BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit TB Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkolosis, yang menyerang dari balita hingga usia lanjut. Penyakit
Tuberkulosis Basil Tahan Asam Positif atau juga bisa disebut dengan TB Paru, sampai kini belum berhasil diberantas dan telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia (Depkes RI, 2002). Pada tahun 1993, WHO ( World Health Organization) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB paru, karena disebagian besar negara didunia, penyakit TB Paru tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita TB Paru yang tidak berhasil disembuhkan (WHO, 2004). WHO melaporkan adanya 3 juta orang mati akibat TB Paru tiap tahun dan diperkirakan 5000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta penderita TB Paru baru dari 25% kasus kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orang-orang pada usia produktif yaitu dari 15 sampai 54 tahun. Di negara-negara berkembang miskin kematian TB Paru merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TB Paru global yakni sekitar 38% dari kasus TB Paru di dunia (WHO, 2004). Indonesia merupakan negara terbesar nomer tiga didunia setelah India dan Cina yang diperkirakan setiap tahunnya terjadi 583.000 kasus baru TB Paru, dengan kematian TB Paru sekitar 140.000 kasus. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk
Indonesia terdapat 130 pasien TB Paru dan harapan 705 diantaranya bisa diobati sampai sembuh (Depkes, 2002). Angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011 menunjukkan capaian 417 sampai dengan 2.277 per 100.000 penduduk, tertinggi Sulawesi Utara dan terendah Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang mempunyai kontribusi peningkatan penjaringan suspek yang signifikan di tahun 2011 adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat (Kemenkes RI, 2011) Berdasarkan Hasil rekapitulasi profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2007 tercatat TB Paru dengan BTA Positif Positif (+) sebanyak sebanyak 4.306 kasus dengan angka kesakitan kesakitan 1.03 per seribu penduduk. Angka kesembuhan penderita TB Paru dengan BTA positif di Kalimantan Barat adalah sebesar 81,55, dengan rincian dari 4.245 penderita yang diobati, sebanyak 3.462 penderita dinyatakan 23 sembuh. Jika melihat hasil yang dicapai, maka angka kesembuhan penderita TB Paru BTA + di Kalimantan Barat sudah mendekati dari target Indikator Indonesia Sehat 2010 yang ditargetkan sebesar 85% (Kemenkes RI, 2011) Untuk menanggulangi masalah TB Paru di Indonesia, strategi DOTS (Directly Observerd treatment Shountrcourse) yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. DOTS yaitu pengawas kesehatan RI (1993) penderita TB Paru diusahakan untuk menyelesaikan menelan OAT sesuai jadwal pengobatan (Depkes RI, 1993). Tetapi program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS belum menjangkau seluruh Puskesmas, Rumah Sakit Negeri maupun swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.
Indonesia terdapat 130 pasien TB Paru dan harapan 705 diantaranya bisa diobati sampai sembuh (Depkes, 2002). Angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011 menunjukkan capaian 417 sampai dengan 2.277 per 100.000 penduduk, tertinggi Sulawesi Utara dan terendah Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang mempunyai kontribusi peningkatan penjaringan suspek yang signifikan di tahun 2011 adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat (Kemenkes RI, 2011) Berdasarkan Hasil rekapitulasi profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2007 tercatat TB Paru dengan BTA Positif Positif (+) sebanyak sebanyak 4.306 kasus dengan angka kesakitan kesakitan 1.03 per seribu penduduk. Angka kesembuhan penderita TB Paru dengan BTA positif di Kalimantan Barat adalah sebesar 81,55, dengan rincian dari 4.245 penderita yang diobati, sebanyak 3.462 penderita dinyatakan 23 sembuh. Jika melihat hasil yang dicapai, maka angka kesembuhan penderita TB Paru BTA + di Kalimantan Barat sudah mendekati dari target Indikator Indonesia Sehat 2010 yang ditargetkan sebesar 85% (Kemenkes RI, 2011) Untuk menanggulangi masalah TB Paru di Indonesia, strategi DOTS (Directly Observerd treatment Shountrcourse) yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. DOTS yaitu pengawas kesehatan RI (1993) penderita TB Paru diusahakan untuk menyelesaikan menelan OAT sesuai jadwal pengobatan (Depkes RI, 1993). Tetapi program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS belum menjangkau seluruh Puskesmas, Rumah Sakit Negeri maupun swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.
Adapun tujuan pengendalian pengobatan adalah untuk menjamin ketekunan, keteraturan pengobatan sesuai jadwal pengobatan untuk menghindarkan penderita lalai berobat dan putus berobat sebelum waktunya dan mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, makan makanan berprotein tinggi, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Short Course) dan pengawasan konsumsi zat-zat makanan khususnya konsumsi protein
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes RI, 2001). DOTS berarti pengobatan penderita dengan paduan obat jangka pendek disertai pengawasan menelan obat setiap hari. Di dalam DOTS arti pengawasan penuh adalah penderita minum obat dihadapan PMO yang dapat berasal dari kesehatan, keluarga penderita yang dapat dipercaya, kader kesehatan (Perkumpulan Pemberantasan Tubercolusis Indonesia) atau tokoh masyarakat / agama yang disegani penderita (Depkes RI, 2001) Salah satu keberhasilan dalam pengobatan penderita TB paru terletak pada Pengawas Menelan Obat (PMO), PMO dapat diambil dari orang yang tinggal satu rumah dengan penderita atau tinggal dalam Dasa Wisma. Selain itu juga dapat diawasi oleh anggota keluarga, kader dasa wisma, kader PPTI, PKK, guru, teman tokoh masyarakat dan petugas sosial kecamatan (Kanwil Depkes Propinsi Jateng, 20 00). Selain itu kesembuhan penderita TB paru dapat ditentukan oleh perilaku dari penderita sendiri, banyak hal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan seseorang. Selain itu umur seseorang akan mengalami kemunduran dalam sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah terserang berbagai penyakit. Tingkat pendidikan akan memberikan pengalaman
seseorang terhadap sesuatu hal bagaimana cara mengatasi masalah yang dihadapi, sehingga dapat memilih jalan yang terbaik guna mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. Pada umumnya, penderita yang terserang TB paru adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan primer sehari-hari lebih penting dari pada pemeliharaan kesehatan. Hal ini dikarenakan kemiskinan dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai transportasi kepelayanan kesehatan dan ini menjadi kendala dalam melakukan pengobatan, sehingga dapat mempengaruhi keteraturan berobat. Adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan ketersediaan obat serta jumlah tenaga yang cukup belum cukup menjamin keberhasilan dalam pengobatan, keteraturan dan ketaatan penderita untuk berobat sampai dengan waktu pengobatan yang telah ditentukan merupakan faktor pendorong dalam keberhasilan pengobatan. Lamanya pengobatan TB paru akan mengurangi kepatuhan penderita dalam melakukan pengobatan sesuai demgan jadwal yang telah ditentukan (Nadesul, Hendrawan. 1996). Data yang diperoleh dari Dinkes kabupaten Sintang, yang telah menjalankan pengobatan TB paru di wilayah Puskesmas Dara Juanti kota Sintang yang meliputi Kel. Kapuas Kiri Hulu, Kel. Kapuas Kiri Hilir, Tanjung Kelansam, Teluk Kelansam Dan Batu Lalau dengan jumlah 55 penderita pada bulan januari 2013. Berdasarkan jumlah penderita di atas yang menjalankan pengobatan kita akan melihat jumlah penderita yang berhasil sembuh pada tanggal 15 Juni
–
15 Juli 2013.
Dilihat dari beberapa faktor yang berhubungan dengan keberhasilan pengobatan TB Paru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : “Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan keberhasilan pengobatan TB Paru BTA Positif yang berobat di wilayah kerja Puskesmas Dara Juanti kota Sintang ?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui beberapa fakto yang berhubungan faktor karakteristik (umur, peendidikan, pekerjaan) faktor obat ( pemakaian OAT sebelumnya, peran PMO, dan keteraturan ) dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Dara Juanti kota Sintang. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan umur penderita TB paru b. Mendeskripsikan pendidikan penderita TB paru c.
Mendeskripsikan pekerjaan penderita TB paru
d. Mendeskripsikan pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan. e. Mendeskripsikan peran PMO penderita TB paru f.
Mendeskripsikan keteraturan minum obat
g.
Mendeskripsikan keberhasilan pengobatan penderita TB paru.
h. Menganalisis hubungan antara umur dengan keberhasilan pengobatan TB paru i.
Menganalisis hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru.
j.
Menganalisis hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan pengobatan TB paru
k.
Menganalisis hubungan antara pemakaian OAT sebelumnya dengan keberhasilan pengobatan TB paru
l.
Menganalisis hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan TB paru
m. Menganalisis hubungan antara keteraturan minum obat dengan keberhasilan
pengobatan TB paru
D. Manfaat Penelitian
Bagi Dinas kesehatan memberi masukan pengelola program pembrantasan penyakit TB Paru tentang keberhasilan pengobatan TB Paru sehingga dapat dimanfaatkan dalam kebijakan kesehatan.
E. Bidang Ilmu
Peneltian ini merupakan bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat, khususnya pemberantasan penyakit menular (P2M) dalam hal ini adalah pe nyakit TB Paru.
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru 1. Gambaran Umum TB Paru
a. Definisi Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung y ang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis sebagian besar menyerang Paru dan dapat mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru cepat mati apabila terkena sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2002) b. Gejala dan tanda TB Paru Departemen kesehatan menyebutkan gejala dan tanda penyakit TB Paru BTA Positif adalah :
1) gejala umum : nyeri dada, batuk lebih dari tiga minggu atau lebih. 2) gejala lain : nyeri dada batuk dahak atau dahak bercampur darah, keringat malam, demam lebih dari sebulan, sesak nafas, nafsu makan menurun dan berat badan menurun (Depkes RI, 1993). c. Cara Penularan Sumber penularan penyakit TB Paru dikarenakan oleh kuman yang berterbangan di udara dan ada juga yang jatuh pada lantai sehingga dapat
terhirup oleh setiap orang, pada paru-paru kuman atau basil TB Paru akan bersarang dan basil berkembang biak juga menggerogoti Paru -paru. Tidak semua orang yang dimasuki basil TB Paru pasti sakit TB paru karena badannya kuat dan daya tahan tubuhnya kuat orang mungkin terhindar dari sakit TB Paru. Daya tahan tubuh yang kuat jika gizi makanan yang cukup, bergerak badan dan istirahat yang cukup. Atau jika sejak bayi semua anak harus diberi Imunisasi BCG yang berfungsi untuk mencegah tertular TB Paru (Hendrawan. 1996). d. Komplikasi Komplikasi sering terjadi pada penderita berstadium lanjut (Nadesul, Hendrawan. 1996), antara lain : 1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersambungnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat kontraksi bronkiat. 3) Bronkiestasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan) jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktiti pada paru. 4) Penyebaran infeksi organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 5) Insufisiensi kardio pulmoner (Cardio pulmonery insuffiency ) (Depkes RI, 2002) e. Diagnosis Bahwa seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru apabila melakukan serangkaian pemeriksaan sebagai berikut :
1) Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling dapat diandalkan (paling murah) dan harus diupayakan tiga buah spesimen untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan 3x dengan sesaat, pagi, sesaat (SPS) paling baik dipastikan dengan hasil positif berikutnya (Depkes RI, 2002). 2) Pemeriksaan semua pasien dengan kronis khususnya batuk perokok atau batuk lebih dari 4 minggu, mereka yang turun berat badannya, nyeri dada dan lainnya yang mengakibatkan TB Paru. 3) Foto rontgen, pemeriksaan rontgen diperlukan bila pasien yang memiliki masalah-masalah yang sulit terutama para tersangka TB Paru yang positif HIV. Hal ini tidak dilakukan untuk kasus secara massal di negara-negara dengan prevalensi tinggi. 4) Tes tuberkulin, tes ini kurang dapat diandalkan dalam menegakan diagnosis di negara miskin karena gizi buruk, dan penyakit lain. Seperti infeksi HIV atau TB Paru yang sangat parah dapat menghasilkan tes yang lemah meskipun pasien dewasa atau anak berpenyakit TB Paru aktif. Tes pada anak dapat berubah karena BCG (Harun, Sutiana, 2002). f.
Klarifikasi Penyakit Pada penyakit TB Paru dapat diklasifikasikan yaitu TB Paru dan TB ekstra paru. TB Paru merupakan batuk yang paling sering dijumpai dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satusatunya bentuk dari TB Paru yang mudah tertular. TB ekstra Paru merupakan bentuk penyakit TB Paru yang menyerang organ tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan saraf pusat (Nursalam, 1997).
2. Program Pemberantasan TB Paru a. Tujuan Program 1) Tujuan jangka panjang : memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. 2) Tujuan Pendek : a) Tercapainya kesembuhan minimal 85% penderita baru BTA positif yang ditemukan, b) Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap hingga mencapai 70% dari semua penderita TB paru, c) Tercapainya resistensi obat tuberkulosis di masyarakat, d) Menanggulangi penderita akibat penyakit TB paru (Nursalam , 1997) b. Kebijakan Operasional 1) Penanggulangan TB paru di Indonesia dilaksanakan dengan desentralisasi sesuai dengan keijakan Departemen Kesehatan. 2) Penggulangan TB paru dilaksanakan oleh seluruh unit pelayanan kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit, Pemerintah dan swasta, BP4 serta praktik dokter swasta, politeknik umum, politeknik perusahaan dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu. 3) Peningkatan mutu pelayanan, penanggulangan obat rasional dan kombinasi obat sesuai dengan strategi DOTS. 4) Target program adalah konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan sediaan dahak yang benar (angka kesalahan 5%).
5) Pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh Balai Laboratorium Kesehatan
(BLK)
atau
laboratorium
rujukan
yang
ditunjuk
untuk
mendapatkan pemeriksaan dahak yang bermutu . 6) Penanggulangan TB paru nasional diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada penderita secara Cuma-Cuma dan jaminan ketersediaannya. 7) Pengembangan sistem pemantauan, supervisi dan evaluasi program untuk mempertahankan kualitas pelaksanaan program. 8) Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah dan swasta (Depkes RI, 1997) c. Strategi Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO (WHO, 2004), yaitu : 1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. 2) Diagnosis TB paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik 3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). 4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 5) Pencatatan dan palaporan secara baku untuk memudahakan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB paru. 3. Pengobatan Penyakit TB Paru
a. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru Pengobatan diberikan dalam dua tahap (Dekes RI, 1997), yaitu :
1) Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara
tepat pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini.
2) Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk kekambuhan. Tujuan dari pengobatan pasien TB paru adalah penyembuhan pasien, mencegah
kematian,
mencegah
kekambuhan
dan
menurunkan
resiko
penularan(Depkes RI, 2001). Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, meencegah kerusakan
paru
lebih
luas
dan
komplikasi
yang
terkait,
mencegah
kekambuhannya penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi kelurga dan masyarakat penderita terhadap infeksi (Jhon Crofson, 2001). Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain (Jhon Crofson, 2001) : 1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. 2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH. 3) Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel suasana asam. 4) Streptomycine (S), bersifat bakterisid. 5) Etambutol (E), bersifat bakteriotatik.
b. Program Obat Anti Tuberkulosis (Depkes RI, 1997) Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO ( World Health Organization) dan IUAT-LD ( International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu :
1) Kategori I (2HRZA / 4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid (Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3 (tiga) kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3) (Depkes RI, 1997). Panduan OAT kategori I diberikan untuk : a) Pasien baru TB – Paru BTA Positif (+) b) Pasien baru TBC – Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit berat. c) Penyakit paru ekstra berat 2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu(Depkes RI, 1997). 3) Kategori III (2HR2/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (Depkes RI, 1997).
OAT kategori ini diberikan untuk : a) Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit ringan. b) Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis),
pleuritis
eksudtiva
unilateral,
Tuberkuilosis
kulit,
Tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal) c. Hasil Pengobatan Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain :
1) Sembuh Penderita
dinyatakan
sembuh
bila
penderita
telah
menyelesaikan
pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up sebelumnya (Harun, Sutiana, 2002).
2) Pengobatan lengkap Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : Penderita diberi tahu apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan menikuti prosedur tetap (Harun, Sutiana, 2002).
3) Pindah Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB –09) (Depkes RI, 1997).
4) Drop Out (DO) Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif (Depkes RI, 2001)
5) Gagal Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan (Depkes RI, 1997).
6) Meninggal Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab apapun. 4. Pengendalian Penderita dan Penentuan Keberhasilan Pengobatan
Pengendalian pengobatan penderita dilaksanakan pada saat kunjungan penderita ke uni pelayanan kesehatan atau dengan kunjungan ke rumah penderita yang dilakukan oleh petugas kesehatan maupun petugas pengawas menelan obat (PMO). Penentu status penderita atau keberhasilan dan keketebalan ditentukan pada akhir masa pengobatan (Depkes RI, 1993). Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai berdasarkan : uji bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada akhir pengobatan TB Paru BTA Positif menjadi negatif dan hasil rontgen ulang menjadi baik atau tidak ada masalah dengan paru-parunya Depkes RI, 1993).
5. Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Pengoabatan TB Paru
a. Perilaku Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat di bedakan menjadi 2, yaitu (Soekidjo, 2003) :
1) Determinan
atau
faktor
internal,
yakni
karakteristik
orang
yang
bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : umur, pendidikan, tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, pekerjaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Beberapa teori lain yang telah di coba untuk mengungkap determinan perilaku dari analisa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Soekidjo, 2003). Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat di pengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku ( behavior causes) dan faktor di luar perilaku ( non behavior
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri di tentukan atau terbentuk dari 3 faktor
(Soekidjo, 2003) : 1) Faktor-faktor predisposisi ( predisposing faktors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, pekerjaan dan sebagainya. 2) Faktor-faktor pendukung ( enabling faktors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya peran PMO, pemakaian OAT dan sebagainya. 3) Faktor-faktor pendorong ( reinforcing faktors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, keluarga dan masyarakat yang merupakan kelompok referensi oleh perilaku masyarakat. Perilaku seseorang dibentuk oleh tiga yaitu pengetahuan, sikap dan praktek : 1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan (Soekidjo, 2003) : a) Tahu (know ) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah diajarkan dan dipelajari sebelumnya. b) Memahami (Comprehension) Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang dketahui. c) Aplikasi ( Aplication)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real. d) Analisis ( Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu obyek kedalam komponen-komponen. e) Sintesis (Syntesis) Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulas-formulasi yang ada. f) Evalusi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. 2) Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya ditafsirkan dari perilaku yang tertutup (Soekidjo, 2003). Seperti halnya pengetahuan sikap terdiri dar 4 tingkatan : a) Menerima (receiving) Menerima berarti bahwa orang (obyek) mau atau mempertimbangkan stimulus yang diberikan (obyek). b) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c) Menghargai (valuding) Mengajak orang lain untuk mengerjakan, mendiskripsikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga d) Bertanggung jawab ( responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 3) Praktik Praktik berarti sama dengan praktek keperawatan. Praktek atau tindakan adalah sesuatu perbuatan nyata atau aktifitas nyata sehubungan dengan stimulus atau obyek. Untuk terwujudnya suatu sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas (Soekidjo, 2003). Sikap seseorang untuk menjadi praktek melalui empat tahapan : a) Persepsi ( perception) Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tingkatan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. b) Respon Terpimpin (guided response) Dapat melaksanakan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai denga n contoh. c) Mekanisme (mekanisme ) Apabila seseorang telah dapat melaksanakan sesuatu dengan benar secara otomatis. d) Adopsi (adaption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau dibedakan yang sudah berkembang dengan benar b. Umur Umur merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat menentukan perilaku seseorang dalam keberhasilan pengobatan penyakitnya, umur yang semakin tua akan mempunyai pengalaman yang cukup untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang, begitu pula dengan pengobatan. Seseorang semakin tua umurnya akan lebih taat dalam melakukan pengobatan sesuai petunjuk petugas kesehatan karena mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk sembuh (Soekidjo, 2003). Biasanya TB paaru lebih banyak menyerang pada usia yang tua karena adanya proses penurunan sistem kekebalan dalam tubuh (Depkes RI, 2001). c. Pendidikan Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan masyarakat, pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan pada seseorang atau orang lain, bukan
seperangkat
prosedur
yang
harus
dilaksanakan
atau
proses
pengembangan yang berubah secara dinamis, yang di dalamnya seseorang menerima atau menilai informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Harun, Sutiana,1997). d. Pekerjaan Pada umumnya, penderita yang terserang tuberkulosis adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan primer sehari-hari lebih penting dari pada pemeliharaan kesehatan. Kemiskinan dan jauhnya jangkauan
pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai transportasi kepelayanan kesehatan dan ini menjadi kendala dalam melakukan pengobatan, sehingga dapat mempengaruhi keteraturan berobat (Depkes RI, 1994). e. Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan. Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan diartikan sebagai pemakaian OAT yang diberikan sebelum berakhir prpses pengobatan yang sedang dievaluasi, tetapi tidak mengalami penyembuhan. Pemakaian OAT sebelumnya berkaitan dengan resistensi, makin lama makin sering dan makin teratur pemakaian OAT akan makin meningkat kemungkinan resisten OAT terhadap mycobacterium tuberculosis (Harun, Sutiana, 1993). f.
Pengawasan Menelan Obat (PMO) Salah satu program keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan pengawasan menelan obat (PMO) (Kanwil Depkes Propinsi Jateng. 2000) 1) Pengawas Menelan Obat (PMO) Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan Pengawas Menelan Obat (PMO). 2) Persyaratan PMO a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita selain itu harus dusegani dan dihormati oleh penderita. b) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. c) Bersedia membatu penderita dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. e) Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain. 3) Tugas PMO a) Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b) Memberi dorongan kepada penderita agar menelan obat secara teratur. c) Mengingatkan penderita untuk periksaq ulang dahak pda waktu-waktu yang telah ditentukan. d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan. g. Keteraturan Minum Obat Keteraturan minum obat diukur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah ditetapkan yaitu dengan pengobatan lengkap sampai dalam jangka waktu pengobatan sampai 100% (68 kali). Keteraturan pengobatan apabila kurang dari 90% maka akan mempengaruhi penyembuhan. OAT harus diminum teratur sesuai dengan jadwal, terutama pada fase pengobatan awal guna menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya kekambuhan(Nursalam, 1997).
B. Kerangka Teori Faktor Predisposing :
Karakteristik :
1. Pengetahuan
1. Umur
2. Sikap
2. Jenis Kelamin 3. Pekerjaan
Faktor Enabling :
Perilaku
1. Pemakaian OAT
Keteraturan
2. Peran PMO
Minum Obat
Faktor Reinforing : 1. Petugas Kesehatan 2. Keluarga 3. Masyarakat
Keberhasilan Pengobatan TB Paru
C. Kerangka Konsep Variabel Bebas Umur Pendidikan Variabel Terikat Peker aan Pemakaian OAT
Keberhasilan Pengobatan TB Paru
Peran PMO Keteraturan Minum Obat
D. Hipotesa
1. Ada hubungan antara umur dengan keberhasilan pengobatan TB paru 2. Ada hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan pengobatan TB paru 3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan pengobatan TB paru 4. Ada hubungan antara pemakaian OAT sebelumnya dengan keberhasilan pengobatan TB paru 5. Ada hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan TB paru 6. Ada hubungan antara keteraturan minum obat dengan keberhasilan pengobatan TB paru
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian explanatory research yaitu mengetahui hubungan antara beberapa faktor dengan angka keberhasilan pengobatan TB Paru melalui uji hipotesa. Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan wawancara dengan kuesioner melalui pendekatan c ross sectional yaitu penelitian dimana pengumpulan data dilakukan bersama-sama (Soekidjo, 2002).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi Populasi penelitian adalah semua pasien penderita TB paru yang telah mendapat pengobatan pada bulan Januari –Juni 2013 dengan jumlah 124 penderita dimana akhir pengobatanya dihitung pada tanggal 15 Juni- Juli 2013 . 2. Sampel Sampel penelitian ini adalah sebagian yang diambil dari seluruh obyek yang diteliti dianggap mewakili seluruh populasi (Soekidjo, 2002). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan quota sampling yaitu sampel penelitian ditentukan jatahnya karena keterbatasan waktu dan biaya dengan rumus minimal size. Besar sampel dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut : n =
=
=
= 7,48 dibulatkan menjadi 7 responden
keterangan : N= Besar Populasi n = Besar Sampel d = Tingkat Kepercayaan
C. Variabel dan Defenisi Operasional 1. Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas 1) Umur 2) Pendidikan 3) Pekerjaan 4) Pemakaian OAT 5) Peran PMO 6) Keteraturan Minum Obat b. Variabel Terikat Keberhasilan Pengobatan TB Paru 2. Defenisi Operasional Variabel
Variabel bebas: Umur
Pendidikan
Defenisi Operasional Adalah usia penderita saat mulai menerima pengobatan TB dihitung berdasarkan jumlah ulang tahun yang dihitung dari kelahiran sampai saat wawancara yang dinyatakan dalam satuan tahun. Adalah jenjang pendidikan formal yang berhasil ditempuh responden berdasarkan ijazah terakhir.
Parameter
0-14 Tahun (anak-anak) 15-29 Tahun (remaja) 30-44 Tahun (dewasa muda) 45-59 Tahun (dewasa tua) > 60 tahun (usia lanjut)
Alat Ukur Wawancara
Skala Rasio
Skor Format wawancara dengan Skor: Anak-anak: 1 Remaja: 2 Dewasa muda: 3 Dewasa tua: 4 Lanjut usia: 5
Wawancara
Ordinal
Format wawancara dengan skor: Tdk sekolah: 0 SD: 1 SLTP: 2 SLTA: 3 Perguruan
Tdk Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi (PT)
Pekerjaan
Pemakain OAT
Peran PMO
Keteraturan Minum Obat
Adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan penderita untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sampai pada saat menderita TB paru. Adalah pemakaian OAT pada penderita TB paru sebelum selesai pengobatan 6 bulan mengalami droup out , sebelum menjalani pengobatan di Puskemas Dara Juanti kota Sintang yang sedang dievaluasi . Adalah sebagai pengawas menelan obat pada penderita TB paru BTA positif pada saat menjalani pengobatan. Adalah suatu proses dimana penderita melakukan ketepatan waktu dalam pengobatan. dilihat dari teratur dan tidak teraturannya penderita minum obat.
Bekerja Tidak bekerja
Wawancara
Nominal
tinggi (PT): 5 Format wawancara dengan skor: Bekerja: 1 Tidak bekerja: 2
Ada Tidak ada
Wawancara
Nominal
Format wawancara dengan skor: Ada: 2 Tidak: 1
Ada Tidak ada
Wawancara
Nominal
Format wawancara dengan skor: Ada: 1 Tidak ada: 2
Teratur : apabila penderita tidak pernah lalai /lupa minum obat atau pernah lalai <3 hari pada fase awal dan < 1 minggu pada fase lanjutan. Tdk Teratur : apabila penderita
Wawancara
Nominal
Format wawancara dengan skor: Teratur: 2 Tidak teratur: 1
Variabel terikat: Keberhasilan Pengobatan TB Paru
3.
Adalah hasil pengobatan TB Paru dari uji bakteriologik dan klinik pada penderita TB paru BTA (+) yang menjalani pengobatan OAT jangka pendek yang telah menjadi BTA (-) pada fase awal dengan lama pengobatan selama 6 bulan.
lalai atau tidak pernah minum obat >3 hari pada fase awal dan lebih dari 1 minggu pada fase lanjutan. Sembuh Tidak sembuh
Observasi
Nominal
Format wawancara dengan skor: Sembuh: 2 Tidak sembuh: 1
Instrumen Penelitian
a. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman inidisuun berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. b. Catatan Lapangan Sarana lain yang digunakan sebagai pelengkap wawancara adalah catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan yang dibuat peneliti sewaktu dilapangan dan dilengkapi setelah mengadakan pengamatan. Catatan lapangan biasanya dibuat dalambentuk kata-kata kunci, singkatan atau pokok-pokok utama saja
c. Alat Perekam MP3 Player Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu MP3 player untuk merekam seluruh pembicaraan hasil wawancara. Kegunaan alat ini adalah dapat digunakan untuk melakukan analisis ulang oleh peneliti lainnya, memberikan dasar yang kuat tentang apakah yang dikatakan oleh peneliti itu benar-benar terjadi dan dapat dicek kembali dengan mudah. Kekurangan alat ini adalah memakan waktu, biaya, dan situasi terganggu. d. Uji Validitas Uji valitas dilakukan dengan koefisien korelasi person product moment dengan taraf signifikan 5% dengan nilai r
hitung >
r
tabel dinyatakan
valid (Arikunto,
2010), dengan rumus :
∑ ∑ ∑ = √ { ∑ ∑ { ∑ ∑ Keterangan :
= koefisien kolerasi dua variabel antara x dan y
n
= jumlah responden
x
= skor variabel (jawaban responden)
y
= skor total variabel untuk responden n Semua item dikatakan valid jika nilai koefisien validitasnya lebih dari atau
sama dengan nilai kritik dalam tabel (0,75), dan jika nilai lebih kecil nilai koefisien validitasnya dari pada nilai kritik dalam tabel (0,75), maka item di katakan tidak valid jumlah responden adalah 7 orang (Azwar, 2012).
e. Reabilitas Reabilitas diuji dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan rumus sebagai berikut :
∑ α=[ ][ ]
Keterangan : α
= Koefisien reabilitas Alpha
k
= banyaknya belahan
2 Si 2 Sx
= varians skor belahan = varians skor total
4. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber data 1) Data primer Data yang diperoleh secara langsung mendatangi responden dengan wawancara langsung dengan responden, yaitu dengan menggunakan panduan wawancara dengan pasien TB paru dan kordinator pemegang program TB paru di Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang 2) Data sekunder Data yang didapatkan dari dokumen pencatatan dan laporan di Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang. b. Prosedur penelitian 1) Mengurus perijinan penelitian ke Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang. 2) Melakukan wawancara pada responden yang datang di Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang 3) Hasil dari wawancara dan pencatatan dapat diambil beberapa faktor tingkat keberhasilan pengobatan TB Paru.
c. Tehnik Mengumpulkan data 1) Wawancara (interview) 2) Observasi 3) Dokumentasi 5. Pengolahan dan Analisa data
a. Pengolahan data Pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut : 1) Editing (Penyuntingan) Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua isian pada semua item pertanyaan dalam kuesioner untuk mengetahui beberapa faktor tingkat keberhasilan pengobatan TB Paru. Dengan kelengkapan pengisian konsisten dan relevansi serta kejelasan jawaban. 2) Coding (Penyajian) Kegiatan tahap ini adalah mengubah informasi dengan menggunakan kunci jawaban yang telah disusun dalam bentuk angka untuk memudahkan proses pengolahan selanjutnya mengenai isi kuesioner yang meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, peran PMO, keteraturan minum obat. 3) Tabulating (Tabulasi) Memasukan data hasil survai tingkat keberhasilan pengobatan TB Paru dengan umur, pendidikan, pekerjaan, peran PMO, keteraturan minum obat, kedalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria kegiatan memasukan data ( entery data ) dilakukan melalui bantuan komputer. terhadap semua data pada
kuesioner.
b. Analisa data 1) Analisis Univariat Analisa deskriptif dilakukan untuk menggambarkan secara variabel dengan membuat tabel distribusi frekuensi atau grafik. 2) Analisis Bivariat. Untuk mengnalisis hubungan antara umur, pendidikan, pekerjaan, pemakaian OAT sebelumnya, peran PMO, keteraturan minum obat dengan keberhasilan pengobatan menggunakan r- product-momen (Arikunto, 2010). Besarnya nilai r
interprestasi
Antara 0,800 sampai 1,00
Tinggi
Antara 0,600 sampai 0,800
Cukup
Antara 0,400 sampai 0,600
Agak rendah
Antara 0,200 sampai 0,400
Rendah
Antara 0,000 sampai 0,200
Sangat rendah
6. Tehnik Penyajian Data
Setelah data didapat kemudian diolah dan data tersebut disajikan dalam bentuk tabel. 7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan di wilayah kerja Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang pada bulan Januari-Juni 2013.
8. Jadwal Penelitian
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kegiatan
Jan
Feb
Maret
April
Mei
Juni
DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier. M. Idris F.2000 The Involment of the private Practioness an Tuberculosis Control Program Throught DOTS Strategy : A Discourse. Majalah Kesehatan. 50 : 497-
498. 2. Arikunto, Suharsimi. 2010.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
jakarta:Renika Cipta. 3. Bhisma murti. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epide miologi. Jogyakarta. 4. B.Y Yan..1992. Anti Tuberculosis Chemotherapy And It’s Rotation to Tuberculosis th
Control In China. Pros 12 . Asia Pasifik Congress an desease of the chest.. .
5. Dahlan Z.1997. Diagosa dann Penataksanaan Tberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran., 115 : 8-12. 6. Depkes.RI. 1993. Pedoman Penemuan dan Pengobatan Penderita TB Paru . Jakarta. Depkes 7. Depkes RI. 1993. Pedoman Tuberkulosis Paru. Jakarta. 8. Dep Kes RI 1997. Pedoman Penyakit Tuberkulosis Dan Penanggulangannya. Jakarta . Depkes 9. Depkes RI. 2001. Buku Petunjuk Praktis Bagi Petugas dan Pelaksana Penanggulangan TBC di Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Depkes.
10. Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta.
11. John Crofson. 2001. Norman Horne Fredmiller. Tuberkulosis Klinis. Widya Medika. Jakarta.