BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) Paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukan bahwa tuberculosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. TB Paru juga menempati nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan dengan cara penemuan dini diikuti dengan pengobatan tepat dan cukup masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat menghilangkan sumber penularan secepatnya (Dep kes RI, 2002). Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan tuberkulosis paru sebagai Global Health Emergency. Tuberkulosis paru dianggap sebagai masalah
kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus tuberkulosis yang tecatat dieluruh dunia (Zulkifli Amin, 2006). Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat (2015-2025) adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mas yarakat yarakat yang optimal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial. Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, Lingkungan, Lingkungan, Prilaku, P elayanan Kesehatan dan Keturunan. Dari keempat faktor tersebut menurut Blum faktor lingkungan dan perilaku adalah faktor yang paling besar mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. TB Paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini di tularkan melalui udara yaitu percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit TB Paru biasanya menyerang paru akan tetapi dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002).
1
2
Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit ( morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta p asien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB paru di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negaranegara berkembang dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan se kitar 40% dari kasus TB di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Karena jumlah penduduknya penduduknya yang cukup besar, Indonesia termasuk dalam high burden countries, menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita TB Paru,
setelah India dan Cina. Setiap tahun angka perkiraan kasus baru berkisar antara 500 sampai 600 orang (Achmadi, 2005). Pada survei yang sama angka kesakitan TB Paru di Indonesia ketika itu sebesar 800 orang diantara 10.000 penduduk. Namun, pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu hanya berdasarkan gejala tanpa t anpa pemeriksaan laboratorium. Estimas i Incidence Rate TB Paru di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum (Bakteri Tahan Asam Positif) adalah 128 diantara 100.000 penduduk untuk tahun 2003, sedangkan untuk tahun yang sama estimasi TB Paru semua kasus adalah 675 diantara 100.000 penduduk (Achmadi, 2005). Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka kematian di Indonesia tahun 2007 sebesar 41 per 100.000 penduduk. Angka nasional TB Paru SP (Survei Prevalensi) SKRT TB Paru tahun 2005 menunjukan angka prevalensi, ini berarti ada peningkatan yang signifikan terbukti dengan data sebesar 119 kasus diantara 100.000 penduduk, sedangkan sedangkan angka insidensi sebesar 110 kasus diantara 100.000 penduduk. Pada tahun 1995-1998, cakupan penderita TB paru denga strategi DOTS baru mencapai
2
Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit ( morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta p asien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB paru di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negaranegara berkembang dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan se kitar 40% dari kasus TB di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Karena jumlah penduduknya penduduknya yang cukup besar, Indonesia termasuk dalam high burden countries, menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita TB Paru,
setelah India dan Cina. Setiap tahun angka perkiraan kasus baru berkisar antara 500 sampai 600 orang (Achmadi, 2005). Pada survei yang sama angka kesakitan TB Paru di Indonesia ketika itu sebesar 800 orang diantara 10.000 penduduk. Namun, pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu hanya berdasarkan gejala tanpa t anpa pemeriksaan laboratorium. Estimas i Incidence Rate TB Paru di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum (Bakteri Tahan Asam Positif) adalah 128 diantara 100.000 penduduk untuk tahun 2003, sedangkan untuk tahun yang sama estimasi TB Paru semua kasus adalah 675 diantara 100.000 penduduk (Achmadi, 2005). Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka kematian di Indonesia tahun 2007 sebesar 41 per 100.000 penduduk. Angka nasional TB Paru SP (Survei Prevalensi) SKRT TB Paru tahun 2005 menunjukan angka prevalensi, ini berarti ada peningkatan yang signifikan terbukti dengan data sebesar 119 kasus diantara 100.000 penduduk, sedangkan sedangkan angka insidensi sebesar 110 kasus diantara 100.000 penduduk. Pada tahun 1995-1998, cakupan penderita TB paru denga strategi DOTS baru mencapai
3
10% dan error rate pemeriksaan belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih besar dari 85% serta penatalaksanaan penderita dan pencatatan
pelaporan belum seragam seragam (Depkes 2006). Pada tahun 1999 WHO Global Surveilance memperkirakan bahwa setiap tahun di Indonesia akan terjadi 583.000 kasus baru tuberculosis dengan kematian karena tuberkulosis diperkirakan menimpa 140.000 penduduk. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita barutuberkulosis barutuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2002). 2002). Di propinsi Banten hasil data dan informasi pada tahun 2010 terdapat 7.853 kasus TB Paru dengan BTA positif, di Kota Serang sendiri pada tahun 2009 mencapai 1590 penderita. Angka kematian kasar ( Crude Death Rate = CDR) TB paru di Provinsi Banten sebesar 78,6%, angka tersebut merupakan tertinggi kedua di Indonesia setelah Pro vinsi Sulawesi Utara (89,6%). Tingginya jumlah penderita TB Paru di Provinsi Banten, menduduki peringkat kelima terbesar di Indonesia, setelah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Di Kota Serang sendiri, hasil informasi diperoleh jumlah penderita TB paru tahun 2011 sebesar 3211 kasus, dan tahun 2012 mengalami penurunan menjadi sebesar 2417 kasus (Dinkes Kota Serang, 2012). Kecamatan Curug Kota Serang, diketahui jumlah penderita TB paru BTA positif periode tahun 2013 sebanyak 88 orang, sedangkan pada tahun 2014 jumlah penderita TB Paru BTA positif sebanyak sebanyak 72 orang. Angka kejadian TB paru BTA positif di Kecamatan Curug menduduki peringkat pertama dibandingkan dengan beberapa Kecamatan lainnya yang ada di Kota Serang, berturut-turut yaitu Kecamatan Walantaka 70 kasus, Kecamatan Serang 66 kasus, Kecamatan Taktakan 62 kasus, Kecamatan Kasemen 55 kasus, Kecamatan Cipocok Jaya 27 kasus. Kecamatan Curug terdiri dari desa Cilaku, Cipete, Curug, Curugmanis, Kamanisan, Pancalaksana, Sukajaya, Sukalaksana, Sukawana, Tinggar. Kecenderungan masih ditemukannya angka kejadian TB paru dalam masyarakat di Kecamatan Curug, dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kondisi rumah penderita TB paru tersebut. Karena dari hasil
4
observasi diperoleh informasi bahwa di Desa Kamanisan Kecamatan Curug terdapat 2 orang penderita TB paru dalam 1 rumah. Hal tersebut menggambarkan bahwa penularan TB paru sangat tinggi khususnya yang kontak dan tinggal 1 rumah dengan penderita. Sumber penularan penyakit TB Paru adalah penderita TB Paru dengan BTA positif. Faktor resiko yang berperan penting dalam dalam penularan penyakit TB Paru diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah, untuk lingkungan meliputi kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah. (Achmad, 2005). Penelitian Chapman et al mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan hunian, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TB Paru pada anak-anak yang tinggal dengan satu atau lebih orang dewasa yang menderita TB Paru (Nelson, 2005). TB Paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat mempengaruhi kejadian penyakit, konstruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor resiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru seperti hasil penelitian Rosida (2008) mengatakan bahwa lantai rumah, ventilasi yang buruk, dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru di Kota Jambi. Penelitian Ayunah (2008) menunjukkan hasil bahwa ventilasi dalam rumah yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB Paru dikecamatan Cilandak Jakarta Selatan.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Masih tingginya penderita TB Paru dengan angka kejadian 72 per 100.000 penduduk di Kecamatan Curug sejak Januari sampai Desember 2013 2. Kondisi lingkungan di Wilayah Curug yang kurang baik dengan kepadatan hunian yang tinggi dan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.
C. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan pada penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara kondisi fisik rumah (pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian) dengan kejadian TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014”.
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Diketahuinya Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah (pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian) dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: a. Diketahuinya Distribusi frekuensi kasus berdasarkan kondisi fisik rumah
(pencahayaan,
ventilasi,
kelembaban,
jenis
lantai,
dan
kepadatan hunian) di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 b. Diketahuinya kondisi pencahayaan ruangan di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 c. Diketahuinya kondisi ventilasi ruangan di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 d. Diketahuinya kondisi kelembaban ruangan di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014
6
e. Diketahuinya kondisi lantai rumah di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 f. Diketahuinya kondisi kepadatan hunian di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 g. Diketahuinya hubungan antara kondisi intensitas pencahayaan rumah dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 h. Diketahuinya hubungan antara kondisi luas ventilasi rumah dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014 i.
Diketahuinya hubungan antara kondisi kelembaban rumah dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014
j.
Diketahuinya hubungan antara kondisi jenis lantai rumah dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014
k. Diketahuinya hubungan antara kondisi kepadatan hunian rumah dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi Kesehatan dan Pemerintah
Manfaat penelitian bagi instansi kesehatan dan pemerintah adalah diketahuinya faktor-faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan kejadian TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang pada tahun 2014, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan Kejadian TB Paru agar tidak mencapai tingkat keparahan yang lebih tinggi. Hal ini juga dapat mencegah dan mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat TB Paru, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
7
2. Bagi Mahasiswa
Manfaat penelitian bagi mahasiswa selain mendapat pengalaman belajar di lapangan juga dapat, mengetahui keadaan dan kondisi kesehatan masyarakat terutama tentang kejadian TB Paru dan faktor-faktor kesehatan lingkungan rumah yang mempengaruhi secara langsung, sehingga dapat mengaplikasikannya dengan ilmu kesehatan masyarakat. 3. Bagi Masyarakat
Dengan kegiatan penelitian diharapkan mendapatkan informasi tentang kesehatan yang ada diwilayahnya, dan mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan, serta mengetahui syarat rumah sehat, sehingga masyarakat dapat melakukan perbaikan dan pencegahan sendiri terutama terhadap kejadian TB Paru.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Pada kegiatan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kondisi fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei tahun 2014, dengan mengambil data primer dari responden menggunakan metode wawancara dengan alat bantu kuesioner dan pengukuran kondisi lingkungan, sedangkan data sekunder berasal dari Puskesmas Curug. Sampel pada penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Curug, sedangkan desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit TB Paru
1. Pengertian TB Paru
Tuberculosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB ( Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarna yang disebut juga Basil Tahan Asam (BTA).TB Paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yaitu bakteri tahan asam (Suriadi, 2001). TB Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004). 2. Kuman Tuberculosis Mycobacterium Tuberculosis ini berbentuk batang, ukuran panjang 1- 4
mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarna. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahuntahun. Sifat lain adalah aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen, terutama bagian apical posterior . Secara khas kuman membentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun.
9
3. Cara penularan TB Paru
Penularan penyakit TB Paru adalah melalui udara yang tercemar oleh mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh sipenderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak pada umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul dan berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah) bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru. Seseorang dengan daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang memiliki system kekebalan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, ruag inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga aprunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TB Paru. Basil TB Paru yang masuk kedalam paru melalui broncus secara langsung dan pada manusia yang pertama kali terinfeksi disebut primaryinfection.
Infeksi
dimulai
saat
kuman
TB
Paru
berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan dalam paru, yang kemudian disebut sebagai kompleks primer sekitar 4-6 minggu (Depkes. 1999, Depkes 2005) sebagian besar kumankuman TB Paru yang berada dan masuk ke paru orang yang teratur mengalami fase domant dan muncul bila tubuh mengalami penurunan kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS.
10
4. Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru
Mekanisme penulran TB Paru dimulai dengan penderita TB Paru positif mengeluarkan dahak yang mengandung kuman TB kelingkungan udara sebagai aerosol (partikel yang sangat kecil). Partikel aerosol ini terhirup melalui saluran pernafasan mulai dari hidung menuju paru-paru tepatnya ke alveoli paru. Pada alveoli kuman TB Paru mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan yang akan mengakibatkan terjadi destruksi paru. Bagian paru yang telah rusak atau dihancurkan ini akan berupa jaringan/sel-sel mati yang oleh karenanya akan diupayakan oleh paru untuk dikeluarkan dengan reflek batuk. Oleh karena itu pada umumnya batuk karena TB adalah produktif, artinya berdahak. Dahaknya dengan demikian menjadi khas, yaitu mengandung zat-zat kekuningkuningan berbentuk butir-butir gumpalan dengan banyak hail TB didalamnya (Danusantoso, 2001). Kadang-kadang proses destruki paru dapat berjalan sempurna sampai sebagian paru berubah menjadi sebuah lubang (kavitas) yang dapat bervariasi besarnya dari kecil (1-3 cm) sampai besar (>3cm) dan besar sekali pada foto rontgen paru kelihatan seperti flek p ada paru. Respon lain yang dapat terjadi pada darah nekrosis adalah pencairan, dalam proses ini bahan cair akan dibuang ke broncus dan menimbulakan suatu rongga. Bahan tuberkel yang dikeluarkan dari dinding rongga akan masuk dalam percabangan trachea bronchial. Proses ini mungkin akan terulang kembali dibagian lain dari paru-paru dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada beberapa organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan namapenyebaran hemathogen, yang biasanya sembuh sendiri. Jenis hemathogen yang lain adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis millier. Ini terjadi apabila nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam system vaskuler dan tersebar ke organ-organ.
11
5. Gejala-Gejala TB Paru
Gejala-gejala yang menunjukan penyakit TB Paru adalah a. Gejala Utama Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. b. Gejala tambahan Gejala tambahan yang sering dijumpai yaitu : 1) Dahak bercampur darah 2) Batuk darah 3) Esak nafas dan nyeri dada 4) Badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TB Paru. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap “suspek tuberculosis” atau tersangka penderita TB Paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 6. Diagnosis TB Paru
a. Semu aspek TB Paru diperiksa 3 spesimen dahan dalam waktu 3 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). b. Diagnosis
TB
Paru
pada
orang
dewasa
ditegakan
dengan
ditemukannya kuman TB Paru (BTA). Pada program TB Paru nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto waks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasi. c. Tidak
dibenarkan
mendiagnois
TB
Paru
hanya
berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
12
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukan aktifitas penyakit (Depkes RI, 2007)
7. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita
a. Klasifikasi Penderita Klasifikasi penderita TB Paru adalah sebagai berikut : 1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena : a) Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. b) Tuberkulosis Extra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalkan plerua, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lympe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lai-lain. 2) Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan dahak mikroskopis a) Tuberkulosis Paru BTA positif Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif specimen dahak SPS hasilnya positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif. b) Tuberkulosis Paru BTA Negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberculosis aktif. 3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit a) TB Paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu batuk berat dan ringan. Batuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”) dan atau keadaan umum pasien buruk. b) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
13
TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksuditiva unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, parikarditis, peritonitis, pleuritis eksudative bilateral, TB tulanng belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).
b. Tipe Penderita Tip penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yatu : 1) Kasus Baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberculosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian). 2) Kasus Kambuh (Relaps) Adalah penderita yang pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
8. Faktor Resiko TBC
Faktor resiko ialah semua variablel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor resiko TBC saling berkaitan satu sama lain. Berbagai faktor resiko dapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu kependudukan dan faktor lingkungan.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TBC 1. Pencahayaan Rumah
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari
sinar matahari
(alami)
yairu semua
jalan
yang
memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalkan melalui jendela atau genting kaca (Depkes RI, 1989: Natoadmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
14
a) Cahaya Alamiah Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri phatogen didalam rumah, misalnya TBC (Natoadmodjo, 2003). Oleh karena itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang cukup yaitu dengan intensitas cahaya minimal 60 lux atau tidak menyilaukan. Jalan masuk cahaya minimal 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah melalui jendela rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang masuk juga harus merupakan sinar matahari pagi yang mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman, dan memungkinkan lama menyinari lantai bukannya dinding (Soekidjo, 2007). b) Cahaya Buatan Cahaya buatan adalah cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain. Menurut Lubis dan Natoadmodjo (2003), cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosis. Menurut Depkes RI (2002), kuman tuberculosis hanya dapat mati oleh sinar mataharilangsung. Oleh sebab itu, rumah dengan tandar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian Tuberculosis. Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00. Pengukuran dapat dilakukan dengan alat luxmeter , yang diukur pada tengah-tengah ruangan dan pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai (Nurhidayah et al., 2007). Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup b ertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita
15
tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Depkes, 2008). Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru dengan nilai odds ratio (OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence Interval (CI)( 3,129 –20,080).
Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian penyakit TB paru dimana kelompok masyarakat yang memiliki pencahayaan alami rumah < 60 Lux (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 9 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki pencahayaan alami rumah ≥ 60 Lux (p = 0,000, OR = 4,696, 95% CI: 1,93-11,41). Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen retak juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes, 2012). 2. Ventilasi Rumah
Ventilasi rumah yaitu usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989). Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007). Ventilasi yang baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang angin yang berseberangan sehingga pertukaran udara akan berjalan terus dan ruangan menjadi segar, atau jendela yang dapat dibuka sehingga udara
16
segar dan sinar matahari dapat masuk. Cara praktis untuk memperoleh ventilasi alami adalah jika dengan ventilasi tetap/ lubang angin minimal 5% dari luas lantai, sedangkan jika menggunakan ventilasi variabel/jendela juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes RI, 1995). Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan antara luas ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll meter . Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya (Kepmenkes, 1999). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: a) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan dari luas lantai. Jumlah keduanya 10% dari luas lantai rumah. b) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, kenalpot kendaraan, debu dan lain-lain. c) Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antara 2 (dua) dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding sekat dan lain-lain. Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa adanya hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian tuberkulosis paru, didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 16,9 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,121 – 134,641, dengan nilai p = 0,001.
Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru dimana kelompok masyarakat yang memiliki kondisi ventilasi < 10% kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 36 kali dibandingkan yang memiliki kondisi ventilasinya ≥ 10% (p = 0,000, OR = 36,417 95% CI: 10,85-122,17).
17
Hasil penelitian Dahlan (2001) menunjukkan bahwa untuk ventilasi rumah merupakan variabel yang paling memberikan kontribusi yang mengatur kualitas suhu kamar untuk kejadian tuberkulosis paru, secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan p <0,05 dengan OR= 8,8 (p = 0,000). Menurut Susiloawati (2012), kejadian tuberkulosis BTA positif berpeluang atau berisiko lebih besar pada orang yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah beratap seng, luas ventilasi <10% luas lantai dibanding orang yang tidak tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah tidak beratap seng, luas ventilasi ≥10% luas lantai pada daerah dataran tinggi Kabupaten Temanggung dan bermakna secara statistik.
3. Kelembaban Udara
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan kelembaban
ruangan
sangat
dipengaruhi
oleh
penghawaan
dan
pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan normal bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar, pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak dan menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002). Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi dan pencahayaan rumah. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam
18
rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999). Pengukuran kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer dengan standar kelembaban ruangan minimal 40%–70%, dan suhu ruangan dengan suhu ideal antara 180C – 300C. Pengukuran dilakukan pada ruang keluarga yang lebih banyak digunakan aktivitas dan pada jam 09.00-12.00. Saat pengukuran alat diletakkan pada permukaan ruangan yang akan diukur kelembabannya pada posisi horizontal, kemudian tunggu ± 1 menit dan lakukan pembacaan skalanya. Selama pembacaan haruslah diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat tersebut, hal ini dapat dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI, 1995). Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan melihat kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat dirasakan dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa basah saat dipegang dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995). Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dan kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,65114,971). Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit TB Paru dimana kelompok masyarakat yang memiliki kelembaban udara > 70% (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 3 kali dibandingkan kelompok masyarakata yang memiliki kelembaban udaranya 40% - 70% (p = 0,009, OR = 2,935, 95% CI:1,296,64), Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi oleh 4 variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.
19
4. Jenis Lantai
Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai rumah yang ada di Indonesia bermacam-macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan seme n sampai kepada pasangan lantai keramik. Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997). Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Mahfudin (2006) bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan bemakna dengan kejadian tuberkulosis paru dengan OR 2,2 (1,135;4,269). Menurut Rusnoto et al. (2007) bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai rumah tidak standar dengan kejadian tuberculosis paru dengan didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 7,095 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,930 – 17,179, dengan nilai p = 0,0001.
5. Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum perorang sangat relative, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 10 m2/orang untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m2/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.apabila ada anggota keluarga yang
20
menderita penyakit Tuberculosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Secara umum penelitian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni > 10 m2/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan apabila diperoleh hasil bagi antara luas lantang dengan jumlah penghuni <10 m2/orang (Lubis, 1989). Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru dimana kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan hunian < 10m² (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 10 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan huniannnya ≥ 10m² (p = 0,000, OR = 10,023, 95% CI:3,75-26,75).
C. Kerangka Teori
Menurut Beglehole (1997) dalam jurnal Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberculosis (TB) Paru Pada Anak. Faktor resiko yang menimbulkan penyakit Tuberculosis adalah faktor genetic,
malnutrisi,
vaksinasi,
kemiskinan
dan
kepadatan
penduduk.
Tuberculosis terutama banyak terjadi dipopulasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan kesehatan yang tidak cukup dan perpindahan tempat. Lingkungan merupakan hal yang tidak lepas dari aktivitas kehidupan manusia. Lingkungan, baik secara fisik maupun biologis sangat berperan dalam proses terjadinya gangguan kesehatan masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa penyakit Tuberculosis. Rumah atau tempat tinggal yang buruk atau kumuh dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, seperti infeksi saluran nafas contohnya TBC, influenza, campak, batuk, infeksi pada kulit, scabies, lepra, pes, leptospirosis, mlaria, demam berdarah dangue, filariasis dan lainlain (Budiman Chandra, 2007:164).
21
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian penelitian. Robert dalam Notoatmodjo (2005). Sesuai dengan tema yang diambil, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah untuk memperlihatkan hubungan antara lingkungan rumah (pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai dan kepadatan hunian) dengan kejadian tuberculosis (TB) paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
Variabel Independen
Variabel Dependen
Kondisi Fisik Rumah
Pencahayaan
Ventilasi
Kelembaban
Jenis Lantai
Kepadatan Hunian
Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
22
B. Definisi Operasional Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Kuesioner
Hasil
Skala
Variabel Dependen
Kejadian TB
Kondisi atau riwayat
Buku
Paru
kejadian sakit paru
Register
pada
responden TB Paru
yang
dilihat
dari
buku
register
TB
0. Sakit TB
Ordinal
Paru. 1. Tidak Sakit TB Paru
Paru. Variabel Independen
Pencahayaan Pencahayaan adalah
Wawancara Kuesioner
0. Tidak
Ordinal
pencahayaan alami
dan
memenuhi
ruangan
Observasi
syarat
adalah
rumah penerangan
kesehatan,
yang bersumber dari
jika
sinar
matahari
matahari
sinar
(alami), yaitu semua
masuk tidak
jalan
langsung
yang
memungkinkan
kedalam
umtuk
masuknya
ruangan.
cahaya
matahari
1. Memenuhi
alamiah,
misalnya
syarat
melalui jendela atau
kesehatan,
genting
jika
kaca
sinar
(DepKes RI, 1989;
matahari
Notoatmodjo,2003)
masuk langsung kedalam ruangan
Ventilasi
Ventilasi
adalah Wawancara Kuesioner
ventilasi
rumah dan
0. Tidak memenuhi
Ordinal
23
yaitu usaha untuk memenuhi
Observasi
kondisi
atmosfer
syarat
jika
ventilasi <
yang
10%
menyenangkan dan
luas
lantai.
menyehatkan
1. Memenuhi
manusia.
syarat
(Lubis,1989).
ventilasi >
Persyaratan ventilasi
10%
yang
lantai.
baik
adalah
jika
luas
sebagai berikut : Luas
lubang
ventilasi minimal
tetap 5%
dari
luas lantai ruangan dari
luas
Jumlah
lantai.
keduanya
10% dari luas lantai rumah. Kelembaban
Kelembaban rumah
Wawancara Kuesioner
yang
dan
memenuhi
Observasi
syarat
tinggi
dapat
mempengaruhi penurunan tahan seseorang
Ordinal
jika
daya
kelembaban
tubuh
< 40% atau
dan
meningkatkan kerentanan
0. Tidak
>70%. 1. Memenuhi
tubuh
syarat
jika
terhadap
penyakit
kelembaban
terutama
penyakit
memenuhi
infeksi. Kelembaban juga
dapat
meningkatkan daya tahan
bakteri.
40-70%.
24
Menurut
Suryanto
(2003),kelembaban dianggap baik jika memenuhi dan
40-70%
buruk
jika
dari
40%
kurang
atau lebih dari 70% (Krieger
dan
Higgins,2002). Lantai
Kontruksi
Rumah
rumah
lantai Wawancara kuesioner dominan
terbuat dari bahan
memenuhi
observasi
syarat kedap air.
dibersihkan
(Kepmenkes
1. Memenuhi
No.
syarat
829/1999).
kedap air.
Kepadatan
Perbandingan
Hunian
kamar
luas
dengan
jumlah penghuni di mana
Ordinal
dan
yang kedap air dan mudah
0. Tidak
persyaratan
minimal 3 m2/orang.
Wawancara Kuesioner
0. Tidak
Ordinal
dan
memenuhi
observasi
syarat
bila
<3m2/orang 1. Memenuhi syarat
bila
2
>3m /orang
C. Hipotesis
Hipotesa sebagai jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional variabel sebagaimana di atas, maka hipote sis yang dapat diajukan adalah : Ha:
Ada hubungan antara Kondisi Pencahayaan Ruangan dengan kejadian TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
25
Ha:
Ada hubungan antara Kondisi Ventilasi Ruangan dengan kejadian TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Ha:
Ada hubungan antara Kelembaban Udara dengan kejadian TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Ha:
Ada hubungan antara Jenis Lantai Rumah dengan kejadian TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
Ha:
Ada hubungan antara Kepadatan Hunian dengan kejadian TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.
26
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus control untuk mencari hubungan seberapa jauh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA positif (Sastroasmoro, 2002). Yang menjadi faktor lingkungan adalah pencahayaan, ventilasi ruangan, kelembaban, jenis lantai dan kepadatan hunian. Pada studi kasus kontrol sekelompok kasus (pasien yang menderita penyakit atau efek yang sedang di teliti) dibandingkan dengan sekelompok control (mereka yang tidak menderita efek atau penyakit). Pada penelitian ini kriteria sebagai kasus adalah semua penderita TB Paru yang tercatat dalam buku register TB Paru dari bulan Oktober 2013 sampai Februari tahun 2014, yang datang berobat ke puskesmas dengan hasil pemeriksaan dengan BTA positif dan bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Sedangkan kontrol adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug, karena mereka mempunyai resiko untuk tertular penyakit ini dari penderita. Penelitian ini bersifat retrospektif dimana efek atau outcome ditelusuri kebelakang (backward) untuk diidentifikasi penyebab atau faktor risikonya, dengan membandingkan kelompok kasus dan kontrol. Efek yang ingin dilihat adalah kejadian penyakit TB Paru yang diidentifikasi saat ini, sementara faktor risiko berupa faktor karakteristik dan lingkungan yang diduga sebagai pemacu (confounding) diidentifikasi pada masa lalu.
27
Secara sederhana, rancangan kasus control pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut: Lingkungan memenuhi syarat Lingkungan tidak memenuhi syarat Lingkungan memenuhi syarat
Sakit TB Paru (kasus)
Tidak TB Paru (kontrol)
Lingkungan tidak memenuhi syarat Gambar 4.1 : Desain penelitian B. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Mei 2014, bertempat di Kecamatan Curug dengan jumlah penduduk 47.308 jiwa. Pemilihan lokasi penelitian karena berdasarkan Laporan Dinas Kota Serang, telah terjadi penyakit TB Paru di Kecamatan Curug Kota S erang pada bulan Oktober 2013 - Februari 2014. C. Populasi Dan Sampel 1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah di Kecamatan Curug. Populasi kasus adalah penderita pada kejadian penyakit TB Paru di Kecamatan Curug pada bulan Oktober 2013 – Februari 2014. Populasi kasus berjumlah 87 orang berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Curug. Sedangkan populasi control adalah bukan penderita pada kejadian penyakit TB Paru di Kecamatan Curug pada bulan Oktober 2013 – Februari 2014. Populasi control b erjumlah 47221 orang. 2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karateristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2007).Sampel pada penelitian ini dibedakan menjadi sampel kasus dan sampel kontrol.
28
Sampel kasus adalah penderita yang telah didiagnosis petugas kesehatan sesuai juknis yang berlaku sebagai penderita TB Paru dengan gejala dan tanda klinis seperti dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa nyeri dada dan badan lemas dan bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang pada bulan Oktober 2013- Februari 2014. Sampel kontrol adalah orang yang tidak didiagnosis petugas kesehatan sesuai juknis yang berlaku sebagai penderita dan tidak mengalami gejala TB Paru serta dan bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang pada Oktober 2013 - Februari 2014. Lokasi rumah sampel kontrol adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Kriteria inklusi sampel kasus adalah: a. Penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014. b. Penduduk yang telah didiagnosis petugas kesehatan sebagai penderita TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014. c. Kesediaan yang bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014.
1) Besar Sampel
Besar sampel minimal dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk desain studi kasus kontrol uji hipotesis perbedaan dua proporsi (Ariawan, 2005)
n=
ɑ/ [ ()] [( )()]² ( )²
Keterangan : n : Jumlah sampel minimal ɑ
: Kesalahan tipe I, ɑ=0.05
β
: Kesalahan tipe II, ß=0,2
P2 : Proporsi terpajan pada kontrol P1 : Proporsi terpajan pada kasus P
: ½ (P₁+P₂)
29
Dari perumusan diatas dan berdasarkan pada perhitungan P ₂ dan OR hasil penelitian terdahulu, dimana jumlah sampel setiap variabel dengan ɑ=0.05 perbandingan satu kasus dan satu kontrol dapat dihitung besar sampel minimal seperti tabel b erikut. Tabel
4.2
Jumlah
Sampel
Untuk
Setiap
Variabel
Dengan
Perbandingan Satu Kasus Satu Kontrol No.
Variabel Ventilasi
1.
Ruangan
2.
Peneliti
P₂
OR
P₁
P
N
Dahlan, 2001
0,44
3,27
0,72
0,58
36
0,50
3,57
0,78
0,64
45
Kepadatan
Helda Suarni,
Hunian
2009
Contoh perhitungan dengan P = 0,50, OR= 3,57 dan n=45 (Helda suarni, 2009).
) ( ) ( ) ,×, = ( ,×,)( ,)
P1 =
(
= 0,78
ɑ/ [ ()] [() ( )]² n= ( )² , [×,(,)],,(,),(,)² = (,,) = 45
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas, maka diperoleh hasil jumlah sampai minimal yang dapat diambil adalah 45 orang, dengan perbandingan sampel antara kasus dan kontol 1:1, dimana 45 responden sebagai kelompok kasus dan 45 responden sebagai
kelompok
kontrol,
keseluruhan adalah 90 orang.
sehingga
jumlah
sampel
secara
30
2) Teknik Dan Cara Pengambilan sampel
Sebagai sampel pada penelitian ini adalah penduduk di Kecamatan Curug Kota serang. Sampel kasus yang diambil adalah total populasi kasus berdasarkan daftar nama penderita TB Paru di Kecamatan Taktakan Kota Serang. Daftar nama penderita di peroleh dari data Puskesmas Curug dan Kader setempat. Sedangkan sampel kontrol adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Pengambilan sampel kontrol diambil secara simple random sampling, artinya seluruh penduduk Kecamatan Curug Kota Serang yang tidak menderita TB Paru dapat dijadikan sebagai sampel kontrol.
D. Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data Faktor Lingkungan Data lingkungan fisik dapat dengan melakukan Observasi dan p engukuran dilapangan melalui kunjungan rumah pasien TB Paru sebagai kasus setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium. Meteran untuk mengukur luas ventilasi dan luas lantai rumah. Sedangkan alat ukur untuk kepadatan hunian rumah dengan melakukan observasi dan wawancara menggunakan kuisioner. Hal sama juga dilakukan untuk kontrol. 2. Pengumpulan Data Kejadian TB Paru Data kejadian TB Paru didapat dengan melihat dokumen status pasien yang sebelumnya melakukan pemeriksaan mikroskopik di laboratorium. Dalam pelaksanaan pengumpulan data ini dibantu oleh petugas puskesmas dan kader denan langkah-langkah sebagai berikut : a. Melakukan verifikasi semua tersangka penderita TB Paru BTA positif di puskesmas Curug yang tercatat pada buku register TB Paru mulai bulan Oktober 2013 sampai Februari 2014. b. Memilih semua penderita TB Paru BTA Posotif sebagai kasus sebagai jumlah yang diperlukan untuk p enelitian. c. Memilih tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug.
31
d. Melakukan
wawancara,
observasi,
dan
pengukuran
untuk
mendapatkan informasi mengenai lingkungan fisik rumah. E. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data dengan langkahlangkah sebagai berikut (Hastono, 2007). 1. Pemeriksaan ( Editing) data, yaitu pengecekan isian daftar pertanyaan ataukuisioner dari sisi kelengkapan, kejelasan, relevansi dan konsistensi jawaban. Kegiatan ini langsung dilakukan pada hari yang sama dengan pengisian kuesioner. Jika ditemukan data belum lengkap, maka mengambil data akan diminta untuk melengkapi atau memperbaiki kuesioner dengar cara menemui responden kembali. 2. Pemberian kode ( Coding) data, yaitu kode pada variabel dengan jenis data kategori yaitu variabel kejadian pen yakit TB Paru, pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian. Dalam pemberian kode berdasarkan tingkat resiko pada variabel yang terdiri 2 kategori, maka untuk hasil pengukuran yang tidak berisiko diberi kode yang lebih tinggi (misalnya : 1). Yang berisiko untuk variabel yang terdiri lebih dari 2 kategori, pada saat dilakukan analisis bivariat akan dirubah menjadi 2 katergori dengan cara menggunakan (collaps) b eberapa kelompok data. 3. Processing adalah kegiatan memproses data setelah semua kuisioner terisi penuh dan benar, serta su dah melewati pengkodean agar data yang sudah di
entry
dapat di analisis. Pemrosesan data dilakukan dengan
menggunakan program computer yaitu Sofware Statistik, pada saat proses pengolahan data dilakukan compude data. Fungsi compute digunakan pada :
Variabel pencahayaan ruangan diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan luxmeter.
Variabel ventilasi ruangan diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan rollmeter.
Variabel kelembaban ruangan diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan hygrometer.
32
Variabel lantai rumah diperoleh dari observasi yang kemudian
dijumlahkan keseluruhan. Hasil beresiko diberi nilai 0 dan yang tidak beresiko diberi nilai 1. Jika pada nilai total diperoleh nilai nol, maka dinyatakan tidak memenuhi syarat kedap air.
Variabel kepadatan hunian diperoleh dengan cara membagi luas rumah dengan jumlah penghuni dalam satu rumah.
4. Membersihkan ( cleaning) data, merupakan kegiatan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukan kedalam program komputer. Jika ditemukan data yang tidak sesuai maka dilakukan pengulangan dalam proses entry data sehingga menjadi sesuai dengan isi yang ada pada kuisioner.
F. Analisa Data
Setelah dilakukan pengolahan data langkah berikutnya adalah menganalisis data sehingga data tersebut mempunyai arti/makna yang dapat berguna untuk memecahkan masalah penelitian. Analisia data pada penelitian ini akan dilakukan dengan bantuan program computer yang sesuai. Tahapan kegiatan analisa data yang akan dilakukan meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. 1. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran data mengenai distribusi frekuensi dan proporsi dari tiap variabel dalam penelitian ini. Pada penelitian ini diperoleh data mengenai distribusi frekuensi variabel dependen yaitu, kejadian penyakit TB Paru dan distribus ifrekuensi
variabel independen yaitu faktor lingkungan yang disajikan dalam bentuk proporsi ( persentase). 2. Analisis Bivariat Dilakukan dengan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan ɑ= 0,05 untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dan variabel lainnya. Uji
Chi Square bertujuan untuk
menganalisis ada atau tidaknya hubungan variabel independen dan variabel lainnya dengan variabel kejadian TB Paru BTA positif, yang semuanya merupakan data kategorik untuk melihat kebermaknaan secara
33
statistic. Jika nilai P yang didapat lebih kecil dari nilai α =0,05ak an diinterpretasikan bahwa variabel-variabel tersebut memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru. Penyajianan analisis bivariat dilakukan dengan membuat table dan diinterpretasikan dalam bentuk narasi. Sedangkan untuk melihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara faktor resiko dan faktor efek dilihat melalui nilai Odds Ratio (OR). OR dalam hal ini untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dan menunjukan terjadinya penyakit pada kelompok yang tidak terpapar. Interval estimasi OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan sebesar 95% CI (confident Interval).
P value ≤ α, maka uji statistic menunjukan adanya hubungan yang bermakna.
P value ≥ α, maka uji statistic menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna.
Dalam penelitian kasus control, dikenal dengan adanya nilai Ods Ratio (OR), yaitu nilai yang dihitung untuk mengetahui perbandingan benar resiko antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan, dengan ketentuan :
Bila OR < 1 artinya faktor protektif, yaitu faktor yang dapat mencegah untuk terjadinya suatu penyakit.
Bila nilai OR = 1 artinya faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko.
Bila nilai OR > 1 artinya faktor yang diteliti merupakan faktor risiko.
G. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 1. Uji Validitas
Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel (Pertanyaan) dikatakan valid bila
34
skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya (Hastono, 2007 : 54)
(Ү)() .(Ү) r= {. ()}.{.Ү (Ү)} Ket: r
= Koefisien korelasi
n
= Jumlah responden
ΣΧi
= Jumlah skor item
ΣҮi
= Jumlah skor total
Keputusan uji: Bila r hitung > r tabel
Ho ditolak, artinya item valid
Bila r hitung < r tabel
Ho gagal ditolak, artinya item tidak valid
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pe ngukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan alat ukur yang sama, (Hastono, 2007). Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
one shot/ skala ukur. Penelitian dilakukan dengan
perangkat lunak pengolahan data, langkah-langkah yang digunakan antara lain: mengajukan kuisioner kepada sejumlah responden, kemudian dihitung validitas masing-masing pertanyaan. Suatu instrument dikatakan reliable jika r alpha (α) lebih besar dari r tabel.
35
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH (PENCAHAYAAN, VENTILASI, KELEMBABAN, JENIS LANTAI, DAN KEPADATAN HUNIAN) DENGAN KEJADIAN TB PARU DI KECAMATAN CURUG KOTA SERANG TAHUN 2014
Nama Pewawancara : ……………………. Nama Responden
: …………………….
Umur Responden
: …………….. Tahun
Jenis Kelamin
: L/P
Alamat
: ………………..…… Rw : ………….. Rt : ……………
Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah
Pekerjaan
5. Tamat SMA
2. Tidak Tamat SD
6. Akademi
3. Tamat SD
7. Sarjana
4. Tamat SMP
8. Pasca Sarjana
: 1. Pegawai Negeri
6. Pedagang/ Wiraswasta
2. Pegawai Swasta
7. Ibu Rumah Tangga
3. TNI/Polri
8. Pelajar
4. Petani
9. Lainnya, sebutkan: ……..
5. Nelayan
IDENTIFIKASI GEJALA TB PARU
1. Apakah anda mengalami batuk terus menerus atau berdahak selama 3 minggu atau lebih? a) Ya b) Tidak 2. Jika ya, apakah batuk yang terus menerus disertai mengeluarkan dahak dan demam meriang? a) Ya b) Tidak
36
3. Saat menderita gejala tersebut apakah anda mengalami batuk darah? a) Ya b) Tidak 4. Apakah ibu/bapak merasa sesak nafas dan nyeri dada? a) Ya b) Tidak 5. Apakah ibu/bapak merasa lemas? a) Ya b) Tidak 6. Apakah ibu/bapak sedang mengalami penurunan berat b adan? a) Ya b) Tidak 7. Apakah ibu/bapak sering mengalami keringat saat malam hari? a) Ya b) Tidak 8. Apakah nafsu makan ibu/bapak berkurang? a) Ya b) Tidak PENGUKURAN PENCAHAYAAN
1. Apakah dirumah anda cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan rumah? a) Ya b) Tidak 2. Apakah disetiap ruangan rumah anda ada pencahayaan? a) Ya b) Tidak 3. Apakah setiap hari anda suka membuka jendela? a) Ya b) Tidak pernah sama sekali c) Jarang
37
PENGUKURAN VENTILASI RUANGAN (KAMAR TIDUR)
1. Berapa luas lantai kamar tidur ………. m 2 (ukur oleh pewawancara) 2. Apakah di dalam kamar tidur anda terdapat ventilasi? 1. Ya 2. Tidak (Langsung ke pengukuran pencahayaan) 3. Bagaimana kondisi ventilasi kamar tidur? (Lihat oleh pewawancara) 1. Ditutup permanen 2. Tidak ditutup permanen 4. Berapa luas ventilasi/jendela kamar tidur? (ukur oleh pewawancara) ……….. m
2
5. Bagaimana hasil pengukuran ventilasi kamar tidur? 1. Memenuhi syarat 2. Tidak memenuhi syarat KELEMBABAN
1. Berapakah kelembaban ruangan rumah anda? (ukur oleh pewawancara) …………. % 2. Berapakah
suhu
ruangan
rumah
anda?
◦
……………… C 3. Bagaimana kondisi kelembaban rumah anda? a) Gelap dan lembab b) Terang tapi lembab c) Terang dan hangat JENIS LANTAI
1. Apakah jenis lantai rumah anda? a) Semen b) Keramik/porselin c) Ubin d) Tanah e) Kayu f) Lainnya, sebutkan : ……….
(ukur
oleh
pewawancara)