimensi tubuh pengrajin. Pengrajin mengeluhkan sangat sakit pada bahu kanan (75%), lengan atas dan bokong (66,67%), punggung (58,33%) dan leher (50%). Sedangkan keluhan sakit dialami pengrajin pada tangan kanan (83%), betis kiri dan betis kanan (75%), leher dan bahu kanan (66,67%). Tinggi alat penyisir ijuk adalah 71,5 cm berdasarkan data ekstrim atas tinggi siku duduk (TSD) dan panjang 67,2 cm berdasarkan data ekstrim bawah jangkauan tangan (JT). Kesimpulan utama yang dapat digambarkan di sini adalah alat penyisir ijuk dapat digunakan dengan nyaman, waktu menyisir ijuk yang singkat dan hasil lebih banyak sehingga produktivitas meningkat. DAFTAR PUSTAKA Aghilinejad, M; Choobineh, A R; Sadeghi, Z; Nouri, M K; Ahmadi, A Bahrami, 2012. Prevalence of Musculoskeletal Disorders among Iranian Steel Workers. Iranian Red Crescent Medical Journal; Tehran 14.4 (Apr 2012): 198-203. Anwar, M.Z., Matondang, A.R., Anizar, 2013. Usulan Rancangan Fasilitas Kerja Pada Stasiun Pemotongan Daun Pandan untuk Mengurangi Resiko Musculoskeletal Disorders di CV. XYZ. E-jurnal Teknik Industri, FT. USU, Vol.1 No.2 Maret 2013 pp 21-28. Behrani, Paras; Nizam, Ahmed Shahrul. 2017, Association between Psychosocial Factors at Work and Prevalence of Upper Musculoskeletal Systems Disorders: A Pilot Study. Global Business and Management Research, suppl. Special Issue; Boca Raton 9.1s (2017): 181-187. Chiang, Chia-Liang; Liao, Chu-Yung; Kuo, Hsien-Wen, 2017. Postures Of Upper Extremity Correlated With Carpal Tunnel Syndrome (CTS). International Journal of Occupational Medicine and Environmental Health; Heidelberg 30.2 (2017): 281-290. Grandjean, E., 1998, Fitting The Task to The Man : a Textbook of Occupational Ergonomics, 4 th Edition, Great Britain : Taylor & Francis Ltd. Kourinka, I., Jonsson B., Kilbom A., Vinterberg H., Boerog-Sorensen, F., Andersson, G., Jorgensen K, 1987. Standard Nordic Questionairee, Applied Ergonomics. Nurmianto, E., 1998, Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasnya, Jakarta: PT. Guna Widya. Setiadi, M.Y., Poewanto, Anizar, 2013, Usulan Alat Bantu Pemindahan Batako Untuk Mengurangi Risiko Musculoskeletal Disorders di PT. XYZ, e-Jurnal Teknik Industri FT USU Vol 1, No.3, April 2013 pp. 37-43. Sutalaksana, Iftikar Z. 2005, Teknik Perancangan Sistem Kerja, Bandung: ITB Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-35
Petunjuk Sitasi: Tama, I. P., Andriani, D. P., & Putri, N. A. (2017). Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B3641). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi Ishardita Pambudi Tama(1), Debrina Puspita Andriani(2), Nikita Ashardika Putri(3) (1), (2), (3) Teknik Industri, Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 167, Malang (65145) – Indonesia
[email protected] ABSTRAK Saat ini penempatan produk jadi pada gudang perusahaan dilakukan secara acak tanpa adanya pembakuan penyimpanan yang belum memperhatikan frekuensi perpindahan sehingga untuk produk yang bersifat fast moving harus menempuh perjalanan jauh untuk aktivitas storage/retrieval (S/R). Usaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu melalui perbaikan tata letak. Kebijakan yang digunakan dalam penelitian adalah Class Based Storage (CBS) dan pendekatan simulasi. Tahapan penelitian dilakukan dengan menghitung luas utilitas gudang awal, frekuensi perpindahan, jumlah tempat penyimpanan, dan jarak perpindahan. Perancangan layout diawali dengan mengelompokkan produk jadi ke dalam tiga kelas A, B dan C dengan kebijakan CBS berdasarkan pada frekuensi perpindahan dan prinsip pareto, serta memperhatikan level aktivitas S/R dalam gudang. Alternatif layout disusun berdasarkan konsep within aisle dan across aisle. Sedangkan untuk pendekatan simulasi dilakukan perhitungan waktu trasportasi, meliputi kategori wait time, transfer time, total time dan utilitas transporter. Hasil penelitian menunjukkan alternatif layout terpilih untuk gudang adalah alternatif layout CBS dengan konsep across aisle yang menurunkan jarak material handling sebesar 40,67% dari 57.234,93 meter menjadi 33.957,41 meter dan waktu material handling 13,1% dari 1.877,11 jam menjadi 1.632,56 jam. Kata kunci — class based storage, material handling, tata letak, simulasi, S/R.
I. PENDAHULUAN Persaingan pada dunia industri beberapa tahun terakhir yang semakin pesat memicu perusahaan untuk merumuskan strategi baru dalam mencapai hasil yang optimal, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan fungsi tata letak dalam gudang (Mulcahy, 1992). Gudang dinyatakan sebagai bagian terpenting dalam kelancaran produksi karena fungsinya receive, storage, order picking dan shipment (Tompkins, 2003). Selain itu, pengaturan sistem operasional dan fasilitas pada gudang adalah suatu masalah yang sering dijumpai dalam dunia industri (Wignjosoebroto, 2009). Pengaturan tata letak fasilitas tidak hanya dilakukan ketika perusahaan membuat sistem baru, tetapi ketika ada perluasan fasilitas, penggabungan fasilitas, atau modifikasi sistem yang ada (Purnomo, 2004). Salah satu metode yang efektif untuk meningkakan produktivitas adalah dengan pengaturan tata letak yang mempertimbangkan berbagai hal, salah satunya meminimalkan aktivitas material handling (Apple, 1977). Perusahaan pada penelitian ini merupakan perusahaan multinasional industri pengolahan susu sapi yang memiliki 3 lokasi gudang, salah satunya adalah Gudang I yang merupakan gudang utama perusahaan. Gudang I terdiri dari 2 tempat penyimpanan, yaitu Gudang A merupakan tempat penyimpanan dari 14 jenis produk jadi susu ultra high temperature (UHT) dan Gudang B yang merupakan tempat penyimpanan raw material kering. Terdapat beberapa masalah pada Gudang A yang berukuran 36×24×6 m3 dan terdiri dari 9 area penyimpanan. Pertama diketahui bahwa jumlah produk jadi keluar masuk (I/O) gudang belum sebanding dengan kapasitas Gudang A, yaitu sebesar 630 pallet, sehingga menyebabkan penyimpanan produk jadi mengalami kelebihan muatan atau out of block sebesar 20,36%. Selama satu periode didapatkan data rata-rata produk jadi I/O adalah sebesar 1.323 dan 879 pallet untuk masingmasing produk masuk dan keluar. Layout Gudang A saat ini ditunjukan pada Gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-36
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi
4
16
4
3
18
5
17
5
17
5
6
18
6
18
6
1.5
20.6
3
7
19
7
19
7
20
8
20
8
20
8
9
21
9
21
9
22
10
22
10
22
10
1.5
19
21
51
57
56
12.1
12
14
15
4.8
4.5
6
9
10
11
E
12
2
0.2
1.5
11
1.2
11
24
12
23
24
11
23
12
24
11
12
1.5
11
0.5
1.5
G 7
12
3
8
13
4
9
14
5
10
15
1.2
23
5.1 6
2
1
13
14
2
10
11
3
7
15
12
6.0
52
58
8
0.3 1.0
G4
8.0
53
59
5
7
G3
Up
54
60
10
13
TANGGA 1
1.5
0.2
55
4
4
1.2
46
3
6
9
3
1.2
47
2
1.2
48
5
8
9
STAIRS
49
7
9
Up
50
1
2
0.2
41
8
2
4
TANGGA 1
17
1.5
42
1.5
43
7
6
8.0 6.0
16
36
44
Up
1.5
0.2
1
4
3
31
45
3.8
Up
8 1.5 1.5
16
0.2 1.5
3
5
24.0
37
2
15
4.0
4
24.0
38
39
2
14
3
4.0
0.2
26
32
D
2
15
1.5
27
33
C
14
3
1.5
28
34
2
2
0.2
29
35
B
15
1.5
30
14
1.5
0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2 1.5 0.2
21
3.9
1
5.1
16
13
6.8
11
17
1
6.0
12
18
0.2
13
13
3
0.2
A
19
1
2
2
14
20
13
F
1
1.3
15
H 1
1
0
6
22
360cm.
2.4
2.4
0.2
7
2.4
1.2 1.2
1.5
8
0.3
0.2
9
12.8
OFFICE
STAIRS
10
23
Charge Forklift
19.4
1
19.4
1.2
2
19.4
1.2
3
24
G1
0.2
1.2
4
1.5
1.2
5
1.5
0.2
0.5
1.8
12.4 12.9
24.0
6.0
1.2
40
I / O POINT
G2
9.0 6.0
2.7
MEJA
25
14.2
12.8
2.7
1.2 0.5
2.0
LEMARI
36.0
36.0
21.8
9.0 0.8
18.5
I
4
4
5
6
5
1
2
3
36.0
36.0
(a) (b) Gambar 1 Tata Letak Gudang Eksisting (a) Lantai 1, (b) Lantai 2 Kedua adalah permasalahan yang berkaitan dengan jarak material handling. Pada Gudang A saat ini produk jadi yang masuk ke dalam gudang masih ditata secara acak dan belum memperhatikan frekuensi perpindahan barang. Produk jadi yang bersifat fast moving juga tidak diletakkan dekat pintu I/O, sehingga akses material handling yang ditempuh oleh operator forklift dalam operasional gudang semakin panjang dan lama. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, metode yang dapat digunakan dalam mengatur tata letak penyimpanan produk jadi adalah dengan kebijakan Class Based Storage (CBS) dan pendekatan simulasi. Dalam perancangan penyimpanan produk menggunakan CBS diberikan dua alternatif konsep, yaitu within aisle dan across aisle. Sedangkan simulasi digunakan untuk menghitung waktu nyata yang dibutuhkan untuk proses operasional gudang. Hasil analisa pengolahan data berupa alternatif layout yang dilengkapi dengan jarak dan waktu yang dihasilkan operator dalam aktivitas material handling untuk pergudangan. II. METODOLOGI PENELITIAN Tahapan penelitian dilakukan dengan menghitung utilitas gudang pada layout awal, frekuensi perpindahan, jumlah tempat penyimpanan dan jarak perpindahan. Setelah diketahui kondisi pada layout awal kemudian dilakukan perbaikan tata letak. Alternatif perbaikan menggunakan kebijakan CBS dengan melakukan pembentukan kelas berdasarkan prinsip pareto yang memperhatikan level aktivitas storage/retrieval (S/R) dalam gudang yaitu 80% aktivitas diberikan pada 20% jenis barang, 15% aktivitas diberikan pada 30% dari jenis barang dan 5% aktivitas diberikan pada 50% jenis barang (Heragu, 2008). Setelah kebijakan ini dilakukan selanjutnya dibuat dua alternatif konsep layout sebagai perbandingan, within aisle dan across aisle. Dari alternatif konsep layout yang dihasilkan, diperlukan sebuah metode yang dapat mensimulasikan rancangan tata letak yang baru. Simulasi dilakukan untuk menganalisis aspek lain sebagai pertimbangan pemilihan layout, yaitu output produk dan kategori waktu transportasi, meliputi waktu tunggu (wait time), waktu perpindahan (transfer time), waktu total dan utilitas transporter. Tahapan simulasi meliputi penentuan distribusi waktu proses, pembuatan activity cycle diagram (ACD), merancang model simulasi alternatif dengan software ARENA, verifikasi model, validasi model, penentuan jumlah replikasi, dan perbandingan output simulasi. Ukuran performansi dalam penelitian ini adalah luas area penyimpanan, utilitas gudang, utilitas area penyimpanan, kapasitas area penyimpanan dan jarak perjalanan produk jadi, serta waktu yang dibutuhkan untuk proses operasional di Gudang A. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahap ini dilakukan perhitungan pada layout awal, kemudian dilakukan perbaikan dengan alternatif layout yang berasal dari kebijakan penyimpanan pada gudang dan pendekatan simulasi. Layout terpilih adalah layout perbaikan yang mampu menurunkan jarak dan waktu material handling dari layout awal. A. Perhitungan Layout Awal Berikut merupakan langkah-langkah perhitungan pada layout awal: SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-37
Tama, Andriani, Putri
1) Perhitungan Utilitas: Perhitungan utilitas ruang berdasarkan utilitas blok yang tersedia dan total luas ruang. Pada gudang ini diketahui luas ruang dan luas total blok yang tersedia adalah 960 m2 dan 378,72 m2, sehingga utilitas ruang pada gudang ini adalah 39,45%. 2) Perhitungan Frekuensi Perpindahan: Frekuensi perpindahan dihitung dari seberapa banyak produk jadi I/O (dalam pallet) gudang dengan menggunakan peralatan material handling. 3) Perhitungan Jumlah Tempat Penyimpanan: Perhitungan jumlah tempat penyimpanan yang dibutuhkan diperoleh dari data maksimal jumlah produk jadi yang masuk setiap bulannya. Pada Tabel 1 menunjukan kebutuhan luasan penyimpanan yang didapat dari kebutuhan tempat penyimpanan dibagi dengan jumlah tumpukan maksimum produk jadi, yaitu 731 pallet. 4) Perhitungan Perpindahan Jarak Produk Jadi: Perhitungan jarak dilakukan dengan mengukur jarak titik I/O dengan titik pusat blok penyimpanan. Pada pengukuran jarak perpindahan diasumsikan jarak penyimpanan maupun pengambilan bolak-balik menggunakan jalur yang tetap sehingga jaraknya sama. Untuk menentukan titik pusat dari suatu benda, dilakukan dengan mencari titik berat dari benda tersebut. Titik berat gabungan beberapa benda homogen berbentuk luasan ditentukan dengan Rumus 1-3. X0 =
(1)
Y0 =
(2)
Z0 =
(3)
Dengan menganggap titik pada pojok kiri bagian depan gudang sebagai titik (0,0), maka koordinat titik pusat dari setiap blok penyimpanan adalah titik berat (x,y) dari blok tersebut. Terdapat beberapa produk jadi yang mempunyai lokasi penyimpanan lebih dari satu area, maka titik pusat ditentukan berdasarkan gabungan dari titik berat area penyimpanan. Berdasarkan perhitungan titik berat dihasikan titik pusat seperti Tabel 2. Selanjutnya dilakukan perhitungan jarak dengan menggunkan metode perhitungan jarak rectilinear (Rumus 4). dij = |xi – xj| + |yi - yj|
(4)
Dimana xi dan xj adalah koordinat x pada pusat fasilitas i dan j, sedangkan yi dan yj adalah koordinat y pada pusat fasilitas i dan j. Hasil perhitungan jarak perpindahan berdasarkan Tabel 2 untuk setiap produk diketahui bahwa total jarak perpindahan keseluruhan produk per bulannya adalah sebesar 57.234,93 m. Tabel 1 Frekuensi Perpindahan dan Kebutuhan Tempat Penyimpanan Setiap Produk pada Gudang A Jenis Produk
Produk In
Produk Out
CM E CM L SK E SK L LF E LF L MAG FC E MAG LF E FC E FC L NF KH NF FC WC E WC L TOTAL
19 42 43 36 36 103 194 165 261 187 23 26 133 55 1.324
7 26 20 19 16 41 171 146 233 147 12 14 54 26 876
Total Frekuensi 26 68 63 56 52 143 365 311 494 333 35 40 187 81 2.200
Maksimal In Produk (box) (A) 4.350 13.975 13.195 12.590 11.695 17.874 35.950 28.987 35.970 30.965 9.805 10.905 23.865 14.955
Kebutuhan tempat penyimpanan (Pallet) (B = A / 90 ) 48 155 147 140 130 199 377 322 400 344 109 121 265 166 2.923
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-38
Tumpukan (C) (*) 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Kebutuhan luasan penyimpanan (pallet) (D = B / C) 12 39 37 35 32 50 94 81 100 86 27 30 66 42 731
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi
Tabel 2 Koordinat Akhir Titik Pusat Area Penyimpanan dan Jarak Perpindahan Produk Layout Awal Item CM E CM L SK E SK L LF E LF L MAG FC E MAG LF E FC E FC L NF KH NF FC WC E WC L
Blok Penyimpanan I H, I C C B B C–D D –E – F – G – I A A–B C C B B-C TOTAL
Koordinat Titik Pusat Gabungan (x,y,z) (m) (33,73; 19,49; 4,5) (33,73; 11,99; 4,5) (18,5; 12,93; 3) (18,5; 12,93; 3) (12,05; 12,93; 3) (12,05; 12,93; 3) (21,7; 12,93; 3) (30,75; 14,46; 3,3) (3,8; 12,38; 3) (6,07; 12,53; 3) (18,5; 12,93; 3) (18,5; 12,93; 3) (12,05; 12,93; 3) (15,28; 12,93; 3)
Frekuensi Perpindahan 26 68 63 56 52 143 365 311 441 333 35 40 187 81 2.200
Jarak Penyimpanan (m) 35,92 28,42 19,23 19,23 25,68 25,68 16,03 25,86 33,38 31,26 19,23 19,23 25,68 22,46
Total jarak perpindahan (m) 929,66 1.932,17 1.205,95 1.069,08 1.323,16 3.684,03 5.858,82 8.033,31 14.734,40 10.418,59 673,14 763,20 4.793,65 1.815,78 57.234,93
B. Perhitungan Layout Perbaikan Class Based Storage Berikut merupakan langkah-langkah pembuatan layout perbaikan dengan Kebijakan CBS. Layout perbaikan dibuat dengan 2 alternatif konsep, yaitu dengan within aisle dan across aisle. 1) Pengurutan Aktivitas Perpindahan dan Pembentukan Kelas: Pengurutan aktivitas perpindahan berdasarkan total frekuensi perpindahan aktivitas S/R. Pembentukan kelas dengan membagi 14 jenis produk jadi ke dalam 3 kelas yang berbeda dengan prinsip Pareto. Pada kelas A dengan total persentase frekuensi perpindahan sebesar 80,94% dan jumlah item sebesar 25% terdiri dari item FC E, MAG FC E, FC L, MAG LF E, WC E, dan LF L. Pada kelas B dengan total persentase frekuensi perpindahan sebesar 14,49% dan jumlah item sebesar 25% terdiri dari item WC L, CM L, SK E, SK L, dan LF E. Sisa item berikutnya masuk pada kelas C. 2) Penentuan Luas Penyimpanan: Tempat penyimpanan yang digunakan berupa rak bertingkat dengan penggunaan pallet ukuran 120x120x16 cm3. Rak yang digunakan untuk satu pallet memiliki panjang 170 cm dan lebar 120 cm, serta tinggi 201,5 cm. Allowance untuk lebar aisle agar forklift dapat bermanuver adalah 4 m. Hal ini dijelaskan lebih lanjut pada Tabel 3. 3) Perancangan Layout Perbaikan: Layout perbaikan dengan within aisle, sebagai contoh untuk produk pada kelas A menempati blok penyimpanan dekat I/O point. Produk kelas A membutuhkan luasan tempat penyimpanan 477 pallet dan menempati blok A, B, C, D. Blok penyimpanan memiliki kapasitas 480 pallet, sehingga cukup untuk menampung keseluruhan produk. Untuk perhitungan utilitas diketahui luas gudang adalah 864 m2 dan luas blok yang tersedia 386,9 m2, maka utilitas gudang adalah sebesar 44,7%. Perhitungan yang sama dilakukan pula untuk konsep accross aisle. Tabel 3 Perhitungan Kebutuhan dan Koordinat Titik Pusat Tempat Penyimpanan pada Alternatif Layout Kelas
Item
FC E MAG FC E FC L A MAG LF E WC E LF L WC L CM L B SK E SK L LF E NF FC C NF KH CM E TOTAL
Kebutuhan tempat penyimpanan (Pallet)
Total kebutuhan luasan penyimpanan (pallet)
Alternatif Within Aisle
Alternatif Across Aisle
Blok Penyimpanan
Koordinat Titik Pusat Gabungan (x,y,z) (m)
Blok Penyimpanan
Koordinat Titik Pusat Gabungan (x,y,z) (m)
477
A, B, C, D
(26,25; 13,23; 3)
A, B, C, D, E
(20,39; 8,48; 3)
184
D1, E
(6,54; 8,10; 3)
A1, B1, C1, D1, E1
(20,22; 17,59; 3)
70
E2
(3,76; 18,37; 3)
A2, B2, C2, D2, E2
(30,63; 20,91; 3)
100 94 86 81 66 50 42 39 37 35 32 30 27 12 731
731
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-39
Tama, Andriani, Putri
Tabel 4 Perhitungan Frekuensi dan Jarak Perpindahan Produk Jadi pada Alternatif Layout Kelas
FC E MAG FC E FC L MAG LF E WC E LF L WC L CM L SK E SK L LF E NF FC NF KH CM E Total
A
B
C
Alternatif Within Aisle Jarak Perpindahan Total jarak (m) perpindahan (m) 9.129,43
Frekuensi Perpindahan
Item
441 365 333
7.559,17 6.893,56
20,68
311 187 143 81 68 63 56 52 40 35 26 2.200
Alternatif Across Aisle Jarak Perpindahan Total jarak (m) perpindahan (m) 5.849,55
13,25
6.424,06 3.860,72 2.967,06 2.131,03 1.791,99 1.652,69 1.465,11 1.357,87 1.564,10 1.379,53 1.019,99 49.196,3
26,35
39,41
4.843,43 4.416,96 4.116,13 2.473,70 1.901,10 1.792,30 1.507,15 1.389,99 1.232,23 1.142,03 1.299,40 1.146,06 847,37 33.957,41
22,69
32,74
4) Perhitungan Jarak Perpindahan: Dari koordinat blok penyimpanan, dihitung titik berat gabungan dari tempat penyimpanan setiap produk (Tabel 4). Selanjutnya perhitungan jarak dilakukan dengan metode rectilinear. Berdasarkan hasil pembuatan alternatif layout dan penempatan produk jadi disajikan pada Gambar 2. Setelah dilakukan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis terhadap hasil yang didapatkan yaitu tata letak barang dengan kebijakan CBS. Dengan hasil perbandingan alternatif antara konsep within aisle dan across aisle didapatkan alternatif terbaik adalah konsep across aisle yang memberikan penurunan jarak dari total jarak perpindahan kondisi eksisting adalah 57.234,93 m menjadi 33.957,41 m untuk kapasitas, luas blok, dan utilitas ruang yang sama. C. Simulasi Dari dua alternatif konsep tata letak sistem penyimpanan pada gudang dan selanjutnya dilakukan simulasi menggunakan software ARENA. Dari rancangan tata letak sistem penyimpanan dapat ditentukan jarak antar blok untuk masing-masing produk yang kemudian dijadikan input untuk menentukan waktu proses dan untuk mengetahui output produk (Law, 2000). Input lain adalah distribusi waktu tiap proses, kecepatan forklift sebagai transporter untuk material handling, distribusi waktu kedatangan, dan kecepatan material handling. Evalusi rancangan tata letak sistem penyimpanan pada gudang menggunakan ARENA melalui tahapan antara lain pembuatan activity cycle diagram (ACD), penentuan parameter distribusi waktu proses, pembuatan model simulasi menggunakan ARENA, verifikasi dan validasi, penentuan jumlah replikasi, dan membandingkan output simulasi untuk kedua alternatif. Pembuatan ACD dilakukan untuk pembuatan model konseptual dari sistem yang akan dimodelkan. Pada penentuan distribusi waktu tiap proses yang dilakukan pendugaan parameter dengan input analyzer ARENA.
13
12
11
1
13
1
2
D
14
2
14
2
15
3
15
3
15
3
16
4
16
4
16
4
17
5
17
5
17
5
13
1
B
C
7
20
19
18
17
23
22
17.8
32
31
38
37
36
49
54
43
48
53
42
47
52
41
18
6
18
6
18
6
19
7
19
7
19
7
D1 150cm.20cm.150cm.
50
55
E1
12
13
14
17
18
19
23
24
46
51
20
8
20
8
21
9
21
9
21
9
22
10
22
10
23
11
20
11
13
20
19
24
18
23
26
27
28
31
32
33
29
34
29
28
41
37
42
38
43
39
44
46
51
47
52
48
53
49
54
58
57
56
24
12
24
24
12
12
6
12
11
57
58
59
35
34
33
17
22
27
13
2
14
2
3
15
3
4
16
2
14
15
3
15
4
16
10
9
15
14
20
16
1
8
7
6
13
12
11
19
18
17
16
4
25
17
5
17
5
24
23
22
21
5
26
39
38
32
37
18
6
18
6
18
6
19
7
19
7
19
7
31
36
30
29
28
35
34
33
45
44
43
45
49
48
42
D1
41
E1 47
46
8
20
8
20
8
21
9
21
9
21
9
22
10
50
54
53
55
59
58
52
51
23
E2
57
11
D2
56
24
60
40
20
12
B1
C1 22
23
45
10
10
22
23
11
27
26
11
C2 24
B2 24
12
12
11.8
32.3 36.0
36.0
(a)
(b)
Gambar 2 Tata Letak Gudang Alternatif (a) Within Aisle, (b) Across Aisle SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-40
50
55
39
44
38
32
43
A1
49
54
48
53
37
31
42
47
52
36
41
46
51
6
18.1
18.1
A
1
B
21
40
3.8
11.8
150cm.
0.2
1
C
13
1
14
2
35
60
56
100cm.
0.5 7
1.0
59
1.0
3.8
3
30
6 60
D
13
8
30
50
10
22
23
11
14
4
25
55
23
E
17
36
8
5
16
22
40
20
9
OFFICE
2.4
15
26
19.4
33
39
20.6
28
34
40
20cm.150cm.20cm.150cm.20cm.
24.0
29
35
44
1
25
30
45
2
10
21 21
27
10
16 16
24
9
3
15
11
25
8
A
4
0.2
6
5
1.5
1.2
13
14
120
0.2
1.2
8.9
6
5
1.2
21.8
14
7
4
14.5
8
3
24.0
15
E
9
2
1.2
12.7
10
1
0.5
0.2
2.4 1
1.2
0.2
2
6.0 Charge Forklift
P1 6.0
1.2
1.5
3
P2
0.2
4
MEJA
1.5
5
6.0
1.2
14.2 3.0 I/O POINT
1.2
LEMARI
6.0
1.5
1.2
2.0m.
2.1 0.7
20.6
1.2
Office
8.1
1.2
36.0
3.0
0.8
Charge Forklift
P1
6.0 1.2
3.8
6.0
3.0
1.5
P2
21.8
14.2 I/O POINT
Meja
1.0
1.2
0.5
0.5
0.2
2.0
Lemari
19.4
36.0
21.8 3.0
0.8
60
59
A2 58
57
56
Optimasi Jarak dan Waktu Material Handling dengan Perbaikan Layout Berdasarkan Class Based Storage dan Simulasi
Tabel 5 Hasil Output Kategori Waktu Transportasi Eksisting dan Alternatif (jam) Replikasi 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata Replikasi 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
Eksisting 366,44 355,1 364,1 354,3 359,09 354,2 362,9 347,8 357,99 Eksisting 1.869,61 1.875,3 1.877,78 1.906,64 1.879,55 1.876,75 1.867,35 1.863,97 1.877,11
Wait Time Within Aisle 58,23 57,38 58,26 57,24 57,45 56,23 58,16 56,56 57,43 Total time Within Aisle 1.655,55 1.672,3 1.629,63 1.654,06 1.665,87 1.671,35 1.649,57 1.636,91 1.654,41
Across Aisle 31,52 30,93 31,6 31,66 32,03 30,97 30,83 30,67 31,27
Eksisting 8,059 8,375 8,374 8,334 8,385 8,364 8,375 8,365 8,328
Across Aisle 1.639,53 1.628,08 1.619,87 1.625,82 1.639,72 1.647,04 1.646,38 1.614,02 1.632,56
Eksisting 0,8094 0,7963 0,8062 0,7889 0,7953 0,8007 0,7944 0,7919 0,7978
Transfer time Within Aisle 6,275 6,274 6,265 6,254 6,264 6,314 6,345 6,286 6,286 Utilitas Transporter Within Aisle 0,2435 0,2433 0,2420 0,2441 0,2423 0,2431 0,2438 0,2404 0,2427
Across Aisle 5,655 5,643 5,643 5,654 5,614 6,316 5,635 5,614 5,711 Across Aisle 0,1657 0,1634 0,1653 0,1651 0,1647 0,1655 0,1638 0,1639 0,1647
Dari hasil penelitian, sistem yang dimodelkan dengan ARENA telah dianggap terverifikasi dan tervalidasi. Selanjutnya untuk mendapatkan error 5%, dilakukan penentuan jumlah replikasi. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah replikasi untuk setiap alternatif adalah sebanyak 8 kali. Berikut analisa antara kondisi eksisting dengan alternatif konsep layout. 1) Output Produk: Output dalam model simulasi aliran produk jadi dalam satuan pallet dimana satu pallet terdapat 90 box unit produk. Hasil simulasi dalam 8 kali replikasi untuk periode satu bulan menunjukkan rata-rata output alternatif konsep within aisle adalah 177 pallet, sedangkan untuk alternatif konsep across aisle adalah 179 pallet. Persentase peningkatan pengiriman bila dibandingkan dengan rata-rata pengiriman gudang eksisting (175 pallet) adalah 1,011% dan 1,016% untuk masing-masing alternatif konsep, within aisle dan across aisle. 2) Waktu Transportasi: Waktu trasportasi terdiri dari wait time, transfer time, total time dan utilitas transporter. Tabel 5 menunjukkan waktu transportasi dalam 8 kali replikasi untuk periode satu bulan. Rata-rata waktu transportasi pada alternatif layout diketahui lebih rendah daripada rata-rata waktu transportasi sistem penyimpanan eksisiting. IV. PENUTUP Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan perbaikan layout dengan kebijakan CBS dan 2 alternatif konsep yang telah dibuat, within aisle dan across aisle, maka terpilih alternatif layout dengan kebijakan CBS dan konsep across aisle yang mampu menurunkan jarak perpindahan sebesar 40,67% dari total jarak perpindahan pada kondisi eksisting sebesar 57.234,93 meter menjadi 33.957,41 meter. Demikian pula untuk hasil simulasi didapatkan alternatif CBS dengan konsep across aisle adalah yang paling optimal, karena menurunkan waktu material handling sebesar 13,1% dari 1.877,11 jam menjadi 1.632,56 jam. Oleh karena itu, tata letak sistem penyimpanan yang terpilih dari keseluruhan perbandingan hasil yang dianalisis dan sebaiknya diterapkan oleh perusahaan adalah alternatif CBS dengan konsep Across Aisle. DAFTAR PUSTAKA Apple, J. M., 1977, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Jilid III Cetakan Tahun 1990, terjemahan N. Mardiono, Bandung: Intitut Teknologi Bandung. Heragu, S., 2008, Facilities Design Third Edition, New York: CRC Press. Law, A.M., & Kelton, W.D., 2000, Simulation Modelling and Analysis, 3rd Ed, New York: McGraw-Hill. Mulcahy, D.E., 1992, Warehouse and Distribution Operation Handbook International Edition, New Jersey: Prentice Hall. Purnomo, H., 2004, Perencanaan dan Perancangan Fasilitas, Yogyakarta: Graha Ilmu. Tompkins, J.A., & Smith, J.D., 2003, The Warehouse Management Handbook. Wignjosoebroto, S., 2009, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Surabaya: Guna Widya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-41
Petunjuk Sitasi: Handayani, N. U., Sari, D. P., Ayuningtyas, D. A., & Fatmila. (2017). Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B42-50). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis Naniek Utami Handayani(1), Diana Puspita Sari(2), Devi Amalia Ayuningtias(3), Fatmila(4) ( 1), (2), (3), (4) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia 50275 (1)
[email protected] ABSTRAK Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) merupakan pengembangan dari unit terminal peti kemas dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Kegiatan bongkar muat merupakan inti dari kegiatan yang ada di TPKS yang memiliki banyak risiko yang mungkin terjadi dan dapat menimbulkan kerugian terutama bagi pemilik kapal maupun pemilik barang. Penelitian ini bertujuan untuk meminimasi risiko yang terjadi melalui identifikasi dan analisis terhadap variabel-variabel risiko serta menentukan mitigasi risiko. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis (PIA). Berdasarkan studi pendahuluan didapatkan 22 risiko pada kegiatan bongkar muat yang berdampak terhadap variabel kecelakaan kerja, biaya, dan waktu. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan 5 risiko dengan nilai indeks risiko total tertinggi yaitu kapal menabrak dermaga sebesar 9.750; pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal sebesar 9.286; pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading sebesar 8.741; petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal sebesar 8.250; dan pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading sebesar 8.143. Berdasarkan hasil tersebut diusulkan mitigasi risiko, seperti dijelaskan sebagai berikut. Untuk risiko kapal menabrak dermaga, mitigas risiko yang dapat dilakukan adalah mengalihkan risiko pada pihak ketiga dan mengoptimalkan penggunaan peralatan navigasi pada saat kapal berlabuh. Sedangkan risiko kecelakaan kerja pada pekerja, mitigasi risiko yang dapat dilakukan adalah pelatihan tentang K3 dalam kegiatan bongkar muat, pemasangan SOP dan rambu-rambu tanda bahaya, serta penggunaan alat pelindung diri bagi pekerja dalam kegiatan bongkar muat barang di TPKS. Kata kunci— Risiko; AHP Pairwise Comparison; Probability Impact Analysis, Matriks Risiko; Mitigasi
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan keberadaan sistem transportasi laut yang mampu menjadi penggerak pertumbuhan, perdagangan dan pembangunan ekonomi. Posisi geografis yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menjadikan wilayah laut Indonesia sebagai jalur perdagangan yang padat untuk rute internasional maupun domestik. Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) merupakan pengembangan dari unit terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Sejak tanggal 1 Juli 2001 TPKS ditetapkan menjadi unit bisnis tersendiri yang terpisah dari manajemen Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. TPKS berfungsi sebagai pintu gerbang utama perekonomian Jawa Tengah dan DIY untuk moda transportasi laut. Kegiatan pelayanan di TPKS sendiri berupa bongkar muat, receiving, delivering, ubah status (behandle) dan Less Than Container Load (LCL). Berdasarkan hasil studi penahuluan, arus bongkar muat peti kemas mengalami peningkatan tiap tahunnya, hal ini dapat dilihat dari throughput tahun 2014 575.671 TEU’s (Twenty Foot Equivalent Unit) dan meningkat hingga mencapai 608,201 TEU’s di tahun 2015. Namun, hal ini
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-42
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
belum diimbangi dengan upaya peningkatan performansi pelayanan yang berujung pada peningkatan efisiensi kerja. Kegiatan bongkar muat pada TPKS bukanlah tanpa risiko dan dapat menimbulkan kerugian terutama bagi pemilik kapal maupun pemilik barang. Risiko yang timbul dapat mengakibatkan kerugian yang dikategorikan berdasarkan K3, biaya dan waktu. Kegiatan bongkar muat memiliki risiko yang tinggi seperti tenggelam, kebakaran, tabrakan, dan lain-lain (Liu dan Wirtz, 2006, Wang dan Foinikis, 2001). Risiko tersebut dapat menimbulkan kerugian material, sistem, bahkan nyawa (Wang, 2008). Untuk mengatasi risiko serta kerugian yang timbul diperlukan suatu sistem yang mampu mengendalikan risiko (Wang, 2008). Manajemen risiko adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengidentifikasi hazard, mengevaluasi risiko, dan mengendalikan risiko untuk mengurangi kecelakaaan. Untuk menghindari risiko yang terjadi baik itu kecelakaan kerja, biaya yang ditimbulkan dan waktu kegiatan di TPKS, maka dilakukan analisis terhadap variabel-variabel risiko yang ada, kemudian ditentukan langkah tepat untuk memitigasi risiko tersebut, sehingga kegiatan bongkar muat di TPKS dapat berjalan lancar dan optimal. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi risiko yang terjadi dari seluruh kegiatan operasional bongkar muat petikemas. (2) menilai risiko-risiko yang terjadi pada kegiatan bongkar muat petikemas. (3) menentukan respon penanganan terhadap risiko yang tertinggi. II. METODOLOGI PENELITIAN A. AHP Pairwise Comparison AHP adalah suatu metode/teknik pengambilan keputusan secara sistematis atas persoalan yang kompleks berupa sebuah model yang dibuat menyerupai proses pengambilan keputusan manusia (human decision process) (Saaty, 1980, 2003). Tujuan analisis AHP adalah untuk mendapatkan prioritas unsur dalam elemen. Untuk itu, perlu dilakukan pengukuran tingkat kepentingan (prioritas) antar unsur dalam elemen. Teknik untuk mendapatkan ukuran tingkat kepentingan ini dilakukan dengan cara membandingkan tiap unsur satu sama lain atau disebut sebagai pairwise comparison. Basis dari ukuran ini adalah persepsi manusia (human perception), lebih khusus lagi adalah persepsi dari ahli pada bidangnya (Saaty, 1980, 2003). Tabel 1 Nilai Kepentingan AHP Tingkat Definisi Sama 1 Pentingnya Sedikit lebih 3 penting 5
Lebih Penting
7
Sangat Penting
9
Mutlak lebih penting
2,4,6,8 Nilai Tengah
Keterangan Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama Pengalaman dan penilaian sangat memihak satu elemen dibandingkan dengan pasangannya Satu elemen sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, dibandingkan dengan elemen pasangannya. Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara praktis dominasinya sangat nyata, dibandingkan dengan elemen pasangannya. Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai dibandingkan dengan pasangannya, pada keyakinan tertinggi. Diberikan bila terdapat keraguan penilaian di antara dua tingkat kepentingan yang berdekatan.
Langkah penyelesaian Pairwise Comparison : 1. Tetapkan permasalahan, kriteria dan sub kriteria (jika ada), dan alternative pilihan. 2. Membentuk matrik Pairwise Comparison,kriteria. Terlebih dahulu melakukan penilaian perbandingan dari kriteria. 3. Menentukan rangking kriteria dalam bentuk vector prioritas (disebut juga eigen vector ternormalisasi). a. Ubah matriks Pairwise Comparison ke bentuk desimal dan jumlahkan tiap kolom tersebut b. Bagi elemen-elemen tiap kolom dengan jumah kolom yang bersangkutan. c. Hitung Eigen Vektor normalisasi dengan cara menjumlahkan tiap baris kemudian dibagi dengan jumlah kriteria
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-43
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
B.
PIA (Probability Impact Analysis) Probability Impact Analysis adalah proses penilaian risiko dengan memperhatikan tingkat peluang terjadinya risiko dengan dampaknya. Risk assessment ini menggunakan tabel matriks yang terbagi menjadi beberapa warna dengan kriteria masing-masing (Bourne dan Walker, 2005; Chen, dkk, 2010). Risk Criteria adalah ukuran standar seberapa besar dampak atau konsekuensi yang mungkin akan terjadi dan seberapa besar kemungkinan atau frekuensi atau likelihood risiko akan terjadi. Gambar 1 merupakan contoh kriteria risiko. Risk Identification yaitu cara melakukan identifikasi risiko-risiko yang dapat terjadi di masa yang akan datang (yaitu: risiko apa, kapan, di mana, bagaimana, mengapa suatu risiko bisa terjadi). Identifikasi ini termasuk pengidentifikasian poses-proses/tugas-tugas/aktifitas-aktifitas kritikal atau kunci, pengenalan area-area risiko dan katagorinya. Risk Analysis yaitu proses menentukan berapa besar dampak (impact atau consequences) dan kemungkinan (frequency atau likelihood) risiko-risiko yang akan terjadi, serta menghitung berapa besar level risikonya dengan mengalikan antara besar dampak dan besar kemungkinan (Risk = Consequences x Likelihood). Risk Evaluation atau membandingkan risiko-risiko yang sudah dihitung diatas dengan Kriteria Risiko yang sudah distandarkan (menempatkan posisi risiko-risiko pada gambar kriteria risiko), apakah risiko-risiko itu acceptable/dapat diterima, menjadi issue/diwaspadai, atau unacceptable/tidak diterima, serta memprioritaskan mitigasi atau penangannya. Lihat gambar di bawah ini, risiko nomor 1 dan 5 terletak di daerah warna merah Unacceptable Risk dan menjadi prioritas untuk dilakukan penanganan atau mitigasinya.
Gambar 1 Matriks Risk criteria
Tabel 2 Matriks Risk evaluation
C.
Tahapan Penelitian Tahap pertama penelitian ini adalah mengidentifikasi risiko dengan cara brainstorming kepada pihak manajemen K3 serta observasi secara langsung, setelah itu didapatkan bahwa risiko yang terjadi pada saat kegiatan bongkar muat peti kemas berjumlah 22 risiko. Setiap risiko SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-44
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
tersebut dicari peluang dan dampak yang terjadi terhadap ketiga variabel yaitu kecelakaan kerja, biaya, dan waktu. Selanjutnya diperoleh nilai Probability Impact Analysis dengan mengalikan nilai peluang dengan masing-masing dampak. Selanjutnya penilaian perbandingan berpasangan diolah dengan menggunakan metode Pairwise Comparison, sehingga didapatkan bobot dari masing-masing variabel kecelakaan kerja, biaya dan waktu. Kemudian masing-masing variabel tersebut dikalikan dengan bobot, dimana Indeks = Probabilitas (P) x Dampak (I) x Bobot untuk mendapatkan indeks risiko dari masing masing variabel risiko tersebut. Setelah didapatkan nilai indeks risiko kemudian dilakukan penjumlahan dari masing-masing variabel untuk mendapatkan nilai indeks risiko total. Hasil penjumlahan dari masing-masing variabel risiko keccelakaan kerja, biaya dan waktu maka didapatkan 5 nilai indeks risiko total tertinggi Dari 5 nilai indeks risiko tertinggi didapatkan penanganan/ respon risiko serta dilakukan pengendalian risiko yang tepat. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Risiko Tahap pertama penelitian ini adalah mengidentifikasi resiko dan mengklasifikasikannya berdasarkan kategori resiko yang mungkin terjadi. Identifikasi resiko disajikan pada Tabel 3, sedangkan klasifikasi resiko disajikan pada Tabel 4. Tabel 3 Identifikasi Risiko No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Risiko Kapal kemungkinan akan tabrakan / bersenggolan / bersinggungan dengan kapal lain Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Kapal larat/hanyut terbawa arus Tali kapal tunda/tali tross putus Kapal menabrak dermaga Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM terjatuh dari ketinggian sewaktu berada diatas petikemas loading/unloading Komponen kapal ditabrak oleh petikemas Pencemaran udara (gas buang dari knalpot HT (Head Truck), engine CC dan kapal CC Roboh dan menimpa HT Sakit punggung, mata pusing (Ergonomics) Loading and Unloading Containers tidak tepat lokasi Kebakaran Limbah oli bekas dan barang/material yang terkontaminasi oli serta gemuk Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading RTG Roboh RTG tertabrak HT (Head Truck) Stacker, Side Loader & Forklift tertabrak HT Truck Loading and Truck Lossing Tabrakan antar HT Gate In/Out tertabrak HT
pada
waktu
Tabel 4 Klasifikasi Risiko Kategori
Machine
No 1 2 4 6 7 10 12 14
Risiko Kapal kemungkinan akan tabrakan / bersenggolan /bersinggungan dengan kapal lain Menabrak atau tertabrak perahu nelayan yang berada di alur pelayaran Kapal larat/hanyut terbawa arus Kapal menabrak dermaga Haluan kapal menabrak Container Crane (CC) Komponen kapal ditabrak oleh petikemas CC Roboh dan menimpa HT Loading and Unloading Containers tidak tepat lokasi
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-45
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
Kategori
Man
Material Environment
No 19 20 21 22 23 24 3 8 9 13 17 18 5 15 16
Risiko RTG Roboh RTG tertabrak HT (Head Truck) Stacker, Side Loader & Forklift tertabrak HT Truck Loading and Truck Lossing Tabrakan antar HT Gate In/Out tertabrak HT Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM terjatuh dari ketinggian sewaktu berada diatas petikemas pada waktu loading/unloading Sakit punggung, mata pusing (Ergonomics) Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading Tali kapal tunda/tali tross putus Kebakaran Limbah oli bekas dan barang/material yang terkontaminasi oli serta gemuk
B. Risk Assessment Setelah dilakukan identifikasi dan klasifikasi resiko, selanjutkan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan risk assessment seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai Indeks dengan Bobot No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
K3 0.536 4.714 0.857 0.938 2.786 4.527 1.929 1.071 3.536 1.714 3.000 3.536 2.813 3.134 4.420 3.536 1.714 2.143 2.786 2.679 2.063 2.625
Biaya 1.393 2.357 1.393 1.688 5.223 3.482 1.768 2.946 1.929 1.929 1.500 1.768 2.625 1.741 3.241 3.536 1.500 2.143 2.143 1.875 1.875 2.063
Waktu 0.357 1.179 0.536 0.625 1.741 1.277 0.589 0.893 0.429 0.464 1.000 0.688 0.875 0.696 1.080 1.071 0.500 0.714 0.714 0.536 0.625 0.500
Jumlah 2.286 8.250 2.786 3.250 9.750 9.286 4.286 4.911 5.893 4.107 5.500 5.991 6.313 5.571 8.741 8.143 3.714 5.000 5.643 5.089 4.563 5.188
C. Matriks Penilaian Indeks Risiko Akibat Kecelakaan Kerja Tahap selanjutnya dilakukan penilaian risiko yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja, seperti disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa risiko akibat kecelakaan kerja ditunjukkan oleh risk agent 6, 12, 16, 2, dan 15.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-46
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
Tabel 6 Matrik Risiko Akibat Kecelakaan Kerja
D. Matriks Penilaian Indeks Risiko Akibat Biaya Penilaian risiko yang diakibatkan oleh biaya, seperti disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa risiko akibat kecelakaan kerja ditunjukkan oleh risk agent 6, 8, 15, 16, dan 5. Tabel 7 Matrik Risiko Akibat Biaya
E. Matriks Penilaian Indeks Risiko Akibat Waktu Penilaian risiko yang diakibatkan oleh waktu, seperti disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa risiko akibat kecelakaan kerja ditunjukkan oleh risk agent 2, 6, 15, 16, dan 5. Tabel 8 Matrik Risiko Waktu
F. Penentuan Risiko Tertinggi Tabel 9 merupakan lima risiko tertinggi pada kegiatan bongkar muat peti kemas Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Tabel 9 Identifikasi Risiko Tertinggi No 1 2 3 4 5
Risiko Kapal menabrak dermaga Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-47
Jumlah 9.750 9.286 8.741 8.250 8.143
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
Tabel 10 menyajikan perencanaan penanganan (respon) terhadap risiko yang terjadi pada TPKS Tanjung Mas Semarang. Tabel 10 Respon Risiko No 1 2 3 4 5
Risiko Kapal menabrak dermaga Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading
Penanganan Transferred Avoidance Avoidance Avoidance Avoidance
G. Mitigasi Risiko Setelah diketahui risiko tertinggi, selanjutnya dilakukan mitigasi risiko, seperti disajikan pada Tabel 11. Mitigasi risiko hanya dilakukan pada lima risiko tertinggi agar dapat dilakukan tindakan perbaikan sesegera mungkin. Tabel 11 Mitigasi Risiko Risiko
Kapal menabrak dermaga
Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal
Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading
Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal
Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading
Pengendalian Menggunakan semua alat navigasi yang ada di kapal Menggunakan lampu sorot (malam hari) untuk menghindari tabrakan antar perahu ataupun dermaga Menggunakan lampu sorot (malam hari) jika kondisi lampu Bouy padam Nahkoda yang akan keluar/masuk kolam pelabuhan, dalam pengoperasian kapalnya harus mengikuti saran petugas pandu Memperhatikan kekuatan arus/angin karena banyaknya kapal yang berlabuh/tambat di Rede. Memperhatikan radio panggil di stasiun pandu Memperhatikan posisi tambat/labuh Memperhatikan jarak berlabuh diantara kapal Memperhatikan posisi jangkar kapal yang lain. Pekerja/TKBM menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Pekerja/TKBM mendapatkan pelatihan handling petikemas diatas deck kapal Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pemberian rambu‐rambu peringatan di deck kapal. Pekerja/TKBM menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pemberian rambu‐rambu peringatan di area loadng/unloading Petuags pandu menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pekerja/TKBM menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift Pemberian rambu‐rambu peringatan di area loadng/unloading Pembatasan area/jalur khusus forklift sehingga tidak untuk jalur pejalan kaki
H. Analisis SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-48
Analisis Risiko Bongkar Muat Petikemas di TPKS Tanjung Emas Semarang Menggunakan Metode Pairwise Comparison dan Probability Impact Analysis
Berdasarkan tahap pengolahan data, dapat diidentifikasi bahwa risiko yang terjadi pada saat kegiatan bongkar muat peti kemas berjumlah 22 risiko. Setiap risiko tersebut dicari peluang dan dampak yang terjadi terhadap ketiga variabel yaitu kecelakaan kerja, biaya, dan waktu. Selanjutnya diperoleh nilai Probability Impact Analysis dengan mengalikan nilai peluang dengan masing-masing dampak. Selanjutnya penilaian perbandingan berpasangan dilakukan dengan menggunakan metode Pairwise Comparison, sehingga didapatkan bobot dari masing-masing variabel kecelakaan kerja, biaya dan waktu adalah secara berurutan yaitu 42,857%, 42,857%, 14,286%. Kemudian masing-masing variabel tersebut dikalikan dengan bobot, dimana Indeks = Probabilitas (P) x Dampak (I) x Bobot untuk mendapatkan indeks risiko dari masing masing variabel risiko tersebut. Setelah didapatkan nilai indeks risiko kemudian dilakukan penjumlahan dari masing-masing variabel untuk mendapatkan nilai indeks risiko total. Hasil penjumlahan dari masing-masing variabel risiko keccelakaan kerja, biaya dan waktu maka didapatkan 5 nilai indeks risiko total tertinggi yaitu kapal menabrak dermaga sebesar 9.750, pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal sebesar 9.286, pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading sebesar 8.741, petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal sebesar 8.250 dan pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading sebesar 8.143. Mengacu pada 5 nilai indeks risiko tertinggi, respon risiko dapat dilakukan dengan mengalihkan/transfer risiko pada pihak ketiga (pihak asuransi) untuk kegiatan kapal menabrak dermaga. Sedangkan untuk pekerja/TKBM yang bekerja diatas kapal dengan risiko terpeleset, tersandung, kejatuhan benda, pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading, petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal, pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading respon risiko adalah menghindari risiko dengan cara pemberian pelatihan tentang K3 khususnya kegiatan operasional bongkar muat petikemas di pelabuhan dan penempatan gambar-gambar atau ramburambu peringatan tentang bahaya kerja. Untuk kegiatan kapal berada di sepanjang alur pelayaran menuju rede terdapat risiko kapal menabrak dermaga pengendalian risiko diantaranya menggunakan semua alat navigasi yang ada di kapal, menggunakan lampu sorot (malam hari) untuk menghindari tabrakan antar perahu ataupun dermaga, serta jika kondisi lampu Bouy padam, nahkoda yang akan keluar/masuk kolam pelabuhan, dalam pengoperasian kapalnya harus mengikuti saran petugas pandu, memperhatikan kekuatan arus/angin karena banyaknya kapal yang berlabuh/tambat di Rede, memperhatikan radio panggil di stasiun pandu, memperhatikan posisi tambat/labuh, memperhatikan jarak berlabuh diantara kapal, dan memperhatikan posisi jangkar kapal yang lain. Untuk risiko pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal, pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading, petugas pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal, dan pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading pengendalian risiko yang dilakukan adalah dengan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) yang diwajibkan seperti Safety Shoes, Helm Pengaman, Rompi Skotlet, Safety briefing /Safety Talk dilakukan setiap hari sebelum mulai bekerja atau pergantian shift, dan pemberian rambu‐rambu peringatan di area loadng/unloading.
IV. PENUTUP Berdasarkan penelitian didapatkan 5 risiko dengan nilai indeks risiko total tertinggi adalah Kapal menabrak dermaga sebesar 9.750, Pekerja/TKBM terpeleset, tersandung, kejatuhan benda di deck kapal sebesar 9.286, Pekerja/TKBM tertabrak RTG (Rubber Tyred Gantry) sewaktu loading/unloading sebesar 8.741, Petugas Pandu terjatuh, terjepit pada saat naik atau turun kapal sebesar 8.250 dan Pekerja/TKBM tertabrak Stacker, Forklift, Side Loader sewaktu loading/unloading sebesar 8.143. Penanganan untuk risiko tinggi dengan perlakuan/tindakan atas risiko adalah perlu rencana penurunan (Mitigasi) risiko (Action Plan) menghindari risiko (Risk Avoid) dan/atau melakukan transfer risiko dan untuk Moderate maka perlakuannya adalah perlu rencana penurunan risiko dan monitoring pelaksanaan oleh pemilik risiko. DAFTAR PUSTAKA SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-49
Handayani, Sari, Ayuningtias, Fatmila
Bourne, L., dan Walker, D.H.T., (2005). Visualising and mapping stakeholder influence. Management decision, 43(5), 649-660. Chen, S., Fath, B.D., dan Chen, B., (2010). Ecological risk assessment of hydropower dam construction based on ecological network analysis. Procedia Environmental Sciences 2, 725-728. Liu, X., dan Wirtz, K.W., (2006). Total oil spill costs and compensations. Maritime Policy and Management, 33(1), 469-60. Saaty, T.L., (1980). The Analytic Hierarchy Process, Planning, Piority Setting, Resource Allocation. McGraw-Hill, New York. Saaty, T.L., (2003). Decision-making with the AHP: Why is the principal eigenvector necessary. European Journal of Operational Research, 145(1), 85-91. Wang, H., (2008). Safety Factors and Leading Indicators in Shipping Organizations: Tanker and Container Operation. Doctor of Philosophy Dissertation. Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York Wang, J. dan Foinikis P., (2001). Formal Safety Assessment of Containerships. Marine Policy, 25, 143 –57. doi:10.1016/S0308-597X(01)00005-7
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-50
Petunjuk Sitasi: Permata, E. G., & Muslim. (2017). Penerapan Quality Function Deployment (QFD) untuk Pengembangan Produk Kaos Distro. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B51-56). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru Ekie Gilang Permata(1), Muslim (2) (1), (2)
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sultan Syarif Kasim Riau Jl. HR. Soebrantas No. 155 Simpang Baru, Panam, Pekanbaru, 28293 (1)
[email protected]
ABSTRAK Kaos distro di Kota Pekanbaru sudah berkembang dengan baik, ditunjukkan dengan banyaknya gerai distro yang bermunculan. Namun sebagian besar kaos distro yang ada di Kota Pekanbaru adalah produk yang berasal dari luar daerah sehingga harganya relatif mahal. Beberapa pengusaha konveksi di Kota Pekanbaru telah memproduksi kaos distro dengan brand lokal membawa konsep masing-masing dan menawarkan harga lebih murah dari produk luar, tetapi produk lokal tersebut kalah bersaing. QFD (Quality Function Deployment) adalah metode perencanaan dan pembangunan produk secara terstruktur yang memungkinkan tim pengembang mendefinisikan secara jelas kebutuhan dan harapan konsumen dan mengevaluasi kemampuan produk/jasa secara sistematik untuk memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk dengan metode QFD, menguji konsep produk kepasar, dan menentukan HPP (harga pokok produksi) serta harga jual per unit menggunakan metode mark up. Berdasarkan hasil penelitian, untuk dapat membuat produk sesuai keinginan konsumen pihak produsen harus melakukan upaya agar produk unggul dalam kualitas atau setidaknya sama, menekan biaya produksi hingga harga berada dibawah rata-rata pesaing dan memperbaiki aspek pelayanan. melalui hasil perhitungan harga pokok produksi adalah sebesar Rp.30.000,- untuk tipe kaos O-neck unisex dan harga jual sebesar Rp.60.000,Kata kunci— Harga Jual, Harga Pokok Produksi, Kaos Distro, Quality Function Deployment
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekembangan produk kaos distro mulai pesat di Kota Pekanbaru mengikuti trend segmen remaja yang dinamis. Beberapa gerai yang menjual kaos distro bermunculan di berbagai sudut kota. Bahkan di beberapa mal besar yang ada di Kota Pekanbaru, gerai distro cukup dominan keberadaannya. Perkembangan tersebut tidak sebanding dengan jumlah produsen lokal kaos distro yang ada di Kota Pekanbaru. Sebagian besar produk kaos distro masih berasal dari luar kota, terutama Bandung dan Jakarta. Melihat potensi pasar yang ada, seharusnya produsen lokal bisa mengoptimalkan angka penjualan. Berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa brand lokal, rata-rata penjualan adalah sekitar 82 unit. Angka pejualan ini kalah dibanding produk luar yang berkembang. tentu masalah diatas membutuhkan solusi. Jumlah penduduk di Provinsi Riau sekitar 5 juta jiwa tersebar di 13 kota/kabupaten yang ada. Sedangkan penduduk Kota Pekanbaru sebesar 999.031 orang yang merupakan calon konsumen kaos distro. Segmen potensial produk kaos distro berada pada jenjang umur 15-29 tahun, dengan jumlah sebanyak 308.632 jiwa atau sebesar 30,89 % dari total jumlah penduduk Kota Pekanbaru. Penerapan QFD dapat mengurangi waktu desain sebesar 40 % dan biaya desain sebesar 60 % secara bersamaan dengan dipertahankan dan ditingkatnya kualitas desain. QFD berperan besar dalam meningkatkan kerja sama tim interfungsional yang terdiri dari anggota-anggota departemen pemasaran, riset dan pemasaran, pemanufakturan, dan penjualan dalam berfokus pada pengembangan produk (Diana dkk, 2001). B. Tujuan Penelitian Berdasarkan Latar Belakang dan Perumusan Masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-51
Permata, Muslim
1. 2.
Untuk mengetahui respon teknis yang sesuai dengan kemampuan pengembang berdasarkan VoC (Voice of Costumer) Untuk menentukan aspek teknis yang tepat dalam mengembangkan produk kaos distro di Kota Pekanbaru
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kota Pekanbaru dengan populasi masyarakat berjenis kelamin lelaki dengan range usia 15-29 tahun. Metode yang digunakan adalah Quality Function Deployment (QFD) dan menentukan harga jual produk A. Quality Function Deployment (QFD) Membangun House of Quality diperlukan beberapa persamaan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Menentukan nilai importance to costumer Untuk mengetahui tingkat kepentingan yang paling diperhatikan oleh responden. Dapat diselesaikan menggunakan persamaan berikut: (1) 2. Menentukan nilai current satisfaction performance Untuk mengetahui atribut kuesioner yang paling diinginkan costumer agar dapat memuaskan responden. Perhitungnnya dapat diselesaikan dengan persamaan berikut: CSP
(2)
3. Menentukan expected Satisfaction Costumer Untuk mengetahui atribut kuesioner yang paling diharapkan costumer agar dapat memenuhi ekspektasi responden. Perhitungannya dapat diselesaikan dengan persamaan berikut: (3) 4. Menghitung improvement ratio Merupakan rasio perbandingan antara expected satisfaction ratio dengan current satisfaction performance. (4) 5. Menentukan sales point Tujuan menentukan sales point adalah untuk melihat atribut mana yang paling mempengaruhi konsumen untuk memberi produk. Tabel 1. Nilai dan Keterangan Sales Point
Nilai Sales Ponit 1 1.2 1.5
Keterangan Tidak ada titik jual Titik penjualan menengah Titik penjualan kuat
6. Menghitung raw wight Model ini menggambarkan perioritas kebutuhan konsumen yang harus dikembangkan oleh produsen (perusahaan) dari masing-masing costumer needs. Perhitungannya dapat diselsaikan menggunakan persamaan berikut: Raw weight = Importence to costumer x Improvement ratio
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-52
(5)
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) Untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru
7. Menghitung normalized raw wight Merupakan persentase raw wight, perhitungannya dapat diselasikan menggunakan persamaan berikut:
(6) 8. Mengembangkan hubungan antara matriks whats dan hows. Pada setiap elemen matriks kebutuhan pelanggan akan dicari solusi atau rekayasa teknisnya. Tetapi perlu diketahui seberapa jauh pengaruh technical descriptor dalam menangani dan mengendalikan kebutuhan konsumen atau pelanggan. 9. Menentukan hubungan antara matriks hows Tahap ini berfungsi memetakan interrelationship dan interdependencies antar rekayasa teknis. 10. Menentukan urutan perioritas respons teknis Digunakan untuk menentukan urutan perioritas pelaksanaan respons teknis. Nilai kebutuhan proses diperoleh dengan rumus: (7) Dimana: KPi : Nilai absolut parameter teknik setiap atribut. BPi : Kepentingan relatif (normalisasi bobot) atibut jasa yang di inginkan yang memiliki hubungan dengan kebutuhan proses. Hi : Nilai hubungan atau interaksi antara atribut 11. Kepentingan relatif Merupakan persentase nilai absolut parameter teknis. Dapat dihitung melalui persamaan berikut:
(8)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Populasi penelitian adalah Masyarakat kota Pekanbaru Usia 15-29 tahun dengan Sampel yang telah ditentukansebelumnya sebesar 120 responden. Metode penentuan jumlah sampel menngunakan rumus slovin. Data yang disebarkan kepada sampel adalah kuesioner VoC (Voice of Costumer) yang merupakan pengembangan dari dimensi kualitas produk yang dikembangkan oleh Davin Garvin tahun 1987 B. Pengujian Konsep Produk ke Pasar Tujuan pengujian konsep ke pasar adalah untuk melihat perkiraan berapa produk yang akan dibeli pasar dalam periode waktu tertentu, selain untuk memberi gambaran berapa seharusnya produk awal yang akan diproduksi, juga dapat digunakan untuk acuan menentukan harga pokok produksi (HPP) dan harga jual. Q=NxAxP
(9)
Diketahui P = Cdefinitely x Fdefinitely x Cprobably x Fprobably Q = Jumlah produk yang diaharapkan terjual pada periode waktu tertentu N = Jumlah pelanggan potensial yang diharapkan membeli selama periode waktu tertentu. A = Proporsi pelanggan potensial P = Peluang produk akan dibeli jika tersedia dan jika pelanggan menyadari keberadaan produk tersebut.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-53
Permata, Muslim
Fprobably Fdefinitely
= Proporsi pelanggan survei yang memilih skala “mungkin akan membeli” (second box score) = Proporsi pelanggan survei yang memilih skala “pasti akan membeli” (top box score)
Cdefinitely & Cprobably merupakan Konstanta kalibrasi yang biasanya ditetapkan berdasarkan pengalaman perusahaan dengan produk yang sama dimasa lalu. Umumnya berkisar pada interval : 0.10 < Cdefinitely < 0.50, dan 0 < Cprobably < 0.25. jika tidak terdapat masa lalu, sebagian besar tim pengembang menggunakan nilai 0.4 Cdefinitely untuk dan 0.2 untuk Cprobably. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tabel 2. Atribut Kuesioner VoC (Voice of Costumer) Butir Pertanyaan Kualitas jahitan lingkar leher Kualitas jahitan sambungan bagian ketiak Kualitas jahit obras bagian dalam kaos Kualitas jahitan pada pundak Kerapian jahitan kaos Kesesuaian keinginan terhadap konsep desain Kesesuaian keinginan terhadap variasi model kaos distro Kesesuaian keinginan terhadap variasi warna kaos distro Kesesuaian harga dengan kualitas Daya tahan sablon pada kaos Daya tahan kain yang digunakan pada kaos distro Kemampuan Promosi Kemampuan pelayan berkomunikasi dengan costumer Kemudahan menghubungi pusat informasi produk Penanganan keluhan costumer Ketepatan pelayanan Keramahan, perhatian, dan kesopanan penjual (pelayan) Desain sablon kaos distro menarik Desain sablon kaos distro unik Kenyamanan bahan kain yang digunakan
C.
Menghitung Harga Pokok Produksi Menurut Wijaya (2011) harga pokok produksi meliputi keseluruhan bahan baku langsung, tenaga kerja langsung dan overhead pabrik yang dikeluarkan untuk memproduksi barang atau jasa. Penetapan jumlah harga pokok produksi diawali dengan jumlah harga pokok produksi barang dalam proses pada awal periode. Jumlah ini kemudian ditambah dengan biaya bahan baku yang dimasukkan dalam produksi (Widyawati, 2013). Untuk mencari harga pokok produksi berikut merupakan cara dan persamaan yang digunakan: - Biaya bahan baku - Biaya tenaga kerja langsung - Biaya overhead pabrik HPP (Harga Pokok Produksi)
= Rp.xxx = Rp.xxx = Rp.xxx + = Rp.xxx
D. Hasil Pengolahan Quality Fuction Deployment hasil dari pengolahan QFD adalah HoQ (House of Quality) yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Dari susunan HoQ tedapat beberapa komponen yang saling mendukung
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-54
8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nilai Target
5,22
0,045
5
1,25
1,5
0,044
5
3.
Kualitas jahitan obras bagian dalam kaos
1,20
1,5
5,08 4,74
0,041
5
4.
Kualitas jahitan pada pundak
1,24
1,5
0,042
5
5.
Kerapian jahitan kaos
1,13
1,5
4,85 4,75
5
6.
Kesesuaian keinginan terhadap konsep desain kaos
1,85
1,2
8,40
0,041 0,073
7.
Kesesuaian terhadap variasi model kaos distro
1
5,83
Kesesuaian terhadap variasi warna kaos distro
1,2
4,17
0,051 0,036
5
8.
1,48 1,08
9.
Kesesuaian harga dengan kualitas
1,48
1,5
6,64
0,058
5
10.
Daya tahan sablon pada kaos
1,22
1,2
5,01
5
11.
Daya tahan kain yang digunakan pada kaos
1,37
1,5
5,75
0,043 0,050
12.
Kemampuan promosi
1,2
1,27
0,052
5 5 5
Sales Point
Raw Wight
1,5
Kualitas jahitan sambungan bagian ketiak
Improvement Ratio 1,27
2.
Atribut Pernyataan (Hows)
Jahitan obras rapat dan kuat
Kualitas jahitan lingkar leher
Jahitan ketiak disambung dan rapi
1.
No.
Jahitan leher
Normalized Raw Weight
Jahitan bahu menggunakan jahit rantai
7.
Menggunakan kain cotton combed (100 % Katun)
6.
Menjual dengan harga dibawah rata-rata pasaran
Membuat desain kaos bertema kearifan lokal Riau
5.
Menyediakan layanan costumer sevice
4.
Melakukan promosi saat ada event
3.
Memberikan layanan cetak desain custom/sesuai keinginan pelanggan
2.
Membuat website toko online/menjual di toko online yang sudah ada
Membuat promosi melalui media internet
1.
Memberikan paket-paket penjualan yang menarik
Menyediakan kotak saran pada outlite
Membuatan SOP (Standard Operating procedure) Pelayanan
Penerapan Quality Function Deployment (QFD) Untuk Pengembangan Produk Kaos Distro di Kota Pekanbaru
13.
Kemampuan pelayan berkomunikasi dengan costumer
1,93 1,56
1,2
1,27
14.
Kemudahan menghubungi pusat informasi produk
1,62
1,2
1,27
15.
Penanganan keluhan costumer
2,03
1,2
1,27
0,045 0,044 0,062
16.
Ketepatan pelayanan
1,20
1,2 1,2
1,27
0,034
1,27
1,5
1,27
0,072 0,055
20.
Kenyamanan bahan kain yang digunakan
1,10
1,5
1,27
0,042
65,79
96,18
4,96
12,57 166,72
10,17 134,83 4,61 61,19 7,13 94,55
9
7,25
7 14 10 11 15 8
70,00
4
4,98
Urutan Perioritas
5,06
Persentase
Jumlah
127,64
0,059
5,28 9,62
1,27
31,14 82,68
1,5
2,34 6,23
1,62
60,66 67,16 66,15
Desain sablon kaos distro unik
4,57
19.
114,50 86,54
1,99 1,49
6,52
Keramahan, perhatian dan kesopanan penjual (pelayan) Desain sablon kaos distro menarik
8,63
17. 18.
3 12 5
1
2 13 6
5 5
5
5 5 5 5 5 5
Gambar 1 Matrix House of Quality Biaya-biaya yang telah ditentukan, maka dapat diselesaikan penyusunan HPP sebagai berikut: Tabel 3 Perhitungan HPP Kaos O-neck Lengan Pendek Unisex Size ML (All Size) Biaya Harga Bahan baku kaos (7222 x 21.000) = Rp. 151.662.000,Pembuatan film dan cetakan (50.000 x 301) = Rp. 15.050.000,Bahan cat, pengencer dan obat afdruk (7222/24 x 108.000) = Rp. 32.508.000,Biaya tenaga kerja langsung Tenaga kerja sablon (7222/24 x 35.000) = Rp. 10.535.000,Biaya listrik + air (200.000 x 12) = Rp. 2.400.000,Total HPP = Rp. 212.155.000,HPP per unit = Rp. 29.376,2116,-
IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. perioritas penerapan respon teknis berdasarkan kepentingan relatif sebagai berikut: a. Menggunakan kain cotton combed (100% katun) = 12,57 % b. Jahitan leher kaos kuat dan tidak molor = 10,17 % c. Memberikan layanan costumer service = 9,62 % SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-55
Permata, Muslim
Menyediakan kotak saran pada outlet = 8,63 % Menggunakan kain cotton combed (100% katun) = 7,25 % Jahitan obras bagian dalam baju rapat,rapi dan kuat = 7,13 % Membuat SOP (Standard Operating Procedure) pelayanan = 6,52 % Memberikan pelayanan cetak desain custom/sesuai keinginan costumer = 6,23 % Membuat desain kaos bertema kearifan lokal Riau = 5,28 % Membuat website toko online/membuat toko online yang sudah ada = 5,06 % Menawarkan paket-paket penjualan yang menarik = 4,98 % Menjual dengan harga dibawah rata-rata pasaran = 4,96 % Jahitan ketiak disambung kuat dan rapi = 4,61 % Membuat promosi melalui media internet = 4,57 % Memberikan promosi saat ada event = 2,35 % 2. Aspek teknis yang tepat adalah dengan memproduksi menggunakan metode sablon manual dan metode sablon DTG. Namun, untuk menghindari biaya investasi awal yang sangat besar dan untuk bentuk-bentuk desain tertentu yang memerlukan printer DTG, dapat juga menggunakan jasa outsourcing. 3. Adapun hasil pengujian konsep yang dilakukan terhadap konsep produk yang telah dikembangkan bahwa produk dalam periode waktu 1 tahun akan terjual sebesar 7221,99 ≈ 7222 Unit. Dengan asusmsi bahwa 30 % dari segmentasi pasar mengetahui keberadaan produk. 4. Produksi hingga harga berada dibawah rata-rata pesaing dan memperbaiki aspek pelayanan. melalui hasil perhitungan harga pokok produksi adalah sebesar Rp.30.000,- untuk tipe kaos O-neck unisex dan harga jual sebesar Rp.60.000,d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
DAFTAR PUSTAKA Widyawati, 2013 Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi dan Penerapan Metode Mark Up dalam Penetuan Harga Jual Produk pada Usaha Amplang di Samarinda”. e-Jurnal Administrasi Bisnis, 2013, 1 (2): 192-201|ISSN 0000-0000, Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman Wijaya, Tony 2011. Manajemen Kualitas Jasa : Desain Serqual, QFD, dan Kano Disertai Contoh Aplikasi dalam Kasus Penelitian. Jakarta., PT. Indeks
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-56
Petunjuk Sitasi: Adhiana, T. A., Krisnawati, M., & Sumargo, S. (2017). Desain Perbaikan Layout Produksi pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B57-61). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Desain Perbaikan Layout Produksi pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga Tigar Putri Adhiana(1), Maria Krisnawati(2) , Seto Sumargo(3) (1), (2), (3) Universitas Jenderal Soedirman Jl.Mayjen Sungkono KM No.5, Blater, Purbalingga (1)
[email protected] ABSTRAK Perencanaan fasilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses operasi perusahaan. Perencanaan tata letak (layout planning) merupakan metode untuk menganalisis, membentuk konsep, merancang, dan mewujudkan sistem bagi pembuatan barang atau jasa. Manfaat yang diharapkan dari layout yang optimal adalah waktu dari proses produksi akan lebih kecil dibandingkan layout yang tidak optimal. Penelitian ini dilakukan di IKM Sapu “Go Work Handy Craft” yang terletak di Kelurahan Mewek Purbalingga. Hasil studi pendahuluan diperoleh bahwa terdapat beberapa masalah di proses produksi IKM tersebut. Beberapa masalah yang ditemukan adalah, masih belum terpisahnya storage untuk bahan baku sorgum dan sorgum jadi, adanya backtracking dan masih adanya lahan/area yang belum terpakai membuat proses produksi sapu sorgum menjadi belum optimal. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain perbaikan layout produksi kerajinan sapu dengan cara mengoptimalkan area yang tersedia. Analisis perbaikan layout menggunakan Activity Relationship Chart (ARC) yaitu analisis berdasarkan keterkaitan satu proses produksi dengan proses produksi lainnya. Hasil yang diperoleh adalah layout produksi yang optimal karena dengan layout usulan, tidak ada backtracking dan seluruh area dapat digunakan secara optimal untuk proses produksi. Kata kunci— Berupa kata atau frase kunci, dipisahkan dengan koma, disusun secara alfabetik, empat sampai enam frase.
I. PENDAHULUAN Terdapat beberapa definisi mengenai tata letak. Tata letak pabrik dapat didefinisikan sebagai tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas pabrik guna menunjang kelancaran proses produksi. Pengaturan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan luas area untuk penempatan mesin atau fasilitas penunjang produksi lainnya, kelancaran gerakan perpindahan material, penyimpanan material baik yang bersifat temporer maupun permanen, personal pekerja, dan sebagainya.(Wignjosoebroto ,2000 dalam Putri, Alifah et al.). Perencanaan fasilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses operasi perusahaan. Perencanaan dan perancangan tata letak fasilitas yang baik dibutuhkan dalam proses perpindahan material. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi dan meminimumkan biaya material handling (Apple 1990). Tujuan perancangan tata letak ini berhubungan erat dengan strategi manufaktur. Strategi ini umumnya melibatkan beberapa kriteria seperti ongkos, kualitas produk, utilitas sumber daya, waktu pengiriman, persediaan, dan keamanan kerja. Dalam perencanaan tata letak lantai produksi, maka harus pula dipikirkan mengenai sistem pemindahan barang (material handling). (Nurhasanah and Simawang 2013) Produk sapu merupakan salah satu dari tiga produk unggulan di Kabupaten Purbalingga. Pemerintah Kabupaten Purbalingga sangat mendukung pengembangan terhadap produk sapu, hal ini dapat dilihat dalam Draft Peraturan Daerah Rencana Aksi Pengembangan Industri Purbalingga (Disperindagkop & UMKM, 2015). Kerajinan sapu “Go Work Handy Craft” merupakan sebuah IKM yang terletak di Kelurahan Mewek, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Produk yang diproduksi terdiri dari berbagai varian berdasarkan bahan utamanya yaitu sapu sorgum, sapu SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-57
Adhiana, Krisnawati , Sumargo
glagah, dan sapu lidi. Market dari produk ini tidak hanya untuk pasar lokal/domestik saja namun sudah merambah kepada pasar internasional (ekspor). Produk sorgum diekspor ke Korea dan Jepang, glagah diekspor ke Korea sedangkan sapu lidi diekspor ke Jepang saja.Jumlah pekerja berjumlah 15 orang untuk semua produk sapu. Sedangkan proses produksi dari sapu sorgum meliputi perendaman, penganyaman, penjemuran dan pergudangan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan permasalahan bahwa tata layout dari IKM “Go Work Handy Craft” ini dirasa belum tepat karena masih bercampurnya storange bahan baku dan bahan jadi, sehingga menimbulkan kesan berantakan di masing-masing departemen. Proses produksi pun dirasa masih belum baik karena adanya backtracking pada proses produksi. Selain itu ada area kosong yang dapat digunakan tapi tidak digunakan oleh IKM sapu “Go Work Handy Craft” ini sehingga belum semua area digunakan secara optimal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sekaligus memperbaiki tata letak produksi IKM Sapu “Go Work Handy Craft” sehingga proses produksi dapat lebih efektif, efisien dan dapat mengurangi backtracking. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada IKM Sapu “Go Work Handy Craft” yang terletak di Kelurahan Mewek, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Periode penelitian dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2017. Metode yang dilakukan adalah dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi langsung ke lantai produksi dan wawancara ke pemilik IKM sapu “Go Work Handy Craft” tersebut. Sedangkan observasi adalah pengumpulan data dengan jalan pengamatan langsung, dan wawancara adalah pengambilan data dengan cara tanya jawab secara langsung ke karyawan atau staf yang ada di perusahaan tersebut (Rusdiana and Anggraini 2010). Selain data primer, juga dikumpulkan data sekunder yaitu kajian pustaka dari penelitian sebelumnya serta teori-teori yang relevan dan dapat menambah pengetahuan terkait dengan pemecahan masalah penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan ARC (Activity Relationship Chart). Activity Relationship Chart (ARC) adalah suatu metode untuk merencanakan dan menganalisa keterkaitan antara setiap kelompok kegiatan yang saling berkaitan. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah layout yang diteliti hanya layout untuk proses produksi sapu sorgum. Hal ini dikarenakan proses produksi sorgum lebih bersifat kontinyu dan selalu ada daripada produk sapu lainnya. Produk sapu lainnya hanya diproduksi jika ada pesanan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Layout Fasilitas IKM Sapu “Go Work Handy Craft” Berikut merupakan proses produksi sapu sorgum: 1. Bahan baku diambil dari storage bahan baku 2. Bahan baku direndam sekitar 10-15 menit di tempat perendaman 3. Bahan baku diambil dan diletakkan di tiap WS penganyaman 4. Bahan baku sorgum dianyam 5. Sorgum yang sudah dianyam kemudian dijemur selama kurang lebih 12 jam 6. Sorgum disimpan di storage barang jadi Untuk penjelasan lebih lengkapnya dapat dilihat pada gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-58
Desain Perbaikan Layout Produksi Pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga
E
F
G
H
D
C
I
J
B
K
A
L
M
N
Gambar 1 Layout IKM Sapu Keterangan : A : Bahan Baku B : Storage Sorgum Jadi C : Penganyaman D : Penganyaman E : Toilet F : Storage Barang Jadi (Produk Lain) G : Oven
H : Perendaman I : Penganyaman J : Penganyaman K : Penganyaman L : Storage Bahan Baku M : Storage Sorgum Jadi N : Penjemuran
Dari penjelasan dan gambar layout di atas dapat diketahui bahwa layout fasilitas IKM belum tertata secara maksimal. Storage bahan baku (A) maupun sorgum jadi (B) masih belum terpisah dan belum tertata rapi. Selain itu juga masih adanya backtrack dari pengambilan bahan baku sorgum (A) ke perendaman (H) kemudian kembali lagi ke WS penganyaman (C, D, I, J, K). Kemudian dari seluruh area yang ada, masih ada area belum digunakan di dekat perendaman. Berdasarkan beberapa masalah yang disebutkan di atas dan proses produksi serta letak WS kemudian dilakukan analisis layout berdasarkan Activity Relationship Chart untuk mendapatkan layout perbaikan. B. Activity Relationship Chart Activity Relationship Chart (ARC) adalah suatu metode untuk merencanakan dan menganalisa keterkaitan antara setiap kelompok kegiatan yang saling berkaitan. Di dalam ARC terdapat beberapa sandi keterkaitan yang menunjukan keterkaitan satu kegiatan dengan kegiatan yang lainnya dan seberapa penting setiap keterdekatan hubungan yang ada.(Yeni 2011). Di bawah ini adalah peta hubungan aktivitas layout perusahaan yang telah didiskusikan dengan pemilik maupun pekerja IKM Sapu.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-59
Adhiana, Krisnawati , Sumargo
Gambar 2 Activity Relationship Chart Keterangan : A : absolutely important, mutlak perlu kegiatan-kegiatan tersebut berhampiran satu sama lain E : extremely/especially important, sangat penting kegiatan-kegiatan tersebut berdekatan O : ordinary, biasa kedekatannya, dimana saja tidak ada masalah U : unimportant, tidak perlu adanya keterkaitan geografis apapun X : undesirable, tak diinginkan kegiatan-kegiatan bersangkutan berdekatan Dari hasil ARC diatas diketahui bahwa storage bahan baku letaknya harus berdekatan dengan perendaman. Kemudian perendaman juga harus dekat dengan tempat menganyam. Dari hasil ARC kemudian dibuat usulan layout perbaikan. C. Usulan Perbaikan Layout Fasilitas IKM Sapu “Go Work Handy Craft” Setelah dilakukan analisis ARC, maka diperoleh layout usulan untuk IKM sapu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
F
E
D
C
B A
G
H
I
J
L
M
Gambar 3 Usulan Layout Perbaikan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-60
L
Desain Perbaikan Layout Produksi Pada IKM Sapu di Kelurahan Mewek, Purbalingga
Keterangan : A B C D E F G
: Storage Bahan Baku : Storage setelah perendaman : Penganyaman : Penganyaman : Toilet : Storage Barang Jadi (Produk Lain) : Oven
H : Storage Sorgum Jadi I : Penganyaman J : Penganyaman K : Penganyaman L : Perendaman M : Penjemuran
Gambar 3 merupakan usulan perbaikan layout IKM Sapu. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa layout perbaikan dirasa cukup baik. Hal ini karena tiap departemen sudah didekatkan dengan departemen yang memiliki keterkaitan menurut Activity Relationship Chart (ARC). Selain itu juga, pada layout usulan ini, backtracking dari bahan baku ke perendaman kemudian kembali ke penganyaman yang semula ada menjadi tidak ada. Pada layout usulan pun disediakan area untuk meletakkan bahan baku sorgum setelah perendaman. Sehingga penyimpanan pun lebih rapi dan tidak berantakan di tiap-tiap tempat departemen penganyaman. Aliran bahan dari bahan baku sampai barang jadi pun menjadi lancar. Selanjutnya, ruang yang awalnya kosong dapat dimanfaatkan secara optimal untuk storage sorgum jadi. Sehingga, storage sorgum jadi tidak bercampur dengan storage bahan baku maupun produk sapu lain. Dengan beberapa usulan perbaikan pada layout produksi diperoleh bahwa semua area produksi dapat dioptimalkan dan tidak ada backtracking sehingga proses produksi menjadi lebih efektif dan efisien.
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada IKM Sapu diperlukan perbaikan penataan layout produksi karena layout atau proses produksi eksisting masih belum rapi dan berantakan serta adanya backtrack. Dari analisis ARC, diperoleh layout usulan dimana layout tersebut mempertimbangkan kedekatan dan keterkaitan tiap departemen. Sehingga diperoleh layout yang rapi dan tidak ada backtrack sehingga proses produksi lebih teratur dan lancer. Area yang tersedia pun dapat digunakan secara optimal. Sehingga para pekerja pun dapat bekerja dengan nyaman dan aman.
DAFTAR PUSTAKA Apple, J. M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Nurhasanah, N. and B. P. Simawang 2013. "Perbaikan Rancangan Tata Letak Lantai Produksi di CV. XYZ." Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI 2(2): 81-91. Putri, A., et al. "Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Pabrik Pembuatan Rangka Meja Ping-Pong pada CV Shiamiq Terang Abadi. Rusdiana, E. and S. Anggraini. 2010. Analisa Tata Letak Industri Pengalengan Buah Nenas Di Batu, Jawa Timur. Buana Sains 10(2): 159-166. Wignjosoebroto, S. 2000. Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan. Surabaya: Guna Widya. Yeni. 2011. Perancangan Tata Letak Fasilitas Produksi Pada Industri Makanan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-61
Petunjuk Sitasi: Satriardi, Dermawan, D., & Aminudin, A. A. (2017). Perancangan Pallet Ergonomis di Stasiun Loading dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B62-68). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Pallet Ergonomis di Stasiun Loading dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ) Satriardi (1), Dedi Dermawan(2) Achmad Asyhari Aminudin(3) (1), (2),(3) Teknik Industri, Universitas Muhammadiyah Riau Jl. Tuanku Tambusai Ujung (Samping Mall SKA) Pekanbaru
[email protected](1),
[email protected](2),
[email protected](3) ABSTRAK PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dibidang produksi minuman kemasan cup180 ml. Hampir seluruh kegiatan di lantai produksi menggunakan permesinan automatic. Fokus penelitian ini akan lebih ditujukan pada stasiun loading dimana masih ditemukan beberapa pekerja memindahkan produk minuman dalam kemasan dus dengan cara mengangkat secara manual sehingga dapat menimbulkan rasa lelah (fatique) yang berlebihan dan keluhan Musculoskeletal. Pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki metode kerja untuk mendeteksi keluhan Musculoskeletal dipakai Standart Nordic Questionnaire (SNQ), sedangkan untuk mengetahui batasan berat beban yang diangkat digunakan metode Recommended Weight Limit (RWL) dan untuk mengetahui beban kerja yang dialami oleh pekerja digunakan metode Diagram Sebab Akibat (Fishbone Diagram). Hasil penilaian untuk kondisi aktual dari metode yang ada dianalisis berdasarkan keluhan Musculoskeletal yang terjadi. Kemudian digunakan metode Quality Function Deployment untuk menerjemahkan kebutuhan pekerja loading terhadap pallet yang akan dirancang. Gambaran kondisi aktual yang terjadi dianalisis sehingga menghasilkan suatu rancangan pallet yang ergonomis. Rencangan berupa pallet yang didapatkan dari metode Quality Function Deployment (QFD) menghasilkan sebuah rancangan pallet yang dapat bergerak dan digunakan pekerja dalam aktivitas pemindahan produk dari Gudang Distributor Center kedalam bak mobil. Kata kunci— Fishbone Diagram, MSDs(Musculoskeletal Disorsders , Quality Function Deployment, Recommended Weight Limit, Standart Nordic Questionnaire
I. PENDAHULUAN Perkembangan perusahaan manufaktur yang sangat pesat menyebabkan perubahan pengoperasian permesinan menjadi semi-automatis bahkan full-otomatis. Perkembangan tersebut berdampak pada perusahaan yang ada di Indonesia. Perusahaan di Indonesia masih banyak melakukan pekerjaan secara manual (manual material handling) yang merupakan sumber utama komplain pekerja di perusahaan. Aktivitas manual material handling yang tidak tepat dan beban kerja yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak buruk pada pekerja, salah satunya adalah keluhan pada sistem muskoloskeletal. Sistem muskoloskeletal adalah suatu sistem yang terditri dari tulang, otot, kartilago, ligament, tendon, fascia, bursae, dan persendian. (Depkes, 1995;3) PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri minuman berperisa dalam kemasan cup dengan isi 180 ml dan di packing dalam kemasan dus dengan jumlah isi 24 cup/dus. PT.XYZ memiliki kapasitas produksi 50,400 dus/hari dan memiliki tujuh departemen kerja, yaitu : Departemen produksi, Departemen HCS, Departemen FA dan IT. Departemen PDCA, dan Departemen distributor center. Berdasarkan pengamatan pada saat proses loading di Departemen distributor center,masih ditemukan kegiatan manual material handling dan terdapat beberapa keluhan pekerja yang mengalami rasa nyeri atau sakit pada beberapa bagian anggota tubuh akibat dari proses kerja pada saat proses loading. Aktivitas proses loading oleh pekerja dilakukan dalam waktu 7 jam/hari. Gerakan mengangkat dan memindahkan produk dari pallet ke dalam mobil menjadi kendala dan terdapat beberapa keluhan yang dialami pekerja saat melakukan pekerjaan pada proses loading. Berdasarkan hasil kuesioneryang diambil dari 8 pekerja, diketahui keluhan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-62
Perancangan Pallet Ergonomis Di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ)
yang paling banyak dialami oleh pekerja yaitu pada bagian tangan, bagian punggung, dan bagian kaki.
Gambar 1. Pekerjaan Loading
1.
2.
3.
4.
5.
II. METODOLOGI PENELITIAN Adapun tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Studi Pendahuluan dan Studi Literatur Pada tahapan pendahuluan ini dilakukan studi pendahuluan dan studi literatur. Untuk studi pendahuluan diawali dengan melakukan meninjau secara langsung kondisi pabrik untuk melihat kondisi eksisting dalam upaya mengumpulkan informasi penelitian serta teori-tori terkait untuk menentukan masalah-masalah yang terjadi dilantai produksi. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan dan pengolahan data. Tujuan dari perumusan masalah adalah untuk memperjelas tentang masalah yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian ini. Dari identifikasi masalah yang ada, maka didapatlah suatu permasalahan. Penetapan Tujuan Dalam sebuah penelitian, akan ada hasil yang akan dicapai. Suksesnya penelitian dapat dilihat dari tujuan penelitian apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Oleh karena itu, penetapan tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam upaya menjawab segala permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti. Pengumpulan Data Pada tahap ini Data yang dikumpul merupakan data pendukung penelitian. Adapun bentuk pengumpulan data ialah Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara terhadap operator distasiun loading. Wawancara dilakukan terkait permasalahan apa saja yang terjadi selama proses loading. Data sekunder meliputi spesifikasi pallet, struktur organisasi, dan ruang lingkup perusahaan. Implementasi Metode Pada tahap melakukan pendekatan melalui analisis dengan metode-metode yang digunakan meliputi : (1). SNQ (Standart Nordic Questionnaire) dilakukan untuk mengukur dan mendefiniskan keluhan rasa sakit pada bagian anggota tubuh pekerja. (2). RWL(Recommended Weight Limit) dilakukan untuk menentukan batas angkatan yang diperbolehkan untuk diangkat oleh para pekerja loading. (3). LI (Lifting Index) digunakan untuk mengestimasi tingkat tegangan fisik dalam suatu kegeiatan pemindahan material secara manual (manual material handling). Dengan interpretasi Jika LI > 1, maka aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan resiko dan Jika LI < 1, maka aktivitas tersebut tidak berpotensi menimbulkan resiko. (4). Pareto Diagram digunakan untuk mengetahui jenis SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-63
Satriardi, Dermawan, Aminudin
keluhan yang menjadi prioritas di dalam SNQ (Standart Nordic Questionnaire)dan (5). Fishbone Diagram dilakukan untuk menentukan sebab dan faktor yang menjadi atau mengakibatkan tingginya beban kerja pada pekerja, serta (6). Perancangan fasilitas kerja dengan pendekatan metode QFD (Quality Function Deployment) melakukan perancangan pallet. 6. Analisadan Pembahasan Melakukan analisa hasil dari perbaikan dan memberikan solusi yang terbaik sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan pendekatan metode yang dipakai dalam penelitian didalam ruang lingkup perusahaan. 7. Penutup Berisikan kesimpulan hasil terhadap penelitian yang dilakukan serta saran dan rekomendasi yang konstruktif kepada mahasiswa, perusahaan ataupun komunitas lainnya yang nantinya akan membaca dan mahasiswa lainnya yang akan melaksanakan penelitian.
A START
1. 2. 3. 4.
STUDI PENDAHULUAN Kondisi Pabrik Proses Produksi Informasi Pendukung Masalah-masalah
STUDI LITERATUR 1. Teori Buku 2. Referensi Jurnal 3. Langkah-langkah Penyelesaian
PEMBAHASAN Quesioner SNQ (Standart Nordic Questionnaire) - Mendefinisikan Keluhan Operator
PERUMUSAN MASALAH
PENETAPAN TUJUAN
RWL (Recommended Weight Limit) - Analisa Hasil Pengukuran RWL (Recommended Weight Limit)
PENGUMPULAN DATA 1. Data Primer - Wawancara dengan operator Stasiun loading - Quesioner SNQ (Standart Nordic Questionnaire) 2. Data Sekunder - Struktur organisasi dan ruang lingkup perusahaan - Data Spesifikasi Pallet
LI (Lifting Index) - Analisa Hasil Penentuan LI (Lifting Index)
IMPLEMENTASI METODE Quesioner SNQ (Standart Nordic Questionnaire) - Mendefinisikan atau mengukur Keluhan Pekerja
Pareto Diagram - Analisa Prioritas Masalah Fishbone Diagram - Analisa Penyebab Masalah
RWL (Recommended Weight Limit) - Mengukur RWL (Recommended Weight Limit)
LI (Lifting Index) - Mengukur LI (Lifting Index)
Analisis Perancangan Fasilitas Kerja Dengan pendekatan Metode QFD (Quality Function Deployment)
Pareto Diagram - Menentukan Prioritas Masalah Fishbone Diagram - Menentukan Penyebab Masalah
Analisis Perancangan Desain Produk Perancangan Fasilitas Kerja Dengan pendekatan Metode QFD (Quality Function Deployment)
Perancangan Desain Produk
PENUTUP A
FINISH
Gambar 2 Kerangka Penelitian III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data MSDs (Musculoskeletal Disorsders) Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui hasil pengisian dari SNQ (Standart Nordic Questionaire) merupakan data primer yang berasal dari pekerja di stasiun loading dengan jumlah pekerja 8 orang. Data tersebut direkapitulasi dengan melakukan pembobotan untuk masingmasing rasa sakit, sehingga dapat diketahui bagian tubuh mana yang paling merasakan sakit.
Tabel 1. Tingkat Keluhan Pekerja Berdasarkan Kelompok Bagian Tubuh SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-64
Perancangan Pallet Ergonomis Di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ)
Kelompok Bagian Tubuh
No
Jenis Keluhan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Total
Sakit/kaku di leher bagian atas Sakit/kaku di leher bagian bawah Sakit di bahu kiri Sakit di bahu kanan Sakit pada lengan atas kiri Sakit pada lengan atas kanan Sakit pada siku kiri Sakit pada siku kanan Sakit pada lengan bawah kiri Sakit pada lengan bawah kanan Sakit pada pergelangan tangan kiri Sakit pada pergelangan tangan kanan Sakit pada tangan kiri Sakit pada tangan kanan Sakit di punggung Sakit pada pinggang Sakit pada bokong Sakit pada pantat Sakit pada paha kiri Sakit pada paha kanan Sakit pada lutut kiri Sakit pada lutut kanan Sakit pada betis kiri Sakit pada beyis kanan Sakit pada pergelangan kaki kiri Sakit pada pergelangan kaki kanan Sakit pada kaki kiri Sakit pada kaki kanan
Tubuh Bagian Atas
Tubuh Bagian Tangan
Tubuh Bagian Belakang
Tubuh Bagian Kaki
Jumlah Nilai Bobot 5 11 16 16 16 16 2 2 12 10 8 7 10 13 16 16 2 0 8 8 2 2 17 18 4 3 12 10 262
Total
%
48
18%
96
37%
34
13%
84
32%
262
100%
Sumber : Pengolahan Data, 2017 Dari tabel 1 terlihat keluhan pada anggota tubuh bagian tangan memliki presentase tertinggi dengan 37% pekerja mengalami keluhan pada anggota tubuh bagian tangan, disusul dengan anggota tubuh bagian kaki dengan 32%, anggota tubuh bagian atas dengan 18%, dan anggota tubuh bagian belakang 13% dengan situasi pekerjaan saat ini. B. Recommended Weight Limit (RWL) Recommended Weigh Limit (RWL) adalah suatu perhitungan yang dilakukan untuk menentukan batas angkatan atau batasan berat yang direkomendasikan atau ditentukan dalam suatu proses kerja, terutama untuk pemindahan material secara manual (manual material handling). Adapun beban kerja yang diangkat adalah produk minuman cup yang dikemas dalam dus dengan ukuran dus panjang 34,9 cm, lebar 25,6 cm, dan tinggi 9,7 cm denganjumlah isi 1 dus adalah 24 cup minuman dengan berat 1 dus adalah 4,3 kg. untuksekali angkat pekera loading mengangkat 2 dus dan dimuat kedalam mobil dengan tinggi tumpukan sebanyak 13 tumpukan. Berikut adalah perhitungan RWL (Recommended Weigh Limit) dengan jarak 5 meter, 3 meter, dan 1 meter :
144,4 cm
80 cm 60 cm
32 cm
40 cm 20 cm 500 cm
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-65
Satriardi, Dermawan, Aminudin
Gambar 3 Sketsa aktivitas Loading Tabel 2. Jarak Horizontal dan Faktor Pengali Horizontal Jarak Horizontal Faktor Pengali No H Asal (cm) H Tujuan (cm) H Asal H Tujuan 1 32 500 0,781 0,050 2 32 300 0,781 0,083 3 32 100 0,781 0,250 Sumber : Pengumpulan dan Pengolahan Data, 2017 Tabel 3. Jarak Vertikal dan Faktor Pengali Vertikal Jarak Vertikal Faktor Pengali No V Asal (cm) V Tujuan (cm) V Asal V Tujuan 1 144,4 0 0,792 1,225 Sumber : Pengumpulan dan Pengolahan Data, 2017
Perhitungan RWL mengikuti rumus : (1) Keterangan : LC = Konstanta pembebanan = 23 Kg HM = Faktor pengali horizontal = 25/H (H dalam Cm) VM = Faktor pengali vertikal = (1-(0,003[V 75])) (V dalam Cm) DM = Faktor pengali Perpindahan = 0,82 + 4,5/D (D dalam Cm) AM = Faktor pengali asimetrik (1 (0,0032 Aº) FM = Faktor pengali frekuensi (lihat pada tabel) CM = Faktor pengali kopling (handle) (lihat pada tabel) C. Lifting Index (LI) Lifting Index (LI) untuk mengetahui pengangkatan yang dilakukan memiliki resiko cidera atau tidak. (2) Keterangan :
L = Berat beban aktual (1 dus = 4,3 kg) karna frek pengangkatan 2 dus = 8,6 kg
RWL = Batas beban yang direkomendasikan Dengan interpretasi Jika LI > 1, maka aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan resiko dan Jika LI < 1, maka aktivitas tersebut tidak berpotensi menimbulkan resiko. Tabel 4. Rekap Perhitungan RWL dan LI Jarak 5
LC HM VM 23 0,781 0,792 23 0,050 1,225 3 23 0,781 0,792 23 0,083 1,225 1 23 0,781 0,792 23 0,250 0,792 Sumber : Pengolahan Data, 2017
DM 1 0,85 1 0,85 1 0,85
AM 1 0,424 1 0,424 1 0,424
FM 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65
CM 1 1 1 1 1 1
RWL 9,2480 0,330 9,2480 0,551 9,2480 1,652
Ket Asal Tujuan Asal Tujuan Asal Tujuan
LI 0,93 26,06 0,93 15.61 0,93 5,21
D. Perancangan Fasilitas Kerja dengan Pendekatan QFD (Quality Function Deployment) Dari penyebaran kuesioner ini diketahui karateristik pallet yang sesuai dengan kebutuhan para pekerja loading di gudang Distributor Center PT. XYZ dan langkah selanjutnya adalah menyusun HOQ (House Of Qulity) dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-66
4
Tahan lama/tidak cepat rusak
4
Mudah digunakan
4
Mudah diperbaiki
4 Total
Rata-rata %
Dimensi
Fleksibel/dapat bergerak
Desain
4
Bahan Baku
Punya daya tahan yang kuat
Kualitas
Perancangan Pallet Ergonomis Di Stasiun Loading Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) (Studi Kasus di PT. XYZ)
148
148
116
76
30% 30% 24% 16%
488 100%
Gambar 4. House Of Quality
Gambar 5. Tampak Atas dan samping Rancangan Pallet
IV. PENUTUP 1. Resiko cidera musculoskletal disorders yang paling besar dialami pekerja berdasarkan kuesioner SNQ terdapat pada tubuh bagian tangan dengan nilai 37% dan tubuh bagian kaki dengan nilai 32%. Keluhan ini disebabkan oleh pengangkatan beban yang secara terus menerus dari gudang distributor center dan disusun kedalam mobil.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-67
Satriardi, Dermawan, Aminudin
2. Hasil perhitungan RWL (Recommended Weight Limit) menunjukan untuk pengangkatan awal, berat beban maksimal untuk diangkat adalah 13, 5 kg dan untuk pengangkatan tujuan, berat beban maksimal untuk diangkat adalah 0,55 kg. Dan perhitungan LI (Lifting Indexs) menunjukan untuk pengangkatan awal tidak terdapat resiko cidera dengan nilai ≤ 1 dan untuk pengangkatan tujuan terdapat resiko cidera dengan nilai ≥ 1. 3. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya beban kerja yang diterima oleh pekerja loading berasal dari faktor : a. Manusia Berdasarkan faktor manusia yaitu operator atau pekerja yang bekerja pada saat proses loading. Kurangnya jumlah pekerja untuk melakukan proses loading, dimana jumlah pekerja yang ada saat ini hanya ada 8 orang dengan pembagian masing-masingshift kerja adalah 4 orang/Shift, dan untuk setiap proses loading hanya terdapat 2 orang untuk setiap proses loading. b. Metode Berdasarkan faktor metode maka penyebab nya adalah banyaknya produk yang harus dimuat dan pekerja yang harus berulang kali mengambil dan membawa produk untuk dimuat kedalam mobil c. Mesin Berdasarkan faktor mesin, maka penyebabnya adalah belum adanya alat bantu pada pallet untuk masuk kedalam mobil dan pallet produk tidak bisa bergerak masuk kedalam, Sehingga pekerja harus mengambil dan membawanya kedalam mobil dengan jarak tertentu dan membuat beban kerja yang diterima oleh pekerja menjadi berat d. Lingkungan. Berdasarkan faktorlingkungan, maka penyebabnya adalah suhu ruang didalam mobil yang pengap, serta tidak adanya sirkulasi udara. Sehingga hal tersebut membuat beban kerja yang diterima oleh pekerja menjadi berat dan menjadi cepat lelah. 4. Untuk mengurangi keluhan MSDs yang diperoleh dari hasil SNQ, RWL, dan LI, maka dibuatlah suatu usulan alat bantu pemindahan produk berupa pallet yang ergonomis, yang dirancang berdasarkan dengan pendekatan QFD (Quality Function Deployment)denganpanjang 112 cm, lebar 112 cm, dantinggi 21,9 cm
DAFTAR PUSTAKA A.Haslindah,2013, Analisa Pengendalian Mutu Minuman Rumput Laut DenganMenggunakan Metode Fishbone Chart Pada PT. Jasuda di Kabupaten Takalar,ILTEK, Vol. 7, Nomoe 14. Fadil Ihram, 2016, Perancangan Fasilitas Kerja Yang Ergonomis di Stasiun PemarutanKelapa pada UKM Santani,USU e-Repository. Fandil Achmad, 2013, IntegrasiMetode QFD (Quality Function Deployment) dan AHP (Analytic Herarchy Procless) untuk Meningkatkan Kualits Produk sabun mandi padat Antiseptik (Studi Kasus : Di Pt. OLEHCJEM and SOAP Industri) Gea Gita Rismahardi, 2012, Aplikasi Fishbone Analysis Dalam Meningkatkan Kualitas Pare Putih di Aspakusa Makmur Kabupaten Boyolali, e-Jurnal Agrista – ISSN 2302-1713 Hari Agung,Dkk,Perbaikan Pada Fishbone Diagram Sebagai Root Cause Analysis Tool,Jurnal Teknik Industri ISSN : 1411-6340
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-68
Petunjuk Sitasi: Subagyo, Nastiti, F., & Kurniasany, F. (2017). Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B69-75). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif (1), (2), (3)
Subagyo(1), Fadhila Nastiti(2), Fitria Kurniasany(3) Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281. (1)
[email protected] ABSTRAK
Produk-produk industri kreatif, misalnya produk-produk film, fesyen, dan kuliner tidak seluruhnya mempunyai karakter mirip dengan produk-produk industri manufaktur. Produk-produk industri kreatif pada umumnya lebih bersifat musiman dan mempunyai masa hidup yang relatif pendek. Oleh karena itu, model-model untuk memprediksi kesuksesan suatu produk yang berbasis produk-produk di industri manufaktur misalnya model berbasis Konsep Kano perlu dilakukan penyesuaian agar bisa dipakai di industri kreatif. Dalam makalah ini dibahas model untuk prediksi kesuksesan produk-produk industri kreatif, terutama untuk industri kuliner dan toko daring. Model dibangun dengan menggunakan pendekatan Konsep Kano yang membagi hubungan antara kesuksesan dengan faktor-faktornya dalam hubungan linier, eksponensial, dan logaritmis. Model yang terbentuk diharapkan bisa digunakan sebagai dasar prediksi kesuksesan dalam tahap desain dan pengembangan produk-produk industri kreatif. Kata kunci— concurrent engineering; industri kreatif; Model Kano; product design; product development.
I. PENDAHULUAN Sektor ekonomi kreatif merupakan salah satu sektor yang akan dijadikan salah satu sektor penting Indonesia di masa mendatang. Menurut Badan Ekonomi Kreatif (2016), pada tahun 2019 ditargetkan kontribusi ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto sebesar 10%, kontribusi ekspor 10%, dan menyerap tenaga kerja sebesar 13 juta orang. Pada tahun 2015 kontribusi ekonomi kreatif sebesar 7,05% produk domestik bruto atau setara sekitar Rp 642 trilyun (Hartawan, 2016). Oleh karena itu, kebijakan terkait industri kreatif menjadi kebijakan penting dan ke depan menjadi makin strategis posisinya. Lebih lanjut, dalam industri kreatif walaupun faktor modal dan teknologi penting namun faktor kreativitas mempunyai peran yang sangat sentral. Oleh karenanya, potensi tumbuh-kembangnya relatif berimbang baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia. Salah satu contoh industri kreatif yang perkembangannya relatif tinggi adalah industri makanan-minuman, terutama bisnis kuliner. Selain disebabkan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, kenaikan jumlah kelas menengah di Indonesia juga ditengarai sebagai pemicu tumbuhnya bisnis kuliner. Lebih lanjut, ditinjau dari sisi permodalan, bisnis kuliner tergolong bisnis yang dapat dijalankan dengan modal yang relatif kecil—terutama akibat bahan bakunya yang banyak tersedia sehingga bisa meminimalkan modal kerja—namun mampu menghasilkan pendapatan yang besar. Di Indonesia, rata-rata pendapatan restoran skala menengah dari penjualan makanan dan minuman pada tahun 2015 sebesar Rp 4.638.944.700 (Badan Pusat Statistik, 2017). Sejak industri kuliner dimasukkan sebagai subsektor ekonomi kreatif pada tahun 2011, kontribusinya langsung menggeser industri fesyen (fashion). Pada tahun 2013, kontribusi industri kuliner pada industri kreatif senilai 33%, sementara industri fesyen 27%, dan industri kerajinan 15% (Hariyani dan Yustisia, 2015). Walaupun sumbangan ekonomi kreatif terhadap PDB hanya 7.05%, namun tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini sekitar 10,7% tenaga kerja Indonesia, atau setara 11,8 juta orang (Hartawan, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa industri kreatif merupakan industri yang relatif padat kerja dan ekonomi kreatif merupakan sektor keempat terbesar dalam penyerapan tenaga kerja. Produk-produk industri kreatif dibandingkan dengan industri manufaktur pada umumnya relatif lebih menonjolkan aspek kreativitas dan properti intelektual sebagai sumber SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-69
Subagyo, Nastiti, Kurniasany
keunggulannya—atau alasan konsumen memilihnya. Industri kreatif menggunakan kreativitas sebagai sumber utama nilai melalui pengembangan ide menjadi properti (kekayaan) intelektual baru dan mengkomersialisasikan hasilnya (Higgs et al, 2007) maka aspek ―kreativitas‖ lebih dominan dibanding aspek ―produk‖. Properti intelektual, misalnya desain, tampilan, merk, atau mekanisme kerja dijadikan sebagai nilai andalan dalam mendapatkan konsumen. Sebagaimana produk pada umumnya, maka produk-produk industri kreatif juga mengikuti karakter produk yaitu mengalami siklus kehidupan—lahir, berkembang, dewasa, dan akhirnya mati—dan tidak semua produk akan sukses diterima pasar. Seiring dengan kecenderungan siklus hidup produk yang makin pendek maka kegiatan perancangan dan pengembangan produk di industri kreatif posisinya makin penting. Salah satu alat (tool) penting dalam perancangan dan pengembangan produk adalah alat untuk mendeteksi potensi sukses/gagal-nya produk sedini mungkin. Dalam makalah ini disajikan model untuk memprediksi potensi kesuksesan produk dengan berbasis Konsep Kano untuk produk-produk industri kreatif. Model ini diharapkan bisa digunakan untuk membantu para perancang/pengembang produk kreatif untuk mengestimasi peluang sukses dari produk-produk di awal-awal tahap pengembangan.
II. TIJAUAN PUSTAKA Mengingat pentingnya prediksi potensi kesuksesan produk dalam tahap pengembangan— baik pada tahap awal maupun saat akan memasuki pasar—maka kajian terkait prediksi kesuksesan produk menjadi tema riset yang menarik. Contoh riset-riset tersebut misalnya Cooper et al (1979; 1982), Griffin & Page (1993;1996), Hulting & Robben (1995), dan Wijaya (2011). Cooper et al (1979; 1982) membahas faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar produk baru yang dikembangkan bisa sukses diterima pasar dan meningkatkan pendapatan perusahaan. Hulting dan Robben (1995) menjelaskan bahwa perspektif waktu mempengaruhi ukuran kesuksesan suatu produk sedangkan Griffin & Page (1993;1996) membahas mengenai pengukuran kesuksesan pengembangan produk. Sementara itu, Wijaya (2011) mengembangkan model prediksi kesuksesan produk dengan menggunakan pendekatan analogi dari prinsip Kano. Beberapa indikator bisa digunakan untuk mengukur kesuksesan produk, misalnya kepercayaan pelanggan, kinerja produk, persentase penjualan, level produk, jumlah penjualan, dan profit (Griffin & Page, 1993; Craig & Hart, 1993). Model prediksi kesuksesan produk biasanya dibangun untuk menghubungkan indikator kesuksesan produk dengan faktor-faktor yang mempengaruhi misalnya terkait karakter produk, kondisi pasar, dan karakter perusahaan yang memiliki produk. Model prediksi ini biasanya digunakan untuk memprediksi produk sejak tahap awal pengembangan produk, terutama untuk memilih calon-calon produk yang akan dikembangkan atau yang akan dihentikan pengembangannya. Beberapa riset telah dilakukan untuk mengembangkan model ini misalnya Uletika (2009), Trapsilawati (2010), dan Wijaya (2011). Uletika (2009) membangun model prediksi kesuksesan produk dengan basis produk-produk industri manufaktur dengan menggunakan ordinary least squares (OLS) dan maximum likelihood estimator, sedangkan Trapsilawati (2010) menggunakan partial least squares (PLS), ordinary least squares (OLS) dan weighted least squares (WLS), sementara Wijaya (2011) mengembangkan model berbasis prinsip Kano. Dalam model-model yang telah dikembangkan tersebut, indikator kesuksesan digunakan parameter representasi pangsa pasar dan karakteristik produk, kondisi pasar, dan karakter perusahaan digunakan sebagai prediktornya. Model yang dihasilkan menunjukkan bahwa model-model berbasis konsep Kano memberikan kemampuan prediksi yang baik (R 2 di atas 80%) dan bentuk persamaannya relatif sederhana. Konsep Kano, secara umum menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan konsumen dengan pemenuhan kebutuhan tidak semuanya berbanding linier (Berger et al, 1993). Seperti diilustrasikan dalam Gambar 1, kebutuhan pelanggan kaitannya dengan kepuasan pelanggan dapat diuraikan dalam tiga jenis kebutuhan, yaitu: must-be requirements, one-dimensional requirements, dan attractive requirements. Dengan mengacu pada konsep Kano, maka hubungan antara kesuksesan produk dengan faktor-faktor yang mempengaruhi bisa dirumuskan sebagai berikut: (1) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-70
3.8. Model Kano Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif
Model Kano merupakan suatu metode untuk mengelompokkan atribut dalam
(2) suatu produk berdasarkan cara atribut tersebut mempengaruhi konsumen. Metode
(3) (4) Kano dikembangkan oleh Dr. Noriaki Kano yang menolak hipotesis bahwa Dengan Z = Indikator kesuksesan, y1 = must be requirements, y2 = one-dimensional requirements, y3 = attractivekepuasan requirements,konsumen dan a, b, c, d, dan g = konstanta.lurus Jika hubungan antara y1, y2, dan y3 permintaan peningkatan berbanding dengan pemenuhan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan, xi, sejumlah n faktor dapat diasumsikan linier, maka dapat diperoleh persamaan berikut: konsumen. Yang (2005) menjelaskan bahwa model kano adalah sebuah diagram (5) (6) yang membagi spesifikasi dari pelanggan menjadi tiga jenis, yaitu must-be (7) Selanjutnya, jika = b + d maka persamaan (1)-(4) dapat ditulis menjadi: requirements, one-dimensional requirements, danulangattractive requirements (8) Dengan menggunakan persamaan (8), apabila kita memiliki sejumlah data hubungan antara Penempatan requirement pada grafik kepuasan pelanggan – fungsi produk dapa kesuksesan (Z) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi (xi), maka nilai konstanta , a, c, dan g bisa dievaluasi dengan cara meminimasi nilai
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Konsep Kano
Gambar Model Kano (Berger 3.2. et al, 1993). III.
METODE RISET
A. Objek Riset Dalam riset ini, industri kreatif yang dipakai sebagai obyek adalah toko daring mcommerce kategori e-mall dan industri restoran kategori kelas menengah ke atas. Untuk toko daring kategori e-mall—penyedia tempat untuk jual beli daring yang menyediakan berbagai barang dan berperan sebagai penjamin pembayaran—dipilih 14 aplikasi m-commerce e-mall yang terdaftar dalam 100 besar aplikasi kategori belanja di Indonesia. Keempat-belas aplikasi mcommerce e-mall yang dievaluasi disajikan pada Tabel 1. Sedangkan untuk restoran kelas menengah ke atas ditinjau sebanyak 11 restoran yang ada di wilayah Yogyakarta yang persentase penjualannya tersaji pada Tabel 1. B. Metode Pada Gambar 2 disajikan diagram alir langkah-langkah penelitian. Seperti tersaji dalam gambar riset diawali dengan melakukan kajian pustaka untuk mengidentifikasi indikator kesuksesan dan kandidat faktor-faktor kesuksesan, baik untuk restoran maupun untuk toko daring e-mall. Dalam tahap ini peluang bentuk hubungan antara indikator kesuksesan dengan kandidat faktor-faktor juga sudah diidentifikasi, apakah masuk kategori must-be, linier, atau exponential requirements.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-71
Subagyo, Nastiti, Kurniasany
Setelah indikator sukses dan kandidat faktor-faktor kesuksesan teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih objek riset yang akan dievaluasi dengan pertimbangan penguasaan pasarnya. Dalam riset ini dipilih industri yang masuk dalam kelompok 80% penguasa pasar dengan asumsi bahwa penguasaan pasarnya merupakan akibat dari karakter produknya yang sukses. Untuk restoran, pemilihan objek berdasarkan pendapatan restoran tersebut pada tahun 2016, sedangkan untuk toko daring e-mall objek dipilih berdasarkan total unduhan melalui Google Play Store. Tabel 1. Daftar m-commerce e-mall dan restoran yang menjadi objek riset No
M-Commerce E-Mall E-Mall Pengembang
1
Klik Indomaret
2 3 4 5
Blanja JD.id Qoo10 LYKE
6 7
Mataharimall
8 9 10 11
Blibli.co Elevenia Shopee ID
12 13 14
Bukalapak Tokopedia Lazada
Alfacart
Zalora
PT Indomarco Prismatama PT MetraPlasa JingDong Indonesia GIOSIS PTE. LTD LYKE eServices Indonesia MatahariMall PT Sumber Trijaya Lestari blibli.com XL PLANET Shopee Zalora South East Asia Pte. Ltd. PT Bukalapak.com Tokopedia Lazada Mobile
No 1
Restoran Kelas Menengah ke atas Restoran Persentase Pendapatan (tahun 2016), % A 13,98
2 3 4 5
B C D E
10,55 10,49 9,14 7,89
6 7
F
7,82
G
8 9 10 11
H I J K
6,54 6,51 4,84 4,44 3,19
Start
Penentuan indikator sukses dan faktorfaktor kesuksesan
Pemilihan objek riset dengan pertimbangan pangsa pasar
Pengembangan model-model
Uji validasi model-model
Tidak Valid?
Memilih model terbaik
Ya Gambar 2. Diagram alir riset SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-72
Stop
Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif
Langkah selanjutnya adalah membangun model dengan mengelompokkan faktor kesuksesan menjadi tiga kelompok, yaitu must-be requirements, one-dimensional requirements, dan attractive requirements. Hasil studi literatur dan nilai error model (SSE, sum of squares error) digunakan sebagai justifikasi dalam penentuan kelompok faktor kesuksesan. Setelah itu dilakukan validasi dengan cara validasi silang untuk mengevaluasi kemampuan model dalam memprediksi kesuksesan. Model terbaik dipilih berdasarkan ketepatan hasil validasi silang.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Tabel 2 disajikan hasil pengelompokan kategori faktor-faktor kesuksesan untuk restoran kelas menengah ke atas dan m-commerce e-mall. Seperti tersaji dalam tabel, untuk restoran kelas menengah ke atas kategori must-be requirements diisi oleh makanan dan layanan, untuk kategori one-dimensional requirements diisi oleh lokasi dan brand, sedangkan untuk kategori attractive requirements diisi oleh faktor atmosfer dan harga. Sementara untuk mcommerce e-mall, faktor kemudahan dan kepercayaan masuk kategori must-be requirements, kelengkapan fitur pendukung masuk kategori one-dimensional requirements, dan faktor variasi produk dan iklan (competitiveness) dan kesesuaian dengan sistem operasi perangkat mobile masuk kategori attractive requirements. Dengan mengelompokkan faktor-faktor kesuksesan seperti yang tersaji pada Tabel 2, maka tingkat kesuksesan berdasarkan data sebelas restoran kelas menengah ke atas diperoleh persamaan: (9) Sedangkan untuk m-commerce e-mall persamaannya: (10) Pada Gambar 3 disajikan perbandingan antara tingkat kesuksesan aktual dengan prediksi menggunakan persamaan (9) dan (10). Seperti terlihat dalam gambar, tingkat akurasi relatif dapat dipertanggung-jawabkan dengan mempertimbangkan kesederhanaan persamaan (9) dan (10).
Kategori y1 (Must-be requirements)
y2 (one-dimensional requirements) y3(Attractive requirements)
Tabel 2. Pengelompokan faktor-faktor kesuksesan. Restoran m-commerce e-mall x1 (Food: rasa, presentasi, dan variasi menu) x3 (Layanan: waktu tunggu, responsiveness, fasilitas, jumlah prosedur) x5 (Lokasi: Lingkungan, visibilitas, dan pesaing) x6 (Brand: TOM, LU, FI) x2 (Atmosfer: dekorasi, view, dan ambience) x4 (Price: harga murah nilai makin tinggi)
x1 (Kemudahan) x2 (Kepercayaan dan pengalaman delivery)
x3 (Fitur pendukung:jumlah)
x4 (Daya saing: variasi produk dan strategi menarik pelanggan) x3 (Kesesuaian OS: jumlah update per-periode waktu)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-73
Subagyo, Nastiti, Kurniasany
Gambar 3. Perbandingan antara data dengan hasil prediksi persamaan (9) dan (10) IV. PENUTUP Berdasarkan hasil riset ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola faktor-faktor dalam mempengaruhi kesuksesan produk industri kreatif—dengan mengacu pada konsep Kano—untuk restoran kelas menengah ke atas dan m-commerce emall telah berhasil diidentifikasi. Faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan restoran kelas menengah dan besar adalah food, atmosfer, service, price, lokasi, dan brand sedangkan untuk e-mall adalah kemudahan, kepercayaan, fitur, daya saing, dan kesesuaian sistem operasi. 2. Persamaan untuk memprediksi potensi kesuksesan untuk restoran kelas menengah ke atas dan m-commerce e-mall telah dapat dibangun berdasarkan 14 data restoran dengan pangsa pasar terbesar di Yogyakarta dan 11 e-mall yang paling dominan di Indonesia.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan kepada Departemen Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada yang telah memberi dukungan finansial sehingga riset ini dapat berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA Badan Ekonomi Kreatif, 2016, Bekraf Gandeng BPS Susun Database Ekonomi Kreatif, http://www.bekraf.go.id/kegiatan/detail/bekraf-gandeng-bps-susun-database-ekonomi-kreatif, diakses pada 20 September 2016. Badan Pusat Statistik, 2017, Statistik Restoran/Rumah Makan Tahun 2015, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Berger, C., Blauth, R., Boger, D., Bolster, C., Burchill, G., DuMouchel, W., Pouliot, F., Richter, R., Rubinoff, A., Shen, D., Timko, M., and Walden, D. 1993. Kano's Methods for Understanding Customer-Defined Quality, The Center for Quality Management Journal 2(4). Cooper, R. G., 1979, Identifying Industrial New Product Success: Project NewProd, Industrial Marketing Managament, 8, 124-135. Cooper, R. G., 1982, New Product Success in Industrial Firm, Industrial Marketing Management, 11, 215223. Craig, A., dan Hart, S., 1993, Dimensions of Success in New Product Development, Perspective on Marketing Management, 3, 207-243. Griffin, A., dan Page, A. L., 1993, An Interim Report on Measuring Product Development Success and Failure, Journal of Product Innovation Management, 10, 291–308. Griffin, A., dan Page, A. L., 1996, The PDMA Success Measurement Project: Recommended Measures for Product Development Success and Failure, Journal of Product Innovation Management, 13(6), 478496.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-74
Pola Kesuksesan Produk-Produk Industri Kreatif
Hariyani, I., dan Yustisia S., C., 2015, Peran Kekayaan Intelektual dalam Pengembangan Waralaba dan Ekonomi Kreatif, Media Hak Kekayaan Intelektual, 6, 2-11. Hartawan, T., 2016, Industri Kreatif Sumbang Rp 642 Triliun dari Total PDB RI, https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/090750007/industri-kreatif-sumbang-rp-642-triliun-daritotal-pdb-ri, diakses pada 20 September 2016.
Higgs, P., Cunningham,S., and Pagan, J., 2007, Australia’s Creative Economy: Definitions of the Segments and Sectors, ARC Centre of Excellence for Creative Industries & Innovation (CCI), Brisbane, http://eprints.qut.edu.au/archive/0008242/ , diakses pada 2 July 2017. Hulting, E. J., dan Robben, H. S. J., 1995, Measuring New Product Success: The Difference that Time Perspective Make, Journal of Product Innovation Management, 12, 392-405. Trapsilawati, F., 2010, Analisis Faktor-Faktor Kesuksesan Produk, Tugas Akhir, Program Studi Teknik Industri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Uletika, N. S., 2009, Model Prediksi Produk Sukses berdasarkan Kanvas Strategi, Tesis, Program Studi Teknik Industri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wijaya, 2011, Pengembangan Model Prediksi Kesuksesan Produk, Program Studi Teknik Industri, Jurusan Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-75
Petunjuk Sitasi: Zadry, H. R., Rahmayanti, D., Riski, H., Meilani, D., & Susanti, L. (2017). Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B76-81). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun Hilma Raimona Zadry(1), Dina Rahmayanti(2), Hayattul Riski(3), Difana Meilani(4), Lusi Susanti(5) (1), (2) , (3) , (4) ,(5) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang 25163 (1)
[email protected], (2)
[email protected], (3)
[email protected], (4)
[email protected], (5)
[email protected] ABSTRAK Perancangan kursi dan meja belajar untuk siswa Sekolah Dasar (SD) usia 7-12 tahun merupakan hal yang penting diperhatikan karena pada usia ini dimensi tubuh lebih varuatif dan cepat berubah. Salah satu perancangan kursi dan meja belajar untuk siswa SD ini dilakukan oleh Junitra (2011). Hasil evaluasi terhadap rancangan Junitra (2011) menunjukkan bahwa hasil rancangan tidak ergonomis untuk siswa kelas I-IV SD. Penelitian ini melanjutkan penelitian Junitra (2011) dengan merancang meja dan kursi untuk siswa kelas IV SD dengan mengaplikasikan data antropometri dan mempertimbangkan postur duduk siswa selama belajar. Data antropometri yang diperoleh dari siswa kelas IV SD dengan usia 9-10 tahun. Data antropometri yang digunakan dalam perancangan ini adalah tinggi siku duduk, jangkauan tangan kedepan, rentang siku, tinggi bahu duduk, lebar bahu, tinggi sandaran punggung, lebar pinggul, pantat popliteal dan tinggi popliteal. Perbaikan yang dilakukan adalah penempatan footrest, permukaan meja dimiringkan sebesar 120, material yang lebih ringan dan ramah lingkungan, serta tempat gantungan tas yang dipindahkan ke bagian belakang kursi. Evaluasi terhadap hasil rancangan menunjukkan bahwa postur siswa pada saat menggunakan meja dan kursi lebih baik dibandingkan ketika menggunakan meja dan kursi rancangan Junitra (2011), baik dalam posisi menulis, membaca dan posisi saat mendengarkan di kelas. Kata Kunci- Antropometri, Furnitur, Perancangan, Postur Tubuh, Sekolah Dasar
I. PENDAHULUAN Sekolah Dasar merupakan sekolah tingkat pertama dalam dunia pendidikan wajib belajar 9 tahun. Pendidikan tingkat dasar ditempuh dalam waktu enam tahun dan merupakan waktu pendidikan terlama yang harus dilalui oleh anak. Dalam sistem pendidikan saat ini, tidak hanya mengenai kurikulum yang perlu diperhatikan, tetapi fasilitas atau sarana prasarana penunjang pendidikan juga menjadi aspek penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Salah satu fasilitas yang perlu diperhatikan adalah penyediaan peralatan belajar, seperti meja dan kursi. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena 80% dari waktu proses belajar mengajar dihabiskan dalam posisi duduk (Castellucci et al., 2010). Menurut Hira (1980) dalam Castellucci et al. (2010) penggunaan meja dan kursi yang tidak ergonomis (postur yang tidak baik) ketika belajar, dapat menyebabkan terganggunya kegiatan belajar dan berpengaruh terhadap ketertarikan siswa dalam proses belajar. Sehingga selain memperhatikan kesesuaian dimensi tubuh dengan meja dan kursi sekolah untuk anak, juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek samping yang timbulkan oleh penggunaan meja dan kursi sekolah dalam waktu yang lama. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan furnitur ergonomis selain antropometri adalah biomekanika tubuh manusia (Naqvi, 1994 dalam Panagiotopoulou et al., 2004) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-76
Zadry, Rahmayanti, Hayattul Riski, Meilani, Susanti
dan efisiensi fungsional, kemudahan penggunaan, kenyamanan, serta kesehatan dan keselamatan (Oyewole et al., 2010). Junitra (2011) telah melakukan penelitian dengan hasil berupa prototype meja dan kursi belajar untuk siswa SD berusia 6-10 tahun. Rancangan ini menggunakan data antropometri dan menghasilkan inovasi berupa tersedianya foot rest pada kursi, ketinggian alas meja sesuai dengan data antropometri, dan alas duduk serta sandaran yang nyaman. Namun evaluasi terhadap prototype hasil penelitian ini belum dilakukan. Penelitian ini melanjutkan penelitian Junitra (2011) dengan melakukan evaluasi terhadap prototype yang dibuat. Evaluasi dilakukan pada tanggal 16 Februari-4 Maret 2015 dengan jumlah responden sebanyak 30 siswa kelas IV SD pada beberapa SD di Kota Padang. Evaluasi dilakukan melalui penyebaran kuisioner Nordic Body Map (NBM), serta evaluasi postur tubuh dan perbandingan dimensi produk. Penyebaran kuisioner NBM dilakukan untuk mengetahui keluhan siswa setelah penggunaan prototype meja dan kursi. Hasil NBM menunjukkan bahwa keluhan terbesar terdapat pada leher bagian bawah dan pinggang sebesar 60% dari 30 responden. Tingkat keluhan terbesar kedua terjadi pada bagian paha sebesar 40%. Hasil pengamatan menemukan bahwa keluhan yang terjadi pada leher, pinggang dan paha disebabkan oleh ketinggian kursi yang tidak sesuai dengan meja. Evaluasi berikutnya berupa evaluasi postur tubuh dengan menggunakan metode Posture Evaluation Index (PEI). Evaluasi postur tubuh dilakukan pada tiga orang siswa saja. Ketiga siswa tersebut mewakili persentil 5, persentil 50 dan persenti 95 dari responden yang ada. Evaluasi postur tubuh dilakukan pada tiga kegiatan yaitu menulis, membaca, dan mendengarkan. Berdasarkan hasil evaluasi PEI, diketahui bahwa untuk seluruh aktivitas yang dilakukan oleh responden skor yang dihasilkan berada pada kategori middle-low injury yang berarti postur tubuh dapat menyebabkan kelelahan dalam kegiatan repetitif dalam kurun waktu tertentu (Caputo et al., 2006). Evaluasi terakhir berupa perbandingan dimensi hasil rancangan dengan postur tubuh responden. Hasil yang diperoleh dari perbandingan ini, ketinggian meja yang digunakan tidak sesuai dengan ketinggian popliteal responden, dimana ketinggian rongga meja hampir sama dengan tinggi popliteal sehingga kaki responden sulit untuk masuk ke rongga meja. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang ulang meja dan kursi yang ergonomis dan dikhususkan untuk siswa kelas IV SD.
II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data antropometri siswa kelas IV SD di Kota Padang, serta rumusan karakteristik perancangan. Rumusan rancangan dilakukan dengan penentuan alternatif dan pemilihan dari alternatif yang dipilih. 1) Data Antropometri: Variabel data antropometri yang diamati dalam penelitian ini yaitu berat badan, tinggi badan, tinggi siku duduk, jangkauan tangan kedepan, rentang siku, tinggi bahu duduk, lebar bahu, tinggi sandaran punggung, lebar pinggul, pantat popliteal, dan tinggi popliteal. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode random sampling. Perhitungan jumlah sampel yang diamati mengunakan rumus Slovin (Setiawan, 2007): (1) dimana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = galat pendugaan Nilai galat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10%. Dimana peneliti menetapkan toleransi data yang error sebesar 0,1. 2) Rumusan Karakteristik Teknik Rancangan: Tahapan ini merupakan penentuan konsep ide perancangan yang dilakukan, bagian-bagian yang akan dirancang ulang dan penentuan konsep perubahannya. Proses perancangan ini secara garis besar terdiri dari beberapa langkah, yaitu: Pemodelan Produk SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-77
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun
Penentuan Material Perhitungan Biaya
B. Pemilihan Alternatif Rancangan Penentuan alternatif terpilih dilakukan berdasarkan kemampuan produksi dan biaya produksi. Berdasarkan beberapa alternatif, dipilih satu hasil rancangan meja dan kursi untuk siswa SD. Hasil rancangan terpilih divisualisasikan dengan menggunakan data antropometri yang telah diperoleh. C. Visualisasi Akhir Rancangan Hasil pengolahan data yang telah dilakukan, diimplementasikan pada visualisasi awal yang dilakukan sebelumnya. Proses pengaplikasian data antropometri ini dilakukan melalui perhitungan dimensi rancangan. Dimensi ditentukan dengan memperhatikan persentil yang dipilih untuk setiap data antropomteri yang digunakan. Proses pemilihan persentil didasarkan pada prinsip perancangan dan alternatif desain yang dipilih untuk setiap bagian dari desain. Selain itu harus diperhatikan juga pemberian kelonggaran (aIllowance) dalam menentukan dimensi rancangan untuk mempertimbangkan faktor ketebalan pakaian atau alas kaki pengguna. D. Pembuatan Prototype Pembuatan prototype dilakukan dengan pemberian gambar teknik hasil rancangan kepada pekerja furniture. Penentuan material dan dimensi telah ditetapkan sebelumnya. Pembuatan prototype bertujuan untuk mevisualisasikan hasil rancangan yang telah dibuat. E. Analisis Hasil Rancangan Analisis dilakukan pada data antopometri yang dikumpulkan hingga perhitungan nilai persentil. Analisis dilanjutkan dengan penentuan persentil yang digunakan dalam perancangan. Analisis hasil rancangan dilakukan dengan melakukan komparasi atas prototype yang dibuat. Analisis juga dilakukan dengan membandingkan rancangan yang usulan dengan rancangan Junitra (2011).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data antropometri siswa kelas IV SD di Kota Padang. Hal ini dikarenakan siswa kelas IV memiliki waktu belajar yang lebih lama dibandingkan siswa kelas I-III, sedangkan siswa kelas V-VI sudah sesuai dengan ukuran meja dan kursi yang ada saat ini. Pengumpulan data menggunakan random sampling karena data bersifat homogen dengan jumlah populasi siswa kelas IV di Kota Padang sebanyak 12.000 siswa, data ini diperoleh dari dinas pendidikan Kota Padang. Berdasarkan perhitungan, jumlah sampel yang digunakan adalah 100 sampel, dengan jumlah sampel siswa laki-laki adalah 55 orang dan perempuan 45 orang. B. Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan adalah uji kenormalan data, uji keseragaman data dan perhitungan persentil. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian (α) sebesar 5%. Uji kenormalan data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS v.15 dan diperoleh hasil bahwa seluruh data berdistribusi normal. Hasil pengolahan data juga menunjukkan bahwa semua data antropometri yang digunakan adalah seragam. Perhitungan nilai persentil dilakukan untuk menentukan nilai P5, P10, P50, P90, dan P95. C. Perumusan Karakteristik Rancangan Produk Produk yang dirancang merupakan perbaikan dari hasil rancangan Junitra (2011), dimana meja dan kursi yang dirancang bertipe single seater (satu siswa, satu kursi, satu meja). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perancangan produk, yaitu (Wignjosoebroto, 2000): SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-78
Zadry, Rahmayanti, Hayattul Riski, Meilani, Susanti
1) Aspek fungsional: Aspek fungsional bertujuan untuk menetapkan fungsi utama dari produk yang dirancang. Fungsi utama dari produk yang dirancang adalah untuk menunjang proses belajar di kelas. Berikut merupakan inovasi yang dilakukan dalam menunjang proses belajar : a. Permukaan meja dirancang miring sebesar 12 o yang bertujuan untuk mendukung aktifitas menulis (Nurmianto, 2004). Selain itu terdapat permukaan rata yang memberi ruang untuk menempatkan alat tulis sehingga tidak jatuh dan mengganggu proses belajar mengajar. b. Footrest dirancang pada meja belajar dengan tujuan agar pengguna nyaman saat belajar dan menghindari kelelahan pada bagian dalam paha. Footrest dirancang dengan miring agar kaki dapat ditopang dan menjaga sudut antara betis dan kaki tetap pada posisi 90 o. c. Laci pada meja berada pada bagian dalam meja. Permukaan yang miring pada meja dapat dibuka, terdapat ruang yang dijadikan laci. Perancangan ini bertujuan agar pengguna lebih nyaman saat menggunakan laci tanpa perlu memiringkan badan saat menyimpan dan mencari barang di laci. d. Permukaan kursi diberi busa yang diberi lapisan kulit sintetis agar pengguna merasa nyaman meskipun duduk dalam waktu yang lama. 2) Aspek teknis: Material yang digunakan yaitu kayu meranti, karena mudah didapatkan, proses produksi tidak sesulit material besi atau jenis lainnya serta harga yang terjangkau. 3) Aspek ekonomis: Aspek ekonomis dipertimbangkan karena produk yang dirancang bertujuan untuk pendidikan. Produk harus tahan dalam pemakaiannya dan memiliki nilai ekonomis. 4) Aspek ergonomi: Perancangan menggunakan konsep ergonomi dengan penggunaan data antropometri dari beberapa variabel dan persentilnya serta menerapkan prinsip perancangan. 5) Aspek estetika: Produk dirancang berdasarkan konsep ergonomi dengan bentuk yang menarik dan unik. Bentuk rancangan ini disesuaikan dengan kebutuhan siswa SD. D. Rancangan Produk Tiga alternatif meja dan 3 alternatif kursi hasil rancangan diperoleh dengan menerapkan prinsip perancangan produk yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketiga alternatif yang dirancang telah memenuhi kekurangan rancangan Junitra (2011), yaitu postur siswa dalam aktivitas menulis dan membaca, serta ukuran rancangan yang telah sesuai dengan antropometri siswa kelas IV SD. Perbedaan pada ketiga alternatif adalah pada fitur yang ditambahkan serta aspek estetika. Desain terpilih berdasarkan alternatif yang ditawarkan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Meja dan kursi hasil rancangan
Tabel 1 menunjukkan perbandingan antara rancangan Junitra (2011) dan penelitian ini. Perbaikan dilakukan dengan menggunakan data antropometri siswa berusia 9-10 tahun, sehingga produk lebih spesifik untuk siswa kelas IV SD. Selain itu terdapat perbedaan pada tempat penyimpanan tas. Berdasarkan hasil evaluasi rancangan Junitra (2011) diketahui bahwa ruang gerak lutut terganggu dengan adanya tempat penyimpanan tas tersebut. Rancangan usulan menempatkan tas siswa pada bagian belakang kursi. Penggunaan bantalan pada alas duduk dan sandaran tetap dipertahankan pada SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-79
Furnitur Ergonomis untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun
rancangan usulan, karena penggunaan bantalan dapat meningkatkan kenyamanan siswa selama proses belajar. Perbaikan lainnya dilakukan pada bagian footrest, yang dapat menjaga posisi tubuh siswa tetap berada pada sudut yang dianjurkan, yaitu sudut antar popliteal 90 o. Inovasi selanjutnya yaitu pada perancangan meja belajar, dimana pada permukaan meja diberi kemiringan sebesar 12 o, ini bertujuan untuk mempermudah siswa dalam menulis. No
Parameter
1
Material
2
Pemukaan Meja
3
Laci
4
Footrest
5
Tempat tas
Tabel 1 Perbandingan rancangan usulan dan Junitra (2011) Rancangan Rancangan Junitra Keterangan Usulan (2011) Bahan utama Bahan utama dari Kayu lebih ringan dibandingkan besi, tidak dari kayu besi karatan dan proses reparasi lebih mudah. Besi harga terjangkau, berat dan sulit direparasi. Miring-datar Datar Permukaan meja dirancang miring agar siswa tidak membungkuk ketika menulis dan membaca. Bagian bawah Bagian bawah Penempatan laci pada bagian bawah permukaan meja meja meja mempermudah siswa dalam mengakses laci. Meja Kursi Footrest ditempatkan pada meja dengan tujuan mempertahankan kenyamanan siswa persentil rendah. Digantungkan Ruang bawah Penempatan tas pada ruang bawah meja akan di kursi meja menggangu ruang gerak lutut.
Material yang digunakan dalam perancangan produk usulan ini, berbeda dari produk Junitra (2011). Material yang digunakan yaitu kayu meranti, karena bahan kayu lebih ringan dibandingkan dengan besi. Selain itu penggunaan kayu dimaksudkan agar proses reparasi lebih mudah dilakukan. Kursi yang dirancang tidak menggunakan sandaran tangan agar siswa lebih mudah berinteraksi dengan lingkungannya. Pengujian prototype dilakukan pada siswa dengan persentil 95. Tabel 2 menjelaskan perbedaan hasil rancangan usulan dengan rancangan Junitra (2011). No 1
2
Tabel 2 Perbandingan postur tubuh pada rancangan usulan dan Junitra (2011) Rancangan usulan Rancangan Junitra (2011) Permukaan meja dirancang miring untuk memperbaiki postur siswa saat menulis agar tidak membungkuk.
Postur duduk siswa saat membaca lebih baik, karena rancangan meja dan kursi telah sesuai dengan data antropometri siswa.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-80
Postur siswa membungkuk saat menulis karena dimensi meja yang rendah serta permukaan meja yang datar Rancangan meja menggunakan data antropometri siswa kelas I, hal ini menyebabkan siswa kurang nyaman pada saat melakukan aktifitas.
Zadry, Rahmayanti, Hayattul Riski, Meilani, Susanti
No
Rancangan usulan Perancangan kursi sesuai dengan data antropometri siswa, sehingga postur duduk siswa lebih nyaman.
Rancangan Junitra (2011) Alas kursi pada rancangan Junitra sangat sempit, sehingga postur duduk siswa tidak nyaman. Ini karenakan dimensi pantat popliteal yang digunakan terlalu kecil, yang mengakibatkan tidak dapat menahan paha secara sempurna.
IV. PENUTUP Perancangan ulang produk dibuat berdasarkan data antropometri dengan interval yang lebih kecil, yakni siswa kelas IV SD dengan rentang usia 9-10 tahun. Perbaikan yang dilakukan pada produk sebelumnya adalah pada fitur footrest, kemiringan permukaan meja, laci dan gantungan tas. Selain itu material yang digunakan berbeda, yaitu kayu jenis meranti. Data antropometri yang digunakan dalam perancangan ini adalah tinggi siku duduk, jangkauan tangan kedepan, rentang siku, tinggi bahu duduk,lebar bahu, tinggi sandaran punggung, lebar pinggul, pantat popliteal dan tinggi popliteal. Produk hasil rancangan usulan memilIki kelebihan rancangan yang disesuaikan dengan aktifitas belajar siswa. Kursi pada rancangan ini mempunyai alas duduk dan sadaran punggung yang dilapisi dengan busa sehingga siswa lebih nyaman ketika duduk dalam waktu yang lama. Sedangkan pada rancangan meja usulan, permukaan meja dirancang miring dengan tujuan mempertahankan posisi tubuh agar siswa tidak membungkuk ketika menulis dan membaca. Selain itu meja ini dilengkapi dengan laci yang berada pada bagian dalam meja yang bertujuan agar siswa tidak perlu lagi menunduk ketika menggunakan laci. DAFTAR PUSTAKA Caputo, F., Di Gironimo, G. and Marzano, A. (2006) ‘Ergonomic optimization of a manufacturing system work cell in a virtual environment’, Acta Polytechnica, 46(5). Castellucci, H. I., Arezes, P. M. and Viviani, C. A. (2010) ‘Mismatch between classroom furniture and anthropometric measures in Chilean schools’, Applied Ergonomics, 41(4), pp. 563–568. Junitra, R. (2011) Pengukuran Antropometri Anak Usia 6-10 Tahun dan Penerapan Antropometri dalam Perancangan Produk. Universitas Andalas. Nurmianto, E. (2004) Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya: Tinjauan Anatomi, Fisiologi, Antropometri, Psikologi dan Komputasi untuk Perancangan Kerja dan Produk. Surabaya: Guna Widya. Oyewole, S. A., Haight, J. M. and Freivalds, A. (2010) ‘The ergonomic design of classroom furniture/computer work station for first graders in the elementary school’, International Journal of Industrial Ergonomics, 40(4), pp. 437–447. Panagiotopoulou, G., Christoulas, K., Papanckolaou, A. and Mandroukas, K. (2004) ‘Classroom furniture dimensions and anthropometric measures in primary school’, Applied Ergonomics, 35(2), pp. 121–128. Setiawan, N. (2007) Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan Tabel Krejie-Morgan: Telaahan Konsep dan Aplikasinya. Universitas Padjajaran, Bandung. Wignjosoebroto, S. (2000) Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktifitas Kerja. 1st edn. Surabaya: PT. Guna Wydia.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-81
Petunjuk Sitasi: Delvika, Y. (2017). Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B82-86). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara Yuana Delvika Universitas Medan Area, Medan, Indonesia Jalan Setia Budi No. 79 B, Tj. Rejo, Medan Sunggal, Kota Medan, Sumatera Utara 20112
[email protected] ABSTRAK Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja. Di Indonesia, kecelakaan yang terjadi dapat dicegah atau dikurangi melalui penerapan UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Menurut data Depnakertrans, pada tahun 2007 jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 190.267, tetapi yang sudah memenuhi kriteria sistem keselamatan dan kesehatan kerja baru mencapai 643 perusahaan. Sedangkan dalam dunia internasional sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dikenal dengan OHSAS 18001:2007. OHSAS 18001:2007 adalah suatu standar internasional untuk Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) yang bertujuan untuk mengelola aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada setiap proses kerja di tempat kerja. Organisasi yang mengimplementasi OHSAS 18001:2007 memiliki struktur manajemen yang terorganisasikan dengan wewenang dan tanggung-jawab yang tegas, sasaran perbaikan yang jelas, hasil pencapaian yang dapat diukur dan pendekatan yang terstruktur untuk penilaian risiko. Salah satu perusahaan perkebunan di Sumatera Utara yang menjadi objek penelitian telah menerapkan sistem OHSAS 18001:2007. Setelah dilaksanakan implementasi selama ini, peneliti akan melakukan evaluasi penerapan Sistem OHSAS 18001:2007 diperusahaan tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah ada 3 klausul yang tidak terpenuhi yaitu klausul 4.3.3, klausul 4.4.3.1 dan klausul 4.4.3.2 Kata kunci—Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kecelakaan Kerja, OHSAS 18001:2007
I. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ini perkembangan industri yang sangat pesat menuntut adanya pelaksanaan Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di setiap tempat kerja khususnya untuk mengembangkan dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka menekan serendah mungkin resiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja di semua area. Dalam sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%. Sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus dikelola sebagaimana dengan aspek lainnya dalam perusahaan seperti operasi, produksi, logistik, sumber daya manusia dan lainnya. Aspek K3 tidak SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-82
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara
akan berjalan tanpa adanya intervensi dari manajemen berupa upaya terencana untuk mengelolanya. Semua sistem manajemen K3 bertujuan untuk mengelola risiko K3 yang ada dalam perusahaan agar kejadian yang tidak diinginkan atau dapat menimbulkan kerugian dapat dicegah. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi dapat dicegah atau dikurangi melalui penerapan UU No 1 1970 tentang keselamatan kerja. Untuk mengukur apakah suatu perusahaan telah mentaati UU No 1 1970, maka diperlukan suatu audit yang disebut dengan audit sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2012 tentang pedoman penerapan SMK3. Untuk itulah manajemen berkewajiban agar selalu meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan tersebut. Menurut data Depnakertrans, pada tahun 2007 jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 190.267, tetapi yang sudah memenuhi kriteria SMK3 baru mencapai 643 perusahaan. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah telah mencanangkan upaya peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya dengan mewajibkan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Dalam dunia internasional, Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dikenal dengan OHSAS 18001:2007. OHSAS 18001:2007 adalah suatu standar internasional untuk Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang bertujuan untuk mengelola aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada setiap proses kerja di tempat kerja. Organisasi yang mengimplementasi OHSAS 18001:2007 memiliki struktur manajemen yang terorganisasikan dengan wewenang dan tanggung-jawab yang tegas, sasaran perbaikan yang jelas, hasil pencapaian yang dapat diukur dan pendekatan yang terstruktur untuk penilaian risiko. Demikian pula, pengawasan terhadap kegagalan manajemen, pelaksanaan audit kinerja dan melakukan tinjauan ulang kebijakan dan sasaran K3. Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Sumatera Utara telah menerapkan sistem manajemen K3 OHSAS 18001:2007. Dalam hal ini Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel menggunakan SMK3 dengan sistem penilaian kinerja K3 nya berdasarkan OHSAS 18001:2007. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel berdasarkan standar atau persyaratan SMK3 yaitu OHSAS 18001:2007, dimana perusahaan ini merupakan perusahaan besar yang berpotensi bahaya tinggi dan melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam aktivitas kerjanya sehari-hari guna menunjang produktivitas karyawannya. A. Perumusan Masalah Masalah yang diselidiki dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Klausul yang paling besar diterapkan oleh perguruan tinggi setelah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001:2007. 2. Klausul yang paling kecil diterapkan oleh perguruan tinggi setelah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001:2007. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan penelitian ini adalah mengevaluasi klausul yang memberikan manfaat terbesar kepada Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel setelah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001:2007 C. Urgensi Penelitian Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel penelitian telah menerapkan OHSAS 18001:2007 dengan biaya investasi yang dikeluarkan cukup besar namun belum jelas manfaat yang diterima dari penerapan setiap klausul. Sehingga hasil yang diperoleh dari penelitian ini lebih objektif. Untuk itu, penelitian ini penting untuk diteliti lebih lanjut. II. ISI MAKALAH Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan action research, yaitu suatu metode yang menyelesaikan suatu indikasi keadaan, gejala pada kondisi yang sudah ada dan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-83
Yuana Delvika
sedang berjalan, yang dilakukan dengan pengumpulan data, mentabulasi dan mengklarifikasi serta menginterpretasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang dihadapi dan pada akhirnya usulan pengembangan yang dilakukan. A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan pada Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara yang menjadi sampel dan telah menerapkan sistem manaejmen keselamatan dan kesehatan kerja OHSAS 18001:2007. B. Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai cara, sebagai berikut: 1. Melakukan observasi langsung, yaitu mencatat sendiri data yang diperlukan yang diperoleh terhadap pengamatan di lapangan. 2. Melakukan Tanya jawab secara langsung dengan pihak yang terkait. 3. Melakukan penelusuran berbagai dokumen yang terkait seperti data masa lalu, kebijakan dan berbagai dokumen yang terkait. C. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini secara garis besar terdiri dari dua jenis data, yaitu: 1. Data Primer Dalam penelitian ini tidak menggunakan data primer. 2. Data Sekunder Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Manual keselamatan dan kesehatan kerja, Standar operasional prosedur dan instruksi kerja yang berlaku yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja, Hasil identifikasi bahaya, Hasil identifikasi kepatuhan perundang-undangan dan data lain terkait dengan kebutuhan tiap klausul dalam OHSAS 18001:2007. Diagram alir atau tahapan-tahapan dalam melakukan dapat ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini : Mulai Latar Belakang Masalah Perumusan Tujuan Pembuatan Kuisioner Penyebaran Kuisioner Rekapitulasi Kuisioner Analisis Kuisioner Kesimpulan dan saran Selesai
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian III. HASIL PENELITIAN Sistem Manajemen K3 Perusahaan Perkebunan yang menjadi sampel sesuai dengan klausulklausul yang ada pada OHSAS 18001:2007 dapat dilihat pada diagram laba-laba/spider diagram berikut:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-84
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001:2007 pada Perusahaan Perkebunan Di Sumatera Utara
Gambar 2. Spider Diagram Keterangan Gambar 2 : Klausul 4.2 : Kebijakan K3 Klausul 4.3.1 : Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan penentuan pengendalian bahaya. Klausul 4.3.2 : Persyaratan Hukum dan Persyaratan lainnya Klausul 4.3.3 : Tujuan sasaran dan program SMK3 Klausul 4.4.1 : Sumber daya, peran dan tanggung jawab dan wewenang Klausul 4.4.2 : Kompetensi, Pelatihan dan Kepedulian Klausul 4.4.3.1 : Komunikasi Klausul 4.4.3.2 : Partisipasi dan konsultasi Klausul 4.4.4 : Dokumentasi Klausul 4.4.5 : Pengendalian Dokumen Klausul 4.4.6 : Pengendalian Operasi Klausul 4.4.7 : Persiapan dan tanggap darurat Klausul 4.5.1 : Pemantauan dan pengukuran kinerja Klausul 4.5.2 : Evaluasi Pemenuhan Klausul 4.5.3.1 : Investigasi Insiden Klausul 4.5.3.2 : Ketidaksesuaian, Tindakan Koreksi dan Pencegahan Klausul 4.5.4 : Pengendalian rekaman Klausul 4.5.5 : Audit internal Klausul 4.6 : Tinjauan manajemen Setiap titik pada lingkaran yang membentuk jaring-jaring laba menunjukkan poin yang diberikan pada penerapan OHSAS 18001:2007 sesuai klausul-klausul yang ada pada OHSAS 18001:2007. Semakin tinggi poinnya maka semakin tinggi tingkat pencapaiannya, adapun cara penilaian yang dilakukan yaitu dengan mengasumsikan setiap poin yang terpenuhi oleh perusahaan sebesar 20% dimana setiap pertanyaan terdiri dari 5 point.
IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan pemenuhan kriteria OHSAS 18001:2007, manfaat yang paling besar saat implementasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah klausul 4.2, klausul 4.3.1, klausul 4.4.1, klausul 4.4.2, klausul 4.4.4, klausul 4.4.5, klausul 4.4.6, klausul 4.4.7, klausul 4.5.1, klausul 4.5.2, klausul 4.5.3.1, klausul 4.5.3.2, klausul 4.5.4, klausul 4.5.5, dan klausul 4.6. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-85
Yuana Delvika
2. Klausul yang belum sepenuhnya diterapkan antara lain klausul 4.3.3 terkait tujuan, sasarna dan program K3 yang belum dilakukan pembaharuan pada tahun berjalan 3. Klausul lain yang belum sepenuhnya terpenuhi adalah klausul 4.4.3.1 terkait komunikasi baik komunikasi internal maupun komunikasi eksternal. Papan informasi K3 telah ada namun tidak ada berita yang informatif yang bisa diakses oleh semua orang yang berada saat berada diperusahaan. Ada beberapa signage dan jalur evakuasi tidak berada pada posisi yang seharusnya. Sistem mailing list juga tidak difungsikan. 4. Klausul 4.4.3.2 terkait Partisipasi dan Konsultasi juga tidak sepenuhnya diterapkan. Perusahaan telah mengundang Pakar K3 sebanyak 3 kali pada tahun berjalan namun hasil konsultasi tidak didistribusikan kepada pihak-pihak terkait dalam perusahaan. Beberapa unit juga tidak dilibatkan dalam pelaksanaan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Template ini wajib digunakan oleh pemakalah pada Kongres VIII BKSTI – SNTI dan SATELIT. Makalah yang tidak sesuai dengan template yang ditentukan akan berakibat tidak dimuatnya makalah pada proceeding.
DAFTAR PUSTAKA Akbar, Ali. 2012. Integrasi Sistem Manajemen Lingkungan, Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Bennett, Rumondang Silalahi. 1985. Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Cetakan Pertama. Jakarta. Mutoif. 2009. Pentingnya K3 Bagi Perusahaan Industry. Www.Kompas.Co.Id. Ramli, Soehatman. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja OHSAS 18000, Dian Rakyat. Jakarta. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Graha Ilmu. Jakarta. Suma’mur P.K. 1987. Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan. Cetakan Ketiga. Jakarta. __________. Undang-Undang No 01 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Depnakertrans. __________. Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Kerja. Depnakertrans. __________. Majalah PT.PP. London Sumatera Indonesia Tbk Tahun 2010.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-86
Petunjuk Sitasi: Makmuri, M. K., & Zahri, A. (2017). Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B87-92). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker M. Kumroni Makmuri (1), Amiludin Zahri (2) (1), (2) Universitas Bina Darma Jl. A. Yani no 3 Palembang (1)
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendisain alat bantu bagi truk pengangkut hasil perkebunan untuk mengatasi hambatan prasarana jalan perkebunan yang rusak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Pengunci gardan (differential locker) merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mengatasi prasarana jalan perkebunan yang rusak. Produsen harus mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap produk melalui metode Quality Function Deployment (QFD) juga kekuatan bahan baku besi. Hasil penelitian pertama mendapati konsumen lebih menyukai produk locker manual (353) berbanding otomatis (125,42). Berdasarkan urutan kepentingan, daya tahan produk urutannya 1, Bahan baku yang baik urutannya 2, dan kemampuan operasi produk urutannya 3. Sedangkan hasil rancangan proses produksi Differential Locker berdasarkan prioritas adalah pemilihan jenis bahan dengan nilai 49%, prioritas ke dua pembuatan alat dengan nilai 25%, prioritas ke tiga pemilihan lampu indikator dengan nilai 15 %. Hasil penelitian kedua mendapati bahwa pembuatan produk Differential Locker untuk kendaraan truk dengan kapasitas angkut sebesar 5,032 ton sesuai dengan standar uji dari Dinas Perhubungan Sumatera Selatan untuk truk Colt Diesel FE 73 110 PS memerlukan bahan baku Baja Karbon Sedang dengan kadar karbon antara 0,25 %- 0.6 % dengan kode S 50 C yang berkekuatan 62 kg/mm2 Kata kunci— bahan baku baja, differential locker, kebutuhan dan keinginan konsumen, Quality Function Deployment.
I. PENDAHULUAN Sumatera selatan merupakan provinsi yang terletak di lintang pada posisi antara 102 º 40′ 0″103º 0′ 0″ bujur timur dan 3º 4′ 10″ – 3º 22′ 30″ lintang selatan memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah. Salah satu sumber daya alam provinsi ini adalah memiliki sumber daya perkebunan seluas 1.878.983 ha yang merupakan perkebunan milik rakyat dan perusahaan, terdiri dari perkebunan karet, kelapa sawit, tebu, kopi, kelapa, lada dan lainnya dengan total produksi 4.040.150 ton.(BPS Sumsel 2014). Selama 20 tahun terakhir, laju pertumbuhan komoditas perkebunan ini sangat fantastis sebagai hasil kerja keras semua komponen yang berkecimpung dibidangnya. Sektor pertanian menempati urutan kedua sesudah pertambangan penyumbang PDRB Sumatra Selatan sebesar 16 %. (BPS Sumsel, 2014). Melihat dari besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Sumatera Selatan dan penyerapan tenaga kerja, maka sektor perkebunan sebagai salah satu bagian dari sektor pertanian ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian masyarakat Sumatera Selatan. Untuk itu sektor perkebunan perlu diberikan perhatian khusus. Hasil perkebunan tersebut tidaklah berarti apabila tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Melalui Transportasi yang baik, hasil kebun tersebut dapat dipasarkan ke daerah yang membutuhkan dengan harga yang juga akan baik. Tetapi apabila sarana dan prasarana transportasi tersebut tidak baik, berakibat hasil kebun tersebut tidak dapat dipasarkan dan akhirnya akan menumpuk di kebun dan rusak. Sarana dan prasarana transportasi yang tidak
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-87
Makmuri, Zahri
baikpun berakibat harga komoditi ini akan mahal jika sudah sampai di pasar atau akan sangat murah jika masih di kebun. Untuk itu sarana dan prasarana transportasi yang baik sangat diperlukan sehingga hasil kebun dapat didistribusikan atau dipasarkan. Kondisi nyatanya jalan sebagai salah satu prasarana transportasi di perkebunan sebagian besar rusak dan sukar untuk dilalui. Mengingat keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memperbaiki prasarana jalan yang ada di perkebunan dalam waktu yang singkat, maka pemilik usaha perkebunan harus mencari solusi untuk mengatasi kerusakan jalan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan agar distribusi hasil perkebunan dapat sampai di pasar adalah melalui perbaikan sarana transportasi. Sarana transportasi perlu didisain untuk mengatasi kerusakan jalan tersebut agar kelangsungan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian dapat terjamin. Sarana transportasi yang dimaksud adalah kendaraan. Semua kendaraan pasti memiliki gardan (diffrential) yaitu peranti yang berfungsi menyalurkan daya dari mesin pada kedua ban belakang sehingga bisa bergerak maju atau mundur. Pada gardan standar (open differential) tenaga dari mesin sebenarnya hanya diteruskan ke roda yang putarannya paling minim hambatan. Namun, untuk kendaraan yang banyak bermain tanah, akan timbul masalah saat off-road. Contohnya ketika salah satu roda tergantung (saat melintas gundukan misalnya). Dengan open differential, maka tenaga akan tersalur ke roda yang tergantung itu. Alhasil, kendaraan stuck, karena roda yang bertenaga justru tak ada traksi. Begitu juga saat melintas lumpur atau tanah licin. Tenaga akan tersalur ke roda yang putarannya lancar. Padahal, untuk traksi maksimal, justru harus tersalur merata. Pada saat kondisi slip, roda kendaraan yang berputar hanya roda kendaraan bagian yang tidak slip. Semua kekuatan kendaraan hanya digunakan untuk roda bagian yang tidak slip. Akan tetapi apabila roda kendaraan yang slip dapat berputar bersamaan dengan roda kendaraan yang tidak slip, kondisi slip itu akan dapat diatasi. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mendisain alat bantu kendaraan yang dapat digunakan mengatasi kondisi jalan rusak yang ada di perkebunan. Locker atau differential Locker merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh kendaraan mengikat kedua roda yang terdapat dalam as roda sehingga kedua roda tersebut dapat berputar secara bersamaan
II. METODOLOGI PENELITIAN Dalam proses perancangan dikenal dengan sebutan NIDA, yang merupakan kepanjangan dari Need, Idea, Decision dan Action. Artinya tahap pertama seorang perancang menetapkan dan mengidentifikasi kebutuhan (need) terhadap alat atau produk yang harus dirancang. Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan ide-ide (idea) yang akan melahirkan berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan tadi dilakukan suatu penilaian dan penganalisaan terhadap berbagai alternatif yang ada, sehingga perancang akan dapat memutuskan (decision) suatu alternatif yang terbaik. Pada akhirnya dilakukan suatu proses pembuatan (Action). Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu rancangan (Ainul.Gunadarma.ac.id) : 1. Analisa Teknik (Ilmu Logam) Banyak berhubungan dengan ketahanan, kekuatan, kekerasan bahan dan seterusnya. 2. Analisa Ekonomi Berhubungan dengan ekonomis pembiayaan atau ongkos dalam merealisir rancangan yang telah dibuat. A. Pengertian Locking Differential dan Limited Slip Differential Ada 2 macam cara penguncian sistem diferensial, pertama adalah Limited Slip Differential, kedua Differential Locker. Kedua macam metode penguncian diferensial adalah sebagai berikut : 1. Locking Differential Alat ini berfungsi untuk mengunci gerakan as roda poros sebelah kiri dan sebelah kanan. Hal ini diperlukan saat kondisi dimana traksi pada kedua roda dibutuhkan untuk melewati sebuah medan yang licin. 2. Limited Slip Differential SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-88
Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker
Sistem pertama, sesuai dengan namanya, mengunci poros roda kiri dan kanan berdasarkan beda putaran yang terjadi pada poros kiri dan kanan. Penguncian pada Limited Slip Differential (LSD) tergantung dari settingan awal dari pabrik pembuatnya, dilambangkan dengan prosentase, biasanya berkisar antara 70% sampai 90%. Prosentase tersebut melambangkan perbedaan putaran kiri dan kanan maksimum sehingga piranti LSD mengunci putara kedua poros roda.
IMPORTANCE CUST (%)
LOCKER MANUAL
LOCKER OTOMATIS
Concept selection Better + Same s Worse -
LOCKER
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Produk menggunakan Metode Quality Function Deployment (QFD) Hasil perhitungan dengan menggunakan metode QFD didapat konsep rancangan produk, seperti di bawah ini:
S
+
Tahan lama
S
+
106
Kualitas fungsi/kemampuan operasi
-
S
Kualitas posisi penempatan
S
+
S
S
S
S
+
S
Berfungsi sebagai cakar pada medan berat
S
S
TOTAL + (positip)
129,42
353
TOTAL – (negatif)
144
162
85
Kualitas bahan
144
Quality Characteristic
Dapat bekerja secara otomatis
TOTAL
125,42
75,06
Menjaga traksi pada roda
170,76 129,42
Mengunci putaran roda kanan dan kiri
70,3
FUNCTION
353
Gambar 1 Penentuan Konsep Rancangan Produk Sumber : Hasil olahan Setelah matriks penentuan konsep diperoleh maka selanjutnya dilakukan pemilihan terhadap kedua konsep yang direncanakan. Sedangkan untuk memilih konsep yang terbaik didasarkan pada nilai konsep positip tertinggi, yaitu produk Locker Manual. Untuk dapat menentukan tingkat kepentingan dilihat pada tabel di bawah ini :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-89
Makmuri, Zahri
Tabel 1 Tingkat Kepentingan No
Atribut Produk
Nilai Ratarata
Urutan Kepentingan
Tingkat Kepentingan
1
bahan baku yang baik
4,24
2
85%
5
2
kemudahan pengoperasian
3,78
5
76%
4
3
harga produk
3,26
8
65%
4
4
disain produk
2,62
12
52%
3
5
pelayanan purna jual
3,1
10
62%
4
6
daya tahan produk
4,44
1
89%
5
7
waktu pemasangan produk
2,76
11
55%
3
8
kemampuan operasi produk
4,08
3
82%
5
9
kemudahan bongkar pasang
3,16
9
63%
4
10
pengaruh produk atau dampaknya terhadap alat yang lain ketergantungan produk dengan peralatan yang lain posisi penempatan di gardan
3,72
6
74%
4
3,24
7
65%
4
4,1
4
82%
5
11 12
Sumber: hasil pengolahan data Untuk hasil perhitungan berdasarkan tingkat kepuasan konsumen dari atribut-atribut lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Tingkat Kepuasan Konsumen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hasil Kuesioner Skala Pengukuran
Kebutuhan
bahan baku yang baik kemudahan pengoperasian harga produk disain produk pelayanan purna jual daya tahan produk waktu pemasangan produk kemampuan operasi produk kemudahan bongkar pasang pengaruh produk atau dampaknya 10 terhadap alat yang lain ketergantungan produk dengan 11 peralatan yang lain 12 posisi penempatan di gardan Sumber: hasil olahan
1 2 1 1 7 2 2 5
Total Skor
Tingkat Kepuasan
2
2 1 4 12 20 13 0 11 1 7
3 3 12 18 12 18 4 26 6 26
4 21 21 11 7 12 12 7 31 11
5 23 12 8 4 5 32 1 12 4
4,24 3,78 3,26 2,62 3,1 4,44 2,76 4,08 3,16
4,24 3,78 3,26 2,62 3,1 4,44 2,76 4,08 3,16
0
2
17
24
7
3,72
3,72
0
15
16
11
8
3,24
3,24
2
2
5
21
20
4,1
4,1
Setelah proses QFD selesai, maka dihasilkan prioritas dari rancangan produk dan proses yang perlu dilaksanakan. Langkah selanjutnya yang akan dikerjakan oleh perancang yaitu menentukan perencanaan produksi, yang menyangkut hal-hal operasional, seperti menyiapkan bahan baku sesuai dengan keinginan konsumen, desain dari locker dan lain-lain. Cara menghitung
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-90
Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) pada Pengembangan Produk Differential Locker
persen prioritas adalah nilai prioritas design factor dibagi dengan jumlah dari design factor dikalikan 100 persen.Contoh :
Persen prioritas
prioritas design factor x 100% prioritas design factor
Butir pemilihan jenis bahan : prioritas _ desain _ faktor
128717,58 49% 261725,8
PRIORITAS DESAIGN FACTOR
Pembutan alat
Pemilihan jenis as
Pemilihan lampu indikator
Pemilihan jenis per
Pemilihan jenis bahan
Wants Vs Measure Stronght 9 Moderate F 3 Weak 1
PROSES FACTOR
untuk lebih jelasnya hal tersebut di atas dibuat dalam matriks QFD seperti tampak pada gambar di bawah ini.
DESIGN FUNCTION (char.) 1
Memiliki alat pengoperasian berupa tuas
2
Menggunakan sling
3
Menggunakan lampu indikator
147,93
F
2844
1296
4
Memakai as roda yg sudah dimodifikasi
1865,35
5
Menggunakan per untuk mempermudah kembalinya tuas
3079,84
6
Menggunakan besi bersuri
4551,84
Menggunakan per untuk mengembalikan locker
1
16.788
66.287
49 %
39.328
PERSEN PRIORITAS
10.605
Prioritas Desain Faktor
PRIORITAS
3535,05
F
128.718
7
4%
15 %
6%
25 %
5
3
4
2
Gambar 2 Penentuan Proses Produksi Sumber: hasil olahan B. Penentuan Bahan Baku Differential Locker Setelah dilakukan pengukuran dan pengujian terhadap gardan truk, didapat bahwa produk tersebut harus berbentuk selinder dengan garis tengah sebesar 85 mm agar tidak mengganggu selongsong gardan, dikarenakan selongsong gardan bergaris tengah 100 mm. Ditengah locker terdapat lubang dengan garis tengah sebesar 48 mm dengan dibuat gigi suri sebanyak 18 buah. Lubang berguna untuk dilewati as roda (axle shaft). Locker dapat bergerak kiri dan kanan dengan bertumpu pada as roda (axle shaft). Pergerakan locker menggunakan sendok besi. Sendok besi dibaut seperti setengah lingkaran dengan garis tengah 69 mm dengan tebal 8 mm. Untuk menempatkan sendok besi dibuat lubang keluar diantara bonggol gardan berbentuk persegi empat dengan ukuran 80 x70 mm. Sedangkan panjang seling tergantung pada jauhnya lokasi meletakkan tuas Untuk menentukan bahan baku besi produk Diffrential Locker disamakan dengan bahan baku besi as roda. Penentuan bahan baku as roda menggunakan perhitungan beban yang dipikul oleh as roda tersebut. Perhitungan beban as roda dilakukan sebagai berikut :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-91
Makmuri, Zahri
Setelah dilakukan perhitungan diatas, beban yang ditanggung oleh sumbu roda belakang kendaraan adalah sebesar 1,9069 kg. Dikarenakan beban yang ditanggung oleh kendaraan bersifat dinamis, maka diberikan Safety Factor (SF) sebesar 2. Sehingga beban yang harus ditanggung oleh sumbu roda adalah sebesar 3,8138 ton kg, maka dapat ditentukan kualitas daripada bahan baku besi yang dipergunakan. Bahan baku besi baja untuk pembuatan produk Diffrential Locker adalah besi baja dengan kode S 50 C yang berkekuatan 62 kg/mm2 (Sularso dan Suga, 1987).
IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Produk Locker berbentuk selinder dengan garis tengah sebesar 85 mm Panjang seling 500 mm, tuas penggerak dengan panjang 250 mm diletakkan di sebelah kiri bawah pengemudi. 2. Bahan baku yang dipergunakan untuk membuat produk locker adalah baja Sedang dengan kadar karbon antara 0,25 %- 0.6 % dengan kode S 50 C yang berkekuatan 62 kg/mm2
DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik, 2014, Sumatera Selatan Dalam Angka 2013. Couhen Lou, 2005, Quality Function Deployment, Addison-Wesley Publishing Company Gaspersz, Vincent, 1998, Manajemen Kualitas, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta Gulo, D.H. 1989. Dasar – Dasar Perhitungan Kekuatan Bahan (Alih Bahasa dari : Strength of Material, Part I : Elementary, by S. Timoshenko, Robert E. Klinger Publishing Co., Inc., 1968). Cetakan Kedua, Penerbit Restu Agung, Jakarta. Hikmah, 1987, Total Quality Management, Yogyakarta, Anda Offset. http://angieorex.blogspot.co.id/2014/11/mengenal-differential-locker.html (diakses 10 Februari 2015) https://devisofiah23.blogspot.co.id/2015/06/pengertian-bagian-bagian-fungsi-dan.html (diakses 2 Februari 2015) http://gangsarnovianto.blogspot.co.id/2013/04/perancangan-produk-atau-alat.html (diakses 15 April 2017) http://sabrintechno.blogspot.co.id/2016/11/rumus-menghitung-biaya-produksi.html (diakses 3 Januari 2017) Imam Djati Widodo. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Produk, Produk Planning and Design. Yogyakarta, Penerbit UII Press Indonesia. Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Isi dan Data Sekunder. Jakarta. PT Rajag Grafindo Persada. Nicholas, Total Quality Management, New York, Mc Graw Hill. Purnomo, Hari. 2004. Pengantar Teknik Industri, Yogayakarta, Penerbit Graha Ilmu. sep-sp.blogspot.com/2014/10/pengertian-dan-fungsi- gardan.html (diakses 27 April 2015) Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit ALFABETA. Sularso & K. Suga. 1987. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. Cetakan Keenam. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta. Turner Wayne C., &Mize Joe H, 2000, Pengantar Teknik dan Sistem Industri, Jakarta, Penerbit Guna Widya. Ulrich, Karl T, 2001, Perancangan dan Pengembangan Produk, Jakarta, Penerbit Salemba.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-92
Petunjuk Sitasi: Budiarto, D. (2017). Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian Dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B93-99). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian Dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna Dominikus Budiarto Prodi Teknik Industri Fakultas Sains & Teknologi, Universitas Katolik Musi Jalan Bangau No 60 Palembang 30113
[email protected] ABSTRAK Proses pembelahan durian yang dilakukan oleh masyarakat umum atau industri kecil relatif masih manual. Proses pengupasannya menjadi sulit karena alat pemotong pisau yang standar dan posisi durian yang tidak mantab. Prosesnya mudah dilakukan jika dilakukan oleh orang yang berpengalaman/ahli. Desain alat ini bertujuan memberikan inovasi dalam pengembangan teknologi tepat guna (TTG). Alat ini dikembangkan untuk digunakan pada industri kecil yang berbahan baku durian. Peralatan TTG yang ada terkait dengan pembelah durian diidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Hasil kekurangan peralatan yang ada yaitu terkait portabilitas (bentuk, ukuran/dimensi dan berat produk), fleksibilitas dalam hal perawatan/spare part mata pisau pengganti, kemampuan proses untuk berbagai ukuran durian dan waktu setup (banyaknya langkah/operasi). Pengembangan produk (alat) pembelah durian ini dikembangkan dari teknologi pengungkit dan pembelah. Teknologi yang di adopsi adalah mekanisme kerja tang kombinasi/Tang pengupas kabel dan baji. Alat yang dihasilkan bekerja dengan di tekan dan membuka/ menutup (seperti tang), dengan menambah kepala pembuka (mata pisau pembelah). Hasil analisis simulasi gerakan dengan bantuan program 3Ds Max, untuk kedua alternatif mekanisme tersebut, kemudian dikumpulkan data terkait dimensi, fleksibilitas dan banyaknya gerakan dari alat tersebut. Hasil yang didapat yaitu dimunculkannya 4 jenis mata pisau yang bisa digunakan, dan 2 bentuk alat pembelah durian. Alat pembelah durian ini memiliki dimensi panjang (L) 200 - 300 mm (sesuai ukuran tang di pasaran). Kebanyakan responden memilih alternatif produk 1. Karena produk tersebut memiliki ukuran-portabilitas, fleksibilitas yang baik dan waktu setup yang singkat. Penelitian ini perlu di kaji lebih lanjut terkait implementasi pengembangan produk (alat) pembelah durian tersebut di home industri, terkait dengan keandalan (kekuatan/umur), keamanan dan kinerjanya. Kata kunci— Pengembangan produk, home industry, pembelah durian.
I. PENDAHULUAN Buah durian merupakan buah musiman dan memiliki ciri khas yaitu kulit yang berduri serta memiliki aroma yang khas. Buah durian selain sebagai makanan (buah) dapat diolah menjadi dodol, lempo, selai, isian pada roti isi, kue pancake dan juga dapat sebagai aroma pada makanan seperti roti, dan permen. Untuk memperoleh isi (daging) buah durian, perlu dilakukan proses pengupasan durian. Proses ini yang disebut membelah durian. Pada saat proses pengupasan ini kerap kali terjadi masalah yaitu pekerja mengalami kesulitan dalam proses pengupasan karena alat pembelah durian yang digunakan masih tradisional (menggunakan pisau atau parang). Pada proses ini potensi kecelakaan kerja ditandai dengan penggunaan alat yang seringkali meleset dan tangan terkena duri durian sehingga dapat menimbulkan luka/bahaya pada pekerja Sani, dkk. (2014). Untuk mendapatkan proses pengupasan yang cepat, diperlukan tenaga kerja yang telah ahli (jam terbang dan pengalaman menggunakan alat pembelah durian tradisional). Jika tenaga kerja tersebut absen maka proses pengupasan yang cepat menjadi terkendala, Chandra, Y., (2017). Hasil observasi awal terkait teknologi yang digunakan di masyarakat untuk membelah durian didapat beberapa macam peralatan (lihat gambar 5). Model produk pembelah kulit durian yang telah ada menggunakan beberapa prinsip dalam ilmu fisika yaitu prinsip tuas/pengungkit dan gaya SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-93
Budiarto
dorong/tarik serta gaya puntir. Prinsip tuas merupakan salah satu jenis pesawat sederhana yang dapat digunakan untuk memudahkan melakukan usaha. (Sani, dkk. (2014). Beberapa kelemahan terkait produk pembelah durian yang sudah ada terletak pada perawatan (pengantian komponen pisau), ukuran, bentuk, mekanisme kerja yang membutuhkan banyak langkah atau waktu setup dan kepraktisan alat. Berikut hasil perbandingan produk yang sudah ada berdasarkan perbandingan karakteristik kualitatif dan visual relatif terhadap keseluruhan alat. Tabel 1 Data Hasil Observasi Produk Pembelah durian yang sudah ada.
Produk
Produk 1 Produk 2 Produk 3 Produk 4 Produk 5 Produk 6 Produk 7 Produk 8 Produk 9 Produk 10
Ukuran Pemotong K/S/B S K K B B B B B B B
Portabilitas KP / S / SP SP S S S S KP S S KP S
Mekanisme Kerja P1 / P2 / P3 P1 P1 Gaya Tekan P2 Gaya Tarik Gaya Tekan Gaya Tarik Gaya Tekan Gaya Tekan Gaya Tekan
∑ Langkah Setup
Waktu Proses
5 5 5 5 10 10 10 5 10 10
<15‖ <15‖ <15‖ <15‖ 15‖-60‖ 15‖-60‖ 15‖-60‖ 15‖-60‖ > 60‖ > 60‖
Keterangan: Ukuran: Kecil / Sedang / Besar relatif terhadap ukuran diameter durian; Mekanisme Kerja: Jenis Pesawat Ungkit P1, P2, P3. Langkah : Cepat (<5) – Sedang (5 - 10) – Banyak (>10). Kepraktisan (Portabilitas): Kurang Praktis – Sedang - Sangat Praktis
Analisis terhadap peralatan tersebut, kekurangannya yaitu terkait portabilitas (bentuk, ukuran/dimensi dan berat produk), fleksibilitas dalam hal perawatan / spare part mata pisau pengganti, kemampuan proses untuk berbagai ukuran durian dan waktu setup (banyaknya langkah/operasi). Dari beberapa kekurangan tersebut maka penelitian ini ingin mencoba merancang alat pembelah durian (mata pisau) dan mekanisme kerja alat yang mampu mereduksi ukuran, fleksibilitas dan banyaknya langkah operasi pada proses pembelahan durian. Tujuan yang ingin dicapai yaitu tersedianya desain alat pembelah durian yang nantinya mampu di produksi dan diimplementasikan guna membantu masyarakat umum atau industri kecil dalam proses pengupasan durian walau tanpa pengalaman dan jam terbang.
II. METODOLOGI Berdasarkan metode dan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk dalam penelitian pengembangan, (Sugiyono, 2010) dan bersifat konfirmatori Sekaran, (2010). Kerangka awal yang digunakan dalam menyelesaikan masalah penelitian (problem solving) didasarkan pada model TRIZ (Theoria Resheneyva Isobretatelskehuh Zadach/Creative Problem Solving Method), Ekmekci, I. & Koksal, M. (2015) dan konsep Teknologi Tepat Guna (TTG) Tanaka, Nao (2015) digunakan. Untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif solusi langkah selanjutnya mengikuti model dari Krick (1969) dalam Mital, (2008). Secara khusus proses pemecahan masalah mengikuti langkah-langkah yaitu: (1) Formulate the problem. (2) Analyze the problem. (3) Search for alternative solutions. (4) Decide among the alternative solutions. (5) Specify the solution. Cross, Nigel. (2000) dan Priest, J.W. dan Shchez, J. M. (2001).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Masalah Proses operasi yang dilakukan oleh pengguna (penjual buah) dan pelaku usaha home industri yang produknya berbahan durian, dilakukan beberapa tahap seperti: (a) Proses pengupasan/pembelahan kulit. Pada proses ini durian dikupas/dibelah menggunakan pisau. (b) Proses pemisahan kulit. Durian yang telah dikupas/dibelah diambil daging duriannya (c) buah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-94
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna
durian di makan atau durian tersebut dipisahkan antara daging dan bijinya selanjutnya dipindahkan ke wadah. (d) Proses selanjutnya (pelaku usaha home industri). Dari 25 data pengukuran untuk proses pembelahan kulit durian dengan pisau, rata-rata waktu yang dibutuhkan yaitu 1,1 menit belum termasuk setup (memposisikan durian). Jika keseluruhan proses untuk mendapatkan daging buah durian, proses (a) – (b) membutuhkan waktu sekitar 3 menit untuk satu buah durian. Potensi peluang meleset saat proses tersebut antara 0.16 – 0.3 peluang tersebutlah yang menyebabkan luka pada tangan baik terkena kulit durian atau pisau. B. Analisis Masalah Dari hasil analisis terhadap 10 produk pembelah durian yang sudah ada, kebutuhan alat yang diinginkan terlihat dalam tabel 2.
Fitur Produk
Tabel 2 Analisis Kebutuhan Produk sekarang 4 5 6 7 8
1
2
3
Holder durian
X
√
√
√
√
√
√
Hand grip
√
X
X
X
X
√
Berat produk Ukuran (PxLxT dalam cm) Durasi waktu proses ((a) dan (b) dalam menit) Perawatan komponen/produk Banyaknya langkah operasi Keterangan:
9
10
√
√
√
X
X
X
X
Kebutuhan Sangat dibutuhkan sebagai jig/fixture durian Sangat dibutuhkan untuk kenyamanan gengaman
± 0.5 Kg 40x 5x 8
±1 Kg
±1 Kg
±2 Kg
±4 Kg
±6 Kg
±4 Kg
±5 Kg
±5 Kg
±3 Kg
Diharapkan seringan mungkin
60x 60x 40
80x 40x 20
80x 10x 60
20x 15x 60
40x 40x 80
20x 15x 60
30x 25x 80
100x 100x 120
40x 25x 80
Diharapkan sekecil mungkin
1
1
0.5
2
2
2
2
2
3
3
Diharapkan secepat mungkin
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
5
5
5
5
10
10
10
5
10
10
Diharapkan semudah mungkin Diharapkan sedikit mungkin
X : tidak ada / belum sempurna √ : ada / baik
C. Mencari Alternatif Solusi Konsep produk adalah perkiraan dari teknologi, prinsip kerja dan bentuk dari produk. Secara teknologi desain produk dibuat dengan mempertimbangkan kriteria teknis (bahan lokal, menggunakan peralatan sederhana, mudah diperbaiki dan dirawat), ekonomis (terjangkau dari segi biaya produk, bahan baku), sosial-budaya (keinginan, kebiasaan pekerja/masyarakat). Secara prinsip kerja dan bentuk dari produk pemilihan prinsip desain: parameter/atribut yang di ambil dari parameter dalam model TRIZ. Solusi untuk pemilihan alternatif desain sebagai berikut: Tabel 3 Prinsip Triz untuk menemukan solusi desain produk Solusi untuk prinsip dan bentuk produk
Principle Number 1
Deskripsi
2 3 5
Mengurangi elemen/part Kualitas Lokal Mengabungkan (identical/similiar perform paralel operation) Perubahan dimensi
17
Segmentasi
to
Mengelompokkan fungsi part (holder, pembelah/mata pisau, hand grip/mekanisme) Kurangi elemen/part menjadi sedikit mungkin Bahan, Mekanisme kerja yang sederhana Gabungkan fungsionalitas part / copy mekanisme produk sejenis Ubah dimensi (Volume, Panjang, Lebar, Tinggi)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-95
Budiarto
Principle Number 35
Deskripsi
Solusi untuk prinsip dan bentuk produk
Perubahan Parameter (Flexibility)
Kurangi dimensi produk (Berat, banyak langkah)
Point-point utama ide pengembangan yang dikembangkan yaitu mata pisau, holder dan mekanisme proses (hand grip). Hasil pembangkitan ide yang dihasilkan yaitu ada 3 Jenis landasan/holder, 6 bentuk dasar mekanisme pembelahan (hand grip) dan 4 jenis bentuk mata pisau. Hasil generasi dari beberapa solusi yang dihasilkan untuk mata pisau seperti pada gambar 2. D. Memilih Alternatif Solusi Poin-poin utama ide pengembangan yang dikembangkan yaitu mata pisau, holder dan mekanisme proses. 1) Landasan/holder
2) Mata Pisau:
1
Gambar 1 Holder
2
3
4
Gambar 2 Alternatif desain pisau pembelah durian
3) Mekanisme Proses (Hand Grip):
Gambar 3 Hand grip
1
4
Gambar 4 Hasil desain pisau (Alat) pembelah
Berdasarkan mekanisme dan generasi solusi terhadap produk di pasaran yang paling banyak adalah dengan mekanisme tekan maka yang dipilih adalah produk mata pisau 1 dengan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-96
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna
mekanisme ditekan (lihat gambar 3). Model rekayasa produk pembelah durian yang ditekan seperti gambar 4.
E. Menetapkan (Spesifikasi) Solusi Spesifikasi desain produk / Spesifikasi desain produk / Spesifikasi fungsional untuk Spesifikasi fungsional untuk holder : Mata Pisau : 1) Fungsi kegunaan: 1) Fungsi kegunaan: Pemegang buah durian. Pembelah kulit durian. 2) Bahan: Logam besi atau 2) Bahan: Logam besi/baja Kayu atau Kayu 3) Dimensi: dibawah Panjang 3) Dimensi: dibawah Panjang 30 cm x Lebar 30 cm x 30 cm x Lebar 30 cm x Tinggi 10 cm. Tinggi 30 cm. 4) Performansi: Bisa 4) Performansi: Bisa menahan buah durian membelah buah durian dengan diameter minimal dengan diameter minimal 15 cm, berat kurang dari 15 cm 0.5 Kg. mampu menahan 5) Biaya: bisa dibuat sendiri benda sampai 50 Kg. biaya kurang dari 50.000. 5) Biaya: bisa dibuat sendiri Produk di pasaran Rp ± biaya kurang dari 50.000. 50.000. Produk di pasaran Rp 6) Perawatan Mata Pisau: 13.000. Perawatan dibutuhkan jika 6) Perawatan holder: komponen Part Rusak Perawatan dibutuhkan jika (diganti dengan membeli komponen Part Rusak, part pendulum, pahat, tidak dibutuhkan peralatan paku/membuat sendiri), khusus untuk perawatan, tidak dibutuhkan peralatan umur holder bisa khusus untuk perawatan, mencapai ± 5 tahun. umur mata pisau bisa mencapai ± 5 tahun atau kurang tergantung pemakaian.
Spesifikasi desain produk / Spesifikasi fungsional untuk Hand Grip : 1) Fungsi kegunaan: Pemegang mata pisau (dengan mekanisme). 2) Bahan: Logam besi/baja, Plastik, Karet, Kayu atau kombinasi. 3) Dimensi: diameter dibawah 10 cm dan Panjang dibawah 80 cm. 4) Performansi: Bisa menahan beban sampai denan 50 Kg. 5) Biaya: bisa dibuat sendiri biaya kurang dari 50.000. Produk di pasaran Rp 10.000-50.000. 6) Perawatan holder: Perawatan dibutuhkan jika komponen Part Rusak, tidak dibutuhkan peralatan khusus untuk perawatan, umur hand grip bisa mencapai ± 5 tahun.
F. Analisis / Evaluasi Desain Matrik evaluasi terhadap desain produk yang dihasilkan mempertimbangkan hal berikut: Tampilan, ergonomi (hand grip), keamanan, perawatan, performansi proses, biaya produk, dimensi produk dan umur hidup produk.
IV. PENUTUP Dari hasil perancangan alat pembelah durian dan hasil analisis dapat disimpulkan produk yang memenuhi spesifikasi alat pembelah durian (mata pisau) dan mekanisme kerja alat yang mampu mereduksi ukuran, fleksibilitas dan banyaknya langkah operasi pada proses pembelahan durian yaitu desain alternatif 1. Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan atau perlu dilakukan uji performansi produk terkait perbaikan (ide generasi konsep) dari 4 jenis yang sudah dihasilkan. Misal hasil generasi produk 1 mata Pisau dibuat menjadi dua bagian dengan mekanisme ditekan dan membelah (mekanisme ditekan keluar atau ditekan di dalam).
DAFTAR PUSTAKA SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-97
Budiarto
Chandra, Y.2017. Perancangan alat pengupas buah durian di ukm pancake lena. Skripsi Teknik Industri. Universitas Katolik Musi Charitas. Cross, Nigel.2000. Engineering Design Methods Strategies for Product Design Fourth Edition. UK: John Wiley & Sons. Ekmekci, I. dan Koksal, M.,2015, ―Triz Methodology and Application Example for Product Development‖. Procedia Social and Behavioral Sciences 195 (2015) 2689-2698. Mital, Anil., Desai, A., Subramanian, A. dan Mital, Aashi. 2008: Product Development A Structured Approach to Consumer Product Development Design and Manufacture. UK: Butterworth-Heinemann. Priest, J.W. dan Shchez, J. M.2001. Product Development And Design For Manufacturing A Collaborative Approach to Producibility and Reliability Second Edition, Revised and Expanded. NY: Marcel Dekker. Sani, A. A., Mardiana, Seprianto, D.2014. ―Desain Inovasi Alat Bantu Pembuka Kulit Buah Durian untuk Industri Kecil‖. Jurnal Austenit. Vol 6 No 1. hl. 1- 4. Sekaran, U. dan Bougie, R.. 2010. Research Methods for Business a Skill Buiding Approach. UK : Jhon Wiley and Sons. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Tanaka, Nao. 2015. Teknologi Tepat Guna & Dunia Alternatif. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Lampiran 1 Ragam Produk Pembelah Duren
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-98
Rancangan Pisau Produk Alat Pembelah Durian dengan Pendekatan Teknologi Tepat Guna
Produk 1
Produk 6
Produk 2
Produk 7
Produk 3
Produk 4
Produk 5
Produk 8
Produk 9
Produk 10
Gambar 5 Ragam Produk Pembelah Durian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-99
Petunjuk Sitasi: Restuputri, D. P., Baroto, T., & Enka, P. (2017). Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDS) pada Pengasuh Anak. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B265-271). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDS) pada Pengasuh Anak Dian Palupi Restuputri(1), Teguh Baroto(2) , Puspita Enka(3) (1), (2), (3) Universitas Muhammadiyah Malang (1), (2), (3) Jalan Raya Tlogomas 246 Malang (1)
[email protected] ABSTRAK Aktivitas mengasuh anak yang ada di Taman Sosialisasi Anak (TSA) Samuphahita Malang masih dilakukan secara sederhana yaitu dengan menggunakan bak biasa. Risiko yang muncul pada pengasuh anak ini adalah bagian bahu yang pegal, posisi punggung yang membungkuk juga menyebabkan rasa sakit dan juga rasa sakit yang terjadi pada pinggang, kaki, tangan dan lutut. Adanya risiko menimbulkan perubahan kondisi tubuh dan cidera ini perlu alat bantu pemandian anak yang dapat mengurangi rasa sakit/nyeri. Dari hasil analisa terhadap keluhan kerja menggunakan kuesioner Nordic Body Map didapatkan 6keluhan terbesar yang sering dirasakan pengasuh anak, yaitu sakit pada bagian leher 100%, sakit pada bahu 75%, sakit pada lengan atas 85%, sakit pada lengan bawah 70%, sakit pada punggung 85%, dan sakit pada pergelangan tangan 50%. Pada penelitian ini menggunakan metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) untuk menganalisa postur pengasuh anak. Hasil nilai REBA untuk postur memandikan anak mendapat nilai 7 yang artinya level resiko sedang. Pada postur memakaikan popok, memakaikan baju, dan memberi bedak mendapat nilai 10 sedangkan postur menghanduki anak mendapat nilai 11 yang artinya beresiko tinggi dan perlu perbaikan secepatnya. Dari hasil tersebut dapat dibuat alat bantu memandikan anak yang lebih efisien dan nyaman agar para pengasuh tidak mengalami keluhan rasa sakit/nyeri. Kata kunci—Fasilitas Kerja, Kelelahan, Musculoskeletal Disorder, Nordic Body Map, Pengasuh Anak, Rapid Entire Body Assessment.
I. PENDAHULUAN Terdapat banyak wanita karir di kota Malang ini membuat Taman Sosialisasi Anak semakin banyak, salah satunya adalah Taman Sosialisasi Anak (TSA) Samuphahita yang berlokasi di Jl. Veteran No. 17 Kota Malang. TSA ini memiliki 8 orang pengasuh yang disebut sebagai ―bunda pengasuh". Jam bekerja pengasuh disini adalah mulai dari pukul 7.00-16.00 dengan waktu istirahat 1 jam, waktu istirahat tidak dapat dipastikan karena tergantung anak-anak yang ada, pengasuh akan beristirahat bila semua anak sudah istirahat/tidur. Semua keluhan yang dialami oleh pekerja pada Tempat Penitipan Anak Samuphahita adalah keluhan pada bagian otot tulang belakang yang mengakibatkan nyeri atau sakit, pegal-pegal dan lainnya. Banyak pengasuh merasakan keluhan otot pada saat memandikan bayi atau anak asuh yang ada, karena tempat memandikan bayi tersebut tidak ergonomis sehingga menimbulkan rasa nyeri pada otot Musculoskeletal atau yang disebut Musculoskeletal Disorders. Musculoskeletal Disorders adakah cedera yang dihasilkan karena pekerjaan (Garkaz, dkk, 2014). Dari hasil kuesioner Nordic Body Map pengasuh anak mengalami nyeri/sakit pada bagian leher atas sebanyak 80%, bahu 70%, lengan atas 65%, lengan bawah 70%, kaki 60% dan yang mengalami sangat sakit punggung 70% serta pergelangan tangan 55%. Bagian tubuh lain hanya mengalami 20% tidak sakit/nyeri yang dirasakan. Dari latar belakang masalah didapat perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana menganalisis postur kerja terkait MSDs yang terjadi pada pengasuh di TSA Samuphahita menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). Metode REBA digunakan karena metode ini dianggap cocok untuk evaluasi seluruh tubuh baik dinamis maupun statis (Stanton dkk,2004 dan Hashim dkk,2012). Metode REBA ini juga telah banyak digunakan untuk analisa postur pekerja seperti yang dilakukan oleh Garkaz dkk (2014), Ingale dkk (2016), Siddiqui dan Chacko (2015), Nadri dkk (2013) dan Lasota (2014). Dari perumusan masalah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-265
Restuputri, Baroto, Enka
tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai yaitu: mengidentifikasi keluhan pengasuh TSA Samuphahita yang terkait dengan postur kerja, menganalisis postur kerja pengasuh di TSA Samuphahita dan membuat rancangan perbaikan fasilitas kerja.
II. METODOLOGI Metode penelitian adalah tahap yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum melakukan penyelesaian masalah yang sedang dibahas. Berikut ini akan dijelaskan mengenai jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, metode pengambilan data, sumber data dan tahap-tahap penelitian yang ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan. 1) Tempat dan Waktu Penelitian: Penelitian ini dilaksanakan di TPA Samuphahita Malang Provinsi Jawa Timur pada bulan Februari-Maret 2016. 2) Langkah-langkah Penelitian: Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi masalah Mengidentifikasi masalah dilakukan dengan tujuan untuk mencari titik-titik keluhan yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan pada otot Musculoskeletal di TPA Samuphahita. 2. Merumuskan Masalah dan Tujuan Penelitian Perumusan masalah mengenai analisis postur kerja yang terjadi pada otot. Tujuan penelitian ditentukan berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Tujuan penelitian diperlukan untuk dapat merencanakan langkah yang dapat diambil pada penelitian sehingga penelitian dapat lebih berfokus dan dapat dijalankan dengan lancar. 3. Studi Pustaka dan Studi Lapangan Studi pustaka digunakan untuk mempelajari teori dan ilmu pengetahuan yang relevan dengan tempat yang akan diteliti. Studi lapangan diperlukan untuk melakukan survei agar mendapatkan gambaran atau kondisi sebenarnya objek yang akan diteliti yaitu, Taman Sosialisasi Anak Samuphahita Malang. 4. Mengumpulkan Data Data yang dikumpulkan dalam langkah ini dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: a. Wawancara dan brainstroeming dilakukan dengan pihak TPA Samuphahita yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. b. Observasi atau melakukan pengambilan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap keadaan yang sebenarnya. c. Dokumentasi pada tahap ini dilakukan dengan mengambil foto-foto yang terkait dengan pengasuhan anak. 5. Mengolah Data Dari data-data yang telah diperoleh dilakukan pengolahan data. Adapun langkahlangkah pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi MSDs dengan Nordic Body Map Pada tahap ini dilakukan analisa menggunakan kuesioner Nordic Body Map terhadap keluhan yang dialami oleh para pengasuh anak. Dari hasil dan analisa ini, dapat diketahui nilai besar rata-rata keluhan yang dirasakan tiap bagian tubuh dan dapat digambarkan titik-titik keluhan yang dirasakan tiap bagian tubuh para pengasuh. b. Melakukan penilaian kerja menggunakan metode REBA Pada tahap ini dilakukan penilaian dengan menggunakan metode REBA untuk proses melepaskan pakaian anak sampai dengan memakaikan pakaian anak kembali. Pada tahap ini dapat dilihat nilai yang paling tinggi dari semua postur kerja tersebut. c. Membuat desain alat bantu Pada tahap ini, alat bantu memandikan anak didesain berdasarkan data antropometri. Setelah itu, dengan memasukkan data ukuran dan menentukan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-266
Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pengasuh Anak
persentil yang digunakan untuk menjamin alat bantu dapat meringankan beban pengasuh anak tersebut. 6. Menganalisa Hasil Pada tahap ini dilakukan analisa hasil pengambilan data sebelum menggunakan alat bantu memandikan anak. 7. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dibuat berdasarkan seluruh tahapan yang dilalui dalam penelitian dimana peneliti melakukan penarikan kesimpulan berhubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, sedangkan saran merupakan masukan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Saran diperlukan untuk kepentingan pada masa akan datang untuk kesempurnaan penelitian. Pengajuan saran diharapkan dapat bermanfaat bagi pengasuh dan peneliti yang lain ketika akan melakukan penelitian dengan tema serupa.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini tahap pengolahan data kuesioner Nordic Body Map pada saat melakukan kegiatan mengasuh anak. A. Perhitungan Nordic Body Map Berdasarkan pengambilan data kuesioner Nordic Body Map yang dilakukan terhadap 8 pengasuh anak di TPA Samuphahita Malang, didapatkan 6 keluhan terbesar yang sering dirasakan pengasuh anak, yaitu sakit pada bagian leher 100%, sakit pada bahu 75%, sakit pada lengan atas 85%, sakit pada lengan bawah 70%, sakit pada punggung 85%, dan sakit pada pergelangan tangan 50%. B. Penilaian Postur Kerja dengan REBA Dari hasil pengolahan data postur kerja pengasuh di TPA Samuphahita dengan menggunakan metode REBA, maka dapat dilakukan analisa terhadap permasalahan yang ada yaitu: 1) Postur memakaikan popok: Pengasuh pada kegiatan memakai popok merasa tidak nyaman karena posisi terlalu membungkuk. Pengasuh ini melakukan kegiatan dengan posisi menunduk, berdiri dengan kaki membengkok. Hasil dari skor tabel A yaitu 7 dan hasil dari skor tabel B yaitu 5 maka hasil dari skor C adalah 9. Skor C 9 akan ditambahkan dengan aktifitas skor 1 karena kegiatan lebih dari 1 menit dan hasil akhir dari postur ini adalah 10, resiko tinggi perlu adanya investigasi dan perubahan secepatnya.
Gambar 1 Postur Memakaikan Popok
2) Postur menghanduki anak: Pengasuh pada kegiatan menghanduki anak merasa tidak nyaman karena posisi terlalu membungkuk. Pengasuh ini melakukan kegiatan dengan posisi menunduk, berdiri dengan kaki membengkok. Hasil dari skor tabel A yaitu 8 dan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-267
Restuputri, Baroto, Enka
hasil dari skor tabel B yaitu 8 maka hasil dari skor C adalah 10. Skor C 10 akan ditambahkan dengan aktifitas skor 1 karena kegiatan lebih dari 1 menit dan hasil akhir dari postur ini adalah 11, resiko sangat langsung dilakukan perubahan secepatnya.
Gambar 2 Postur Kerja Saat Menghanduki Anak
3) Postur memandikan anak: Pengasuh pada kegiatan memandikan bayi ini merasa tidak nyaman dengan postur tubuh yang dirasakan. Pengasuh ini melakukan kegiatan dengan posisi menunduk, berdiri, dan posisi meja yang kurang ergonomis. Untuk mendapatkan posisi yang lebih nyaman maka diperlukan perbaikan alat bantu kerja yaitu meja untuk memandikan bayi. Beban yang diangkat oleh pengasuh yaitu kurang dari 5 kg hal ini tidak terlalu berat bagi pengasuh. Hasil dari skor tabel A yaitu 6 dan hasil dari skor tabel B yaitu 3 maka akan mengahasilkan skor tabel C dengan nilai 6, ditambah dengan aktivitas skor 1 maka untuk hasil akhir dari skor REBA yaitu 7. Skor 7 ini bearada pada level resiko sedang dan diperlukan investigasi lebih lanjut.
Gambar 3 Postur Memandikan Anak
4) Postur memakaikan pakaian anak: Pengasuh pada kegiatan memakaikan pakaian anak ini merasa tidak nyaman dengan postur tubuh yang dirasakan. Pengasuh ini melakukan kegiatan dengan posisi menunduk, berdiri. Hasil dari skor tabel A yaitu 7 dan hasil dari skor tabel B yaitu 5 maka akan mengahasilkan skor tabel C dengan nilai 9, ditambah dengan aktivitas skor 1 maka untuk hasil akhir dari skor REBA yaitu 10. Skor 10 ini bearada pada level resiko tinggi dan diperlukan adanya investigasi dan perbaikan secepatnya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-268
Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pengasuh Anak
Gambar 4 Postur Memakaikan Baju Anak
5) Postur memberikan bedak: Pengasuh pada kegiatan memberi bedak anak ini merasa tidak nyaman dengan postur tubuh yang dirasakan. Pengasuh ini melakukan kegiatan dengan posisi menunduk, berdiri. Hasil dari skor tabel A yaitu 7 dan hasil dari skor tabel B yaitu 5 maka akan mengahasilkan skor tabel C dengan nilai 9, ditambah dengan aktivitas skor 1 maka untuk hasil akhir dari skor REBA yaitu 10. Skor 10 ini bearada pada level resiko tinggi dan diperlukan adanya investigasi dan perbaikan secepatnya.
Gambar 5 Postur Memberikan Bedak
C. Usulan perbaikan alat untuk memandikan anak Tabel 1 Dimensi Tubuh Pengasuh Anak
Dimensi Tubuh Tinggi Siku Tinggi Tulang Ruas Panjang Rentang Tangan Ke Depan Panjang Rentangan Siku
Penggunaan Pada Desain Tinggi Meja Pemandian Tinggi Laci Tempat Penyimpanan Air Lebar Meja Pemandian Panjang Meja Pemandian
Dimensi Pekerja (cm) Pekerja Pekerja Pekerja 1 2 3 90 88 91
40
39
40
Persentil yang digunakan Persentil 90 = 91,62 cm Persentil 90 = 40,41 cm
67
65
69
Persentil 90 = 69,56 cm
82
81
81
Persentil 90 = 82,07 cm
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-269
Restuputri, Baroto, Enka
Gambar 6 Usulan Perbaikan Meja Untuk Memandikan Bayi
Ukuran panjang meja bayi adalah 82.07 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentangan siku. Ukuran lebar meja bayi adalah 69.56 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentang tangan ke depan. Ukuran tinggi meja adalah 91.62 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah tinggi siku. Ukuran tinggi kaki meja sampai laci untuk air adalah 40.41 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah tinggi tulang ruas.
(a) (b) Gambar 7 (a) Bak Mandi Tampak Atas Gambar (b) Bak Mandi Tampak Samping
Ukuran panjang bak adalah 82.07 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentangan siku. Ukuran lebar bak adalah 69.56 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentangan tangan ke depan. Ukuran tinggi bak adalah 30 cm. Ukuran panjang meja bayi adalah 91.62 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentangan siku. Ukuran lebar meja adalah 69.56 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentangan tangan ke depan. Ukuran panjang adalah 82.07 cm. Dengan perhitungan menggunakan percentil 90, dimensi yang digunakan adalah panjang rentangan siku.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-270
Analisis Postur Kerja Terkait Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pengasuh Anak
Gambar 8a Bak Mandi Tampak Samping Gambar 8b Meja Tampak Depan
IV. PENUTUP Dari pengolahan data hasil penelitian di TPA Samuphahita Malang menggunakan Nordic Body Map maka dapat diketahui keluhan yang dialami oleh para pengasuh anak yaitu sakit/nyeri pada leher bagian atas 100%, sakit pada pinggang 100%, sakit pada kaki 100%, sakit pada lengan atas 87.5%, sakit/nyeri ada punggung 87.5%, sakit pada bahu 75%, sakit pada tangan 50%, sakit/nyeri pada lengan bawah 50%, dan sakit pada pergelangan tangan 50%. Hasil Analisis REBA dapat diketahui juga bahwa postur kerja ketika menggendong bayi yang dilakukan oleh pengasuh tersebut tidak nyaman karena posisi tangan yang selalu mengangkat beban lebih dari 10 kg setiap harinya yang mengakibatkan sakit/nyeri ada bagian tangan, pergelangan tangan dan lengan bagian atas tangan. Postur kerja ketika memandikan bayi juga dirasakan tidak nyaman dan kurang efisien karena posisi meja untuk memandikan bayi tersebut terlalu rendah yang membuat para pengasuh tersebut harus membungkuk ketika memandikan bayi tersebut. Usulan perbaikan yang diberikan berupa pembuatan rancangan ulang meja untuk memandikan bayi yang lebih efisien dan nyaman digunakan oleh pengasuh bayi yang tidak menimbulkan rasa nyeri ketika bekerja. Alat memandikan bayi tersebut berukuran panjang meja bayi adalah 82.07 cm, lebar meja bayi adalah 69.56 cm, tinggi meja bayi adalah 91.62 cm, tinggi kaki meja bayi adalah 40.41 cm.
DAFTAR PUSTAKA Garkaz,A; Kurd,N;, Majid,M; & Shirmohamadi.,N, 2014, ―Ergonomic assessment of Sina car montage industry employees 'working positions by REBA (Rapid entire body assessment)‖, Journal Bas Res Med Sci, Vol 1 No 3, hlm. 52-59. Hignett, S.; & McAtamney, L, 2000, ―Technical Note Rapid Entire Body Assessment (REBA)‖, Applied Ergonomics, Vol 31, hlm 201-205. Ingale, P.A.; & Salunke, P.V, 2016, ―Rapid Entire Body and Rapid Upper Limb Assessment of Operator for Multipurpose Wheel Lathe Machine‖, International Journal Of Mechanical Engineering And Information Technology, Vol 4 No 03, hlm 1636-1641. Lasota, A.M., 2014, ―A Reba-Based Analysis Of Packers Workload: A Case Study‖, Scientific Journal of Logistic, Vol 10 No 1, hlm 87-95. Nadri, H.; Fasih, F.; Nadri, F.; & Nadri, A., 2015. ―Comparison of ergonomic risk assessment results from Quick Exposure Check and Rapid Entire Body Assessment in an anodizing industry of Tehran, Iran‖, Journal of Health and Epidemiology, Vol 2 No 4, hlm 195-202 Siddiqui, N.A, & Chacko, A.G, 2015,―Study of The Ergonomics of The Worker Using The Rapid Entire Body Assessment Technique on Agri-Machinery Industry‖, International Journal on Occupational Health & Safety, Fire &Environment – Allied Science, Vol 4 Issue 1, hlm 001-004
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-271
Petunjuk Sitasi: Sumiyanto, & Rizani, N. C. (2017). Analisis Ergowaste Pada Proses Produksi Yoke Dengan Pendekatan Lean Ergonomics Di PT.X. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B272-277). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Ergowaste pada Proses Produksi Yoke dengan Pendekatan Lean Ergonomics Di PT.X (1), (2)
Sumiyanto(1) , Nataya Charoonsri Rizani(2) Program Studi Teknik Industri, FTI, Institut Sains dan Teknologi Nasional Jl.Moh. Kahfi II Bhumi Srengseng Indah, Jagakarsa, Jakarta Selatan (1)
[email protected], (2)
[email protected]
ABSTRAK Pendekatan lean ergonomics yang merupakan gabungan antara konsep lean thinking dan ergonomics pada prinsipnya adalah mengurangi hal yang tidak bernilai tambah (non value added) dengan meminimasi waste of ergo.Masih banyaknya aktivitas non value added, ketidaksesuaian produk yang dihasilkan dengan permintaan konsumen, target yang tidak tercapai merupakan gejala awal adanya waste of ergo.Tujuan dari penelitian di sebuah perusahaan percetakan ini adalah untuk meminimasi waste dan meningkatkan produktivitas. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi seluruh aktivitas setiap stasiun kerja menggunakan peta proses operasi, peta aliran proses, dan peta tangan kiri tangan kanan. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi waste dengan metode 4W 1H berdasarkan analisa peta kerja dan penilaian risiko postur (REBA). Kategori waste yang digunakan adalah kategori seven waste yang terdiri dari overproduction, delays (waiting), transportation, process, inventories, motion and defective product. Tahapan dilanjutkan dengan menyeleksi dan mengklasifikasikan waste yang tergolong waste of ergo yaitu waste of transportation, waste of process, waste of waiting, waste of motion (movement), and waste of motion (posture). Kemudian dirumuskan usulan perbaikan yang dapat menurunkan waktu baku dan nilai skor REBA. Kata Kunci: lean ergonomics, peta kerja, REBA, waste of ergo
I. PENDAHULUAN Lean ergonomics merupakan salah satu cabang penerapan ilmu yang menggabungkan antara leanthinking dengan pendekatan ergonomi. Konsep Lean Thinking berasal dari pemikiran perusahaan Toyota yang dikenal dengan nama Toyota Production System (TPS). Tujuan utama dari Lean Thinking adalah untuk meningkatkan keuntungan dengan mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas. Sedangkan pendekatan ergonomi mempunyai tujuan yang sama yaitu pada akhirnya untuk meningkatkan produktivitas. Karena adanya irisan kesamaan dari kedua konsep ini kemudian tercipta penggabungan metode keduanya yang dikenal dengan nama lean ergonomics.
ERGO LEAN
· · · · · · · · · · · ·
LEAN THINKING
·
Prinsip-prinsip Lean Eliminasi Waste Meningkatkan Produktivitas Mengurangi Biaya Meningkatkan Kualitas Menambah nilai guna Mengurangi Lead Time Kaizen Heijunka Just-In-Time Jidoka Tools Lean
· · ·
·
·
Proses produksi yang efektif dan efisien Eliminasi waste of ergo Pekerjaan yang efisien, sehat, dan nyaman Kualitas produk yang tetap terjamin dengan performansi pekerja yang baik Workstation yang menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah Mengurangi kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah
ERGONOMI · · · · · · · ·
Prinsip-prinsip Ergonomi Kesehatan dan Keselamatan Meningkatkan Kenyamanan Standarisasi Pekerjaan Mengurangi Waktu Idle Rancang Workstation Material Handling Tools Ergonomi
Gambar 1. Pendekatan Lean Thinking dan Ergonomics
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-272
Analisis Ergowaste Pada Proses Produksi Yoke Dengan Pendekatan Lean Ergonomics Di PT.X
PT. X sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur yang menghasilkan komponen pompa air dan mobil traktor, memiliki kendala pemenuhan kebutuhan konsumen dan ketidak sesuaian output dan target yang di harapkan. Salah satu permasalahan adalah pada lini pembuatan komponen jenis Yoke sebagai komponen pendukung dalam mobil traktor. Berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa, pada setiap stasiun kerja dalam pembuatan produk tersebut terjadi pemborosan (waste) yaitu masih adanya defect (produk cacat), adanya aktivitas waiting (menunggu) yang cukup lama pada proses Grinding dan Milling, waktu yang lama untuk transportasi terlihat, adanya gerakan (motion) yang tidak produktif misalnya saat operator mencari alat/ komponen dan sikap kerja yang kurang ergonomis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi waste pada proses produksi, mengidentifikasi dan mengukur waste of ergo, menentukan prioritas dan analisa terhadap waste of ergo dan memberikan usulan perbaikan untuk meminimalkan waste of ergo pada proses produksi yoke.
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Lean Ergonomics Konsep Lean adalah metodologi yang sistematik yang mengidentifikasi dan mengeleminasi semua jenis waste atau aktivitas non-value-added di bagian industri manufaktur dan juga di bagian industri jasa. Metode lean umumnya membahas 8 jenis waste yakni Transportation, Waiting, Overproduction, Defect, Inventory, Motion, Over Processing, Unexploited Knowledge (Capstick, 2010). Setiap waste berpotensi memiliki dampak terhadap lingkungan pada sektor manufaktur maupun jasa. Ergo Lean digunakan untuk mengurangi aktivitas-aktivitas maupun sistem-sistem yang tidak sesuai dengan prinsip dari ergonomi. Aktivitas-aktivitas maupun sistem-sistem yang tidak sesuai dengan prinsip ergonomi ini disebut sebagai waste of ergonomic. Dari kedelapan waste yang ada, yang termasuk dalam waste of ergonomic adalah waste of transportation dan waste of motion. Ergonomi telah terbukti untuk dapat mengurangi kelelahan dan gejala yang sering merupakan prekursor cedera. Ergonomi juga memainkan peran penting dalam mencapai tujuan dari lean thinking dengan mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas, yaitu dengan cara menghilangkan waste seperti gerakan yang tidak perlu (unnecessary motions) dan mengurangi kesalahan dengan meningkatkan kualitas. Dengan membatasi jumlah pengulangan dan gerakan berlebih, perusahaan akan menghemat waktu dan uang. (Surya Dharma, 2012) B. Waste Secara umum waste dikategorikan menjadi 7 jenis yaitu Overproduction, Delays (Waiting time), Transportation, Process, Inventories, Motions, dan Defective Products. Menurut Ketujuh waste ini dikenal dengan nama The Seven Waste. Namun seiring dengan perkembangan zaman secara umum waste dikategorikan menjadi 8 jenis. Kedelapan jenis waste tersebut dikenal dengan nama The Seven Plus One Waste. (Capstick, 2010) III. METODOLOGI PENELITIAN Secara garis besar pendekatan lean ergonomics terdiri dari tahapan identifikasi aktivitas, identifikasi waste, klasifikasi waste dan analisa perbaikan. A. Identifikasi Aktivitas Merupakan tahapan untuk melihat keseluruhan kegiatan yang berlangsung pada aktivitas produksi. Tahapan ini menggunakan tools peta aliran proses, peta pekerja mesin dan peta tangan kiri tangan kanan. B. Identifikasi Waste Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah (non-value-added) dengan motode 4W 1H. Analisa dilakukan menggunakan peta kerja dan skor risiko postur REBA. C. Klasifikasi Waste Mengidentifikasi semua waste dengan menggunakan pendekatan ergonomi. Waste yang menyebabkan permasalahan ergonomi disebut dengan Waste of Ergo. D. Analisa dan Usulan Perbaikan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-273
Sumiyanto, Nataya Charoonsri Rizani
Pada tahapan ini dilakukan analisa perbaikan pada waste of ergo pada stasiun kerja yang ada dan membandingkan indikator sebelum dan sesudah usulan perbaikan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi yoke secara garis besar terdiri dari proses bubut, grinding, milling dan finishing. Setelah dilakukan analisa dari peta kerja dan pengamatan langsung, didapat data wasteberdasarkan kategori seven waste yang terjadi dari setiap stasiun kerja seperti yang dapat dilihat pada table 2-5. Tabel 2. Jenis Waste Pada Proses Bubut Kegiatan 1 2 3
Aktivitas Proses produksi setting mesin Pengambilan alat ukur Proses Pembubutan
4
Pemeriksaan hasil pembubutan
5
Membawa hasil ke proses selanjutnya
Jenis Waste Proses
Aktivitas Pemborosan setting mata pisau yang cukup lama Mengambil alat ukur dengan jarak yang jauh dan tidak terdeteksi posisinya Waktu menunggu hasil proses yang cukup lama Hasil pembubutan yang tidak sesuai standar maka hasil tersebut di bubut kembali Membawa hasil pembubutan ke proses Grinding dengan jarak yang jauh
Sumber PPM
Motion
PTKTK
Waiting
PPM
Defect
Pengamatan Langsung
Transpo rtation
PAP
Waste of Ergo Tidak Ya Ya Tidak
Ya
Tabel 3. Jenis Waste Pada Proses Grinding Kegiatan 1 2
Aktivitas Proses produksi Pengambilan bahan baku Pengambilan alat ukur
3
Proses grinding
4
Membawa hasil ke proses selanjutnya
Jenis Waste
Aktivitas Pemborosan
Sumber
Posisi pengangkutan yang tidak pengamatan Motion ergonomis langsung Mengambil alat ukur dengan jarak yang Motion PTKTK jauh dan tidak terdeteksi posisinya Waktu menunggu hasil proses yang Waiting PPM cukup lama Membawa hasil grinding ke proses Transpor PAP Milling dengan jarak yang jauh tation
Waste of Ergo Ya Ya Ya Ya
Tabel 4. Jenis Waste Pada Proses Milling Kegiatan 1 2 3 4 5
Aktivitas Proses produksi Pengambilan bahan baku Proses pembuatan ulir
Aktivitas Pemborosan
Jenis Waste
Sumber
Posisi pengangkutan yang tidak pengamatan Motion ergonomis langsung hasil ulir yang kurang dalam sehingga di Pengamatan Defect perdalam secara manual langsung Waktu menunggu hasil proses yang Proses milling Waiting PPM cukup lama Proses milling Waktu setup mesin yang lama Proses PPM Membawa hasil ke Membawa hasil milling ke proses Transpor PAP proses selanjutnya finishing dengan jarak yang jauh tation
Waste of Ergo Ya Tidak Ya Ya Ya
Tabel 5. Jenis Waste Pada Proses finishing Kegiatan 1
Aktivitas Proses produksi Pemindahan bahan baku
2
Pengambilan alat ukur
3
Proses grinda
Aktivitas Pemborosan Mengangkat bahan baku yang tidak ergonomis Mengambil alat ukur dengan jarak yang jauh dan tidak terdeteksi posisinya posisi pengerjaan yang tidak ergonomis dalam waktu yang lama
Jenis Waste
Sumber
Motion
pengamatan langsung
Motion
PTKTK
Motion
pengamatan langsung
Waste of Ergo Ya Ya
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-274
Ya
Analisis Ergowaste Pada Proses Produksi Yoke Dengan Pendekatan Lean Ergonomics Di PT.X
A. Pemilihan Waste Of Ergo Penelitian difokuskan kepada pengurangan waste of motion dan waste of transportation karena kedua waste tersebut menjadi masalah utama. Kedua jenis waste ini terdapat pada seluruh proses produksi dari proses bubut sampai proses finishing. Waste of ergo terpilih dapat dilihat pada tabel 6. B. Usulan Perbaikan untuk Minimasi Waste of Ergo Usulan perbaikan untuk mengatasi waste of ergo dapat dilihat pada table 11. Perbaikan yang diusulkan meliputi penambahan alat bantu, pengubahan posisi kerja, pengubahan layout kerja dan mengeliminasi gerakan kerja. Terdapat usulan perbaikan yang dilakukan secara actual dan disimulasikan melalui gambar penilaian postur REBA dan layout.
V. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan yang dilakukan untuk meminimalkan waste of ergo dapat membawa perbaikan kondisi sebelum dan sesudah perbaikan. 2. Pada waste of motion (posture) di proses milling nilai REBA turun dari 8 menjadi 3. Pada proses finishing nilai REBA turun dari 10 menjadi 3. 3. Untuk waste motion (movement) terjadi penurunan waktu baku sebesar 2,1% di proses bubut, 1,97% di proses milling, dan 0,45% di proses finishing. 4. Dalam waste of transportation ada penurunan jarak tempuh sebesar 15 m di proses bubut, 12 meter di proses grinding, dan 14 meter di proses milling. DAFTAR PUSTAKA Capstick, Neil. Lean Thinking and Eight Sources of Waste. Retrieved from
2010. Access on November 11st, 2011. Ergoweb Inc. and University of Utah Research Foundation. Ergoweb® Job Evaluator Toolbox, www.ergoweb.com Freivalds, Andris. Niebel’s Methods, Standards, and Work Design, 12st edition. New York: McGraw-Hill, Inc., 2009. Gaspersz, Vincent dan Avanti Fontana. Lean Six Sigma for Manufacturing and Services Industries. Bogor : Penerbit Vinchristo Publication, 2011. Liker, Jeffrey K. The Toyota Way: 14 Prinsip Manajemen. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006. Sakina. Yunila, 2010. Usulan Perbaikan Sistem Kerja Menggunakan Konsep Lean Thinking Dan Metode Ergonomic Failure Mode And Effect Analysis Pada PT. Trisinar Sukses Makmur. Tugas Akhir Sarjana, Jakarta : Teknik Industri, Universitas Trisakti. Setyobudi, Yayon Wahyu. Pemodelan Penilaian Risiko (Risk Assessment) Dalam Perencanaan Audit Umum Pada Divisi Audit Intern, Desember 2006. Tersedia dari 2006. Diakses 12 Desember 2011. Sritomo Wignjosoebroto. Ergonomi Studi Gerakan dan Waktu. Cetakan Kedua. Surabaya: Guna Widya, 2000. Surya Dharma 2012, Usulan Perbaikan Sistem Kerja Dengan Menggunakan Pendekatan Ergo Lean Pada PT.Epsindo Jaya Pratama, skripsi. Universitas Trisakti Sutalaksana.Iftikar Z. Teknik Tata Cara Kerja. Laboratorium Tata Cara Kerja & Ergonomi, Dept. Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung, 2006. Ward, S.C. Assessing And Managing Important Risks.An International Journal of Project Management 1999; 17 (6) : 331–336.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-275
Sumiyanto, Nataya Charoonsri Rizani
Waste Of Ergo
Waste Of Motion (Posture)
Stasiun
Aktivitas Pemborosan
Milling
Posisi pengerjaan yang tidak ergonomis
Tabel 6. Usulan Perbaikan Untuk Setiap Jenis Waste Of Ergo Terpilih Usulan Perbaikan Perbandingan Kondisi dilakukan tidak dilakukan Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan aktual aktual Menambahkan Postur Tubuh operator saat Postur tubuh operator saat panggung bekerja memiliki nilai bekerja memiliki risk level penyokong tinggi postur low risk dengan high dengan skor REBA 8 tubuh operator skor Reba 3
Posisi pengerjaan yang tidak Finishing ergonomis ketika menggunakan mesin grinda
Bubut
Megambil alat ukur dengan jrak yang jauh dan tidak terdeteksi letaknya
Mengubah postur Postur tubuh operator saat Postur Tubuh operator saat tubuh saat operator bekerja memiliki risk level bekerja memiliki nilai melakukan high dengan skor REBA 8 postur low risk dengan pekerjaan dan action level 3 skor Reba 3 Pemakaian toolbox yang di disimpan di atas meja dan diletakkan disamping mesin
Posisi pemindahan bahan baku yang tidak ergonomis Waste Of Motion (Movement)
Grinding
Finishing
Megambil alat ukur dengan jrak yang jauh dan tidak terdeteksi letaknya
Pemakaian toolbox yang di disimpan di atas meja dan diletakkan disamping mesin
Pemindahan material yang tidak ergonomis
Mengeliminasi kegiatan pemindahan material
Mengambil alat ukur dengan jarak
Pemakaian toolbox yang di
Hasil Perbaikan Perbaikan postur tubuh saat bekerja dan usulan pemberian panggung bagi pekerja Perbaikan postur tubuh saat bekerja dan usulan meja dan kursi kerja
Terdapat kegiatan mencari Proses bubut menjadi lebih pada tangan kiri dan kanan Berkurangnya kegiatan efektif dan efisien serta dengan jarak 5 meter, mengambil alat ukur dan waktu proses tersebut juga waktu tempuh 0,4 menit, material lain dengan semakin cepat dengan dan waktu siklus per unit jangkauan yang jauh waktu siklus per unit 73,68 76,192 menit Proses bubut menjadi lebih Terdapat kegiatan efektif dan efisien serta Peletakan mesin di pemasangan material ke Pengurangan waktu waktu proses tersebut juga area yang di lalui mesin dengan beban 20 grinding pada proses semakin cepat dengan oleh hoist crane kg, jarak 2,5 meter dan yoke waktu proses pemasangan waktu 2,04 menit materia 1,25 menit Terdapat kegiatan mencari Proses grinding menjadi pada tangan kiri dan kanan Berkurangnya kegiatan lebih efektif dan efisien dengan jarak 3 meter, mengambil alat ukur dan serta waktu proses tersebut waktu tempuh 0,3 menit material lain dengan juga semakin cepat dengan dan waktu siklus per unit jangkauan yang jauh waktu siklus per unit 52,2 53,256 menit Terdapat kegiatan Waktu proses finishing pemindahan posisi Pengurangan waktu semakin cepat, efektif, dan material dengan jarak 1,5 efisien tanpa mengurangi finishing pada proses meter dalam waktu 0,23 yoke kualitas produk serta menit terjadi pengurangan waktu siklus menjadi 66,024 Terdapat kegiatan mencari Berkurangnya kegiatan menit pada tangan kiri dan kanan mengambil alat ukur dan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-276
Analisis Ergowaste Pada Proses Produksi Yoke Dengan Pendekatan Lean Ergonomics Di PT.X
Waste Of Ergo
Stasiun
Aktivitas Pemborosan yang jauh dan tidak terdeteksi posisinya
Usulan Perbaikan dilakukan tidak dilakukan aktual aktual disimpan di atas meja dan diletakkan disamping mesin
Perbandingan Kondisi Sebelum Perbaikan
Setelah Perbaikan
dengan jarak 5 meter, waktu tempuh 1 menit dan waktu siklus 66,326
Tabel 6. Usulan Perbaikan Untuk Setiap Jenis Waste Of Ergo Terpilih (lanjutan) Usulan Perbaikan Perbandingan Kondisi Waste Of Aktivitas Stasiun dilakukan tidak dilakukan Ergo Pemborosan Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan aktual aktual Membawa hasil Membawa hasil bubut dari Membawa hasil yoke dari pembubutan ke proses bubut ke proses proses bubut ke proses Perubahan layout Bubut proses Grinding grinding dengan jarak 18 grinding dengan jarak 3 aliran material dengan jarak yang meter dan waktu tempuh meter dan waktu tempuh jauh 1,67 menit 0,27 Membawa hasil grinding Membawa hasil yoke dari Membawa hasil dari proses grinding ke proses grinding ke proses Waste Of grinding ke proses Perubahan layout Grinding proses milling dengan milling dengan jarak 3 Transportation milling dengan jarak aliran material jarak 15 meter dan waktu meter dan waktu tempuh yang jauh tempuh 1,58 menit 0,26 Membawa hasil milling Membawa hasil milling Membawa hasil dari proses milling ke dari proses milling ke milling ke proses Perubahan layout Milling proses finishing dengan proses finishing dengan finishing dengan aliran material jarak 22 meter dan waktu jarak 8 meter dan waktu jarak yang jauh tempuh 1,8 menit tempuh 0,3
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-277
Hasil Perbaikan material lain dengan jangkauan yang jauh
Hasil Perbaikan
Layout usulan, pengurangan jarak 15 meter dan waktu tempuh
Layout usulan, pengurangan jarak 12 meter dan waktu tempuh
Layout usulan, pengurangan jarak 14 meter dan waktu tempuh
Petunjuk Sitasi: Lustyana, A. T., Widiyawati, S., & Eliata, I. (2017). Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B279-284). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan Astuteryanti Tri Lustyana1), Sri Widiyawati2), Ivan Eliata3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No 167 Malang - Jawa Timur (3) Jurusan Teknik Industri, Sekolah Tinggi Teknik Surabaya Jl. Ngagel Jaya Tengah 73-77 Surabaya - Jawa Timur [email protected], [email protected], [email protected]
(1), (2)
ABSTRAK Perusahaan yang memproduksi sarung tangan ini memiliki target produksi sebanyak 360.000 pasang lusin sarung tangan per tahunnya. Untuk mencapai target yang ditetapkan, perusahaan menyediakan 100 mesin pintal sarung tangan yang ditangani oleh 5 orang operator, sehingga seorang operator dapat menangani 20 mesin pintal. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa seorang operator dapat menangani 36 mesin pintal, proses kerja operator-mesin ini kemudian dipetakan, diperoleh nilai utilitas untuk seorang operator adalah 98,83%, namun utilitas mesin sangat rendah, sebesar 29,67%. Sehingga, seorang operator tetap menangani 20 mesin pintal dengan menambahkan beban kerja oeprator operator mesin pintal, sepertimembantu proses unloading material dari truk ke gudang atau membantu proses loading sarung tangan yang sudah jadi dari gudang ke truk. Kata Kunci: ergonomi, peta manusia mesin, man machine process chart, beban kerja
I. PENDAHULUAN Aktivitas produksi adalah serangkaian kegiatan untuk menciptakan benda baru, dimulai dari mengolah masukan hingga menghasilkan suatu keluaran yang memiliki nilai tambah, baik dari segi manfaat/kegunaan maupun ekonomi. Menurut Wignjosoebroto (2006), dalam proses produksi terjadi dua jenis kegiatan, kegiatan produktif dan kegiatan non-produktif, dimana kegiatan non-produktif ini tidak memberikan manfaat bagi perusahaan bahkan dapat merugikan perusahaan sehingga sebisa mungkin dihilangkan, seperti banyaknya idle/delay, set-up, dan lain sebagainya. Perusahaan pembuat sarung tangan ini merupakan perusahaan manufaktur yang memproduksi sarung tangan dengan jumlah produksi sarung tangan pertahunnya adalah sebanyak ±360.000 pasang lusin sarung tangan. Perusahaan ini memiliki tenaga kerja sebanyak 70 orang yang memliki tugasnya masing-masing. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, banyak perbaikan yang dapat diterapkan di perusahaan ini dengan memperhatikan aspek ergonomi. Dengan memperhatikan faktor ergonomi pada proses produksi diharapkan tidak hanya produktivitas saja yang meningkat, tetapi juga kualitas kerja pegawai meningkat dan berkurangnya biaya yang dikeluarkan.
II. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan pada salah satu stasiun kerja yaitu stasiun kerja pemintalan, dimana pada stasiun kerja ini terdapat 100 mesin pintal yang dikendalikan oleh lima operator. Penelitian ini dilakukan untuk memperlihatkan apakah keadaan proses kerja pada stasiun kerja ini sudah efisien atau belum. Penelitian dimulai dengan menghitung waktu yang dibutuhkan untuk setiap proses kerja, waktu kerja yang telah didapatkan ini digunakan untuk menghitung jumlah mesin yang dapat dilayani oleh seorang operator, selanjutnya proses kerja manusia dan mesin dipetakan untuk melihat apakah pelayanan seorang operator terhadap mesin-mesin pintal sudah memiliki porsi yang baik atau belum. A. Metode Kuantitatif SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-279
Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan
Penugasan seorang operator untuk menangani lebih dari satu mesin akan menghasilkan hubungan kerja manusia-mesin yang sinkron. Dalam kondisi yang ideal/sinkron jumlah mesin atau fasilitas kerja yang dapat dilayani oleh seorang operator dapat dihitung berdasarkan formulasi di bawah ini: (1) Dimana: N adalah Jumlah mesin yang dilayani (unit), L adalah total operator servicing time per mesin (jam), dan M adalah total machining time (jam). Jika digambarkan hubungan manusia dan mesin yang sinkron dapat dilihat pada Gambar 1. Dari ilustrasi Gambar 1, jika jumlah mesin ditambah maka akan ditemukan mesin yang menganggur, begitu juga sebaliknya jika jumlah operator yang ditambah maka akan ada operator yang menganggur Metode kuantitatif dapat diaplikasikan untuk menganalisa dan menetapkan keputusan yang harus diambil, dnegan mengikuti langkah berikut ini; 1. Memperkirakan jumlah mesin/fasilitas yang perlu dilayani oleh seorang operator, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus (2). Dimana W adalah waktu perpindahan operator dari satu mesin ke mesin yang lain. (2) 2. Menentukan total biaya yang diharapkan (TEC) untuk N 1 (pembulatan ke bawah) dan N2 (pembulatan ke atas), dengan menggunakan rumus (3) dan (4). Dimana Co adalah upah operator dan Cm adalah biaya penggunaan mesin. (3) (4)
Gambar 1. Hubungan Kerja Manusia-Mesin secara Sinkron (Wignjosoebroto, 2006)
B. Peta Kerja Peta kerja merupakan alat yang dapat digunakan untuk menganalisa proses kerja, sehingga akan didapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memeprbaiki metode kerja yang ada saat ini. Informasi yang didapatkan dari peta kerja ini dapat berupa; kapasitas mesin, waktu operasi proses untuk setiap kegiatan, spesifikasi material dan peralatan produksi yang digunakan, dan urutan prosedur kerja. Peta kerja merupakan alat yang baik untuk memperbaiki proses kerja yang ada dan juga dapat digunakan untuk menetapkan jumlah mesin dan personil yang dibutuhkan dalam aktivitas produksi. Salah satu peta kerja yang dapat digunakan untuk memperbaiki metode kerja adalah Peta Pekerja dan Mesin (Man and Machine Process Chart). Peta Pekerja dan Mesin merupakan peta kerja yang digunakan untuk menganalisis proses kerja setempat atau yang ada dalam suatu stasiun kerja. Peta kerja ini menunjukkan hubungan waktu kerja antara operator dan mesin yang ditangani oleh opertaor tersebut. Terdapat empat kemungkinan yang terjadi antara hubungan oeprator dan mesin, yaitu: 1. Operator bekerja, sedangkan mesin menganggur,
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-280
Lustyana, Widiyawati, dan Eliata
2. Mesin bekerja, sedangkan operator menganggur, 3. Operator dan mesin sama-sama bekerja, 4. Operator dan mesin sama-sama menganggur. Sehingga dari peta ini akan didapatkan informasi waktu bekerja dan menganggur dari operator dan mesin dalam suatu siklus operasi kerja operator-mesin. Keadaan menganggur inilah, baik operator maupun mesin, yang harus dihilangkan/diminimalkan dengan mempertimbangkan kapasitas dari manusia dan mesin. Dengan menggunakan peta kerja ini akan didapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem kerja pada suatu stasiun kerja sehingga akan didapatkan keseimbangan kerja antara operator dan mesin.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk memenuhi permintaan dan target produksi pertahunnya, maka perusahaan menetapkan target produksi sebanyak 25 karung perharinya, dimana setiap karung terdapat 50 lusin sarung tangan. Berikut akan dijelaskan secara singkat proses produksi yang ada pada perusahaan dan perbaikan yang dapat diterapkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Bagan Proses Produksi Proses produksi sarung tangan ini melalui empat tahap utama, yaitu pemintalan, obras, dotting, setter& pengepakkan. Beberapa proses produksi ini masih dilakukan secara manual dan beberapa sudah menggunakan mesin semi otomatis. 1. Stasiun kerja pemintalan Proses produksi dimulai dengan proses pemintalan, mengolah benang menjadi sarung tangan, yang dilakukan dengan menggunakan mesin. Proses ini tidak memerlukan banyak orang, karena pada proses ini pekerja hanya diperlukan untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kerja mesin, sehingga satu pekerja dapat manangani banyak mesin. Pada proses ini perusahaan menyediakan 100 mesin pintal agar dapat mencapai target perusahaan yang telah ditentukan. 2. Stasiun kerja obras Proses obras dilakukan untuk merapikan bagian pinggir dari sarung tangan. Stasiun kerja obras berada di sebelah stasiun kerja pemintalan, hanya dipisahkan dengan sekat. Pada stasiun kerja ini hanya menggunakan 20 mesin, karena proses obras hanya membutuhkan waktu dalam hitungan detik. Pada stasiun kerja ini masing-masing mesin dioperasikan oleh seorang pekerja. 3. Stasiun kerja dotting Proses ini merupakan proses pemberian hand grip karet pada sarung tangan yang bertujuan untuk menambahkan faktor keamanan bagi pengguna sarung tangan, seperti memperkuat daya cengkeram tangan, memberikan perlindungan ekstra pada telapak tangan (karena ada lapisan karet tambahan), dan mengantisipasi terjadinya lose grip akibat benda yang licin. Pada stasiun kerja ini terdapat tiga buah mesin dotting, masingmasing mesin mebutuhkan dua orang untuk mengoperasikan mesin ini. 4. Stasiun kerja setter dan pengepakan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-281
Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan
Tahapan akhir dalam proses produksi sarung tangan ini adalah proses setter dan pengepakkan. Yang dimaksud dengan proses setter disini adalah proses menata dan menyatukan sarung tangan dengan bantuan alat untuk dimasukkan ke dalam kemasan plastik (satu plastik terdapat satu lusin/6 pasang sarung tangan), dari kemasan plastik kemudian dilanjutkan kepada proses pengepakkan dalam sekala besar, menggunakan karung, (satu karung terdapat 50 kemasan plastik). Alat setter dan pengepakan masingmasing dikendalikan oleh seorang operator. Analisa perbaikan metode kerja ini akan fokus pada stasiun kerja pemintalan, yang bertujuan untuk mengetahui apakah siklus kerja antara operator dan mesin sudah seimbang atau belum, karena pada stasiun kerja ini terdapat banyak mesin pintal yang harus dioperasikan oleh operator. Pada stasiun kerja pemintalan terdapat sebanyak 100 mesin pintal dan 5 operator yang bertugas untuk menangani mesin-mesin tersebut, sehingga masing-masing operator dapat menangani 20 mesin pintal. Hubungan kerja antara seorang operator dengan mesin-mesin pintal dapat dilihat pada Peta Pekerja dan Mesin pada Gambar 3. Tabel 1. Ringkasan Peta Pekerja dan Mesin
Waktu Siklus Idle Kerja Utilisasi Waktu Siklus Idle Kerja Utilisasi 2400 (detik) (detik) (%) 2400 (detik) (detik) (%) Operator 1154 1246 51,92 Mesin 11 494 1906 79,42 Mesin 1 42 2358 98,25 Mesin 12 538 1862 77,58 Mesin 2 86 2314 96,42 Mesin 13 583 1817 75,71 Mesin 3 131 2269 94,54 Mesin 14 628 1772 73,83 Mesin 4 176 2224 92,67 Mesin 15 675 1725 71,88 Mesin 5 223 2177 90,71 Mesin 16 720 1680 70,00 Mesin 6 268 2132 88,83 Mesin 17 768 1632 68,00 Mesin 7 316 2084 86,83 Mesin 18 811 1589 66,21 Mesin 8 359 2041 85,04 Mesin 19 857 1543 64,29 Mesin 9 405 1995 83,13 Mesin 20 904 1496 62,33 Mesin 10 452 1948 81,17
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-282
Lustyana, Widiyawati, dan Eliata
PETA PEKERJA DAN MESIN Subyek Pengamatan No. Gambar No. Komponen Peta diakhiri
Operator Mengambil benang Memposisikan benang pada mesin pintal #1 Menjalankan mesin #1
: Proses Pemintalan :1 : : Loading produk setengah jadi Waktu (detik)
Mesin #1
Waktu (detik)
No. Peta Dibuat oleh Tanggal Lembar
Mesin #2
Waktu (detik)
Mesin #3
Waktu (detik)
Mesin #19
:1 : : 14 Agustus :1 Waktu (detik)
30
Idle
42
1
Mengambil benang Memposisikan benang pada mesin pintal #2 Menjalankan mesin #2
13
Mengambil benang Memposisikan benang pada mesin pintal #3 Menjalankan mesin #3
14
Mengambil benang Memposisikan benang pada mesin pintal #19 Menjalankan mesin #19
15 Memintal
Mengambil benang Memposisikan benang pada mesin pintal #20 Menjalankan mesin #20
18
86
Idle
30
131
1 Idle
Pengecekan mesin, memilah dan memasukkan sarung tangan ke karung Idle
Waktu (detik)
11
Idle
Idle
Mesin #20
857
30
Idle
904
1
benang mesin #1
2400
30 1
Memintal benang mesin #2
2400
Memintal benang mesin #3
2400
28 1
Memintal benang mesin #4
2400
696 Memintal benang mesin #4
2400
342 458
Gambar 3.Peta Pekerja Mesin Proses Pemintalan Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode kuantitatif didapatkan bahwa jumlah mesin yang dapat ditangani oleh satu orang operator adalah sebanyak 36 sampai 37 mesin. Dan dengan memeperhatikan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka pelayanan manusiamesin pada stasiun kerja pemintalan dapat dikatakan sinkron jika satu orang pekerjanya melayani 36 buah mesin. Namun, jika dilihat dari hasil pemetaan hubungan manusia-mesin pada Tabel 1, terlihat bahwa semakin banyak mesin yang ditangani oleh operator maka utilitas mesin akan semakin menurun. Sehingga jika beban kerja operator ditambahkan dengan menambahkan jumlah
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-283
Analisis Jumlah Operator pada Proses Pemintalan di Perusahaan Pembuat Sarung Tangan
mesin yang ditangani maka utilitas operator meningkat dan waktu menganggur operator pun akan menurun, tetapi tidak dengan utilitas mesin, dimana waktu menganggur mesin akan meningkat sehingga utilitas mesin pun akan menurun. Jadi, akan lebih baik jika satu orang operator tidak ditambahkan beban mesin, tetapi dapat menambahkan beban kerja lain sehingga dapat mengurangi waktu menganggur operator, sperti membantu proses loading/unloading material dari truk pembawa material ke gudang material di lantai satu dan tiga. Waktu yang dibutuhkan mesin pintal untuk membuat satu buah sarung tangan adalah 160 detik, jika 100 mesin ditangani oleh 5 orang operator maka utilitas mesin akan semakin menurun dan perusahaan akan mengalami kerugian kurang lebih sebanyak 245 sarung tangan untuk setiap satu siklus sarung tangan. Untuk mengurangi kerugian ini perusahaan dapat menambahkan operator pada stasiun kerja pemintalan, dengan cara menempatkan operator gudang atau operator pada bagian pengepakan untuk membantu mengoperasikan mesin pintal. Sehingga operatoroperator pada stasiun kerja yang lain perlu diberikan bekal/keahlian dalam mengoperasikan mesin pintal. Pemilihan operator pengepakan dikarenakan waktu siklus seorang operator untuk mengepak satu karung sarung tangan adalah 279 detik dan selanjutnya operator akan menunggu operator setteruntuk menghasilkan 50 kantung plastik sarung tangan. Sehingga, operator pengepakan dapat diperdayakan untuk membantu mengangani proses pemintalan.Dengan menambahkan dua orang operator pada stasiun pemintalan dapat mengurangi kerugian sebesar 89 sarung tangan, dimana satu orang operator dapat menangani 14-15 mesin pintal, utilitas mesin pun meningkat menjadi 73%.
IV. KESIMPULAN Untuk memenuhi target produksi perusahaan sebanyak 360.000 pasang lusin sarung tangan per tahun, maka perusahaan sarung tangan ini menyediakan 100 mesin pintal yang ditangani oleh lima operator. Berdasarkan hasil pemetaan kerja manusia dan mesin pada stasiun kerja pemintalan didapatkan nilai utilitas pekerja yang rendah, hanya 51,92%, ini berarti 48,08% dari total jam kerja dilakukan oleh operator hanya untuk menunggu mesin bekerja.Untuk meningkatkan utilitas pekerja dapat dilakukan dengan menambahkan beban kerja operator, berdasarkan hasil perhitungan pelayanan akan sinkron jika seorang operator manangani 36 mesin pintal, tetapi saat dipetakan kembali hubungan manusia-mesin, didapatkan nilai utilitas operator meningkat menjadi 98,83% namun utilitas mesin turun ke angka 29,67%. Sehingga salah satu cara untuk mengurangi waktu menganggur operator adalah dengan cara: operator mesin pintal dapat diperbantukan di bagian gudang, membantu proses unloading material dari truk ke gudang atau membantu proses loading sarung tangan yang sudah jadi dari gudang ke truk. DAFTAR PUSTAKA Barnes, Ralph M., 1980, Motion and Time Study, Design and Measurement of Work, New York: John Willey & Sons. Notopramono, Hanna; Setyanto Nasir W.; Efranto Remba Y., 2016, Analisis Beban Kerja dengan Metode Stopwatch Time Study untuk Penentuan Jumlah Operator Optimal, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri Vol. 4 No. 3. Nurmianto, Eko, 2008, Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya: Penerbit Guna Widya. Sutalaksana, Iftikar Z.; Anggawisastra, Ruhana; & Tjakraatmaja, John H., 1979, Teknik Tata Cara Kerja, Bandung: Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung. Wardaveira, Efriscia; Choiri, Mochamad; dan Tantrika, Ceria F.M., 2013, Perencanaan Jumlah Operator dan Mesin pada Divisi Packaging PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Unit Plant Watudakon Jombang, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri Vol. 1 No. 2. Wignjosoebroto, Sritomo, 2006, Ergonomi Studi Gerak dan Waktu, Surabaya: Penerbit Guna Widya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-284
Petunjuk Sitasi: Sari, R. A., & Budi, K. Y. (2017). Analisis Risiko K3 di PLTA Berdasarkan Hazard Identification Risk Analysis and Risk Control (HIRARC). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B285-290). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Risiko K3 di PLTA Berdasarkan Hazard Identification Risk Analysis and Risk Control (HIRARC) (1), (2)
Ratih Ardia Sari (1), Kartika Yanuar Budi (2) Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl MT Haryono no 167 Malang, Indonesia (1) [email protected] ABSTRAK
Dalam perkembangan industri yang semakin pesat, perusahaan menggunakan berbagai mesin modern. Namun seiring dengan penggunaan dan perkembangan alat berat dan modern ini, resiko keselamatan dan kesehatan kerja juga kian meningkat. Begitu pun di dalam PLTA yang menghasilkan produk berupa pasokan listrik. Dalam mengoperasikan pembangkit, terdapat banyak risiko yamg akan muncul terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode untuk mengelola risiko tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi, mengukur dan mengevaluasi risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang terjadi di waduk, ruang turbin, switchgear, dan bengkel di PLTA. Pada penelitian ini pengelolaan risiko dilakukan melalui metode Hazard Identification, Risk Analysis and Risk Control (HIRARC). Dalam metode HIRARC, risiko akan diidentifikasi melalui bahaya yang mungkin muncul (hazard identification) yang dapat terjadi dalam seluruh aktifitas yang terjadi di dalam perusahaan. Dari hazard identification maka selanjutnya dilakukan penilaian risiko (risk assessment) dari bahaya tersebut yang selanjutnya dilakukan pengendalian bahaya (risk control). Dari metode HIRARC didaptakan nilai risiko tertinggi berada pada lokasi turbin, dengan nilai 72 (kategori risiko IV) selanjutnya pada lokasi waduk dengan nilai 36 (kategori risiko III), lokasi switchgear dan bengkel masing-masing dengan nilai risiko 19.2 (kategori risiko II). Dari masingmasing risiko di beberapa lokasi dianaalisis dengan root cause analysis dan diberikan pengendalian risikonya. Kata kunci— HIRARC, kesehatan dan keselamatan kerja, PLTA, risiko
I. PENDAHULUAN Keselamatan dan kesehatan kerja dalam dunia industri saat ini memiliki peranan yang penting. Dalam perkembangan dunia industri yang semakin pesat, perusahaan saat ini menggunakan berbagai mesin modern yang dapat memudahkan pekerjaan manusia serta dapat meningkatkan produktivitas. Manusia sebagai faktor utama penentu tingkat produktivitas kegiatan industri saat ini dihadapkan pada mesin dan alat berat demi mengikuti perkembangan teknologi. Namun seiring dengan penggunaan dan perkembangan alat berat dan modern ini, resiko keselamatan dan kesehatan kerja juga kian meningkat. Tenaga kerja yang ditugaskan untuk mengoperasikan alat berat harus memenuhi standar keamanan dan kesehatan dalam lingkungan kerja sehingga produktivitasnya tetap terjaga. Namun pada kenyataannya, masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih tinggi. PLTA merupakan perusahaan yang menghasilkan produk berupa pasokan listrik dengan kegiatan inti adalah pembangkitan tenaga listrik. Perusahaan ini mengoperasikan 13 Pembangkitan Listrik Tenaga Air (PLTA). Dalam mengoperasikan pembangkit ini, terdapat banyak risiko yamg akan muncul terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode untuk mengelola risiko tersebut. Pengelolaan risiko dapat dilakukan melalui manajemen risiko. Manajemen risiko dilakukan melalui beberapa tahap yaitu mengidentifikasi risiko, mengukur risiko dan merespon risiko tersebut. Pada penelitian ini manajemen risiko dilakukan melalui metode Hazard Identification, Risk Analysis and Risk Control (HIRARC). Pada HIRARC, risiko diidentifikasi berdasarkan lokasi dan pengukuran risiko dilakukan melalui nilai severity / dampak dan likelihood / kemungkinan terjadi. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-285
Sari dan Budi
Dari pengukuran risiko akan didapatkan risiko tertinggi yang kemudian akan dianalisa lebih lanjut sehingga dapat diketahui akar masalah serta dapat dibuat risk respon planning. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi, mengukur dan mengevaluasi risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang terjadi di waduk, ruang turbin, switchgear, dan bengkel di PLTA. Dengan mengetahui risiko maka perusahaan dapat meminimalisir kemungkinan serta dampak risiko tersebut sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan produktivitas dan profitabilitas perusahaan. II. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan inti PLTA adalah pembangkitan tenaga listrik yang mengoperasikan 13 Pembangkitan Listrik Tenaga Air (PLTA) yang tersebar di sepanjang aliran tiga sungai dengan total daya terpasang sekitar 281 Megawatt (MW) dan mampu memproduksi energi listrik rata-rata 1.200 Gwh pertahun. Banyaknya mesin yang dipergunakan pada pembangkit ini, maka risiko terhadap kesehatan dan kecelakaan kerja juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode untuk mengelola risiko tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode HIRARC. Dalam metode HIRARC, risiko akan diidentifikasi melalui bahaya yang mungkin muncul (hazard identification) yang dapat terjadi dalam seluruh aktifitas yang terjadi di dalam perusahaan. Dari hazard identification maka selanjutnya dilakukan penilaian risiko (risk assessment) dari bahaya tersebut yang selanjutnya dilakukan pengendalian bahaya (risk control). Risk control dilakukan agar dapat meminimalisir tingkat risiko baik dengan mengurangi severity maupun likelihood. Identifikasi hazard dilakukan pada waduk, turbin, switchgear, dan bengkel melalui metode HIRARC. Dari masing-masing data HIRARC pada lokasi tersebut, diurutkan potensi dampak risiko tertinggi berdasarkan kategori risiko seperti pada tabel 1 berikut ini. Sedangkan dampak pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada tabel 2.
No
Tingkat Risiko
Kategori Risiko
1
≥85
V
2
47-84
IV
3
27-46
III
4
11-26
II
5
0-10
I
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Risiko Keparahan Sangat parah. Cacat permanen, kematian, terdapat jam kerja hilang lebih dari 1x24 jam. Total kerugian kecelakaan kerja lebih dari Rp.10.000.000,Parah. Memerlukan tindakan medis lanjut/ rujukan, cacat sementara, terdapat jam kerja hilang 1x24 jam. Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.5.000.000,- - Rp.10.000.000,Sedang. Mendapat P3K atau tindakan medis, tidak ada hilang jam kerja lebih dari 1x24 jam. Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.1.500.000,- - Rp.5.000.000,Ringan. Cedera ringan, tenaga kerja dapat langsung bekerja kembali. Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.1.000.000,- - Rp.1.500.000,Sangat ringan. Tidak terdapat cedera/penyakit, tenaga kerja dapat langsung bekerja kembali. Sedang. Total kerugian kecelakaan kerja kurang dari Rp.1.000.000,-
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pada tiap-tiap lokasi memiliki nilai risiko dan kategori risikonya. Risiko yang akan dianalisa pada penelitian ini merupakan risiko yang memiliki nilai risiko tertinggi atau masuk dalam kategori yang tinggi di masing-masing lokasi. Pada waduk, dampak tertinggi disebabkan karena kerusakan peralatan pada proses pengoperasian dengan nilai risiko 36 dan termasuk pada kategori risiko III. Dampak ini disebabkan diantaranya karena mesin yang digunakan rentan dan sering digunakan melewati batas kemampuan mesin-mesinnya, serta faktor lingkungan misalnya cuaca dan bencana. Pada lokasi turbin, kerusakan peralatan dan bahaya kesehatan pada proses pengoperasian memiliki nilai risiko tertinggi dengan nilai 72 dan termasuk pada kategori risiko IV. Dampak ini disebabkan diantaranya karena sering terjadi benturan dengan alat lain, tidak disiplin dalam meletakkan barang (kurangnya 5S), dan kecelakaan manusia pada mesin itu sendiri. Dampak tertinggi pada lokasi switchgear adalah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-286
Analisis Risiko K3 di PLTA berdasarkan Hazard Identification Risk Analysis and Risk Control (HIRARC)
kerugian tenaga kerja pada proses pengoperasian dengan nilai risiko 19.2 dan termasuk pada kategori risiko II. Dampak ini disebabkan diantaranya karena kemungkinan terjadinya ledakan, korslet, penerangan ruangan kurang, bocor pada case trafo, kesalahan pada manusia (human error), maintenance, dan tindakan pencegahan terhadap kecelakaan. Sedangkan dampak tertinggi pada lokasi bengkel adalah kerugian tenaga kerja pada proses pengoperasian dengan nilai risiko 19.2 dan termasuk pada kategori risiko II. Dampak ini disebabkan diantaranya karena kemungkinan terjadinya ledakan, kebisingan, penerangan ruangan kurang, bocor pada case trafo, kesalahan pada manusia (human error), maintenance, dan tindakan pencegahan terhadap kecelakaan. Tabel 2. Kategori Risiko pada tiap lokasi Lokasi
Waduk
Turbin
Switchgear
Bengkel
Risiko
Kesalahan dalam pengoperasian mesin
Kesalahan dalam pengoperasian mesin Kesalahan dalam pengoperasian mesin Kesalahan dalam pengoperasian mesin
Dampak Kerusakan peralatan pada proses pengoperasian yang berakibat pada kecelakaan kerja Kerugian Tenaga Kerja pada proses pengoperasian Kerusakan alat dan kecelakaan karyawan pada pemeliharaan sistem peralatan Kerugian Tenaga Kerja pada pemeliharaan sistem peralatan Kerugian Tenaga Kerja Kerusakan peralatan & bahaya kesehatan pada proses pengoperasian Kerugian Tenaga Kerja pada proses pengoperasian Kerusakan peralatan pada proses pengoperasian Kerugian Tenaga Kerja pada proses pengoperasian Kerusakan peralatan pada proses pengoperasian Kerugian Tenaga Kerja pada proses pengoperasian Kerugian Tenaga Kerja pada pemeliharaan sistem peralatan
Nilai Risiko
Kategori Risiko
36
III
24
II
19,2
II
16,2
II
14,4
II
72
IV
15
II
12
II
19,2
II
10,8
II
19,2
II
16,8
II
Dari risiko yang memiliki nilai tinggi maka akan dilakukan analisis penyebab terjadinya resiko tersebut dengan menggunakan root cause analysis. Pembuatan root cause analysis dilakukan dengan menggunakan data-data HIRARC, wawancara dengan kepala dan karyawan bidang LK3 di perusahaan serta pengamatan ke lapangan. Root cause dari masing-masing lokasi serta rekomendasi untuk mengurangi kemungkinan serta dampak risiko dapat dilihat pada table 3, 4, 5, dan 6. Masalah Kerusakan peralatan pada proses pengoperasian dan dapat menyebab kan kecelakaan kerja
Tabel 3 Root Cause Analysis Risiko pada Waduk Penyebab Akar Masalah Rekomendasi Mesin-mesin tidak Mesin yang dilengkapi pelindung Penambahan pelindung mesin trashrack, digunakan rentan mesin, seperti case pengukur banjir dan mesin pada spillway. mesin Pelatihan penanganan keadaan tanggap Kerusakan peralatan Short circuit/ darurat dan pemadaman api. atau kebakaran di hubungan pendek Desain kabel listrik yang dapat ruang panel listrik meminimasi terjadinya hubungan pendek Bencana alam seperti tanah longsor dan Pelatihan penanganan keadaan tanggap gempa bumi darurat dan evakuasi. Banjir dari hulu Penggunaan fungsi spillway yang tepat Penjagaan pada pos menyebabkan debit waktu dan optimal dengan penjadwalan pengamat sering air waduk melebihi yang lebih terstruktur untuk penjagaan kosong. ambang batas. pada pos pengamat di area waduk.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-287
Sari dan Budi
Masalah
Penyebab
Masalah
Penyebab Ledakan/ bocor pada penstock akibat benturan udara dan air Kecelakaan manusia pada mesin
Terbakarnya tube oil dan hydraulic system Kerusakan peralatan & bahaya kesehatan pada proses pengoperas ian
Akar Masalah
Rekomendasi Pembagian debit air ke waduk terdekat oleh penjaga di pos pengamat.
Tabel 4 Root Cause Analysis Risiko pada Turbin Akar Masalah Rekomendasi Penggunaan pipa surge tank untuk mengalirkan udara di dalam pipa ke udara luar Perubahan beban, tekanan statik pada Patrol check aliran air di dalam Pelatihan penanganan ledakan, penanganan pipa (waterhammer) kondisi darurat, dan pengendalian alat pemadam untuk seluruh karyawan. Operator tidak memakai APD Regulasi dan monitoring ketat untuk lengkap saat penggunaan APD selama jam kerja mengoperasikan mesin Instruksi kerja tidak dipahami dengan jelas
Pelatihan setiap 6 bulan sekali dan transisi yang maksimal Menyediakan sistem pendingin, diantaranya adalah oil cooler generator untuk thrust bearing, untuk governour, untuk turbine bearing, dan air cooler generator.
mesin terlalu panas
Pecahnya glass casing turbine
Over differential pressure
Udara panas
Banyaknya mesin yang beroperasi dan ruangan tertutup. Kurang pendingin udara.
Operator terkena Terlalu lama berada di paparan panas area melebihi batas dari udara dan waktu yang diberikan mesin turbin Operator Operator tidak terkena memakai APD ledakan atau lengkap saat percikan api mengoperasikan mesin Metode alerting bahaya belum ada untuk beberapa kasus tertentu Pengingat / poka yoke belum ada
Perawatan berkala 20 tahun sekali (preventive maintenance), dan peremajaan mesin Pelatihan penanganan ledakan, penanganan kondisi darurat, dan pengendalian alat pemadam untuk seluruh karyawan. menyediakan bantalan di sekitar casing turbine untuk meredam tekanan maupun getaran yang dialami gelas casing turbine menyediakan pendingin udara dalam ruangan sehingga sirkulasi udara tetap berjalan Administrasi untuk penjadwalan kerja sesuai dengan batas waktu dan paparan panas Pengendalian suhu udara dengan AC dan ventilasi udara Regulasi dan monitoring ketat untuk penggunaan APD selama jam kerja Menetapkan metode alerting untuk setiap kemungkinan kasus baru yang muncul Memasang lampu indikasi bahwa mesin sedang bekerja dan pintu yang tertutup otomatis ketika mesin menyala yang dapat mencegah operator terjatuh ke dalamnya
Salah satu akar masalah kerusakan peralatan di waduk adalah debit air waduk melebihi ambang batas akibat dari hujan atau debit air tinggi dari hulu sungai, sehingga debit harus dibatasi dengan membagi debit air ke berbagai bendungan terdekat sehingga tidak menyebabkan banjir maupun merusak turbin, serta mengalirkan kembali volume air berlebihan pada waduk ke sungai alami melalui spillways. Hal ini bisa dilakukan dengan optimal dan tepat apabila penjagaan di pos SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-288
Analisis Risiko K3 di PLTA berdasarkan Hazard Identification Risk Analysis and Risk Control (HIRARC)
pengamat ketat dan siaga serta operator penjaga mengetahui waktu yang tepat untuk membuka pintu spillways maupun ketika trashrack telah penuh dan mengganggu aliran air menuju power intake. Selain itu, mesin-mesin yang digunakan dalam waduk seperti gate spillways, trashrack, dan pengukur debit air juga sebaiknya dipasangkan pelindung atau case sehingga terlindung, mengurangi kerentanan, dan lebih tahan lama. Selain itu, potensi risiko akibat dari kebakaran pada ruang panel listrik di area turbin dapat dikurangi dengan melatih seluruh karyawan untuk keadaan tanggap darurat dan evakuasi, serta pemadaman api.
Masalah
Bocor di casing trafo
Tabel 5 Root Cause Analysis Risiko pada Switchgear Akar Masalah Rekomendasi menyediakan resistor yang dapat mencegah Kelebihan beban listrik terjadinya ledakan ketika beban listrik berlebih memperbaiki casing trafo dan maintenance yang Bocoran air baik Mengganti jenis lampu yang standar untuk gudang di industri, yaitu dengan temperatur Kurangnya penerangan warna cool white atau daylight dan kuat penerangan 100-200 lux Kawat trafo kering dan memperbaiki casing trafo dan penggantian meretak, atau kabel catu apabila sudah tidak layak pakai. daya kering dan pecah
Human error
Tidak melaksanakan instruksi kerja
Pelatihan setiap 6 bulan sekali dan transisi yang maksimal
Tersengat listrik
Operator tidak memakai APD lengkap saat mengoperasikan mesin
Regulasi dan monitoring ketat untuk penggunaan APD selama jam kerja
Penyebab Ledakan trafo Korslet Ruangan gelap
Kerugian Tenaga Kerja pada proses pengoperas ian
Metode poka yoke belum ada
Masalah
Kerugian Tenaga Kerja pada proses pengoperas ian
Menambahkan alat pendeteksi yang mampu mencegah operasi yang tidak memungkinkan dan membatalkan perintah dari operator.
Tabel 6 Root Cause Analysis Risiko pada Bengkel Penyebab Akar Masalah Rekomendasi Tabung mesin las Nyala api balik Pelapisan tabung dengan tabung pengaman meledak Tidak ada isolasi mesin Menyediakan isolator mesin Mesin bising Tidak ada casing mesin Menyediakan casing mesin Mengganti jenis lampu yang standar untuk Jenis lampu yang gudang di industri, yaitu dengan Ruangan gelap digunakan kurang temperatur warna cool white atau daylight terang dan kuat penerangan 100-200 lux Tanda samarWarna pada tanda Pengecatan ulang samar sudah memudar Tidak melaksanakan Pelatihan setiap 6 bulan sekali dan transisi Luka terpotong, instruksi kerja yang maksimal tertusuk, terjepit, Operator tidak tergores saat memakai APD lengkap Regulasi dan monitoring ketat untuk mesin workshop saat mengoperasikan penggunaan APD selama jam kerja beroperasi mesin Gangguan pengelihatan dan pendengaran
Melaksanakan aktivitas lebih dari waktu yang diizinkan
Administrasi untuk penjadwalan kerja sesuai dengan batas waktu dan paparan panas
Tersandung
Berjalan di lajur yang salah
Meyediakan jalur pejalan kaki dengan garis neon terang
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-289
Sari dan Budi
Masalah
Penyebab Terbentur, kejatuhan
Akar Masalah Kesalahan saat membersihkan mesin workshop
Metode poka yoke belum ada
penjadwalan operasi mesin dan tenaga kerja tidak tepat
Rekomendasi Memberikan SOP dan pelatihan setiap 6 bulan sekali serta transisi yang maksimal Memberi peringatan sederhana seperti petunjuk di tempat-tempat yang mudah dilihat. Tempat penyimpanan alat bengkel bentuk tertentu yang dikhususkan dan sengaja disesuaikan dengan bentuk barang yang akan disimpan sehingga operator tidak akan salah dalam meletakkan barang. Melakukan pembaharuan penjadwalan operasi mesin dan tenaga kerja
Akar masalah dari kerusakan alat dan gangguan kesehatan pada area turbin pada risiko ledakan dan kebocoran di dalam penstock karena terjadinya waterhammer atau benturan udara dengan air yaitu karena terjadinya perubahan beban dan tekanan statik di aliran airnya. Hal ini masih terkendali dengan penggunaan pipa surge tank untuk mengeluarkan udara dan menstabilkan tekanan di dalam pipa dengan udara luar, serta seluruh karyawan diberikan pelatihan mengenai penanganan untuk kondisi darurat, pengendalian alat pemadam. Sementara itu, kecelakaan manusia pada mesin disebabkan karena penggunaan APD yang tidak lengkap saat jam kerja dan karyawan tidak memahami instruksi kerja dengan jelas. Masalah ini dapat ditangani dengan adanya regulasi dan monitoring yang ketat dari perusahaan agar karyawan selalu mengenakan APD dan pelatihan serta transisi yang maksimal setiap 6 bulan sekali. Risiko pada kebakaran pada tube oil dan hydraulic system akibat terlalu panasnya mesin dikendalikan dengan penyediaan sistem pendingin seperti oil cooler generator untuk thrust bearing, governour, dan air cooler generator. Sedangkan udara panas dari pengoperasian mesin dan paparan panas pada operator dapat ditangani dengan penyediaan pendingin ruangan dan ventilasi yang cukup. Percikan api yang dapat mengenai operator dapat diatasi dengan pemakaian APD lengkap selama jam kerja. Selain itu, metode alerting untuk beberapa kasus yang baru muncul perlu diterapkan.
IV. PENUTUP Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa risiko yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja pada lokasi waduk, turbin, switchgear dan bengkel pada PLTA. Dari metode HIRARC didapakan bahwa nilai risiko tertinggi berada pada lokasi turbin, dengan nilai 72 (kategori risiko IV) selanjutnya pada lokasi waduk dengan nilai 36 (kategori risiko III), lokasi switchgear dan bengkel masing-masing dengan nilai risiko 19.2 (kategori risiko II). Dari masing-masing risiko di beberapa lokasi dianalisis dengan root cause analysis dan diberikan pengendalian risikonya. DAFTAR PUSTAKA Djatmiko, Riswan Dwi, 2016, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Deepublish. Ferdosi, M., Torkan, M., & Abbasi, S., 2014, “Risk management to control needle stick injuries” Case report of Hazrate Zahra Hospital (2010-2012) Volume 2. Research Institute of Shakhes Pajouh. Ishamulladien, R.L., Tama, I.P. Riawati, L., 2016, “Upaya Reduksi Hazard Untuk Meningkatkan Keselamatan Kerja Pada Sarana Pendidikan Dengan Metode HIRARC” Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri 4 (8), Malang Paul, F. Wilson, Dell, Larry D., & Anderson, Gaylord, 1993, Root cause Analysis: A Tool for Total Quality Management. Wisconsin: American Society for Quality. Sahab, Syukri, 1997, Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: PT. Bina Sumber Daya Manusia. Suma’mur, P.K.,1989, Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-290
Petunjuk Sitasi: Wahyuni, R. S., Julianda, P. R., & Fauzi, A. (2017). Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keamanan dengan Fingerprint) Menggunakan Quality Function Deployment. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B291-297). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keselamatan dengan Fingerprint) Menggunakan Kualitas Fungsi Deployment Rossi Septy Wahyuni(1), Prameswari Rizcha Julianda(2), Ahmad Fauzi(3) (1), (2) Dosen Program Studi Teknik Industri FTI Universitas Gunadarma (3) Mahasiswa Program Studi Teknik Industri FTI Universitas Gunadarma (1) [email protected], (3)[email protected] ABSTRAK Bag is one of the most needed products to date. Bags used by everyone, from schoolchildren, college student to state and private employees to wear the bag as a product that is used daily. In the development of the current bag is needed as products which have high quality and can meet the needs and desires of customers to have a good design, attractive colors, safe and relatively inexpensive in the community. The QFD process implemented by composing one or more matrix called House of Quality. Matrix called House of Quality consists of customer needs and benefits (a list of all the needs and expectations of customers), the planning matrix (market research and strategic planning), technical response (language engineering organizations, high-level depiction of the product or service), relationship (response customer requirements), technical correlation (technical relationship), and the matrix technique (priority technical feedback, technical targets). The results of designing handbags with attention-related attributes as well as the content of the questionnaire with the wishes of the customer. At the level of interest of the results already obtained from questionnaires using a Likert scale of 1 to 5 weight ratings greatest result of the level of importance that is, has a weight of 5, which means the attribute that has the interests of the weight 5 is considered very important in the design of the bag , the second largest weight is the weight of 4 in which the means to design bags are just some of the attributes that are considered important. To value the technical characteristics and conditions of the target obtained from each attribute, which has the highest value in the form of weight 5 to the target in the design of the product bag. Kata kunci— Bag, consumer desire, level of interest, technical characteristics, The house of quality, QFD method
I. PENDAHULUAN Tas merupakan salah satu produk yang paling dibutuhkan sampai saat ini. sekolah, mahasiswa/i. Harapan nantinya masyarakat ingin memiliki produk tas yang juga memiliki kegunaan lainnya, terutama kegunaan yang sangat diperlukan oleh masyarakat yaitu memiliki kenyamanan dan keamanan pada tas yang akan diberi inovasi dengan keamanan sidik jari. Proses dalam QFD dilaksanakan dengan menyusun satu atau lebih matriks yang disebut Rumah Kualitas. Konsep ini dikembangkan untuk menjamin produk, agar produk tersebut benarbenar akan dapat memuaskan para pelanggannya. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Perencanaan Produk Rencana produk mengidentifikasi portofolio produk-produk yang dikembangkan oleh organisasi dan waktu pengenalannya ke pasar. Pada proses perencanaa produk Gambar 1 mengambarkan langkah-langkah dalam proses perencanaan produk pertama, lipat gandakan peluang-peluang yang diprioritaskan dan sekumpulan proyek-proyek yang menjanjikan dipilih. (Ulrich dan Epingger, 2001).
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-291
Wahyuni, Julianda, Fauzi
Identifikasi Peluang
Evaluasi dan Prioritas Proyek
Portfolio proyek
Alokasi Sumber Daya dan Rencana Waktu
Rencana produk
Rencana Pendahuluan Proyek
Pernyataan misi
Refleksikan Hasil dan Proses
Gambar 1 Proses Perencanaan Produk
B. Pengembangan Produk Proses pengembangan produk umumnya teriri dari enam tahap yaitu perencanaan, pengembangan konsep, perancangan tingkatan sistem, perancangan detail, pengujian dan perbaikan, dan produksi awal (Ulrich dan Eppinger, 2001). Perencanaan
Pengembangan Konsep
Perancangan Tingkat Sistem
Perancangan Detail
Pengujian Detail
Pengujian dan Perbaikan
Produksi Awal
Gambar 2 Proses Pengembangan Produk
C. Identifikasi Kebutuhan Pelanggan Menurut Ulrich dan Eppinger (2001), identifikasi kebutuhan pelanggan adalah sebuah proses yang dibagi menjadi lima tahap. Lima tahap tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. Mengorganisasikan Menginterprestasika kebutuhan menjadi Mengumpulkan data Menetapkan derajat Menganalisis hasil n data mentah beberapa hierarki mentah dari kepentingan relatif menjadi kebutuhan yaitu kebutuhan dan proses pelanggan setiap kebutuhan pelanggan primer, sekunder, dan tertier Gambar 3 Proses Identifikasi Kebutuhan Pelanggan
Menurut Ulrich dan Eppinger (2001), menerangkan bahwa konsistensi dengan filosofi dasar, yaitu “menciptakan jalur informasi yang berkualitas dari pelanggan”. Ada tiga metode yang dapat digunakan yaitu wawancara, kelompok fokus, dan observasi produk pada saat digunakan. D. Kepuasan Konsumen Mengukur kepuasan konsumen dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti, pengukuran secara langsung dengan pertanyaan yang diajukan kepada konsumen mengenai suatu produk (Tjiptono, 2000). E. Quality Function Deployment (QFD) QFD merupakan praktik untuk meranang suatu proses sebagai tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan. QFD menerjemahkan apa yang dibutuhkan pelanggan menjadi apa yang dihasilkan organisasi. (Tjiptono, 2000). F. Sistem Identifikasi Fingerprint Pada langkah awal pada sistem identifikasi fingerprint ini adalah melakukan pendaftaran pengguna, pendaftaran adalah suatu proses pembuatan ID dan scanning sidik jari user untuk membuat template sebanyak 3 kali (Datascrip, 2014) Tahap selanjutnya yaitu, verifikasi pengguna pada verifikasi pengguna ini terjadi ketika pengguna memasukkan nomor ID atau meletakkan jari di tempat sensor sidik jari, atau SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-292
Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keselamatan dengan Fingerprint) Menggunakan Kualitas Fungsi Deployment
memasukan password untuk membandingkan dengan template yang sudah tersimpan (Datascrip, 2014) Nomor ID Pengguna ini digunakan untuk memanggil template sidik jari setiap verifikasi diminta. Berikut adalah Gambar 2.5 dan Gambar 2.6 untuk cara peletakan jari pada pengguna sidik jari yang benar dan salah (Datascrip, 2014)
Gambar 5 Cara Peletakan Jari Secara Benar
Gambar 6 Cara Peletakan Jari yang Salah
II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Teknis Data karakteristik teknis merupakan data yang diperoleh dari produsen pemakai produk tas, pada pemakai produk tas untuk data karakteristik teknis dalam penelitian ini diperoleh melalui sesi wawancara Tabel 1 Karakteristik Teknis Produk Tas
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-293
Wahyuni, Julianda, Fauzi
B. Tingkat Kesulitan Berdasarkan penentuan tingkat kesulitan yang akan diolah untuk mengetahui sebarapa besar tingkat kesulitan yang dialami pada produk tas dalam menghasilkan karakteristik teknis yang memang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Tabel 2 Penentu Tingkat Kesulitan Pada Pemenuhan Karakteristik Teknis Produk Tas
C. Tingkat Prioritas Karakteristik Teknis Berdasarkan data karekteristik yang sudah didapatkan, maka untuk melanjutkan langkah selanjutnya yaitu melakukan perhitungan untuk memberikan gambaran terhadap tingkat kepentingan dari setiap karakteristik teknis untuk memperoleh urutan tingkat prioritas. Tabel 3 Tingkat Prioritas Karakteristik Teknis
Berdasarkan hasil data diatas maka didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut: - Tingkat Kepentingan Absolut (9x4) + (9x3) + ............+ (3x5) = 196 -
196 x 100% = 9,4% 2170
Tingkat Kepentingan Relatif =
Tabel 4 Data Bobot Tingkat Prioritas Relatif
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-294
Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keselamatan dengan Fingerprint) Menggunakan Kualitas Fungsi Deployment
D. Target Perbaikan Atribut Berdasarkan dengan target yang sudah diperoleh pada pengumpulan data dalam perbaikan atribut produk tas ini akan diperoleh hasil dari penyebaran kuesioner penelitian bagian III kepada responden yang paham dengan rancangan produk tas dan seorang ahli yang akan menanganin produk tas tersebut. Berdasarkan hasil dari penyebaran kuesioner penelitian III untuk kondisi sekarang ini pada karakteristik teknis dengan targetnya yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.12 Tabel 5 Data Target Perbaikan Atribut Pada Tas
E. Rumah Kualitas Hasil yang sudah diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak QDF yang berupa bobot kepentingan absolut, dan bobot kepentingan relatif yang menjadi dari dasar penentuan prioritas atribut.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-295
Wahyuni, Julianda, Fauzi
Gambar 7 Rumah Kualitas
F. Hasil Produk Berupa 3D Gambar 3D pada produk Tas dengan menggunakan perangkat lunak Solidwork. Perangkat lunak ini dipilih karena selain lengkap, pada perangkat lunak ini mempunyai tampilan yang bagus dan jelas. Berikut adalah Gambar 4.1 hasil produk akhir berupa 3D sebagai berikut
Gambar 8 Hasil Gambar 3D Produk Tas
III. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Hasil rancangan yang dipilih pelanggan yaitu, jenis Rucksack ransel, ukuran standard, bahan cordurai, warna terang, anti air dan robek, fitur tambahan keamanan, kantung, restleting.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-296
Desain Produk Tas dengan Keamanan Sidik Jalan (Tas Keselamatan dengan Fingerprint) Menggunakan Kualitas Fungsi Deployment
2. Berdasarkan tingkat kepentingan yaitu, memiliki bobot 5 yang artinya pada atribut yang memiliki tingkat kepentingan sangat penting berada di rancangan pada produk, sistem pengaman tas, jenis bahan yang digunakan baik, tali tidak putus, multifungsi, segi jahitan kuat dan jahitan pada resleting kuat diantara atribut-atribut lainnya. Berdasarkan hasil penelitian akhir ini yang sudah didapat, maka untuk saran pada usulan perancangan produk tas sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut sampai dengan tahap perencanaan produksi, dan dapat dikembangkan penelitian lebih lanjut, begitu juga dengan jumlah responden yang digunakan sebaiknya lebih banyak lagi, agar hasil yang didapatkan lebih valid.
DAFTAR PUSTAKA Cohen, Lou. , 1995, Quality Function Deployment: How to make QFD Work For You. One Jacob Way Reading, Addisonwesley Publishing Company. Massachussets. Tjiptono, F. & Anastasia D., 2000, Total Quality Management, Andi, Yogyakarta. Ulrich, Karl T. Eppinger, Steven D. , 2001, Perancangan dan Pengembangan Produk. Salemba Teknik. Widodo, Imam Djati. 2003, Perencanaan Dan Pengembangan Produk. UII Press, Yogyakarta. http://www.datascrip.com/read/product_file_627503b1fb2b9b66.pdf
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-297
Petunjuk Sitasi: Tjahjani, I. K., Hatta, M., & Wahyudi, A. (2017). Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis dan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Melalui Program PKM. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B298-304). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis dan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Melalui Program PKM I. K. Tjahjani(1), Mochammad Hatta (2), Agung Wahyudi (3) (1),(2), (3) Prodi Teknik Industri )Prodi Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas 45 Surabaya Jl. Mayjend. Sungkono No. 106 Surabaya, Telp. (031) 5611214, 5664559 (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] ABSTRAK Mitra pada program PKM ini adalah Bapak M. Zainal Arif pemilik UKM Batik Amri Jaya dan Ibu Ratna Tuty Mufida pemilik UKM Batik Namiroh, berlokasi di Kampoeng Batik Jetis yang merupakan sentra industri seni dan kerajinan di desa Sidoklumpuk Jetis, kelurahan Lemah Putro kecamatan Sidoarjo, kabupaten Sidoarjo. Permasalahan yang dihadapi oleh kedua mitra adalah ; 1). Bidang produksi terkait dengan penggunaan beberapa peralatan dalam proses pembatikan yang tidak ergonomis dan 2). Bidang manajemen ; a). Manajemen administrasi produk harian, b). Katalog produk berciri khas Kampoeng Jetis, c). Penjualan dan d). Pengawasan hasil produksi. Solusi yang ditawarkan di bidang produksi dengan melakukan inovasi terhadap beberapa peralatan yang digunakan dalam proses pembatikan dengan menerapkan konsep ergonomi; a. Meja pengeblat pola yang ergonomis, b. Kursi pembatik, c. Kompor LPG modifikasi dan saringan lilin. Sedangkan pada bidang manajemen, mengadakan pelatihan, pendampingan, pembuatan katalog dan pemasaran e-commerce. Pendekatan yang dilakukan adalah membentuk program kerja sama berkelanjutan antara mitra dan tim PKM, untuk menciptakan suasana kekeluargaan di antara keduanya, memahami permasalahan yang dialami mitra merupakan masalah bersama, sehingga penyelesaian dilakukan sesuai dengan porsi dan tingkat tanggung jawabnya. Harapan setelah berlangsungnya kegiatan PKM ini adalah semua pihak akan mendapat manfaat sesuai dengan yang diharapkan : 1). Peningkatan produktivitas setelah diterapkannya inovasi beberapa peralatan membatik, 2). Terwujudnya manajemen usaha yang efektif, efisien dan kompetitif, 3). Peningkatan pengetahuan dan wawasan pembatik, 4). Peningkatan omzet penjualan, dan 5). Peningkatan daya saing sehingga tercapai pengrajin yang mandiri dan mampu menyumbang kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Kata kunci— Inovasi Peralatan, Kesejahteraan, Produksi, Manajemen, dan Mandiri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik tulis merupakan salah satu dari 17 produk unggulan di sentra industri seni dan kerajinan selain sentra industri makanan laut (6 produk) serta sentra makanan dan minuman (7 produk) yang dimiliki oleh kabupaten Sidoarjo. Sentra batik tulis lain yang pernah dimiliki adalah di Kedungcangkring kecamatan Jabon, Sekardangan kecamatan Sidoarjo dan Kenongo kecamatan Tulangan (Anshori dkk, 2011). Tapi, semuanya tidak bertahan lama, karena produsen tidak bisa menghasilkan batik sesuai permintaan pembeli (http://www.antara jatim.com, 2011). Kampoeng Batik Jetis adalah nama suatu kawasan industri kecil batik tulis.yang berlokasi di desa Jetis Kelurahan Lemah Putro, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo dan telah diresmikan oleh Bupati Sidoarjo Win Hendrarso pada 3 Mei 2008, ditandai dengan didirikannya sebuah gapura yang dilengkapi dengan kombinasi beberapa gambar batik tulis Jetis (http://legendaunik.blogspot.co.id/2014/08/kampoeng,2014). Yang kemudian berkembang menjadi koperasi sejak 31 Desember 2008, dan bertahan hingga kini dengan beberapa showroom untuk menampung kreasi batik para pengrajin (Anshori, 2011).
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-298
Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis Dan Kesejahteraan Masyrakat Sekitar melalui Program PKM
Meski batik tulis telah mendapat pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2 Oktober 2009 (Setiadi, 2013), sehingga berpotensi sebagai penyangga perekonomian rakyat. Pengakuan tersebut tidak permanen sifatnya dan akan berakhir, jika kita sebagai pewaris tradisi seni kriya batik, tidak mampu merawat keberadaannya dan menjaga kelestariannya (Pradito et.al, 2010). Ironisnya, saat ini Indonesia sebagai negara asal batik malah sedang menghadapi berbagai persoalan serius (www.merdeka.com, 2012). Sebagaimana permasalahan yang dihadapi oleh ke dua mitra PKM ini yaitu Bapak M. Zainal Arif pemilik UKM Batik Amri Jaya dan Ibu Ratna Tuty Mufida pemilik UKM Batik Namiroh yaitu; 1). Bidang produksi terkait dengan penggunaan beberapa peralatan dalam proses pembatikan yang tidak ergonomis dan 2). Bidang manajemen ; a). Manajemen administrasi produk harian, b). Katalog produk berciri khas Kampoeng Jetis, c). Penjualan dan d). Pengawasan hasil produksi. Oleh karena itu, diperlukan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut agar mereka dapat meningkatkan kemandiriannya sebagai pengrajin batik tulis di Kampoeng Jetis dan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui Program Kemitraan Masyarakat (PKM). Tabel 1 Permasalahan Yang Dihadapi dan Dampaknya
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-299
Tjahjani, Hatta, Wahyudi
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1). Peningkatan produktivitas setelah diterapkannya inovasi beberapa peralatan membatik, 2). Terwujudnya manajemen usaha yang efektif, efisien dan kompetitif, 3). Peningkatan pengetahuan dan wawasan pembatik, 4). Peningkatan omzet penjualan, dan 5). Peningkatan daya saing. Yang kesemuanya itu bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan kemandirian mitra. Beberapa penelitian terdahulu yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang dijelaskan pada tabel berikut ini “ Tabel 2. Review Penelitian Terdahulu No. Nama Penulis 1. Krismawan, Henri
Tahun 2011
Judul Strategi Pengembangan Kerajinan Batik Tulis Sebagai Produk Unggulan Daerah (PUD) di Kabupaten Bantul
2.
Alfiana, Risah
2011
Pemberdayaan Pengusaha Batik Tulis di Desa Jetis Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo
3.
Riyanto, O.A.W, Riyadi, S, Kesumawatie, M.I
2014
IbM. Usaha Kampung Batik Jetis di Kecamatan Sidoarjo
4.
Suhartini
2016
Peningkatan Produktivitas Pada UKM Melalui Iptek Bagi Masyarakat
Hasil Penelitian Konsep, strategi dan program pengembangan batik tulis sebagai produk unggulan daerah (PUD) di Kabupaten Bantul dilakukan dengan : a). Peningkatan alokasi anggaran, b). Peningkatan kapasitas SDM, c). Pemanfaatan pewarna alami sebagai bahan baku , d). Pembuatan desain yang lebih inovatif dan disukai pasar, serta e). Regenerasi pengrajin batik tulis. Pelatihan manajemen pengelolaan keuangan berupa pembukuan sederhana agar mampu mengukur keuntungan yang diperoleh serta penyediaan sarana untuk pengembangan hasil produksi berupa stan saat pameran dan akses pemasaran dalam bentuk promosi. Ditemukan masalah pada : 1). Manajemen Usaha, meliputi ; Pemasaran terbatas, Branding fisik kampung batik Jetis belum optimal, Laporan administrasi keuangan usaha masih seadanya, dan Peningkatan pengetahuan SDM dan 2). Produksi terkait dengan limbah produksi yang belum dikelola dengan baik dan Pemborosan lilin dan pewarna yang banyak tercecer di lantai Pada bidang proses produksi, dengan pelatihan membuat lilin (malam), peningkatan ketrampilan SDM, pengadaan alat proses batik dan penataan fasilitas lantai paving pada proses batik dan mencarikan solusi untuk pengadaan solar. Pada bidang lingkungan, dengan pelatihan mendaur ulang limbah dan membuat penyaringan limbah cair. Di bidang pemasaran, dengan pelatihan membuat website, brosur, kartu member, dan mengikuti pameran.
II. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam rangka pencapaian tujuan adalah dengan inovasi beberapa peralatan membatik serta pelatihan dan pendampingan pada pengrajin batik tulis di Kampoeng Batik Jetis Kabupaten Sidoarjo.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-300
Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis Dan Kesejahteraan Masyrakat Sekitar melalui Program PKM
Gambar 1. Metode Penelitian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-301
Tjahjani, Hatta, Wahyudi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan permasalahan yang ada, maka berikut ini adalah solusi yang ditawarkan bagi pengrajin Kampoeng Batik Jetis agar dapat meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Tabel 3. Prioritas Permasalahan, Solusi dan Hasil Solusi Prioritas Permasalahan Tidak ergonomisnya meja pengeblat pola yang terbuat dari kaca persegi terbingkai kayu (seperti meja gambar arsitek) dengan penyangga dari kayu permanen (tidak dapat diatur naik/ turunnya) sehingga tidak sesuai dengan tinggi badan pengguna lain Kurang nyamannya kursi mbatik yang tanpa sandaran dan tanpa bantalan, terbuat dari plastik dengan 4 kaki dan konstruksi agak rapuh Terlalu rendahnya posisi kompor LPG satu mata dengan tabung ukuran 3 kg dan wajan kecil tanpa saringan untuk melelehkan lilin (malam)
Masih sederhananya manajemen administrasi harian, belum terinci dan hanya dapat dipahami oleh pemilik usaha (pengrajin) Belum adanya katalog produk berciri khas Kampung Jetis
Penjualan masih konvensional dan belum maksimalnya penggunaan teknologi informasi sebagai sarana promosi
Belum optimalnya fungsi pengawasan hasil produksi, karena proses pengerjaan batik tulis lebih banyak dilakukan di luar workshop oleh tenaga borongan sehingga sulit untuk berkoordinasi terkait dengan motif yang dipesan konsumen yang akhirnya bisa menghambat produktivitas dan daya saing yang dimiliki.
Solusi Merancang meja pengeblat pola yang ergonomis dari kaca dan kerangka besi yang dapat diatur ketinggiannya sesuai dengan tinggi tubuh pengguna lain. Merancang kursi duduk yg nyaman dari kayu dg sandaran punggung dan bantalan duduk yang telah disesuaikan dengan postur tubuh Mendesain ulang : - Kompor berbahan bakar minyak dimodifikasi dg LPG - Saringan lilin dari kaleng roti bekas yang diberi kasa berlubang kecil di bagian bawahnya agar lilin yang meleleh tidak tercampur kotoran yang akan menyumbat canting Implementasi laporan harian berdasarkan aktivitas produksi
Hasil Solusi Meja pengeblat pola yang ergonomis
Pembuatan katalog berciri khas Kampung Jetis yang dapat membedakannya dari produk lain yang sejenis Pemasaran e-commerce untuk mempermudah transaksi, meningkatkan penjualan dan memberikan pelayanan yang baik terhadap konsumen Pelatihan dan pendampingan optimalisasi pengawasan produksi, manajemen usaha dan efisiensi produksi
Katalog produk Kampung Batik Jetis
Berikut ini inovasi beberapa peralatan membatik yang digunakan saat ini : a. Meja Pengeblat Pola
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-302
Kusi pembatik ergonomis dengan sandaran punggung dan bantalan duduk Kompor LPG modifikasi dan saringan lilin
Laporan harian berdasarkan aktivitas produksi
Sebuah situs ecommerce
Kemampuan meng implementasikan pengawasan produksi yang optimal, ma najemen usaha & efisiensi produksi dengan baik
Peningkatan Kemandirian Pengrajin Batik Tulis Kampoeng Jetis Dan Kesejahteraan Masyrakat Sekitar melalui Program PKM
Tabel 4. Fungsi dan Spesifikasi Meja Pengeblat Pola Fungsi Dimensi Ukuran Bahan dan Spesifikasi Produk
Perbedaan dari produk lain :
Merupakan meja yang digunakan sebagai sarana mengeblat motif batik pada kain mori sebelum dilakukannya proses mencanting Papan kaca : 120 x 120 x 10 mm Penyangga : 130 x 40 x 80 mm Meja : kaca diberi pelapis pinggir dari aluminium Kerangka : besi galvalum Roda : 4 unit Lampu TL : 40 watt 1. Meja dapat digerakkan naik turun (fleksibel) sesuai dengan ketinggian pengguna saat itu. 2. Meja mudah dipindahkan ke tempat lain sesuai kebutuhan 3. Lampu yang dipasang permanen
Gambar 2.
Desain & Dimensi Ukuran Meja Pengeblat Pola
b. Kursi Pembatik Tabel 5. Fungsi dan Spesifikasi Kursi Pembatik Fungsi Dimensi Ukuran
Bahan dan Spesifikasi Produk Perbedaan dari produk lain :
Merupakan kursi yang digunakan duduk para pembatik saat proses mencanting dan memberi warna dasar Tinggi Kursi : 84 cm Tinggi sandaran : 46 cm Tinggi Paha : 37,50 Lebar sandaran : 40 cm Panjang Paha : 43,5 cm Lebar Pinggul : 45 cm Bahan kursi dari kayu dengan finishing kulit sintetis dengan sponge Memberikan rasa nyaman dan tidak cepat pegal serta mengurangi rasa sakit di tengkuk, bahu, punggung atas dan bawah, pundak sebelah kanan dan kiri, pinggang, paha, lutut, dan kaki karena adanya sandaran dan bantalan pada tempat duduk.
Gambar 3. Desain & Dimensi Kursi Pembatik
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-303
Gambar 4. Dimensi Kompor dan Saringan Lilin
Tjahjani, Hatta, Wahyudi
c. Kompor dan Saringan Lilin Tabel 6. Fungsi dan Spesifikasi Kompor dan Saringan Lilin
Fungsi Dimensi Ukuran Bahan dan Spesifikasi Produk Perbedaan dari produk lain :
Merupakan meja yang digunakan sebagai sarana mengeblat motif batik pada kain mori sebelum dilakukannya proses mencanting Tinggi Kompor : 45,50 cm Tinggi Saringan : 16 cm Diameter Kompor : 35 cm Diameter Saringan : 15 cm Kompor : kerangka besi beton ezer dan besi plat Saringan Lilin : aluminium Tinggi kompor sesuai dengan posisi duduk pembatik saat proses pencantingan dan pemberian warna dasar Saringan untuk memisahkan bahan lain yang tercampur dalam lilin agar tidak menyumbat lubang canting yang memperlambat proses pencantingan sehingga dapat menurunkan produksi.
IV. PENUTUP Pada penelitian peningkatan meningkatkan kemandirian pengrajin batik tulis Kampoeng Jetis dan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui Program Kemitraan Masyarakat (PKM) ini, telah mencapai beberapa hasil dari : 1. Bidang Produksi, antara lain; a). Meja pengeblat pola yang ergonomis, b). Kusi pembatik ergonomis dengan sandaran punggung dan bantalan duduk, dan c). Kompor LPG modifikasi dan saringan lilin. 2. Bidang Manajemen, meliputi ; a). Laporan harian berdasarkan aktivitas produksi, b). Katalog produk Kampoeng Batik Jetis, c). Sebuah situs e-commerce, dan d). Kemampuan mengimplementasikan pengawasan produksi yang optimal, manajemen usaha dan efisiensi produksi dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Anshori, Yusak dan Kusrianto, Adi, 2011, “Keeksotisan Batik Jawa Timur: Memahami Motif dan Keunikannya”, Jakarta: PT. Gramedia. Alfiana, Risah, 2011, “Pemberdayaan Pengusaha Batik Tulis di Desa Jetis Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo”, Skripsi, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Krismawan, H. 2011. Strategi Pengembangan Kerajinan Batik Tulis Sebagai Produk Unggulan Daerah (PUD) di Kabupaten Bantul. Prosiding Interdisciplinary Postgraduate Student Conference 3 rd, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PPs UMY). ISBN: 978-602-19568-4-7. Pradito, D., H. Jusuf, dan S.K. Atik. 2010, ”The Dancing Peacock: Colours & Mtifs of Priangan Batik”, PT. Gramedia. Jakarta. Riyanto, O.A.W, Riyadi, S, Kesumawatie, M.I, 2014, “IbM. Usaha Kampung Batik Jetis di Kecamatan Sidoarjo”, Usulan Penelitian PKPT, Universitas Wijaya Putra, Maret Setiadi, I.B. 2013. Batik Madura. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Jakarta. Suhartini, 2016, “Peningkatan Produktivitas Pada UKM Melalui Iptek Bagi Masyarakat”, Jurnal Teknik Industri, Vol. 19, No. 01, Maret 2016, ISSN : 1412-2146 http://www.antara jatim.com/lihat/berita/73828/kampoeng-batik-tulis, 2011 www.merdeka.com, 2012 http://legenda-unik.blogspot.co.id/2014/08/kampoeng-batik-jetis-kampung, 2014
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-304
Petunjuk Sitasi: Hardiningtyas, D., Putri, Y. W., & Efranto, R. Y. (2017). Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B305-311). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong Dewi Hardiningtyas(1), Yana Windy Sesha Putri(2) , Remba Yanuar Efranto(3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya(1), (2), (3) Jl. MT. Haryono No. 167, Malang, Indonesia 65145 (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected]
ABSTRAK Pekerjaan pemindahan bahan secara manual seringkali dilakukan di tempat kerja, yang meliputi menarik, mendorong, membawa, ataupun memindahkan. Setiap kegiatan manual tersebut berpotensi menyebabkan gangguan tulang dan otot (musculoskeletal disorder) apabila dilakukan pada postur yang berlebihan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilai gaya dan momen pada postur mendorong benda kerja beam benang dengan berat berkisar antara 200-450 kg. Gait cycle digunakan untuk mengidentifikasi secara lebih detail besarnya gaya dan momen pada setiap fase berjalan. Setiap fase tersebut sebelumnya telah digambarkan menggunakan free-body diagram untuk mennetukan titik pusat massa pada setiap segmen tubuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bawah segmen punggung mengalami gaya terbesar (2015,7 N) yang disebabkan karena aktivitas mendorong dan reaksi terhadap berat benda kerja. Nilai momen terbesar juga dialami segmen punggung pada fase midstance sebesar 1710,5 N dan nilai momen terkecil pada segmen lengan bawah fase heel off sebesar 53,8 N. Perubahan postur dengan memperkecil sudut terutama pada segmen punggung diprediksikan dapat memperkecil nilai gaya dan momen pada postur mendorong beam benang, serta mengurangi potensi risiko cidera tulang belakang. Kata kunci— biomekanika, fase berjalan, gait cycle, postur kerja, mendorong
I. PENDAHULUAN Aktivitas perpindahan benda kerja secara manual masih seringkali ditemukan di berbagai unit produksi. Aktivitas tersebut meliputi postur mengangkat, mendorong, menarik, maupun membawa. Perkembangan penelitian biomekanika pada fase berjalan normal telah banyak diketahui, namun masih sedikit yang fokus pada aktivitas mendorong. Menurut Roffey, dkk (2010) aktivitas mendorong masih belum terbukti secara mutlak dapat menyebabkan cidera tulang belakang (low back pain / LBP) yang merupakan salah satu penyakit pada musculoskeletal disorders (MSDs) hingga pada rentang benda kerja 25-30 kg. Namun di beberapa unit produksi tekstil, masih terdapat aktivitas mendorong benda kerja seperti beam benang dengan massa 200450 kg dari satu titik ke titik lainnya. Beam diletakkan diatas alat bantu dorong berupa pallet beroda untuk mengurangi gaya gesek antara beam dengan lantai. Walaupun aktivitas mendorong menjadi lebih ringan, namun perlu diidentifikasi lebih lanjut besarnya gaya tekan terhadap setiap segmen tersebut dan evaluasi apakah postur ini tergolong postur yang membahayakan atau tidak. Beban kerja fisik yang melewati batas kemampuan dapat mengakibatkan terjadinya risiko pada gangguan sistem otot-rangka (Iridiastadi & Yassierli, 2014). Postur yang salah seperti mendorong dan membungkuk menyebabkan risiko terjadinya MSDs dan kelelahan dini. MSDs adalah cidera pada otot, saraf, tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, atau cakram tulang belakang (Kuswana, 2014). Sejumlah dampak buruk lainnya akibat dari beban yang berlebih berpengaruh pada kualitas dan performansi kerja. Dampak ini dapat berupa penurunan konsentrasi saat bekerja, peningkatan kesalahan dalam pengambilan keputusan serta peningkatan potensi kecelakaan kerja. Maka dari itu sistem manajerial yang berhubungan dengan manusia membutuhkan perhatian lebih, khususnya pada manusia dan alat kerjanya untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja. Postur mendorong yang diamati adalah seorang operator yang bertugas memindahkan gulungan benang seberat 200-450 kg atau yang dikenal dengan istilah beam selama jam kerja. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-305
Hardiningtyas, Putri, dan Efranto
Beam dipindahkan oleh operator dengan cara mendorong sejauh 6-10 m dari bagian sizing ke gudang. Dalam sehari, setiap operator dapat memindahkan 8-9 beam. Postur dasar aktivitas ini adalah dengan posisi leher serta kepala menghadap ke bawah dan juga posisi punggung yang membungkuk berlebihan. Tentunya hal tersebut berpotensi mengandung risiko LBP. Untuk mengidentifikasi postur mendorong beam pada salah satu unit produksi tekstil, terlebih dahulu dilakukan penggambaran postur sesuai dengan fase berjalan (walking gait cycle). Berjalan merupakan gerakan tubuh untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain (Perry, 2010). Pada dasarnya, gait cycle terdiri dari 2 periode, yaitu periode berdiri (stance) dimana kaki mengenai landasan dan periode mengayun (swing) dimana kaki tidak mengenai landasan. Periode berdiri dimulai pada saat tumit menyentuh tanah (heel strike), kemudian dilanjutkan dengan kaki menapak penuh ke tanah (foot flat). Mid stance adalah posisi dimulainya foot flat dan berakhir pada saat heel strike. Fase heel off terjadi pada saat salah satu kaki mulai meninggalkan tanah dan kaki yang lain mengenai landasan. Fase toe off ketika heel strike oleh kaki kiri dan kaki kanan meninggalkan landasan untuk mengayun. Periode mengayun (swing) merupakan periode ketika kaki tidak berada di landasan atau posisi berayun. Pada penelitian ini hanya akan diamati pada periode berdiri saja,
Gambar 1. Fase Berjalan (Sumber : Levangie & Norkin, 2011)
Pengembangan model matematis analisis gaya postur kerja telah banyak digunakan di berbagai penelitian. Pada proses scarfing, pendekatan biomekanika dikombinasikan dengan OWAS (Ovako Working Postural Analysis System) dan Mannequin Pro untuk merancang alat bantu yang lebih meringankan pekerjaan (Dirawidya, Tama, & Efranto, 2015). Perancangan alat bantu berjalan long leg braces bagi penyandang cacat kaki tunggal juga lebih tepat jika mempertimbangkan aspek perasaan pengguna (kansei) serta gaya yang bekerja pada kaki (Cendy, Sugiono, & Hardiningtyas, 2015). Kajian biomekanika pada aktivitas berjalan amputee juga dapat diterapkan ketika menaiki dan menuruni bidang miring dengan menggukana prosthetic endoskeleton sistem energy storing knee mekanisme 2 bar (Aminasti, 2010). Sehingga pada penelitian bertujuan untuk mengembangkan model matematis analisis biomekanika aktivitas mendorong beam terhadap gait cycle, mengidentifikasi besarnya gaya dan momen ketika aktivitas tersebut, serta mengevaluasi risiko gaya berlebih pada setiap segmen tubuh. II. METODE Penelitian ini dilakukan dengan mengamati langsung di unit produksi pada aktivitas mendorong beam karena tidak memungkinkan untuk memindahkan benda kerja ke ruang laboratorium. Pengambilan data antropometri tinggi dan berat badan operator digunakan sebagai data primer dalam perhitungan panjang dan berat setiap segmen tubuh. Dari 24 orang operator yang ada di unit produksi ini, memiliki deviasi tinggi badan yang tidak terlalu jauh, sehingga dipilih persentil rata-rata yaitu tinggi badan 170 cm dan berat badan 64 kg. Panjang dan berat setiap segmen tubuh merujuk pada proporsi panjang dan berat segmen yang telah dikemukan oleh Adrian & Cooper (1989). Berat dan massa segmen diperoleh dari hasil perkalian proporsi terhadap berat badan (Tabel 1). Pusat massa segmen diperoleh dari dengan hasil perkalin persentase jarak titik pusat massa terhadap tinggi tubuh (Tabel 2).
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-306
Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong
Tabel 1. Massa dan Berat Segmen Tubuh Segmen Proporsi Massa (kg) Berat (N) Kepala, leher & Punggung 51,4 33,1 324,4 Lengan atas (kanan) 3,0 1,9 18,9 Lengan bawah (kanan) 1,6 1,0 10,1 Tangan (kanan) 0,5 0,3 3,2 Paha (kanan) 12,9 8,3 81,4 Betis (kanan) 4,8 3,1 30,3 Kaki (kanan) 1,5 1,0 9,5 Lengan atas (kiri) 3,0 1,9 18,9 Lengan bawah (kiri) 1,6 1,0 10,1 Tangan (kiri) 0,2 0,1 1,1 Paha (kiri) 12,8 8,2 80,8 Betis (kiri) 4,7 3,0 30,0 Kaki (kiri) 1,5 1,0 9,5 Tabel 2. Jarak Pusat Massa Segmen Tubuh Pusat Massa Pusat Massa Segmen (% ketinggian di dari Atas Lantai Atas Lantai) Kepala 93,5 % 1,59 m Batang tubuh dan leher 71,1 % 1,21 m Lengan atas 71,7 % 1,22 m Lengan bawah 55,3 % 0,94 m Paha 42,5 % 0,72 m Betis 18,2 % 0,30 m
Perhitungan biomekanika dilakukan dengan mengambil gambar postur mendorong beam pada kelima fase berjalan, yaitu heel strike, foot flat, midstance, heel off dan toe off. Setiap dokumentasi (gambar dan video) tersebut digambarkan ulang dengan free-body diagram untuk menyederhanakan identifikasi titik-titik gaya pada setiap segmen. Pada penelitian ini, gaya segmen pada pusat massa segmen dianggap mewakili berat rangka dan otot yang membentuk segmen tersebut. Setelah diketahui model free-body diagram setiap fase, maka dapat ditemukan sudut yang terbentuk antar segmen tubuh sebagai data untuk perhitungan gaya dan momen. Gaya dapat didefinisikan sebagai suatu pengaruh pada sebuah benda yang menyebabkan benda menjadi berubah kecepatannya. Gaya dalam pergerakan didefinisikan sebagai penyebab berpindahnya suatu benda atau objek dikarenakan suatu tindakan. Kontraksi otot dalam tubuh manusia merupakan gaya internal yang utama dalam menghasilkan suatu pergerakan pada segmen tubuh yang diberikan beban (Adrian & Cooper, 1989). ∑ Fx = 0 ∑ Fy = 0 dengan,
(1) (2)
∑ Fx = Resultan gaya yang bekerja di sumbu x (N) ∑ Fy = Resultan gaya yang bekerja di sumbu y (N)
Resultan gaya sama dengan nol menunjukkan bahwa benda berada pada posisi yang diam atau benda yang bergerak dengan kecepatan konstan (Tipler, 1991). Beban yang terima oleh tubuh nantinya akan didistribusikan ke anggota tiap tubuh yang lain karena tubuh merupakan satu kesatuan. Sehingga gaya dalam tubuh manusia menggambarkan tekanan yang dirasakan oleh tubuh manusia, semakin besar nilai gaya maka semakin besar pula tekanan akibat beban yang diberikan, sehingga nanti akan terjadi suatu gerakan. Gaya gesek adalah gaya yang membentuk sudut tangensial antara 2 permukaan benda yang bersentuhan. Gaya gesek merupakan pasangan dari gaya normal yang nantinya menghasilkan total SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-307
Hardiningtyas, Putri, dan Efranto
gaya yang bekerja pada dua benda yang saling bersentuhan. Gaya gesek memiliki dua koefisien gesekan yaitu koefisien gesekan statis μs dan koefisien gesekan kinetik μk. Koefisien gesekan statis digunakan untuk benda diam, dimana gaya tersebut berlawanan arah dengan arah gaya yang berusaha menggerakkan benda. Sedangkan koefisien gesekan kinetik digunakan untuk benda yang bergerak, dimana gaya tersebut arahnya berlawanan dengan arah gerak benda (Satriawan, 2012). Fs = μs * FN dengan,
(3)
Fs = gaya gesek statis (N) μs = koefisien gaya gesek statis FN = gaya normal (N)
Momen gaya atau yang biasa disebut torsi merupakan gaya yang menyebabkan suatu benda mengalami pergerakan rotasi. Momen didapatkan dari hasil kali gaya dengan jarak (Kuswana, 2014). Momen dalam tubuh manusia dapat didefinisikan sebagai sebab terjadinya suatu pergerakan pada segmen tubuh akibat dari gaya yang dikeluarkan oleh tubuh. Selain mempertimbangkan gaya dan jarak. Jika jarak yang dibentuk oleh segmen tubuh semakin besar makan risiko cidera juga semakin besar. Sehingga, momen dalam tubuh manusia dapat diartikan sebagai tingkat cidera dalam tubuh ketika melakukan suatu pergerakan. M = F * d * sin ɵ ∑M=0 dengan,
(4) (5)
M = momen (Nm) F = gaya (N) d = jarak (m)
Hasil formulasi matematis dan perhitungannya kemudian dibandingkan pada setiap segmen tubuh dan setiap fase berjalan. Dari nilai-nilai tersebut, dapat diketahui apakah postur mendorong beam benang tergolong aktivitas yang berisiko atau tidak, serta segmen tubuh yang manakah yang paling tinggi risiko cideranya.
III. HASIL PENELITIAN Pendekatan biomekanika diterapkan pada penelitian ini untuk menganalisis gait cycle fase berjalan pada aktivitas mendorong beam benang. Kelima fase tersebut digambarkan dan ditentukan titik-titik gaya yang bekerja pada segmen baik di sumbu x maupun y, serta sudut yang terbentuk antar segmen. Gambar 2 merupakan free-body diagram untuk kelima fase berjalan pada aktivitas mendorong beam. Penggunaan free-body diagram akan menyederhanakan bentuk tubuh manusia dan memudahkan dalam mengidentifikasi gaya yang bekerja pada tubuh.
Gambar 2. Fase Berjalan Aktivitas Mendorong Beam
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-308
Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong
Perhitungan gaya pada beam bertujuan untuk mengetahui berat beam yang di dorong oleh operator ketika terdapat alat bantu dorong. Dengan adanya alat bantu tersebut, berat beam yang dirasakan operator akan lebih kecil dari berat sebenarnya. Gambar 3 merupakan penguraian gaya pada beam. Nilai μs yang digunakan yaitu sebesar 0,45 yang merupakan sifat kedua permukaan benda yang bersentuhan yaitu antara baja dengan baja. Dari perhitungan diperoleh nilai gaya dorong yang dikeluarkan oleh operator yaitu sebesar 1984,5 N.
Gambar 3. Gaya Dorong yang Bekerja pada Beam dan Alat Bantu ∑ Fx Fdorong – Fs Fdorong
=0 =0 = Fs = μs * FN = μs * Wbeam = 0,45 * 450 kg * 9,8 m/s = 1984,5 N
Selanjutnya perhitungan gaya dan momen dilakukan pada setiap segmen tubuh dengan mempertimbangkan sudut yang terbentuk pada fase berjalan yang telah digambarkan sebelumnya. Gambar 4 merupakan contoh identifikasi setiap gaya yang bekerja pada segmen tubuh lengan bahwa fase pertama yaitu heel strike. Titik A merupakan tangan, dan titik B merupakan siku. Pada sumbu x terdapat gaya dorong (Fdorong) yang bekerja pada tangan, sehingga menyebabkan reaksi pada siku berupa Fx1. Segmen lengan bawah mempunyai berat yang ditunjukkan dengan gaya berat (W) sehingga menyebabkan reaksi pada siku berupa F y1. Gaya yang bekerja pada siku (FB) merupakan resultan gaya Fx1 dan Fy1. Perhitungan tersebut dilanjutkan hingga diperoleh nilai gaya yang bekerja pada setiap segmen tubuh dan setiap fase seperti pada tabel 3. Perhitungan momen menggunakan persamaan (4) dan (5) dengan pengaruh sudut dan jarak yang terbentuk. Rekapitulasi perhitungan momen ditunjukkan pada tabel 4. ƩFx
=0
ƩFy
Fx1 – Fdorong
=0
Fx1
= Fdorong
Fy1 – W Fy1
=0
=W
= 1984,5 N / 2
=mxg
= 992,25 N
= 10,09 N
Gambar 4. Free-body diagram segmen lengan bawah fase heel strike ∑
=0
FB
= √∑
ƩM
=0
M1
= (W x O x sin (33,5)) + (Fdorong x P x sin (33,5))
=√
= 992,3 N
= 148,52 Nm
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-309
Hardiningtyas, Putri, dan Efranto
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai gaya pada segmen di semua fase cenderung sama dikarenakan besarnya gaya hanya dipengaruhi oleh gaya reaksi yang dirasakan oleh tubuh operator sebagai akibat dari aktivitas mendorong dan juga dipengaruhi berat dari segmen tersebut. Nilai gaya pada semua segmen memiliki nilai yang cukup besar, hal tersebut dipengaruhi oleh berat dari beam yang didorong oleh operator yaitu sebesar 450kg, dimana berat tersebut melebihi batas beban dorong yang dianjurkan oleh Health and Safety Executive (2012) yaitu sebesar 20 kg untuk laki-laki. Namun untuk berat beam tidak dapat dikurangi dikarenakan dalam satu beam berisi satu jenis benang dengan spesifikasi yang telah ditentukan di awal. . Tabel 3. Nilai Gaya (N) pada Setiap Segmen dan Fase Berjalan Segmen Heel strike Foot flat Mid stance Heel off Lengan bawah 992,30 992,30 992,30 992,30 Lengan atas 992,67 992,67 992,67 992,67 Punggung 2015,73 2015,73 2015,73 2015,73 Paha kanan 1083,35 1083,35 1083,35 1083,35 Betis kanan 1095,86 1095,86 1095,86 1095,86 Paha kiri 1083,10 1083,10 1083,10 1083,10 Betis kiri 1095,32 1095,32 1095,32 1095,32
Toe off 992,30 992,67 2015,73 1083,35 1095,86 1083,10 1095,32
Nilai gaya paling besar terdapat pada segmen punggung yaitu sebesar 2015,7 N, hal tersebut dikarenakan punggung menjadi penopang utama dari beban pendorongan yang melebihi dari batas pendorongan. Aktivitas mendorong termasuk ke dalam aktivitas manual material handling yang melibatkan berbagai kelompok otot terutama otot penyangga tulang belakang yang memiliki fungsi untuk memelihara postur tubuh, menjaga keseimbangan tubuh dan koordinasi keseimbangan yang baik, masa kerja yang lama juga berpengaruh pada nyeri punggung bawah akibat dari akumulasi beban pada tulang belakang, semakin besar beban yang diterima maka tekanan pada tulang belakang menjadi semakin besar.Selain itu juga dikarenakan segmen punggung menerima gaya dari segmen lengan atas kanan dan segmen lengan atas kiri yang di distribusikan ke satu punggung, karena tubuh merupakan satu kesatuan yang saling berpengaruh antar segmen sebelum dan sesudahnya. Sedangkan untuk nilai gaya pada segmen paha terbagi dua dikarenakan jumlah gaya yang diterima oleh punggung diterima oleh dua paha yaitu paha kanan dan paha kiri. Nilai gaya kedua terbesar yaitu pada segmen betis sebesar 1095,8, hal tersebut dikarenakan betis menopang bagian tubuh secara keseluruhan dan juga menjadi tumpuan ketika berjalan sehingga segmen betis menerima gaya dari segmen lengan atas, lengan bawah, punggung dan paha, akibatnya tekanan yang dirasakan untuk menahan beban juga semakin besar pula. Tabel 4. Nilai Momen (Nm) pada Setiap Segmen dan Fase Berjalan Segmen Heel strike Foot flat Mid stance Heel off Lengan bawah 148,52 268,57 214,85 53,40 Lengan atas 308,95 502,67 534,37 269,13 Punggung 894,73 1163,90 1756,34 1637,75 Paha kanan 375,81 500,33 1262,66 1219,52 Betis kanan 766,30 927,26 1442,58 1551,86 Paha kiri 718,52 714,00 1165,69 837,75 Betis kiri 1042,82 1137,76 1549,60 1208,29
Toe off 75,50 327,93 1670,40 1230,55 1453,79 1036,33 1421,54
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai momen pada semua segmen di semua fase cenderung memiliki pola yang sama berturut-turut dari nilai kecil ke besar yaitu segmen lengan bawah, segmen lengan atas, segmen paha, segmen betis dan segmen punggung. Besarnya nilai momen tersebut dipengaruhi oleh jarak perpindahan sudut pada segmen dan juga dipengaruhi oleh nilai momen di segmen yang sebelumnya. Nilai momen total terbesar terdapat pada fase mid stance yaitu sebesar 7926,10 Nm. Hal tersebut menunjukkan bahwa fase mid stance memiliki risiko cidera yang paling besar diantara semua fase berjalan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-310
Perbandingan Analisis Biomekanika Gait Cycle pada Postur Mendorong
Nilai momen segmen punggung rata-rata memiliki nilai yang besar diantara semua fase, terutama pada fase mid stance sebesar 1756,34 Nm, karena pengaruh dari nilai momen lengan atas yang cukup besar yaitu sebesar 534.37 Nm. Nilai momen segmen punggung kedua terbesar yaitu pada fase toe off yaitu sebesar 1670,4 Nm. Hal tersebut dikarenakan ketika mendorong tubuh operator terlalu membungkuk sehingga membentuk sudut perpindahan segmen yang cukup besar. Semakin operator membungkuk maka risiko terjadinya cidera punggung belakang juga semakin besar pula. Selain itu, nilai momen terbesar juga terdapat pada segmen betis, hal tersebut dikarenakan betis menahan beban dari anggota tubuh keseluruhan dan menjadi tumpuan ketika operator berjalan. Hal tersebut selaras dengan pernyataan operator bahwa ketika operator mendorong, bagian tubuh yang sering terjadi keluhan yaitu pada segmen punggung dan betis.
IV. PENUTUP Berdasarkan analisis postur tubuh operator dengan menggunakan fase berjalan gait cycle, fase berjalan dibagi menjadi lima fase yaitu heel strike, foot flat, mid stance, heel off dan toe off. Dari kelima fase tersebut memiliki nilai gaya yang cenderung sama dikarenakan besarnya gaya hanya dipengaruhi oleh gaya reaksi yang dirasakan oleh tubuh operator sebagai akibat dari aktivitas mendorong dan juga dipengaruhi berat dari segmen tersebut. Nilai gaya terbesar rata-rata terdapat pada segmen punggung di semua fase yaitu sebesar 2015,73 N, dan nilai gaya terkecil terdapat pada segmen lengan bawah yaitu sebesar 992,30 N. Sedangkan untuk nilai momen memiliki nilai yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan nilai momen dipengaruhi oleh sudut perpindahan segmen yang dimana setiap segmen membentuk sudut berbeda-beda. Untuk nilai momen terbesar terdapat pada segmen punggung di fase mid stance yaitu sebesar 1710,53 Nm, dan nilai momen terkecil terdapat pada segmen lengan bawah di fase heel off yaitu sebesar 53,89 Nm.
DAFTAR PUSTAKA Adrian, M., & Cooper, J. (1989). The Biomechanics of Human Movement. Indianapolis: McGraw-Hills Co. Aminasti, I. K. (2010). Kajian Gait Dynamic pada Bidang Miring Bagi Pengguna Prosthetic Endoskeletal Sistem Energy Storing Knee Mekanisme 2 Bar. Surakarta: Skripsi Jurusan Teknik Industri UNS. Cendy, B., Sugiono, & Hardiningtyas, D. (2015). Analisis Perancangan Produk Long Leg Braces dengan Pendekatan Kansei Words dan Biomekanika. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, 3(2). Dirawidya, A., Tama, I., & Efranto, R. (2015). Perancangan Postur Kerja dan Alat Bantu pada Proses Scarfing dengan Analisis Biomekanika. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, 3(7). Health and Safety Executive. (2012). Manual Handling at Work : A Brief Guide. HSE. Iridiastadi, H., & Yassierli. (2014). Ergonomi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Kuswana, W. S. (2014). Ergonomi dan K3 (Kesehatan Keselamatan Kerja). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Levangie, P., & Norkin, C. (2011). Joint Structure and Function: A Comprehensive Analysis (5th ed.). F.A. Davis Company. Perry, J. (2010). Gait Analysis: Normal and Pathological Function (2nd ed.). New Jersey: SLACK Incorporated. Roffey, D., Wai, E., Bishop, P., Kwon, B., & Dagenais, S. (2010). Causal Assessment of Occupational Pushing or Pulling and Low Back Pain: Results of A Systematic Review. The Spine Journal, 10, 544553. Satriawan, M. (2012). Fisika Dasar. Yogyakarta: UGM. Tipler, P. (1991). Fisika untuk Sains dan Teknik (3 ed.). Jakarta: Erlangga.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-311
Petunjuk Sitasi: Rapi, A., & Arminas. (2017). Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B312-318). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur Amrin Rapi (1), Arminas (2) Jurusan Teknik Industri Agro, Politeknik ATI Makassar Jl. Sunu No. 220 Makassar (1) [email protected],(2)[email protected]
(1), (2)
ABSTRAK Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang agroindustri yaitu PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur, yang mengolah buah sawit berupa tandan buah segar (TBS) menjadi crude palm oil (CPO). Dalam proses pengolahan buah kelapa sawit dilakukan dengan beberapa tahapan salah satunya adalah tahap pemindahan bahan baku di area loading ramp. yaitu proses pemindahan dari tempat penyimpanan ke tempat proses produksi. Dalam hal ini perusahaan harus memperhatikan kenyamanan operator dan lingkungan kerja pada bagian penyortiran kelapa sawit karena pada proses ini banyak gerakan yang tidak ergonomis seperti posisi mengangkat bahan baku yang jaraknya berjauhan dengan operator. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab kecelakaan kerja seperti dislokasi (keseleo) dan regang otot sehingga perlu dilakukan perbaikan dengan cara menganalisis sikap kerja dengan metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) dan Rapid Entire Body Assessment (REBA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap kerja yang ergonomis sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja operator. Penelitian yang digunakan merupakan jenis penelitian observasi. Data dikumpulkan melalui pengamatan secara langsung ke objek penelitian dengan melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan operator pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur. Hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengangkatan beban (Tandan Buah Segar) seberat 23 kg yang dilakukan 4 pekerja yang bebeda masing-masing dengan menggunakan metode RULA menghasilkan score rata-rata 7 setiap pekerjanya dan metode REBA menghasilkan score 5 dan score 8 setiap pekerjanya. Dimana, Operator 1 menggunakan metode RULA menghasilkan score = 7 dan metode REBA menghasilkan score = 5 , Operator 2 menggunakan metode RULA menghasilkan score 7 dan menggunakan metode REBA mengahasilkan score = 8, Operator 3 menggunkan metode RULA menghasilkan score = 7 dan menggunakan metode RULA mengahsilkan score = 8, Operator 4 menggunakan metode RULA menghasilkan score = 7 dan menggunakan metode REBA menghasilkan score = 5. Sehingga dapat menimbulkan resiko cidera pada tulang belakang akibat sikap kerja yang tidak ergonomis. Kata kunci : Ergonomis; RULA; REBA;
I. PENDAHULUAN Latar Belakang PT. Perkebunan Nusantara XIV Unit Usaha PKS Luwu adalah perusahaan bergerak dibidang pengolahan buah sawit berupa tandan buah segar (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO). Tingginya permintaan pasar, (Januri: 10.259 ton; Februari: 15.857 ton; Maret: 16.000 ton; April: 19.229 ton) menuntut perusahaan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan sesuai dengan permintaan konsumen, tidak hanya itu, perusahaan juga harus mempertimbangkan faktor persaingan yang ada. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, manusia dituntut untuk bisa serba cepat dalam berbagai hal yang mengakibatkan pergeseran kebutuhan masyarakat, dari menggunakan peralatan industri secara manual, kemudian mengarah pada peralatan yang canggih. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah proses pemindahan bahan baku dari tempat penyimpanan ke tempat proses produksi. Dalam hal ini perusahaan harus memperhatikan faktor kenyamanan operator serta lingkungan kerja pada bagian penyortiran kelapa sawit karena pada proses ini banyak gerakan yang tidak ergonomis seperti posisi mengangkat bahan baku yang A.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-312
Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp Pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur
jaraknya berjauhan dengan operator Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab kecelakaan kerja seperti dislokasi (keseleo) dan regang otot sehingga perlu dilakukan perbaikan dengan cara menganalisis sikap kerja dengan metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) dan Rapid Entire Body Assessment (REBA). Dari hasil penelitian di dapatkan beberapa masalah di area loading ramp, seperti masalah posisi mengangkat produk yang kurang tepat karena letak produk dan jarak jangkauan 1,25 m dari operator, serta alat yang di gunakan memindahkan bahan baku masih model konvensional, penggunaan alat pelindung diri belum maksimal dan belum.Oleh karena itu peneliti akan menganalisis sikap kerja yang ergonomis di area loading ramp sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja operator. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana menentukan sikap kerja yang ergonomis dengan menggunakan metode RULA dan REBA pada PT. Perkebunan Nusantara XIV. 2. Bagaimana menganalisis sikap kerja yang tidak ergonomis. C.
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui sikap kerja yang ergonomis dengan metode RULA dan REBA 2. Untuk memberikan solusi dari hasil analisis metode REBA dan RULA yang tidak ergonomis
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat bermanfaat bagi perusahaan, operator dan peneliti: 1. Manfaat bagi perusahaan untuk mendapatkan hasil pemindahan bahan baku yang baik, waktu kerja lebih efisien dan mengurangi biaya akibat kecelakaan kerja. 2. Manfaat bagi operator yang bekerja di area loading ramp, dengan penelitian ini maka dapat diketahui masalah yang dihadapi oleh pekerja khususnya masalah ergonomi bagian pemindahan bahan baku. 3. Manfaat bagi peneliti dapat mengetahui masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam perusahaan khususnya proses pemindahan bahan baku serta memberikan solusi untuk perbaikan.
II. METODOLOGI PENELITIAN Analisis Data dilakukan dengan analisis pengangkatan beban material dari beberapa pekerja yang berupa DATABASE dan SKETCH. Berdasarkan output tersebut dapat diketahui apakah faktor seperti berat beban yang telah sesuai dengan RULA dan REBA yang disarankan dalam pengangkatan material atau posisi mengangkat sudah tepat
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan Data Hasil pengukuran biomekanika yang dilakukan dari para operator/pekerja yang berbeda dalam mengangkat beban yang sama diperhatikan pada tabel dibawah ini : A.
Tabel 1. Data Tabulasi
Nama Operator Tinggi (cm) Berat Badan (kg) Umur (umr) H (cm)/jarak pengambilan Bahan V (cm)/Tinggi Tempat Pengambilan D (cm) L (kg) Sukris Yusran Irsan Andi
160 176 170 152
55 65 55 52
36 32 40 44
125 125 125 125
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-313
0,50 0,50 0,50 0,50
250 250 250 250
23 23 23 23
Amrin Rapi , Arminas
B.
Pembahasan 1. Hasil dari pengolahan data dengan menggunakan metode RULA dan REBA pada Software Ergofellow sebagai berikut : a. Operator 1
Gambar 1. Sikap Kerja Operator 1
Sehingga diperoleh hasil pengolahan data ergofellow:
Gambar 2. Hasil Pengolahan Data Ergofellow Dengan Menggunakan Metode RULA dan REBA
Artinya kegiatan yang dilakukan oleh operator berdasarkan rumus metode RULA memiliki nilai 7 tingkat kegiatan 4 dan tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan perubahan harus segera dilakukan. Sedangkan pada rumus metode REBA memiliki score 5 (4 dan 7) memiliki tingkat risiko cedera yang sedang dan tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan melukukan perubahan segera. b. Operator 2
Gambar 3. Sikap Kerja Operator 2
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-314
Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp Pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur
Sehingga diperoleh hasil pengolahan data ergofellow :
Gambar 4. Hasil Pengolahan Data Ergofellow Dengan Menggunakan Metode RULA dan REBA
Artinya kegiatan yang dilakukan oleh operator berdasarkan rumus metode RULA memiliki nilai 7 tingkat kegiatan 4 dan tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan perubahan harus segera dilakukan. Sedangkan pada rumus metode REBA memiliki score 8 (8 to 10) memiliki tingkat risiko cedera yang tinggi, tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan melukukan perubahan segera.
c.
Operator 3
Gambar 5. Sikap Kerja Operator 3
Sehingga diperoleh hasi pengolahan data ergofellow:
Gambar 6. Hasil Pengolahan Data Ergofellow Dengan Menggunakan Metode RULA dan REBA
Artinya kegiatan yang dilakukan oleh operator berdasarkan rumus metode RULA memiliki nilai 7 tingkat kegiatan 4 dan tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan perubahan harus segera dilakukan. Sedangkan pada rumus metode REBA memiliki score 8 (8 to 10) memiliki tingkat risiko cedera yang tinggi, tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan melukukan perubahan segera.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-315
Amrin Rapi , Arminas
d.
operator 4
Gambar 7. Sikap Kerja Operator 4
Sehingga diperoleh hasil pengolahan data ergofellow :
Gambar 8. Hasil Pengolahan Data Ergofellow Dengan Menggunakan Metode RULA dan REBA
Artinya kegiatan yang dilakukan oleh operator berdasarkan rumus metode RULA memiliki nilai 7 tingkat kegiatan 4 dan tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan perubahan harus segera dilakukan. Sedangkan pada rumus metode REBA memiliki score 5 (4 dan 7) memiliki tingkat risiko cedera yang sedang dan tindakan yang harus dilakukan adalah investigasi kegiatan yang terjadi dan melukukan perubahan segera. C.
Perbandingan Metode RULA dan Metode REBA 1. Rekap hasil pengolahan data dengan metode RULA Tabel 2. Rekap Hasil Pengolahan Data Metode RULA Nama Operator Sukris Yusran Andi Irsan
Neck 10◦-20◦ 10◦-30◦ 10◦-20◦ 10◦-20◦
Trunk 90◦ 90◦ 90◦ 60◦
legs posisi baik posisi baik posisi baik posisi baik
load 23 kg 23 kg 23 kg 23 kg
Wrist Upper am Lower arm Result 20◦-20◦ 20◦-20◦ 130◦ 7 20◦-20◦ 20◦-20◦ 110◦ 7 20◦-20◦ 20◦-20◦ 100◦ 7 20◦-20◦ 20◦-20◦ 100◦ 7
Dari empat responden diatas diperoleh hasil result dengan menggunakan metode RULA yaitu 7 yang artinya kegiatan tersebut mempunyai risiko cidera yang tinggi sehingga harus dilakukan investigasi kegiatan dan perubahan sikap kerja harus segera dilakukan (investigation and changes are repaired immediately). 2. Rekap hasil pengolahan data dengan metode REBA
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-316
Analisis Penentuan Sikap Kerja yang Ergonomis di Area Loading Ramp Pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur
Nama Operator Sukris Yusran Andi Irsan
Tabel 3. Rekap Hasil Pengolahan Data Metode REBA Neck Trunk legs load Wrist Upper am Lower arm Result 10◦-20◦ 90◦ posisi baik 23 kg 20◦-20◦ 20◦-20◦ 130◦ 5 10◦-30◦ 90◦ posisi baik 23 kg 20◦-20◦ 20◦-20◦ 110◦ 8 10◦-20◦ 90◦ posisi baik 23 kg 20◦-20◦ 20◦-20◦ 100◦ 8 10◦-20◦ 60◦ posisi baik 23 kg 20◦-20◦ 20◦-20◦ 100◦ 5
Dari empat responden diatas diperoleh hasil result dengan menggunakan metode REBA yaitu 5 dan 8. Result 5 artinya, kegiatan tersebut memiliki tingkat risiko cidera yang sedang serta harus dilakukan investigasi kegiatan dan melakukan perubahan sikap kerja. Result 8 artinya, kegiatan tersebut memiliki tingkat risiko cidera yang sangat tinggi serta harus dilakukan investigasi dan perbaikan sikap kerja sesegera mungkin. Diliahat hari tabel perbandingan sikap kerja dengan metode RULA dan REBA diatas dapat diketahui bahwa sikap kerja yang dilakukan oleh operator tersebut bukan merupakan kategori sikap kerja yang ergonomis. Namun dari kedua sikap kerja digunakan diatas, sikap kerja yang direkomendasikan untuk diterapkan ialah sikap kerja dengan metode REBA. Karena dari rekap hasil pengolahan data metode REBA menunjukan bahwa ada dua pekerja yang melakukan aktivitas dengan hasil result 5 yang menunjukan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja memiliki tingkat cidera yang sedang dibandingkan melakukan kegiatan menggunakan metode RULA. Untuk mengetahui sikap kerja yang ergonomis, berikut rekomendasi sikap kerja yang ergonomis menggunakan metode REBA: Tabel 4. Rekomendasi Sikap Kerja Yang Ergonomis
Metode REBA
Neck 0◦ - 10◦
Trunk legs Wrist Upper am Lower arm 20◦ - 60◦ posisi dua kaki 15◦ - 15◦ 20◦ - 45◦ 60◦ - 100◦
Result 3
Gambar 9. Sketsa Rekomendasi Sikap Kerja Ergonomis Yang Dipergunakan Untuk Memindahkan Kelapa Sawit di Area Loading Ramp
Sehingga diperoleh hasil pengolahan data ergofellow :
Gambar 10. Hasil Pengolahan Data Ergofellow Dengan Menggunakan Metode RULA dan REBA SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-317
Amrin Rapi , Arminas
Artinya kegiatan yang dilakukan berdasarkan rumus metode REBA memiliki score 2 sampai 3, resiko rendah, perubahan mungkin diperlukan. IV. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan pada “PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur” dapat disimpulkan : 1. Hasil analisis dari Metode REBA menunjukan sikap kerja yang ergonomis. Hal ini dibuktikan dari nilai result dua pekerja yaitu 5 dan memiliki tingkat cidera yang sedang. Setelah dilakukan perbaikan sikap kerja diperoleh hasil sebesar 3, artinya risiko cidera rendah. 2. Hasil analisis dari Metode RULA menunjukan sikap kerja tidak ergonomis. Hal ini dibuktikan dari nilai result dua pekerja yaitu 7 sehingga perlu diadakan penelitian lanjutan. A.
B.
Saran Pada penelitian yang telah dilakukan penulis menyarankan agar diadakan perbaikan mengenai sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja di area Loading Ramp pada PT. Perkebunan Nusantara XIV Luwu Timur sesuai dengan rekomendasi sikap kerja yang telah ditentukan dengan menggunakan material handling yang sesuai. Sehingga dengan adanya rekomendasi sikap kerja tersebut diharapkan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya risiko cidera yang akan dialami oleh pekerja. DAFTAR PUSTAKA Firdaus, Muhammad , 2011, “Analisis pengukuran RULA dan REBA petugas pada pangankutan barang di gedung dengan menggunakan software Ergointelligence.” Prosiding Seminar Nasional Ritektra 2011, ISBN: 978-602-97094-3-8. Nurmianto, Eko. ,2004, Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinnya/Eko Nurmianto.Cet.1Surabaya: Guna Widya. Pangaribuan, Meliana ,2010, Tugas Akhir. Analisa postur kerja dengan metode RULA pada pegawai bagian pelayanan perpustakaan USU Medan. Santoso, Gempur. ,2004, Ergonomi: Manusia, Peralatan dan Lingkungan, Jakarta: Prestasi Pustaka. Suraya, Wiwik. ,2015,. Biomekanika (fisika-kesehatan) Sutalaksana, Iftikar Z. Ruhana Anggawirasta, John H. Tjakraamadja, Teknik Tata Kerja. Wahid, Muhammad ,2014,. Analisis postur kerja pada aktivitas pengangkutan buah kelapa sawit dengan menggunakan metode REBA. karya ilmiah
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-318
Petunjuk Sitasi: Arminas, & Basri, M. (2017). Analisis Potensi Risiko Cidera Karyawan Proses Packing di Area Store In House dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL) pada PT. Toyota Boshoku Indonesia. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B319-323). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Potensi Risiko Cidera Karyawan Proses Packing di Area Store In House dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL) pada PT. Toyota Boshoku Indonesia (1), (2)
Arminas (1), Muhammad Basri (2) Jurusan Teknik Industri Agro, Politeknik ATI Makassar Jl. Sunu No. 220 Makassar (1) [email protected] ABSTRAK
Tingginya permintaan pasar, menuntut perusahaan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan sesuai dengan permintaan konsumen.Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam sistem produksi adalah proses pengemasan atau packing yang dituntut untuk mengemas produk dengan baik tanpa adanya kesalahan.namun dalam hal ini perusahaan juga harus memperhatikan sikap kerja karyawan khususnya bagian packing karena pada proses ini banyak gerakan yang dilakukan tidak ergonomis dan dapat menyebabkan kecelakaan kerja sehingga perlu dilakukan perbaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya potensi risiko cidera karyawan pada proses packing di area store in house, dengan mengukur besar Recommended Weight Limit RWL dan Li. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan pada bagian packing PT.Toyota Boshoku Indonesia.Teknik pengumpulan data meliputi interview dan observasi. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Recomended Weight Limit (RWL) dengan menggunakan aplikasi ergofellow . Hasil Penelitian menunjukkan bahwa setiap karyawan menghasilkan nilai Li awal = 2,105 nilai Li akhir = 2,105, karena nilai derajat siku melebihi 135. Sehingga menimbulkan risiko cidera tulang belakang akibat sikap kerja yang tidak ergonomis. serta dipengaruhi oleh faktor umur. Kata kunci: Cidera, Ergonomi, RWL dan Li,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT.Toyota Boshoku Indonesia adalah perusahaan manufaktur yang memproduksi kursi dan interior mobil serta memiliki beberapa customer tetap antara lain PT. Toyota, PT. Hino, PT. Daihatsu, PT.Toyota dealer, dan PT. Susuki. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, perusahaan selalu dituntut untuk memanfaatkan SDM yang produktif untuk memenuhi permintaan pasar yang selalu meningkat,selain itu perusahaan juga dituntut untuk
menghasilkan produk yang berkualitas dan sesuai dengan permintaan konsumen. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam sistem produksi adalah proses pengemasan atau packing yang dituntut untuk mengemas produk dengan baik tanpa adanya kesalahan.namun dalam hal ini perusahaan harus memperhatikan sikap kerja karyawan khususnya bagian packing karena pada proses ini banyak gerakan yang dilakukan tidak ergonomis dan dapat menyebabkan kecelakaan kerja sehingga perlu dilakukan perbaikan. Oleh karena itu peneliti akan membahas tentang Analisis Potensi Resiko Cidera Karyawan Proses Packing di Area Store In House dengan metode Recommended Weight Limit (RWL) untuk mengetahui potensi resiko cidera pada PT. Toyota Boshoku Indonesia
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-319
Arminas, Basri
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah seberapa besar potensi risiko cidera pada proses packing di area store in house. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya potensi risiko cidera karyawan pada proses packing di area store in house, dengan mengukur besar RWL dan Li. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat bermanfaat bagi perusahaan, karyawan dan peneliti: 1. Manfaat bagi perusahan untuk mendapatkan hasil packing yang baik, waktu kerja lebih efisien dan mengurangi kecelakaan kerja. 2. Manfaat bagi karyawan di bagian packing, dengan penelitian ini maka dapat mengetahui masalah yang dihadapi oleh pekerja khususnya masalah ergonomi bagian pengangkatan produk proses packing. 3. Manfaat bagi peneliti dengan penelitian ini dapat mengetahui masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam perusahaan khususnya proses packing dan memberikan solusi untuk perbaikannya. II. METODOLOGI PENELITIAN Analisis data dilakukan dengan analisis pengangkatan beban material dari beberapa pekerja yang berupa NIOSH, DATABASE dan SKETCH. Berdasarkan output tersebut dapat diketahui apakah faktor seperti berat beban yang telah sesuai dengan Recommended Weight Limit (RWL) yang disarankan dalam pengangkatan material atau posisi mengangkat yang tidak tepat serta data biomekanika diolah menggunakan software Ergofellow yang akan digunakan untuk penelitian ergonomic terhadap pengangkatan beban dengan metode Recommended Weight Limit (RWL).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Hasil pengukuran biomekanika yang dilakukan dari para karyawan/pekerja yang berbeda, dalam mengangkat beban yang sama diperhatikan pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 1 operator 1
Gambar 2 operator 2
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-320
Analisis Potensi Risiko Cidera Karyawan Proses Packing Di Area Store In House Dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL) Pada PT. Toyota Boshoku Indonesia
Gambar 3 operator 3
Gambar 4 operator 4
Nama Operator Chairul Heruafani Papin Andi
Tinggi (cm)
Berat Badan (kg)
Umur (thn)
165 165 175 160
74 50 60 50
34 47 21 23
Tabel 1 Tabulasi Data H (cm)/Jarak V (cm)/Tinggi Tinggi Tempat Tempat Penyimpanan D (cm) Pengambilan Pengambilan (cm) Bahan 50 40 10 30 50 40 10 30 50 40 10 30 50 40 10 30
A (Derajat) Awal
Akhir
180 160 175 160
170 150 180 140
L (kg) 7 7 7 7
Sumber : PT.Toyota Boshoku Indonesia 2017 Tabel 2 Tabulasi Data Biomekanika Nama Operator Chairul Heruafani Papin Andi
Tinggi (cm)
Berat Badan (kg)
Umur (thn)
165 165 175 160
74 50 60 50
34 47 21 23
H (cm)/Jarak Pengambilan Bahan 50 50 50 50
V (cm)/Tinggi Tempat Pengambilan 40 40 40 40
A (Derajat) D (cm) 30 30 30 30
Awal
Akhir
180 160 175 160
170 150 180 140
L (kg) 7 7 7 7
Sumber : PT.Toyota Boshoku Indonesia 2017
B. Pengolahan Data Hasil dari pengolahan data dengan menggunakan rumus RWLH dan Software Ergofellow sebagai berikut : RWL= LcxHMxVMxDMxAMxFMxCM LC = 7 kg HM = 25/H (cm) = 25/50
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-321
Arminas, Basri
=2 VM = 1-(0.003 V-75 ) (cm) = 1-(0.003 40-75 ) (cm) = 1-(-0.000085) = 1.000085 DM = 0.82+ (4,5/D) (cm) = 0.82+ (4,5/30) (cm) = 0.82+0.15 = 0.97 AM = 1- (0.0032 x A) = 1- (0.0032 x 180) = 1- (0.576) = 0.424 FM = 0.9 CM = 1 RWL = LCxHMxVMxDMxAMxFMxCM = 2x1.000085x0.97x0.424x0.9x1 =0.7403 LI = L/RWL = 7/0.7403 = 9.455 Nilai Li > 1 sehingga beresiko cidera atau pengangkatan beban yang dilakukan tidak ergonomis. Tabel 3 Hasil pengolahan Data atau Software Ergofellow Nama Operator Chairul Haruafani Papin Andi
Jenis Kelamin
umur
laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki
34 47 21 23
Nilai RWL & LI RWL (awal) 3.325 3.325 3.325 3.325
Li 2.105 2.105 2.105 2.105
RWL (akhir) 3.325 3.325 3.325 3.325
L (kg) Li 2.105 2.105 2.105 2.105
7 7 7 7
Dari hasil pengukuran dan pengolahan data membuktikan bahwa data biomekanika menunjukkan data kurang falid karena nilai Li > 1 terhadap pengukuran biomekanika yang dilakukan pada 4 pekerja / operator dengan nilai rata-rata dari 12 kali pengangkatan beban yang memiliki berat yang sama 7 kg tetapi berbeda operator. Kemudian data yang didapatkan diolah menggunakan software Ergofellow sehingga diperoleh hasil bahwa pengangkatan beban yang dilakukan pada “PT.Toyota Boshoku Indonesia” dapat menimbulkan risiko cidera dengan sikap kerja yang kurang tepat atau tidak ergonomis, serta dipengaruhi oleh faktor umur yang telah ditentukan karena Li diatas batas 1, Sedangkan standar Li di bawah 1. IV. PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada “PT.Toyota Boshoku Indonesia” menunjukkan bahwa pengangkatan beban (part interirior mobil) seberat 7 kg yang dilakukan terhadap 4 pekerja yang berbeda masing-masing menghasilkan nilai Li > 1. Dimana, setiap karyawan menghasilkan nilai Li awal = 2,105 nilai Li akhir = 2,105, karena nilai derajat siku melebihi 135. Sehingga menimbulkan risiko cidera tulang belakang akibat sikap kerja yang tidak ergonomis. B. Saran Penulis menyarankan agar pada pengangkatan beban (interior mobil) seberat 7 kg sebaiknya sikap kerja karyawan lebih diperhatikan terutama pada bagian belakang dan punggung yang dapat disesuaikan dengan tinggi tempat pengambilan part artinya ada keseimbangan tinggi tempat pengambilan dengan posisi kerja yang baik dan benar secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-322
Analisis Potensi Risiko Cidera Karyawan Proses Packing Di Area Store In House Dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL) Pada PT. Toyota Boshoku Indonesia
ergonomis sehingga tidak terjadi cidera dan pekerjaan lebih efisien atau dapat menggunakan material handling yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA Fatimah, 2016, Tugas Akhir, Analisis Sikap Kerja Karyawan Terhadap Pengangkat Beban Dengan Menggunakan Metode Recomended Weight Limit (RWL), Makassar : Pada Tokoh Mas Elektronik Makassar. Politeknik Ati Makassar Fatmawati, wiwiek.,2009, Analisis Manual Material Handling (MMH) Dengan Menggunakan Metode Biomekanika Untuk Mengidentifikasi Resiko Cidera Tulang Belakang(Musculokeletal Disorder). Demak : Fakultas Teknologi Industri UNNISULA Frankie and Nordin ,1980, Basic Biomechanics of The Skeletal philadelpia. Handoko, Lukman. ,2016,Analisa Beban Kerja pekerja Tahapan Pengemasan Unit Padatan PT Petrosida Gresik Dengan Metode Recommended Weight Limit (RWL).Surabaya : Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya. Husni, Lalu. ,2003, Pengantar hukum ketenagakerjaan, Jakarta: Rajawali pers. Manuaba, A. ,2000, “Ergonomi-Kesehatan dan Keselamatan Kerja”. Jurnal Ergonomi Indonesia VOL 1 Nurmianto, Eko. ,2004, Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinnya/Eko Nurmianto.- Cet.1- Surabaya: Guna Widya. Santoso, Gempur. ,2004, Ergonomi: Manusia, Peralatan dan Lingkungan Jakarta: Prestasi Pustaka. Suma’mur,1987, Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan. PT. Gunung Agung. Jakarta Sutalaksana, 1979, Teknik Tata Cara Kerja .Bandung :Institut Teknologi Bandung Wignjosoebroto, S,1995, Ergonomi dan studi gerak dan waktu. Institut Teknologi Surabaya-PenerbitGuna Widya
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-323
Petunjuk Sitasi: Susanti, S., Pawennari, A., Afiah, I. N., Dahlan, M., & Rauf, N. (2017). Analisis Pengukuran Beban Kerja Mental Perawat Unit Gawat Darurat dengan Metode NASA-Task Load Index. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B324-328). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Pengukuran Beban Kerja Mental Perawat Unit Gawat Darurat dengan Metode NASA-Task Load Index Susi Susanti(1), Andi Pawennari (2), Irma Nur Afiah (3), Muhammad Dahlan(4), Nurhayati Rauf(4) (1), (2), (3), (4), (5) Program Studi Teknik Industri, Universitas Muslim Indonesia Jalan Urip Sumoharjo KM. 5 Makassar, Sulawesi Selatan. (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected], (4) [email protected], (5)[email protected] ABSTRAK Salah satu unit kerja pada Rumah Sakit yang memiliki peran penting adalah Unit Gawat Darurat (UGD), dimana UGD merupakan tempat pertama yang ditunjuk oleh pasien yang berada dalam keadaan darurat. Beban kerja perawat UGD tergolong berat karena umumnya pasien yang dilarikan ke UGD adalah pasien darurat yang harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang secepat dan setepat mungkin. Perawat UGD juga memiliki tugas keperawat yang beragam yang harus dilakukan. Hal tersebut dapat menjadi pemicu stres untuk perawat yang bertugas di UGD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beban kerja mental yang dialami oleh perawat bagian UGD dalam melaksanakan pekerjaannya dan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap beban kerja mental perawat UGD. Metode NASA (National Aeronautics and Space Administration)-Task Load Index (NASA-TLX) merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis beban kerja mental yang dihadapi pekerja. Sebanyak 9 perawat UGD dilibatkan dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa beban mental yang di rasakan oleh laki-laki lebih rendah dengan nilai rata-rata 83,8 dan untuk perempuan beban mental yang dirasakan lebih tinggi dengan nilai rata-rata 88,5. Hal ini dikarenakan perempuan jauh lebih cemas, khawatir, terjadinya kecemburuan sosial yang lebih tinggi, panik dan gelisah. Kata kunci— Beban kerja mental, NASA-TLx, Perawat UGD
I. PENDAHULUAN Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang (Haryani, 2008). Salah satu unit kerja pada Rumah Sakit yang memiliki peran penting adalah Unit Gawat Darurat (UGD), dimana UGD merupakan tempat pertama yang ditunjuk oleh pasien yang berada dalam keadaan darurat. Beban kerja perawat UGD tergolong berat karena umumnya pasien yang dilarikan ke UGD adalah pasien darurat yang harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang secepat dan setepat mungkin. Perawat UGD juga memiliki tugas keperawat yang beragam yang harus dilakukan. Hal tersebut dapat menjadi pemicu stres untuk perawat yang bertugas di UGD. Jika hal ini dibiarkan dengan kondisi tugas dan beban kerja yang sedemikian rupa, perawat UGD dikhawatirkan dapat mengalami stres apabila beban kerja yang mereka terima telah melebihi kapasitas kerja. Togia (2005) mengungkapkan bahwa bahwa beban kerja yang tinggi dan tugas rutin yang berulang dapat menyebabkan kelelahan fisik, emosional, hingga mental dari pekerja. Selain itu, penyedia jasa kesehatan dipandang perlu untuk melakukan pengukuran beban kerja dikarenakan jumlah pengunjung tiap tahun mengalami kenaikan rata-rata 8% di setiap poliklinik (Hidayat dkk, 2013). Terkait perawat UGD, secara spesifik Werdani dan Yesiana (2016) menjelaskan bahwa peningkatan beban kerja mental perawat dapat berpengaruh pada tingkat kepuasan pasien. Tambahan pula, Mandasari dkk (2014) menyimpulkan bahwa perawat UGD merupakan tenaga medis yang memiliki peran yang krusial karena dipengaruhi oleh tekanan dan tuntutan untuk selalu siap siaga menangani pasien yang tidak dapat diprediksikan jumlahnya. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-324
Analisis Pengukuran Beban Kerja Mental Perawat Unit Gawat Darurat dengan Metode NASA-Task Load Index
Metode NASA (National Aeronautics and Space Administration)-Task Load Index (NASA-TLX) merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis beban kerja mental yang dihadapi pekerja. Beberapa penelitian terdahulu telah menggunakan metode NASA-TLX untuk menganalisis beban kerja mental, antara lain; beban mental dari pekerja di lantai produksi (Muliyadi dan Diniyati, 2016), karyawan housekeeping di hotel (Widjaja dan Aditya, 2011), dan juga perawat umum di Rumah Sakit (Hidayat dkk, 2013). Namun, belum ada yang spesifik mengkaji bagaimana beban mental para perawat yang khusus bertugas di UGD. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menilai pengukuran beban kerja mental para perawat di UGD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beban kerja mental yang dialami oleh perawat bagian UGD dalam melaksanakan pekerjaannya dan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap beban kerja mental perawat UGD.
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Teknik Industri Universitas Muslim Indonesia dengan mengambil responden perawat di Rumah Sakit Angkatan Udara (RS-AU) dr. Dody Sarjoto Makassar. Sebanyak 9 perawat UGD terlibat sebagai responden dan dikhususkan pada perawat yang bekerja di 3 shift, yakni; pagi, siang, dan malam. Pengukuran beban kerja mental menggunakan metode NASA-Task Load Index, metode ini di kembangkan berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran subjektif yang terdiri dari 6 skala faktor yakni Kebutuhan Mental (KM), Kebutuhan Fisik (KF), Kebutuhan Waktu (KW), Usaha (U), Performansi (P) dan Frustasi (F). Langkah-langkah pengukuran beban kerja mental dengan menggunakan Nasa-Task Load Index yakni Pembobotan Hasil Kuesioner, Pemberiang Rating, Menghitung Nilai Indikator, Menghitung Weighted Workload (WWL), Menghitung Rata-rata WWL dan Interprestasi Skor.
III. HASIL PENELITIAN A. Pembobotan Hasil Kuesioner Kuesioner disebar ke perawat UGD sebanyak 9 responden. Data beban kerja mental dengan menggunakan metode NASA-TLX menggunakan 6 indikator yang diukur untuk mengetahui seberapa besar beban kerja mental yang dialami oleh perawat. Indicator tersebut adalah Kebutuhan Mental (KM), Kebutuhan Fisik (KF), Kebutuhan Waktu (KW), Usaha (U), Performansi (P) dan Frustasi (F). Tabel 1 Data Pembobotan Kuesioner No
Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
31 32 27 29 26 30 24 26 24
Jenis Kelamin L L L P P P P P P
KM
KF
KW
U
P
F
Total
4 4 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 2 1 1 3 2 3
2 3 1 5 3 3 2 3 3
1 3 3 4 3 4 3 3 3
2 1 3 1 2 3 2 2 1
3 1 2 1 3 1 2 2 2
15 15 15 15 15 15 15 15 15
B. Pemberian Rating Peringkat (rating), merupakan tahap lanjutan setelah dilakukannya tahap pembobotan. Pada tahap ini peringkat atau rating pada skala 1-100 diberikan untuk setiap indikator sesuai dengan keadaan yang dialami oleh perawat.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-325
Susanti, Pawennari, Afiah, Dahlan, Rauf
No
Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
31 32 27 29 26 30 24 26 24
Tabel 2 Pemberian Rating Indikator KM KF KW U 90 100 80 100 80 100 90 100 100 90 80 100 100 100 90 100 80 90 80 90 100 100 100 100 100 100 90 100 100 100 80 100 100 100 90 100
Jenis Kelamin L L L P P P P P P
P 100 90 70 80 70 90 90 90 70
F 60 50 40 40 80 50 30 50 40
C. Menghitung Nilai Indikator (1) Tabel 3 Hasil Nilai Indikator Indikator
No
Umur
Jenis Kelamin
KM
KF
KW
U
P
F
1 2 3 4 5 6 7 8 9
31 32 27 29 26 30 24 26 24
L L L P P P P P P
360 320 300 300 240 300 300 300 300
300 300 270 200 90 100 300 200 300
160 270 80 450 240 300 180 240 270
100 200 300 300 270 400 300 300 300
200 90 210 80 140 270 180 180 70
180 50 80 40 240 50 60 100 80
D. Menghitung Weighted Workload (WWL) (2) Tabel 4 Hasil WWL Indikator
No
Umur
Jenis Kelamin
KM
KF
KW
U
P
F
1 2 3 4 5 6 7 8 9
31 32 27 29 26 30 24 26 24
L L L P P P P P P
360 320 300 300 240 300 300 300 300
300 300 270 200 90 100 300 200 300
160 270 80 450 240 300 180 240 270
100 200 300 300 270 400 300 300 300
200 90 210 80 140 270 180 180 70
180 50 80 40 240 50 60 100 80
Total 1300 1230 1240 1370 1220 1420 1320 1320 1320
E. Menghitung Rata-Rata WWL Menghitung weighted workload (WWL) bertujuan untuk mendapatkan nilai dari beban kerja mental tiap indikator.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-326
Analisis Pengukuran Beban Kerja Mental Perawat Unit Gawat Darurat dengan Metode NASA-Task Load Index
No
Umur
Jenis Kelamin
1
31
2 3 4 5 6 7 8 9
32 27 Rata-rata 29 26 30 24 26 24 Rata-rata
Tabel 5 Hasil WWL Indikator Total
KM
KF
KW
U
P
F
L
24
20
10,7
6,7
13,3
12
86,7
L L
21,3 20 21,8 20 16 20 20 20 20 19,3
20 18 19,3 13,3 6 6,7 20 13,3 20 13,3
18 5,3 11,3 30 16 20 12 16 18 18,6
13,3 20 13,3 20 18 26,7 20 20 20 20,7
6 14 11,1 5,3 9,3 18 12 12 4,7 10,2
3,3 5,3 6,9 2,7 16 3,3 4 6,7 5,3 6,3
82 82,7 83,8 91,3 81,3 94,7 88 88 88 88,5
P P P P P P
F. Pengkategorian Beban Kerja Mental Pengkategorian penilaian beban kerja mental dalam teori NASA-TLX, terdiri dari lima tingkatan diantaranya. Tabel 6 Skor NASA-TLX Golongan Beban Kerja
Nilai
Sangat Rendah Rendah
0 –20 21–40
Sedang Tinggi Sangat Tinggi
41 – 60 61 –80 81– 100
(Sumber: Hart dan Staveland, 1981)
Berdasarkan kategori dan skala interval diatas maka kita dapat mengklasifikasikan atau memberikan kategori terhadap beban kerja mental masing – masing perawat UGD di Rumah Sakit AU dr. Dody Sarjoto. Adapun pengkategoriannya adalah sebagai berikut :
ID Peserta 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tabel 7 Kategori Penilaian Beban Kerja Nilai Beban Kerja 86,7 82 82,7 91,3 81,3 94,7 88 88 88
Kategori Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi
III. PEMBAHASAN Perawat yang bekerja di UGD merupakan pekerjaan yang berlangsung secara berulang. Dari hasil perhitungan pengukuran beban kerja mental yang telah dilakukan, rata-rata beban kerja mental pada perawat laki-laki sebesar 83,8 maka berdasarkan nilai tersebut, beban mental yang dialami oleh perawat laki-laki termasuk dalam beban kerja sangat tinggi. Hal ini dikarenakan faktor kebutuhan mental (KM) yang mencapai 21,8 yang menjadi faktor SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-327
Susanti, Pawennari, Afiah, Dahlan, Rauf
dominan dalam tingginya beban kerja mental pada perawat laki-laki. Dari hasil penelitian dapat dilihat aktivitas yang membuat perawat terbebani dalam hal kebutuhan mental (KM) yaitu perawat dituntut untuk bekerja secara cepat agar semua pasien dapat dilayani, jumlah pasien dan tingkat keparahan pasien yang tidak dapat diprediksi, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan, adanya tekanan dan tuntutan untuk menyelamatkan pasien baik tuntutan moril, tuntutan pimpinan rumah sakit maupun tuntutan dari keluarga pasien, selaluh dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat serta tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Selanjutnya rata-rata beban kerja mental pada perawat perempuan sebesar 88,5 maka berdasarkan nilai tersebut, beban mental yang dialami oleh perawat perempuan termasuk dalam beban kerja sangat tinggi. Hal ini dikarenakan faktor usaha (U) yang mencapai 20,7 yang menjadi faktor dominan dalam tingginya beban kerja mental pada perawat perempuan. Dari hasil penelitian dapat dilihat aktivitas yang membuat perawat terbebani dalam hal usaha (U) yaitu karena perawat di UGD memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan pelayanan keperawatan untuk pasien, sehingga untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka perawat harus berupaya dalam kerja fisik dan mental. Gabungan kegiatan kerja fisik dan mental perawat dapat menimbulkan suatu beban kerja mental yang cukup berat dan membebani. Aktivitas mental seorang perawat pada penilaian beban kerja mental adalah kemampuan perawat dalam melakukan pekerjaan dengan menggunakan panca indra, kemampuan untuk berfikir, mengingat, menganalisis, membuat kesimpulan bahkan mengambil keputusan dalam hal keperawatan. Dari hasil perhitungan pengukuran beban kerja mental ternyata beban mental yang di rasakan oleh laki-laki lebih rendah dengan nilai rata-rata 83,8 dan untuk perempuan beban mental yang dirasakan lebih tinggi dengan nilai rata-rata 88,5. Hal ini dikarenakan perempuan jauh lebih cemas, khawatir, terjadinya kecemburuan sosial yang lebih tinggi, panik dan gelisah. IV. PENUTUP Dari hasil perhitungan pengukuran beban kerja mental yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata beban kerja mental pada perawat laki-laki sebesar 83,8 maka berdasarkan nilai tersebut, beban mental yang dialami oleh perawat laki-laki termasuk dalam beban kerja sangat tinggi dilihat dari nilai skor beban kerja. Faktor yang paling berpengaruh adalah kebutuhan mental (KM) dengan nilai 21,8.. Untuk perempuan rata-rata beban kerja mental pada perawat perempuan sebesar 88,5 maka berdasarkan nilai tersebut, beban mental yang dialami oleh perawat perempuan termasuk dalam beban kerja sangat tinggi dilihat dari nilai skor beban kerja. Faktor yang paling berpengaruh adalah Faktor usaha (U) dengan nilai 20,7. DAFTAR PUSTAKA Deborah C, Widjaja; Eric, Aditya, 2016, ―Analisis beban kerja (workload) dan kinerja karyawan housekeeping di hotel X Surabaya‖, Jurnal Manajemen Merhotelan, vol. 4, no. 2. Haryani, 2008. Hubungan antara beban kerja dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Islam Surakarta. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta. Hidayat, Fariz; Pujangkoro, Sugiharto; Anizar, 2013. Pengukuran beban kerja perawat menggunakan metode Nasa-Tlx, Jurnal Teknik Industri FT USU Vol.2, No.1, pp. 42-47 Mandasari, Tyagita; Choiris, Mochammad; Sari, Ardia, Ratih, 2014. Analisa beban kerja perawat UGD menggunakan Maslach Burnout Inventory dan Modifikasi Heart. Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya. Muliyadi, Zukri; Diniaty, Dewi, 2016. ―Analisis Beban Kerja Fisik Dan Mental Karyawan Pada Lantai Produksi Dipt Pesona Laut Kuning‖, Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, Vol. 13, No. 2, pp.203 - 210 ISSN 1693-2390 print/ISSN 2407-0939 Togia, 2005. Measurement of Burnout and The Influence of Background Characteristics in Greek Academic Libraries “Library Management. Journal Library. 26, 130-139. Werdani, Wahyu; Dwi, Yesiana, 2016, ―Pengaruh Beban Kerja Mental Perawat Terhadap Tingkat Kepuasan Diruang Rawat Inap Rumah Sakit Swasta Surabaya‖, Jurnal Ners lentera, Vol. 4, No. 2
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-328
Petunjuk Sitasi: Dewi, R. S., Maryani, A., Sudiarno, A., & Moballa, B. (2017). Perancangan Alat Pengering Keripik Samiler Mentah untuk Peningkatan Produktivitas UKM Samijali Surabaya. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B329-334). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Alat Pengering Keripik Samiler Mentah untuk Peningkatan Produktivitas UKM Samijali Surabaya Ratna Sari Dewi(1), Anny Maryani(2) , Adithya Sudiarno(3), Burniadi Moballa(4) Departemen Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kampus ITS, Keputih, Sukolilo Surabaya (4) Jurusan Teknik Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya Jl. Teknik Kimia, Kampus ITS Sukolilo - Surabaya (1) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Keripik Samijali adalah keripik samiler berbahan baku singkong khas Surabaya yang dihasilkan oleh Usaha Kecil Menegah (UKM) di area eks lokalisasi Jarak-Dolly. Gagasan pendirian UKM ini merupakan salah satu solusi untuk masyarakat sekitar akibat penutupan lokalisasi Dolly pada tahun 2014. Keripik Samijali memiliki keunggulan dari kemasan dan rasa yang beraneka (original, keju dan balado), serta mulai dikenal luas. Namun permasalahan dihadapi oleh UKM Keripik Samijali berkaitan dengan proses produksi yang dinilai tidak efektif dan efisien. Teruatama pada proses pengeringan yang memerlukan waktu cukup lama. Mengacu pada permasalahan di atas, maka perlu dilakukan upaya perbaikan agar dapat meningkatkan produktivitas UKM Keripik Samijali. Teknologi tepat guna berupa mesin pengering adalah salah satu solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh UKM penghasil Keripik Samijali. Kata kunci— Alat pengering, inovasi, keripik samijali, teknologi tepat guna, UKM
I. PENDAHULUAN Kawasan Dolly adalah salah satu lokasi eks lokalisasi yang terletak di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Secara tidak langsung, pertumbuhan kawasan Dolly memberikan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar (bukan pelacur dan mucikari). Namun, seiring dengan kebijakan Pemkot terkait penutupan lokalisasi, praktis perekonomian warga sekitar lumpuh drastis terutama pekerjaan warga sekitar sebagai juru parkir, penjual makanan, jasa laundry dan pedagang kaki lima (Arifin, 2014). Sehubungan dengan kebijakan Pemerintah Kota surabaya untuk mengubah wajah Dolly ke hal positif pasca penutupan lokalisasi, banyak kegiatan pengabdian dan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh Pemkot kerjasama dengan LSM swasta atau Dinas terkait. Beberapa usaha kecil dan kreatif yang sudah berkembang sejak ditutupnya kawasan Dolly adalah usaha kerajinan batik, usaha kerajinan sepatu, dan usaha makanan keripik Samijali. Usaha-usaha yang bermunculan merupakan dampak dari pemberdayaan warga setempat baik oleh LSM maupun dinas terkait. Dari beberapa usaha tersebut, salah satu usaha yang semakin diminati dan populer adalah “Keripik Samijali”. Keripik ini diproduksi oleh ibu-ibu PKK di Kelurahan Putat Jaya, dimana rata-rata omsetnya per bulan 7 juta rupiah bahkan pernah juga omset lebih dari 7 juta rupiah saat pesanan sedang ramai. Rasanya yang gurih dan lezat karena dibuat dari bahan-bahan berkualitas menjadikan produk ini cepat diterima dan disukai oleh konsumen ditambah lagi karena nilai sosial yang dibawa Samijali ini “membelisama dengan membantu perubahan positif di eks lokalisasi Dolly”. Namun keberadaan UKM pengolah Keripik Samijali bukan tanpa masalah. Berdasarkan informasi dari GMH (Gerakan Melukis Harapan) LSM yang selama ini mendampingi UKM Keripik Samijali, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah proses produksi yang masih sepenuhnya manual. Kondisi ini menyebabkan proses produksi menjadi lama terutama pada
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-329
Dewi, Maryani, Sudiarno, dan Moballa
proses pengeringan/penjemuran untuk mendapatkan kualitas keripik yang diinginkan. Total waktu penjemuran berkisar 3 sampai 4 hari tergantung kondisi sinar matahari. Berdasarkan kondisi ini, maka untuk menunjang keberlanjutan produksi Keripik Samijali diperlukan peningkatan produksi dalam bentuk jumlah dan kualitas produksi. Salah satu pendukung peningkatan produksi adalah penggunaan teknologi tepat guna. Dalam Impres No 3 tahun 2001 dinyatakan bahwa teknologi tepat guna adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup. Oleh karenanya dalam penelitian ini akan dirancang teknologi tepat guna berupa alat pengering keripik samiler mentah. Karena penelitan masih berlangsung dalam artikel ilmiah ini akan ditampilkan hasil perancangan alat sampai dengan tahap perancangan konsep.
II. METODOLOGI Proses pengembangan produk adalah urutan langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan dimana sutu perusahaan berusaha untuk menyusun, merancang,dan mengkomersialkan suatu produk (Ulrich, 2003). Secara lebih detail metodologi penelitin yang akan diimplementasikan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Mulai
Fase 0 : Observasi lapangan Penentuan tujuan perancangan Identifikasi Kondisi Awal
Fase 1 : Pengembangan Konsep Tahap penelitian saat ini
Fase 2 : Perancangan Tingkat Konsep Fase 3 : Perancangan Rinci Perancangan Alat
Fase 4 : Pengujian Prototipe Fase 4 : Perbaikan Desain
Pembuatan Prototipe
Perhitungan Produktivitas
Selesai
Gambar 1 Diagram alur keseluruhan proses penelitian.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-330
Perancangan Alat Pengering Keripik Samiler Mentah untuk Peningkatan Produktivitas UKM Samijali Surabaya
Identifikasi kondisi awal merupakan fase 0 yang dilakukan dengan metode ethnografi dan pengamatan langsung bertujuan untuk memberikan pemahaman proses lebih teliti, sehingga alat yang akan dirancang benar-benar sesuai dengan kebutuhan UKM Samijali. Pada tahap perancangan alat, dilakukan fase 1 sampai 3 dari langkah-langkah perancangan dan pengembagan produk yang dikemukakan oleh Ulrich (2003). Dimulai dengan fase 1 yaitu mendapatkan konsep alat yang memunginkan, kemudian fase 2 dengan merancang gambar desain konsep, dan fase 3 melakukan perancangan detail. Tahap selanjutnya adalah pembuatan prototipe alat inovasi teknologi tepat guna untuk meningkatkan produksi Keripik Samijali. Kesesuaian ukuran dan mekanisme kerja alat disesuaikan dengan hasil perancangan untuk mendapatkan produk yang ergonomis dan aman digunakan. Guna menjaga kualitas dari alat yang dibuat, maka proses pembuatan produk akan dilakukan pada bengkel alat pertanian yang sesuai. Pada tahap akhir akan dilakukan kajian peningkatan produktivitas dengan digunakan alat pengering.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan metode ethnografi baik dengan wawancara dan pengamatan langsung terhadap objek penelitian (Gambar 2), dapat diketahui langkah demi langkah proses produksi keripik Samijali, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan wawancara dan observasi langsung tersebut juga dapat diketahui bahwa proses pengeringan/penjemuran bahan samiler merupakan operasi yang membutuhkan waktu paling lama. Waktu yang cukup lama ini dikarenakan sampai saat ini para pekerja di UKM Samijali masih mengandalkan tenaga matahari dalam proses pengeringan. Selain waktu yang lama, pengeringan sistem terbuka yang selama ini dilakukan juga mengurangi tingkat kehigienisan bahan baku.
(a)
(b)
Gambar 2 Ethnografi dengan wawancara (a) dan observasi (b). Pemotongan Samiler
Penje muran Samiler
Penggorenga n Samiler
Pendinginan Samiler
Pemotongan Stiker
Pembe rian Bumbu
Penempelan Stiker Kemasan
Penimbangan Samijali
Pengemasan Samijali
Gambar 3 Alur Proses Produksi Keripik Samijali.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-331
Dewi, Maryani, Sudiarno, dan Moballa
Tahap selanjutnya adalah perancangan alat yang dimulai dari Fase 1 pengembangan konsep dan Fase 2 perencanaan tingkap konsep dengan tujuan utama merancang alat pengering yang mampu meningkatkan produktivitas. Dimulai dengan merujuk pada konsep pengeringan. Pengeringan adalah proses pemisahan zat-mudah-menguap secara termal. Pengeringan adalah unit operasi yang paling sering ditemui di berbagai industri. Karena kebutuhan industri yang sangat beragam tersebut, teknologi pengeringan berkembang sedemikian rupa sehingga tersedia beragam alternatif teknologi untuk suatu kebutuhan pengeringan sesuai dengan kondisi proses produksi. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan alternatif desain pengering dalam kasus ini, yaitu: ketersediaan dan biaya sumber energi, ketersediaan tempat, dan biaya modal. Sebagaimana industri rumahan yang lain, akses utilitas UKM Samijali terbatas pada apa yang tersedia di lingkungan perumahan. Kapasitas daya listrik perumahan yang ada paling tinggi hanya 900 W sehingga terlalu kecil untuk menyuplai kebutuhan daya mesin pengering. Oleh karena itu, pilihan untuk menggunakan mesin pengering tipe fluidized bed, dengan pemanas udara elektrik tidak feasible. Mesin pengering yang akan didesain harus menggunakan alternatif sumber energi lain yang lebih murah. Sumber energi lain yang bisa digunakan adalah LPG (Liquefied Petroleoum Gas) dan matahari. Lingkungan perumahan yang digunakan untuk berproduksi sangat padat dengan akses jalan yang sempit. Tidak tersedia tempat yang cukup luas untuk menempatkan mesin pengering. Oleh karena itu, ukuran mesin pengering menjadi faktor pembatas pemilihan alternatif desain. Dengan berbagai latar belakang tersebut, sebagai dasar pemilihan alternatif desain mesin pengering digunakan kondisi atau kriteria sebagaimana dimuat di Tabel 1. No. 1. 2. 3 4 5 6
7 8 9 10
Tabel 1 Kondisi dan kriteria pemilihan alternatif desain Variabel Nilai/Jumlah Bahan bakar/sumber energi LPG atau matahari Volume mesin pengering (maksimum) 2 Luas area ditempati 1 Sistem pengendali manual/tanpa listrik Sistem bongkar muat (loading and manual/tanpa listrik unloading system) Material untuk baki dan bagian-bagian yang berkontak dengan bahan yang food grade steel dikeringkan Kondisi udara sekitar a. temperatur 30 b. kelembapan relatif 70 Kandungan air kerupuk mentah sebelum 20 dikeringkan Kandungan air kerupuk mentah setelah 10 dikeringkan Sustem sirkulasi udara natural convection/gravity flow
Satuan n/a m3 m2 n/a n/a n/a
C % % % n/a
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan evaluasi berbagai alternatif teknologi pengeringan, ditetapkan 2 kandidat yang selanjutnya akan dievaluasi di dalam tahap detail engineering, yaitu: 1. Indirect rotary dryer menggunakan bahan bakar LPG. 2. Passive solar dryer. Passive solar dryer memiliki keunggulan berupa sumber energi yang murah karena menggunakan panas matahari dan biaya modal yang murah karena material konstruksi yang lebih murah. Namun memilki kekurangan berupa penggunaan ruang yang relatif lebih besar dibanding rotary dryer dan ketergantungan terhadap cuaca. Rotary dryer memiliki ukuran yang lebih kecil dan waktu pengeringan yang lebih cepat namun biaya energi dan biaya modal lebih besar. Indirect rotary dryer merupakan varian rotary dryer dengan pemanasan tidak langsung. Pemanasan tidak langsung dipilih karena kontak antara medium pemanas dengan bahan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-332
Perancangan Alat Pengering Keripik Samiler Mentah untuk Peningkatan Produktivitas UKM Samijali Surabaya
dikeringkan akan merusak kualitas bahan. Di dalam kasus ini, kontak antara gas sisa pembakaran LPG dengan kerupuk mentah dikhawatirkan akan merusak kualitas kerupuk/keripik. Skema konsep mesin pengering ini dapat dilihat pada Gambar 4. Mesin ini pada dasarnya terdiri dari sebuah silinder logam dapat berputar yang digunakan untuk memuat kerupuk mentah. Silinder ini dikelilingi oleh sebuah selongsong logam yang terhubung dengan pelik pembakar (burner) di dasarnya. Silinder dapat berputar sedangkan selongsong diam. Gas panas hasil pembakaran dari pelik pembakar akan memanaskan bagian bawah silinder. Di dalam kondisi beroperasi, silinder akan diputar sehingga pemanasan dapat merata ke seluruh permukaan silinder. Kerupuk mentah di dalam silinder akan terpanaskan melalui proses konduksi dan radiasi dari dinding silinder. Sirip-sirip di dalam silinder berfungsi untuk membalik kerupuk mentah dan meratakan proses perpindahan panas ke seluruh permukaan kerupuk.
Gambar 4 Skema indirect rotary dryer.
Dasar silinder didesain berlubang untuk memudahkan sirkulasi udara. Udara panas dengan kelembapan tinggi ke luar dari mulut silinder dan udara sekitar yang berkelembapan dan temperatur lebih rendah dapat masuk lewat lubang di dasar silinder. Puncak selongsong juga didesain berlubang sehingga gas panas dapat bersirkulasi mengelingi silinder dan keluar dari dinding atas. Dengan demikian waktu retensi gas panas di dalam selongsong dapat diperpanjang.dan temperatur dinding silinder yang tidak berkontak langsung dengan api dapat dipertahankan. Desain pengering tenaga surya (passive solar dryer) yang dipilih terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah rak/kabinet yang dilengkapi dengan dinding kaca di bagian depan dan solar absorber di dinding samping dan belakang. Bagian kedua adalah saluran udara yang berfungsi sebagai pengumpul surya (solar collector). Pengumpul surya terhubung dengan dasar kabinet di dinding depan. Bagian ketiga adalah cerobong (chimney) yang terhubung dengan dinding atas kabinet. Pengumpul surya berfungsi untuk menerima dan menyimpan panas dari radiasi matahari. Pengumpul surya juga berfungsi untuk memanaskan udara di dalam salurannya. Udara panas ini akan mengalir ke dalam kabinet secara alami karena perbedaan massa jenis. Udara panas ini berfungsi untuk memindahkan kandungan uap air yang berdifusi dari kerupuk mentah di dalam kabinet. Karena kabinet juga dilengkapi dengan dinding kaca, maka radiasi dari matahari dapat secara langsung memanaskan kerupuk mentah. Cerobong berfungsi untuk melancarkan sirkulasi dan aliran udara. Skema pengering ini dapat dilihat di Gambar 5.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-333
Dewi, Maryani, Sudiarno, dan Moballa
Gambar 5 Passive mixed-mode solar dryer (Ekechukwu, 1999; with modification)
IV. PENUTUP Dalam proses produksi pembuatan keripik Samijali, satu tahapan kritis yang membutuhkan waktu relatif lama adalah proses pengeringan/penjemuran kerupuk mentah sebelum kemudian digoreng. Untuk mempersingkat waktu pengeringan, dalam penelitian ini dirancang sebuah alat pengering yang memanfaatkan bahan bakar LPG atau tenaga matahari. Dua alternatif desain dimunculkan yaitu indirect rotary dryer dan passive solar dryer. Kajian teknis yang lebih rinci selanjutnya akan dilakukan untuk memilih diantara kedua alternatif tersebut yang kemudian akan diwujudkan dalam bentuk prototype. DAFTAR PUSTAKA Arifin, J., 2014, Dampak Sosial Kebijakan, Perencanaan Penutupan Lokalisasi Dolly, Surabaya. Ekechukwu, O.V., & Norton, B., 1999, "Review of solar-energy drying systems II: an overview of solar drying technology", Energy Conversion and Management 40.6, hlm, 615-655. Ulrich, K.T., 2003, Product design and development, Tata McGraw-Hill Education.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-334
Petunjuk Sitasi: Maryani, A., Handayani, F. D., & Prasetyawan, Y. (2017). Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja pada Proses Produksi Trafo. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B335-341). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja pada Proses Produksi Trafo Anny Maryani(1), Faradila Dwi Handayani(2) , Yudha Prasetyawan(3 (1), (2), (3) Departemen Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Kampus ITS Sukolilo (1) [email protected] ABSTRAK Salah satu komponen terpenting di dalam trafo adalah coil. Produk coil dihasilkan melalui dua tahapan yakni proses low voltage (LV) dilanjutkan ke proses high voltage (HV) dimana satu produk coil membutuhkan satu produk coil LV dan satu produk coil HV. Proses produksi coil LV menggunakan mesin LV yang terdiri dari LV Tw (Taiwan) dan LV (1, 2, 3, 5, 6, 7, 8) dengan processing time lebih dari 100 menit dan utilitas mesin rata-rata di atas 80%. Sedangkan proses produksi coil HV menggunakan mesin HV yang terdiri dari Tuboly (1, 2, 3, 4), HV Tw 1, HV Tw 2 dan HV Tw 3 dengan processing time lebih dari 40 menit untuk mesin Tuboly dan lebih dari 65 menit untuk mesin HV Tw serta utilitas mesin rata-rata di atas 70%. Terlihat dari waktu permesinan terdapat perbedaan antara kedua proses. Sehingga diperlukan evaluasi proses produk coil untuk dapat meningkatkan produktivitas. Metode evaluasi yang digunakan adalah peta kerja, yaitu peta tangan kanan dan tangan kiri, serta peta pekerja dan mesin. Perbaikan yang dilakukan adalah menata ulang layout stasiun kerja dan memperbaiki metode kerja dengan menghilangkan, menggabung dan modifikasi tata cara kerja. Didapatkan hasil pada produk coil LV adalah perbakan waktu standar dari 75,3 menit (0,8 unit per jam) menjadi 54,89 menit (1,1 unit per jam). Sedangkan pada produk coil HV didapatkan waktu standar awal adalah 41,87 menit (1,43 unit produk per jam) dan perbaikan menjadi 36,68 menit (1,64 unit produk per jam) Kata kunci— proses produksi, peta tangan kanan dan tangan kiri, peta pekerja dan mesin, waktu standar
I. PENDAHULUAN Transformator (trafo) berperan penting dalam pendistribusian tenaga listrik dengan menaikkan tegangan listrik dari pembangkit listrik untuk didistribusikan dan kemudian trafo lainnya menurunkan tegangan listrik ke tegangan yang dibutuhkan oleh setiap rumah tangga, perkantoran hingga industri. Peningkatan kebutuhan trafo memberikan peluang bagi industri manufaktur produsen trafo. Salah satu produk trafo dengan permintaan tinggi adalah Trafo 100 kVA. Salah satu komponen terpenting di dalam trafo adalah coil. Produk coil dihasilkan melalui dua tahapan yakni proses low voltage (LV) dilanjutkan ke proses high voltage (HV) dimana satu produk coil membutuhkan satu produk coil LV dan satu produk coil HV. Proses produksi coil LV menggunakan mesin LV yang terdiri dari LV Tw (Taiwan) dan LV (1, 2, 3, 5, 6, 7, 8) dengan processing time lebih dari 100 menit dan utilitas mesin rata-rata di atas 80%. Sedangkan proses produksi coil HV menggunakan mesin HV yang terdiri dari Tuboly (1, 2, 3, 4), HV Tw 1, HV Tw 2 dan HV Tw 3 dengan processing time lebih dari 40 menit untuk mesin Tuboly dan lebih dari 65 menit untuk mesin HV Tw serta utilitas mesin rata-rata di atas 70%. Terlihat dari waktu permesinan terdapat perbedaan antara kedua proses. Sehingga diperlukan evaluasi proses produk coil untuk dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses produksi adalah faktor manusia atau operator. Metode kerja yang dijalankan oleh operator sangat mempengaruhi waktu penyelesaian produk coil. Saat ini belum terdapat metode standar yang diikuti oleh seluruh opertor di perusahaan B&D. Sehingga B&D perlu melakukan evaluasi metode kerja operator dalam proses produksi coil, salah satunya dengan menggunakan peta kerja, baik peta kerja setempat maupun keseluruhan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-335
Maryani, Handayani, dan Prasetyawan
Wignjosoebroto (2006) menyebutkan bahwa peta kerja merupakan alat untuk menggambarkan proses kerja secara sistematis dan logis mulai dari tahap awal sampai akhir, sehingga didapatkan informasi mengenai semua proses yang dialami oleh suatu benda kerja. Melalui pemahaman peta kerja ini, akan didapatkan gerakan-gerakan yang tidak sesuai dengan prinsip ekonomi gerakan. Selanjutnya dapat dilakukan usulan perbaikan metode kerja yang ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien). Peta tangan kiri dan tangan kanan/peta operator (operator process chart) merupakan peta kerja setempat yang digunakan untuk menganalisis gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tangan manusia dalam melakukan pekerjaan yang bersifat manual. Peta kerja ini dapat menggambarkan semua gerakan saat bekerja atau saat mengganggur yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri secara cukup lengkap dengan elemen-elemen Therblig yang membentuk gerakan. Melalui peta kerja ini dapat dilakukan analisa gerakan yang tidak efisien dan bertentangan dengan prinsipprinsip ekonomi gerakan (motion economy) dan keseimbangan gerakan yang dilakukan oleh tangan kiri dan tangan kanan. Peta pekerja mesin merupakan peta kerja yang menggambarkan hubungan waktu kerja antara siklus kerja operator dan siklus operasi dari mesin atau fasilitas kerja lainnya yang ditangani oleh pekerja dan mesin ini sering bekerja secara bergantian. Terdapat empat kemungkinan hubungan antara pekerja dan mesin tersebut antara lain : operator bekerja – mesin menganggur (idle), operator menganggur – mesin bekerja, operator bekerja – mesin bekerja, danoperator menganggur – mesin menganggur. Peta kerja ini digunakan sebagai alat analisis untuk mengurangi waktu menganggur sehingga kita dapat menyelidiki, menganalisis dan memperbaiki stasiun kerja manusia dan mesin dengan menyeimbangkan kerja keduanya.
II. METODOLOGI Metodologi penelitian yang digunakan terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama adalah melakukan pengamatan pada proses produksi trafo 100 kVA. Pengamatan dilakukan secara langsung pada operator baik untuk coil LV maupun HV. Operator yang menjadi subyek amatan adalah operator yang memiliki kemampuan standar (rata-rata), memiliki performansi kerja normal, dan memahami proses produksi. Tahap kedua adalah pengambilan data waktu kerja dengan menggunakan stopwatch. Pada proses pengukuran waktu kerja dengan menggunakan stopwatch, maka yang diperlukan adalah formulir pengambilan data yang berisi urutan operasi kerja, elemen kerja serta kolom untuk mengisi lama waktu amatan. Pada proses ini diperlukan perulangan pengambilan data untuk masing-masing elemen kerja. Tahap ketiga adalah pembutana peta kerja tangan kiri dan tangan kanan untuk coil LV serta peta pekerja dan mesin untuk coil HV. Pada proses pembuatan peta kerja ini yang dilakukan adalah menggambarkan stasiun kerja masing-masing produk coil. Selanjutnya menuliskan simbol gerakan therblig yang terjadi lama waktu gerakan pada masing-masing tahapan proses. Pada akhir pembuatan peta tangan kanan dan tangan kiri akan diketahui lama waktu yang diperlukan untuk membuat satu produk. Dari waktu pengataman tersebut dilakukan perhitungan waktu normal, waktu standar dan output standar. (1) (2) ⁄
(3)
Tahap keempat adalah melakukan analisa dari hasil peta kerja. Perhatian khusus ditujukan kondisi delay (menganggur) pada tangan kanan dan tangan kiri. Selain itu juga pada proses yang tidak efektif dan efisien. Tahan kelima adalah melakukan perbaikan metode kerja berdasarkan dari hasil analisa. Alternatif perbaikan yang dilakukan adalah dengan menggabungkan gerakan, mengubah gerakan maupun menghilangkan gerakan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-336
Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja Pada Proses Produksi Trafo
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Produksi Trafo Produk coil merupakan jantung dari transformator (trafo) atau memiliki peran penting dalam transformator. Fungsi produk coil antara lain penyimpan arus listrik dalam bentuk medan magnet, menahan arus bolak-balik/AC, dan meneruskan/meloloskan arus searah/DC. Pengertian coil sendiri merupakan suatu komponen yang tersusun dari beberapa lilitan kawat. Coil transformator pada B&D memiliki dua tahapan proses. Pertama adalah proses low voltage atau LV dengan menggunakan mesin Rectangular. Coil yang diproduksi dari proses LV, dilanjutkan ke proses high voltage atau HV dengan menggunakan mesin Tuboly. Berdasarkan pengataman yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa pada produk coil LV terdiri dari lima lapisan (layer) dengan 69 tahapan proses kerja. Sedangkan pada produk coil HV terdiri dari 20 tahapan proses. Produk coil LV maupun HV menggunakan beberapa material untuk memproduksi coil. Material terebut adalah isolasi dan lem, lead atau paper covered copper wires dengan jenis flat wires untuk wiring coil LH dan enamel cooper wire untuk wiring coil HV, insulation paper, press pan board, duct atau duct insulation pressborad, endpad, electrical crepe paper, dan tube. B. Pembuatan Peta Kerja 1) Pembuatan Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Terdapat dua bagian utama pada peta tangan kanan dan tangan kiri. Bagian pertama adalah kepala peta kerja yang berisi informasi mengenai nama pekerjaan, departemen, nomor peta, metode, pembuat peta, tanggal pembuatan peta dan layout stasiun kerja. Bagian kedua adalah informasi mengenai gerakan dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan gerakan tersebut. Simbol yang digunakan adalah simbol gerakan therblig yaitu memegang atau menggenggam (grasp), melepas (release), membawa (move), menjangkau (reach), apply preasure, mengarahkan atau menempatkan (position), memegang (hold), keterlambatan yang tak terhindarkan (unavoidable delay), dan keterlambatan yang dapat dihindarkan (avoidable delay). Gambar 1 menunjukkan hasil pembuatan peta tangan kanan dan tangan kiri untuk produk coil LV. PEKERJAAN DEPARTEMEN NOMOR PETA METODE DIPETAKAN OLEH TANGGAL GAMBAR:
: : : : : :
PETA TANGAN KANAN DAN TANGAN KIRI PEMBUATAN COIL PRIMER (COIL LV) PRODUKSI COIL 1 KONDISI SAAT INI FARADILA DWI HANDAYANI 9 MEI 2017 E F D Mesin Rectangular
cm
25 c
cm
25cm
45
m
cm
K
J
I
30
cm
40
H
45 cm
50
G
35
cm
45
L
cm
Pekerja 40
cm
80
cm
75
cm
C (meja)
Keterangan: A: Cylinder B: Half duct C: Kertas segitiga dan pressboard D: Band Putih E: Isolasi Bening F: End Pad G: Kotak Lem H: Kotak Isolasi I: Palu Kecil J: Gunting K: Palu Besar L: Isolasi Biru
B
A
NO 1
TANGAN KIRI Menunggu
2
Memegang Cylinder
SIMBOL UD UD RE G G G
WAKTU (d) 0.48 0.70 1.30 0.72 0.72 0.72
SIMBOL RE G M RL RE G
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-337
TANGAN KANAN Mengambil Cylinder Memposisikan tangan ke bagian lain Cylinder
Maryani, Handayani, dan Prasetyawan
3 .... 427
PETA TANGAN KANAN DAN TANGAN KIRI Memindahkan cylinder M 2,00 M Unloading coil LV
G G G G M G M P RL
0.72 0,72 0.72 1,22 1,30 0,72 1,20 2,02 0,72
Memindahkan cylinder
RL RE G AP M G M P RL
Unloading coil LV
Gambar 1 Peta tangan kanan dan tangan kiri coil LV
Berdasarkan peta tangan kanan dan tangan kiri didapatkan waktu pengamatan sebesar 61,77 menit. Selanjutnya dilakukan perhitungan waktu normal dan waktu standar dengan memperhatikan performance rating dan allowance. Performance rating ditetapkan 100% karena pekerjaa dalam kondisi normal (rata-rata) untuk skill, effort, condition dan consistency. Sedangkan allowance 18% adalah personal allowance 2%, basic fatigue 4%, standing allowance 2%, close attention (fine) 2%, motonon (medium) 1%, tedious 2%, dan abnormal position (awkward-bending) 2%.
⁄ Berdasarkan perhitungan di atas, maka operator dapat membuat 6 produk per shift (1 shift – 8 jam). 2) Pembuatan Peta Pekerja dan Mesin Peta pekerja dan mesin merupakan penggambaran aktivitas yang dilakukan oleh operator dan mesin saat proses produksi. Tabel 2 menunjukkan kondisi kerja operator dan mesin pada proses produksi coil HV. Tabel 1 Peta pekerna dan mesin coil HV PETA PEKERJA DAN MESIN : PEMBUATAN COIL SEKUNDER (COIL HV) : MESIN TUBOLY : WAHYU :1 : KONDISI SAAT INI : FARADILA DWI HANDAYANI : 4 MEI 2017 Pekerja Mesin Pekerja Waktu (Detik) Mesin Tuboly Membawa coil ke mesin Tuboly 4,6 Mesin Tuboly dalam keadaan Melakukan pengaturan posisi coil standby 5,86 ke mesin tubolly Menjalankan mesin (pengaturan 17,32 Pengaturan posisi coil posisi coil) Mengencangkan coil dalam Mesin Tuboly dalam keadaan 2,36 cetakan standby
PEKERJAAN NAMA MESIN NAMA PEKERJA NOMOR PETA METODE DIPETAKAN OLEH TANGGAL DIPETAKAN No 1 2 3 4 ... 224 225 226
Membawa coil dengan hoist crane Meletakkan coil ke pallet Memberikan label pada coil
10,28 5,09 1,5
Mesin tuboly dalam keadaan standby
Waktu (Detik) 10,46 17,32 2,36
16,87
Berdasarkan peta pekerja dan mesin didapatkan hasil waktu operasi selama 34,33 menit. Perhitungan waktu norma, waktu standar dan output standar dengan menggunakan performance rating dan allowance yang sama dengan peta tangan kanan dan tangan kiri adalah sebagai berikut : SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-338
Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja Pada Proses Produksi Trafo
(4) (5) ⁄
(6)
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan hasilbahwa operator dapat membuat coil HV sebanyak 11 produk per shift. C. Analisa Peta Kerja 1) Analisa Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Frekuensi gerakan menunggu sering dilakukan oleh tangan kiri maupun tangan kanan. Salah satunya gerakan menunggu adalah menunggu pengaturan mesin. Beberapa permasalahan lain adalah waktu proses produksi coil LV yang memakan waktu yang lama diakibatkan adanya penempatan bahan-bahan material yang tidak rapi dan material tersebar di berbagai sudut atau tempat mesin Rectangular, gerakan yang tidak efisien dilakukan oleh operator. Dengan demikian berdasarkan hasil pemetaan tangan kiri dan tangan kanan menunjukan terjadinya gerakan yang tidak efisien dan dapat dilakukan perbaikan sesuai ekonomi kerja kedepannya. 2) Analisa Peta Pekerja dan Mesin Pekerja mengalami waktu delay sebesar 47.8% atau 16,41 menit sedangkan waktu bekerja sebesar 52,2% atau 17,925 menit. Sedangkan mesin dalam keadaan standby sebesar 33,2% atau 11,4 menit sedangkan waktu mesin beroperasi sebesar 66,8% atau 22,93 menit. Perbedaan waktu mesin beroperasi dan waktu pekerja berbeda dikarenakan ada suatu ketika saat mesin beroperasi yakni dijalankan atau dikontrol (dengan menekan tombol pengaturan) oleh pekerja namun ada saatnya bahwa mesin dapat beroperasi sendiri tanpa bantuan pekerja. Sebaliknya, ada saatnya bahwa mesin dalam keadaan standby sedangkan pekerja sedang melakukan proses produksi seperti melakukan pengeleman, pemasangan kertas layer, dan lainnya. D. Perbaikan Peta Kerja 1) Perbaikan Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Perbaikan yang dilakukan disesuaikan dengan hasil analisa terhadap pembuatan peta kerja. Pada produk coil LV, perbaikan pertama adalah penataan ulang stasiun kerja agar didapatkan tata letak bahan dan peralatan yang mendukung proses kerja efektif dan efisien. Gambar 2 menunjukkan perbaikan layout stasiun kerja produksi coil LV.
Gambar 2 Perbaikan layout stasiun kerja coil LV
Elemen kerja yang dihilangkan contohnya adalah pada elemen kerja no.4 yakni menekan sudut-sudut cylinder dengan menghilangkan gerakan release, reach, grasp, dan melakukan efisiensi gerakan apply preasure tanpa adanya gerakan grasp terlebih dahulu. Selain itu, elemen SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-339
Maryani, Handayani, dan Prasetyawan
kerja yang dihilangkan yakni pada elemen kerja no.47 yakni meletakkan sisa kertas cylinder dan meletakkan gunting secara bersamaan atau dengan gerakan move and release bersamaan antara tangan kanan dan tangan kiri. Sedangkan elemen yang dilakukan perbaikan contohnya adalah elemen kerja no.3 dengan mengambil cylinder. Jarak untuk memindahkan cylinder lebih pendek, yakni semula dari 80 cm menjadi 35 cm. Hal ini meminimalisir gerakan move pada elemen kerja ini dan menghemat tenaga operator untuk berjalan memindahkan cylinder. Selain itu terdapat elemen kerja no.4 dengan elemen kerja menekan sudut-sudut cylinder. Awalnya gerakan yang terjadi pada tangan kiri adalah move, grasp, and grasp sedangkan gerakan yang terjadi pada tangan kanan adalah release, reach, and grasp. Gerakan tersebut diubah menjadi gerakan apply preasure, move, and apply preasure secara bersamaan pada tangan kiri dan tangan kanan. Perubahan gerakan diperlukan karena dapat melakukan efisiensi gerakan dengan langsung melakukan gerakan apply preasure and move langsung dibandingan harus melakukan release, reach, and grasp yang tidak diperlukan. Elemen kerja yang dihilangkan serta diperbaiki bertujuan untuk membuat pekerjaan menjadi lebih efisien dan efektif. Peta tangan kanan dan tangan kiri hasil perbaikan menunjukkan waktu operasi sebesar 45,01 menit. Kemudian perhitungan waktu normal didapatkan 45,01 menit dan waktu standar 54,89 menit per unit (0,91 jam per unit) dan output standar 1,1 unit per jam. Dengan demikian output yang dihasilkan per shift adalah 9 produk coil LV. 2) Perbaikan Peta Pekerja dan Mesin Setelah melakukan analisa peta pekerja dan mesin pada subbab sebelumnya, maka perusahaan B&D berpeluang untuk melakukan perbaikan dalam pekerjaan manual pada proses produksi coil sekunder (HV). Hasil yang didapatkan pada peta pekerja dan mesin adalah waktu bekerja seorang operator sebesar 52,2% sedangkan waktu menganggur seorang pekerja yakni 47,8%. Adanya waktu menganggur yang mendekati atau hampir sama dengan waktu bekerja, perusahaan B&D meningkatkan produktivitas pekerja dengan melakukan perbaikan satu operator dapat menangani dua mesin. Untuk mencapai perbaikan tersebut, maka diperlukan analisa peta tangan kiri dan tangan kanan kondisi saat ini sehingga dapat melakukan efisiensi gerakan-gerakan pada saat proses produksi coil. Elemen kerja yang dihilangkan contohnya adalah pada elemen kerja no.3 yakni mengencangkan coil dalam pressboard dengan menghilangkan gerakan release, reach, grasp, and apply preasure. Dengan menghilangkan gerakan tersebut, dapat mengencangkan coil sekali saja. Sedangkan elemen yang dilakukan perbaikan contohnya adalah elemen kerja no.6 dengan mengambil pressboard. Jarak untuk memindahkan cylinder lebih pendek, yakni semula dari 25 cm menjadi 20 cm. Selain itu, dengan mengganti gerakan yang awalnya hanya menunggu pada tangan kiri menjadi gerakan bersamaan antara tangan kiri dan tangan kanan (release, reach, grasp). Hal ini meminimalisir gerakan move pada elemen kerja ini, menyeimbangkan gerakan tangan kiri dan kanan, serta menghemat tenaga operator untuk berjalan memindahkan cylinder. Hasil perhitungan waktu operasi adalah 30,08 menit. Perhitungan waktu normal adalah 30,08 menit dan waktu standar 36,68 menit. Sehingga didapatkan output standar 1.64 unit per jam atau 13.5 produk per shift.
IV. PENUTUP Berdasarkan analisa peta kerja tangan kiri dan tangan kanan pada proses produksi coil primer (LV), ditemukan tata cara kerja yang tidak produktif dan efisien sehingga nantinya dapat dilakukan perbaikan dengan mengurangi atau mengganti gerakan. Pada proses produksi coil primer (LV), didapatkan waktu standar sebesar 75,3 menit per unit atau 1,26 jam per unit dengan output standard sebesar 6 produk per shift. Sedangkan peta pekerja dan mesin didapatkan hasil bahwa pekerja mengalami waktu delay sebesar 47,8% atau 16,41 menit sedangkan waktu bekerja sebesar 52,2% atau 17,925 menit serta mesin dalam keadaan standby sebesar 33,2% atau 11,4 menit dan waktu mesin beroperasi sebesar 66.8% atau 22,93 menit. Selain itu, waktu standar yang didapatkan sebesar 41,87 menit per unit atau 0,6978 jam per unit dengan output standard sebesar 11 produk per shift. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-340
Perbaikan Metode Kerja Menggunakan Peta Kerja Pada Proses Produksi Trafo
Selain itu, perbaikan yang dilakukan adalah menganalisis peta tangan kiri dan tangan kanan dengan menghilangkan gerakan yang tidak perlu atau tidak efisien serta mengganti beberapa gerakan agar lebih efektif, cepat, dan efisien. Penelitian ini menghasilkan proses produksi coil primer (LV) dan coil sekunder (HV) masing-masing adalah waktu standar sebesar 55 menit dan 37 menit sedangkan output standar sebesar 9 produk per shift dan 13 produk per shift.
DAFTAR PUSTAKA Wignjosoebroto,
S.,
2006,
Ergonomi:
Studi
Gerak
dan
Waktu,
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-341
Surabaya:
Guna
Widya.
Petunjuk Sitasi: Hasan, I., Suparti, E., & W., B. I. (2017). Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang dengan Pendekatan QFD dan Antropometri. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. B342-353). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang dengan Pendekatan QFD dan Antropometri Ismail Hasan(1), Erni Suparti(2) , Bagus Ismail A. W.(3) (1), (2), (3) Program Studi S1 Teknik Industri, FT USB, Surakarta Universitas Setia Budi; Jl. Let. Jend. Sutoyo, Mojosongo 57127, Telp. 0271-852518 (1) [email protected], (2)[email protected], (3) [email protected] ABSTRAK Perusahaan-perusahaan padat karya memberdayakan tenaga fisik manusia. Dalam melakukan aktifitasnya pekerja sering mengalami kelelahan. Hal ini dialami oleh salah satu usaha mikro kecil dan menengah di Gondangrejo yaitu Tikar Tenun Merk SIGMA. Pada perusahaan tersebut terdapat stasiun kerja yang belum memperhatikan dan mempertimbangkan kelayakan dari segi ergonomi yaitu stasiun kerja mihani benang. Pada proses mihani benang operator cepat merasa lelah dan mengalami rasa sakit yang dibuktikan dengan hasil kuesioner Nordic Body Map. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi parameter-parameter yang mampu memberikan kepuasan operator untuk kemudian dijadikan dasar penentuan ukuran teknis dalam proses perancangan ulang alat stasiun kerja mihani benang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rancangan yang ergonomis. Dalam perancangan ulang stasiun kerja mihani benang, metode yang digunakan untuk mengidentifikasi keinginan operator adalah Quality Function Deployment (QFD). Implementasi rancangan perbaikan diwujudkan dalam bentuk desain rancangan dengan menggunakan bantuan software Catia V5R20. Hasil rancangan kemudian di evaluasi dengan cara dibandingkan antara kondisi awal alat pada stasiun kerja mihani benang dengan kondisi setelah perbaikan. Alat yang dirancang mampu memberikan pengeluaran tenaga yang kecil dan tenaga dorong menjadi lebih besar dalam proses penggulungan benang. Kata kunci— Rancang Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang, Quality Function Deployment (QFD), Antropometri
I. PENDAHULUAN Usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya diwujudkan dengan melakukan suatu pekerjaan yang dibagi menjadi pekerjaan yang bersifat mental dan fisik dengan intensitas yang berbeda. Tingkat intensitas pekerjaan yang terlalu tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan kelelahan. Kelelahan ini terjadi pada otot-otot manusia sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Makin berat beban yang dikerjakan dan semakin tinggi frekuensi pergerakan maka kelelahan tersebut akan timbul lebih cepat. Perusahaan-perusahaan padat karya sebagian besar memberdayakan tenaga fisik manusia. Dalam melakukan aktivitasnya pekerja sering mengalami kelelahan dikarenakan sistem kerja yang kurang baik. Hal seperti ini dialami salah satu UMKM di Desa Pancuran, Selokaton, Gondangrejo, Karanganyar yaitu pengusaha tikar tenun merk SIGMA. Stasiun kerja di lantai produksi tikar tenun SIGMA terdiri dari stasiun kerja mihani (penggulungan benang), stasiun kerja tenun, stasiun kerja jahit dan stasiun kerja penggulungan rafia yang mayoritas semua pekerjanya adalah wanita. Dari hasil pengamatan, beban kerja yang paling berat terdapat pada aktivitas atau stasiun kerja mihani benang yang dilakukan oleh satu orang operator wanita dan satu orang operator pria. Pada stasiun kerja ini operator melakukan dua kali proses penggulungan. Proses pertama untuk mengetahui panjang benang kemudian proses kedua digulung kembali ke wadah benang untuk selanjutnya di bawa ke stasiun tenun. Gambar stasiun kerja mihani benang ditunjukkan pada gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-342
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang Dengan Pendekatan QFD dan Antropometri
Gambar 1 Stasiun kerja mihani benang
Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan dengan kuesioner Nordic Body Map yang diberikan kepada operator stasiun kerja mihani benang, diperoleh informasi bahwa operator mengalami keluhan di bagian leher, bahu, siku dan pergelangan tangan baik kanan maupun kiri. Untuk membantu dalam memenuhi keinginan operator agar beban kerja menjadi lebih ringan, maka perlu dirancang alat pada stasiun kerja mihani benang. Perancangan ini dilakukan dengan menekankan pada aspek ergonomis menggunakan metode Quality Function Deployment (QFD). Evaluasi rancangan dalam menurunkan beban kerja dilakukan dengan analisa perbandingan antara kondisi sebelum perbaikan dengan sesudah perbaikan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana rancangan ulang stasiun kerja mihani benang dengan pendekatan Quality Function Deployment (QFD) dan antropometri pada proses produksi pembuatan tikar di UMKM Tikar Tenun merk SIGMA Selokaton, Gondangrejo, Karanganyar. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk merancang ulang stasiun kerja mihani benang pada proses produksi pembuatan tikar di UMKM Tikar Tenun merk SIGMA Selokaton, Gondangrejo, Karanganyar guna memperoleh rancangan yang ergonomis, meningkatkan kenyamanan dan produktivitas kerja.
II. LANDASAN TEORI A. Ergonomi Istilah ergonomi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “ergon” yang artinya kerja dan “nomos” yang artinya hukum atau aturan menurut Oborne (1995). Ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari pengembangan desain kerja yang sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan pekerja serta penyesuaian produk dengan kapasitas dan keterbatasan pengguna produk tersebut. IEA (International Ergonomic Association) mendefinisikan ergonomi sebagai studi ilmiah tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya dilihat dari aspek anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain perancangan. Menurut Pheasent (1991) ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang karakteristik manusia di lingkungan kerja agar tercipta kondisi yang efektif, efisien, aman dan nyaman serta tidak menimbulkan penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan kerja. Salah satu tujuan umum dari penerapan ergonomi yaitu menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, 2004). Penerapan ergonomi berprinsip bahwa manusia memiliki keterbatasan dan karakteristik tertentu sehingga dibutuhkan penyesuaian dari faktor lingkungan dan pekerjaan yang dikenal dengan istilah “fitting the job to the man”. Dengan demikian diharapkan kesehatan dan kesejahteraan manusia dapat meningkat sehingga memberikan kinerja dan hasil yang memuaskan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-343
Hasan, Suparti, Ismail
B. Nordic Body Map Nordic Body Map merupakan salah satu dari metode pengukuran subyektif untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja. Untuk mengetahui letak rasa sakit atau ketidaknyamanan pada tubuh pekerja digunakan body map. Nordic Body Map adalah sistem pengukuran keluhan sakit pada tubuh yang dikenal dengan musculoskeletal. Sebuah sistem muskuloskeletal (sistem gerak) adalah sistem organ yang memberikan hewan (dan manusia) kemampuan untuk bergerak menggunakan sistem otot dan rangka. Sistem muskuloskeletal menyediakan bentuk, dukungan, stabilitas, dan gerakan tubuh. C. Quality Function Deployment (QFD) Definisi QFD menurut Cohen, 1995 (Dikutip dari Sudaryanto, 2015) adalah sebagai suatu metode yang digunakan untuk perencanaan dan pengembangan produk terstruktur yang memungkinkan tim pengembang untuk menentukan kebutuhan dan keinginan konsumen dengan jelas dan mengevaluasi setiap produk yang diinginkan atau juga kapasitas pelayanan yang diberikan secara sistematis agar dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan para konsumen. Strategi QFD yaitu untuk merancang suatu proses sebagai tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan. QFD berusaha untuk menerjmahkan apa yang dibutuhkan pelanggan menjadi apa yang dihasilkan organisasi. Hal ini dilaksanakan dengan melibatkan pelanggan dalam proses pengembangan produk sedini mungkin. Dengan demikian QFD memungkinkan suatu perusahaan untuk memprioritaskan kebutuhan pelanggan, menemukan tanggapan inovatif terhadap kebutuhan, dan memperbaiki proses sehingga tercapai optimasi. Struktur QFD ini biasa digambarkan dalam house of quality (HOQ). Identifikasi voice of customer diidentifikasikan melalui sebuah survey dengan menggunakan kuesioner, berikut beberapa tahapan dan proses dalam identifikasi voice of customer : a. Penentuan Atribut Produk b. Penentuan Tingkat Kepentingan Atribut.
a. b. c. d. e. f. g.
Menurut Anityasari (2011) menyatakan dalam membuat HOQ, urutan paling atas adalah : Membuat matrik kebutuhan atau keinginan pelanggan (whats). Membuat matrik perencanaan. Menentukan respon teknis. Menentukan hubungan respon teknis dengan kebutuhan atau keinginan pelanggan. Menentukan hubungan antar respon teknis. Menentukan prioritas. Melakukan benchmarking dan penetapan target.
D. Antropometri Istilah Antropometri berasal dari kata “antro” yang berarti manusia dan “metri” yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran bentuk, ukuran (tinggi, lebar) berat dan lain-lain yang berbeda satu dengan lainnya. Menurut Nurmianto (2003), antropometri adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia, ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara lebih luas antara lain dalam hal perancangan areal kerja (work station), perancangan alat kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools), perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja, dan perancangan lingkungan fisik. Data antropometri menurut Gunani dkk, 2001 (Dikutip dari Sudaryanto, 2015) yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota tubuh manusia dalam percentile tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat.
III. METODE PENELITIAN
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-344
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang Dengan Pendekatan QFD dan Antropometri
Metodologi untuk merancang ulang stasiun kerja mihani benang adalah sebagaimana ditampilkan pada gambar 2. Mulai
Studi Lapangan
Studi Pustaka
Pengumpulan Data : 1. Voice of Customer - Atribut produk - Tingkat kepentingan - Evaluasi produk - Respon teknis 2. Data antropometri
Pengolahan Data : 1. QFD (Quality Function Deployment) - Tingkat kepentingan - Evaluasi produk - Respon teknis - House of Quality 2. Data Antropometri - Mean & Standar Deviasi - Persentil
Rancangan Perbaikan Evaluasi Rancangan Usulan Kesimpulan dan Saran
Selesai
Gambar 2 Flowchart metode penelitian
Tahap awal pada penelitian ini dilakukan studi lapangan dan studi pustaka untuk memperoleh referensi-referensi yang berkaitan dengan penelitian, sekaligus untuk memperoleh informasi pada kondisi awal stasiun kerja mihani benang. Data yang dibutuhkan dalam penelitian yang pertama berupa data voice of customer, dilakukan dengan cara melakukan wawancara, mengajukan beberpa pertanyaan kepada operator stasiun kerja mihani benang guna mendapatkan pendapat (statement), keinginan maupun kebutuhan operator terhadap rancangan ulang alat stasiun kerja mihani benang. Kedua berupa data antropometri, pengumpulan data antropometri dilakukan dengan cara mengukur dimensi tubuh operator pada stasiun kerja mihani benang dengan bantuan alat ukur berupa meteran bangunan. Pengolahan data voice of customer yang telah didapatkan kemudian dinilai dengan beberapa tahapan yaitu : a. Penilaian tingkat kepentingan b. Menentukan evaluasi produk c. Penentuan respon teknis d. Penyusunan hasil dengan House Of Quality Pengolahan data antropometri dilakukan perhitungan mean, standar deviasi dan persentil yang digunakan untuk menentukan ukuran kursi pada rancangan alat pada stasiun kerja mihani benang berupa tinggi, lebar dan panjang kursi. Kemudian data-data kebutuhan operator diubah menjadi desain dalam gambar menggunakan software Catia V5R20. Hasil rancangan alat pada stasiun kerja mihani di evaluasi dengan cara dibandingkan antara kondisi awal pada alat di stasiun kerja mihani benang dengan kondisi setelah perbaikan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Voice Of Customer
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-345
Hasan, Suparti, Ismail
Pengumpulan voice of customer dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap 4 orang operator yang meliputi 2 orang operator di stasiun kerja mihani benang pada UMKM Tikar Tenun SIGMA, di tambah 2 orang operator masing-masing 1 operator dari mitra UMKM Tikar Tenun AMANAH dan LESTARI yang dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Setelah pertanyaan tersebut diajukan, diperoleh beberapa keinginan untuk perancangan ulang stasiun kerja mihani benang yang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Penentuan atribut produk
B. Penentuan Tingkat Kepentingan Atribut Data hasil rekap rata-rata tingkat kepentingan untuk setiap atribut didapatkan dari hasil penyebaran kuesioner terhadap operator pada stasiun kerja mihani benang. Tabel 2 Data rekap hasil kuesioner
C. Evaluasi Produk Evaluasi Produk hasil dari identifikasi voice of customer yang menghasilkan rata-rata tingkat kepentingan untuk tiap-tiap atribut atau RII (Relative Important Index), dalam tahap selanjutnya akan dilakukan benchmarking antara produk eksisting dengan produk yang akan dirancang. Oleh karena itu, diperlukan penilaian secara subjektif terhadap produk eksisting dan produk yang akan dirancang, dimana nilai produk eksisting yang telah diberikan secara subjektif dijadikan nilai untuk evaluation score, sedangkan nilai untuk produk yang akan dirancang menjadi nilai untuk target value. Tabel 3 Evaluasi produk
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-346
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang Dengan Pendekatan QFD dan Antropometri
D. Objektif Produk Setelah dilakukan evaluasi produk maka selanjutnya dilakukan perhitungan untuk penentuan objektif produk dengan mencari nilai IR (Important Rate), RII (Relative Important Index), Weight, dan % Weight, untuk direkap dalam sebuah tabel 10. dibawah ini : Tabel 4 Objektif produk
E. Penentuan Respon Teknis Pada penentuan respon teknis akan ditentukan respon teknis dari atribut yang ada. Respon teknis merupakan respon yang diberikan untuk menjawab atau mewujudkan atribut dari produk yang ada, dimana setelah hasilnya diperoleh akan dilakukan perekapan didalam tabel 5. dibawah ini :
Kayu
Spon
Plastik
Alas Kursi Plastik
Besi
Kayu
Fiber
Kursi
Besi
Papan Kertas Kayu
Besi
Fiber
Bpb
Pedal Plastik
Bpm
Bpt
Gear & Rantai
Kayu
Gulungan Kecil Besi
Besi
Fiber
Gulungan Besar Kayu
Kayu
Besi
Alumunium
Kerangka
Alumunium
Tabel 5 Respon teknis untuk setiap atribut
Desain Kenyamanan Kualitas Bahan Dimensi dan Bentuk Harga Waktu Proses Kemudahan Penggunaan
F. Matrik Interaksi Setelah respon teknis dan atribut telah didefinisikan maka dapat dibuat matrik interaksi antara respon teknis dengan atribut. Pembobotan dilakukan dengan mengalikan % Weight yang diperoleh dari tabel 6. dan tingkat interaksi. Table 6 Matrik interaksi antar respon teknis dengan atribut
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-347
Hasan, Suparti, Ismail
G. Menyusun House of Quality
Desain Kenyamanan Kualitas Bahan Dimensi dan Bentuk Harga Waktu Proses Kemudahan Penggunaan
Papan Kertas
Kursi
Alas Kursi
3.75 4.75 4 4 4 3.5 4.5
IR
2 2 3 3 3 3 2
4 4 4 4 4 4 3
2 2 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33
RII
3.75 4.75 4 4 4 3.5 4.5
7.5 17.2 9.5 21.79 5.32 12.2 5.32 12.2 5.32 12.2 4.655 10.68 5.985 13.73
H. Hasil Penyusunan House of Quality Dari hasil penyusunan House of Quality didapatkan nilai-nilai disetiap atribut bahan yang akan digunakan untuk perancangan ulang alat pada stasiun kerja mihani benang. Hasil penilaian dari setiap atribut dipilih bahan sebagai berikut : Table 8 Pemilihan bahan alat pada stasiun kerja mihani benang
I. Pengolahan Data Antropometri Data antropometri yang dikumpulkan dan diolah adalah data yang berhubungan dengan perancangan ulang stasiun kerja mihani benang. Pengukuran data antropometri dilakukan dengan bantuan alat ukur meteran bangunan. Data antropometri diambil dari 2 orang operator yang bekerja di stasiun kerja mihani benang.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-348
% Weight
Pedal
Weight
Gear & Rantai
Target Value
Weak relation
Gulungan Gulungan Besar Kecil
Besi Alumunium Kayu Kayu Besi Fiber Besi Alumunium Kayu Bpt Bpm Bpb Plastik Fiber Besi Besi Kayu Fiber Besi Kayu Plastik Spon Plastik Kayu
Medium relation
Kerangka
Customer Importence
Strong relation
Evaluation Score
Table 7 House of Quality (HOQ) perancangan ulang alat stasiun kerja mihani benang
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang Dengan Pendekatan QFD dan Antropometri
Tabel 9 Data antropometri dalam (cm)
J. Pengujian Data Dalam uji ini akan dihitung nilai mean dan standar deviasi. Tabel 10 Rekap hasil perhitungan nilai mean dan standar deviasi
Selanjutnya dilanjutkan dengan perhitungan persentil digunakan untuk perancangan produk. Tabel 11 Rekap hasil perhitungan nilai persentil
K. Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Mihani Benang Merancang ulang alat pada stasiun kerja mihani benang dengan mempertimbangkan data antropometri dan perhitungan persentil yang sudah dihitung sebelumnya. a. Penentuan ukuran kursi 1) Lebar kursi = 31,69 cm p(95) / 2 = 15,845 cm => 20 cm 2) Tinggi kursi = 34,36 cm p(5) 3) Panjang kursi = 37,32 cm p(95) => 40 cm b. Perancangan alat stasiun kerja mihani benang
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-349
Hasan, Suparti, Ismail
Gambar 3 Alat stasiun kerja mihani benang tampak depan
Gambar 4 Alat stasiun kerja mihani benang tampak atas
c. Komponen alat stasiun kerja mihani benang
Gambar 5 Assy total front view
Gambar 6 Assy total top view
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-350
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang Dengan Pendekatan QFD dan Antropometri
Gambar 7 Assy total isometric view Tabel 12 Deskripsi alat stasiun kerja mihani benang
Gambar 8 Alat mihani benang dalam bentuk 3D
L. Evaluasi Rancangan Usulan Berikut ini adalah perbandingan antara kondisi awal sebelum adanya perbaikan dan sesudah adanya perbaikan pada alat stasiun kerja mihani benang, beberapa perubahan rancangan antara lain: 1) Metode Penggulungan Benang Kondisi awal penggulungan benang yang dilakukan adalah memakai tangan dalam pengoperasiannya. Terutama pada proses penggulungan yang kedua, berat yang berlebih tidak memungkinkan pengoperasian memakai satu tangan saja melainkan harus memakai kedua tangan sekaligus. Hal tersebut sangat mengganggu karena memakai energi yang besar untuk memutar tuas handle tersebut. Konsep perbaikan yang diterapkan untuk memudahkan pengoperasian handle tersebut adalah mengganti handle dengan pedal. Proses penggulungan benang memakai tenaga dorongan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-351
Hasan, Suparti, Ismail
kekuatan kedua kaki yang disambung putarannya memakai 2 buah set gear dan rantai sepeda. Tenaga yang diputar akan dibagi menjadi 2 yaitu kaki sisi kanan dan sisi kiri. Dengan begitu pengeluaran tenaga yang dihasilkan akan lebih kecil dan tenaga dorong akan menjadi lebih besar dalam proses penggulungan benang tersebut. 2) Menyediakan Tempat Sheet kertas Pada proses penggulungan benang yang dilakukan, sering terjadi benang mengalami kendur dalalam proses penggulungan. Oleh karena itu operator menambahkan kertas dan diselipkan pada gulungan benang untuk menambah kekencangan yang diharapkan. Ketersedian tempat untuk menaruh lembaran kertas semula berserakan pada lantai. Konsep perbaikan yang diterapkan berupa tempat/wadah lembaran kertas (holder paper) yang disesuaikan dengan ketinggian bahu operator pada saat duduk. Konsep wadah kertas tersebut dapat berputar dengan bantuan bantalan (bearing) yang dipasang pada kerangka (frame) dengan mempertimbangkan segi ergonomi. 3) Membuat poros berputar (lifeshaft) Pada kondisi awal alat mihani benang terdapat 3 buah poros (shaft) yang berfungsi untuk mengencangkan benang saat proses penggulungan ke wadah benang/gulungan kecil (small roll). Ketiga shaft dilas permanen menyatu dengan kerangka (frame). Kondisi tersebut memperberat proses penggulungan benang saat operator memutar tuas handle karena membutuhkan energi yang besar. Untuk mengurangi dan meringankan beban operator saat proses penggulungan maka dibuatlah konsep perbaikan yaitu membuat salah satu poros (shaft) yang berada pada posisi tengah dapat berputar. Berbeda halnya ketika poros (shaft) dibuat 2 atau lebih dapat berputar akibatnya gaya gesek benang pada poros terlalu ringan. Hal tersebut membuat putaran benang terlalu cepat sehingga daya tarik benang menjadi tidak kencang. 4) Membuat sistem pengereman baru Kondisi awal pada proses penggulungan benang menggunakan sistem pengereman dengan menggunakan tali karet yang ditarik dengan spring yang memutar pada gulungan besar (big roll). Kondisi tersebut membuat berat pada proses penggulungan benang yang dilakukan. Konsep perbaikan yang diterapkan yaitu dengan sistem pengereman baru dengan menggunakan spring juga, akan tetapi dengan pemasangan dudukan 2 shaft yang dipasang pada frame yang diubah semula hanya meliputi bagian permukaan atas, sekarang dipasang secara permanen dengan menggunakan paku pada sisi kiri gulungan besar (big roll). Cara kerja pengereman dengan cara spring di putar. Kekuatan yang ditekan pada pengereman karet nantinya bisa diatur dengan menggunakan panjang spring yang bervariasi. Daya tekan tiap spring sebesar 5,5 newton. 5) Menggunakan bantuan roda (wheel) Pada alat stasiun kerja mihani benang semula tidak ada roda pada frame. Ketika operator ingin memindahkan alat tersebut dari satu tempat ke tempat yang lain maka diperlukan minimal 2 orang operator untuk mengangkatnya karena beban alat cukup berat. Melihat beberapa konsep perubahan/perbaikan pada alat stasiun kerja mihani benang, berat alat semakin bertambah. Rancangan perbaikan tersebut memiliki bobot 107,08 kg. Maka dari itu, penambahan roda (wheel) sangat diperlukan pada rancangan alat stasiun kerja mihani benang. Roda tersebut dapat dikunci agar saat proses penggulungan benang alat tidak mudah bergeser. 6) Menambahkan Kursi Konsep perbaikan yang dibuat pada alat stasiun kerja mihani benang menggunakan pedal sebagai media penggerak untuk menggulung benang. Oleh karena itu, penambahan tempat duduk/kursi sangatlah penting dengan mempertimbangkan dari segi antropometri sehingga nyaman digunakan oleh operator. Konsep kursi menggunakan media poros berulir sebagai pengatur tinggi rendahnya kursi. Rentang pengurangan dan penambahan ketinggan dibatasi sebesar 50 cm. Bahan kursi terbuat dari besi hollow yang bersifat kuat dan berat sehingga ketika proses penggulungan benang berlangsung kursi tidak akan mudah bergeser. Biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk membuat rancangan pada alat stasiun kerja mihani benang ini meliputi = Biaya Material + Biaya Produksi + Biaya Beli Stok Jadi = Rp 1.764.660 + Rp 625.130 + Rp 724.000 = Rp 3.113.790 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-352
Perancangan Ulang Stasiun Kerja Mihani Benang Dengan Pendekatan QFD dan Antropometri
V. PENUTUP Berdasarkan dari hasil penelitian dengan metode Quality Function Deployment (QFD) dan Antropometri yang dilakukan dalam perancangan ulang stasiun kerja mihani benang maka diperoleh rancangan alat seperti keterangan sebagai berikut : A. Hasil pemilihan bahan Dari hasil penilaian operator terhadap house of quality pemilihan bahan yang digunakan didapatkan kerangka (frame), gulungan kecil (small roll), gear & rantai (roll chain), papan kertas (holder paper), kursi (work chair) berbahan besi, gulungan besar (big roll) berbahan kayu, pedal berbahan plastik, dan alas kursi berbahan spon. B. Ukuran Rancangan Kursi pada Stasiun Kerja Mihani Benang 1) Tinggi kursi = 34,36 cm 2) Lebar kursi = 20 cm 3) Panjang kursi = 40 cm C. Konsep Rancangan Perbaikan Alat Stasiun Kerja Mihani Benang 1) Metode penggulungan benang, mengganti proses awal yang sebelumnya handle menjadi pedal. 2) Menyediakan tempat sheet kertas (holder paper) dengan pendekatan antropometri. 3) Membuat poros putar (lifeshaft) yang berada pada posisi tengah dari 3 poros (shaft). 4) Membuat sistem pengereman baru (tool brake roll). 5) Menggunakan bantuan roda (wheel). 6) Menambahkan kursi dengan pendekatan antropometri. Berdasarkan hasil rancangan yang dilakukan maka dapat diberikan saran, yaitu : 1. Penelitian yang lebih lanjut dapat dilakukan dengan memberikan usulan rancangan perbaikan berupa penambahan alat penghitung putaran otomatis pada gulungan besar (big roll). 2. Penelitian yang lebih lanjut dapat dilakukan dengan memberikan usulan rancangan perbaikan yang dapat menghasilkan 2 kali lebih banyak output wadah benang/bim/gulungan kecil (small roll) dalam sekali proses.
DAFTAR PUSTAKA Anityasari, M. dkk, 2011, Analisa Kelayakan Usaha, Guna Widya. Cohen, L., 1995, Quality Function Deployment, How to Make QFD Work for You, New York : AddisonWesley. Gunani, S., 2001, Analisis Ergonomi Terhadap Rancangan Fasilitas Kerja Pada Stasiun Kerja Dibagian Skiving Dengan Antropometri Orang Indonesia (Studi Kasus Di Pabrik Vulkanisir Ban), Surabaya : ITS. Nurmianto, E., 2003, Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya : Guna Widya. Oborne, J.D., 1995, Ergonomics at Work - Human Factors in Design and Development, England : John Wiley and Son Ltd. Sudaryanto, A., 2015, Perancangan Case Laptop Multi Fungsi Dengan Pendekatan Quality Function Deployment (QFD) dan Antropometri, Skripsi, Surakarta : USB. Tarwaka, dkk, 2004, Ergonomi Untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktifitas, Surakarta : UNIBA Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu B-353
Petunjuk Sitasi: Atma, S., Soesanto, R. P., Kurniawati, A., & Hediyanto, U. Y. (2017). Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C1-7). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya
Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion Shadila Atma(1), Rayinda Pramuditya Soesanto(2) , Amelia Kurniawati(3) , Umar Yunan Kurnia Septo Hediyanto (4) (1), (2), (3), (4) Telkom University Jl. Telekomunikasi, Buah Batu, Bandung, 40257 (1) [email protected], (2)[email protected], (3) [email protected], (4)[email protected]
ABSTRAK Dalam suatu perusahaan manufaktur, alat-alat ataupun mesin-mesin yang digunakan harus dapat bekerja dalam kondisi yang baik. Banyaknya kegiatan operasional dalam proses produksi menyebabkan kerusakan pada mesin-mesin yang digunakan. Kerusakan pada mesin-mesin tersebut dapat menghentikan proses produksi sehingga perusahaan dapat mengalami kerugian. Saat terjadi kerusakan mesin, perlu dilakukan corrective maintenance agar mesin dapat segera digunakan kembali. Masalah muncul ketika hanya operator maintenance tertentu yang dapat melakukan corrective maintenance pada mesin tertentu. Best practice kegiatan corrective maintenance berdasarkan knowledge yang dimiliki operator maintenance perlu didokumentasikan. Hal ini bermanfaat untuk mempercepat proses corrective maintenance agar tidak hanya bergantung pada operator tertentu, serta mencegah hilangnya knowledge sebagai aset perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang best practice kegiatan corrective maintenance untuk kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P. Perancangan best practice dilakukan dengan knowledge conversion, khususnya metode SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) yang bermanfaat untuk konversi tacit dan explicit knowledge. Pada tahap socialization, dilakukan eksplorasi tacit knowledge dari dua orang operator maintenance. Tacit knowledge tersebut kemudian dieksternalisasikan menjadi bentuk dokumen, dan dikombinasikan dengan explicit knowledge yang telah tersedia di perusahaan. Best practice yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa panduan pelaksanaan yang mudah dipahami dalam melakukan kegiatan corrective maintenance kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P yang terdiri dari urutan pengerjaan, tools yang digunakan dan lain sebagainya. Best practice yang telah dibuat dapat dijadikan pedoman dalam melakukan corrective maintenance mesin Millac 5H 6P. Untuk memudahkan internalization dari best practice tersebut, maka dalam penelitian ini juga dirancang sebuah storyboard yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan konten e-learning. Kata kunci— Best Practice, Corrective Maintenance, Knowledge Management, SECI
I. PENDAHULUAN Dalam suatu perusahaan manufaktur, alat-alat ataupun mesin-mesin yang digunakan harus dapat bekerja dalam kondisi yang baik. PT X merupakan sebuah perusahaan manufaktur yang kegiatan operasionalnya menggunakan mesin machining. Mesin Millac 5H 6P merupakan salah satu mesin yang digunakan di PT X yang memiliki 4 axis, yakni axis X, axis Y, axis Z, dan axis B. Mesin ini juga mempunyai 6 pallet, pallet merupakan sebuah bagian dari mesin yang berfungsi untuk menempatkan fixture material. Fixture merupakan cetakan yang telah didesain sesuai kebutuhan melalui program tertentu. Mesin Millac 5H 6P termasuk ke dalam kategori key facilities sehingga proses maintenance mesin Millac 5H 6P sangat penting dalam mencegah kerusakan maupun memperbaiki mesin jika mengalami kerusakan. Menurut Higgis dan Mobley (2002), maintenance merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-1
Atma, Soesanto, Kurniawati, Hediyanto
agar peralatan selalu memiliki kondisi yang sama dengan keadaan awalnya. Proses corrective maintenance harus disesuaikan dengan jenis kerusakan yang terjadi. Tabel 1 menunjukkan jenis, jumlah, dan umur mesin Millac yang terdapat di perusahaan X. Manufacturer OKUMA & HOWA OKUMA & HOWA OKUMA & HOWA OKUMA & HOWA
Tabel 1 Jumlah Mesin Millac di Perusahaan X. Type Umur Mesin MILLAC-6 VAT 20 tahun MILLAC -4 VA 20 tahun MILLAC -5H 6P 20 tahun MILLAC -6H 20 tahun TOTAL JUMLAH MESIN
Jumlah Mesin 2 Mesin 6 Mesin 4 Mesin 4 Mesin 16 Mesin
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa Mesin Millac 5H 6P telah berumur sekitar 20 tahun, hal ini akan memengaruhi kinerja dari mesin tersebut. Banyaknya kegiatan operasional dalam proses produksi menyebabkan kerusakan pada mesin-mesin yang digunakan, tidak terkecuali mesin Millac 5H 6P. Kerusakan pada mesin-mesin tersebut dapat menghentikan proses produksi sehingga perusahaan dapat mengalami kerugian. Kerusakan yang terjadi adalah mesin tidak dapat mencetak produk atau part sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Setelah diidentifikasi, kerusakan ini dipengaruhi oleh pergerakan axis yang tidak terintegrasi antara satu dengan lainnya. Sumber kerusakan terletak pada bearing yang sudah rusak. Bearing ini terletak pada Axis Z. Oleh sebab itu, dilakukan corrective maintenance pada mesin Millac 5H 6P. Corrective maintenance merupakan kegiatan maintenance yang dilakukan untuk mengatasi kegagalan atau kerusakan yang ditemukan selama masa waktu preventive maintenance. Pada umumnya, corrective maintenance bukan aktivitas maintenance yang terjadwal, karena dilakukan setelah sebuah komponen mengalami kerusakan dan bertujuan untuk mengembalikan kehandalan sebuah komponen atau sistem ke kondisi semula (Ben-Daya, Kumar, & Murthy, 2016). Corrective maintenance perlu dilakukan agar mesin dapat segera digunakan kembali. Masalah muncul ketika hanya operator maintenance tertentu yang dapat melakukan corrective maintenance pada mesin tertentu. Dengan demikian, diperlukan dokumen best practice kegiatan corrective maintenance berdasarkan knowledge yang dimiliki operator maintenance. Hal ini bermanfaat untuk mempercepat proses corrective maintenance agar tidak hanya bergantung pada operator tertentu, serta mencegah hilangnya knowledge sebagai aset perusahaan. Menurut Davenport dan Prusak (2000), knowledge merupakan gabungan dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual yang menyediakan sebuah kerangka untuk melakukan evaluasi informasi dan pengalaman baru. Menurut Frost (2013) knowledge dibagi menjadi dua, yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tacit knowledge merupakan knowledge yang sulit untuk dikomunikasikan baik secara lisan maupun tulisan serta sulit dilakukan transformasi kepada pihak lain, sedangkan explicit knowledge merupakan knowledge yang tertulis, terarsip, tersebar (cetak maupun elektronik) dan bisa digunakan sebagai referensi pembelajaran untuk orang lain secara langsung dan tanpa ambiguitas. Untuk mencegah hilangnya knowledge perusahaan, dibutuhkan pengelolaan knowledge. Knowledge conversion dengan metode SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) merupakan suatu metode untuk melakukan pengelolaan knowledge yang mudah dipahami (Nonaka & Takeuchi, 1995). Dengan melakukan knowledge conversion, dapat dirumuskan dokumen best practice yang mudah dipahami sebagai panduan kegiatan corrective maintenance. Untuk memudahkan dalam memahami best practice tersebut, maka dalam penelitian ini juga dirancang sebuah storyboard yang akan digunakan sebagai pedoman pembuatan e-learning. Best practice yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa panduan pelaksanaan kegiatan corrective maintenance mesin Millac 5H 6P yang terdiri dari urutan pengerjaan, tools yang digunakan dan lain sebagainya. Penelitian sebelumnya terkait best practice untuk kegiatan maintenance adalah penelitian yang dilakukan oleh Andrawina (2014) dan Nurunissa dkk. (2016). II. METODOLOGI Penelitian ini bertujuan untuk merancang best practice kegiatan corrective maintenance untuk kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P dengan menggunakan metode SECI. SECI pertama SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-2
Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion
kali diperkenalkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995). Tahap pertama adalah socialization, Pada tahap ini dilakukan proses mengubah tacit knowledge ke tacit knowledge lainnya. Dalam hal ini knowledge yang dikonversi mengenai proses maintenance yang terjadi pada mesin Millac 5H 6P dan dilakukan melalui proses eksplorasi tacit knowledge dengan dua orang operator maintenance senior. Tahap kedua adalah externalization, pada tahap ini dilakukan pendokumentasian tacit knowledge yang didapat pada tahap socialization. Pada tahap ini didokumentasikan mengenai part-part mesin yang terkait dengan kegiatan corrective maintenance, selain itu juga tools yang digunakan pada kegiatan corrective maintenance tersebut. Selain itu, tacit knowledge yang didapat juga didokementasikan melalui penduan pelaksanaan kegiatan corrective maintenance yang digambarkan dengan alur proses.
Gambar 1 Metode SECI
Tahap selanjutnya adalah combination, Pada tahap ini terjadi proses konversi explicit knowledge menjadi explicit knowledge lain. Hasil pendokumentasian yang didapat dari tahap combination akan dikonfirmasi kembali pada operator maintenance mesin Millac 5H 6P. Selanjutnya jika terjadi kesalahan maupun perbedaan maka akan kembali pada tahap externalization dan dilakukan pendokumentasian ulang. Sedangkan jika sudah tepat, tidak terjadi kesalahan maupun perbedaan, maka explicit knowledge yang didapat akan dilanjutkan yang kemudian akan dilakukan perancangan best practice proses corrective maintenance pada mesin Millac 5H 6P dan aplikasi e-learning. Pada tahap ini dilakukan proses brainstorming dengan dua operator maintenance yang sebelumnya telah didokumentasikan panduan pelaksanaan menurut masing-masing operator. Brainstorming berupa diskusi ini dilakukan untuk mengambil best practice dari setiap proses corrective maintenance yang dilakukan. Tahap selanjutnya adalah internalization, Pada tahap ini terjadi proses konversi explicit knowledge menjadi tacit knowledge. Pada tahap ini best practice telah dibuat dan siap untuk disosialisasikan. Sosialisasi best practice proses corrective maintenance pun dilakukan pada tahap internalization. Setelah best practice berhasil didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah perancangan storyboard. Menurut Yusoff dan Salim (2011) storyboard merupakan gambaran yang dirancang untuk menjadi panduan dalam pembuatan e-learning. Storyboard berisi mengenai materi yang terkait dengan kegiatan corrective maintenance. Best practice menjadi landasan dalam perancangan storyboard yang dilakukan dalam penelitian ini. Pada storyboard diberikan penjelasan mengenai setiap teks, simulasi, gambar, hingga button yang nantinya akan ditampilkan pada e-learning. Untuk melakukan evaluasi mengenai pemahaman setiap operator maintenance mengenai kegiatan corrective maintenance yang telah dibuat, maka dirancang sebuah kuis yang dapat dijawab oleh setiap operator maintenance. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Socialization Pada tahap socialization dilakukan proses mengubah tacit knowledge ke tacit knowledge lainnya. Proses eksplorasi tacit knowledge dilakukan terhadap dua orang operator maintenance senior yang mempunyai pengalaman dalam proses corrective maintenance kerusakan bearing. Proses eksplorasi tersebut membahas mengenai proses corrective maintenance yang dilakukan pada mesin Millac 5H 6P. Eksplorasi ini dilakukan untuk mengetahui detail proses corrective
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-3
Atma, Soesanto, Kurniawati, Hediyanto
maintenance yang terjadi pada mesin Millac 5H 6P. Eksplorasi ini mengidentifikasi tacit knowledge dari tahapan corrective maintenance yang terjadi. B. Externalization Tahap externalization ini dilakukan konversi knowledge dari tacit-to-explicit. Tacit knowledge yang telah didapat pada tahap socialization, dikonversikan menjadi explicit knowledge. Dilakukan pengumpulan dan pendokumentasian hasil eksplorasi terhadap dua orang operator maintenance yang telah dilakukan. Dokumentasi yang didapat mengenai proses corrective maintenance mesin Millac 5H 6P secara jelas beserta tools yang dibutuhkan dalam melakukan maintenance. Nantinya hasil pendokumentasian ini akan digunakan pada tahap berikutnya yaitu tahap combination. Dokumentasi proses corrective maintenance kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P berupa panduan pelaksanaan dari masing-masing operator maintenance yang sebelumnya dilakukan eksplorasi. Pada panduan pelaksanaan ini digambarkan setiap aktivitas yang dilakukan pada kegiatan corrective maintenance. Selain itu, bentuk dari tacit knowledge dan explicit knowledge dari setiap aktivitas, tools dari setiap aktivitas, juga dicantumkan. Berdasarkan eksplorasi yang sebelumnya dilakukan, juga terdapat dokumentasi mengenai part-part mesin yang terkait beserta penjelasannya, tools yang dibutuhkan, dan juga penyebab-penyebab kerusakan bearing yang terjadi pada mesin Millac 5H 6P. Pada tahap externalization ini, dilakukan beberapa kali validasi mengenai panduan pelaksanaan yang telah dirancang sesuai dengan ekplorasi yang dilakukan pada tahap socialization. Panduan pelaksanaan yang dihasilkan pada pendokumentasian ini terbagi menjadi beberapa panduan pelaksanaan. C. Combination Pada tahap combination terjadi proses konversi explicit knowledge menjadi expilicit knowledge lainnya. Hasil pendokumentasian yang didapat dari tahap combination akan dikonfirmasi kembali pada operator maintenance mesin Millac 5H 6P. Selanjutnya jika terjadi kesalahan maupun perbedaan maka akan kembali pada tahap externalization dan dilakukan pendokumentasian ulang. Jika sudah tepat, tidak terjadi kesalahan maupun perbedaan, maka explicit knowledge yang didapat akan dilanjutkan yang kemudian akan dilakukan perancangan best practice proses corrective maintenance pada mesin Millac 5H 6P. Untuk melakukan tahap combination ini, dilakukan kegiatan brainstrorming berupa diskusi dengan kedua operator maintenance yang terlibat. Diskusi ini dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik untuk menjadi landasan kegiatan corrective maintenance mesin Millac 5H 6P. Pada saat brainstorming, terdapat beberapa perbedaan mengenai aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing operator maintenance. Perbedaan ini terjadi karena mesin Millac 5H 6P tersebut sering ditangani oleh operator maintenance 1, sehingga operator maintenance 2 tidak terlalu memahami secara lengkap mengenai karakteristik mesin Millac 5H 6P. Dengan demikian, saat dilakukannya brainstorming, yang lebih tepat dan lengkap banyak diambil dari operator 1. Hal ini dapat dilihat pada yang terdokumentasi pada tahap externalization. Proses combination ini dilakukan beberapa kali validasi mengenai yang paling tepat dalam kegiatan corrective maintenance mesin Millac 5H 6P. Hasil dari tahap combination ini adalah sebuah best practice dalam melakukan corrective maintenance untuk kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P yang berisikan tahapan-tahapan aktivitas. D. Internalization Pada tahap ini terjadi proses konversi explicit knowledge menjadi tacit knowledge. Dilakukan kegiatan sosialisasi mengenai best practice corrective maintenance kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P yang telah dirancang. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan kepada supervisor dan operator maintenance. Supervisor merupakan bagian yang bertanggung jawab pada persetujuan pengadaan dokumen acuan kegiatan corrective maintenance. Pada tahap internalization ini diharapkan operator maintenance dapat memahami rancangan best practice yang telah dibuat dan selanjutnya dapat dipertimbangkan sebagai acuan dalam melakukan kegiatan corrective maintenance kerusakan bearing pada mesin Millac 5H 6P. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan dengan memberikan penjelasan dan gambaran mengenai best practice proses corrective maintenance yang telah dirancang. Keseluruhan best practice dapat dilihat di lampiran A. E. Storyboard Storyboard dirancang berdasarkan hasil best practice kegiatan corrective maintenance kerusakan bearing yang diperoleh dari tahapan externalization. Pada storyboard digambarkan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-4
Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion
setiap alur proses kegiatan corrective maintenance kerusakan bearing yang dilakukan pada mesin Millac 5H 6P. Storyboard dirancang sedemikian rupa agar mudah dimengerti, menarik, dan menggambarkan setiap alur proses corrective maintenance kerusakan bearing secara lengkap dan jelas. Selain alur proses, storyboard juga menggambarkan penjelasan mengenai part mesin beserta fungsinya, tools-tools yang diperlukan untuk melakukan kegiatan corrective maintenance, dan juga terdapat kuis. Kuis terdiri dari 10 pertanyaan yang menyangkut materi yang ada pada rancangan storyboard. Kuis yang diberikan berbentuk pernyataan yang dapat dinilai benar (true) atau salah (false). Nilai dari setiap kuis akan muncul setelah seluruh pertanyaan dijawab. Nilai ini dapat dijadikan acuan sebagai evaluasi pemahaman yang dimiliki oleh operator maintenance menyangkut mesin Millac 5H 6P. Storyboard ini dirancang sebagai acuan dalam pembuatan elearning. Dengan adanya e-learning kegiatan corrective maintenance mesin Millac 5H 6P ini, dapat memudahkan operator maintenance untuk mempelajari tahapan proses corrective maintenance khususnya pada kerusakan bearing mesin Millac 5H 6P. IV. PENUTUP Penelitian ini bertujuan untuk merancang best practice kegiatan corrective maintenance untuk mesin Millac 5H 6P dengan menggunakan metode SECI. Proses perancangan best practice kegiatan corrective maintenance mesin Millac 5H 6P dilakukan melalui tahapan metode SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization). Pada tahap socialization dilakukan wawancara kepada dua orang operator maintenance mengenai proses corrective maintenance yang terjadi pada mesin Millac 5H 6P. Selanjutnya hasil wawancara tersebut didokumentasikan pada tahap externalization. Pendokumentasian tacit knowledge tersebut menggunakan yang dirancang untuk mempermudah memahami alur proses kegiatan corrective maintenance. Dari dua operator maintenance tersebut selanjutnya dilakukan combination untuk mencari best practice kegiatan corrective maintenance yang mudah dimengerti dan dipahami. Best practice ini didapat dari proses brainstorming yang dilakukan dengan dua orang operator maintenance yang telah diwawancara pada tahap sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA Andrawina, L., Kurniawati, A., & Soesanto, R., 2014, "Perancangan Framework Konten E-Learning Pada Kegiatan Maintenance Mesin Berdasarkan Knowledge Conversion Dengan Metode SECI", Jurnal Rekayasa Sistem & Industri, Vol. 1 No.1, hlm. 137-140. Ben-Daya, M., Kumar, U., & Murthy, D., 2016, Introduction to Maintenance Engineering: Modeling, Optimization, and Management, Wiley. Davenport, T., & Prusak, L., 2000, Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know, Boston: Harvard Bussiness School. Frost, A., 2013, Knowledge Management Tools, http://www.knowledge-management-tools.net/knowledgemanagement-systems.html (diakses 22 November 2014). Higgis, L. R., & Mobley, K. R., 2002, Maintenance Machineering Handbook. New York: McGraw-Hill. Nonaka, I., & Takeuchi, H., 1995, The Knowledge-Creating Co mpany. New York: Oxford University Press. Nurunisa, S., Kurniawati, A., Soesanto, R., & Hediyanto, U., 2016, "e-Learning Application for Machine Maintenance Process using Iterative Method in XYZ Company", IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, Vol. 114. Yusoff, N., & Salim, S., 2011, "Investigating cognitive task difficulties and expert skills in e-Learning storyboards using a cognitive task analysis technique", Computers & Education, Vol. 58 No.1, hlm. 652-665.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-5
Atma, Soesanto, Kurniawati, Hediyanto
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-6
Best Practice Kegiatan Corrective Maintenance untuk Kerusakan Bearing pada Mesin Millac 5H 6P Berdasarkan Knowledge Conversion
Lampiran 1. Hasil Best Practice dengan menggunakan Metode SECI Kegiatan Maintenance pada Kerusakan Bearing di Axis Z Mesin Millac 5H 6P Alur Proses
Deskripsi Proses
Tacit Knowledge
Explicit Knowledge
Tools
Start
1
1. Membuka cover bearing pada axis Z
1. Cara membuka cover bearing dan cara menggunakan tools
1. Satu set kunci L dan kunci ring pas
Membuka locknut
2. Membuka locknut yang merupakan pengunci dari bearing
2. Cara membuka locknut dan cara penggunaan tools
2. Palu dan pahat
Membuka spacer
3. Membuka spacer dengan cara menarik spacer ke arah luar
3. Cara membuka spacer dan cara penggunaan tools
4. Membuka ballbearing dengan cara memutar berlawanan arah jarum jam 5. Mengganti ballbearing lama dengan memasang ballbearing baru 6. Memasang kembali spacer yang telah dibuka sebelumnya
4. Cara membuka ballbearing
6. Cara memasang spacer dan cara menggunakan tools
6. Obeng (+) (-)
7. Memasang kembali locknut yang telah dibuka sebelumnya
7. Cara pemasangan locknut dan cara penggunaan tools
7. Palu dan pahat
8. Menutup kembali cover bearing pada axis Z
8. Cara membuka cover bearing dan cara menggunakan tools
8. Satu set kunci L dan kunci ring pas
9. Memasang indicator dial pada head spindle untuk pengukuran pada proses setting backlash
9. Cara menggunakan indicator dial dan memasangnya pada head spindle untuk setting backlash
9. Indicator Dial
10. Memposisikan 0 mm pada indicator dial hingga indicator dial menyentuh axis Z
10. Mengatur letak axis Z hingga berada pada 0 mm di indicator dial
10. Indicator Dial
Membuka cover bearing
2
3
4 Membuka ballbearing 5
Memasang ballbearing baru
6
Memasang kembali spacer
7
Memasang kembali locknut
8 Menutup cover bearing
9
Memasang indicator dial pada head spindle untuk melakukan setting backlash
10
Memposisikan 0 mm dial indicator pada axis Z hingga menyentuh sisi axis Z
11
Menekan tombol origin pada numerical control
Ya
3. Obeng (+) (-)
5. Cara pemasangan ballbearing
11. Menekan tombol origin yang tersedia pada numerical control
A1
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-7
11. Manual Book
11. Indicator Dial
Petunjuk Sitasi: Ginting, E., Tambunan, M., Sari, R. M., & Ginting, L. (2017). Perencanaan Jadwal Perawatan Pencegahaan untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharaan Komponen Bearing 22208 C3. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C8-13). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perencanaan Jadwal Perawatan Pencegahaan untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharaan Komponen Bearing 22208 C3 Elisabeth Ginting (1), Mangara Tambunan (2), Rahmi M.Sari (3),Liasta Ginting(4) (1),(2),(3),(4) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU, Medan 20155 (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] Biaya pemeliharaan merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh banyak perusahaan manufaktur. Laju biaya pemeliharaan erat kaitannya dengan tindakan perawatan yang dilakukan oleh perusahaan. Perawatan merupakan suatu kegiatan pemeliharaan fasilitas pabrik serta mengadakan perbaikan, penyesuaian, atau penggantian agar terdapat suatu kondisi operasi produksi yang sesuai direncanakan. Apabila komponen mengalami kerusakan / kegagalan maka mesin akan menyita waktu untuk perbaikan terlebih lagi bila kerusakan yang terjadi dapat menyebabkan proses produksi berhenti dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Perusahaan XYZ telah menerapakan sistem perawatan korektif dimana tindakan terhadap mesin/peralatan dilakukan apabila mesin/peralatan yang digunakan mengalami kerusakan. Hal ini menyebabkan besarnya laju biaya pemeliharaan karena kerusakan yang terjadi dapat menyita waktu perbaikan yang lama serta menyita waktu produksi. Bearing 22208 C3 adalah salah satu komponen mesin sheeter pada industri karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) yang sering mengalami kerusakan seperti patah ,aus hingga lepas dari komponen mesin .Oleh sebab itu diperlukan perencanaan perawatan pencegahan yang dapat digunakan untuk mendapatkan jadwal perawatan pencegahan pada komponen Bearing 22208 C3 agar dapat meredam laju biaya pemeliharaan.Penentuan jadwal perawatan pencegahan terhadap komponen Bearing 22208 C3 dilakukan dengan menggunakan metode simulasi Monte Carlo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lajubiaya pemeliharaan dapat dikurangi sebesar Rp 108.386 per hari. Kata Kunci : Laju Biaya Pemeliharaan, Pemeliharaan korektif, Jadwal Perawatan Pencegahan, Simulasi Monte Carlo
I. PENDAHULUAN Pemeliharaan terhadap mesin/komponen diperlukan untuk menjaga mesin produksi mampu beroperasi atau berfungsi dengan baik. Kegiatan pemeliharaan pada industri manufaktur berkaitan erat dengan kelancaran proses produksi yang dilakukan. Perusahaan dapat mengalami kerugian yang besar apabila terjadi pemberhentian secara tiba-tiba akibat adanya kerusakan. Kerugian yang timbul meliputi biaya perbaikan, peningkatan biaya langsung dan tidak langsung, serta potensi kerugian kehilangan penjualan dari perusahaan. PT. XYZ telah menerapkan pemeliharaan korektif terhadap komponen Bearing 22208 C3 dimana perawatan terhadap komponen dilakukan jika kerusakan telah terjadi. Akibatnya sering terjadi kerusakan pada beberapa komponen salah satunya adalah komponen Bearing 22208 C3. Semakin sering terjadinya kerusakan pada komponen mesin, dapat membuat laju biaya pemeliharaan semakin besar. Hal ini tentu saja dapar merugikan perusahaan secara finansial. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menentukan jadwal perawatan pencegahan pada komponen kritis mesin. Penentuan jadwal perawatan pencegahan terhadap komponen Bearing 22208 C3 dapat dilakukan dengan menggunakan metode Simulasi Monte Carlo.Penerapan Monte Carlo adalah menggunakan bilangan random sebagai sampel data hisoris yang dibangkitkan dan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-8
Perencangan Jadwal Perawatan Pencegahan Untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharan Komponen BEARING 22208 C3
digunakan dalam proses. Penelitian mengenai perencanaan perawatan pencegahan dengan simulasi Monte Carlo telah dilakukan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Prakoso (2012) yang menerapkan simulasi Monte Carlo dalam rangkaian perbaikan kebijakan perawatan pencegahan di perusahaan produksi continuous soap making. Hasilnya menunjukkan simulasi Monte Carlo dapat digunakan untuk memperoleh interval waktu perawatan sub sub sistem centrifuge yang memiliki laju biaya perawatan pencegahan maksimum, keandalan serta ketersediaan minimum yang disyaratkan oleh perusahaan. Febrianti (2016) telah melakukan penelitian untuk menentukan interval waktu perawatan pencegahan pada peralatan sub unit sintesa unit urea di PT X menggunakan simulasi Monte Carlo yang menunjukkan bahwa dengan interval waktu perawatan pencegahan yang diperoleh dari penelitian dapat menghemat laju biaya perawatan dan kehandalan sub unit meningkat dari keandalan yang dipersyaratkan. Oleh karena itu penentuan jadwal perawatan pencegahan ini penting untuk dilakukan. Adanya jadwal perawatan pencegahan terhadap komponen Bearing 22208 C3 diharapkan dapat menghindari potensial pemberhentian proses produksi akibat kerusakan yang terjadi tiba-tiba. II. METODE PENELITIAN Penentuan waktu perawatan pencegahan optimum dilakukan dengan 3 langkah utama. Langkah-langkah tersebut adalah; 1. Menentukan menentukan distribusi terbaik dari data waktu antar kegagalan (Time to Failure = TTF) dan waktu perbaikan (Time to Repair = TTR) untuk memperoleh parameter kehandalan dan parameter maintainability. 2. Melakukan simulasi pada beberapa nilai tp (waktu perawatan) dengan metode Monte Carlo untuk mendapatkan laju biaya perawatan pada setiap waktu perawatan. 3. Menentukan jadwal perawatan pencegahan berdasarkan laju biaya perawatan. Jadwal perawatan pencegahan optimum adalah tp yang menghasilkan laju biaya pemeliharaan minimum. Langkah pertama adalah memperoleh data waktu antar kegagalan dan waktu perbaikan komponen.Data yang diperoleh selanjutnya diuji untuk menentukan beantuk distribusinya yang sesuai. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh distribusi terbaik waktu kegagalan dan waktu perbaikan adalah distribusi Weibull 3 parameter. Menurut Ebeling (1997), distribusi waktu kegagalan dan waktu perbaikan dimodelkan sebagai berikut: Fungsi Kepadatan Probabilitas distribusi Weibull 3P:
(1) Fungsi keandalannya adalah: R(t) = 1- F(t) = Fungsi distribusi kumulatif (cdf) adalah:
(2)
(3) Langkah kedua adalah melakukan Simulasi Monte Carlo yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Excel untuk menghasilkan random number sebagai pengganti nilai-nilai yang mempunyai distribusi setara dengan populasi data TTF dan TTR komponen mesin yang sebenarnya yang diperlukan untuk memperoleh fungsi laju kerusakan F(t) dan fungsi laju perbaikan M(t). Data random number yang dibangkitkan harus dikonversi ke distribusi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-9
Ginting E, Tambunan MT dan Sari R
nonuniform dengan metode transformasi invers. Transformasi invers (t) dilakukan menggunakan fungsi distribusi kumulatif (cummulative distribution function).
(4) Parameter distribusi waktu kegagalan dan waktu perbaikan yang telah dihasilkan dari langkah pertama digunakan sebagai input pada simulasi Monte Carlo. Model dari simulasi Monte Carlo dapat dijabarkan sebagai berikut: (5) (6) (7) Dengan: r = Subskrip (r) untuk run g = Superskrip (g), indikator gagal s = Superskrip (s), indikator sukses Iis,r = 1; jika ti,r > 𝑇p Iis,r = 0; jika ti,r < 𝑇p Iig,r = 1; jika ti,r < 𝑇p ti,r = Waktu hidup sub sistem (i) Tpmi = Lama waktu perawatan pencegahan sub sistem run (i) Tcmi = Lama perbaikan sub sistem run (i) Topri = lama waktu operasi Tjami = total waktu pada setiap run 𝐶𝑖𝑝 = Biaya perawatan pencegahan sub sistem (i) 𝐶𝑖𝑓 = Biaya perbaikan sub sistem (i) Ci = Laju Biaya Perawatan Langkah ketiga atau terakhir adalah menentukan jadwal perawatan pencegahan optimum yang dipilih berdasarkan hasil simulasi pada beberapa nilai tp yang memberikan laju biaya perawatan minimum.
Seminar Nasional Terpadu Teknik Industri,2017, Universitas Brawijaya – Malang C-10
Perencangan Jadwal Perawatan Pencegahan Untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharan Komponen BEARING 22208 C3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.Penentuan Distribusi Waktu Kegagalan dan Waktu Perbaikan Distribusi terbaik dari data waktu antar kegagalan dan waktu perbaikan komponen Bearing 22208 C3 yang telah dikumpulkan didapatkan dengan menggunakan perangkat lunak Weibull++10. Pada Tabel 1 ditunjukkan parameter keandalan dan maintainability dari komponen Bearing 22208 C3.
Tabel 1. Parameter Keandalan dan Maintainability Bearing 22208 C3 Jenis Shape Distribusi (β)
No
Data
1
Waktu Kegagalan
2
Waktu Perbaikan
Parameter Scale Location (γ) (η)
Weibull3P 9,6285 13,3152 12,2550 Weibull3P
4,8069 0,0891
0,0282
Nilai-nilai parameter yang terdapat pada Tabel 1 dimasukkan pada persamaan (2) dan (3) untuk selanjutnya digunakan pada simulasi Monte Carlo.
3.2.Simulasi Monte Carlo Simulasi dilakukan sebanyak 100 kali. Simulasi dilakukan pada rentang waktu perawatan yang menghasilkan kegagalan sebanyak nol sampai jumlah kegagalan mencapai lebih dari 50 kali dalam setiap pengulangan. Diagram alir simulasi monte carlo dapat dilihat pada gambar 1 Hasil simulasi Monte Carlo pada komponen Bearing 22208 C3 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Simulasi Interval Waktu Perawatan Pencegahan Komponen Bearing 22208 C3 SIMULATION tp (hari) RESULT N=100 Success Failure Cost Rate (Rp/hr)
21 100 0 470.865
22 96 4 447.708
23 88 12 428.618
24 75 25 419.697
25 43 57 441.089
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa interval waktu perawatan pencegahan yang memungkinkan adalah pada selang waktu 21 hari sampai hari ke 25. Simulasi dimulai pada hari ke 21 karena pada interval waktu perawatan ini, komponen bearing 22208 C3 tidak pernah mengalami kegagalan. Sedangkan simulasi berakhir pada hari ke 25 karena pada interval waktu perawatan ini, kegagalan komponen bearing telah mencapai atau melebihi setengah kali dari total operasi yang dijalankan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-11
Ginting E, Tambunan MT dan Sari R
Mulai
· ·
Parameter distribusi waku kegagalan dan waktu perbaikan sub sistem PDF dan CDF distribusi waktu kegagalan dan waktu perbaikan
Penentuan Tp, N
Perhitungan Ti
Apakah Ti > Tp
Tidak
Ya
Perhitungan Tpmi
Perhitungan Tcmi dan Tf
Perhitungan Topr dan Tjam
Perhitungan : · Keandalan R (Tp ), Ketersediaan A ( Tp) · Laju Biaya Perawatan untuk semua Tp Penentuan Tp optimum berdasarkan R ( Tp) , A (Tp ), dan laju biaya minimum
Apakah perlu dilakukan untuk Tp lain ?
Ya
Tidak Selesai
Gambar 1 Diagram Alir Simulasi Monte Carlo 3.3.Penentuan Jadwal Perawatan Pencegahan Optimum Jadwal perawatan pencegahan optimum dipilih berdasarkan waktu perawatan yang menghasilkan laju biaya perawatan pencegahan minimum. Hasil simulasi menunjukkan bahwa laju biaya pemeliharaan dari sistem perawatan korektif direduksi sebesar 16,4% yaitu Rp 108.386/hari. Laju biaya perawatan paling minimum berada pada hari ke 24 dengan total laju biaya perawatan adalah Rp 419.697 per hari. Oleh sebab itu jadwal perawatan pencegahan optimum komponen Bearing 22208 C3 adalah pada hari ke 24. IV. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penelitian adalah komponen jadwal perawatan pencegahan optimum komponen Bearing 22208 C3 adalah 24 hari. Meskipun pada jadwal perawatan pencegahan ini masih terjadi kegagalan namun jadwal ini menghasilkan laju biaya pemeliharaan yang paling minimum disbanding dengan interval waktu perawatan pencegahan lainnya.
Seminar Nasional Terpadu Teknik Industri,2017, Universitas Brawijaya – Malang C-12
Perencangan Jadwal Perawatan Pencegahan Untuk Mengurangi Laju Biaya Pemeliharan Komponen BEARING 22208 C3
DAFTAR PUSTAKA Besterfield, Dale H. Quality Control. College of Engineering Southern Illinois University. Corder, A.S. 1997. Teknik Manajemen Pemeliharaan. Jakarta: Erlangga Febrianti, Wini. 2016. Penentuan Interval Waktu Perawatan Pencegahan pada Peralatan Sub Unit Sintesa Unit Urea di PT X Menggunakan Simulasi Monte Carlo, Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIV. Surabaya: Program Studi MMT-ITS (ISBN : 978-602-70604-3-2) Kakiay, Thomas J. 2004. Pengantar Sistem Simulasi. Yogyakarta: Andi Kapur, K.C., and Michael Pecht. 1997. Reliability in Engineering Design. New York: John Wiley & Sons Manzini, Riccardo. et al. 2010. Maintenance for Industrial Systems. London: Springer Prakoso, Yogi Sapta. 2012. Penentuan Interval Waktu Perawatan Pencegahan Peralatan Centrifuge pada Proses Pembuatan Sabun Mandi Batang dengan Menggunakan Simulasi Monte Carlo, Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVI. Surabaya: Program Studi MMT-ITS (ISBN : 97860297491-5-1) Putri, Eva Listiana, et al. 2013. Usulan Jadwal Perawatan pada Mesin Electric Arc Furnace 5 dengan Simulasi Monte Carlo. Jurnal Teknik Industri, Vol.1, No.4, pp.352-357 (ISSN 2302-495X) Witjaksono, Arief. 2016. Penentuan Interval Waktu Perawatan Pencegahan Pada Peralatan di Medium Pressure Gas Compression Area (Mpgca) di PT Texi Dengan Menggunakan Simulasi Monte Carlo. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIV. Surabaya: Program Studi MMT-ITS (ISBN: 978-602-70604-3-2)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-13
Petunjuk Sitasi: Mustikasari, A., & Pangestuti, D. E. (2017). Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang. Prosiding SNTI dan SATELIt 2017 (pp. C8-13). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya
Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang (1), (2)
Anita Mustikasari(1), Desynta Elina Pangestuti(2) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH. Semarang 50275 (1)
[email protected] ABSTRAK
PT. PLN merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang penyediaan tenaga listrik. Pada PT. PLN terdapat transformator yang berfungsi untuk pendistribusian listrik ke pelanggan. Selama periode Januari 2015 hingga Desember 2016, jumlah gangguan transformator pada area Semarang adalah sebanyak 428 buah. Banyaknya kerusakan transformator ini dapat mempengaruhi kinerja pada saat pendistribusian energi listrik. Sehingga pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai tipe distribusi frekuensi breakdown selama bulan Januari 2015 hingga Desember 2016 dimana didapatkan bahwa distribusi breakdown mengikuti distribusi breakdown case kedua, dalam hal ini transformator termasuk jenis komponen yang cukup kompleks sehingga banyak faktor yang penyebab komponen menjadi breakdown dan sebagai akibatnya waktu breakdown transformator menjadi sulit diprediksi. Tujuan selanjutnya pada penelitian ini yaitu memperoleh alternatif jadwal perbaikan maupun perawatan dengan membandingkan total biaya terkecil antara kebijakan corrective maintenance dan preventive maintenance. Hal tersebut digunakan untuk memperoleh jadwal perbaikan maupun perawatan yang optimal pada transformator. Berdasarkan hasil perbandingan melalui dua kebijakan, didapatkan bahwa jadwal perawatan transformator mengikuti kebijakan preventive maintenance dengan periode waktu setiap 23 bulan. Kata kunci— Transformator
Breakdown,
Corrective
maintenance,
Preventive
maintenance,
I. PENDAHULUAN PT PLN (Persero) merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas dalam bidang penyediaan tenaga listrik. Dalam penyediaan tenaga listrik, PT PLN (Persero) selalu berupaya untuk dapat memperbaharui kinerja dalam pelayanan yang semakin optimal, sehingga kinerja PT PLN (Persero) akan selalu dinilai baik dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Pada PT PLN (Persero) Area Semarang, khususnya bagian Pemeliharaan (HAR), fokus pada pemeliharaan jaringan, monitoring perputaran material, dan evaluasi aset pada lingkup Area Semarang. Pemeliharaan jaringan meliputi pemeliharaan transformator yang menjadi aset PT PLN (Persero). Berdasarkan data gangguan transformator tahun 2015 dan 2016, tidak sedikit transformator yang mengalami kerusakan yang disebabkan karena penyebab internal dan eksternal. Data tahun 2015 menjelaskan bahwa total tranformator yang mengalami gangguan dalam lingkup Area Semarang adalah sebesar 249 buah transformator dan pada tahun 2016 sebesar 179 transformator. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa total gangguan transformator selama periode tahun 2015 dan 2016 adalah sebesar 428 buah transformator. Banyaknya kerusakan transformator dapat mempengaruhi kinerja pada saat pendistribusian energi listrik. Gangguan pada tranformator menyebabkan diperlukannya kebijakan perawatan yang baik serta memadai pada saat digunakan. Kebijakan perawatan terbagi atas preventive maintenance dan corrective maintenance. Preventive maintenance dapat dilakukan dengan membuat penjadwalan perawatan secara periodik, sehingga keadaan mesin dapat dikontrol secara berkala (Fitouhi & Nourelfath, 2012; Jiwantoro, Argo, & Nugroho, 2013). Corrective maintenance SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-14
Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang
merupakan kebijakan perawatan yang dilakukan ketika mesin mengalami suatu kerusakan (Wang, Deng, Wu, Wang, & Xiong, 2014). Kebijakan ini dilakukan hanya ketika suatu mesin mengalami kerusakan dan perlu dilakukan perbaikan. Dalam menentukan kebijakan perawatan yang digunakan oleh PT PLN (Persero) Area Semarang saat ini akan dianalisis menggunakan 2 metode yaitu, metode Preventive Maintenance Policy dan Corrective Maintenance Policy. Pemilihan etode terbaik diharapkan mampu membantu perusahaan dalam menentukan kebijakan perawatan yang terbaik untuk diterapkan. Data yang digunakan adalah data transformator yang mengalami gangguan selama periode Januari 2015 hingga Desember 2016. II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang diperlukan. Data yang dikumpulkan berupa data gangguan transformator PT PLN (Persero) Area Semarang bulan Januari 2015 hingga Desember 2016. Data laporan tersebut mencakup data gangguan transformator yang ada dari 10 rayon meliputi: Rayon Semarang Tengah, Rayon Semarang Barat, Rayon Semarang Timur, Rayon Semarang Selatan, Rayon Kendal, Rayon Demak, Rayon Purwodadi, Rayon Tegowanu, Rayon Weleri, Rayon Boja. Selanjutnya data dari kesepuluh rayon tersebut dirangkum dalam data gangguan tranformator Area Semarang. Data variabel biaya yang dibutuhkan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan untuk material perbaikan, biaya teknisi, dan biaya lainnya yang dibutuhkan. Data gangguan transformator dan biaya ini yang kemudian digunakan sebagai data penelitian yang akan dilakukan pengolahan dan analisis. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuensi breakdown-time yang berbeda, antara lain: 1. Case1, dalan hal ini komponen termasuk jenis yang sederhana, komponen ini cenderung untuk kerusakan (breakdown) setelah runtimenya mendekati nilai rata-rata 2. Case 2, dalam hal ini komponen termasuk jenis yang cukup kompleks (banyak terdapat interacting parts) sehingga banyak penyebab komponen itu breakdown dan waktu breakdownnya sulit diprediksi. 3. Case 3, dalam hal ini komponen harus diberikan perawatan saat awal pemakaiannya sehingga run timenya menjadi lebih lama 4. Case 4, dalam hal ini distribusinya mengikuti bentuk dish-shaped. Dimana probabilitas kegagalannya tinggi pada saat awal pemakaian (infant mortality) dan pada saat dekat dengan akhir umur pemakaian komponen tersebut (old-age-mortality). B.
Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan yaitu meliputi: 1. Menentukan distribusi breakdown transformator dalam kurun waktu bulan Januari 2015 hingga Desember 2016. 2. Menentukan jumlah biaya perbaikan/repair cost (Cr) rata – rata yang terjadi selama kurun waktu bulan Januari 2015 hingga Desember 2016. Perhitungan biaya perbaikan diperoleh dengan menjumlahkan biaya tenaga kerja untuk setiap 1 unit transformator dan biaya material (1) Biaya Corrective Maintenance yang diperkirakan (Sufa & Djunaidi, 2007) (2) [
]
[
][
]
(3)
Untuk menentukan TCr, diperlukan perhitungan rata – rata run time mesin ∑ (4) 3. Menentukan besarnya jumlah biaya perawatan/preventive cost (Cm) Perhitungan biaya preventive maintenance dilakukan dengan menghitung waktu yang diperlukan untuk melakukan perawatan, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, dan biaya ditenaga kerja per jam.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-15
Mustikasari Anita, Desynta Elina Pangestuti
Biaya Preventive Maintenance yang diperkirakan Apabila Preventive Maintenance ditentukan tiap bulan, maka: a. Kumulatif jumlah breakdown dalam n bulan
(5)
(6) b. Jumlah rata – rata breakdown per n bulan (7) c. Perkiraan biaya repair per n bulan (8) d. Perkiraan biaya preventive maintenance per n bulan (9) e. Total biaya maintenance per n bulan (10) 4. Melakukan perhitungan untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dalam melakukan perawatan mesin
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 adalah data gangguan transformator di PT PLN (Persero) Area Semarang pada Januari 2015 hingga Desember 2016. Tabel 1. Data Gangguan Transformator Januari 2015 hingga Desember 2016 No. Bulan Jumlah Trafo Breakdown 1 Januari 2015 18 2 Februari 2015 23 3 Maret 2015 23 4 April 2015 13 5 Mei 2015 32 6 Juni 2015 18 7 Juli 2015 15 8 Agustus 2015 11 9 September 2015 14 10 Oktober 2015 16 11 November 2015 37 12 Desember 2015 29 13 Januari 2016 30 14 Februari 2016 9 15 Maret 2016 18 16 April 2016 23 17 Mei 2016 16 18 Juni 2016 10 19 Juli 2016 10 20 Agustus 2016 10 21 September 2016 13 22 Oktober 2016 20 23 November 2016 9 24 Desember 2016 11 Jumlah 428
A. Perhitungan Biaya Corrective Maintenance Perhitungan biaya perbaikan diperoleh dengan menjumlahkan biaya tenaga kerja untuk setiap 1 unit transformator dan biaya material Dimana : Biaya tenaga kerja saat perbaikan = Rp 6.710.0000 Biaya material = Rp 290.400 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-16
Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang
Sehingga diperoleh biaya corrective sebesar: Cr = Rp 6.710.000 + Rp 290.400 = Rp 7.000.400 / breakdown B.
Biaya Corrective Maintenance yang diperkirakan Biaya yang timbul pada kebijakan corrective maintenance dengan jumlah mesin sebanyak 19108 adalah menentukan TCr, diperlukan perhitungan rata – rata run time mesin ∑
bulan Biaya corrective maintenance yang diperkirakan adalah:
C. Perhitungan Biaya Preventive Maintenance Perhitungan biaya preventive maintenance dilakukan dengan menghitung waktu yang diperlukan untuk melakukan perawatan, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, dan biaya ditenaga kerja per jam. Dimana : waktu untuk perawatan = 2 jam Jumlah tenaga kerja = 2 orang Biaya tenaga kerja = Rp 20.000/jam Sehingga diperoleh biaya perawatan sebesar Cm = 2 jam x 2 orang x Rp 15.000 = Rp 60.000/ mesin D. Biaya Preventive Maintenance yang diperkirakan Perhitungan biaya perawatan dengan metode preventive maintenance adalah sebagai berikut Preventive Maintenance Policy untuk n = 1 Apabila Preventive Maintenance ditentukan tiap bulan, maka: a. Kumulatif jumlah breakdown dalam 1 bulan transformator dalam 1 bulan b. Jumlah rata – rata breakdown per 1 bulan transformator per 1 bulan c. Perkiraan biaya repair per 1 bulan / bulan d. Perkiraan biaya preventive maintenance per 1 bulan / bulan e. Total biaya maintenance per 1 bulan / bulan Dengan menerapkan cara yang sama, maka akan diperoleh hasil evaluasi biaya perawatan pada tiap periode bulan yang berbeda. Hasil perhitungan preventive maintenance policy untuk transformator, disajikan pada Tabel 2
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-17
Mustikasari Anita, Desynta Elina Pangestuti
Tabel 2. Biaya Preventive Maintenance yang diperkirakan untuk Transformator n
Bn
B
TCr (n)
TCm (n)
TMC (n) preventive
1
803,607
803,607
Rp5.625.573.779
Rp1.146.480.000
Rp6.772.053.779
2
1026,832
513,416
Rp3.594.116.581
Rp573.240.000
Rp4.167.356.581
3
1026,832
342,277
Rp2.396.077.721
Rp382.160.000
Rp2.778.237.721
4
580,383
145,096
Rp1.015.728.599
Rp286.620.000
Rp1.302.348.599
5
1428,636
285,727
Rp2.000.204.010
Rp229.296.000
Rp2.229.500.010
6
803,607
133,935
Rp937.595.630
Rp191.080.000
Rp1.128.675.630
7
669,673
95,668
Rp669.711.164
Rp163.782.857
Rp833.494.021
8
491,093
61,387
Rp429.731.330
Rp143.310.000
Rp573.041.330
9
625,028
69,448
Rp486.160.697
Rp127.386.667
Rp613.547.364
10
714,318
71,432
Rp500.051.003
Rp114.648.000
Rp614.699.003
11
1651,860
150,169
Rp1.051.243.585
Rp104.225.455
Rp1.155.469.040
12
1294,701
107,892
Rp755.285.369
Rp95.540.000
Rp850.825.369
13
1339,346
103,027
Rp721.227.408
Rp88.190.769
Rp809.418.177
14
401,804
28,700
Rp200.913.349
Rp81.891.429
Rp282.804.778
15
803,607
53,574
Rp375.038.252
Rp76.432.000
Rp451.470.252
16
1026,832
64,177
Rp449.264.573
Rp71.655.000
Rp520.919.573
17
714,318
42,019
Rp294.147.649
Rp67.440.000
Rp361.587.649
18
446,449
24,803
Rp173.628.820
Rp63.693.333
Rp237.322.154
19
446,449
23,497
Rp164.490.461
Rp60.341.053
Rp224.831.514
20
446,449
22,322
Rp156.265.938
Rp57.324.000
Rp213.589.938
21
580,383
27,637
Rp193.472.114
Rp54.594.286
Rp248.066.400
22
892,897
40,586
Rp284.119.888
Rp52.112.727
Rp336.232.615
23
401,804
17,470
Rp122.295.082
Rp49.846.957
Rp172.142.039
24
491,093
20,462
Rp143.243.777
Rp47.770.000
Rp191.013.777
E.
Analisa Data Breakdown Dalam menentukan sistem maintenance, harus mengetahui probabilitas breakdown mesin yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui tipe dari distribusi frekuensi breakdown pada transformator. Berdasarkan data breakdown, dapat diketahui bahwa probabilitas gangguan transformator selama tahun 2015 hingga 2016 tidak menunjukkan pola distribusi yang jelas.
Probabilitas
Probabilitas Breakdown Transformator pada tahun 2015 - 2016 0.100 0.080 0.060 0.040 0.020 0.000
Probabilitas Kerusakan 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 Periode
Gambar 1. Probabilitas breakdown transformator
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-18
Analisis Kebijakan Maintenance pada Transformator di PT. PLN (Persero) Area Semarang
Pada periode 5 (Mei 2015) menunjukkan probabilitas gangguan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 0.075, kemudian 6 periode berikutnya probabilitas gangguan mengalami kenaikan dan penurunan hingga pada akhirnya pada periode ke 11 (November 2015) mengalami kenaikan probabilitas yang signifikan dari periode sebelumnya. Probabilitas gangguan pada periode 11 (November 2015) adalah sebesar 0.086, dimana pada periode tersebut merupakan periode dengan jumlah gangguan tertinggi. Probabilitas gangguan transformator PT PLN (Persero) tahun 2015 hingga 2016 termasuk pola case 2, dikarenakan waktu breakdownnya sulit untuk diprediksi. Berikut adalah grafik probabilitas breakdown transformator pada tahun 2015 – 2016. F.
Analisa Jadwal Maintenance Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui total biaya masing – masing kebijakan, baik preventive maintenance policy dan corrective maintenance policy. Berikut merupakan perbandingan biaya perawatan Tabel 3 Perbandingan Corrective Maintenance Policy dan Preventive Maintenance Policy Corrective Maintenance Policy Preventive Maintenance Policy Rp 11.763.065.397 Rp172.142.039
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai kebijakan preventive maintenance, dapat diketahui bahwa alternatif penjadwalan yang membutuhan biaya paling kecil adalah preventive maintenance yang dilakukan setiap 23 bulan sekali, yaitu dengan total biaya sebesar Rp172.142.039. Jika dibandingkan antara biaya repair sebesar Rp 11.763.065.397 dan biaya preventive maintenance setiap 23 bulan sekali menunjukkan bahwa biaya preventive maintenance mempunyai biaya yang lebih rendah, maka kebijakan preventive maintenance setiap 23 bulan sekali adalah yang paling optimal. Kebijakan optimal adalah kebijakan yang mempunyai total biaya terkecil. Namun, tidak menutup kemungkinan corrective maintenance diterapkan pada perusahaan jika gangguan transformator tersebut tidak dapat ditangani oleh pekerja IV. PENUTUP 1. Tipe distribusi frekuensi breakdown transformator selama bulan Januari 2015 hingga Desember 2016 mengikuti distribusi frekuensi breakdown case 2, dimana waktu breakdown susah untuk diprediksi. 2. Kebijakan perawatan yang optimal pada transformator adalah kebijakan preventive maintenance yang dilakukan setiap 23 bulan sekali dengan cara mengukur suhu transformator menggunakan termovisi 3. Biaya yang dikeluarkan perusahaan saat menggunakan corrective maintenance adalah sebesar Rp 11.763.065.397 setiap terjadi breakdown pada transformator, sedangkan biaya preventive maintenance setiap 23 bulan adalah sebesar Rp 172.142.039.
DAFTAR PUSTAKA Fitouhi, M.-C., & Nourelfath, M. (2012). Integrating noncyclical preventive maintenance scheduling and production planning for a single machine. International Journal of Production Economics, 136(2), 344-351. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijpe.2011.12.021 Jiwantoro, A., Argo, B. D., & Nugroho, W. A. (2013). Analisis Efektivitas Mesin Penggiling Tebu dengan Penerapan Total Productive Maintenance (In Press, JKPTB Vol 1 No 2). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, 1(2). Sufa, M. F., & Djunaidi, M. (2007). Usulan interval perawatan komponen kritis pada mesin pencetak botol (mould gear) berdasarkan kriteria minimasi downtime. Wang, Y., Deng, C., Wu, J., Wang, Y., & Xiong, Y. (2014). A corrective maintenance scheme for engineering equipment. Engineering Failure Analysis, 36, 269-283. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.engfailanal.2013.10.006
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-19
Petunjuk Sitasi: Yola, M., Nurainun, T., & Pane, Y. N. (2017). Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu untuk Meningkatkan Jumlah Produksi dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C20-26). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu untuk Meningkatkan Jumlah Produksi dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing (1), (2), (3)
Melfa Yola(1), Tengku Nurainun(2), Yuyun Novinda Sari Pane(3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sultan Syarif Kasim Riau Jl. HR. Soebrantas No. 155 Simpang Baru, Panam, Pekanbaru, 28293 (1) [email protected] ABSTRAK
Lean Manufacturing telah banyak diikuti oleh berbagai Perusahaan di dunia dalam beberapa tahun terakhir terutama yang ingin fokus pada peningkatan efisiensi operasi dengan menghilangkan pemborosan. Value Stream Mapping (VSM) adalah salah satu tool dalam lean manufacturing yang menampilkan seluruh arus informasi mulai dari material sampai dengan proses produksi. Paper ini menampilkan pemanfaatan alat VSM, untuk mengurangi cycle time proses pembuatan Kursi Tamu sehingga dapat meningkatkan Jumlah Produksi. Eliminasi seven waste digunakan guna mereduksi cycle time proses. Dari pengambilan data yang dilakukan didapat total kegiatan Non Value Added sebesar 1.565 detik. Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian
dilakukan dengan mengadakan perbaikan terhadap suatu keadaan terdahulu Perbaikan dan perancangan alat kerja diusulkan untuk mereduksi Cycle Time produksi. Evaluasi dilakukan dengan perhitungan takt time dan metode Value Stream Mapping. Cycle time berkurang dari 11.544 detik menjadi 5.612 detik sehingga jumlah produksi yang semula hanya 24 produk kursi tamu perminggu dapat menjadi 36 produk setiap minggunya. Kata kunci— lean manufacturing, value stream mapping, seven waste, takt time.
I. PENDAHULUAN Perkembangan industri jasa dan industri manufaktur semakin hari semakin berkembang pesat. Hal ini memicu industri jasa dan manufaktur untuk terus meningkatkan hasil produksinya, baik dalam segi kualitas atau pelayanan terhadap konsumen. Oleh karena untuk mampu bersaing merebut pasar yang ada, perusahaan harus memiliki strategi yang baik untuk mempertahankan kelangsungan perusahaannya, mempertahankan eksistensinya di kalangan masyarakat serta memberikan kepuasan terhadap konsumen Penelitian dilakukan di salah satu perusahaan kayu nasional yang memproduksi meubel/furniture. Perusahaan ini menganut sistem make to order dimana perusahaan akan beroperasi (produksi) jika ada pesanan. Sebagai industri yang menganut sistem make to order perusahaan ini dituntut harus menyelesaikan pesanan tepat pada waktu yang telah disepakati. Namun permasalahannya, industri ini memiliki Due date yang kurang baik, sehingga beberapa order terpaksa dibatalkan karena perusahaan tidak sanggup memproduksi produk lagi. Keterlambatan ini disebabkan karena operator banyak melakukan kegiatan Non Value Added. Salah satu cara/metode yang dapat melihat alur kegiatan dan bertujuan untuk memetakan alur produksi dan informasi adalah dengan menggunakan Value Stream Mapping (VSM). VSM merupakan salah satu konsep dalam lean manufacturing yang dapat digunakan untuk melihat dan mengidentifikasi kegiatan yang dilakukan dalam perusahaan Berdasarkan Value stream mapping awal yang telah dibuat pada Gambar 1 untuk menggambarkan keseluruhan aliran material dan informasi proses produksi kursi tamu, terlihat bahwa Cycle time pada stasiun pemotongan sebesar 7,0795 menit dan pada stasiun ketam siku sebesar 17.8772 menit. Perbedaan Cycle time yang cukup besar, tentunya hal ini menyebabkan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-20
Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu Untuk Meningkatkan Jumlah Produksi Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing
Manager Produksi
Pengadaan
Pemasaran Customer
Supplier
Shop Floor Supervision
182 s
Storage
Proses Pengukuran
Stasiun Pemotongan 0s
CT = 280,85 s Tools = Penggaris
Stasiun Ketam Siku 32 s
CT = 424,77 s Mesin Potong = 1
Stasiun Pengepresan 87 s
CT = 1072,62 s Mesin Ketam Siku = 1
Stasiun Belah 54 s
CT = 1352,46 s Mesin Press = 1
122 s CT = 1513,46 s Mesin Belah = 1
Stasiun Bor dan Perakitan CT = 11544, 38 s Mesin Bor = 1
Shipping
CT = 11544,38 s
Gambar 1 Value Stream Mapping Awal
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-21
Yola, Nurainun dan Novinda Sari
terjadinya penumpukan material (bottle neck) di stasiun ketam siku. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah terjadi pada stasiun ketam siku, begitu juga pada stasiun kerja lainnya. Cycle time terbesar terjadi pada stasiun bor dan perakitan, hal ini disebabkan karena proses perakitan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan prosesproses lainnya. Selain itu stasiun yang memiliki Cycle time tertingggi berikutnya adalah stasiun belah dengan Cycle time sebesar 25,2243 menit stasiun ini menjadi salah satu fokus penelitian untuk dilakukannya perbaikan. Permasalahan lainnya yang terlihat pada value stream mapping adalah jarak storage dengan stasiun kerja yang cukup jauh sehingga perlu waktu transportasi yang cukup lama untuk memindahkan material, hal ini menyebabkan waktu proses produksi menjadi lebih lama. II. METODOLOGI Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian untuk mengadakan perbaikan terhadap suatu keadaan terdahulu. Penelitian dilaksanakan di Industri Kayu yang memproduksi furniture. Objek pada penelitian ini adalah Kursi Tamu, dikarenakan ini adalah produk yang paling banyak dikerjakan perusahaan. Perusahaan memproduksi berdasarkan job order. Langkah awal penelitian yang dilakukan adalah melakukan survei pendahuluan pada lantai produksi, untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan proses produksi pembuatan Kursi Tamu. Aktivitas yang dilakukan dalam tahap awal ini adalah mengamati situasi dan kondisi yang terjadi di perusahaan saat ini serta melakukan wawancara dengan pihak perusahaan mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Value stream mapping diperlukan sebagai tahap awal sebelum melakukan analisis terjadinya waste dalam proses produksi untuk memberikan pemahaman mengenai proses produksi secara keseluruhan beserta aliran nilai (aliran informasi dan fisik) yang terdapat didalamnya. Tahap identifikasi waste diperlukan untuk mengetahui waste apa saja yang terjadi dari proses produksi Kursi Tamu sebagai dasar untuk membuat rancangan perbaikan. Selanjutnya tahap analisis penyebab waste. Tahap ini menjelaskan secara lebih detail dan terperinci mengenai waste yang terjadi dan penyebabnya. Tahap akhir dilakukan perancangan alat yang dapat mempercepat waktu cycle time proses produksi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Stasiun Pengepresan
Mesin Belah
Stasiun Pengeboran dan Perakitan
Stasiun Ketam Siku
Stasiun Pemotongan
Stasiun Pemotongan
A. Identifikasi Seven Waste Tabel 1 Data Waktu Kegiatan-kegiatan Non Value Added Setiap Stasiun. Waktu No No Kegiatan Kegiatan (Detik) 1 Memindahkan material 21 1 Memindahkan material Mencari dan megambil alat 2 13 2 Membersihkan tangan ukur 3 Menghitung material 6 3 Set up mesin 4 Berbicara 5 4 Mencari dan mengambil tools 5 Berjalan / Mondar-mandir 6 5 Membersihkan mesin 6 Melepas baju 6 6 Membersihkan sisa skrup 1 Memilih material 7 7 Periksa ketebalan material 2 Berbicara 8 1 Mengatur posisi lebar material 3 Berjalan/mondar-mandir 24 2 Set up mesin 4 Set up mesin 122 3 Berjalan/mondar-mandir 5 Membersihkan sisa skrup 5 4 Memilih material 6 Berjalan / Mondar-mandir 7 5 Memeriksa lebar material 1 Merokok 76 1 Berjalan ke dapur 2 Berjalan / Mondar-mandir 12 2 Merapikan area kerja 3 Berjalan ke dapur 63 3 Mencari dan mengambil dempul 4 Berbicara 5 4 Mengambil bor 5 Set up mesin 152 5 Menyiapkan paku 6 Memilih material 6 6 Memilahposisi pengeboran material 7 Menyeimbangkan material Rapatkan landasan ke 7 13 mesin 8 Mengambil bor berulang-ulang TOTAL 1565
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-22
Waktu (Detik) 19 39 82 65 37 43 8 57 189 32 11 7 71 117 42 54 36 6 35 58
Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu Untuk Meningkatkan Jumlah Produksi Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing
Tabel 1 memperlihatkan kegiatan Non Value Added yang ada di setiap stasiun. Nampak bahwa dari total enam stasiun kerja, terdapat 39 kegiatan non value added. Total 39 kegiatan tersebut memiliki total waktu sebesar 1565 detik, atau setara dengan 26,0833 menit. B. Usulan Perbaikan untuk Mengurangi Kegiatan Non Value Added
Penelitian ini memberikan beberapa usulan perbaikan untuk menghilangkan kegiatan non value added, yaitu : a. Solusi Perbaikan untuk proses mencari dan mengambil alat ukur/Tools
(a)
(b) Gambar 2 Rancangan Cabinet Tools
Proses mencari peralatan (tools) dapat dihilangkan dengan menggunakan usulan pada Gambar 2, dengan menggunakan cabinet tools , sehingga tools yang ada pada lantai produksi akan di letakkan di satu tempat yang rapi, dan proses mencari peralatan dapat di eliminasi sehingga mengurangi waktu cycle time. b. Solusi untuk proses pengukuran ulang
(a)
(b) Gambar 3 Rancangan Meja Ukur
Operator yang menggunakan meja ukur pada Gambar 3 ini dapat melakukan dua proses pengukuran menjadi satu proses pengukuran saja, dimana meja ukur ini berfungsi untuk mengukur ketebalan dan lebar material dalam satu waktu. Meja ini dapat menjadi solusi pengukuran secara berulang, sehingga kegiatan non value added dapat berkurang. c. Solusi untuk merapatkan landasan ke mesin (meja bergeser)
Gambar 4 Mesin Ketam
Gambar 4 merupakan rancangan mesin ketam siku yang disatukan dengan meja tumpuan kerja. Pada saat proses produksi berlangsung operator kerap kali merapatkan meja landasan ke mesin, hal ini merupakan kegiatan non value added yang harus segera diatasi, cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan merapatkan meja ke mesin kemudian di SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-23
Yola, Nurainun dan Novinda Sari
paku dan diperkuat dengan mur dan baut. Dengan dilakukan usulan ini, maka tidak perlu ada proses merapatkan meja landasan ke mesin. Tabel 2 menunjukkan bahwa dengan solusi yang diberikan bisa mengurangi kegiatan NVA sehingga mengurangi cycle time proses produksi. Tabel 2 Rekapitulasi Kegiatan yang Sudah di Eleminasi WAKTU KEGIATAN NO (DETIK) Stasiun Pengukuran 1 Memindahkan material 21 2 Mencari alat ukur 13 3 Menghitung material 6 4 Berbicara 5 Berjalan / mondar5 6 mandir 6 Melepas baju 6 Stasiun Pemotongan 1 Memilih Material 7 2 Berbicara 8 3 Berjalan/mondar-mandir 31 Stasiun Ketam Siku 1 Merokok 76 Berjalan / mondar2 12 mandir 3 Berjalan ke dapur 63 4 Berbicara 5 5 Memilih material 6 Stasiun Pengepresan 1 Mencari tools 65 2 Membersihkan mesin 43 Periksa ketebalan 3 57 material Stasiun Belah Berjalan / mondar1 32 mandir 2 Memilih Material 11 Memeriksa lebar 3 7 material Stasiun Perakitan dan Pengeboran 1 Berjalan ke dapur 71 2 Merapikan area kerja 117 3 Mencari dempul 42 4 Mencari bor 54 5 Menyiapkan paku 36 TOTAL 800
Dengan melakukan identifikasi Seven Waste kegiatan-kegiatan non value added berkurang 800 detik dari sebelumnya 1565 detik. C. Value Stream Mapping dan Takt Time Setelah melakukan identifikasi seven waste, tahap selanjutnya adalah membuat value stream mapping, Gambar 1 adalah value stream mapping awal sebelum dilakukan perbaikan. Value steam mapping awal menunjukkan bahwa cycle time pembuatan produk kursi tamu pada pengetaman kayu Karya Baru 11544 detik, sedangkan lead time pembuatan kursi tamu perusahaan adalah 8400 detik untuk setiap produknya. Terlihat perbedaan yang cukup besar antara cycle time dengan lead time, hal ini disebabkan oleh lantai produksi perusahaan yang kurang baik, masih banyak terjadi kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah selama proses produksi pembuatan kursi tamu berlangsung. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-24
Pengurangan Cycle Time Pembuatan Kursi Tamu Untuk Meningkatkan Jumlah Produksi Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Manufacturing
(1) Jam Kerja dalam Sehari = 8 jam Jam Kerja dalam seminggu = 8 x 7 = 56 jam Jadi, Takt time Perusahaan = = 2.33 jam = 140 menit = 8400 detik per produk.
Gambar 5 Grafik Perbandingan Takt Time dengan Cycle Time Sebelum Perbaikan
Setelah dilakukan perbaikan, cycle time setiap stasiun pada pengetaman kayu Karya Baru telah berkurang, namun pengetaman kayu Karya Baru masih belum bisa memenuhi standar takt time perusahaan (Gambar 5), oleh karena itu dilakukan perbaikan tahap lanjutan dengan mengalokasikan sumber daya manusia yang ada di lantai produksi secara maksimum. Cara yang dilakukan ialah dengan mempekerjakan satu orang operator untuk melakukan pekerjaan pada stasiun Pengukuran, Pemotongan, Pengetaman, Pengepresan dan stasiun Belah, kemudian mempekerjakan dua operator pada stasiun Bor dan Perakitan. Hal ini dilakukan karena pekerjaan pada stasiun Pengukuran, Pemotongan, Pengetaman, Pengepresan dan stasiun Belah bisa dikerjakan oleh satu orang operator saja, sementara untuk stasiun Bor dan Perakitan sebaiknya dikerjakan oleh dua orang operator agar proses pengerjaannya cepat selesai. IV. PENUTUP Kondisi awal pada PT. XYZ menunjukkan bahwa cycle time pembuatan kursi tamu berkurang dari sebelumnya 11.544,38 detik (3.21 jam) , menjadi 5612 detik (1.56 jam) dengan perbaikan alat kerja yang dapat mengurangi kegiatan Non Value Added. sebelumnya perusahaan hanya mampu memproduksi 24 akhirnya dapat memproduksi 36 produk per minggu. DAFTAR PUSTAKA B.Modi, D dan Thakkar, H. Lean Thinking: Reduction of Waste, Lead Time, Cost through Lean Manufacturing Tools and Technique. ISSN 2250-2459, ISO 9001:2008 Certified Journal, Volume 4, Issue 3. India : 2014 Chhabra, H. K., Manoriya, A. Improvement of Manufacturing Production Process using Quality Value Stream Mapping. International Journal of Engineering Research and Technology. Vol. 4 Issue 06 : 2015. Gaspersz, V. Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2007 Ginting, R. Sistem Produksi. Graha Ilmu, Medan : 2007 Hazmi, F. W., Karningsih, P. D., dan Supriyanto, H. Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mereduksi waste di PT ARISU. Jurnal Teknik ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271, Surabaya : 2012. Khannan, M. S. A dan Haryono. Analisis Penerapan Lean Manufacturing untuk Menghilangkan Pemborosan di Lini Produksi PT Adi Satria Abadi. Jurnal Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Industri, Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Vol. 4, No. 1, Yogyakarta : 2015. Sharma, L. K., Saxena, R. M., dan Bajpai, L. An Explanatory Study of Lean Practices in Job Shop Production/ Special Job Production/ Discrete Production/ Batch Shop Production Industries. Journal of Engineering Research and Applications, Vol. 4, Issue 5( Version 2) : 2014. Sihag, A., Kumar, V., dan Khod, U. Application Of Value Stream Mapping In Small Scale Industries. International Journal of Mechanical and Robotics Research, Vol. 3, No. 3. India : 2014. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-25
Yola, Nurainun dan Novinda Sari
Widjaja, W. A dan Rahardjo, J. Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Area Produksi Assy Air Cleaner di PT Astra Otoparts Divisi Adiwira Plastik. Jurnal Titra, Vol. 1, No. 2 : 2013. Wijayanto, B., Saleh, A., dan Zaini, E. Rancangan Proses Produksi Untuk Mengurangi Pemborosan Dengan Penggunaan Konsep Lean Manufacturing Di PT. Mizan Grafika Sarana. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, No.01 | Vol. 03. Bandung : 2015
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-26
Petunjuk Sitasi: Eddy, & Aswin, E. (2017). Implementasi Lean Manufacturing untuk Identifikasi Waste pada Bagian Wrapping di PT. X Medan. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C27-32). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Implementasi Lean Manufacturing untuk Identifikasi Waste pada Bagian Wrapping di PT. X Medan (1), (2)
Eddy(1), Edi Aswin(2) Program Studi Teknik Industri, STT-Harapan Medan Jl. H. M. Joni No. 70 C Medan (1) [email protected] ABSTRAK
Penerapan lean manufacturing pada PT. X berdampak pada peningkatan produktivitasnya. Tetapi hasilnya belum optimal, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya scrab, inventory dan pemanfaatan waktu kerja yang belum optimum. Lean manufacturing yang diterapkan oleh PT. X dengan metode Value Stream Mapping (VSM) diharapkan dapat meminimalisasi pemborosan (waste) yang terjadi pada proses produksi dan sekaligus berdampak pada peningkatan produktivitas perusahaan. Dari hasil penerapan lean manufacturing tersebut dapat diidentifikasi beberapa aktivitas bersifat non value added yang merupakan pemborosan (waste). Beberapa jenis waste yang paling dominan adalah waiting = 195 menit (27,1%), processing = 165,5 menit (23,1%), inventory = 159 menit (22%) dan over production = 154 menit (21,4%). Perbaikan terhadap metode kerja diharapkan dapat mengeliminasi waste tersebut dan sekaligus akan meningkatkan produktivitas perusahaan. Kata kunci—minimalisasi pemborosan (waste). lean manufacturing,
I. PENDAHULUAN Ketatnya persaingan dalam dunia industri saat ini mendorong perusahaan untuk selalu meningkatkan produktivitasnya. Berbagai usaha dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan produktivitasnya, salah satunya adalah dengan mengurangi pemborosan (waste) karena tidak menghasilkan nilai tambah (value added). Pemborosan (waste) yang terjadi pada lantai produksi mencakup pada kegiatan penyediaan bahan baku, lalu lintas bahan, pergerakan operator, pergerakan alat dan mesin, menunggu proses, kerja ulang dan lain-lain. Sistem lean telah dipraktekkan selama bertahun-tahun di Jepang (Jay Arthur, 2011), ide dasarnya antara lain eliminasi pemborosan, pengurangan biaya serta peningkatan kemampuan pekerja. Lean manufacturing bekerja dalam setiap tahapan di value stream dengan mengeliminasi pemborosan agar dapat mengurangi biaya, meningkatkan output, dan pengurangan lead time produksi (Rother M, & Shook J, 2003). PT. X adalah sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk anti nyamuk bakar. Perusahaan ini telah menerapkan lean manufacturing dalam proses produksi. Penerapan lean manufacturing pada perusahaan berdampak pada peningkatan kualitas, jumlah produksi, pengiriman tepat waktu dan lain-lain. Tetapi, penerapan lean manufacturing tersebut masih belum optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya scrab coil yang dihasilkan, banyak inventory berupa produk work in process dan pemanfaatan waktu kerja operator yang belum optimum. Untuk itu perusahaan melakukan continuous improvement yang diharapkan berdampak pada peningkatan produktivitasnya. Minimalisasi pemborosan (waste) yang dilakukan perusahaan dalam upaya peningkatan produktivitasnya mencakup delapan jenis waste yang terjadi pada perusahaan. Delapan jenis waste tersebut adalah over production (produksi berlebihan), waiting (menunggu), inventory (penyimpanan), tranportation/conveyance (transportasi yang tidak perlu), motion (gerakan yang tidak perlu), unnecessary processing and setup (proses dan setup yang tidak penting), defect (produk cacat), people skill (pengetahuan pekerja). Usaha meminimalisasi waste dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi waste apa saja yang terjadi pada kegiatan produksi, untuk selanjutnya dilakukan tindakan-tindakan perbaikan. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-27
Eddy, Edi Aswin
II. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan salah satu tool lean Manufacturing yaitu value stream mapping. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1) Menentukan produk yang akan menjadi model line Tujuan pemilihan model line adalah agar penggambaran sistem fokus pada suatu produk yang dianggap dapat mewakili keseluruhan sistem produksi di pabrik. Model line berupa famili produk yang merupakan produk utama perusahaan. 2) Membuat peta untuk setiap kategori proses (door to door flow) di sepanjang value stream. Informasi yang diperlukan untuk masing-masing kategori proses terdiri dari cycle time, ukuran produksi, jumlah operator, dan uptime. 3) Menggabungkan peta setiap kategori proses yang terdapat di sepanjang value-stream dengan aliran material dan aliran informasi sehingga menjadi satu kesatuan aliran dalam pabrik. 4) Tahap selanjutnya adalah identifikasi pemborosan (waste) dalam proses. Identifikasi pemborosan dilakukan dengan mengidentifikasi adanya kegiatan-kegiatan yang non value added di dalam proses produksi. Waste (pemborosan) yang terjadi disepanjang value stream di analisa serta dilakukan tindakan dalam upaya meminimalisasi waste (pemborosan) tersebut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Value Added dan Non Value Added Pengukuran waktu terhadap proses produksi coil dilakukan untuk mengetahui value added dan non value added yang terjadi pada bagian wrapping. Metode yang digunakan pada saat observasi di lapangan adalah dengan metode cecklish. Seluruh kegiatan operator diamati dan dinilai kegiatan yang memberikan nilai tambah (value added) dan non value added yang merupakan pemborosan (waste). Pengamatan dilakukan untuk produksi coil pada bacth 3, trolley 02 dan 03 di line 7. Ilustrasi dari lini produksi yang diamati digambarkan pada gambar 1 berikut. 1
Drayer
Stamping
Wrapping
2
3
Packing
4
Keterangan Simbol:
= Inventory
= Decission
= Operator
= Arrow
Gambar 1. Lini produksi product family 2 double coil
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-28
= Proses
Petunjuk Sitasi: Eddy, & Aswin, E. (2017). Implementasi Lean Manufacturing untuk Identifikasi Waste pada Bagian Wrapping di PT. X Medan. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C27-32). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Tabel 1. Data aktivitas operator 1 bagian wrapping
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-29
Eddy, Edi Aswin
Tabel 1. Data aktivitas operator 1 bagian wrapping (lanjutan)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-30
Petunjuk Sitasi: Eddy, & Aswin, E. (2017). Implementasi Lean Manufacturing untuk Identifikasi Waste pada Bagian Wrapping di PT. X Medan. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C27-32). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengamatan yang sama dilakukan pada operator 2, 3 dan 4. Selengkapnya data aktivitas setiap operator dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Operator 1 2 3 4 Total
Tabel 2. Rekapitulasi value added dan non value added operator bagian wrapping Non Value Added (Waste, menit) Value Added Over Proce Inven Convey Defect Motion Intellect (menit) Production ssing tory ance 47.5 47.5 47 47.5 189.5
54.5 47 33 19.5 154
2.5 5 0 0 7,5
6 10.5 8.5 13.5 38,5
54.5 47 38 26 165,5
54.5 47 38 19.5 159
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Waiting 54.5 47 50 43.5 195
Perhitungan : Total Value Added = Lamanya waktu Pengukuran – Non Value Added activity Untuk mengetahui persentase waste dari masing-masing jenis waste, maka dilakukan perhitungan dengan membagi total waste per jenis waste, total waste untuk operator bagian wrapping adalah 719,5 menit. Berikut adalah perhitungannya. % waste over production = x 100% = 21,4% % waste defect
=
% waste motion =
x 100% = 1%
x 100% = 5,4%
% waste processing % waste inventory =
=
x 100% = 23,1% x 100% = 22%
% waste intellect = % % waste conveyance = % % waste waiting = x 100% = 27,1% Persentase masing-masing waste di atas digambarkan pada diagram pie berikut.
Conveyance 0%
Waiting 27%
Over Production 21,4%
Defect 1% Motion 5,4%
Intellect 0%
Inventory 22%
Processing 23,1%
Gambar 2. Persentase masing-masing waste pada bagian wrapping
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-31
Eddy, Edi Aswin
Gambar 2 menunjukkan besar persentase waste yang terjadi pada stasiun kerja wrapping, waste yang paling besar adalah: waiting, processing, inventory dan over production. IV. PENUTUP Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut, 1) Pada bagian wrapping, waste yang paling dominan adalah waiting (27,1%), processing (23,1%), inventory (22%) dan over production (21,4%). 2) Peningkatan value added time dapat dilakukan dengan melaksanakan perbaikan terhadap metode kerja dan mengeliminasi waste yang terjadi. DAFTAR PUSTAKA Arthur, Jay, 2011, Lean Six Sigma Demystified, New York: MeGraw-Hill Companies. Ginting, Rosnani, 2007, Sistem Produksi, Yogyakarta: Graha Ilmu Kinaxis, 2011, A Road Map Lean Manufacturing Success, Ottawa: Great River Media Inc, Liker, Jeffrey K, and David Meier, 2006, The Toyota Way Fieldbook. New York: Mc.Grawhill. Mekong Capital, 2004, Introduction to Lean Manufacturing. Vietnam. Nicholas, John M, 1998, Competitive Manufacturing Management, Singapura: McGraw-Hill Rother M, and Shook J, 2003, Learning to See, Value Stream Mapping to Create Value and Eliminate Muda, USA: The Lean Enterprise Institute, Inc. Vincent Gaspersz, 2002, Production Planning & Inventory Control, Jakarta: PT. Gramedia
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-32
Petunjuk Sitasi: Wijaya, A. R. (2017). Metode Penentuan Jumlah Tenaga Kerja pada Pekerjaan Perawatan. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C33-38). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Metode Penentuan Jumlah Tenaga Kerja pada Pekerjaan Perawatan Andi Rahadiyan Wijaya Departemen Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika 2 Bulak Sumur, Yogyakarta [email protected] ABSTRAK Pengurangan jumlah tenaga kerja (downsizing) merupakan langkah strategis perusahaan untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Dengan downsizing diharapkan produktivitas pekerja meningkat. Agar ketepatan kuantitatif downsizing tercapai, diperlukan pengukuran beban kerja dari pekerjaan terkait. Pengukuran beban kerja pada pekerjaan perawatan sulit dilakukan karena sifat alami aktivitas kerjanya yang bervariasi (misalnya frekuensi, durasi, kompleksitas). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode dalam perhitungan jumlah pekerja pada pekerjaan perawatan. Metode yang dikembangkan selanjutnya diujikan pada studi kasus pada pekerjaan perawatan pada sebuah perusahaan tambang. Hasil menunjukan bahwa metode usulan dapat dipergunakan sebagai masukan bagi pengambil keputusan dalam penentuan jumlah pekerja pada pekerjaan perawatan . Kata kunci—Perawatan, tenaga kerja,probabilitas, Weibull, Lognormal
I. PENDAHULUAN Downsizing atau pengurangan jumlah tenaga kerja pada suatu perusahaan menjadi salah satu langkah strategis bagi perusahaan dalam menghadapi penurunan kondisi ekonomi atau meningkatkan daya saing perusahaan. Alasan rasional dibalik langkah downsizing adalah untuk meningkatkan produktivitas pekerja dan meningkatkan performansi finansial melalui penurunan biaya tenaga kerja dengan pengurangan jumlah tenaga kerja (Cascio et al., 1997). Dalam downsizing, harus dipastikan bahwa rasionalisasi tepat dari sisi kualitatif (ie. pengurangan sumber daya manusia kurang kompeten) dan dari sisi kuantatif (ie. pengurangan dalam jumlah yang sesuai). Untuk menjamin ketepatan kuantitatif rasionalisasi, diperlukan pengukuran beban kerja dari jenis pekerjaan yang dilakukan rasionalisasi. Pada pekerjaan yang bersifat rutin (misalnya produksi), pengukuran beban kerja dapat dilakukan dengan mudah karena variasi aktivitas kerja (misalnya frekuensi, durasi, kompleksitas) tidak besar. Namun untuk pekerjaan yang bersifat non rutin (misalnya perawatan), pengukuran beban kerja menjadi sulit dilakukan karena besarnya variasi dari aktivitas kerja. Industri secara umum mengalami permasalahan terkait kenaikan biaya pekerjaan perawatan. Anggaran yang harus dialokasikan pada departemen perawatan setiap tahun mengalami kenaikan (Mjema, 2002). Tergantung pada jenis industri, di Amerika biaya terkait pekerjaan perawatan mencapai 15 hingga 40 persen dari nilai barang yang dihasilkan (Wiseman, 2001). Di dalam departemen perawatan sendiri, komponen biaya terbesar dari pekerjaan perawatan merupakan biaya yang terkait dengan personal. Komponen biaya personal mencapai 70 – 80 persen dari keseluruhan biaya perawatan (Mjema, 2002). Dalam rasionalisasi pekerja pada pekerjaan perawatan, harus dilakukan analisa terhadap beban kerja dan kapasitas personil secara menyeluruh. Analisa kebutuhan kapasitas personil perawatan meliputi kebutuhan kuantitatif (ie. jumlah staf yang dibutuhkan), kebutuhan kualitatif (ie. kompetensi dan kemampuan staf), dan juga kebutuhan waktu (ie. dalam kurun waktu tertentu) (Mjema, 2002). Terkait kebutuhan kuantitatif, terdapat tantangan dalam menentukan jumlah karyawan pada pekerjaan perawatan dengan mempertimbangkan ketidakpastian aktivitas
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-33
Wijaya
pekerjaan perawatan (misalnya frekuensi, durasi). Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan metode dalam penentuan jumlah karyawan pada pekerjaan perawatan.
II. GAMBARAN METODE USULAN Pada penelitian ini, metode untuk penentuan jumlah karyawan pada pekerjaan perawatan dikembangkan berdasar kombinasi metode studi waktu (time study) dan RAM (Reliability, Availability, Maintainability). Deskripsi umum dari metode ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Gambaran metode usulan
Usulan metode dimulai dengan menentukan parameter distribusi Weibull dari jarak kedatangan antar pekerjaan perawatan dan parameter distribusi lognormal dari waktu penyelesaian pekerjaan perawatan. Selanjutnya menentukan confidence interval dari total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan. Data total waktu produksi teoritis ditentukan untuk menghitung waktu kerja efektif pekerja dengan mempertimbangkan faktor kelonggaran. Nilai full time equivalent (FTE) untuk pekerjaan perawatan dihitung dan bila nilai FTE mendekati satu maka jumlah pekerja telah sesuai tetapi bila tidak maka perlu dilakukan penyesuaian pekerja.
III. DESKRIPSI METODE USULAN A. Interval Estimation dari Total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan Jarak kedatangan antar pekerjaan perawatan diasumsikan mengikuti distribusi Weibull dan waktu penyelesaian pekerjaan perawatan diasumsikan mengikuti distribusi lognormal. Asumsi berdasarkan pada kenyataan bahwa 85-95% dari kegagalan mesin, yang merupakan pemicu bagi pekerjaan perawatan, sesuai dengan distribusi Weibull dan 85-95% waktu penyelesaian pekerjaan perawatan sesuai dengan distribusi lognormal (Abernethy, 2000; Schroeder dan Gibson, 2005). Probability density function (pdf) dari distribusi Weibull diberikan oleh:
y g y
1
y exp ,y>0
(1) dimana β > 0 merupakan parameter bentuk dan η > 0 merupakan parameter skala dari distribusi. Nilai rata-rata jarak kedatangan antar pekerjaan perawatan (MTP) diberikan oleh:
1 MTP y 1 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-34
(2)
Metode Penentuan Jumlah Tenaga Kerja Pada Pekerjaan Perawatan
Probability density function (pdf) dari distribusi lognormal diberikan oleh:
1 ln x 2 f x exp x 2 2 ,x>0 1
(3) dimana μ dan σ merupakan rata-rata dan deviasi standar dari natural logarithm variabel. Nilai rata-rata waktu penyelesaian pekerjaan perawatan (mean time to repair, MTR) diberikan oleh:
2 MTR x exp 2
(4)
Total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan (TTR) dapat ditentukan dengan
TTR
MTR TTP MTP
(5) dimana TTP merupakan total waktu produksi. Untuk jarak kedatangan antar pekerjaan perawatan dengan distribusi Weibull dan waktu penyelesaian pekerjaan perawatan dengan distribusi lognormal, maka persamaan (5) dapat ditulis ulang sebagai
TTR
x TTP y
(6) Confidence interval dari total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan dapat ditentukan dengan memecahkan confidence interval untuk μx/μy. Confidence interval dapat ditentukan dengan metode pendekatan (approximate method) atau metode pasti (exact method). Pada metode pendekatan, confidence interval ditentukan secara kasar untuk mendapatkan tipe ―at least confidence interval‖. Pada metode pasti, confidence interval ditentukan secara simultan sehingga hasilnya lebih akurat. Pada penelitian ini, penentuan confidence interval dari μx/μy dilakukan dengan mengadopsi metode pasti dari Wijaya (2012). Estimasi untuk nilai rata-rata total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan (TTRM) dan batas bawah dan atas dari total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan (TTRUL and TTRLL) dapat ditentukan dengan:
2 exp 2 TTRM TTP 1 1
(7)
TTRLL a
exp G 2 m 1 12 1 yi i 1
TTP
(8)
TTRUL b
exp G 2 m 1 12 1 yi i 1
TTP
(9)
2
2
dimana σ = deviasi standar dari distribusi lognormal G = rata-rata geometris dari distribusi lognormal η = parameter skala dari distribusi Weibull β = parameter bentuk dari distribusi Weibull y = jarak kedatangan antar pekerjaan perawatan a = konstanta untuk batas bawah b = konstanta untuk batas atas SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-35
Wijaya
Waktu kerja efektif dari pekerja ditentukan dengan mempertimbangkan waktu produksi teoritis dan kelonggaran (allowance) bagi pekerja. Pemberian kelonggaran untuk memastikan bahwa pekerja rata-rata dapat mencapai waktu standar yang diharapkan ketika bekerja pada kecepatan normal (normal pace). Kelonggaran secara umum terbagi atas 4 bagian yaitu relaxation allowance, contingency allowance, policy allowance dan special allowance. Relaxation allowance adalah tambahan pada basic time yang disediakan untuk pekerja supaya mengembalikan kondisi dari efek fisiologi dan psikologi kerja dan untuk memberikan perhatian kepada kebutuhan personal. Relaxation allowance terdiri atas kelonggaran tetap yang diberikan kepada pekerja yang melakukan pekerjaan ringan dalam posisi duduk dan dalam kondisi lingkungan kerja yang baik, dimana tangan, kaki dan panca indera digunakan secara normal (fixed allowance) dan kelonggaran tambahan yang diberikan bila kondisi kerja berbeda dengan kondisi yang dipersyaratkan (variable fatigue allowance). Fixed allowance terdiri atas personal needs allowance, kelongaran yang disediakan untuk memenuhi kebutihan pribadi (misalnya mengambil minum, ke kamar kecil) dan basic fatique allowance, kelongaran yang disediakan untuk memperhitungkan energi yang terpakai dalam melakukan kerja dan untuk mengurangi kemonotonan. Contingency allowance adalah tambahan kelonggaran waktu yang relatif kecil untuk memenuhi kebutuhan kerja tertentu, delay atau kejadiaan yang jarang atau tidak teratur (misalnya interupsi dari supervisor, ketidakteraturan bahan). Policy allowance, kelonggaran yang diberikan untuk memastikan pendapatan yang memuaskan pekerja untuk tingkat performansi tertentu dan dalam komdisi tertentu (misalnya pekerja baru). Special allowance, diberikan untuk aktivitas yang pada kondisi normal bukan bagian dari siklus operasi tetapi penting untuk performansi kerja yang memuaskan (misalnya start-up allowance, dismantling allowance). Jumlah pekerja perawatan yang dibutuhkan ditentukan dengan menghitung nilai Full time equivalent (FTE). FTE merupakan perbandingan total jam kerja aktual dengan maksimum jam kerja terjadwal. FTE lebih besar dari satu mengindikasikan beban kerja yang terlalu besar (over utilized). Menurunkan nilai FTE dapat dilakukan dengan pemberian lembur (overtime regime), penambahan sumber daya manusia. FTE kurang dari satu mengindikasikan beban kerja yang terlalu kecil (under-utilized). Menaikan nilai FTE dapat dilakukan dengan pemberian aktivitas kerja tambahan (job enlargement), pengurangan sumber daya manusia (downsizing). B. Studi kasus Sebagai ilustrasi aplikasi dari metode usulan, studi kasus pekerjaan perawatan mobile equipment pada suatu perusahaan tambang diberikan. Jumlah pekerja yang menangani perawatan mobile equipment adalah 6 orang yang terbagi dalam 2 shift dan jumlah mobile equipment yang harus ditangani sejumlah 9 unit. Data pekerjaan perawatan merupakan data historis selama 2 tahun. Data diambil dari computerized maintenance management system (CMMS) dan laporan internal departemen perawatan. Sebelum diplotkan dalam distribusi yang terkait (distribusi Weibull dan distribusi lognormal), data dites terhadap validitas dari asumsi independent and identically distributed (i.i.d.). Pengujian asumsi dilakukan dengan Laplace trend test dan autocorrelation test (Ansell dan Phillips, 1994). Pameter dari distribusi terkait ditentukan dengan metode maximum likelihood estimation (MLE) dan kesesuaian distribusi dengan tes Kolmogorov–Smirnov (Francois dan Noyes, 2003). Semua pengujian dilakukan dengan piranti lunak Matlab dengan nilai alpha significance level (α) 0.05. Penentuan confidence interval dari total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan berdasar pada total waktu produksi teoritis dalam satu tahun. Dalam kurun waktu pengumpulan data, jam kerja perusahaan adalah 16,5 jam per hari, dan produksi dihentikan selama 3 minggu per tahun. Setiap tahun dilakukan rutin shutdown untuk perawatan dan berdasar data historis, durasi shutdown mengikuti distribusi lognormal dengan waktu rata-rata 350 jam. Berdasar data jam kerja, jumlah hari kerja dan minggu kerja efektif per tahun, waktu produksi teoritis, dan rutin shutdown, didapatkan total waktu produksi teoritis dalam satu tahun adalah 5.300 jam. Nilai ratarata, batas bawah dan atas dari total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan (TTRM, TTRLL dan TTRUL) ditunjukan oleh Tabel 1. Nilai konstanta untuk batas bawah (a) dan batas atas (b) diperoleh dari persamaan (8) dan (9), dan diselesaikan numeris dengan piranti lunak MuPAD.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-36
Metode Penentuan Jumlah Tenaga Kerja Pada Pekerjaan Perawatan
Tabel 1. Waktu penyelesaian pekerjaan perawatan satu unit mobile equipment Part
Motor
MTTF MTTR MDT mM a Down time lower limit mLL TTRLL b Down time upper limit mUL TTRUL
500,07 2,87 30,52 10,6 3,6
Central Lubrication 193,18 4,45 122,08 27,4 26,3
5,74
Part MTTF MTTR MDT mM a Down time lower limit mLL TTRLL B Down time upper limit mUL TTRUL
Hammer
Boom
Seat
Hoses
Cylinder
195,64 5,65 153,33 27,1 7,1
107,04 7,56 374,79 49,5 50,3
923,08 17,37 99,79 5,7 3,7
72,10 2,46 181,54 73,5 100,2
88,35 6,74 404,88 60,0 67,9
69,84
79,94
243,2
39,8
133,98
233,78
4,6 1,2 20,4
20,7 3,4 62,5
19,6 4,1 30,4
39,9 6,1 105,1
3,6 11,0 20,3
63,4 2,1 159,4
45,6 5,1 120,9
32,52
165,97
342,28
508,1
218,3
213,14
416,26
11,0 3,0 Water System 165,75 2,71 86,97 32,0 21,5
32,0 5,2
40,5 8,4
57,7 8,8
8,5 25,7
60,9 6,8
Transmission
Bearer
Chassis
Cabin
1108,72 5,70 27,25 4,8 3,6
300,92 4,43 77,88 17,6 11,4
550,48 5,63 54,19 9,6 8,3
364,18 4,44 64,61 14,6 3,2
80,0 2,7 Electric System 163,88 2,87 93,14 32,3 33,3
413,48 5,79 74,49 12,8 6,4
43,85
12,44
30,05
29,32
10,0
51,79
28,78
22,8 1,9 55,7
3,2 3,9 20,1
10,9 2,8 37,6
7,1 4,1 33,7
5,7 1,7 24,3
24,2 2,1 71,1
8,0 3,6 33,9
113,60
69,48
99,12
119,04
77,2
110,58
152,43
36,7 3,1
7,6 9,1
19,8 5,0
14,3 8,3
15,9 4,9
35,4 3,1
18,4 8,3
Valve
Waktu kerja efektif pekerja ditentukan dengan memasukkan faktor kelonggaran. Kelonggaran pada pekerja meliputi relaxation allowance, contingency allowance dan special allowance. Policy allowance tidak diberikan karena pekerja merupakan pekerja berpengalaman (misalnya masa kerja minimal 5 tahun). Semua pekerja perawatan adalah laki-laki, sehingga basic fatique allowance adalah 5%, sehingga total fixed allowance adalah 9%. Variable fatigue allowance ditentukan berdasar standar ILO, dimana untuk kondisi kerja yang memerlukan posisi tidak normal, memerlukan gaya dan konsentrasi didapatkan nilainya adalah 15%. Contingency allowance ditentukan sebesar nilai maksimum (ie. 5%) karena jenis pekerjaan perawatan mempunyai potensi untuk delay dan interupsi dari supervisor. Special allowance ditentukan sebesar 5% untuk aktivitas dismantling dan start up. Sehingga total kelonggaran adalah sebesar 34%. Waktu yang tersedia untuk pekerjaan perawatan didapatkan dari waktu kerja efektif pekerja dikalikan dengan jumlah pekerja untuk pekerjaan tersebut. Pada saat data dikumpulkan, total pekerja yang ada adalah 6 orang yang terbagi dalam 2 shift. Waktu kerja efektif pekerja didapat dari total waktu produksi teoritis dalam satu tahun (5.300 jam) dikurangi dengan waktu yang dialokasikan untuk kelonggaran (5.300 x 34% = 1802 jam). Sehingga untuk 6 orang pekerja, didapat total waktu yang tersedia untuk pekerjaan perawatan sebesar 20988 jam. Dari tabel 1 diperoleh bahwa batas atas total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan untuk satu unit mobile equipment adalah sebesar 2836 jam, sehingga untuk 9 unit mobile equipment adalah sebesar 23742 jam. Berdasar perbandingan antara total waktu penyelesaian pekerjaan perawatan (23742 jam) dengan total waktu yang tersedia untuk pekerjaan perawatan (20988 jam), didapatkan nilai
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-37
Wijaya
FTE sebesar 0,80. Hal ini menunjukan bahwa saat ini terjadi kekurangan jumlah pekerja perawatan. Strategi yang ditempuh perusahaan saat ini untuk menutupi kekurangan pekerja adalah dengan melakukan sistem lembur. Penambahan pekerja sejumlah 1 orang menjadikan nilai FTE sebesar 1,03 tetapi penambahan 2 orang menjadikan nilai FTE sebesar 1,18 (under utilized). Hal ini mengindikasikan bahwa idealnya perlu penambahan pekerja 1 orang, tetapi hal ini memunculkan kesulitan dalam hal alokasi waktu shift. Berdasar tipe pekerjaan perawatan dimana waktu kedatangan pekerjaan tidak tentu, maka penempatan 1 orang dalam salah satu shift tetap bukan kebijakan yang tepat, karena memungkinkan untuk kondisi over utilized di salah satu shift. Solusi yang bisa dipertimbangkan adalah dengan perekrutan 1 orang pekerja di masing-masing shift tetapi dengan pola kontrak dengan waktu kerja terbatas.
IV. PENUTUP Metode penentuan jumlah karyawan pada pekerjaan perawatan telah dikembangkan. Simulasi pada pekerjaan perawatan mobile equipment di perusahaan tambang menunjukan bahwa metode usulan dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam penentuan jumlah sumber daya manusia untuk meminimalkan kondisi under utilized maupun over utilized pekerja.
DAFTAR PUSTAKA Cascio, W.F., Young, C.E., & Morris, J.R., 1997, ―Financial Consequences of Employment Change Decision in Major US Coorporations‖, The Academic of Management Journal, 40 (5), hlm. 1175 1189 Mjema, E.A.M., 2002, ―An analysis of personnel capacity requirement in the maintenance department by using a simulation method‖, Journal of Quality in Maintenance Engineering, 40 (3), hlm. 253 – 273 Abernethy, R.B., 2000, The New Weibull Handbook, Gulf Publishing Co., Houston Schroeder, B, & Gibson, G., 2005, A Large-scale Study of Failures in High-performance-computing Systems, Technical Report, Supercedes Carnegie Mellon University Parallel Data Lab, Carnegie Mellon University Wijaya, A.R., Lundberg, J. & Kumar, U., 2012, ―Downtime analysis of a scaling machine‖, International Journal of Mining, Reclamation and Environment, 25(2), hlm. 1 – 17 Ansell, J.I. & Phillips, M.J., 1994, Practical Methods for Reliability Data Analysis, Oxford Science Publications, Oxford Francois P. & Noyes, D., 2003, ―Evaluation of a maintenance strategy by the analysis dari rate of repair‖, Quality and Reliability Engineering, 19, hlm. 129–148 Wiseman, M., 2001, ―Reliability management and maintenance optimization: basic statistics and economics‖, dalam Campbell & Jardine (Editor), Maintenance Excellence: Optimizing Equipment Life-Cycle Decisions, Marcel Dekker Inc., New York
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-38
Petunjuk Sitasi: Sulistyono, E., & Sukarsono, A. (2017). Analisa Pengembangan Produk Sepatu Kulit dengan Metode Rekayasa Nilai dalam Rangka Penghematan Biaya (Studi Kasus pada Home Industri Kerajinan Kulit Figha Di Magetan). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C39-44). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Pengembangan Produk Sepatu Kulit dengan Metode Rekayasa Nilai dalam Rangka Penghematan Biaya (Studi Kasus pada Home Industri Kerajinan Kulit Figha Di Magetan) Eko Sulistyono (1), Agustin Sukarsono (2) Prodi Teknik Industri, STT POMOSDA JL. KH. Wakhid Hasyim 275 Tanjunganom, Nganjuk, Jatim (1) [email protected], (2)[email protected] (1), (2)
ABSTRAK Penghematan biaya (Cost Reduction) dengan metode rekayasa nilai (Value Engineering) bertujuan mengetahui fungsi yang diminta. Penurunan biaya produk dapat dijadikan salah satu strategi dalam kompetisi di dunia usaha dengan tidak mengurangi mutu dari produk tersebut. Penelitian pada produk sepatu kulit di Home Industri Kerajinan Kulit Figha Magetan bertujuan untuk mengurangi biaya produksi pembuatan sepatu dengan cara mengubah Loss untuk material. Produk sepatu terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas (Upper) dan bagian bawah (Bottom). Komponen-komponen pembentuk sepatu kulit adalah tetap. Hasil akhir yang diperoleh dengan analisa biaya adalah sebelum rekayasa nilai sebesar Rp. 73.500,- dan setelah rekayasa nilai sebesar Rp. 72.204,5. Sehingga dapat diperoleh penghematan biaya sebesar Rp. 1.295,5 dan perhitungan nilai fungsi sebesar 1,02 yang berarti biaya yang dikeluarkan adalah layak. Produksi sepatu kulit dalam setahun sebesar 900 pasang sepatu. Jadi penghematan yang diperoleh dalam setahun adalah sebesar Rp. 1.295,5 x 900 pasang/tahun = Rp. 1.165.950/tahun Kata kunci-- Pengembangan, produk, rekayasa, kualitas
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar saat ini mengakibatkan antrian panjang di beberapa SPBU. Kejadian tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap kenaikan ongkos jasa angkutan yang berbahan bakar solar. karena banyak juga kendaraan yang berfungsi sebagai jasa angkutan ekspedisi yang berbahan bakar solar, tidak menutup kemungkinan terjadinya kenaikan harga bahan baku produk yang menggunakan jasa tersebut. Agar perusahaan dapat tetap bertahan maka harus dicari ide, alernatif, atau peluang peluang usaha yang dapat di jadikan solusi untuk mengatasi adanya kenaikan harga bahan baku tersebut. Diantaranya dengan membuat variasi produk atau inovasi inovasi untuk meningkatkan minat konsumen. Dengan adanya inovasi inovasi tersebut di harapkan akan mampu meningkatkan volume penjualan. Produk sepatu banyak sekali digunakan, hampir oleh sebagian besar manusia dalam aktivitas kehidupannya. Tetapi dalam hal ini kami membatasi penggunaan untuk sepatu kulit. Jenis dan harga sebuah sepatu sangatlah beraneka ragam. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing konsumen dan pada bahan dasar, bentuk atau desain, serta warna sepatu. Sedangkan masih dijumpai kekurangan-kekurangan yang ditimbulkan dari bahan dasarnya, bentuk atau desain dan warna sepatu sehingga, minat konsumen berkurang. Dan masih banyak alternatif lain yang mungkin dapat dikembangkan untuk membuat inovasi melalui penelitian terhadap konsumen langsung sehingga, produk yang di hasilkan benar-benar sesuai dengan keinginan konsumen. Untuk itulah pengembangan produk sangat diperlukan. Strategi pengembangan produk dengan biaya yang rendah tetapi tetap mempunyai nilai yang tinggi akan meningkatkan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-39
Sulistyono, dan Sukarsono
produktifitas perusahaan. Pengurangan biaya dengan meningkatkan nilai produk dilakukan agar profit semaksimal mungkin. Menurut Rochmanhadi (1992) Value Engineering (Teknik Penilaian) adalah suatu teknik manajemen yang telah teruji yang menggunakan pendekatan sistematis dan suatu upaya yang diatur sedemikian rupa untuk menganalisa fungsi suatu item atau masalah atau sistem dengan tujuan untuk memperoleh fungsi yang diminta dengan biaya kepemilikan total yang paling kecil, tentu saja disesuaikan dengan persyaratan permintaan penampilan, rehabilitas, kwalitas dan kemudahan untuk pemeliharaan suatu proyek. Untuk meningkatkan nilai tambah produk sepatu kulit pada Home Industri Kerajinan Kulit Figha di Magetan khususnya maka, peneliti mencoba menerapkan studi rekayasa nilai (Value Engineering) pada biaya sepatu kulit agar sesuai dengan fungsi dan manfaat yang sama namun dengan harga yang relative murah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana menganalisa komponen produk sepatu kulit yang loss pada Home Industri Kerajinan Kulit Figha? 2. Bagaimana menentukan usulan alternatif desain pengembangan produk untuk menghemat biaya? 3. Bagaimana menghitung penghematan biaya produksi sepatu kulit? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui komponen produk sepatu kulit yang loss pada Home industri kerajinan kulit figha. 2. Untuk mengetahui usulan pengembangan produk yang bisa menghemat biaya produksi. 3. Untuk mengetahui jumlah biaya penghematan biaya produksi sepatu kulit.
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang di gunakan adalah dengan cara : 1. Library Research (Studi Kepustakaan), yaitu dengan cara membaca referensi, buku, atau literature yang ada hubungannya dengan landasan teori. 2. Observasi, yaitu teknik pengambilan data dengan terjun secara langsung ke lapangan dengan mengambil data mengenai variable yang berhubungan dengan pokok permasalahan. 3. Dokumentasi, yaitu teknik pengambilan data dari data masa lalu yang ada di perusahaan. 4. Interview, yaitu teknik pengambilan data dengan wawancara secara langsung untuk mendapatkan penjelasan dari jawaban-jawaban yang terlalu pendek, sehingga diharapkan. B. Jenis Data Data yang diperlukan di dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari perusahaan dengan melakukan pengamatan. Data primer terdiri dari : a. Data umum Data umum yaitu data mengenai gambaran umum perusahaan secara umum yang terdiri antara lain : sejarah berdirinya perusahaan, struktur organisasi, hasil dan proses produksi. b. Data khusus Data khusus yaitu data yang diperoleh pada saat penelitian yang terdiri antara lain : biaya pembuatan sepatu dan macam-macam desain sepatu. 2. Data sekunder yaitu merupakan data yang diambil dari berbagai refernsi dan literatur yang menunjang kegiatan penelitian ini.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-40
Analisa Pengembangan Produk Sepatu Kulit Dengan Metode Rekayasa Nilai
C. Kerangka Pemecahan Masalah Mulai
Identifikasi masalah
Pengumpulan data
Pembangkitan alternatif desain Perhit. Nilai (Value)
Menghitung biaya
Menghitung performansi
Alternatif desain yang terpilih
Kesimpulan
Selesai
Gambar 1 Kerangka Pemecahan Masalah Rekayasa nilai
D. Metode Fast Adapun fungsi utama dan fungsi pendukung dari desain sepatu ini adalah sebagai berikut : Memberi kemudahan Melindungi telapak kaki
Memberi kepercayaan diri Memudahkan gerakan kaki
Memberi keamanan Memberi kenyamanan
Gambar 2 Diagram FAST
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-41
Sulistyono, dan Sukarsono
III. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. CBD (Cost Break Down) Sheet Tabel 1 Daftar Bahan Baku Sepatu Kulit Bahan baku Kulit Sol Texon Puring Spot tipis Lem Benang jahit Label Kain lapis Plastik Kardus/box Semir semprot Benang sol Tatakan( shock linner) Mata ayam
Keb bahan baku tot 60 1 40 40 5 20 1000 1 60 1 1 20 1000 40 10
Satuan Cm Pasang Cm Cm Cm Ml Cm Pasang Cm Buah Buah Ml Cm Cm Buah
Biaya Rp.16.000,00 Rp.10.000,00 Rp.5.000,00 Rp.9.000,00 Rp.500,00 Rp.3.000,00 Rp.2.000,00 Rp.2.000,00 Rp.7.000,00 Rp.1.000,00 Rp.2.000,00 Rp.5.000,00 Rp.4.000,00 Rp.3.000,00 Rp.1.000,00
B. Tahap Spekulasi dan Tahap Analisis Pada tahap ini kemungkinan lain dianalisis dengan menanyakan apakah ada alternatif lain yang dapat memenuhi fungsi atau kegunaan yang sama. Alternatif yang diusulkan mungkin didapat dari pengurangan komponen, penyederhanaan, modifikasi dengan tetap mempertahankan fungsi utama dari objek. Dengan melihat dimensi-dimensi atau atribut-atribut produk serta fungsinya, maka dapat dikembangkan ide-ide yang dapat mengurangi biaya produk sepatu kulit. Adapun ide tersebut dapat dirangkum dalam tabel berikut : C. Analisa Terhadap Fungsi Yang Paling Rendah 1. Memberi kepercayaan diri Bagaimana memberi kepercayaan diri, pemilihan desain sepatu yang rapi dan serasi serta didasarkan pada pemilihan bahan dan warna. Jawaban atas fungsi sepatu Sepatu disesuaikan dengan tujuan pemakaian Desain sepatu mengikuti mode Pemilihan bahan dan warna yang sesuai 2. Memudahkan gerakan kaki Bagaimana memudahkan gerakan kaki, desain harus memberikan faktor toleransi sehingga tidak mengganggu pergerakan kaki Jawaban atas fungsi : Sepatu tidak sempit ( ukuran disesuaikan ) Bahan sepatu tidak mudah mengkerut setelah dicuci 3. Memberi kenyamanan Bagaimana memberikan kenyamanan sesuai dengan ukuran kaki dan apabila dipakai kaki terasa nyaman Jawaban atas fungsi: Bahan disesuaikan dengan kebutuhan Bahan tidak terlalu keras untuk kaki Bahan memberikan kenyamanan dikala udara dingin maupun panas
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-42
Tabel 2 Alternatif Ide Aktual Keb Bahan Baku
Loss
Kulit
45
Sol
Usulan Ide Satuan
Biaya (Rp)
Keb Bahan Baku
Loss
25%
Keb Bahan Baku Total 60
Satuan
25%
Keb Bahan Baku Total 60
Cm
16,000
45
cm
16,000
1
0%
1
Pasang
10,000
1
0%
1
pasang
10,000
Texon
36
10%
40
Cm
5,000
36
6%
38.16
cm
4770
Puring
7.2
10%
8
Lembar
9,000
7.2
6%
7.632
lembar
8586
Spot tipis
4.95
1%
5
Cm
500
4.95
1%
5
cm
500
Lem
18
10%
20
Ml
3,000
18
8%
19.44
ml
2916
Benang jahit Label
950
5%
1000
Cm
2,000
950
5%
1000
cm
2000
0.98
1%
1
Pasang
2,000
0.98
2%
1
pasang
2000
54
10%
60
Cm
7,000
54
6%
57.24
cm
6678
Plastik
0.98
2%
1
Buah
1,000
0.98
2%
1
buah
1000
Kardus/bo x Semir Benang sol
0.98
2%
1
Buah
2,000
0.98
2%
1
buah
2000
19 950
5% 5%
20 1000
Ml Cm
5,000 4,000
19 950
3% 5%
19.57 1000
ml cm
4892.5 4000
Tatakan( shock linner) mata ayam
36
10%
40
Cm
3000
36
6%
38.16
cm
2862
9.7
4%
10
Buah
1000
9.7
3%
10
buah
1000
tali sepatu
1
0%
1
Pasang
3000
1
0%
1
pasang
Bahan Baku
Kain lapis
TOTAL
73,500
Biaya (Rp)
3000 72,204.5
1. Loss actual diperoleh dari pihak perusahaan. 2. Loss usulan dari peneliti yaitu : 1) Untuk Loss 25% digunakan untuk material kulit (upper). Hal ini dikarenakan hampir semua bagian atasan sepatu terbuat dari kulit sehingga lossnya besar. 2) Untuk Loss 10%, di gunakan untuk matrial texon,puring,kain lapis dan Tatakan( shock linner).untuk matrial tersebut dapat di kurangi ukuranya untuk penghematan bahan baku.misal mengurangi lapisan puring yang semula berjumlah 8 lembar menjadi 4 lembar karena tujuan dari pemberian puring ini adalah untuk menahan bentuk depan(toe cap) dan menahan bentuk belakang(counter). 3) Untuk Loss 5% digunakan untuk material benang jahit,benang sol dan semir semprot. Hanya semir semprot yg bias di kurangi karena matrial benang jahit dan benang sol akan mengurangi kekuatan atau daya tahan sepatu. 4) Untuk Loss 4% di gunakan untukmatrial mata ayam(eyelets). 5) Untuk Loss 2% digunakan untuk matrial plastic dan kardus box. 6) Untuk Loss 0 dan 1% di gunakan untuk matrial sol, tali sepatu labeld an spon tipis. Loss ini kecil karena untuk matrial sol dan tali sepatu apabila ada yang rusak dapat di kembalikan kepada pemasok Berdasarkan table 2 maka dapat dilakukan analisis biaya pada material, sehingga penghematan untuk pembuatan produk sepatu sebesar Rp. 1295,50/pasang dengan jumlah produksi untuk produk sepatu tipe ini mencapai 900 pasang/tahun . Jadi penghematannya sebesar : Rp. 1295,50x 900 pasang/tahun = Rp. 1.165.950/tahun. Pada desain sepatu maupun jumlah komponen tetap karena produksi sepatu kulit ini harus tetap memperhatikan kualitas atau tidak mengurangi nilai produk sepatu. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-43
Sedangkan untuk analisis nilai fungsi adalah sebesar : Biaya untuk pembuatan sepatu = Rp. 73,500.00 Biaya setelah rekayasa nilai = Rp. 72204,50 Jadi nilai fungsinya sebesar
=
73,500.00 1,02 72204,50
Nilai fungsi sebesar 1,02 berarti biaya yang dikeluarkan adalah layak.
IV. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Untuk Loss 25% digunakan untuk material kulit (upper). 2. Untuk Loss 10%, di gunakan untuk matrial texon,puring,kain lapis dan lapisan dalam(insol).untuk matrial tersebut dapat di kurangi ukuranya untuk penghematan bahan baku.misal mengurangi lapisan puring yang semula berjumlah 8 lembar menjadi 4 lembar karena tujuan dari pemberian puring ini adalah untuk menahan bentuk depan(toe cap) dan menahan bentuk belakang(counter). 3. Untuk Loss 5% digunakan untuk material benang jahit,benang sol dan semir semprot. Hanya semir semprot yg bisa di kurangi karena matrial benang jahit dan benang sol akan mengurangi kekuatan atau daya tahan sepatu jika di kurangi. 4. Untuk Loss 4% di gunakan untukmatrial mata ayam(eyelets). 5. Untuk Loss 2% digunakan untuk matrial plastic dan kardus box. 6. Untuk Loss 0 dan 1% di gunakan untuk matrial sol, tali sepatu labeld an spon tipis. Loss ini kecil karena untuk matrial sol dan tali sepatu apabila ada yang rusak dapat di kembalikan kepada pemasok Biaya sebelum rekayasa nilai adalah sebesar Rp. 73.500,00 dan setelah rekayasa nilai sebesar Rp. 72.204,50, sehingga perhitungan nilai fungsi adalah sebesar 1,02 yang berarti biaya yang dikeluarkan adalah layak. Dalam analisa biaya pembuatan produk sepatu kulit dapat memberikan penghematan sebesar Rp. 1.295,50. Produksi sepatu kulit dalam setahun sebanyak 900 pasang sepatu. Jadi penghematan yang diperoleh dalam setahun adalah sebesar Rp. 1295,50 x 900 = Rp. 1.165.950/tahun. DAFTAR PUSTAKA Darminto Pujotomo, KRMT. Haryo Santoso dan Risang Pamungkas A, “Perancangan Ulang Produk TV Braket dalam rangka Penghematan Biaya dan Peningkatan Nilai Produk dengan metode Rekayasa Nilai”. Karl T. Ulrich & Steven D. Eppinger, 2011, Perencanaan dan Pengembangan Produk, Penerbit Salemba Teknika. Larry W. Zimmerman dan Glen D. Hart, 2012, Value Engineering a Practical Approach for Owners, Penerbit Van Nostrand Reinhold Company. Metode FAST, http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2225052-metode-fast-function-analysistechnique/#ixzz20t2iOPWV, diakses 14 Pebruari 2013. Murni, Sari dan Hari Prasetyo, 2011, Buku Pegangan Kuliah Perencanaan dan Pengendalian Produksi Jurusan Teknik Industri, Surakarta: Universitas Muhammadiyah,. Prasidha Adhikriya PT, 2012, “Desain Kerajinan Kulit, Petunjuk Ketrampilan Industri Kerajinan Kulit. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan”, Proyek peningkatan Pendidikan Kejuruan Non Teknis II, Jakarta. Yamit, Zulian, 2011, Manajemen Produksi dan Operasi, Edisi Ketiga,Yogyakarta: Ekonosia.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-44
Petunjuk Sitasi: Noviyanti, A. A., Atmaji, F. T., & Juliani, W. (2017). Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 dengan Metode Reliability-Centered Maintenance (RCM). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C45-51). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 dengan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) Anna Annida Noviyanti(1), Fransiskus Tatas Dwi Atmaji(2), Widia Juliani(3) Prodi S1 Teknik Industri, Fakultas Rekayasa Industri, Universitas Telkom Bandung (1) [email protected], (2)[email protected], (3) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Engine T700 merupakan salah satu tipe engine dari delapan tipe engine yang digunakan dalam pesawat terbang. Dalam sistem kerjanya, Engine T700 memiliki 4 subsistem pendukung, yaitu cold section module, hot section module, power turbine module dan accessory gear box drive module . Setiap subsistem dapat diurai lagi menjadi beberapa komponen yang tingkatannya lebih rendah. Dengan metode Risk Priority Number (RPN) akan didapatkan jumlah komponen kritis. Komponen kritis yang terpilih adalah Midframe, Compressor Rotor, Turbin Blade dan Power Turbin Drive Shaft. Kemudian ditentukan kebijakan perawatan dengan karakteristik kerusakan dengan menggunakan metode Reliability Centered Maintenance (RCM). Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan RCM, diperoleh tujuh scheduled on condition task, enam scheduled discard task, dan tiga scheduled restoration task. Interval waktu perawatan masing-masing komponen berbeda-beda sesuai dengan task yang diperoleh. Berdasarkan hasil pengukuran kuantitatif didapatkan interval maintenance dari masing- masing komponen kritis. Untuk scheduled on condition compressor rotor adalah 317.77 jam dan scheduled discard adalah 713.99 jam. Untuk scheduled on condition midframe adalah 659.86 jam, scheduled discard adalah 1408.02 dan scheduled restoration adalah 1408.44. Untuk scheduled on condition turbin blade adalah 393.52 dan scheduled discard adalah 876.78. Dan untuk scheduled on condition power turbin drive shaft adalah 758.60 dan scheduled restoration adalah 1662.59 jam. Kata kunci
Engine, maintenance, reliability, RCM, RPN
I. PENDAHULUAN Engine T700 adalah keluarga turboshaft dan turboprop mesin. Varian turboprop T700 menggunakan inti yang sama sebagai mesin turboshaft, dengan gearbox baling-baling dipasang maju dari inti. T700 turboprop digunakan pada varian pesawat Swedia Saab340 dan transporter CN235. Mesin turboprop adalah jenis pesawat pembangkit yang menggunakan turbin gas untuk menggerakkan baling-baling. Turbin gas yang dirancang khusus untuk aplikasi ini, dengan hampir semua output yang digunakan untuk menggerakkan baling-baling. Sedangkan mesin turboshaft adalah bentuk turbin gas yang dioptimalkan untuk menghasilkan daya poros, daripada dorong jet. Pada prinsipnya, mesin turboshaft mirip dengan turbojet, dengan ekspansi turbin tambahan untuk mengekstrak energi panas dari knalpot dan mengubahnya menjadi daya keluaran poros. Engine T700 merupakan salah satu tipe engine dari delapan tipe engine yang digunakan dalam pesawat terbang. Dalam sistem kerjanya, Engine T700 memiliki 4 subsistem pendukung, yaitu cold section module, hot section module, power turbine module dan accessory gear box drive module . Setiap subsistem dapat diurai lagi menjadi beberapa komponen yang tingkatannya lebih rendah. Perawatan Engine T700 existing dilakukan secara overhaul, yaitu kegiatan pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan setelah terjadinya suatu kerusakan pada fasilitas atau peralatan dengan melakukan pembongkaran dalam interval waktu tertentu. Padahal tingginya kegiatan overhaul
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-45
Noviyanti, Atmaji, dan Juliani
maintenance dapat menyebabkan tingginya biaya perawatan, downtime dan meningkatkan risiko kerugian akibat turunnya kinerja mesin. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan kegiatan maintenance yang lebih efektif bagi Engine T700 dan juga optimasi penentuan waktu perawatan mesin agar memiliki nilai reliability yang baik, mengurangi potensi terjadinya ketidaktepatan jenis aktivitas perawatan dan juga kesalahan dalam waktu pelaksanaan kegiatan maintenance. Untuk mewujudkan hal tersebut, metode yang dapat digunakan adalah metode Reliability Centered Maintenance (RCM). II. DASAR TEORI DAN PERANCANGAN Maintenance atau perawatan adalah semua tindakan yang diperlukan untuk mengembalikan sebuah item/ part/ equipment kepada kondisi semula (Dhillon, 2002). Tujuan utama dari kegiatan perawatan bukan hanya untuk mengoptimalkan ketersediaan (availability) pada biaya yang minimum. Preventive Maintenance adalah kegiatan perawatan yang dilakukan sebelum komponen atau sistem mengalami kerusakan dan bertujuan untuk mencegah terjadinya kegagalan fungsi (Marquez, 2008). Tindakan pemeliharaan preventive yang tidak sempurna dilakukan pada saat usia peralatan mencapai batas yang dikendalikan (Alhilman et al, 2015). Reliability Centered Maintenance (RCM) merupakan perawatan berbasis kehandalan dimana pendekatan RCM mengasumsikan bahwa perawatan tidak dapat bertindak lebih dari menjamin agar asset terus menerus mencapai kemampuan dasarnya. Dilihat dari sisi perawatan, pengertian lengkap dari RCM adalah suatu proses yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menjamin agar sembarang asset fisik dapat berlangsung terus memenuhi fungsi yang diharapkan dalam konteks operasinya saat ini. Tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode RCM adalah meningkatkan nilai reliabilitas dari komponen kritis dengan melakukan penjadwalan perawatan yang sesuai berdasarkan kriteria kerusakan dari masing- masing komponen kritis. Dalam penelitian ini, tahapan penyelesaian masalah yang dihadapi tergambar dalam model konseptual pada Gambar 1 di bawah. Berdasarkan model konseptual, input awal adalah Engine T700 yang akan dibuat System Breakdown Structure (SBS) untuk mengetahui pembagian berdasarkan fungsi dari engine tersebut. Dilanjutkan dengan criticality analysis system menggunakan risk priority number (RPN) berdasarkan nilai severity, detection, dan occurence dari pada failure record untuk mengetahui komponen yang termasuk ke dalam kategori kritis. Kemudian dilakukan analisis statistik berdasarkan TTF (Time To Failure), TTR (Time To Repair) dan DT (Downtime) yang didapatkan dari failure record untuk mengetahui distribusi data, parameter dan MTTR (Mean Time To Repair), MTTF (Mean Time To Failure) , dan MDT (Mean Downtime) dari setiap komponen kritis. Setiap komponen yang termasuk dalam komponen kritis akan diklasifikasikan manjadi 2 jenis yaitu repairable dan non-repairable. Selanjutnya untuk mengetahui maintenance task yang efektif dilakukan dua jenis pengukuran, yaitu pengukuran kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode Reliability Centered Maintenance (RCM). Kedua pengukuran ini mengacu kepada functional failure dari komponen kritis. Langkah awal dalam menggunakan RCM yaitu melakukan identifikasi fungsi-fungsi dari komponen kritis disertai dengan kinerja standar yang diinginkan secara rinci dengan menggunakan tools FMEA. Berdasarkan fungsi-fungsi standar tersebut akan didapatkan suatu kegagalan fungsional yaitu kegagalan yang disebabkan suatu sistem tidak dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan standar yang diinginkan. Dari kegagalan fungsional tersebut didapatkan model kegagalan yaitu penyebab yang memungkinkan terjadinya kegagalan fungsional itu sendiri. Model kegagalan dapat berupa cuaca, bencana alam, atau terjadinya kerusakan-kerusakan pada komponen yang di dalam sistem. Dari model kegagalan tersebut akan memunculkan suatu dampak/efek kegagalan. Efek kegagalan adalah segala kemungkinan yang akan terjadi jika model kegagalan telah muncul. Dampak kegagalan sendiri dibagi ke dalam empat kategori yaitu tersembunyi, keselamatan dan lingkungan, operasional dan non operasional. Dampak kegagalan tersebut akan menimbulkan suatu konsekuensi kegagalan. Konsekuensi kegagalan ini akan sangat berpengaruh terhadap penentuan kebijakan maintenance yang akan dipilih. Dalam penelitian akan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-46
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 Dengan Metode Reliability-Centered Maintenance (RCM)
dibahas perhitungan interval waktu maintenance, sehingga didapatkan kebijakan maintenance yang efektif. Engine T700
System Breakdown Structure Failure Record System Sub Sistem Kritis Engine T700 RPN (Risk Priorit y Number)
Komponen Kritis Engine T700
DT
Functional Failure
RCM (Reliability Centered Maintenance)
MDT
TTR
MTTR
TTF
MTTF
Reliabilitas Preventive Task
Lost of Revenue Upah Engineer Biaya Material
Biaya Komponen
Biaya Perawatan
Optimasi Interval Waktu Perawatan
Kebijakan Perawatan
Gambar 1 Model Konseptual
Berdasarkan model konseptual diatas, hasil dari perhitungan kegiatan perawatan existing dengan metode RCM adalah penjadwalan usulan dengan melihat interval waktu perawatan sehingga dapat ditentukan kebijakan perawatan yang tepat bagi masing- masing komponen kritis. Hasil RCM yang tepat adalah nilai initial interval waktu perawatan yang kurang dari existing sehingga nilai reliability dari masing- masing komponen kritis meningkat. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data waktu kerusakan yang dipakai untuk penelitian ini adalah lima tahun dari bulan Januari 2012 sampai Desember 2016. Penentuan distribusi pada data Time to Repair dilakukan dengan menggunakan uji Anderson Darling. Dengan menggunakan uji tersebut akan diketahui distribusi yang paling mewakili untuk data Time to Repair untuk masing-masing komponen kritis. Nilai AD merupakan nilai yang menunjukkan apakah suatu distribusi dapat mewakili penyebaran suatu data. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin kecil nilai AD tersebut maka semakin mewakili distribusi terhadap penyebaran data tersebut. Nilai P-Value digunakan untuk mengetahui suatu hipotesis ditolak atau diterima dengan ketentuan Ho ditolak jika P-Value < α. Setelah TTF dan TTR didapat maka dilakukan plotting distribusi untuk menentukan nilai parameter keandalan. Pada Tabel 1. menunjukkan distribusi dari setiap TTF dan TTR. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-47
Noviyanti, Atmaji, dan Juliani
Tabel 1 Penentuan Distribusi TTF dan TTR Komponen Kritis Distribusi TTF Distribusi TTR Compressor Rotor
Weibull
Weibull
Midframe
Weibull
Weibull
Turbin Blade
Weibull
Weibull
Power Turbin Drive Shaft
Weibull
Weibull
Setelah mendapatkan distribusi yang mewakili, selanjutnya pada Tabel 2. dan 3. merupakan penentuan nilai parameter keandalan berdasarkan distribusi yang mewakili. Tabel 2 Parameter Keandalan TTF Komponen Kritis Distribusi Parameter η 717.544 Compressor Rotor Weibull β 2.09157 η 1409.88 Mid Frame Weibull β 1.22377 η 879.416 Turbin Blade Weibull β 1.63325 η 1664.6 Power Turbin Drive Shaft Weibull β 1.39971 Tabel 3 Parameter Keandalan TTR Distribusi Parameter η 166.98 Compressor Rotor Weibull β 25.9599 η 167.419 Mid Frame Weibull β 23.4779 η 166.992 Turbin Blade Weibull β 23.5428 η 166.235 Power Turbin Drive Shaft Weibull Komponen
β
23.9074
MTTF (Jam) 635.5423257 1319.714438 787.0392572 1517.204659
MTTR (Jam) 163.5039671 163.5921059 163.1846253 162.4985533
A. Preventive Task Preventive task merupakan tindakan maintenance diambil sebelum kegagalan terjadi, dengan harapan dapat mencegah kegaagalan equipment (Dhillon, 2002). Di dalam RCM, preventive maintenance terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu scheduled on-condition tasks, scheduled restoration tasks, dan scheduled discard tasks. Dalam penentuan tindakan preventive maintenance akan dilakukan berdasarkan RCM decision diagram yang dapat dilihat pada table 4. B. Interval Waktu Scheduled On-Condition Pada penentuan interval waktu scheduled on-condition digunakan parameter Mean Time to Failure (MTTF). MTTF merupakan rata-rata waktu antar kerusakan (satu kerusakan menuju kerusakan selanjutnya) yang dialami oleh komponen kritis. Paramater MTTF dijadikan acuan untuk menetapkan interval waktu scheduled on-condition dikarenakan suatu preventive maintenance harus lebih kecil dari nilai MTTF-nya agar mengurangi peluang terjadinya kerusakan dari komponen kritis tersebut. Rumus (1) digunakan untuk menentukan nilai dari initial interval perawatan scheduled on condition. Interval Waktu Scheduled On- Condition dapat dilihat pada table 5. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-48
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 Dengan Metode Reliability-Centered Maintenance (RCM)
P-F Interval = ½ x MTTF
(1) Tabel 4 Preventive Task
No
1
2
3
4
Komponen Kritis
Mid Frame
Compressor Rotor
Turbin Blade
Power Turbin Drive Shaft
Information Reference F
Task
Task Usulan
1
Scheduled on Condition
Melakukan Cleaning Coating
1.2
2
Scheduled Restoration
1.3
3
Scheduled on Condition
1.4
4
Scheduled Discard
Melakukan Penggantian Seal
1.5
5
Scheduled Discard
Melakukan Penggantian Seal
2.1
1
Scheduled on Condition
Melakukan Cleaning Coating
2.2
2
Scheduled Discard
Melakukan Penggantian Rotor
2.3
3
Scheduled on Condition
Melakukan Cleaning Coating
3.1
1
Scheduled Discard
Melakukan Pergantian Compressor
3.2
2
Scheduled on Condition
Melakukan Pengecekan Material
3.3
3
Scheduled on Condition
Melakukan Pengecekan Material
3.4
4
Scheduled Discard
Melakukan Penggantian Blade
3.5
5
Scheduled Discard
Melakukan Penggantian Blade
4.1
1
Scheduled Restoration
Melakukan Perbaikan Desain Torsi
4.2
2
Scheduled Restoration
Melakukan Perbaikan Pada Tingkat Ketelitian
4.3
3
Scheduled on Condition
Melakukan Cleaning Coating
FF
FM
1.1
1
2
3
4
Melakukan Perbaikan Pada Material Deformasi Melakukan Cleaning Akibat Erosi udara
Tabel 5 Interval Waktu Scheduled On- Condition Information Reference Komponen Kritis
F
Mid Frame
1
Compressor Rotor
2
Turbin Blade
3
Power Turbin Drive Shaft
4
Task Usulan
P-F Interval (MTTF)
1
Melakukan Cleaning Coating
1319.71
Initial Interva l (Hour) 659.85
1.3
3
Melakukan Cleaning Akibat Erosi udara
1319.71
659.85
2.1
1
Melakukan Cleaning Coating
635.54
317.77
2.3
3
Melakukan Cleaning Coating
635.54
317.77
3.2
2
Melakukan Pengecekan Material
787.03
393.51
3.3
3
Melakukan Pengecekan Material
787.03
393.51
4.3
3
Melakukan Cleaning Coating
1517.20
758.60
FF
FM
1.1
C. Interval Waktu Scheduled Restoration dan Discard Pada penentuan interval waktu restoration dan schedule discard ditentukan berdasarkan cost of maintenance (CM), cost of failure (CF) dan nilai parameter MTTF. Perhitungan interval perawatan pada Schedule Restoration dan Discard Task adalah dengan rumus (2) :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-49
Noviyanti, Atmaji, dan Juliani
(
)
(2)
Kebijakan penjadwalan restoration ataupun discard ditentukan berdasarkan jenis kerusakan masing- masing komponen kritis. Penjadwalan restoration ditentukan apabila kerusakan komponen kritis tersebut dapat diperbaiki tanpa perlu adanya penggantian. Dan untuk penjadwalan discard ditentukan apabila kerusakan komponen kritis tersebut perlu adanya penggantian. Berikut merupakan hasil perhitungan penjadwalan perawatan untuk scehedule restoration dan discard task.
Komponen Kritis
Mid Frame
Compressor Rotor
Turbin Blade
Power Turbin Drive Shaft
Tabel 6 Interval Waktu Scheduled Restoration dan Discard Information Reference Task Usulan F FF FM Melakukan Perbaikan Pada 1.2 1 Material Deformasi 1 1.4 4 Melakukan Penggantian Seal 2
3
Initial Interval (Hours) R
1408.448809
D
1408.02239
1.5
5
Melakukan Penggantian Seal
D
1408.02239
2.2
2
D
713.999918
3.1
1
D
876.786493
3.4
4
Melakukan Penggantian Rotor Melakukan Pergantian Compressor Melakukan Penggantian Blade
D
876.786493
3.5
5
D
876.786493
4.1
1
R
1662.59587
4.2
2
Melakukan Penggantian Blade Melakukan Perbaikan Desain Torsi Melakukan Perbaikan Pada Tingkat Ketelitian
R
1662.59587
4
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan metode Risk Priority Number (RPN), komponen yang menjadi komponen kritis pada Engine T700 adalah Compressor Rotor, Midframe, Turbin Blade, dan Power Turbin Drive Shaft. Total nilai Risk Priority Number dari masing- masing komponen kritis adalah 432 untuk Compressor Rotor, 486 untuk Midframe, 441 untuk Turbin Blade dan 405 untuk Power Turbin Drive Shaft. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan metode Reliability Centered Maintenance (RCM) didapatkan kebijakan maintenance untuk komponen kritis pada Engine T700 adalah scheduled on-condition sebanyak tujuh dari masing- masing failure mode, scheduled restoration sebanyak tiga dari masing- masing failure mode dan scheduled discard sebanyak enam dari masing- masing failure mode . Berdasarkan hasil pengukuran kuantitatif didapatkan interval maintenance dari masingmasing komponen kritis. Untuk scheduled on condition compressor rotor adalah 317.77 jam dan scheduled discard adalah 713.99 jam. Untuk scheduled on condition midframe adalah 659.86 jam, scheduled discard adalah 1408.02 dan scheduled restoration adalah 1408.44. Untuk scheduled on condition turbin blade adalah 393.52 dan scheduled discard adalah 876.78. Dan untuk scheduled on condition power turbin drive shaft adalah 758.60 dan scheduled restoration adalah 1662.59 jam.
DAFTAR PUSTAKA Alhilman, Judi, Rd Rohmat Saedudin, Fransiskus Tatas Dwi Atmaji, and Andri Gautama Suryabrata. 2015. “LCC Application for Estimating Total Maintenance Crew and Optimal Age of BTS Component.” In 2015 3rd International Conference on Information and Communication Technology”, ICoICT 2015, 543–47. doi:10.1109/ICoICT.2015.7231483. Dhillon, B S. 2002. Engineering Maintenance. doi:10.1016/0301-679X(79)90076-8.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-50
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance Subsistem Kritis Engine T700 Dengan Metode Reliability-Centered Maintenance (RCM)
Levrat, E, B Iung, and A Crespo Marquez. 2008. “E-Maintenance: Review and Conceptual Framework.” Production Planning & Control 19 (4). Taylor & Francis: 408–29. doi:10.1080/09537280802062571. Moubray, John. 1991. Reliability Centered Maintenance. London: Butterworth-Heinemann
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-51
Petunjuk Sitasi: Siregar, k., & Syahputri, K. (2017). Analisis Process Capability dalam Menentukan Kemampuan Proses Produksi pada Industri Baja. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C52-55). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Process Capability dalam Menentukan Kemampuan Proses Produksi pada Industri Baja (1), (2)
Khawarita Siregar(1), Khalida Syahputri(2) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU, Medan 20155 (1) [email protected], (2)[email protected] ABSTRAK
Kepuasan konsumen merupakan hal yang penting yang perlu diperhatikan oleh setiap perusahaan. Kepuasan konsumen dapat diukur dengan banyaknya permintaan pasar. Dalam kegiatan produksi, perusahaan sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar. Untuk memenuhi permintaan tersebut, maka perusahaan terlebih dahulu harus merencanakan kemampuan perusahaan dalam memproduksi permintaan produksi. Industri baja konstruksi mengalami permasalahan pada pemenuhan permintaan konsumen. Dalam satu tahun, terdapat beberapa periode dimana perusahaan belum mampu memenuhi permintaan konsumen. Hal ini disebabkan karena perusahaan tidak mengetahui kemampuan produksinya pada beberapa periode tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis untuk mengukur kemampuan proses produksi baja konstruksi dalam menghasilkan produk yang memiliki mutu seragam. Metode yang digunakan yaitu capability process. Dengan metode ini akan dihasilkan nilai batas untuk setiap karakteristik mutu baja kontruksi yaitu yield stress, ratio dan uniform elongation. Hasil untuk masing-masing karakteristik mutu yaitu yield stress, ratio dan uniform elongation diperoleh nilai Cp > 1 yang berarti perusahaan mampu melakukan proses produksi. Perbedaannya terletak pada nilai Cpk, diperoleh untuk karakteristik mutu yield stress < 1 yang menunjukkan proses produksi masih menghasilkan produk belum sesuai dengan spesifikasi. Kata kunci — Process capability, baja konstruksi, yield stress, ratio, uniform elongation
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar bebas merupakan salah satu bentuk nyata dari globalisasi ekonomi. Dengan adanya globalisasi, para pelaku industri memang dituntut untuk semakin kreatif menciptakan produk produk yang tidak hanya mampu bersaing dengan sesama produk buatan dalam negeri, namun juga harus mampu bersaing dengan produk - produk dari negara lain. Daya saing setiap industri dapat ditingkatkan dangan inovasi produk, dan perbaikan secara berkelanjutan agar mampu bertahan bahkan memenangkan persaingan dihati konsumen. Perbaikan yang dilakukan diantaranya dengan meningkatkan kualitas untuk meningkatkan kepercayaan dan kepuasaan konsumen. Kepuasan konsumen merupakan hal yang penting yang perlu diperhatikan oleh setiap perusahaan. Kepuasan konsumen dapat diukur dengan banyaknya permintaan pasar. Dalam kegiatan produksi, perusahaan sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar. Untuk memenuhi permintaan tersebut, maka perusahaan terlebih dahulu harus merencanakan kemampuan perusahaan dalam memproduksi permintaan produksi. Industri baja konstruksi mengalami permasalahan pada pemenuhan permintaan konsumen. Dalam satu tahun, terdapat beberapa periode dimana perusahaan belum mampu memenuhi permintaan konsumen dan menyebabkan produktivitas pada perusahaan menurun. Hal ini disebabkan karena perusahaan tidak mengetahui kemampuan produksinya pada beberapa periode tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis untuk mengukur kemampuan proses produksi baja konstruksi dalam menghasilkan produk yang memiliki mutu seragam dengan menggunakan process capability. Process Capability ditentukan dari tingkat variasi yang terjadi dalam proses yang disebabkan oleh penyebab umum. Dengan menggunakan process capability dapat dilihat SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-52
Analisis Process Capability dalam Menentukan Kemampuan Proses Produksi pada Industri Baja
variabilitas atau tingkat keseragaman dalam karakteristik proses yang telah ditetapkan dalam ukuran indeks dan sejauh mana proses mampu (capable) dalam memproduksi dari spesifikasi (diartikan sebagai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan) yang diijinkan. Ukuran dari process capability disebut capability index, yaitu Cp dan Cpk. Capability index suatu proses adalah perbandingan variasi proses terhadap spesifikasi yang telah ditentukan. Nilai capability index minimum untuk distribusi normal adalah satu (DoD Handbook, 1999). Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Shinde (2012) untuk mengetahui performansi pada bagian-bagian mesin. Metode yang digunakan pada penelitian ini berupa capability process (Cpk) dan process performance index (Ppk). Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa analisis kapabilitas dapat diaplikasikan tidak hanya dalam periode produksi tetapi juga dapat diaplikasi untuk sebuah mesin atau bagian-bagian mesin. Hal ini terbukti dengan hasil peta control untuk machine tool yang berada dibawah batas control yang ditentukan. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan perusahaan dalam hal pemenuhan permintaan konsumen pada beberapa periode yang disebabkan karena kurangnya kemampuan produksi perusahaan dalam beberapa periode tersebut. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan proses produksi baja konstruksi dalam menghasilkan produk yang memiliki mutu seragam dengan menggunakan process capability.
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan pengamatan secara langsung dan wawancara dengan staff di industri baja konstruksi dimana metode yang digunakan berupa capability process.Perhitungan Process Capability yang dilakukan dengan menentukan nilai Cp dan Cpk dari proses yang diteliti. Nilai Cp menunjukkan apakah proses yang dijalankan dalam pembuatan suatu produk capable atau tidak. Sedangkan nilai Cpk menunjukkan apakah proses yang dijalankan dalam pembuatan suatu produk sudah memenuhi USL atau LSL dari spesifikasi yang ditetapkan pihak perusahaan. Nilai Cp tidak mengindikasikan bahwa suatu proses telah benar-benar sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan terhadap proses, tetapi hanya merupakan hasil perhitungan dari proses statistical control. Nilai yang menentukan bahwa proses telah sesuai atau tidak terhadap karakteristik proses adalah nilai dari Cpk (performance index), dimana nilai minimum dari Cpk yang telah dianjurkan adalah 1,00. Kedua nilai ini harus dilakukan secara bersama, untuk menghasilkan standar proses yang diinginkan. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah karakteristik mutu pengujian baja konstruksi berupa yield stress, ratio dan uniform elongation.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode capability process untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memproduksi baja konstruksi. Untuk menentukan capability process, terlebih dahulu ditentukan batas-batas kendali untuk setiap karakteristik. Penetuan batas kendali mutu masing-masing karakteristik mutu menggunakan peta kendali (control chart) dengan menghitung nilai rata-rata dan range kemudian menentukan batas kendali atas dan batas kendali bawah. Masing-masing karakteristik mutu ditentukan peta kendalinya, jika tidak terdapat data diluar kontrol (out of control) maka dilanjutkan dengan melakukan perhitungan index capability. Adapun perhitungan nilai rata-rata dan range untuk karakteristik yield stress dapat dilihat pada Tabel 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-53
Siregar, dan Syahputri
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 1. Nilai Rata-rata dan Range
̅
R
No
̅
R
No
̅
R
No
̅
R
592,67 593 584,67 595,33 606,67 583,33
4 37 46 41 36 22
7 8 9 10 11 12
580,67 597,67 583 594,67 594,67 613,33
50 57 36 27 16 50
13 14 15 16 17 18
592,67 596,33 587 597 601,67 585,67
69 42 8 51 19 37
19 20 Jumlah Rata-rata
591,67 594,33 11866 593,30
59 20 697 34,85
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan data diatas, diperoleh nilai ̿ yaitu 593,30 dan nilai ̅ yaitu 34,85. Batas kontrol atas dan bawah dapat dihitung dengan rumus: A2=1,023 D4=2,574 BKA ̿ : ̿ + A2 ̅ BKAR : ̅ + D4 ̅ : 593,30+ (1,023 x 34,85) : 34,85 + (2,574 x 34,85) : 628,9516 : 124,5539 BKB ̿ : ̿ - A2 ̅ BKB0R : ̅ -D4 ̅ : 593,30- (1,023 x 34,85) : 34,85 - (2,574 x 34,85) : 557,649 : -54,8539 = 0 ̿ Seluruh data dan R dari yield stress berada dalam batas control, hal ini menunjukkan proses telah in statistical control. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan data ratio, diperoleh nilai ̿ yaitu 1,1556 dan nilai ̅ yaitu 0,02. Batas kontrol atas dan bawah dapat dihitung dengan rumus: BKA ̿ : 1,1781 BKAR : 0,0785 BKB ̿ : 1,1331 BKBR : -0,0345 = 0 ̿ Seluruh data dan R dari ratio berada dalam batas control, hal ini menunjukkan proses telah in statistical control. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan data diatas, diperoleh nilai ̿ yaitu 7,7333 dan nilai ̅ yaitu 1,25. Batas kontrol atas dan bawah dapat dihitung dengan rumus: BKA ̿ : 9,0121 BKAR : 4,4675 BKB ̿ : 6,4546 BKBR : -1,9675 = 0 Seluruh data ̿ dan R dari uniform elongation berada dalam batas control, hal ini menunjukkan proses telah in statistical control. Karena semua data berada pada batas kontrol, maka dapat ditentukan nilai Cp dan Cpk. Kriteria dalam penilaiannya antara lain: 1. Jika Cp >1,33, maka proses kapabilitas sangat baik 2. Jika 1,00 > Cp > 1,33, maka proses kapabilitas baik 3. Jika Cp < 1, maka proses kapabilitas sangat rendah, sehingga perlu ditingkatkan kinerjanya melalui peningkatan proses. Untuk karakteristik yield stress, spesifikasi yang digunakan perusahaan berkisar antara 500-650 MPa. Maka dapat diperoleh nilai Cp dan Cpk dengan perhitungan berikut: σ=
̅
=
20,5848
Cp =
= ̿
1,2145 ̿
CPU = dan CPL = Cpk = Minimum { CPU ; CPL }
Cpk = M
(
Cpk = M
(
L- ̿ ) σ –
(
̿ -L
)
L
σ
(
) -
)
Cpk = Min {0,9182 ; 1,5108} Cpk = 0,9182
Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai Cp dan Cpk dengan cara yang sama untuk karakteristik ratio dan uniform longation sehingga diperoleh hasil masing-masing Cp = 1,2145; Cpk = 1,0779 dan Cp = 1,5801; Cpk = 1,2339 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-54
Analisis Process Capability dalam Menentukan Kemampuan Proses Produksi pada Industri Baja
Nilai Capability Index (Cp) dan Cpk yang didapat menunjukkan bahwa: 1. Nilai Cp untuk karakteristik yield stresss> 1 maka proses produksi mampu. Nilai Cpk < 1 menunjukkan proses produksi masih menghasilkan produk yang belum sesuai dengan spesifikasi. 2. Nilai Cp untuk karakteristik ratio> 1 maka proses produksi mampu. Nilai Cpk > 1 menunjukkan proses produksi sudah menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi. 3. Nilai Cp untuk karakteristik yield stresss > 1 maka proses produksi mampu. Nilai Cpk > 1 menunjukkan proses produksi sudah menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi.
IV. PENUTUP Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan terhadap mesin debarking drum adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil perhitungan batas kontrol dengan menggunakan peta kontrol variabel didapat bahwa semua karakteristik berada dalam batas kontrol atau in control sehingga tidak perlu dilakukan revisi. 2. Hasil perhitungan index capability diperoleh bahwa untuk nilai Cp, setiap spesifikasi berupa yield stress, ratio dan uniform elongation memiliki nilai lebih dari 1 sehingga perusahaan dikategorikan mampu dalam melakukan proses produksi. Sedangkan untuk penilaian Cpk, terdapat satu spesifikasi atau karakteristik yang memiliki nilai dibawah 1 yaitu yield stress dengan nilai 0,94 sehingga disimpulkan bahwa proses yang dijalankan untuk menghasilkan baja kontruksi belum memenuhi upper specification level (USL) yield stress. Saran yang diperlukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan pemeriksaan berkala terhadap semua mesin dan peralatan produksi terutama elemen-elemen yang merupakan penyebab cacat pada produk dan perlu diadakannya pelatihan dalam merawat dan menggunakan mesin proses serta peralatan kerja untuk meningkatkan keterampilan operator sehingga tingkat ketelitian dan keahlian akan semakin tinggi. 2. Setiap melakukan proses produksi perlu melakukan pengujian dengan benar dan memperhatikan dengan teliti penyebab-penyebab yang berpengaruh terhadap pengendalian 3. Setelah proses terkendali secara statistik, kapabilitas perlu dihitung untuk menegetahui kemampuan proses dalam menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi.
DAFTAR PUSTAKA Banks, J.,1987, Principles of Quality Control, Canada: John Wiley & Sons, Inc Besterfield, Dale H., 1998, Quality Control Fifth Edition , New Jersey: Prentice Hall International Inc., Simon & Schuster Erameh, dkk. ― Process Capability Analysis pf a Centre Lathe Turning Process”, Scientific Research Publishing , Maret 2016 Gaspersz, Vincent, 2001, Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum Grant, Eugene L., 1996, International Edition Statistical Quality Control, 7th Edition, New York : Mc Graw-Hill Handbook United States of America, DoD., Approve for Public Release, 10 Februari 1999 J.H. h de d K k r. 1 ― Importance of Process Capability and Process Performance Indices in Machine Tool”, IJREAS : 2249-3905 Mondal dan Maiti. ― Process Capability Analysis of a Centrifugal Casting Process”, Proceedings of the 2010 International Conference on Industrial Engineering and Operations Management Dhaka Bangladesh, 9-10 Januari 2010 Rajvanshi dan Belokar. 1 ― Improving the Process Capability of a Boring Operation by the Application of Statistical Techniques”, International Journal of Scientific & Engineering Research: 1-6
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-55
Petunjuk Sitasi: Herianto, & Irlanda, E. A. (2017). Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D ―CLab A01‖. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C56-61). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D “CLab A01” Herianto (1), Erika Aulia Irlanda (2) (1), (2)
Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta – Indonesia 55281 (1) [email protected] ABSTRAK
Perkembangan teknologi yang semakin pesat mempengaruhi pembuatan prototype menjadi tidak memakan waktu dan biaya dengan menggunakan mesin rapid prototyping atau biasa dikenal printer 3D. Kebutuhan dan harapan dari printer 3D ini terus meningkat, namun seringkali printer 3D mengalami kerusakan dan diperparah dengan belum banyak ditemukan tempat servis di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan kebijakan perawatan pada mesin printer 3D “CLab A01” yang memiliki basis teknologi Fused Deposition Method (FDM) yang sedang dikembangkan oleh salah satu perusahan 3D Printer di Indonesia (Centralab Indonesia), dengan menggunakan metode Reliability Centered Maintenance (RCM). Alasan pemilihan metode RCM dikarenakan belum pernah dilakukan analisis tindakan perawatan pada printer tersebut sehingga perlu metode yang lengkap seperti RCM untuk mengetahui apakah ada kegagalan yang mempengaruhi keselamatan dan lingkungan, serta untuk mengetahui jenis perawatan seperti apa yang dibutuhkan. Dalam RCM terdapat beberapa tahapan, yaitu dengan membuat Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk mengidentifikasi dampak kegagalan dari suatu komponen terhadap system, dan Logic Tree Analysis (LTA) untuk mengetahui konsekuensi yang dihadapi ketika kegagalan terjadi dan untuk pemilihan tindakan yang dijadikan rekomendasi tindakan yang tepat untuk memperbaiki kegagalan yang terjadi. Metode tersebut dilakukan dengan melakukan pengumpulan data informasi mengenai printer 3D “CLab A01” dan wawancara dengan pengembang printer 3D tersebut. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah didapatkan 51 rekomendasi perawatan untuk printer 3D “Clab A01” yang terdiri dari 16 tindakan on-condition, 5 tindakan perbaikan berkala, 7 tindakan failure finding, dan 23 tindakan run to failure. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu industri dalam negeri dalam menghasilkan produk printer 3D yang berkualitas sehingga memiliki daya saing yang tinggi di pasar. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi pengguna mesin printer 3D agar dapat memperpanjang umur mesin dan membantu proses perawatan. Kata kunci — Rapid prototyping, printer 3D, perawatan, Reliability Centered Maintenance (RCM), Fused Deposition Method (FDM)
I. PENDAHULUAN Dalam dunia industri yang terus berkembang terutama bidang manufaktur, suatu desain menjadi hal yang penting karena persaingan semakin ketat, sehingga inovasi harus semakin berkembang untuk mendapatkan pasar. Kondisi tersebut membuat produsen harus mampu merespon kondisi dengan cepat dan merealisasikan suatu konsep menjadi produk yang diinginkan oleh pasar, salah satu tahapan untuk merealisasikan produk yang diinginkan pasar tersebut adalah dengan prototyping. Prototyping menjadi kunci utama untuk menilai apakah desain suatu produk telah memenuhi kriteria yang diinginkan dan siap untuk diproduksi atau belum. Perkembangan teknologi saat ini membuat pembuatan prototype tidak lagi membutuhkan waktu dan biaya yang banyak, karena saat ini pembuatan prototype dapat dilakukan dalam waktu singkat dan biaya yang murah dengan mesin rapid prototyping atau dikenal juga dengan printer 3D. Bisnis manufaktur dengan teknologi printer 3D baru terdengar di Indonesia, namun peluangnya menjanjikan karena menarik perhatian banyak pihak, karena sebenarnya banyak orang yang butuh membuat berbagai objek dengan teknologi semacam ini, hanya saja belum banyak orang yang mengetahui teknologi printer 3D ini. Bisnis pada bidang 3D printing berpeluang SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-56
Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D “CLab A01”
menyasar pasar perusahaan manufaktur, desain, bahkan personal. Para konsultan industri telah memperkirakan pertumbuhan pasar 3D printing akan mencapai 20% setiap tahunnya (Sekar, 2014). Printer 3D yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah printer 3D ―CLab A01‖ yang memiliki basis teknologi Fused Deposition Method (FDM) yang sedang dikembangkan oleh salah satu perusahan 3D Printer di Indonesia (Centralab Indonesia). Kebutuhan dan harapan dari printer 3D ini akan terus meningkat, namun seringkali printer 3D mengalami kerusakan dan belum banyak terdapat tempat servis di Indonesia. Hal inilah yang menginspirasi peneliti untuk dapat memaksimalkan performa alat tersebut dengan merancang kegiatan perawatan yang dapat memperpanjang umur pakai printer 3D tersebut agar dapat terus memenuhi harapan pengguna dan konsumen. Perancangan kegiatan perawatan yang terjadwal juga dapat membantu penggunanya untuk menyiapkan komponen yang dibutuhkan untuk memperbaiki printer 3D tersebut agar tidak mengalami kegagalan terlalu lama. Kegiatan perawatan untuk printer 3D pun dirancang untuk mengurangi resiko kegagalan yang diperkirakan akan terjadi pada peralatan di printer 3D, dan metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah Reliability Centered Maintenance (RCM). Penelitian mengenai manajemen perawatan telah banyak dilakukan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Azis (2009) yang juga menggunakan metode RCM, Fanani (2011) dengan metode Lean Manufacturing dan Susetyo (2011) dengan metode six sigma. Dari penelusuran penulis belum banyak penelitian yang menggunakan 3D printing sebagai objek penelitian apalagi menggunakan metode RCM. Pemilihan metode RCM ditentukan dengan pertimbangan yang didasarkan oleh penelitian Bore (2008) yang telah membandingkan metode RCM dengan Six Sigma dan Lean Method dengan metode AHP dan didapatkan bahwa RCM memiliki nilai tertinggi. II. METODE A. Langkah-Langkah Metode RCM Penelitian ini memiliki tujuan untuk menentukan sistem perawatan yang sesuai untuk printer 3D ―CLab A01‖. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap, sehingga dapat dibuat FMEA dan penentuan tindakan perawatan pada printer 3D tersebut (Gambar 1).
Gambar 1 Tahapan penelitian
Pada langkah pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara pada expert judgement, yang dalam penelitian ini adalah seseorang yang merakit printer 3D ―CLab A01‖. Berikut adalah struktur sistem printer 3D ―Clab A01‖ (Gambar 2). Masing-masing sub sistem terdiri dari beberapa komponen
Gambar 2 Struktur sistem printer 3D ―Clab A01‖ SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-57
Herianto, dan Irlanda
B. Identifikasi Peralatan dan Fungsi Peralatan Pada tahap ini, peneliti akan membuat daftar komponen yang akan dianalisis dan membuat deskripsi fungsi dari setiap komponen yang ada dalam sistem mesin tersebut. Fungsi peralatan dibuat selengkap mungkin untuk membantu peneliti memahami dalam keadaan seperti apa sebuah fungsi dapat dikatakan mengalami kegagalan. C. Analisis Kegagalan Fungsi, Penyebab Terjadinya Kegagalan, dan Efek Kegagalan Analisis terhadap kegagalan fungsi, penyebab terjadinya kegagalan, dan efek kegagalan dilakukan untuk dijadikan sebagai data pembuatan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Langkah 2, 3, dan 4 pada bagian proses dilakukan dengan analisis Decision Diagram yang kemudian hasilnya digunakan untuk pengisian tabel Information Worksheet (Tabel 1) dan Decision Worksheet (Tabel 2) yang pada paper ini mengambil contoh bagian nozzle yang merupakan salah satu komponen yang sering megalami masalah. Hasilnya dapat digunakan untuk membuat sistem penjadwalan perawatan pada printer 3D ―CLab A01‖. Tabel 1 Information Worksheet: Nozzle
Tabel 2 Decision Worksheet: Nozzle
D. Analisis Kategori Efek Kegagalan Analisis kategori efek kegagalan, yang merupakan bagian dari proses penyusunan Decision Diagram yang merupakan proses kualitatif, digunakan untuk mengetahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-masing Failure Mode. Analisis pada tahap ini dilakukann dengan menggunakan Decision Diagram yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Tujuan dari analisis kategori efek kegagalan adalah untuk mengklarifikasi Failure Mode ke dalam beberapa kategori sehingga dapat menentukan tingkat prioritas dalam penanganan masing-masing Failure Mode. Dalam Decision Diagram terdapat 4 jenis konsekuensi kegagalan sebagai berikut: 1. Hidden, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi gangguan pada sistem?
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-58
Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D “CLab A01”
2. Safety and Environment, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan kerusakan yang dapat membunuh seseorang, atau dapat menyebabkan pelanggaran standar lingkungan hidup? 3. Operational, yaitu apakah modus kegagalan ini mempunyai dampak buruk terhadap operasional (output, kualitas produk, pelayanan pelanggan, atau biaya operasi)? 4. Non-Operational, yaitu modus kegagalan yang tidak berdampak pada kualitas operasional. Satu-satunya konsekuensi yang diakibatkannya adalah biaya langsung perbaikan sehingga konsekuensi semacam ini digolongkan juga dalam konsekuensi ekonomi. E. Pemilihan Tindakan Perawatan Pemilihan tindakan perawatan dilakukan dengan melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab pada Decision Diagram. Ada enam maintenance task utama yang dapat dipilih, yaitu scheduled on-condition, scheduled restoration, scheduled discard, scheduled failure-finding, no scheduled maintenance, dan redesign. Untuk mengatasi kegagalan fungsi peralatan, satu tindakan perawatan terkadang tidak cukup apalagi berkaitan dengan keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan, sehingga kombinasi dari tindakan perawatan dapat dipilih dan diterapkan. Pada tahap ini juga dilakukan estimasi kapan akan dilakukan tindakan tersebut. Terdapat dua kategori dari tindakan yang dapat diambil sebagai tindakan perawatan (Moubray, 1997), yaitu: 1. Tindakan proaktif: Tindakan ini diambil sebelum suatu kegagalan terjadi, dalam rangka mencegah keadaan gagal pada suatu barang. Tindakan ini mencakup apa yang biasa dikenal dengan predictive maintenance dan preventive maintenance, namun pada RCM istilah yang digunakan adalah tindakan on-condition, scheduled restoration (perbaikan berkala),dan scheduled discard (penggantian berkala) 2. Tindakan-tindakan terakhir: Tindakan ini diambil dalam keadaan gagal, dan dipilih karena tidak ada lagi tindakan proaktif yang efektif yang bisa diambil. Yang termasuk dalam tindakan-tindakan terakhir adalah scheduled failure-finding, no scheduled maintenance, dan redesign. Tahapan analisis kategori kegagalan dan pemilihan tindakan perawatan ini dilakukan dengan melakukan analisis menggunakan Decision Diagran.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis dikakukan pada setiap subsistem: mekanik, elektronik, software, frame dan extruder. Beberapa contoh hasil dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Information worksheet printer ―CLab A01‖
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-59
Herianto, dan Irlanda
Untuk contoh decision worksheet pada bagian ekstruder dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Decision worksheet printer ―CLab A01‖
Pada tahap FMEA, terdapat 51 mode kegagalan, yang 20 diantaranya merupakan kegagalan yang terjadi pada sub sistem electronics, 13 kegagalan terjadi pada subsistem mechanics, 11 kegagalan terjadi pada subsistem extruder, dan 7 kegagalan terjadi pada subsistem frame. Dengan tindakan perawatan yang terdiri dari tindakan on-condition, perbaikan berkala, failure finding, dan run to failure dengan jumlah dan persentase yang ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil Logic Tree Analysis untuk menentukan jenis kegagalan dari total 51 failure mode, menunjukkan bahwa 18 diantaranya merupakan kategori kegagalan tersembunyi, 27 diantaranya merupakan kegagalan operasional yang mempengaruhi output yaitu kualitas benda yang dihasilkan, dan 6 diantaranya merupakan kegagalan non-operasional karena tidak mempengaruhi output dan hanya mempengaruhi aspek ekonomi. Tabel 3 Jumlah Total Tindakan Perawatan Printer 3D ―CLab A01‖ On-condition
16 (31%)
Perbaikan berkala
5 (10%)
Failure finding
7 (14%)
Run to failure
23 (45%)
Total
51
Dari Tabel 3 juga terlihat jika kegiatan run to failure adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan, hal tersebut dikarenakan komponen yang ada pada printer 3D ―CLab A01‖ memiliki masa pakai yang panjang, dan kegagalan yang terjadi tidak ada yang mempengaruhi keselamatan penggunanya dan memberi dampak buruk pada lingkungan. Kegiatan tersebut juga terpilih karena tidak ada tindakan proaktif yang efektif untuk dilakukan. Kegiatan on-condition juga banyak dilakukan karena banyak kegagalan yang memiliki tandatanda yang dapat dideteksi lebih dulu sebelum mengalami kegagalan, dan dengan jangka waktu yang dapat diprediksi oleh pihak yang merakit printer tersebut. Kegiatan failure finding, dilakukan karena tidak ada jangka waktu yang jelas dari kerusakan komponen tersebut, sehingga perlu untuk dilakukan pengecekan apakah komponen tersebut masih dapat bekerja dengan baik, dengan jangka waktu yang dapat ditentukan dari pengalaman yang sudah dialami perakit selama menggunakan printer 3D tersebut. Perbaikan berkala memiliki jumlah yang sangat sedikit karena komponen-komponen yang ada pada printer 3D ―CLab A01‖ kebanyakan memiliki biaya yang lebih sedikit untuk diganti dengan yang baru ketika rusak, dibandingkan dengan melakukan perbaikan secara berkala. Pada printer SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-60
Perancangan Kebijakan Perawatan Mesin Printer 3D “CLab A01”
3D ―CLab A01‖ , kegiatan perbaikan berkala lebih banyak dilakukan pada frame untuk mencegah longgarnya frame yang akan mempengaruhi kesempurnaan hasil cetakan, dan kegiatan perbaikan berkala juga dilakukan untuk komponen yang selama beroperasi dapat dipengaruhi oleh kotoran yang tidak dibersihkan, sehingga perlu adanya kegiatan tersebut berupa pembersihan secara berkala. Validasi yang dilakukan untuk hasil analisis RCM dapat dilakukan dengan melakukan penerapan dari sistem perawatan yang telah dibuat untuk kemudian dilihat apakah sudah sesuai atau belum. Namun dalam penelitian ini, dikarenakan keterbatasan waktu, validasi sistem perawatan dilakukan dengan wawancara kepada perakit mesin tersebut untuk mengetahui tindakan yang mana yang sudah pernah dilakukan dan memiliki hasil yang baik, dalam hal tepat atau tidaknya mengatasi masalah, waktu perawatan, dan dalam hal biaya. Setelah dilakukan wawancara, didapatkan bahwa 43 tindakan yang dilakukan untuk mengatasi 51 jenis kegagalan pernah dilakukan sebelumnya dan memiliki hasil yang baik terhadap kegagalan tersebut.
IV. PENUTUP Penerapan metode RCM untuk tindakan perawatan printer 3D ―CLab A01‖ sudah sesuai karena belum pernah dilakukan analisis tindakan perawatan untuk printer 3D berbasis FDM sebelumnya, sehingga perlu metode yang lengkap seperti RCM untuk mengetahui apakah ada kegagalan yang mempengaruhi keselamatan dan lingkungan, kemudian untuk mengetahui jenis perawatan seperti apa yang dibutuhkan. Hasil Logic Tree Analysis untuk menentuka jenis kegagalan dari total 51 failure mode, menunjukkan bahwa 18 diantaranya merupakan kategori kegagalan tersembunyi, 27 diantaranya merupakan kegagalan operasional yang mempengaruhi output yaitu kualitas benda yang dihasilkan, dan 6 diantaranya merupakan kegagalan nonoperasional karena tidak mempengaruhi output dan hanya mempengaruhi aspek ekonomi. Selain itu metode Reliability Centered Maintenance merekomendasikan 16 tindakan on-condition, 5 tindakan perbaikan berkala, 7 tindakan failure finding, dan 23 tindakan run to failure. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu industri dalam negeri dalam menghasilkan produk printer 3D yang berkualitas sehingga memiliki daya saing yang tinggi di pasar. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi pengguna mesin printer 3D agar dapat memperpanjang umur mesin dan membantu proses perawatan.
DAFTAR PUSTAKA Azis, M. T. S.; Purwanto, M. S.; & Teguh P., 2009, ―Penerapan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) Berbasis Web Pada Sistem Pendingin Primer Di Reaktor Serba Guna Ga. Siwabessy‖, JFN, Vol 4 No. 1. Bore, C. K., 2008, Analysis of Management Methods and Application to Maintenance of Geothermal Power Plants, Iceland: United Nation University. Fanani, Z., 2011, Implementasi Lean Manufacturing untuk Peningkatan Produktivitas (Studi Kasus pads PT. Ekamas Fortuna Malang), Thesis tidak dipublikasikan, Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Moubray, J., 1997, Reliability-Centered Maintenance. Industrial Press Inc. New York. USA. Sekar, P., 2014, Tak Gentar Garap Peluang Bisnis 3D Printing di Indonesia. http://www.marketing.co.id/bikin-bikin-tak-gentar-garap-peluang-bisnis-3d-printing-di-indonesia (diakses 7 November 2016). Susetyo, J. W. & Hartanto, C., 2011, Aplikasi Six Sigma DMAIC dan Kaizen sebagai Metode Pengendalian dan Perbaikan Kualitas Produk, Yogyakarta: AKPRIND.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-61
Petunjuk Sitasi: Martasari, N. S., Alhilman, J., & Athari, N. (2017). Usulan Kebijakan Preventive Maintenance dan Pengelolaan Spare Part Mesin Weaving dengan Metode RCM dan RCS. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C6267). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance dan Pengelolaan Spare Part Mesin Weaving dengan Metode RCM dan RCS Nurfitriana Siswi Martasari(1), Judi Alhilman(2), Nurdinintya Athari(3) Program Studi Teknik Industri, Fakultas Rekayasa Industri, Telkom University (1), (2), (3) Jalan Telekomunikasi No 1 Dayeuhkolot Bandung (1) [email protected], (2)[email protected], (3) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Perkembangan industri tekstil di Indonesia merupakan salah satu industri yang menjadi prioritas perkembangan dalam jangka panjang karena berpengaruh terhadap kebutuhan manusia dam perekonomian Indonesia. PT XYZ adalah salah satu perusahaan menengah di bidang tekstil menggunakan mesin Weaving untuk menghasilkan sajadah. Proses produksi sajadah lebih kompleks daripada proses produksi kain motif sehingga mesin Weaving yang memproduksi sajadah diharapkan mampu beroperasi secara optimal dan selalu dalam kondisi siap pakai karena diproduksi secara rutin. Pada umumnya, perawatan mesin, fasilitas atau peralatan kurang perhatian dari suatu pimpinan produksi di perusahaan terutama perusahaan kecil dan menengah. Ini terasa pada PT XYZ yang masih belum optimal dalam kegiatan perawatan dan pengelolaan spare part. Berdasarkan frekuensi kerusakan, mesin Weaving tipe M19 memiliki kerusakan tertinggi. Kerusakan terjadi karena kegiatan perawatan preventive belum optimal dan ketidaktersediaan spare part saat dibutuhkan sehingga kegiatan perbaikan corrective dan downtime tinggi. Angka downtime tinggi menunjukkan perlu adanya kebijakan perawatan dan pengelolaan spare part. Berdasarkan hasil penentuan subsistem kritis dengan metode Risk Priority Number, didapatkan Shedding Motion sebagai subsistem kritis untuk menentukan kebijakan perawatan yang tepat dengan metode Reliability Centered Maintenance (RCM) dan pengelolaan spare part dengan metode Reliability Centered Spares (RCS). Hasil metode RCM berdasarkan pengukuran kualitatif, didapatkan Scheduled On-Condition Task untuk semua komponen kritis dalam Shedding Motion. Komponen-komponen kritis yang termasuk dalam preventive task tersebut adalah kartu, jarum, hook dan tali harness. Dan berdasarkan pengukuran kuantitatif, didapatkan intervalel waktu perawatan kartu adalah 238,4 jam, jarum adalah 157,39 jam, hook adalah 130,9 jam dan tali harness adalah 133,23 jam. Dari hasil preventive task dan interval waktu perawatan dapat ditentukan total biaya perawatan adalah Rp 113.192.949 per tahun. Sedangkan hasil metode RCS, didapatkan jumlah kebutuhan komponen dalam satu bulan dibutuhkan 38 unit untuk kartu, 61 unit untuk jarum, 73 unit untuk hook dan 58 unit untuk tali harness. Kata kunci— Preventive maintenance, reliability centered maintenance, reliability centered spares,risk priority number.
I. PENDAHULUAN Perkembangan industri tekstil merupakan salah satu industri yang menjadi prioritas perkembangan dalam jangka panjang. PT XYZ adalah salah satu perusahaan menengah di bidang tekstil menggunakan mesin Weaving untuk menghasilkan sajadah. Pada umumnya, perawatan mesin, fasilitas atau equipment kurang perhatian dari suatu pimpinan produksi di perusahaan terutama perusahaan kecil dan menengah. PT XYZ sudah menerapkan preventive maintenance, bahkan telah melaksanakan perbaikan corrective. Namun, ini dirasa masih belum optimal dalam kebijakan perawatan karena adanya kerusakan mesin Weaving sehingga menghambat kegiatan produksi dan pengeluaran biaya perawatan tinggi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-62
Martasari, Alhilman, dan Athari
Berdasarkan frekuensi kerusakan, mesin Weaving tipe M19 memiliki kerusakan tertinggi ialah sebanyak 115 kali sehingga dipilih sebagai objek penelitian. Kerusakan terjadi karena kegiatan perawatan preventive belum optimal dan ketidaktersediaan spare part saat dibutuhkan sehingga kegiatan perbaikan corrective dan downtime tinggi. Gambar 1 menunjukkan total downtime mesin Weaving M19 selama tahun 2014.
Gambar 1 Total Downtime Mesin Weaving M19 Tahun 2014
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan downtime relatif meningkat setiap bulan. Tingginya angka downtime pada bulan Desember menunjukkan perlu adanya kebijakan perawatan dan pengelolaan spare part yang lebih optimal terhadap mesin Weaving M19 guna meminimumkan kegiatan perbaikan corrective dan downtime serta mengurangi stock out selama kegiatan produksi dan kegiatan perawatan berlangsung. Berdasarkan permasalahan tersebut, metode yang sesuai dalam pengambilan kebijakan preventive maintenance adalah metode Reliability Centered Maintenance sedangkan dalam pengelolaan spare part dapat dengan metode Reliability Centered Spares. Penelitian tentang menentukan kebijakan preventive maintenance dan pengelolaan spare part pernah dilakukan oleh Aulia, Alhilman dan Athari. Lokasi penelitian tersebut di suatu perusahaan percetakan dengan metode Reliability Centered Maintenance dan Reliability Centered Spares. Tujuan penelitian tersebut adalah menentukan kebijakan maintenance, interval waktu perawatan, strategi persediaan komponen, dan jumlah kebutuhan komponen untuk periode satu tahun. Adapun output penelitian tersebut adalah usulan kebijakan maintenance, interval waktu perawatan, strategi persediaan komponen, dan jumlah kebutuhan komponen untuk periode satu tahun.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
II. METODOLOGI PENELITIAN Tahap penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: Studi pustaka dan literatur serta studi lapangan Mengidentifikasi permasalahan Menentukan tujuan penelitian Melakukan pengumpulan data Melakukan pengolahan data Menarik kesimpulan dari hasil pengolahan dan saran untuk penelitian selanjutnya
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Subsistem dan Komponen Kritis Pemilihan subsistem kritis bertujuan untuk memfokuskan cakupan penelitian dalam menentukan subsistem yang memiliki dampak tertinggi bagi kelangsungan produksi, sehingga subsistem tersebut dapat diprioritaskan oleh perusahaan agar dapat menentukan strategi perawatan dari subsistem/komponen terpilih untuk mencegah terjadinya kegagalan fungsi atau kerusakan. Pemilihan subsistem kritis pada penelitian ini menggunakan salah satu perhitungan kuantitatif, yaitu Risk Priority Number (RPN) dapat ditunjukkan pada Tabel 1. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-63
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance dan Pengelolaan Spare Part Mesin Weaving Dengan Metode RCM dan RCS
Tabel 1 Risk Priority Number Subsystem
Notes for Severity
Severity
Failure Rate
Occurrence
Present Detection Sub-system
Detection
RPN
Shedding Motion
Very high
8
Moderate
8
Remote
8
512
Picking Motion
Hazardous with warning
9
Moderate
7
Remote
8
504
Beating Motion
High
7
Moderate
5
Remote
8
280
Let Off Motion
High
7
Moderate
4
Remote
8
224
Take Up Motion
Minor
3
Moderate
4
Remote
9
108
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa Shedding Motion memiliki nilai RPN tertinggi daripada subsistem lainnya, maka subsistem ini merupakan subsistem kritis. Dalam subsistem ini terdapat empat komponen kritis karena termasuk komponen-komponen utama yang saling berpengaruh terhadap kelancaran fungsi Shedding Motion dan memiliki jumlah kerusakan cukup banyak, yaitu komponen kartu sebanyak delapan belas kali, jarum sebanyak dua puluh dua kali, hook sebanyak tiga belas kali dan tali harness sebanyak dua puluh sembilan kali. B. Preventive Task Perawatan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk suatu sistem/komponen yang mengalami kerusakan akan dipulihkan/diperbaiki dalam kondisi tertentu pada periode tertentu. Salah satu kegiatan perawatan adalah preventive task. Preventive task adalah tindakan yang diambil sebelum suatu sistem/komponen mengalami kerusakan. Dalam permasalahan tersebut, metode yang digunakan adalah metode RCM. Pada metode RCM, preventive task dibagi menjadi tiga jenis adalah Scheduled On-Condition Task, Scheduled Restoration Task dan Scheduled Discard Task. Penentuan preventive task ini ditentukan berdasarkan RCM Information Worksheet yang berisi informasi mengenai fungsi sistem/komponen, kegagalan fungsi, penyebab kegagalan dan dampak kegagalan. Adapun juga ditentukan oleh RCM Decision Worksheet yang berisi keputusan kegiatan preventive maintenance yang dilakukan untuk setiap kegagalan. Hasil pemilihan task dengan pengukuran RCM terhadap empat komponen dapat ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Preventive Task Usulan No
Komponen
Preventive Task
Proposed Task
1
Kartu
Scheduled on-condition
Pemeriksaan kondisi kartu
2
Jarum
Scheduled on-condition
Pemeriksaan kondisi jarum
3
Hook
Scheduled on-condition
Pemeriksaan kondisi hook
4
Tali Harness
Scheduled on-condition
Pemeriksaan kondisi tali harness
C. Interval Waktu Perawatan Scheduled On-Condition Dalam menentukan interval waktu perawatan dengan Scheduled On-Condition, dihitung berdasarkan rumus setengah dari P-F Interval. P-F Interval menggunakan Mean Time to Failure (MTTF), yaitu waktu antar kerusakan satu dengan kerusakan lainnya. Parameter MTTF digunakan sebagai acuan dalam penentuan interval waktu perawatan Scheduled On-Condition dan interval waktunya harus lebih kecil daripada nilai MTTF agar meminimumkan kemungkinan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-64
Martasari, Alhilman, dan Athari
kerusakan terhadap keempat komponen. Pada Tabel 3 diperlihatkan interval waktu perawatan Scheduled On-Condition. Tabel 3 Interval Waktu Perawatan Scheduled On-Condition No
Komponen
MTTF (jam)
Interval Waktu Perawatan (jam)
1
Kartu
476,7950
238,40
2
Jarum
314,7729
157,39
3
Hook
261,8064
130,90
4
Tali Harness
266,4668
133,23
D. Total Biaya Perawatan Biaya perawatan dapat dihitung dan ditentukan setelah mengetahui kebijakan preventive task dan interval waktu perawatan. Total biaya perawatan yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kegiatan preventive maintenance yang optimal dengan mempertimbangkan karakteristik kerusakan dari setiap komponen. Pada Tabel 4 disajikan total biaya perawatan existing dan usulan selama satu tahun. Tabel 4 Perbandingan Total Biaya Perawatan Existing dan Usulan Rp 122.376.106 Total Biaya Perawatan Existing Total Biaya Perawatan Usulan
Rp 113.192.949
Total biaya perawatan usulan lebih kecil daripada total biaya existing karena pada perawatan usulan telah dilakukan pengambilan kebijakan preventive maintenance dengan metode RCM yang memperhatikan faktor biaya, reliabilitas, parameter distribusi dan karakteristik kerusakan dari setiap komponen. Jika perusahaan mengimplementasikan biaya perawatan usulan tersebut, ini dapat menghemat biaya sebesar Rp 9.183.157 dalam melakukan perawatan. E. Strategi Persediaan Komponen Penentuan strategi persediaan komponen berdasarkan beberapa pertanyaan di dalam Spares Holding Decision Flow Diagram, seperti dampak stock out atau kerusakan komponen, apakah kebutuhan komponen dapat diantisipasi sebelum terjadi kerusakan, risiko terhadap strategi pemesanan sebelum adanya kebutuhan komponen dapat diterima atau tidak, dampak komponen disimpan di gudang dari segi biaya, ukuran dan lain-lain serta risiko terhadap penyimpanan komponen di gudang dapat diterima atau tidak. Tabel 5 menunjukkan hasil strategi persediaan setiap komponen. Tabel 5 Strategi Persediaan Komponen Komponen
Strategi Persediaan
Kartu
Order parts before demand
Jarum
Order parts before demand
Hook
Order parts before demand
Tali Harness
Order parts before demand
F. Pengklasifikasian Komponen Komponen diklasifikasikan berdasarkan jenis perbaikannya, yaitu non-repairable parts dan repairable parts. Pengklasifikasian ini dilakukan karena adanya perbedaan perhitungan untuk
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-65
Usulan Kebijakan Preventive Maintenance dan Pengelolaan Spare Part Mesin Weaving Dengan Metode RCM dan RCS
mengetahui jumlah komponen yang termasuk kategori non-repairable atau repairable. Nonrepairable parts adalah komponen yang diganti jika rusak dan sulit untuk dilakukan perbaikan komponen atau memungkinkan biaya perbaikan komponen lebih besar daripada biaya penggantian komponen sedangkan repairable parts adalah komponen yang rusak dapat dikembalikan ke keadaan fungsi semula dengan cara perbaikan komponen. Hasil pengklasifikasian empat komponen dapat ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Klasifikasi Komponen Komponen
Jenis Perbaikan
Kartu
Non-Repairable
Jarum
Non-Repairable
Hook
Non-Repairable
Tali Harness
Non-Repairable
G. Jumlah Kebutuhan Komponen Setelah klasifikasi komponen diperoleh non-repairable untuk keempat komponen, lalu dilakukan perhitungan jumlah kebutuhan komponen menggunakan Poisson Process yang terdiri dari parameter MTTF, jumlah komponen yang dibutuhkan dalam mesin, jumlah mesin, waktu operasional mesin, periode waktu operasional dan probabilitas ketersediaan spare part/komponen yang ditentukan sesuai kebijakan perusahaan sebesar 95%. Tabel 7 menunjukkan hasil perhitungan jumlah kebutuhan komponen dalam periode satu bulan untuk kegiatan perawatan. Tabel 7 Jumlah Kebutuhan Komponen Komponen
Jumlah Kebutuhan Komponen per bulan (unit)
Kartu
35
Jarum
61
Hook
73
Tali Harness
58
Berdasarkan Tabel 7 didapatkan jumlah kebutuhan komponen dalam satu bulan. Komponen yang memiliki jumlah kebutuhan terbanyak adalah hook sebesar 73 unit karena memiliki kegiatan perawatan lebih banyak daripada komponen lain, baik perawatan preventive atau perawatan breakdown yang mungkin terjadi. IV. PENUTUP Berdasarkan hasil perhitungan RPN diperoleh subsistem kritis adalah Shedding Motion dengan nilai 512. Dalam Shedding Motion terdapat empat komponen kritis yang saling berpengaruh terhadap kelancaran fungsi Shedding Motion dan memiliki jumlah kerusakan cukup banyak, yaitu komponen kartu, jarum, hook dan tali harness. Hasil metode RCM berdasarkan pengukuran kualitatif, didapatkan Scheduled On-Condition Task untuk keempat komponen. Sedangkan berdasarkan pengukuran kuantitatif, didapatkan interval waktu perawatan kartu adalah 238,4 jam, interval waktu perawatan jarum adalah 157,39 jam, interval waktu perawatan hook adalah 130,9 jam dan interval waktu perawatan tali harness adalah 133,23 jam. Dari hasil preventive task dan interval waktu perawatan dapat ditentukan total biaya perawatan adalah Rp 113.192.949 per tahun. Terakhir dari hasil metode RCS, didapatkan strategi persediaan keempat komponen adalah order parts before demand, klasifikasi keempat komponen adalah nonrepairable parts dan jumlah kebutuhan komponen dalam satu bulan dibutuhkan 35 unit untuk kartu, 61 unit untuk jarum, 73 unit untuk hook dan 58 unit untuk tali harness.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-66
Martasari, Alhilman, dan Athari
DAFTAR PUSTAKA Atmaji, Fransiskus Tatas Dwi, 2015, “Optimasi Jadwal Perawatan Pencegahan Pada Mesin Tenun Unit Satu di PT KSM, Yogyakarta”, Jurnal Rekayasa Sistem & Industri, Vol. 2 No. 2, hlm. 7-11. Aulia, V.; Alhilman, J.; & Supratman, N. A., 2016, “Proposed Maintenance Policy And Spare Part Management Of Goss Universal Printing Machine With Reliability Centered Maintenance, Reliability Centered Spares, And Probabilistic Inventory Model”, Proceedings of the International Seminar on Industrial Engineering and Management, hlm. 81–86. Dhamayanti, D. S.; Alhilman, J.; & Supratman, N. A., 2016, “Usulan Preventive Maintenance Pada Mesin Komori LS440 Dengan Menggunakan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM II) dan Risk Based Maintenance (RBM) Di PT ABC”, Jurnal Rekayasa Sistem & Industri, Vol. 3 No. 2, hlm 31-37. Moubray, J., 1997, Reliability-centered Maintenance, New York: Industrial Press Inc. Pardede, T; Saedudin, R. R.; & Sutrisno, S., 2015, “Perencanaan Kebijakan Pengelolaan Suku Cadang Corazza A452 Dan Corazza FF100 Line 3 Menggunakan Metode Reliability Centered Spares (Studi Kasus: PT XYZ)”, Jurnal Rekayasa Sistem & Industri, Vol. 2 No. 4, hlm. 82-88.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-67
Petunjuk Sitasi: Saraswati, R., Liquiddanu, E., & Fahma, F. (2017). Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus : Desa Wisata Batik Jarum, Bayat). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C68-74). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus : Desa Wisata Batik Jarum, Bayat) Rizky Saraswati(1), Eko Liquiddanu(2) , Fakhrina Fahma(3) (1), (2), (3) Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir Sutami 36A Surakarta, 57126, Indonesia (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] ABSTRAK Sebagai salah satu industri kecil yang berada di wilayah Jawa Tengah, Kabupaten Klaten memiliki beragam industri. Salah satu industri kecil yang mengalami perkembangan adalah industri batik. Sentra industri batik kabupaten Klaten yang terkenal adalah desa Jarum, Bayat. Batik sendiri telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 20 Oktober 2009. Batik sebagai salah satu potensi industri kreatif kecamatan Bayat pun membawa pengaruh signifikan terhadap perekonomian terlebih setelah batik diakui dunia internasional. Namun usaha batik tulis Bayat masih dikerjakan secara mandiri dan konvensional, menyebabkan batik Bayat tidak dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu agar mampu menyusun analisis solusi untuk memberikan keunggulan bersaing perlu dilakukan analisis rantai nilai untuk mengidentifikasi aktivitas yang memiliki nilai tambah ekonomi tertinggi. Maka dilakukan penelitian dengan metode kualitatif pendekatan studi kasus. Dengan populasi penelitian meliputi semua pihak yang terlibat dalam rantai nilai. Dihasilkan profit margin terbesar pada aktivitas inbound logistic dan nilai tambah terbesar baik untuk kain batik tulis warna alam dan sintetis adalah proses penjualan kepada konsumen. Kata kunci— Rantai nilai, batik tulis, desa jarum, bayat
I. PENDAHULUAN Sebagai salah satu pusat industri kecil yang berada di wilayah Jawa Tengah, Kabupaten Klaten memiliki beragam industri. Hal ini dibuktikan dengan data Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten tahun 2014 terdapat 32.920 unit industri kecil dengan jumlah tenaga kerja sebesar 135.845 (BPS Klaten, 2014). Salah satu industri kecil yang mengalami perkembangan adalah industri batik. Sentra industri batik kabupaten Klaten yang terkenal adalah di desa Jarum, kecamatan Bayat. Batik sendiri telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO pada tanggal 20 Oktober 2009. Batik sebagai salah satu potensi industri kreatif kecamatan Bayat pun membawa pengaruh signifikan terhadap perekonomian terlebih setelah batik diakui oleh dunia internasional. Hal ini didukung oleh pihak pemerintah, disebutkan dalam penelitian Ishack (2004) rencana pembangunan pada tingkat kecamatan di kabupaten Klaten tahun 2009 lebih difokuskan terhadap program kualitas hidup berbasis usaha mikro, dengan sasaran penguatan sektor industri mikro paling utama adalah Bayat. Namun perkembangan IKM saat ini mengalami penurunan daya saing di pasar internasional. Menurut global competitiveness report (world economic forum) indeks daya saing Indonesia cenderung terus menurun selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2014 Indonesia berada pada posisi 34 dan turun tiga peringkat menjadi 37 pada tahun 2015. Sedangkan pada tahun 2016 Indonesia berada diposisi 41 dari total 144 negara. Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara yang berdaya saing tinggi seperti Thailand (32), Malaysia (18) dan Singapura (2). Nurmiansyah (2011), menerangkan untuk meraih kinerja perdagangan internasional yang optimal diperluhkan daya saing industri yang baik. Daya saing industri ini dipengaruhi oleh rantai
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-68
Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus : Desa Wisata Jarum, Bayat)
nilai (value chain) yang efektif. Porter (1985) dan Kaplinsky dan Morris (2003) menjelaskan rantai nilai yang efektif adalah kunci keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang mampu menghasilkan nilai tambah (value added) bagi industri. Begitu strategisnya peran industri batik, untuk itu diperlukan upaya memberikan keunggulan bersaing dengan industri lainnya dalam hal ini desa Jarum, kecamatan Bayat meliputi aspek keterampilan manusia, sumber daya alam, lingkungan, dan budaya terkait industri batik diharap mampu menarik investor untuk berinvestasi. Era persaingan yang semakin tinggi menuntut seluruh pihak terkait industri batik di desa Jarum, kecamatan Bayat bertindak dan berinovasi agar industri tersebut tetap unggul dan mempertahankan eksistensinya. Kota Solo sebagai wilayah pemasaran dan pemasok kebutuhan utama batik Bayat, pun mendukung hal ini seperti tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta nomor 1 tahun 2012 mengenai rencana pembangunan menengah daerah kota Surakarta tahun 2011-2031. Menurut pasal 6 ayat 2b peraturan daerah kota Surakarta menyebutkan bahwa pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan daerah otonom kawasan andalan SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) untuk memantapkan pelayanan dan pengembangan kota. Upaya yang dilakukan pemerintah kota Solo ini dirasa tepat. Akibat tingginya permintaan batik tulis kota Solo yang tidak dapat terpenuhi, maka wilayah sekitar kota Solo yaitu Klaten mampu menjadi solusi untuk memenuhi permintaan yang ada. Dipilih batik Bayat dikarenakan batik ini terkenal memiliki kehalusan dan proses pewarnaan yang sempurna. Selain itu batik Bayat memiliki corak dominan warna sogan atau kecoklatan yang identik dengan warna batik keraton Kasunanan Surakarta dan cenderung mengikuti selera pasar yang berkembang di wilayah Solo. Dengan mempertimbangkan latar belakang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rantai nilai terkait berbagai aktivitas dalam industri batik Bayat agar mampu menyusun analisis solusi untuk memberikan keunggulan bersaing bagi industri batik Bayat dan para pelakunya berdasarkan aktivitas yang menimulkan nilai tambah.
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang berlokasi di desa wisata batik Jarum,Bayat. Dengan populasi penelitian meliputi semua pihak yang terlibat dalam rantai aktivitas primer dan pendukung proses produksi batik terdiri dari para pengrajin, pemasok bahan baku, dan konsumen yang terdiri atas wholesaler, retailer, dan pelanggan. Dilakukan kegiatan observasi dan wawancara dengan kuesioner terbuka guna mengumpulkan informasi terkait berbagai aktivitas yang terdiri dari tiga tahap. Tahapan pertama adalah menguraikan aktivitas inti dan pelengkap rantai nilai pada industri batik tulis Bayat. Analisis rantai nilai mampu memberikan informasi mengenai seluruh siklus produksi dan para pelaku yang berkaitan hingga hubungan pasar akhir. Tahapan kedua, menghitung nilai tambah para pelaku dalam tiap aktivitasnya. Dilakukan analisis terhadap aliran produksi tiap pelaku dan nilai tambah dengan mencari selisih antara harga jual dan biaya produksi yang dikeluarkan. Dihasilkan model rantai nilai porter untuk mempermudah pemahaman mengenai nilai tambah yang terjadi. Tahap terakhir berupa pemetaan rantai nilai dari hasil analisis yang telah dilakukan. Pemetaan ini terdiri atas empat tahapan kreasi, produksi, distribusi dan komersialisasi akan memberikan kemudahan bagi para pelaku yang bersinggungan dengan industri batik diantarnya pengrajin, tenaga kerja, konsumen, UMKM, dan perguruan tinggi untul mengembangkan industri batik Bayat. 1. Konsep Rantai Nilai Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia dalam buku “ Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025” (2008: 81) Rantai nilai yang dimaksudkan adalah suatu proses penciptaan nilai mulai dari input hingga output dari pengolahan sumber dayanya. Rantai nilai terkait industri kreatif akan mengutamakan desain dalam tiap prosesnya dengan daya cipta dan kreatifitas yang dihasilkan individunya. Dengan pemetaan rantai nilai, stakeholder lebih mudah dalam memahami posisi industri sehingga fokus pengembangannya lebih terarah. Terdapat empat
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-69
Saraswati, Liquiddanu, dan Fahma
faktor dalam pengembangannya yaitu kreasi, produksi, distribusi dan komersialiasi. Menurut Porter (1985) konsep rantai nilai memberikan kerangka terhadap organisasi dalam mengelola pertimbangan substansial dalam mengalokasikan sumber dayanya, menciptakan pembeda dan efektifas pengaturan biaya. Porter, mengajukan suatu model rantai nilai seperti pada gambar 1 sebagai alat untuk mengidentifikasi berbagai cara untuk menghasilkan nilai tambah yang terdiri dari aktifitas-aktifitas nilai dan keuntungan (margin), aktifitas nilai dibagi menjadi 5 aktifitas utama (primary activities) yang terdiri dari inbound logistik, operasi,outbound logistik,penjualan dan pemasaran, serta service. Dan 4 aktifitas pendukung (support activities) yang terdiri dari pengadaan pengembangan teknologi, manajemen sumber daya alam, dan infrastruktur perusahaan.
Gambar 1 Model Rantai nilai Porter
2. Analisis Rantai Nilai Agar industri mampu bertahan dalam persaingan usaha yang selalu berubah, perlu dilakukan antisipasi dalam menghadapi hal-hal yang berpotensi merugikan agar mampu memperoleh keunggulan bersaing. Maka diperlukan analisis rantai nilai sebagai analisis aktivitas dilakukan meliputi proses pengadaan, penyimpanan, penggunaan, sampai di tangan konsumen yang mampu memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku yang terlibat (Machfoedz, 2004) Menurut Widarsono (2009) terdapat tiga tahapan dalam analisis rantai nilai yaitu : 1. Mengidentifikasi aktifitas rantai nilai 2. Mengidentifikasi biaya (cost driver) yang ditimbulkan pada setiap aktivitas nilai 3. Mengembangkan keunggulan kompetitif a. Mengidentifikasi keunggulan kompetitif atau diferensiasi. b. Mengidentifikasi peluang akan nilai tambah. c. Mengidentifikasi peluang untuk mengurangi biaya. 3. Nilai Tambah Konsep rantai nilai (value chain) berbeda dengan konsep nilai tambah (value added). Menurut Tarigan (2004) nilai tambah suatu produk merupakan nilai hasil produk dikurangi dengan biaya antara yang terdiri dari biaya bahan baku dan bahan penolong. Konsep nilai tambah (value added) menekankan pada nilai yang ditambahkan selama proses sebagai biaya antara. Menurut Makki dkk (2001), apabila komponen biaya antara yang ditimbulkan nilainya semakin besar, maka nilai tambah produk tersebut akan semakin kecil dan begitu pula sebaliknya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Aktivitas Para Pelaku Rantai Nilai Batik Tulis Bayat Aliran informasi pemesanan dimulai dari konsumen melakukan pemesanan dengan datang langsung ke lokasi pengrajin atau memesan melalui telepon, selanjutnya pengrajin akan melakukan pembelian bahan baku dan peralatan yang dibutuhkan kepada pemasok (supplier). Setelah mendapatkan kebutuhan pengrajin akan membagikan pekerjaan tersebut kepada pekerja untuk diproses. Juru nyoret akan memperbanyak motif batik yang akan dikerjakan, apabila telah selesai maka kain yang telah digambar akan diberikan kepada juru batik untuk di canting selama beberapa hari. Batik yang telah selesai di canting akan diberikan warna oleh juru warna sesuai warna yang diinginkan. Proses produksi kain batik tulis selesai, dan diserahkan kepada pengrajin untuk dijual kepada SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-70
Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus : Desa Wisata Jarum, Bayat)
konsumen. Namun,terkadang pengrajin mengolah kain batik tulis tersebut menjadi produk lainnya. Untuk itu pengrajin melakukan pemesanan kepada konveksi untuk melakukan proses penjahitan. Setelah produk selesai dijahit maka konveksi akan menyetorkan produk tersebut kepada pengrajin untuk dijual kepada konsumen. Selain melakukan order kepada konveksi terkadang pengrajin pun melakukan order ke sesama pengrajin Bayat untuk melakukan pewarnaan kain khusunya teknik pewarnaan alam dan saling menitipkan kain hasil produksinya. Aliran informasi pemesanan dan proses produksi batik tulis di desa Jarum, Bayat ditampilkan pada gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2 Aliran informasi rantai nilai industri batik tulis Bayat
B. Aktivitas Nilai Tambah Produksi Batik Tulis Bayat Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan pada Tabel 1 diketahui untuk memproduksi kain batik tulis warna alam dibutuhkan biaya sekitar Rp 105.916 dengan biaya pendukung lainnya sekitar Rp 29.833. Sehingga total biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 135.750 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 400.000. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi kain batik tulis warna sintetis dibutuhkan biaya sekitar 102.750 dengan biaya pendukung lainnya sekitar Rp 29.833. Sehingga total biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 132.583 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 350.000. Maka diperoleh nilai tambah untuk kain batik tulis warna alam dan sintetis sebesar 66,06 % dan 62,12% untuk penjualan kepada pelanggan perseorangan. Diperoleh pula 61,93% dan 57,68% untuk penjualan kepada retailer dan wholesaler. Tabel 1 Nilai Tambah Produksi Batik Tulis di Desa Jarum, Bayat No
1 2 3
4
5 6
7
8
Biaya Biaya Biaya Biaya produksi Biaya produksi terendah rata-rata tertinggi rata-rata warna alam rata-rata warna sintetis Biaya produksi Kain mori (2 meter) Rp 30.000 Rp 33.000,00 Rp 35.000 Malam/ Lilin (0,25 Kg) Rp 7.500 Rp 8.750 Rp 10.500 Pewarna (tiap kebutuhan dapat digunakan bersama untuk 60 kain) alam (1 Kg) Rp 4.167 Rp 4.167 Rp 4.167 sintetis (0,1 Kg) Rp 1.000 Rp 1.000 Rp 1.000 Biaya tenaga kerja Rp 3.000 Rp 5.000 Rp 10.000 juru nyoret (per kain) juru batik (per kain) Rp 40.000 Rp 50.000 Rp 80.000 juru warna (per hari 10 kain) Rp 5.000 Rp 5.000 Rp 5.000 Rata-rata biaya produksi batik tulis Rp 105.917 Rp 102.750 Bahan pendukung Rp 5.000 Rp 6.000 Rp 7.500 (tawas,tunjung,kapur) Listrik Rp 20.000 Rp 20.000 Rp 20.000 Peralatan (masa pakai 6 bulan) Kompor/Anglo Rp 1.667 Rp 1.667 Rp 1.667 wajan kecil Rp 1.333 Rp 1.333 Rp 1.333 canting Rp 833 Rp 833 Rp 833 Rata-rata biaya pendukung Rp 29.833 Rp 29.833 Rata-rata biaya produksi dan pendukung Rp 135.750 Rp 132.583 Penjualan batik pelanggan retailer & wholesaler Jenis biaya
Harga jual Harga jual Nilai tambah % Nilai tambah % warna alam warna sintetis warna alam warna sintetis 8,25% 2,19%
9,43% 2,50%
1,04% 0,29% 1,25% 12,50% 1,25% 26,48% 1,50% 5,00%
Rp Rp
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-71
400.000 Rp 375.000 Rp
350.000 325.000
1,43% 14,29% 1,43% 29,36% 1,71% 5,71%
0,42% 0,33% 0,21% 7,46% 33,94%
0,48% 0,38% 0,24% 8,52% 37,88%
66,06% 61,93%
62,12% 57,68%
Saraswati, Liquiddanu, dan Fahma
C. Analisis Rantai Nilai Batik Tulis Bayat Berdasarkan gambar dibawah ini diketahui bahwa nilai tambah terbesar terdapat pada operasi dan outbond logistic sebesar Rp 60.000. Hal ini dikarenakan biaya tenaga kerja pengrajin Bayat baik juru nyoret, juru batik, dan juru warna cukup tinggi sebanding dengan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja dalam menghasilkan produk. Selanjutnya nilai tambah terbesar kedua ditempati oleh inbound logistic sebesar Rp 51.917 karena harga bahan baku yang cukup tinggi dan hanya tersedia di luar wilayah Klaten yaitu di kota Solo dapat dilihat pada Gambar 3. Dan yang terakhir adalah penjualan dan pemasaran serta servis sebesar Rp 20.000 karena proses pemeliharaan peralatan masih yang dilakukan sederhana dan tidak rutin serta penjualan dan pemasaran dilakukan secara tradisional sehingga pengrajin tidak memerlukan biaya yang tinggi.
Gambar 3 Contoh gambar grafik dengan warna kontras
D. Pemetaan Rantai Nilai Batik Tulis Bayat Setelah didapatkan hasil analisis rantai nilai maka digambarkan model pembentukan nilai industri batik Bayat sebagai salah satu industri kreatif. Pada industri kreatif, proses penciptaan nilai dalam hal ini industri batik bersinggungan dengan pengembangan desain dalam menciptakan produknya. Untuk menyusun pemetaan rantai nilai ini didapatkan data pendukung melalui observasi dan metode wawancara in depth dengan para pelaku. Dengan adanya pemetaan rantai nilai akan memberikan kemudahan bagi para pelaku yang bersinggungan dengan industri batik Bayat atau stakeholder untuk mengembangkan industri tersebut. Dengan memperhatikan empat tahapan dalam pengembangaannya yaitu kreasi, produksi, distribusi dan komersialisasi. Maka berikut ditampilkan model pemetaan rantai nilai industri batik Bayat pada Gambar 4.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-72
Analisis Rantai Nilai Industri Kreatif Produk Batik Tulis (Studi Kasus : Desa Wisata Jarum, Bayat)
Gambar 4 Pemetaan rantai nilai industri kreatif batik tulis Bayat
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ini. 1. Didapatkan aliran informasi dan pemesanan terkait aktivitas dalam rantai nilai industri batik Bayat mulai dari proses pengadaan bahan baku, proses produksi, hingga proses penjualan dan pemasaran kepada konsumen akhir. 2. Didapatkan hasil biaya total untuk memproduksi kain batik tulis warna alam dibutuhkan biaya sekitar Rp 135.750 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 400.00. Sedangkan biaya total yang dibutuhkan untuk memproduksi kain batik tulis warna sintetis Rp 132.583 dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 350.000. Maka diperoleh nilai tambah untuk kain batik tulis warna alam sebesar 66,06 % untuk penjualan kepada pelanggan perseorangan dan 61,93% untuk penjualan kepada retailer dan wholesaler. Dan nilai tambah untuk kain batik tulis warna sintetis sebesar 62,12% untuk penjualan kepada pelanggan perseorangan dan 57,68% untuk penjualan kepada retailer dan wholesaler. 3. Didapatkan hasil dari analisis rantai nilai bahwa profit margin yang dihasilkan sebesar Rp 135.750 per potong kain dengan ukuran 2m. Profit margin yang dihasilkan dari produk batik tulis dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kinerja para pengrajin batik dengan mempertimbangkan aktivitas inbound logistic, operasi, penjualan dan pemasaran, serta outbound logistic. Pada aktivitas outbound logistic dan operasi perlu dipertimbangkan mengenai biaya tenaga kerja. Pada aktivitas inbound logistic perlu dipertimbangkan proses pengadaan bahan baku untuk kain mori dan pewarna. Pada aktivitas penjualan dan pemasaran serta servis harus mempertimbangkan proses pemasaran produk batik tulis. 4. Didapatkan model pembentukan nilai industri batik tulis Bayat melalui pemetaan terdiri atas empat tahapan kreasi, produksi, distribusi dan komersialisasi. Dengan adanya pemetaan ini akan memberikan kemudahan bagi para pelaku yang bersinggungan dengan industri batik diantarnya pengrajin, tenaga kerja, konsumen, UMKM, dan perguruan tinggi untul mengembangkan industri batik Bayat.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-73
Saraswati, Liquiddanu, dan Fahma
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten, 2014, Perusahaan Industri dan Tenaga Kerja Menurut Kelompok Usaha Di Kabupaten Klaten Tahun 2014. https://klatenkab.bps.go.id/, Diakses Pada 26 Juni 2017. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2008, Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015. Dinas perindustrian dan perdagangan Koperasi dan UMKM, 2014, Kabupaten Klaten Ishack, 2004, Profil Sukses Sektor Industri di Klaten, Usahawan, XVI/IV, hlm.1129. Kaplinsky, R., Memedovic, O., Morris, M. L. & Readman, J. 2003. The Global Wood Furniture Value Chain: What Prospects for Upgrading by Developing Countries, Vienna, United Nations Industrial Development Organization. Machfoedz, Mas’ud, 2004, Perubahan Peran Akuntan Manajemen, Media Akutan Manajemen, Meida Akuntansi No 38/Maret. Makki, M. F. dkk, 2001, Nilai Tambah Agroindustri pada Sistem Agribisnis Kedelai di Kalimantan Selatan, Dalam jurnal Agro Ekonomika. Vol. VI. No. 1. Juli 2001. Mangifera, L, 2015, Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Pada Produk Batik Tulis di Surakarta, Jurnal Manajemen dan Bisnis BENEFIT, 19 (1), p 24-33 Nurmiansyah, 2011, Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Industri Pakaian Jadi di Indonesia, Tesis tidak dipublikasikan, Jogjakarta : Universitas Gadjah Mada. Peraturan Daerah Kota Surakarta No 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2011-2031 Porter, E. M. 1985. Competitive Advantage-Creating and Sustaining Superior Performance, New York : Free Press. Tarigan, R, 2004, Ekonomi Regional, Bumi Angkasa, Jakarta. UNESCO. Indonesia Batik : UNESCO, 2009 Widarsono, Agus, 2009, Strategic Value Chain Analysis (Analisis Stratejik Rantai Nilai : Suatu Pendekatan Manajemen Biaya. World Economic Forum, 2016, The Global Competitiveness Report 2014 – 2016, The World Economic Forum, Switzerland
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-74
Petunjuk Sitasi: Taufik, Fithri, P., & Arsita, R. (2017). Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C75-84). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang Taufik(1), Prima Fithri(2) , Ririn Arsita(3) (1), (2), (3) Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Andalas Kampus Limau Manis Padang, 25163 (1) [email protected] ABSTRAK PT. Semen Padang is a company that engaged in the production of cement which has been operating in a very long period of time. There are 3 types of machines were used in the production of cement production activities. The machines are Raw Mill, Kiln Mill, and the Cement Mill. Raw Mill machine is the first machine that used in cement production. The process that occurs on this machine is mixing, milling and drying of the main raw materials of cement manufacture. This study was conducted to determine how lapse of time between failures (MTBF) on machines Raw Mill and how long the times needed to repair (MTTR) in the maintenance of electrical systems and instruments. This evaluation is done for the sake of improvement of maintenance systems in PT Semen Padang so that maintenance activities can be performed optimally. The data used in the calculation is the data engine damage due to power and instruments failures Raw Mill in factory Indarung IV PT. Semen Padang. Based on calculations that have been made known that the MTBF Raw Mill 4R1 machine is for 7 days and Raw Mill 4R2 machine is 26 days. As for the MTTR value Raw Mill 4R1 machine is for 1.5 hours and Raw Mill 4R2 engine is 4 hours. Machine availability value for Raw Mill 4R1 and Raw Mill 4R2 machine if done repair maintenance amounted to 98% and 100%.
Kata Kunci— MTBF, MTTR, maintenance, preventive maintenance, raw mill
I. PENDAHULUAN Maintenance (perawatan/pemeliharaan) merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat diabaikan dalam suatu proses produksi. Maintenance dapat didefenisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan suatu sistem. Aktivitas pemeliharaan yang dilakukan pada sebuah perusahaan sangat diperlukan karena setiap peralatan yang digunakan dalam proses produksi suatu waktu dapat mengalami kerusakan (failure). Kerusakan peralatan ini tidak dapat diketahui secara pasti, sehingga kegiatan pemeliharaan akan sangat membantu dalam mengatasi permasalahan ini. Kegiatan pemeliharaan dapat dilakukan dalam dua waktu. Pertama, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada saat telah terjadi kerusakan (corrective maintenance). Kedua, kegiatan pemeliharaan dilakukan sebelum terjadinya kerusakan (preventive maintenance). Kegiatan preventive maintenance biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh perusahaan. Kegiatan preventive maintenance telah dilakukan di PT. Semen Padang. Namun, pada beberapa waktu masih terdapat kerusakankerusakan mesin yang terjadi. Hal ini tentunya akan mengganggu proses produksi. Kegiatan pemeliharaan yang mengganggu proses produksi akan meningkatkan downtime. Downtime dalam suatu sistem produksi artinya kehilangan waktu produksi. Kehilangan waktu produksi dapat disebabkan karena terjadinya breakdown peralatan karena kerusakan dan waktu yang dibutuhkan untuk setup dan adjusment peralatan yang rusak. Kegiatan preventive maintenance juga akan mempengaruhi selang waktu antar kerusakan alat (MTBF) dan lamanya waktu yang digunakan untuk perbaikan alat (MTTR) tersebut. Tingkat keefektifan MTBF dan MTTR dalam kondisi optimal dapat dilihat dari tingkat Availability alat/mesin tesebut. Availability merupakan tingkat ketersediaan alat/mesin sejauh mana dapat digunakan. Berdasarkan hal ini, penulis mengangkat judul yaitu ―Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT. Semen Padang‖. Mesin Raw mill merupakan mesin yang digunakan untuk mencampur, menggiling, dan mengeringkan bahan baku utama yang digunakan dalam proses produksi semen. Kerusakan yang SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-75
Taufik, Fithri, dan Arsita
terjadi pada Raw mill akan mempengaruhi produksi semen pada proses selanjutnya. Artinya, ketika proses produksi di Raw mill terhambat, maka secara otomatis proses selanjutnya juga akan terhambat. Hal inilah yang menyebabkan penulis menganalisa permasalahan pada mesin Raw mill. Data yang digunakan dalam penyelesaian kasus adalah data kerusakan mesin Raw Mill periode 2014, dan data downtime mesin Raw Mill periode 2014 di Pabrik Indarung IV PT. Semen Padang. Mesin Raw Mill pada pabrik Indarung IV PT Semen Padang terdiri dari 2 yang disimbolkan dengan 4R1 dan 4R2. Perbedaan kedua mesin terletak pada bentuk dan kapasitasnya. Mesin Raw Mill 4R1 berbentuk seperti silinder dengan posisi vertikal sedangkan mesin Raw Mill 4R2 berbentuk silinder dengan posisi horizontal. Kapasitas mesin Raw Mill 4R1 lebih besar daripada kapasitas mesin Raw Mill 4R2.
II. METODOLOGI PENELITIAN Analisis penilaian terhadap kegiatan pemeliharaan mesin Raw Mill pabrik Indarung IV PT Semen Padang dilakukan dengan memperhitungan nilai selang waktu antar kerusakan mesin (MTBF) dan lamanya waktu perbaikan mesin (MTTR). MTBF (Mean Time Between Failure) merupakan nilai yang menunjukkan interval waktu kerusakan mesin dari satu kerusakan kepada kerusakan berikutnya. Nilai MTBF penting diketahui untuk merencanakan dan membuat penjadwalan kegiatan preventive maintenance. MTTR (Mean Time to Repair) merupakan nilai yng menunjukkan lamanya waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada mesin untuk satu kali kerusakan. Nilai MTTR diperlukan untuk mengetahui lamanya waktu downtime yang akan terjadi jika mesin mengalami kerusakan. Hal ini akan membantu perusahaan untuk mengoptimalkan waktu perbaikan untuk meminimumkan downtime mesin. Perhitungan nilai MTBF dan MTTR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut : 1. Menentukan nilai TBF dan TTR mesin Raw Mill 4R1 dan 4R2 Nilai TBF (Time Between Failure) merupakan nilai yang menunjukkan waktu antar kerusakan pertama dengan kerusakan kedua yang terjadi pada mesin Raw Mill. Nilai TTR (Time to Repair) merupakan nilai yang menunjukkan lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan satu kali perbaikan kerusakan mesin. 2. Menentukan distribusi data yang sesuai untuk sebaran data TBF dan TTR mesin Raw Mill. Untuk menentukan distribusi data yang sesuai maka dilakukan pembuatan kelas dan interval kelas data untuk menentukan sebaran data dan frekuensi sebaran data tersebut. 3. Melakukan pengujian distribusi data TBF dan TTR dengan pendekatan 4 macam distribusi yaitu distribusi Lognormal, Normal, Weibul, dan Eksponential. Pengujian distribusi dilakukan untuk mengetahui hipotesis sebaran data sehingga dapat ditentukan nilai parameter yang diperlukan dalam penentuan nilai MTBF dan MTTR. 4. Menentukan parameter distribusi data TBF dan TTR. Penentuan parameter ini dilakukan untuk pengujian kecocokan distribusi data sesuai hipotesis yang telah dibuat dan juga untuk perhitungan nilai MTBF dan MTTR. 5. Melakukan pengujian kecocokan distribusi data sesuai hipotesis yang telah dibuat. Pengujian kecocokan distribusi dilakukan dengan uji Kolmogorov-smirnov. Pengujian ini dilakukan untuk dapat menentukan keputusan dari hipotesis yang ada, apakah hipotesis mengenai distribusi data yang dibuat diterima atau ditolak. Jika hipotesis diterima, maka distribusi data dapat diketahui secara pasti. Namun jika hipotesis ditolak, maka dilakukan pengujian distribusi data kembali. 6. Menentukan nilai MTBF dan MTTR. Penentuan nilai MTBF dan MTTR dapat dilakukan setelah hipotesis distribusi data diterima. Sehingga parameter yang telah dihitung sebelumnya dapat digunakan untuk perhitungan nilai MTBF dan MTTR sesuai dengan rumus yang berlaku.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut penjelasan terhadap pengolahan data yang telah dilakukan untuk menganalisis pemeliharaan pada mesin Raw Mill Pabrik Indaring IV PT Semen Padang. Pengolahan data terdiri SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-76
Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang
dari beberapa langkah yang dilakukan untuk menghitung MTBF dan MTTR mesin Raw Mill serta pengaruhnya terhadap nilai Availability mesin tersebut. Perhitungan MTTR dan MTBF mesin Raw Mill dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu sebegai berikut : 1. Perhitungan TTR (Time to Repair) Hasil rekapitulasi perhitungan TTR mesin Raw Mill 4R1 ditunjukkan pada Tabel 1. 2. Perhitungan TBF (Time to Failure) Time to Failure (TBF) merupakan waktu antara terjadinya kerusakan mesin yang pertama dengan waktu terjadinya kerusakan mesin berikutnya. Pada dasarnya nilai TTF dan TBF adalah sama. Hanya saja, TTF merupakan istilah untuk waktu antar kerusakan dimana peralatan atau mesin hanya bisa sekali pakai sedangkan TBF untuk waktu antar kerusakan dimana peralatan atau mesin dapat diperbaiki dan digunakan berulang kali. Pada peralatan atau mesin yang dapat diperbaiki, nilai TBF merupakan hasil penjumlahan dari TTR dan TTF. Sedangkan pada peralatan atau mesin yang tidak dapat diperbaiki makan TBF sama dengan TTF. Rekapitulasi perhitungan TBF dapat dilihat pada Tabel 2. 3. Perhitungan MTTR (Mean Time to Repair) Perhitungan MTTR mesin Raw Mill 4R1 dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan distribusi data dan parameter yang akan digunakan dalam perhitungan MTTR. Perhitungan MTTR dijelaskan dalam langkah-langkah berikut : a. Penentuan Distribusi Data TTR Mesin Raw Mill 4R1 Penentuan distribusi data dilakukan dengan pengurutan data TTR terlebih dahulu. Pengurutan data ini dilakukan untuk menentukan kelas, batas kelas, interval kelas, dan frekuensi kerusakan mesin pada setiap kelas. Penentuan kelas dan frekuensi relatif sebaran data TTR dapat dilihat pada Tabel 3. Grafik frekuensi kerusakan mesin pada Raw mill 4R1 digambarkan pada grafik dalam Gambar 1.
Gambar 1 Frekuensi Kerusakan Mesin Raw Mill 4R1
b. Pengujian Distribusi Pengujian distribusi dilakukan dengan pedekatan 4 macam distribusi yaitu lognormal, normal, weibul, dan eksponential. Hasil pengujian distribusi data TTR dengan distribusi Weibul dapat dilihat pada Tabel 4 dan grafik seperti pada Gambar 2.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-77
Taufik, Fithri, dan Arsita
Tabel 1 Rekapitulasi Perhitungan TTR Mesin Raw Mill 4R1
No
Mesin
Nama Komponen
Waktu Stop
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
4R1
4R1-S01 4R1-S01 4R1S20M1 4R1M01-T9 4R1M01-T9 4R1M01-T9 4R1 4R1 M02M3 4R1 4R1 4R1S08 4R1M01-T9 4R1 J01 4R1J11 4R1 S01M1 4R1 M01M2 4R1 M01M2 4R1 S01 4R1 R02 4R1S01M2 4R1S01M2 4R1 M01M2 4R1 M01M2 4R1S20-T7 4R1S01 4R1M01-T9 4R1M01-T9 4R1S20-T7 4R1 S08M1 4R1 M03M1 4R1 M03M1 4R1 M01-T9 4R1 M03M1 4R1 M01M6 4R1 MO3M1 4R1 R02M1 4R1 R02M1 4R1 4R1 S02M1 4R1 S02 4R1 S02 4R1 S02 4R1-J10 4R1 4R1 4R1-S02M1 4R1-S02 4R1-A01 4R1J11 4R1-S20T8
09-04-14 20:31 29-06-14 23:10 19-07-14 21:44 22-07-14 20:38 27-07-14 16:14 02-08-14 16:30 08-08-14 10:20 09-08-14 0:10 09-08-14 11:04 10-08-14 3:15 10-08-14 7:20 10-08-14 12:45 16-08-14 18:14 18-08-14 9:00 01-09-14 20:05 06-09-14 10:58 06-09-14 13:49 10-09-14 12:03 11-09-14 8:00 13-09-14 2:08 13-09-14 2:59 16-09-14 8:30 20-09-14 17:11 24-09-14 0:27 25-09-14 5:44 27-09-14 14:14 27-09-14 14:16 28-09-14 11:22 03-10-14 5:32 03-10-14 6:12 03-10-14 13:33 06-10-14 9:50 23-10-14 23:43 25-10-14 18:09 01-11-14 1:42 03-11-14 17:00 04-11-14 4:30 06-11-14 0:34 23-11-14 9:58 24-11-14 6:06 30-11-14 9:45 30-11-14 12:47 01-12-14 0:35 04-12-14 15:42 04-12-14 17:12 07-12-14 8:10 14-12-14 1:20 19-12-14 1:54 24-12-14 11:50 26-12-14 7:15
Waktu Start TTR (menit) 09-04-14 21:30 30-06-14 4:00 19-07-14 22:40 23-07-14 3:18 27-07-14 17:05 02-08-14 20:55 08-08-14 19:06 09-08-14 0:55 09-08-14 13:50 10-08-14 4:55 10-08-14 12:30 10-08-14 13:05 16-08-14 18:48 18-08-14 9:55 01-09-14 21:36 06-09-14 11:05 06-09-14 13:56 10-09-14 15:14 11-09-14 9:59 13-09-14 2:46 13-09-14 3:16 16-09-14 8:45 20-09-14 17:20 24-09-14 1:30 25-09-14 6:25 27-09-14 14:15 27-09-14 16:14 28-09-14 12:50 03-10-14 5:55 03-10-14 6:50 03-10-14 13:59 06-10-14 11:20 24-10-14 0:08 25-10-14 20:58 01-11-14 3:17 03-11-14 21:15 04-11-14 7:28 06-11-14 0:41 23-11-14 10:47 24-11-14 6:48 30-11-14 10:09 30-11-14 19:00 01-12-14 2:55 04-12-14 16:32 04-12-14 21:10 07-12-14 9:15 14-12-14 1:48 19-12-14 2:00 24-12-14 12:00 26-12-14 7:45
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-78
59 290 56 400 51 265 526 166 45 100 310 20 34 55 91 7 7 191 119 38 17 15 9 63 41 1 118 88 23 38 26 90 25 169 95 255 178 7 49 42 24 373 140 50 238 65 28 6 10 30
Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang
Tabel 2 Rekapitulasi Perhitungan TBF Mesin Raw Mill 4R1
No
Mesin
Nama Komponen
Waktu Stop
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
4R1
4R1-S01 4R1-S01 4R1S20M1 4R1M01-T9 4R1M01-T9 4R1M01-T9 4R1 4R1 M02M3 4R1 4R1 4R1S08 4R1M01-T9 4R1 J01 4R1J11 4R1 S01M1 4R1 M01M2 4R1 M01M2 4R1 S01 4R1 R02 4R1S01M2 4R1S01M2 4R1 M01M2 4R1 M01M2 4R1S20-T7 4R1S01 4R1M01-T9 4R1M01-T9 4R1S20-T7 4R1 S08M1 4R1 M03M1 4R1 M03M1 4R1 M01-T9 4R1 M03M1 4R1 M01M6 4R1 MO3M1 4R1 R02M1 4R1 R02M1 4R1 4R1 S02M1 4R1 S02 4R1 S02 4R1 S02 4R1-J10 4R1 4R1 4R1-S02M1 4R1-S02 4R1-A01 4R1J11 4R1-S20T8
09-04-14 20:31 29-06-14 23:10 19-07-14 21:44 22-07-14 20:38 27-07-14 16:14 02-08-14 16:30 08-08-14 10:20 09-08-14 0:10 09-08-14 11:04 10-08-14 3:15 10-08-14 7:20 10-08-14 12:45 16-08-14 18:14 18-08-14 9:00 01-09-14 20:05 06-09-14 10:58 06-09-14 13:49 10-09-14 12:03 11-09-14 8:00 13-09-14 2:08 13-09-14 2:59 16-09-14 8:30 20-09-14 17:11 24-09-14 0:27 25-09-14 5:44 27-09-14 14:14 27-09-14 14:16 28-09-14 11:22 03-10-14 5:32 03-10-14 6:12 03-10-14 13:33 06-10-14 9:50 23-10-14 23:43 25-10-14 18:09 01-11-14 1:42 03-11-14 17:00 04-11-14 4:30 06-11-14 0:34 23-11-14 9:58 24-11-14 6:06 30-11-14 9:45 30-11-14 12:47 01-12-14 0:35 04-12-14 15:42 04-12-14 17:12 07-12-14 8:10 14-12-14 1:20 19-12-14 1:54 24-12-14 11:50 26-12-14 7:15
Waktu Start
TBF (jam)
09-04-14 21:30 0.98 30-06-14 4:00 1950.50 19-07-14 22:40 474.67 23-07-14 3:18 76.63 27-07-14 17:05 109.78 02-08-14 20:55 147.83 08-08-14 19:06 142.18 09-08-14 0:55 7.83 09-08-14 13:50 10.90 10-08-14 4:55 15.08 10-08-14 12:30 7.58 10-08-14 13:05 0.58 16-08-14 18:48 149.72 18-08-14 9:55 39.12 01-09-14 21:36 347.68 06-09-14 11:05 109.48 06-09-14 13:56 2.85 10-09-14 15:14 97.30 11-09-14 9:59 18.75 13-09-14 2:46 40.78 13-09-14 3:16 0.50 16-09-14 8:45 77.48 20-09-14 17:20 104.58 24-09-14 1:30 80.17 25-09-14 6:25 28.92 27-09-14 14:15 55.83 27-09-14 16:14 1.98 28-09-14 12:50 20.60 03-10-14 5:55 113.08 03-10-14 6:50 0.92 03-10-14 13:59 7.15 06-10-14 11:20 69.35 24-10-14 0:08 420.80 25-10-14 20:58 44.83 01-11-14 3:17 150.32 03-11-14 21:15 65.97 04-11-14 7:28 10.22 06-11-14 0:41 41.22 23-11-14 10:47 418.10 24-11-14 6:48 20.02 30-11-14 10:09 147.35 30-11-14 19:00 8.85 01-12-14 2:55 7.92 04-12-14 16:32 85.62 04-12-14 21:10 4.63 07-12-14 9:15 60.08 14-12-14 1:48 160.55 19-12-14 2:00 120.20 24-12-14 12:00 130.00 26-12-14 7:45 43.75
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-79
Taufik, Fithri, dan Arsita
Tabel 3 Kelas dan Frekuensi Relatif Data TTR Mesin Raw Mill 4R1 Batas Kelas Bawah 1 2 3 4 5 6 7
0.95 80.416 159.882 239.348 318.814 398.28 477.746
Batas Atas
Titik Tengah Kelas
80.416 159.882 239.348 318.814 398.28 477.746 557.746 Total
40.68 120.15 199.61 279.08 358.55 438.01 517.75
Frekuensi
Frekuensi Relatif
30 8 5 3 1 1 2 50
0.6 0.16 0.1 0.06 0.02 0.02 0.04
Probabilitas Komulatif 0 0.6 0.76 0.86 0.92 0.94 0.96 1
t 0 80.42 159.88 239.35 318.81 398.28 477.75 557.75
ˆ (t) R
1 0.4 0.24 0.14 0.08 0.06 0.04 0
Tabel 4 Perhitungan Uji Distribusi Weibull Data TTR Mesin Raw Mill 4R1 ˆ (t) ˆ (t) ln R ln t ln [ ln Rˆ ( t )] R t 0 1 0 80.416 4.38721 0.4 -0.92 -0.09 159.882 5.07444 0.24 -1.43 0.36 239.348 5.47792 0.14 -1.97 0.68 318.814 5.76461 0.08 -2.53 0.93 398.28 5.98715 0.06 -2.81 1.03 477.746 6.16908 0.04 -3.22 1.17 557.746 6.3239 0
Gambar 2 Weibul Plot Mesin Raw Mill 4R1
Berdasarkan grafik, terbentuk kurva dengan persamaan regresi yaitu y = 0.717x – 3.2477 dengan koefisien regresi atau R2 yaitu sebesar 0.9971. Persamaan regresi dan koefisien regresi ini digunakan untuk melakukan perhitungan estimasi parameter yang akan digunakan dalam perhitungan MTTR. Pemilihan distribusi Weibull sebagai distribusi data yang cocok adalah karena distribusi ini memiliki koefisien determinasi terbesar. Rekapitulasi pengujian distribusi data menggunakan 4 jenis distribusi dapat dilihat pada Tabel 5.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-80
Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang
Tabel 5 Rekapitulasi Uji Distribusi Data TTR Mesin Raw Mill 4R1
Jenis Distribusi
Persamaan Regresi
Koefisien Determinasi
Exponential Weibull Normal Lognormal
y = -0.0065x - 0.2757 y = 0.717x - 3.2477 y = 0.0037x + 0.0859 y = 0.8525x - 3.5437
0.9767 0.9971 0.9627 0.9915
Koef. Determinasi Terbesar 0.9971
c. Penentuan parameter distribusi Penentuan parameter ini dilakukan untuk mengetahui nilai parameter yang digunakan untuk menghitung MTTR dan MTBF. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai parameter sebagai berikut.
1 gradien persamaan regresi c x
= 1,395 µ = 4,529 d. Pengujian kecocokan distribusi Pengujian kecocokan distribusi dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dibuat dapat diterima atau ditolak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis untuk penentuan distribusi data TTR mesin Raw Mill 4R1 adalah : Ho = Distribusi data TTR mengikuti jenis distribusi weibull H1 = Distribusi data TTR mengikuti jenis distribusi lainnya. Jika nilai Dn (Dhitung) < Dtabel maka Ho dapat diterima sesuai hipotesisnya. Pengujian Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Uji Kolmogorov-Smirnov Data TTR Mesin Raw Mill 4R1 No
Batas Bawah
Batas Atas
Frekuensi
1 2 3 4 5 6 7
0.95 80.42 159.88 239.35 318.81 398.28 477.75
80.42 159.88 239.35 318.81 398.28 477.75 557.75
30 8 5 3 1 1 2
Probabilitas Kumulatif Pengamatan (Fo(t)) 0.6 0.76 0.86 0.92 0.94 0.96 1
ln t z -0.10 0.39 0.68 0.89 1.05 1.18 1.29
Probabilitas Dn = max Absolut [Fo(t) Kumulatif {absolut[Fo(t) Fn(t)] Teoritik (Fn(t)) Fn(t)]} 0.46 0.65 0.75 0.81 0.85 0.88 0.90
0.14 0.11 0.11 0.11 0.09 0.08 0.10
0.14
Berdasarkan hasil pengujian, maka diketahui bahwa nilai statistik hitung (Dn) adalah 0,14. Nilai statistik Dtabel yang didapatkan dengan tingkat kepercayaan 95% (alfa=5%) dan derjat kebebasan (jumlah data) = 50 pada tabel Kolmogorov-Smirnov adalah 0,188. Hal ini menunjukkan hipotesis Ho diterima. e. Penentuan Nilai MTTR Penentuan nilai MTTR dilakukan dengan menggunakan parameter yang telah didapatkan dari hasil perhitungan sebelumnya. Nilai MTTR untuk mesin Raw Mill 4R1 adalah sebesar 4,08 jam. Ini berarti perbaikan untuk satu kali kerusakan mesin Raw Mill 4R1 menghabiskan waktu rata-rata sebesar 4,08 jam. Rumus yang digunakan untuk penentuan nilai MTTR ini adalah sebagai berikut.
MTTR e
2 2
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-81
Taufik, Fithri, dan Arsita
4. Perhitungan MTBF (Mean Time Between Failure) Perhitungan MTBF dilakukan dengan cara yang sama dengan perhitungan MTTR. Langkahlangkah perhitungan MTBF sama dengan langkah-langkah perhitungan MTTR. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai MTBF mesin Raw Mill 4R1 adalah sebesar 7,18. Ini artinya, mesin ini akan mengalami kerusakan rata-rata satu kali dalam rentang waktu 7,18 hari. A. Perhitungan MTTR dan MTBF Mesin Raw Mill 4R2 Pehitungan MTTR dan MTBF untuk mesin Raw Mill 4R2 dilakukan dengan cara yang sama dengan perhitungan MTTR dan MTBF mesin Raw Mill 4R1. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai MTTR mesin Raw Mill 4R2 adalah sebesar 1,5 jam. Artinya, waktu perbaikan yang dibutuhkan pada satu kali kerusakan mesin adalah sebesar 1,5 jam. NIlai MTBF mesin Raw Mill 4R2 adalah sebesar 26 hari. Artinya, interval waktu kerusakan pertama dan kerusakan berikutnya pada mesin ini adalah 26 hari. Hal ini lebih baik daripada mesin Raw Mill 4R1. B. Perhitungan Availability Mesin Raw Mill Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai Availability mesin Raw mill 4R1 adalah 98% sedangkan untuk mesin Raw mill 4R2 adalah sebesar 100%. Jika dibandingkan dengan nilai Availability pada tahun 2014 pada mesin mesin Raw mill 4R1 dan mesin 4R2 secara berurut adalah 91% dan 96%. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Availability mesin dari perbaikan MTBF sesuai dengan perhitungan yang telah dilakukan. C. Pengaruh Pemenuhan Schedule Pemeliharaan terhadap Nilai MTBF Pemenuhan schedule pemeliharaan akan mempengaruhi nilai MTBF (Mean Time Between Failure). Karena, semakin tinggi tingkat pemenuhan schedule pemeliharaan yang dilakukan, maka seharusnya nilai MTBF juga akan semakin besar. Ketika pemeliharaan dilakukan secara rutin dan sesuai dengan jadwal pemeliharaan yang telah dilakukan, maka mesin atau peralatan tersebut akan semakin jarang mengalami kerusakan. Hal inilah yang menyebabkan nilai MTBF semakin besar. Semakin besarnya nilai MTBF menunjukkan bahwa mesin atau peralatan semakin jarang mengalami kerusakan. D. Pengaruh Skill pegawai terhadap Nilai MTTR Lamanya waktu perbaikan mesin sangat ditentukan oleh personil yang melakukan perbaikan dan bagaimana proses perbaikan tersebut berlangsung. Skill/ kemampuan para pegawai memang merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan proses pemeliharaan yang dibuktikan dengan singkatnya waktu pemeliharaan itu berlangsung. Para pegawai harus mengerti dan berpengalaman dalam melaksanakan tugas pemeliharaannya. Pegawai akan diarahkan bagaimana cara mengatasi permasalahan mesin sejak awal bekerja sehingga semakin lama pengalaman kerjanya semakin mahir ia melakukan proses pemeliharaan tersebut. Semakin mahir dan tinggi skill seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam kegiatan pemeliharaan maka akan semakin cepat kegiatan pemeliharaan itu berlangsung dalam arti lain, waktu perbaikan untuk kerusakan mesin akan semakin singkat. E. Usulan Pemecahan Masalah Perbaikan dilakukan dengan meninjau lima aspek penting dalam suatu sistem kerja. Aspek penting tersebut adalah mesin, manusia/tenaga kerja, material, lingkungan, dan metode kerja. Usulan dalam upaya peningkatan nilai MTBF dan penurunan nilai MTTR serta pengoptimalan pemeliharaan listrik dan instrumen di mesin Raw mill pabrik Indarung IV PT. Semen Padang adalah sebagai berikut. 1. Usulan perbaikan terhadap mesin produksi Perbaikan yang dapat dilakukan pada mesin Raw mill bertujuan untuk meningkatkan availability (ketersediaan) mesin tersebut. Ketersediaan mesin akan dapat meningkat ketika
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-82
Analisis Pemeliharaan Mesin Raw Mill Pabrik Indarung IV PT Semen Padang
2.
3.
4.
5.
kerusakan mesin jarang terjadi sehingga interval waktu kerusakan mesin meningkat. Usulan perbaikan untuk melakukan perbaikan terhadap mesin produksi antara lain adalah : a. Melakukan pemeliharaan secara tepat waktu sesuai dengan schedule yang telah ditetapkan b. Meningkatkan upaya pemeliharaan/maintenance mesin dengan menjadwalkan waktu pemeliharaan berdasarkan nilai MTBF kerusakan mesin c. Melakukan riset terhadap peralatan atau komponen mesin yang lebih tahan lama dan tidak mudah rusak. Usulan perbaikan terhadap tenaga kerja Tenaga kerja erat kaitannya dengan sistem kerja karena tenaga kerja merupakan variabel hidup dalam sistem kerja. Kesuksesan dan optimalitas sistem kerja bergantung kepada tenaga kerja yang menjalankan pekerjaan tersebut. Dalam hal pemeliharaan mesin, tenaga kerja akan menentukan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan pemeliharaan. Usulan perbaikan terhadap tenaga kerja adalah sebagai berikut. a. Memberikan program pelatihan khusus secara terjadwal untuk meningkatkan kemampuan/skill tenaga kerja dalam menjalankan tugas sebagai pelaku pemeliharaan. Semakin tinggi kemampuan tenaga kerja, maka pekerjaan akan diselesaikan dalam waktu yang semakin sedikit. Hal ini akan dapat mengurangi nilai MTTR. b. Memberikan sanksi terhadap tenaga kerja yang melanggar aturan kedisiplinan dan memberikan reward terhadap tenaga kerja yang mampu menjalankan tugas dengan baik sebagai bentuk motivasi untuk meningkatkan semangat kerja para tenaga kerja. c. Khusus untuk pemeliharaan listrik dan instrumen, tempatkan tenaga kerja yang benarbenar memiliki kualifikasi standar yang dibutuhkan dalam kegiatan penyelesaian pekerjaan. Usulan perbaikan terhadap material Material juga merupakan suatu hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengurangi kerusakan mesin. Kerusakan yang terjadi akibat gangguan material contohnya adalah terjadinya overload. Hal ini dapat ditanggulangi dengan melakukan pengecekan secara berkala terhadap load atau beban dari setiap mesin/komponen mesin. Usulan perbaikan terhadap lingkungan Lingkungan sistem kerja juga mempengaruhi bagaimana tingkat kerusakan mesin yang terjadi. Semakin baik dan terjaganya lingkungan kerja akan membuat mesin bekerja dengan baik. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan yang dilakukan terhadap mesin tersebut. Usulan perbaikan terhadap metode kerja Usulan yang diberikan terhadap metode kerja atau cara kerja yaitu melaksanakan tugas pemeliharaan dengan sistem ENASE (Efektif, Nyaman, Aman, Sehat, dan Efisien).
IV. PENUTUP Berdasarkan pengolahan serta analisis yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Rata-rata selang waktu antar kerusakan mesin pada mesin Raw mill 4R1 adalah selama 7 hari dan mesin Raw mill 4R2 adalah selama 26 hari. Sedangkan rata-rata waktu perbaikan untuk mesin Raw mill 4R1 adalah selama 4 jam dan mesin 4R2 adalah selama 1,5 jam. 2. Availability (ketersediaan) mesin berbanding lurus dengan nilai MTBF dan bebanding terbalik dengan nilai MTTR. Artinya semakin besar selang waktu kerusakan (MTBF) maka availability mesin juga akan semakin meningkat. Namun, semakin besar lama waktu perbaikan (MTTR) maka availability mesin akan menurun. 3. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya nilai MTBF adalah persentase pemenuhan schedule pemeliharaan. Sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai MTTR adalah kemampuan/skill para tenaga kerja. 4. Pemenuhan jadwal pemeliharaan akan mempengaruhi nilai MTBF. Semakin besar persentase pemenuhan jadwal pemeliharaan yang dilakukan, maka nilai MTBF akan semakin besar. Artinya, kerusakan mesin akan semakin jarang terjadi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-83
Taufik, Fithri, dan Arsita
DAFTAR PUSTAKA Assauri, S., 1993, Manajemen Produksi dan Operasi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) Corder, A.S., 1988, Teknik Manajemen Pemeliharaan. Jakarta : Erlangga Dhillon, B.S., 1997, Reliability Engineering in System Design and Operation. Singapore : Van Nostrand Reinhold Company, Inc Ebeling, C.E., 1997, An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering. Singapore : The McGraw Hills Companies Inc Gaspersz, V., 1992, Analisis Sistem Terapan: Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Bandung : Tarsito Jardine, A.K.S., 1973, Maintenance, Replacement, and Reliability. Canada : Pitman Publishing Corporation
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-84
Petunjuk Sitasi: Indrianti, N., Asthingkara, A. R., & Sutrisno. (2017). Penentuan Jumlah Produksi Roti Berdasarkan Estimasi Kerugian Minimal. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C85-90). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penentuan Jumlah Produksi Roti Berdasarkan Estimasi Kerugian Minimal Nur Indrianti(1), Alfonsa Radite Asthingkara(2) , Sutrisno(3) (1), (2), (3) Universitas Pembangunan Nasional ―Veteran‖ Yogyakarta Program Studi Teknik Industri, FTI, UPN ‖Veteran‖ Yogyakarta, Jl. Babarsari 2, Tambakbayan, Yogyakarta 55281 (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas perencanaan produksi pada industri makanan olahan dengan mengangkat kasus pada sebuah perusahaan roti yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendeknya umur roti membuat perusahaan tidak membuat stok produk karena produk yang dikirim ke konsumen harus selalu baru. Untuk mengejar waktu pemenuhan pesanan yang singkat, perusahaan memulai produksi berdasarkan estimasi permintaan. Masalahnya adalah yang dihadapi adalah bagaimana melakukan estimasi jumlah masing-masing roti yang sebaiknya diproduksi agar kerugian dapat diminimalkan. Kerugian terjadi akibat kelebihan produksi, karena sisa produk harus dijual dengan harga yang lebih murah, dan kekurangan produksi yang menyebabkan lost sales. Dalam penelitian ini digunakan konsep estimasi berdasarkan probabilitas pesanan. Kombinasi jumlah masing-masing produk yang diproduksi ditentukan berdasarkan total nilai kerugian terkecil dan total kapasitas yang tidak melebihi kapasitas produksi yang tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara yang diusulkan menghasilkan perkiraan jumlah produksi yang memberikan kerugian lebih rendah daripada kebijakan perusahaan saat ini. Kata kunci— perencanaan produksi, produk roti, penentuan jumlah produksi, estimasi, kerugian minimal
I. PENDAHULUAN Perencanaan produksi merupakan hal penting pada sistem produksi yang bertujuan untuk merencanakan dan mengkoordinasikan semua aktivitas produksi secara efektif dan efisien agar pencapaian tujuan perusahaan dapat dioptimalkan. Perencanaan produksi meliputi penentuan jumlah produksi, inventori, dan parameter produksi penting lainnya untuk memenuhi permintaan dalam periode perencanaan tertentu (Ramezanian et al., 2012). Kegiatan dan strategi perencanaan produksi bermacam-macam tergantung pada karakteristik sistem produksi. Perencanaan produksi pada industri makanan olahan berbeda dari perencanaan produksi pada industri manufaktur perakitan. Makanan olahan seperti roti, susu, es krim, burger dan sosis secara inheren mudah rusak dan memiliki karakteristik produk dan proses yang khas, seperti variasi jenis produk, masalah kontaminasi dan waktu pergantian yang lama (Akkerman & van Donk, 2009). Karakteristik produk dan proses dari produk makanan yang mudah rusak memerlukan model khusus untuk mendukung pengambilan keputusan (misalnya Bortolini et al. (2016); Manzini et al. (2014), dan Valli et al. (2013)). Roti sebagai salah satu produk industri makanan olahan merupakan salah satu bentuk makanan pokok yang cukup diminati masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Secara umum bahan pembuat roti terdiri dari 4 komponen utama, yaitu tepung terigu, air, garam dan ragi (Saccharomyces cerevisiae). Roti tidak dapat disimpan lama karena kandungan air pada roti masih cukup tinggi yang dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme pembusuk roti. Faktorfaktor yang mempercepat pembusukan roti antara lain kualitas bahan baku, waktu dan suhu pemanggangan, waktu pengemasan (sebelum dingin), dan kontaminasi setelah pemanggangan (pada tahap pendinginan, pengirisan dan pengemasan) (Nuraida, 2014). Mengingat umur roti yang sangat pendek, maka produk yang dikirim ke konsumen adalah hasil produksi baru. Jumlah roti yang diproduksi harus diperhitungkan dengan tepat karena sisa SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-85
Indrianti, Asthingkara, dan Sutrisno
roti yang tidak terjual tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Roti yang tidak terjual biasanya tidak disimpan di gudang, namun dijual dengan harga yang lebih murah. Beberapa aktivitas dalam proses pembuatan roti tidak mengizinkan adanya waktu tunggu atau melebihi waktu proses yang telah ditetapkan seperti misalnya proses mixing dan resting terhadap adonan yang mengandung ragi. Hal ini memberikan konsekuensi tersendiri terhadap perencanaan produksi, khususnya kriteria penjadwalan, dimana penjadwalan flowshop biasa tidak bisa diterapkan begitu saja namun perlu mempertimbangkan ―no-wait constraint‖. Penjadwalan semacam ini disebut penjadwalan no-wait flow-shop (NWFS) (Hall & Sriskandarayah, 1996; Rajendran, 1994; Grabowski & Pempera, 2000). Kompleksitas penjadwalan juga meningkat akibat banyaknya jenis produk yang diproduksi oleh perusahaan roti yang meyebabkan jumlah kombinasi yang sulit dikendalikan (Hecker et al., 2013). Literatur tentang perencanaan produksi pada industri roti (baking industry) kebanyakan membahas tentang penjadwalan produksi, antara lain Lian et al. (2008), Pinedo (2008), Tasgetiren et al., (2007), Perez-Gonzalez & Framinan (2010), Hecker et al. (2013), dan Hecker et al. (2014). Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih fokus pada penjadwalan produksi, penelitian ini akan membahas perencanaan produksi pada industri roti khususnya penentuan jumlah setiap jenis roti yang akan diproduksi. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masalah yang dihadapi oleh PTICC, yaitu sebuah perusahaan roti di Daerah Istimewa Yogyakarta. PTICC memiliki konsumen tetap yang melakukan permintaan melalui tiga Distribution Center (DC), yaitu DC SMG, DC YOG, dan DC IGR.Produk yang dikirim untuk memenuhi permintaan konsumen harus baru sehingga kesempatan berproduksi (antara waktu penerimaan dan pengiriman pesanan) menjadi sangat pendek. Oleh karena itu PTICC melakukan estimasi permintaan dan memulai produksi lebih awal, sebelum permintaan datang. Postponement strategy, dimana fase akhir produksi dilakukan penundaan dan baru akan diproses setelah permintaan diterima (Makui et al., 2016), tidak bisa diterapkan pada proses produksi roti yang prosesnya justru tidak mengizinkan adanya penundaan karena kendala proses dan material. Selama ini PTICC belum melakukan estimasi permintaan dengan baik. Sering terjadi selisih yang cukup besar antara hasil estimasi dengan permintaan riil. Sebagai contoh pada suatu hari di bulan Desember 2015, permintaan sebuah produk diperkirakan sebanyak 1077 pieces, namun ternyata permintaan riil yang datang hanya 433 pieces sehingga hampir 60% produk tidak terjual pada hari itu. Hal ini menimbulkan kerugian pada perusahaan sebesar Rp805.000,- karena sisa produk dijual dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah produksi untuk meminimalkan kerugian. Kerugian muncul sebagai akibat dari selisih antara jumlah permintaan hasil estimasi dan permintaan riil. Jika produksi lebih besar daripada permintaan riil, kerugian terjadi karena sisa produk dijual bebas kepada umum dengan harga yang lebih rendah daripada harga aslinya. Sebaliknya, jika jumlah produksi lebih kecil daripada permintaan riil, maka kerugian terjadi karena hilangnya kesempatan mendapatkan laba (lost sales).
II. METODOLOGI PTICC yang melatarbelakangi penelitian ini memproduksi roti tawar dan roti manis. Proses dan perencanaan produksi roti pada PTICC dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Roti Roti manis manis
Bahan Bahan Baku Baku
Mixing Mixing Biang Biang
Resting Resting
Dough Dough Mixing Mixing
Shaping Shaping
Resting Resting
Roti Roti tawar tawar
Cutting Cutting & & Rounding Rounding
Filling Filling & & Cutting Cutting Proofing Proofing
Finishing Finishing
Rolling Rolling
Baking Baking
Cooling Cooling Packing Packing Roti Roti Kemasan Kemasan
Gambar 1 Proses produksi roti pada PTICC
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-86
Penentuan Jumlah Produksi Roti Berdasarkan Estimasi Kerugian Minimal
Hari H+1
Bagian Pengiriman Bagian Produksi
Perkiraan permintaan H+2
Perkiraan permintaan H+1 12
PERIODE
Picking hari H
Rencana Produksi Produksi hari H H+1
Produksi hari H
08 09 10 11
Produksi H+2
Pengiriman SMG
Picking hari H
Bagian Support
Pengiriman Picking Pengiriman YOG H+1 IGR
Permintaan riil H+1
Bagian Pengiriman Bagian Produksi
Picking H+1
Rencana Produksi Produksi H+1 H+2
Produksi H+1
Bagian Support
Hari H
Pengiriman SMG
Picking H+1
Pengiriman Picking Pengiriman YOG hari H IGR Produksi H+1
Permintaan riil hari H
13 14 15 16
17
18
19 20 21
22
23 24 01 02
03
04
05
WAKTU (Waktu Indonesia Barat)
Gambar 2 Perencanaan produksi roti pada PTICC
Proses produksi diawali dengan pencampuran bahan baku (mixing) untuk menghasilkan biang (ragi untuk adonan) yang kemudian di-resting selama 2 jam. Selanjutnya biang kembali dimasukkan ke dalam mixer dan ditambahkan bahan baku lainnya. Proses ini dikenal sebagai dough mixing dan bertujuan untuk memberikan rasa yang khas pada masing-masing adonan roti yang dihasilkan. Untuk roti tawar, adonan dimasukkan ke mesin divider untuk dipotong sesuai berat dan kemudian secara otomatis menuju ke mesin rounding untuk dibentuk bulat. Selanjutnya adonan ditimbang dan diletakkan dalam loyang. Pada proses rolling adonan ditipiskan menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu sekaligus untuk mengeluarkan gelembung gas dalam adonan. Untuk roti manis, sebelum masuk ke mesin adonan dipindahkan ke meja untuk dibagi secara manual dengan maksud mempermudah pemrosesan. Selanjutnya adonan masuk ke mesin shaping untuk dipipihkan, lalu diberi isian dengan mesin filling (extruder) sesuai rasa. Setelah diberi isi, adonan digulung agar tertutup kemudian dipotong dan diletakkan di loyang. Proses proofing bertujuan mengembangkan adonan untuk mencapai bentuk dan mutu yang baik. Roti yang sudah mengembang dikeluarkan dari ruang proofing untuk dilakukan finishing seperti penaburan keju atau penyemprotan susu untuk roti manis. Roti kemudian dimasukkan ke mesin pemanggang untuk dimatangkan secara merata. Proses pemanggangan adonan (baking) dilakukan pada dua jenis oven yaitu roti tawar pada revolving oven dan roti manis pada rotary oven. Pada proses ini akan diperoleh warna dan aroma khas roti. Setelah selesai dibakar, roti didiamkan sebentar sampai suhu normal kemudian dimasukkan ke ruang pendingin. Proses pendinginan (cooling) bertujuan agar uap air yang terdapat pada roti dapat keluar terlebih dahulu secara optimal sebelum proses pengemasan. Proses pengemasan dilakukan setelah roti dingin. Roti yang dikemas dalam kondisi masih panas memiliki potensi lebih mudah berjamur. Gambar 2 menunjukkan bahwa pada hari H perusahaan melakukan perkiraan permintaan untuk H+1 pada pada pukul 12.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Rencana produksi H+1 dibuat berdasarkan perkiraan tersebut dan selesai pada pukul 18.00. Kegiatan produksi sesuai rencana tersebut dilaksanakan mulai pukul 22.00. Pada hari H pukul 17.00 saat proses picking atau penyortiran sedang dilakukan oleh Bagian Pengiriman, order sebenarnya (riil) untuk hari H datang. Produk dikirim sesuai permintaan ke DC SMG, DC YOG, dan DC IGR. Berdasarkan pertimbangan lokasi, order dari DC SMG diproses terlebih dahulu dan dikirimkan pada hari H pukul 22.00. Order dari DC YOG dan DC IGR dikirim pada hari H+1 masing-masing pada pukul 03.00 dan 05.30. Berdasarkan konsep opportunity cost perusahaan ingin meminimalkan penyesalan (regret), yang merupakan perbedaan antara hasil yang diperoleh dengan hasil terbesar yang mungkin diperoleh. Dengan demikian maka masalah yang dihadapi adalah bagaimana menentukan jumlah masing-masing roti yang akan diproduksi agar kerugian dapat diminimalkan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-87
Indrianti, Asthingkara, dan Sutrisno
1) Menentukan jenis distribusi permintaan setiap jenis produk. 2) Menentukan jumlah produksi setiap jenis produk, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan rencana produksi masing-masing produk (xpn0) Perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah produksi minimal dan maksimal masingmasing produk yang ditentukan oleh pihak manajemen berdasarkan data historis permintaan masa lalu. b. Menghitung nilai kerugian E(LS) Kerugian yang diperhitungkan hanya dilihat dari aspek penjualan dan tidak melihat biaya produksi. Nilai kerugian dihitung berdasarkan selisih antara jumlah produk n yang diproduksi (xpn0) dan jumlah permintaan riil produk n (xdn), sebagai berikut: E(LS) = |(xpn0 - xdn)| p ln , jika xpn0>xdn (1) E(LS) = |(xpn0 - xdn)| p (ln-ls) , jika xpn0
Keterangan: 1 pcs = 1kemasan (bungkus) roti
Data permintaan yang digunakan adalah data bulan Desember 2015 yang terdiri dari 31 data harian. Uji distribusi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 20. Untuk mengetahui apakah data tersebut berdistribusi normal atau tidak, digunakan Uji Shapiro-Wilk. Jika nilainya lebih dari 0,05 maka data berdistribusi normal (Santoso, 2012). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data permintaan semua jenis produk berdistribusi normal. Ringkasan hasil analisis statistika deskriptif dan uji normalitas ditunjukkan pada Tabel 2.
Produk P1 P2 P3 P4 P5
Permintaan (pcs) Min Max 713 1176 781 1167 787 1110 782 1116 847 1357
Tabel 2 Hasil Analisis Statistika Deskriptif Produksi (lot) Deviasi Nilai Sig. Rata-rata Standar Shapiro-Wilk Min Max 1 2 959,48 144,72 0,194 1 6 945,74 101,92 0,513 1 6 902,78 74,98 0,189 1 4 909,26 93,02 0,155 1 6 1058,70 140,03 0,216
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-88
Kesimpulan Normal Normal Normal Normal Normal
Penentuan Jumlah Produksi Roti Berdasarkan Estimasi Kerugian Minimal
Langkah pertama adalah menentukan rencana produksi masing-masing produk (xpn0). Jumlah produksi terendah (Min) dan tertinggi (Max) masing-masing produk ditentukan berdasarkan data masa lalu sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Langkah kedua adalah menghitung estimasi nilai kerugian E(LS). Karena pemintaan semua produk berdistribusi normal, maka probabilitas permintaan dihitung berdasarkan fungsi kepadatan peluang variabel acak normal berikut (Walpole et al., 2007): (
)
( )[(
)
]
untuk -∞ < x < ∞
(3)
Perhitungan E(LS) dilakukan dengan bantuan perangkat lunak MATLAB R2010a. Kombinasi dilakukan mulai dari variasi jumlah produk P5 hingga kapasitas total tidak melebihi kapasitas produksi maksimal yang diizinkan. Kombinasi dilanjutkan dengan menambahkan variasi P4, demikian seterusnya dengan urutan produk P3, P2, dan P1. Hasil iterasi ditunjukkan pada Gambar 3. Kolom pertama sampai dengan ke-5 merupakan jumlah produksi atau xp0 untuk produk P1, P2, P3, P4, dan P5 berturut-turut. Kolom ke-4 menunjukkan nilai kerugian berdasarkan Persamaan (1) dan (2). Kolom terakhir menunjukkan kapasitas total (dalam lot). Bagian akhir output menunjukkan kombinasi produksi terpilih, yaitu kombinasi ke-374, dengan nilai kerugian terkecil dan kapasitas tidak melebihi kapasitas tersedia yaitu 21 lot. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah produk yang sebaiknya diproduksi adalah 800 pcs P1, 1000 pcs P2, 1000 pcs P3, 900 pcs P4, dan 1048 pcs P5 atau 1 lot P1, 5 lot P2, 5 lot P3, 3 lot P4, dan 4 lot P5, total 18 lot.
Gambar 3 Tampilan hasil running program
Tabel 3 menunjukkan jumlah produksi hasil perhitungan, kebijakan perusahaan, dan permintaan riil pada kondisi normal tanggal 2 Januari 2016. Total kerugian produksi usulan dan kebijakan perusahaan masing-masing sebesar Rp555.945,-, dan Rp701.055,-. Jumlah produksi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan penjadwalan produksi. Karena dalam kasus ini jumlah produknya sedikit, penjadwalan masih bisa dilakukan dengan Shortest Processing Time (SPT) dan Longest Processing Time (LPT). Hasilnya, aturan SPT adalah P1-P4P5-P3-P2 dengan makespan 545 menit, sedangkan aturan LPT menghasilkan urutan P2-P3-P5-P4-P1 dengan makespan 566 menit. Dengan makespan tersebut, produksi masih bisa dilakukan tanpa melewati waktu pengiriman. Untuk jumlah produk yang banyak, produksi bisa dijadwalkan berdasarkan Hecker et al. (2013) atau Hecker et al. (2014). Tabel 3 Perbandingan Estimasi Jumlah Produksi dengan Permintaan Riil Produk P1 P2 P3 P4 Hasil Penelitian (Usulan) 800 1000 1000 900 Jumlah Produksi (pcs) Kebijakan Perusahaan 858 990 913 905 Permintaan rill (pcs) 751 816 971 788 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-89
P5 1048 1050 1077
Indrianti, Asthingkara, dan Sutrisno
IV. PENUTUP Penelitian ini mengusulkan cara penentuan jumlah produksi berdasarkan estimasi kerugian terkecil. Kerugian meliputi kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan penjualan karena jumlah produksi di bawah permintaan dan berkurangnya keuntungan karena produk sisa (kelebihan dari permintaan) harus dijual umum dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan studi kasus yang dibahas, cara yang diusulkan memberikan nilai kerugian yang lebih kecil dari kebijakan perusahaan saat ini. Selanjutnya perkiraan jumlah produksi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar penjadwalan produksi. Penyelesaian masalah dalam penelitian ini didasarkan pada kombinasi produk dengan rentang produksi sesuai data historis permintaan periode sebelumnya. Kompleksitas kombinasi produksi tentu saja akan meningkat sejalan dengan jenis produk. Untuk itu perlu dipikirkan metode yang efisien untuk menentukan kombinasi produksi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Akkerman, R., van Donk, D.P., 2016, ―Analyzing Scheduling in the Food-Processing Industry: Structure and Tasks‖, Cognit. Technol. Work, 11 (3), 215–226. Bortolini, M.; Faccio, M.; Ferrari, E.; Gamberi, M.; & Pilati, F., 2016, ―Fresh Food Sustainable Distribution: Cost, Delivery Time and Carbon Footprint Three-Objective Optimization‖, J. Food Eng., 174, 56–67. Grabowski, J. & Pempera, J., 2000, ―Sequencing Jobs in Some Production System‖, European Journal of Operational Research, 125, 535–550. Hall, N. G. & Sriskandarayah, C., 1996, ―A Survey of Machine Scheduling Problems with Blocking and No-Wait in Process‖, Operations Research, 44, 510–525. Hecker, F. T.; Hussein, W. B.; Paquet-Durand, O.; Hussein, M. A.; & Becker, T., 2013, ‖A Case Study on Using Evolutionary Elgorithms to Optimize Bakery Production Planning‖, Expert Systems with Applications, 40, 6837–6847. Hecker, F.T.; Stanke, M.; Becker, T.; & Hitzmann, B., 2014, ―Application of A Modified GA, ACO and a Random Search Procedure to Solve the Production Scheduling of a Case Study Bakery‖, Expert Systems with Applications, 41, 5882–5891. Lian, Z.; Gu, X.; & Jiao, B., 2008, ―A Novel Particle Swarm Optimization Algorithm for Permutation Flow-Shop Scheduling to Minimize Makespan‖, Chaos, Solitons and Fractals, 35, 851–861. Makui, A.; Heydari, M.; Aazami, A.; & Dehghani, E., 2016, ―Accelerating Benders Decomposition Approach for Robust Aggregate Production Planning of Products With a Very Limited Expiration Date‖, Computers & Industrial Engineering, 100 (2016), 34–51. Manzini, R; Accorsi, R.; & Bortolini, M., 2014, ―Operational Planning Models for Distribution Networks‖, Int. J. Prod. Res., 52 (1), 89–116. Nuraida, L., 2014, ―Kerusakan dan Pengawetan Roti‖, http://lnuraida.staff.ipb.ac.id/kerusakan-danpengawetan-roti/, diakses 1 Juni 2017. Perez-Gonzalez, P. & Framinan, J. M., 2010, ―Setting a Common Due Data in a Constrained Flowshop: a Variable Neighbourhood Search Approach‖, Computers & Operations Research, 37, 1740–1748. Pinedo, M. L., 2008, Scheduling – Theory, Algorithms, and Systems, 3rd ed., New York: Springer. Rajendran, C., 1994, ―A No-Wait Flowshop Scheduling Heuristic to Minimize Makespan‖, Journal of the Operational Research Society, 45, 472–478. Ramezanian, R.; Rahmani, D.; & Barzinpour, F., 2012, ―An Aggregate Production Planning Model for Two Phase Production Systems: Solving with Genetic Algorithm and Tabu Search‖, Expert Systems with Applications, 39(1), 1256–1263. Santoso, S., 2012, Aplikasi SPSS pada Statistik Nonparametrik, Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Tasgetiren, M. F.; Liang, Y.; Sevkli, M.; & Gencyilmaz, G., 2007, ―A Particle Swarm Optimization Algorithm for Makespan and Total Flowtime Minimization in The Permutation Flowshop Sequencing Problem‖, European Journal of Operational Research, 177, 1930–1947. Valli, E.; Manzini, R; Accorsi, R.; Bortolini, M.; Gamberi, M.; Bendini, A.; & Gallina Toschi, T., 2013, ―Quality at Destination: Simulating Shipment of Three Bottled Edible Oils from Italy To Taiwan‖, La Riv. Ital. Delle Sostanze Grasse, 90,163–169. Walpole, R.E.; Myers, R.H.; Myers, S.L.; and Ye, K., 2007, Probability and Statistics for Engineers and Scientists, 8th ed., Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-90
Petunjuk Sitasi: Ariani, F., Fauzi, S., & Syahputri, K. (2017). Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C91-96). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter (1), (2), (3)
Farida Ariani(1), Syahrul Fauzi(2), Khalida Syahputri(3) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU, Medan 20155 (3) [email protected]
ABSTRAK Ammonia merupakan bahan baku dalam pembuatan pupuk urea. Amonia yang diperoleh berasal dari proses sintesis amonia yang dilakukan pada amonia converter. Permasalahan yang terjadi selama ini aadalah persentase jumlah amonia yang dihasilkan pada proses sintesis amonia di amonia converter belum mencapai jumlah yang optimum. Selama ini amonia converter hanya mampu memproduksi sekitar 15% amonia, sementara amonia converter bertujuan untuk memproduksi amonia mencapai 18%. Gap ini tentu harus segera diatasi sehingga jumlah optimum amonia dapat segera terpenuhi. Untuk itu perusahaan harus melakukan identifikasi faktor-faktor yang berpangaruh terhadap jumlah output dari amonia. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh adalah dengan menggunakan metode Analisis Varians (ANAVA). Dengan melaksanakan langkah-langkah berdasarkan metode ANAVA kita dapat mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh terhadap tujuan, yaitu jumlah output amonia. Hal ini penting dilakukan sebagai dasar untuk melakukan upaya dalam meningkatkan jumlah output amonia sehingga jumlah output optimal dapat terpenuhi. Berdasarkan metode ANAVA diperoleh bahwa faktor yang pengaruh terhadap jumlah output amonia adalah faktor besar tekanan, rasio H2/N2, dan suhu. Hasil lain yang diperoleh dari metode analisis varians adalah ternyata interaksi antara faktor suhu dan tekanan serta rasio H2/N2 dan tekanan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah output amonia yang dihasilkan dari amonia converter. Kesimpulan ini dapat diambil berdasarkan nilai f hitung yang diperoleh > dari nilai f tabel. Kata Kunci : Analisis varians, amonia, amonia converter, besar tekanan, suhu, rasio H2/N2
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ammonia atau NH3 merupakan gas tajam yang tidak berwarna dengan titik didih 33,5 0C. Cairannya mempunyai panas penguapan sebesar 1,37 kJ g-1 pada titik didihnya. Secara fisik cairan NH3 mirip dengan air dalam perilaku fisiknya dimana bergabung sangat kuat melalui ikatan hidrogen [1]. Ammonia merupakan bahan baku pembuatan pupuk urea. Ammonia memiliki berat molekul 17,03 gr/mol. Pada tekanan atmosfer, NH3 berbentuk gas tidak berwarna, berbau menyengat, serta sangat larut dalam air, alkohol, dan eter. NH 3 juga bersifat mudah meledak, beracun, dan menyebabkan iritasi. Ammonia yang sesuai dengan kebutuhan produksi, diperoleh dengan melakukan sintesis ammonia menggunakan ammonia converter. Ammonia Converter adalah alat yang digunakan untuk meningkatkan kadar kandungan-kandungan dalam larutan ammonia yang telah mulai terbentuk dari proses sebelumnya. Ammonia Converter merupakan vessel berkatalis untuk memproduksi ammonia. Tujuan utama ammonia converter adalah untuk memproduksi ammonia hingga mencapai 18%. Presentase jumlah ammonia yang dihasilkan ammonia converter dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu besar tekanan yang diberikan, suhu dan rasio dari Nitrogen (N2) dan Hidrogen (H2). Permasalahan yang terjadi selama ini adalah persentase jumlah amonia yang dihasilkan pada proses sintesis amonia di amonia converter belum mencapai jumlah yang optimum. Selama ini amonia converter hanya mampu memproduksi sekitar 15% amonia, sementara amonia converter bertujuan untuk memproduksi amonia mencapai 18%. Permasalahan ini tentu harus segera diatasi sehingga jumlah optimum amonia dapat segera SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-91
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter
terpenuhi. Untuk itu perusahaan harus melakukan identifikasi faktor-faktor yang berpangaruh terhadap jumlah output dari amonia. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh adalah dengan menggunakan metode Analisis Varians (ANAVA). Pada metode ini, dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara perlakuan yang diberikan berupa interaksi antar faktor terhadap persentase jumlah ammonia. Dengan melaksanakan langkah-langkah berdasarkan metode ANAVA kita dapat mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh terhadap tujuan, yaitu jumlah output amonia. Hal ini penting dilakukan sebagai dasar untuk melakukan upaya dalam meningkatkan jumlah output amonia sehingga jumlah output optimal dapat terpenuhi. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan ammonia converter dalam menghasilkan persentase jumlah ammonia pada proses sintesis ammonia. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh terhadap jumlah output amonia.
II. ANALISIS VARIANS Penentuan faktor-faktor yang menjadi penyebab variasi kualitas (mutu) suatu produk merupakan suatu pendekatan yang paling tepat digunakan untuk desain eksperimen. Informasi yang berhubungan dengan desain eksperimen atau diperlukan untuk persoalan yang sedang diteliti dikumpulkan dengan cara yang efektif dan efisien. Eksperimen merupakan langkah-langkah lengkap yang perlu diambil jauh sebelum eksperimen dilakukan agar data yang semestinya diperlukan dapat diperoleh sehingga akan membawa kepada analisis objektif dan kesimpulan yang berlaku untuk persoalan yang sedang dibahas [2]. Model ANAVA yang akan dibahas adalah model ANAVA pada Desain eksperimen faktorial. Apabila eksperimen faktorial ini meliputi 3 buah faktor yaitu A, B dan C masing-masing dengan taraf sebanyak a, b dan c. Jika eksperimennya dilakukan dengan menggunakan desain acak sempurna, dalam tiap kombinasi perlakuan terdapat n buah unit eksperimen atau observasi maka model linier yang tepat untuk Desain eksperimen faktorial a x b x c adalah [3]: Yijkℓ = µ + Ai + Bj + ABij + Ck + ACik + BCjk + ABCijk + ϵℓ(ijk) Langkah-langkah perhitungan antara lain sebagai berikut: Y2 1. Menghitung nilai
Y
2
a
b
c
=
i 1 j 1 k 1
2.
a b c Yijk i 1 j 1 k 1 = abcn
2
Menghitung nilai Jabc a
Jabc =
b
c
i 1 j 1 k 1
4.
2 ijk
Menghitung nilai Ry
Ry 3.
Y
( J ijk / n) R y 2
Menghitung nilai Jab a
Jab
=
b
(J
2 ij
/ cn) R y
i 1 j 1
5.
Menghitung nilai Jac
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-92
Ariani, Fauzi, dan Syahputri
a
Jac
=
c
(J
2
/ bn) R y
2
/ an) R y
ik
i 1 k 1
6.
Menghitung nilai Jbc b
Jbc
=
c
(J
jk
j 1 k 1
7.
Menghitung nilai Ay a
Ay =
(A
2 i
/ bcn) R y
i 1
8.
Menghitung nilai By b
By =
(B j 1
9.
2 j
/acn) R y
Menghitung nilai Cy\ c
Cy =
(C k 1
2 k
/ abn) R y
10. Menghitung ABy ABy = Jab – Ay – By 11. Menghitung ACy ACy = Jac – Ay – Cy 12. Menghitung BCy BCy = Jbc – By – Cy 13. Menghitung ABCy ABCy = Jabc – Ay – By – Cy – ABy – ACy – BCy 14. Menghitung Ey Y 2 – Ry – Ay – By – Cy – ABy – ACy – BCy – ABCy Ey =
Tabel 1 ANAVA Desain Eksperimen Faktorial a x b x c N Observasi Tiap Sel Desain Acak Sempurna
Sumber Variasi Rata-rata Perlakuan A B C AB AC BC ABC Kekeliruan Jumlah
dk 1
JK Ry
RJK R
a-1 b-1 c-1 (a-1)(b-1) (a-1)(c-1) (b-1)(c-1) (a-1)(b-1)(c-1) abc (n-1) abcn
Ay By Cy ABy ACy BCy ABCy Ey Y2
A B C AB AC BC ABC E -
F
Ditentukan oleh sifat faktor
III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian di lapangan. Objek yang diteliti pada penelitian ini berupa presentase jumlah ammonia (NH3) yang dihasilkan ammonia converter pada unit ammonia. Objek penelitian dipelajari dan diamati sehingga dapat dilakukan studi untuk mencari tahu mengenai faktor yang berpengaruh dan melakukan perbaikan-perbaikan dengan menggunakan ilmu yang terkait. Dalam penelitian ini digunakan lembar pengamatan (checksheet) untuk mencatat persentase jumlah ammonia yang dihasilkan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-93
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara perlakuan yang diberikan berupa interaksi antar faktor terhadap persentase jumlah ammonia yang dihasilkan. Dalam pengujian ini, H0 dan H1ditentukan sebagai berikut: H0 : Tidak terdapat efek yang signifikan dari interaksi antara faktor-faktor terhadap persentase jumlah ammonia yang dihasilkan. H1 : Terdapat efek yang signifikan dari suatu faktor atau interaksi antara faktor-faktor terhadap persentase jumlah ammonia yang dihasilkan. Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut: 1. Menghitung nilai Y2
Y 2.
11.
(92,39 2 93,97 2 94,56 2 94,47 2 ) 5871,5688 23
=
(92,80 2 93,56 2 94,16 2 94,87 2 ) 5871,5688 23
(186,95 2 188,44 2 ) 5871,5688 = 2 23
=
(186,96 2 188,43 2 ) 5871,5688 2 23
= 0,0900 Menghitung nilai Cy Cy
10.
=
= 0,0925 Menghitung nilai By By
9.
(92,76 2 94,20 2 94,19 2 94,24 2 ) 5871,5688 23
= 0,3872 Menghitung nilai Ay Ay
8.
=
= 0,5057 Menghitung nilai Jbc Jbc
7.
(45,55 2 47,25 2 47,212 ..... 47,35 2 47,52 2 ) 5871,5688 3
= 0,2630 Menghitung nilai Jac Jac
6.
=
= 0,8873 Menghitung nilai Jab Jab
5.
(15,23 15,18 15,14 15,72 ..... 15,77 15,91) 2 = 2 2 23
= 5871,5688 Menghitung nilai Jabc Jabc
4.
= 15,23 + 15,182 + 15,142 + 15,722 +…… + 15,772 + 15,912 2
=5872,63 Menghitung nilai Ry Ry
3.
2
(186,36 2 189,03 2 ) 5871,5688 = 2 23
= 0,2970 Menghitung ABy ABy = Jab – Ay – By = 0,0805 Menghitung ACy ACy = Jac – Ay – Cy SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-94
Ariani, Fauzi, dan Syahputri
12.
13.
14.
= 0,1162 Menghitung BCy BCy = Jbc – By – Cy = 0,0002 Menghitung ABCy ABCy = Jabc – Ay – By – Cy – ABy – ACy – BCy = 0,2109 Menghitung Ey Ey = Y 2 – Ry – Ay – By – Cy – ABy – ACy – BCy – ABCy
=
0,1739 Tabel 2 Daftar ANAVA untuk Eksperimen Faktorial 2 x 2 x 2
Dk
JK
KT
F hitung
F tabel
Keterangan
Rata-rata A B C AB AC BC ABC Kekeliruan
1 1 1 1 1 1 1 1 16
5871,5688 0,0925 0,0900 0,2970 0,0805 0,1162 0,0002 0,2109 0,1739
5871,5688 0,0925 0,0900 0,2970 0,0805 0,1162 0,0002 0,2109 0,0109
7,3853 10,6605 0,0183 19,3486 -
4,4940 4,4940 4,4940 4,4940 -
H0 ditolak H0 ditolak H0 diterima H0 ditolak -
Jumlah
24
5872,6302
-
-
-
-
PERLAKUAN
Sumber Variasi
Dari tabel ANAVA di atas didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. FAB > Ftabel, H0 ditolak, maka terdapat efek yang signifikan dari interaksi antara besar tekanan dengan suhu pada ammonia converter untuk menghasilkan presentasi jumlah ammonia yang optimum. 2. FAC > Ftabel, H0 ditolak, maka terdapat efek yang signifikan dari interaksi antara besar tekanan dengan rasio H2/N2 pada ammonia converter untuk menghasilkan presentasi jumlah ammonia yang optimum. 3. FBC > Ftabel, H0 diterima, maka tidak terdapat efek yang signifikan dari interaksi antara suhu dengan dengan rasio H2/N2 pada ammonia converter untuk menghasilkan presentasi jumlah ammonia yang optimum. 4. FABC > Ftabel, H0 ditolak, terdapat efek yang signifikan dari interaksi antara besar tekanan, suhu, dan dengan rasio H2/N2 pada ammonia converter untuk menghasilkan presentasi jumlah ammonia yang optimum. Berdasarkan hasil perhitungan, terdapat satu interaksi faktor yang tidak memberikan efek yang signifikan terhadap hasil yang diberikan yaitu interaksi antara faktor suhu dengan rasio H 2/N2. Sedangkan interaksi antar faktor lainnya memberikan efek yang signifikan terhadap hasil, yaitu interaksi besar tekanan dan suhu, interaksi antar besar tekanan dan rasio H2/N2, serta interaksi antar seluruh faktor besar tekanan, suhu, dan rasio H 2/N2. Interaksi faktor suhu dengan rasio H2/N2 yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap presentase jumlah ammonia yang dihasilkan dikarenakan nilai yang biasa digunakan telah sesuai desain dari alat yang digunakan.
IV. PENUTUP Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap presentase jumlah ammonia yang dihasilkan ammonia converter pada unit ammonia adalah sebagai berikut:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-95
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Output Ammonia pada Amonia Converter
1. Rata-rata tingkat persentase jumlah ammonia yang dihasilkansekitar 15 – 16% yang beradadibawahpresentasejumlah optimum yang dapatdihasilkanAmmonia Converter. 2. Berdasarkan metode ANOVA (Analysis of Variance) diperoleh interaksi suhu dan tekanan serta rasio dan tekanan, berpengaruh signfikan terhadap jumlah ammonia yang dihasilkan ammonia converter. 3. Nilai tekanan yang digunakan pada Ammonia Converter tidak mengikuti desain karena tekanan yang diberikan dipengaruhi oleh perfomance Syn Gas Compressor dan production rate yang ditetapkan. Saran yang dapat diajukan kepada perusahaan sesuai dengan kesimpulan dan analisa sebelumnya adalah sebaiknya dilakukan maintenance secara teratur terhadap mesin dan alat yang digunakan sehingga dapat menjaga performance mesin dan alat tetap baik agar dapat meningkatkan hasil produksi.
DAFTAR PUSTAKA Bharathi. A., 2010, “Cancer Classification of Bioinformatics Data Using ANOVA”, International Journal of Computer Theory and Engineering : 1793-8201 Cotton dan Wilkinson. 1989. Dasar Kimia Organik. Jakarta : UI – Press. Hartati, Alif., 2013, “Analisis Varian Faktor dalam Rancangan Pengamatan Berulang (Repeated Measures)”, Jurnal Gaussian : 279-288 Sudjana. 2004. Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi III. Bandung : Tarsito. Sow, Mouhamadou Thile., 2014, “Using ANOVA to Examine the Relationship between Safety & Security and Human Development”, Journal of International Business and Economics : 101-106 Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistik. Edisi III. Jakarta : PT. Gramedia Ostertagova, Eva., 2013, “Methodology and Application of One-way ANOVA”, American Journal of Mechanical Engineering : 256-261 Sagbas, Aysun., 2009, Improving the Process Capability of a Turning Operation by the Application of Statistical Techniques”, 22 Oktober 2008
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-96
Petunjuk Sitasi: Hariyanto, Samsudin, Yuniawan, Dani, & Putra, Aang Fajar Pasha. (2017). Pembuatan Mesin Produksi Senar (Benang Monofilamen) dalam Pemberdayaan UKM Kain Kasa di Kota Malang. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C97-102). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pembuatan Mesin Produksi Senar (Benang Monofilamen) dalam Pemberdayaan UKM Kain Kasa di Kota Malang Samsudin Hariyanto(1), Dani Yuniawan(2), Aang Fajar Pasha Putra(3) (1), (2), (3) Jurusan Teknik Industri Universitas Merdeka Malang Jl. Terusan Raya Dieng 62-64 Malang (1) [email protected] ABSTRAK Senar adalah benang yang dibuat dari bahan polietilena yang memiliki sifat ulet sehingga sering dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan kain kasa. Pada saat kapasitas produksi di UKM kain kasa ditingkatkan sebagai akibat dari kenaikan order kain kasa dari konsumen, ketersediaan senar sebagai bahan baku kain kasa yang terdapat di pasar tidak mencukupi sehingga UKM perlu menyediakan senar kebutuhannya melalui produksi secara mandiri. Mesin produksi senar terdiri dari mesin produksi senar mentah, mesin penggulung senar mentah, bak penampung air panas untuk proses perpanjangan senar, mesin penggulung perpanjangan senar dan mesin penggulung senar jadi (produk akhir). Mesin produksi senar mentah adalah mesin yang dapat melelehkan pelet polietilena sebagai bahan baku senar melalui proses pemanasan dalam suhu yang terkendali. Pelet yang meleleh selanjutnya didorong melalui putaran extruder (alat pengekstrusi) sehingga mengarah ke 40 lobang spineret ber diameter 1 mm dan keluar menjadi 40 buah senar mentah. Dalam proses produksi senar, senar mentah akan mengalami perpanjangan tujuh kali lebih panjang menjadi produk akhir. Proses yang terakhir adalah menggulung senar yang sudah diperpanjang kedalam 40 keloskelos gulungan secara individual agar siap digunakan dalam proses pembuatan kain kasa. Dalam ujicoba produksi senar, mesin produksi senar dapat menghabiskan ratarata 60 kg pelet polietilena per shift kerja (8 jam kerja) per hari. Senar yang dihasilkan dapat digunakan untuk memproduksi 180 meter kain kasa dengan lebar 104 centimeter. Kapasitas ini sangat sesuai dengan besarnya kebutuhan senar di UKM. Dengan kesesuaian kapasitas ini UKM mendapatkan keuntungan bersih rata-rata sebesar Rp. 360.000,- per hari. Senar yang dihasilkan memiliki rata-rata keuletan 18,7 Newton/mm2 yang sangat baik digunakan sebagai bahan baku produksi kain kasa di UKM. Kata kunci— Benang monofilamen (senar), UKM Kain Kasa, extruder, polietilena
I. PENDAHULUAN Polimer atau dalam istilah umum disebut plastik adalah bahan non logam yang mempnyai sifat kuat dan ulet sehingga banyak digunakan sebagai bahan dasar beberapa produk yang bermanfaat untuk manusia. Salah satu jenis polimer adalah polietilena. Polietilena banyak digunakan sebagai bahan baku untuk produksi benang monofilamen (senar), kemasan gula, dan kemasan makanan lainnya. Senar merupakan hasil produksi perusahaan besar yang dijual bebas di pasar dalam jumlah terbatas. Salah satu konsumen senar adalah UKM Jaya Indah Perkasa di desa Arjowinangun Kota Malang yang digunakan sebagai bahan baku produksi kain kasa. Pada saat kapasitas produksi di UKM kain kasa ditingkatkan sebagai akibat dari kenaikan order kain kasa dari konsumen, ketersediaan senar sebagai bahan baku kain kasa yang terdapat di pasar bebas tidak mencukupi sehingga UKM tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Kebutuhan dan kepastian ketersediaan senar sebagai bahan baku tas di UKM dapat dipenuhi dengan memproduksi senar secara mandiri oleh UKM. Oleh karena itu perlu dibuat penelitian untuk merancang mesin-mesin yang diperlukan dalam memproduksi senar dalam skala yang dapat dijangkau oleh UKM baik dalam besarnya kebutuhan dana maupun kapasitas produksi yang tepat.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-97
Hariyanto, Yuniawan, dan Putra
II. METODOLOGI Pembuatan mesin produksi senar sangat mungkin dilaksanakan karena teknologinya sudah mapan dan banyak diterapkan pada perusahaan besar. Mesin Produksi Senar menggunakan sistem ekstruksi (gambar 1) dimana ‘Cetak injeksi dua bagian’ diganti dengan lobang spineret pada Sistem pemintalan senar (gambar 2). Senar panas yang keluar dari lobang spineret langsung dimasukkan pada air dingin untuk proses pendinginan secara cepat menjadi senar mentah.
Gambar 1 Sistem ekstruksi dalam cetak Injeksi. (Stevens M.P. Kimia Polimer page 125)
Gambar 2 Sistem pemintalan senar ( benang monofilamen ). (Stevens M.P. Kimia Polimer page 127)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-98
Pembuatan Mesin Produksi Senar (Benang Monofilamen) dalam Pemberdayaan UKM Kain Kasa di Kota Malang
Untuk bahan baku jenis polietilena masa jenis tinggi, senar mentah dapat mengalami perpanjangan antara 10 sampai dengan 1200 persen (Tabel 1), oleh karena itu didalam proses produksi senar, senar mentah yang keluar dari spineret harus dilakukan perpanjangan senar yang tepat sesuai dengan masa jenis polietilena yang digunakan. Mesin produksi senar mentah perlu dirancang untuk skala UKM terutama dalam besarnya kapasitas produksi senar karena harus disesuaikan dengan besarnya kebutuhan UKM. Data-data kebutuhan senar dan dimensi mesin dikumpulkan melalui brainstorming dengan pemilik dan teknisi di UKM. Selanjutnya dibuat gambar desain mesin produksi senar mentah beserta dimensinya untuk digunakan sebagai kelengkapan pesan mesin produksi senar ke bengkel yang tepat. Mesin pendukung untuk proses produksi senar dibuat langsung di lokasi UKM yang dikerjakan oleh teknisi UKM dan Tim peneliti Unmer Malang. Langkah terakhir adalah pendampingan produksi senar di UKM untuk mengidentifikasi kendala-kendala selama kegiatan produksi dan melakukan penyesuaian yang tepat agar mesin produksi senar dapat dengan mudah dioperasionalkan di UKM. Tabel 1 Sifat-sifat mekanik dari homopolimer umum (Stevens M.P. Kimia Polimer page 134)
Kekuatan tarik senar diukur dengan menarik senar pada dimensi yang seragam. Tegangan tarik, , adalah gaya yang diaplikasikan sampai senar putus, F, dibagi dengan luas penampang, A; yaitu, (Stevens M.P. Kimia Polimer page 129)
dalam satuan dyne per centimeter kuadrat (CGS) atau Newton per meter kuadrat (MKS).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Mesin produksi senar secara mandiri di UKM terdiri dari mesin produksi senar mentah, mesin penggulung senar mentah, bak penampung air panas untuk proses perpanjangan senar, mesin penggulung perpanjangan senar dan mesin penggulung untuk senar jadi (produk akhir). A. Mesin Produksi Senar Mentah Mesin produksi senar mentah dilengkapi dengan thermo couple untuk mengukur suhu lelehan pelet polietilena karena proses pemanasan, yang suhunya dapat distabilkan melalui saklar otomatis berdasarkan sensor suhu. Bagian dalam mesin produksi senar mentah berbentuk sekrup (screw) yang terbuat dari baja. Pemutar sekrup menggunakan dinamo dengan daya 5 pk yang dipadukan dengan gear box untuk menurunkan kecepatan putarnya. Sekrup di putar pada saat pelet polietilena sudah meleleh untuk mendorong lelehan pelet polietilena menuju lubang spineret. Lubang spineret berjumlah 40 buah dengan masing-masing lobang berdiameter 1 mm dalam formasi yang membentuk lingkaran. Sebelum lobang spineret dipasang saringan dengan mess tertentu untuk menyaring kotoran yang terdapat dalam pelet polietilena. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-99
Hariyanto, Yuniawan, dan Putra
(a)
(b)
Gambar 3 (a) Desain Mesin Produksi senar mentah, (b) Mesin produksi senar mentah
B. Mesin Penggulung Senar Mentah Mesin penggulung senar mentah terdiri dari 5 rol penggulung yang diputar menggunakan dinamo 2 pk yang dilengkapi dengan gearbox dan inventer untuk mengatur kecepatan. C. Bak Penampung Air Panas untuk Mendukung Perpanjangan Senar Bak penampung air panas dilengkapi dengan elemen pemanas dengan tenaga listrik dan kompor gas untuk menjaga suhu air agar stabil pada suhu ± 80 0C. Berdasarkan pengalaman, pada suhu ini senar dapat mengalami perpanjangan secara optimal. D. Mesin Penggulung Perpanjangan Senar Mesin penggulung perpanjangan senar terdiri dari 7 rol penggulung yang dipasang secara zig zag yang digerakkan oleh dinamo dengan daya 3 pk yang dilengkapi dengan gearbox dan inventer untuk pengatur kecepatan. Kecepatan putar rol penggulung dapat diatur sebesar ± 7 kali kecepatan roll penggulung pada mesin penggulung benang mentah agar dihasilkan perpanjangan senar kurang lebih 7 kali dibanding panjang senar mentah yang sesuai dengan sifat fisik polietilena ( Tabel 1 ). E. Mesin Penggulung untuk Senar Jadi (Produk Akhir) Mesin penggulung senar jadi terdiri dari 40 kelos gulungan senar yang digerakkan oleh dinamo dengan daya 2 pk yang dilengkapi dengan gear box dan inventer untuk mengatur kecepatan putar. Kecepatan putar rol penggulung untuk senar jadi harus sama dengan kecepatan linear senar yang ditarik olek oleh mesin perpanjangan senar. Mesin penggulung senar jadi dilengkapi dengan mesin goyangan mendatar yang digunakan untuk mengatur gulungan senar agar tidak menumpuk di satu titik tetapi bisa merata di sepanjang lebar kelos scara merata. Besarnya jarak goyangan mendatar sama dengan lebar kelos gulungan benang jadi. Mesin goyangan digerakan oleh dinamo dengan daya 1 pk yang dilengkapi dengan gear box. F. Proses Produksi Senar Proses produksi senar diawali dengan set up mesin produksi senar mentah selama ± 1,5 jam untuk melelehkan pelet polietilena. Setelah itu dinamo dihidupkan untuk memberikan putaran pada extruder agar pelet yang sudah cair terdorong ke lobang spineret berdiameter 1 mm sebanyak 40 lobang. Keluarnya lelehan pelet dari lobang spineret ini berbentuk senar panas yang langsung dilewatkan air dingin untuk proses pembekuan secara cepat menjadi senar mentah. Senar mentah yang dihasilkan dari proses ini selanjutnya ditarik menggunakan mesin penggulung dengan kecepatan yang ditentukan agar dihasilkan senar dengan diameter yang diharapkan. Semakin besar kecepatan mesin penggulung maka diameter senar yang dihasilkan semakin kecil. Setelah benang mentah ditarik oleh mesin penggulung selanjutnya dilewatkan bak penampung air panas untuk mendukung proses perpanjangan senar. Semakin besar suhu air dalam bak pemanas maka benang mentah yang dilewatkan akan lebih mudah molor untuk perpanjangan. Setelah melewati bak air panas selanjutnya senar ditarik oleh mesin penggulung perpanjangan senar SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-100
Pembuatan Mesin Produksi Senar (Benang Monofilamen) dalam Pemberdayaan UKM Kain Kasa di Kota Malang
dengan kecepatan 7 kali lipat di bandingkan dengan kecepatan mesin penggulung benang mentah. Perbedaan kecepatan ini menghasilkan senar dengan perpanjangan tujuh kali lipat artinya senar mentah dengan panjang satu cm akan menjadi senar dengan panjang 7 cm. Senar yang sudah mengalami perpanjangan diharapkan berbentuk senar yang sudah tidak dapat diperpanjang lagi. Setelah senar mengalami perpanjangan selanjutnya di gulung kedalam kelos-kelos gulungan secara individu menjadi 40 kelos gulungan senar yang siap untuk diproses menjadi kain kasa. Dalam uji coba produksi senar dihasilkan mesin produksi senar yang dapat menghabiskan rata-rata 60 kg pelet polietilena per shift kerja (8 jam kerja) per hari. Senar yang dihasilkan dapat digunakan untuk memproduksi 180 meter kain kasa dengan lebar 104 meter. Kapasitas ini sangat sesuai dengan besarnya kebutuhan senar di UKM. Dengan ketepatan ini UKM mendapatkan keuntungan bersih rata-rata sebesar Rp. 360.000,- per hari.
(a)
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 4 Rangkaian foto proses produksi senar di UKM (a) pemanasan pelet polietilena, (b) 40 senar mentah panas langsung masuk air dingin dan ditarik oleh mesin penggulung senar entah, (c) Mesin penggulung senar mentah, (d) senar mentah dilewatkan bak air panas, (e) mesin penggulung perpanjangan senar, (f) Mesin penggulung senar jadi yang terdiri dari 40 kelos penggulung.
G. Kekuatan Tarik ( Keuletan ) Senar Kekuatan tarik senar diukur dalam satuan gaya per satuan luas penampang. Besarnya gaya didapatkan melalui alat ukur yang dirancang khusus dapat menarik senar pada kedua ujungnya dalam arah yang berlawanan sampai senar putus. Pada saat senar putus alat yang dirancang tersebut dapat menunjukkan besarnya gaya yang diaplikasikan pada senar. Sedangkan penampang senar diasumsikan berbentuk lingkaran dengan diameter yang dapat diukur dengan dialgage khusus untuk benang. Diameter senar yang diambil adalah diameter yang terkecil sepanjang senar yang akan di uji tarik dengan asumsi bahwa senar akan putus pada diameter yang terkecil. Luas penampang senar dapat dihitung dengan formula π (d/2) 2 dimana d adalah diameter terkecil senar. Dalam uji coba produksi senar ini dihasilkan senar dengan rata-rata keuletan 1,87 kg/mm2 = 18,7 Newton/mm2 = 18.700.000 Newton/m2 yang sangat baik digunakan sebagai bahan baku kain kasa di UKM.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-101
Hariyanto, Yuniawan, dan Putra
IV. PENUTUP Mesin produksi senar skala UKM berhasil direalisasikan dengan sukses. Mesin dapat memproduksi senar dengan kecepatan produksi ± 60 kg senar per shift kerja ( 8 jam kerja ) per hari yang dapat digunakan untuk memproduksi 180 meter kain kasa dengan lebar 104 centimeter. Dengan kapasitas produksi sebesar ini, UKM mendapatkan keuntungan sebesar ± Rp. 360.000,per hari. Senar yang dihasilkan mempunyai rata-rata keuletan 18.700.000 Newton/m2 yang sangat baik digunakan sebagai bahan baku kain kasa di UKM.
DAFTAR PUSTAKA Handoko, H. T. 1998, Manajemen Produksi dan Operasi , penerbit PT. BPFFE. Jac Stolk, C. Kros, 1993, Elemen Konstruksi dari Bangunan Mesin, edisi 21, penerbit Erlangga Jakarta Sighley et al., 1988, Perencanaan Bangunan Elemen Mesin, JIlid I, II, Penerbit Erlangga Jakarta Smith G. M. 2001, Statistical Process Control and Quality Improvement, fourt Ed. Prentice Hall, New Jersey. Stevens M.P., 2001, Kimia Polimer, Pradnya Paramita, Jakarta. Sularso, Kiyokatsuga, 1994, Dasar-Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin, Pradnya Paramita Jakarta. Surdia, Tata, Saito, Shinroko, 1985, Pengetahuan Bahan Teknik, Penerbit PT.Pradnya Paramita Jakarta
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-102
Petunjuk Sitasi: El Hadi, R. M., Tripiawan, W., & Saedudin, R. (2017). Implementasi Alat Cetak Mekanis Opak Ketan Guna Meningkatkan Produktivitas (Studi Kasus: IKM Opak Ketan, Sumedang). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C103-107). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Implementasi Alat Cetak Mekanis Opak Ketan Guna Meningkatkan Produktivitas (Studi Kasus: IKM Opak Ketan, Sumedang) Rosad Ma’ali El Hadi (1), Wawan Tripiawan (2), Rohmat Saedudin (3) (1), (2), (3) Telkom University Jl. Telekomunikasi No. 1, Bandung (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] ABSTRAK Opak merupakan salah satu makanan tradisional di Jawa Barat yang cukup digemari. Makanan ini biasa dikonsumsi sebagai makanan ringan atau makanan “kudapan” sejenis kerupuk. Bahan baku utama dalam pembuatan opak ini adalah beras ketan sedangkan bahan lain yang biasa digunakan yaitu santan kelapa. Selama ini kita mengenal berbagai macam opak, semuanya memang terbuat dari berbagai macam bahan baku dan diberi nama sesuai dengan bahan baku yang digunakannya. Opak yang terbuat dari bahan baku beras ketan diberinama opak ketan yang diproduksi dalam skala rumah tangga di berbagai wilayah khususnya di Jawa Barat, sangat banyak sekali peminatnya. Produksi opak ketan yang dicetak halus satu demi satu secara tradisional, keunggulan opak ketan selain organik yang menyehatkan juga cocok dijadikan makanan cemilan di berbagai macam acara termsuk oleh-oleh khas. di samping itu rasanya asin, renyah, tahan lama juga cocok bagi berbagai macam lapisan masyarakat. Untuk mengahasilkan opak ketan matang setidaknya butuh waktu sekitar 8 jam. Mulai dari menanak beras ketan, menjadi nasi ketan, proses penumbukan sampai halus, proses pencetakan, pengeringan, pematangan sampai dengan pengemasan. Semua proses yang dilakukan oleh seluruh pengrajin opak ketan di berbagai daerah masih memanfaatkan teknologi tradisional dan hampir setiap statsion kerja mengalami permasalahan, begitu pula kelompok pengrajin opak ketan Rika – Desa Buahdua Sumedang. Metode pencetakan Opak yang selama ini digunakan, masih menggunakan teknologi sederhana yang disebut “Jajaplok” oleh para pengrajin. Jajaplok hanya menghasilkan 1 opak untuk 1 kali pencetakan. Desain usulan alat pencetak mekanis,dengan menggunakan material besi, alat pencetakan dapat melakukan cetak opak 4-6 opak dalam satu kali pencetakan dengan tenaga mekanis (tangan). Dengan demikian, proses pencetakan menjadi lebih cepat karena hanya membuat satu cetakan untuk produk yang sama dan berjumlah banyak. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan teknologi tersebut menghasilkan produk dengan presisi dan kecepatan produksi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan cetakan mekanis pada industri makanan opak telah meningkatkan dan mempercepat proses produksi. Kata Kunci— IKM (Industri Kecil Menengah), press, opak, teknologi tepat guna
I. PENDAHULUAN Industri Kecil Menengah (IKM) sangat penting bagi ekonomi nasional karena menurut hasil survey dari BPS pada tahun 2012, IKM menyerap 99.4% tenaga kerja dan 59.4% sumbangan nilai produk domestik bruto. Sehingga IKM merupakan pilar ekonomi baik dalam ruang lingkup lokal maupun nasional. Struktur ekonomi yang paling produktif adalah merupakan gabungan serasi dari industri besar (IB), industri menengah (IM) dan industri kecil (IK). Industri kecil adalah semua bentuk usaha berukuran kecil, mencakup jenis usaha sebagai berikut : 1. Industri maupun non industri (industri kerajinan, industri rumah, jasa); 2. Industri yang moderen maupun tradisional; 3. Industri yang terdapat di kota maupun di pedesaan.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-103
El Hadi, Tripiawan, dan Saedudin
Salah satu jenis usaha kecil yang sampai saat ini masih eksis dan cukup banyak menyerap tenaga kerja dengan memanfaatkan teknologi tradisional secara turun temurun adalah kelompok pengrajin opak ketan Rika yang dibina oleh Gapoktan dan Kepala Desa Buahdua – Kecamatan Buahdua – Kabupaten Sumedang. Opak merupakan salah satu makanan tradisional di Jawa Barat yang cukup digemari. Makanan ini biasa dikonsumsi sebagai makanan ringan atau makanan ―kudapan‖ sejenis kerupuk. Bahan baku utama dalam pembuatan opak ini adalah beras ketan sedangkan bahan lain yang biasa digunakan yaitu santan kelapa. Opak dibuat dengan cara dipanggang di atas bara api. Beras ketan yang sudah direndam semalaman dimasak hingga menjadi nasi setelah itu dicampur dengan santan kelapa dan bumbu (Listyani dan Zubaidah, 2015). Permasalah yang masih dihadapi oleh kelompok pengrajin/industri kecil dimana masih menggunakan teknologi tradisional dalam melakukan pencetakan opak ketan, sehingga produktivitasnya sangat rendah, sedangkan permintaan (pasar) opak ketan sangat tinggi sehingga sebagian pasar tidak dapat terpenuhi, maka perlu dibuat diterapkan alat pencetak mekanis agar dapat mengatasi masalah yang dialami oleh kelompok pengrajin/industri kecil opak ketan tersebut. Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan produktifitas dari pengrajin opak ketan dengan sentuhan teknologi proses produksi secara efisien dan efektif (hemat waktu), sehingga diharapkan produktivitas akan meningkat.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alat cetak/press mekanis Mesin Pres (tekanan) dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama sebagai: tekanan hidrolik yang beroperasi pada prinsip tekanan hidrostatik, sekrup menekan yang menggunakan sekrup listrik untuk mentransmisikan daya dan penekanan mekanis yang memanfaatkan keterkaitan unsur kinematik untuk mengirimkan daya (Sumaila and Ibhadode, 2011). B. Teknologi tepat guna Dalam Muhi (2009), Teknologi tepat guna merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Teknologi tersebut harus berpotensi memenuhi beberapa kriteria antara lain: a) Mengkonversi sumberdaya alam, b) Menyerap tenaga kerja, c) Memacu industri rumah tangga, dan d) Meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam Besari (2008), Tujuan pengembangan suatu teknologi pada dasarnya adalah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan, baik yang telah nyata, ataupun yang dirasakan dan diinginkan adanya, dan bahkan yang diantisipasi akan diinginkan, maka suatu upaya pengembangan teknologi yang efektif, pertama-tama harus didasarkan pada permintaan pasar, baik yang telah nyata ada, atau yang mulai tampak dirasakan adanya.
III. LANGKAH PENELITIAN Dalam penelitian ini, objek yang diambil dan dijadikan tempat untuk implementasi mesin pencetak opak adalah IKM Komunitas Pengrajin Opak Ketan Rika – Buahdua - Sumedang yang bergerak pada produksi makanan Opak yang berasal dari beras ketan. Dalam menyusun dan melakukan penelitian, tim penulis memulai dengan pengumpulan kebutuhan awal, perancangan alat cetak, dan diakhiri dengan pembuatan prototype alat cetak. Pengumpulan Kebutuhuan Awal
Perancangan Alat Cetak Gambar 1 Langkah Penelitian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-104
Pembuatan Alat Cetak
Implementasi Alat Cetak Mekanis Opak Ketan Guna Meningkatkan Produktivitas
A. Pengumpulan Kebutuhan awal Pernyataan kebutuhan awal dari kebutuhan pelaku IKM dan daftar spesifikasi target untuk desain alat cetak. Masalah pencetakan secara tradisional/manual oleh pelaku yaitu alat yang digunakan masih terbuat dari bahan kayu, sehingga hasil yang diperoleh sangat terbatas. Para karyawan menyebut alat cetak tradisional tersebut dengan ―Jajaplok‖. ―Jajaplok‖ merupakan alat press sederhana yang terbuat dari 2 lebaran kayu yang telah di bentuk sedemikian rupa, dan disambungkan menggunakan engsel pada salah satu sisinya. Gambar 2 menunjukkan bentuk ―Jajaplok‖.
Gambar 2 Alat Cetak Opak tradisional ―Jajaplok‖
Dari hasil pengumpulan data awal, di dapatkan bahwa alat cetak tradisional Jajaplok belum memberikan hasil yang optimal, terutama dalam jumlah produksinya, karena masih mengandalkan kecepatan dan ketrampilan pegawai. B. Perancangan Langkah berikutnya adalah Perancangan, dengan detail sebagai berikut: - Inventarisasi masalah desain Perlunya alat cetak mekanis agar dapat diperoleh hasil produksi dengan jumlah yang banyak dalam satu kali proses cetak. - Rancangan detail Dengan melihat permasalahan dan kebutuhan pelaku IKM, desain dari mesin cetak opak yang dicapai berupa konsep rancangan akhir yang akan dibuat prototipenya. - Desain Alat cetak mekanis dibuat dengan menggunakan software Autodesk Inventor, ukuran di dapatkan dari hasil diskusi dengan pelaku IKM. Prototype alat cetak mekanis pada gambar 3 berikut:
Gambar 3 Desain Alat Cetak Mekanis
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-105
El Hadi, Tripiawan, dan Saedudin
Detail desain alat cetak mekanis pada Gambar 3 adalah: - Lebar keseluruhan 60 cm - Tinggi keseluruhan 126,8 cm - Tinggi meja tatakan cetak 59,1 cm - Panjang gagang penggerak cetakan 70 cm. Ukuran tersebut didapatkan dari diskusi dengan para pelaku, yang mengharapkan dapat mengoperasikan alat cetak mekanis dalam posisi duduk. C. Pembuatan Alat Berikutnya adalah pembuatan alat, dengan detail sebagai berikut: - Persiapan teknis, pengadaan bahan, pengadaan part, dan persiapan teknologi - Bahan yang digunakan adalah pelat baja, per bekas komponen sepeda motor. - Integrasi seluruh part, dan pemasangan cetakan. Hasil akhir alat cetak setelah dirakit, pada gambar 4 berikut.
Gambar 4 Hasil Alat Cetak Mekanis
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IKM Komunitas Pengrajin Opak Ketan Rika – Buahdua - Sumedang yang bergerak pada produksi makanan Opak yang berasal dari beras ketan, melakukan pengetesan penggunaan alat cetak mekanis untuk pertama kali pada bulan Juli 2017. A.
Hasil produksi meningkat Sebelum penggunaan alat cetak mekanis, para pegawai menggunakan alat cetak ―Jajaplok‖ untuk mencetak opak sebanyak 25 kg, yang berbahan dasar 30 kg beras ketan. Proses pencetakan memakan waktu hingga 4 jam. Dengan penggunaan alat cetak mekanis, dengan bahan dasar dan jumlah yang sama, waktu produksi pencetakan opak lebih cepat 2 jam jika dibandingkan dengan penggunaan alat cetak tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa alat cetak mekanis ini mengurangi total usaha operator dan juga meningkatkan total produksi.
B.
Pengguaan alat cetak mekanis lebih nyaman Dengan penggunaan alat cetak mekanis, pegawai lebih nyaman dalam melakukan pekerjaannya, karena proses pencetakan dapat dilakukan dalam posisi duduk di atas kursi/bangku.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-106
Implementasi Alat Cetak Mekanis Opak Ketan Guna Meningkatkan Produktivitas
Gambar 5 Penggunaan Alat Cetak Mekanis
V. PENUTUP Berdasarkan serangkaian tahapan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat cetak mekanis mampu meningkatkan produktifitas dari pengrajin opak ketan dengan sentuhan teknologi proses produksi secara efisien dan efektif (hemat waktu).
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2012). Survey Industri Kecil dan Menengah. Indonesia. Besari, M.S. (2008) Teknologi di Nusantara. Salemba Teknika. Jakarta. Listyani, Alinna dan Zubaidah, Elok. (2015). Formulasi Opak Bekatul Padi (Kajian Penambahan Bekatul Dan Proporsi Tepung Ketan Putih: Terigu). Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3 No 3 p.950-956 Muhi, Ali Hanapiah. (2009). Teknologi Tepat Guna (Ttg) Dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat. Makalah: Pendampingan Masyarakat Pedesaan dalam Bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan di Kabupaten Bekasi. Bekasi: Tidak diterbitkan. Sumaila, Malachy and Ibhadode, A.O. Akaehomen. (2011). Design and Manufacture of a 30-ton Hydraulic Press. AU J.T. 14(3): 196-200.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-107
Petunjuk Sitasi: Nugraha, E. Y., Suletra, I. W., & Liquiddanu, E. (2017). Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C108-114). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura Eucharistia Yacoba Nugraha(1), I Wayan Suletra(2) , Eko Liquiddanu(3) Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Jebres, Surakarta, 57126. (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] (1), (2), (3)
ABSTRAK Dusun Purwogondo merupakan salah satu sentra industri tahu di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Industri tahu ini dalam proses produksinya menghasilkan limbah cair yang selama ini belum diolah terlebih dahulu dan langsung dibuang ke lingkungan. Hal tersebut membuat tercemarnya lingkungan disekitar industri tahu. Untuk mengatasi hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah maupun pengusaha untuk mengolah terlebih dahulu limbah yang dihasilkan sehingga pada saat limbah dibuang ke lingkungan sudah memenuhi baku mutu air limbah. Atas dasar permasalahan tersebut, maka perlunya dibangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal. Karena keterbatasan biaya yang ada maka penentuan lokasi penempatan IPAL komunal sangatlah penting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menentukan lokasi IPAL komunal terbaik dengan menggunakan metode entropy untuk menentukan bobot setiap kriteria penentuan lokasi IPAL komunal dan metode VIKOR untuk menentukan prioritas alternatif terbaik. Penelitian ini diawali dengan studi pustaka dan studi lapangan untuk menentukan kriteria-kriteria pemilihan IPAL, deep interview dengan para ahli di bidangnya masing-masing untuk penentuan kriteria-kriteria pemilihan IPAL komunal, menentukan bobot entropy untuk masing-masing kriteria dan pemilihaan lokasi terbaik. Hasil penelitian, diperoleh bobot awal kriteria penentuan lokasi IPAL komunal oleh para ahli yang subjektif diolah dengan metode entropy sehingga diperoleh bobot entropy yang lebih objektif. Bobot entropy tersebut kemudian diolah dengan metode VIKOR dan menghasilkan rangking lokasi terbaik. Kata kunci— Entropy, pemilihan lokasi IPAL, sentra industri tahu, VIKOR.
I. PENDAHULUAN Dusun Purwogondo merupakan salah satu sentra industri tahu yang ada di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Berdasarkan kondisi yang ada dilapangan saat ini industri tahu yang ada tidak mengolah terlebih dahulu limbah cair yang dihasilkan. Limbah yang dihasilkan langsung dibuang begitu saja ke selokan-selokan dan aliran sungai yang berada di dekat industri itu didirikan. Sumber pencemar yang terkandung di dalam limbah tahu berasal dari air bekas pencucian dan perebusan kedelai. Berdasarkan pengujian air limbah industri tahu yang pernah dilakukan oleh Myrasandri dan Syafila (2009), karakteristik awal air buangan industri tahu menyatakan bahwa zat organik yang terdapat pada limbah tahu memiliki kandungan yang melebihi baku mutu dengan kandungan Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 6586 mg/L dan Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 8640 mg/L. Menurut Ulum Munawaroh, dkk (2013), dari uji karakteristik awal limbah tahu diperoleh hasil kandungan BOD sebesar 7800 mg/L, COD sebesar 9256mg/L. Sedangkan menurut Muljani (2016), dari uji karakteristik awal limbah tahu diperoleh hasil suhu air limbah tahu berkisar 40-60ºC, kandungan BOD berkisar 6000-8000 mg/L, dan COD sebesar 7500-14000 mg/L. Baku mutu limbah industri tahu dan tempe menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 5 tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Kedelai, kadar maksimum yang diperbolehkan untuk BOD sebesar 150 mg/L dan COD sebesar 300 mg/L sehingga hasil pengujian air limbah kedelai yang pernah dilakukan melebihi ambang batas yang diijinkan. Oleh karena itu, perlunya dilakukan pengolahan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-108
Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal Di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura
terlebih dahulu sebelum air limbah industri tahu dibuang ke lingkungan. Karena apabila limbah tahu secara terus menerus dibuang tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu maka akan mengganggu lingkungan seperti menimbulkan bau busuk dan kematian terhadap organisme air. Selain itu dapat dapat merusak kualitas lingkungan terutama perairan yang menjadi salah satu kebutuhan umat manusia dan makhluk hidup lainnya, dapat membahayakan bagi kesehatan manusia. Menurut Peraturan Pemerintah nomer 82 Tahun 2001 pasal 37 menyatakan setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air. Berdasarkan peraturan tersebut sudah menjadi tanggungjawab pengusaha tahu di Dusun Purwogondo untuk mengolah limbah cair industri tahunya. Pengolahan limbah cair industri tahu dapat diatasi dengan cara membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL merupakan sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan menurunkan kandungan pencemar air limbah yang berpotensi mencemari lingkungan sampai batas yang disyaratkan pemerintah. Pembangunan IPAL ini didukung dengan UU No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Pasal 17) bahwa setiap orang atau badan yang membuang limbah cair wajib menaati baku mutu limbah cair sebagaimana ditentukan dalam izin pembuangan limbah cair yang ditetapkan baginya. Selain itu berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukoharjo Tahun 20112031 pasal 20 bahwa Pemerintah Kota Sukoharjo merencanakan melakukan pembangunan IPAL komunal untuk mengatasi pencemaran limbah di beberapa kawasan industri Sukoharjo salah satunya di Kelurahan Kartasura. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk membantu pemerintah kota menentukan lokasi IPAL komunal terbaik di kawasan industri tahu di Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo karena ketiadaan biaya yang dimiliki para pengusaha tahu sehingga pengusaha tahu tidak mungkin untuk membuat saluran IPAL dengan biaya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah kabupaten Sukoharjo. IPAL yang akan dibangun oleh pemerintah kabupaten Sukoharjo merupakan IPAL komunal karena adanya keterbatasan biaya yang dimiliki untuk membuat IPAL dalam jumlah banyak. Sehingga IPAL komunal menjadi alternatif terbaik yang nantinya dapat digunakan untuk menampung limbah dari beberapa pengusaha tahu sekaligus.
II. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini disusun menjadi beberapa bagian. Bagian pertama, melakukan observasi ke lapangan dan melakukan tinjauan pustaka dengan mengkaji beberapa literatur yang membahas mengenai kriteria-kriteria dalam penentuan lokasi IPAL dan metode yang terkait. Bagian kedua, menyaring kriteria yang telah dihimpun dari studi literatur dengan melakukan deep interview dengan beberapa ahli untuk menghimpun kriteria yang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada. Dari hasil deep interview diperoleh kriteria – kriteri a yang kemudian akan diolah kedalam kuesioner dalam skala likert untuk mengetahui apakah kriteria tersebut penting untuk menentukan lokasi IPAL komunal di Dukuh Purwogondo. Di dalam kuesioner tingkat kepentingan ini, kriteria dan subkriteria yang dengan rataan nilai likert> 3,75 dianggap relevan atau terpilih (Kurniawati, 2006). Kuesioner disebarkan kepada ahli dan hasil dari kuesioner tersebut adalah kriteria-kriteria untuk menentukan lokasi IPAL komunal di Dukuh Purwogondo. Kemudian kriteria tersebut dikelompokkan menjadi 2 jenis kriteria, yaitu kriteria benefit dan kriteria cost. Kriteria benefit merupakan nilai kriteria yang memiliki fungsi maksimum sedangkan kriteria cost merupakan kriteria yang berfungsi minimum. Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Setelah ditentukan kriteria pemilihan lokasi IPAL maka langkah selanjutnya menentukan bobot masing-masing kriteria menggunakan metode entropy. Metode entropy mengurutkan kriteria dengan variasi nilai tertinggi akan mendapatkan bobot tertinggi (Triyanti dan Gadis, 2008). Kelebihan metode entropy dibandingkan metode pembobotan lainnya adalah metode ini menggunakan pendekatan subjektif dan objektif sehingga menghasilkan bobot kriteria SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-109
Nugraha, Suletra, dan Liquiddanu
berdasarkan karakteristik data sekaligus dapat mengakomodasi preferensi subjektif dari pengambil keputusan.Langkah-langkah metode entropy dapat dilihat pada gambar 1 (a).
Tabel 1 Kriteria Pemilihan Lokasi IPAL komunal Kriteria Cost Kriteria Benefit Jarak lokasi IPAL dari lokasi sumber Ketinggian (elevasi) lokasi IPAL (K2) limbah (K1) Jarak lokasi IPAL ke pembuangan (K3) Jumlah industri tahu yang dapat ditampung (K5) Resiko bahaya banjir (K4) Penerimaan masyarakat (K10) Akses jalan (K6) Komitmen industri tahu berkontribusi dalam biaya perawatan (K11) Kemiringan lahan rata-rata (K7) Komitmen industri tahu dalam mematuhi SOP penyaluran limbah (K12) Tata guna lahan (K8) Perizinan Usaha industri tahu (K13) Legalitas lahan (K9) Jumlah industri tahu yang dilayani (K14)
(a)
(b)
Gambar 1 (a) Tahapan Perhitungan Metode entropy (b) Tahapan Perhitungan Metode VIKOR
Setelah itu, mengolah data menggunakan metode Vlse Kriterijumska Optimizacija Kompromisno Resenje (VIKOR) untuk memperoleh urutan rangking alternatif dari yang terbaik sampai dengan rangking terendah. Menurut Opricovic dan Tzeng (2004), metode VIKOR merupakan salah satu metode Multi Criteria Decision Making (MCDM) yang memiliki prosedur perhitungan sederhana dengan pertimbangan kedekatan antar alternatif yang ideal maupun tidak ideal. Hasil dari metode VIKOR berupa urutan perangkingan alternatif mulai dari rangking terbaik sampai terendah. Keistimewaan VIKOR adalah dapat digunakan untuk pengambil keputusan dengan kriteria yang lebih dari satu, khususnya situasi dimana pengambil keputusan tidak dapat menentukan preferensinya pada saat awal desain sistem. Solusi yang ditawarkan pada metode VIKOR adalah pertimbangan nilai utilitas maksimum grup (Sj) dan nilai regret minimum SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-110
Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal Di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura
individu (Rj) yang saling bertentangan (Huang, Tzeng dan Liu dalam Lailiana, 2015). Langkahlangkah metode VIKOR dapat dilihat pada gambar 1 (b). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan bobot tiap kriteria menggunakan metode entropy diberikan dengan cara menggabungkan bobot awal yang diperoleh dari ahli, bobot entropy dan bobot akhir entropy. Dari hasil perhitungan menunjukkan bobot dari setiap kriteria berbeda antara bobot awal dan bobot entropy. Misalnya bobot awal yang menjadi kriteria utama adalah kriteria K11 dengan nilai bobot 0.1116, pada hasil bobot entropy yang menjadi kriteria utama K2 dengan nilai bobot 0.9999, sedangkan pada bobot entropy akhir yang menjadi kriteria utama adalah K3 dengan nilai bobot 0.3547. Perbedaan tersebut dikarenakan pada metode entropy data yang mempunyai range terbesar akan menjadi kriteria utama dalam pengambilan keputusan. Hasil perbandingan ketiga bobot dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Perbandingan Hasil Bobot Kriteria
Bobot Awal
Bobot entropy
Bobot Akhir entropy
K1
0.0694
0.9655
0.0570
K2
0.0763
0.9999
0.0002
K3
0.0721
0.7936
0.3547
K4
0.0822
0.9462
0.1054
K5
0.0653
0.9865
0.0210
K6
0.0694
0.9677
0.0534
K7
0.0437
0.9981
0.0020
K8
0.0763
0.9446
0.1007
K9
0.0763
0.9181
0.1489
K10
0.0941
0.9957
0.0096
K11
0.1116
0.9891
0.0290
K12
0.0437
0.9977
0.0024
K13
0.0694
0.9991
0.0015
K14
0.0500
0.9042
0.1141
Setelah diperoleh bobot tiap kriteria selanjutnya dilakukan proses perangkingan menggunakan metode VIKOR. Kegunaan perhitungan bobot entropy ini akan mengurangi kesubjektifan ahli sehingga objektifitas dapat meningkat, sehingga bobot masing-masing kriteria yang akan digunakan dalam metode VIKOR memiliki tingkat objektifitas yang tinggi. Pengambilan keputusan metode VIKOR mempertimbangkan kedekatan antar alternatif yang ideal maupun tidak ideal. Data masukan pada metode VIKOR ini adalah metrik kriteria ternormalisasi dan bobot akhir entropy yang sudah dihitung pada tahapan perhitungan metode entropy sebelumnya. Pada penelitian ini terdapat 8 alternatif lokasi yang diusulkan menjadi lokasi alternatif IPAL komunal. Alternatif lokasi dipilih berdasarkan luas lahan yang ada dan kapasitas limbah yang akan ditampung. Alternatif lokasi IPAL komunal dan persebaran industri tahu dapat dilihat pada gambar 2.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-111
Nugraha, Suletra, dan Liquiddanu
Gambar 2
Lokasi Alternatif IPAL komunal
Pada metode VIKOR terdapat 3 perangkingan, yaitu perangkingan Si berdasarkan pendekatan dengan titik solusi terjauh dengan solusi ideal, perangkingan R i berdasarkan pendekatan dengan titik solusi terdekat dengan ideal dan perangkingan Q i merupakan perangkingan dengan menghitung indeks VIKOR. Nilai S i, Ri, dan Qi yang terkecil dari semua alternatif akan mendapatkan rangking terbaik dan sebaliknya yang mendapat nilai terbesar akan mendapatkan rangking terakhir. Perangkingan Si, Ri, dan Qi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Perangkingan Si, Ri, dan Qi Alternatif R Alternatif
Alternatif
S
Q
Alternatif 1
0.475625
Alternatif 1
0.085902
Alternatif 1
0
Alternatif 7
0.50515
Alternatif 2
0.091598
Alternatif 7
0.48253
Alternatif 6
0.529968
Alternatif 5
0.108716
Alternatif 2
0.512801
Alternatif 4
0.593608
Alternatif 4
0.171804
Alternatif 6
0.583386
Alternatif 8
0.601173
Alternatif 3
0.171804
Alternatif 4
0.598086
Alternatif 2
0.724315
Alternatif 7
0.171804
Alternatif 8
0.635102
Alternatif 5
0.793922
Alternatif 8
0.218355
Alternatif 5
0.791117
Alternatif 3
0.801478
Alternatif 6
0.218355
Alternatif 3
0.924671
Langkah terakhir menentukan rangking metode VIKOR dari setiap alternatif digunakan solusi kompromi. Solusi alternatif terbaik merupakan rangking terbaik dari nilai Q j minimum dengan syarat harus memenuhi 2 kondisi, yaitu keuntungan yang dapat diterima (C1) dan stabilitas pengambilan keputusan yang dapat diterima (C2). Untuk melihat kondisi tersebut dapat dilakukan dengan langkah-langkah sesuai pada gambar 1(b) dan hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Kondisi kompromi metode VIKOR
DQ C1
C2
0.1429 Q(j(2)) - Q(j(1)) ≥ DQ 0.4825 - 0 ≥ 0.1429 0.4825 ≥ 0.1429 Q(j(1)) harus menjadi ranking terbaik pada Sj dan Rj Q(j(1)) = 0
Kondisi Terpenuhi Kondisi Terpenuhi
Pada penelitian ini karena kondisi C1 dan C2 terpenuhi, maka rangking alternatif pemilihan IPAL komunal yang dihasilkan metode VIKOR dapat dilihat pada tabel 5.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-112
Penentuan Lokasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal Di Sentra Industri Tahu Dusun Purwogondo, Kelurahan Kartasura
Tabel 5 Hasil Perangkingan VIKOR
Alternatif Alternatif 1 Alternatif 7 Alternatif 2 Alternatif 6 Alternatif 4 Alternatif 8 Alternatif 5 Alternatif 3
Q Ranking 0 1 0.48253 2 0.512801 3 0.583386 4 0.598086 5 0.635102 6 0.791117 7 0.924671 8
Untuk mengantisipasi perubahan keputusan yang terjadi akibat perubahan bobot utilitas maksimum grup (v) maka perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk metode VIKOR. Untuk perangkingan Q i di atas menggunakan nilai v sebesar 0,5 dimana nilai v dapat berkisar 0-1. Untuk menguji perubahan digunakan nilai v sebesar 0,4 dan 0,6. Rumus yang digunakan sebagai berikut:
Hasil uji analisis sensitivitas dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Uji sensitivitas v=0,4
Rangking
v=0,6
Rangking
0
1
0
1
Alternatif 2
0.4627215
2
0.56288
5
Alternatif 3
0.90960539
8
0.939737
8
Alternatif 4
0.64528834
4
0.550884
4
Alternatif 5
0.75397737
7
0.828256
7
Alternatif 6
0.66670884
5
0.500063
3
Alternatif 7
0.56091457
3
0.404146
2
Alternatif 8
0.68506461
6
0.58514
6
Alternatif 1
Dapat dilihat untuk peringkat pertama tidak mengalami perubahan posisi sehingga alternatif 1 adalah pilihan lokasi terbaik untuk pembangunan IPAL komunal.
IV. PENUTUP Terdapat 14 kriteria yang dipertimbangkan pada pemilihan lokasi IPAL komunal, yaitu jarak lokasi IPAL dari lokasi sumber limbah, ketinggian (elevasi) lokasi IPAL, jarak lokasi IPAL ke pembuangan, resiko bahaya banjir, akses jalan, kemiringan lahan rata-rata, tata guna lahan, legalitas lahan, jumlah industri tahu yang dapat ditampung, penerimaan masyarakat, komitmen industri tahu berkontribusi dalam biaya perawatan, komitmen industri tahu dalam mematuhi SOP penyaluran limbah, perizinan Usaha industri tahu, dan jumlah industri tahu yang dilayani. Hasil yang didapat dari pembobotan setiap kriteria menggunakan metode entropy membuat bobot entropy lebih objektif dan selanjutnya dapat diolah menggunakan metode VIKOR. Hasil rangking alternatif menggunakan metode VIKOR adalah alternatif 1 terpilih menjadi alternatif terbaik.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-113
Nugraha, Suletra, dan Liquiddanu
DAFTAR PUSTAKA Kurniawati, R., 2006, Analisis Kinerja Peran Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat, Thesis, Semarang : Universitas Diponegoro. Lailiana, Nur., 2015,Group Decision Support System (GDSS)Penentuan Lokasi Penempatan Anjungan Tunai Mandiri Menggunakan Metode Entropy,VIKOR dan Borda, Thesis, Jember : Universitas Jember. Muljani, Tri., 2016, Analisis Pemasaran Tahu Di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo, Thesis, Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Munawaroh, U.; Sutisna, M.; dan Pharmawati, K., 2013, “Penyisihan Parameter Pencemaran Lingkungan pada Limbah Cair Industri Tahu menggunakan Efektif Mikroorganisme 4 (EM4) serta Pemanfaatannya”, Jurnal Institut Teknologi Nasional, Vol. 1 No. 2, hlm 1-12. Myrasandri dan Syafila, 2009, Degradasi Senyawa Organik Limbah Cair Tahu dalam Anaerobic Baffled Reactor, Thesis, Bandung : Institut Teknologi Bandung. Opricovic,S., dan Tzeng, G.H., 2004, “Compromise solution by MCDM methods: a comparative analysis of VIKOR and TOPSIS”, European Journal of Operational Research, Vol. 156 No. 2, hlm 445-455. Triyanti, V., dan Gadis., M.T., 2008, “Pemilihan Supplier Untuk Industri Makanan Menggunakan Metode Promethee”, Journal of Logistics and Supply Chain Management, Vol. 1 No. 2, hlm 83-92.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-114
Petunjuk Sitasi: Abyan, N., Trusaji, W., Hasby, F. M., & Irianto, D. (2017). Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C115-122). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi Naufal Abyan (1), Wildan Trusaji (2), Fariz Muharram Hasby (3), Dradjad Irianto (4) (1),(2),(3),(4) Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 (2) [email protected] ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk melakukan perancangan konveyor pada sistem penggilingan padi yang masih menggunakan cara-cara manual dalam proses pemindahan material antarproses. Produksi manual memiliki berbagai dampak negatif dibandingkan dengan produksi yang berlangsung secara otomatis, sehingga diperlukan upaya perancangan konveyor sesuai dengan kebutuhan sistem produksi untuk menggantikan peran manusia dalam proses pemindahan material. Perancangan konveyor dimulai dengan pengembangan konsep alat menggunakan metode HoQ, TRIZ, dekomposisi fungsional, dan tabel morfologi. Evaluasi konsep dilakukan menggunakan metode pemilihan konsep pugh. Analisis terhadap sistem produksi memberikan hasil bahwa dibutuhkan satu unit inclined conveyor agar produksi berjalan secara otomatis. Studi lebih lanjut terhadap karakteristik material, karaktreristik aliran, dan kebutuhan konfigurasi penggilingan menghasilkan 16 kebutuhan konsumen terhadap alat dan satu unit inclined conveyor berjenis bucket elevator. Kata kunci— HOQ, TRIZ, conveyor.
I. PENDAHULUAN PB. Mutiara Parijaya merupakan salah satu pelaku usaha penggilingan padi skala kecil di wilayah Kabupaten Cirebon. Dalam proses produksinya, perusahaan sebenarnya telah memiliki konfigurasi penggilingan yang terpadu dengan kemampuan mesin-mesin produksi yang masih bekerja dengan baik. Hanya saja, proses aliran material antarproses sangat bergantung pada peran manusia untuk melakukan pemindahan material, sehingga produksi berjalan secara manual. Sistem produksi manual mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan sistem produksi yang berjalan secara otomatis. Beberapa dampak yang ditimbulkan dengan penerapan produksi manual antara lain kevakuman produksi pada waktu-waktu tertentu, khususnya pada musim panen ketika tenaga kerja tidak tersedia, kehilangan material, dan gangguan kesehatan pada pekerja. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya penerapan desain parsial pada sistem produksi melalui perancangan konveyor untuk menggantikan peran manusia dalam menjaga aliran material dalam sistem penggilingan padi sesuai dengan kebutuhan sistem. Konveyor tidak hanya merupakan alat yang dapat bekerja secara otomatis untuk mengalirkan material, tetapi juga dapat mengisolasi debu sebagai sumber hazard yang ditimbulkan dari proses penggilingan. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai pada studi ini adalah untuk menentukan rancangan konveyor pada sistem penggilingan padi. Hal-hal yang dilakukan untuk menentukan rancangan konveyor antara lain penentuan kebutuhan konsumen untuk konveyor, penentuan desain konveyor, analisis komponen-komponen yang dibutuhkan untuk menyusun konveyor, serta biaya material untuk custom component dan harga komponen-komponen standart
II. METODOLOGI Perancangan konveyor diawali dengan pendefinisian masalah desain menggunakan HoQ. HoQ memberikan daftar kebutuhan konsumen disertai dengan karakteristik teknis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perancangan dilanjutkan pada desain konseptual menggunakan metode TRIZ, dekomposisi fungsional, dan analisis morfologi untuk menghasilkan beberapa SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-115
Abyan, Trusaji, Hasby, dan Irianto
alternatif konsep produk. Selanjutnya, konsep produk terbaik dipilih menggunakan metode pugh concept selection, sehingga didapatkan konsep yang paling sesuai dengan kebutuhan konsumen. Konsep produk dianalisis dan diperjelas pada tahapan embodiment design sampai pada tingkat komponen paling kecil. Adapun penggambaran rinci produk beserta dengan keputusan produksi dan harga konveyor dilakukan pada tahap desain rinci. Penyusunan rumah kualitas dilakukan dengan penerapan konfigurasi streamlined House of Quality yang mengacu pada Dieter dan Schmidt (2009) dengan penambahan matriks korelasi pada atap House of Quality untuk memberikan hubungan interdependensi antar-karakteristik teknis dan menentukan batasan yang tepat maupun solusi konsep dalam proses perancangan. Metode sistematis yang diaplikasikan dalam pengembangan konsep yaitu, TRIZ, dekomposisi fungsional (functional decomposition), dan analisis morfologi. Hasil akhir pengembangan konsep adalah alternatif-alternatif konsep yang akan dipilih pada bagian evaluasi konsep. TRIZ memberikan metodologi desain lengkap berdasarkan teori inovasi, yaitu sebuah proses untuk menggambarkan masalah desain dan beberapa strategi untuk menyelesaikan masalah desain (Dieter dan Schmidt, 2009). Dekomposisi fungsional merupakan metode yang paling dapat diaplikasikan pada produk-produk yang bersifat teknis, tetapi juga dapat diaplikasikan pada produk-produk yang sederhana dan terlihat nonteknis (Ulrich dan Eppinger, 2012). Struktur fungsi yang merupakan hasil dari dekomposisi fungsional menyediakan hubungan yang jelas dan eksplisit terhadap kebutuhan konsumen yang diilustrasikan secara paralel, seri, maupun kombinasi keduanya (Feng, dkk., 2006). Adapun Analisis Morfologi memberikan cara untuk mempertimbangkan kombinasi potongan-potongan solusi secara sistematis (Ulrich dan Eppinger, 2012). Analisis morfologi sangat efektif dalam pembentukan solusi jika digabungkan dengan dekomposisi fungsional seperti yang dilakukan dalam studi ini (Dieter dan Schmidt, 2009). Pada penelitian ini,evaluasi konsep didasarkan atas metode yang dikembangkan oleh Stuart Pugh pada era 1980-an. Metode ini dikenal sebagai Pugh concept selection (Pugh dalam Ulrich dan Eppinger (2012). Metode ini paling berguna dalam menentukan konsep desain paling menjanjikan dalam tahap konseptual (Pugh dalam Dieter dan Schmidt, 2009). Penyusunan arsitektur produk dilakukan untuk melakukan pengaturan elemen fisik produk dalam menjalankan fungsi produk yang dikehendaki. Aktivitas utama dalam penyusunan arsitektur produk adalah pendefinisian basic building block dari produk beserta antarmukanya (Dieter dan Schmidt, 2009). Skema produk dapat diperoleh pada dekomposisi fungsional yang telah dibuat pada tahapan sebelumnya, kemudian subfungsi-subfungsi yang telah teridentifikasi dikelompokkan dalam sebuah modul yang lebih besar. Tujuan pengelompokan ini adalah untuk mencapai sebuah susunan pada level modul dengan memasukkan setiap elemen desain (komponen) pada modulmodul. Penyusunan layout geometris membantu perancang untuk memeriksa apakah terdapat interferensi geometris, termal, atau kelistrikan di antara elemen-elemen atau modul-modul (Dieter dan Schmidt, 2009). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kebutuhan alat diturunkan dari beberapa dimensi kualitas Garvin, di antaranya performance, features, reliability, conformance, durability, serviceability, serta environmentally friendly sebagai dimensi tambahan. Kebutuhan konsumen untuk konveyor dapat dilihat pada Tabel 1. Metode perbandingan AHP diterapkan dalam menentukan bobot kepentingan masing-masing kebutuhan. Pemeriksaan konsistensi penilaian konsumen terhadap kebutuhan-kebutuhan alat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa penilaian yang dilakukan telah konsisten. Pemeriksaan kekonsistenan ini diringkas pada Tabel 3.Berdasarkan perhitungan pada Tabel 2, didapatkan nilai CR = 0,064 < 0,1, sehingga penilaian telah konsisten.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-116
Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi
Tabel 1 Kebutuhan Konsumen untuk Konveyor
Tabel 2 Pemeriksaan Konsistensi AHP
Berdasarkan HoQ pada Gambar 1, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik yang berhubungan dengan kriteria kerja alat (urutan ke-1, 2, 3, dan 6) mempunyai tingkat kepentingan teratas. Hal ini sejalan dengan banyaknya kebutuhan konsumen yang dapat dipenuhi oleh karakteristik teknis ini. Di samping itu, nilai bobot kepentingan kebutuhan konsumen ini juga berpengaruh besar terhadap bobot kepentingan karakteristik teknis yang menjelaskannya. Selanjutnya, kepentingan teratas berikutnya didominasi oleh karakteristik terkait dengan karakteristik material (urutan ke-7, 8, 10, 11 dan 19) yang berhubungan erat dengan karakteristik bahan. Adapun sisanya merupakan karakteristik teknis yang berkaitan dengan konfigurasi dan ukuran alat, serta fitur. Konsep TRIZ menyatakan bahwa derajat kesulitan dalam menyelesaikan masalah bergantung pada deskripsi masalah itu sendiri, sehingga jika masalah dapat dideskripsikan dengan lebih jelas, maka solusi yang dicari akan lebih mudah (Feng, dkk., 2006). Oleh sebab itu, pada tahap ini diuraikan penjelasan masalah kontradiksi untuk setiap karakteristik teknis yang belum dapat diuraikan secara jelas. Pendefinisian specific problem didasarkan atas kebutuhan konsumen terhadap alat (kebutuhan sistem produksi) dengan memperhatikan kondisi lingkungan kerja tempat konveyor akan beroperasi. Konsep dan analysis TRIZ yang dilakukan dijelaskan pada tabel 3. Dalam pendekomposisian fungsi, derajat dekomposisi fungsi utama sebenarnya bergantung pada level dimana subfungsi lebih mudah untuk dipenuhi oleh efek fisik yang terbatas dan komponen-komponen teknologi (Feng, dkk., 2006). Berdasarkan hal tersebut, maka subfungsisubfungsi harus dikelompokkan menjadi subfungsi yang lebih besar untuk keperluan pengembangan konsep produk. Hal ini disebabkan karena subfungsi-subfungsi dalam struktur fungsi terlalu rinci dan kurang memberikan variasi konsep yang signifikan terhadap kebutuhan konsumen terhadap konveyor. Modul-modul yang terbentuk untuk struktur fungsi kedua jenis konveyor ditunjukkan pada skema produk Gambar 2 dan Gambar 3.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-117
Abyan, Trusaji, Hasby, dan Irianto
Gambar 1 House of Quality Tabel 3. Tabel Analysis TRIZ N Deskripsi Specific o Problem Konveyor dapat mengalirkan sejumlah massa material dengan kecepatan tertentu 1 sesuai dengan kapasitas
2
3
4
5
Conveying unit mampu menampung kapasitas aliran dengan seminimal mungkin terjadi kerusakan pada material Besarnya kapasitas aliran material tidak membuat ukuran konveyor terlalu besar Tempat masuk dan keluaran material pada konveyor harus dapat mengisolasi material dengan baik namun juga mudah dibersihkan atau diperbaiki jika terdapat kerusakan Housing didesain untuk mengisolasi material dengan sempurna,
IP*
DP**
Prinsip Terpilih
weight of moving object
Speed
Dynamics
Productivity
Realibility
Segmentation
Volume of moving object
Shape
Segmentation
Reliability
Ease of repair
Segmentation
Reliability
Ease of repair
Segmentation
Intrepetasi Membagi beban menjadi bagianbagian yang lebih banyak dapat mendistribusikan beban menjadi bagian-bagian lebih kecil yang dapat diatas oleh gaya dari motor penggerak Pengangkutan material pada bagianbagian mandiri terpisah membuat material yang diangkut mempunyai kedudukan yang stabil, sehingga mengurangi gesekan-gesekan baik dengan sesama material maupun dengan bagian konveyor yang lain. Gesekan ini dapat menyebabkan kerusakan material yang dapat menurunkan kualitasnya. Komponen komponen yang mandiri memungkinkan pengaturan objek yang lebih fleksibel dalam dimensi ruang.
Komponen feeder dan discharger didesain dengan antarmuka yang secocok mungkin dengan mesin produksi, namun merupakan bagian yang terpisah sebagai elemen modular pada sebuah konveyor. Housing didesain sebisa mungkin untuk mengisolasi material secara sempurna, namun mudah dipisahkan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-118
Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi
N Deskripsi Specific o Problem namun mudah dilepas untuk maksud perbaikan
IP*
DP**
Prinsip Terpilih
Intrepetasi dari konveyor untuk maksud perawatan dan perbaikan.
Tabel 4 Tabel Morfologi Produk Inclined Conveyor
Gambar 2 Skema Produk Inclined Conveyor
Struktur fungsi pada Gambar 2 menghasilkan modul-modul yang terdapat pada inclined conveyor. Modul-modul ini merupakan submasalah-submasalah desain untuk dicari solusinya. Pada tahap ini dapat dibentuk kombinasi alternatif-alternatif solusi untuk setiap submasalah yang akan diselesaikan. Kombinasi ini disusun menjadi sebuah tabel morfologi untuk inclined conveyor pada Tabel 3. Karakteristik masing-masing konsep A, B, dan C diringkas pada Tabel 4. Karakteristik masing-masing konsep A, B, dan C diringkas pada Tabel 5. Penilaian untuk setiap konsep produk yang terbentuk terhadap kriteria-kriteria evaluasi yang disusun dalam bentuk tabel pemilihan konsep Pugh dipresentasikan pada Tabel 5. Adapun tujuan desain pada tahap ini adalah untuk mengerucutkan jumlah konsep dengan cepat (Ulrich dan Eppinger, 2012). Pada bagian ini, dilakukan pemilihan konsep final dengan dua alternatif konsep sebagai kelanjutan dari proses sebelumnya. Alternatif konsep yang dibandingkan adalah konsep A dan gabungan konsep B-C sebagai konsep D. Karakteristik kedua konsep pada evaluasi konsep putaran kedua diberikan pada Tabel 7. Evaluasi kedua konsep pada putaran kedua diberikan pada tabel pemilihan pugh di Tabel 8.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-119
Abyan, Trusaji, Hasby, dan Irianto
Tabel 4 Alternatif Konsep Produk Inclined Conveyor
Tabel 5 Pemilihan Konsep Produk Inclined Conveyor
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-120
Perancangan Konveyor pada Sistem Penggilingan Padi
Tabel 6 Alternatif Konsep Produk Inclined Conveyor pada putaran kedua
Tabel 7 Pemilihan Konsep Produk Inclined Conveyor pada putaran kedua
Membuat arsitektur produk merupakan tugas pertama dalam embodiment design (Dieter dan Schmidt, 2009). Gambar 3 menunjukkan layout geometris kasar untuk produk inclined conveyor dalam bentuk model tiga dimensi. Gambar layout geometris bukan merupakan bentuk akhir produk, melainkan hanya menunjukkan tata letak atau konfigurasi modul – modul dalam satu kesatuan produk utuh. Desain akhir konveyor berupa bucket elevator seperti gambar 4
Gambar 3 Layout Geometris Kasar Inclined Conveyor
Gambar 4 Desain Akhir Inclined Conveyor
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-121
Abyan, Trusaji, Hasby, dan Irianto
IV. PENUTUP Proses perancangan yang dimulai dari pendefinisian masalah desain memberikan beberapa kesimpulan, yaitu: Proses perancangan pada tahap pendefinisian masalah desain menghasilkan 16 kebutuhan konsumen sebagai parameter perancangan, yaitu:(1) mampu menampung seluruh aliran material, (2) mampu mengalirkan material secara konsisten, (3) mengalirkan material pada kemiringan vertikal dan horizontal, (4) mampu menjaga keutuhan material, (5) portable, (6) menyediakan akses kontrol material, (7) ukuran tidak terlalu besar, (8) tahan korosi, (9) tidak udah mengalami penurunan fungsi, (10) mampu beroperasi sesuai dengan kriteria desain, (11) tahan lama, (12) kerusakan mudah diperbaiki, (13) mudah dimanufaktur, (14) mampu mengisolasi material, (15) tingkat kebisingan minimal, dan (16) emisi gas buang minimal. Pengembangan dan evaluasi konsep menghasilkan konsep terpilih untuk inclined conveyor adalah konveyor dengan jenis continuous bucket elevator.
DAFTAR PUSTAKA ARPM. ,2011, Conveyor and Elevator Belt Handbook. Indianapolis: Association for Rubber Products Manufacturers, Inc. Dieter, G. E., dan Schmidt, L. C. ,2009, Engineering Design, Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Feng, Y., dkk. ,2006, Function and Principle Innovative Design of Mechanical Products Based on TRIZ/FA. Frontiers of Mechanical Engineering, 3, 350 - 355. Fruchtbaum, J. ,1988, Bulk Materials Handling Handbook. New York: Springer Science+Business Media, LLC. Ulrich, K. T., dan Eppinger, S. D. ,2012, Product Design and Development, Fifth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-122
Petunjuk Sitasi: Faisal, R. M., Suryadhini, P. P., & Juliani, W. (2017). Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C123-130). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7 Raden Muhamad Marjan Faisal (1), Pratya Poeri Suryadhini (2), Widia Juliani (3) (1), (2), (3) Prodi S1 Teknik Industri, Fakultas Rekayasa Industri, Universitas Telkom Bandung (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected] ABSTRAK PT. XYZ merupakan perusahaan mandiri sebagai anak perusahaan dari PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI), yang bergerak dalam bidang jasa perawatan (maintenance) mesin turbin yang biasa digunakan pada pesawat terbang maupun mesin turbin yang digunakan untuk industri. Berdasarkan pengalaman dan data historis diketahui bahwa PT. XYZ menerima setiap pesanan yang diminta namun tidak mempertimbangkan sumber daya kapasitas produksi yang tersedia. Karena itu perlu dilakukan peramalan yang akan menghasilkan MPS dan menjadi dasar untuk melakukan perhitungan kapasitas agar lantai produksi dapat siap berproduksi ketika pesanan yang berfluktuatif datang. Dari hasil peramalan bahwa metode peramalan yang memiliki tingkat kesalahan yang terkecil adalah Simulasi Monte Carlo dengan 91% dari semua part number hasil peramalan sedangkan untuk Croston’s Method dan Metode Syntetos – Boylan Approximation memiliki 9% dari semua part number hasil peramalan. Sehingga part number yang menggunakan Croston’s Method adalah 4108T01G01, 5043T07G02, 5034T83P12, 4053T44G01 dan 6055T82P01. Perencanaan kapasitas produksi dengan menggunakan metode RCCP teknik BOLA telah dilakukan yang menghasilkan bahwa setiap mesin memiliki kelebihan kapasitas, sehingga semua demand dapat terpenuhi. Dengan demikian perencanaan kapasitas produksi dengan metode RCCP teknik BOLA menghasilkan beberapa alternatif solusi perencanaan kapasitas produksi yang optimal yaitu dengan melakukan Preventive Maintenance, dan melakukan produksi part-part yang akan digunakan untuk mempermudah proses repair. Kata kunci— Peramalan, Croston’s Method, Syntetos – Boylan Approximati, Simulasi Monte Carlo, RCCP.
I. PENDAHULUAN A. Deskripsi dan Latar Belakang Salah satu produk yang dihasilkan oleh PT. XYZ adalah berupa jasa pemeriksaan (inspection), perubahan (modification), perbaikan ringan (repair) dan perbaikan berat (overhaul) mesin turbin untuk pesawat. Mesin turbin pesawat adalah salah satu komponen utama dari pesawat terbang yang digunakan sebagai tenaga penggerak. Setiap pesawat terbang paling sedikit menggunakan satu buah mesin turbin sebagai tenaga penggeraknya, rata-rata satu pesawat menggunakan dua buah mesin turbin. Peningkatan jumlah penggunaan pesawat terbang tentunya akan ditandai pula dengan peningkatan jumlah penggunaan mesin turbin, peningkatan permintaan jasa perbaikan mesin turbin sebagai usaha airliner untuk menjamin kesiapan pengguna mesin turbin di pesawat, dan jaminan keselamatan penerbangan. Dengan peningkatan permintaan jasa perbaikan mesin turbin pesawat maka PT. XYZ dituntut agar produk dan jasa yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik, harga bersaing di pasaran serta selalu berusaha mengirimkan order kepada konsumen tepat pada waktunya. Rangkaian proses perbaikan dan pemeliharaan, mulai dari engine masuk ke PT. XYZ hingga dikirimkan kembali ke pelanggan, mencakup beragam aktivitas berurutan yang melibatkan berbagai divisi di PT. XYZ. Elemen-elemen yang terlibat dalam proses tersebut yaitu operator, mesin perbaikan, material, part, komponen, dan engine sebagai obyek yang akan ditangani. Dalam proses penanganan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-123
Raden Muhamad Marjan Faisal, Pratya Poeri Suryadhini, Widia Juliani
engine tersebut risiko kegagalan dan kesalahan mungkin ada. Karena rangkaian proses pemeliharaan atau perbaikan engine terdiri dari aktivitas-aktivitas yang beruntun seperti pengadaan material, stock, waktu pengerjaan, kapasitas, tenaga kerja, risiko yang terjadi pada satu aktivitas yang dapat menghambat aktivitas berikutnya, sehingga pada akhirnya tenggat waktu pemeliharaan atau perbaikan engine yang sudah disetujui dengan pelanggan tidak dapat dipenuhi. Keterlambatan penyerahan hasil perawatan atau perbaikan engine tersebut kepada pelanggan tidak hanya dapat merugikan perusahaan dari segi biaya, tetapi juga dari segi reputasi perusahaan. PT. XYZ telah menangani engine sebanyak 58 buah dan 75% dari keseluruhan engine tersebut selesai diperbaiki, tetapi masih terjadi keterlambatan dari jadwal yang sudah disepakati. Keterlambatan penyerahan hasil perawatan atau perbaikan engine dipengaruhi oleh, Material, Operation, CSP, Bussiness, dan Quality (RTS Engine). Penelitian ini memfokuskan pada masalah yang ada pada Operation yang memiliki root causes contribution sebesar 40%. Pada ruang lingkup Operation. Pada Gambar 2 terlihat ada masalah adanya gap antara TAT Act. dan TAT MPS pada serial number GE-E-309183, GE-309168, GE-E-309186, UMC-E-309718 secara berurutan sebesar 75, 81, 109 dan 209 hari. Waktu Pengerjaan Repair CT-7 H A R I
TAT MPS (OK TEST) TAT ACT. (OK TEST)
SERIAL NUMBER CT-7
Gambar 1 Perbedaan TAT MPS dan TAT ACT. pada Proses Perbaikan Engine CT7 Tahun 2014 s/d 2015
Pada ruang lingkup Operation terlihat cukup besar penyebab keterlambatan yang disebabkan oleh antisipasi permintaan repair dan kapasitas yang tersedia yang ada di PT. XYZ. Berdasarkan pengalaman dan data historis diketahui bahwa PT. XYZ menerima setiap pesanan yang diminta namun tidak mempertimbangkan sumber daya kapasitas produksi yang tersedia, karena itu perlu dilakukan peramalan yang akan menghasilkan MPS dan menjadi dasar untuk melakukan perhitungan kapasitas agar lantai produksi dapat siap berproduksi ketika datang pesanan yang berfluktuatif. B. Rumusan Masalah Penelitian Bagaimana melakukan perencanaan permintaan dan perencanaan kapasitas di waktu yang akan datang pada workscope Overhaul status repair pada cold section module engine tipe CT7 di PT. XYZ ? C. Tujuan, Manfaat Penelitian/Teknologi Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di PT. XYZ, yaitu : 1. Meramalkan permintaan Overhaul dengan statusrepairpada cold section module engine tipe CT7 di PT Nusantara Turbin dan Propulsi di waktu yang akan datang. 2. Menentukan analisis perencanaan kapasitas produksi dengan metode RCCP teknik BOLA di PT Nusantara Turbin dan Propulsi di waktu yang akan dating D. Lingkup Permasalahan 1. Identifikasi peramalan permintaan yang menjadi objek penelitian ini hanya pada workscope pembongkaran secara keseluruhan (overhaul) dengan status repair setelah hasil Final Disposition keluar. 2. Engine yang menjadi objek penelitian ialah engine tipe CT7 pada cold section module. 3. Data historis yang digunakan pada penelitian ini mulai dari tahun 2012 sampai 2015. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-124
Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7
4. Perencanan kapasitas hanya dilakukan sampai menentukan usulan pengambilan keputusan yang terbaik dengan beberapa alternatif. II. METODOLOGI Demand History
Bill Of Material
Klasifikasi part berdasarkan pola permintaan
ADI-CV analisis
Peramalan Permintaan
Kebijakan Persediaan
MPS Data Mesin
Kapasitas
Perencanaan Kapasitas menggunakan Metode Bill of Labor Approach
Analisis
Keputusan : 1. Over time 2. Penambahan tenaga kerja 3. Subecontracting
Alternatif Optimal
Routing Process
Gambar 2 Model Konseptual
Penelitian ini diawali dengan tahap pengumpulan data untuk mengetahui data historis PT. XYZ. Dimana data yang diperlukan yaitu data historis, bill of material, kapasitas, dan routing process. Data historis merupakan data jumlah permintaan dari pelanggan pada periode sebelumnya yang menghasilkan Master production Schedule (MPS).Master production Schedule (MPS) merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir dari suatu perusahaan industry manufaktur yang merencanakan produksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. Data bill of material merupakan daftar penyusunan material mulai dari material terkecil sampai menjadi produk jadi. Kapasitas terdiri dari jumlah tenaga kerja, jumlah hari kerja, biaya, dan kapasitas over time. Langkah awal dalam penelitian ini akan dilakukan peramalan untuk meramalkan permintaan di masa yang akan datang dengan memperhatikan pola data permintaan historis. Kemudian setelah itu memperoleh informasi tentang rencana produksi yang telah disusun dari MPS.MPS didapat dari data peramalan yang telah di olah.Selanjutnya adalah memperoleh informasi tentang data mesin, kapasitas, bill of material dan routing process.Langkah terakhir dalam proses perhitungan kapasitas produksi adalah menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan perhitungan kapasitas. Perhitungan kebutuhan sumber daya spesifik antara lain penggunaan jam mesin, tenaga kerja, hari kerja dan sebagainya. Setelah itu, melakukan perhitungan RCCP dengan metode Bill of Labor Approach untuk menggambarkan dan membandingkan kapasitas yang dibutuhkan dengan kapasitas yang tersedia, kemudian dapat diketahui di setiap periode, apakah kapasitas yang sudah ada memenuhi atau tidak. Apabila kapasitas yang tersedia lebih besar dari demand maka perlu dilakukan keputusan alternative . 1) Klasifikasi Material ADI-CV Material part aksesoris dapat dibagi menjadi dua kategori berdasrkan pola pemakaiannya, yakni continuous dan intermitten.Karakteristik dari material yang bersifat continuous adalah adanya permintaan atau pemakaian pada setiap periode waktu (biasanya per bulan) sehingga dapat dikatakan material yang memiliki sifat ini dapat dikatakan fast moving. Sedangkan bila tingkat permintaan atau pemakaian item material jarang tiap bulan, maka item material tersebut bersifat intermittent demand dan mempunyai sifat slow moving, untuk material yang mempunyai pola
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-125
Raden Muhamad Marjan Faisal, Pratya Poeri Suryadhini, Widia Juliani
permintaan intermittent, selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi intermittent demand, erratic demand, lumpy demand dan slow moving (Ghobbar dkk., 2002). Klaifikasi material berdasarkan pola pemakaiannya dapat dilihat dari ADI (Average Demand Interval ) dimana menunjukan rentang ukuran permintaan rata-rata periode tertentu dan CV (Coefficient of Variations). ADI
0
CV
0,49
1,32
SLOW MOVING
INTERMITTENT DEMAND
ERRATIC DEMAND
LUMPY DEMAND
Gambar 3 Item Demand Patterns
Gambar 3 menunjukan bahwa karaketristik material berpola slow moving mempunya nilai ADI ≤ 1,32 dan CV ≤ 0,49, karakteristik material berpola erratic demand mempunyai nilai ADI ≤ 1,32 dan CV ≥ 0,49, karakteristik material berpola intermittent demand mempunyai nilai ADI ≥ 1,32 dan CV ≤ 0,49, sedangkan karakter material lumpy demand mempunyai nilai ADI ≥ 1,32 dan CV ≥ 0,49. Berikut perhitungan untuk nilai ADI dan CV : Sementara untuk mencari nilai ADI dapat diperoleh dengan melakukan perhitungan berdasarkan formula berikut. ∑
(1)
Penghitungan nilai CV dapat diperoleh dengan menggunakan formula berikut. √∑
(2) Nilai , dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut. ∑
(3)
Dengan, N untuk ADI adalah jumlah periode tanpa NOL. N untuk CV adalah keseluruhan jumlah periode 2) Croston’s Method Metode ini pertama kali muncul pada tahun 1972 yang dikembangkan oleh Croston. Metode ini perhitungannya menggunakan jumlah permintaan dan waktu inter-arrival antara permintaan. Levѐn dan Segerstedt (2004) menjelaskan Croston mengusulkan metode yang bisa menangani kesulitan untuk permintaan intermittent. Metode ini dikenal dengan metode Croston (CR). Perubahan utama dari metode peramalan sebelumnya adalah peramalan diperbaharui hanya ketika adanya permintaan (pengambilan kembali dari inventori) dan tidak diperbaharui ketika interval waktu peramalan telah lewat seperti exponential smoothing biasa. Metode CR tidak hanya fokus pada besarnya permintaan, metode ini juga mempertimbangkan waktu antar permintaan ke dalam perhitungan, sehingga model ini sesuai untuk peramalan spare part yang memiliki pola permintaan intermittent. Metode CR memisahkan besar permintaan yang diperbarui (𝑧𝑡) dan interval permintaan (𝑝𝑡). Pada peninjauan periode t, jika tidak ada permintaan dalam periode tersebut maka estimasi besarnya permintaan dan waktu inter-arrival pada akhir waktu t, 𝑧𝑡 dan 𝑝𝑡, masing-masing tetap tidak berubah. Jika terjadi permintaan maka Xt > 0, sehingga estimasi diperbarui dengan : 𝑧
{
𝑧 𝑧 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-126
(4)
Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7
{ 𝑝
{
(5) 𝑝 𝑝
(6)
Dengan : Xt = data aktual permintaan pada periode t. Zt = peramalan permintaan rata-rata pada periode t, permintaan bernilai positif. Pt = rata-rata interval antara permintaan non-zero yang diobservasi periode t. 𝜶 = konstanta smoothing antara satu dan nol. Secara keseluruhan, permintaan peramalan per periode pada saat t = 3) Syntetos – Boylan Approximation Metode Syntetos – Boylan Approximation (SBA) merupakan koreksi terhadap metode CR. Syntetos dan Boylan (2001) menunjukkan metode CR yang asli adalah bias. Untuk memperbaiki bias tersebut maka Syntetos dan Boylan mengusulkan mengurangi metode peramalan CR dengan sebuah factor 1 – α/2, maka peramalan metode SBA. = (1- ). (7) 4) Simulasi Monte Carlo Salah satu model simulasi yang paling populer digunakan pada pengendalian persediaan adalah Simulasi Monte Carlo.Metode Monte Carlo adalah suatu teknik yang melibatkan penggunaan angka acak dan probabilitas untuk memecahkan masalah. Pada penelitan ini, simulasi Montecarlo digunakan untuk meramalkan permintaan spare part dengan acuan data historis permintaan. Seperti yang telah diketahui pola permintaan spare part tidak mengkitu pola pemintaan pada umumnya seperti trend, cycle, ataupun seasonal karena permintaan spare part dipengaruhi kondisi mesin ataupun faktor eksternal yang tidak dapat diprediksi waktu dan jumlahnya. 5) Bill Of Labour Approach (BOLA) Bill Of Labour Approach (BOLA) menggunakan data waktu standar untuk setiap unit produk. Waktu standar adalah waktu yang diperlukan operator untuk memproduksi satu unit produk.Jika memproduksi lebih dari satu kategori produk maka kapasitas yang dibutuhkan tiap unit produk dapat diidentifikasi dengan perkalian antara BOLA dan MPS. Perkalian yang digunakan adalah perkalian matriks yang akan digunakan untuk membuat Rough Cut Requirement dengan matriks BOLA dan MPS harus di transpose untuk melakukan perkalian. Dalam BOLA ada 2 jenis perhitungan, yaitu perhitungan untuk satu produk dan perhitungan untuk dua produk atau lebih.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis ADI-CV adalah tools untuk mengklasifikasikan part berdasarkan pola permintaannya. Kategori pengelompokan part terdiri dari dua yaitu, pola pemakaian continous dan intermittent. Karakteristik material dengan pola pemakaian continous, adanya permintaan material pada setiap periode atau memiliki nilai ADI lebih kecil 1,32. Semakin kecil nilai ADI suatu material maka material tersebut dapat dikatakan sebagai kategori fast moving karena memiliki perputaran barang yang sangat cepat, sedangkan untuk pola permintaan intermittent memiliki nilai ADI lebih besar dari 1,32. Untuk pola permintaan intermittent tedapat 4 jenis pola yaitu, lumpy ,erratic , slow moving dan intermittent. Berdasarkan pola permintaan part repair yang dimiliki perusahaan, pola permintaan intrmittent dengan jenis lumpy dan erratic sangat mendominasi pola permintaan part repair.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-127
Raden Muhamad Marjan Faisal, Pratya Poeri Suryadhini, Widia Juliani
Gambar 4 (a) Perbandingan Klasifikasi Pola Demand, (b) Perbandingan Klasifikasi Karakteristik Demand
Pada Gambar. 4(a), menjelaskan bahwa pola permintaan intermitten sebanyak 90% sedangkan untuk pola permintaan Continuous memiliki sebanyak 10%, sedangkan pada Gambar. 4(b) menjelaskan bahwa karakteristik demand lumpy sebanyak 74%, intermitten sebanyak 16%, erratic sebanyak 7% dan slow moving sebanyak 3%. Melihat kondisi data permintaan yang tidak tentu dan mempunyai data yang berdistribusi tidak normal, masalah ini dapat dipecahkan dengan menggunakan tools Simulasi Monte Carlo, Metode Croston, dan metode Syntetos-Boylan Approximation. Peramalan dilakukan untuk memperkirakan seberapa besar permintaan jumlah part yang akan di repair pada masa yang akan datang. Output yang dihasilkan dari peramalan ini akan menjadi langkah awal untuk penggunaan perhitungan perencanaan kapasitas. Pada pengolahan data dilakukan peramalan untuk meramalkan permintaan repair pada periode November 2015 sampai dengan April 2019. Digunakan data permintaan repair sebagai data peramalan pada bulan Mei 2012 sampai dengan Oktober 2015 untuk mendapatkan hasil peramalan kedepan. Metode peramalan yang digunakan adalah Simulasi Monte Carlo, Croston’s Method dan Syntetos – Boylan Approximation.Metode peramalan tersebut dipilih karena pola data dari part memiliki pola permintaan intermittent dan termasuk pada karakteristik lumpy. Pengujian nilai kesalahan dilakukan dengan perhitungan menggunakan Mean Square Error (MSE), Mean Absolute Deviation (MAD) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Berdasarkan hasil peramalan bahwa metode peramalan yang memiliki tingkat kesalahan yang terkecil adalah Simulasi Monte Carlo dengan 91% dari semua part number hasil peramalan sedangkan untuk Croston’s Method dan Metode Syntetos – Boylan Approximation memiliki 9% dari semua part number hasil peramalan, sehingga part number yang menggunakan Croston’s Method adalah 4108T01G01, 5043T07G02, 5034T83P12, 4053T44G01 dan 6055T82P01. Berikut hasil peramalan 14 periode kedepan : Tabel 1 Hasil Peramalan Metode Terpilih No. 1 2 3 4 5 6
Part Number 6039T56G09 6055T84P09 6055T15P03 6055T15P09 6055T83G14 6055T83G09
2015 1 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0
2016 3 4 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
Hasil Forecast (Metode Terpilih) 2017 2018 5 6 7 8 9 10 11 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0
2019 14 0 1 0 0 0 0
Tabel 1 menunjukan hasil dari peramalan sesuai dengan metode terpilih, hasil peramalan tersebut mulai dari bulan November 2015 sampai dengan bulan April 2019, yang dijadikan dalam bentuk kuartal setiap periodenya yang terdiri atas 3 bulan. Hasil permalan ini akan menjadi input untuk menghitung perencanaan kapasitas. Perhitungan perencanaan kapasitas produksi menggunakan metode RCCP dengan teknik BOLA, ada beberapa tahapan yaitu perhitungan bill of resources, perhitungan sumber daya spesifik dan perhitungan kebutuhan kapasitas. Dalam penentuan bill of resources yang diperhatikan adalah alur proses repair tersebut dan lamanya waktu repair. Sumber daya spesifik SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-128
Analisis Perencanaan Kapasitas Produksi pada Perawatan Engine CT7
adalah penggunaan jumlah mesin dengan mempertimbangkan kondisi tingkat efisiensi, sift kerja dan jumlah hari dalam 1 tahun. Pada kondisi saat ini perusahaan merasa kesulitan untuk mengetahui ketersediaan dan kebutuhan kapasitas. Tabel 2 RCCP Keseluruhan RCCP Keseluruhan Tahun 2016
2017
2018
2019
Available Capacity (Jam)
Keputusan
Lathe Machine
31.5
32.5
13.5
6.5
60.249024
Cukup
2
Jig Boring Machine
6
4.5
1.5
3
182.984832
Cukup
3
Milling Machine
4.5
4.5
4.5
0
178.338816
Cukup
4
CNC Lathe Machine
2
4
3
1
17.3422656
Cukup
No
WCN
1
Tabel. 2 merupakan RCCP keseluruhan untuk semua part number.Dimana hasil RCCP setiap tahun pada semua part pada masing-masing mesin dijumlahkan dan kemudian diambil rata-rata selama periode tersebut yang kemudian dapat disimpulkan bahwa hasil RCCP dengan teknik BOLA masih terjadi kelebihan kapasitas. Kapasitas dikatakan cukup jiga available capacity ≥ kebutuhan kapasitas pada periode tertentu. Kelebihan kapasitas yang terjadi terdapat pada WC Lathe Machine, Jig Boring Machine, Milling Machine, dan CNC Lathe Machine. Salah satu contohnya dapat dilihat dari load profile pada lathe Machine dibawah ini.
Gambar 5 Load Profile pada Lathe Machine
Dalam load profile, dapat terlihat bahwa terjadi perbedaan kapasitas yang cukup besar antara kapasitas yang tersedia dengan kapasitas yang dibutuhkan. Rata-rata kapasitas yang dibutuhkan adalah 21 jam sedangkan available capacity yang ada sebesar 60,24 Jam. Secara teoritis bahwa kapasitas tersedia yang ada pada perusahaan PT. XYZ cukup besar dan dapat memenuhi demand sehingga permintaan repair engine bisa diterima oleh perusahaan PT. XYZ.
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Melakukan peramalan dengan menggunakan metode simulasi Monte Carlo, Croston’s Method dan Metode Syntetos – Boylan Approximation. Lalu menghitung masing-masing kesalahan dari setiap metode untuk masing-masing part number, setelah menghitung kesalahan peramalan untuk masing-masing part number, langkah selanjutnya adalah memilih kesalahan terkecil untuk masing-masing part number. Kemudian, setelah terpilih metode terbaik yang memiliki kesalahan terkecil untuk masing-masing part number adalah melakukan verifikasi. 2. Berdasarkan hasil peramalan bahwa metode peramalan yang memiliki tingkat kesalahan yang terkecil adalah Simulasi Monte Carlo dengan 91% dari semua part number hasil peramalan sedangkan untuk Croston’s Method dan Metode Syntetos – Boylan Approximation memiliki 9% dari semua part number hasil peramalan. Sehingga part number yang
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-129
Raden Muhamad Marjan Faisal, Pratya Poeri Suryadhini, Widia Juliani
menggunakan Croston’s Method adalah 4108T01G01, 5043T07G02, 5034T83P12, 4053T44G01 dan 6055T82P01. 3. Perencanaan kapasitas produksi dengan menggunakan metode RCCP teknik BOLA telah dilakukan yang mengahasilkan bahwa setiap mesin memiliki kelebihan kapasitas, sehingga semua demand dapat terpenuhi. Dengan demikian perencanaan kapasitas produksi dengan metode RCCP teknik BOLA menghasilkan beberapa alternatif solusi perencanaan kapasitas produksi yang optimal yaitu dengan melakukan Preventive Maintenance, dan melakukan produksi part-part yang akan digunakan untuk mempermudah proses repair. DAFTAR PUSTAKA Croston, J.D. 1972, ―Forecasting and stock control for intermittent demands‖. Operational Research Quarterly, No. 23, hal. 289-303 Fogarty, D. W. 1991. Production & Inventory Management. Ohio: South Western Publishing. Ghobbar, A. A., & Friend, C. H. 2002. Source of Intermittent Demand for Aircraft Spare Part Within Airline Operations. Journal of Air Transport Management, 221-231. Syntetos, A.A., Boylan, J.E., Croston, J.D. 2005, ―On the categorization of demand patterns‖, Vol. 20,No. 3, hal. 375-387.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-130
Petunjuk Sitasi: Patrisina, R., & Ramadhan, K. M. (2017). Penerapan Lean Manufacturing dalam Proses Produksi Common Rail 4D56. prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C131-135). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penerapan Lean Manufacturing dalam Proses Produksi Common Rail 4D56 Reinny Patrisina(1), Kurnia Medio SE Ramadhan(2) (1), (2) Jurusan Teknik Industri, Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis, Padang (1) [email protected], (1)[email protected] ABSTRAK PT XYZ merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak dibidang produksi part otomotif dengan spesialisasi produk forging. Salah satu produk utamanya adalah Common Rail 4D56. Dalam proses produksi Common Rail 4D56 ditemukan beberapa pekerjaan yang tergolong pemborosan, akibatnya proses produksi menjadi tidak efisien dan lead time produksi menjadi panjang. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pemborosan yang terjadi pada proses produksi Common Rail 4D56 dengan pendekatan Lean Manufacturing. Berdasarkan hasil pengolahan, didapatkan lead time produksi Common Rail 4D56 adalah 423,01 jam, yang terdiri dari kegiatan yang bersifat value added sebesar 72.06 jam dan kegiatan yang yang bersifat non value added sebesar 350,99 jam. Sebagian besar kegiatan non value added disebabkan karena permasalahan layout, dimana terjadi backtracking pada pergerakan material dari proses chamfer grinding ke heating, yang melewati area cutting. Jarak perpindahan ini bertambah panjang karena ukuran stasiun kerja yang besar akibat adanya alokasi extra space untuk tumpukan work in process. Jika dilakukan re-layout, maka diperkirakan waktu perpindahan material dapat dikurangi sebesar 80%. Pengurangan jumlah WIP juga dimungkinkan untuk dikurangi dengan melakukan penyesuaian ukuran kanban produksi sehingga terdapat keseimbangan proses antara satu mesin dengan mesin lainnya, jumlah tumpukan material diawal proses dapat dikurangi, dan meningkatkan utilitas space. Permasalahan lainnya yang ditemui yaitu kegiatan menunggu material handling untuk memindahkan produk yang selesai diproses, sehingga diperlukan penambahan material handling. Kata kunci—Layout, Lead Time, Lean Manufacturing, Pemborosan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan manufaktur secara sederhana dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang kegiatan utamanya memproses bahan baku atau komponen menjadi barang jadi yang memenuhi standar spesifikasi yang telah ditentukan dan biasanya berproduksi dalam skala besar. Dalam melaksanakan proses produksi, perusahaan harus melakukannya dengan efektif dan efisien agar profit yang diperoleh perusahaan maksimal dan terhindar dari pemborosan biaya yang dapat merugikan perusahaan. Proses produksi yang efektif dan efisien dapat terwujud apabila perusahaan mampu meningkatkan pekerjaan yang memiliki nilai tambah (value added) dan mengurangi pekerjaan yang tidak memiliki nilai tambah (non added value) sehingga dapat mengurangi pemborosan yang terjadi. PT XYZ merupakan perusahaan manufaktur yang memproduksi part otomotif dengan spesialisasi yaitu produk forging. Salah satu produk utamanya adalah Common Rail 4D56. Kegiatan produksi Common Rail 4D56 melewati beberapa tahapan proses dari bahan baku hingga menjadi produk yang sesuai standar yang diinginkan customer, diantaranya yaitu proses cutting, chamfer grinding, heating, forging, dan trimming. Dalam menjalankan usahanya, PT XYZ selalu berusaha untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan tepat waktu sehingga dapat memuaskan pelanggan. Namun dalam proses produksi Common Rail 4D56 ditemukan beberapa kegiatan yang menimbulkan pemborosan, seperti pada pemindahan material setelah proses shot blasting ke proses selanjutnya. Hal ini mengakibatkan lead time penyelesaian produk Common Rail 4D54 menjadi lebih panjang. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-131
Patrisina, Ramadhan
Lean manufacturing merupakan metode untuk memproduksi barang melalui peniadaan pemborosan (waste) sehingga dapat memperpendek lead time produksi. Lean manufacturing adalah filosofi manajemen proses yang berasal dari Toyota Production System (TPS) yang banyak digunakan, yang menitik beratkan pada penghilangan pemborosan dengan tujuan peningkatan kepuasan konsumen secara keseluruhan (McWilliam, 2008). Lean manufacturing mendorong terciptanya fleksibelitas pada sistem produksi sehingga mampu menyesuaikan dengan cepat terhadap kebutuhan pelanggan dengan sistem produksi yang ramping dan dengan persediaan yang rendah (Singgih&Tjiong, 2011). B. Perumusan Masalah Dalam persaingan yang semakin ketat, diharapkan PT XYZ dapat berproduksi secara efisien dan efektif dengan mengurangi pemborosan yang terjadi selama proses produksi dan menghasilkan produk yang tepat waktu dan berkualitas. Dengan demikian yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana mengurangi pemborosan dalam proses produksi Common Rail 4D54 dengan menggunakan pendekatan Lean Manufacturing. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pemborosan yang terjadi dalam proses produksi Common Rail 4D56. Selanjutnya dari hasil tersebut akan disusun alternatif-alternatif usulan tindakan yang mungkin dilakukan sehingga dapat memperpendek lead time produksi Common Rail 4D56. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini, diantaranya yaitu: 1. Dengan mengetahui pemborosan yang ada pada proses produksi Common Rail 4D56, diharapkan proses produksi akan lebih efisien. 2. Penurunan pemborosan yang terjadi dapat memperpendek lead time produksi, menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan produktivitas perusahaan. II. LANDASAN TEORI Pemborosan (waste) dapat didefinisikan sebagai segala aktivitas kerja yang tidak memberikan nilai tambah (non value added) dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang Value Stream Mapping. Berdasarkan perspektif lean, semua jenis pemborosan tersebut harus dihilangkan guna meningkatkan nilai produk atau jasa sehingga dapat meningkatkan customer value. Pada dasarnya dikenal dua kategori utama pemborosan, yaitu (Graban, (2009): 1. Type One Waste: Merupakan aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindarkan karena berbagai alas an seperti aktivitas inspeksi dan penyortiran. 2. Type Two Waste: Merupakan aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan dengan segera. Misalnya, menghasilkan produk cacat (defect) atau melakukan kesalahan (error) yang harus dapat dihilangkan dengan segera. Terdapat tujuh jenis pemborosan yang terjadi di dalam proses manufaktur, yaitu (Hines & Taylor, 2000): 1. Overproduction: Memproduksi lebih daripada kebutuhan pelanggan internal dan eksternal, atau memproduksi lebih cepat atau lebih awal daripada waktu kebutuhan pelanggan. 2. Delays (waiting time): Keterlambatan yang tampak melalui orang-orang yang sedang menunggu mesin, peralatan, bahan baku, suppliers, perawatan/pemeliharaan, dll; atau mesin yang sedang menunggu perawatan orang-orang, bahan baku, peralatan, dan lainlain. 3. Transportation: Memindahakan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari suatu proses ke proses berikutnya yang dapat mengakibatkan waktu penanganan material bertambah.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-132
Penerapan Lean Manufacturing Dalam Proses Produksi Common Rail 4D56
4. Processes: Mencakup proses-proses tambahan atau aktivitas kerja yang tidak perlu atau tidak efisien. 5. Inventories: Pada dasarnya inventories menyembunyikan masalah dan menimbulkan aktivitas penanganan tambahan yang seharusnya tidak diperlukan. Inventories juga mengakibatkan extra paperwork, extra space, dan extra cost. 6. Motions: Setiap pergerakan dari orang atau mesin yang tidak menambah nilai kepada barang dan jasa yang akan diserahkan kepada pelanggan, tetapi hanya menambah biaya dan waktu saja. 7. Defective Product: Produk cacat yang mengakibatkan rework, kerja ulang tidak ada nilai tambahnya. Adanya customer returns, customer dissatisfaction, dan banyak scrap juga merupakan bentuk defective product.
II. METODOLOGI Metodologi penelitian berisikan studi literatur, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan kesimpulan dari penelitian, seperti terlihat pada Gambar 1.
Mulai
Studi Literatur Mencari referensi yang mendukung perumusan masalah terkait : 1.Lean Manufacturing 2.Value Stream Mapping
Studi Lapangan Melakukan pengamatan langsung terhadap perusahaan yang ingin diteliti
Perumusan Masalah bagaimana Memetakan proses produksi Common Rail 4D56 dengan menggunakan Value Stream Mapping dan mereduksi pemborosan yang terjadi sehingga dapat mengurangi lead time produksi?
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan Merupakan data yang berkaitan dengan rangkaian proses yang dilalui dalam membuat produk Common Rail 4D56
A
Gambar 1 Metodologi Penelitian
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-133
Patrisina, Ramadhan
A
Pengolahan Data
Pembuatan Value Stream Mapping of Current Condition Memetakan alur produksi Common Rail 4D56 kondisi aktual
Pembuatan Value Sream Mapping Target Condition Memetakan alur produksi Common Rail 4D56 setelah dilakukan perbaikan
Analisis 1. Analisis Value Stream Mapping of Current Condition 2. Analisis Value Stream Mapping Target Condition
Penutup Kesimpulan dan Saran
Selesai
Gambar 1 Metodologi Penelitian (Lanjutan) Gambar 1 memperlihatkan tahapan penelitian sebagai berikut: 1. Studi Literatur: Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan referensi yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, seperti konsep lean manufacturing, value, waste, dan Value Steram Mapping (VSM). 2. Pengumpulan Data: Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian uni yaitu Observasi lansung terhadap objek yang diteliti, wawancara dengan staf dan operator, dan dokumentasi. 3. Pengolahan Data: Setelah dilakukan pengamatan dan pengumpulan data yang diperlukan, selanjutnya dilakukan: Pembuatan current condition mapping: VSM merupakan diagram terstruktur yang digunakan dalam melakukan pemetaan berkaitan dengan aliran produk dan informasi dari awal hingga akhir. Analisis terhadap alur produksi yang dilalui oleh material, kemudian ditentukan bagian yang tergolong ke dalam pemborosan dan dapat dieliminasi sehingga lead time produksi Common Rail 4D56 dapat berkurang. Pembuatan future condition mapping Future condition mapping merupakan pemetaan aliran produk dan informasi dari awal hingga akhir, dimana bagian yang tergolong pemborosan telah dieliminasi. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-134
Penerapan Lean Manufacturing Dalam Proses Produksi Common Rail 4D56
4. Analisis: Analisis dilakukan terhadap current condition yang dibuat sesuai dengan dengan keadaan aktual lini produksi Common Rail 4D56, serta analisis terhadap Future Condition. 5. Penutup: Berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
III. HASIL DAN ANALISIS Future Condition Mapping merupakan kondisi setelah dilakukan perbaikan terhadap Current Condition Mapping. Perbaikan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi lead time produksi Common Rail 4D56. Usulan perbaikan proses produksi Common Rail 4D56, diantaranya yaitu: 1. Re-Layout: Berdasarkan pengamatan terhadap current condition, khususnya tata letak departemen Chamfer Grinding berkontribusi terhadap waste transportasi dan waiting. a. Transportasi Kegiatan produksi pada area ini memiliki urutan yaitu: cutting - chamfer grinding - heating - forging – trimming (proses heating, forging, trimming merupakan satu kesatuan proses) sedangkan susunan layout-nya yaitu heating - forging - trimming cutting - chamfer grinding. Berdasarkan layout saat ini, terlihat bahwa terjadi backtracking dalam proses pembuatan Common Rail 4D56, yaitu dari proses chamfer grinding ke heating, yang melewati stasiun kerja cutting. Jika dilakukan re-layout, yaitu dengan menempatkan chamfer grinding antara cutting dan trimming, maka diharapkan akan dapat memperbaiki aliran material: mengurangi backtracking dan memperpendek jarak perpindahan material di lantai produksi. Dengan demikian waktu transportasi dapat dikurangi, dari 217 detik dengan menggunakan forklift menjadi 30 detik dengan menggunakan handtruck, dan secara simultan juga memperpendek lead time produksi Common Rail 4D56. Disamping itu ketergantungan kepada forklift juga menjadi berkurang sehingga waktu produk menunggu material handling untuk dipindahkan dapat dikurangi. Penambahan material handling jenis handtruck ini tidak membutuhkan biaya mahal namun efektif untuk mengurangi lead time produksi. b. Waiting Terdapat banyak tumpukan awal material yang menunggu untuk diproses di chamfer grinding. Cycle time (CT) pada proses chamfer grinding adalah enam kali lebih lama (12 detik) dibanding CT pada proses cutting (2 detik). Dengan pertimbangan bahwa perusahaan menerapkan pull system dan menggunakan kanban produksi dalam kegiatan produksinya, maka dengan perbedaan CT yang cukup besar antara dua proses yang berurutan diperlukan penyesuian ukuran kanban produksi pada produksi Common Rail 4D56. Dengan demikian proses produksi menjadi lebih seimbang dan jumlah work in process (WIP) dapat dikurangi. Selanjutnya, dengan berkurangnya jumlah WIP maka kebutuhan akan extra space untuk tumpukan material awal pada proses chamfer grinding dapat diminimalisir. Disamping menunggu untuk diproses, pada departemen ini juga sering terjadi material selesai diproses menunggu untuk dipindahkan. Situasi tersebut disebabkan karena utilitas material handling (forklift) yang sangat tinggi sehingga pada saat dibutuhkan sering tidak available. Dengan demikian, akan memperpanjang lead time produksi. 2. Melakukan penyesuaian ukuran kanban produksi: Saat ini, ukuran lot produksi adalah 200 unit. Ukuran lot yang besar mengakibatkan banyaknya jumlah tumpukan WIP baik diawal maupun diakhir proses, dan ini mengakibatkan ukuran stasiun kerja menjadi lebih luas karena dibutuhkan extra space untuk menumpuk WIP tersebut. Disamping itu, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu lot produksi juga akan lama sehingga memperpanjang lead time produksi Common Rail 4D54. Sebaiknya ukuran lot produksi dibuat sekecil mungkin, dan idealnya adalah satu unit. Dengan demikian produk yang selesai diproses pada suatu mesin dapat segera dipindahkan untuk segera diproses di mesin berikutnya, dan tidak terdapat/hanya sedikit tumpukan diakhir proses.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-135
Patrisina, Ramadhan
3. Merubah bentuk lantai di gerbang area shot blasting: Area shot blasting memiliki dua gerbang, namun hanya satu gerbang yang dapat dilewati forklift karena kondisi lantai yang tidak memungkinkan untuk dilewati forklift. Sedangkan sebagian besar perpindahan material dari dan ke area shot blasting menggunakan forklift. Pada current condition, waktu transportasi dari proses shot blasting ke proses berikutnya (visual check) membutuhkan waktu 120 detik karena forklift harus bergerak memutari area shot blasting untuk keluar dan masuk. Jika bentuk lantai pada gerbang yang tidak dapat dilewati saat ini diubah sehingga memungkinkan forklift untuk lewat, maka dapat menghemat waktu transportasi dari area shot blasting ke area visual check dan sebaliknya sebesar 50%, yaitu menjadi 60 detik.
IV. PENUTUP Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, yaitu: 1. Terdapat beberapa jenis pemborosan dalam proses produksi Common Rail 4D56, diantaranya yaitu waiting, inventory, dan transportasi. Waiting yaitu material menunggu untuk dipindahkan ke proses berikutnya karena terbatasnya jumlah material handling (forklift) dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu lot produksi. Inventory terjadi karena ukuran kanban produksi yang besar dan processing time antara suatu proses (contoh: cutting) dengan proses berikutnya (chamfer grinding) tidak seimbang. Pemborosan transportasi terjadi karena adanya backtracking dari chamfer grinding ke heating yang melewati proses cutting dan rute yang panjang antara shot blasting dan visual check. 2. Alternatif usulan perbaikan untuk mengurangi pemborosan pada produksi Common Rail 4D54 sehingga dapat memperpendek leadtime produksi, diantaranya yaitu menyesuaikan ukuran kanban produksi dengan mempertimbangkan cycle time antar proses yang berurutan, re-layout departemen chamfer grinding sehingga mengurangi waktu transportasi sebesar 80%, penambahan material handling jenis handtruck, memperbaiki jalur transportasi dari proses shot blasting ke proses visual check.
DAFTAR PUSTAKA Daonil, 2012, Implementasi Lean Manufacturing Untuk Eliminasi Waste Pada Lini Produksi Machining Cast Wheel Dengan Menggunakan Metode WAM dan VALSAT, Thesis Magister tidak dipublikasi, Depok: Universitas Indonesia. Graban, M., 2009, Peningkatan Kualitas, Keselamatan Pasien, dan Kepuasan Pekerja, terjemahkan Dibyo Pramono, Jakarta: Balai Pustaka. Haryono, 2015, “Analisis Penerapan Lean Manufacturing untuk Menghilangkan Pemborosan di Lini Produksi PT Adi Satria Abadi”, Jurnal Rekayasa Sistem Industri, Vol. 4 No.1, hlm 48. Hines, P., 2000, Value Stream Management: Strategy and Excellence in The Supply Chain, London: Prentice Hall. Hines, P. & Taylor, D., 2000, Going Lean, Lean Enterprise Research Center, United Kingdom: Cadiff Business School. McWilliams, D. L. & Tetteh, E. G., 2008, “Value Stream Mapping to Improve Productivity in Transmission Case Machining”, Proceedings of Industrial Engineering Research Conference, Purdue University. Singgih, M. L., & Tjiong, W., 2011, “Perbaikan Sistem Produksi Divisi Injection Dan Blow Plastik”, Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi Xiii, Doi:978-602-97491-2-0. Taufik, K, 2012, Perancangan Lean Manufacturing dengan Metode VALSAT pada Line Produksi Drum Brake Type IMV (Studi Kasus: PT. Akebono Brake Astra Indonesia, Skripsi tidak dipublikasi, Depok: Universitas Indonesia.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-136
Petunjuk Sitasi: Henmaidi, & Zamer, A. (2017). Impelemetasi Manajemen Risiko di Departemen Tambang PT. Semen Padang. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C137-142). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Impelemetasi Manajemen Risiko di Departemen Tambang PT Semen Padang Henmaidi (1), Alwedria Zamer (2) (1), (2) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang (1) [email protected], (2)[email protected] ABSTRAK Manajemen risiko merupakan salah satu tool yang banyak digunakan oleh perusahaan dalam menjaga keberlangsungan operasional perusahaan pada jangka panjang. Hal tersebut juga perlu dilakukan pada perusahaan tambang seperti PT Semen Padang. Penelitian ini adalah upaya untuk merumuskan strategi manajemen risiko yang perlu dilakukan pada PT Semen Padang, khususnya di Departemen Tambang. Framework yang digunakan adalah berbasiskan ISO 31000. Langkah manajemen risiko diawali dengan penetapan kontes, penilaian dan analisis atas risiko dan dilanjutkan dengan pendalaman atas event risiko untuk merumuskan strategi penanganannya. Berdasarkan tahapan penelitian yang dilakukan didapatkan 30 potensi risiko yang dapat mempengaruhi kelangsungan operasional Departemen Tambang PT. Semen Padang. Di antara risiko-risiko tersebut, risiko yang paling kritis atau yang perlu diprioritaskan penanganannya adalah gangguan atas pasokan sumber bahan baku batu kapur dan silika. Mitigasi risiko yang dirumuskan meliputi penanganan lebih baik atas rental alat berat, penanganan penambangan batu kapur dan silika di pit limit dan percepatan penyiapan area tambang baru. Keywords: tambang, risiko, manajemen risiko, ISO 31000, mitigasi risiko
I. PENDAHULUAN PT Semen Padang merupakan salah satu industri yang memproduksi semen di Indonesia. Proses produksi dimulai dari kegiatan penambangan batu kapur dan batu silika, hingga pengepakan semen di packing plant. Proses penambangan dilakukan di bukit Karang Putih yang terletak tidak jauh dari lokasi pabrik. Target produksi disusun dengan ketat agar penambangan dapat memenuhi kebutuhan pabrik. Namun banyak kejadian atau potensi risiko yang mungkin terjadi dan menghambat tujuan yang akan dicapai oleh perusahaan. Risiko tersebut antara lain risiko dalam proses penambangan, risiko kerusakan alat, risiko kecelakaan kerja, dan berbagai risiko lainnya. Semua risiko tersebut merupakan ketidakpastian yang mungkin terjadi pada proses penambangan. Untuk mengurangi potensi kejadian risiko tersebut, maka diperlukan aktifitas Manajemen Risiko (Pramana, 2011). Secara umum tujuan manajemen risiko adalah meminimasi dan mengatasi terjadinya risiko dan pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan. Penanganan dan pengelolaan terhadap kemungkinan risiko yang terjadi pada Departemen Tambang PT Semen Padang dapat dimulai dengan melakukan pengukuran terhadap risiko dengan beberapa tahapannya yaitu identifikasi risiko, dan penentuan strategi mitigasi terhadap risiko yang mungkin terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk untuk mengkaji dan merumuskan strategi penangan risiko yang perlu dilakukan pada Departemen Tambang PT Semen Padang. Dalam kajian ini ISO 31000 digunakan sebagai framework metode kerja (Susilo dan Victor, 2011). Langkah manajemen risiko mengikuti framework tersebut yakni: penetapan kontes, penilaian dan analisis atas risiko dan pendalaman atas event risiko untuk menentukan strategi mitigasinya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-137
Henmaidi, Zamer
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Risiko Hanafi (2009) menyatakan kondisi dunia bisnis selalu penuh dengan ketidakpastian. Risiko datang tanpa terduga dan sulit untuk dihindari. Sejalan dengan hal tersebut, maka perusahaan perlu berinisiatif untuk mengelola risiko yang diperkirakan dapat muncul dengan sebaik mungkin. Risiko dapat terjadi kapan saja dalam berbagai bentuk. Jika perusahaan tidak mampu mengelola risiko tersebut dengan baik maka perusahaan terancam menerima kerugian. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut pada literatur antara lain: Bradley (2011), Darmawi (2006) dan Fahmi (2010) B. Definisi Manajemen Risiko Definisi manajemen risiko adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana penerapan ukuran dalam berbagai penyelesaian masalah yang ada dengan pendekatan manajemen secara terstruktur untuk sebuah organisasi atau perusahaan. C. Pengelolaan Risiko Pada prinsipnya risiko akan senantiasa terjadi. Dalam menanggulangi risiko tersebut terdapat beberapa metode yang bisa dilakukan yaitu (Siamat,1999) (1) Risk Avoidance (2) Risk Reduction (3) Risk Transfer (4) Risk Retention (5) Risk Sharing. Manajemen risiko dengan menggunakan pendekatan ISO 31000 dalam Komite Nasional Kebijakan Governance (2011) dan Andhika (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan pada proses manajemen risiko yaitu: Penentuan konteks: Tahapan awal dalam nanajemen risiko adalah penentuan konteks. Hal ini dipelukan untuk memberikan batasan sampai di mana proses-proses selanjutnya akan dilakukan. Hal ini selanjutnya diikuti dengan mengidentifikasi risiko, menentukan ruang lingkupnya, tujuan dalam penerapan manajemen risiko serta hal-hal yang mungkin terjadi sehingga dapat membatasi hasil yang diharapkan. Penetapan konteks ini merupakan proses untuk mengidentifikasi parameter dasar dalam pengelolaan manajemen risiko sehingga dapat diketahui bagian mana yang akan dijadikan peninjauan dan pihak mana saja yang terkait di dalamnya berdasarkan flow proses dalam pengamatan. Penilaian Risiko: Setelah konteks manajemen risiko ditetapkan, selanjutnya dilakukan penilaian risiko. Pada tahapan ini setiap potensi risiko yang teridentifikasi dianalisis dan dinilai.Tahapan dalam penilaian risiko ini terbagi atas (1) Identifikasi risiko, (2) Analisis risiko, (3) Evaluasi risiko. Perlakuan Risiko: Dalam mengatasi permasalahan yang sesuai dengan konteks risiko dapat dilakukan dengan mitigasi risiko yaitu melakukan perlakuan risiko untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko dan akibat dari risiko, atau mengurangi kemungkinan terjadinya dan dampak yang ditimbulkanya. Monitoring dan Review: Dalam memastikan bahwa seluruh tahapan proses dan fungsi manajemen risiko berjalan dengan baik dilakukan dengan monitoring dan review. Pemantauan rutin terhadap kondisi aktual proses manajemen risiko dibandingkan dengan rencana atau harapan disebut dengan monitoring. Sedangkan tidakan review dilakukan dengan peninjauan atau pengkajian berkala atas kondisi saat ini dan dengan fokus tertentu. Komunikasi dan konsultasi: Tujuan dari komunikasi dan konsultasi ini adalah untuk memperoleh informasi yang relevan serta mengkomunikasikan setiap tahapan manajemen risiko sehingga setiap pihak-pihak terkait dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik sesuai dengan yang telah ditetapkan. III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sistematis yang diawali dengan pengenalan situasi dengan survey pendahuluan dan studi literatur. Survey pendahuluan dilakukan untuk memahami proses bisnis yang terjadi pada perusahaan serta objek penelitian. Selanjutnya SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-138
Impelemtasi Manajemen Risiko Di Departemen Tambang PT Semen Padang
dilakukan penentuan konteks manajemen risiko. Proses ini dilakukan dengan pengamatan pada objek penelitian serta diskusi dengan personil kunci pada Departemen Tambang. Selanjutnya dilakukan proses identifikasi risiko, pengumpulan data serta analisis terhadap risiko . Tahapan berikutnya adalah penilaian atas risiko yang telah diidentifikasi pada tahap sebelumnya. Aktifitas ini diikuti dengan analisis atas event risiko serta memilih risiko yang diprioritaskan penanganannya. Proses ini dilakukan melalui diskusi wawancara mendalam besama staf kunci pada departemen ini. Hasil aktifitas tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut untuk merumuskan strategi penanganan atas risiko yang diprioritaskan tersebut.
IV. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA A. Penentuan Konteks Pada tahap penentuan konteks ini, dilakukan kajian tentang ruang lingkup risiko yang akan dianalisis. Pada penelitian ini konteks yang akan dibahas adalah manajemen risiko tambang pada PT Semen Padang. Untuk menentukan ruang lingkup penambangan pada PT Semen Padang ini akan dikaji terlebih dahulu tentang proses bisnisnya. Secara umum, aliran proses produksi pada Departemen Tambang pada PT Semen Padang adalahdiawali dengan pembersihan area, penegoran untuk memasukkan bahan peledak, peledakan, loading dan hauling dengan menggunakan alat berat, proses crushing, conveying dan penyimpanan. 1) Mengidentifikasi Risiko Identifikasi risiko pada Departemen Tambang dilakukan berdasarkan sumber risiko yang dapat dilihat pada Tabel 1 serta dari kejadian di PT Semen Padang pada masa sebelumnya yang diperoleh dari hasil diskusi dengan pihak risk officer Departemen Tambang. Tabel 1. Potensi Sumber risiko
pada Departemen Tambang
2) Analisis Risiko Tahapan analisis terhadap risiko yang telah diidentifikasi dilakukan dengan menggunakan metode analisis Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Hasil dari FMEA ini dapat mengungkap lebih dalam tentang penyebab dan dampak kemunculan risiko, deteksi yang mampu dilakukan perusahaan serta upaya dalam mencegah munculnya risiko. Proses analisis ini dilakukan dengan wawancara dan diskusi dengan pihak risk officer Departemen Tambang. Dari tahap ini didapatkan nilai Risk Priority Number (RPN) yang menunjukkan prioritas risiko yang dijadikan dasar perumusan konteks risiko dalam perumusan strategi pengendalian risiko (Villacourt, 1992). Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-139
Henmaidi, Zamer
Gambar 1. Peta Perlakuan risiko
Dari hasil analisis FMEA menunjukkan bahwa risiko yang memiliki skor RPN tinggi yang menjadi dasar dalam menentukan risiko yang diprioritaskan adalah risiko dengan kode R6 (Terganggunya pasokan batu kapur dan silika) dengan skor 40. Matriks penilaian risiko menunjukkan bahwa risiko yang perlu diprioritaskan dengan mempertimbangkan wilayah risiko yang lebih kritis ini. Berdasarkan hasil analisis risiko dari peta perlakuan risiko menunjukkan bahwa R6 (Terganggunya pasokan batu kapur dan silika) berada pada wilayah prevent at source seperti pada Gambar 1. Untuk ini perusahaan perlu melakukan penanganan yang agresif dan segera dalam upaya meminimumkan kemunculan risiko. B. Penilaianatas Rrisiko yang Diprioritaskan Tahapan yang dilakukan selanjutnya adalah penilaian risiko. Penilaian risiko ini dilakukan untuk pengkajian lebih lanjut terhadap risiko yang terjadi mulai dari identifikasi risiko untuk mengetahui apa, dimana, kapan, bagaimana, dan mengapa risiko tersebut dapat terjadi. Kemudian dilakukan pengkajian risiko dengan menganalisis kemunculan risiko serta mengevaluasi risiko untuk memahami karakteristik risiko dengan lebih baik. Penilaian risiko yang dilakukan pada tahap ini adalah terhadap risiko kritis yang memiliki tingkat risiko tinggi. Hasil perumusan konteks risiko menunjukkan bahwa risiko yang diprioritaskan adalah risiko terganggunya pasokan batu kapur dan silika. Risiko tersebut akan dikaji lebih mendalam dengan pendekatan kerangka kerja ISO 31000 yang dimulai dari penilaian risiko (identifikasi, analisis dan evaluasi risiko ) hingga dilakukanya perlakuan risiko. 1) Identifikasi Event Risiko Identifikasi Event Risiko dilakukan dari risiko kritis yaitu risiko Terganggunya pasokan batu kapur dan silika. Identifikasi Event risiko dilakukan berdasarkan diskusi dan wawancara dengan pihak risk officer.Verifikasi Event risiko ini dilakukan wawancara terhadap pihak risk officer Departemen Tambang dan tidak dilakukan dengan penilaian terhadap kuisioner dikarenakan event risiko tersebut dapat dikaji berdasarkan data dan judgement dari pihak risk officer. Hasil identifikasi Event risiko terganggunya pasokan batu kapur dan silika (R06) diperoleh 5 Event. 2) Analisis Event risiko Analisis Event risiko merupakan upaya untuk memahami risiko yang diprioritaskan lebih mendalam berdasarkan seberapa besar event-event untuk setiap risiko yang diprioritaskan tersebut berkontribusi mempengaruhi risiko kritis berdasarkan data historis yang mendukung untuk Event risiko yang diprioritaskan tersebut. Hasil analisis yang dilakukan berupa keputusan terhadap Event risiko yang memiliki tingkat risiko tinggi yang diprioritaskan untuk diberi respon atau
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-140
Impelemtasi Manajemen Risiko Di Departemen Tambang PT Semen Padang
tindakan mitigasi dalam upaya meminimasi kemunculan risiko sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi dari dampak risiko. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat risiko untuk setiap Event risiko kritis, maka tahapan selanjutnya adalah menginterpretasikannya ke dalam matriks penilaian risiko untuk mengetahui profil Event risiko setiap yaitu Event risiko Matriks penilaian risiko terhadap Event risiko disajikan pada Gambar 2. LIKELIHOOD
1
2
SEVERITY 3
4
5
1 2
5
3
3,4
4
1
2
5
Gambar 2. Matriks Penilaian Event risiko Terganggunya Pasokan Batu Kapur dan Silika
Berdasarkan matriks penilaian Event risiko yang disajikan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa Event risiko yang berhubungan dengan risiko terganggunya pasokan batu kapur dan silika berada di area extreme (merah), high (orange) dan medium (kuning). Event risiko yang akan dibahas selanjutnya adalah yang berada pada daerah tertinggi yaitu Event 1, 2, 3, dan 4. Event risiko yang diprioritaskan tersebut merupakan Event risiko yang memberikan kontribusi besar terhadap kemunculan risiko yang diprioritaskan sehingga dengan dilakukan tindakan mitigasi terhadap Event risiko yang diprioritaskan tersebut maka risiko tersebut dapat di tangani. Berkurangnya lahan persediaan batu kapur merupakan Event risiko yang cukup kritis untuk di bahas lebih lanjut. Batu kapur merupakan bahan yang sangat penting untuk memproduksi semen. Dan jika terjadi masalah terhadap keberadaan batu kapur ini akan berdampak terhadap perusahaan secara keseluruhan.
C. Perlakuan Risiko Perlakuan risiko ini dilakukan terhadap risiko yang diprioritaskan dengan menentukan alternatif perlakuan atau respon risiko. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2011), alternatif perlakuan atau respon risiko dibagi menjadi 4 alternatif, yaitu (1) Menghindari risiko (risk avoidance), (2) Berbagi risiko (risk sharing/transfer), (3) Mitigasi (mitigation), (4) Menerima risiko (risk acceptance). Berdasarkan penilaian risiko yang telah dilakukan terhadap Event-event risiko terganggunya pasokan batu kapur dan silika maka tahapan selanjutnya adalah merespon/mengendalikan Event risiko yang perlu diprioritaskan untuk dilakukan mitigasi risiko dalam upaya mengurangi frekuensi kejadian risiko tersebut. Tingkat likelihood dan severity untuk setiap Event risiko yang digunakan sebagai input untuk peta perlakuan Event risiko. Peta perlakuan Event risiko terganggunya pasokan batu kapur dan silika disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Perlakuan Event risiko terganggunya Pasokan Batu Kapur dan Silika SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-141
Henmaidi, Zamer
Dari peta perlakuan Event risiko di atas dapat dilihat bahwa Event berada pada kuadran Event at source dan detect and monitor, Event risiko ini perlu diprioritaskan untuk ditindaklanjuti dengan merekomendasikan tindakan mitigasi risiko. Rekomendasi tindakan mitigasi risiko untuk risiko yang diprioritaskan adalah: 1). Rental excavator untuk pengelolaan cek dan sesuai kebutuhan, 2). Menyegerakan penambangan batu kapur dan silika di Pit Limit, 3). Merealisasikan percepatan relokasi penambangan di 412 Ha, 4). Optimalisasi cadangan dengan mine planning di area 206, 5). Tambahan operator dan personil pemeliharaan untuk meningkatkan utilisasi dan kehandalan alat, 6). Optimalisasi plan maintenance untuk menjaga serta meningkatkan availability V. PENUTUP Risiko yang terjadi pada Departemen Tambang PT Semen Padang dapat dikelompokkan kedalam lima kategori risiko yang terdiri dari risiko K3 dan kelalaian manusia, risiko produksi, risiko mesin dan peralatan, risiko lingkungan, dan risiko eksternal. Dari bagian tersebut diperoleh 42 jenis risiko yang mungkin terjadi dan terdapat 30 risiko yang dibahas selanjutnya pada Departemen Tambang PT Semen Padang. Dari analisis risiko yang telah dilakukan, risiko tertinggi yang didapatkan pada Departemen Tambang PT Semen Padang adalah risiko terganggunya pasokan batu kapur dan silika dengan kode R6 yang berada pada level high dengan tingkat risiko 16 dan skor RPN 40. Pada risiko ini terdapat lima Event risiko, yaitu tingginya waste material pada lahan batu kapur, berkurangnya lahan persediaan batu kapur, realisasi penambangan batu kapur tidak sesuai dengan target produksi, realisasi penambangan batu silika tidak sesuai dengan target produksi dan batu kapur yang tertambang tidak semuanya bisa dipakai. Strategi mitigasi risiko yang diprioritaskan adalah Event risiko berkurangnya lahan persediaan batu kapur (Event 2) yang berada pada level extreme, tingginya waste material pada lahan batu kapur (Event 1) yang berada pada level high, realisasi penambangan batu kapur tidak sesuai dengan target produksi (Event 3) yang berada pada level hight dan realisasi penambangan batu silika tidak sesuai dengan target produksi (Event 4) yang berada pada level high. DAFTAR PUSTAKA Andhika, I.M. 2011, Implementasi ISO 31000 Sebagai IT Risk Management pada PT. Bank Mandiri, TBK. Majalah Ilmiah UNIKOM. Vol. 10, No.1. 23-34. Bradley, G.,2011,A Guide to Risk Management. (Paper), The State of Queensland (Queensland Treasury), Australia.www.treasury.qld.gov.au/office/knowledge/docs/risk-managementguide/ guide-to-riskmanagement.pdf. Darmawi, H., 2006, Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara. Fahmi, I., 2010, Manajemen Risiko (Teori, Kasus,dan Solusi) Edisi I. Bandung: Alfabeta. Hanafi, M.M., 2009, Manajemen Risiko. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN : Yogyakarta. International Standard Organisation, 2009, “ISO 31000: Risk Management – Principles and Guidelines”, 1st Edition, International Standard, Switzerland. www.iso.org/iso/catalogue_detail.htm?csnumber=43170. Pramana, T., 2011, Manajemen Risiko Bisnis. Jakarta: Sinar Ilmu Publishing. Susilo, L. J. dan Victor, R.K., 2011, Manajemen risiko Berbasis ISO 31000 untuk Industri Non Perbankan. Jakarta: PPM. Villacourt, M., 1992, Failure Mode and Effects Analysis (FMEA): A Guide for Continuous Improvement for the Semiconductor Equipment Industry. International SEMATECH Technology Transfer. 30 September 1992. Austin, 1 - 25.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-142
Petunjuk Sitasi: Prisilia, H., & Purnomo, D. A. (2017). Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C143149). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi (1), (2)
Herliwanti Prisilia(1), Dimas Aji Purnomo(2) Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Jl Adi Sucipto no.26, Banyuwangi, Jawa Timur (1) [email protected]
ABSTRAK Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Sebuah proyek konstruksi dalam pelaksanaan memiliki tujuan khusus. Tujuan tersebut terpenuhi bila ditentukan batasan yaitu besar biaya yang dialokasikan, jadwal dan mutu yang harus dipenuhi. Kendala maupun kegagalan konstruksi sering terjadi saat pelaksanaan proyek konstruksi. Kegagalan konstruksi dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas dari pekerja dan juga perencanaan proyek yang kurang matang. Kurangnya perencanaan yang baik merupakan faktor yang berpengaruh pada terlambatnya proses konstruksi. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan pendekatan konsep lean dalam perencanaan proyek yang bertujuan untuk meminimalisir waste dan mengidentifikasi resiko yang ada pada proyek pembangunan gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi. Permasalahan dan tujuan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana mengidentifikasi dan mengurangi waste serta identifikasi resiko berdasarkan waste pada proyek konstruksi pembangunan gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi dengan menggunakan konsep lean. Dengan menggunakan pendekatan konsep lean diketahui waste yang sering tejadi adalah waiting dan defect. Dimanal waste tersebut menyebabkan terjadinya resiko dan dari hasil perhitungan dengan metode FMEA, indikator penilaian resiko terbesar dengan nilai 50 adalah faktor Acts of God dan natural hazard. Kata kunci— Konsep lean, resiko, waste
I. PENDAHULUAN Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Sebuah proyek konstruksi dalam pelaksanaan memiliki tujuan khusus. Tujuan tersebut terpenuhi bila ditentukan batasan yaitu besar biaya yang dilokasikan, jadwal dan mutu yang harus dipenuhi. Kendala maupun kegagalan konstruksi sering terjadi saat pelaksanaan proyek konstruksi. Kegagalan konstruksi dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat produktifitas dari pekerja dan juga perencanaan proyek yang kurang matang. Kegagalan atau masalah yang sering terjadi di proyek adalah sering terjadinya ketidaksesuaian antara rencana awal dengan realisasi yang ada dalam pelaksanaan proyek. Walaupun kegagalan tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi jika berlangsung dengan terus menerus dan intensitas yang sering maka akan terakumulasi pada akhir proyek misalnya dalam bentuk keterlambatan pelaksanaan proyek dari jadwal yang sudah ditentukan maupun kenaikan anggaran biaya dari awal yang sudah direncanakan.Hal tersebut dinamakan dengan waste (pemborosan) yaitu segala sesuatu di dalam proyek yang tidak menambah nilai tetapi sebaliknya justru menambah biaya. Kurangnya perencanaan yang baik merupakan faktor yang berpengaruh pada terlambatnya proses konstruksi. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan pendekatan konsep lean dalam perencanaan proyek yang bertujuan untuk meminimalisir waste dan mengidentifikasi resiko yang ada pada proyek pembangunan gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi (Leach, 2005).
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-143
Prisilia, Purnomo
Permasalahan dan tujuan yang di fokuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana mengidentifikasi dan mengurangi waste serta identifikasi resiko berdasarkan waste pada proyek konstruksi pembangunan gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi dengan menggunakan konsep lean (Hines dan Taylor, 2000). Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai masukan dan bahan evaluasi kepada pihak menajemen bahwa pendekatan dengan menggunakan konsep lean pada proyek pembangunan dapat di gunakan sebagai solusi untuk mengatasi keterlambatan pembangunan dan mengidentifikasi resiko (Archia, 2013; Artika, 2014). II. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang di gunakan dalam penelitian dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. Obyek pada penelitian ini adalah proyek pembangunan SMUN 1 Giri Banyuwangi. Tahapan yang dilalukan dalam penelitian ini meliputi : A. Pemetaan Aktvitas Kerja Pemetaan aktivitas kerja yang dilakukan pada tahap ini adalah melalui pengelompokan aktivitas-aktivitas proyek dengan menggunakan Work Breakdown Sructure (WBS).Dalam WBS dilakukan pembreakdownan aktivitas dari proyek secara utuh hingga ke subderivabel paling rendah. B. Identifikasi Waste Setelah diketahui aktivitas proyek selanjutnya dilakukan identifikasi waste yang terdapat pada proyek dengan melakukan wawancara pada pihak pelaksana proyek.Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa waste yang terjadi pada proyek adalah waste waiting dan defect. C. Root Cause Analysis (RCA) Setelah waste diketahui, tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya waste dengan menggunakan metode RCA. Langkah selanjutnya setelah faktor penyebab waste diketahui diolah dalam formulasi if then agar dapat diketahui tindakanatau solusi yang dapat ditempuh untuk meminimalisir terjadinya waste.Untuk faktor yang memiliki lebih dari satu solusi dilakukan matriks evaluasi yang pada akhirnya akan dihasilkan rekomendasi untuk meminimalisir atau menghilangkan waste. D. Identifikasi Resiko
Proses identifikasi risiko dilakukan dengan cara teknik survey, brainstorming dengan expert, literatur review.Faktor-faktor yang diidentifikasi menyangkut faktor ekternal maupun faktor internal untuk mengetahui sumber-sumber resiko dan indikatornya.Adapun wawancara dan brainstorming dilakukan dengan pihak pelaksana proyek. E. Risk Priority Number (RPN) Setelah sumber resiko dan indikatornya diketahui, dilakukan langkah perhitungan RPN untuk penilaian resiko dengan pelakukan pengisian form penilaian resiko dengan menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Jika peristiwa resiko telah dikenali dan di beri nilai maka langkah berikutnya adalah membuat keputusan untuk merespon dengan tepat peristiwa tersebut dengan membuat matriks respon resiko berikut analisa resikonya. F. Kesimpulan Setelah melakukan perhitungan RPN dengan metode FMEA,selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan.Penarikan kesimpulan adalah jawaban dari tujuan penelitian, yang pada akhirnya dapat diberikan saran dan masukan terkait waste dan resiko yang terjadi pada proyek pembangunan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi dan Analisa Waste Identifikasi waste yang ada pada penelitian ini adalah8 macam waste menurut Womack dan Jones (1996). Dari 8 waste yang telah diidentifikasi pada Tabel 1 yang merupakan perbandingan bentuk-bentuk waste proses manufaktur dan proyek konstuksi (Hapsari, 2011).
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-144
Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko Pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi
Waste
Tabel 1. Perbandingan Bentuk 8 Waste Dalam Manufaktur Dan Konstruksi Manufaktur Proyek konstruksi
Defect
Terjadinya cacat atau penurunan kualitas output
Overproduction
Produksi berlebihan dibandingkan demand Adanya personel atau material yang tidak aktif dslam waktu yang lama.
Waiting
Unappropriate procesing
Peralatan atau mesin yang tidak sesuai
Unnecessary motion
Adanya gerakan yang tidak perlu
Excessive transportation
Adanya perpindahan transportasi yang berlebihan
Unnecessary inventory
Efek dari overproduction yang menyebabkan meningkatnya inventory finished good dan sisa material yang berlebih Design barang yang tidak sesuai dengan design awal produk
Design barang atau jasa yang tidak memuaskan
Material yang masih di butuhkan mengalami kerusakan akibat kesalahan proses pemasangan , pembuatan atau penyimpanan. Repair atau rework bangunan Menunggu material , peralatan, dan pekerja datang Menunggu peralatan yang diperbaiki Cuaca tidak mendukung untuk melakukan aktifitas Menunggu interuksi dari pimpinan lapangan Peralatan atau prosedur pekerjaan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Pergerakan pekerja yang tidak produktif (berpindah, mencari, dan berjalan) Perpindahan aliran fisik material yang terlalu berlebihan Menyediakan material yang lebih dari kebutuhan
Design bangunan yang tidak sesuai dengan permintaan pelanggan
Identifikasi waste diolah dengan menggunakan metode Root Cause Analysis (RCA). Identifikasi waste berdasarkan waste yang paling berpengaruh dan berpotensi terjadi pada proyek. Berdasarkan hasil wawancara dengan PT. Rajek Wesi sebagai pelaksana proyek dan juga dengan hasil observasi di lapangan, waste yang paling berpotensi muncul pada proyek yang di teliti adalah waiting dan defects. Adapun faktor-faktor penyebab waiting pada proyek ini dijelaskan pada Tabel 2. Dari penyebab muculnya waste tersebut kemudian diolah dalam formulasi if then untuk mengetahui tindakn-tindakan yang dapat di tempuh untuk meminimalisir atau menghilangkan waste, yang dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dirumuskan solusi tindakan untuk penyebab terjadinya waste. Untuk penyebab yang memiliki lebih dari satu solusi dan di implomentasikan pada saat yang sama di olah dalam matriks evaluasi untuk mendapatkan solusi terbaik. Tabel 2. RCA Waste
Waiting
Sub waste
Menunggu Material datang
Why 1
Keterlambatan pengiriman material/mesin
Why 2
Tidaktepatnya jadwal pengiriman material
Why 3
Kurangnya koordinasi/komun ikasi dengan penyedia material
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-145
Why 4
Why 5
Ketidaktepatan dalam pemesanan material Adanya perubahan material
Material tidak sesuai dengan pemesanan
Prisilia, Purnomo
Waste
Waste
Sub waste
Why 1
Why 2
Why 3
Menunggu turunnya dana proyek
Keterlambatan penurunan dana proyek
Pengajuan dana belum di setujui
Kurangnya koordinasi/komun ikasi dengan pihak penyandang dana
Menunggu cuaca normal
Cuaca yang tidak mendukung (Cuaca buruk)
Menunggu alat/mesin di perbaiki
Kurangnya pemeliharaan terhadap alat/mesin
Tidak adanya jadwal yang teratur dalam pemeliharaan alat/mesin
Sub waste
Why 1
Why 2
Why 3
Alat/mesin rusak
Kurangnya pemeliharaan terhadap alat/mesin
Tidak adanya jadwal yang teratur dalam pemeliharaan alat/mesin
Kesalahan proses dalam pemasangan, pembuatan/penyi mpanan
Kurangnya pengawasan
Why 4
Why 5
Why 4
Why 5
Cuaca buruk Kualitas hasil bangunan kurang baik
defect
Kualitas material yang tidak sesuai
Tabel 3. Identifikasi waste dengan formulasi if then If Keterlambatan Datangnya Material Keterlambatan penurunan dana
Cuaca buruk
Alat sering rusak
CONTROLING WASTE Then Melakuakan pekerjaan lainnya yang tidak menggunakan material yang datang terlambat
Menggunakan dana talangan
When Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan
Mengajukan surat keterlambatan pengerjaan
Saat Pelaksanaan
Melakukan percepatan pekerjaan saat cuaca kembali normal
Saat Pelaksanaan
Melakukan perbaikan dan perawatan alat secara teratur Membeli alat yang baru
Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan
B. Matriks Evaluasi Matriks evaluasi bertujuan untuk mengetahui solusi mana yang untuk dipilih berdasarkan beberapa kriteria dengan melakukan pembobotan oleh pihak pelaksana proyek.dari pembobotan tersebut di dapatkan skoring tioap-tiap solusi sehingga dapat di putuskan solusi mana yang “GO” atau “NOT GO” pada Tabel 4 dan Tabel 5 dapat dilihat matriks evaluasinya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-146
Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko Pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi
Tabel 4. Matriks Evaluasi Cuaca Buruk Weight factor
Kriteria
Cuaca Buruk Mengajukan surat pengajuan keterlambatan Melakukan percepatan pekerjaan saat kondisi pekerjaan cuaca kembali normal
Biaya
8
Ranking 9
Weighted score 72
Ranking 3
Weighted score 24
Waktu Dampak terhadap hasil
8
6
48
4
32
8
56
5
35
Resiko
6
7
42
5
30
7
218
Total
121
GO
GO/NOT GO
NOT GO (GO II)
Tabel 5. Matriks Evaluasi Alat / Mesin Rusak Weight factor
Kriteria
Peralatan / Mesin rusak Melakukan perbaikan dan perawatan alat secara teratur Membeli alat yang baru
Biaya
8
Ranking 7
Weighted score 56
Ranking 5
Weighted score 40
Waktu Dampak terhadap hasil
8
7
56
7
56
8
56
7
49
Resiko
6
7
42
8
48
7
210
Total GO
GO/NOT GO
193 NOT GO (GO II)
Setelah dilakukan evalusasi, didapatkan solusi terbaik dari penyebab “cuaca buruk” adalah mengajukan surat pengajuan keterlambatan pekerjaan disertai dengan bukti-bukti dokumentasi sedangkan untuk penyebab alat atau mesin rusak dengan melakukan perbaikan dan perawatan alat secara teratur. C. Analisa Waste Dari hasil wawancara, didapatkan waste paling berpontensi adalah waiting dan defect. Tabel 6 merupakan rekomendasi tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pihak pelaksana setelah adanya matriks evaluasi yang sesuai dengan identifikasi yang menggunakan formuasi if then yang dilakukan sebelumnya. Tabel 6. Rekomendasi Solusi Penyebab Waste setelah Evaluasi If Keterlambatan Material Keterlambatan penurunan dana Cuaca buruk
Alat sering rusak
CONTROLING WASTE Then Melakuakan pekerjaan lainnya yang tidak menggunakan material yang datang terlambat Menggunakan dana talangan
When Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan
Mengajukan surat keterlambatan pengerjaan
Saat Pelaksanaan Saat Pelaksanaan
Melakukan percepatan pekerjaan saat cuaca kembali normal
Saat Pelaksanaan
Melakukan perbaikan dan perawatan alat secara teratur
Saat Pelaksanaan
Membeli alat yang baru
Saat Pelaksanaan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-147
Prisilia, Purnomo
D. Identifikasi dan Analisa Resiko 1). Identifikasi Resiko Berdasrkan hasil wawancara didapatkan daftar kejadian yang tidak diharapkan yang berpotensi terjadi pada proyek pembangunan SMUN 1 Giri Banyuwangi yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Identifikasi risiko Konsep
Sumber
Indikator
Eksternal tidak dapat diprediksi
Acts of God dan natural hazard
Eksternal dapat diprediksi
Masalah dalam penyediaan sumberdaya (material; tenaga kerj; alat) Kondisi keuangan proyek yang buruk Kondisi waktu pelaksanaan proyek yang buruk K3
Internal non-teknis
Pencurian; kelalaian; Ketidakjujuran Kerusakan alat; Properti; Fisik proyek
Berdasarkan hasil dari Tabel 7 kemudian dilakukan risk priority number yang disesuaikan dengan hasil wawancara dengan Manajer Proyek. Form penilaian resiko pada proyek pembanguna SMUN 1 Giri Banyuwangi ditunjukkan pada Tabel 8. Pada Tabel form penilaian resiko dilakukan proses perhitungan Failure Mode and Effectd Analysis (FMEA). Adapun rumus yang menentukan FMEA adalah: FMEA = Kemungkinan x Dampak x Kesulitan Defeksi Tabel 8. Form penilaian risiko Indikator (peristiwa) resiko
Kemungkinan
Dampak
Acts of God dan natural hazard Masalah dalam penyediaan sumberdaya (material; tenaga kerja; alat)
2
5
Deteksi Kesulitan 5
3
4
2
24
Kondisi keuangan proyek yang buruk Kondisi waktu pelaksanaan proyek yang buruk
2
4
2
2
4
K3
1
4
Pencurian; kelalaian; Ketidakjujuran
3
Kerusakan alat; Properti; Fisik proyek
1
PMEA
Kapan
50
16
setiap saat Sebelum dan saat pelaksanaan Sebelum dan saat pelaksanaan
3
24
Saat Pelaksanaan
4
16
Saat Pelaksanaan
4
3
36
setiap saat
4
2
8
Saat Pelaksanaan
Semakin tinggi nilai FMEA maka pihak pelaksana proyek harus meningkatkan kewaspadaan terhadap peristiwa resiko tersebut. 2) Analisa Resiko Jika peristiwa resiko telah dikenali dan diberi nilai, maka langkah berikutnya adalah membuat keputusan untuk merespon dengan tepat peristiwa tersebut. Selain merespon setiap peristiwa resiko, juga perlu perencanaan kontingensi yang akan digunakan sebagai sebuah rencana alternatif jika suatu peristiwa resiko yang diperkirakan belum terjadi atau bahkan telah terjadi. Untuk mengetahui apa tindakan yang perlu dilakukan dan bagaimana dapat mengatur peristiwa resiko yang telah diidentifikasi sebelumnya maka dapat digunakan matriks respon resiko seperti Tabel 9.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-148
Pendekatan Konsep Lean untuk Mengidentifikasi Resiko Pada Proyek Konstruksi Pembangunan Gedung SMUN 1 Giri Banyuwangi
Tabel 9. Matriks respon risiko Indikator (Peristiwa) Risiko
Kemungkinan
Rencana Kontingensi
Pemicu
Acts of God dan natural hazard
Mengurangi
Mengajukan surat keterlambatan pengerjaan
Cuaca buruk (tidak menentu)
Masalah dalam penyediaan sumberdaya (material; tenaga kerj; alat)
Penghindaran
Melakukan Analisa Kebutuhan Sumber Daya (material, tenaga kerja, alat) sebelum Pelaksanaan
Kurang persiapan dari pihak pelaksana proyek
Kondisi keuangan proyek yang buruk
Penghindaran
Melakukan Menganalisa kebutuhan biaya proyek dengan menyertakan dana kontingensi / memakai dana talangan
Penurunan biaya proyek terlambat / tidak sesuai jadwal
Kondisi waktu pelaksanaan proyek yang buruk
Membuat penjadwalan dengan memberikan buffer time Penghindaran
K3
Asuransi
Pencurian; kelalaian; Ketidakjujuran
Penghindaran
Kerusakan alat; Properti; Fisik proyek
Penghindaran
Asuransi Pengadaan staff keamanan di lokasi proyek khususnya di area gudang material Maintenance / perawatan secara teratur (sesuai jadwal)
Kurang persiapan dari pihak proyek dan kesalahan menganalisa penjadwalan proyek Perlengkapan alat K3 tidak sesuai dengan standarisasi Lokasi proyek tidak aman Adanya pengerjaan proyek yang tidak sesuai prosedur
IV. KESIMPULAN Dari hasil hasil identifikasi dan analisa mengenai waste dan resiko pada proyek pembangunan SMUN 1 Giri Banyuwangi maka diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Waste yang paling berpotensi terjadi pada pelaksanaan proyek adalah Waiting dan Defect. Penyebab timbulnya waste waiting dikarenakan keterlambatan datangnya material, keterlambatan penurunan dana, cuaca buruk dan adanya alat / mesin yang sering rusak saat pelaksanaan proyek. Sedangkan penyebab waste defect adalah cuaca buruk, material yang tidak sesuai dan alat / mesin yang rusak sehingga hasil yang diharapkan kurang maksimal. 2. Ada beberapa penyebab peristiwa resiko yang terjadi didalam proyek Acts of God dan natural hazard, masalah dalam penyediaan sumberdaya (material; tenaga kerja; alat), kondisi keuangan proyek yang buruk, kondisi waktu pelaksanaan proyek yang buruk, K3, pencurian; kelalaian; petidakjujuran, kerusakan alat; properti;fisik proyek.
DAFTAR PUSTAKA Archia, Itqan, 2013. Penerapan Metode Lean Contrucstion dan Penjadwalan Critikal Chain Project Management Dalam Pembangunan Proyek Konstruksi Gedung Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Industri ITS, Surabaya. Artika, Dian. 2014. Penerapan Metode Lean Project Management dalam Proyek Konstruksi Pada Pembangunan Gedung DPRD Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan vol.2, No.1, Maret 2014. Hapsari, Indri. 2011. Penerapan Metode Lean Project Management dalam Proyek Konstruksi Pada Pembangunan Gedung SDN Bektiharjo II Semanding Tuban (Study Kasus : CV. Chandra setya Karya), Tugas Akhir. Jurusan Teknik Industri ITS, Surabaya. Hines, P. dan Taylor, D. 2000. Going Lean. Lean Enterprise Research Center Cardiff Business School, USA. Leach, Larry. 2005. Lean Project Management : Eight Principles for success. Anvanced Project. 5239 South Pegasus Way Boise, Idaho 83716. Womack, J. ans Jones, D. 1996. Lean Thinking: Banish Waste and Create Wealth in Your Corporation. New York: Simon and Schuster.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-149
Petunjuk Sitasi: Mauidzoh, U., Zabidi, Y., & Prasetya, D. M. (2017). Perawatan Mesin Kompresor Udara dengan Metode Reliability Centered Maintenance. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C150-157). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perawatan Mesin Kompresor Udara dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran) Uyuunul Mauidzoh (1), Yasrin Zabidi (2), Dana Mufti Prasetya (3) Prodi Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Yogyakarta Jl. Janti, Blok R, Lanud Adisutjipto Yogyakarta (1) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK PT Polidayaguna Perkasa Ungaran adalah satu perusahaan yang memproduksi BOPP (Biaxially Oriented Polipropylene) sejenis plastik film yang digunakan sebagai pengemas atau pembungkus dengan bahan yang lentur dan lemas. Untuk memenuhi kapasitas produksi yang sangat tinggi, mesin harus bekerja selama 24 jam penuh dan harus selalu dalam kondisi yang baik. Perusahaan menerapkan sistem produksi Flow Shop yang artinya apabila satu mesin mengalami kendala, maka akan berdampak pada mesin yang lain. Mesin kompresor udara pada compressor plant merupakan mesin yang paling banyak mengalami gangguan. Oleh karena itu perawatan pada mesin kompresor udara ini sangat penting dilakukan agar kompresor selalu dalam kondisi yang baik. Penelitian ini menggunakan metode Reliability Centered Maintenance (RCM). Tahap pertama digunakan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk mengetahui dan menganalisa mode kegagalan, Logic Tree Analysis (LTA) untuk menentukan konsekuensi kegagalan yang ditimbulkan dari mode kegagalan dan tahapan Task Selection untuk menentukan kebijakan perawatan yang efektif dan optimal untuk setiap komponen sistem. Dari hasil analisis FMEA diperoleh 22 mode kegagalan pada mesin kompresor dengan nilai RPN tertinggi kompresor Cyclon 337 terdapat pada komponen air separator dan oil cooler dengan nilai 216, nilai RPN tertingggi pada kompresor Airman pada komponen oil separator dengan nilai 144 dan nilai RPN tertinggi pada kompresor Kaitec pada komponen programmable logic control (PLC) dengan nilai 40. Rekomendasi dari hasil analisa RCM adalah 2 komponen dilakukan kebijakan perawatan time directed (TD) pada kompresor Cyclon 337, 12 komponen pada kompresor Cyclon 337, 14 komponen pada kompresor Airman dan 14 komponen pada kompresor Kaitec dilakukan kebijakan condition directed (CD). Kemudian 2 komponen dilakukan kebijakan perawatan failure finding (FF) pada Cyclon 337, dan terdapat 6 komponen pada masing-masing mesin kompresor udara dilakukan kebijakan run to failure (RTF). Dengan dilakukan perencanaan kebijakan perawatan sebelum terjadinya kegagalan, diharapkan akan meminimalkan kegagalan yang sering terjadi Kata kunci— Kebijakan perawatan, konsekuensi kegagalan, mode kegagalan, perawatan mesin, task selection.
I. PENDAHULUAN Suatu industri dapat mencapai tujuan pencapaian produksi yang optimal dengan menerapkan pengendalian mutu pada proses produksinya. Manajemen perawatan mesin yang baik akan menghasilkan aliran proses yang lancar saat produksi sehingga produktivitas perusahaan menjadi maksimum dan meminimumkan biaya produksi. Kegiatan perawatan yang selama ini dilakukan oleh PT Polidayaguna Perkasa dibagi menjadi dua, yaitu perawatan mesin utama dan mesin utilitas. Untuk mesin utama, perawatan yang dilakukan adalah mengikuti jadwal penggantian screen yang mana jadwal tersebut telah ditentukan oleh perusahaan, jadi walaupun terdapat indikasi kerusakan selama mesin masih mampu berproduksi, mesin utama tidak akan berhenti berproduksi, dan akan dilakukan perawatan pada saat jadwal penggantian screen tiba. Untuk mesin utilitas, kegiatan perawatan yang SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-150
Perawatan Mesin Kompresor Udara dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran)
dilakukan adalah setelah terjadi kerusakan pada suatu komponennya (corrective maintenance). Selain itu juga melakukan tindakan Preventive Maintenance untuk merawat mesin-mesin utilitas tersebut agar tidak terjadi kerusakan atau gangguan saat mesin beroperasi. Preventive Maintenance yang dilaksanakan mengacu pada buku manual (Shop Manual) yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat mesin, dengan tujuan menjaga kondisi mesin-mesin agar tetap beroperasi dengan baik. Akan tetapi, walaupun telah dilakukan kebijakan Preventive Maintenance yang mengacu pada buku manual, penggantian beberapa komponen yang rusak tetap saja terjadi saat mesin tersebut beroperasi. Berikut ini adalah data kerusakan komponen mesin utilitas di luar jadwal Preventive Maintenance yang telah dilakukan pada Januari 2015 - Februari 2017:
No. 1
2
3
4
Tabel 1 Data Kerusakan Mesin Utilitas PT Polidayaguna Perkasa Jumlah Kerusakan Jumlah Jam Unit Utilitas (Corrective) Perawatan Unit penyediaan Boiler 1 14 48,33 hot oil (Boiler Boiler 2 9 36,08 plant) Unit penyediaan Kompresor 6 15,25 udara tekan Airman (Compressor plant) Kompresor 19 133 Cyclon 337 Kompresor 0 0 Kaitec Unit penyediaan air (Water treatment plant) Unit listrik
Persentase 22% 14,3% 9,5% 30,2% 0%
Cooling tower
9
32
14,3%
Chiller
6
45
9,5%
PLN
-
-
-
Dari beberapa unit utilitas yang ada di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran, unit penyediaan udara tekan (compressor plant) merupakan unit yang memiliki mesin dengan jumlah corrective maintenance yang paling tinggi diantara unit utilitas lain. Dalam unit ini terdapat 3 kompresor udara yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan udara bertekanan. Compressor plant memiliki peran yang cukup vital karena dibutuhkan untuk mendukung berjalannya proses produksi plastik film dari bahan baku, barang setengah jadi (work in process) maupun produk jadi. Sebagian besar transportasi dan proses produksi plastik film dari bahan baku, barang setengah jadi (work in process) maupun produk jadi pada proses produksi menggunakan sistem pneumatic yang prinsip kerjanya memanfaatkan gaya dorong dari udara tekan. Tidak hanya sebagai transportasi proses produksi saja, sebagian alat-alat berat yang menggunakan sistem hidrolis (hoist crane dan winder) juga membutuhkan udara tekan sebagai penggeraknya. Maka dari itu, apabila compressor plant mengalami kerusakan, bisa dipastikan bahwa proses produksi akan berhenti dan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Agar kerusakan-kerusakan tidak selalu terjadi, salah satunya dengan menganalisis keandalan suatu komponen sistem produksi dan menentukan penjadwalan waktu perawatan (Sutanto, 2012). Keandalan adalah ukuran kemampuan suatu komponen atau peralatan untuk beroperasi terusmenerus tanpa adanya gangguan atau kerusakan (Ebelling, 1997). Oleh karena itu, perawatan preventive merupakan hal yang mutlak dilaksanakan oleh bagian mekanik dan menjadi faktor penting dalam kelancaran proses produksi. Perawatan komponen pada compressor plant harus menjadi prioritas utama karena memiliki jumlah kerusakan terbanyak dibandingkan mesin utilitas lain. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menentukan kebijakan perawatan pada unit utilitas compressor plant yang lebih efektif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Reliability Centered Maintenance (RCM). Metode ini dipilih karena merupakan landasan dasar untuk perawatan fisik dan suatu teknik yang dipakai untuk mencegah dan mengidentifikasikan suatu mode kegagalan (failure mode) dengan FMEA, Logic Tree Analysis dan Tindakan Kebijakan Perawatan (Task Selection) serta menerapkan perawatan pencegahan (preventive SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-151
Mauidzoh, Zabidi, Prasetya
maintenance) yang tepat dan diharapkan dapat mencegah, mengurangi dan meminimalisir kerusakan yang lebih parah pada komponen-komponen mesin yang terdapat pada compressor plant agar tetap dalam kondisi siap beroperasi.
II. METODOLOGI Pada awalnya metodologi penelitian dimulai dengan melakukan identifikasi masalah dan pengumpulan data serta dilanjutkan dengan pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut: 1. Pemilihan sistem dan pengumpulan informasi 2. Definisi batasan system 3. Deskripsi sistem dan diagram blok fungsional 4. Sistem fungsi dan kegagalan fungsional 5. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) 6. Logic Tree Analysis (LTA) 7. Task Selection (pemilihan kebijakan perawatan).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab pengumpulan dan pengolahan data, sistem yang terpilih adalah mesin-mesin pada unit utilitas penyediaan udara tekan (compressor plant) yang terdiri dari 3 mesin yaitu kompresor Cyclon 337, Airman dan Kaitec. Sistem tersebut dipilih karena memiliki jumlah corrective maintenance yang paling tinggi diantara unit utilitas lain yaitu dengan total persentase 39,7% dan total perawatan mencapai 148,25 jam. B. Failure Mode and Efffect Analysis (FMEA) FMEA digunakan untuk menganalisa kegagalan yang lebih menekankan pada analisa kualitatif dan mengidentifikasikan dampak mode kegagalan dari sebuah komponen terhadap sistem, sub sistem, maupun terhadap komponen itu sendiri termasuk cara mendeteksi mode kegagalan tersebut. Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka dalam mengerjakan FMEA harus mendefinisikan terlebih dahulu tentang severity, occurence, detection dan juga hasil akhirnya yang berupa Risk Priority Number (RPN). RPN merupakan produk matematis dari keseriusan effect (severity), kemungkinan terjadinya cause akan menimbulkan kegagalan yang berhubungan dengan effect (occurence), dan kemampuan untuk mendeteksi kegagalan (detection). Risk Priority Number (RPN) dalam penelitian ini merupakan hasil penilaian langsung dengan Muhammad Safi’i Rifky selaku salah satu teknisi dan sekaligus menjabat sebagai Leader pada bagian Maintenance di PT POLIDAYAGUNA PERKASA UNGARAN. 1) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) pada Cyclon 337: Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode RCM pada bab pengumpulan dan pengolahan data yaitu pada tahap Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) didapatkan 22 mode kegagalan dengan penilaian RPN dari hasil perkalian severity, occurence dan detection, maka dapat ditentukan bahwa komponen kritis yang harus mendapatkan prioritas utama untuk dilakukan tindakan perawatan berkala adalah kegagalan pada Oil Cooler dan Air Separator karena mendapatkan nilai RPN tertinggi yaitu masing-masing sebesar 216, dan juga komponen tersebut memiliki kegagalan tertinggi dari komponen lainnya dan juga mengakibatkan efek keburukan yang cukup tinggi, yaitu Air Separator rusak menyebabkan udara berbau gosong yang akan berpengaruh merusak komponen kompresor seperti solenoid valve dan solenoid censor dan berpengaruh pada komponen-komponen mesin produksi seperti air knife pada mesin casting dan penggerak-penggerak pneumatic, sedangkan Oil Cooler kotor menyebabkan temperature over dan berpotensi merusak oil seal screw sehingga screw mengalami kebocoran dan berakibat berkurangnya volume oli sehingga mesin tidak dapat bekerja secara maksimal. 2) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) pada Airman: Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode RCM pada bab pengumpulan dan pengolahan data yaitu pada SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-152
Perawatan Mesin Kompresor Udara dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran)
tahap Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) didapatkan 22 mode kegagalan dengan penilaian RPN dari hasil perkalian severity, occurence dan detection, maka dapat ditentukan bahwa komponen kritis yang harus mendapatkan prioritas utama untuk dilakukan tindakan perawatan berkala adalah kegagalan pada Oil Separator karena mendapatkan nilai RPN tertinggi yaitu sebesar 144, dan juga komponen tersebut memiliki jumlah kegagalan tertinggi dari komponen lainnya dan juga mengakibatkan efek keburukan yang cukup tinggi, yaitu pressure drop sehingga kompresor tidak mampu mensuplai kebutuhan udara bertekanan oleh proses produksi. 3) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) pada Kaitec: Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode RCM pada bab pengumpulan dan pengolahan data yaitu pada tahap Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) didapatkan 22 mode kegagalan dengan penilaian RPN dari hasil perkalian severity, occurence dan detection, maka dapat ditentukan bahwa komponen kritis yang harus mendapatkan prioritas utama untuk dilakukan tindakan perawatan berkala adalah kegagalan pada Programmable Logic Control (PLC) karena mendapatkan nilai RPN tertinggi yaitu sebesar 40, dan juga komponen tersebut mempunyai peran yang cukup vital yaitu untuk mendeteksi input dan output udara sehingga apabila komponen tersebut mengalami kegagalan, maka mesin tidak bisa bekerja secara maksimal karena loading dan unloading mesin tidak tepat pada waktunya sehingga mesin harus segera diberhentikan untuk dilakukan perbaikan. C.
Logic Tree Analysis (LTA) Merupakan proses kualitatif yang digunakan untuk mengetahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-masing mode kegagalan (failure mode). Tujuan Logic Tree Analysis (LTA) adalah mengklasifikasikan failure mode kedalam beberapa kategori sehingga nantinya dapat ditentukan tingkat prioritas dalam penanganan masing-masing failure mode berdasarkan kategorinya. 1) Logic Tree Analysis (LTA) pada Cyclon 337: Setelah dilakukan proses analisa dengan menggunakan Logic Tree Analysis pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan 20 mode kegagalan yang tergolong dalam kategori B (outage problem) yaitu mempunyai konsekuensi kegagalan yang dapat menyebabkan sistem kerja komponen atau mesin terhenti. Selanjutnya terdapat 2 mode kegagalan yang tergolong dalam kategori D/B yaitu kegagalan tersembunyi (hidden failure) yang tidak diketahui oleh operator atau teknisi sehingga menyebabkan sistem kerja komponen terhenti. Dari hasil ini dapat diketahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-masing kegagalan komponen (failure mode) sehingga nantinya dapat ditentukan prioritas dalam penanganan masing-masing mode kegagalan dengan pemilihan kebijakan perawatan yang terdapat pada tahap task selection. 2) Logic Tree Analysis (LTA) pada Airman: Setelah dilakukan proses analisa dengan menggunakan Logic Tree Analysis pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan 20 mode kegagalan yang tergolong dalam kategori B (outage problem) yaitu mempunyai konsekuensi kegagalan yang dapat menyebabkan sistem kerja komponen atau mesin terhenti. Selanjutnya terdapat 2 mode kegagalan yang tergolong dalam kategori D/B yaitu kegagalan tersembunyi (hidden failure) yang tidak diketahui oleh operator atau teknisi sehingga menyebabkan sistem kerja komponen terhenti. Dari hasil ini dapat diketahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-masing kegagalan komponen (failure mode) sehingga nantinya dapat ditentukan prioritas dalam penanganan masing-masing mode kegagalan dengan pemilihan kebijakan perawatan yang terdapat pada tahap task selection. 3) Logic Tree Analysis (LTA) pada Kaitec: Setelah dilakukan proses analisa dengan menggunakan Logic Tree Analysis pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan 20 mode kegagalan yang tergolong dalam kategori B (outage problem) yaitu mempunyai konsekuensi kegagalan yang dapat menyebabkan sistem kerja komponen atau mesin terhenti. Selanjutnya terdapat 2 mode kegagalan yang tergolong dalam kategori D/B yaitu kegagalan tersembunyi (hidden failure) yang tidak diketahui oleh operator atau teknisi sehingga menyebabkan sistem kerja komponen terhenti. Dari hasil ini dapat diketahui konsekuensi yang ditimbulkan oleh masing-masing kegagalan komponen (failure mode) sehingga nantinya dapat ditentukan prioritas dalam penanganan masing-masing mode kegagalan dengan pemilihan kebijakan perawatan yang terdapat pada tahap task selection.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-153
Mauidzoh, Zabidi, Prasetya
D. Task Selection (Pemilihan Tindakan) Pemilihan tindakan (task selection) merupakan tahap terakhir dari proses analisa RCM. Dari tiap mode kegagalan dibuat daftar tindakan yang mungkin akan dilakukan dan selanjutnya memilih tindakan yang paling efektif untuk setiap mode kegagalan. 1) Task Selection (Pemilihan Tindakan) pada Cyclon 337: Setelah mempertimbangkan hasil analisis logic tree analysis (LTA) dan dilakukan pengolahan data pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan perbedaan dengan kebijakan perawatan yang dilakukan oleh perusahaan saat ini. Terdapat 22 mode kegagalan yang 12 diantaranya mengalami perubahan kebijakan perawatan menjadi condition directed (CD), 2 mode kegagalan menjadi time directed (TD) , 2 mode kegagalan menjadi failure finding (FF) dan 6 mode kegagalan lainnya masih tetap pada kebijakan perawatan yang telah diterapkan. Perbandingan kebijakan perawatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2 Rekapitulasi Perbandingan Kebijakan Perawatan Cyclon 337 Task Time Directed (TD)
Kebijakan Saat Ini 0 Mode Kegagalan
Kebijakan RCM 2 Mode Kegagalan
Condition Directed (CD)
0 Mode Kegagalan
12 Mode Kegagalan
Failure FInding (FF)
0 Mode Kegagalan
2 Mode Kegagalan
Run To Failure (RTF)
22 Mode Kegagalan
6 Mode Kegagalan
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan kebijakan perawatan dan terdapat pula kebijakan perawatan yang masih sama. Perubahan yang mencolok adalah terdapat 12 mode kegagalan yang berubah dari kebijakan perawatan run to failure (RTF) menjadi condition directed (CD). Hal ini terjadi pula pada komponen kritis yang dihasilkan oleh penghitungan RPN yaitu komponen oil cooler dan air separator. Pada kebijakan perawatan saat ini oil cooler dan air separator digunakan hingga komponen tersebut mengalami kerusakan, hal ini sangat disayangkan karena kegagalan komponen ini dapat mengakibatkan kerusakan pada komponen lain dan menyebabkan mesin kompresor harus diberhentikan untuk dilakukan perawatan, oleh karena itu akan lebih efektif jika kebijakan yang diterapkan pada mode kegagalan ini adalah condition directed (CD) dengan gejala kegagalan berupa oil cooler dan air separator kotor atau tersumbat, dengan estimasi waktu perawatan selama 200 jam atau setiap satu minggu sekali dengan cara dicek dan dibersihkan, dan pada komponen air separator dipasang alat tambahan yang bernama non return valve untuk mencegah oli agar tidak menyumbat komponen air separator. Hal ini dilakukan agar air separator dan oil cooler selalu dalam keadaan bersih sehingga mampu bekerja secara maksimal setiap kali digunakan. 2) Task Selection (Pemilihan Tindakan) pada Airman: Setelah mempertimbangkan hasil analisis logic tree analysis (LTA) dan dilakukan pengolahan data pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan perbedaan dengan kebijakan perawatan yang dilakukan oleh perusahaan saat ini. Terdapat 22 mode kegagalan yang 14 diantaranya mengalami perubahan kebijakan perawatan menjadi condition directed (CD), 2 mode kegagalan menjadi failure finding (FF) dan 6 mode kegagalan lainnya masih tetap pada kebijakan perawatan yang telah diterapkan. Perbandingan kebijakan perawatan tersebut dapat dilihat pada berikut. Tabel 3 Rekapitulasi Perbandingan Kebijakan Perawatan Pada Airman Task Kebijakan Saat Ini Kebijakan RCM Time Directed (TD) 0 Mode Kegagalan 0 Mode Kegagalan Condition Directed (CD) 0 Mode Kegagalan 14 Mode Kegagalan Failure FInding (FF) 0 Mode Kegagalan 2 Mode Kegagalan Run To Failure (RTF) 22 Mode Kegagalan 6 Mode Kegagalan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-154
Perawatan Mesin Kompresor Udara dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan kebijakan perawatan dan terdapat pula kebijakan perawatan yang masih sama. Perubahan yang mencolok adalah terdapat 14 mode kegagalan yang berubah dari kebijakan perawatan run to failure (RTF) menjadi condition directed (CD). Hal ini terjadi pula pada komponen kritis yang dihasilkan oleh penghitungan RPN yaitu komponen oil separator. Pada kebijakan perawatan saat ini oil separator digunakan hingga komponen tersebut mengalami kerusakan, hal ini sangat disayangkan karena kegagalan komponen ini dapat mengakibatkan mesin kompresor harus diberhentikan untuk dilakukan perawatan, oleh karena itu akan lebih efektif jika kebijakan yang diterapkan pada mode kegagalan ini adalah condition directed (CD) dengan gejala kegagalan berupa oil separator kotor atau tersumbat, dengan estimasi waktu perawatan selama 200 jam atau setiap satu minggu sekali dilakukan perawatan dengan cara dicek dan dibersihkan dengan cara dibilas menggunakan bensin dan oli bersih. Hal ini dilakukan agar Oil Separator selalu dalam keadaan bersih sehingga mampu bekerja secara maksimal setiap kali digunakan. 3) Task Selection (Pemilihan Tindakan) pada Kaitec: Setelah mempertimbangkan hasil analisis logic tree analysis (LTA) dan dilakukan pengolahan data pada bab pengumpulan dan pengolahan data, didapatkan perbedaan dengan kebijakan perawatan yang dilakukan oleh perusahaan saat ini. Terdapat 22 mode kegagalan yang 14 diantaranya mengalami perubahan kebijakan perawatan menjadi condition directed (CD), 2 mode kegagalan menjadi failure finding (FF) dan 6 mode kegagalan lainnya masih tetap pada kebijakan perawatan yang telah diterapkan. Perbandingan kebijakan perawatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4 Rekapitulasi Perbandingan Kebijakan Perawatan pada Kaitec Task Kebijakan Saat Ini Kebijakan RCM Time Directed (TD) 0 Mode Kegagalan 0 Mode Kegagalan Condition Directed (CD) 0 Mode Kegagalan 14 Mode Kegagalan Failure FInding (FF) 0 Mode Kegagalan 2 Mode Kegagalan Run To Failure (RTF) 22 Mode Kegagalan 6 Mode Kegagalan
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan kebijakan perawatan dan terdapat pula kebijakan perawatan yang masih sama. Perubahan yang mencolok adalah terdapat 14 mode kegagalan yang berubah dari kebijakan perawatan run to failure (RTF) menjadi condition directed (CD). Hal ini terjadi pula pada komponen kritis yang dihasilkan oleh penghitungan RPN yaitu komponen programmable logic control (PLC). Pada kebijakan perawatan saat ini programmable logic control (PLC) digunakan hingga komponen tersebut mengalami kerusakan, hal ini sangat disayangkan karena kegagalan komponen ini dapat mengakibatkan mesin kompresor harus diberhentikan untuk dilakukan perawatan, oleh karena itu akan lebih efektif jika kebijakan yang diterapkan pada mode kegagalan ini adalah condition directed (CD) dengan gejala kegagalan berupa programmable logic control (PLC) error atau tidak bekerja secara maksimal, dengan estimasi waktu perawatan selama 200 jam atau setiap satu minggu sekali dilakukan testing, pengukuran dan adjustments. Hal ini dilakukan agar programmable logic control (PLC) selalu dalam keadaan baik sehingga mampu bekerja secara maksimal setiap kali digunakan. E. Rekomendasi Kebijakan Reliability Centered Maintenance (RCM) Dari hasil penelitian yang dilakukan pada mesin kompresor udara pada unit utilitas penyediaan udara tekan (compressor plant) mengunakan metode Reliability Centered Maintenance (RCM) menyatakan bahwa banyaknya mode kegagalan yang perlu dimodifikasi dalam hal kebijakan perawatannya, maka diperlukan pula upaya untuk menerapkannya kedalam situasi nyata. Perlu ditekankan bahwa rekomendasi kebijakan baru ini perawatan tidak dilakukan berdasarkan periode waktu perawatan tertentu saja, melainkan dilakukan berdasarkan gejala kegagalan yang timbul maupun juga berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara berkala. Usulan perubahan ini dimaksudkan untuk meminimalkan terjadinya kerusakan pada saat mesin sedang beroperasi, apabila muncul suatu gejala kerusakan sebaiknya langsung dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk dapat mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah lagi, bukan membiarkan gejala kerusakan tersebut hinga benar-benar rusak dan baru dilakukan perbaikan. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-155
Mauidzoh, Zabidi, Prasetya
Untuk dapat melaksanakan kebijakan perawatan yang baru secara efektif, dimana hampir seluruh mode kegagalan yang terjadi di rawat secara condition directed (CD) maka pihak perusahaan sebaiknya menambahkan jadwal pemeriksaan diluar jadwal yang telah ada, bila perlu dalam kurun waktu 1 minggu sekali setelah masing-masing mesin berhenti untuk bergantian dengan mesin yang lain, dilakukan perawatan berkala untuk memeriksa gejala-gejala kerusakan yang telah disebutkan pada hasil analisis condition directed terutama pada mesin yang telah dinyatakan paling kritis pada hasil penghitungan risk priority number (RPN). Sehingga mode kegagalan dapat dicegah sejak dini sebelum kerusakan bertambah semakin parah.
IV. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil penelitian didapatkan 22 mode kegagalan yang terjadi pada sistem kerja masing-masing mesin kompresor dari hasil Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) yang diperoleh, dimana nilai Risk Priority Number (RPN) tertinggi pada Cyclon 337 terdapat pada air separator rusak dan oil cooler kotor dengan nilai RPN masing-masing sebesar 216, kemudian nilai Risk Priority Number (RPN) tertinggi pada Airman terdapat pada oil separator rusak dengan nilai 144 dan nilai Risk Priority Number (RPN) tertinggi pada Kaitec terdapat pada Programmable Logic Control (PLC) dengan nilai 40. Penggolongan mode kegagalan berdasarkan hasil analisis mengggunakan diagram alir Logic Tree Analysis (LTA) pada masing-masing mesin kompresor didapatkan hasil yang sama yaitu 20 mode kegagalan tergolong kedalam kategori B (outage problem) dan 2 mode kegagalan tergolong kedalam D/B (outage problem yang tidak diketahui oleh operator). Berdasarkan kebijakan perawatan saat ini pada masing-masing mesin kompresor udara yaitu 22 mode kegagalan diatasi secara run to failure (RTF) yaitu kebijakan perawatan untuk tetap menggunakan komponen hingga komponen tersebut mengalami kerusakan. 2. Rekomendasi tindakan yang didapat dari hasil Reliability Centered Maintenance (RCM) ini yaitu: a. Time Directed (TD) yaitu kebijakan perawatan yang dilakukan pada periode waktu tertentu. Terdapat 2 komponen pada kompresor Cyclon 337 pada kategori ini. b. Condition Directed (CD) yaitu kebijakan perawatan dengan melakukan pengamatan, pemeriksaan, dan monitoring sejumlah data yang ada secara berkala. Tindakan kategori ini mencapai 12 komponen pada kompresor Cyclon 337, 14 komponen pada kompresor Airman, dan 14 komponen pada kompresor Kaitec. c. Failure Finding (FF) yaitu kebijakan perawatan dengan tujuan untuk menemukan kerusakan komponen yang tersembunyi dengan pemeriksaan berkala. Tindakan kategori ini terdapat 2 komponen pada kompresor Cyclon 337. d. Run To Failure (RTF) yaitu kebijakan perawatan untuk tetap menggunakan komponen hingga komponen tersebut mengalami kerusakan karena gejala mode kegagalan tidak dapat diidentifikasi. Terdapat 6 komponen pada masing-masing mesin kompresor pada tindakan kategori ini. B. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan sebagai masukan bagi perusahaan dan penelitian selanjutnya adalah: 1. Berdasarkan hasil dari penelitian yang diperoleh, peneliti menyarankan agar Reliability Centered Maintenance (RCM) ini dapat diterapkan sebagai pendekatan yang digunakan dalam sistem perawatan di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran. Karena dengan adanya penerapan konsep RCM ini, perusahaan dapat mengetahui jenis tindakan perawatan yang optimal sehingga dapat meningkatkan keandalan mesin-mesin perusahaan. Akan tetapi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-156
Perawatan Mesin Kompresor Udara dengan Metode Reliability Centered Maintenance (Studi Kasus di PT Polidayaguna Perkasa Ungaran)
berdasarkan kondisi perusahaan saat ini, tidak seluruh rekomendasi kebijakan perawatan dari hasil penelitian menggunakan metode RCM dapat diterapkan. Karena perlu dipertimbangkan untuk penyesuaian pelaksanaannya dengan ketersediaan teknisi yang melakukannya. 2. Penelitian yang dilakukan saat ini hanya meliputi unit penyedia udara bertekanan pada unit utilitas, untuk penelitian selanjutnya dapat meneliti pada unit utilitas lainnya untuk meningkatkan keandalan mesin-mesin pada setiap unit utililitas agar tetap berada pada kondisi terbaik saat akan digunakan.
DAFTAR PUSTAKA Corder, A., 1992, Teknik Manajemen Pemeliharaan, Jakarta: Erlangga Dhillon, B.S., 2005, Reliability, Quality, and Safety for Engineers, Florida: CRC Press Ebelling, C.E., 1997, An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering, New York: The Mc. Graw-Hill Companier Inc. Hakim L., & Fahrizal, 2012, Penerapan RCM Pada Sistem Distribusi Air di PDAM Pasir Putih Pematangan Barangan Kabupaten Rokan Hulu. Hartati, R., 2007, Penerapan Preventive dan Predictive Maintenance Melalui Metode Reliability-Centered Maintenance II (RCM II) Untuk Mengoptimalkan Performansi Pompa Produced Water Disposal (Studi Kasus Pada Vico Indonesia), Yogyakarta: S-2 Jurusan Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Gajah Mada. Heizer, J., & Render, B., 2001, Operation Management, Prentice Hall, Sixth Edition. Islamidina, F., Sugiono, & Efranto, R.Y., 2013, Implementasi Teknik Keandalan Untuk Mengoptimalkan Interval Perawatan Pada Sistem Coal Feeder. Malang: S-1 Teknik Industri, Universitas Brawijaya. Keith, R., 2002, An Introduction to Predictive Maintenance, Second Edition, Butterworth-Heinemann, USA. Manahan, 2004, Manajemen Operasional, Edisi Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia. Moubray, J., 1995, Maintenance Management, New Paradigm, Aladon Ltd. Moubray, J., 1997, Reliability Centered Maintenance-II, Second Edition, London: Elsevier. Murthy, D. N. P., Atrens, A. & Eccleston, J. A., 2002, ”Strategic Maintenance Management” Journal Of Quality In Maintenance Engineering, Vol. 8 No. 4, pp. 287-305. Nugroho, A.B., 2014, Perencanaan Kebijakan Penjadwalan Preventive Maintenance pada Lift Truck di PT. Caterpilar Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Prarindra, Y.R., 2016, Analisa Total Productive Maintenance Mesin CNC (Cincinnati Double Gantry Aluminium Milacron Type F) dengan Metode Overall Equipment Efectiveness (OEE) di PT Dirgantara Indonesia, S-1 Teknik Industri, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto,. Smith A.M., 1993. Reliability Centered Maintenance. New York: Mc. Graw-Hill Inc. Smith A.M., & Hinchliffe, G.R. 2004. RCM-Gateway to World Class Maintenance. United Kingdom: Elsevier Inc. Sidieq M.T., 2016, Analisis Perawatan Radar dengan Menggunakan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) di Perum LPPNPI Airnav Distrik Yogyakarta, Yogyakarta: S-1 Teknik Industri, Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto. Sutanto, F.A., 22 Maret 2013. http://digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-210011220000247/19639.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-157
Petunjuk Sitasi: Noor, A. M., Musafak, & Suhartini, N. (2017). Penjadwalan Pemeliharaan Mesin Pengelasan Titik Bergerak Menggunakan Metode Realibility Centered Maintenance (RCM). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C158-162). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Penjadwalan Pemeliharaan Mesin Pengelasan Titik Bergerak Menggunakan Metode Realibility Centered Maintenance (RCM) (1), (2), (3)
Asep Mohamad Noor(1), Musafak(2), Nanih Suhartini(3) Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya No. 100 Pondok Cina Depok (1) [email protected] ABSTRAK
Proses produksi perakitan kendaraan bermotor roda empat atau lebih pada dasarnya terdiri atas 3 kegiatan utama yaitu pengelasan, pengecatan , dan perakitan akhir. Peralatan yang ada dibagian pengelasan yaitu, mesin las titik, mesin las CO2, hoist, conveyor, jig, dan peralatan elektrik lainnya. Peralatan utama di bagian welding sering kali mengalami kerusakan pada saat proses produksi tengah berlangsung. Mesin pengelasan titik bergerak mempunyai komponen kritis yaitu piston rod, membran silinder, dan nut lock membran. Pada Failure Modes and Effects Analysis dan nilai RPN mempunyai nilai tertinggi, sehingga diperoleh penyebab kegagalan potensial dengan nilai 128. Kegiatan dan interval perawatan berdasarkan RCM untuk komponen yang memiliki kegagalan potensial adalah piston rod pada mesin pengelasan titik bergerak dengan scheduled restoration task dan scheduled dischard task, interval perawatan selama 176 jam. Kata Kunci— Interval pemeliharaan, pengelasan titik bergerak, piston rod, realibility centered maintenance (RCM).
I. PENDAHULUAN Perawatan merupakan suatu kegiatan untuk memelihara atau menjaga fasilitas peralatan produksi dan mengadakan perbaikan atau penggantian yang diperlukan secara berkala supaya terdapat suatu keadaan operasi produksi yang memuaskan sesuai dengan apa yang direncanakan (Assauri, 2004). Usaha perawatan dan perbaikan pada industri manufaktur, dilihat dari segi peralatan, adalah dengan meningkatkan pemanfaatan peralatan yang ada seoptimal mungkin. Rendahnya kehandalan mesin menyebabkan tingginya biaya untuk pemeliharaan dan biaya kehilangan peluang (opportunity cost) untuk memproduksi produk. Penjadwalan pemeliharaan semakin penting karena biaya pemeliharaan memiliki porsi yang signifikan terhadap total biaya dalam industri dan tujuan dari penjadwalan pemeliharaan adalah untuk meningkatkan Mean Time Between Failure (MTBF) dan atau mengurangi Mean Time To Repair (MTTR) yang merepresentasikan kebijakan biaya pemeliharaan. Artinya dengan melakukan penjadwalan pemeliharaan diharapkan dapat meningkatkan kehandalan (kehandalan) mesin (Corder, 1992). Sedangkan kehandalan (kehandalan) mesin diartikan sebagai kemampuan dari mesin untuk bekerja sesuai dengan fungsinya selama masa hidup yang diharapkan atau diartikan juga sebagai probabilitas mesin untuk dapat bekerja dengan fungsi spesifik selama masa hidup yang diharapkan (Ebeling, 1997). Kata kunci disini adalah probabilitas yang artinya mesin akan bekerja dalam ketidakpastian (uncertainty) perubahan dan kejadian acak (random). Perusahaan yang belum memiliki sistem pemeliharaan yang tertata dengan baik, menyebabkan sering terjadinya kerusakan dan berhentinya mesin untuk dilakukan perbaikan. Hal tersebut menyebabkan terhentinya produksi Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk merencanakan interval pemeliharaan untuk komponen kristis mesin sehingga dapat meningkatkan kehandalan mesin supaya dapat memproduksi kendaraan sesuai target yang diberikan perusahaan. Tujuan penelitian ini adalah didapatkan perencanaan penjadwalan pemeliharaan yang tepat untuk mesin dan fasilitas pengelasan titik bergerak serta menentukan kegiatan dan interval perawatan pengelasan titik bergerak berdasarkan RCM.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-158
Penjadwalan Pemeliharaan Mesin Pengelasan Titik Bergerak Menggunakan Metode Realibility Centered Maintenance (RCM)
Kehandalan Centered Maintenance (RCM) adalah sistematika proses yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilaksanakan untuk memastikan setiap fasilitas dapat terus menjalankan fungsinya dalam operasionalnya. Beberapa tujuan penting dari penerapan Kehandalan Centered Maintenance (RCM) adalah membentuk desain yang berhubungan supaya dapat memfasilitasi Preventive Maintenance, mendapatkan informasi yang berguna untuk meningkatkan desain dari produk atau mesin yang ternyata tidak memuaskan, yang berhubungan dengan kehandalan, membentuk Preventive Maintenance dan tugas yang berhubungan yang dapat mengembalikan kehandalan dan keamanan pada levelnya semula pada saat terjadinya penurunan kondisi peralatan atau sistem, mendapatkan semua tujuan diatas dengan total biaya yang minimal (Dhillon, 2002). II. METODE Metodologi Kehandalan Centered Maintenance (RCM) dibagi menjadi tiga fase, yaitu mengidentifikasi maintenance significant item (MSI), membuat penugasan yang sesuai dengan pekerjaan preventive maintenance yang sesuai maintenance significant item, mengimplementasikan dan memperbaharui pekerjaan Preventive Maintenance (Dhillon, 2002 dan Mahadevan, et.al., 2010). Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian adalah variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung dari variable independent terhadap perubahan. Yang termasuk variabel terikat dalam penelitian ini adalah interval perawatan. Variabel bebas yaitu variabel yang menjadi sebab atau timbulnya variabel terikat yaitu waktu antar kerusakan dan ariabel ini merupakan variabel selang waktu antara kerusakan yang pertama dengan kerusakan yang kedua atau kerusakan berikutnya, serta waktu lama perbaikan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Penyebab Kegagalan Failure Modes and Effect Analysis digunakan untuk mengidentifikasi functions, functional failures, failure modes dan failure effect (O’Connor, 2001). Selanjutnya dihitung nilai Risk Priority Number (RPN) berdasarkan pada perkalian severity, occurrence dan detection. RPN digunakan untuk menentukan prioritas utama komponen yang perlu dilakukan tindakan perawatan pencegahan. B. RCM Decision Worksheet RCM Decision Worksheet digunakan untuk mencari jenis kegiatan perawatan yang tepat dan memiliki kemungkinan untuk dapat mengatasi setiap failure modes dengan mengacu pada proposed task. RCM Decision Worksheet yang digunakan sebagai sumber informasi tindakan perawatan yang dilakukan dengan mengacu pada proposed task dengan menggabungkan factor kualitatif dan kuantitatif. C. Data Waktu Kerusakan Data waktu kerusakan yang digunakan adalah time to repair (TTR) dan time to failure (TTF) dimana TTR adalah lamanya perbaikan hingga mesin dapat berfungsi kembali, sedangkan TTF adalah selang waktu kerusakan awal yang telah diperbaiki hingga terjadi kerusakan berikutnya. Piston Rod merupakan salah satu komponen penting dari mesin pengelasan titik bergerak. Komponen ini merupakan bagian yang sangat penting, karena berfungsi menghantarkan arus yang cukup besar, yang selanjutnya apabila bertemu dengan sisi ujung arm gun yang satunya (beda tegangan), akan menghasilkan panas cukup tinggi yang digunakan untuk proses pengelasan las titik. D. Perhitungan Index of Fit (r) dan Pendugaan Parameter Distribusi Data Waktu Time to Failure (TTF) pada Komponen Piston Rod Perhitungan index of fit (r) dilakukan untuk mengetahui jenis distribusi yang dipakai dari data time to failure. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-159
Noor, Musafak, Suhartini
Tabel 1 Perhitungan Index of fit Berdasarkan Distribusi Normal Data Waktu TTF Pada Komponen Piston Rod i 1 2 3 4 5 6 7 Σ
Ti 166.75 308.5 334 400.75 536.25 546 1409.5 3701.750
xi 166.75 308.5 334 400.75 536.25 546 1409.5 3701.750
F(ti) 0.095 0.230 0.365 0.500 0.635 0.770 0.905 3.500
zi -1.315 -0.740 -0.345 0.000 0.345 0.740 1.315 0.000
xi.zi xi² -219.276 27805.562 -228.290 95172.250 -115.230 111556.000 0.000 160600.562 185.006 287564.063 404.040 298116.000 1853.492 1986690.250 1879.743 2967504.687
zi² 1.729 0.548 0.119 0.000 0.119 0.548 1.729 4.792
E. Kehandalan nilai MTTF Tanpa Preventive Maintenance Pada Komponen Piston Rod mesin pengelasan titik bergerak Kehandalan ini mengasumsikan sistem kembali pada kondisi semula atau kondisi baru setelah menjalani tindakan preventive maintenance. Untuk perhitungan kehandalan dapat dihitung setelah mendapatkan nilai mean time to failure (MTTF) dari komponen kritis, yaitu Piston Rod seperti diperlihatkan pada tabel 2. Tabel 2 Kehandalan Komponen Piston Rod Sebelum Preventive Maintenance T 100 200 300 400 500 520.71841 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000
t/tmed
Ln(t/tmed) -1.4650 -0.7718 -0.3663 -0.0787 0.1445 0.1851 0.3268 0.4810 0.6145 0.7323 0.8376 0.9329 1.0199 1.1000 1.1741 1.2431 1.3076 1.3683 1.4254 1.4795 1.5308
0.2311 0.4622 0.6933 0.9244 1.1554 1.2033 1.3865 1.6176 1.8487 2.0798 2.3109 2.5420 2.7731 3.0041 3.2352 3.4663 3.6974 3.9285 4.1596 4.3907 4.6218
R(t) 0.9918 0.8980 0.7257 0.5517 0.4071 0.3821 0.2963 0.2148 0.1587 0.1151 0.0846 0.0630 0.0480 0.0351 0.0268 0.0207 0.0158 0.0122 0.0096 0.0075 0.0060
Kehandalan sistem tanpa preventive maintenance R(t), (Ebeling, 1997) ( )
(
R(520.7184) = 1- Φ (
) 1 520.728 ln ) 0.60844 432,7365
= 1 - Φ(1,6435 x ln1,20332) = 1 - Φ(1,6435 x 0,1850) = 1 - 0.6179 data dari tabel Z = 0.3821 atau 38.21%
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-160
(1)
Penjadwalan Pemeliharaan Mesin Pengelasan Titik Bergerak Menggunakan Metode Realibility Centered Maintenance (RCM)
Dari hasil perhitungan kehandalan dengan simulasi diasumsikan 2000 jam operasi untuk setiap t (waktu). Dari hasil perhitungan kehandalan yang diperoleh dari MTTF = 520.71841 jam, dimana pada saat t = 520.71841, kehandalan R(t) dari sistem tanpa menggunakan preventive maintenance adalah sebesar 0.3821 atau 38.21%. F. Perhitungan Frekuensi Pemeriksaan Setelah Preventive Maintenance Kehandalan yang ingin ditingkatkan dari komponen piston rod adalah sebesar 90% dari kondisi sebelumnya. Contoh perhitungan apabila diambil pada waktu t100 dan t200 pada tabel 3 Perhitungan Kehandalan Komponen Piston Rod Sebelum Preventive Maintenance didapatkan Kehandalan R(t), dimana R(100) sebesar 0.991802 (99.18%) dan R(200) sebesar 0.897958 (89.79%). Selanjutnya mencari kehandalan yang diharapkan R(t) yaitu 90% dengan perhitungan waktu antara t100 sampai dengan t200. Dengan menggunakan cara coba-coba, angka percobaan yang diambil yaitu T = 198.61 jam, R (t) = 0.9000 atau 90.00 %. Tabel 3 Kehandalan Komponen Piston Rod Sesudah Preventive Maintenance R(tNo. t R(t) R(T)ⁿ nT) Rm(t) 1 100 0.992 0.999 0.992 1.0000 2
198.61
0.900
0.990
1.000
0.9990
3
200
0.898
0.989
1.000
0.9989
4
300
0.726
0.969
0.991
0.9914
5
400
0.552
0.942
1.000
0.9741
6
500
0.407
0.914
0.991
0.9490
7
520.718
0.382
0.908
0.98
0.9433
8
600
0.296
0.885
1.000
0.9194
9
700
0.215
0.858
0.990
0.8881
10
800
0.159
0.832
1.000
0.8587
11
900
0.115
0.805
0.990
0.8274
12
1000
0.085
0.782
1.000
0.8000
13
1100
0.063
0.759
0.987
0.7737
14
1200
0.048
0.738
1.000
0.7507
15
1300
0.035
0.715
0.988
0.7252
16
1400
0.021
0.680
1.000
0.6862
17
1500
0.021
0.680
0.988
0.6862
18
1600
0.016
0.661
1.000
0.6667
19
1700
0.012
0.643
0.990
0.6470
20
1800
0.010
0.631
1.000
0.6345
21
1900
0.008
0.617
0.987
0.6199
22
2000
0.006
0.600
1.000
0.6019
G. Menyediakan Redudancy Redundansi diperlukan untuk memastikan jika salah satu komponen rusak, sistem tetap dapat berfungsi dengan menggunakan komponen cadangannya (O’Connor, 2001). Misalnya sebuah sistem memiliki ketahanan komponen sebesar 0,8 dan perusahaan harus menyediakan cadangan dengan ketahanan komponen sebesar 0,8 pula, maka ketahanan totalnya adalah probabilitas komponen pertama ditambah dengan probabilitas komponen cadangannya, lalu dikalikan dengan probabilitas dibutuhkannya komponen cadangan (1 - 0,8 = 0,2), atau sama dengan 0,96. Hasil 0,96 (semakin mendekati nilai 1) berarti bahwa redundansi atau back up komponen harus mutlak diadakan sebelum tiba waktu interval perawatan yang dijadwalkan untuk menjaga agar mesin las titik bergerak selalu dalam kondisi siap pakai. Nilai redundansi yang semakin kecil SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-161
Noor, Musafak, Suhartini
atau mendekati nilai 0 (nol) menunjukkan bahwa realibility mesin semakin menurun. Hasil dari analisa perhitungan interval perawatan tersebut diketahui komponen piston rod PSW 156 memiliki selisih nilai interval perawatan yang tinggi yaitu 520,71841 jam. Komponen ini bila terjadi kerusakan membutuhkan waktu perbaikan yang lama dan harga komponen ini cukup mahal yaitu Rp 227.977.750,00.
IV. PENUTUP Kehandalan R(t) dari sistem tanpa menggunakan preventive maintenance adalah sebesar 38.21%. Sistem ini mempunyai ketahanan total sebesar 0,96 (semakin mendekati nilai 1) berarti bahwa redundansi atau back up komponen harus mutlak diadakan sebelum tiba waktu interval perawatan yang dijadwalkan untuk menjaga agar mesin las titik bergerak selalu dalam kondisi siap pakai. Kegiatan dan interval perawatan berdasarkan RCM untuk komponen yang memiliki kegagalan potensial adalah piston rod pada PSW 156 dengan scheduled restoration task dan scheduled dischard task, interval perawatan selama 176 jam.
DAFTAR PUSTAKA Assauri, Sofyan, 2004, Manajemen Produksi dan Operasi, edisi revisi, Jakarta, Lembaga Penerbit FE UI. Corder, Anthony, 1992, Teknik Manajemen Pemeliharaan, ter, K. Hadi, Jakarta, Erlangga. Dhillon, B.S., 2002, Engineering Maintenance, A Modern Approach, USA, CRC Press LLC Ebeling, Charles E, 1997, An Introduction to Kehandalan and Maintainability Engineering, Mc Graw Hill, Singapore, Ltd. Mahadevan, M.L., Poorana, K.S., danVinodh, R., 2010, Preventive Maintenance Optimization of Critical Equipment in Process Plant using Heuristic Algorithms, Proceedings of the 2010 International Conference on Industrial Engineering and Operations Management O’Connor, Patrick D. T. 2001, Practical Kehandalan Engineering, Fourth Edition, John Wiley & Sons Ltd. England
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-162
Petunjuk Sitasi: Z., M. M., & Lenggogeni, P. (2017). Perbaikan Workshop dengan Menerapkan Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) di Workshop PT. Semen Padang. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C163-167). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perbaikan Workshop dengan Menerapkan Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) di Workshop PT. Semen Padang (1), (2), (3)
Mufrida Meri Z.(1), Putri Lenggogeni(2) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Putra Indonesia “YPTK” Jl. Raya Lubuk Begalung Padang – Sumatera Barat (1) [email protected] , (2) [email protected] ABSTRAK Bengkel pabrikasi (Workshop) PT. Semen Padang adalah salah satu unit kerja dibawah Direktorat Litbang dan Operasi yang bergerak dibidang Manufacturing & Erection peralatan pabrik. Budaya kerja 5S yang terdiri dari seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke, merupakan serangkaian aktivitas ditempat kerja seperti kegiatan pemisahan, penataan, pembersihan, pemeliharaan, dan pembiasaan, yang semuanya diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Permasalahan-permasalahan yang ditemui di workshop adalah kebiasaan tenaga kerja yang yang tidak bisa mengembalikan dan menata ulang peralatan-peralatan yang telah digunakan sesuai dengan keberadaan semula, sehingga dari penerapan metode Lima S di Workshop yaitu untuk mengembangkan kemandirian karyawan, untuk menciptakan tempat kerja yang nyaman, dan untuk mengembangkan kepemimpinan Penerapan budaya kerja 5S di workshop PT Semen Padang yang telahdilakukan belum cukup baik, dikarenakan area penyimpanan masuk dalam kategori tidak efektif, evaluasi yang diberikan pada area penyimpanan perlu dilakukan perbaikan penataan material. Kata kunci—Area penyimpanan, efektifitas 5S, penerapan budaya kerja 5S.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan teknologi perindustrian telah memberikan pengaruh terhadap budaya lingkungan kerja. Banyak perusahaan-perusahaan di Eropa dan Amerika telah mengadopsi budaya kerja yang telah dikembangkan oleh Jepang, yaitu Seiri (Ringkas), Seiton (Rapi), Seiso (Resik), Seiketsu (Rawat) dan Shitsuke (Rajin). Hal ini disebabkan karena merupakan teknik dasar manajemen dalam lingkungan kerja yang mudah untuk diterapkan dan mampu mengurangi pemborosan dalam gerakan kerja (Osada, 2009). Untuk dapat memperoleh keuntungan yang optimal perusahaan tidak hanya harus menyediakan infrastruktur yang memadai dalam kegiatan proses produksinya tetapi juga harus didukung oleh budaya kerja yang baik. Penerapan Lima S juga dapat membantu dalam menciptakan tempat kerja dan suasana kerja yang kondusif, nyaman, aman, rapi, dan bersih yang secara tidak langsung akan membentuk budaya kerja yang efektif dan efisien, motivasi kerja, serta meningkatkan produktivitas kerja. Permasalahan-permasalahan yang ditemui di workshop adalah kebiasaan tenaga kerja yang yang tidak bisa mengembalikan dan menata ulang peralatan-peralatan yang telah digunakan sesuai dengan keberadaan semula menjadikan salah satu faktor penghambat dalam kelancaran bekerja sehingga menjadikan efisiensi waktu dalam melakukan pekerjaan kurang maksimal. Adapun tujuan dari penerapan metode Lima S di Workshop yaitu untuk mengembangkan kemandirian karyawan, untuk menciptakan tempat kerja yang nyaman, dan untuk mengembangkan kepemimpinan. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah para pekerja mengetahui tentang sikap dan perilaku kerja terhadap waktu, tempat kerja, disiplin, kerapian, ketelitian, target kerja, kualitas? SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-163
Meri Z., Lenggogeni
2. Apakah penataaan peralatan pada area sudah sesuai dengan ketentuan yang diinginkan? 3. Bagaimana hasil analisa penerapan Lima S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke) yang telah dilakukan pada area pabrikasi workshop? 4. Bagaimana evaluasi yang dilakukan dalam penerapan prinsip Lima S pada area pabrikasi workshop usulan? C. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengamatan dilakukan hanya pada area pabrikasi workshop. 2. Penelitian tidak membahas biayadalam perancangan Lima S. 3. Penempatan bahan baku dan mesin disesuaikan dengandimensi area. 4. Kondisi lingkungan kerja diambil pada July – Agustus 2016. 5. Luas keseluruhan area pabrikasi adalah 7.214 m 2. 6. Usulan perbaikan layuot hanya pada area Raw Material seluas 1.250 m2. D. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui Lima S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke) yang diterapkan pada area pabrikasi workshop PT. Semen Padang. 2. Sebagai alat manajemen bagi perusahaan untuk meningkatkan produktvitas kerja dengan penerapan metode Lima S. 3. Dapat menganalisis Lima S yang berjalan di workshop PT. Semen Padang khususnya di bagian area pabrikasi dan mencari solusi agar budaya kerja Lima S selalu diterapkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Lima S Salah satu metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan efisiensi waktu kerja adalah dengan menerapkan budaya kerja 5S. Budaya kerja 5S ini berasal dari Jepang. Takashi Osada menyampaikan bahwa 5S adalah serangkaian aktivitas ditempat kerja seperti kegiatan pemisahan, penataan, pembersihan, pemeliharaan, dan pembiasaan, yang semuanya diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Seiri yaitu memisahkan benda-benda yang tidak diperlukan di tempat kerja dibuang atau musnahkan, baik terhadap bahan baku, barang setengah jadi, maupun bahan jadi, barang rusak,dan lain-lain. Seiton berarti menyusun barang-barang yang diperlukan ditempat kerja sesuai dengan fungsi atau kelompoknya dengan tata letak yang benar dan efisien agar mudah mencari, mudah mendapatkan, dan mudah mengembalikan. Seiso yaitu membersihkan tempat kerja agar terawat. Seiketsu yaitu mempertahankan apa yang sudah dicapai selama melaksanakan 3 “s”sebelumnya. Shitsuke yaitu memastikan semua orang yang terlibat untuk disiplin serta mematuhi cara dan peraturan yang sudah dibuat. B. Pengaturan Lokasi Penyimpanan Barang Metode-metode penyimpanan material adalah: 1. Metode Penyimpanan Acak (Random Storage), yaitu penyimpanan item yang datang di setiap lokasi yang tersedia, di mana setiap item mempunyai probabilitas sarana pada setiap lokasi. 2. Metode Penyimpanan Tetap (Dedicated Storage), barang disimpanpada lokasitertentu tergantung karakteristik barangnya. 3. Metode class-based dedicated storage, metode ini merupakan gabungan antararandom storage dandedicated storage. Metodeclass-based dedicated storage membagisetiap produk yang ada kedalam tiga, empat atau lima kelas berdasarkan perbandingan throughputdanrasiostorage-nya 4. Metode shared storage, merupakan modelpenyimpanan dimana kebutuhan ruang penyimpanan diminimasi. Produk yang berbeda menggunakan slotpenyimpanan yang sama, walaupun hanya satu produk menempati satu slot ketika satu slot tersebut diisi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-164
Perbaikan Workshop dengan Menerapkan Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) Di Workshop PT. Semen Padang
III. METODE PENELITIAN
Gambar 1 Flowchart Metodologi Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbaikan dilakukan berdasarkan persentase yang rendah untuk masing-masing kategori 5S, yaitu pada area tertutup seiri 50%, seiton 100%, Seiso 75%, Seiketsu 75%, Shitsuke 50% dan area terbuka Seiri 25%, Seiton 25%, Seiso 75%, Seiketsu 25%, Shitsuke 50%. Penempatan barang dilakukan secara kelompok, berdasarkan size (ukuran), karakteristik, dan kesamaan jenis barang. Sehingga didapatkan total luas area sebesar 305, 98 m2. Workshop memiliki forklift dengan diagonal = 4.5 m. Artinya kebutuhan lebar gang yaitu 4.5 m. Sehingga total kebutuhan luas gang sebesar 562,5 m². Allowance antara jenis material. Kelonggaran untuk setiap jenis material hanya diasumsikan sebesar 0,5 m. Kebutuhan untuk lebar dari masing-masing kelompok material diasumsikan selebar 2m dan 2,5m. Sehingga luas area yang diperlukan untuk perancangan layout baru adalah: Total Luas Area = (2m x 198.65m) + (2.5m x 14m)= 432.3 m². Kebutuhan luas gang sebesar 562,5 m². Jika ditambahan dengan luas area yang diperlukan maka total area pada perancangan sebesar 994.8 m². Perancangan dapat disusun berdasarkan metode dedicated storage dan shared storage. Untuk mempermudah penempatan maka dilakukan dengan pengkodean. Tabel 1 Penetapan Kode Material No Nama Kode 1 Stainless Stell A D1 Stainless Stell B D2 Stainless Stell C D3 2 Boiler E1, E2 Boiler E3 3 Resistant A F3 Resistant B F2 Resistant C F1 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-165
Meri Z., Lenggogeni
4 5 6 7 8 9
WR H Beam I Beam UNP Beam Besi Bundar Persegi Hollow
C A1, A2 B H G I1, I2
Jarak yang ditentukan yaitu jarak dari tempat penyimpanan ke pintu keluar-masuk utama gudang dan pintu tempat produksi. Jarak diperoleh dari titik tengah masing-masing bahan baku.
adalah: (1) (2) Perhitungan jarak dilakukan dengan menggunakan metode Rectilinear Distance: [
]
[
]
(3)
Tabel 2 Kode dan jarak tempuh antara pintu ke area penyimpanan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Area Penyimpanan D1 D2 D3 E1 E2 E3 F3 F1 F2 C A B H G I
Jarak (m) 33,45 24,22 19,32 13,25 9,25 23,35 46,14 39,25 9,68 33,45 65,64 58,64 66,62 60,12 73,42
Perhitungan utilitas ruang dapat dilakukan dengan menggunakan perbandingan rasio luas ruang: (4) (5) Awal Usulan
: Kapasitas Volume Barang = 305.98 m2 x 4 m = 1223.92 m3 : Kapasitas Volume Barang = 432.3 m2 x 4 m = 1729.2 m3
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-166
Perbaikan Workshop dengan Menerapkan Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) Di Workshop PT. Semen Padang
Gambar 2 Layout Aktual
Gambar 3 Layout Usulan
V. PENUTUP Kesimpulannya adalah: 1. Penataan area kerja di wokshoppada area raw material sama sekali tidak ada penataan yang rapi, material yang masuk diletakkan sesuai area yang kosong saja, tanpa ada pertimbangan untuk ukuran, karakter dan berat. 2. Penerapan budaya kerja 5S di workshop PT. Semen Padang telah dilakukan dengan cukup baik. Namun pada area penyimpanan sangat tidak efektif, dengan luas area yang memadai penerapan 5S dalam pengelolaan barang belum diterapkan. 3. Evaluasi usulan yang dilakukan dalam penerapan pada area penyimpanan adalah penerapan utama pada indikator seiton (penataan) menyusun material sesuai dengan dimensi, karakteristik serta pembiasan prosedur 5S di workshop.
DAFTAR PUSTAKA Gering, Supriyadi dan Triguno, 2001, Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Jakarta. Lembaga Administrasi Negara. Hadiguna, Setiawan Heri, 2008, Tata Letak Pabrik, PT. Andi, Yogyakarta. Osada Takashi, 2004, Sikap Kerja 5S. Jakartta , PPM. Osada Takashi, 2011, Sikap Kerja 5S. Jakartta , PPM. Tommy, “Usulan Penerapan Metode 5S di PT. Sapernusa”, Jurnal, Progam Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta. Saefulloh dkk, 2015, “Usulan perbaikan berdasarkan metode 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke) untuk area kerja lantai produksi di PT.X.“, Jurnal Teknik Industri Institut Teknoogi Nasional. Bandung. Sedarmayati, 2009, Pengembangan Kepribadian Pegawai. Bandung: Mandar Maju. Suwondo Candra ,2012, “Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke)” Jurnal Magister Manajemen Universitas Borobudur.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-167
Petunjuk Sitasi: Harsono, A., Prasetyo, H., & Triadji, M. (2017). Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan Pada PT. Perkebunan Nusantara VIII. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C168-174). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan Pada PT. Perkebunan Nusantara VIII Ambar Harsono(1), Hendro Prassetyo(2), Mohammad Triadji (3) (1), (2) Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri Itenas Bandung Jalan PHH. Mustapha 23 Bandung (1) [email protected] ABSTRAK Industri Hilir Teh PT. Perkebunan Nusantara VIII (IHT PT. Perkebunan Nusantara VIII) adalah sebuah perusahaan yang memproduksi teh celup. Produk yang dihasilkan ini masih memiliki pemborosan pada proses produksinya, yang mengakibatkan tidak maksimalnya produktivitas perusahaan karena waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi teh menjadi lebih lama sehingga meningkatkan biaya produksi. Pemborosan antara lain terjadi pada aktivitas menunggu daun teh untuk diproduksi, aktivitas menunggu barang setengah jadi dari stasiun kerja sebelumnya serta pemborosan karena terdapat produk cacat yang dihasilkan. Metode perbaikan yang dipilih adalah lean manufacturing karena dapat memecahkan masalah pemborosan yang disebabkan oleh kelebihan produksi, waktu menunggu, transportasi, proses, inventori, gerakan, cacat, dan desain. Tahapan dari penelitian ini adalah membuat diagram SIPOC, memetakan current value stream map untuk mengidentifikasi pemborosan yang terjadi, melakukan analisis terjadinya pemborosan, membuat usulan perbaikan berdasarkan sebab-sebab pemborosan yang terjadi, dan kemudian merancang future state value stream map berdasarkan usulan yang telah dibuat. Berdasarkan identifikasi terhadap current value stream map, ada 12 kegiatan pemborosan type 1 dan 2 yang terjadi, namun saat ini hanya ada 5 pemborosan type 2 yang dapat diperbaiki, yaitu gerakan mencari dan menunggu pada setasiun kerja (SK) penyimpanan, cacat hasil kemasan pada SK pengemasan, menunggu dus selesai dibungkus dan menunggu proses pengecapan pada SK wrapping. Berdasarkan usulan perbaikan terhadap kelima pemborosan ini, diperkirakan akan terjadi pengurangan waktu non value added sebesar 332 menit, sehingga lead time menjadi 1404 menit dari sebelumnya sebesar 1737 menit. Kata kunci— Diagram SIPOC, Lean manufacturing, non-added value, value stream map.
I. PENDAHULUAN Industri Hilir Teh PT. Perkebunan Nusantara VIII (IHT PT. Perkebunan Nusantara VIII) adalah sebuah perusahaan yang memproduksi berbagai jenis teh celup, yaitu teh Walini, teh Gunung Mas, dan teh Goalpara. Pemborosan terjadi antara lain pada aktivitas menunggu pada pengangkutan daun teh untuk diproduksi, aktivitas menunggu barang setengah jadi dari stasiun kerja sebelumnya, serta aktivitas rework karena terdapat produk cacat, sehingga membutuhkan tambahan waktu, biaya, dan tenaga. Tujuan dari penelitian ini adalah memberi usulan perbaikan untuk mengurangi pemborosan pada proses produksi teh celup dengan menggunakan konsep lean manufacturing. Usulan perbaikan belum diimplementasikan, namun sudah diuj coba untuk mengetahui penghematan lead time dari kondisi sebelumnya. Metoda yang digunakan adalah lean manufacturing untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan yang terjadi , yaitu pemborosan karena kelebihan produksi, waktu menunggu, transportasi, proses, inventori, gerakan, dan cacat produk. Value stream mapping digunakan untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktifitas-aktifitas tidak bernilai tambah (non–value-adding activities). Untuk menghilangkan pemborosan karena menunggu akibat proses di stasiun kerja selanjutnya belum selesai, digunakan metoda batch overlapping untuk memperpendek waktu proses. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-168
Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan di PTP Nusantara VIII
II. STUDI LITERATUR Lean manufacturing merupakan upaya untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk (barang dan/atau jasa) agar memberikan nilai kepada pelanggan. Tujuan dari metoda lean manufacturing adalah meningkatkan terus-menerus customer value melalui peningkatan terus-menerus rasio antara nilai tambah terhadap waste (the value-to-waste ratio). (Gaspersz dan Fontana, 2011). APICS Dictionary (2005) dalam Gaspersz dan Fontana (2011) mendefinisikan value stream sebagai proses-proses yang membuat, memproduksi, dan menyerahkan produk ke pasar. Pada proses pembuatan barang, value stream mencakup pemasok bahan baku, manufaktur dan perakitan barang, dan jaringan pendistribusian kepada pengguna barang tersebut. Value stream mapping adalah teknik untuk menunjukkan dengan jelas aliran bahan baku dan aliran informasi saat ini yang dibutuhkan untuk membawa produk atau jasa sampai ke tangan konsumen dalam bentuk diagram (Liker, 2004). Implementasi value stream mapping dilakukan dengan cara : (1) Identifikasi produk atau jasa, (2) Pembuatan current state value stream map yaitu gambaran dari kondisi perusahaan saat ini, (3) Analisis dan identifikasi waste, (4) Perancangan usulan dan perbaikan, (5) Pemetaan future state value stream yang merupakan gambaran dari kondisi yang diinginkan oleh perusahaan di masa mendatang, (6) Penerapan rancangan keadaan yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Beberapa informasi yang harus diketahui untuk memudahkan pemetaan value stream adalah: (1) waktu proses, (2) aliran material, (3) permintaan, (4) transportasi material, (5) sistem informasi dan (6) aliran informasi distribusi kepada pengguna produk. Operasi overlapping adalah teknik mengurangi total lead time dari proses produksi yang memiliki 2 operasi atau lebih yang berurutan, dengan membagi lot menjadi dua batch atau lebih , dan merupakan praktek yang umum dalam dunia manufaktur ketika setup dibutuhkan (Fogarty, 1991). Tahapannya adalah: (1) Satu lot dibagi setidaknya menjadi 2 batch, (2) Setelah batch pertama dari operasi A selesai, segera dipindahkan ke operasi B untuk diproses, (3)Ketika operasi A memproses batch kedua, operasi B memproses batch pertama, (4) Ketika operasi A selesai memproses batch kedua, secepatnya dipindahkan ke operasi B. Jika waktu proses operasi B lebih kecil dibanding operasi A maka batch pertama harus lebih besar dari batch kedua untuk menghindari idle time pada operasi B. Perhitungan minimasi jumlah batch adalah sebagai berikut: Q = Q1 + Q2 (1) Q1PB + TAB + SB ≥ Q2PA + TAB
(2)
Asumsi: Q2 berada pada operasi B sebelum operasi B selesai pada Q 1 dimana: Q = Total ukuran lot; Q1 = ukuran batch pertama; Q2 = ukuran batch kedua SB = waktu setup operasi B; PA = waktu proses per unit operasi A PB = waktu proses per unit operasi B, TAB = waktu transportasi antara operasi A dan B Sehingga didapatkan rumus untuk Q1: (3)
III. TAHAPAN PENELITIAN Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : (1). Pengumpulkan data dan mengamati sistem perusahaan yaitu sistem informasi dan sistem produksi, termasuk bahan baku, jumlah mesin , waktu proses sebagai dasar pembuatan OPC, (2) Pembuatan diagram SIPOC untuk melihat aktivitas pada produksi pada supplier, input, process, output, dan customer, (3) Pembuatan current value stream map untuk melihat pemborosan yang terjadi sepanjang aliran produksi, (4) Identifikasi pemborosan yang terjadi berdasarkan current value stream map yang telah dibuat, (5) Analisis akar penyebab terjadinya pemborosan dengan metode 5 why+1H (Liker, 2004) dan (6) Pembuatan usulan perbaikan berdasarkan sebab-sebab pemborosan yang terjadi dan merancang future state value stream map berdasarkan usulan yang telah dibuat. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-169
Harsono, Prassetyo, dan Triadji
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Current Value Stream Map Setelah membuat peta proses operasi berdasarkan pengukuran waktu proses di setiap stasiun kerja, kemudian dibuat diagram SIPOC perpindahan material dan informasi dalam pembuatan teh Walini yang pada IHT PTPN VIII sebagai dasar untuk pembuatan Current value stream map. Current value stream map akan memperlihatkan aliran informasi dan aliran material dalam pembuatan produk dari proses pemesanan produk sampai produk jadi dan dikirim kepada konsumen.. Pemetaan current value stream map ini terdiri dari dua langkah, yaitu : (1) memetakan aliran informasi, (2) memetakan aliran material. Dari peta aliran informasi dan material, telah diidentifikasi jenis aktivitas dan waktu proses dari 10 Stasiun kerja yaitu (1) proses penimbangan daun teh,O-1, (2) proses blending, O-2 (3) proses penyimpanan dan pelabelan karung,O-3, (4) pengemasan dalan bentuk tea bag, O-4, (5) pengemasan tea-bag kedalam pembungkus aluminum (metalizing bag), O-5, (6) pengecapan dus , O-6, (7) perekatan metalizing bag oleh mesin sealer , O-7, (8) pengecapan master karton, O-8, (9) membungkus dus dengan plastik , O-9, dan (10) pengepakan dus ke dalam master karton, O10. Setiap operasi dapat terdiri dari beberapa aktivitas, dan dibedakan jenisnya (NVA dan VA) seperti pada Tabel 1.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Tabel 1. Waktu Non Value Added (NVA) dan Value Added (VA) Jenis Aktivitas Aktivitas Stasiun Kerja NVA VA Transportasi Gudang-SK Timbangan (O-1) √ Menimbang SK Timbangan √ Transportasi SK Timbangan-SK Blending √ Blending SK Blending (O-2) √ Penyimpanan SK Penyimpanan (O-3) √ Mencari SK Penyimpanan √ SK Penyimpanan-SK Transportasi √ pengemasan Menunggu SK Penyimpanan √ Pengemasan SK Pengemasan (O-4) √ Rework pengemasan SK Pengemasan √ Pembungkusan SK Pembungkusan (O-5) √ Gudang-SK Pengecapan Dus (OTransportasi √ 6) Pengecapan Dus SK Pengecapan Dus √ Sealer SK Sealer (O-7) √ Transportasi SK Sealer-SK Wrapping √ Gudang-SK Pengecapan MC (OTransportasi √ 8) Pengecapan MC SK Pengecapan MC √ Menunggu SK Wrapping (O-9) √ Wrapping SK Wrapping √ Rework hasil SK Wrapping √ wrapping Pengepakan SK Pengepakan (O-10) √
Waktu (Menit) 0,43 5 0,45 4 12 1 10,81 266,67 384 165,758 336 0,92 12 144 3,84 0,93 20 144 144 1,268 60
Aliran informasi dan aliran material serta aktivitas NA dan NAV ini kemudian digambarkan dalam Current Value Stream Map seperti pada gambar 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-170
Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan di PTP Nusantara VIII
Production Control
Pengadaan
Supplier
Purchase Order
Production Order
Informasi konsumen dan pesanan
Administrasi
Konsumen
Pemasaran Jenis dan jumlah pesanan
Purchase Order
Production Order Kepala Gudang Produksi L/T Bahan baku teh : 5 Hari L/T Bahan baku kemasan : 3 Minggu
Jadwal Produksi
Mandor Produksi
I
SK Pengecapan Dus
SK Pengecapan MC
1
1
C/T = 12'
C/T = 20'
Kap. Produksi = 240 Dus/Menit
SK Pengemasan
SK Blending SK Penyimpanan
1
1
C/T = 4'
C/T = 5'
C/O = 10'
C/T = 12'
Kapasitas Mesin = 180 Kg
Kap. Produksi = 0,417 Krg/Mnt
0,43'
SK Sealer
SK Pembungkusan
I
1
1
C/T = 384'
0,45'
SK Wrapping
SK Pengepakan
1
2
C/T = 144'
C/T = 144'
C/O = 15'
C/T = 60'
Kapasitas Mesin = 30 Dus
Kap. Produksi = 2 MC/Menit
C/O = 15'
C/T = 336'
Kapasitas Mesin = 1 Bag
Kapasitas Mesin = 50 Kg
Kap. Produksi = 4,286 Bag/Menit
Kap. Prod. = 10 Bag/Menit
10,81' Kap. Produksi = 76 TB/Menit M = 1' Df = 165,758' D = 266,67'
Kap. Produksi = 60 Kg/Menit NVA
1
SK Timbangan
Kapasitas Mesin = 300 Kg
Kap. Produksi = 6 MC/Menit
1
I
Kap. Produksi = 20 Dus/Menit
3,84' D = 164'
3 Hari
Df = 1,268'
NVA = 616,076' VA = 1121'
VA NVA
5'
4'
384'
336'
144'
144'
60'
Lead Time = 3,62 Hari
0,92' 12'
VA NVA
12'
0,93' 20'
VA
Gambar 1 Current Value Stream Map
B. Identifikasi Pemborosan pada Value Stream Map Identifikasi pemborosan dilakukan terhadap 12 kegiatan NVA pada Tabel 1 sepanjang current value stream map. Identifikasi pemborosan ini berisi rekapitulasi pemborosan yang terjadi berdasarkan hasil analisis current value stream map dan kemudian dilakukan pengelompokan jenis pemborosan seperti pada Tabel 2. Pemborosan type-1 sebagian besar adalah pemborosan transportasi yang tidak dapat diperbaiki saat ini antara lain karena tata letak mesin tidak dapat dirubah. Pemborosan type-2 adalah pemborosan yang dapat diperbaiki, antara lain dengaan melakukan batch overlapping dan penggantian supplier kantung pembungkus teh celup.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 2 Klasifikasi Jenis Pemborosan Non Added Value (NAV) Type Aktivitas Waktu 1 2 Pemindahan daun teh kering dari gudang ke SK O-1 0,43’ √ Pemindahan daun teh dari SK O-1 ke SK O-2 0,45’ √ Operator mencari alat tulis &selotipe di SK O-3 1’ √ Daun teh hasil blending menunggu di kemas di O-3 266,67 √ Pemindahan the dari SK O-3 ke O-4&I-2 10,81’ √ √ Pemeriksaan cacat hasil pengemasan di I-2 165,76 √ Pemindahan kotak kayu dari SK O-7 ke O-9 3,84 √ Dus menunggu proses sealing di SK Wrapping (O-9) 144 √ Menunggu proses pengecapan karton di SK O-9 20 √ Pemeriksaan cacat di SK O-9 1,268 √ Pemindahan dus dari gudang bahan ke SK O-6 0,92 √ Pemindahan karton dari gudang bahan ke SK O-8 0,93 √
Jenis pemborosan transportasi transportasi motion delay transportasi defect defect transportasi delay delay cacat transportasi transportasi
Berdasarkan Tabel 2 di atas, ada 5 pemborosan type 2 yang dapat diperbaiki, yaitu gerakan mencari dan menunggu pada O-3, cacat hasil kemasan pada I-2, menunggu dus selesai dibungkus dan menunggu proses pengecapan pada O-9. C. Analisis akar penyebab terjadinya pemborosan Berdasarkan hasil analisa penyebab terjadinya pemborosan dengan metoda 4W+1H, akar masalah dari kelima pemborosan type-2 adalah seperti pada Tabel 3. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-171
Harsono, Prassetyo, dan Triadji
Pemborosan (what) operasi jenis
O-3
motion
O-3
delay
I-2
defect
O-9
Tabel 3 Analisis penyebab pemborosan dengan 4W+1H Tempat Kapan Penanggung Penyebab terjadi terjadi jawab (who) (why) (where) (when) Tidak tersedia tempat penyimpanan alat tulis & selotip Saat proses SK Operator SK Operator tidak penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan tahu waktu karung yang tepat untuk melakukan pengisian ulang rata-rata cacat SK Operator SK Saat proses kemasan dari Pengemasan Pengemasan pengemasan supplier 6,87 % Operator SK seal
delay SK Wrapping
O-9
delay
Operator SK Pengecapan
Sebelum melakukan proses wrapping
Usulan perbaikan (how) Membuat tempat penyimpanan ATK dan menyediakan ATK Menentukan waktu pengisian tahap dua daun teh ke dalam holder sebelum mesin berhenti. Perlu pengawasan terhadap operator Mengganti supplier yang sepakat dengan rata-rata cacat 2%
Ukuran batch terlalu besar
Melakukan overlapping pada batch pengumpulan dus
Tidak ada operator khusus untuk melakukan pengecapan
Menambah operator untuk pengecapan MC
D. Usulan Perbaikan Usulan perbaikan pemborosan yang akan dibahas adalah delay pada O-9. Kondisi saat ini 1440 dus dikumpulkan dan diangkut dalam kotak kayu kapasitas 720 dus sebelum dikirim menuju stasiun kerja wrapping sehingga membuat mesin wrapping menunggu . Usulan untuk mengurangi delay pada stasiun kerja wrapping adalah dengan melakukan overlapping untuk membagi batch produksi sehingga dapat meminimisasi lead time dengan memakai Rumus (3) Q = ukuran batch = 1440 PA = waktu proses sealer = 0,1 menit PB = waktu proses wrapping = 0,05 menit Sb = waktu set up mesin wrapping = 0 menit (mesin disetup di awal) sehingga diperoleh Q1 = 960 dus dan Q2 = 480 dus. Overlapping kedua dilakukan karena ukuran batch Q 1 masih terlalu besar, agar lead time dapat diperkecil. Dengan Rumus (3), Q1 dipecah menjadi Q1.2 = 640 dus, dan Q1.2 = 320 dus.
Pada proses overlapping pertama, Q1 = 960 dan Q2 = 480 didapatkan lead time menjadi 121,92 menit. Pada proses overlapping kedua, ukuran Q1.1 sebesar 640 dan Q12 sebesar 320 dan didapatkan lead time menjadi 106,88 menit . Jika lima usulan perbaikan seperti pada Tabel 3 di atas diterapkan, maka diperkirakan akan terjadi penurunan lead time pada dari 1737,08 menit menjadi 1404,94 menit, atau pengurangan lead time sebesar 332 ,14 menit dengan rincian seperti pada Tabel 4. Pengurangan yang cukup besar dapat terjadi pada SK I-2 pengemasan. Berdasarkan pengamatan selama bulan Oktober 2016, rata-rata persen cacat/hari adalah 6,87%, sehingga membutuhkan waktu pengemasan ulang sebesar 165,76 menit. Apabila pekerjaan membungkus ulang teh celup dapat dikurangi dengan mengganti supplier yang menjamin jumlah cacat kemasan maksimum 2%, maka waktu pengemasan ulang diharapkan dapat ditekan menjadi 41,08 menit sehingga terjadi penghematan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-172
Usulan Penerapan Lean Manufacturing Untuk Mengurangi Pemborosan di PTP Nusantara VIII
waktu sebesar 124.68 menit. Namun usulan penggantian supplier bukan hal yang mudah dilakukan, dan sangat tergantung kepada kebijakan perusahaan. Tabel 4. Perbandingan waktu proses sebelum dan sesudah usulan No
Aktivitas
Stasiun Kerja
Jenis Aktivitas
Type pemborosan
NVA
type 1
VA
-
NVA
type 1
1
Transportasi
Gudang-SK Timbangan
2
Menimbang
SK Timbangan
3
Transportasi
SK Timbangan-SK Blending
4
Blending
SK Blending
VA
5
Penyimpanan
SK Penyimpanan
6
Mencari
7 8
Waktu, menit Kondisi kondisi awal usulan 0.43
0.43
5
5
0.45
0.45
-
4
4
VA
-
12
12
SK Penyimpanan
NVA
type 2
1
0
Transportasi
SK Penyimpanan-SK pengemasan
NVA
type 1
10.81
10.81
Menunggu
SK Penyimpanan
NVA
type 2
266.67
117.33
Pengemasan
SK Pengemasan SK Pengemasan SK Pembungkusan
type 2
384 165.76
384 41.08
11
Rework pengemasan Pembungkusan
VA NVA
12
Transportasi
Gudang-SK Pengecapan Dus
13
Pengecapan Dus
14
9 10
VA
-
336
336
NVA
type 1
0.92
0.92
SK Pengecapan Dus
VA
-
12
12
Sealer
SK Sealer
VA
-
144
144
15
Transportasi
SK Sealer -SK Wrapping
NVA
type 1
3.84
3.84
16
Transportasi
Gudang-SK Pengecapan MC
NVA
type 1
0.93
0.93
17
Pengecapan MC
SK Pengecapan MC
VA
-
20
20
18
Menunggu
SK Wrapping
NVA
type 2
164
106.88
19
Wrapping
SK Wrapping
VA
-
144
144
20
Rework hasil wrapping
SK Wrapping
NVA
type 1
1.27
1.27
21
Pengepakan
SK Pengepakan
VA
-
60
60
1737.08
1404.94
Total
Production Control
Pengadaan
Supplier
Purchase Order
Production Order
Informasi konsumen dan pesanan
Administrasi
Konsumen
Pemasaran Jenis dan jumlah pesanan
Purchase Order
Production Order Kepala Gudang Produksi L/T Bahan baku teh : 5 Hari L/T Bahan baku kemasan : 3 Minggu
Jadwal Produksi
Mengganti Supplier
Mandor Produksi
I
Jumlah Operator
SK Pengecapan MC 1
SK Pengecapan Dus C/T = 20'
1
Kap. Produksi = 6 MC/Menit
C/T = 12' Kap. Produksi = 240 Dus/Menit
Waktu Pengisian
Transfer Batch
5S
SK Pengemasan
SK Blending SK Penyimpanan
1
SK Timbangan
1
1
C/T = 4'
C/T = 5'
C/O = 10'
C/T = 12'
C/O = 15'
Kapasitas Mesin = 300 Kg
Kapasitas Mesin = 180 Kg
Kap. Produksi = 0,417 Krg/Mnt
Kapasitas Mesin = 50 Kg
0,43'
SK Wrapping 2 C/T = 144'
C/T = 336'
Kapasitas Mesin = 1 Bag
C/O = 15'
C/T = 60'
Kap. Produksi = 4,286 Bag/Menit
Kap. Prod. = 10 Bag/Menit
Kapasitas Mesin = 30 Dus
Kap. Produksi = 2 MC/Menit
Kap. Produksi = 76 TB/Menit
10,81' D = 117,33'
0,45'
SK Pengepakan
1 C/T = 144'
1
C/T = 384'
Kap. Produksi = 60 Kg/Menit NVA
SK Sealer
SK Pembungkusan
I
1
1
I
Kap. Produksi = 20 Dus/Menit
5,76' D = 84'
Df = 41,084'
Df = 1,268'
3 Hari
NVA = 263,132' VA = 1121'
VA NVA
5'
4'
384'
336'
144'
144'
60'
Lead Time = 2,88 Hari
12'
VA NVA
12'
0,92'
0,93' 20'
VA
Gambar 2 Future Value Stream Map
IV. PENUTUP Berdasarkan identifikasi terhadap current value stream map, ada 12 jenis kegiatan yang tidak mempunyai nilai tambah (NAV), namun hanya ada 5 pemborosan type 2 yang dapat diperbaiki, yaitu gerakan mencari dan menunggu pada O-3, cacat hasil kemasan pada I-2, menunggu dus selesai dibungkus dan menunggu proses pengecapan pada O-9. Usulan perbaikan adalah menata dan melengkapi SK dengan ATK, melakukan pengisian daun teh tahap kedua, mengganti supplier kemasan kantung teh, dan melakukan overlapping pada batch pengumpulan dus. Bila usulan tersebut dilaksanakan, maka akan terjadi pengurangan lead time sebesar 332 menit. DAFTAR PUSTAKA Fogarty, D.W., Blackstone, J.H., & Hoffmann, T.R., 1991, Production & Inventory Management. Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Co.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-173
Harsono, Prassetyo, dan Triadji
Gasperz, V., & Fontana, A., 2011, Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries, Bogor: Vinchristo Publication. Liker, J.K., 2004, The Toyota Way: 14 Managemenet Principles from the World’s Greatest Manufacturer, Jakarta: Erlangga.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-174
Petunjuk Sitasi: Yusrizal, & Mesra, T. (2017). Evaluasi Efektivitas Mesin Filter Press. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C175-180). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Evaluasi Efektivitas Mesin Filter Press Yusrizal (1), Trisna Mesra (2) Program Studi Teknik Industri, Sekolah Tinggi Teknologi Dumai Jl. Utama Karya Bukit Batrem II (1) [email protected], (2)[email protected] (1), (2)
ABSTRAK PT X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang agro industry, yang mengolah Crude Palm oil menjadi produk turunannya yaitu refined palm oil (RPO) sebagai produk utama dan refinedbleached deodorized stearin (RBDST) serta palm fatty acid destillate (PFAD) sebagai produk sampingan.Dalam melakukan proses pengolahan CPO menjadi turunannya salah satunya menggunakan mesin filter press yang mana mesin tersebut sering mengalami masalah yang berkaitan dengan efektivitas mesin/peralatan seperti terjadinya kerusakan pada mesin Filter Press seperti, Rubber Membrane koyak, Plate pecah, Preassure hidrolyc tidak mencapai target dan Preassure angin kurang yang menyebabkan Iodine Value (IV) Stearin rendah. Metodologi penelitian yang digunakan adalah melakukan pengamatan dan penelitian aktivitas perawatan mesin filter press, sedangkan tujuan penelitian adalah untuk melakukan analisis pada sistem manajemen dan pemeliharaan mesin filter press yang diterapkan di PT X serta memberikan usulan perbaikan terhadap sistem perawatan dengan menerapkan sistem pencegahan menggunakan metode pemeliharaan produktif total (TPM) yang terdiri dari variabel total efektivitas dan menghitung serta menganalisis variabel total efektifitas yang terdapat dalam sistem TPM dengan menggunakan metode TPM Indeks. Hasil penerapan TPM diperoleh nilai rata-rata OEE sebesar 63.57%, dimana nilai tersebut lebih rendah dibandingkan standarnya yang sebesar 85%. Sehingga melalui diagram cause and effect diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai OEE adalah faktor manusia, bahan baku, mesin, metode, dan lingkungan serta yang paling berpengaruh dan yang harus yang diperbaiki adalah dari faktor manusia, dimana operator harus di training lagi untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan dalam penanganan mesin dan metode. Kata kunci— Efektivitas, equipment, maintenance
I. PENDAHULUAN PT X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang agro industri yaitu pengolahan crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku utama yang diolah menjadi beberapa produk turunan, diantaranya adalah refined palm oil (RPO) atau olein sebagai produk utama dan refined bleached deodorized stearin (RBDST) serta palm fatty acid distillate (PFAD) sebagai produk sampingan. Dalam melakukan proses pengolahan CPO menjadi turunannya salah satunya menggunakan mesin filter press yang mana mesin tersebut sering mengalami masalah yang berkaitan dengan efektivitas mesin/peralatan seperti terjadinya kerusakan pada mesin Filter Press seperti, Rubber Membrane koyak, Plate pecah, Preassure hidrolyc tidak mencapai target dan Preassure angin kurang yang menyebabkan Iodine Value (IV) Stearin rendah. Akibat lain yang ditimbulkan kerusakan filter press yaitu dalam hal kualitas produk yang dihasilkan dimana produk yang tidak sesuai standar akan diolah kembali, sehingga akan menimbulkan biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Total productive maintenance (TPM) merupakan salah satu aktivitas perawatan yang mengikutsertakan semua elemen dari perusahaan, yang bertujuan untuk menciptakan suasana kritis (critical mass) dalam lingkungan industri guna mencapai zero breakdown, zero defect,dan zero accident. Sedangkan, OEE (Overall Equipment Effectiveness) merupakan metode yang digunakan sebagai pengukuran dalam penerapan program TPM guna menjaga peralatan pada kondisi ideal dengan menghapuskan six big losses peralatan yang merupakan hasil perkalian antara ketersediaan (AV), efektivitas produksi (PE) dan tingkat kualitas (RQ).Penerapan overall equipment effectiveness (OEE) Dalam implementasi total productive maintenance (TPM) yang SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-175
Yusrizal dan Mesra
dilakukan oleh Rahmad, dkk (2012) menyebutkan bahwa faktor yang memberikan kontribusi terbesar penyebab rendahnya efektivitas mesin giling I adalah faktor reduced speed loss dan brekdown loss I umumnya disebabkan sistem perawatan mesin yang belum sesuai, Sementara Rinawati (2014) mengukur nilai efektivitas peralatan, mencari akar penyebab masalah dan memberikan usulan perbaikan dengan menyiapkan perlengkapan autonomous maintenance, memberikan training bagi operator dan teknisi maintenance serta melakukan pengawasan terhadap operator untuk mengatasi permasalahan peralatan.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada sistem manajemen pemeliharaan mesin proses refinery and fractionation serta memberikan usulan perbaikan terhadap sistem perawatan dengan menerapkan sistem pencegahan menggunakan metode pemeliharaan produktif total (TPM) yang terdiri dari variabel total efektifitas, dan menghitung serta menganalisis variabel total efektifitas yang terdapat dalam sistem TPM dengan menggunakan pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder meliputi latar belakang perusahaan, prinsip, visi dan misi perusahaan, struktur organisasi perusahaan, dan lokasi perusahaan. Sedangkan data primer meliputi data proses produksi, data hasil produksi, karakteristik mesin, data kerusakan mesin, jumlah jam kerja mesin, jumlah jam henti mesin akibat rusak atauperbaikan, data penerapan perawatan terhadap mesin-mesin oleh perusahaan. Selanjutnya data-data pengamatan dilakukan pengolahan dengan menggunakan metode TPM. Dari pengolahan data, dianalisis apakah suatu program perawatan yang diterapkan di Perusahaan sesuai atau belum dengan standarisasi yang sudah ditetapkan, maka dilakukan usulan terhadap sistem perawatan dengan menggunakan cause and effect diagram.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data-data penunjang perhitungan nilai efektifitas keseluruhan peralatan dan mesin (OEE) yang diambil untuk dilakukan perhitungan nilai OEE adalah data jam kerja, lembur, waktu pemberhentian mesin, jumlah unit diproses, jumlah produk cacat, dimana data diambil dari bulan Juli sampai Desember 2015 dan Januari sampai Juni 2016 plant 1 PT X Tabel 1. Data Produksi Plant 1
20
Jumlah Produk (Ton) 24
Cacat Produk (Ton) 3
50
20
25
4
720
50
20
23
3
744
50
20
25
4
November
720
50
20
24
5
Desember
744
50
20
26
2
Januari
744
50
20
26
4
Februari
696
50
20
23
3
Maret
744
50
20
24
2
April
720
50
20
25
4
Mei
744
50
20
26
3
Juni
720
50
20
25
3
Available Time
PlannedDo wntime
Ideal Siklus Time
Juli
744
50
Agustus
744
September Oktober
Bulan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-176
Evaluasi Efektivitas Mesin Filter Press
A. Perhitungan Nilai Overall Equipment Effectiveness Tabel 2. Data Jam Henti Mesin Filter Press WaktuJam Penyetelan, Waiting, Waktu jam Kerusakan Cleaning, Quality check (Jam) Mesin Filter Press (Jam) 10 72
Bulan Juli Agustus
10
70
September
10
66
Oktober
10
53
November
10
75
Desember
10
76
Januari
10
76
Februari
10
42
Maret
10
50
April
10
65
Mei
10
70
Juni
10
75
B. Waktu Loading Waktu Loading = Jam kerja tersedia– Jam Planned downtime Waktu Operasi = Waktu Loading– Jam Kerusakan Mesin
C. Availability (AV) (1)
(2)
Bulan
Available time (jam)
Tabel 3. Perhitungan (AV) planned loading Avaibility downtime time Downtime (jam) (jam) (jam)
operation time (jam)
AV
AV %
Juli
744
50
694
72
622
0,896
89,625
Agustus
744
50
694
70
624
0,899
89,914
September
720
50
670
66
604
0,901
90,149
Oktober
744
50
694
53
641
0,924
92,363
November
720
50
670
75
595
0,888
88,806
Desember
744
50
694
76
618
0,890
89,049
Januari
744
50
694
76
618
0,890
89,049
Februari
696
50
646
42
604
0,935
93,498
Maret
744
50
694
50
644
0,928
92,795
April
720
50
670
65
605
0,903
90,299
Mei
744
50
694
70
624
0,899
89,914
Juni
720
50
670
75
595
0,888
88,806
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-177
Yusrizal dan Mesra
D. Perfomance Rate (PE) Perfomance Rate (efektivitas produksi) adalah hasil perhitungan dari jumlah produksi stearin dikali dengan waktu siklus ideal dari perusahaan (20jam/ton) dan kemudian dibagi dengan waktu operasi itu. (3) %
(4)
Tabel 4. Perhitungan Perfomance Rate Operation time dariAvaibility (jam)
WaktuJam Penyetelan, Waiting, Cleaning, Quality check (Jam)
operation time(jam)
proses amount (jam)
ideal siklus time (jam/ton)
PE
PE%
Juli
622
10
612
24
20
0,784
78,431
Agustus
624
10
614
25
20
0,814
81,433
September
604
10
594
23
20
0,774
77,441
Oktober
641
10
631
25
20
0,792
79,239
November
595
10
585
24
20
0,821
82,051
Desember
618
10
608
26
20
0,855
85,526
Januari
618
10
608
26
20
0,855
85,526
Februari
604
10
594
23
20
0,774
77,441
Maret
644
10
634
24
20
0,757
75,710
April
605
10
595
25
20
0,840
84,034
Mei
624
10
614
26
20
0,847
84,691
Juni
595
10
585
25
20
0,855
85,470
Bulan
E. Quality Rate (QR) Quality Rate (Tingkat Kualitas) adalah hasil perhitungan dari jumlah produk dikurang jumlah cacat produk dan kemudian dibagi dengan jumlah produk itu sendiri. -
-
(5) (6)
Bulan Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni
Tabel 5. Perhitungan Quality Rate JumlahProduksi (Ton) CacatProduk (Ton) 24 3 25 4 23 3 25 4 24 5 26 2 26 4 23 3 24 2 25 4 26 3 25 3
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-178
QR 0,875 0,840 0,870 0,840 0,792 0,923 0,846 0,870 0,917 0,840 0,885 0,880
QR% 87,500 84,000 86,957 84,000 79,167 92,308 84,615 86,957 91,667 84,000 88,462 88,000
Evaluasi Efektivitas Mesin Filter Press
F. Overall Equipment Effectiveness (OEE) Overall Equipment Effectiveness (efektivitas mesin) adalah hasil perkalian dari availability, perfomance rate dan quality rate. (7) (8)
%
Bulan Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni
AV
Tabel 6 Rekapitulasi Nilai OEE AV % PE PE% QR QR%
OEE
OEE%
0,896 0,899 0,901 0,924 0,888 0,890 0,890 0,935 0,928 0,903 0,899 0,888
89,625 89,914 90,149 92,363 88,806 89,049 89,049 93,498 92,795 90,299 89,914 88,806
0,615 0,615 0,607 0,615 0,577 0,703 0,644 0,630 0,644 0,637 0,674 0,668
61,508 61,504 60,707 61,478 57,686 70,302 64,443 62,962 64,401 63,740 67,391 66,794
0,784 0,814 0,774 0,792 0,821 0,855 0,855 0,774 0,757 0,840 0,847 0,855
̅̅̅̅̅̅
78,431 81,433 77,441 79,239 82,051 85,526 85,526 77,441 75,710 84,034 84,691 85,470
0,875 0,840 0,870 0,840 0,792 0,923 0,846 0,870 0,917 0,840 0,885 0,880
87,500 84,000 86,957 84,000 79,167 92,308 84,615 86,957 91,667 84,000 88,462 88,000
∑
(9)
Dengan nilai rata-rata OEE yang hanya 63.57% < 85%, masih dibawah standar JIPM (Japan Institute of Plant Maintenance). G. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai OEE Gambar 2. merupakan diagram cause and effect dari kuesioner yang dijawab oleh karyawan PT XYZ bagian fraksinasi. Material/Bahan Baku
Metode
Mesin Mesin Terlalu Panas (Over Heat)
Bahan Baku CPO dipaksa masuk standar Quality Control
Keterbatasan Para Ahli Perawatan Sistem Pemeliharaan yang Kurang Baik
Kurangnya Bahan Kimia Tambahan
Kurang Efektifnya Prosedur Pemeliharaan
Lantai tidak licin
Lingkungan yang kondusif Suhu ruangan yang stabil
Lingkungan/place
Kurangnya Pelumasan
Reproduksi Bahan Baku
Jam Kerja Mesin Tinggi
Kurangnya Pengetahuan Operator
Kegagalan Sistem Pemeliharaan (Rendahnya Nilai OEE)
Kurangnya Pelatihan oleh Perusahaan Kurangnya komunikasi antara leader dengan operator
Manusia
Gambar 2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Mesin Filter Press
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-179
Yusrizal dan Mesra
H. Usulan Perbaikan Menggunakan Diagram Cause and Effect Manusia Lancarnya Komunikasi Antara Leader dengan Operator
Adanya Pelatihan oleh Perusahaan
Bisa Mendiagnosa kerusakan Mesin Dengan Tepat
Tenaga Kerja Yang Ahli dan Terampil Adanya Pengawasan dari Para Ahli
Pemeliharaan Mesin Adalah Tanggungjawab Bersama
Metode
Gambar 2 Usulan Perbaikan Mesin Filter Press
V. PENUTUP Efektivitas mesin filter press dengan penerapan total productive maintenance dalam perhitungan nilai OEE pada mesin filter press dibulan Juli-Desember 2015 dan Januari-Juni 2016 mendapati hasil dibawah standar yaitu 63.57%, dimana 63.57% < 85% (standar JIPM). Faktorfaktor yang mempengaruhi nilai OEE pada mesin filter press adalah faktor manusia (man), mesin (machine), bahan baku (material), dan metode (method). Usulan perbaikan mengevaluasi menggunakan diagram cause and effect dalam penanganan mesin filter press yang bisa dilakukan adalah perbaikan dari faktor manusia dan faktor metode. Dari penelitian ini, hal yang bisa saya sarankan adalah melakukan kembali perhitungan efektivitas mesin filter press setelah dilakukannya perbaikan DAFTAR PUSTAKA Annisa, S., 2016, Proses Pengolahan Refined Palm Oil menjadi Refined Palm Stearin, Kerja Praktek, Sekolah Tinggi Teknologi Dumai Ansori, N., & Mustajib, M., 2013, Sistem Perawatan terpadu, Yogyakarta: Graha Ilmu. Corder, A., & Hadi, K., 1992, Teknik Manajemen Pemeliharaan, Jakarta: Erlangga. Djunaidi, M., & Natasya, R., 2013, “Pengukuran Produktivitas Mesin dengan Overall Equipment Effectiveness (OEE) pada PT Sinar Sosro KPB. CAKUNG”, Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) 2013, ISSN: 2339-028X. Hasriyono, M., 2009, Evaluasi Efektivitas Mesin Dengan Penerapan Total Productive Maintenance (TPM) di PT Hadi Baru, USU Repository 2009 Kurniawan, F., 2013, Manajemen Perawatan Industri, Yogyakarta: Graha Ilmu. Majid, M, A., 2014, “Usulan Penerapan Total Productive Maintenance (TPM) dengan Pengukuran Overall Equipment Effectiveness (OEE) Untuk Perencanaan Perawatan Pabrik Bar Mill pada PT Krakatau Wajatama”, Usulan Penerapan TPM, ISSN : 1411-6340 Rahmad, Pratiko, & Wahyudi, S., 2012, “Penerapan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dalam implementasi Total Productive Maintenance (TPM)”, Jurnal Rekayasa Mesin Vol.3, No.3 Tahun 2012:431-437, ISSN: 0216-468X Rinawati, D.I., 2014, “Analisis Penerapan Total Productive Maintenance (TPM) menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Six Big Losses pada Mesin Cavitec”, Prosiding SNATIF ke-1 2014, ISBN : 978-602-1180-04-4 Wiyatno, T, N., 2015, “Rancangan Strategi Peningkatan Produktivitas Berbasis Total Productive Maintenance (TPM) dengan Pendekatan DMAIC Six Sigma”, Seminar Nasional Seinedan Teknologi 2015, ISSN : 2407-1846
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-180
Petunjuk Sitasi: Rahman, A. (2017). Evaluasi Deviasi Dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Korektif Dan Preventif. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C181-186). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Evaluasi Deviasi dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Korektif dan Preventif Arif Rahman Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145 [email protected] ABSTRAK Dalam manajemen perawatan yang menerapkan strategi perawatan preventif, masih tetap mempunyai resiko terjadinya kegagalan sebelum perawatan preventif dilaksanakan. Penentuan interval waktu perawatan preventif berkaitan dengan nilai keandalan dan probabilitas kegagalan dari alat yang dirawat. Semakin pendek interval waktu perawatan preventif, maka nilai keandalan semakin tinggi dan probabilitas kegagalan semakin rendah. Namun hal ini juga berdampak pada meningkatnya frekuensi perawatan preventif dan menurunnya frekuensi perawatan korektif. Penelitian ini mengevaluasi tiga metode aproksimasi yang dapat digunakan untuk mengestimasikan frekuensi kejadian perawatan korektif dan frekuensi kejadian perawatan preventif dalam selang waktu tertentu. Interval waktu perawatan preventif menggunakan tiga skenario, yaitu persentil 10, persentil 90 dan rata-rata. Evaluasi deviasi mempergunakan tiga cara, yaitu: Deductive Reasoning, Inductive Reasoning dan Simulasi Montecarlo. Berdasarkan ketiga cara evaluasi deviasi pada ketiga metode aproksimasi dengan tiga skenario, menunjukkan bahwa metode aproksimasi yang ketiga mempunyai deviasi yang paling rendah.. Kata kunci— Frekuensi Kejadian Perawatan, Approksimasi, Evaluasi Deviasi, Deductive Reasoning, Inductive Reasoning, Simulasi Montecarlo.
I. PENDAHULUAN Reliability, availability dan maintainability merupakan tiga indikator yang digunakan untuk menilai kinerja manajemen perawatan (Ebeling, 1997). Manajemen perawatan mempergunakan indikator reliability untuk mengetahui kondisi keandalan peralatan produksi menjalankan fungsinya secara efektif dalam batas spesifikasi selama selang waktu tertentu tanpa mengalami kegagalan atau kerusakan. Indikator availability menunjukkan porsi waktu ketersediaan peralatan produksi untuk berfungsi efektif dengan kinerja optimum tanpa terganggu oleh kegagalan dan kerusakan. Sedangkan indikator maintainability merupakan kapabilitas dalam menjalankan perawatan peralatan produksi hingga kembali dalam kondisi berfungsi efektif sesuai batas spesifikasi. Perawatan preventif termasuk salah satu strategi perawatan yang dipergunakan untuk mengendalikan availability peralatan produksi terutama yang mempunyai tingkat keparahan atau severity yang relatif tinggi apabila terjadi kegagalan (Gross,2002). Tingkat severity menjadi tinggi apabila saat terjadinya kegagalan dapat menyebabkan resiko operator yang cedera, downtime yang lama, dan biaya perawatan yang besar. Perawatan preventif mengurangi resiko tersebut dengan mencegah kegagalan dengan perawatan lebih awal. Karena perawatan preventif dilaksanakan sebelum terjadinya kegagalan, maka menyebabkan frekuensi perawatan akan lebih sering. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara waktu yang diperlukan saat perawatan korektif dibandingkan perawatan preventif, dengan merencanakan perawatan preventif akan meningkatkan availability peralatan produksi. Frekuensi perawatan dalam selama periode tertentu akan mempengaruhi availability peralatan produksi selama periode tersebut. Terdapat banyak penelitian yang menghitung availability dengan mempertimbangkan frekuensi perawatan korektif dan preventif, (Mutiara, 2014), (Nurcahya, 2017), (Abdurrahman, 2017), (Alawiyah, 2017), (Iswayudi, 2017).
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-181
Rahman
II. PRINSIP DASAR TEORITIS Fundamental dalam perhitungan frekuensi kejadian perawatan lebih banyak didukung berdasarkan statistika dan teori probabilitas. Terdapat beberapa preposisi yang dipergunakan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan perhitungan aproksimasi frekuensi kejadian perawatan baik untuk perawatan korektif maupun preventif. Preposisi 1 : Probabilitas kejadian A merupakan jumlah bobot semua titik sampel kejadian A (Walpole, 2012). Probabilitas kejadian A merupakan suatu nilai peluang yang dimiliki oleh setiap anggota kejadian A pada sebuah eksperimen acak (Montgomery, 2011). Probabilitas kejadian A dalam ruang sampel S adalah peluang setiap titik sampel kejadian A menjadi keluaran dalam sebuah eksperimen acak dengan ruang sampel S, di mana semua titik sampel kejadian A menjadi elemen dari ruang sampel tersebut. Probabilitas kejadian A dalam ruang sampel S ekuivalen dengan proporsi banyaknya elemen kejadian A, N(A) terhadap keseluruhan elemen ruang sampel S, N(S). ( ) ( ) ( ) (1) ( ) ( ) (2) ( )
Preposisi 2 : Jika terdapat dua kejadian A dan B dalam ruang sampel S yang bersifat mutually exclusive maka probabilitas gabungan kedua kejadian dapat diperoleh dari penjumlahan probabilitas kejadian A dan probabilitas kejadian B, dan probabilitas irisan kedua kejadian adalah himpunan kosong (Montgomery, 2011). Jika tidak ada kejadian lainnya selain kedua kejadian, maka probabilitas gabungan kedua kejadian adalah sama dengan satu (Walpole, 2012). Sehingga satu kejadian merupakan komplemen atau negasi kejadian yang lainnya. ( ) ( ) ( ) (3) ( ) ( ) ( ) (4) Preposisi 3 : Rata-rata aritmetika variabel acak X berdistribusi tertentu dapat diperoleh berdasarkan fungsi ekspektasi dari distribusinya (Montgomery, 2011 dan Walpole, 2012). Fungsi ekspektasi variabel acak diskrit merupakan rata-rata berbobot dari setiap nilai X dengan bobot senilai probabilitasnya, p(x). Fungsi ekspektasi variabel acak kontinyu merupakan integral dari perkalian antara variabel acak X dengan fungsi probabilitasnya, f(x), untuk semua nilai X. ̅ ( ) ∑ ( ) (5) ̅ ( ) ∫ ( ) (6) Preposisi 4 : Rata-rata aritmetika terpotong (trimmed mean) variabel acak X merupakan nilai rata-rata dari nilai X yang terhitung setelah dikurangi sebagian nilai keluarannya yang mungkin (Montgomery, 2011 dan Walpole, 2012). Rata-rata aritmetika terpotong variabel acak diskrit diperoleh dari jumlah hasil perkalian dari setiap nilai X yang terhitung dengan bobot senilai probabilitasnya, p(x), dibagi dengan total probabilitas X yang terhitung. Rata-rata aritmetika terpotong variabel acak kontinyu diperoleh dari integral dari perkalian antara variabel acak X yang terhitung dengan fungsi probabilitasnya, f(x), dibagi dengan total probabilitas X yang terhitung. ∑ ( ) ̅ ( ) (7) ∑
̅
(
)
∫ ∫
( )
( ) ( )
(8)
Preposisi 5 : Frekuensi rata-rata kejadian atau rata-rata banyaknya kemunculan kejadian (occurences), N(t), pada proses stokastik dalam selang waktu tertentu, T, ekuivalen dengan hasil pembagian selang waktu tersebut dengan rata-rata waktu antar kejadiannya, ̅ . ̅ ( ) ̅ (9)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-182
Evaluasi Deviasi Dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Korektif Dan Preventif
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Data Data waktu antar kejadian yang dipergunakan adalah data waktu menuju kegagalan (Time To Failure, TTF). Data TTF dari sebuah part dalam satu mesin produksi yang menjadi objek penelitian ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Daftar Time To Failure (TTF) dalam Jam Selama 3 Tahun NO TTF NO TTF NO TTF 1 110 11 295 21 83 2 469 12 1.466 22 1.029 3 381 13 1.854 23 1.246 4 1.661 14 134 24 356 5 1.025 15 1.015 25 361 6 117 16 3.833 26 2.680 7 390 17 222 27 811 8 1.460 18 1.109 28 1.782 9 178 19 426 29 458 10 86 20 737 30 186
Hasil pengujian distribusi dari data TTF tersebut menunjukkan bahwa distribusi dari variabel acak TTF adalah distribusi eksponensial dengan parameter Beta () sebesar 865 jam atau Lamda () sebesar 10,127 kegagalan/tahun. B. Formulasi Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Tabel 2 menunjukkan daftar beberapa variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini terkait dengan aproksimasi frekuensi kejadian perawatan. NO 1 2 3 4 5 6
VAR T T f(t) P(t) TP TM
Tabel 2 Daftar Variabel yang Dipergunakan dalam Penelitian KETERANGAN NO VAR KETERANGAN Time To Failure 7 MTTF Mean Time To Failure Selang waktu perencanaan 8 MTTFt Trimmed MTTF Fungsi probabilitas 9 MTM Rata-rata TM Probabilitas 10 Nc Frek. perawatan korektif Interval perawatan preventif 11 Np Frek. perawatan preventif Waktu menuju perawatan 12 Ntot Frek. perawatan keseluruhan
Frekuensi kejadian perawatan korektif dan preventif dalam selang waktu tertentu tidak dapat ditentukan secara deterministik. Terjadinya kegagalan pada peralatan produksi mengikuti proses stokastik. Terdapat ketidakpastian kapan akan terjadinya kejadian kegagalan. Kejadian kegagalan dan ketidak-gagalan hingga interval perawatan preventif (Interval Time of Preventive Maintenance, TP) merupakan dua kejadian yang bersifat mutually exclusive. Perawatan preventif akan dilakukan apabila hingga interval perawatan preventif tidak terjadi kegagalan pada peralatan produksi. Dan apabila sebelum interval perawatan preventif terjadi kegagalan, maka dilakukan perawatan korektif pada peralatan produksi tersebut. Penelitian ini mempergunakan tiga aproksimasi untuk mengestimasikan frekuensi kejadian perawatan korektif dan preventif dengan asumsi waktu perawatan (Time To Repair, TTR) relatif singkat. Aproksimasi 1 : probabilitas kejadian perawatan dikalikan dengan frekuensi kejadian mutually ekslusif dengan waktu kejadian perawatan korektif sebesar MTTF. ( ) (10) (
)
(11) (12)
Aproksimasi 2 : probabilitas kejadian perawatan dikalikan dengan frekuensi kejadian mutually ekslusif dengan waktu kejadian perawatan korektif sebesar rata-rata aritmetika terpotong dari TTF. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-183
Rahman
( )
∫
(
(13)
( )
∫
) (
(14) )
(15) (16)
Aproksimasi 3 : probabilitas kejadian perawatan dikalikan dengan rata-rata waktu kejadian mutually eksklusif untuk mengestimasi frekuensi kejadian perawatan berdasarkan rata-rata waktu kejadian perawatan. ( ( ) ) ( ( ) ) (17) (18) ( ) (19) ( ) (20) C. Skenario Perawatan Preventif Penelitian ini mengevaluasi penerapan ketiga aproksimasi dengan mempergunakan tiga skenario perawatan preventif, yaitu Persentil 10, Persentil 90 dan Rata-rata. Skenario Persentil 10 bermakna penentuan waktu interval perawatan preventif sedemikian hingga probabilitas kegagalan sebelum interval perawatan preventif adalah sebesar 10%. Dan skenario Persentil 90 bermakna penentuan waktu interval perawatan preventif sedemikian hingga probabilitas kegagalan sebelum interval perawatan preventif adalah sebesar 90%. Sedangkan skenario Ratarata bermakna penentuan waktu interval perawatan preventif sebesar MTTF. Diketahui bahwa TTF berdistribusi eksponensial dengan parameter Beta () sebesar 865 jam atau Lamda () sebesar 10,127 kegagalan/tahun. Pada skenario Persentil 10 ditentukan TP sebesar 91 jam, P(t < 91) = 10%. Pada skenario Persentil 90 ditentukan TP sebesar 1991 jam, P(t < 1991) = 90%. Pada skenario Rata-rata ditentukan TP sebesar 865 jam, P(t < 865) = 63%. Berdasarkan penentuan waktu interval perawatan preventif (Interval Time of Preventive Maintenance, TP) sesuai dengan masing-masing skenario, maka ditentukan waktu menuju perawatan (Time To Maintain, TM). Jika TTF lebih kecil atau sama dengan TP, maka part sudah mengalami kegagalan, sehingga perawatan yang dilakukan adalah perawatan korektif atau TM = TTF. Sedangkan sebaliknya jika TTF lebih besar daripada TP, maka part belum mengalami kegagalan, sehingga perawatan yang dilakukan adalah perawatan preventif atau TM = TP. Jika skenario tersebut diterapkan dalam data historis maka diperoleh hasil seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 untuk skenario Persentil 10, Tabel 4 untuk skenario Persentil 90 dan Tabel 5 untuk skenario Rata-rata. Tabel 3 Penerapan Skenario Persentil 10 (TP=91) pada Data Historis NO TTF MTC TM NO TTF MTC TM NO TTF MTC 1 110 P 91 11 295 P 91 21 83 C 2 469 P 91 12 1.466 P 91 22 1.029 P 3 381 P 91 13 1.854 P 91 23 1.246 P 4 1.661 P 91 14 134 P 91 24 356 P 5 1.025 P 91 15 1.015 P 91 25 361 P 6 117 P 91 16 3.833 P 91 26 2.680 P 7 390 P 91 17 222 P 91 27 811 P 8 1.460 P 91 18 1.109 P 91 28 1.782 P 9 178 P 91 19 426 P 91 29 458 P 10 86 C 86 20 737 P 91 30 186 P *) MTC : jenis perawatan dengan preventif (P) atau korektif (C)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-184
TM 83 91 91 91 91 91 91 91 91 91
Evaluasi Deviasi Dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Korektif Dan Preventif
Tabel 4 Penerapan Skenario Persentil 90 (TP=1991) pada Data Historis NO TTF MTC TM NO TTF MTC TM NO TTF MTC 1 110 C 110 11 295 C 295 21 83 C 2 469 C 469 12 1.466 C 1.466 22 1.029 C 3 381 C 381 13 1.854 C 1.854 23 1.246 C 4 1.661 C 1.661 14 134 C 134 24 356 C 5 1.025 C 1.025 15 1.015 C 1.015 25 361 C 6 117 C 117 16 3.833 P 1.991 26 2.680 P 7 390 C 390 17 222 C 222 27 811 C 8 1.460 C 1.460 18 1.109 C 1.109 28 1.782 C 9 178 C 178 19 426 C 426 29 458 C 10 86 C 86 20 737 C 737 30 186 C *) MTC : jenis perawatan dengan preventif (P) atau korektif (C)
TM 83 1.029 1.246 356 361 1.991 811 1.782 458 186
Tabel 5 Penerapan Skenario Rata-rata (TP=865) pada Data Historis NO TTF MTC TM NO TTF MTC TM NO TTF MTC 1 110 C 110 11 295 C 295 21 83 C 2 469 C 469 12 1.466 P 865 22 1.029 P 3 381 C 381 13 1.854 P 865 23 1.246 P 4 1.661 P 865 14 134 C 134 24 356 C 5 1.025 P 865 15 1.015 P 865 25 361 C 6 117 C 117 16 3.833 P 865 26 2.680 P 7 390 C 390 17 222 C 222 27 811 C 8 1.460 P 865 18 1.109 P 865 28 1.782 P 9 178 C 178 19 426 C 426 29 458 C 10 86 C 86 20 737 C 737 30 186 C *) MTC : jenis perawatan dengan preventif (P) atau korektif (C)
TM 83 865 865 356 361 865 811 865 458 186
Berdasarkan Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5, maka dapat diperkirakan berapa frekuensi kejadian perawatan korektif, frekuensi kejadian perawatan preventif, frekuensi kejadian perawatan keseluruhan dan total akumulasi waktu menuju perawatan (TM). Semua skenario memang menunjukkan bahwa frekuensi kejadian perawatan keseluruhan adalah sama, namun total akumulasi waktu menuju perawatan (TM) berbeda. Jika dalam selang waktu tertentu sebesar 8.760 jam (1 tahun), dengan menggunakan perhitungan proporsional maka dapat diperoleh perhitungan estimasi frekuensi kejadian perawatan dalam selang waktu 8.760 jam yang ditunjukkan Tabel 6. Tabel 6 Estimasi Frekuensi Kejadian Perawatan dalam T=8.760 jam pada Data Historis Skenario Perhitungan Estimasi Nc Np Ntot Nc Np Ntot TM TM Persentil 10 2 28 30 2.717 6,45 90,28 96,73 8.760 Persentil 90 28 2 30 23.429 10,47 0,75 11,22 8.760 Rata-rata 18 12 30 16.180 9,75 6,50 16,25 8.760
Ketiga skenario disimulasikan masing-masing 10 replikasi. TTF dibangkitkan berdasarkan distribusi eksponensial dengan parameter Beta () sebesar 865 jam. Setiap replikasi penghentian simulasi saat waktu simulasi mencapai 8.760 jam. Hasil simulasi montecarlo ditunjukkan Tabel 7. Tabel 7 Estimasi Frekuensi Kejadian Perawatan dalam T=8.760 jam Hasil Simulasi Skenario Nc Np Ntot Persentil 10 7,5 2,068 92,5 1,354 100 1,054 Persentil 90 11 2,449 0,5 0,527 11,5 2,121 Rata-rata 9,2 3,490 5,4 1,955 14,6 2,011
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-185
Rahman
D. Evaluasi Deviasi dari Aproksimasi Frekuensi Kejadian Perawatan Waktu menuju kegagalan atau TTF berdistribusi eksponensial dengan parameter Beta () sebesar 865 jam. Maka fungsi probabilitas (probability density function, pdf) dari TTF ditunjukkan pada Rumus (21). ( )
⁄
(21)
Masing-masing aproksimasi diterapkan pada setiap skenario. Selang waktu yang dipergunakan sebesar 8.760 jam (1 tahun). Hasil perhitungan ditunjukkan Tabel 8. Tabel 8 Estimasi Frekuensi Kejadian Perawatan dalam T=8.760 jam Hasil Aproksimasi MTTFt Aproksimasi 1 Aproksimasi 2 Aproksimasi 3 Nc Np Ntot Nc Np Ntot Nc Np Ntot Persentil 10 44,70 1,01 86,65 87,66 19,57 86,65 106,22 10,13 91,29 101,42 Persentil 90 643,57 9,11 0,44 9,554 12,25 0,44 12,69 10,13 1,13 11,26 Rata-rata 361,59 6,40 3,73 10,13 15,31 3,73 19,04 10,13 5,89 16,02 Skenario
Validasi ketiga aproksimasi dievaluasi dengan deductive reasoning, inductive reasoning dan simulasi montecarlo. Evaluasi deductive reasoning menunjukkan bahwa ketiga aproksimasi dikembangkan sesuai 5 preposisi dalam fundamental perawatan. Dalam evaluasi inductive reasoning, yaitu dengan membandingkan antara Tabel 8 dengan Tabel 6, diperoleh bahwa deviasi terrendah adalah aproksimasi 3. Sedangkan dalam evaluasi simulasi montecarlo, yaitu dengan membandingkan antara Tabel 8 dengan Tabel 7, aproksimasi 3 juga memberikan deviasi terrendah. IV. PENUTUP Aproksimasi 3 memberikan hasil estimasi frekuensi kejadian perawatan keseluruhan dengan deviasi yang paling rendah. Namun ada kejanggalan dalam estimasi frekuensi kejadian perawatan korektif, di mana nilai estimasinya tetap meskipun waktu interval perawatan berubah.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, H.; Rahman, A.; & Himawan, R., 2017, “Perencanaan Jadwal Pemelharaan Preventif Mesin Plate Heat Exchanger Di KUD Dau”, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 5 No. 5, hlm. 985-996. Alawiyah, S.U.; Rahman, A.; & Hamdala, I., 2017, “Perencanaan Interval Perawatan Komponen Mesin Filler Dengan Metode Fault Tree Analysis Untuk Meningkatkan Availability”, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 5 No. 11, hlm. 2437-2449. Ebeling, C.E., 1997, An Introduction To Reliability And Maintainability Engineering, New York: McGrawHill. Iswayudi, D.; Rahman, A.; & Hamdala, I., 2017, “Upaya Meminimasi Downtime Pada Mesin Bamboo Wool Licer Menggunakan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) II Di CV Mandiri, Malang”, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 5 No. 1, hlm. 203-214. Gross, J.M., 2002, Fundamentals of Preventive Maintenance, New York: Amacom. Montgomery, D.C.; & Runger, G.C., 2011, Applied Statistics and Probability for Engineers, Fifth Edition, New York: John Wiley & Sons. Mutiara, S.D.; Rahman, A.; & Hamdala, I., 2014, “Perencanaan Preventive Maintenance Komponen Cane Cutter I dengan Pendekatan Age Replacement (Studi Kasus Di PG Kebon Agung Malang)”, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 2 No. 2, hlm. 396-405. Nurcahya, N.N.T.; Rahman, A.; & Sulistyarini, D.H., 2017, “Perancangan Aktivitas Pemeliharaan Boiler Unit 3 Dengan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) II”, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 5 No. 7, hlm. 1541-1553. Walpole, R.E.; Myers, R.H.; & Myers, S.L., 2012, Probability & Statistics for Engineers & Scientists, Ninth Edition, New York: Prentice Hall.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-186
Petunjuk Sitasi: Aulia, R. S., Novareza, O., & Sulistyarini, D. H. (2017). Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C187-193). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Ratri Sinatrya Aulia(1), Oyong Novareza(2), Dwi Hadi Sulistyarini(3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang, Indonesia (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Dalam melakukan proses produksi tentu dibutuhkan sumber daya produksi seperti mesin, manusia, dan material. Adanya kendala pada sumber daya produksi akan menyebabkan berhentinya proses produksi sehingga dapat menurunkan produktivitas produksi. Objek dari penelitian ini adalah perusahaan yang memproduksi filter rokok. Pada proses produksi filter rokok yang dilakukan masih ditemukan kendala berupa timbulnya downtime pada mesin-mesin yang digunakan. Mesin produksi filter rokok mono jenis A memiliki nilai downtime tertinggi diantara mesin produksi lainnya. Mesin tersebut adalah mesin KM0W, KM0X, KM0Y dan KM0Z. Selain itu, terdapat kerugian berupa speed losses dan defect. Apabila kerugian-kerugian dibiarkan maka berdampak pada kelancaran produksi sehingga perlu dilakukan pengukuran efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A menggunakan OEE dan ORE. Hasil perhitungan metode OEE menunjukkan rata-rata nilai sebesar 58,62% sedangkan rata-rata nilai hasil perhitungan ORE sebesar 55,51%. Selanjutnya, akan dilakukan identifikasi masalah pada rendahnya nilai ORE dikarenakan memiliki nilai terendah dibandingkan dengan rata-rata nilai OEE. Hasil dari identifikasi akar penyebab masalah rendahnya nilai efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A menggunakan cause effect diagram dapat dikelompokkan menjadi faktor manusia, material, mesin, metode, lingkungan. Berdasarkan identifikasi akar penyebab masalah tersebut kemudian dilakukan tindakan perbaikan guna meningkatkan efektivitas dari sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. Kata kunci— Cause effect diagram, filter rokok mono jenis A, Overall Equipmet Effectiveness (OEE), Overall Resource Effectiveness (ORE)
I. PENDAHULUAN Dalam industri manufaktur, produktivitas produksi merupakan hal utama yang perlu ditingkatkan. Peningkatan produktivitas dapat terwujud dengan adanya suatu proses produksi yang berjalan secara efektif dan efisien. Proses produksi yang dilakukan tentu membutuhkan sumber daya produksi seperti manusia, mesin dan material. Suzuki (dalam Eswaramurthi dan Mohanram, 2013) menyatakan bahwa efektivitas produksi bergantung pada efektivitas penggunaan peralatan, material, tenaga kerja dan metode. Hal ini berarti untuk meningkatkan efektivitas produksi dapat dimulai dari penggunaan sumber daya dengan meminimalisir losses yang berkaitan dengan sumber daya produksi tersebut. Losses adalah kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh adanya waktu produksi yang terbuang atau adanya suatu kerusakan sehingga mesin produksi tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya (Amrussalam dkk, 2016). PT. X merupakan perusahaan penghasil filter rokok. Secara umum, produk yang dihasilkan yaitu filter rokok mono dan dual. Pada bulan Januari-Desember 2016, proses produksi yang dilakukan masih mengalami kendala seperti adanya kerusakan mesin secara tiba-tiba, keterlambatan material, ketidaktersediaan tenaga kerja saat produksi. Kendala tersebut menimbulkan kerugian berupa downtime mesin. Sudrajat (2001) menyatakan bahwa waktu hilang dikarenakan oleh kondisi mesin yang tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya disebut downtime. Mesin dengan nilai downtime tertinggi ialah mesin untuk memproduksi filter rokok mono jenis A yang dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu, dalam proses produksi juga timbul
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-187
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
kerugian berupa speed losses dan defect. Adanya speed losses dari keempat mesin tersebut dikarenakan adanya perbedaan antara speed ideal mesin sebesar 400 m/menit dengan speed actual yang digunakan sebesar 100 m/menit. Mengenai defect filter rokok mono jenis A tiap mesin dapat dilihat pada Gambar 1, yang mana presentase defect pada tiap mesin melebihi standar presentase defect yang telah ditentukan oleh perusahaan yaitu sebesar 1,4%. Tabel 1 Data Downtime Mesin Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 Mesin Total Downtime (menit) Total Waktu Produksi Tersedia (menit) Downtime (%) KM01 126241 460800 27,4 KM05 80383 387360 20,8 KM07 91311 478080 19,1 KM12 111192 504000 22,1
Gambar 1 Perbandingan total dan standar maksimal defect mesin produksi filter rokok mono jenis A
Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan pada proses produksi filter rokok mono jenis A ialah dengan menggunakan Overall Equipmet Effectiveness (OEE) dan Overall Resource Effectiveness (ORE). OEE berfungsi untuk mengukur performansi, mengidentifikasi peluang pengembangan suatu peralatan yang berkaitan dengan faktor availability, performance dan quality (Reyes dkk, 2009). Eswaramurthi dan Mohanram (2013) menyatakan bahwa untuk menangani kerugian yang berhubungan dengan sumber daya produksi, penggunaan OEE kuranglah sesuai. Kemudian muncul pengembangan metode untuk mengetahui efektivitas sumber daya produksi menggunakan ORE. Selain itu, pada penelitian digunakan cause effect diagram untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah dari rendahnya efektivitas sumber daya produksi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengukuran efektivitas mesin pada produksi filter rokok mono jenis A menggunakan OEE, melakukan pengukuran efektivitas sumber daya pada produksi filter rokok mono jenis A menggunakan ORE, megidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya efektivitas sumber daya produksi, serta memberikan usulan perbaikan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini diawali dengan tahap pendahuluan yaitu melakukan studi lapangan, studi literatur, mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, dan menentukan tujuan penelitian. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data. Terdapat dua data yaitu data sekunder yang terdiri dari data waktu produksi tersedia, data downtime, data jumlah produksi dan defect dari filter rokok mono jenis A serta data primer yang terdiri dari proses produksi filter rokok mono jenis A, data penyebab dan efek kegagalan yang terjadi. Tahap berikutnya yaitu melakukan pengolahan data dengan melakukan perhitungan menggunakan metode OEE dan metode ORE. Selanjutnya tahap analisis dan pembahasan. Tahap terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. 1) Overall Equipment Effectiveness (OEE) OEE merupakan metode yang digunakan untuk ukur efektivitas penggunaan peralatan sebagai salah satu aplikasi program Total Productive Maintenance yang mana menunjukkan tingkat keefektifan fasilitas secara menyeluruh yang diperoleh dengan memperhitungkan availability rate, performance rate dan quality rate (Saiful dkk, 2014). 2) Overall Resource Effectiveness (ORE) ORE adalah metode yang digunakan untuk mengukur waktu efektif keseluruhan dari sistem manufaktur yang berkaitan dengan adanya resources (man, machine, material, method) yang digunakan (Eswaramurthi dan Mohanram, 2013). Pengukuran dilakukan dengan melibatkan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-188
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
faktor readiness (R), availability of facility (Af), changeover efficiency (C), availability of material (Am), availability of manpower (Amp), performance efficiency (P), quality rate (Q). 3) Cause Effect Diagram Watson (dalam illie G. Dan Ciocoiu C.N., 2010) menyatakan bahwa cause effect diagram merupakan salah satu tool yang disediakan dengan cara menggambarkan secara sistematis berbagai akibat dan penyebab yang berkontribusi pada akibat tersebut. Cause effect diagram juga disebut sebagai fishbone diagram yang meliki keuntungan untuk identifikasi akar penyebab dan menelusuri masalah secara lebih lanjut, menghasilkan ide-ide. (Dhillon, 2008).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tabel 2 dan tabel 3 merupakan data yang dikumpulkan dan diolah menggunakan metode OEE dan ORE. Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas penggunaan mesin maupun sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. Tabel 2 Data Perhitungan OEE Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 UnWaktu Planned Loading planned Operating Processed Ideal Defect tersedia downtime time down time Amount Cycle Time Amount (menit) (menit) (menit) time (menit) (rod) (menit/rod) (rod) (menit) 334559 208597040 KM0W 460800 30288 430512 95953 0,00125 9406880 KM0X 387360 18159 369201 62224 306977 209269216 0,00120 8080568 KM0Y 478080 24249 453831 67062 386769 228607320 0,00119 9514020 KM0Z 504000 24977 479023 86215 392808 205465729 0,00132 10218706 Tabel 3 Data Perhitungan ORE Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 Manpower Total Planned Planned Facilities Set-up and Material absence Time Downtime Production Downtime adjustment Shortages time (menit) (menit) time (menit) (menit) (menit) (menit) (menit) KM0W 460800 30288 430512 41344 46323 7747 539 KM0X 387360 18159 369201 29221 28667 4094 242 KM0Y 478080 24249 453831 34416 27241 4743 662 KM0Z 504000 24977 479023 38346 41513 5509 847
Berikut merupakan contoh perhitungan dari masing-masing faktor OEE pada mesin KM0W, yang mana secara umum, rumus dari perhitungan OEE dapat dilihat pada Rumus (1) - Rumus (4) (Ansori dan Mustajib, 2013): (1)
(2)
(3)
(4)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-189
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
Perhitungan faktor pertama yaitu availability rate yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin atau peralatan untuk melakukan proses produksi. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability rate adalah operating time dan loading time, yang mana loading time didapat dari hasil pengurangan antara available time dengan planned downtime sedangkan operating time didapat dari hasil pengurangan antara loading time dengan un-planned downtime. Perhitungan faktor kedua yaitu performance efficiency yang menunjukkan tingkat kemampuan mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk. Data yang dibutuhkan untuk menghitung performace efficiency adalah operating time, ideal cycle time dan processed amount. Perhitungan faktor ketiga yaitu quality rate yang menunjukkan tingkat kemampuan mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk yang sesuai dengan standar spesifikasi yang telah ditentukan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung quality rate adalah processed amount dan defect amount. Setelah ketiga fakotr dihitung kemudian dilakukan perhitungan pada nilai OEE yang dilakukan dengan mengalikan nilai dari masing-masing ketiga faktor tersebut. Berikut merupakan contoh perhitungan dari masing-masing faktor ORE pada mesin KM0W, yang secara umum, rumus dari perhitungan OEE dapat dilihat pada Rumus (5) - Rumus (12) (Eswaramurthi dan Mohanram, 2013): (5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
Perhitungan faktor pertama yaitu readiness yang menunjukkan tingkat kesiapan mesin untuk melakukan proses produksi. Data yang dibutuhkan untuk menghitung readiness adalah planned production time dan total time, yang mana planned production time didapat dari hasil pengurangan antara total time dengan planned downtime. Perhitungan faktor kedua yaitu availability of facility yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin atau peralatan yang telah dikurangi dengan waktu kerusakan mesin. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of facility adalah loading time, planned production time dan facilities downtime, yang mana loading time didapat dari hasil pengurangan antara planned production time dengan facilities downtime. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-190
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
Perhitungan faktor ketiga yaitu changeover efficiency yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin yang telah dikurangi dengan waktu set up. Data yang dibutuhkan untuk menghitung changeover efficiency adalah operation time, loading time dan waktu set up, yang mana operation time didapat dari hasil pengurangan anatar loading time dengan waktu set up. Perhitungan faktor keempat yaitu availability of material yang menunjukkan tingkat ketersediaan material dalam proses produksi filter rokok mono jenis A. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of material adalah running time, operation time dan waktu ketidaktersediaan material (material shortages), yang mana running time didapat dari hasil pengurangan antara operation time dengan material shortages. Perhitungan faktor kelima yaitu availability of manpower yang menunjukkan tingkat ketersediaan tenaga kerja dalam melakukan proses produksi filter rokok mono jenis A. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of manpower adalah actual running time, running time, dan waktu ketidaktersediaan tenaga kerja (manpower absence time), yang mana actual running time didapat dari hasil pengurangan antara running time dengan manpower absence time. Perhitungan faktor keenam yaitu performance efficiency yang menunjukkan tingkat performansi mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk. Data yang dibutuhkan untuk menghitung performance efficiency adalah actual running time dan earned time yang mana earned time didapat dari perkalian antara ideal cycle time dengan quantity produced (processed amount). Perhitungan faktor ketujuh yaitu quality rate yang menunjukkan tingkat kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar spesifikasi yang telah ditentukan. Data yang digunakan untuk menghitung quality rate adalah quantity produced (processed amount) dan quantity of parts accepted, yang mana quantity of parts accepted didapat dari hasil pengurangan antara quantity produced (processed amount) dengan quantity rejected (defect amount). Setelah ketujuh faktor dihitung, kemudian dilakukan perhitungan pada nilai ORE yang dilakukan dengan mengalikan nilai dari masing-masing faktor tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4, didapat rata-rata nilai OEE sebesar 55,51% dan rata-rata nilai ORE sebesar 58,62% yang berarti rata-rata nilai OEE lebih tinggi dibanding dengan nilai ORE, dikarenakan metode OEE hanya diperhitungkan tingkat ketersediaan, performansi dan kualitas, sehingga hanya diketahui seberapa besar efektivitas mesin saja. Pada ORE, faktor yang diperhitungkan ada 7 faktor sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas mesin sekaligus material dan tenaga kerja sehingga diketahui tingkat efektivitas sumber daya produksi secara menyeluruh. Tabel 4 Hasil Perhitungan OEE dan ORE Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 AR PE QR OEE R Af C Am Amp P Q ORE (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) KM 77,71 77,94 95,49 57,84 93,43 90,40 88,10 97,74 99,84 77,94 95,49 54,03 0W KM 83,15 81,81 96,14 65,39 95,31 92,09 91,57 98,68 99,92 81,81 96,14 62,33 0X KM 85,22 70,34 95,84 57,45 94,93 92,42 93,51 98,79 99,83 70,34 95,84 54,54 0Y KM 82,00 69,05 95,03 53,80 95,04 91,99 90,58 98,62 99,78 69,05 95,03 51,14 0Z Rata 82,02 74,78 95,62 58,62 96,48 91,72 90,94 98,46 99,84 74,78 95,62 55,51 -rata
Selanjutnya dilakukan identifikasi akar penyebab masalah yang mempengaruhi rendahnya nilai ORE atau tingkat efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. menggunakan cause effect diagram. Hasil identifikasi akar penyebab masalah dapat dilihat pada Gambar 2. Akar penyebab masalah yang disebabkan oleh faktor manusia, adalah kegiatan pelatihan operator masih kurang, motivasi kerja operator masih kurang, operator tidak membaca log book kerusakan mesin sehingga pengetahuan akan gejala kerusakan masih kurang, skill dari operator mesin filter mono dan dual berbeda. Penyebab pada faktor material adalah kertas pelapis terkontaminasi kotoran pada saat melewati nozzle hotmelt, jadwal kegiatan pemeriksaan material hanya dilakukan pada saat awal shift. Penyebab dari faktor mesin adalah pada pisau terdapat sisa material filter yang menempel, posisi awal pisau tidak sesuai, jumlah aliran filter rokok yang terlalu banyak pada conveyor, sisa material tow yang tertinggal pada roller. Penyebab dari faktor metode adalah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-191
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
pengawasan pada proses produksi belum dilakukan, jumlah permintaan item produk tinggi, jumlah kegiatan pemeriksaan tidak dilakukan sesuai prosedur. Penyebab dari faktor lingkungan adalah pembersihan area mesin tidak dilakukan saat pergantian shift. Manusia Keterbatasan skill operator Pelatihan masih kurang
Material
Lingkungan
Kertas pelapis filter terlipat Pembersihan area mesin tidak dilakukan saat pergantian shift Area di sekitar mesin yang masih kotor
Kertas terkontaminasi kotoran saat melewati nozzle hotmelt Kondisi kertas pelapis filter tidak baik Pada saat pertengahan produksi terjadi kekurangan material Jadwal kegiatan pemeriksaan material hanya dilakukan pada awal shift
Jumlah kegiatan pemeriksaan tidak dilakukan sesuai prosedur Adanya filter tidak sesuai standar yang lolos Jumlah perubahan pesanan tinggi Jumlah permintaan item produk tinggi
Operator tidak membaca log book kerusakan Operator kurang paham mengenai gejala kerusakan mesin
Operator salah melakukan setting Keterlambatan operator Operator pengganti tidak ada Skill dari operator mesin filter rokok tunggal dan dual memiliki perbedaan Operator tidak berada pada area produksi
Pengawasan pada proses produksi belum dilakukan
Operator merasa jenuh
Jumlah aliran filter rokok yang terlalu banyak Kemacetan pada conveyor
Adanya kendala pada permukaan roller Sisa material tow yang tertinggal
Motivasi dalam diri operator kurang Operator kurang melakukan cek filter
Rendahnya nilai ORE Permukaan pisau kotor Pada pisau terdapat sisa material filter yang menempel Pisau pemotong tidak memotong dengan baik
Pisau tidak tajam
Permukaan roller yang kotor Metode
Adanya tabrakan antara pisau dengan ledger Posisi awal pisau tidak sesuai
Mesin
Gambar 2 Cause effect diagram dari rendahnya nilai ORE
IV. PENUTUP Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah nilai OEE menunjukkan tingkat efektivitas mesin pada produksi filter rokok mono jenis A. Pada bulan Januari-Desember 2016, nilai OEE pada mesin produksi filter rokok mono jenis A memiliki rata-rata nilai sebesar 58,62%. Sedangkan, nilai ORE menunjukkan tingkat efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A yang memiliki rata-rata nilai sebesar 55,51%. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya nilai efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A dikelompokkan menjadi faktor manusia, faktor material, faktor mesin, faktor metode, faktor lingkungan. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan pada penelitian ini adalah mengadakan pelatihan operator secara menyeluruh tiap satu bulan sekali, penerapn konsep reward and punishment, membiasakan membaca logbook sebelum pergantian shift, dilakukan perencanaan jadwal pemeriksaan material secara berkala, hendaknya melaksanakan pembersihan dan pengecekan kembali terhadap posisi pisau dan roller, hendaknya melakukan pengaturan antara kecepatan conveyor dengan kapasitas tray, hendaknya supervisor mengontrol proses produksi, melakukan sosialisasi prosedur dan membuat alat kontrol visual untuk kegiatan pemeriksaan, menerapkan SMED untuk mengurangi waktu set-up, dilakukan pembersihan mesin secara berkala serta peningkatan penerapan kegiatan 5S.
DAFTAR PUSTAKA Amrusallam., Santoso, B.P., & Tama, I.P., (2016), “Pengukuran dan Perbaikan Total Productive Maintenance (TPM) Menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Root Cause Failure Analysis (RCFA)”, Journal of Engineering and Management in Industrial System (JEMIS), Vol.4, No.2. Ansori, N., & Mustajib, I., (2013), Sistem Perawatan Terpadu, Yogyakarta: Graha Ilmu. Ciocoiu, C.N., & Ilie, G., (2010), “Application of Fishbone Diagram to Determine The Risk of Event With Multiple Causes”, Management Research And Practice, Vol.2 Issue 1 p:1-20. Dhillon, B.S., (2008), Realibility Technology, Human Error and Quality in Health Care, USA: CRC Press. Eswaramurthi, K.G., & Mohanram, P.V., (2013), “Improvement of Manufacturing and Evaluation of Overall Resource Effectiveness”, American Journal of Applied Sciences. 10 (2). Reyes, J.A.G., Eldrige, S., Barber, K.D., & Meier, H.S., (2009), “Overall Equipment Effectiveness (OEE) and Process Capability (PC) Measures: A Relationship Analysis”, Journal of Quality in Maintenance Engineering, Vol. 27, Iss 1, pp. 48-62.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-192
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
Saiful., R.A., & Novawanda, O., (2014), “Pengukuran Kinerja Mesin Defekator I dengan Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness (Studi Kasus pada PT. Perkebunan XY)”, Journal of Engineering and Management in Industrial System (JEMIS), Vol.2, No.2. Sudrajat, A., (2001), Pedoman Praktis Manajemen Perawatan Mesin Industri, Bogor: Refika Aditama.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-193
Petunjuk Sitasi: Aulia, R. S., Novareza, O., & Sulistyarini, D. H. (2017). Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C187-193). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Ratri Sinatrya Aulia(1), Oyong Novareza(2), Dwi Hadi Sulistyarini(3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang, Indonesia (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Dalam melakukan proses produksi tentu dibutuhkan sumber daya produksi seperti mesin, manusia, dan material. Adanya kendala pada sumber daya produksi akan menyebabkan berhentinya proses produksi sehingga dapat menurunkan produktivitas produksi. Objek dari penelitian ini adalah perusahaan yang memproduksi filter rokok. Pada proses produksi filter rokok yang dilakukan masih ditemukan kendala berupa timbulnya downtime pada mesin-mesin yang digunakan. Mesin produksi filter rokok mono jenis A memiliki nilai downtime tertinggi diantara mesin produksi lainnya. Mesin tersebut adalah mesin KM0W, KM0X, KM0Y dan KM0Z. Selain itu, terdapat kerugian berupa speed losses dan defect. Apabila kerugian-kerugian dibiarkan maka berdampak pada kelancaran produksi sehingga perlu dilakukan pengukuran efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A menggunakan OEE dan ORE. Hasil perhitungan metode OEE menunjukkan rata-rata nilai sebesar 58,62% sedangkan rata-rata nilai hasil perhitungan ORE sebesar 55,51%. Selanjutnya, akan dilakukan identifikasi masalah pada rendahnya nilai ORE dikarenakan memiliki nilai terendah dibandingkan dengan rata-rata nilai OEE. Hasil dari identifikasi akar penyebab masalah rendahnya nilai efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A menggunakan cause effect diagram dapat dikelompokkan menjadi faktor manusia, material, mesin, metode, lingkungan. Berdasarkan identifikasi akar penyebab masalah tersebut kemudian dilakukan tindakan perbaikan guna meningkatkan efektivitas dari sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. Kata kunci— Cause effect diagram, filter rokok mono jenis A, Overall Equipmet Effectiveness (OEE), Overall Resource Effectiveness (ORE)
I. PENDAHULUAN Dalam industri manufaktur, produktivitas produksi merupakan hal utama yang perlu ditingkatkan. Peningkatan produktivitas dapat terwujud dengan adanya suatu proses produksi yang berjalan secara efektif dan efisien. Proses produksi yang dilakukan tentu membutuhkan sumber daya produksi seperti manusia, mesin dan material. Suzuki (dalam Eswaramurthi dan Mohanram, 2013) menyatakan bahwa efektivitas produksi bergantung pada efektivitas penggunaan peralatan, material, tenaga kerja dan metode. Hal ini berarti untuk meningkatkan efektivitas produksi dapat dimulai dari penggunaan sumber daya dengan meminimalisir losses yang berkaitan dengan sumber daya produksi tersebut. Losses adalah kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh adanya waktu produksi yang terbuang atau adanya suatu kerusakan sehingga mesin produksi tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya (Amrussalam dkk, 2016). PT. X merupakan perusahaan penghasil filter rokok. Secara umum, produk yang dihasilkan yaitu filter rokok mono dan dual. Pada bulan Januari-Desember 2016, proses produksi yang dilakukan masih mengalami kendala seperti adanya kerusakan mesin secara tiba-tiba, keterlambatan material, ketidaktersediaan tenaga kerja saat produksi. Kendala tersebut menimbulkan kerugian berupa downtime mesin. Sudrajat (2001) menyatakan bahwa waktu hilang dikarenakan oleh kondisi mesin yang tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya disebut downtime. Mesin dengan nilai downtime tertinggi ialah mesin untuk memproduksi filter rokok mono jenis A yang dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu, dalam proses produksi juga timbul
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-187
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
kerugian berupa speed losses dan defect. Adanya speed losses dari keempat mesin tersebut dikarenakan adanya perbedaan antara speed ideal mesin sebesar 400 m/menit dengan speed actual yang digunakan sebesar 100 m/menit. Mengenai defect filter rokok mono jenis A tiap mesin dapat dilihat pada Gambar 1, yang mana presentase defect pada tiap mesin melebihi standar presentase defect yang telah ditentukan oleh perusahaan yaitu sebesar 1,4%. Tabel 1 Data Downtime Mesin Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 Mesin Total Downtime (menit) Total Waktu Produksi Tersedia (menit) Downtime (%) KM01 126241 460800 27,4 KM05 80383 387360 20,8 KM07 91311 478080 19,1 KM12 111192 504000 22,1
Gambar 1 Perbandingan total dan standar maksimal defect mesin produksi filter rokok mono jenis A
Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan pada proses produksi filter rokok mono jenis A ialah dengan menggunakan Overall Equipmet Effectiveness (OEE) dan Overall Resource Effectiveness (ORE). OEE berfungsi untuk mengukur performansi, mengidentifikasi peluang pengembangan suatu peralatan yang berkaitan dengan faktor availability, performance dan quality (Reyes dkk, 2009). Eswaramurthi dan Mohanram (2013) menyatakan bahwa untuk menangani kerugian yang berhubungan dengan sumber daya produksi, penggunaan OEE kuranglah sesuai. Kemudian muncul pengembangan metode untuk mengetahui efektivitas sumber daya produksi menggunakan ORE. Selain itu, pada penelitian digunakan cause effect diagram untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah dari rendahnya efektivitas sumber daya produksi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengukuran efektivitas mesin pada produksi filter rokok mono jenis A menggunakan OEE, melakukan pengukuran efektivitas sumber daya pada produksi filter rokok mono jenis A menggunakan ORE, megidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya efektivitas sumber daya produksi, serta memberikan usulan perbaikan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini diawali dengan tahap pendahuluan yaitu melakukan studi lapangan, studi literatur, mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, dan menentukan tujuan penelitian. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data. Terdapat dua data yaitu data sekunder yang terdiri dari data waktu produksi tersedia, data downtime, data jumlah produksi dan defect dari filter rokok mono jenis A serta data primer yang terdiri dari proses produksi filter rokok mono jenis A, data penyebab dan efek kegagalan yang terjadi. Tahap berikutnya yaitu melakukan pengolahan data dengan melakukan perhitungan menggunakan metode OEE dan metode ORE. Selanjutnya tahap analisis dan pembahasan. Tahap terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. 1) Overall Equipment Effectiveness (OEE) OEE merupakan metode yang digunakan untuk ukur efektivitas penggunaan peralatan sebagai salah satu aplikasi program Total Productive Maintenance yang mana menunjukkan tingkat keefektifan fasilitas secara menyeluruh yang diperoleh dengan memperhitungkan availability rate, performance rate dan quality rate (Saiful dkk, 2014). 2) Overall Resource Effectiveness (ORE) ORE adalah metode yang digunakan untuk mengukur waktu efektif keseluruhan dari sistem manufaktur yang berkaitan dengan adanya resources (man, machine, material, method) yang digunakan (Eswaramurthi dan Mohanram, 2013). Pengukuran dilakukan dengan melibatkan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-188
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
faktor readiness (R), availability of facility (Af), changeover efficiency (C), availability of material (Am), availability of manpower (Amp), performance efficiency (P), quality rate (Q). 3) Cause Effect Diagram Watson (dalam illie G. Dan Ciocoiu C.N., 2010) menyatakan bahwa cause effect diagram merupakan salah satu tool yang disediakan dengan cara menggambarkan secara sistematis berbagai akibat dan penyebab yang berkontribusi pada akibat tersebut. Cause effect diagram juga disebut sebagai fishbone diagram yang meliki keuntungan untuk identifikasi akar penyebab dan menelusuri masalah secara lebih lanjut, menghasilkan ide-ide. (Dhillon, 2008).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tabel 2 dan tabel 3 merupakan data yang dikumpulkan dan diolah menggunakan metode OEE dan ORE. Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas penggunaan mesin maupun sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. Tabel 2 Data Perhitungan OEE Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 UnWaktu Planned Loading planned Operating Processed Ideal Defect tersedia downtime time down time Amount Cycle Time Amount (menit) (menit) (menit) time (menit) (rod) (menit/rod) (rod) (menit) 334559 208597040 KM0W 460800 30288 430512 95953 0,00125 9406880 KM0X 387360 18159 369201 62224 306977 209269216 0,00120 8080568 KM0Y 478080 24249 453831 67062 386769 228607320 0,00119 9514020 KM0Z 504000 24977 479023 86215 392808 205465729 0,00132 10218706 Tabel 3 Data Perhitungan ORE Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 Manpower Total Planned Planned Facilities Set-up and Material absence Time Downtime Production Downtime adjustment Shortages time (menit) (menit) time (menit) (menit) (menit) (menit) (menit) KM0W 460800 30288 430512 41344 46323 7747 539 KM0X 387360 18159 369201 29221 28667 4094 242 KM0Y 478080 24249 453831 34416 27241 4743 662 KM0Z 504000 24977 479023 38346 41513 5509 847
Berikut merupakan contoh perhitungan dari masing-masing faktor OEE pada mesin KM0W, yang mana secara umum, rumus dari perhitungan OEE dapat dilihat pada Rumus (1) - Rumus (4) (Ansori dan Mustajib, 2013): (1)
(2)
(3)
(4)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-189
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
Perhitungan faktor pertama yaitu availability rate yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin atau peralatan untuk melakukan proses produksi. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability rate adalah operating time dan loading time, yang mana loading time didapat dari hasil pengurangan antara available time dengan planned downtime sedangkan operating time didapat dari hasil pengurangan antara loading time dengan un-planned downtime. Perhitungan faktor kedua yaitu performance efficiency yang menunjukkan tingkat kemampuan mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk. Data yang dibutuhkan untuk menghitung performace efficiency adalah operating time, ideal cycle time dan processed amount. Perhitungan faktor ketiga yaitu quality rate yang menunjukkan tingkat kemampuan mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk yang sesuai dengan standar spesifikasi yang telah ditentukan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung quality rate adalah processed amount dan defect amount. Setelah ketiga fakotr dihitung kemudian dilakukan perhitungan pada nilai OEE yang dilakukan dengan mengalikan nilai dari masing-masing ketiga faktor tersebut. Berikut merupakan contoh perhitungan dari masing-masing faktor ORE pada mesin KM0W, yang secara umum, rumus dari perhitungan OEE dapat dilihat pada Rumus (5) - Rumus (12) (Eswaramurthi dan Mohanram, 2013): (5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
Perhitungan faktor pertama yaitu readiness yang menunjukkan tingkat kesiapan mesin untuk melakukan proses produksi. Data yang dibutuhkan untuk menghitung readiness adalah planned production time dan total time, yang mana planned production time didapat dari hasil pengurangan antara total time dengan planned downtime. Perhitungan faktor kedua yaitu availability of facility yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin atau peralatan yang telah dikurangi dengan waktu kerusakan mesin. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of facility adalah loading time, planned production time dan facilities downtime, yang mana loading time didapat dari hasil pengurangan antara planned production time dengan facilities downtime. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-190
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
Perhitungan faktor ketiga yaitu changeover efficiency yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin yang telah dikurangi dengan waktu set up. Data yang dibutuhkan untuk menghitung changeover efficiency adalah operation time, loading time dan waktu set up, yang mana operation time didapat dari hasil pengurangan anatar loading time dengan waktu set up. Perhitungan faktor keempat yaitu availability of material yang menunjukkan tingkat ketersediaan material dalam proses produksi filter rokok mono jenis A. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of material adalah running time, operation time dan waktu ketidaktersediaan material (material shortages), yang mana running time didapat dari hasil pengurangan antara operation time dengan material shortages. Perhitungan faktor kelima yaitu availability of manpower yang menunjukkan tingkat ketersediaan tenaga kerja dalam melakukan proses produksi filter rokok mono jenis A. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of manpower adalah actual running time, running time, dan waktu ketidaktersediaan tenaga kerja (manpower absence time), yang mana actual running time didapat dari hasil pengurangan antara running time dengan manpower absence time. Perhitungan faktor keenam yaitu performance efficiency yang menunjukkan tingkat performansi mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk. Data yang dibutuhkan untuk menghitung performance efficiency adalah actual running time dan earned time yang mana earned time didapat dari perkalian antara ideal cycle time dengan quantity produced (processed amount). Perhitungan faktor ketujuh yaitu quality rate yang menunjukkan tingkat kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar spesifikasi yang telah ditentukan. Data yang digunakan untuk menghitung quality rate adalah quantity produced (processed amount) dan quantity of parts accepted, yang mana quantity of parts accepted didapat dari hasil pengurangan antara quantity produced (processed amount) dengan quantity rejected (defect amount). Setelah ketujuh faktor dihitung, kemudian dilakukan perhitungan pada nilai ORE yang dilakukan dengan mengalikan nilai dari masing-masing faktor tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4, didapat rata-rata nilai OEE sebesar 55,51% dan rata-rata nilai ORE sebesar 58,62% yang berarti rata-rata nilai OEE lebih tinggi dibanding dengan nilai ORE, dikarenakan metode OEE hanya diperhitungkan tingkat ketersediaan, performansi dan kualitas, sehingga hanya diketahui seberapa besar efektivitas mesin saja. Pada ORE, faktor yang diperhitungkan ada 7 faktor sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas mesin sekaligus material dan tenaga kerja sehingga diketahui tingkat efektivitas sumber daya produksi secara menyeluruh. Tabel 4 Hasil Perhitungan OEE dan ORE Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 AR PE QR OEE R Af C Am Amp P Q ORE (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) KM 77,71 77,94 95,49 57,84 93,43 90,40 88,10 97,74 99,84 77,94 95,49 54,03 0W KM 83,15 81,81 96,14 65,39 95,31 92,09 91,57 98,68 99,92 81,81 96,14 62,33 0X KM 85,22 70,34 95,84 57,45 94,93 92,42 93,51 98,79 99,83 70,34 95,84 54,54 0Y KM 82,00 69,05 95,03 53,80 95,04 91,99 90,58 98,62 99,78 69,05 95,03 51,14 0Z Rata 82,02 74,78 95,62 58,62 96,48 91,72 90,94 98,46 99,84 74,78 95,62 55,51 -rata
Selanjutnya dilakukan identifikasi akar penyebab masalah yang mempengaruhi rendahnya nilai ORE atau tingkat efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. menggunakan cause effect diagram. Hasil identifikasi akar penyebab masalah dapat dilihat pada Gambar 2. Akar penyebab masalah yang disebabkan oleh faktor manusia, adalah kegiatan pelatihan operator masih kurang, motivasi kerja operator masih kurang, operator tidak membaca log book kerusakan mesin sehingga pengetahuan akan gejala kerusakan masih kurang, skill dari operator mesin filter mono dan dual berbeda. Penyebab pada faktor material adalah kertas pelapis terkontaminasi kotoran pada saat melewati nozzle hotmelt, jadwal kegiatan pemeriksaan material hanya dilakukan pada saat awal shift. Penyebab dari faktor mesin adalah pada pisau terdapat sisa material filter yang menempel, posisi awal pisau tidak sesuai, jumlah aliran filter rokok yang terlalu banyak pada conveyor, sisa material tow yang tertinggal pada roller. Penyebab dari faktor metode adalah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-191
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
pengawasan pada proses produksi belum dilakukan, jumlah permintaan item produk tinggi, jumlah kegiatan pemeriksaan tidak dilakukan sesuai prosedur. Penyebab dari faktor lingkungan adalah pembersihan area mesin tidak dilakukan saat pergantian shift. Manusia Keterbatasan skill operator Pelatihan masih kurang
Material
Lingkungan
Kertas pelapis filter terlipat Pembersihan area mesin tidak dilakukan saat pergantian shift Area di sekitar mesin yang masih kotor
Kertas terkontaminasi kotoran saat melewati nozzle hotmelt Kondisi kertas pelapis filter tidak baik Pada saat pertengahan produksi terjadi kekurangan material Jadwal kegiatan pemeriksaan material hanya dilakukan pada awal shift
Jumlah kegiatan pemeriksaan tidak dilakukan sesuai prosedur Adanya filter tidak sesuai standar yang lolos Jumlah perubahan pesanan tinggi Jumlah permintaan item produk tinggi
Operator tidak membaca log book kerusakan Operator kurang paham mengenai gejala kerusakan mesin
Operator salah melakukan setting Keterlambatan operator Operator pengganti tidak ada Skill dari operator mesin filter rokok tunggal dan dual memiliki perbedaan Operator tidak berada pada area produksi
Pengawasan pada proses produksi belum dilakukan
Operator merasa jenuh
Jumlah aliran filter rokok yang terlalu banyak Kemacetan pada conveyor
Adanya kendala pada permukaan roller Sisa material tow yang tertinggal
Motivasi dalam diri operator kurang Operator kurang melakukan cek filter
Rendahnya nilai ORE Permukaan pisau kotor Pada pisau terdapat sisa material filter yang menempel Pisau pemotong tidak memotong dengan baik
Pisau tidak tajam
Permukaan roller yang kotor Metode
Adanya tabrakan antara pisau dengan ledger Posisi awal pisau tidak sesuai
Mesin
Gambar 2 Cause effect diagram dari rendahnya nilai ORE
IV. PENUTUP Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah nilai OEE menunjukkan tingkat efektivitas mesin pada produksi filter rokok mono jenis A. Pada bulan Januari-Desember 2016, nilai OEE pada mesin produksi filter rokok mono jenis A memiliki rata-rata nilai sebesar 58,62%. Sedangkan, nilai ORE menunjukkan tingkat efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A yang memiliki rata-rata nilai sebesar 55,51%. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya nilai efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A dikelompokkan menjadi faktor manusia, faktor material, faktor mesin, faktor metode, faktor lingkungan. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan pada penelitian ini adalah mengadakan pelatihan operator secara menyeluruh tiap satu bulan sekali, penerapn konsep reward and punishment, membiasakan membaca logbook sebelum pergantian shift, dilakukan perencanaan jadwal pemeriksaan material secara berkala, hendaknya melaksanakan pembersihan dan pengecekan kembali terhadap posisi pisau dan roller, hendaknya melakukan pengaturan antara kecepatan conveyor dengan kapasitas tray, hendaknya supervisor mengontrol proses produksi, melakukan sosialisasi prosedur dan membuat alat kontrol visual untuk kegiatan pemeriksaan, menerapkan SMED untuk mengurangi waktu set-up, dilakukan pembersihan mesin secara berkala serta peningkatan penerapan kegiatan 5S.
DAFTAR PUSTAKA Amrusallam., Santoso, B.P., & Tama, I.P., (2016), “Pengukuran dan Perbaikan Total Productive Maintenance (TPM) Menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Root Cause Failure Analysis (RCFA)”, Journal of Engineering and Management in Industrial System (JEMIS), Vol.4, No.2. Ansori, N., & Mustajib, I., (2013), Sistem Perawatan Terpadu, Yogyakarta: Graha Ilmu. Ciocoiu, C.N., & Ilie, G., (2010), “Application of Fishbone Diagram to Determine The Risk of Event With Multiple Causes”, Management Research And Practice, Vol.2 Issue 1 p:1-20. Dhillon, B.S., (2008), Realibility Technology, Human Error and Quality in Health Care, USA: CRC Press. Eswaramurthi, K.G., & Mohanram, P.V., (2013), “Improvement of Manufacturing and Evaluation of Overall Resource Effectiveness”, American Journal of Applied Sciences. 10 (2). Reyes, J.A.G., Eldrige, S., Barber, K.D., & Meier, H.S., (2009), “Overall Equipment Effectiveness (OEE) and Process Capability (PC) Measures: A Relationship Analysis”, Journal of Quality in Maintenance Engineering, Vol. 27, Iss 1, pp. 48-62.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-192
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
Saiful., R.A., & Novawanda, O., (2014), “Pengukuran Kinerja Mesin Defekator I dengan Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness (Studi Kasus pada PT. Perkebunan XY)”, Journal of Engineering and Management in Industrial System (JEMIS), Vol.2, No.2. Sudrajat, A., (2001), Pedoman Praktis Manajemen Perawatan Mesin Industri, Bogor: Refika Aditama.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-193
Petunjuk Sitasi: Husniah, H., Herdiani, L., & Widjajani. (2017). A Customized Lease Contract for Fleet. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C194-199). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
A Customized Lease Contract for Fleet (1)
Hennie Husniah(1), Leni Herdiani(1) , Widjajani(1) Teknik Industri Unversitas Langlangbuana Karapitan 116 Badung (1) [email protected] ABSTRAK
In this paper we study a customized two-dimensional lease contract for a fleet of public transport, such as buses, shuttle etc. The lease contract are characterized by two parameters – age and usage – which define a two-dimensional region. However, we use one dimensional approach to model these age and usage of the fleet. The contract is classified into three categories usage rate with different operating conditions and then different preventive maintenance (PM) schedules are applied to the contract in the different categories. Periodic preventive maintenance is considered to meet different contract requirements to ensure the reliability of the fleet. Fleet with high utilization rates could have satisfactory reliability by performing more frequent PM, while those with low and medium utilization rates could reduce the cost of PM within the lease contract. We further assume that there will be three different usage pattern of the buses, i.e. low, medium, and high pattern of the usage rate. In many situations it is often we face a blur boundary between the adjacent patterns. The result show that the classification of fleet into different usage pattern cannot only be beneficial by providing an effective mechanism to reduce the lease costs, but also be a valuable competitive marketing strategy for lease provider. Kata kunci— Two-dimensional lease contract, preventive maintenance, minimal repair, expected maintenance cost, fuzzy.
I. INTRODUCTION In many areas of industry, outsourcing for maintenance of vital equipment becomes prevalent. Especially when the equipment is shopisticated and need a special expertise to maintain, such as modern buses in a public transport service system. Hence an economical way to carry out maintenance is to outsource the maintenance works to an external agent. The agent can do a partial or full coverage of the maintenance actions, such as Preventive Maintenance (PM) or/and Corrective maintenance (CM). Maintenance involving two parameter – i.e. age and usage for N repairable units have received attention in the literature (see Husniah et al. (2014, 2017) and Iskandar et al.(2014)). They have purposed an incentives to increase the equipment’s performance beyond target. In contrast to all works previously, Husniah et al. (2015) studied a lease contract with periodic PM which considers penalty cost to shield an agent against over claim. Two dimesional approach has been used in many warranty papers which has been pioneered by Iskandar et al. (2005) and Iskandar and Murthy (2003). As pointed by Huang et al. (2013) two-dimensional approach has many benefits, such as the increase of competitive advantage and customer loyalty (Shahanaghi et al., 2013).To increase the realism of the model, some complexities can easily incorporated into two-dimesional approach, such as the types of customer. As an example, the authors in Huang et al. (2015) developed a twodimensional warranty policy by considering two types of customers, i.e., customers with the adoption of policies concerning the warranty time or usage limit. Other type of customers can be characterized by the pattern of their usage rate. To date, a two-dimensional lease contract which considering the types of customer usage rate is still limited. Only few literatures discussing this issue despite it is an important factor, since different types of customer give different optimal cost of the contract. The authors in Husniah et al. (2015) devised a two-dimensional lease contract model and discussed a contract for the case where the owner has a fleet consists of N units. They consider two types of customer usage rate, i.e. medium and high usage rates. They used a crisp set membership of the usage rate level. In their hypothetical example, the usage rate of 1.35 is regarded as a medium usage rate while the usage rate of 1.75 is regarded as a high usage rate. It is not clear
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-194
Judul Makalah
how to catagorized the usage rate in between those values, e.g. is 1.55 belong to medium or high usage rate? In reality, it is difficult to decide a membership of a value which lies just around a boundary. In this paper we extend the model in Husniah et al. (2015) to consider the vagueness of membership using the fuzzy set theory. The use of fuzzy set theory (including fuzzy numbers, fuzzy logic, fuzzy knowledge, and fuzzy decision rules) is not new in maintenance modeling. Even the authors in Strackeljan, J. and Weber, R. (1999) emphasized that maintenance is among the areas where fuzzy sets have been applied intensively. Some of the literatures are highlighted in the following. Wolkenhauer (2001) gave an example of the application of fuzzy logic in maintenance decission making by considering the downtime of machines and the frequency of faults. Sergaki and Kalaitzakis (2002) used a fuzzy knowledge based method for maintenance planning and applied it in a power system. Fuzzy logic is used to obtain adaptive preventive maintenance (Yuniarto and Labib, 2006), scheduling preventive maintenance (Fouad and Samhouri, 2011), imperfect maintenance (Hennequin et al., 2009), and recently it is used in Segura et al. (2016) to model the imperfections of maintenance actions due to operators, in which they argued that the level of worker’s skill is not crisp, so that the problem is well suited by the fuzzy set theoretical approach. Khanlari et al. (2008) used fuzzy rules to interpret linguistic variables for determination of maintenance priorities, in which verbal expressions are among important factors in determining the priorities. Using this approach, the verbal expressions are quantified and used in decision making, which otherwise cannot be explicitly analyzed. To sum up, the authors in Carvalho, et al. (2015) argued that in reality there are always uncertainty of costs and reliability parameters in maintenance problems. This will rise problem if it is omitted by the model. They developed a maintenance model to accomodate the uncertainty by representing these parameters as fuzzy numbers. They applied the model to the wind turbine pitch control device. They further argues that the model would facilitate managers to make their decisions based on a reacher set of information. As pointed earlier, in this paper we extend the model in Husniah et al. (2015) to consider the vagueness of membership boundary of customer usage rate using the fuzzy set theory. We look for the optimal price for the agent and the optimal option for the owner, in which the usage rate is known to be varying according to low, medium, and high level. The paper is organized as follows. Section 2 will give the derivation of the model. Sections 3 and 4 present the model analysis and the numerical examples. Conclusion and further research are given in Section 5. II. MODEL FORMULATION In this section we derive maintenance model of a fleet of buses own by a government public transport service Indonesia, known as DAMRI. To begin the derivation we define the following notations that will be used in model formulation: 0, 0 0,U0 :Lease contract coverage y
Xi
D(t) F(t) S Y Cr C0 Cv CP
J ry (t ), Ry (t )
Z
:Preventive maintenance level :Downtime caused by the i-th failure and waiting time :Total downtime in (0,t] :Distribution function of downtime :Down time target :Usage rate :Repair cost :Preventive maintenance cost :Degree of preventive maintenance cost :Penalty cost per unit of time : Expected lease contract cost :Hazard, and Cumulative hazard functions associated with :Number of fleet
A. Lease Contract Policy SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-195
F (t , y )
Nama Husniah, Herdiani, dan Widjajani
We consider that DAMRI operates a number of buses and lease the bus with full covered PM to provide more protection. As in Husniah et al. (2015) the lease contract is offered with a twodimensional lease contract with the lease characterised by a rectangle region 0, 0 0,U0 where Γ0 and U0 are the time and the usage limits (e.g. the maximum coverage for 0 (e.g. 1 year) or U 0 (e.g. 50.000 km). All failures under lease contract are rectified at no cost to the lessee. For a given usage rate y of the , the lease contract ceases at y 0 for y U0 0 , or y U y for, whichever occurs first. As the lease contract is full coverage (PM and CM), then a penalty cost incurs the lessor if the actual down time falls above the target (S ) . If D is down time (consisting repair time and waiting time) for each failure occuring during the contract, then the lessor should pay a penalty cost when D S . The amount of the penalty cost is assumed to be proportional to D - S . The penalty cost ( CP ) is viewed as a penalty given by the lessor. The decision problem for the lessor is to determine the optimal number of PM and degree of maintenance level such that to minimize the expected cost. Furthermore, we consider the case where age, usage and operating condition where the bus is operated as major factors to influence failure. Here, the accelerated failure time (AFT) model is an appropriate model to be used as it allows to incorporate the effect of the three major factors on degradation of the truck. If the distribution function for T0 is given by F0 (T, α0), where α0 is the scale parameter, then the distribution function for Ty is the same as that for T0 but with a scale parameter given by y y0 y 0 with 1 . Hence, we have F (t , y ) F0 (( y0 y) t , y ) . The hazard and the cumulative hazard functions associated with F(t, αy) are given by t
ry (t ) f (t , y ) (1 F (t , y )) and Ry (t ) ry (x)dx respectively where f(t,αy) is the associated density 0
function. Let Y be a usage rate of the bus. We consider that Y varies from customer to customer but is constant for a given customer (or a given equipment). Y is a random variable with density function g ( y), 0 u . Conditional on Y y , the total usage u at age t is given by u yt . Within the lease coverage, a lease contract ends at y 0 for given usage rate y. Two cases need to be considered–i.e. (i) y and (ii) y . Preventive Maintenance Policy: We define periodic PM policy for a given Y y . PM policy for a given y, is characterised by single parameter y . The equipment is periodically maintained at k . y . Any failure occurring between pm is minimally repaired. Note (k 1) y T0 where k is an integer value. For a given usage rate y, the effect of each PM action j j1 then rj (t ) r(t ) j . If any failure occurring between pm is minimally repaired, then expected total number of minimal repairs in k y 1
ky
([t j 1 , t j ),1 j k y 1) is given by N rj 1 (t )dt R( 0 ) 0 jT j for t j t j 1 y . As t j 1
tj
j 1
j 1
the lease contract is full coverage (PM and CM), then a penalty cost incurs the OEM if the actual down time falls above the target (S ) . The penalty cost ( CP ) is viewed as a penalty given by the OEM. The decision problem for the OEM is to determine the optimal price structure and maintenance level such that to minimize the expected cost. III. MODEL ANALYSIS Suppose that there are k (k>1) failed buses will be served by the OEM with a single service channel using the first come, first served rule. We consider a situation where the lessor incurs repair cost for each failure and PM cost. For a larger coverage of lease contract e.g. for maximum 5 years or 250.000 km, it would require more than one PM for reducing the maintenance cost. In the proposed lease contract, the lessor expected total cost consists of PM cost, repair cost and penalty cost. The lesor incurs penalty cost when the down time caused by a failure exceeds the predetermined target. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-196
Judul Makalah
Suppose that there are k units failed equipment will be served by the lessor with single service channel where the first come, first served. Hence, there is queue which the model formulation is identical to a Markovian queue. The arrival rate of failed equipment is k (Z k ) for 0 k Z , where Z is number of equipment population and λ is failure rate. The service rate is µ. According to Husniah, dkk.(2015) the steady state density function for Y j (waiting time for truck j) is Z 1
f ( y ) Pk e
y
k 0
( y )k where Pk, k!
k =1, 2, ..., Z - 1 given by the ratio Pk Pk1 Pk 2 and Z 1
Pk1 (Z k )( )k (Z ! (Z k )!) Pk 2 (Z k )( )k (Z ! (Z k )!) , is estimated by the mean k 0
Z 1
value of failure intensity, . The expected value of Y j is E Y j yf ( y )dy
Pk (k 1)
. Here, two cases are considered – case (i) y and case (ii) y . Hence, for y , the total expected cost of the lessor is k 0
0
E y Z J y (k y , y ) CP G(S) N (k y , y ) with CP G(S) is defined as CP G(S) CP
S
y S g ( y )dy.
For case y , the expected cost of lessor is given by replacing 0 with y .
IV. NUMERICAL EXAMPLE In this numerical example we vary the usage rate Y. For a given usage rate y the failure distribution is given by the Weibull distribution. Let the parameter values be as follows. α0 =1(year), β=2.25, Γ0=2(years), U=2(1x104Km) (γ = U/W = 1), y0 = 1, Cr 100 , C0 Cv 0.5Cr , S = 80 (hours) or 4 (days) or CP 3K and K 5.102.2025 $. The down time distribution is given by the exponential distribution with 1/ 1/ 300 (years). The road condition is reflected by = 1.2, 2.0 and 2.2 coresponding to light incline, high incline and very hilly, respectively. Tables 1 shows optimal number of PM and improvement level of lease contract with three usage types – low (1.0 y 1.2) , medium (1.2 y 1.4) and heavy (1.4 y 1.8). Now if we consider one of the input, i.e. the usage rate, is a fuzzy number rather than a crisp number, then the output certainly would be a fuzzy number. For example, the crisp number y = 1.30 in Table 1 now should be considered as a fuzzy number, let say it is represented as a triangular number ̅ (1.20,1.30,1.40). There are several ways to treat a fuzzy number as an input to a function. Lee (2005) pointed out that fuzzy function can be classified into three groups according to which aspect of the crisp function the fuzzy concept was applied, namely crisp function with fuzzy constraint, crisp function which propagates the fuzziness of independent variable to dependent variable, and function that is itself fuzzy, this fuzzifying function blurs the image of a crisp independent variable. In this paper we use the second approach, in which a crisp function propagates the fuzziness of independent variable to dependent variable. Table 1. results for
Z 25
ρ = 1.2
y
With
Cr 100 ,
s =80 hours and 0 4 months
ρ = 2.0
k *y
*y
*y
E y
13
1.70
0.32
26401.7113
k *y
ρ = 2.2
*y
*y
E y
1.70
0.32
26401.71 13
k *y
*y
*y
E y
1.70
0.32
26401.71
Low 1.0 Medium
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-197
Nama Husniah, Herdiani, dan Widjajani
1.2
18
1.04
0.41
43936.2121
0.89
0.47
57406.09 22
0.85
0.49
61716.88
22
0.73
0.57
67428.6532
0.51
0.64
1.19.105 35
0.46
0.67
1.38.105
Heavy 1.4
Figure 1.a shows the graphical image of the triangular fuzzy number ̅ (1.20,1.30,1.40) representing the medium rate and the multimodal fuzzy numbers ̅ (1.00,1.20,1.40), and ̅ (1.20,1.40,1.80) representing the low and high rate, respectively. Figures 1.b to 1.d show the resulting expected lease cost for operating condition equals to 1.2, 2.0, and 2.2 respectively. Qualitatively the resulting costs are similar except the value is higher for the higher usage rate.
(a)
(b)
(c)
(d)
Fig 1. The usage rates (low solid red; medium dash-dot blue; heavy dash black) with the resulting expected lease cost for operating condition equals to 1.2, 2.0, and 2.2 respectively. Qualitatively the resulting costs are similar except the value is higher for the higher usage rate.
V. CONCLUSION In this paper we give an example on how to accomodate the fuzziness of a parameter in determining the optimal fleet number and the optimal strategy for maintenance the fleet. In general, for a given crisp value y and a fixed reliability level, the optimal expected profit decreases as the usage rate y increases. This is become more prevalent in the presence of fuziness, by observing the output of the low, medium, and high usage rates, which gives the relatively high, medium, and low numbers of fleet, profit, and price of the optimal option. In reality, the usage rate of a bus increases due to a longer travelled distance from a station to other station. This is as expected since the increasing in y causes the failure rate to increase and this in turn increases the number of failures under the lease contract. It is best of the lessor to perform more PM activities for buses with low and average utilization rates, in order to reduce the repair costs. On the other hand, if performing a PM activity becomes more expensive, the lessor would have to bear more expenditure, and thus reducing the number of PM activities would become a better
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-198
Judul Makalah
choice. Different shape of membership can be explored to investigate the sensitivity of the results presented in this paper. ACKNOWLEDGMENTS H.H. would like to thank Kemenristekdikti for the research grant through the scheme of PUPT with the SP DIPA-042.06.1.401516/2017.
DAFTAR PUSTAKA Carvalho, M., Nunes, E. and Telhada, J. ,2015, ‘Fuzzy maintenance costs of a wind turbine pitch control device’, Int. J. Prod. Manag. Eng. Vol. 3 no. 2, pp.103-109. Fouad, R.H. and Samhouri, M. ,2011, ‘A fuzzylogicapproach for schedulingpreventivemaintenance in ERPsystem’, Proc. Int. Conf. Management and Service Science (MASS), DOI: 10.1109/ICMSS.2011.5999330. Lee, K.H. ,2005, ‘First Course on Fuzzy Theory and Applications’, Springer Verlag, Heidelberg. Hennequin, S., Arango, G. and Rezg, N. 2009 ‘Optimization of imperfect maintenance based on fuzzy logic for a single‐stage single‐product production system’, Journal of Quality in Maintenance Engineering, Vol. 15 no. 4, pp.412-429, https://doi.org/10.1108/13552510910997779. Husniah. H, Pasaribu U.S., Cakravastia A., and Iskandar B.P. 2014. Two dimensional maintenance contracts for a fleet of s used in mining industry. Applied Mechanics and Material Vol 660, pp. 1026-1031. Husniah, H., Supriatna, A.K., Pasaribu, U.S., and Iskandar, B.P. 2017. Optimal Number of Fleet Maintenance Contract with Policy Limit Cost. Proc.4th Int. Conf. Control, Decision, and Information Technologies (accepted). Husniah, H., Pasaribu, U.S., and Iskandar, B.P.2015. Optimal Preventive Maintenance for a Fleet of s with Two-Dimensional Lease Contract, Proc. of IEEE IEEM. Huang, Y.S., Huang, C.D., and Ho, J.W. 2016, ‘A customized two-dimensional extended warranty with preventive maintenance’, European Journal of Operational Research,Vol. 257 no. 3,doi: 10.1016/j.ejor.2016.07.034. Huang, Y.S., Gau, W.Y., and Ho, J.W. 2015, ‘Cost analysis of two-dimensional warranty for products with periodic preventive maintenance’, Reliability Engineering & System Safety,Vol. 134, pp.51-58. Iskandar, B.P., Pasaribu, U.S., Cakravastia, A.and Husniah, H. 2014. Performance-based maintenance contract for a fleet of s used in mining industry. Proc. 2nd Int. Conf. Technology, Informatics, Management, Engineering, and Environment (TIME-E), DOI: 10.1109/TIME-E.2014.7011603. Iskandar, B.P., Murthy, D.N.P. and Jack, N., 2005, ‘A new repair-replace strategy for items sold with a two dimensional warranty’,Comp.and Oper. Research, Vol. 32, pp.669–628. Iskandar, B. P. and Murthy, D. N. P., 2003, ‘Repair-replace strategies for two-dimensional warranty policies’, Mathematical and Computer Modelling, Vol. 38, pp.1233-1241 Khanlari, A., Mohammadi, K. and Sohrabi, B., 2008, ‘Prioritizing equipments for preventive maintenance (PM) activities using fuzzy rules’, Computers & Industrial Engineering, Vol. 54, no. 2, pp.169-184. Segura, M.A., Hennequin, S. and Finel, B., 2016, ‘Human factor modelled by fuzzy logic in preventive maintenance actions’, International Journal of Operational Research, Vol. 27, no. 1-2, DOI: 10.1504/IJOR.2016.078468. Sergaki, A. and Kalaitzakis, K., 2002, ‘A fuzzyn knowledge based method for maintenance planning in a power system’, Reliability Engineering and SystemSafety, Vol. 77, pp.19-30. Shahanaghi, K., Noorossana, R., Jalali-Naini, S. G., and Heydari, M., 2013, ‘Failure modelingand optimizing preventive maintenance strategy during two-dimensional extended warranty contracts’, Engineering Failure Analysis, Vol. 28, pp.90-102. Strackeljan, J. and Weber, R., 1999, ‘Quality control and maintenance’ in Practical Applications of Fuzzy Technologies edited by Hans-Jürgen Zimmermann, Springer. Wolkenhauer, O., 2001, ‘Fuzzy mathematics’ in Data Engineering: Fuzzy Mathematics in System Theory and Data Analysis. John Wiley and Sons, pp.197-212. Yuniarto, M.N. and Labib, A.W., 2006, ‘Fuzzy adaptive preventive maintenance in a manufacturing control system: a step towards self-maintenance’, International Journal of Production Research, Vol. 44, no. 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-199
Petunjuk Sitasi: Marfuah, U., & Anwar, L. N. (2017). Optimasi Produksi Produk KDT di PT. XYZ Menggunakan Programa Dinamik. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C200-206). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Optimasi Produksi Produk KDT di PT. XYZ Menggunakan Programa Dinamik Umi Marfuah(1), Luthfia Nurul Anwar(2) (1), (2), Jurusan Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Jakarta Jl. Cempaka Putih Tengah 27, 10510 (1) [email protected] ABSTRAK PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri farmasi, yang memiliki sistem produksi make to stock, dalam strategi Make-to-Stock yang digunakan oleh PT XYZ, perusahaan ini memiliki resiko yang tinggi berkaitan dengan investasi inventory. Salah satu produk yang memiliki masalah inventory yaitu produk KDTyaitu jumlah persediaan yang lebih besar dibandingkan permintaan dari perencanaan produksi yang dibuat perusahaan. Untuk mengoptimalkan perencanaan produksi dengan meminimukan total biaya produksi produk digunakan pendekatan programa dinamik. Programa dinamik merupakan salah satu teknik matematika yang digunakan untuk mengoptimalkan proses pengambilan keputusan secara bertahap ganda dengan membagi satu persoalan atas beberapa bagian persoalan (tahap). Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat perencenaan produksi produk KDT setahun mendatang agar total biaya produksi optimal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PT XYZ, maka diperoleh perencenaan produksi berturut-turut dari Agustus 2016 sampai dengan Juli 2017 yaitu 101.685 pcs, dengan total biaya minimum yaitu Rp 35.081.325.000,-. Perencanaan produksi dengan menggunakan metode Programa Dinamik memberikan hasil yang lebih optimal dari segi meminimalisir cost untuk biaya produksi bila dibandingkan kondisi perencanaan produksi perusahaan. Kata kunci— Biaya minimum, Perencanaan Produksi, Programa Dinamik
I. PENDAHULUAN PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri farmasi, yang memproduksi obat antara lain produk KDT yaitu obat untuk sariawan, XPZ yaitu obat enzim, PRG yaitu obat untuk sakit kepala, dan masih banyak obat yang lainnya. Berkembang pesatnya industri farmasi saat ini mengakibatkan persaingan yang ketat antar produsen farmasi, terutama yang memproduksi barang yang sama. Sehingga mendorong perusahaan untuk bisa bersaing dengan memiliki keunggulan kompetitif, terutama dalam pemenuhan permintaan pelanggan atau pemberian pelayanan kepada pelanggan. Pemenuhan kebutuhan pelanggan secara tidak langsung berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan dan laba perusahaan. Jika permintaan pelanggan tidak terpenuhi, maka perusahaan akan kehilangan laba saat ini dan laba yang di masa yang akan datang karena kehilangan pelanggan. Permintaan oleh pelanggan yang terjadi secara fluktuatif menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan, termasuk PT XYZ. Ketidakpastian jumlah dan waktu permintaan pelanggan mendorong adanya persediaan. Pada penelitian ini produk yang diteliti yaitu produk KDT karena salah satu produk yang fast moving. Persediaan didefinisikan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan untuk dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses pada proses manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk dijual.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-200
Optimasi Produksi Produk KDT di PT.XYZ menggunaka Programa Dinamik
Tabel 1. Persediaan dan Permintaan Produk KDT Januari-Juli 2016
Sumber : Data Perusahaan
Dari perencanaan produksi yang dibuat perusahaan saat ini, dapat dilihat pada Tabel 1. dimana jumlah persediaan lebih besar dibandingkan permintaan PT XYZ memiliki sistem produksi Make to Stock yaitu membuat sesuatu produk akhir untuk disimpan, dan kebutuhan konsumen akan diambil dari persediaan gudang. Dalam strategi Maketo-Stock yang digunakan oleh PT XYZ, perusahaan ini memiliki resiko tinggi berkaitan dengan investasi inventory, karena pesanan pelanggan secara aktual tidak dapat diidentifikasi secara tepat dalam proses produksi. Perencanaan produksi dapat diartikan sebagai proses penentuan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan operasi manufaktur dan mengalokasikannya sehingga menghasilkan produk dalam jumlah dan kualitas yang diharapkan dengan mengeluarkan biaya atau ongkos yang lebih rendah. Salah satu metode yang tepat untuk menyelesaikan perencanaan produksi adalah dengan menggunakan metode program dinamik. Programa Dinamik adalah suatu teknik matematika yang digunakan untuk mengoptimalkan proses pengambilan keputusan secara bertahap-ganda. Dalam teknik ini, keputusan yang menyangkut suatu persoalan dioptimalkan secara bertahap dan bukan secara sekaligus. Jadi inti dari teknik ini adalah membagi satu persoalan atas beberapa bagian persoalan yang dalam program dinamik disebut tahap. Kemudian memecahkan tiap tahap dengan mengoptimalkan keputusan atas tiap tahap sampai seluruh persoalan telah terpecahkan. Keputusan yang optimal atas seluruh persoalan ialah kumpulan dari sejumlah keputusan optimal atas seluruh tahap yang kemudian disebut sebagai kebijakan optimal. (P.Siagian, 1987 : 238). A. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu Bagaimana membuat perencanaan produksi setahun mendatang pada produk KDT agar total biaya keseluruhan periode optimal? B. Tujuan Dari perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini yaitu membuat perencanaan produksi setahun mendatang pada produk KDT agar total biaya keseluruhan optimal.
II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk penelitian. Dalam pengumpulan data pada peneltian ini peneliti menggunakan data permintaan produk KDT 24 periode yaitu Agustus 2014 sampai Juli 2016, biaya produksi produk per pcs, biaya simpan, dan data penjualan Agustus sampai Desember 2016 sehingga dapat diolah pada pengolahan data.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-201
Marfuah dan Anwar
B. Pengolahan Data Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam pengolahan menggunakan metode Programa Dinamik, yaitu : 1) Tahapan Melakukan Peramalan (Forecasting) Pada tahap ini dilakukan plotting data permintaan 24 periode sebelumnya menjadi sebuah grafik sehingga data tersebut bisa dibaca berdasarkan pola dari hasil grafik. Kemudian dipilih tiga metode yang sesuai dari hasil plotting data. Metode-metode yang dipilih dilakukan olah data peramalan menggunakan software WinQSB. Hasil dari peramalan yang dilakukan kemudian dilihat atau dihitung nilai kesalahannya dan dipilih nilai kesalahan terkecil dari nilai-nilai kesalahan yang ada untuk menentukan metode terbaik yang akan digunakan untuk melakukan peramalan periode berikutnya. Setelah itu, dilakukan verifikasi terhadap hasil peramalan dengan menggunakan peta rentang. Hasil dari peta rentang tersebut bisa menunjukkan bahwa metode yang dipilih sesuai. Kemudian hasil peramalan periode berikutnya bisa digunakan. 2) Tahapan Menghitung Perencanaan Produksi menggunakan Programa Dinamik Pada tahap ini dilakukan perencanaan produksi menggunakan programa dinamik untuk memperloleh total biaya optimal dengan mengidentifikasi variabel masukan yaitu hasil peramalan permintaan, kapasitas gudang, jumlah persediaan, biaya produksi, dan biaya simpan. Kemudian mengidentifikasi variabel keputusan yaitu jumlah produksi, serta mengidentifikasi kendalakendala perusahaan yaitu jumlah produksi yang dilakukan tidak melebihi kapasitas gudang yang tersedia. Selanjutnya membuat rumusan fungsi tujuan yaitu meminimalkan biaya produksi. Dan melakukan perhitungan secara rekrusif maju. 3) Analisis Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap pengolahan data. Pada tahap ini hasil pengolahan data dianalisis dan dibahas berdasarkan hubungannya dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memahami dan menganalisis hasil pengolahan data secara mendalam. Analisis dan pembahasan dilakukan secara bertahap sesuai dengan hasil-hasil pengolahan data. 4) Kesimpulan dan Saran Bagian ini merupakan tahap terakhir dari penelitian, yang berupa penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data. Bagian ini juga dilengkapi dengan saransaran untuk menyempurnakan hasil penelitian ini dan implikasi praktis untuk penelitian selanjutnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan perencanaan produksi maka dilakukan perhitngan peramalan permintaan produk. Peramalan permintaan produk KDT dilakukan dengan software WinQSB.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-202
Optimasi Produksi Produk KDT di PT.XYZ menggunaka Programa Dinamik
Tabel 2. Data Histori Permintaan Produk KDT
Tabel 3. Hasil Peramalan Permintaan Agustus 2016 – Juli 2017
A. Perencanaan Produksi dengan Metode Programa Dinamik Metode programa dinamik yang digunakan yaitu rekrusif maju sehingga perhitungan dilakukan dari tahap ke-1 bergerak maju hingga tahap ke-12. Urutan perencanaan produksi dengan programa dinamik, yaitu : 1. Dekomposisi, permasalahan rencana produksi dipecah menjadi beberapa sub masalah yang dinyatakan dengan tahap 1 sampai 12 2. Menentukan variabel masukan/state pada tiap tahapan, dalam hal ini adalah : hasil peramalan permintaan, kapasitas gudang, jumlah persediaan, biaya produksi, dan biaya simpan. 3. Menentukan variabel keputusan, dalam hal ini yaitu menentukan jumlah produksi. 4. Menetapkan : Fungsi tujuan. 𝑀𝑖𝑛𝐶 = Ʃ (𝐴. 𝑋𝑛+ 𝐵. I𝑛)
(1)
Keterangan : A = biaya produksi ( Rp. 28.750) B = biaya simpan (Rp. 1000) 𝑋𝑛 = Jumlah produksi pada periode ke-n 𝐼𝑛 = Banyaknya persediaan pada periode ke-n Fungsi pembatas Jumlah produksi yang dilakukan tidak melebihi kapasitas produksi yangtersedia. Formulasi matematisnya, yaitu: In + Sn− G ≤ Xn ≤ In + Sn
(2)
𝑓𝑛 I𝑛 = min{(𝐴X𝑛 + B 𝐼𝑛) + (𝑓𝑛 −1 (𝐼𝑛 + Sn - Xn)}
(3)
Persamaan rekursif :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-203
Marfuah dan Anwar
Keterangan : fn In = biaya produksi optimum KDT pada tahap n dalam banyak persediaan S AXn = Biaya produksi dikali jumlah produksi (x)pcs KDT dalam tahap n BIn = Biaya simpan yang dikenakan terhadap tahap n apabila dalam banyaknya persediaan I = Banyaknya persediaan pada periode ke-n = Jumlah produksi pada periode ke-n Sn = Banyaknya Permintaan atau penjualan dalam tahap n G = Kapasitas Gudang B. Langkah-Langkah Perhitungan Programa Dinamik 1) Menentukan jumlah persediaan akhir. Dalam hal ini karena kapasitas gudang yaitu 90.000 pcs maka jumlah persediaan akhir yang dibuat yaitu 0, 30.000, 60.000, dan 90.000 pcs. 2) Menghitung jumlah produksi yang akan diproduksi pada periode ke-n dengan memasukkan variabel masukan, di tahapan ini variabel masukannya yaitu hasil peramalan permintaan (Tabel 3), jumlah persediaan, dan kapasitas gudang dengan menggunakan persamaan 2 3) Masukkan jumlah produksi yang sudah dihitung sebelumnya ke persamaan 3. 4) Buat tabel hasil perhitungan untuk mempermudah pembacaan. Digunakan metode programa dinamik untuk perencanaan produksi karena teknik ini pengambilan keputusannya dilakukan secara bertahap. Teknik ini sesuai dengan perumusan masalah yang ada, sehingga dapat mengoptimalkan persoalan yang terjadi secara bertahap bukan sekaligus. Pada perencanaan produksi dengan menggunakan programa dinamik pada penelitian ini dilakukan secara rekrusif maju dimana cara pengerjaannya dimulai dari tahap satu sampai tahap akhir. Alasan menggunakan rekrusif maju karena perencanaan produksi dimulai dari awal tahun sehingga agar dapat mempengaruhi produksi-produksi pada bulan berikutnya Tabel 4. Hasil Perencanaan Produksi Produk KDT periode Agustus 2016-Juli 2017
Sumber : Hasil Perhitungan
Hasil perhitungan dari tahap 1 sampai tahap 12 menunjukkan alternatif kebijakan produksi yaitu pada persediaan sama dengan nol (In = 0) dengan jumlah produksi pada tahap 1 sampai dengan tahap 12 jumlahnya sama sebesar 101.685 pcs. Hal ini dapat terjadi karena dengan semakin sedikit persediaan atau bahkan tidak adanya persediaan akan mengurangi jumlah biaya total karena kecilnya biaya simpan bila dibandingkan dengan biaya produksi. Jumlah total biaya yang dikeluarkan untuk jadwal produksi selama 12 periode tersebut adalah Rp 35.081.325.000,- Ini merupakan hasil optimal dalam meminimumkan biaya produksi dengan menggunakan program dinamik.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-204
Optimasi Produksi Produk KDT di PT.XYZ menggunaka Programa Dinamik
C. Kalkulasi Biaya 1) Kondisi Perusahaan saat ini Tabel 5. Perencanaan Produksi Perusahaan
o
Sumber : Data Sekunder dan Hasil Perhitungan
2) Kondisi dengan Menggunakan Programa Dinamik Tabel 6. Perencanaan Produksi dengan Menggunakan Programa Dinamik
Sumber : Hasil Perhitungan
D. Implementasi bila Perencanaan Programa Dinamik digunakan dengan yang dialami Perusahaan sekarang Tabel 7. Perbandingan Perencanaan Produksi Menggunakan Program Dinamik dengan yang sudah dialami Perusahaan
Sumber : Hasil Perhitungan
E. Analisis Perbandingan antara Perencanaan Produksi Perusahaan Dengan Perencanaan Produksi Menggunakan Programa Dinamik Kalkulasi biaya yang dilakukan yaitu pada bulan Agustus sampai Desember 2016 hal ini dikarenakan, pada bulan tersebut hasil peramalan dan yang sudah terjadi sudah ada. Dari Tabel 6 diperoleh total biaya produksi dengan menggunakan programa dinamik yaitu Rp 14.617.218.750,SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-205
Marfuah dan Anwar
sementara dari Tabel 7 diperoleh total biaya dengan perencanaan produksi yang dilakukan perusahaan yaitu sebesar Rp 14.924.204.000,- Sehingga, selisih total biaya produksi dengan dan tanpa menggunakan programa dinamik yaitu Rp 306.985.250,-. Hasil ini dapat menurunkan biaya produksi perusahaan sebesar 2.06%. F. Analisis Perbandingan antara Perencanaan Produksi dengan Menggunakan Programa Dinamik dan Jika Penerapan Perencanaan Programa Dinamik dilakukan Perusahaan Saat ini Perbandingan kalkulasi total biaya produksi dengan menggunakan programa dinamik dan jika penerapan programa dinamik dilakukan diperusahaan saat ini yaitu diperoleh selisih sebesar Rp 154,979,000,-. Hasil tersebut dapat menurunkan biaya produksi perusahaan sebesar 1.05%.
IV. PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada perusahaan XYZ dengan mengambil sampel penelitian produk KDT maka perencanaan produksi untuk periode berikutnya yaitu Agustus 2016 101.685 pcs; September 2016 101.685; Oktober 2016 101.685; November 2016 101.685; Desember 2016 101.685; Januari 2017 101.685; Februari 2017 101.685; Maret 2017 101.685; April 2017 101.685; Mei 2017 101.685; Juni 2017 101.685; Juli 2017 101.685. Dengan total biaya optimal yang diperoleh yaitu Rp 35.081.325.000,-. Perencanaan produksi dengan menggunakan metode programa dinamik memberikan hasil yang lebih optimal dari segi meminimalisir cost untuk biaya produksi, bila dibandingkan perencanaan produksi yang dilakukan perusahaan pada saat ini. B. Saran 1) Pada penelitian ini hanya dilakukan penyusunan rencana penjadwalan produksi untuk satu jenis produk, diharapkan untuk peelitian selanjutnya dilakukan untuk beberapa jenis produk. 2) Perlu dilakukan adanya penelitian lanjutan mengenai perencanaan produksi dengan menggunakan metode lain sebagai pembanding.
DAFTAR PUSTAKA Delfianda, P., dkk, 2011, Optimalisasi Biaya Total Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Menggunakan Programa Dinamik. Gaspersz, V., 2001, Production Planning and Inventory Control. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Kusuma, H., 2009, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Edisi Keempat. Yogyakarta : Graha Ilmu. Makridakis, S., dkk, 1999, Metode dan Aplikasi Peramalan Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga. Nasution, A.H., & Prasetyawan, Y., 2008, Perencanaan & Pengendalian Produksi Edisi Pertama, Yogyakarta : Graha Ilmu. Nurhidayati, F.U., 2010, ―Penggunaan Program Dinamik Untuk Menentukan Total Biaya Minimum Pada Perencanaan Produksi Dan Pengendalian Persediaan‖, Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Purnomo, B.H., dkk, 2015, Perencanaan Produksi Kerupuk Puli dengan Menggunakan Programa Dinamik di UD Rizki Jember, Agrointek. Rangkuti, F., 2004, Manajemen Persediaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rosnani, G., 2007, Sistem Produksi Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Siagan, P., 1987, Penelitian Operasional: Teknik dan Praktek, Jakarta : UI Pres.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-206
Petunjuk Sitasi: Nurwidiana, Syakhroni, A., & Charis, N. M. (2017). Analisa Kegagalan dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C207-211). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Kegagalan dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II Nurwidiana(1), Akhmad Syakhroni(2) , Noor M Charis(3) Jurusan Teknik Industri, Universitass Islam Sultan Agung Jl. Raya kaligawe km 4 Semarang (1) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Spinning II adalah unit produksi baru dari PT.Sari Warna Asli V , maka perusahaan menerapkan pengawasan yang ketat dalam segala aktifitas produksi, salah satunya dalam hal perawatan mesin. Mesin Cardingpada unit spinning II tersebut, sering mengalami breakdown yang mengakibatkan terjadinya downtime. Tercatat selama 6bulan produksi, prosentase downtime mencapai 0,9377% dari total waktu operasinya, atau rata-rata terjadi 0,1563% downtime per bulan). Nilai tersebut jauh dibawah sasaran mutu yang ingin dicapai oleh perusahaan yaitu sebesar 0,062% downtime per bulan. Sehingga perlu dilakukan analisa untuk menekan terjadinya breakdown yang mengakibatkan down time. Metode yang digunakan adalah Reliability Centered Maintenance II dengan memadukan analisis kuantitatif dan kualitatif. Metode ini digunakan untuk menentukan kegiatan perawatan berdasarkan pada RCM II Decision Worksheet dan FMEA digunakan untuk mengidentifikasi penyebab kegagalan serta efek yang ditimbulkan dari kegagalan tersebut.Hasil dari penelitian ini adalah sub sistem mesin carding yang menjadi masalah utama sistem carding JWF1203, dan ditemukan adanya 30 modus kegagalan. Berdasar FMEA terdapat 5 modus kegagalan yang krusial, ditunjukkan dengan nilai RPN lebih dari 100. Dari analisa RCM II Decision Worksheet diambil kebijakan perawatan kebijakan scheduled discard task dengan melakukan penggantian untuk 1 modus kegagalan , kebijakan on condition task pada 14 modus kegagalan , dan 15 modus lainnya siterapkan kebijakan no-scheduled maintenance. Selanjutnya pada modus dengan kebijakan scheduled discard ditentukan interval penggantian komponen yang optimal berdasarkan MTTF, biaya dan kehandalan. Untuk modus on condition task ditetapkan interval waktu preventif maintenance dan untuk modus kegagalan dengan kebijakan no-scheduled maintenance diusulkan penyusunan SOP pengoperasian dan perawatan mesin. Kata kunci— Carding, down time, FMEA, perawatan, RCM II, RPN, spinning II
I. PENDAHULUAN Bagian Spinning II merupakan proyek baru di PT.Sari Warna Asli Unit V yang baru berjalan kurang dari satu tahun. Mesin produksi yang digunakan diantaranya mesin Blowing, Carding, Drawing, Speed Frame, Ring Frame, Winding. Dari hasil wawancara dengan kepala bagian maintenance dan supervisor maintenance diantara mesin-mesin tersebut mesin carding memiliki kejadian breakdown yang tinggi dan mempengaruhi 80% dari kualitas benang.Mesin Carding berfungsi untuk membuka menghaluskan gumpalan serat, membersihkan kotorankotoran yang masih ada didalam gumpalan serat, memisahkan serat-serat pendek dengan seratserat panjang. Berdasarkan data 20 mesin carding bagian spinning II periode Maret 2015 -Agustus 2015 total terjadi 99 kejadian breakdown atau rata-rata terjadi 0,156% downtime per bulan). Nilai tersebut jauh dibawah sasaran mutu yang ingin dicapai oleh perusahaan yaitu sebesar 0,062% downtime mesin per bulan. Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan sistem pemeliharaan mesin carding di bagian spinning II tersebut. Saat ini Kebijakan maintenance mesin carding yang diterapkan oleh PT. Sari Warna Asli Unit V menggunakan perawatan breakdown (corrective maintenance/CM) dan perawatan rutin (preventive maintenance/PM). Maka pada penelitian ini
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-207
Nurwidiana, Syakhroni, dan Charis
akan diterapkan perawatan dengan kebijakan Reliability Centered Maintenance II (RCM II). Reliability Centered Maintenance(RCM) merupakan serangkaian proses yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam rangka memastikan bahwa peralatan yang digunakan dapat berjalan dengan baik dalam menjalankan fungsi yang dikehendaki. Sementara itu Reliability Centered Maintenance II merupakan hasil pengembangan RCM sebelumnya yang menambahkan safety dan environtment consequence pada decisision diagram RCM II mempunyai kelebihan dalam penentuan program pemeliharaan yang difokuskan pada komponen kritis dan menghindari kegiatan perawatan yang tidak diperlukan dengan menentukan interval pemeliharaan yang tepat (Moubray 1997). Dengan menerapkan RCM II maka diharapkan dapat 1) mengetahui Kebijakan pemeliharaan yang optimal dari sub-sistem penyebab utama kerusakan untuk meminimalkan breakdown dan downtime mesin carding
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu studi kasus permasalahan perawatan mesin di PT Sari warna dengan menggunakan metode RCM II. Maka metode penelitian yang dilakukan mengacu pada tahapan-tahapan RCM II . Secara umum terbagi dalam 3 Tahap yaitu : Tahap identifikasi, Tahap Pengolahan data dengan RCM II dan Tahap Rekomendasi A. Tahap identifikasi 1) Pemilihan Sistem : Menentukan sistem yang paling tinggi pengaruhnya terhadap kerusakan mesin, disini digunakan diagram Pareto 2) Mendefinisikan Batasan Sistem (System Boundary) 3) Membuat Aset Block Diagram dan Function Block Diagram B. Tahap Pengolahan Data (Proses RCM II) 1) Pendefinisian Fungsi dan Kegagalan Fungsi 2) Penentuan Modus Kegagalan dan Efeknya 3) Penentuan Nilai Risk Priority Number (RPN) 4) Penentuan Maintenance Task 5) Penentuan Interval Schedule Discard Task C. Tahap Rekomendasi 1) Analisa FMEA, analisa maintenance task, dan analisa interval perawatan Schedule Discard Task yang diusulkan. 2) Rekomendasi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Sistem Mesin Carding terdiri dari 3 sub-sistem yaitu Chute Feed FT 209A , Carding JWF 1203 dan Coiler JWF 1171.Berdasarkan Pareto Chart Downtime sub-sistem carding JWF 1203 dengan mempunyai persentase paling sebagai penyebab terjadinya downtime mesin yaitu sebesar 63,4%, kemudian sistem coiler 20,9%, sistem chute feed 15,7%.Sehingga sub sistem carding JWF1203. Diketahui sebagai sub-sistem penyebab utama kerusakan mesin carding dan dipilih sebagai objek yang akan di teliti dan di analisa lebih lanjut dengan metode RCM 1) Asset Block Diagram (ABD) Sistem Carding JWF1203 Dibangun ABD dari sub sistem terpilih sehingga dapat diketahui informasi tentang proses produksi,i komponen dn fungsi komponen serta sistem kerja peralatan secara jelas, dan hystory card yang memberi informasi tentang kejadian kegagalan. 2) Deskripsi Fungsi Sistem dengan Functional Block Diagram (FBD) Function Block Diagram sistem carding JWF1203 mendefinisikan fungsi setiap part didalam sistem.Setiap blok dihubungkan dengan anak panah yang menunjukan interaksi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-208
Analisa Kegagalan Dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II
antar subsistem sehingga alur pemrosesan material (web) sampai menjadi sliver akan tergambar jelas. 3) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Dari functional block diagram dapat ditentukan FMEA dari masing-masing komponen yang digunakan untuk mengidentifikasi fungsi dari suatu komponen mesin dan penyebab kegagalan dari mesincardingJWF1203 serta efek yang timbul dari kegagalan tersebut yang berakibat pada system. Dari tahap ini teridentifikasi ada 30 modus kegagalan. B. Tahap RCM II 1) Penentuan Nilai RPN (FMEA) Penentuan nilai RPN yaitu kriteria nilai severity, detection, dan occurrence dengan menggunakan nilai skala rating 1 sampai dengan 10.Pemberian nilai RPN pada setiap modus kegagalan dilakukan melalui diskusi dengan supervisor maintenance mesin carding. Menurut Stamatis (1995) usulan perbaikan terhadap modus kegagalan yang terjadi diberikan pada modus kegagalan yang memiliki nilai RPN diatas 100. dari perhitungan terdapat 5failure mode dari sistem carding JWF1203 yang memiliki nilai RPN diatas 100 yaitu : Timming Belt Top Flat rusak, dengan RPN 280 Flat & Clean roller kotor, dengan RPN 210 V.Belt Flat&Clean roller putus, dengan RPN 175 Wire Flat&Clean rusakdengan RPN 150 Wire rear&front stasionary flat tergumpal serat kotoran web, dengan RPN 126 2) RCM II Decision Worksheet Dilakukan analisa terhadap 30 modus kegagalan dengan decision worksheet untuk menentukan jenis kegiatan perawatan yang sesuai untuk setiap modus. pengisian decision worksheet dibantu dengan LTA RCM II decision diagram untuk membantu menentukan concequence dan proactive task yang akan diberikan.Concequence yakni Hidden Failure (H), Safety Consequences (S), Environmental Consequences (E), dan Operational Consequences (O).Dalam penyusunan task-task tersebut dilakukan brainstorming dengan supervisor maintenance. Selanjutnya hasil dari analisa RCM II Decision Logic Diagram akan di tuliskan kedalam RCM II Decision Worksheet. Berdasarkan hasil pengolahan RCM II terhadap 30 modus, jenis perawatan untuk tiap modus berbeda-beda. scheduled on condition task (pemeriksaan, pelumasan) : 14 Modus schedulled discard task (penggantian komponen) : 1 modus no scheduled maintenance (tidak melakukan perawatan) : 15 modus 3) Penentuan Kebijakan Perawatan a) Penentuan interval pemeriksaan untuk perawatan scheduled on-condition task Terdapat 14 modus dengan kebijakan scheduled on condition task. Dilakukan perhitungan interval pemeriksaan untuk tiap-tiap modus.Penentuan interval JWF1203 menggunakan P-F interval yaitu interval waktu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh vendor mesin untuk pelaksanaan preventive maintenance perusahaan. Interval perawatan (jam) = 1/2 x P-F interval Tabel 1 Interval Perawatan No 1 2 3 4
Modus Kegagalan Feed Plate Aus Mote knife licker in tumpul Cylinder wire tumpul Wire rear&front stasionary flat rusak
Tindakan Cek kondisi feed plate Cek kondisi Mote knife Cek kondisi cylinder wire Cleaning&cek standar kondisi stasionary.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-209
Interval Perawatan 6 Bulan 6 Bulan 3 Bulan 6 Bulan
Nurwidiana, Syakhroni, dan Charis
No
Modus Kegagalan
Tindakan
5
Topflat kotor
Cleaning top flat dan periksa kondisi wire topflat
6
Flat & Clean roller kotor
cleaning flat&clean roller
7
Wire Flat & Clean roller rusak
8
Wire Doffer tumpul
9 10
Wire Clearer roller rusak Cross bridge shaft rusak
11
Bearing Crossgirder aus
12
Gear big calendar rusak
13
Shaft big calendar aus.
Cek kondisi wire Flat&Clean Roller Cek kondisi wire doffer, usulan pembuatan SOP cleaning doffer Cek kondisi wire clearer roller. Periksa kondisi across bridge shaft Cek kondisi bearing Crossgirder,lakukan pelumasan Cek dan pelumasan Gear big calendar Cek kondisi shaft big calender lakukan pelumasan.
14
Air main suction pipe mati
Cleaning mesin, periksa status dust filter
Interval Perawatan 2 Hari 3 dan 6 bulan 6 Bulan 6 Bulan 6 Bulan 6 Buan 6 Bulan 6 Bulan 6 Bulan 2 Minggu
b) Penentuan Jadwal Penggantian untuk Modus Schedule Discard Task Terdapat 1 modus kegagalan dengan keputusan maintenance task scheduled discard task yaitu modus timming belt topflat rusak untuk itu harus ditentukan jadwal penggantian komponen yang optimal. Penentuan interval penggantian mempertimbangkan 3 hal yaitu: Mean Time To Failure (MTTF), Total biaya perawatan dan Nilai Kehandalan (Reliability). Dari pengolahan data historis kerusakan timming belt topflat diketahui pola kerusakan berdistribusi weibull dengan nilai α=59,681 β= 6.718 dan 𝜂 = 7217 jam, maka dapat dihitung nilai MTTF = ( )= 6784 jam (1) Penentuan interval perawatan optimal (TM) mempertimbangkan biaya perawatan (CM)=Rp580.000), biaya perbaikan (CR)=Rp.8908600 serta nilai dari wakturatarataperbaikan (Mbar) = 7,5jam .Interval penggantian yang dapat meminimalkan total biaya operasi (TM), dapat menggunakan rumus TM = 𝜂 * +1/β = 3743jam (2) Interval penggantian komponen TM(3743jam) kurang dari waktu MTTF-nya (6784jam), yang menunjukkan bahwa waktu TMakan berusaha untuk menghindari sampai terjadinya kerusakan timming belt topflat. Selanjutnya dihitung nilai kehandalan komponen jika penggantian dilakukan pada interval T t
R(t) e (3) dengan t adalan nilai TMyaitu 3743jam maka nilai R = 98,8% yang artinya probabilitas sub sistem akan beoperasi sesuai fungsinya hingga waktu 3743 jam sebesar 98,9%. c) Penyusunan SOP untuk modus no scheduled maintenance Terdapat 15 modus kegagalan yang tidak memerlukan tindakan perawatan namun diusulkan untuk dilakukan usulan pembuatan SOP, melakukan dokumentasi kejadian kerusakan agar dapat diidentifikasi interval perawatan komponen, melakukan pelaporan ke bagian maintenance jika terjadi kerusakan. C. Rekomendasi 1) Tindakan Perbaikan Untuk Nilai RPN Tertinggi
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-210
Analisa Kegagalan Dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II
Pemberian rekomendasi diprioritaskan terhadap faktor-faktor yang berisiko memberikan potensikegagalan/kerusakan mesin carding yang ditinjau dari nilai RPN terbesar. Pada kasus ini tindakan perbaikan diprioritaskan terhadap modus kegagalan dengan RPN tertinggi 280 yaitu timming Belt topflat rusak dengan melakukan penggantian timming belt topflat dengan interval 3743 jam.Kemudian menggunakan acuan SOP penggantian timming belt agar kegiatan penggantian bisa diselesaikan sesuai waktu standar penyelesaian. 2) Usulan Perbaikan Tindakan Perawatan dan Jadwal Perawatan Optimal Adapun rekomendasi tindakan perawatan berupa kegiatan pemeriksaan membersihkan pelumasan menggunakan interval perawatan setengah dari program mounting diperusahaan, sehingga penurunan resiko kegagalan dapat tercapai dan meminimalkan downtime.Kemudian melakukan kegiatan penggantian komponen, dan usulan pembuatan chek list pemeriksaan dan pencatatan setiap terjadi kerusakan, serta pembuatan Standar Operasional Prosedur penanganan jika terjadi kerusakan mesin.
IV. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut: 1) Penyebab utama kerusakan pada mesin carding Spinning II adalah kerusakan pada Sub system mesin carding system JWF1203. 2) Ditemukan terdapat 30 penyebab keegagalan dengan modus kerusakan utama yang perlu mendapatkan prioritas penanganan adalah rusaknya timming belt 3) Untuk menangani masalah kerusakan pada timming belt diusulkan kebijakan scheduled discard task dengan menentukan interval penggantian timming belt topflat setiap 3743jam. 4) Untuk kebijakan on-condition digunakan pada 14 modus . Untuk modus-modus tersebut ditentukan interval maintenance task dengan mengidentifikasi potensial failure (P-F) , nilai intervalnya adalah dengan ½ dari interval PF. 5) Kebijakan no-scheduled maintenance, diterapkan pada modus yang belum dapat diidentifikasi secara detail dan konsisten kondisi PF-nya, terdapat 15 modus yang diterapkan pada kebijakan ini Saran dari penelitian adalah: 1) Perusahaan PT Sari Warna Asli sebaiknya melakukan dokumentasi untuk semua peristiwa kerusakan mesin baik itu kerusakan ringan atau kerusakan berat agar kejadian kerusakan bisa identifikasi serta dihindari sebelum terjadi kerusakan sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian akibat downtime mesin. 2) Sebaiknya dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk penanganan tiap-tiap modus kegagalan/kerusakan agar bisa menjadi acuan operator/teknisi untuk tindakan perawatan. 3) Hendaknya potensi kegagalan yang sudah dikenal oleh para operator/teknisi ahli didokumentasikan dalam bentuk buku acuan, karena sangat berguna untuk operator baru. 4) Hendaknya ditempatkan beberapa pelaksana maintenance pada setiap regu kerja agar saat terjadi kerusakan penanganan bisa lebih cepat dilakukan sehingga tidak menimbulkan downtime yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Ebeling, C.E., 1997, An Intruduction to Reliability and Maintainability Engineering, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Jardine, A.K., 2001, Optimizing Maintenance and Replacement Decisions, Toronto, Ontario, Canada: Department of Mechanical and Industrial Engineering University of Toronto. Moubray, J., 1997, Reliability Centered Maintenance II Second edition Industrial Press Inc, New York: British Library. Stamatis, D.H., 1995, Failure Mode and Effect Analysis: FMEA from Theory to Execution.Milwaukee: ASQC Quality Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-211
Petunjuk Sitasi: Yulius, H., Irsan, & Lenggogeni, P. (2017). Perancangan Ulang Tata Letak Mesin pada Lantai Produksi di Biro Workshop PT. Semen Padang. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C212-221). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin pada Lantai Produksi di Biro Workshop PT. Semen Padang Henny Yulius(1), Irsan(2), Putri Lenggogeni(3) Jurusan Teknik Industri, Universitas Putra Indonesia ―YPTK‖Padang Jl. Raya Lubuk Begalung Padang – Sumatera Barat (1) [email protected], (2) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Bengkel Pabrikasi (Workshop) PT. Semen Padang adalah salah satu unit kerja dibawah Direktorat Produksi bergerak di bidang Manufacturing dan Erection Peralatan Pabrik yang melayani kebutuhan pabrikasi perusahaan sendiri maupun permintaan dari pihak luar. Sehingga perencanaan dan perancangan tata letak sangat berpengaruh untuk kelancaran aliran di lantai produksi tersebut dengan tujuan untuk meminimasi jarak dan ongkos material handling. Dalam penelitian kali ini akan melakukan perancangan ulang tata letak mesin pada lantai produksi berdasarkan prosedur System Planning Layout (SPL) dan Pendekatan Konvensial, dengan tipe tata letak proses. Dari hasil penelitian diperoleh usulan yang diberikan berdasarkan koefisien outflow dan inflow, dengan alternatif pilihan yaitu inflow. Terdapat bebera perubahan pada lantai produksi yaitu pada mesin bor dan mesin tekuk dengan perbandingan jarak 7395m dan 5.236m. perbandingan biaya sebesar Rp. 808.135 dan Rp. 442.436. Kata kunci— System Planning Layout, Pendekatan Konvensial dan Ongkos Material Handling.
I. PENDAHULUAN Tata letak atau pengaturan dari fasilitas produksi dan area kerja yang ada merupakan landasan utama dalam dunia industri. Pada umumnya tata letak pabrik yang terencana dengan baik akan ikut menentukan efisiensi dan dalam beberapa hal akan juga menjaga kelangsungan hidup ataupun kesuksesan kerja suatu industri. Dalam membangun suatu perusahaaan harus sesuai dengan perencanaan dan perancangan yang sesuai dengan syarat pendirian suatu perusahaan. Dengan adanya perencanaan dan perancangan tata letak fasilitas ini, diharapkan agar aliran proses serta pemindahan bahan yang ada di dalam suatu perusahaan berjalan dengan lancar. Kelancaran proses produksi dapat meminimumkan biaya dan mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh. Selain itu, perencanaan dan perancangan tata letak fasilitas ini juga berguna untuk mengoptimalkan hubungan antar aktivitas. Kondisi tata letak mesin pada lantai produksi saat ini mengakibatkan proses produksi tidak berjalan sesuai dengan harapan dan mengeluarkan biaya pemindahan bahan yang cukup besar, hal ini dapat dilihat pada latak mesin bor dan mesin tekuk. Area pabrikasi workshop memiliki 3 area pengerjaan dengan penempatan produksi disesuaikan pada berat suatu produk yang dibuat, umumnya setiap produksi melalui proses pengeboran. Jumlah mesin bor yang dimiliki workshop sebanyak 3 unit, tetapi pada kondisi sekarang mesin bor hanya diletakkan pada area 2 saja. Hal serupa juga terjadi pada mesin tekuk, mesin tekuk saat ini hanya diletakkan pada area 2, sedangkan pada area 1 perakitan suatu produk umumnya melewati proses penekukkan. Hal ini mengakibatkan proses pemindahan bahan menjadi lebih jauh, dan memakan waktu yang cukup lama. Dengan dilakukannya perancangan ulang terhadap lantai produksi diharapkan agar aliran proses serta pemindahan yang ada di dalam suatu perusahan berjalan dengan lancar, serta meminimumkan biaya dan mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh. Batasan masalah dalam penelitian perancangan tata letak produksi di Workshop PT Semen Padang adalah:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-212
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
1) Perancangan dilakukan untuk tata letak fasilitas produksi yang ada di workshop PT Semen Padang dengan metode konvensial. 2) Produk acuan untuk melakukan perancangan dipilih berdasarkan dimensi produk dengan ukuran dan berat yang berbeda. 3) Perbaikan dilakukan hanya pada lantai produksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara detail biaya penggunaan material handling dalam suatu produk dan melakukan perbadingan antara kondisi saat ini dengan usulan atau alternatif yang diberikan, berdasarkan biaya penggunaan material handling.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Letak Fasilitas Perancangan tata letak pabrik atau tata letak fasilitas adalah tata cara pengaturan fasilitasfasilitas pabrik guna menunjang kelancaran proses produksi, dimana dalam pengaturan tersebut akan dilakukan pemanfaatan luas area (space) untuk menempatkan mesin atau fasilitas penunjang produksi lainnya. Tata letak pabrik berhubungan erat dengan segala proses perencanaan dan pengaturan tata dari mesin, peralatan, aliran bahan, dan manusia yang ada dari masing-masing stasiun kerja. Bagi suatu perusahaan manufaktur, perencanaan tata letak mencakupi desain atau kongfigurasi dari bagian-bagian pusat kerja, dan peralatan yang membentuk proses perubahan ari bahan mentah menjadi bahan jadi. Dengan kata lain, merupakan pengaturan tempat sumber daya fisik yang digunakan untuk membuat produk. Perencanaan tata letak merupakan salah satu tahap dalam perencanaan fasilitas yang bertujuan untuk mengembangkan suatu sistem produksi yang efisien dan efektif sehingga dapat tercapainya suatu proses produksi dengan biaya yang minimum [Herjanto, Eddy, 2008]. B. Tipe-Tipe Tata Letak Tipe-tipe tata letak [Hadiguna dan Setiawan, 2008] : 1) Tata Letak Produk Digunakan untuk pabrik yang memproduksi satu macam produk atau kelompok produk dalam jumlah yang besar dan waktu produksi yang lama. 2) Tata Letak Proses Digunakan pada perusahaan yang beroperasi dengan menerima order dari pelanggan. 3) Tata Letak Posisi Tetap Tipe ini mengkondisikan bahwa material berada tetap pada posisinya, sedangkan fasilitas peoduksi bergerak menuju material tersebut. 4) Tata Letak Group Technology Tipe ini mengelompokkan produk yang dibuat berdasarkan kesamaan proses. C. Pendekatan Konvensional Tahapan-tahapan yang dilalui dalam teknik pendekatan konvensional yaitu : tahapan analisis tingkat hubungan atau kedekatan, perencanaan kebutuhan luas lantai, dan tata letak akhir. Berikut adalah rincian dari ketiga tahapan diatas [Hadiguna dan Setiawan, 2008] : 1) Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang telah didefenisikan sebagai fasilitas-fasilitas pabrik. 2) Menyiapkan lembaran Activity Relationship Chart (ARC) dan mengisinya dengan namanama fasilitas yang telah diterapkan pada langkah 1. 3) Merumuskan alasan-alasan yang dapan dijadikan dasar bahwa fasilitas-fasilitas dapat didekatkan atau harus dijauhkan. 4) Memberi penilaian berdasarkan sistem penilaian yang telah disepakati. 5) Merangkum hasil penilaian ARC ke dalam work sheet. 6) Menyiapkan block template sejumlah fasilitas yang akan dirancang. 7) Menyususn Activity Reletioship Diagram (ARD) berdasarkan tingkat hubungan. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-213
Yulius, Irsan, Lenggogeni
8) Menyiapkan Area Template berdasarkan kebutuhan luas lantai setiap fasilitas. 9) Membuat Area Allocating Diagram (AAD) sebagai tata letak akhir rancangan. D. Material Handling Material Handling dapat diartikan sebagai menangani material dengan menggunakan peralatan dan metode yang benar. Perencanaan sistem penanganan material merupakan suatu komponen penting dalam perencanaa fasilitas, terutama dalam kaitannya dengan desai tata letak. Oleh karenanya, perencanaan tata letak dan perencanaan penanganan material selalu selalu saling terkait satu dengan yang lainnya [Herjanto Eddy, 2008]. Umumnya, cara kerja metode menggunakan kriteria yang ditetapkan, yaitu total biaya jarak perpindahan bahan. Perhitungan jarak perpindahan biaya ditentukan oleh frekuensi perpindahan antar mesin atau fasilitas dan jarak antar mesin atau fasilitas. Jarak antar fasilitas ditentukan oleh ukuran fasilitas dan teknik pengukuran jarak yang digunakan. ukuran yang digunakan untuk memperkirakan jarak dalam tata letak, yaitu [Hadiguna dan Setiawan, 2008]: 1) Euclidean Jarak diukur sepanjang lintasan garis lurus antara dua buah titik. Jarak euclidean dapat diilustrasikan sebagai conveyor lurus yang memotong dua buah stsiun kerja. Persamaan euclidean sebagai berikut: dij = [(xi – xj)² + (yi – yj)²]0.5 (1) 2) Euclidean Kuadrat Kuardarat dari eucliden yang mencerminkan bobot terbesar jarak dua pasang titik yang saling berdekatan. Persamaan euclidean kuadrat sebagai berikut : dij = [(xi – xj)² + (yi – yj)²]2 (2) 3) Rectilinear Distance Jarak di ukur sepanjang lintasan dengan menggunakan garis tegak lurus satu dengan yang lainnya. Persamaan rectilinear distance seagai berikut: dij =[x-a] + [y-b] (3) 4) Squared Euclidean Distance Jarak diukur sepanjang lintasan sebenarnya yang melintas antara dua buah titik, jarak lintasan aliran bisa lebih panjang dibandingkan dengan rectilinier atau Euclidean. Persamaan squared euclidean distance dij = [x-a]² + [y-b]² (4) 5) Tchebychev Merupakan ukuran jarak terbesar dua nilai. Adapun matriks jarak tchebychev sebagai berikut: dij = max ([xi – xj] , [yi – yj] , [zi – zj]) (5) 6) Adjacency Matriks berdasarkan kedekatan yang mempunyai kelemahan tidak diturunkan dari fasilitas non kedekatan, atau sebuah matriks yang menunjukkan apakah fasilitas tesebut berbatasa. 7) Lintasan Terpendek Jarak antara dua simpul pada masalah lokasi jaringan kerja. Cara demikian digunakan untuk masalah yang memiliki banyak lintasan. Ongkos Material Handling (OMH) adalah suatu
ongkos yang timbul akibat adanya aktivitas material dari satu mesin ke mesin lain atau dari satu departemen kedepartemen lain yang besarnya ditentukan sampai pada suatu tertentu. Rumus dalam perhitungan OMH : OMH = Jarak Tempuh x Biaya Angkut
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-214
(6)
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
III. METODOLOGI PENELITIAN Melalui studi pendahuluan, penelitian perancangan tata letak fasilitas pabrik di workshop PT. Semen Padang sebelumnya telah dilakukan oleh Hendri (2001) dengan menggunakan metode Promethee (Preference Ranking Organization Methode For Enrichment Evaluation) yaitu penentuan kedekatan antar fasilitas dengan memperhatikan kriteria aliran bahan, karakteristik operasi, kebisingan, dan pencahayaan. Hendri (2001) menggunakan satu produk sebagai acuan dalam melakukan perancangan tata letak, sehingga susunan mesin berdasarkan proses yang dilalui oleh satu jenis produk tersebut tanpa melibatkan semua mesin yang ada dilantai produksi. Thahir (2004) mengenai perancangan ulang tata letak fasilitas produksi di workshop PT Semen Padang. Metode yang digunakan SOC (Similarity Order Clustring) yaitu mengelompokkan mesin kedalam sel-sel mesin. Benhard (2007) mengenai ―Perancangan Tata Letak Fasilitas Produksi Berdasarkan Group Technology Dengan Mempertimbangkan Urutan Proses Operasi di Workshop PT semen Padang‖. Penelitian tentang tata letak fasilitas pabrik sebelumnya yang diusulkan oleh Hendri (2000), Thahir (2004), dan Benhard (2007) adalah perancangan tata letak berdasarkan Group Technology, namun pihak biro workshop masih menggunakan tata letak proses layout. Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : A. Data Primer Data primer diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung untuk objek yang akan diteliti. Data yang diperoleh dalam pengamatan ini adalah: 1) Jumlah dan dimensi mesin aktual yang beroperasi. 2) Jarak antar stasiun kerja. 3) Pengukuran waktu dengan stopwatch untuk mengetahui lamanya jarak tempuh material handling per meter, yang bertujuan untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan tiap meter handling berjalan. B. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber lain baik dari lisan maupun tulisan. Data skunder yang diperoleh yaitu: 1) Data komponen yang digunakan dalam pembuatan produk. 2) Data proses operasi tiap-tiap material untuk melihat aliran material tiap-tiap departemen yang melakukan proses produk. Pengolahan data dalam perancangan ulang tata letak mesin ini mengikuti prosedur System Planning Layout (SPL) dan pendekatan konvensial, dengan tipe tata letak proses karena jumlah produk dan bentuk produk yang bervariasi, dengan memilih tipe ini maka hanya beberapa mesin saja yang akan dipindahkan. Pengolahan data mulai dilakukan dengan tahap analisis aliran, menentukan ongkos material handling per meter, melakukan perhitungan ongkos material handling tiap departemen, matriks from to chart, meghitung nilai koefisien outflow dan inflow, membuat tabel skala prioritas, membuat Activity Relationship Diagram (ARD) berdasarkan skala prioritas, Membuat Area Allocating Diagram (AAD), melakukan perhitungan ongkos material handling, dan memilih alternatif berdasarkan ongkos material handling terkecil.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan–tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan data adalah : 1) Perhitungan Ongkos Material Handling (OMH) tata letak awal. Perhitungan dilakukan untuk tiap produk dengan mengalikan 3 variabel, yaitu jarak, frekuensi, dan ongkos perpindahan material 2) Perhitungan From To Chart (FTC). Tipe tata letak yang digunakan adalah tipe proses perhitungan ini dilakukan berasarkan data OMH tata letak awal. FTC dilakukan untuk tiap produk, kemudian dilakukan rekapitulasi data FTC. 3) Perhitungan Outflow-Inflow. Perhitungan ini dilakukan berdasarkan data FTC, proses perhitungan outflow-inflow ini merupakan konversi nilai ongkos FTC ke dalam nilai
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-215
Yulius, Irsan, Lenggogeni
koefisien ongkos. Pada perbaikan peranangan tata letak alternatif yang diberikan berdasarkan koefisien outflow-inflow (dipilih salah satu) 4) Perhitungan Skala Prioritas. Skala priorias merupakan proses pengurutan kedekatan mesin berdasarkan nilai koefisien terbesar hingga terkecil. Tabel 1 Data Mesin Area Produksi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 24 25 Total
Nama Mesin Mesin CNC Cutting 1 Mesin CNC Cutting 2 Mesin Press Mindang Mesin Press Scew Mesin Press Bucket Mesin Roll Rundo Mesin Roll Mesin Roll Davi 4095 Mesin Roll Ex-Fl Smidth Mesin Roll Davi 3041 Mesin Gunting Penddinghaus Mesin Gunting Hydracut Mesin Gunting Beyeler Mesin Tekuk YSD Mesin Tekuk Gaspirani Mesin Bor ZJ China 3 Mesin Bor Mas Portable 1 Mesin Bor Elha 2 Mesin Planner Mesin Coloum SAW AWS Mesin Welding Alloy 1 Mesin Welding Alloy 2 Mesin Bubut 1 Mesin Bubut 2
Jumlah Mesin 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 26
Ukuran Mesin P (mm) L (mm) 15000 4500 14000 5000 2700 2600 1900 1800 1900 600 5800 3000 1800 1200 7722 5000 4500 2300 5000 3300 1590 900 3000 1300 3500 2500 5000 2800 5000 2800 4000 1600 3400 2600 3000 1300 9600 3310 8000 2500 4300 4000 5882 4180 3000 8100 21720 7989
Luas Mesin m2 67,50 70,00 7,02 3,42 1,14 1,14 17,40 2,16 38,61 10,35 16,50 1,43 3,90 8,75 14,00 14,00 6,40 8,84 3,90 31,78 20,00 17,20 24,59 24,30 414,32
Tabel 2 Rekapitulasi FTC Dari
Mesin CNC Mesin Welding Storage Cutting Gunting Plat Alloy Ke
Storage Mesin CNC Cutting Mesin Gunting Plat Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3 Jumlah
Rp 71.219 Rp 11.738
Mesin Bor Mesin Bor Mesin Bor Area 1 Area 2 Area 3
Mesin Tekuk 1
Mesin Tekuk 2
Rp 7.560 Rp 56.923 Rp 5.433 Rp 39.763 Rp 9.745 Rp 3.653 Rp 23.103
Mesin Mesin Press Mesin Roll Mesin Roll Mesin Bubut Mesin Bubut Rakitan Area Rakitan Area Rakitan Area Press 1 2 Area 1 Area 2 Area 1 Area 3 1 2 3
Rp 3.536
Rp 13.030 Rp Rp 611
Rp 2.237 Rp 1.426
Rp 18.924 Rp 71.219 Rp 11.738 Rp 23.103 Rp 68.136 Rp 5.433 Rp 58.687 Rp 11.982 Rp 1.426 Rp 3.536 Rp 611 Rp 13.030 Rp
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-216
Jumlah
Rp 20.565 Rp 111.082 561 Rp 8.384 Rp 56.132 Rp 51.486 Rp 7.328 Rp 9.223 Rp 261.545 Rp 2.451 Rp 6.715 Rp 8.993 Rp 8.993 Rp 158.615 Rp 183.954 Rp 3.774 Rp 5.200 Rp 121.694 Rp 121.694 Rp 47.408 Rp 47.408 Rp 3.147 Rp 3.147 Rp 3.220 Rp 3.220 Rp 1.349 Rp 1.349 Rp 7.619 Rp 7.619 Rp 1.281 Rp 1.281 Rp 4.309 Rp 4.309 Rp 21.693 Rp 40.617 561 Rp 28.950 Rp 56.132 Rp 281.651 Rp 19.331 Rp 152.610
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
Tabel 3 Outflow Mesin Storage CNC Ke Cutting
Dari
Storage Mesin CNC Cutting Mesin Gunting Plat Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3
Mesin Mesin Mesin Welding Mesin Bor Mesin Mesin Gunting Bor Area Bor Area Alloy Area 2 Tekuk 1 Tekuk 2 Plat 1 3
0,64
0,11
0,07 0,22 0,54
0,02
0,15
Mesin Mesin Mesin Mesin Press Mesin Roll Mesin Roll Bubut Area Bubut Press 1 2 Area 1 Area 2 1 Area 3
0,04
0,01
0,19 0,03
0,05 0,09
0,13
Rakitan Rakitan Rakitan Area 1 Area 2 Area 3
0,21
0,20
0,03 0,37
0,08
0,04
1,00 0,86
0,01 0,27
0,73 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
0,47
0,53
Tabel 4 Inflow Dari Storage Ke Storage Mesin CNC Cutting Mesin Gunting Plat Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3
Mesin CNC Cutting
Mesin Gunting Plat
1,00
Mesin Mesin Welding Mesin Bor Mesin Bor Area Bor Area Alloy Area 2 Tekuk 1 1 3
1,00
0,11 0,84 0,05
1,00
0,68
Mesin Tekuk 2
Mesin Press 1
0,81
Mesin Press Mesin Roll 2 Area 1
1,00
Mesin Mesin Roll Bubut Area Area 2 1 0,71 0,29
1,00 1,00
1,00
Mesin Bubut Area 3
Rakitan Rakitan Rakitan Area 1 Area 2 Area 3
1,00
0,18
1,00
0,38 0,13
0,06
0,03 0,56
0,19 1,00
0,20 0,80 0,17 0,16 0,01 0,07 0,03 0,07 0,15
0,32
0,14
Tabel 5 Skala Prioritas Outflow Prioritas 1 Departemen
Prioritas 2
Prioritas 3
Prioritas 4
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Mesin CNC
0,64
Mesin Bubut Area 1
0,19
Mesin Gunting Plat
0,11
Mesin Bor Area 1
0,07
Mesin CNC Mesin Bor 1 Cutting
0,22
Mesin Bubut Area 3
0,22
Rakitan Area 1
0,20
Mesin Bor Area 3
0,15
0,50
Rakitan Area 2
0,34
Mesin Press 2
0,08
Mesin Roll 2
0,08
0,13
Mesin Tekuk 1
0,01
Storage
Mesin Gunting Mesin Bor Plat Area 1 Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3
Rakitan Area 1 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2 Rakitan Area 3 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2
Prioritas 5
Prioritas 6
Prioritas 7
0,73
Welding Alloy Mesin Tekuk 2
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Mesin Roll Area 1
0,05
Mesin Tekuk 1
0,04
Rakitan Area 3
0,04
Mesin Bubut Area 3
0,03
Rakitan Area 2
0,03
Mesin Bor Area 2
0,02
Mesin Press 1
0,01
0,27
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
0,53
Mesin Bor Area 3
Prioritas 11
Outflow
1,00
Rakitan Area 3
Prioritas 10
Dept
1,00
Rakitan Area 1
Prioritas 9
Outflow
1,00 0,86
Prioritas 8
Dept
0,47
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-217
Yulius, Irsan, Lenggogeni
Tabel 6 Skala Prioritas Inflow Prioritas 1 Departemen
Prioritas 2
Prioritas 3
Prioritas 4
Prioritas 5
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Storage
Mesin CNC
1,00
Mesin Gunting Plat
1,00
Mesin Bubut Area 1
0,71
Mesin Bor 1
0,11
Mesin CNC Cutting
Mesin Roll 1
1,00
Mesin Bubut Area 3
1,00
Mesin Press 1
1,00
Mesin Bor Area 2
1,00
0,00
Mesin Press 2
1,00
Rakitan Area 2
0,13
Mesin Bor 1
0,05
0,56
Mesin Tekuk 1
0,19
Mesin Mesin Roll Gunting Plat 2 Welding Rakitan Alloy Area 1 Mesin Bor Welding Area 1 Alloy Mesin Bor Mesin Area 2 Tekuk 2 Mesin Bor Rakitan Area 3 Area 3 Mesin Rakitan Tekuk 1 Area 1 Mesin Rakitan Tekuk 2 Area 2 Mesin Press Rakitan 1 Area 1 Mesin Press Rakitan 2 Area 2 Mesin Roll Rakitan Area 1 Area 1 Mesin Roll Rakitan Area 2 Area 2 Mesin Rakitan Bubut Area Area 1 1 Mesin Mesin Bor Bubut Area Area 3 3
Prioritas 6
Prioritas 7
Prioritas 8
Prioritas 9
Prioritas 10
Prioritas 11
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Mesin bor Area 1
0,84
Mesin Tekuk 1
0,81
Mesin Bor Area 3
0,68
Rakitan Area 2
0,38
Mesin Bubut Area 1
0,29
Rakitan Area 1
0,18
Rakitan Area 3
0,06
0,03 1,00 1,00
Rakitan Area 1 Rakitan Area 2
0,20
0,80 0,17 0,16 0,01 0,07 0,03 0,07 0,15
0,32
Rakitan Area 3
0,14
A. Activity Relationship Chart (ARC) Peta ini berisi tentang penjelasan penting atau tidaknnya suatu departemen untuk didekatkan.
Gambar 1 Activity Relationship Chart
Keterangan : A Mutlak untuk didekatkan E Sangat penting berdekatan I Penting berdekatan O Tidak ada masalah U Perlu berjauhan X Mutlak berjauhan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-218
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
B. Perancangan Activity Relationship Diagram (ARD) Perancangan ini dituangkan kedalam diagram kotak-kotak, tiap kotak melambang 1 jenis mesin. Masing-masing kotak yang didekatka disusun berasarkan nilai koefisien skala prioritas. Fasilitas penunjang pabrik menggunakan fasilitas yang sudah ada, tanpa ada penambahan. Berikut ARD pada kondisi aktual:
17
5
6
7
8
9
16 13
14
10
12 11 18
15 3 15
4
2 1
Gambar 2 ARD Aktual
Berikut ARD untuk koefisien outflow yang menjadi alternatif pertama :
17
7
16 13
8 11 18
14 12 9 5
10 6 3 15
4
2 1
Gambar 3 ARD Alternatif 1
Berikut ARD untuk koefisien inflow yang menjadi alternatif kedua :
17
7
9
10 16 3 18
6 8 11 5
14 12 13 15
4
2 1
Gambar 4 ARD Alternatif 2
Tabel 7 Nama Departemen
C. Area Allocating Diagram (AAD)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-219
Yulius, Irsan, Lenggogeni
Kesimpulan tingkat kepentingan antar aktvitas, dengan demikian berarti bahwa ada sebagian aktivitas yang harus dekat dengan aktivitas lainnya atau sebaliknya. Perancangan AAD berikut merupakan gambaran yang dipilih melalui alternatif pilihan berdasarkan perhitungan Ongkos Material Handling setiap komponen. Alternatif yang menjadi pilihan adalah alternatif 2, karena jarak tempuh dan waktu perpindahan material lebih singkat. Alternatif pilihan
Gambar 5 Layout Usulan
V. PENUTUP Berdasarkan pengolahan data terlihat bahwa Lantai Produksi Workshop PT Semen Padang menggunakan tipe tata letak proses , karena produk yang dihasilkan bervariasi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-220
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
Lantai produksi memiliki 3 area pengerjaan dengan penempatan produk sesuai ukuran dari produk yang akan dirakit. Alternatif 2 dipilih berdasarkan perbandingan berikut :
Tabel 8 Perbandingan OMH antar Alternatif
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk mengurangi jarak perpindahan, penggunaan material handling serta meminimalisir biaya yang dikeluarkan adalah dengan memindahkan mesin bor pada area 2 ke area 1 dan 3. Kemudian dengan memindahkan mesin tekuk pada area 2 ke area 1.
DAFTAR PUSTAKA Hadiguna, S.H., 2008, Tata Letak Pabrik, PT. Andi, Yogyakarta. Heizer, J., 2009, Manajemen Operasi, PT Selemba Empat. Herjanto, E., 2008, Manajemen Operasi, PT Gramedia, Jakarta Kholil, M., dkk, 2014, Perencanaan dan Perancangan Tata Letak Fasilitas, Graha Ilmu. Qoriyana, dkk, 2014, Rancangan Tata Letak Fasilitas Bagian Produksi pada CV.Visa Insan Madani, Jurusan Teknik Industri, Institut Teknoogi Bandung. Sinulingga, S., 2008. Pengantar Teknik Industri, PT Graha Ilmu Wignjosoebroto, S., 2009, Tata Letak Fasilitas dan Pemindahan Bahan, PT Guna Widya Yuliant, dkk, 2014, Usulan Perancangan Tata Letak Fasilitas Perusahaan Garmen CV. X Dengan Menggunaan Metode Konvensial.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-221
Petunjuk Sitasi: Asih, E. W., Yusuf, M., & Fauzan, F. M. (2017). Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C222-228). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ (1)
(2)
Endang Widuri Asih , Muhammad Yusuf , Fajar Muhamad Fauzan (1), (2), (3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta Jl. Kalisahak 28 Yogyakarta
(3)
(1)
[email protected] ABSTRAK
Perkembangan industri yang semakin tinggi mengakibatkan persaingan antar perusahaan sejenis semakin tinggi. Untuk berdaya saing dengan perusahan lain perusahaan harus memenuhi permintaan konsumen. Permintaan yang semakin meningkat mewajibkan perusahaan untuk lebih memperhatikan nilai keandalan mesin. Pada perusahaan XYZ ada 5 mesin yang digunakan dalam produksi. Diantara lima mesin tersebut terdapat satu mesin yang memiliki tingkat breakdown tertinggi yaitu mesin carding, mesin carding merupakan mesin yang sangat penting dalam proses pemintalan benang, dikarenakan untuk melakukan proses awal sampai mesin winding harus melalui tahap proses mesin carding terlebih dahulu. dengan mesin yang sering mengalami kerusakan membuat perusahaan mengalami kerugian baik dari segi uang dan waktu yang mengakibatkan proses produksi terhambat. Tujuan dari penelitian ini yaitu meningkatkan keandalan suatu mesin, sehingga penjadwalan untuk perawatan lebih efektif dan efesien. Untuk itu perlu menentukan komponen kritis, dengan menggunakan Failure Mode Effect Analysis (FMEA). FMEA merupakan metode untuk menghitung Risk Priority Number (RPN) setiap komponen pada mesin, dengan mengetahui nilai RPN pada suatu komponen maka akan lebih memudahkan untuk perbaikan atau pergantian komponen. Dan untuk menentukan tindakan berdasarkan kerusakan menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) merupakan metode untuk memberikan prioritas mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadapa fungsi dan kegagalan fungsi dengan menjawab pertanyaan – pertanyaan yang telah di sediakan dalam LTA. Hasil dari penilitian ini menunjukan bahwa dari 17 komponen kerusakan terdapat 3 komponen kritis yang memiliki nilai RPN tertinggi yaitu pulley conveyer dengan nilai sebesar 360, Top Plate dengan nilai sebesar 392, dan Cylinder dengan nilai sebesar 320, dan tindakan menggunakan LTA terdapat 12 dalam kategori Condition Directed (CD), 4 kategori Time Directed (TD), dan 1 kategori Failure Finding (FF). Kata kunci— Keandalan, FMEA, RPN, LTA
I. PENDAHULUAN Pada zaman sekarang persaingan di dunia industri semakain ketat, perusahaan dituntut untuk lebih efektif dan efisien dalam peningkatakan ketersedian peralatan sehingga proses produksi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Peralatan yang mendukung proses produksi perlu upaya perencanaan manajemen perawatan yang efektif, dikarenakan mesin dan peralatan sangat rentan terhadap kerusakan yang dapat menimbulkan terhambatnya proses produksi dan keselamatan pekerja. Perawatan (maintenance), menurut (Corder, 1992), maintenance adalah kegiatan rutin, pekerjaan berulang yang dilakukan untuk menjaga kondisi fasilitas produksi agar dapat dipergunakan sesuai dengan fungsi dan kapasitas sebenarnya secara efesien ini berbeda dengan perbaikan. Pemeliharaan atau maintenance juga didefinisikan untuk menjaga suatu barang dalam, atau memperbaikinya sampai suatu kondisi yang bisa diterima. Untuk perawatan ini perlu adanya penentuan jadwal perawatan mesin dan juga kemampuan pekerja, dikarenakan kerusakan mesin terjadi bukan hanya dari faktor penjadwalannya saja tetapi dapat terjadi karena faktor manusia. Pekerja diwajibkan memiliki kemampuan yang baik untuk meningkatkan kinerja dalam proses SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-222
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ
maintenance, dengan begitu dapat meminimalisir terjadinya kerusakan dan mengurangi biaya untuk perawatan. PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi tekstil. Saat ini permintaan tekstil terus meningkat dikarenakan tekstil sudah menjadi kebutuhan manusia yang sangat penting seperti pakaian, celana, dan hiasan rumah. Permintaan yang semakin meningkat mewajibkan perusahaan untuk lebih memperhatikan nilai keandalan mesin. Pada tahun 2015 terdapat beberapa kerusakan yang menyebabkan terhambatnya proses produksi diantara kelima mesin yang beroperasi terdapat satu mesin yag mengalami tingkat kerusakan tertingi yaitu mesin carding. berdasarkan rata-rata breakdown menunjukan bahwa mesin carding mempunyai waktu rata – rata breakdown tertinggi selama 1 tahun mencapai waktu rata – rata 13,25 jam.
II. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, objek yang diteliti adalah mesin Carding pada divisi Maintenance yaitu aktifitas yang melakukan pemeliharaan mesin. Pengambilan data dengan wawancara dan pengukuran langsung. Wawancara langsung dengan kepala bagian Divisi Maintenance. data yang dikumpulkan berkaitan dengan data mesin carding yaitu data komponen kritis yang paling sering mengalami kegagalan beserta penyebabnya, kerusakan mesindata, perawatan preventif mesin carding, perawatan korektif mesin carding selama periode Januari sampai Desember tahun 2016. Data- data tersebut kemudian dianalisis dengan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), dan Logic Tree Analysis (LTA). Dan untuk penentuan distribusi berdasarkan hasil perhitungan data selisih waktu antar kerusakan, kemudian data tersebut akan diolah dengan menggunakan software Minitab 14 untuk mengetahui bentuk distribusi kerusakan pada mesin Carding. A. Metode FailureMode Effect and Analysis (FMEA) Identifikasi kegagalan potensial dilakukan dengan cara pemberian nilai atau skor masing – masing moda kegagalan berdasarkan atas tingkat kejadian (occurrence), tingkat keparahan (severity), dan tingkat deteksi (detection) (Stamatis, 1995). Tahapan FailureMode Effect and Analysis (FMEA) yaitu sebagai berikut: • Menentukan komponen dari sistem atau alat yang akan dianalisis. • Mengidentifikasi potensial failure atau mode kegagalan dari proses yang diamati, mengidentifikasikan akibat (potensial effect) yang ditimbulkan potensial failure mode, mengidentifikasikan penyebab (potensial cause) dan failure mode yang terjadi pada proses yang berlangsung. Menetapkan nilai – nilai sebagai berikut : Keparahan efek (Severity) S menunjukan tentang seberapa serius efek yang diakibatkan, kejadian penyebab (Occurrence) O adalah untuk mengetahui penyebab terjadi dan akibatnya dalam mode kegagalan, deteksi penyebab (Detection) D adalah menunjakan tentang kegagalan atau penyebab dapat dideteksi sebelum mencapai pelanggan. • Menentukan Risk Priority Number (RPN) Angka prioritas RPN merupakan hasil kali dari rating keparahan, kejadian dan deteksi. Angka ini hanyalah menunjukan ranking atau urutan defisiensi desain sistem. RPN = S x O x D.............................................................................................................(1) B. Metode Logic Tree Analysis (LTA) Logic Tree Analysis (LTA) bertujuan untuk memberikan prioritas pada setiap mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadap fungsi dan kegagalan fungsi. Prioritas suatu mode kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA ini.. Analisis kekritisan menempatkan setiap mode kerusakan ke dalam satu dari empat kategori (Pranoto, J. dkk, 2013). Empat hal yang penting dalam analisis kekritisan yaitu sebagai berikut; Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi gangguan dalam sistem, Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan, Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan mesin berhenti, Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan. Peengkatagorian setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terbagi dalam 4 kategori SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-223
Asih, Yusuf, Fauzan
yaitu: kategori A (Safety Problem), kategori B (Outage Problem), kategori C (Economic Problem) dan kategori D (Hidden Failur). C. Keandalan (Reliability). Keandalan adalah probabilitas suatu komponen atau sistem bekerja sesuai dengan fungsinya ketika dioperasikan selama periode waktu tertentu (Ebeling, C.E. 1997). Mean Time Between Failure (MTBF) adalah rata – rata interval waktu kerusakan yang terjadi saat mesin selesai diperbaiki sampai mesin tersebut mengalami kerusakaan kembali (Kostas, 1981 dalam Revitasari, dkk). (2) Mean Time To Repair (MTTR) merupakan waktu rata – rata dari interval waktu untuk melakukan perbaikan yang dibutuhkan oleh suatu komponen atau sistem (Kostas, 1981. Dalam Revitasari, dkk). (3) Distribusi yang biasa digunakan untuk menentukan pola data kerusakan adalah exponential, weibull, lognormal, dan normal adalah sebagai berikut (Soesetyo, 2014) Distribusi Weibull 1) Fungsi keandalan R(t) ( )
(4)
2) Fungsi laju kerusakan
t
1
r(t)
(5)
3) Mean Time To Failure (MTTF) (
)
(6)
= Fungsi Gamma, Γ (n) = (n-1), dapat diperoleh melalui fungsi gamma Keterangan : β = parameter bentuk θ = parameter skala t = waktu e = 2,7183
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penentuan pemilihan mesin yang sering mengalami kerusakan dari lima mesin ada satu mesin yang paling tinggi mengalami kerusakan yaitu mesin Carding. Untuk menentukan jenis kerusakan pada mesin Carding dengan menggunakan Failure Mode And Effect Analysis dan RPN. Dari hasi menunjukan terdapat 3 komponen yang mengalami kerusakan tertinggi. untuk menentukan nilai RPN menggunakan persamaan no 1. Metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) berfungsi untuk mengidentifikasi penyebab dan efek yang ditimbulkan dengan melakukan perhitungan Risk Priority Number (RPN). Untuk penentuan RPN perlu ditentukan nilai kejadian (occurance), keparahan (severity) dan deteksi (detection). Penentuan nilai rating kejadian (occurance), keparahan (severity), dan deteksi (detection) didiskusikan dengan pihak yang terkait. Nilai RPN menunjukan tingkat keseriusan dari potensi kegagalan (potential failure) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-224
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ
yang terjadi. Hasil pengolahan dengan metode FMEA Dari 17 komponen yang di analisis menggunakan FMEA terdapat 3 komponen yang memiliki nilai RPN tinggi yaitu Cylinder, Top Plate, dan Pulley Convayer. Hasil penentuan RPN dapat dilihat pada table 1. Adapun tindakan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan bisa dilihat sebagai berikut: A. Cylinder perbaikan yang dapat diberikan ialah penempatan dust collector bisa digunakan dalam upaya mencegah flying waste menumpuk pada bagian Cylinder, dimana prinsip kerja dari dust collector yaitu menghisap kotoran (flying waste). Apabila hal ini dilakukan diharapkan nantinya dapat mengurangi speed losses yang terjadi pada mesin carding B. Top Plate Pemberian pelatihan cara setting mesin carding pada semua operator menjadi cara yang efektif untuk mencegah terjadinya mode kegagalan seperti ini. Oleh karena itu diperlukan kesesuaian pengaturan antara tiap-tiap operator, apabila rekomendasi ini dilakukan diharapkan nantinya dapat mengurangi defect losses yang terjadi pada mesin carding. C. Pulley Convayer Moda Kegagalan
Tabel 1. Kumulatif Persentasi RPN RPN Persen (%)
Cylinder macet Coiler macet Roll Doffer macet Puley Convayer macet Top Plate macet Timing belt putus Belt Lickerin putus Chain Wheel rusak V Belt Motor kendur Chain Feed Roll putus Belt Cnnvayer Rusak Rubber Coupling Rusak Calender rusak Web Belt Putus Fibre Gear rontok Belt Top Plate putus Gear Feed Roll lepas
320 150 150 360 392 60 120 100 54 90 90 54 60 60 60 60 60
14.2857143 6.69642857 6.69642857 16.0714286 17.5 2.67857143 5.35714286 4.46428571 2.41071429 4.01785714 4.01785714 2.41071429 2.67857143 2.67857143 2.67857143 2.67857143 2.67857143
Jumlah
2240
100
Kumulatif %) 14.2857143 20.98214287 27.67857144 43.75000001 61.25000001 63.92857144 69.2857143 73.75000001 76.1607143 80.17857144 84.19642859 86.60714287 89.2857143 91.96428573 94.64285716 97.32142859 100
Setelah menentukan kerusakan komponen paling tinggi langkah selanjutnya menentukan tindakan yang tepat untuk moda kerusakan dengan metode Logic Tree Analysis (LTA). Metode Logic Tree Analysis digunakan untuk menentukan tindakan yang tepat untuk mode kerusakan tertentu.berdasarkan hasil penentuan LTA diperoleh kategori kegagalan masing-masing komponen mesin (table 2) adalah: • Kategori B (Outage Problem) yaitu komponen yang dapat mengakibatkan gangguan kegagalan pada selruh sebagian system. Komponen yang termasuk dalam kategori ini adalah Cylinder, Coiler, Roll Doffer, Pulley Conveyer, Timming belt, Belt Lickerin, Chain Weel, Chain Feed Roll, Belt Conveyer,Rabber Coupling, Web Belt, Fibre Gear, Belt Top Plate,Gera Feed Roll • Kategori C (Economic Problem) yaitu komponen yang dapat tidak menyebabkan kegagalan pada seluruh atau sebagian system tetapi menyebabkan kerugian pada perusahaan karena fungsi komponen. Adapun komponenyang termasuk dalam kategori ini adalah Top Plate, V Belt Motor, Callender Roll • Kategori A dan D tidak ada Jika tugas pencegahan secara teknis tidak menguntungkan untuk dilakukan, tindakan standar yang harus dilakukan bergantung pada konsekuensi kegagalan yang terjadi. Beberapa kategori tindakan pencegahan tersebut, antara lain:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-225
Asih, Yusuf, Fauzan
1) Condition Directed (C.D) adalah tindakan yang diambil yang bertujuan untuk mendeteksi. Apabila ada pendeteksian ditemukan gejala-gejala kerusakan peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau penggantian komponen. Pada kategori ini ada 12 komponen yaitu Timming belt, Belt Lickerin, Chain Weel, Chain Feed Roll, Belt Conveyer,Rabber Coupling,Callender Roll, Web Belt, Fibre Gear, Belt Top Plate,Gear Feed Roll. 2) Time Directed (T.D) adalah tindakan yang diambil yang lebih berfokus pada aktivitas pembersihan yang dilakukan secara berkala. Kategori ini ada 4 komponen yaitu Cylinder, Coiler, Roll Doffer, Pulley Conveyer. 3) Finding Failure (F.F) adalah tindakan yang diambil dengan tujuan untuk menemukan kerusakan peralatan yang tersembunyi dengan pemeriksaan berkala. Kategori komponen Ini ada 1 komponen adalah Top Plate. Tabel 2. Penyusunan LTA No
Komponen
Failure mode
Critical analysis
Failure causes
1
Cylinder
Cylinder macet
2
Coiler
Coiler macet
3
Roll Doffer
Roll doffer macet
4
Puley Convayer
Puley convayer macet
5
Top Plate
Top plate macet
6
Timming Belt
7
Belt Lickerin
8
Chain wheel
9
V Belt Motor
10
Chain Feed Roll
11
Belt Convayer
12
Rubber Coupling
13
Callender
Timing belt putus Belt lickerin putus Chain wheel rusak V Belt Motor lepas Chain feed roll putus Belt Convayer Rusak Rubber Coupling Rusak Calender
Evident
Safety
Outage
Category
Y
N
N
B
Y
N
N
B
Y
N
N
B
Y
N
N
B
N
N
N
C
Y
N
Y
B
Belt lickerin kotor dan kurangnya pemeriksaan
Y
N
Y
B
Chain wheel sudah aus dan kotor
Y
N
Y
B
Kesalahan pemasangan v belt
N
N
Y
C
Chain feedroll sudah aus dan kotor
N
N
N
B
Belt convayer kotor dan kurangnya pemeriksaan
Y
N
Y
B
Rubber coupling sudah aus dan kotor
Y
N
N
B
Gear lepas
Y
N
Y
C
Cylinder yang penuh dengan waste, menumpuknya waste pada permukaan cylinder Adanya tonjolan pada sliver yang masuk pada coiler, kondisi sliver yang tidak rata menyebabkan sliver menekan coiler. roller doffer yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada roller doffer menjadi berat Pulley yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada puley menjadi berat Kesalahan pemasangan top plate sehingga top plate tidak bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Timming belt kotor dan kurangnya pemeriksaan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-226
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ
No
Komponen Roll
14
Web Belt
15
Fibre Gear
16 17
Belt Top Plate Gear Feed Roll
Failure mode rusak Web belt Putus Fibre gear rontok Belt top plate putus Gera feed roll lepas
Critical analysis
Failure causes
Web belt kotor dan kurangnya pemeriksaan Fibre gear sudah aus dan kotor Belt top plate kotor dan kurangnya pemeriksaan kesalahan pada saat pemasangan Gear feed roll
Evident
Safety
Outage
Category
Y
N
Y
B
Y
N
Y
B
Y
N
Y
B
N
N
Y
C
Pada tahap penentuan distribusi data selisih waktu antar kerusakan, dengan menggunakan alat bantu program software Minitab 14 menunjukan bahwa distribusi kerusakan mesin carding berdistribusi Weibull. Dan Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan distribusi weibull mesin carding menggunakan persamaan no 5 memiliki laju kerusakan (λ) sebesar 0,0240 kerusakan / jam, artinya kemungkinan kerusakan pada mesin carding selama 1 (satu) jam yaitu 0,0240 dari total waktu mesin beroperasi. Nilai keandalan (relability) suatu sistem ditentukan oleh parameter Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Failure (MTTR). Nilai MTBF menggunakan persamaan no 6 pada mesin carding yaitu sebesar 28,4207/kerusakan yang artinya waktu rata – rata terjadi kerusakan sekitar 28 jam 25 menit. Nilai MTTR menggunakan persamaan no 3 pada mesin carding yaitu sebesar 26,3425 yang artiinya waktu rata – rata perbaikan 26 jam 21 menit. Nilai Mean Preventive Time (MPT) pada mesin carding adalah sebesar 17,159 yang artinya departemen maintenance PT. XYZ dalam melakukan pemeliharaan preventif adalah 17 jam 10 menit. Nilai keandalaan (Reliability) menggunakan persamaan no 4 pada mesin carding memiliki tingkat keandalaan sebesar 41%. Untuk memberikan prioritas pada setiap mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadap fungsi dan kegagalan fungsi dengan Metode LTA. Pada LTA untuk menentukan prioritas suatu mode kerusakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA.
IV. PENUTUP Berdasarkan pengolahan data, analisis data, dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penyebab kerusakan mesin carding yaitu, Cylinder yang penuh dengan waste, menumpuknya waste pada permukaan Cylinder, Adanya tonjolan pada sliver yang masuk pada Coiler, kondisi sliver yang tidak rata menyebabkan sliver menekan Coiler, Doffer yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada Doffer menjadi berat, Pulley yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada puley menjadi berat, Kesalahan pemasangan Top Plate sehingga Top Plate tidak bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan, Timming Belt kotor dan kurangnya pemeriksaan, Belt LIckerin kotor dan kurangnya pemeriksaan, Chain Wheel sudah aus dan kotor, Kesalahan pemasangan v belt, Chain feedroll sudah aus dan kotor, Belt Convayer kotor dan kurangnya pemeriksaan, Rubber Coupling sudah aus dan kotor, Gear lepas, Web Belt kotor dan kurangnya pemeriksaan, Fibre Gear sudah aus dan kotor, Belt Top Plate kotor dan kurangnya pemeriksaan, dan kesalahan pada saat pemasangan Gear Feed Roll. 2) Dari 17 komponen kerusakan terdapat 3 komponen keritis yang memiliki nilai RPN tertinggi yaitu pulley conveyer dengan nilai RPN sebesar 360, Top Plate dengan nilai RPN sebesar 392, dan Cylinder dengan nilai RPN sebesar 320. 3) Usulan pemelihan tindakan berdasarkan metode Logic Tree Analysis (LTA) supaya system dapat berfungsi sesuia dengan yang diharapkan dari hasil metode LTA terdapat 12 komponen dalam kategori Condition Directed (CD), 4 komponen dalam kategori Time Directed (TD), dan 1 komponen dalam kategori Failure Finding (FF)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-227
Asih, Yusuf, Fauzan
DAFTAR PUSTAKA Corder, A., 1992, Teknik Manajemen Pemeliharaan. Jakarta: Erlangga Ebeling, C.E., 1997, An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering, The McGRaw Hill Companies Inc, New York. Pranoto, J., dkk., 2013, ―Implementasi Studi Preventive Maintenance Fasilitas Produksi Dengan Metode Reliability Centered Maintenance‖, e-Jurnal Teknik Industri FT USU Vol 1,No.3, pp.18-24 Revitasari, C., & Novareza, O., dkk, ―Penentuan Jadwal Preventive Maintenance Mesin – Mesin di Stasiun Giling (Studi Kasus PG Lestari Kertosono)‖, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 3, No. 3), Jurusan Teknik Industri, Universitas Brawijaya. Soesetyo, I., & Bendatu, L.Y., 2014, ―Penjadwalan Predictive Maintenance dan Biaya Perawatan Mesin Pellet di PT. Charoen Pokphand Indonesia - Sepanjang‖, Jurnal Tirta, Vol. 2, No. 2, pp. 147 – 154. Stamatis, D.H., 1995, Failure Mode and Effect Analysis FMEA from Theory to Execution. Wisconsin: ASQC Quality Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-228
Petunjuk Sitasi: Sembiring, N., & Nst, A. H. (2017). Perancangan Penjadwalan Perawatan Mesin dengan Metode Map Value Stream Mapping (MVSM) di PT XXX. Prosiding SNTI dan SATELIt 2017 (pp. C229-235). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Penjadwalan Perawatan Mesin dengan Metode Map Value Stream Mapping (MVSM) di PT XXX (1),(2),(3)
Nurhayati Sembiring(1), Ahmad Husaini Nst(2) Department of Industrial Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU, Medan 20155 (1) [email protected] , (2)[email protected] ABSTRAK PT. XXX merupakan sebuah industri yang bergerak dalam produksi crude palm oil (CPO) dan kernel. Salah satu faktor yang mendukung kelancaran produksi dalam suatu perusahaan ialah kondisi mesin-mesin yang digunakan haruslah memiliki kondisi yang optimal dengan keandalan yang baik. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan adanya sistem perawatan yang baik. PT. XXX menerapkan perawatan corrective maintenance tanpa memperhatikan keandalan dari komponen-komponen mesin produksi, akibatnya sering terjadi kerusakan mesin secara tiba-tiba. Pada penelitian ini, dianalisa komponen kritis pada mesin Screw Press yaitu komponen Bearing, Left and Right Handed Worm, Right Handed Shaft, Left Handed Shaft, Press Cilynder. Dilakukn penentuan fungsi kepadatan probabilitas, keandalan dan MTTF. Sehingga diperoleh selang waktu penggantian untuk masing-masing komponen kritis tersebut Selanjutnya diperlukan program berupa suatu penggambaran sistem perawatan aktual dengan menggunakan pendekatan Maintenance Value Stream Mapping (MVSM). MVSM merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan alur kegiatan perawatan yang dikembangkan dari VSM untuk mengidentifikasi pemborosan. Setelah menghilangkan kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah pada Current State Map maka langkah akhir MVSM adalah membuat future state map berupa perbaikan alur kegiatan perawatan yang memiliki persentase maintenance efficiency lebih optimal yaitu untuk komponen Bearing adalah 54,54%, komponen Left and RightHanded Worm adalah 61,90%, komponen Right Handed Shaft adalah 45,45%, komponen Left Handed Shaft adalah 66,66% dan komponen Press Cylinder 62,5%. Kata kunci—Corrective maintenance, preventive maintenance, MVSM.
I. PENDAHULUAN Usia penggunaan mesin dan peralatan dapat diperpanjang dengan melakukan perbaikan berkala melalui aktivitas pemeliharaan. Kombinasi dari berbagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga kondisi suatu barang baik untuk menjaga kondisi seperti semula atau memperbaikinya sampai suatu kondisi yang bisa diterima disebut dengan pemeliharaan atau maintenance.
Kelancaran produksi, seperti menekan keterlambatan penyelesaian pekerjaan, mencegah penurunan volume produksi serta meningkatkan efisiensi produksi merupakan salah satu peran dari maintenance (Abdur, 2015). Adalah sebuah keharusan bagi perusahaan untuk lebih meningkatkan efisiensi kegiatan operasinya (Corder, 1992). Produk yang berkualitas baik dan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan indikator kesuksesan perusahaan (Eko, 2012). Keandalan dari mesin-mesin dan pencegahan mesin dari kerusakan akan mendukung kelancaran produksi (Erlin, 2011). Melalui perencanaan, pemeliharaan dan perawatan yang baik, maka kerusakan mesin dapat diminimalisir. Mesin akan selalu dalam kondisi siap pakai saat digunakan (Yanuar, 2011). Bila pemeliharaan mesin dilakukan secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-229
teratur, maka makin mudah memprediksi kemungkinan kerusakan di masa yang akan datang. Hal ini dapat mengurangi kerugian akibat tidak berfungsinya fasilitas produksi. (Ryan dkk, 2015). PT. XXX merupakan pabrik pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti (Palm Kernel Oil) di Provinsi Sumatera Utara. Mesinmesin yang digunakan pada pabrik ini yaitu mesin Screw Press, Thresher, Degister, Oil Tank, Vibrating Separator, Sterilizer, dan Sludge Separator. PT. XXX lebih dominan menerapkan sistem perawatan mesin dengan melakukan correcctive maintenance untuk mendukung kelancaran proses produksinya. Pemeliharaan mesin dilakukan setelah mesin mengalami kerusakan. Mesin Screw Press adalah mesin yang mengalami tingkat kerusakan tertinggi. Mesin Screw Press yang berjumlah 3unit ini berfungsi untuk pengepresan daging sawit yang akan menghasilkan minyak sawit. Data historis kerusakan komponen mesin Screw Press selama Juli 2016 –Juni 2017 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Data Frekuensi Kerusakan Komponen Mesin Screw Press
Ketika terjadi kerusakan maka akan dilakukan penggantian komponen. Penggantian komponen mesin yang dilakukan pada saat proses produksi akan mengakibatkan hilangnya waktu produksi dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan produk jadi. Oleh karena itu perlu diterapkan perencanaan perawatan yang terjadwal yakni preventive maintenance dalam melakukan penggantian komponen
II. METODE PENELITIAN Metode diawali dengan pengumpulan data, yaitu downtime mesin, frekuensi kerusakan, kerusakan interval. Pengujian dilakukan berkaitan dengan parameter distribusi, MTTF, dan perhitungan efisiensi perawatan pada MVSM. Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 2.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-230
Mulai
Identifikasi Masalah 1. Breakdown mesin di perusahaan 2. Belum adanya standar prosedur perawatan mesin yang jelas
Perumusan Masalah 1. Tingginya frekuensi breakdown mesin pada sistem perawatan aktual, sehingga proses produksi belum berjalan dengan optimal 2. Sistem perawatan pada perusahaan saaat ini belum memperhatikan konsep Reliability Engineering dan belum adanya prosedur perawatan standar (SOP) yang jelas 3. Besarnya biaya perawatan mesin
Penetapan Tujuan 1. Mengenali jenis dan komponen mesin kritis 2. Menentukan jadwal pergantian komponen dengan metode Reliability Engineering berdasarkan kriteria MTTF 3. Meningkatkan Maintenance Efficiency dengan mengurangi kegiatan non value added 4. Mendapatkan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan
Pengumpulan Data Primer 1. Proses Produksi 2. Jenis dan cara kerja mesin 3. Informasi biaya perawatan mesin saat ini
Pengumpulan Data Sekunder 1. Sejarah Perusahaan 2. Data kerusakan komponen mesin 3. Waktu penggantian komponen 4. Cara perawatan dan perbaikan mesin 5. Komponen mesin yang diamati 6. Biaya komponen mesin
Pengolahan Data 1. Kebijakan Perawatan Mesin Sekarang 2. Pengujian Pola Distribusi dan MTTF 3. Perhitungan biaya penyediaan penggantian komponen 4. Pembentukan Current State Map dan Future State Map
Analisis Pemecahan Masalah 1. Pengembangan Perawatan Usulan 2. Perhitungan Biaya Penyediaan Penggantian komponen mesin 3. Pembentukan Future State Map 4. Rekomendasi Jadwal Penggantian Komponen 5. Evaluasi Sistem Perawatan Sekarang dan Usulan a. Penurunan Downtime b. Peningkatan Reliability c. Peningkatan Availibity d. Peningkatan Maintenance Efficiency
Reliability Engineering
Maintenance Value Stream Mapping
Kesimpulan dan Saran
SELESAI
Gambar 2 Metode Penelitian
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Distribusi Pengujian Langkah pertama yang dilakukan adalah menguji distribusi masing-masing komponen mesin kritis. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi Pola Distribusi Kerusakan Kritis Komponen Mesin Screw Press No. Komponen Distribusi 1 Bearing Lognormal 2 Left and Right Handed Worm Normal 3 Right Handed Shaft Lognormal 4 Left Handed Shaft Lognormal 5 Press Cylynder Weibull
B. Perhitungan MTTF Mean Time To Failure (MTTF) digunakan sebagai parameter untuk menentukan penggantian komponen mesin. Dari hasil rekapitulasi perhitungan MTTF, maka diperoleh interval untuk masingmasing komponen pada Tabel 3. Tabel 3 Rekapitulasi Nilai MTTF Komponen Kritis Mesin Screw Press No. Komponen MTTF 1 Bearing 56 2 Left and Right Handed Worm 56 3 Right Handed Shaft 55 4 Left Handed Shaft 64 5 Press Cylynder 80
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-231
C. Perhitungan Reliabilitas pada Jadwal Interval Penggantian Komponen Perhitungan ini digunakan untuk mengetahui nilai keandalan komponen mesin saat jadwal penggantian komponen yang diusulkan dilakukan (dapat dilihat pada Tabel 4).
No. 1 2 3 4 5
Tabel 4 Perhitungan Reliabilitas Komponen Reabilitas Bearing Left and Right Handed Worm Right Handed Shaft Left Handed Shaft Press Cylynder
0,4625 0,4993 0,4782 0,2622 0,3306
D. Pembentukan Current State Map Pembentukan current state map dilakukan dengan menerapkan langkah – langkah berdasarkan konsep value stream mapping, Aktivitas perawatan yang diterapkan pada current state map merupakan urutan aktivitas aktual yang dilakukan jika terjadi kerusakan. Dengan adanya pemetaan ini, maka dapat diidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan bertambahnya nilai non value added time, seperti: 1. Delay akibat operator yang menggunakan mesin/peralatan lambat dalam merespon kerusakan. Delay ini dihitung sejak terjadinya equipment breakdown sampai operator perawatan mendapatkan informasi bahwa terjadi kerusakan. Hal ini terjadi karena operator yang menggunakan mesin/peralatan belum memahami fungsional mesin dan apa yang harus dilakukan jika terjadi kerusakan pada mesin sehingga terjadi delay yang cukup lama. 2. Delay akibat tidak tersedianya komponen. Ketersediaan sumber daya seperti komponen mesin dan peralatan yang digunakan untuk memperbaiki mesin yang rusak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai waktu downtime dalam aktivitas perawatan. Jika komponen dan sumber daya lainnya tidak tersedia maka proses perbaikan tidak dapat segera dilakukan yang mengakibatkan mesin/peralatan tidak dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. 3. Delay akibat tidak tersedianya operator perawatan (tidak adanya teknisi yang standby di tempat). Teknisi perawatan seharusnya standby di lantai produksi, sehingga pada saat dibutuhkan dapat segera melakukan tugasnya. Namun kondisi aktual saat ini masih belum optimal karena masih sering terjadi delay akibat kerusakan yang tidak dapat diprediksi. 4. Prosedur perawatan dan perbaikan yang belum optimal. E. Pembentukan Future State map Setelah membuat current state map, maka langkah terakhir dalam MVSM adalah membuat future state map. Data mengenai waktu rata-rata seperti MMTO (Mean Time To Organize), MTTR (Mean Time To Repair) dan MTTY (Mean Time To Yield) didapat dari hasil wawancara dengan bagian maintenance.
Aktivitas yang memberikan nilai tambah adalah aktivitas perbaikan/perawatan mesin, sedangkan aktivitas lainnya tidak memberikan nilai tambah. Aktivitas nonvalue added pada perbaikan/perawatan komponen Bearing dapat dilihat padaTabel 5. No 1
2 3 4
Tabel 5 Aktivitas Non Value Addeed Komponen Bearing SKF Aktifitas Waktu (Jam) Keterangan Equipment Breakdown Terjadinya kerusakan atau perlunya dilakukan perawatan pada satu mesin/peralatan yang dapat mempengaruhi proses produksi. Komunikasi Masalah 0,5 Oprator pengguna mesin berkoordinasi masalah mesin ke operator perawatan Identifiaksi Masalah 2 Identifikasi hal – hal yang menyebabkan terhentinya mesin/peralatan yang digunakan Identifikasi sumber 0,5 Identifikasi sumber daya yang dibutuhkan daya dalam melakukan proses perawtan atau perbaikan seperti: alat-alat (obeng, tang, SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-232
No
5 6
7
Aktifitas
Waktu (Jam)
Mengalokasikan sumber daya Mempersiapkan pekerjaan yang akan dilakukan Menjalankan mesin/peralatan setelah diperbaiki
0,5 0,5
1
Keterangan palu, dll), spare parts, operator dan yang lainnya Mempersiapkan sumber daya yang telah diidentifikasi Menyusun rencana kerja
Waktu yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa mesin/peralatan dapat digunakan kembali setelah kegiatan setelah kegiatan perawatan mesin/peralatan dilakukan
Berikut ini adalah contoh untuk menghitung maintenance efficiency: Diketahui total waktu non value added sebesar 5 jam dan waktu value added sebesar 6 jam. Maka nilai maintenance efficiency unutk komponen Bearing adalah: % Maintenance Efficiency =
Value Added Time MM T (Mean Maintenance ead Time)
x 100
6 jam
= 11 jam 54,54 F. Perbandingan Current State Map dengan Future State Map Dari hasil persentase maintenance efficiency dapat dibuat tabel 6. Tabel 6 Perbandingan Current State Map dengan Future State Map Bearing Curret Future State Map State Map No Kategori (Jam) (Jam) 1 MTTO 10 4 2 MTTR 6 6 3 MTTY 1 1 4 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 17 11 5 Non Value Adde Time 11 5 (MTTO+MTTY) 6 Value Added Time (MTTR) 6 6 7 % Maintenance Efficiency (Vlue 35,29 54,54 Time/MMLT) Left and Right Handed Worm 1 MTTO 9,5 3 2 MTTR 6,5 6,5 3 MTTY 1 1 4 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 17 10,5 5 Non Value Adde Time 10,5 4 (MTTO+MTTY) 6 Value Added Time (MTTR) 6,5 6,5 7 % Maintenance Efficiency (Vlue 38,23 61,90 Time/MMLT) Right Handed Shaft 1 MTTO 10 5 2 MTTR 5 5 3 MTTY 1 1 4 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 16 11 5 Non Value Adde Time 11 6 (MTTO+MTTY) 6 Value Added Time (MTTR) 5 5 7 % Maintenance Efficiency (Vlue 31,25 45,45
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-233
(1)
Time/MMLT)
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7
Left Handed Shaft MTTO 8 MTTR 6 MTTY 1 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 15 Non Value Adde Time 9 (MTTO+MTTY) Value Added Time (MTTR) 6 % Maintenance Efficiency (Vlue 40 Time/MMLT) Press Cylinder MTTO 7 MTTR 5 MTTY 1 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 13 Non Value Adde Time 8 (MTTO+MTTY) Value Added Time (MTTR) 5 % Maintenance Efficiency (Vlue 38,46 Time/MMLT)
2 6 1 9 3 6 66,66
2 5 1 3 5 4 62,5
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data historis periode Juli 2016 – Juni 2017 komponen mesin Screw Press yang memiliki frekuensi kerusakan terbesar merupakan komponen kritis mesin yang selanjutnya menjadi prioritas pembahasan. Berdasarkan diagram pareto dengan prinsip 80%-20% maka didapatkan komponen yang menjadi prioritas pembahasan dengan frekuensi kerusakan terbesar adalah Bearing, Left and Right Handed Worm, Right Handed Shaft, Left Handed Shaft, dan Press Cylinder. Jadwal perawatan mesin dengan penggantian komponen kritis untuk komponen Bearing adalah 56 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,4625, komponen Left and Right Handed Worm adalah 56 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,4993, komponen Right Handed Shaft adalah 55 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,4782, komponen Left Handed Shaft adalah 64 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,2622 dan komponen Press Clynder adalah 80 hari nilai keandalan sebesar 0,3323. Untuk komponen yang waktu penggantiannya berdekatan dapat disatukan waktu penggantiannya dengan mempertimbangkan keputusan pihak manajemen perusahaan. Jadwal perawatan mesin dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Tabel 7 dapat dilihat perbandingan Rekapitulasi Persentase maintenance efficiency. Tabel 7 Rekapitulasi Nilai Current State Map dan Future State Map Current Future No Komponen State Map State Map 1 Left and Right 35,29% 54,54% Handed Worm 2 Bearing SKF 38,23% 61,90% 3 Right Handed Sahft 31,25% 45,45% 4 Left Handed Shaft 40% 66,66% 5 Press Cylynder 38,46% 62,5%
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-234
Gambar 3 Jadwal Pergantian Komponen Mesin Screw Press Agustus 2017 – Juli 2018
V. PENUTUP Hasil pengembangan Prosedur Operasi Standard (SOP) dengan Maintenance Value Stream Mapping (MVSM) menghasilkan persentase efisiensi pemeliharaan untuk setiap komponen meningkat. Peningkatan ini berasal dari hilangnya kegiatan – kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah pada alur proses perawatan komponen mesin. Persentase future state map untuk komponen Bearing adalah 54,54%, komponen Left and Right Handed Worm adalah 61,90%, komponen Right Handed Shaft adalah 45,45%, komponen Left Handed Shaft adalah 66,66%% dan komponen Press Clynder 62,5%.
DAFTAR PUSTAKA Abdur, Iskandar, 2015, Penentuan Interval Waktu Optimum Penggantian Pisau Cane Cutter Pada Mesin Cane Cutter dengan Pendekatan Reliability di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) PG. Krembong. Universitas Negeri Surabaya, 2015 Corder, Antony. 1992. Teknik ManajemenPemeliharaan. Jakarta: Erlangga Eko, Triwiyanto. Sistem Manajemen Perawatan Unit MMU Pump dan Oil Shipping Pump. (Yogyakarta: 2012) Erlin Dolphina. Penerapan Maintenance dan Reliability untuk Meningkatkan Kualitas dan Daya Saing Perusahaan. (Semarang, 2011) Yanuar, Faula, Putro. Usulan Perawatan Mesin Compressor Unit C dengan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) di PT.XYZ. (Universitas Sultan Agung Tirtayasa, 2011). Ryan, Yanti, Fifi. Jadwal Perawatan Pencegahan Kerusakan Komponen Oil Seal Pada Mesin Ball Mill dengan Kriteria Minimisasi Total Ongkos.(Institut Teknologi Nasional. 2015)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-235
Petunjuk Sitasi: Himawan, R., Choiri, M., & Saputra, B. (2017). Analisis Efektivitas Mesin Stripping Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C236-241). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Efektivitas Mesin Stripping Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis Rakhmat Himawan(1), Mochamad Choiri(2), Baramuli Saputra(3) Jurusan Teknik Industri, Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145, Indonesia [email protected](1), [email protected](2), [email protected](3) ABSTRAK PT. XYZ memproduksi tablet kemasan strip dimana dalam proses produksinya sering mengalami kerusakan mesin dengan downtime 48655 menit pada mesin STRIP02. Dalam mengurangi downtime, digunakan Overall Equipment Effectiveness untuk mengukur efektivitas mesin STRIP02 dan FMEA untuk mengetahui prioritas kegagalan yang berpengaruh pada efektivitas mesin. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat efektiviitas mesin STRIP02 sebesar 44,35%. Losses yang memberikan pengaruh signifikan antara lain reduced speed losses, setup and adjustment losses, idling and minor stoppage losses, breakdown losses, defect in process losses, dan reduced yield losses. Berdasarkan analisis FMEA, rekomendasi perbaikannya adalah pemberian termometer infrared dan adjustment suhu pada kegagalan sealing roll overheat, mengubah stasiun kerja operator sortir menjadi seri pada kegagalan stopper macet,briefing dan peringatan pada kegagalan sealing roll tidak rapat, mengurangi waktu setup dengan SMED serta penerapan 5S untuk waktu setup lama. Kata kunci— Cause and Effect Diagram, Failure Mode and Effect Analysis, Overall Equipment Effectiveness, Six Big Losses, 5S
I. PENDAHULUAN Di dalam dunia industri saat ini, dengan kondisi meningkatnya kebutuhan akan suatu barang, tentunya akan menciptakan persaingan perusahaan yang bergerak di industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Mesin merupakan faktor produksi yang sangat berpengaruh dalam proses produksi. Seiring dengan penggunaannya, kinerja mesin akan mengalami depresiasi dan dapat mempengaruhi tingkat efektivitas dari mesin. Sering ditemukan bahwa tindakan perbaikan mesin yang mengalami depresiasi kinerja tidak memberikan hasil yang optimal, sehingga mesin yang telah diperbaiki dapat rusak kembali. Hal tersebut dapat mengganggu produktivitas perusahaan dan dapat menyebabkan pemborosan yang berdampak pada kerugian yang diterima perusahaan. PT. XYZ merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang industri farmasi. Produk utamanya adalah tablet dengan kemasan strip. Proses produksi tablet kemasan strip seringkali menimbulkan suatu masalah pada mesin produksinya, terutama pada mesin STRIP02 pada proses stripping yang ditandai adanya downtime losses sebesar 15,55%, speed losses sebesar 15,38%, dan quality losses sebesar 5,06%. Tindakan perbaikan saat ini yang telah dilakukan PT. XYZ untuk mengurangi downtime adalah dengan melakukan preventive maintenance setiap 2 bulan dan melakukan corrective maintenance pada saat mesin mengalami breakdown yang cukup lama waktunya. Namun, tindakan perbaikan mesin tersebut belum optimal dan belum dapat mengurangi downtime mesin STRIP02. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu tindakan perbaikan mesin yang tepat agar dapat mengurangi kerusakan mesin, dan meningkatkan keefektivitasan mesin STRIP02.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-236
Meningkatkan Efektivitas Mesin STRIP02 Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis
II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu dengan menggambarkan serta menjabarkan kejadian yang terjadi selama penelitian terjadi (Suryabrata, 2014). Penelitian ini dilakukan di PT. XYZ yang berada di Malang.
Bulan
Loading Time (menit)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
24000 28800 26880 25920 28800 31200 15360 27840 21600 29760 29280 23520 24000
Tabel 1 Data Kondisi Kerja Mesin STRIP02 Downtime Non Total Processed Setup Breakdown Productive Downtime Amount time Time time (menit) (strip) (menit) (menit) (menit) 2295 605 1341 2900 446419 3215 1765 921 4980 583200 2965 1230 1327 4195 658990 3120 740 1062 3860 565409 3095 855 1461 3950 710114 3620 1005 1129 4625 711961 1670 745 1391 2415 670628 3270 735 1093 4005 649580 2720 410 850 3130 793276 5170 2205 630 7375 359676 3220 1105 869 4325 672228 2540 355 1349 2895 450057 34605 11755 13423 48655 446419
Defect Amount (strip)
Cacat Setting (strip)
2364 2331 2184 2127 2447 2011 2403 2122 2124 2373 2069 2362 2364
23445 24983 34873 27558 32800 32379 37520 27820 37523 16055 28273 17685 23445
A. Tahap Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data, data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu: 1) Data Primer Data primer didapatkan dengan pengamatan langsung pada permasalahan yang ada dan diskusi atau wawancara. Diskusi dilakukan dengan bagian produksi dan bagian teknik untuk mengidentifikasi kegagalan dan penentuan ranking FMEA. 2) Data Sekunder Data sekunder merupakan data kondisi kerja mesin STRIP02 selama tahun 2016 yang ditunjukkan pada Tabel 1. B. Tahap Pengolahan Data Pada tahap pengolahan data, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Melakukan perhitungan overall equipment effectiveness (OEE) mesin STRIP02 diawali dengan menghitung availability, performance, dan quality. 2) Melakukan perhitungan enam losses utama yang mempengaruhi efektivitas mesin dengan six big losses. 3) Melakukan identifikasi kegagalan, mode kegagalan, dan efek dari kegagalan dari losses dengan menggunakan Cause and Effect Diagram. 4) Melakukan analisis FMEA berdasarkan kegagalan, mode kegagalan, dan efek dari kegagalan untuk mengetahui prioritas kegagalan yang akan diperbaiki berdasarkan nilai RPN tertinggi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dijelaskan hasil dan pembahasan pada penelitian ini sebagai berikut: A. Perhitungan Overall Equipment Effectiveness Besarnya nilai efektivitas mesin STRIP02 secara keseluruhan, dapat dihitung apabila nilai availability rate, performance rate, dan rate of quality sudah didapatkan (Kostas, 1981). Perhitungan nilai availability rate, performance rate, rate of quality,dan OEE bulan Januari dapat dihitung dengan Rumus (1), Rumus (2), Rumus (3), dan Rumus (4) (Stephens, 2004). Hasil perhitungan OEE ditunjukkan pada Tabel 2.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-237
Saputra, Himawan, dan Choiri
(1) (2) (3) (4) Tabel 2 Nilai OEE Mesin STRIP02 AR PR RQ Bulan (%) (%) (%) Januari 87,92% 40,69% 94,75% Februari 82,71% 47,08% 95,72% Maret 84,39% 55,86% 94,71% April 85,11% 49,29% 95,13% Mei 86,28% 54,95% 95,38% Juni 85,18% 51,52% 95,45% Juli 84,28% 99,63% 94,41% Agustus 85,61% 52,41% 95,72% September 85,51% 82,60% 95,27% Oktober 75,22% 30,90% 95,54% November 85,23% 51,80% 95,79% Desember 87,69% 41,96% 96,07% Rata-rata 84,59% 54,89% 95,33%
OEE (%) 33,89% 37,27% 44,65% 39,90% 45,23% 41,89% 79,27% 42,95% 67,29% 22,20% 42,29% 35,35% 44,35%
B. Perhitungan Six Big Losses Perhitungan six big losses bertujuan untuk mengetahui losses manakah yang berpengaruh terhadap rendahnya efektivitas mesin STRIP02 yang masih dibawah standar Japan Institute Plant Maintenance yaitu 85% untuk nilai OEE (Nakajima, 1988). Six big losses terdiri dari breakdown losses, setup and adjustment losses, idling and minor stoppages losses, reduced speed losses, defect in process losses, dan reduced yield losses (Nakajima, 1988). Perhitungan six big losses menggunakan Rumus (5) sampai Rumus (11) dan presentase kumulatif six big losses ditunjukkan pada Tabel 3. (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) Tabel 3. Presentase Kumulatif Six Big Losses Time Presentase Presentase Six Big Losses Losses Kumulatif (%) (menit) (%) Reduced Speed Losses 124465,05 64,11% 96,09% Setup and Adjustment 36900 19,01% 25,07% Losses Idling and Minor 13423 6,91% 31,98% Stoppages Losses SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-238
Meningkatkan Efektivitas Mesin STRIP02 Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis
Time Losses (menit) 11755
6,06%
Presentase Kumulatif (%) 6,06%
6556,12
3,64%
99,74%
517,64 194134,69
0,27% 100%
100%
Six Big Losses Breakdown Losses Defect in Process Losses Reduced Yield Losses Total
Presentase (%)
Machine
Sortir tablet kurang baik Thermocontrol pembacaan suhu aktual error Posisi thermocouple dan heater kurang tepat
Sealing roll over heat
Tablet patah tersangkut di stopper
Suhu sealing roll tidak stabil
Stopper macet Setting stopper error
Kecepatan cutter horizontal berkurang
Ring kendur
Cutter horizontal macet
Salah setting stopper
Sealing roll macet
Komponen penggerak kotor Kurang oli
Bearing rusak
Cutter vertikal tumpul
Masa pakai bearing habis
Cutter aus dan melebihi masa pakai
Sensor cutter horizontal error Kipas tidak bergerak Masa pakai sensor habis Motor kipas tersumbat Cutter vertikal miring Kipas lepas Posisi bergeser
Pemasangan tidak pas
Reduced Speed Losses
Tablet patah Sortir tablet kurang baik
Hasil strip bocor Sealing roll tidak rapat
Hasil coding tidak jelas Setting sealing roll error Stamp coding aus Melebihi masa pakai Material
Gambar 1 Cause and effect diagram untuk reduced speed losses C. Identifikasi Kegagalan Berdasarkan perhitungan six big losses, selanjutnya melakukan identifikasi kegagalan (failure), penyebab kegagalan (failure mode), dan efek dari kegagalan (failure effect) dari masingmasing losses menggunakan cause and effect diagram. Cause and effect diagram digunakan untuk mengetahui akibat dari suatu masalah untuk dicari beberapa kemungkinan penyebabnya (Ariani, 2004). Gambar 1 menunjukkan cause and effect diagram untuk reduced speed losses. D. Analisis FMEA Analisis failure mode and effect analysis (FMEA) digunakan untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode) (Cayman Business Systems, 2002). FMEA terdiri dari severity, occurance, dan detection yang selanjutnya dilakukan perhitungan risk priority number (RPN) dengan Rumus (12) (Borror, 2008) : (12) Berdasarkan penilaian tabel FMEA, didapatkan prioritas kegagalan dengan nilai RPN tertinggi dari hasil diskusi pada bagian teknik, bagian produksi, dan logbook operator. Tabel 4 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-239
Saputra, Himawan, dan Choiri
menunjukkan prioritas kegagalan dengan nilai RPN tertinggi yang akan diberikan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan efektivitas Mesin STRIP02. Failure Sealing Roll Overheat Stopper Macet Sealing Roll Tidak Rapat Waktu Setting Foyl Lama Waktu Setting Coding Lama Waktu Setting Awal Lama
Tabel 4 Prioritas Kegagalan pada Mesin STRIP02 Failure Mode Failure Effect Cara Terdeteksi Posisi thermocouple dan Foyl strip Melihat foyl strip heater kurang tepat mengkerut yang mengkerut Tablet tidak Deteksi tablet tidak Tersangkut tablet patah turun turun Deteksi hasil strip Setting sealing roll error Strip bocor bocor Produksi Deteksi dari lamanya Menunggu foyl menunggu waktu setting Produksi Deteksi dari lamanya Stamp coding berantakan menunggu waktu setting Produksi Deteksi dari lamanya Waktu mencari tools lama menunggu waktu setting
RPN 180 125 96 90 81 80
Tabel 5 Konversi Internal Setup Menjadi Eksternal Setup Aktivitas Waktu Menyiapkan baut feeder 00:00:34 Menyiapkan stamp coding 00:10:24 Membuka plastik pembungkus roll foyl 00:00:34 Total Waktu Aktivitas 00:11:32
Berdasarkan prioritas kegagalan pada Tabel 4, rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan untuk masing-masing kegagalan antara lain: 1) Sealing Roll Overheat Menambahkan termometer infrared yang terpasang pada mesin STRIP02, agar operator dapat mengetahui suhu aktual sealing roll sebelum terjadinya overheat yaitu lebih dari 130º C (± 5º C). Rekomendasi lainnya yaitu melakukan training dan briefing tentang adjustment suhu kepada setiap operator yang akan bekerja di mesin STRIP02. Training adjustment suhu berupa pelatihan setting suhu pada thermocontrol mesin STRIP02 yang berbeda dengan mesin stripping lainnya yaitu dengan melakukan penyesuaian suhu 10º C - 20º C pada suhu yang tertera di thermocontrol. Briefing adjustment suhu dilakukan setiap sebelum operator memulai pekerjaan di mesin STRIP02. 2) Stopper Macet Mengubah stasiun kerja operator menjadi seri. Operator 1 bertugas menyortir tablet berdasarkan batch, kemudian tablet hasil sortir operator 1 disortir kembali oleh operator 2. Hal ini akan meminimalisir tablet patah yang lolos ke proses stripping karena hasil sortir tablet operator 1 akan disortir kembali oleh operator 2, sehingga proses sortir tablet lebih ketat dari sebelumnya. 3) Sealing Roll Tidak Rapat Memberikan alat ukur digital yang terpasang pada mesin STRIP02 untuk mengetahui jarak antara dua sealing roll. Serta melakukan briefing secara rutin setiap shift mengenai setting sealing roll yang harus rapat serta memberikan penjelasan dampaknya pada produksi. Selain itu juga seharusnya pihak perusahaan memberikan peringatan yang berisi tentang pemasangan sealing roll dengan benar, jarak harus dibawah batas maksimal jarak kedua sealing roll yaitu 0,7 mm. Peringatan tersebut dapat diletakkan berdekatan dengan mesin STRIP02. 4) Waktu Setup Lama Waktu setting foyl, waktu setting coding, dan waktu setting awal termasuk dalam waktu setup. Rekomendasi perbaikan untuk mengurangi waktu setup adalah mengkonversikan internal setup menjadi eksternal setup dengan metode SMED. SMED adalah metode yang digunakan untuk mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setup pergantian dari memproduksi satu jenis produk ke model produk lainnya (Monden, 2000). Hasil SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-240
Meningkatkan Efektivitas Mesin STRIP02 Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis
konversi aktivitas internal setup menjadi eksternal setup dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil konversi tersebut didapatkan penurunan waktu setup mencapai 13,70%. Pengarahan dan pelatihan secara berkala kepada operator dalam penerapan konsep 5-S untuk lebih baik lagi. Konsep 5-S sudah diterapkan sebelumnya, namun dalam pelaksanaannya masih kurang baik. Untuk itu pelaksanaan konsep 5-S dilakukan lebih baik lagi. IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah rata-rata tingkat efektivitas mesin STRIP02 pada bulan selama tahun 2016 sebesar 44,35%. Nilai OEE pada mesin STRIP02 tidak memenuhi standar OEE yang ditetapkan JIPM sebesar 85%. Dari hasil perhitungan six big losses, beberapa losses yang mempengaruhi efektivitas mesin STRIP02 yaitu reduced speed losses 64,11%, setup and adjustment losses 19,01%, idling and minor stoppage losses 6,91%, breakdown losses 6,06%, defect in process losses 3,64%, reduced yield losses 0,27%. Berdasarkan FMEA, dari 14 kegagalan, terdapat 6 kegagalan yang melebihi nilai RPN kritis sebesar 64,86 diantaranya sealing roll overheat dengan nilai RPN sebesar 180, stopper macet dengan nilai RPN sebesar 125, sealing roll tidak rapat dengan nilai RPN sebesar 96, waktu setting foyl lama dengan nilai RPN sebesar 90, waktu setting coding lama dengan nilai RPN sebesar 81, dan waktu setting awal lama dengan nilai RPN sebesar 80. Rekomendasi perbaikan yang dapai diberikan untuk meningkatkan efektivitas Mesin STRIP02 antara lain Menambahkan termometer infrared yang terpasang pada mesin STRIP02, melakukan training dan briefing tentang adjustment suhu kepada setiap operator yang akan bekerja di mesin STRIP02, mengubah stasiun kerja operator sortir tablet menjadi seri, memberikan alat ukur untuk mengetahui jarak kedua sealing roll, briefing secara rutin setiap shift mengenai setting sealing roll yang harus rapat serta memberikan peringatan tentang pemasangan sealing roll dengan benar, mengurangi waktu setup dengan mengkonversikan aktivitas internal setup menjadi aktivitas eksternal setup.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, D.W., 2004, Pengendalian Kualitas Statistik Pendekatan Kuantitatif dan Manajemen Kualitas, Yogyakarta: ANDI. Borror, C.M., 2008, The Certified Quality Engineer Handbook Third Edition, Milwaukee: ASQ Quality Press. Cayman Business Systems, 2002, Failure Mode and Effect Analysis, http://www.fmeainfocentre.com/handbooks/FMEA-N.pdf. (diakses pada 7 Februari 2017). Kostas, N.D., 1981, Operational Management, New York: MC Grawhill Book Company. Monden, Y., 2000, Sistem Produksi Toyota, Terjemahan Nugroho, Jakarta: yayasan Toyota & Astra dan PPM. Nakajima, S., 1988, Introduction to Total Productive Maintenance (1st ed), Productivity Inc. Cambridge. Stephens, M.P., 2004, Productivity and Realibility Based Maintenance Management, New Jersey: Pearson Education Inc. Suryabrata, S., 2014, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-241
Petunjuk Sitasi: embiring, A. C. (2017). Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C242-247). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler Anita Christine Sembiring Program Studi Teknik Industri Universitas Prima Indonesia Universitas Prima Indonesia Alamat: Jalan Sekip Simpang Sikambing Medan 20113 [email protected] ABSTRAK Tata letak fasilitas sebuah manufaktur memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja perusahaan seperti biaya penanganan material, proses produksi, waktu siklus, ketersediaan ruang atau luas lantai produksi, imbalance capacity (ketidakseimbangan kapasitas) dan produktivitas. Desain fasilitas manufaktur yang baik mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi melalui pengurangan jarak pemindahan material, biaya penanganan material dan waktu siklus yang digunakan. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi, penelitian ini menggunakan desain ulang tata letak pabrik yang dilakukan pada perusahaan yang memproduksi boiler. Berdasarkan permasalahan yang ada, disainnya dilakukan dengan menggunakan metode grafis, dan perangkat lunak CRAFT. Dan hasil tata letak desain dari kedua metode tersebut dilakukan dengan membandingkan momen perpindahan. Dari perbandingan yang dilakukan maka diperoleh tata letak yang lebih baik daripada tata letak saat ini yang digunakan oleh perusahaan. Tata letak awal memiliki momen penanganan material 411.300 meter per tahun. Peneliti melakukan perhitungan dengan metode grafis untuk penanganan material dan memperoleh hasil 378.540 meter per tahun. sedangkan perancangan dengan bantuan perangkat lunak CRAFT untuk penanganan material 374.472 meter per tahun. Dari hasil kedua metode perancangan yang paling efisien dan efektif digunakan adalah perancangan perangkat lunak CRAFT dimana efisiensi 8,95%, waktu pengerjaan pembuatan boiler berkurang 1598 menit per produk dan biaya penanganan material turun sebesar Rp 47.403,90/ tahun. Kata kunci — Tata letak pabrik, momen perpindahan, utilitas, material handling, industri boiler, metode grafik dan software CRAFT.
I. PENDAHULUAN Kelancaran aliran produksi harus diperhatikan dalam perencanaan tata letak lantai produksi karena perancangan lantai produksi merupakan salah satu bagian dari perencanaan tata letak pabrik. Apabila kelancaran produksi terganggu maka akan berkaitan erat dengan lintasan produksi, total jarak, imbalance capacity (ketidakseimbangan kapasitas) dan floor space (ketersediaan ruang atau luas lantai) juga akan terkendala. Oleh karena itu untuk sangat penting sekali untuk memaksimalkan kelancaran aliran produksi dengan memperhatikan perancangan tata letak pabrik khususnya penanganan material handling agar biaya pemindahan bahan dapat diminimalisasi. Tujuan perancangan ini berhubungan erat dengan strategi manufaktur. Pengaturan tata letak dari fasilitas produksi dan area kerja adalah suatu permasalahan yang sering dijumpai dalam dunia industri. Masalah ini tidak dapat dihindari, sekalipun hanya sekedar mengatur peralatan atau mesin di dalam ruangan atau lantai produksi, serta dalam ruang lingkup yang kecil dan sederhana. Dalam perencanaan tata letak lantai produksi, maka harus pula difikirkan mengenai sistem pemindahan bahan (material handling). Pada proses produksi yang menggunakan mesin-mesin yang bekerja secara khusus, maka pemindahan bahan antar mesin harus dilakukan dengan efektif dan efisien. Di dalam proses pembuatan produk, sering dijumpai bahwa produk tidak dapat diselesaikan hanya melalui sebuah mesin atau fasilitas produksi, melainkan harus melalui beberapa rangkaian proses yang menggunakan banyak mesin atau fasilitas produksi. Dengan demikian tidak dapat dihindari untuk melakukan aktivitas pemindahan bahan (material handling). SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-242
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler
Dalam pembuatan satu boiler dari persiapan sampai pada perakitan akhir di pabrik membutuhkan waktu sampai 34.560 menit atau sekitar 72 hari 3 bulan. Pada lantai pabrik dijumpai susunan mesinmesin yang kurang tepat, ditandai dengan adanya back tracking (aliran balik) sebanyak 5 kejadian atau sebesar 88.920 meter. Hal di atas merupakan indikator ketidakefisienan dari layout yang digunakan, terutama dalam hal pemindahan bahan (material handling). Dari kenyataan di atas, peneliti ingin melakukan perhitungan terhadap momen perpindahan bahan yang terjadi di lantai produksi, biaya material handling dan waktu siklus yang ada. Selain itu, peneliti juga ingin mencoba mencari alternatif layout baru yang memiliki momen perpindahan, biaya material handling dan waktu siklus yang lebih minimal.
II. ISI MAKALAH Jenis penelitian ini berisikan tentang metode penelitian yang digunakan. Adapun metode penelitian yang digunakan bersifat penelitian tindakan/ action research (Sinulingga, S., 2011: 29), sebab bertujuan untuk mendapatkan tata letak yang lebih baik. 1. Data Volume Produksi dan Bahan Baku Data volume produksi dari produk yang dihasilkan PT. ABC dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Volume Produksi Volume Produksi Produk (Unit/Tahun) Boiler 12
2. Data Material Handling Material handling yang digunakan di PT. ABC dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Material Handling No
Nama Material Handling
Jumlah
1
Forklift
2
2
Crane
8
3. Tata Letak Lantai Produksi Lantai produksi pada PT. ABC, terbagi atas beberapa departemen. Data tentang kondisi lantai pabrik, berupa ukuran mesin dan peralatan produksi, serta luas lantai pabrik dapat dilihat pada Tabel 3.
No
Nama Departemen
1
Divisi I
2
Divisi II
Tabel 3. Kondisi Lantai Pabrik PT. ABC Mesin / Peralatan Luas (m2) Nama Ukuran (m) Pengukuran 24 x 14 Sand Blasting 38,1 x 1,5 Pemeriksaan QC 2,3 x 5,5 Mesin Kalibrasi 2,25 x 3 768,54 Penggabungan 24 x 14 Mesin Esab 5,1 x 1,6 Mesin Pembuat Reducer 3,6 x 1,8 Penumpukan Bahan 5x1 Mesin tumbuk 7,2 x 1,8 Mesin Pemutar/ Dishing 2(1,2 x 3) 107,43 Mesin Bor Vertikal 12 x 3 Mesin Bor Horizontal 3,8 x 1,65
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-243
Sembiring
No
Nama Departemen
Luas (m2)
3
Divisi III
353.97
4
Divisi IV
245,34
5
Divisi V
3614
6
Divisi VI
30,95
7
Divisi VII
334,19
8
Divisi VII
576
Mesin / Peralatan Nama Tempa Penyimpanan Alat Gudang Bahan Jadi Mesin Potong CNC Mesin Rolling Mesin Las Pin Mesin Las Otomatis Laboratorium Mesin Pembengkok Gudang Bahan Baku Mushalla Gudang Bahan Tambahan Mesin Pemotong Plat Mesin potong otomatis Mesin Jack
Ukuran (m) 15 x 3 24 x 13,5 (3 x 1,8) + (1,5 x 0,9) 2(5,4 x 2,1) 2((6 x 0,6) + (1,8x 2,4)) 2(9 x 1,8) 18 x 10,5 1,5 x 5,4 80 x 40 12 X 9 25.5 x 12 4,5 x 2,1 3,5 x 1,7 (0,6 x 0,9) + (2,4x 1,2)
Mesin Skrap
(5,9 x 1,2) + (0,6x2,4)
Gudang Produk Jadi Mesin Bending
24 x 13,5 18,3 x 1,5
Mesin Sand Convator
(3,3 x 0,3) + (4,5 x 1,5)
Mesin Bending CNC
18,3 x 1,5
Mesin Bubut Vertikal
2,4 x 1,5
Mesin Bubut Horizontal
7,2 x 1,5
Penggabungan
24 x 14
A. Perancangan dengan menggunakan Metode Grafik Metode grafik merupakan metode perancangan tata letak yang menggunakan grafik kedekatan (adjacency graph) sebagai penghubung antara departemen-departemen atau fasilitas-fasilitas yang ada dengan tujuan untuk memperoleh bobot terbesar (Purnomo, H., 2004: 137-138). Tabel 4. Perhitungan Bobot Keterkaitan Stasiun Kerja Bidang
A- C- D
A- E- D
A- E- C
C-E-D
Stasiun
B
25.920 + 0 + 0 = 25.920
25.920 + 0 + 0 = 25.920
F G H I J K L M N
0+0+5.850 = 5.850 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
0+14.130+5.850 = 19.980 0+27.540+0=27.540 (Terbaik) 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
25.920 + 0 + 0 = 25.920 0+0+14.130 = 14.130 0+27.540+0=27.540 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-244
0+0+0=0 0+14.130+5.850=19.980 0+27.540+0=27.540 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler
D
N
L
K
F
M
J
I
B
G
E
H
A
C
Gambar 1. Block Layout Dengan Grafik Kedekatan
B. Perancangan dengan menggunakan Software CRAFT Pada software pilih menu Facility Location and Layout lalu pilih menu Functional Layout dengan objective criterion Minimization seperti Gambar 2.
Gambar 2. Langkah Awal Pemilihan Pengerjaan CRAFT
Masukkan aliran material dan kontribusi per unitnya diantara keseluruhan unit kedalam spreadsheet .Enter the flow loads and unit contributions between all departments into the spreadsheet dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Input Data Aliran Material dan Momen Material Handling
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-245
Sembiring
Setelah dilakukan analisis aliran material pada kondisi awal dan rancangan alternatif layout menggunakan metode Grafik dan software CRAFT dapat disimpulkan pada Tabel 5 bahwa Rancangan alternatif dengan metode Grafik memiliki jarak material handling paling kecil.
No 1 2 3
Tabel 5. Analisis Aliran Material Jumlah Kegiatan Back Metode Tracking Tata Letak Awal 5 Menggunakan Metode Grafik 3 Software CRAFT 3
Jarak Back Tracking (m) 88.920 38.610 49.752
C. Pemilihan Layout Terbaik Untuk layout awal (layout yang saat ini digunakan perusahaan), perhitungan momen material handlingnya adalah 411.300 meter perpindahan per tahun. Perhitungan momen material handling untuk rancangan layout secara grafik adalah 378.540 meter. Koreksi = 411.300 - 378.540 × 100 % 411.300 = 7,96 %. Dari perhitungan ini, dapat dilihat bahwa rancangan layout secara grafik memberikan efisiensi material handling sebesar 7,96 %. Pada rancangan layout dengan software CRAFT, perhitungan momen material handling adalah sebesar 374.472 meter perpindahan pertahun. Koreksi
= 411.300 - 374.472 × 100 % 411.300 = 8,95 % Dari perhitungan ini, dapat dilihat bahwa rancangan layout dengan software memberikan efisiensi material handling sebesar 8,95 %.Dari hasil analisis momen material handling, maka selanjutnya dilakukan pemilihan layout terbaik yang akan diajukan sebagai usulan perbaikan layout lantai produksi PT. ABC. Layout terbaik adalah rancangan layout dengan menggunakan metode Grafik yang mempunyai momen material handling terkecil. DAFTAR PUSTAKA Apple, J. M, 1990,”Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan”, Bandung, Penerbit: ITB. Amelia, 2007, “Aplikasi Metode Group Technology dalam Memperbaiki Tata Letak Mesin untuk Meminimalkan Jarak Perpindahan Bahan Studi Kasus di Perusahaan Mebel Logam”, Jurnal Teknik Mesin Vol. 9 No. 2 Oktober 2007, Surabaya. Ghosh, Tamal, Dan, P. K., Effective Clustering Method For Group Technology Problems: A Short Communication, India, e-Journal of Science and Technology (e-JST). Purnomo, Hari, 2004, Perencanaan dan Perancangan Fasilitas, , Yogyakarta, Penerbit: Graha Ilmu. Ristono, A., (2010), Perancangan Fasilitas, Yogyakarta, Edisi Pertama, Yogyakarta, Penerbit: Graha Ilmu. Sahroni, (2003), Perencanaan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi dengan Metode Algoritma CRAFT, Optimum Vol. 4 No. 1, Februari – Agustus 2003. Sinulingga, Sukaria, (2011), Metode Penelitian, Edisi Pertama, Medan: USU Press. Sutantra, Yulius, dan Natalia, Christine. (2010). Perbaikan Tata Letak Pabrik Di CV. Merapi Berdasarkan Metode Computerized Relationship Layout Planning (Corelab). Metris, Vol. 11, No. 1, Maret 2010. Susetyo, J., Simanjuntak, R. A., Ramos, J. M., (2010), Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi dengan Pendekatan Group Technology dan Algoritma BLOCPLAN untuk Meminimisasi Ongkos Material Handling, Yogyakarta, Jurnal Teknologi Vol. 3 No. 1 Juni 2010. Sembiring, Anita Christine, 2012,“Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling di PT.ATMINDO”,Google Scholar,Medan. Wignjosoebroto, Sritomo, 2003, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Edisi Ketiga, Surabaya, Penerbit Guna Widya. Widianty, Yenny, (2009), Analisa Rencana Perubahan Tata Letak Pabrik Ditinjau dari Estimasi Pengaruhnya Terhadap Produktivitas, Perpustakaan Universitas Indonesia, UI.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-246
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler
Wignjosoebroto, Sritomo, (2003), Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Edisi Ketiga, Surabaya, Penerbit Guna Widya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-247
Petunjuk Sitasi: Tugiman, Suprianto, Panjaitan, N., Ariani, F., & Sarjana. (2017). Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale di Desa Bandar Tinggi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C246-251). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang Sale di Desa Bandar Tinggi Tugiman1), Suprianto2), Nismah Panjaitan3), Farida Ariani4), Sarjana5) (1), (2), (3),(4), (5)
Departemen teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara
Jalan Almamater Kampus USU Padang Bulan, Medan, Indonesia Departemen teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Jalan Almamater Kampus USU Padang Bulan, Medan, Indonesia (2) [email protected] ABSTRAK Desa Bandar tinggi merupakan satu diantara desa yang terletak di kabupaten simalungun propinsi sumatera utara. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dengan berbagai jenis budidaya tanaman seperti kelapa sawit, singkong dan pisang. Tanaman pisang merupakan tanaman yang sangat mudah tumbuh di desa tersebut, dengan perawatan yang relatif mudah bila dibandingkan jenis tanaman lainnya. Banyaknya petani yang menanam pisang menyebabkan produksi yang melimpah terutama pada musim penghujan. Sifat pisang yang tidak tahan lama disimpan dan penanganan pasca panen yang tidak tepat menyebabkan banyak produksi pisang petani terbuang percuma. Tulisan ini bertujuan untuk mencarikan solusi alternatif mengatasi masalah tersebut sehingga produksi petani dapat dioptimalkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Metode pengasapan merupakan satu diantara teknik yang dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah tersebut, proses ini meliputi tahapan pengasapan dan penjemuran. Hasil akhir proses ini merupakan produk yang disebut “Pisang sale” dengan kadar air yang relatif rendah sehingga tahan disimpan dalam waktu yang lama.Selaian meningkatkan daya tahan penyimpanan produk, metode ini juga telah berhasil meningkatkan nilai jual produk. Kata kunci— proses pengasapan, pengeringan, pisang sale.
I. PENDAHULUAN Desa Bandar tinggi merupakan satu diantara desa di kabupaten simalungun terletak antara yang berada pada 02o 36’ – 03o 18’ lintang utara dan antara 98 o 32’ – 99o 35’ bujur timur yang berada pada ketinggian 0-1400 meter diatas permukaan laut. Desa ini memiliki tanah dengan kandungan humus yang tinggi sehingga sangat subur. kondisi-kondisi ini mengakibatkan desa tersebut sangat cocok untuk tanaman pisang. Menurut Suhartanto,R.M., dkk (2012) jenis-jenis pisang yang terdapat di Indonesia sangatlah beragam diantaranya Ambon, Raja, Tanduk, Barangan, dll. Masalah muncul pada saat panen puncak buah pisang secara bersamaan sehingga tidak tertampung oleh pengepul. Semankin tua pisang maka tingkat kekerasan akan menurun (Donowarti, I. dan Qomarudin, 2016) dan buah ini memiliki ketahanan yang tidak lama yang pada akhirnya segera busuk. Rakhmawati, A. (2013) menyatakan proses pembusukan pada buahbuahan dapat disebabkan mikroorganisme yang melakukan infeksi laten. Penerapan perlakuan tertentu bisa memperpanjang kesegaran buah-buahan. Seperti pada buah pisang ambon tanpa perlakuan pasca panen hanya dapat bertahan hingga 10 hari dan bisa diperpanjang dengan adanya perlakuan pengasapan (Silsia, D.,__). Proses pengawetan menggunakan pengasapan langkah awal dari usaha mengeringkan buah-buahan. Seperti halnya pada manisan belimbing wuluh durasi pengeringan mempengaruhi kadar air (Fitriani,S., 2008). Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang (Rahmawati, F., ____,) dan dapat meningkatkan keawetan buah pisang. Pembuatan pisang sale merupakan satu diantara teknik pengawetan pisang. Perbaikan sanitasi dan kehigienisan, pengeringan dan pengasapan yang cukup dapat mencegah produk berjamur (Koswara, S., 2009). Proses pembuatan pisang sale terdiri dari dua tahapan utama yaitu pengasapan dan pengeringan. Tahapan pengeringan secara tradisional dilakukan dengan bantuan sinar matahari, metode ini memiliki kelebihan dari segi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-246
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale Di Desa Bandar Tinggi
biaya namun membutuhkan waktu yang relatif lama. Sedangkan metode pengeringan lainnya menggunakan sumber panas lain seperti listrik dan gas, metode ini membutuhkan biaya tambahan akan tetapi waktu pengeringan lebih cepat dan sangat membantu pada saat musim penghujan dimana sinar matahari tidak bersinar secara maksimum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa efektivitas pembuatan pisang sale yang terdapat di desa Bandar tinggi menggunakan dua metode pengeringan yaitu sinar matahari dan mesin pengering type box berbahan bakar gas. Analisa yang dilakukan meliputi kualitas produk dan lama pengeringan yang dibutuhkan.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan berbagai bahan (gambar 1) utama yang digunakan pada proses. Pisang yang digunakan merupakan pisang yang sudah matang sempurna dengan tekstur yang lembut. Bahan tersebut selanjutnya dikupas dan dibelah menjadi dua bagian yang sama besar. Proses pengasapan menggunakan bahan bakar serbuk kayu sisa gergaji untuk mendapatkan pengasapan yang baik, bahan ini menghasilkan asap yang banyak dan tidak terlalu panas. Waktu yang dibutuhkan pada proses ini selama tigah hingga enam jam hingga pisang berubah warna. Proses selanjutnya yaitu pengeringan untuk menurunkan kadar air pada pisang sale. Kegiatan ini dilakukan menggunakan dua metode terdiri dari metode sinar matahari dan menggunakan sistem oven (gambar 2).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Bahan (a) jenis pisang lilit yang digunakan, (b) kriteria matang baku pisang sale, serbuk bekas gergajian kayu
(a)
(c)
(b)
Gambar 2 Metode pengeringan pisang sale (a) sinar matahari, (b) peralatan pengering tipe box berbahan bakar gas
Proses penjemuran di bawah sinar matahari menggunakan suhu rata-rata 31oC. Pada saat penjemuran produk ditutupi menggunakan kain tipis untuk menjaga kehigienisan produk. Penjemuran dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dan proses penimbangan pisang sale dilakukan setiap hari untuk mendapatkan kandungan air yang hilang. Penggunaan oven yang terbuat dari bahan stainless steel (gambar 2b) beroperasi pada suhu konstan 50 oC yang berasal dari bahan bakar gas dengan jumlah rak tujuh buah yang dilapisi dengan anyaman bambu. Proses penimbangan dilakukan setiap 1,5 jam untuk melihat kandungan air yang hilang selama proses berlangsung. Proses penimbangan ini berlangsung hingga kadar air stabil (tidak terjadi lagi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-247
Tugiman, Suprianto, Panjaitan, Ariani, Sarjana
penurunan massa pisang sale). Selama proses pengeringan dilakukan pengamatan secara visual untuk melihat perubahan warna pada produk.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil proses pengasapan Tahapan awal proses pembuatan pisang sale adalah pengasapan, proses ini bertujuan untuk menghilangkan bakteri-bakteri yang terkandung di dalam pisang dan merubah warna pisang (pemucatan). Hasil proses pengasapan seperti diperlihatkan pada gambar 3 berikut:
(a)
(b)
Gambar 3 Warna pisang a) sebelum proses pengasapan, b) setelah pengasapan
Gambar diatas memperlihatkan proses bahan baku pisang sebelum pengasapan (gambar 3a) berwarna putih dengan sedikti kekuning-kuningan dengan kadar air yang masih tinggi. Setelah pengasapan (gambar 3b) warna pisang berubah menjadi warna kuning dengan tekstur yang tidak sepadat sebelum pengasapan. Dari pengamatan visual ini dapat dikatakan bahwa proses ini telah berhasil merubah warna, massa dan bau dari. Proses pembuatan pisang sale dilanjutkan dengan proses pengeringan. B. Proses penjemuran Proses ini dilakukan dengan bantuan sinar matahari sehingga waktu yang dibutuhkan sangat bergantung pada intensitas cahaya matahari, namun metode ini memiliki keuntungan dari segi biaya produksi. Pada penelitian ini telah dilakukan analisa secara visual pisang sale (gambar 4).
(a)
(b)
(c) Gambar 4 Bentuk visual pisang sale pada hari (a) pertama, (b) kedua dan (c) ketiga penjemuran
Proses penjemuran hari pertama menghasilkan perubahan warna pisang lebih pucat kemerahmerahan (gambar 4a). pada tahapan ini pisang sudah mengalami penyusutan secara volume
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-248
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale Di Desa Bandar Tinggi
sehingga perlu disusun ulang dan supaya penjemuran merata dan lebih cepat kering maka dilakukan pembalikan (gambar 4b) pada pisang sale dan dijemur pada hari kedua. Efektivitas proses ini sangat bergantung kepada durasi penjemuran, pada penelitian ini durasi tidaklan sama setiap harinya. Hasil akhir produk berwarna pucat dan dominan warna merah kecoklatan (gambar 4c), pada hasil akhir kandungan air sudah sangat sedikit sehingga jika dijemur dengan cahaya matahari tidak terjadi penurunan massa pisang. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk pisang sale menggunakan teknik pengeringan alami (sinar matahari) empat belas jam seperti yang diperlihatkan pada gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Grapik waktu yang dibutuhkan mengeringkan pisang sale menggunakan sinar matahari
C. Proses pengeringan menggunakan mesin berbahan bakar gas Proses pengeringan pisang sale menggunakan peralatan telah dilakukan pada temperatur 50oC dengan sirkulas alami. Panas yang dihasilkan dari kompor gas mengalir dari sela-sela rak menuju kebagian atas rak. Suhu ruangan akan dijaga menggunakan thermostat sehingga tidak melebihi temperatur yang diinginkan. Aliran gas akan terhenti secara otomatis pada saat temperatur melebihi 50oC dan mengalir kembali saat suhu turun beberapa derajat dibawah suhu kerja.
Gambar 6 grafik sirkulasi panas pada peralatan pengering sirkulasi alami
Grafik diatas memperlihatkan bahwa pengguna peralatan pengering membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mengeringkan pisang sale dibanding dengan bantuan sinar matahari yaitu sekitar tujuh jam. Pada tahapan awal pengeringan penurunan massa lebih sedikit sekitar 100gr dikarenakan kandungan air yang masih tinggi. Selanjutnya penurunan cenderung konstan berkisar 200 gr per 90 menit (1,5jam). Selain waktu
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-249
Tugiman, Suprianto, Panjaitan, Ariani, Sarjana
pengeringan yang singkat peralatan ini juga menghasilkan pisang sale yang lebih higienis karena tidak bersentuhan langsung dengan udara terbuka. Warna pisang sale yang dihasilkan juga tidak berbeda dengan menggunakan sinar matahari (gambar 7) yaitu berwarna kuning kecoklatan.
Gambar 7 Pisang sale menggunakan pengeringan tipe box berbahan bakar gas
D. Analisa biaya pembuatan pisang sale Proses pembuatan pisang sale ini bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis produk. Hasil pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel pembuatan pisang sale sebanyak 15kg buah pisang yang dibeli dari petani. Hasil perhitungan analisa biaya diperoleh perincian biaya sebagai berikut: Tabel 1 Analisa biaya pembuatan pisang sale
Bahan Bahan baku buah pisang matang Susut kadar air Pisang sale Bahan bakar gas Jasa tenaga kerja Total biaya produksi dan bahan (A) Harga jual pisang sale basah (B) Keuntungan netto (B-A)
Jlh. 15 (kg) 6.56 (kg) 8,44 (kg) 1(tbg) 1 (hari)
Harga @Rp. 3.125,-
Total Rp. 46.875,-
@Rp.16.000,@Rp.80.000,-
8,44 (kg)
@Rp. 30.000,-
Rp.16.000,Rp.80.000,Rp. 142.875,Rp. 253.000,Rp.110.125,-
Pembuatan produk pisang sale dengan cara pengasapan telah berhasil meningkatkan nilai ekonomis hasil pertanian tanaman pisang di desa Bandar Tinggi. Dari hasil perhitungan terlihat peningkatan penghasilan yang diperoleh petani meningkat lebih dari 100% bila mengolah pisang matang menjadi pisang sale.
IV. PENUTUP Hasil penelitian mengenai metode pembuatan pisang sale sebagai usaha meningkatkan nilai ekonomis buah pisang telah selesai dilaksanakan. Berdasarkan data-data yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses penjemuran di bawah sinar matahari mengakibatkan perubahan warna pisang sale dari kekuning-kuningan menjadi merah kecoklatan. 2. Waktu yang dibutuhkan pada proses penjemuran menggunakan sinar matahari minimum empat belas jam. Proses ini sangat sangat dipengaruhi intensitas cahaya matahari. 3. Proses pengeringan menggunakan mesin membutuhkan waktu enam jam untuk menghasilkan pisang sale. 4. Pembuatan pisang sale telah berhasil meningkatkan nilai tambah buah pisang lebih dari 100%.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-250
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale Di Desa Bandar Tinggi
DAFTAR PUSTAKA Donowarti, I.; & Qomarudin, 2016, ―Pengembangan Metode Teknik Image Processing Untuk Pemutuan (Grading) Buah Pisang Cavendis Segar Secara Nondestruktif‖, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian ―AGRIKA‖ , Vol. 10, No.2, pp. 130-143. Fitriani,S., 2008, ―Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Beberapa Mutu Manisan Belimbing Wuluh (Averhoa bilimbi L.) Kering‖, SAGU, Vol. 7, No. 1, pp 32-37. Koswara, S., 2009, Teknologi Pengolahan Sayuran dan Buah-buahan (Teori dan Praktek), tekpan.unimus.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Rakhmawati, A., 2013, Mikroorganisme Konataminan pada Buah, Jurdik Biologi FMIPA UNY, staff.uny.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Rahmawati, F., ____, Pengawetan Makanan dan Permasalahannya, Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana FT UNY, staffnew.uny.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Silsia, D.; Rosalina, Y.; & Muda, F., _____, Pemanfaatan Asap Cair untuk Mempertahankan Kesegaran Buah Pisang Ambon Curup, Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, repository.unib.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Suhartanto,R.M.; Sobir,; & Harti H., 2012, ―Teknologi Sehat Budidaya Pisang: dari benih sampai pasca panen‖, Pusat Kajian Hortikultura Tropika Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-251
Petunjuk Sitasi: Aulia, R. S., Novareza, O., & Sulistyarini, D. H. (2017). Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C187-193). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Ratri Sinatrya Aulia(1), Oyong Novareza(2), Dwi Hadi Sulistyarini(3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang, Indonesia (1) [email protected], (2)[email protected], (3)[email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Dalam melakukan proses produksi tentu dibutuhkan sumber daya produksi seperti mesin, manusia, dan material. Adanya kendala pada sumber daya produksi akan menyebabkan berhentinya proses produksi sehingga dapat menurunkan produktivitas produksi. Objek dari penelitian ini adalah perusahaan yang memproduksi filter rokok. Pada proses produksi filter rokok yang dilakukan masih ditemukan kendala berupa timbulnya downtime pada mesin-mesin yang digunakan. Mesin produksi filter rokok mono jenis A memiliki nilai downtime tertinggi diantara mesin produksi lainnya. Mesin tersebut adalah mesin KM0W, KM0X, KM0Y dan KM0Z. Selain itu, terdapat kerugian berupa speed losses dan defect. Apabila kerugian-kerugian dibiarkan maka berdampak pada kelancaran produksi sehingga perlu dilakukan pengukuran efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A menggunakan OEE dan ORE. Hasil perhitungan metode OEE menunjukkan rata-rata nilai sebesar 58,62% sedangkan rata-rata nilai hasil perhitungan ORE sebesar 55,51%. Selanjutnya, akan dilakukan identifikasi masalah pada rendahnya nilai ORE dikarenakan memiliki nilai terendah dibandingkan dengan rata-rata nilai OEE. Hasil dari identifikasi akar penyebab masalah rendahnya nilai efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A menggunakan cause effect diagram dapat dikelompokkan menjadi faktor manusia, material, mesin, metode, lingkungan. Berdasarkan identifikasi akar penyebab masalah tersebut kemudian dilakukan tindakan perbaikan guna meningkatkan efektivitas dari sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. Kata kunci— Cause effect diagram, filter rokok mono jenis A, Overall Equipmet Effectiveness (OEE), Overall Resource Effectiveness (ORE)
I. PENDAHULUAN Dalam industri manufaktur, produktivitas produksi merupakan hal utama yang perlu ditingkatkan. Peningkatan produktivitas dapat terwujud dengan adanya suatu proses produksi yang berjalan secara efektif dan efisien. Proses produksi yang dilakukan tentu membutuhkan sumber daya produksi seperti manusia, mesin dan material. Suzuki (dalam Eswaramurthi dan Mohanram, 2013) menyatakan bahwa efektivitas produksi bergantung pada efektivitas penggunaan peralatan, material, tenaga kerja dan metode. Hal ini berarti untuk meningkatkan efektivitas produksi dapat dimulai dari penggunaan sumber daya dengan meminimalisir losses yang berkaitan dengan sumber daya produksi tersebut. Losses adalah kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh adanya waktu produksi yang terbuang atau adanya suatu kerusakan sehingga mesin produksi tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya (Amrussalam dkk, 2016). PT. X merupakan perusahaan penghasil filter rokok. Secara umum, produk yang dihasilkan yaitu filter rokok mono dan dual. Pada bulan Januari-Desember 2016, proses produksi yang dilakukan masih mengalami kendala seperti adanya kerusakan mesin secara tiba-tiba, keterlambatan material, ketidaktersediaan tenaga kerja saat produksi. Kendala tersebut menimbulkan kerugian berupa downtime mesin. Sudrajat (2001) menyatakan bahwa waktu hilang dikarenakan oleh kondisi mesin yang tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya disebut downtime. Mesin dengan nilai downtime tertinggi ialah mesin untuk memproduksi filter rokok mono jenis A yang dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu, dalam proses produksi juga timbul
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-187
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
kerugian berupa speed losses dan defect. Adanya speed losses dari keempat mesin tersebut dikarenakan adanya perbedaan antara speed ideal mesin sebesar 400 m/menit dengan speed actual yang digunakan sebesar 100 m/menit. Mengenai defect filter rokok mono jenis A tiap mesin dapat dilihat pada Gambar 1, yang mana presentase defect pada tiap mesin melebihi standar presentase defect yang telah ditentukan oleh perusahaan yaitu sebesar 1,4%. Tabel 1 Data Downtime Mesin Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 Mesin Total Downtime (menit) Total Waktu Produksi Tersedia (menit) Downtime (%) KM01 126241 460800 27,4 KM05 80383 387360 20,8 KM07 91311 478080 19,1 KM12 111192 504000 22,1
Gambar 1 Perbandingan total dan standar maksimal defect mesin produksi filter rokok mono jenis A
Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan pada proses produksi filter rokok mono jenis A ialah dengan menggunakan Overall Equipmet Effectiveness (OEE) dan Overall Resource Effectiveness (ORE). OEE berfungsi untuk mengukur performansi, mengidentifikasi peluang pengembangan suatu peralatan yang berkaitan dengan faktor availability, performance dan quality (Reyes dkk, 2009). Eswaramurthi dan Mohanram (2013) menyatakan bahwa untuk menangani kerugian yang berhubungan dengan sumber daya produksi, penggunaan OEE kuranglah sesuai. Kemudian muncul pengembangan metode untuk mengetahui efektivitas sumber daya produksi menggunakan ORE. Selain itu, pada penelitian digunakan cause effect diagram untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah dari rendahnya efektivitas sumber daya produksi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengukuran efektivitas mesin pada produksi filter rokok mono jenis A menggunakan OEE, melakukan pengukuran efektivitas sumber daya pada produksi filter rokok mono jenis A menggunakan ORE, megidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya efektivitas sumber daya produksi, serta memberikan usulan perbaikan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini diawali dengan tahap pendahuluan yaitu melakukan studi lapangan, studi literatur, mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, dan menentukan tujuan penelitian. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data. Terdapat dua data yaitu data sekunder yang terdiri dari data waktu produksi tersedia, data downtime, data jumlah produksi dan defect dari filter rokok mono jenis A serta data primer yang terdiri dari proses produksi filter rokok mono jenis A, data penyebab dan efek kegagalan yang terjadi. Tahap berikutnya yaitu melakukan pengolahan data dengan melakukan perhitungan menggunakan metode OEE dan metode ORE. Selanjutnya tahap analisis dan pembahasan. Tahap terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. 1) Overall Equipment Effectiveness (OEE) OEE merupakan metode yang digunakan untuk ukur efektivitas penggunaan peralatan sebagai salah satu aplikasi program Total Productive Maintenance yang mana menunjukkan tingkat keefektifan fasilitas secara menyeluruh yang diperoleh dengan memperhitungkan availability rate, performance rate dan quality rate (Saiful dkk, 2014). 2) Overall Resource Effectiveness (ORE) ORE adalah metode yang digunakan untuk mengukur waktu efektif keseluruhan dari sistem manufaktur yang berkaitan dengan adanya resources (man, machine, material, method) yang digunakan (Eswaramurthi dan Mohanram, 2013). Pengukuran dilakukan dengan melibatkan SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-188
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
faktor readiness (R), availability of facility (Af), changeover efficiency (C), availability of material (Am), availability of manpower (Amp), performance efficiency (P), quality rate (Q). 3) Cause Effect Diagram Watson (dalam illie G. Dan Ciocoiu C.N., 2010) menyatakan bahwa cause effect diagram merupakan salah satu tool yang disediakan dengan cara menggambarkan secara sistematis berbagai akibat dan penyebab yang berkontribusi pada akibat tersebut. Cause effect diagram juga disebut sebagai fishbone diagram yang meliki keuntungan untuk identifikasi akar penyebab dan menelusuri masalah secara lebih lanjut, menghasilkan ide-ide. (Dhillon, 2008).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tabel 2 dan tabel 3 merupakan data yang dikumpulkan dan diolah menggunakan metode OEE dan ORE. Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas penggunaan mesin maupun sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. Tabel 2 Data Perhitungan OEE Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 UnWaktu Planned Loading planned Operating Processed Ideal Defect tersedia downtime time down time Amount Cycle Time Amount (menit) (menit) (menit) time (menit) (rod) (menit/rod) (rod) (menit) 334559 208597040 KM0W 460800 30288 430512 95953 0,00125 9406880 KM0X 387360 18159 369201 62224 306977 209269216 0,00120 8080568 KM0Y 478080 24249 453831 67062 386769 228607320 0,00119 9514020 KM0Z 504000 24977 479023 86215 392808 205465729 0,00132 10218706 Tabel 3 Data Perhitungan ORE Produksi Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 Manpower Total Planned Planned Facilities Set-up and Material absence Time Downtime Production Downtime adjustment Shortages time (menit) (menit) time (menit) (menit) (menit) (menit) (menit) KM0W 460800 30288 430512 41344 46323 7747 539 KM0X 387360 18159 369201 29221 28667 4094 242 KM0Y 478080 24249 453831 34416 27241 4743 662 KM0Z 504000 24977 479023 38346 41513 5509 847
Berikut merupakan contoh perhitungan dari masing-masing faktor OEE pada mesin KM0W, yang mana secara umum, rumus dari perhitungan OEE dapat dilihat pada Rumus (1) - Rumus (4) (Ansori dan Mustajib, 2013): (1)
(2)
(3)
(4)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-189
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
Perhitungan faktor pertama yaitu availability rate yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin atau peralatan untuk melakukan proses produksi. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability rate adalah operating time dan loading time, yang mana loading time didapat dari hasil pengurangan antara available time dengan planned downtime sedangkan operating time didapat dari hasil pengurangan antara loading time dengan un-planned downtime. Perhitungan faktor kedua yaitu performance efficiency yang menunjukkan tingkat kemampuan mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk. Data yang dibutuhkan untuk menghitung performace efficiency adalah operating time, ideal cycle time dan processed amount. Perhitungan faktor ketiga yaitu quality rate yang menunjukkan tingkat kemampuan mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk yang sesuai dengan standar spesifikasi yang telah ditentukan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung quality rate adalah processed amount dan defect amount. Setelah ketiga fakotr dihitung kemudian dilakukan perhitungan pada nilai OEE yang dilakukan dengan mengalikan nilai dari masing-masing ketiga faktor tersebut. Berikut merupakan contoh perhitungan dari masing-masing faktor ORE pada mesin KM0W, yang secara umum, rumus dari perhitungan OEE dapat dilihat pada Rumus (5) - Rumus (12) (Eswaramurthi dan Mohanram, 2013): (5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
Perhitungan faktor pertama yaitu readiness yang menunjukkan tingkat kesiapan mesin untuk melakukan proses produksi. Data yang dibutuhkan untuk menghitung readiness adalah planned production time dan total time, yang mana planned production time didapat dari hasil pengurangan antara total time dengan planned downtime. Perhitungan faktor kedua yaitu availability of facility yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin atau peralatan yang telah dikurangi dengan waktu kerusakan mesin. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of facility adalah loading time, planned production time dan facilities downtime, yang mana loading time didapat dari hasil pengurangan antara planned production time dengan facilities downtime. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-190
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
Perhitungan faktor ketiga yaitu changeover efficiency yang menunjukkan tingkat ketersediaan mesin yang telah dikurangi dengan waktu set up. Data yang dibutuhkan untuk menghitung changeover efficiency adalah operation time, loading time dan waktu set up, yang mana operation time didapat dari hasil pengurangan anatar loading time dengan waktu set up. Perhitungan faktor keempat yaitu availability of material yang menunjukkan tingkat ketersediaan material dalam proses produksi filter rokok mono jenis A. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of material adalah running time, operation time dan waktu ketidaktersediaan material (material shortages), yang mana running time didapat dari hasil pengurangan antara operation time dengan material shortages. Perhitungan faktor kelima yaitu availability of manpower yang menunjukkan tingkat ketersediaan tenaga kerja dalam melakukan proses produksi filter rokok mono jenis A. Data yang dibutuhkan untuk menghitung availability of manpower adalah actual running time, running time, dan waktu ketidaktersediaan tenaga kerja (manpower absence time), yang mana actual running time didapat dari hasil pengurangan antara running time dengan manpower absence time. Perhitungan faktor keenam yaitu performance efficiency yang menunjukkan tingkat performansi mesin atau peralatan dalam menghasilkan suatu produk. Data yang dibutuhkan untuk menghitung performance efficiency adalah actual running time dan earned time yang mana earned time didapat dari perkalian antara ideal cycle time dengan quantity produced (processed amount). Perhitungan faktor ketujuh yaitu quality rate yang menunjukkan tingkat kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar spesifikasi yang telah ditentukan. Data yang digunakan untuk menghitung quality rate adalah quantity produced (processed amount) dan quantity of parts accepted, yang mana quantity of parts accepted didapat dari hasil pengurangan antara quantity produced (processed amount) dengan quantity rejected (defect amount). Setelah ketujuh faktor dihitung, kemudian dilakukan perhitungan pada nilai ORE yang dilakukan dengan mengalikan nilai dari masing-masing faktor tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4, didapat rata-rata nilai OEE sebesar 55,51% dan rata-rata nilai ORE sebesar 58,62% yang berarti rata-rata nilai OEE lebih tinggi dibanding dengan nilai ORE, dikarenakan metode OEE hanya diperhitungkan tingkat ketersediaan, performansi dan kualitas, sehingga hanya diketahui seberapa besar efektivitas mesin saja. Pada ORE, faktor yang diperhitungkan ada 7 faktor sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas mesin sekaligus material dan tenaga kerja sehingga diketahui tingkat efektivitas sumber daya produksi secara menyeluruh. Tabel 4 Hasil Perhitungan OEE dan ORE Filter Rokok Mono Jenis A Bulan Januari-Desember 2016 AR PE QR OEE R Af C Am Amp P Q ORE (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) KM 77,71 77,94 95,49 57,84 93,43 90,40 88,10 97,74 99,84 77,94 95,49 54,03 0W KM 83,15 81,81 96,14 65,39 95,31 92,09 91,57 98,68 99,92 81,81 96,14 62,33 0X KM 85,22 70,34 95,84 57,45 94,93 92,42 93,51 98,79 99,83 70,34 95,84 54,54 0Y KM 82,00 69,05 95,03 53,80 95,04 91,99 90,58 98,62 99,78 69,05 95,03 51,14 0Z Rata 82,02 74,78 95,62 58,62 96,48 91,72 90,94 98,46 99,84 74,78 95,62 55,51 -rata
Selanjutnya dilakukan identifikasi akar penyebab masalah yang mempengaruhi rendahnya nilai ORE atau tingkat efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A. menggunakan cause effect diagram. Hasil identifikasi akar penyebab masalah dapat dilihat pada Gambar 2. Akar penyebab masalah yang disebabkan oleh faktor manusia, adalah kegiatan pelatihan operator masih kurang, motivasi kerja operator masih kurang, operator tidak membaca log book kerusakan mesin sehingga pengetahuan akan gejala kerusakan masih kurang, skill dari operator mesin filter mono dan dual berbeda. Penyebab pada faktor material adalah kertas pelapis terkontaminasi kotoran pada saat melewati nozzle hotmelt, jadwal kegiatan pemeriksaan material hanya dilakukan pada saat awal shift. Penyebab dari faktor mesin adalah pada pisau terdapat sisa material filter yang menempel, posisi awal pisau tidak sesuai, jumlah aliran filter rokok yang terlalu banyak pada conveyor, sisa material tow yang tertinggal pada roller. Penyebab dari faktor metode adalah SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-191
Aulia, Novareza, dan Sulistyarini
pengawasan pada proses produksi belum dilakukan, jumlah permintaan item produk tinggi, jumlah kegiatan pemeriksaan tidak dilakukan sesuai prosedur. Penyebab dari faktor lingkungan adalah pembersihan area mesin tidak dilakukan saat pergantian shift. Manusia Keterbatasan skill operator Pelatihan masih kurang
Material
Lingkungan
Kertas pelapis filter terlipat Pembersihan area mesin tidak dilakukan saat pergantian shift Area di sekitar mesin yang masih kotor
Kertas terkontaminasi kotoran saat melewati nozzle hotmelt Kondisi kertas pelapis filter tidak baik Pada saat pertengahan produksi terjadi kekurangan material Jadwal kegiatan pemeriksaan material hanya dilakukan pada awal shift
Jumlah kegiatan pemeriksaan tidak dilakukan sesuai prosedur Adanya filter tidak sesuai standar yang lolos Jumlah perubahan pesanan tinggi Jumlah permintaan item produk tinggi
Operator tidak membaca log book kerusakan Operator kurang paham mengenai gejala kerusakan mesin
Operator salah melakukan setting Keterlambatan operator Operator pengganti tidak ada Skill dari operator mesin filter rokok tunggal dan dual memiliki perbedaan Operator tidak berada pada area produksi
Pengawasan pada proses produksi belum dilakukan
Operator merasa jenuh
Jumlah aliran filter rokok yang terlalu banyak Kemacetan pada conveyor
Adanya kendala pada permukaan roller Sisa material tow yang tertinggal
Motivasi dalam diri operator kurang Operator kurang melakukan cek filter
Rendahnya nilai ORE Permukaan pisau kotor Pada pisau terdapat sisa material filter yang menempel Pisau pemotong tidak memotong dengan baik
Pisau tidak tajam
Permukaan roller yang kotor Metode
Adanya tabrakan antara pisau dengan ledger Posisi awal pisau tidak sesuai
Mesin
Gambar 2 Cause effect diagram dari rendahnya nilai ORE
IV. PENUTUP Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian adalah nilai OEE menunjukkan tingkat efektivitas mesin pada produksi filter rokok mono jenis A. Pada bulan Januari-Desember 2016, nilai OEE pada mesin produksi filter rokok mono jenis A memiliki rata-rata nilai sebesar 58,62%. Sedangkan, nilai ORE menunjukkan tingkat efektivitas sumber daya produksi filter rokok mono jenis A yang memiliki rata-rata nilai sebesar 55,51%. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya nilai efektivitas penggunaan sumber daya produksi filter rokok mono jenis A dikelompokkan menjadi faktor manusia, faktor material, faktor mesin, faktor metode, faktor lingkungan. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan pada penelitian ini adalah mengadakan pelatihan operator secara menyeluruh tiap satu bulan sekali, penerapn konsep reward and punishment, membiasakan membaca logbook sebelum pergantian shift, dilakukan perencanaan jadwal pemeriksaan material secara berkala, hendaknya melaksanakan pembersihan dan pengecekan kembali terhadap posisi pisau dan roller, hendaknya melakukan pengaturan antara kecepatan conveyor dengan kapasitas tray, hendaknya supervisor mengontrol proses produksi, melakukan sosialisasi prosedur dan membuat alat kontrol visual untuk kegiatan pemeriksaan, menerapkan SMED untuk mengurangi waktu set-up, dilakukan pembersihan mesin secara berkala serta peningkatan penerapan kegiatan 5S.
DAFTAR PUSTAKA Amrusallam., Santoso, B.P., & Tama, I.P., (2016), “Pengukuran dan Perbaikan Total Productive Maintenance (TPM) Menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Root Cause Failure Analysis (RCFA)”, Journal of Engineering and Management in Industrial System (JEMIS), Vol.4, No.2. Ansori, N., & Mustajib, I., (2013), Sistem Perawatan Terpadu, Yogyakarta: Graha Ilmu. Ciocoiu, C.N., & Ilie, G., (2010), “Application of Fishbone Diagram to Determine The Risk of Event With Multiple Causes”, Management Research And Practice, Vol.2 Issue 1 p:1-20. Dhillon, B.S., (2008), Realibility Technology, Human Error and Quality in Health Care, USA: CRC Press. Eswaramurthi, K.G., & Mohanram, P.V., (2013), “Improvement of Manufacturing and Evaluation of Overall Resource Effectiveness”, American Journal of Applied Sciences. 10 (2). Reyes, J.A.G., Eldrige, S., Barber, K.D., & Meier, H.S., (2009), “Overall Equipment Effectiveness (OEE) and Process Capability (PC) Measures: A Relationship Analysis”, Journal of Quality in Maintenance Engineering, Vol. 27, Iss 1, pp. 48-62.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-192
Pengukuran Nilai OEE dan ORE sebagai Dasar Perbaikan Efektivitas Produksi Filter Rokok Mono Jenis A
Saiful., R.A., & Novawanda, O., (2014), “Pengukuran Kinerja Mesin Defekator I dengan Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness (Studi Kasus pada PT. Perkebunan XY)”, Journal of Engineering and Management in Industrial System (JEMIS), Vol.2, No.2. Sudrajat, A., (2001), Pedoman Praktis Manajemen Perawatan Mesin Industri, Bogor: Refika Aditama.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-193
Petunjuk Sitasi: Husniah, H., Herdiani, L., & Widjajani. (2017). A Customized Lease Contract for Fleet. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C194-199). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
A Customized Lease Contract for Fleet (1)
Hennie Husniah(1), Leni Herdiani(1) , Widjajani(1) Teknik Industri Unversitas Langlangbuana Karapitan 116 Badung (1) [email protected] ABSTRAK
In this paper we study a customized two-dimensional lease contract for a fleet of public transport, such as buses, shuttle etc. The lease contract are characterized by two parameters – age and usage – which define a two-dimensional region. However, we use one dimensional approach to model these age and usage of the fleet. The contract is classified into three categories usage rate with different operating conditions and then different preventive maintenance (PM) schedules are applied to the contract in the different categories. Periodic preventive maintenance is considered to meet different contract requirements to ensure the reliability of the fleet. Fleet with high utilization rates could have satisfactory reliability by performing more frequent PM, while those with low and medium utilization rates could reduce the cost of PM within the lease contract. We further assume that there will be three different usage pattern of the buses, i.e. low, medium, and high pattern of the usage rate. In many situations it is often we face a blur boundary between the adjacent patterns. The result show that the classification of fleet into different usage pattern cannot only be beneficial by providing an effective mechanism to reduce the lease costs, but also be a valuable competitive marketing strategy for lease provider. Kata kunci— Two-dimensional lease contract, preventive maintenance, minimal repair, expected maintenance cost, fuzzy.
I. INTRODUCTION In many areas of industry, outsourcing for maintenance of vital equipment becomes prevalent. Especially when the equipment is shopisticated and need a special expertise to maintain, such as modern buses in a public transport service system. Hence an economical way to carry out maintenance is to outsource the maintenance works to an external agent. The agent can do a partial or full coverage of the maintenance actions, such as Preventive Maintenance (PM) or/and Corrective maintenance (CM). Maintenance involving two parameter – i.e. age and usage for N repairable units have received attention in the literature (see Husniah et al. (2014, 2017) and Iskandar et al.(2014)). They have purposed an incentives to increase the equipment’s performance beyond target. In contrast to all works previously, Husniah et al. (2015) studied a lease contract with periodic PM which considers penalty cost to shield an agent against over claim. Two dimesional approach has been used in many warranty papers which has been pioneered by Iskandar et al. (2005) and Iskandar and Murthy (2003). As pointed by Huang et al. (2013) two-dimensional approach has many benefits, such as the increase of competitive advantage and customer loyalty (Shahanaghi et al., 2013).To increase the realism of the model, some complexities can easily incorporated into two-dimesional approach, such as the types of customer. As an example, the authors in Huang et al. (2015) developed a twodimensional warranty policy by considering two types of customers, i.e., customers with the adoption of policies concerning the warranty time or usage limit. Other type of customers can be characterized by the pattern of their usage rate. To date, a two-dimensional lease contract which considering the types of customer usage rate is still limited. Only few literatures discussing this issue despite it is an important factor, since different types of customer give different optimal cost of the contract. The authors in Husniah et al. (2015) devised a two-dimensional lease contract model and discussed a contract for the case where the owner has a fleet consists of N units. They consider two types of customer usage rate, i.e. medium and high usage rates. They used a crisp set membership of the usage rate level. In their hypothetical example, the usage rate of 1.35 is regarded as a medium usage rate while the usage rate of 1.75 is regarded as a high usage rate. It is not clear
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-194
Judul Makalah
how to catagorized the usage rate in between those values, e.g. is 1.55 belong to medium or high usage rate? In reality, it is difficult to decide a membership of a value which lies just around a boundary. In this paper we extend the model in Husniah et al. (2015) to consider the vagueness of membership using the fuzzy set theory. The use of fuzzy set theory (including fuzzy numbers, fuzzy logic, fuzzy knowledge, and fuzzy decision rules) is not new in maintenance modeling. Even the authors in Strackeljan, J. and Weber, R. (1999) emphasized that maintenance is among the areas where fuzzy sets have been applied intensively. Some of the literatures are highlighted in the following. Wolkenhauer (2001) gave an example of the application of fuzzy logic in maintenance decission making by considering the downtime of machines and the frequency of faults. Sergaki and Kalaitzakis (2002) used a fuzzy knowledge based method for maintenance planning and applied it in a power system. Fuzzy logic is used to obtain adaptive preventive maintenance (Yuniarto and Labib, 2006), scheduling preventive maintenance (Fouad and Samhouri, 2011), imperfect maintenance (Hennequin et al., 2009), and recently it is used in Segura et al. (2016) to model the imperfections of maintenance actions due to operators, in which they argued that the level of worker’s skill is not crisp, so that the problem is well suited by the fuzzy set theoretical approach. Khanlari et al. (2008) used fuzzy rules to interpret linguistic variables for determination of maintenance priorities, in which verbal expressions are among important factors in determining the priorities. Using this approach, the verbal expressions are quantified and used in decision making, which otherwise cannot be explicitly analyzed. To sum up, the authors in Carvalho, et al. (2015) argued that in reality there are always uncertainty of costs and reliability parameters in maintenance problems. This will rise problem if it is omitted by the model. They developed a maintenance model to accomodate the uncertainty by representing these parameters as fuzzy numbers. They applied the model to the wind turbine pitch control device. They further argues that the model would facilitate managers to make their decisions based on a reacher set of information. As pointed earlier, in this paper we extend the model in Husniah et al. (2015) to consider the vagueness of membership boundary of customer usage rate using the fuzzy set theory. We look for the optimal price for the agent and the optimal option for the owner, in which the usage rate is known to be varying according to low, medium, and high level. The paper is organized as follows. Section 2 will give the derivation of the model. Sections 3 and 4 present the model analysis and the numerical examples. Conclusion and further research are given in Section 5. II. MODEL FORMULATION In this section we derive maintenance model of a fleet of buses own by a government public transport service Indonesia, known as DAMRI. To begin the derivation we define the following notations that will be used in model formulation: 0, 0 0,U0 :Lease contract coverage y
Xi
D(t) F(t) S Y Cr C0 Cv CP
J ry (t ), Ry (t )
Z
:Preventive maintenance level :Downtime caused by the i-th failure and waiting time :Total downtime in (0,t] :Distribution function of downtime :Down time target :Usage rate :Repair cost :Preventive maintenance cost :Degree of preventive maintenance cost :Penalty cost per unit of time : Expected lease contract cost :Hazard, and Cumulative hazard functions associated with :Number of fleet
A. Lease Contract Policy SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-195
F (t , y )
Nama Husniah, Herdiani, dan Widjajani
We consider that DAMRI operates a number of buses and lease the bus with full covered PM to provide more protection. As in Husniah et al. (2015) the lease contract is offered with a twodimensional lease contract with the lease characterised by a rectangle region 0, 0 0,U0 where Γ0 and U0 are the time and the usage limits (e.g. the maximum coverage for 0 (e.g. 1 year) or U 0 (e.g. 50.000 km). All failures under lease contract are rectified at no cost to the lessee. For a given usage rate y of the , the lease contract ceases at y 0 for y U0 0 , or y U y for, whichever occurs first. As the lease contract is full coverage (PM and CM), then a penalty cost incurs the lessor if the actual down time falls above the target (S ) . If D is down time (consisting repair time and waiting time) for each failure occuring during the contract, then the lessor should pay a penalty cost when D S . The amount of the penalty cost is assumed to be proportional to D - S . The penalty cost ( CP ) is viewed as a penalty given by the lessor. The decision problem for the lessor is to determine the optimal number of PM and degree of maintenance level such that to minimize the expected cost. Furthermore, we consider the case where age, usage and operating condition where the bus is operated as major factors to influence failure. Here, the accelerated failure time (AFT) model is an appropriate model to be used as it allows to incorporate the effect of the three major factors on degradation of the truck. If the distribution function for T0 is given by F0 (T, α0), where α0 is the scale parameter, then the distribution function for Ty is the same as that for T0 but with a scale parameter given by y y0 y 0 with 1 . Hence, we have F (t , y ) F0 (( y0 y) t , y ) . The hazard and the cumulative hazard functions associated with F(t, αy) are given by t
ry (t ) f (t , y ) (1 F (t , y )) and Ry (t ) ry (x)dx respectively where f(t,αy) is the associated density 0
function. Let Y be a usage rate of the bus. We consider that Y varies from customer to customer but is constant for a given customer (or a given equipment). Y is a random variable with density function g ( y), 0 u . Conditional on Y y , the total usage u at age t is given by u yt . Within the lease coverage, a lease contract ends at y 0 for given usage rate y. Two cases need to be considered–i.e. (i) y and (ii) y . Preventive Maintenance Policy: We define periodic PM policy for a given Y y . PM policy for a given y, is characterised by single parameter y . The equipment is periodically maintained at k . y . Any failure occurring between pm is minimally repaired. Note (k 1) y T0 where k is an integer value. For a given usage rate y, the effect of each PM action j j1 then rj (t ) r(t ) j . If any failure occurring between pm is minimally repaired, then expected total number of minimal repairs in k y 1
ky
([t j 1 , t j ),1 j k y 1) is given by N rj 1 (t )dt R( 0 ) 0 jT j for t j t j 1 y . As t j 1
tj
j 1
j 1
the lease contract is full coverage (PM and CM), then a penalty cost incurs the OEM if the actual down time falls above the target (S ) . The penalty cost ( CP ) is viewed as a penalty given by the OEM. The decision problem for the OEM is to determine the optimal price structure and maintenance level such that to minimize the expected cost. III. MODEL ANALYSIS Suppose that there are k (k>1) failed buses will be served by the OEM with a single service channel using the first come, first served rule. We consider a situation where the lessor incurs repair cost for each failure and PM cost. For a larger coverage of lease contract e.g. for maximum 5 years or 250.000 km, it would require more than one PM for reducing the maintenance cost. In the proposed lease contract, the lessor expected total cost consists of PM cost, repair cost and penalty cost. The lesor incurs penalty cost when the down time caused by a failure exceeds the predetermined target. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-196
Judul Makalah
Suppose that there are k units failed equipment will be served by the lessor with single service channel where the first come, first served. Hence, there is queue which the model formulation is identical to a Markovian queue. The arrival rate of failed equipment is k (Z k ) for 0 k Z , where Z is number of equipment population and λ is failure rate. The service rate is µ. According to Husniah, dkk.(2015) the steady state density function for Y j (waiting time for truck j) is Z 1
f ( y ) Pk e
y
k 0
( y )k where Pk, k!
k =1, 2, ..., Z - 1 given by the ratio Pk Pk1 Pk 2 and Z 1
Pk1 (Z k )( )k (Z ! (Z k )!) Pk 2 (Z k )( )k (Z ! (Z k )!) , is estimated by the mean k 0
Z 1
value of failure intensity, . The expected value of Y j is E Y j yf ( y )dy
Pk (k 1)
. Here, two cases are considered – case (i) y and case (ii) y . Hence, for y , the total expected cost of the lessor is k 0
0
E y Z J y (k y , y ) CP G(S) N (k y , y ) with CP G(S) is defined as CP G(S) CP
S
y S g ( y )dy.
For case y , the expected cost of lessor is given by replacing 0 with y .
IV. NUMERICAL EXAMPLE In this numerical example we vary the usage rate Y. For a given usage rate y the failure distribution is given by the Weibull distribution. Let the parameter values be as follows. α0 =1(year), β=2.25, Γ0=2(years), U=2(1x104Km) (γ = U/W = 1), y0 = 1, Cr 100 , C0 Cv 0.5Cr , S = 80 (hours) or 4 (days) or CP 3K and K 5.102.2025 $. The down time distribution is given by the exponential distribution with 1/ 1/ 300 (years). The road condition is reflected by = 1.2, 2.0 and 2.2 coresponding to light incline, high incline and very hilly, respectively. Tables 1 shows optimal number of PM and improvement level of lease contract with three usage types – low (1.0 y 1.2) , medium (1.2 y 1.4) and heavy (1.4 y 1.8). Now if we consider one of the input, i.e. the usage rate, is a fuzzy number rather than a crisp number, then the output certainly would be a fuzzy number. For example, the crisp number y = 1.30 in Table 1 now should be considered as a fuzzy number, let say it is represented as a triangular number ̅ (1.20,1.30,1.40). There are several ways to treat a fuzzy number as an input to a function. Lee (2005) pointed out that fuzzy function can be classified into three groups according to which aspect of the crisp function the fuzzy concept was applied, namely crisp function with fuzzy constraint, crisp function which propagates the fuzziness of independent variable to dependent variable, and function that is itself fuzzy, this fuzzifying function blurs the image of a crisp independent variable. In this paper we use the second approach, in which a crisp function propagates the fuzziness of independent variable to dependent variable. Table 1. results for
Z 25
ρ = 1.2
y
With
Cr 100 ,
s =80 hours and 0 4 months
ρ = 2.0
k *y
*y
*y
E y
13
1.70
0.32
26401.7113
k *y
ρ = 2.2
*y
*y
E y
1.70
0.32
26401.71 13
k *y
*y
*y
E y
1.70
0.32
26401.71
Low 1.0 Medium
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-197
Nama Husniah, Herdiani, dan Widjajani
1.2
18
1.04
0.41
43936.2121
0.89
0.47
57406.09 22
0.85
0.49
61716.88
22
0.73
0.57
67428.6532
0.51
0.64
1.19.105 35
0.46
0.67
1.38.105
Heavy 1.4
Figure 1.a shows the graphical image of the triangular fuzzy number ̅ (1.20,1.30,1.40) representing the medium rate and the multimodal fuzzy numbers ̅ (1.00,1.20,1.40), and ̅ (1.20,1.40,1.80) representing the low and high rate, respectively. Figures 1.b to 1.d show the resulting expected lease cost for operating condition equals to 1.2, 2.0, and 2.2 respectively. Qualitatively the resulting costs are similar except the value is higher for the higher usage rate.
(a)
(b)
(c)
(d)
Fig 1. The usage rates (low solid red; medium dash-dot blue; heavy dash black) with the resulting expected lease cost for operating condition equals to 1.2, 2.0, and 2.2 respectively. Qualitatively the resulting costs are similar except the value is higher for the higher usage rate.
V. CONCLUSION In this paper we give an example on how to accomodate the fuzziness of a parameter in determining the optimal fleet number and the optimal strategy for maintenance the fleet. In general, for a given crisp value y and a fixed reliability level, the optimal expected profit decreases as the usage rate y increases. This is become more prevalent in the presence of fuziness, by observing the output of the low, medium, and high usage rates, which gives the relatively high, medium, and low numbers of fleet, profit, and price of the optimal option. In reality, the usage rate of a bus increases due to a longer travelled distance from a station to other station. This is as expected since the increasing in y causes the failure rate to increase and this in turn increases the number of failures under the lease contract. It is best of the lessor to perform more PM activities for buses with low and average utilization rates, in order to reduce the repair costs. On the other hand, if performing a PM activity becomes more expensive, the lessor would have to bear more expenditure, and thus reducing the number of PM activities would become a better
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-198
Judul Makalah
choice. Different shape of membership can be explored to investigate the sensitivity of the results presented in this paper. ACKNOWLEDGMENTS H.H. would like to thank Kemenristekdikti for the research grant through the scheme of PUPT with the SP DIPA-042.06.1.401516/2017.
DAFTAR PUSTAKA Carvalho, M., Nunes, E. and Telhada, J. ,2015, ‘Fuzzy maintenance costs of a wind turbine pitch control device’, Int. J. Prod. Manag. Eng. Vol. 3 no. 2, pp.103-109. Fouad, R.H. and Samhouri, M. ,2011, ‘A fuzzylogicapproach for schedulingpreventivemaintenance in ERPsystem’, Proc. Int. Conf. Management and Service Science (MASS), DOI: 10.1109/ICMSS.2011.5999330. Lee, K.H. ,2005, ‘First Course on Fuzzy Theory and Applications’, Springer Verlag, Heidelberg. Hennequin, S., Arango, G. and Rezg, N. 2009 ‘Optimization of imperfect maintenance based on fuzzy logic for a single‐stage single‐product production system’, Journal of Quality in Maintenance Engineering, Vol. 15 no. 4, pp.412-429, https://doi.org/10.1108/13552510910997779. Husniah. H, Pasaribu U.S., Cakravastia A., and Iskandar B.P. 2014. Two dimensional maintenance contracts for a fleet of s used in mining industry. Applied Mechanics and Material Vol 660, pp. 1026-1031. Husniah, H., Supriatna, A.K., Pasaribu, U.S., and Iskandar, B.P. 2017. Optimal Number of Fleet Maintenance Contract with Policy Limit Cost. Proc.4th Int. Conf. Control, Decision, and Information Technologies (accepted). Husniah, H., Pasaribu, U.S., and Iskandar, B.P.2015. Optimal Preventive Maintenance for a Fleet of s with Two-Dimensional Lease Contract, Proc. of IEEE IEEM. Huang, Y.S., Huang, C.D., and Ho, J.W. 2016, ‘A customized two-dimensional extended warranty with preventive maintenance’, European Journal of Operational Research,Vol. 257 no. 3,doi: 10.1016/j.ejor.2016.07.034. Huang, Y.S., Gau, W.Y., and Ho, J.W. 2015, ‘Cost analysis of two-dimensional warranty for products with periodic preventive maintenance’, Reliability Engineering & System Safety,Vol. 134, pp.51-58. Iskandar, B.P., Pasaribu, U.S., Cakravastia, A.and Husniah, H. 2014. Performance-based maintenance contract for a fleet of s used in mining industry. Proc. 2nd Int. Conf. Technology, Informatics, Management, Engineering, and Environment (TIME-E), DOI: 10.1109/TIME-E.2014.7011603. Iskandar, B.P., Murthy, D.N.P. and Jack, N., 2005, ‘A new repair-replace strategy for items sold with a two dimensional warranty’,Comp.and Oper. Research, Vol. 32, pp.669–628. Iskandar, B. P. and Murthy, D. N. P., 2003, ‘Repair-replace strategies for two-dimensional warranty policies’, Mathematical and Computer Modelling, Vol. 38, pp.1233-1241 Khanlari, A., Mohammadi, K. and Sohrabi, B., 2008, ‘Prioritizing equipments for preventive maintenance (PM) activities using fuzzy rules’, Computers & Industrial Engineering, Vol. 54, no. 2, pp.169-184. Segura, M.A., Hennequin, S. and Finel, B., 2016, ‘Human factor modelled by fuzzy logic in preventive maintenance actions’, International Journal of Operational Research, Vol. 27, no. 1-2, DOI: 10.1504/IJOR.2016.078468. Sergaki, A. and Kalaitzakis, K., 2002, ‘A fuzzyn knowledge based method for maintenance planning in a power system’, Reliability Engineering and SystemSafety, Vol. 77, pp.19-30. Shahanaghi, K., Noorossana, R., Jalali-Naini, S. G., and Heydari, M., 2013, ‘Failure modelingand optimizing preventive maintenance strategy during two-dimensional extended warranty contracts’, Engineering Failure Analysis, Vol. 28, pp.90-102. Strackeljan, J. and Weber, R., 1999, ‘Quality control and maintenance’ in Practical Applications of Fuzzy Technologies edited by Hans-Jürgen Zimmermann, Springer. Wolkenhauer, O., 2001, ‘Fuzzy mathematics’ in Data Engineering: Fuzzy Mathematics in System Theory and Data Analysis. John Wiley and Sons, pp.197-212. Yuniarto, M.N. and Labib, A.W., 2006, ‘Fuzzy adaptive preventive maintenance in a manufacturing control system: a step towards self-maintenance’, International Journal of Production Research, Vol. 44, no. 1.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-199
Petunjuk Sitasi: Marfuah, U., & Anwar, L. N. (2017). Optimasi Produksi Produk KDT di PT. XYZ Menggunakan Programa Dinamik. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C200-206). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Optimasi Produksi Produk KDT di PT. XYZ Menggunakan Programa Dinamik Umi Marfuah(1), Luthfia Nurul Anwar(2) (1), (2), Jurusan Teknik Industri Universitas Muhammadiyah Jakarta Jl. Cempaka Putih Tengah 27, 10510 (1) [email protected] ABSTRAK PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri farmasi, yang memiliki sistem produksi make to stock, dalam strategi Make-to-Stock yang digunakan oleh PT XYZ, perusahaan ini memiliki resiko yang tinggi berkaitan dengan investasi inventory. Salah satu produk yang memiliki masalah inventory yaitu produk KDTyaitu jumlah persediaan yang lebih besar dibandingkan permintaan dari perencanaan produksi yang dibuat perusahaan. Untuk mengoptimalkan perencanaan produksi dengan meminimukan total biaya produksi produk digunakan pendekatan programa dinamik. Programa dinamik merupakan salah satu teknik matematika yang digunakan untuk mengoptimalkan proses pengambilan keputusan secara bertahap ganda dengan membagi satu persoalan atas beberapa bagian persoalan (tahap). Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat perencenaan produksi produk KDT setahun mendatang agar total biaya produksi optimal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PT XYZ, maka diperoleh perencenaan produksi berturut-turut dari Agustus 2016 sampai dengan Juli 2017 yaitu 101.685 pcs, dengan total biaya minimum yaitu Rp 35.081.325.000,-. Perencanaan produksi dengan menggunakan metode Programa Dinamik memberikan hasil yang lebih optimal dari segi meminimalisir cost untuk biaya produksi bila dibandingkan kondisi perencanaan produksi perusahaan. Kata kunci— Biaya minimum, Perencanaan Produksi, Programa Dinamik
I. PENDAHULUAN PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang industri farmasi, yang memproduksi obat antara lain produk KDT yaitu obat untuk sariawan, XPZ yaitu obat enzim, PRG yaitu obat untuk sakit kepala, dan masih banyak obat yang lainnya. Berkembang pesatnya industri farmasi saat ini mengakibatkan persaingan yang ketat antar produsen farmasi, terutama yang memproduksi barang yang sama. Sehingga mendorong perusahaan untuk bisa bersaing dengan memiliki keunggulan kompetitif, terutama dalam pemenuhan permintaan pelanggan atau pemberian pelayanan kepada pelanggan. Pemenuhan kebutuhan pelanggan secara tidak langsung berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan dan laba perusahaan. Jika permintaan pelanggan tidak terpenuhi, maka perusahaan akan kehilangan laba saat ini dan laba yang di masa yang akan datang karena kehilangan pelanggan. Permintaan oleh pelanggan yang terjadi secara fluktuatif menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan, termasuk PT XYZ. Ketidakpastian jumlah dan waktu permintaan pelanggan mendorong adanya persediaan. Pada penelitian ini produk yang diteliti yaitu produk KDT karena salah satu produk yang fast moving. Persediaan didefinisikan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan untuk dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses pada proses manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk dijual.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-200
Optimasi Produksi Produk KDT di PT.XYZ menggunaka Programa Dinamik
Tabel 1. Persediaan dan Permintaan Produk KDT Januari-Juli 2016
Sumber : Data Perusahaan
Dari perencanaan produksi yang dibuat perusahaan saat ini, dapat dilihat pada Tabel 1. dimana jumlah persediaan lebih besar dibandingkan permintaan PT XYZ memiliki sistem produksi Make to Stock yaitu membuat sesuatu produk akhir untuk disimpan, dan kebutuhan konsumen akan diambil dari persediaan gudang. Dalam strategi Maketo-Stock yang digunakan oleh PT XYZ, perusahaan ini memiliki resiko tinggi berkaitan dengan investasi inventory, karena pesanan pelanggan secara aktual tidak dapat diidentifikasi secara tepat dalam proses produksi. Perencanaan produksi dapat diartikan sebagai proses penentuan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan operasi manufaktur dan mengalokasikannya sehingga menghasilkan produk dalam jumlah dan kualitas yang diharapkan dengan mengeluarkan biaya atau ongkos yang lebih rendah. Salah satu metode yang tepat untuk menyelesaikan perencanaan produksi adalah dengan menggunakan metode program dinamik. Programa Dinamik adalah suatu teknik matematika yang digunakan untuk mengoptimalkan proses pengambilan keputusan secara bertahap-ganda. Dalam teknik ini, keputusan yang menyangkut suatu persoalan dioptimalkan secara bertahap dan bukan secara sekaligus. Jadi inti dari teknik ini adalah membagi satu persoalan atas beberapa bagian persoalan yang dalam program dinamik disebut tahap. Kemudian memecahkan tiap tahap dengan mengoptimalkan keputusan atas tiap tahap sampai seluruh persoalan telah terpecahkan. Keputusan yang optimal atas seluruh persoalan ialah kumpulan dari sejumlah keputusan optimal atas seluruh tahap yang kemudian disebut sebagai kebijakan optimal. (P.Siagian, 1987 : 238). A. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu Bagaimana membuat perencanaan produksi setahun mendatang pada produk KDT agar total biaya keseluruhan periode optimal? B. Tujuan Dari perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini yaitu membuat perencanaan produksi setahun mendatang pada produk KDT agar total biaya keseluruhan optimal.
II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk penelitian. Dalam pengumpulan data pada peneltian ini peneliti menggunakan data permintaan produk KDT 24 periode yaitu Agustus 2014 sampai Juli 2016, biaya produksi produk per pcs, biaya simpan, dan data penjualan Agustus sampai Desember 2016 sehingga dapat diolah pada pengolahan data.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-201
Marfuah dan Anwar
B. Pengolahan Data Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam pengolahan menggunakan metode Programa Dinamik, yaitu : 1) Tahapan Melakukan Peramalan (Forecasting) Pada tahap ini dilakukan plotting data permintaan 24 periode sebelumnya menjadi sebuah grafik sehingga data tersebut bisa dibaca berdasarkan pola dari hasil grafik. Kemudian dipilih tiga metode yang sesuai dari hasil plotting data. Metode-metode yang dipilih dilakukan olah data peramalan menggunakan software WinQSB. Hasil dari peramalan yang dilakukan kemudian dilihat atau dihitung nilai kesalahannya dan dipilih nilai kesalahan terkecil dari nilai-nilai kesalahan yang ada untuk menentukan metode terbaik yang akan digunakan untuk melakukan peramalan periode berikutnya. Setelah itu, dilakukan verifikasi terhadap hasil peramalan dengan menggunakan peta rentang. Hasil dari peta rentang tersebut bisa menunjukkan bahwa metode yang dipilih sesuai. Kemudian hasil peramalan periode berikutnya bisa digunakan. 2) Tahapan Menghitung Perencanaan Produksi menggunakan Programa Dinamik Pada tahap ini dilakukan perencanaan produksi menggunakan programa dinamik untuk memperloleh total biaya optimal dengan mengidentifikasi variabel masukan yaitu hasil peramalan permintaan, kapasitas gudang, jumlah persediaan, biaya produksi, dan biaya simpan. Kemudian mengidentifikasi variabel keputusan yaitu jumlah produksi, serta mengidentifikasi kendalakendala perusahaan yaitu jumlah produksi yang dilakukan tidak melebihi kapasitas gudang yang tersedia. Selanjutnya membuat rumusan fungsi tujuan yaitu meminimalkan biaya produksi. Dan melakukan perhitungan secara rekrusif maju. 3) Analisis Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap pengolahan data. Pada tahap ini hasil pengolahan data dianalisis dan dibahas berdasarkan hubungannya dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memahami dan menganalisis hasil pengolahan data secara mendalam. Analisis dan pembahasan dilakukan secara bertahap sesuai dengan hasil-hasil pengolahan data. 4) Kesimpulan dan Saran Bagian ini merupakan tahap terakhir dari penelitian, yang berupa penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data. Bagian ini juga dilengkapi dengan saransaran untuk menyempurnakan hasil penelitian ini dan implikasi praktis untuk penelitian selanjutnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan perencanaan produksi maka dilakukan perhitngan peramalan permintaan produk. Peramalan permintaan produk KDT dilakukan dengan software WinQSB.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-202
Optimasi Produksi Produk KDT di PT.XYZ menggunaka Programa Dinamik
Tabel 2. Data Histori Permintaan Produk KDT
Tabel 3. Hasil Peramalan Permintaan Agustus 2016 – Juli 2017
A. Perencanaan Produksi dengan Metode Programa Dinamik Metode programa dinamik yang digunakan yaitu rekrusif maju sehingga perhitungan dilakukan dari tahap ke-1 bergerak maju hingga tahap ke-12. Urutan perencanaan produksi dengan programa dinamik, yaitu : 1. Dekomposisi, permasalahan rencana produksi dipecah menjadi beberapa sub masalah yang dinyatakan dengan tahap 1 sampai 12 2. Menentukan variabel masukan/state pada tiap tahapan, dalam hal ini adalah : hasil peramalan permintaan, kapasitas gudang, jumlah persediaan, biaya produksi, dan biaya simpan. 3. Menentukan variabel keputusan, dalam hal ini yaitu menentukan jumlah produksi. 4. Menetapkan : Fungsi tujuan. 𝑀𝑖𝑛𝐶 = Ʃ (𝐴. 𝑋𝑛+ 𝐵. I𝑛)
(1)
Keterangan : A = biaya produksi ( Rp. 28.750) B = biaya simpan (Rp. 1000) 𝑋𝑛 = Jumlah produksi pada periode ke-n 𝐼𝑛 = Banyaknya persediaan pada periode ke-n Fungsi pembatas Jumlah produksi yang dilakukan tidak melebihi kapasitas produksi yangtersedia. Formulasi matematisnya, yaitu: In + Sn− G ≤ Xn ≤ In + Sn
(2)
𝑓𝑛 I𝑛 = min{(𝐴X𝑛 + B 𝐼𝑛) + (𝑓𝑛 −1 (𝐼𝑛 + Sn - Xn)}
(3)
Persamaan rekursif :
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-203
Marfuah dan Anwar
Keterangan : fn In = biaya produksi optimum KDT pada tahap n dalam banyak persediaan S AXn = Biaya produksi dikali jumlah produksi (x)pcs KDT dalam tahap n BIn = Biaya simpan yang dikenakan terhadap tahap n apabila dalam banyaknya persediaan I = Banyaknya persediaan pada periode ke-n = Jumlah produksi pada periode ke-n Sn = Banyaknya Permintaan atau penjualan dalam tahap n G = Kapasitas Gudang B. Langkah-Langkah Perhitungan Programa Dinamik 1) Menentukan jumlah persediaan akhir. Dalam hal ini karena kapasitas gudang yaitu 90.000 pcs maka jumlah persediaan akhir yang dibuat yaitu 0, 30.000, 60.000, dan 90.000 pcs. 2) Menghitung jumlah produksi yang akan diproduksi pada periode ke-n dengan memasukkan variabel masukan, di tahapan ini variabel masukannya yaitu hasil peramalan permintaan (Tabel 3), jumlah persediaan, dan kapasitas gudang dengan menggunakan persamaan 2 3) Masukkan jumlah produksi yang sudah dihitung sebelumnya ke persamaan 3. 4) Buat tabel hasil perhitungan untuk mempermudah pembacaan. Digunakan metode programa dinamik untuk perencanaan produksi karena teknik ini pengambilan keputusannya dilakukan secara bertahap. Teknik ini sesuai dengan perumusan masalah yang ada, sehingga dapat mengoptimalkan persoalan yang terjadi secara bertahap bukan sekaligus. Pada perencanaan produksi dengan menggunakan programa dinamik pada penelitian ini dilakukan secara rekrusif maju dimana cara pengerjaannya dimulai dari tahap satu sampai tahap akhir. Alasan menggunakan rekrusif maju karena perencanaan produksi dimulai dari awal tahun sehingga agar dapat mempengaruhi produksi-produksi pada bulan berikutnya Tabel 4. Hasil Perencanaan Produksi Produk KDT periode Agustus 2016-Juli 2017
Sumber : Hasil Perhitungan
Hasil perhitungan dari tahap 1 sampai tahap 12 menunjukkan alternatif kebijakan produksi yaitu pada persediaan sama dengan nol (In = 0) dengan jumlah produksi pada tahap 1 sampai dengan tahap 12 jumlahnya sama sebesar 101.685 pcs. Hal ini dapat terjadi karena dengan semakin sedikit persediaan atau bahkan tidak adanya persediaan akan mengurangi jumlah biaya total karena kecilnya biaya simpan bila dibandingkan dengan biaya produksi. Jumlah total biaya yang dikeluarkan untuk jadwal produksi selama 12 periode tersebut adalah Rp 35.081.325.000,- Ini merupakan hasil optimal dalam meminimumkan biaya produksi dengan menggunakan program dinamik.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-204
Optimasi Produksi Produk KDT di PT.XYZ menggunaka Programa Dinamik
C. Kalkulasi Biaya 1) Kondisi Perusahaan saat ini Tabel 5. Perencanaan Produksi Perusahaan
o
Sumber : Data Sekunder dan Hasil Perhitungan
2) Kondisi dengan Menggunakan Programa Dinamik Tabel 6. Perencanaan Produksi dengan Menggunakan Programa Dinamik
Sumber : Hasil Perhitungan
D. Implementasi bila Perencanaan Programa Dinamik digunakan dengan yang dialami Perusahaan sekarang Tabel 7. Perbandingan Perencanaan Produksi Menggunakan Program Dinamik dengan yang sudah dialami Perusahaan
Sumber : Hasil Perhitungan
E. Analisis Perbandingan antara Perencanaan Produksi Perusahaan Dengan Perencanaan Produksi Menggunakan Programa Dinamik Kalkulasi biaya yang dilakukan yaitu pada bulan Agustus sampai Desember 2016 hal ini dikarenakan, pada bulan tersebut hasil peramalan dan yang sudah terjadi sudah ada. Dari Tabel 6 diperoleh total biaya produksi dengan menggunakan programa dinamik yaitu Rp 14.617.218.750,SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-205
Marfuah dan Anwar
sementara dari Tabel 7 diperoleh total biaya dengan perencanaan produksi yang dilakukan perusahaan yaitu sebesar Rp 14.924.204.000,- Sehingga, selisih total biaya produksi dengan dan tanpa menggunakan programa dinamik yaitu Rp 306.985.250,-. Hasil ini dapat menurunkan biaya produksi perusahaan sebesar 2.06%. F. Analisis Perbandingan antara Perencanaan Produksi dengan Menggunakan Programa Dinamik dan Jika Penerapan Perencanaan Programa Dinamik dilakukan Perusahaan Saat ini Perbandingan kalkulasi total biaya produksi dengan menggunakan programa dinamik dan jika penerapan programa dinamik dilakukan diperusahaan saat ini yaitu diperoleh selisih sebesar Rp 154,979,000,-. Hasil tersebut dapat menurunkan biaya produksi perusahaan sebesar 1.05%.
IV. PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada perusahaan XYZ dengan mengambil sampel penelitian produk KDT maka perencanaan produksi untuk periode berikutnya yaitu Agustus 2016 101.685 pcs; September 2016 101.685; Oktober 2016 101.685; November 2016 101.685; Desember 2016 101.685; Januari 2017 101.685; Februari 2017 101.685; Maret 2017 101.685; April 2017 101.685; Mei 2017 101.685; Juni 2017 101.685; Juli 2017 101.685. Dengan total biaya optimal yang diperoleh yaitu Rp 35.081.325.000,-. Perencanaan produksi dengan menggunakan metode programa dinamik memberikan hasil yang lebih optimal dari segi meminimalisir cost untuk biaya produksi, bila dibandingkan perencanaan produksi yang dilakukan perusahaan pada saat ini. B. Saran 1) Pada penelitian ini hanya dilakukan penyusunan rencana penjadwalan produksi untuk satu jenis produk, diharapkan untuk peelitian selanjutnya dilakukan untuk beberapa jenis produk. 2) Perlu dilakukan adanya penelitian lanjutan mengenai perencanaan produksi dengan menggunakan metode lain sebagai pembanding.
DAFTAR PUSTAKA Delfianda, P., dkk, 2011, Optimalisasi Biaya Total Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Menggunakan Programa Dinamik. Gaspersz, V., 2001, Production Planning and Inventory Control. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Kusuma, H., 2009, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Edisi Keempat. Yogyakarta : Graha Ilmu. Makridakis, S., dkk, 1999, Metode dan Aplikasi Peramalan Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga. Nasution, A.H., & Prasetyawan, Y., 2008, Perencanaan & Pengendalian Produksi Edisi Pertama, Yogyakarta : Graha Ilmu. Nurhidayati, F.U., 2010, ―Penggunaan Program Dinamik Untuk Menentukan Total Biaya Minimum Pada Perencanaan Produksi Dan Pengendalian Persediaan‖, Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Purnomo, B.H., dkk, 2015, Perencanaan Produksi Kerupuk Puli dengan Menggunakan Programa Dinamik di UD Rizki Jember, Agrointek. Rangkuti, F., 2004, Manajemen Persediaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rosnani, G., 2007, Sistem Produksi Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Siagan, P., 1987, Penelitian Operasional: Teknik dan Praktek, Jakarta : UI Pres.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-206
Petunjuk Sitasi: Nurwidiana, Syakhroni, A., & Charis, N. M. (2017). Analisa Kegagalan dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C207-211). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Kegagalan dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II Nurwidiana(1), Akhmad Syakhroni(2) , Noor M Charis(3) Jurusan Teknik Industri, Universitass Islam Sultan Agung Jl. Raya kaligawe km 4 Semarang (1) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Spinning II adalah unit produksi baru dari PT.Sari Warna Asli V , maka perusahaan menerapkan pengawasan yang ketat dalam segala aktifitas produksi, salah satunya dalam hal perawatan mesin. Mesin Cardingpada unit spinning II tersebut, sering mengalami breakdown yang mengakibatkan terjadinya downtime. Tercatat selama 6bulan produksi, prosentase downtime mencapai 0,9377% dari total waktu operasinya, atau rata-rata terjadi 0,1563% downtime per bulan). Nilai tersebut jauh dibawah sasaran mutu yang ingin dicapai oleh perusahaan yaitu sebesar 0,062% downtime per bulan. Sehingga perlu dilakukan analisa untuk menekan terjadinya breakdown yang mengakibatkan down time. Metode yang digunakan adalah Reliability Centered Maintenance II dengan memadukan analisis kuantitatif dan kualitatif. Metode ini digunakan untuk menentukan kegiatan perawatan berdasarkan pada RCM II Decision Worksheet dan FMEA digunakan untuk mengidentifikasi penyebab kegagalan serta efek yang ditimbulkan dari kegagalan tersebut.Hasil dari penelitian ini adalah sub sistem mesin carding yang menjadi masalah utama sistem carding JWF1203, dan ditemukan adanya 30 modus kegagalan. Berdasar FMEA terdapat 5 modus kegagalan yang krusial, ditunjukkan dengan nilai RPN lebih dari 100. Dari analisa RCM II Decision Worksheet diambil kebijakan perawatan kebijakan scheduled discard task dengan melakukan penggantian untuk 1 modus kegagalan , kebijakan on condition task pada 14 modus kegagalan , dan 15 modus lainnya siterapkan kebijakan no-scheduled maintenance. Selanjutnya pada modus dengan kebijakan scheduled discard ditentukan interval penggantian komponen yang optimal berdasarkan MTTF, biaya dan kehandalan. Untuk modus on condition task ditetapkan interval waktu preventif maintenance dan untuk modus kegagalan dengan kebijakan no-scheduled maintenance diusulkan penyusunan SOP pengoperasian dan perawatan mesin. Kata kunci— Carding, down time, FMEA, perawatan, RCM II, RPN, spinning II
I. PENDAHULUAN Bagian Spinning II merupakan proyek baru di PT.Sari Warna Asli Unit V yang baru berjalan kurang dari satu tahun. Mesin produksi yang digunakan diantaranya mesin Blowing, Carding, Drawing, Speed Frame, Ring Frame, Winding. Dari hasil wawancara dengan kepala bagian maintenance dan supervisor maintenance diantara mesin-mesin tersebut mesin carding memiliki kejadian breakdown yang tinggi dan mempengaruhi 80% dari kualitas benang.Mesin Carding berfungsi untuk membuka menghaluskan gumpalan serat, membersihkan kotorankotoran yang masih ada didalam gumpalan serat, memisahkan serat-serat pendek dengan seratserat panjang. Berdasarkan data 20 mesin carding bagian spinning II periode Maret 2015 -Agustus 2015 total terjadi 99 kejadian breakdown atau rata-rata terjadi 0,156% downtime per bulan). Nilai tersebut jauh dibawah sasaran mutu yang ingin dicapai oleh perusahaan yaitu sebesar 0,062% downtime mesin per bulan. Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan sistem pemeliharaan mesin carding di bagian spinning II tersebut. Saat ini Kebijakan maintenance mesin carding yang diterapkan oleh PT. Sari Warna Asli Unit V menggunakan perawatan breakdown (corrective maintenance/CM) dan perawatan rutin (preventive maintenance/PM). Maka pada penelitian ini
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-207
Nurwidiana, Syakhroni, dan Charis
akan diterapkan perawatan dengan kebijakan Reliability Centered Maintenance II (RCM II). Reliability Centered Maintenance(RCM) merupakan serangkaian proses yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam rangka memastikan bahwa peralatan yang digunakan dapat berjalan dengan baik dalam menjalankan fungsi yang dikehendaki. Sementara itu Reliability Centered Maintenance II merupakan hasil pengembangan RCM sebelumnya yang menambahkan safety dan environtment consequence pada decisision diagram RCM II mempunyai kelebihan dalam penentuan program pemeliharaan yang difokuskan pada komponen kritis dan menghindari kegiatan perawatan yang tidak diperlukan dengan menentukan interval pemeliharaan yang tepat (Moubray 1997). Dengan menerapkan RCM II maka diharapkan dapat 1) mengetahui Kebijakan pemeliharaan yang optimal dari sub-sistem penyebab utama kerusakan untuk meminimalkan breakdown dan downtime mesin carding
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu studi kasus permasalahan perawatan mesin di PT Sari warna dengan menggunakan metode RCM II. Maka metode penelitian yang dilakukan mengacu pada tahapan-tahapan RCM II . Secara umum terbagi dalam 3 Tahap yaitu : Tahap identifikasi, Tahap Pengolahan data dengan RCM II dan Tahap Rekomendasi A. Tahap identifikasi 1) Pemilihan Sistem : Menentukan sistem yang paling tinggi pengaruhnya terhadap kerusakan mesin, disini digunakan diagram Pareto 2) Mendefinisikan Batasan Sistem (System Boundary) 3) Membuat Aset Block Diagram dan Function Block Diagram B. Tahap Pengolahan Data (Proses RCM II) 1) Pendefinisian Fungsi dan Kegagalan Fungsi 2) Penentuan Modus Kegagalan dan Efeknya 3) Penentuan Nilai Risk Priority Number (RPN) 4) Penentuan Maintenance Task 5) Penentuan Interval Schedule Discard Task C. Tahap Rekomendasi 1) Analisa FMEA, analisa maintenance task, dan analisa interval perawatan Schedule Discard Task yang diusulkan. 2) Rekomendasi
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Sistem Mesin Carding terdiri dari 3 sub-sistem yaitu Chute Feed FT 209A , Carding JWF 1203 dan Coiler JWF 1171.Berdasarkan Pareto Chart Downtime sub-sistem carding JWF 1203 dengan mempunyai persentase paling sebagai penyebab terjadinya downtime mesin yaitu sebesar 63,4%, kemudian sistem coiler 20,9%, sistem chute feed 15,7%.Sehingga sub sistem carding JWF1203. Diketahui sebagai sub-sistem penyebab utama kerusakan mesin carding dan dipilih sebagai objek yang akan di teliti dan di analisa lebih lanjut dengan metode RCM 1) Asset Block Diagram (ABD) Sistem Carding JWF1203 Dibangun ABD dari sub sistem terpilih sehingga dapat diketahui informasi tentang proses produksi,i komponen dn fungsi komponen serta sistem kerja peralatan secara jelas, dan hystory card yang memberi informasi tentang kejadian kegagalan. 2) Deskripsi Fungsi Sistem dengan Functional Block Diagram (FBD) Function Block Diagram sistem carding JWF1203 mendefinisikan fungsi setiap part didalam sistem.Setiap blok dihubungkan dengan anak panah yang menunjukan interaksi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-208
Analisa Kegagalan Dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II
antar subsistem sehingga alur pemrosesan material (web) sampai menjadi sliver akan tergambar jelas. 3) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Dari functional block diagram dapat ditentukan FMEA dari masing-masing komponen yang digunakan untuk mengidentifikasi fungsi dari suatu komponen mesin dan penyebab kegagalan dari mesincardingJWF1203 serta efek yang timbul dari kegagalan tersebut yang berakibat pada system. Dari tahap ini teridentifikasi ada 30 modus kegagalan. B. Tahap RCM II 1) Penentuan Nilai RPN (FMEA) Penentuan nilai RPN yaitu kriteria nilai severity, detection, dan occurrence dengan menggunakan nilai skala rating 1 sampai dengan 10.Pemberian nilai RPN pada setiap modus kegagalan dilakukan melalui diskusi dengan supervisor maintenance mesin carding. Menurut Stamatis (1995) usulan perbaikan terhadap modus kegagalan yang terjadi diberikan pada modus kegagalan yang memiliki nilai RPN diatas 100. dari perhitungan terdapat 5failure mode dari sistem carding JWF1203 yang memiliki nilai RPN diatas 100 yaitu : Timming Belt Top Flat rusak, dengan RPN 280 Flat & Clean roller kotor, dengan RPN 210 V.Belt Flat&Clean roller putus, dengan RPN 175 Wire Flat&Clean rusakdengan RPN 150 Wire rear&front stasionary flat tergumpal serat kotoran web, dengan RPN 126 2) RCM II Decision Worksheet Dilakukan analisa terhadap 30 modus kegagalan dengan decision worksheet untuk menentukan jenis kegiatan perawatan yang sesuai untuk setiap modus. pengisian decision worksheet dibantu dengan LTA RCM II decision diagram untuk membantu menentukan concequence dan proactive task yang akan diberikan.Concequence yakni Hidden Failure (H), Safety Consequences (S), Environmental Consequences (E), dan Operational Consequences (O).Dalam penyusunan task-task tersebut dilakukan brainstorming dengan supervisor maintenance. Selanjutnya hasil dari analisa RCM II Decision Logic Diagram akan di tuliskan kedalam RCM II Decision Worksheet. Berdasarkan hasil pengolahan RCM II terhadap 30 modus, jenis perawatan untuk tiap modus berbeda-beda. scheduled on condition task (pemeriksaan, pelumasan) : 14 Modus schedulled discard task (penggantian komponen) : 1 modus no scheduled maintenance (tidak melakukan perawatan) : 15 modus 3) Penentuan Kebijakan Perawatan a) Penentuan interval pemeriksaan untuk perawatan scheduled on-condition task Terdapat 14 modus dengan kebijakan scheduled on condition task. Dilakukan perhitungan interval pemeriksaan untuk tiap-tiap modus.Penentuan interval JWF1203 menggunakan P-F interval yaitu interval waktu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh vendor mesin untuk pelaksanaan preventive maintenance perusahaan. Interval perawatan (jam) = 1/2 x P-F interval Tabel 1 Interval Perawatan No 1 2 3 4
Modus Kegagalan Feed Plate Aus Mote knife licker in tumpul Cylinder wire tumpul Wire rear&front stasionary flat rusak
Tindakan Cek kondisi feed plate Cek kondisi Mote knife Cek kondisi cylinder wire Cleaning&cek standar kondisi stasionary.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-209
Interval Perawatan 6 Bulan 6 Bulan 3 Bulan 6 Bulan
Nurwidiana, Syakhroni, dan Charis
No
Modus Kegagalan
Tindakan
5
Topflat kotor
Cleaning top flat dan periksa kondisi wire topflat
6
Flat & Clean roller kotor
cleaning flat&clean roller
7
Wire Flat & Clean roller rusak
8
Wire Doffer tumpul
9 10
Wire Clearer roller rusak Cross bridge shaft rusak
11
Bearing Crossgirder aus
12
Gear big calendar rusak
13
Shaft big calendar aus.
Cek kondisi wire Flat&Clean Roller Cek kondisi wire doffer, usulan pembuatan SOP cleaning doffer Cek kondisi wire clearer roller. Periksa kondisi across bridge shaft Cek kondisi bearing Crossgirder,lakukan pelumasan Cek dan pelumasan Gear big calendar Cek kondisi shaft big calender lakukan pelumasan.
14
Air main suction pipe mati
Cleaning mesin, periksa status dust filter
Interval Perawatan 2 Hari 3 dan 6 bulan 6 Bulan 6 Bulan 6 Bulan 6 Buan 6 Bulan 6 Bulan 6 Bulan 2 Minggu
b) Penentuan Jadwal Penggantian untuk Modus Schedule Discard Task Terdapat 1 modus kegagalan dengan keputusan maintenance task scheduled discard task yaitu modus timming belt topflat rusak untuk itu harus ditentukan jadwal penggantian komponen yang optimal. Penentuan interval penggantian mempertimbangkan 3 hal yaitu: Mean Time To Failure (MTTF), Total biaya perawatan dan Nilai Kehandalan (Reliability). Dari pengolahan data historis kerusakan timming belt topflat diketahui pola kerusakan berdistribusi weibull dengan nilai α=59,681 β= 6.718 dan 𝜂 = 7217 jam, maka dapat dihitung nilai MTTF = ( )= 6784 jam (1) Penentuan interval perawatan optimal (TM) mempertimbangkan biaya perawatan (CM)=Rp580.000), biaya perbaikan (CR)=Rp.8908600 serta nilai dari wakturatarataperbaikan (Mbar) = 7,5jam .Interval penggantian yang dapat meminimalkan total biaya operasi (TM), dapat menggunakan rumus TM = 𝜂 * +1/β = 3743jam (2) Interval penggantian komponen TM(3743jam) kurang dari waktu MTTF-nya (6784jam), yang menunjukkan bahwa waktu TMakan berusaha untuk menghindari sampai terjadinya kerusakan timming belt topflat. Selanjutnya dihitung nilai kehandalan komponen jika penggantian dilakukan pada interval T t
R(t) e (3) dengan t adalan nilai TMyaitu 3743jam maka nilai R = 98,8% yang artinya probabilitas sub sistem akan beoperasi sesuai fungsinya hingga waktu 3743 jam sebesar 98,9%. c) Penyusunan SOP untuk modus no scheduled maintenance Terdapat 15 modus kegagalan yang tidak memerlukan tindakan perawatan namun diusulkan untuk dilakukan usulan pembuatan SOP, melakukan dokumentasi kejadian kerusakan agar dapat diidentifikasi interval perawatan komponen, melakukan pelaporan ke bagian maintenance jika terjadi kerusakan. C. Rekomendasi 1) Tindakan Perbaikan Untuk Nilai RPN Tertinggi
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-210
Analisa Kegagalan Dan Usulan Kebijakan Perawatan Mesin Carding dengan Metode Reliability Centered Maintenance II
Pemberian rekomendasi diprioritaskan terhadap faktor-faktor yang berisiko memberikan potensikegagalan/kerusakan mesin carding yang ditinjau dari nilai RPN terbesar. Pada kasus ini tindakan perbaikan diprioritaskan terhadap modus kegagalan dengan RPN tertinggi 280 yaitu timming Belt topflat rusak dengan melakukan penggantian timming belt topflat dengan interval 3743 jam.Kemudian menggunakan acuan SOP penggantian timming belt agar kegiatan penggantian bisa diselesaikan sesuai waktu standar penyelesaian. 2) Usulan Perbaikan Tindakan Perawatan dan Jadwal Perawatan Optimal Adapun rekomendasi tindakan perawatan berupa kegiatan pemeriksaan membersihkan pelumasan menggunakan interval perawatan setengah dari program mounting diperusahaan, sehingga penurunan resiko kegagalan dapat tercapai dan meminimalkan downtime.Kemudian melakukan kegiatan penggantian komponen, dan usulan pembuatan chek list pemeriksaan dan pencatatan setiap terjadi kerusakan, serta pembuatan Standar Operasional Prosedur penanganan jika terjadi kerusakan mesin.
IV. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut: 1) Penyebab utama kerusakan pada mesin carding Spinning II adalah kerusakan pada Sub system mesin carding system JWF1203. 2) Ditemukan terdapat 30 penyebab keegagalan dengan modus kerusakan utama yang perlu mendapatkan prioritas penanganan adalah rusaknya timming belt 3) Untuk menangani masalah kerusakan pada timming belt diusulkan kebijakan scheduled discard task dengan menentukan interval penggantian timming belt topflat setiap 3743jam. 4) Untuk kebijakan on-condition digunakan pada 14 modus . Untuk modus-modus tersebut ditentukan interval maintenance task dengan mengidentifikasi potensial failure (P-F) , nilai intervalnya adalah dengan ½ dari interval PF. 5) Kebijakan no-scheduled maintenance, diterapkan pada modus yang belum dapat diidentifikasi secara detail dan konsisten kondisi PF-nya, terdapat 15 modus yang diterapkan pada kebijakan ini Saran dari penelitian adalah: 1) Perusahaan PT Sari Warna Asli sebaiknya melakukan dokumentasi untuk semua peristiwa kerusakan mesin baik itu kerusakan ringan atau kerusakan berat agar kejadian kerusakan bisa identifikasi serta dihindari sebelum terjadi kerusakan sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian akibat downtime mesin. 2) Sebaiknya dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk penanganan tiap-tiap modus kegagalan/kerusakan agar bisa menjadi acuan operator/teknisi untuk tindakan perawatan. 3) Hendaknya potensi kegagalan yang sudah dikenal oleh para operator/teknisi ahli didokumentasikan dalam bentuk buku acuan, karena sangat berguna untuk operator baru. 4) Hendaknya ditempatkan beberapa pelaksana maintenance pada setiap regu kerja agar saat terjadi kerusakan penanganan bisa lebih cepat dilakukan sehingga tidak menimbulkan downtime yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Ebeling, C.E., 1997, An Intruduction to Reliability and Maintainability Engineering, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Jardine, A.K., 2001, Optimizing Maintenance and Replacement Decisions, Toronto, Ontario, Canada: Department of Mechanical and Industrial Engineering University of Toronto. Moubray, J., 1997, Reliability Centered Maintenance II Second edition Industrial Press Inc, New York: British Library. Stamatis, D.H., 1995, Failure Mode and Effect Analysis: FMEA from Theory to Execution.Milwaukee: ASQC Quality Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-211
Petunjuk Sitasi: Yulius, H., Irsan, & Lenggogeni, P. (2017). Perancangan Ulang Tata Letak Mesin pada Lantai Produksi di Biro Workshop PT. Semen Padang. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C212-221). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin pada Lantai Produksi di Biro Workshop PT. Semen Padang Henny Yulius(1), Irsan(2), Putri Lenggogeni(3) Jurusan Teknik Industri, Universitas Putra Indonesia ―YPTK‖Padang Jl. Raya Lubuk Begalung Padang – Sumatera Barat (1) [email protected], (2) [email protected]
(1), (2), (3)
ABSTRAK Bengkel Pabrikasi (Workshop) PT. Semen Padang adalah salah satu unit kerja dibawah Direktorat Produksi bergerak di bidang Manufacturing dan Erection Peralatan Pabrik yang melayani kebutuhan pabrikasi perusahaan sendiri maupun permintaan dari pihak luar. Sehingga perencanaan dan perancangan tata letak sangat berpengaruh untuk kelancaran aliran di lantai produksi tersebut dengan tujuan untuk meminimasi jarak dan ongkos material handling. Dalam penelitian kali ini akan melakukan perancangan ulang tata letak mesin pada lantai produksi berdasarkan prosedur System Planning Layout (SPL) dan Pendekatan Konvensial, dengan tipe tata letak proses. Dari hasil penelitian diperoleh usulan yang diberikan berdasarkan koefisien outflow dan inflow, dengan alternatif pilihan yaitu inflow. Terdapat bebera perubahan pada lantai produksi yaitu pada mesin bor dan mesin tekuk dengan perbandingan jarak 7395m dan 5.236m. perbandingan biaya sebesar Rp. 808.135 dan Rp. 442.436. Kata kunci— System Planning Layout, Pendekatan Konvensial dan Ongkos Material Handling.
I. PENDAHULUAN Tata letak atau pengaturan dari fasilitas produksi dan area kerja yang ada merupakan landasan utama dalam dunia industri. Pada umumnya tata letak pabrik yang terencana dengan baik akan ikut menentukan efisiensi dan dalam beberapa hal akan juga menjaga kelangsungan hidup ataupun kesuksesan kerja suatu industri. Dalam membangun suatu perusahaaan harus sesuai dengan perencanaan dan perancangan yang sesuai dengan syarat pendirian suatu perusahaan. Dengan adanya perencanaan dan perancangan tata letak fasilitas ini, diharapkan agar aliran proses serta pemindahan bahan yang ada di dalam suatu perusahaan berjalan dengan lancar. Kelancaran proses produksi dapat meminimumkan biaya dan mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh. Selain itu, perencanaan dan perancangan tata letak fasilitas ini juga berguna untuk mengoptimalkan hubungan antar aktivitas. Kondisi tata letak mesin pada lantai produksi saat ini mengakibatkan proses produksi tidak berjalan sesuai dengan harapan dan mengeluarkan biaya pemindahan bahan yang cukup besar, hal ini dapat dilihat pada latak mesin bor dan mesin tekuk. Area pabrikasi workshop memiliki 3 area pengerjaan dengan penempatan produksi disesuaikan pada berat suatu produk yang dibuat, umumnya setiap produksi melalui proses pengeboran. Jumlah mesin bor yang dimiliki workshop sebanyak 3 unit, tetapi pada kondisi sekarang mesin bor hanya diletakkan pada area 2 saja. Hal serupa juga terjadi pada mesin tekuk, mesin tekuk saat ini hanya diletakkan pada area 2, sedangkan pada area 1 perakitan suatu produk umumnya melewati proses penekukkan. Hal ini mengakibatkan proses pemindahan bahan menjadi lebih jauh, dan memakan waktu yang cukup lama. Dengan dilakukannya perancangan ulang terhadap lantai produksi diharapkan agar aliran proses serta pemindahan yang ada di dalam suatu perusahan berjalan dengan lancar, serta meminimumkan biaya dan mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh. Batasan masalah dalam penelitian perancangan tata letak produksi di Workshop PT Semen Padang adalah:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-212
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
1) Perancangan dilakukan untuk tata letak fasilitas produksi yang ada di workshop PT Semen Padang dengan metode konvensial. 2) Produk acuan untuk melakukan perancangan dipilih berdasarkan dimensi produk dengan ukuran dan berat yang berbeda. 3) Perbaikan dilakukan hanya pada lantai produksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara detail biaya penggunaan material handling dalam suatu produk dan melakukan perbadingan antara kondisi saat ini dengan usulan atau alternatif yang diberikan, berdasarkan biaya penggunaan material handling.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Letak Fasilitas Perancangan tata letak pabrik atau tata letak fasilitas adalah tata cara pengaturan fasilitasfasilitas pabrik guna menunjang kelancaran proses produksi, dimana dalam pengaturan tersebut akan dilakukan pemanfaatan luas area (space) untuk menempatkan mesin atau fasilitas penunjang produksi lainnya. Tata letak pabrik berhubungan erat dengan segala proses perencanaan dan pengaturan tata dari mesin, peralatan, aliran bahan, dan manusia yang ada dari masing-masing stasiun kerja. Bagi suatu perusahaan manufaktur, perencanaan tata letak mencakupi desain atau kongfigurasi dari bagian-bagian pusat kerja, dan peralatan yang membentuk proses perubahan ari bahan mentah menjadi bahan jadi. Dengan kata lain, merupakan pengaturan tempat sumber daya fisik yang digunakan untuk membuat produk. Perencanaan tata letak merupakan salah satu tahap dalam perencanaan fasilitas yang bertujuan untuk mengembangkan suatu sistem produksi yang efisien dan efektif sehingga dapat tercapainya suatu proses produksi dengan biaya yang minimum [Herjanto, Eddy, 2008]. B. Tipe-Tipe Tata Letak Tipe-tipe tata letak [Hadiguna dan Setiawan, 2008] : 1) Tata Letak Produk Digunakan untuk pabrik yang memproduksi satu macam produk atau kelompok produk dalam jumlah yang besar dan waktu produksi yang lama. 2) Tata Letak Proses Digunakan pada perusahaan yang beroperasi dengan menerima order dari pelanggan. 3) Tata Letak Posisi Tetap Tipe ini mengkondisikan bahwa material berada tetap pada posisinya, sedangkan fasilitas peoduksi bergerak menuju material tersebut. 4) Tata Letak Group Technology Tipe ini mengelompokkan produk yang dibuat berdasarkan kesamaan proses. C. Pendekatan Konvensional Tahapan-tahapan yang dilalui dalam teknik pendekatan konvensional yaitu : tahapan analisis tingkat hubungan atau kedekatan, perencanaan kebutuhan luas lantai, dan tata letak akhir. Berikut adalah rincian dari ketiga tahapan diatas [Hadiguna dan Setiawan, 2008] : 1) Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang telah didefenisikan sebagai fasilitas-fasilitas pabrik. 2) Menyiapkan lembaran Activity Relationship Chart (ARC) dan mengisinya dengan namanama fasilitas yang telah diterapkan pada langkah 1. 3) Merumuskan alasan-alasan yang dapan dijadikan dasar bahwa fasilitas-fasilitas dapat didekatkan atau harus dijauhkan. 4) Memberi penilaian berdasarkan sistem penilaian yang telah disepakati. 5) Merangkum hasil penilaian ARC ke dalam work sheet. 6) Menyiapkan block template sejumlah fasilitas yang akan dirancang. 7) Menyususn Activity Reletioship Diagram (ARD) berdasarkan tingkat hubungan. SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-213
Yulius, Irsan, Lenggogeni
8) Menyiapkan Area Template berdasarkan kebutuhan luas lantai setiap fasilitas. 9) Membuat Area Allocating Diagram (AAD) sebagai tata letak akhir rancangan. D. Material Handling Material Handling dapat diartikan sebagai menangani material dengan menggunakan peralatan dan metode yang benar. Perencanaan sistem penanganan material merupakan suatu komponen penting dalam perencanaa fasilitas, terutama dalam kaitannya dengan desai tata letak. Oleh karenanya, perencanaan tata letak dan perencanaan penanganan material selalu selalu saling terkait satu dengan yang lainnya [Herjanto Eddy, 2008]. Umumnya, cara kerja metode menggunakan kriteria yang ditetapkan, yaitu total biaya jarak perpindahan bahan. Perhitungan jarak perpindahan biaya ditentukan oleh frekuensi perpindahan antar mesin atau fasilitas dan jarak antar mesin atau fasilitas. Jarak antar fasilitas ditentukan oleh ukuran fasilitas dan teknik pengukuran jarak yang digunakan. ukuran yang digunakan untuk memperkirakan jarak dalam tata letak, yaitu [Hadiguna dan Setiawan, 2008]: 1) Euclidean Jarak diukur sepanjang lintasan garis lurus antara dua buah titik. Jarak euclidean dapat diilustrasikan sebagai conveyor lurus yang memotong dua buah stsiun kerja. Persamaan euclidean sebagai berikut: dij = [(xi – xj)² + (yi – yj)²]0.5 (1) 2) Euclidean Kuadrat Kuardarat dari eucliden yang mencerminkan bobot terbesar jarak dua pasang titik yang saling berdekatan. Persamaan euclidean kuadrat sebagai berikut : dij = [(xi – xj)² + (yi – yj)²]2 (2) 3) Rectilinear Distance Jarak di ukur sepanjang lintasan dengan menggunakan garis tegak lurus satu dengan yang lainnya. Persamaan rectilinear distance seagai berikut: dij =[x-a] + [y-b] (3) 4) Squared Euclidean Distance Jarak diukur sepanjang lintasan sebenarnya yang melintas antara dua buah titik, jarak lintasan aliran bisa lebih panjang dibandingkan dengan rectilinier atau Euclidean. Persamaan squared euclidean distance dij = [x-a]² + [y-b]² (4) 5) Tchebychev Merupakan ukuran jarak terbesar dua nilai. Adapun matriks jarak tchebychev sebagai berikut: dij = max ([xi – xj] , [yi – yj] , [zi – zj]) (5) 6) Adjacency Matriks berdasarkan kedekatan yang mempunyai kelemahan tidak diturunkan dari fasilitas non kedekatan, atau sebuah matriks yang menunjukkan apakah fasilitas tesebut berbatasa. 7) Lintasan Terpendek Jarak antara dua simpul pada masalah lokasi jaringan kerja. Cara demikian digunakan untuk masalah yang memiliki banyak lintasan. Ongkos Material Handling (OMH) adalah suatu
ongkos yang timbul akibat adanya aktivitas material dari satu mesin ke mesin lain atau dari satu departemen kedepartemen lain yang besarnya ditentukan sampai pada suatu tertentu. Rumus dalam perhitungan OMH : OMH = Jarak Tempuh x Biaya Angkut
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-214
(6)
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
III. METODOLOGI PENELITIAN Melalui studi pendahuluan, penelitian perancangan tata letak fasilitas pabrik di workshop PT. Semen Padang sebelumnya telah dilakukan oleh Hendri (2001) dengan menggunakan metode Promethee (Preference Ranking Organization Methode For Enrichment Evaluation) yaitu penentuan kedekatan antar fasilitas dengan memperhatikan kriteria aliran bahan, karakteristik operasi, kebisingan, dan pencahayaan. Hendri (2001) menggunakan satu produk sebagai acuan dalam melakukan perancangan tata letak, sehingga susunan mesin berdasarkan proses yang dilalui oleh satu jenis produk tersebut tanpa melibatkan semua mesin yang ada dilantai produksi. Thahir (2004) mengenai perancangan ulang tata letak fasilitas produksi di workshop PT Semen Padang. Metode yang digunakan SOC (Similarity Order Clustring) yaitu mengelompokkan mesin kedalam sel-sel mesin. Benhard (2007) mengenai ―Perancangan Tata Letak Fasilitas Produksi Berdasarkan Group Technology Dengan Mempertimbangkan Urutan Proses Operasi di Workshop PT semen Padang‖. Penelitian tentang tata letak fasilitas pabrik sebelumnya yang diusulkan oleh Hendri (2000), Thahir (2004), dan Benhard (2007) adalah perancangan tata letak berdasarkan Group Technology, namun pihak biro workshop masih menggunakan tata letak proses layout. Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : A. Data Primer Data primer diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung untuk objek yang akan diteliti. Data yang diperoleh dalam pengamatan ini adalah: 1) Jumlah dan dimensi mesin aktual yang beroperasi. 2) Jarak antar stasiun kerja. 3) Pengukuran waktu dengan stopwatch untuk mengetahui lamanya jarak tempuh material handling per meter, yang bertujuan untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan tiap meter handling berjalan. B. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber lain baik dari lisan maupun tulisan. Data skunder yang diperoleh yaitu: 1) Data komponen yang digunakan dalam pembuatan produk. 2) Data proses operasi tiap-tiap material untuk melihat aliran material tiap-tiap departemen yang melakukan proses produk. Pengolahan data dalam perancangan ulang tata letak mesin ini mengikuti prosedur System Planning Layout (SPL) dan pendekatan konvensial, dengan tipe tata letak proses karena jumlah produk dan bentuk produk yang bervariasi, dengan memilih tipe ini maka hanya beberapa mesin saja yang akan dipindahkan. Pengolahan data mulai dilakukan dengan tahap analisis aliran, menentukan ongkos material handling per meter, melakukan perhitungan ongkos material handling tiap departemen, matriks from to chart, meghitung nilai koefisien outflow dan inflow, membuat tabel skala prioritas, membuat Activity Relationship Diagram (ARD) berdasarkan skala prioritas, Membuat Area Allocating Diagram (AAD), melakukan perhitungan ongkos material handling, dan memilih alternatif berdasarkan ongkos material handling terkecil.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahapan–tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan data adalah : 1) Perhitungan Ongkos Material Handling (OMH) tata letak awal. Perhitungan dilakukan untuk tiap produk dengan mengalikan 3 variabel, yaitu jarak, frekuensi, dan ongkos perpindahan material 2) Perhitungan From To Chart (FTC). Tipe tata letak yang digunakan adalah tipe proses perhitungan ini dilakukan berasarkan data OMH tata letak awal. FTC dilakukan untuk tiap produk, kemudian dilakukan rekapitulasi data FTC. 3) Perhitungan Outflow-Inflow. Perhitungan ini dilakukan berdasarkan data FTC, proses perhitungan outflow-inflow ini merupakan konversi nilai ongkos FTC ke dalam nilai
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-215
Yulius, Irsan, Lenggogeni
koefisien ongkos. Pada perbaikan peranangan tata letak alternatif yang diberikan berdasarkan koefisien outflow-inflow (dipilih salah satu) 4) Perhitungan Skala Prioritas. Skala priorias merupakan proses pengurutan kedekatan mesin berdasarkan nilai koefisien terbesar hingga terkecil. Tabel 1 Data Mesin Area Produksi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 24 25 Total
Nama Mesin Mesin CNC Cutting 1 Mesin CNC Cutting 2 Mesin Press Mindang Mesin Press Scew Mesin Press Bucket Mesin Roll Rundo Mesin Roll Mesin Roll Davi 4095 Mesin Roll Ex-Fl Smidth Mesin Roll Davi 3041 Mesin Gunting Penddinghaus Mesin Gunting Hydracut Mesin Gunting Beyeler Mesin Tekuk YSD Mesin Tekuk Gaspirani Mesin Bor ZJ China 3 Mesin Bor Mas Portable 1 Mesin Bor Elha 2 Mesin Planner Mesin Coloum SAW AWS Mesin Welding Alloy 1 Mesin Welding Alloy 2 Mesin Bubut 1 Mesin Bubut 2
Jumlah Mesin 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 26
Ukuran Mesin P (mm) L (mm) 15000 4500 14000 5000 2700 2600 1900 1800 1900 600 5800 3000 1800 1200 7722 5000 4500 2300 5000 3300 1590 900 3000 1300 3500 2500 5000 2800 5000 2800 4000 1600 3400 2600 3000 1300 9600 3310 8000 2500 4300 4000 5882 4180 3000 8100 21720 7989
Luas Mesin m2 67,50 70,00 7,02 3,42 1,14 1,14 17,40 2,16 38,61 10,35 16,50 1,43 3,90 8,75 14,00 14,00 6,40 8,84 3,90 31,78 20,00 17,20 24,59 24,30 414,32
Tabel 2 Rekapitulasi FTC Dari
Mesin CNC Mesin Welding Storage Cutting Gunting Plat Alloy Ke
Storage Mesin CNC Cutting Mesin Gunting Plat Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3 Jumlah
Rp 71.219 Rp 11.738
Mesin Bor Mesin Bor Mesin Bor Area 1 Area 2 Area 3
Mesin Tekuk 1
Mesin Tekuk 2
Rp 7.560 Rp 56.923 Rp 5.433 Rp 39.763 Rp 9.745 Rp 3.653 Rp 23.103
Mesin Mesin Press Mesin Roll Mesin Roll Mesin Bubut Mesin Bubut Rakitan Area Rakitan Area Rakitan Area Press 1 2 Area 1 Area 2 Area 1 Area 3 1 2 3
Rp 3.536
Rp 13.030 Rp Rp 611
Rp 2.237 Rp 1.426
Rp 18.924 Rp 71.219 Rp 11.738 Rp 23.103 Rp 68.136 Rp 5.433 Rp 58.687 Rp 11.982 Rp 1.426 Rp 3.536 Rp 611 Rp 13.030 Rp
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-216
Jumlah
Rp 20.565 Rp 111.082 561 Rp 8.384 Rp 56.132 Rp 51.486 Rp 7.328 Rp 9.223 Rp 261.545 Rp 2.451 Rp 6.715 Rp 8.993 Rp 8.993 Rp 158.615 Rp 183.954 Rp 3.774 Rp 5.200 Rp 121.694 Rp 121.694 Rp 47.408 Rp 47.408 Rp 3.147 Rp 3.147 Rp 3.220 Rp 3.220 Rp 1.349 Rp 1.349 Rp 7.619 Rp 7.619 Rp 1.281 Rp 1.281 Rp 4.309 Rp 4.309 Rp 21.693 Rp 40.617 561 Rp 28.950 Rp 56.132 Rp 281.651 Rp 19.331 Rp 152.610
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
Tabel 3 Outflow Mesin Storage CNC Ke Cutting
Dari
Storage Mesin CNC Cutting Mesin Gunting Plat Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3
Mesin Mesin Mesin Welding Mesin Bor Mesin Mesin Gunting Bor Area Bor Area Alloy Area 2 Tekuk 1 Tekuk 2 Plat 1 3
0,64
0,11
0,07 0,22 0,54
0,02
0,15
Mesin Mesin Mesin Mesin Press Mesin Roll Mesin Roll Bubut Area Bubut Press 1 2 Area 1 Area 2 1 Area 3
0,04
0,01
0,19 0,03
0,05 0,09
0,13
Rakitan Rakitan Rakitan Area 1 Area 2 Area 3
0,21
0,20
0,03 0,37
0,08
0,04
1,00 0,86
0,01 0,27
0,73 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
0,47
0,53
Tabel 4 Inflow Dari Storage Ke Storage Mesin CNC Cutting Mesin Gunting Plat Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3
Mesin CNC Cutting
Mesin Gunting Plat
1,00
Mesin Mesin Welding Mesin Bor Mesin Bor Area Bor Area Alloy Area 2 Tekuk 1 1 3
1,00
0,11 0,84 0,05
1,00
0,68
Mesin Tekuk 2
Mesin Press 1
0,81
Mesin Press Mesin Roll 2 Area 1
1,00
Mesin Mesin Roll Bubut Area Area 2 1 0,71 0,29
1,00 1,00
1,00
Mesin Bubut Area 3
Rakitan Rakitan Rakitan Area 1 Area 2 Area 3
1,00
0,18
1,00
0,38 0,13
0,06
0,03 0,56
0,19 1,00
0,20 0,80 0,17 0,16 0,01 0,07 0,03 0,07 0,15
0,32
0,14
Tabel 5 Skala Prioritas Outflow Prioritas 1 Departemen
Prioritas 2
Prioritas 3
Prioritas 4
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Mesin CNC
0,64
Mesin Bubut Area 1
0,19
Mesin Gunting Plat
0,11
Mesin Bor Area 1
0,07
Mesin CNC Mesin Bor 1 Cutting
0,22
Mesin Bubut Area 3
0,22
Rakitan Area 1
0,20
Mesin Bor Area 3
0,15
0,50
Rakitan Area 2
0,34
Mesin Press 2
0,08
Mesin Roll 2
0,08
0,13
Mesin Tekuk 1
0,01
Storage
Mesin Gunting Mesin Bor Plat Area 1 Welding Alloy Mesin Bor Area 1 Mesin Bor Area 2 Mesin Bor Area 3 Mesin Tekuk 1 Mesin Tekuk 2 Mesin Press 1 Mesin Press 2 Mesin Roll Area 1 Mesin Roll Area 2 Mesin Bubut Area 1 Mesin Bubut Area 3
Rakitan Area 1 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2 Rakitan Area 3 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2 Rakitan Area 1 Rakitan Area 2
Prioritas 5
Prioritas 6
Prioritas 7
0,73
Welding Alloy Mesin Tekuk 2
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Dept
Outflow
Mesin Roll Area 1
0,05
Mesin Tekuk 1
0,04
Rakitan Area 3
0,04
Mesin Bubut Area 3
0,03
Rakitan Area 2
0,03
Mesin Bor Area 2
0,02
Mesin Press 1
0,01
0,27
1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
0,53
Mesin Bor Area 3
Prioritas 11
Outflow
1,00
Rakitan Area 3
Prioritas 10
Dept
1,00
Rakitan Area 1
Prioritas 9
Outflow
1,00 0,86
Prioritas 8
Dept
0,47
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-217
Yulius, Irsan, Lenggogeni
Tabel 6 Skala Prioritas Inflow Prioritas 1 Departemen
Prioritas 2
Prioritas 3
Prioritas 4
Prioritas 5
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Storage
Mesin CNC
1,00
Mesin Gunting Plat
1,00
Mesin Bubut Area 1
0,71
Mesin Bor 1
0,11
Mesin CNC Cutting
Mesin Roll 1
1,00
Mesin Bubut Area 3
1,00
Mesin Press 1
1,00
Mesin Bor Area 2
1,00
0,00
Mesin Press 2
1,00
Rakitan Area 2
0,13
Mesin Bor 1
0,05
0,56
Mesin Tekuk 1
0,19
Mesin Mesin Roll Gunting Plat 2 Welding Rakitan Alloy Area 1 Mesin Bor Welding Area 1 Alloy Mesin Bor Mesin Area 2 Tekuk 2 Mesin Bor Rakitan Area 3 Area 3 Mesin Rakitan Tekuk 1 Area 1 Mesin Rakitan Tekuk 2 Area 2 Mesin Press Rakitan 1 Area 1 Mesin Press Rakitan 2 Area 2 Mesin Roll Rakitan Area 1 Area 1 Mesin Roll Rakitan Area 2 Area 2 Mesin Rakitan Bubut Area Area 1 1 Mesin Mesin Bor Bubut Area Area 3 3
Prioritas 6
Prioritas 7
Prioritas 8
Prioritas 9
Prioritas 10
Prioritas 11
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Dept
Inflow
Mesin bor Area 1
0,84
Mesin Tekuk 1
0,81
Mesin Bor Area 3
0,68
Rakitan Area 2
0,38
Mesin Bubut Area 1
0,29
Rakitan Area 1
0,18
Rakitan Area 3
0,06
0,03 1,00 1,00
Rakitan Area 1 Rakitan Area 2
0,20
0,80 0,17 0,16 0,01 0,07 0,03 0,07 0,15
0,32
Rakitan Area 3
0,14
A. Activity Relationship Chart (ARC) Peta ini berisi tentang penjelasan penting atau tidaknnya suatu departemen untuk didekatkan.
Gambar 1 Activity Relationship Chart
Keterangan : A Mutlak untuk didekatkan E Sangat penting berdekatan I Penting berdekatan O Tidak ada masalah U Perlu berjauhan X Mutlak berjauhan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-218
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
B. Perancangan Activity Relationship Diagram (ARD) Perancangan ini dituangkan kedalam diagram kotak-kotak, tiap kotak melambang 1 jenis mesin. Masing-masing kotak yang didekatka disusun berasarkan nilai koefisien skala prioritas. Fasilitas penunjang pabrik menggunakan fasilitas yang sudah ada, tanpa ada penambahan. Berikut ARD pada kondisi aktual:
17
5
6
7
8
9
16 13
14
10
12 11 18
15 3 15
4
2 1
Gambar 2 ARD Aktual
Berikut ARD untuk koefisien outflow yang menjadi alternatif pertama :
17
7
16 13
8 11 18
14 12 9 5
10 6 3 15
4
2 1
Gambar 3 ARD Alternatif 1
Berikut ARD untuk koefisien inflow yang menjadi alternatif kedua :
17
7
9
10 16 3 18
6 8 11 5
14 12 13 15
4
2 1
Gambar 4 ARD Alternatif 2
Tabel 7 Nama Departemen
C. Area Allocating Diagram (AAD)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-219
Yulius, Irsan, Lenggogeni
Kesimpulan tingkat kepentingan antar aktvitas, dengan demikian berarti bahwa ada sebagian aktivitas yang harus dekat dengan aktivitas lainnya atau sebaliknya. Perancangan AAD berikut merupakan gambaran yang dipilih melalui alternatif pilihan berdasarkan perhitungan Ongkos Material Handling setiap komponen. Alternatif yang menjadi pilihan adalah alternatif 2, karena jarak tempuh dan waktu perpindahan material lebih singkat. Alternatif pilihan
Gambar 5 Layout Usulan
V. PENUTUP Berdasarkan pengolahan data terlihat bahwa Lantai Produksi Workshop PT Semen Padang menggunakan tipe tata letak proses , karena produk yang dihasilkan bervariasi.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-220
Perancangan Ulang Tata Letak Mesin Pada Lantai Produksi Di Biro Workshop PT. Semen Padang
Lantai produksi memiliki 3 area pengerjaan dengan penempatan produk sesuai ukuran dari produk yang akan dirakit. Alternatif 2 dipilih berdasarkan perbandingan berikut :
Tabel 8 Perbandingan OMH antar Alternatif
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk mengurangi jarak perpindahan, penggunaan material handling serta meminimalisir biaya yang dikeluarkan adalah dengan memindahkan mesin bor pada area 2 ke area 1 dan 3. Kemudian dengan memindahkan mesin tekuk pada area 2 ke area 1.
DAFTAR PUSTAKA Hadiguna, S.H., 2008, Tata Letak Pabrik, PT. Andi, Yogyakarta. Heizer, J., 2009, Manajemen Operasi, PT Selemba Empat. Herjanto, E., 2008, Manajemen Operasi, PT Gramedia, Jakarta Kholil, M., dkk, 2014, Perencanaan dan Perancangan Tata Letak Fasilitas, Graha Ilmu. Qoriyana, dkk, 2014, Rancangan Tata Letak Fasilitas Bagian Produksi pada CV.Visa Insan Madani, Jurusan Teknik Industri, Institut Teknoogi Bandung. Sinulingga, S., 2008. Pengantar Teknik Industri, PT Graha Ilmu Wignjosoebroto, S., 2009, Tata Letak Fasilitas dan Pemindahan Bahan, PT Guna Widya Yuliant, dkk, 2014, Usulan Perancangan Tata Letak Fasilitas Perusahaan Garmen CV. X Dengan Menggunaan Metode Konvensial.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-221
Petunjuk Sitasi: Asih, E. W., Yusuf, M., & Fauzan, F. M. (2017). Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C222-228). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ (1)
(2)
Endang Widuri Asih , Muhammad Yusuf , Fajar Muhamad Fauzan (1), (2), (3) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta Jl. Kalisahak 28 Yogyakarta
(3)
(1)
[email protected] ABSTRAK
Perkembangan industri yang semakin tinggi mengakibatkan persaingan antar perusahaan sejenis semakin tinggi. Untuk berdaya saing dengan perusahan lain perusahaan harus memenuhi permintaan konsumen. Permintaan yang semakin meningkat mewajibkan perusahaan untuk lebih memperhatikan nilai keandalan mesin. Pada perusahaan XYZ ada 5 mesin yang digunakan dalam produksi. Diantara lima mesin tersebut terdapat satu mesin yang memiliki tingkat breakdown tertinggi yaitu mesin carding, mesin carding merupakan mesin yang sangat penting dalam proses pemintalan benang, dikarenakan untuk melakukan proses awal sampai mesin winding harus melalui tahap proses mesin carding terlebih dahulu. dengan mesin yang sering mengalami kerusakan membuat perusahaan mengalami kerugian baik dari segi uang dan waktu yang mengakibatkan proses produksi terhambat. Tujuan dari penelitian ini yaitu meningkatkan keandalan suatu mesin, sehingga penjadwalan untuk perawatan lebih efektif dan efesien. Untuk itu perlu menentukan komponen kritis, dengan menggunakan Failure Mode Effect Analysis (FMEA). FMEA merupakan metode untuk menghitung Risk Priority Number (RPN) setiap komponen pada mesin, dengan mengetahui nilai RPN pada suatu komponen maka akan lebih memudahkan untuk perbaikan atau pergantian komponen. Dan untuk menentukan tindakan berdasarkan kerusakan menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) merupakan metode untuk memberikan prioritas mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadapa fungsi dan kegagalan fungsi dengan menjawab pertanyaan – pertanyaan yang telah di sediakan dalam LTA. Hasil dari penilitian ini menunjukan bahwa dari 17 komponen kerusakan terdapat 3 komponen kritis yang memiliki nilai RPN tertinggi yaitu pulley conveyer dengan nilai sebesar 360, Top Plate dengan nilai sebesar 392, dan Cylinder dengan nilai sebesar 320, dan tindakan menggunakan LTA terdapat 12 dalam kategori Condition Directed (CD), 4 kategori Time Directed (TD), dan 1 kategori Failure Finding (FF). Kata kunci— Keandalan, FMEA, RPN, LTA
I. PENDAHULUAN Pada zaman sekarang persaingan di dunia industri semakain ketat, perusahaan dituntut untuk lebih efektif dan efisien dalam peningkatakan ketersedian peralatan sehingga proses produksi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Peralatan yang mendukung proses produksi perlu upaya perencanaan manajemen perawatan yang efektif, dikarenakan mesin dan peralatan sangat rentan terhadap kerusakan yang dapat menimbulkan terhambatnya proses produksi dan keselamatan pekerja. Perawatan (maintenance), menurut (Corder, 1992), maintenance adalah kegiatan rutin, pekerjaan berulang yang dilakukan untuk menjaga kondisi fasilitas produksi agar dapat dipergunakan sesuai dengan fungsi dan kapasitas sebenarnya secara efesien ini berbeda dengan perbaikan. Pemeliharaan atau maintenance juga didefinisikan untuk menjaga suatu barang dalam, atau memperbaikinya sampai suatu kondisi yang bisa diterima. Untuk perawatan ini perlu adanya penentuan jadwal perawatan mesin dan juga kemampuan pekerja, dikarenakan kerusakan mesin terjadi bukan hanya dari faktor penjadwalannya saja tetapi dapat terjadi karena faktor manusia. Pekerja diwajibkan memiliki kemampuan yang baik untuk meningkatkan kinerja dalam proses SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-222
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ
maintenance, dengan begitu dapat meminimalisir terjadinya kerusakan dan mengurangi biaya untuk perawatan. PT. XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi tekstil. Saat ini permintaan tekstil terus meningkat dikarenakan tekstil sudah menjadi kebutuhan manusia yang sangat penting seperti pakaian, celana, dan hiasan rumah. Permintaan yang semakin meningkat mewajibkan perusahaan untuk lebih memperhatikan nilai keandalan mesin. Pada tahun 2015 terdapat beberapa kerusakan yang menyebabkan terhambatnya proses produksi diantara kelima mesin yang beroperasi terdapat satu mesin yag mengalami tingkat kerusakan tertingi yaitu mesin carding. berdasarkan rata-rata breakdown menunjukan bahwa mesin carding mempunyai waktu rata – rata breakdown tertinggi selama 1 tahun mencapai waktu rata – rata 13,25 jam.
II. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, objek yang diteliti adalah mesin Carding pada divisi Maintenance yaitu aktifitas yang melakukan pemeliharaan mesin. Pengambilan data dengan wawancara dan pengukuran langsung. Wawancara langsung dengan kepala bagian Divisi Maintenance. data yang dikumpulkan berkaitan dengan data mesin carding yaitu data komponen kritis yang paling sering mengalami kegagalan beserta penyebabnya, kerusakan mesindata, perawatan preventif mesin carding, perawatan korektif mesin carding selama periode Januari sampai Desember tahun 2016. Data- data tersebut kemudian dianalisis dengan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), dan Logic Tree Analysis (LTA). Dan untuk penentuan distribusi berdasarkan hasil perhitungan data selisih waktu antar kerusakan, kemudian data tersebut akan diolah dengan menggunakan software Minitab 14 untuk mengetahui bentuk distribusi kerusakan pada mesin Carding. A. Metode FailureMode Effect and Analysis (FMEA) Identifikasi kegagalan potensial dilakukan dengan cara pemberian nilai atau skor masing – masing moda kegagalan berdasarkan atas tingkat kejadian (occurrence), tingkat keparahan (severity), dan tingkat deteksi (detection) (Stamatis, 1995). Tahapan FailureMode Effect and Analysis (FMEA) yaitu sebagai berikut: • Menentukan komponen dari sistem atau alat yang akan dianalisis. • Mengidentifikasi potensial failure atau mode kegagalan dari proses yang diamati, mengidentifikasikan akibat (potensial effect) yang ditimbulkan potensial failure mode, mengidentifikasikan penyebab (potensial cause) dan failure mode yang terjadi pada proses yang berlangsung. Menetapkan nilai – nilai sebagai berikut : Keparahan efek (Severity) S menunjukan tentang seberapa serius efek yang diakibatkan, kejadian penyebab (Occurrence) O adalah untuk mengetahui penyebab terjadi dan akibatnya dalam mode kegagalan, deteksi penyebab (Detection) D adalah menunjakan tentang kegagalan atau penyebab dapat dideteksi sebelum mencapai pelanggan. • Menentukan Risk Priority Number (RPN) Angka prioritas RPN merupakan hasil kali dari rating keparahan, kejadian dan deteksi. Angka ini hanyalah menunjukan ranking atau urutan defisiensi desain sistem. RPN = S x O x D.............................................................................................................(1) B. Metode Logic Tree Analysis (LTA) Logic Tree Analysis (LTA) bertujuan untuk memberikan prioritas pada setiap mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadap fungsi dan kegagalan fungsi. Prioritas suatu mode kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA ini.. Analisis kekritisan menempatkan setiap mode kerusakan ke dalam satu dari empat kategori (Pranoto, J. dkk, 2013). Empat hal yang penting dalam analisis kekritisan yaitu sebagai berikut; Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi gangguan dalam sistem, Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan, Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan mesin berhenti, Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan. Peengkatagorian setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terbagi dalam 4 kategori SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-223
Asih, Yusuf, Fauzan
yaitu: kategori A (Safety Problem), kategori B (Outage Problem), kategori C (Economic Problem) dan kategori D (Hidden Failur). C. Keandalan (Reliability). Keandalan adalah probabilitas suatu komponen atau sistem bekerja sesuai dengan fungsinya ketika dioperasikan selama periode waktu tertentu (Ebeling, C.E. 1997). Mean Time Between Failure (MTBF) adalah rata – rata interval waktu kerusakan yang terjadi saat mesin selesai diperbaiki sampai mesin tersebut mengalami kerusakaan kembali (Kostas, 1981 dalam Revitasari, dkk). (2) Mean Time To Repair (MTTR) merupakan waktu rata – rata dari interval waktu untuk melakukan perbaikan yang dibutuhkan oleh suatu komponen atau sistem (Kostas, 1981. Dalam Revitasari, dkk). (3) Distribusi yang biasa digunakan untuk menentukan pola data kerusakan adalah exponential, weibull, lognormal, dan normal adalah sebagai berikut (Soesetyo, 2014) Distribusi Weibull 1) Fungsi keandalan R(t) ( )
(4)
2) Fungsi laju kerusakan
t
1
r(t)
(5)
3) Mean Time To Failure (MTTF) (
)
(6)
= Fungsi Gamma, Γ (n) = (n-1), dapat diperoleh melalui fungsi gamma Keterangan : β = parameter bentuk θ = parameter skala t = waktu e = 2,7183
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penentuan pemilihan mesin yang sering mengalami kerusakan dari lima mesin ada satu mesin yang paling tinggi mengalami kerusakan yaitu mesin Carding. Untuk menentukan jenis kerusakan pada mesin Carding dengan menggunakan Failure Mode And Effect Analysis dan RPN. Dari hasi menunjukan terdapat 3 komponen yang mengalami kerusakan tertinggi. untuk menentukan nilai RPN menggunakan persamaan no 1. Metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) berfungsi untuk mengidentifikasi penyebab dan efek yang ditimbulkan dengan melakukan perhitungan Risk Priority Number (RPN). Untuk penentuan RPN perlu ditentukan nilai kejadian (occurance), keparahan (severity) dan deteksi (detection). Penentuan nilai rating kejadian (occurance), keparahan (severity), dan deteksi (detection) didiskusikan dengan pihak yang terkait. Nilai RPN menunjukan tingkat keseriusan dari potensi kegagalan (potential failure) SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-224
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ
yang terjadi. Hasil pengolahan dengan metode FMEA Dari 17 komponen yang di analisis menggunakan FMEA terdapat 3 komponen yang memiliki nilai RPN tinggi yaitu Cylinder, Top Plate, dan Pulley Convayer. Hasil penentuan RPN dapat dilihat pada table 1. Adapun tindakan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan bisa dilihat sebagai berikut: A. Cylinder perbaikan yang dapat diberikan ialah penempatan dust collector bisa digunakan dalam upaya mencegah flying waste menumpuk pada bagian Cylinder, dimana prinsip kerja dari dust collector yaitu menghisap kotoran (flying waste). Apabila hal ini dilakukan diharapkan nantinya dapat mengurangi speed losses yang terjadi pada mesin carding B. Top Plate Pemberian pelatihan cara setting mesin carding pada semua operator menjadi cara yang efektif untuk mencegah terjadinya mode kegagalan seperti ini. Oleh karena itu diperlukan kesesuaian pengaturan antara tiap-tiap operator, apabila rekomendasi ini dilakukan diharapkan nantinya dapat mengurangi defect losses yang terjadi pada mesin carding. C. Pulley Convayer Moda Kegagalan
Tabel 1. Kumulatif Persentasi RPN RPN Persen (%)
Cylinder macet Coiler macet Roll Doffer macet Puley Convayer macet Top Plate macet Timing belt putus Belt Lickerin putus Chain Wheel rusak V Belt Motor kendur Chain Feed Roll putus Belt Cnnvayer Rusak Rubber Coupling Rusak Calender rusak Web Belt Putus Fibre Gear rontok Belt Top Plate putus Gear Feed Roll lepas
320 150 150 360 392 60 120 100 54 90 90 54 60 60 60 60 60
14.2857143 6.69642857 6.69642857 16.0714286 17.5 2.67857143 5.35714286 4.46428571 2.41071429 4.01785714 4.01785714 2.41071429 2.67857143 2.67857143 2.67857143 2.67857143 2.67857143
Jumlah
2240
100
Kumulatif %) 14.2857143 20.98214287 27.67857144 43.75000001 61.25000001 63.92857144 69.2857143 73.75000001 76.1607143 80.17857144 84.19642859 86.60714287 89.2857143 91.96428573 94.64285716 97.32142859 100
Setelah menentukan kerusakan komponen paling tinggi langkah selanjutnya menentukan tindakan yang tepat untuk moda kerusakan dengan metode Logic Tree Analysis (LTA). Metode Logic Tree Analysis digunakan untuk menentukan tindakan yang tepat untuk mode kerusakan tertentu.berdasarkan hasil penentuan LTA diperoleh kategori kegagalan masing-masing komponen mesin (table 2) adalah: • Kategori B (Outage Problem) yaitu komponen yang dapat mengakibatkan gangguan kegagalan pada selruh sebagian system. Komponen yang termasuk dalam kategori ini adalah Cylinder, Coiler, Roll Doffer, Pulley Conveyer, Timming belt, Belt Lickerin, Chain Weel, Chain Feed Roll, Belt Conveyer,Rabber Coupling, Web Belt, Fibre Gear, Belt Top Plate,Gera Feed Roll • Kategori C (Economic Problem) yaitu komponen yang dapat tidak menyebabkan kegagalan pada seluruh atau sebagian system tetapi menyebabkan kerugian pada perusahaan karena fungsi komponen. Adapun komponenyang termasuk dalam kategori ini adalah Top Plate, V Belt Motor, Callender Roll • Kategori A dan D tidak ada Jika tugas pencegahan secara teknis tidak menguntungkan untuk dilakukan, tindakan standar yang harus dilakukan bergantung pada konsekuensi kegagalan yang terjadi. Beberapa kategori tindakan pencegahan tersebut, antara lain:
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-225
Asih, Yusuf, Fauzan
1) Condition Directed (C.D) adalah tindakan yang diambil yang bertujuan untuk mendeteksi. Apabila ada pendeteksian ditemukan gejala-gejala kerusakan peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau penggantian komponen. Pada kategori ini ada 12 komponen yaitu Timming belt, Belt Lickerin, Chain Weel, Chain Feed Roll, Belt Conveyer,Rabber Coupling,Callender Roll, Web Belt, Fibre Gear, Belt Top Plate,Gear Feed Roll. 2) Time Directed (T.D) adalah tindakan yang diambil yang lebih berfokus pada aktivitas pembersihan yang dilakukan secara berkala. Kategori ini ada 4 komponen yaitu Cylinder, Coiler, Roll Doffer, Pulley Conveyer. 3) Finding Failure (F.F) adalah tindakan yang diambil dengan tujuan untuk menemukan kerusakan peralatan yang tersembunyi dengan pemeriksaan berkala. Kategori komponen Ini ada 1 komponen adalah Top Plate. Tabel 2. Penyusunan LTA No
Komponen
Failure mode
Critical analysis
Failure causes
1
Cylinder
Cylinder macet
2
Coiler
Coiler macet
3
Roll Doffer
Roll doffer macet
4
Puley Convayer
Puley convayer macet
5
Top Plate
Top plate macet
6
Timming Belt
7
Belt Lickerin
8
Chain wheel
9
V Belt Motor
10
Chain Feed Roll
11
Belt Convayer
12
Rubber Coupling
13
Callender
Timing belt putus Belt lickerin putus Chain wheel rusak V Belt Motor lepas Chain feed roll putus Belt Convayer Rusak Rubber Coupling Rusak Calender
Evident
Safety
Outage
Category
Y
N
N
B
Y
N
N
B
Y
N
N
B
Y
N
N
B
N
N
N
C
Y
N
Y
B
Belt lickerin kotor dan kurangnya pemeriksaan
Y
N
Y
B
Chain wheel sudah aus dan kotor
Y
N
Y
B
Kesalahan pemasangan v belt
N
N
Y
C
Chain feedroll sudah aus dan kotor
N
N
N
B
Belt convayer kotor dan kurangnya pemeriksaan
Y
N
Y
B
Rubber coupling sudah aus dan kotor
Y
N
N
B
Gear lepas
Y
N
Y
C
Cylinder yang penuh dengan waste, menumpuknya waste pada permukaan cylinder Adanya tonjolan pada sliver yang masuk pada coiler, kondisi sliver yang tidak rata menyebabkan sliver menekan coiler. roller doffer yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada roller doffer menjadi berat Pulley yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada puley menjadi berat Kesalahan pemasangan top plate sehingga top plate tidak bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Timming belt kotor dan kurangnya pemeriksaan
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-226
Analisis Kerusakan dan Peningkatan Keandalan Mesin Carding Menggunakan Logic Tree Analysis (LTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di PT. XYZ
No
Komponen Roll
14
Web Belt
15
Fibre Gear
16 17
Belt Top Plate Gear Feed Roll
Failure mode rusak Web belt Putus Fibre gear rontok Belt top plate putus Gera feed roll lepas
Critical analysis
Failure causes
Web belt kotor dan kurangnya pemeriksaan Fibre gear sudah aus dan kotor Belt top plate kotor dan kurangnya pemeriksaan kesalahan pada saat pemasangan Gear feed roll
Evident
Safety
Outage
Category
Y
N
Y
B
Y
N
Y
B
Y
N
Y
B
N
N
Y
C
Pada tahap penentuan distribusi data selisih waktu antar kerusakan, dengan menggunakan alat bantu program software Minitab 14 menunjukan bahwa distribusi kerusakan mesin carding berdistribusi Weibull. Dan Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan distribusi weibull mesin carding menggunakan persamaan no 5 memiliki laju kerusakan (λ) sebesar 0,0240 kerusakan / jam, artinya kemungkinan kerusakan pada mesin carding selama 1 (satu) jam yaitu 0,0240 dari total waktu mesin beroperasi. Nilai keandalan (relability) suatu sistem ditentukan oleh parameter Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Failure (MTTR). Nilai MTBF menggunakan persamaan no 6 pada mesin carding yaitu sebesar 28,4207/kerusakan yang artinya waktu rata – rata terjadi kerusakan sekitar 28 jam 25 menit. Nilai MTTR menggunakan persamaan no 3 pada mesin carding yaitu sebesar 26,3425 yang artiinya waktu rata – rata perbaikan 26 jam 21 menit. Nilai Mean Preventive Time (MPT) pada mesin carding adalah sebesar 17,159 yang artinya departemen maintenance PT. XYZ dalam melakukan pemeliharaan preventif adalah 17 jam 10 menit. Nilai keandalaan (Reliability) menggunakan persamaan no 4 pada mesin carding memiliki tingkat keandalaan sebesar 41%. Untuk memberikan prioritas pada setiap mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadap fungsi dan kegagalan fungsi dengan Metode LTA. Pada LTA untuk menentukan prioritas suatu mode kerusakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA.
IV. PENUTUP Berdasarkan pengolahan data, analisis data, dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penyebab kerusakan mesin carding yaitu, Cylinder yang penuh dengan waste, menumpuknya waste pada permukaan Cylinder, Adanya tonjolan pada sliver yang masuk pada Coiler, kondisi sliver yang tidak rata menyebabkan sliver menekan Coiler, Doffer yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada Doffer menjadi berat, Pulley yang penuh dengan waste yang menyebabkan putaran pada puley menjadi berat, Kesalahan pemasangan Top Plate sehingga Top Plate tidak bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan, Timming Belt kotor dan kurangnya pemeriksaan, Belt LIckerin kotor dan kurangnya pemeriksaan, Chain Wheel sudah aus dan kotor, Kesalahan pemasangan v belt, Chain feedroll sudah aus dan kotor, Belt Convayer kotor dan kurangnya pemeriksaan, Rubber Coupling sudah aus dan kotor, Gear lepas, Web Belt kotor dan kurangnya pemeriksaan, Fibre Gear sudah aus dan kotor, Belt Top Plate kotor dan kurangnya pemeriksaan, dan kesalahan pada saat pemasangan Gear Feed Roll. 2) Dari 17 komponen kerusakan terdapat 3 komponen keritis yang memiliki nilai RPN tertinggi yaitu pulley conveyer dengan nilai RPN sebesar 360, Top Plate dengan nilai RPN sebesar 392, dan Cylinder dengan nilai RPN sebesar 320. 3) Usulan pemelihan tindakan berdasarkan metode Logic Tree Analysis (LTA) supaya system dapat berfungsi sesuia dengan yang diharapkan dari hasil metode LTA terdapat 12 komponen dalam kategori Condition Directed (CD), 4 komponen dalam kategori Time Directed (TD), dan 1 komponen dalam kategori Failure Finding (FF)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-227
Asih, Yusuf, Fauzan
DAFTAR PUSTAKA Corder, A., 1992, Teknik Manajemen Pemeliharaan. Jakarta: Erlangga Ebeling, C.E., 1997, An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering, The McGRaw Hill Companies Inc, New York. Pranoto, J., dkk., 2013, ―Implementasi Studi Preventive Maintenance Fasilitas Produksi Dengan Metode Reliability Centered Maintenance‖, e-Jurnal Teknik Industri FT USU Vol 1,No.3, pp.18-24 Revitasari, C., & Novareza, O., dkk, ―Penentuan Jadwal Preventive Maintenance Mesin – Mesin di Stasiun Giling (Studi Kasus PG Lestari Kertosono)‖, Jurnal Rekayasa dan Manajemen Sistem Industri, Vol. 3, No. 3), Jurusan Teknik Industri, Universitas Brawijaya. Soesetyo, I., & Bendatu, L.Y., 2014, ―Penjadwalan Predictive Maintenance dan Biaya Perawatan Mesin Pellet di PT. Charoen Pokphand Indonesia - Sepanjang‖, Jurnal Tirta, Vol. 2, No. 2, pp. 147 – 154. Stamatis, D.H., 1995, Failure Mode and Effect Analysis FMEA from Theory to Execution. Wisconsin: ASQC Quality Press.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-228
Petunjuk Sitasi: Sembiring, N., & Nst, A. H. (2017). Perancangan Penjadwalan Perawatan Mesin dengan Metode Map Value Stream Mapping (MVSM) di PT XXX. Prosiding SNTI dan SATELIt 2017 (pp. C229-235). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Penjadwalan Perawatan Mesin dengan Metode Map Value Stream Mapping (MVSM) di PT XXX (1),(2),(3)
Nurhayati Sembiring(1), Ahmad Husaini Nst(2) Department of Industrial Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU, Medan 20155 (1) [email protected] , (2)[email protected] ABSTRAK PT. XXX merupakan sebuah industri yang bergerak dalam produksi crude palm oil (CPO) dan kernel. Salah satu faktor yang mendukung kelancaran produksi dalam suatu perusahaan ialah kondisi mesin-mesin yang digunakan haruslah memiliki kondisi yang optimal dengan keandalan yang baik. Untuk mencapai hal tersebut maka diperlukan adanya sistem perawatan yang baik. PT. XXX menerapkan perawatan corrective maintenance tanpa memperhatikan keandalan dari komponen-komponen mesin produksi, akibatnya sering terjadi kerusakan mesin secara tiba-tiba. Pada penelitian ini, dianalisa komponen kritis pada mesin Screw Press yaitu komponen Bearing, Left and Right Handed Worm, Right Handed Shaft, Left Handed Shaft, Press Cilynder. Dilakukn penentuan fungsi kepadatan probabilitas, keandalan dan MTTF. Sehingga diperoleh selang waktu penggantian untuk masing-masing komponen kritis tersebut Selanjutnya diperlukan program berupa suatu penggambaran sistem perawatan aktual dengan menggunakan pendekatan Maintenance Value Stream Mapping (MVSM). MVSM merupakan metode yang digunakan untuk menggambarkan alur kegiatan perawatan yang dikembangkan dari VSM untuk mengidentifikasi pemborosan. Setelah menghilangkan kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah pada Current State Map maka langkah akhir MVSM adalah membuat future state map berupa perbaikan alur kegiatan perawatan yang memiliki persentase maintenance efficiency lebih optimal yaitu untuk komponen Bearing adalah 54,54%, komponen Left and RightHanded Worm adalah 61,90%, komponen Right Handed Shaft adalah 45,45%, komponen Left Handed Shaft adalah 66,66% dan komponen Press Cylinder 62,5%. Kata kunci—Corrective maintenance, preventive maintenance, MVSM.
I. PENDAHULUAN Usia penggunaan mesin dan peralatan dapat diperpanjang dengan melakukan perbaikan berkala melalui aktivitas pemeliharaan. Kombinasi dari berbagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga kondisi suatu barang baik untuk menjaga kondisi seperti semula atau memperbaikinya sampai suatu kondisi yang bisa diterima disebut dengan pemeliharaan atau maintenance.
Kelancaran produksi, seperti menekan keterlambatan penyelesaian pekerjaan, mencegah penurunan volume produksi serta meningkatkan efisiensi produksi merupakan salah satu peran dari maintenance (Abdur, 2015). Adalah sebuah keharusan bagi perusahaan untuk lebih meningkatkan efisiensi kegiatan operasinya (Corder, 1992). Produk yang berkualitas baik dan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan indikator kesuksesan perusahaan (Eko, 2012). Keandalan dari mesin-mesin dan pencegahan mesin dari kerusakan akan mendukung kelancaran produksi (Erlin, 2011). Melalui perencanaan, pemeliharaan dan perawatan yang baik, maka kerusakan mesin dapat diminimalisir. Mesin akan selalu dalam kondisi siap pakai saat digunakan (Yanuar, 2011). Bila pemeliharaan mesin dilakukan secara SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-229
teratur, maka makin mudah memprediksi kemungkinan kerusakan di masa yang akan datang. Hal ini dapat mengurangi kerugian akibat tidak berfungsinya fasilitas produksi. (Ryan dkk, 2015). PT. XXX merupakan pabrik pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti (Palm Kernel Oil) di Provinsi Sumatera Utara. Mesinmesin yang digunakan pada pabrik ini yaitu mesin Screw Press, Thresher, Degister, Oil Tank, Vibrating Separator, Sterilizer, dan Sludge Separator. PT. XXX lebih dominan menerapkan sistem perawatan mesin dengan melakukan correcctive maintenance untuk mendukung kelancaran proses produksinya. Pemeliharaan mesin dilakukan setelah mesin mengalami kerusakan. Mesin Screw Press adalah mesin yang mengalami tingkat kerusakan tertinggi. Mesin Screw Press yang berjumlah 3unit ini berfungsi untuk pengepresan daging sawit yang akan menghasilkan minyak sawit. Data historis kerusakan komponen mesin Screw Press selama Juli 2016 –Juni 2017 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Data Frekuensi Kerusakan Komponen Mesin Screw Press
Ketika terjadi kerusakan maka akan dilakukan penggantian komponen. Penggantian komponen mesin yang dilakukan pada saat proses produksi akan mengakibatkan hilangnya waktu produksi dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan produk jadi. Oleh karena itu perlu diterapkan perencanaan perawatan yang terjadwal yakni preventive maintenance dalam melakukan penggantian komponen
II. METODE PENELITIAN Metode diawali dengan pengumpulan data, yaitu downtime mesin, frekuensi kerusakan, kerusakan interval. Pengujian dilakukan berkaitan dengan parameter distribusi, MTTF, dan perhitungan efisiensi perawatan pada MVSM. Diagram alir dapat dilihat pada Gambar 2.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-230
Mulai
Identifikasi Masalah 1. Breakdown mesin di perusahaan 2. Belum adanya standar prosedur perawatan mesin yang jelas
Perumusan Masalah 1. Tingginya frekuensi breakdown mesin pada sistem perawatan aktual, sehingga proses produksi belum berjalan dengan optimal 2. Sistem perawatan pada perusahaan saaat ini belum memperhatikan konsep Reliability Engineering dan belum adanya prosedur perawatan standar (SOP) yang jelas 3. Besarnya biaya perawatan mesin
Penetapan Tujuan 1. Mengenali jenis dan komponen mesin kritis 2. Menentukan jadwal pergantian komponen dengan metode Reliability Engineering berdasarkan kriteria MTTF 3. Meningkatkan Maintenance Efficiency dengan mengurangi kegiatan non value added 4. Mendapatkan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan
Pengumpulan Data Primer 1. Proses Produksi 2. Jenis dan cara kerja mesin 3. Informasi biaya perawatan mesin saat ini
Pengumpulan Data Sekunder 1. Sejarah Perusahaan 2. Data kerusakan komponen mesin 3. Waktu penggantian komponen 4. Cara perawatan dan perbaikan mesin 5. Komponen mesin yang diamati 6. Biaya komponen mesin
Pengolahan Data 1. Kebijakan Perawatan Mesin Sekarang 2. Pengujian Pola Distribusi dan MTTF 3. Perhitungan biaya penyediaan penggantian komponen 4. Pembentukan Current State Map dan Future State Map
Analisis Pemecahan Masalah 1. Pengembangan Perawatan Usulan 2. Perhitungan Biaya Penyediaan Penggantian komponen mesin 3. Pembentukan Future State Map 4. Rekomendasi Jadwal Penggantian Komponen 5. Evaluasi Sistem Perawatan Sekarang dan Usulan a. Penurunan Downtime b. Peningkatan Reliability c. Peningkatan Availibity d. Peningkatan Maintenance Efficiency
Reliability Engineering
Maintenance Value Stream Mapping
Kesimpulan dan Saran
SELESAI
Gambar 2 Metode Penelitian
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Distribusi Pengujian Langkah pertama yang dilakukan adalah menguji distribusi masing-masing komponen mesin kritis. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi Pola Distribusi Kerusakan Kritis Komponen Mesin Screw Press No. Komponen Distribusi 1 Bearing Lognormal 2 Left and Right Handed Worm Normal 3 Right Handed Shaft Lognormal 4 Left Handed Shaft Lognormal 5 Press Cylynder Weibull
B. Perhitungan MTTF Mean Time To Failure (MTTF) digunakan sebagai parameter untuk menentukan penggantian komponen mesin. Dari hasil rekapitulasi perhitungan MTTF, maka diperoleh interval untuk masingmasing komponen pada Tabel 3. Tabel 3 Rekapitulasi Nilai MTTF Komponen Kritis Mesin Screw Press No. Komponen MTTF 1 Bearing 56 2 Left and Right Handed Worm 56 3 Right Handed Shaft 55 4 Left Handed Shaft 64 5 Press Cylynder 80
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-231
C. Perhitungan Reliabilitas pada Jadwal Interval Penggantian Komponen Perhitungan ini digunakan untuk mengetahui nilai keandalan komponen mesin saat jadwal penggantian komponen yang diusulkan dilakukan (dapat dilihat pada Tabel 4).
No. 1 2 3 4 5
Tabel 4 Perhitungan Reliabilitas Komponen Reabilitas Bearing Left and Right Handed Worm Right Handed Shaft Left Handed Shaft Press Cylynder
0,4625 0,4993 0,4782 0,2622 0,3306
D. Pembentukan Current State Map Pembentukan current state map dilakukan dengan menerapkan langkah – langkah berdasarkan konsep value stream mapping, Aktivitas perawatan yang diterapkan pada current state map merupakan urutan aktivitas aktual yang dilakukan jika terjadi kerusakan. Dengan adanya pemetaan ini, maka dapat diidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan bertambahnya nilai non value added time, seperti: 1. Delay akibat operator yang menggunakan mesin/peralatan lambat dalam merespon kerusakan. Delay ini dihitung sejak terjadinya equipment breakdown sampai operator perawatan mendapatkan informasi bahwa terjadi kerusakan. Hal ini terjadi karena operator yang menggunakan mesin/peralatan belum memahami fungsional mesin dan apa yang harus dilakukan jika terjadi kerusakan pada mesin sehingga terjadi delay yang cukup lama. 2. Delay akibat tidak tersedianya komponen. Ketersediaan sumber daya seperti komponen mesin dan peralatan yang digunakan untuk memperbaiki mesin yang rusak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai waktu downtime dalam aktivitas perawatan. Jika komponen dan sumber daya lainnya tidak tersedia maka proses perbaikan tidak dapat segera dilakukan yang mengakibatkan mesin/peralatan tidak dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. 3. Delay akibat tidak tersedianya operator perawatan (tidak adanya teknisi yang standby di tempat). Teknisi perawatan seharusnya standby di lantai produksi, sehingga pada saat dibutuhkan dapat segera melakukan tugasnya. Namun kondisi aktual saat ini masih belum optimal karena masih sering terjadi delay akibat kerusakan yang tidak dapat diprediksi. 4. Prosedur perawatan dan perbaikan yang belum optimal. E. Pembentukan Future State map Setelah membuat current state map, maka langkah terakhir dalam MVSM adalah membuat future state map. Data mengenai waktu rata-rata seperti MMTO (Mean Time To Organize), MTTR (Mean Time To Repair) dan MTTY (Mean Time To Yield) didapat dari hasil wawancara dengan bagian maintenance.
Aktivitas yang memberikan nilai tambah adalah aktivitas perbaikan/perawatan mesin, sedangkan aktivitas lainnya tidak memberikan nilai tambah. Aktivitas nonvalue added pada perbaikan/perawatan komponen Bearing dapat dilihat padaTabel 5. No 1
2 3 4
Tabel 5 Aktivitas Non Value Addeed Komponen Bearing SKF Aktifitas Waktu (Jam) Keterangan Equipment Breakdown Terjadinya kerusakan atau perlunya dilakukan perawatan pada satu mesin/peralatan yang dapat mempengaruhi proses produksi. Komunikasi Masalah 0,5 Oprator pengguna mesin berkoordinasi masalah mesin ke operator perawatan Identifiaksi Masalah 2 Identifikasi hal – hal yang menyebabkan terhentinya mesin/peralatan yang digunakan Identifikasi sumber 0,5 Identifikasi sumber daya yang dibutuhkan daya dalam melakukan proses perawtan atau perbaikan seperti: alat-alat (obeng, tang, SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-232
No
5 6
7
Aktifitas
Waktu (Jam)
Mengalokasikan sumber daya Mempersiapkan pekerjaan yang akan dilakukan Menjalankan mesin/peralatan setelah diperbaiki
0,5 0,5
1
Keterangan palu, dll), spare parts, operator dan yang lainnya Mempersiapkan sumber daya yang telah diidentifikasi Menyusun rencana kerja
Waktu yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa mesin/peralatan dapat digunakan kembali setelah kegiatan setelah kegiatan perawatan mesin/peralatan dilakukan
Berikut ini adalah contoh untuk menghitung maintenance efficiency: Diketahui total waktu non value added sebesar 5 jam dan waktu value added sebesar 6 jam. Maka nilai maintenance efficiency unutk komponen Bearing adalah: % Maintenance Efficiency =
Value Added Time MM T (Mean Maintenance ead Time)
x 100
6 jam
= 11 jam 54,54 F. Perbandingan Current State Map dengan Future State Map Dari hasil persentase maintenance efficiency dapat dibuat tabel 6. Tabel 6 Perbandingan Current State Map dengan Future State Map Bearing Curret Future State Map State Map No Kategori (Jam) (Jam) 1 MTTO 10 4 2 MTTR 6 6 3 MTTY 1 1 4 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 17 11 5 Non Value Adde Time 11 5 (MTTO+MTTY) 6 Value Added Time (MTTR) 6 6 7 % Maintenance Efficiency (Vlue 35,29 54,54 Time/MMLT) Left and Right Handed Worm 1 MTTO 9,5 3 2 MTTR 6,5 6,5 3 MTTY 1 1 4 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 17 10,5 5 Non Value Adde Time 10,5 4 (MTTO+MTTY) 6 Value Added Time (MTTR) 6,5 6,5 7 % Maintenance Efficiency (Vlue 38,23 61,90 Time/MMLT) Right Handed Shaft 1 MTTO 10 5 2 MTTR 5 5 3 MTTY 1 1 4 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 16 11 5 Non Value Adde Time 11 6 (MTTO+MTTY) 6 Value Added Time (MTTR) 5 5 7 % Maintenance Efficiency (Vlue 31,25 45,45
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-233
(1)
Time/MMLT)
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7
Left Handed Shaft MTTO 8 MTTR 6 MTTY 1 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 15 Non Value Adde Time 9 (MTTO+MTTY) Value Added Time (MTTR) 6 % Maintenance Efficiency (Vlue 40 Time/MMLT) Press Cylinder MTTO 7 MTTR 5 MTTY 1 MMLT(MTTO+MTTR+MTTY) 13 Non Value Adde Time 8 (MTTO+MTTY) Value Added Time (MTTR) 5 % Maintenance Efficiency (Vlue 38,46 Time/MMLT)
2 6 1 9 3 6 66,66
2 5 1 3 5 4 62,5
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data historis periode Juli 2016 – Juni 2017 komponen mesin Screw Press yang memiliki frekuensi kerusakan terbesar merupakan komponen kritis mesin yang selanjutnya menjadi prioritas pembahasan. Berdasarkan diagram pareto dengan prinsip 80%-20% maka didapatkan komponen yang menjadi prioritas pembahasan dengan frekuensi kerusakan terbesar adalah Bearing, Left and Right Handed Worm, Right Handed Shaft, Left Handed Shaft, dan Press Cylinder. Jadwal perawatan mesin dengan penggantian komponen kritis untuk komponen Bearing adalah 56 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,4625, komponen Left and Right Handed Worm adalah 56 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,4993, komponen Right Handed Shaft adalah 55 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,4782, komponen Left Handed Shaft adalah 64 hari dengan nilai keandalan sebesar 0,2622 dan komponen Press Clynder adalah 80 hari nilai keandalan sebesar 0,3323. Untuk komponen yang waktu penggantiannya berdekatan dapat disatukan waktu penggantiannya dengan mempertimbangkan keputusan pihak manajemen perusahaan. Jadwal perawatan mesin dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Tabel 7 dapat dilihat perbandingan Rekapitulasi Persentase maintenance efficiency. Tabel 7 Rekapitulasi Nilai Current State Map dan Future State Map Current Future No Komponen State Map State Map 1 Left and Right 35,29% 54,54% Handed Worm 2 Bearing SKF 38,23% 61,90% 3 Right Handed Sahft 31,25% 45,45% 4 Left Handed Shaft 40% 66,66% 5 Press Cylynder 38,46% 62,5%
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-234
Gambar 3 Jadwal Pergantian Komponen Mesin Screw Press Agustus 2017 – Juli 2018
V. PENUTUP Hasil pengembangan Prosedur Operasi Standard (SOP) dengan Maintenance Value Stream Mapping (MVSM) menghasilkan persentase efisiensi pemeliharaan untuk setiap komponen meningkat. Peningkatan ini berasal dari hilangnya kegiatan – kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah pada alur proses perawatan komponen mesin. Persentase future state map untuk komponen Bearing adalah 54,54%, komponen Left and Right Handed Worm adalah 61,90%, komponen Right Handed Shaft adalah 45,45%, komponen Left Handed Shaft adalah 66,66%% dan komponen Press Clynder 62,5%.
DAFTAR PUSTAKA Abdur, Iskandar, 2015, Penentuan Interval Waktu Optimum Penggantian Pisau Cane Cutter Pada Mesin Cane Cutter dengan Pendekatan Reliability di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) PG. Krembong. Universitas Negeri Surabaya, 2015 Corder, Antony. 1992. Teknik ManajemenPemeliharaan. Jakarta: Erlangga Eko, Triwiyanto. Sistem Manajemen Perawatan Unit MMU Pump dan Oil Shipping Pump. (Yogyakarta: 2012) Erlin Dolphina. Penerapan Maintenance dan Reliability untuk Meningkatkan Kualitas dan Daya Saing Perusahaan. (Semarang, 2011) Yanuar, Faula, Putro. Usulan Perawatan Mesin Compressor Unit C dengan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM) di PT.XYZ. (Universitas Sultan Agung Tirtayasa, 2011). Ryan, Yanti, Fifi. Jadwal Perawatan Pencegahan Kerusakan Komponen Oil Seal Pada Mesin Ball Mill dengan Kriteria Minimisasi Total Ongkos.(Institut Teknologi Nasional. 2015)
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-235
Petunjuk Sitasi: Himawan, R., Choiri, M., & Saputra, B. (2017). Analisis Efektivitas Mesin Stripping Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C236-241). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisis Efektivitas Mesin Stripping Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis Rakhmat Himawan(1), Mochamad Choiri(2), Baramuli Saputra(3) Jurusan Teknik Industri, Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145, Indonesia [email protected](1), [email protected](2), [email protected](3) ABSTRAK PT. XYZ memproduksi tablet kemasan strip dimana dalam proses produksinya sering mengalami kerusakan mesin dengan downtime 48655 menit pada mesin STRIP02. Dalam mengurangi downtime, digunakan Overall Equipment Effectiveness untuk mengukur efektivitas mesin STRIP02 dan FMEA untuk mengetahui prioritas kegagalan yang berpengaruh pada efektivitas mesin. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat efektiviitas mesin STRIP02 sebesar 44,35%. Losses yang memberikan pengaruh signifikan antara lain reduced speed losses, setup and adjustment losses, idling and minor stoppage losses, breakdown losses, defect in process losses, dan reduced yield losses. Berdasarkan analisis FMEA, rekomendasi perbaikannya adalah pemberian termometer infrared dan adjustment suhu pada kegagalan sealing roll overheat, mengubah stasiun kerja operator sortir menjadi seri pada kegagalan stopper macet,briefing dan peringatan pada kegagalan sealing roll tidak rapat, mengurangi waktu setup dengan SMED serta penerapan 5S untuk waktu setup lama. Kata kunci— Cause and Effect Diagram, Failure Mode and Effect Analysis, Overall Equipment Effectiveness, Six Big Losses, 5S
I. PENDAHULUAN Di dalam dunia industri saat ini, dengan kondisi meningkatnya kebutuhan akan suatu barang, tentunya akan menciptakan persaingan perusahaan yang bergerak di industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Mesin merupakan faktor produksi yang sangat berpengaruh dalam proses produksi. Seiring dengan penggunaannya, kinerja mesin akan mengalami depresiasi dan dapat mempengaruhi tingkat efektivitas dari mesin. Sering ditemukan bahwa tindakan perbaikan mesin yang mengalami depresiasi kinerja tidak memberikan hasil yang optimal, sehingga mesin yang telah diperbaiki dapat rusak kembali. Hal tersebut dapat mengganggu produktivitas perusahaan dan dapat menyebabkan pemborosan yang berdampak pada kerugian yang diterima perusahaan. PT. XYZ merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang industri farmasi. Produk utamanya adalah tablet dengan kemasan strip. Proses produksi tablet kemasan strip seringkali menimbulkan suatu masalah pada mesin produksinya, terutama pada mesin STRIP02 pada proses stripping yang ditandai adanya downtime losses sebesar 15,55%, speed losses sebesar 15,38%, dan quality losses sebesar 5,06%. Tindakan perbaikan saat ini yang telah dilakukan PT. XYZ untuk mengurangi downtime adalah dengan melakukan preventive maintenance setiap 2 bulan dan melakukan corrective maintenance pada saat mesin mengalami breakdown yang cukup lama waktunya. Namun, tindakan perbaikan mesin tersebut belum optimal dan belum dapat mengurangi downtime mesin STRIP02. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu tindakan perbaikan mesin yang tepat agar dapat mengurangi kerusakan mesin, dan meningkatkan keefektivitasan mesin STRIP02.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-236
Meningkatkan Efektivitas Mesin STRIP02 Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis
II. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu dengan menggambarkan serta menjabarkan kejadian yang terjadi selama penelitian terjadi (Suryabrata, 2014). Penelitian ini dilakukan di PT. XYZ yang berada di Malang.
Bulan
Loading Time (menit)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
24000 28800 26880 25920 28800 31200 15360 27840 21600 29760 29280 23520 24000
Tabel 1 Data Kondisi Kerja Mesin STRIP02 Downtime Non Total Processed Setup Breakdown Productive Downtime Amount time Time time (menit) (strip) (menit) (menit) (menit) 2295 605 1341 2900 446419 3215 1765 921 4980 583200 2965 1230 1327 4195 658990 3120 740 1062 3860 565409 3095 855 1461 3950 710114 3620 1005 1129 4625 711961 1670 745 1391 2415 670628 3270 735 1093 4005 649580 2720 410 850 3130 793276 5170 2205 630 7375 359676 3220 1105 869 4325 672228 2540 355 1349 2895 450057 34605 11755 13423 48655 446419
Defect Amount (strip)
Cacat Setting (strip)
2364 2331 2184 2127 2447 2011 2403 2122 2124 2373 2069 2362 2364
23445 24983 34873 27558 32800 32379 37520 27820 37523 16055 28273 17685 23445
A. Tahap Pengumpulan Data Pada tahap pengumpulan data, data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu: 1) Data Primer Data primer didapatkan dengan pengamatan langsung pada permasalahan yang ada dan diskusi atau wawancara. Diskusi dilakukan dengan bagian produksi dan bagian teknik untuk mengidentifikasi kegagalan dan penentuan ranking FMEA. 2) Data Sekunder Data sekunder merupakan data kondisi kerja mesin STRIP02 selama tahun 2016 yang ditunjukkan pada Tabel 1. B. Tahap Pengolahan Data Pada tahap pengolahan data, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Melakukan perhitungan overall equipment effectiveness (OEE) mesin STRIP02 diawali dengan menghitung availability, performance, dan quality. 2) Melakukan perhitungan enam losses utama yang mempengaruhi efektivitas mesin dengan six big losses. 3) Melakukan identifikasi kegagalan, mode kegagalan, dan efek dari kegagalan dari losses dengan menggunakan Cause and Effect Diagram. 4) Melakukan analisis FMEA berdasarkan kegagalan, mode kegagalan, dan efek dari kegagalan untuk mengetahui prioritas kegagalan yang akan diperbaiki berdasarkan nilai RPN tertinggi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dijelaskan hasil dan pembahasan pada penelitian ini sebagai berikut: A. Perhitungan Overall Equipment Effectiveness Besarnya nilai efektivitas mesin STRIP02 secara keseluruhan, dapat dihitung apabila nilai availability rate, performance rate, dan rate of quality sudah didapatkan (Kostas, 1981). Perhitungan nilai availability rate, performance rate, rate of quality,dan OEE bulan Januari dapat dihitung dengan Rumus (1), Rumus (2), Rumus (3), dan Rumus (4) (Stephens, 2004). Hasil perhitungan OEE ditunjukkan pada Tabel 2.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-237
Saputra, Himawan, dan Choiri
(1) (2) (3) (4) Tabel 2 Nilai OEE Mesin STRIP02 AR PR RQ Bulan (%) (%) (%) Januari 87,92% 40,69% 94,75% Februari 82,71% 47,08% 95,72% Maret 84,39% 55,86% 94,71% April 85,11% 49,29% 95,13% Mei 86,28% 54,95% 95,38% Juni 85,18% 51,52% 95,45% Juli 84,28% 99,63% 94,41% Agustus 85,61% 52,41% 95,72% September 85,51% 82,60% 95,27% Oktober 75,22% 30,90% 95,54% November 85,23% 51,80% 95,79% Desember 87,69% 41,96% 96,07% Rata-rata 84,59% 54,89% 95,33%
OEE (%) 33,89% 37,27% 44,65% 39,90% 45,23% 41,89% 79,27% 42,95% 67,29% 22,20% 42,29% 35,35% 44,35%
B. Perhitungan Six Big Losses Perhitungan six big losses bertujuan untuk mengetahui losses manakah yang berpengaruh terhadap rendahnya efektivitas mesin STRIP02 yang masih dibawah standar Japan Institute Plant Maintenance yaitu 85% untuk nilai OEE (Nakajima, 1988). Six big losses terdiri dari breakdown losses, setup and adjustment losses, idling and minor stoppages losses, reduced speed losses, defect in process losses, dan reduced yield losses (Nakajima, 1988). Perhitungan six big losses menggunakan Rumus (5) sampai Rumus (11) dan presentase kumulatif six big losses ditunjukkan pada Tabel 3. (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) Tabel 3. Presentase Kumulatif Six Big Losses Time Presentase Presentase Six Big Losses Losses Kumulatif (%) (menit) (%) Reduced Speed Losses 124465,05 64,11% 96,09% Setup and Adjustment 36900 19,01% 25,07% Losses Idling and Minor 13423 6,91% 31,98% Stoppages Losses SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-238
Meningkatkan Efektivitas Mesin STRIP02 Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis
Time Losses (menit) 11755
6,06%
Presentase Kumulatif (%) 6,06%
6556,12
3,64%
99,74%
517,64 194134,69
0,27% 100%
100%
Six Big Losses Breakdown Losses Defect in Process Losses Reduced Yield Losses Total
Presentase (%)
Machine
Sortir tablet kurang baik Thermocontrol pembacaan suhu aktual error Posisi thermocouple dan heater kurang tepat
Sealing roll over heat
Tablet patah tersangkut di stopper
Suhu sealing roll tidak stabil
Stopper macet Setting stopper error
Kecepatan cutter horizontal berkurang
Ring kendur
Cutter horizontal macet
Salah setting stopper
Sealing roll macet
Komponen penggerak kotor Kurang oli
Bearing rusak
Cutter vertikal tumpul
Masa pakai bearing habis
Cutter aus dan melebihi masa pakai
Sensor cutter horizontal error Kipas tidak bergerak Masa pakai sensor habis Motor kipas tersumbat Cutter vertikal miring Kipas lepas Posisi bergeser
Pemasangan tidak pas
Reduced Speed Losses
Tablet patah Sortir tablet kurang baik
Hasil strip bocor Sealing roll tidak rapat
Hasil coding tidak jelas Setting sealing roll error Stamp coding aus Melebihi masa pakai Material
Gambar 1 Cause and effect diagram untuk reduced speed losses C. Identifikasi Kegagalan Berdasarkan perhitungan six big losses, selanjutnya melakukan identifikasi kegagalan (failure), penyebab kegagalan (failure mode), dan efek dari kegagalan (failure effect) dari masingmasing losses menggunakan cause and effect diagram. Cause and effect diagram digunakan untuk mengetahui akibat dari suatu masalah untuk dicari beberapa kemungkinan penyebabnya (Ariani, 2004). Gambar 1 menunjukkan cause and effect diagram untuk reduced speed losses. D. Analisis FMEA Analisis failure mode and effect analysis (FMEA) digunakan untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode) (Cayman Business Systems, 2002). FMEA terdiri dari severity, occurance, dan detection yang selanjutnya dilakukan perhitungan risk priority number (RPN) dengan Rumus (12) (Borror, 2008) : (12) Berdasarkan penilaian tabel FMEA, didapatkan prioritas kegagalan dengan nilai RPN tertinggi dari hasil diskusi pada bagian teknik, bagian produksi, dan logbook operator. Tabel 4 SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-239
Saputra, Himawan, dan Choiri
menunjukkan prioritas kegagalan dengan nilai RPN tertinggi yang akan diberikan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan efektivitas Mesin STRIP02. Failure Sealing Roll Overheat Stopper Macet Sealing Roll Tidak Rapat Waktu Setting Foyl Lama Waktu Setting Coding Lama Waktu Setting Awal Lama
Tabel 4 Prioritas Kegagalan pada Mesin STRIP02 Failure Mode Failure Effect Cara Terdeteksi Posisi thermocouple dan Foyl strip Melihat foyl strip heater kurang tepat mengkerut yang mengkerut Tablet tidak Deteksi tablet tidak Tersangkut tablet patah turun turun Deteksi hasil strip Setting sealing roll error Strip bocor bocor Produksi Deteksi dari lamanya Menunggu foyl menunggu waktu setting Produksi Deteksi dari lamanya Stamp coding berantakan menunggu waktu setting Produksi Deteksi dari lamanya Waktu mencari tools lama menunggu waktu setting
RPN 180 125 96 90 81 80
Tabel 5 Konversi Internal Setup Menjadi Eksternal Setup Aktivitas Waktu Menyiapkan baut feeder 00:00:34 Menyiapkan stamp coding 00:10:24 Membuka plastik pembungkus roll foyl 00:00:34 Total Waktu Aktivitas 00:11:32
Berdasarkan prioritas kegagalan pada Tabel 4, rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan untuk masing-masing kegagalan antara lain: 1) Sealing Roll Overheat Menambahkan termometer infrared yang terpasang pada mesin STRIP02, agar operator dapat mengetahui suhu aktual sealing roll sebelum terjadinya overheat yaitu lebih dari 130º C (± 5º C). Rekomendasi lainnya yaitu melakukan training dan briefing tentang adjustment suhu kepada setiap operator yang akan bekerja di mesin STRIP02. Training adjustment suhu berupa pelatihan setting suhu pada thermocontrol mesin STRIP02 yang berbeda dengan mesin stripping lainnya yaitu dengan melakukan penyesuaian suhu 10º C - 20º C pada suhu yang tertera di thermocontrol. Briefing adjustment suhu dilakukan setiap sebelum operator memulai pekerjaan di mesin STRIP02. 2) Stopper Macet Mengubah stasiun kerja operator menjadi seri. Operator 1 bertugas menyortir tablet berdasarkan batch, kemudian tablet hasil sortir operator 1 disortir kembali oleh operator 2. Hal ini akan meminimalisir tablet patah yang lolos ke proses stripping karena hasil sortir tablet operator 1 akan disortir kembali oleh operator 2, sehingga proses sortir tablet lebih ketat dari sebelumnya. 3) Sealing Roll Tidak Rapat Memberikan alat ukur digital yang terpasang pada mesin STRIP02 untuk mengetahui jarak antara dua sealing roll. Serta melakukan briefing secara rutin setiap shift mengenai setting sealing roll yang harus rapat serta memberikan penjelasan dampaknya pada produksi. Selain itu juga seharusnya pihak perusahaan memberikan peringatan yang berisi tentang pemasangan sealing roll dengan benar, jarak harus dibawah batas maksimal jarak kedua sealing roll yaitu 0,7 mm. Peringatan tersebut dapat diletakkan berdekatan dengan mesin STRIP02. 4) Waktu Setup Lama Waktu setting foyl, waktu setting coding, dan waktu setting awal termasuk dalam waktu setup. Rekomendasi perbaikan untuk mengurangi waktu setup adalah mengkonversikan internal setup menjadi eksternal setup dengan metode SMED. SMED adalah metode yang digunakan untuk mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setup pergantian dari memproduksi satu jenis produk ke model produk lainnya (Monden, 2000). Hasil SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-240
Meningkatkan Efektivitas Mesin STRIP02 Menggunakan Metode Overall Equipment Effectiveness dan Failure Mode and Effect Analysis
konversi aktivitas internal setup menjadi eksternal setup dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil konversi tersebut didapatkan penurunan waktu setup mencapai 13,70%. Pengarahan dan pelatihan secara berkala kepada operator dalam penerapan konsep 5-S untuk lebih baik lagi. Konsep 5-S sudah diterapkan sebelumnya, namun dalam pelaksanaannya masih kurang baik. Untuk itu pelaksanaan konsep 5-S dilakukan lebih baik lagi. IV. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah rata-rata tingkat efektivitas mesin STRIP02 pada bulan selama tahun 2016 sebesar 44,35%. Nilai OEE pada mesin STRIP02 tidak memenuhi standar OEE yang ditetapkan JIPM sebesar 85%. Dari hasil perhitungan six big losses, beberapa losses yang mempengaruhi efektivitas mesin STRIP02 yaitu reduced speed losses 64,11%, setup and adjustment losses 19,01%, idling and minor stoppage losses 6,91%, breakdown losses 6,06%, defect in process losses 3,64%, reduced yield losses 0,27%. Berdasarkan FMEA, dari 14 kegagalan, terdapat 6 kegagalan yang melebihi nilai RPN kritis sebesar 64,86 diantaranya sealing roll overheat dengan nilai RPN sebesar 180, stopper macet dengan nilai RPN sebesar 125, sealing roll tidak rapat dengan nilai RPN sebesar 96, waktu setting foyl lama dengan nilai RPN sebesar 90, waktu setting coding lama dengan nilai RPN sebesar 81, dan waktu setting awal lama dengan nilai RPN sebesar 80. Rekomendasi perbaikan yang dapai diberikan untuk meningkatkan efektivitas Mesin STRIP02 antara lain Menambahkan termometer infrared yang terpasang pada mesin STRIP02, melakukan training dan briefing tentang adjustment suhu kepada setiap operator yang akan bekerja di mesin STRIP02, mengubah stasiun kerja operator sortir tablet menjadi seri, memberikan alat ukur untuk mengetahui jarak kedua sealing roll, briefing secara rutin setiap shift mengenai setting sealing roll yang harus rapat serta memberikan peringatan tentang pemasangan sealing roll dengan benar, mengurangi waktu setup dengan mengkonversikan aktivitas internal setup menjadi aktivitas eksternal setup.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, D.W., 2004, Pengendalian Kualitas Statistik Pendekatan Kuantitatif dan Manajemen Kualitas, Yogyakarta: ANDI. Borror, C.M., 2008, The Certified Quality Engineer Handbook Third Edition, Milwaukee: ASQ Quality Press. Cayman Business Systems, 2002, Failure Mode and Effect Analysis, http://www.fmeainfocentre.com/handbooks/FMEA-N.pdf. (diakses pada 7 Februari 2017). Kostas, N.D., 1981, Operational Management, New York: MC Grawhill Book Company. Monden, Y., 2000, Sistem Produksi Toyota, Terjemahan Nugroho, Jakarta: yayasan Toyota & Astra dan PPM. Nakajima, S., 1988, Introduction to Total Productive Maintenance (1st ed), Productivity Inc. Cambridge. Stephens, M.P., 2004, Productivity and Realibility Based Maintenance Management, New Jersey: Pearson Education Inc. Suryabrata, S., 2014, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-241
Petunjuk Sitasi: embiring, A. C. (2017). Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C242-247). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler Anita Christine Sembiring Program Studi Teknik Industri Universitas Prima Indonesia Universitas Prima Indonesia Alamat: Jalan Sekip Simpang Sikambing Medan 20113 [email protected] ABSTRAK Tata letak fasilitas sebuah manufaktur memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja perusahaan seperti biaya penanganan material, proses produksi, waktu siklus, ketersediaan ruang atau luas lantai produksi, imbalance capacity (ketidakseimbangan kapasitas) dan produktivitas. Desain fasilitas manufaktur yang baik mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi melalui pengurangan jarak pemindahan material, biaya penanganan material dan waktu siklus yang digunakan. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi, penelitian ini menggunakan desain ulang tata letak pabrik yang dilakukan pada perusahaan yang memproduksi boiler. Berdasarkan permasalahan yang ada, disainnya dilakukan dengan menggunakan metode grafis, dan perangkat lunak CRAFT. Dan hasil tata letak desain dari kedua metode tersebut dilakukan dengan membandingkan momen perpindahan. Dari perbandingan yang dilakukan maka diperoleh tata letak yang lebih baik daripada tata letak saat ini yang digunakan oleh perusahaan. Tata letak awal memiliki momen penanganan material 411.300 meter per tahun. Peneliti melakukan perhitungan dengan metode grafis untuk penanganan material dan memperoleh hasil 378.540 meter per tahun. sedangkan perancangan dengan bantuan perangkat lunak CRAFT untuk penanganan material 374.472 meter per tahun. Dari hasil kedua metode perancangan yang paling efisien dan efektif digunakan adalah perancangan perangkat lunak CRAFT dimana efisiensi 8,95%, waktu pengerjaan pembuatan boiler berkurang 1598 menit per produk dan biaya penanganan material turun sebesar Rp 47.403,90/ tahun. Kata kunci — Tata letak pabrik, momen perpindahan, utilitas, material handling, industri boiler, metode grafik dan software CRAFT.
I. PENDAHULUAN Kelancaran aliran produksi harus diperhatikan dalam perencanaan tata letak lantai produksi karena perancangan lantai produksi merupakan salah satu bagian dari perencanaan tata letak pabrik. Apabila kelancaran produksi terganggu maka akan berkaitan erat dengan lintasan produksi, total jarak, imbalance capacity (ketidakseimbangan kapasitas) dan floor space (ketersediaan ruang atau luas lantai) juga akan terkendala. Oleh karena itu untuk sangat penting sekali untuk memaksimalkan kelancaran aliran produksi dengan memperhatikan perancangan tata letak pabrik khususnya penanganan material handling agar biaya pemindahan bahan dapat diminimalisasi. Tujuan perancangan ini berhubungan erat dengan strategi manufaktur. Pengaturan tata letak dari fasilitas produksi dan area kerja adalah suatu permasalahan yang sering dijumpai dalam dunia industri. Masalah ini tidak dapat dihindari, sekalipun hanya sekedar mengatur peralatan atau mesin di dalam ruangan atau lantai produksi, serta dalam ruang lingkup yang kecil dan sederhana. Dalam perencanaan tata letak lantai produksi, maka harus pula difikirkan mengenai sistem pemindahan bahan (material handling). Pada proses produksi yang menggunakan mesin-mesin yang bekerja secara khusus, maka pemindahan bahan antar mesin harus dilakukan dengan efektif dan efisien. Di dalam proses pembuatan produk, sering dijumpai bahwa produk tidak dapat diselesaikan hanya melalui sebuah mesin atau fasilitas produksi, melainkan harus melalui beberapa rangkaian proses yang menggunakan banyak mesin atau fasilitas produksi. Dengan demikian tidak dapat dihindari untuk melakukan aktivitas pemindahan bahan (material handling). SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-242
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler
Dalam pembuatan satu boiler dari persiapan sampai pada perakitan akhir di pabrik membutuhkan waktu sampai 34.560 menit atau sekitar 72 hari 3 bulan. Pada lantai pabrik dijumpai susunan mesinmesin yang kurang tepat, ditandai dengan adanya back tracking (aliran balik) sebanyak 5 kejadian atau sebesar 88.920 meter. Hal di atas merupakan indikator ketidakefisienan dari layout yang digunakan, terutama dalam hal pemindahan bahan (material handling). Dari kenyataan di atas, peneliti ingin melakukan perhitungan terhadap momen perpindahan bahan yang terjadi di lantai produksi, biaya material handling dan waktu siklus yang ada. Selain itu, peneliti juga ingin mencoba mencari alternatif layout baru yang memiliki momen perpindahan, biaya material handling dan waktu siklus yang lebih minimal.
II. ISI MAKALAH Jenis penelitian ini berisikan tentang metode penelitian yang digunakan. Adapun metode penelitian yang digunakan bersifat penelitian tindakan/ action research (Sinulingga, S., 2011: 29), sebab bertujuan untuk mendapatkan tata letak yang lebih baik. 1. Data Volume Produksi dan Bahan Baku Data volume produksi dari produk yang dihasilkan PT. ABC dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Volume Produksi Volume Produksi Produk (Unit/Tahun) Boiler 12
2. Data Material Handling Material handling yang digunakan di PT. ABC dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data Material Handling No
Nama Material Handling
Jumlah
1
Forklift
2
2
Crane
8
3. Tata Letak Lantai Produksi Lantai produksi pada PT. ABC, terbagi atas beberapa departemen. Data tentang kondisi lantai pabrik, berupa ukuran mesin dan peralatan produksi, serta luas lantai pabrik dapat dilihat pada Tabel 3.
No
Nama Departemen
1
Divisi I
2
Divisi II
Tabel 3. Kondisi Lantai Pabrik PT. ABC Mesin / Peralatan Luas (m2) Nama Ukuran (m) Pengukuran 24 x 14 Sand Blasting 38,1 x 1,5 Pemeriksaan QC 2,3 x 5,5 Mesin Kalibrasi 2,25 x 3 768,54 Penggabungan 24 x 14 Mesin Esab 5,1 x 1,6 Mesin Pembuat Reducer 3,6 x 1,8 Penumpukan Bahan 5x1 Mesin tumbuk 7,2 x 1,8 Mesin Pemutar/ Dishing 2(1,2 x 3) 107,43 Mesin Bor Vertikal 12 x 3 Mesin Bor Horizontal 3,8 x 1,65
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-243
Sembiring
No
Nama Departemen
Luas (m2)
3
Divisi III
353.97
4
Divisi IV
245,34
5
Divisi V
3614
6
Divisi VI
30,95
7
Divisi VII
334,19
8
Divisi VII
576
Mesin / Peralatan Nama Tempa Penyimpanan Alat Gudang Bahan Jadi Mesin Potong CNC Mesin Rolling Mesin Las Pin Mesin Las Otomatis Laboratorium Mesin Pembengkok Gudang Bahan Baku Mushalla Gudang Bahan Tambahan Mesin Pemotong Plat Mesin potong otomatis Mesin Jack
Ukuran (m) 15 x 3 24 x 13,5 (3 x 1,8) + (1,5 x 0,9) 2(5,4 x 2,1) 2((6 x 0,6) + (1,8x 2,4)) 2(9 x 1,8) 18 x 10,5 1,5 x 5,4 80 x 40 12 X 9 25.5 x 12 4,5 x 2,1 3,5 x 1,7 (0,6 x 0,9) + (2,4x 1,2)
Mesin Skrap
(5,9 x 1,2) + (0,6x2,4)
Gudang Produk Jadi Mesin Bending
24 x 13,5 18,3 x 1,5
Mesin Sand Convator
(3,3 x 0,3) + (4,5 x 1,5)
Mesin Bending CNC
18,3 x 1,5
Mesin Bubut Vertikal
2,4 x 1,5
Mesin Bubut Horizontal
7,2 x 1,5
Penggabungan
24 x 14
A. Perancangan dengan menggunakan Metode Grafik Metode grafik merupakan metode perancangan tata letak yang menggunakan grafik kedekatan (adjacency graph) sebagai penghubung antara departemen-departemen atau fasilitas-fasilitas yang ada dengan tujuan untuk memperoleh bobot terbesar (Purnomo, H., 2004: 137-138). Tabel 4. Perhitungan Bobot Keterkaitan Stasiun Kerja Bidang
A- C- D
A- E- D
A- E- C
C-E-D
Stasiun
B
25.920 + 0 + 0 = 25.920
25.920 + 0 + 0 = 25.920
F G H I J K L M N
0+0+5.850 = 5.850 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
0+14.130+5.850 = 19.980 0+27.540+0=27.540 (Terbaik) 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
25.920 + 0 + 0 = 25.920 0+0+14.130 = 14.130 0+27.540+0=27.540 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-244
0+0+0=0 0+14.130+5.850=19.980 0+27.540+0=27.540 0+0+0=0 0+0+23.400=23.400 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+0=0 0+0+15.030=15.030 0+0+0=0
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler
D
N
L
K
F
M
J
I
B
G
E
H
A
C
Gambar 1. Block Layout Dengan Grafik Kedekatan
B. Perancangan dengan menggunakan Software CRAFT Pada software pilih menu Facility Location and Layout lalu pilih menu Functional Layout dengan objective criterion Minimization seperti Gambar 2.
Gambar 2. Langkah Awal Pemilihan Pengerjaan CRAFT
Masukkan aliran material dan kontribusi per unitnya diantara keseluruhan unit kedalam spreadsheet .Enter the flow loads and unit contributions between all departments into the spreadsheet dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Input Data Aliran Material dan Momen Material Handling
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-245
Sembiring
Setelah dilakukan analisis aliran material pada kondisi awal dan rancangan alternatif layout menggunakan metode Grafik dan software CRAFT dapat disimpulkan pada Tabel 5 bahwa Rancangan alternatif dengan metode Grafik memiliki jarak material handling paling kecil.
No 1 2 3
Tabel 5. Analisis Aliran Material Jumlah Kegiatan Back Metode Tracking Tata Letak Awal 5 Menggunakan Metode Grafik 3 Software CRAFT 3
Jarak Back Tracking (m) 88.920 38.610 49.752
C. Pemilihan Layout Terbaik Untuk layout awal (layout yang saat ini digunakan perusahaan), perhitungan momen material handlingnya adalah 411.300 meter perpindahan per tahun. Perhitungan momen material handling untuk rancangan layout secara grafik adalah 378.540 meter. Koreksi = 411.300 - 378.540 × 100 % 411.300 = 7,96 %. Dari perhitungan ini, dapat dilihat bahwa rancangan layout secara grafik memberikan efisiensi material handling sebesar 7,96 %. Pada rancangan layout dengan software CRAFT, perhitungan momen material handling adalah sebesar 374.472 meter perpindahan pertahun. Koreksi
= 411.300 - 374.472 × 100 % 411.300 = 8,95 % Dari perhitungan ini, dapat dilihat bahwa rancangan layout dengan software memberikan efisiensi material handling sebesar 8,95 %.Dari hasil analisis momen material handling, maka selanjutnya dilakukan pemilihan layout terbaik yang akan diajukan sebagai usulan perbaikan layout lantai produksi PT. ABC. Layout terbaik adalah rancangan layout dengan menggunakan metode Grafik yang mempunyai momen material handling terkecil. DAFTAR PUSTAKA Apple, J. M, 1990,”Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan”, Bandung, Penerbit: ITB. Amelia, 2007, “Aplikasi Metode Group Technology dalam Memperbaiki Tata Letak Mesin untuk Meminimalkan Jarak Perpindahan Bahan Studi Kasus di Perusahaan Mebel Logam”, Jurnal Teknik Mesin Vol. 9 No. 2 Oktober 2007, Surabaya. Ghosh, Tamal, Dan, P. K., Effective Clustering Method For Group Technology Problems: A Short Communication, India, e-Journal of Science and Technology (e-JST). Purnomo, Hari, 2004, Perencanaan dan Perancangan Fasilitas, , Yogyakarta, Penerbit: Graha Ilmu. Ristono, A., (2010), Perancangan Fasilitas, Yogyakarta, Edisi Pertama, Yogyakarta, Penerbit: Graha Ilmu. Sahroni, (2003), Perencanaan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi dengan Metode Algoritma CRAFT, Optimum Vol. 4 No. 1, Februari – Agustus 2003. Sinulingga, Sukaria, (2011), Metode Penelitian, Edisi Pertama, Medan: USU Press. Sutantra, Yulius, dan Natalia, Christine. (2010). Perbaikan Tata Letak Pabrik Di CV. Merapi Berdasarkan Metode Computerized Relationship Layout Planning (Corelab). Metris, Vol. 11, No. 1, Maret 2010. Susetyo, J., Simanjuntak, R. A., Ramos, J. M., (2010), Perancangan Ulang Tata Letak Fasilitas Produksi dengan Pendekatan Group Technology dan Algoritma BLOCPLAN untuk Meminimisasi Ongkos Material Handling, Yogyakarta, Jurnal Teknologi Vol. 3 No. 1 Juni 2010. Sembiring, Anita Christine, 2012,“Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling di PT.ATMINDO”,Google Scholar,Medan. Wignjosoebroto, Sritomo, 2003, Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Edisi Ketiga, Surabaya, Penerbit Guna Widya. Widianty, Yenny, (2009), Analisa Rencana Perubahan Tata Letak Pabrik Ditinjau dari Estimasi Pengaruhnya Terhadap Produktivitas, Perpustakaan Universitas Indonesia, UI.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-246
Perancangan Ulang Tata Letak Pabrik untuk Meminimalisasi Material Handling pada Industri Pembuat Boiler
Wignjosoebroto, Sritomo, (2003), Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan, Edisi Ketiga, Surabaya, Penerbit Guna Widya.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-247
Petunjuk Sitasi: Tugiman, Suprianto, Panjaitan, N., Ariani, F., & Sarjana. (2017). Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale di Desa Bandar Tinggi. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. C246-251). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang Sale di Desa Bandar Tinggi Tugiman1), Suprianto2), Nismah Panjaitan3), Farida Ariani4), Sarjana5) (1), (2), (3),(4), (5)
Departemen teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara
Jalan Almamater Kampus USU Padang Bulan, Medan, Indonesia Departemen teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Jalan Almamater Kampus USU Padang Bulan, Medan, Indonesia (2) [email protected] ABSTRAK Desa Bandar tinggi merupakan satu diantara desa yang terletak di kabupaten simalungun propinsi sumatera utara. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dengan berbagai jenis budidaya tanaman seperti kelapa sawit, singkong dan pisang. Tanaman pisang merupakan tanaman yang sangat mudah tumbuh di desa tersebut, dengan perawatan yang relatif mudah bila dibandingkan jenis tanaman lainnya. Banyaknya petani yang menanam pisang menyebabkan produksi yang melimpah terutama pada musim penghujan. Sifat pisang yang tidak tahan lama disimpan dan penanganan pasca panen yang tidak tepat menyebabkan banyak produksi pisang petani terbuang percuma. Tulisan ini bertujuan untuk mencarikan solusi alternatif mengatasi masalah tersebut sehingga produksi petani dapat dioptimalkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Metode pengasapan merupakan satu diantara teknik yang dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah tersebut, proses ini meliputi tahapan pengasapan dan penjemuran. Hasil akhir proses ini merupakan produk yang disebut “Pisang sale” dengan kadar air yang relatif rendah sehingga tahan disimpan dalam waktu yang lama.Selaian meningkatkan daya tahan penyimpanan produk, metode ini juga telah berhasil meningkatkan nilai jual produk. Kata kunci— proses pengasapan, pengeringan, pisang sale.
I. PENDAHULUAN Desa Bandar tinggi merupakan satu diantara desa di kabupaten simalungun terletak antara yang berada pada 02o 36’ – 03o 18’ lintang utara dan antara 98 o 32’ – 99o 35’ bujur timur yang berada pada ketinggian 0-1400 meter diatas permukaan laut. Desa ini memiliki tanah dengan kandungan humus yang tinggi sehingga sangat subur. kondisi-kondisi ini mengakibatkan desa tersebut sangat cocok untuk tanaman pisang. Menurut Suhartanto,R.M., dkk (2012) jenis-jenis pisang yang terdapat di Indonesia sangatlah beragam diantaranya Ambon, Raja, Tanduk, Barangan, dll. Masalah muncul pada saat panen puncak buah pisang secara bersamaan sehingga tidak tertampung oleh pengepul. Semankin tua pisang maka tingkat kekerasan akan menurun (Donowarti, I. dan Qomarudin, 2016) dan buah ini memiliki ketahanan yang tidak lama yang pada akhirnya segera busuk. Rakhmawati, A. (2013) menyatakan proses pembusukan pada buahbuahan dapat disebabkan mikroorganisme yang melakukan infeksi laten. Penerapan perlakuan tertentu bisa memperpanjang kesegaran buah-buahan. Seperti pada buah pisang ambon tanpa perlakuan pasca panen hanya dapat bertahan hingga 10 hari dan bisa diperpanjang dengan adanya perlakuan pengasapan (Silsia, D.,__). Proses pengawetan menggunakan pengasapan langkah awal dari usaha mengeringkan buah-buahan. Seperti halnya pada manisan belimbing wuluh durasi pengeringan mempengaruhi kadar air (Fitriani,S., 2008). Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang (Rahmawati, F., ____,) dan dapat meningkatkan keawetan buah pisang. Pembuatan pisang sale merupakan satu diantara teknik pengawetan pisang. Perbaikan sanitasi dan kehigienisan, pengeringan dan pengasapan yang cukup dapat mencegah produk berjamur (Koswara, S., 2009). Proses pembuatan pisang sale terdiri dari dua tahapan utama yaitu pengasapan dan pengeringan. Tahapan pengeringan secara tradisional dilakukan dengan bantuan sinar matahari, metode ini memiliki kelebihan dari segi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-246
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale Di Desa Bandar Tinggi
biaya namun membutuhkan waktu yang relatif lama. Sedangkan metode pengeringan lainnya menggunakan sumber panas lain seperti listrik dan gas, metode ini membutuhkan biaya tambahan akan tetapi waktu pengeringan lebih cepat dan sangat membantu pada saat musim penghujan dimana sinar matahari tidak bersinar secara maksimum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa efektivitas pembuatan pisang sale yang terdapat di desa Bandar tinggi menggunakan dua metode pengeringan yaitu sinar matahari dan mesin pengering type box berbahan bakar gas. Analisa yang dilakukan meliputi kualitas produk dan lama pengeringan yang dibutuhkan.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan berbagai bahan (gambar 1) utama yang digunakan pada proses. Pisang yang digunakan merupakan pisang yang sudah matang sempurna dengan tekstur yang lembut. Bahan tersebut selanjutnya dikupas dan dibelah menjadi dua bagian yang sama besar. Proses pengasapan menggunakan bahan bakar serbuk kayu sisa gergaji untuk mendapatkan pengasapan yang baik, bahan ini menghasilkan asap yang banyak dan tidak terlalu panas. Waktu yang dibutuhkan pada proses ini selama tigah hingga enam jam hingga pisang berubah warna. Proses selanjutnya yaitu pengeringan untuk menurunkan kadar air pada pisang sale. Kegiatan ini dilakukan menggunakan dua metode terdiri dari metode sinar matahari dan menggunakan sistem oven (gambar 2).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Bahan (a) jenis pisang lilit yang digunakan, (b) kriteria matang baku pisang sale, serbuk bekas gergajian kayu
(a)
(c)
(b)
Gambar 2 Metode pengeringan pisang sale (a) sinar matahari, (b) peralatan pengering tipe box berbahan bakar gas
Proses penjemuran di bawah sinar matahari menggunakan suhu rata-rata 31oC. Pada saat penjemuran produk ditutupi menggunakan kain tipis untuk menjaga kehigienisan produk. Penjemuran dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dan proses penimbangan pisang sale dilakukan setiap hari untuk mendapatkan kandungan air yang hilang. Penggunaan oven yang terbuat dari bahan stainless steel (gambar 2b) beroperasi pada suhu konstan 50 oC yang berasal dari bahan bakar gas dengan jumlah rak tujuh buah yang dilapisi dengan anyaman bambu. Proses penimbangan dilakukan setiap 1,5 jam untuk melihat kandungan air yang hilang selama proses berlangsung. Proses penimbangan ini berlangsung hingga kadar air stabil (tidak terjadi lagi SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-247
Tugiman, Suprianto, Panjaitan, Ariani, Sarjana
penurunan massa pisang sale). Selama proses pengeringan dilakukan pengamatan secara visual untuk melihat perubahan warna pada produk.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil proses pengasapan Tahapan awal proses pembuatan pisang sale adalah pengasapan, proses ini bertujuan untuk menghilangkan bakteri-bakteri yang terkandung di dalam pisang dan merubah warna pisang (pemucatan). Hasil proses pengasapan seperti diperlihatkan pada gambar 3 berikut:
(a)
(b)
Gambar 3 Warna pisang a) sebelum proses pengasapan, b) setelah pengasapan
Gambar diatas memperlihatkan proses bahan baku pisang sebelum pengasapan (gambar 3a) berwarna putih dengan sedikti kekuning-kuningan dengan kadar air yang masih tinggi. Setelah pengasapan (gambar 3b) warna pisang berubah menjadi warna kuning dengan tekstur yang tidak sepadat sebelum pengasapan. Dari pengamatan visual ini dapat dikatakan bahwa proses ini telah berhasil merubah warna, massa dan bau dari. Proses pembuatan pisang sale dilanjutkan dengan proses pengeringan. B. Proses penjemuran Proses ini dilakukan dengan bantuan sinar matahari sehingga waktu yang dibutuhkan sangat bergantung pada intensitas cahaya matahari, namun metode ini memiliki keuntungan dari segi biaya produksi. Pada penelitian ini telah dilakukan analisa secara visual pisang sale (gambar 4).
(a)
(b)
(c) Gambar 4 Bentuk visual pisang sale pada hari (a) pertama, (b) kedua dan (c) ketiga penjemuran
Proses penjemuran hari pertama menghasilkan perubahan warna pisang lebih pucat kemerahmerahan (gambar 4a). pada tahapan ini pisang sudah mengalami penyusutan secara volume
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-248
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale Di Desa Bandar Tinggi
sehingga perlu disusun ulang dan supaya penjemuran merata dan lebih cepat kering maka dilakukan pembalikan (gambar 4b) pada pisang sale dan dijemur pada hari kedua. Efektivitas proses ini sangat bergantung kepada durasi penjemuran, pada penelitian ini durasi tidaklan sama setiap harinya. Hasil akhir produk berwarna pucat dan dominan warna merah kecoklatan (gambar 4c), pada hasil akhir kandungan air sudah sangat sedikit sehingga jika dijemur dengan cahaya matahari tidak terjadi penurunan massa pisang. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk pisang sale menggunakan teknik pengeringan alami (sinar matahari) empat belas jam seperti yang diperlihatkan pada gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Grapik waktu yang dibutuhkan mengeringkan pisang sale menggunakan sinar matahari
C. Proses pengeringan menggunakan mesin berbahan bakar gas Proses pengeringan pisang sale menggunakan peralatan telah dilakukan pada temperatur 50oC dengan sirkulas alami. Panas yang dihasilkan dari kompor gas mengalir dari sela-sela rak menuju kebagian atas rak. Suhu ruangan akan dijaga menggunakan thermostat sehingga tidak melebihi temperatur yang diinginkan. Aliran gas akan terhenti secara otomatis pada saat temperatur melebihi 50oC dan mengalir kembali saat suhu turun beberapa derajat dibawah suhu kerja.
Gambar 6 grafik sirkulasi panas pada peralatan pengering sirkulasi alami
Grafik diatas memperlihatkan bahwa pengguna peralatan pengering membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mengeringkan pisang sale dibanding dengan bantuan sinar matahari yaitu sekitar tujuh jam. Pada tahapan awal pengeringan penurunan massa lebih sedikit sekitar 100gr dikarenakan kandungan air yang masih tinggi. Selanjutnya penurunan cenderung konstan berkisar 200 gr per 90 menit (1,5jam). Selain waktu
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-249
Tugiman, Suprianto, Panjaitan, Ariani, Sarjana
pengeringan yang singkat peralatan ini juga menghasilkan pisang sale yang lebih higienis karena tidak bersentuhan langsung dengan udara terbuka. Warna pisang sale yang dihasilkan juga tidak berbeda dengan menggunakan sinar matahari (gambar 7) yaitu berwarna kuning kecoklatan.
Gambar 7 Pisang sale menggunakan pengeringan tipe box berbahan bakar gas
D. Analisa biaya pembuatan pisang sale Proses pembuatan pisang sale ini bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis produk. Hasil pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel pembuatan pisang sale sebanyak 15kg buah pisang yang dibeli dari petani. Hasil perhitungan analisa biaya diperoleh perincian biaya sebagai berikut: Tabel 1 Analisa biaya pembuatan pisang sale
Bahan Bahan baku buah pisang matang Susut kadar air Pisang sale Bahan bakar gas Jasa tenaga kerja Total biaya produksi dan bahan (A) Harga jual pisang sale basah (B) Keuntungan netto (B-A)
Jlh. 15 (kg) 6.56 (kg) 8,44 (kg) 1(tbg) 1 (hari)
Harga @Rp. 3.125,-
Total Rp. 46.875,-
@Rp.16.000,@Rp.80.000,-
8,44 (kg)
@Rp. 30.000,-
Rp.16.000,Rp.80.000,Rp. 142.875,Rp. 253.000,Rp.110.125,-
Pembuatan produk pisang sale dengan cara pengasapan telah berhasil meningkatkan nilai ekonomis hasil pertanian tanaman pisang di desa Bandar Tinggi. Dari hasil perhitungan terlihat peningkatan penghasilan yang diperoleh petani meningkat lebih dari 100% bila mengolah pisang matang menjadi pisang sale.
IV. PENUTUP Hasil penelitian mengenai metode pembuatan pisang sale sebagai usaha meningkatkan nilai ekonomis buah pisang telah selesai dilaksanakan. Berdasarkan data-data yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses penjemuran di bawah sinar matahari mengakibatkan perubahan warna pisang sale dari kekuning-kuningan menjadi merah kecoklatan. 2. Waktu yang dibutuhkan pada proses penjemuran menggunakan sinar matahari minimum empat belas jam. Proses ini sangat sangat dipengaruhi intensitas cahaya matahari. 3. Proses pengeringan menggunakan mesin membutuhkan waktu enam jam untuk menghasilkan pisang sale. 4. Pembuatan pisang sale telah berhasil meningkatkan nilai tambah buah pisang lebih dari 100%.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-250
Analisa Mekanisme Pembuatan Pisang sale Di Desa Bandar Tinggi
DAFTAR PUSTAKA Donowarti, I.; & Qomarudin, 2016, ―Pengembangan Metode Teknik Image Processing Untuk Pemutuan (Grading) Buah Pisang Cavendis Segar Secara Nondestruktif‖, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian ―AGRIKA‖ , Vol. 10, No.2, pp. 130-143. Fitriani,S., 2008, ―Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Beberapa Mutu Manisan Belimbing Wuluh (Averhoa bilimbi L.) Kering‖, SAGU, Vol. 7, No. 1, pp 32-37. Koswara, S., 2009, Teknologi Pengolahan Sayuran dan Buah-buahan (Teori dan Praktek), tekpan.unimus.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Rakhmawati, A., 2013, Mikroorganisme Konataminan pada Buah, Jurdik Biologi FMIPA UNY, staff.uny.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Rahmawati, F., ____, Pengawetan Makanan dan Permasalahannya, Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana FT UNY, staffnew.uny.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Silsia, D.; Rosalina, Y.; & Muda, F., _____, Pemanfaatan Asap Cair untuk Mempertahankan Kesegaran Buah Pisang Ambon Curup, Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, repository.unib.ac.id., (diakses tanggal 30 Agustus 2017). Suhartanto,R.M.; Sobir,; & Harti H., 2012, ―Teknologi Sehat Budidaya Pisang: dari benih sampai pasca panen‖, Pusat Kajian Hortikultura Tropika Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu C-251