PROBLEMATIKA KONSELOR MENYAMARATAKAN CARA PEMECAHAN MASALAH KONSELI DAN SOLUSINYA
Pendahuluan
Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pembelajaran. Mengingat bimbingan dan konseling sebagai bagian sentral pemahaman, pemeliharaan, pengembangan dan pengentasan dari keseluruhan kebutuhan siswa agar bisa mencapai prestasi optimal dalam dinamika tumbuh dan berkembang. Empat bidang bimbingan dalam bimbingan dan konseling yaitu, bidang karir, bidang belajar, bidang pribadi dan bidang sosial merupakan ruang ruang profesional konselor dalam melakukan kegiatan layanan dan bimbingan secara profesional, yang harus dijalankan konselor untuk membantu siswa secara optimal dan mandiri (Permendiknas No. 22/2006 tentang standar isi dan satuan pendidikan dasar dan menengah). Banyak sekali peran dan tanggung jawab konselor kepada siswa dalam ruang lingkup bimbingan dan konseling. Tidak saja menyangkut permasalahan yang di alami siswa, namun juga melayani konsultasi dalam kaitannya dengan pengembangan diri siswa. Untuk itulah kinerja guru pembimbing atau konselor di sekolah harus di lakukan secara komprehensif.
Kekuatan eksistensi suatu profesi bergantung kepada pengakuan dan kepercayaan masyarakat atau public trust (Biggs & Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Pemahaman orang yang keliru dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi dikalangan orang-orang yang berada diluar bimbingan dan konseling tetapi juga banyak ditemukan dikalangan orang-orang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling.
Masalah-masalah internal dan eksternal masih menjadi bagian kendala pelaksanaan kinerja guru pembimbing atau konselor di sekolah. Penguasaan kompetensi dan keterampilan sebagai bentuk kualitas sumber daya manusia juga menjadi sisi sentral terkendalanya kinerja guru pembimbing atau konselor di sekolah. Menurunnya kinerja guru pembimbing atau konselor di sekolah diakibatkan oleh beberapa faktor, baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal bisa disebabkan oleh kompetensi yang kurang atau tidak maksimal, rendahnya tanggung jawab profesional kerja dan masalah yang terjadi atau dirasakan oleh pribadi guru pembimbing. Sedangkan masalah eksternal di antaranya disebabkan sistem yang tidak mendukung, budaya ke-BK-an yang tidak nampak, program BK yang tidak jelas atau tidak dijalan kan secara maksimal, dukungan pimpinan atau kepala sekolah yang kurang optimal.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis akan membahas tentang salah satu problematika internal dalam pelaksanaan BK yaitu konselor menyamaratakan cara pemecahan masalah konseli. Permasalahan yang diangkat dikuatkan melalui beberapa bukti di lapangan serta kaitannya dengan teori dan kode etik dalam bimbingan dan konseling. Fokus pembahasan adalah tentang sebab dan akibat timbulnya permasalahan dan solusi dalam menyelesaikan permasalahan konselor menyamaratakan pemecahan masalah konseli.
Problematika Konselor Menyamaratakan Cara Pemacahan Masalah Konseli
Fenomena dan ciri-ciri permasalahan
Sebagai calon pendidik konselor tentu merasa sangat prihatin dengan keadaan BK disetiap sekolah, hampir disemua sekolah guru BK mengalami kendala dan masalah yang beragam, penyebab masalah dapat timbul dari berbagai faktor, sehingga hanya sedikit sekolah saja yang mampu menjalankan BK dengan baik. Kita merasa prihatin jika pelaksanakan tugas-tugas BK di sekolah kurang maksimal, oleh karena itu untuk dapat mingkatkan kinerja BK disekolah kita harus bekerja keras agar eksistensi BK disekolah dapat diakui keberadaanya dan terasa manfaatnya baik terhadap siswa, guru, sekolah dan masyarakat.
Permasalahan yang timbul tidak hanya dari luar BK (masyarakat), melainkan dari orang yang terlibat langsung dalam BK (konselor). Salah satunya adalah konselor yang menyamaratakan pemecahan masalah konseli. Penulis berusaha menemukan fakta terkait permasalahan tersebut melalui wawancara tidak langsung dengan beberapa konselor di kota Palu Sulawesi Tengah. Hasilnya, penulis mendapatkan informasi bahwa konselor menggunakan cara yang sama dalam memecahkan masalah konseli. Permasalahan tersebut dapat digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Konselor dalam menghadapi masalah siswa, seperti perkelahian, bolos, terlambat, hanya dengan menggunakan surat pernyataan untuk tidak mengulanginya. Apabila masalah terulang kembali maka konselor akan memanggil orang tua siswa yang bersangkutan.
Konselor memberi nasehat pada setiap permasalahan yang dikeluhkan oleh siswa. Pemberian nasehat didasarkan pada pengalaman pribadi konselor itu sendiri. Tindakan tersebut merupakan perilaku verbal konselor yang tidak efektif (Okun dalam Willis, 2004).
Konselor hanya menggunakan konseling individual dalam mengatasi masalah siswa.
Fenomena di atas merupakan tindakan konselor yang tidak sesuai dengan konsep-konsep bimbingan konseling secara komprehensif. Proses konseling hendaknya tidak dipandang sebagai urutan pilihan konselor terutama dalam menentukan interpretasi terhadap perilaku konseli, menentang pikiran yang irasional konseli, memberi saran, atau hanya mendengar dengan tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini model konseling akan memberikan rujukan dalam membatasi dan memfokuskan tujuan, waktu dan prosedur kerjanya (Steven & Garske, 1985).
Sebab dan akibat timbulnya permasalahan
Ada beberapa alasan mengapa konselor menyamaratakan cara pemecahan masalah konseli, diantaranya:
Konselor kurang memahami prosedur pemecahan masalah dalam BK.
Tindakan pemecahan dianggap efektif (contoh pemberian nasehat) dan efisien waktu
Kurangnya pengawasan dari pihak-pihak yang terkait langsung (konselor lain) dan tidak langsung (kepala sekolah, lembaga profesi) dalam BK
Konselor dijadikan sebagai tempat sampah bagi setiap siswa yang bermasalah, sehingga konselor beranggapan yang terpenting adalah masalah siswa terselesaikan, bukan bagaimana siswa mampu menyelesaikan masalahnya.
Berdasarkan penyebab terjadinya permasalahan membuktikan bahwa konselor belum mampu menunjukkan kinerja profesionalnya. Solehuddin (2000) menjelaskan tentang istilah kinerja profesional yang didefinisikan sebagai: "perangkat perilaku nyata konselor dalam merealisasikan program bimbingan dan konseling di sekolah sesuai dengan tuntutan profesi bimbingan dan konseling sesuai dengan standar yang dituntut dalam profesi bimbingan tersebut". Jadi, konselor dapat dikategorikan telah memiliki kinerja profesional jika telah mampu merealisasikan program-program BK sesuai dengan standar yang dituntut dalam profesi bimbingan. Jika konselor belum mampu merealisasikan program-program BK maka konselor belum memiliki kinerja profesional.
Dari beberapa penyebab timbulnya masalah konselor menyamaratakan cara pemecahan masalah konseli, ada pula akibat yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut, antara lain:
Tidak teridentifikasinya penyebab dari permasalahan konseli, dimana dari hasil identifikasi masalah memungkinkan konselor menemukan alternatif solusi bagi konseli.
Penyelesaian masalah melalui pemberian nasehat menyebabkan konseli tidak mandiri dalam menyelesaikan masalahnya dan hanya bergantung pada konselor ketika mengahadapi masalah. Konselor pun hanya berdasar pada pengalaman pribadinya yang mungkin berbeda dengan pengalaman dan situasi yang dialami konseli.
Penyelesaian masalah (contohnya: bolos, terlambat ke sekolah) melalui surat perjanjian tidak membantu siswa mengatasi masalahnya, bahkan ada kemungkinan siswa tetap mengulangi kesalahan tersebut.
Konseling merupakan layanan profesional yang memanfaatkan hubungan antar individu. Hubungan yang bersifat membantu itu harus lurus dengan memegang etika antar manusia. Karena itu, hubungan tersebut harus dilindungi dari perilaku yang salah dari pihak konselor, konseli maupun masyarakat. Perlindungan itu pada umumnya ditata dalam bentuk kode etik (Natawidjaja, 2002).
Walau mungkin masalah yang dihadapi konseli sejenis atau sama tetapi tetap saja tidak bisa disamaratakan dalam penyelesaiannya. Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi konseli dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua konseli dan semua masalah. Masalah yang tampaknya "sama" setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.
Harus dipahami bahwa setiap manusia itu berbeda dalam kepribadian dan kemampuannya. sehingga dalam penyelesaian masalah harus disesuaikan dengan keadaan konseli itu sendiri. Bahkan jika seorang konselor ingin mengadopsi cara/teknik penyelesaian dari konselor lain, maka harus disesuaikan juga dengan kemampuan konselor itu sendiri (yang mengadopsi).
Solusi Problematika Konselor Menyamaratakan Cara Pemecahan Masalah Konseli
Solusi umum
Perilaku nyata yang dikerjakan konselor mengandung maksud bahwa akitivitas-aktivitas yang dilakukan erat kaitannya dengan tugas, fungsi dan tanggung jawab konselor, seperti: menyusun program bimbingan dan konseling (BK); menghimpun dan menganalisis data siswa; menyelenggarakan pelayanan BK kepada siswa; mengorganisasi dan mengadministrasi program BK; menyelenggarakan layanan BK yang disertai konsultasi dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait baik yang ada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah; mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan dan hasil program bimbingan; dan melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan organisasi profesi dan kegiatan keilmuan dalam bidang BK. Konselor (Guru Pembimbing/Guru BK) adalah salah satu dari tenaga kependidikan di sekolah, yaitu sebagai penanggung jawab terlaksananya kegiatan bimbingan dan konseling yang mencakup dimensi kemanusiaan (Neviyarni, 2002).
Oleh karena itu ada beberapa saran secara umum yang dapat direnungkan dan dilaksanakan antara lain adalah sebagai berikut:
Buatlah program BK sesuai dengan kubutuhan dan situasi kondisi sekolah
Laksanakan program sesuai dengan kemampuan anda dan sekolah
Laksanakan sosialisasi tentang tugas BK di sekolah agar para siswa, guru dan kepala sekolah memahaminya tentang tugas-tugas BK di sekolah.
Jangan terlalu menuntut kepada sekolah untuk melengkapi sarana dan prasarana BK jika sekolah memang tidak mampu menyediakannya. Namun membuat usulan adalah hal yang bijak untuk dilaksanakan.
Kuasai konsep BK dan jangan malu bertanya jika anda memang tidak menguasai layanan BK di sekolah, bertanya lebih baik dari pada salah dalam melaksanakan layanan BK.
Jalin kerja sama yang solid antar guru BK melalui komunikasi intensif dalam forum MGBK, ABKIN dan forum-forum lain yang dapat meningkatkan kinerja BK.
Segera di "referal" atau alih tangankasuskan. Jangan memaksakan diri untuk menangani kasus yang bukan menjadi tanggung jawab anda sepeti narkotika, kasus-kasus kriminal, atau kasus-kasus kelainan jiwa. Jika hal ini terjadi di sekolah, maka segera koordinasi dengan pihak terkait.
Tumbuhkan niat dan mantapkan hati bahwa "Saya akan menjadi guru BK yang professional mulai hari ini".
Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesionalnya dalam bidang pelayanan konseling, karena konselor digolongkan ke dalam kualifikasi pendidik, dan oleh karenanya pula kualifikasi akademik seorang konselor pertama-tama adalah Sarjana Pendidikan, sesuai dengan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK). Berkenaan dengan peranan konselor di sekolah, maka dibutuhkan kompetensi yang memadai dari seorang konselor sehingga peranan konselor di sekolah dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Atas dasar keilmuan inilah konselor akan menguasai dengan baik kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagai dasar dalam memahami peserta didik (sebagai sasaran pelayanan konseling) dan memahami seluk beluk proses pembelajaran yang akan dijalani peserta didik melalui pelayanan konseling. Dalam hal ini proses konseling tidak lain adalah proses pembelajaran yang dijalani oleh sasaran layanan bersama konselornya. Dalam arti yang demikian pulalah, konselor sebagai pendidik diberi label juga sebagai agen pembelajaran.
Konselor yang profesional bekerja berdasarkan standar dan aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga profesinya yang tertuang dalam kode etik. Kode etik merupakan pernyataan-pernyataan yang berisi persyaratan tindakan yang harus dilakukan dan tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam kegiatan layanan konseling. Nilai-nilai dan etika sangat berhubungan, karena etika seorang individu dan kelompok mencerminkan nilai mereka. Bixler & Seaman (Beck, 1971) menyatakan bahwa "etika merupakan prinsip-prinsip dari suatu tindakan yang berdasarkan sistem nilai yang biasa berlaku di suatu tempat. Karena itu tuntutan bagi seorang konselor adalah memaknai hakekat konseling dengan menunjukkan sikap profesionalisme yang konsisten dengan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masayarakat.
Dari etika dan nilai-nilai ke hakikat sangatlah dekat maknanya. Hakikat merupakan gabungan nilai-nilai, biasanya menghasilkan pernyataan-pernyataan berupa postulat-postulat, asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip. Ellis dalam Paterson (1986), mengemukakan beberapa prinsip yang harus diterapkan konselor dalam konseling adalah:
Kepercayaan bahwa kehidupan manusia, kebahagiaan dan kesejahteraan adalah untuk dinilai;
Menonjolkan/menegaskan bahwa manusia adalah tuan bagi takdirnya sendiri, dengan pemahaman yang tepat dalam mengembangkan minat-minat dengan caranya sendiri.
Penentuan bahwa harga diri setiap orang itu bernilai seharusnya dihargai sepanjang waktu dan berbagai kondisi.
Anggapan atau asumsi bahwa setiap individu memiliki hak dan kebebasannya.
Solusi Khusus
Internal
Langkah awal yang perlu dipertimbangkan oleh konselor adalah mepertanyakan "mengapa Anda ingin menjadi konselor" dan renungkanlah sebentar. Jika kita tidak hati-hati, motivasi untuk menjadi konselor bisa saja berpengaruh negatif terhadap cara kita bekerja sebagai konselor. Menyadari motivasi dan kepentingan diri sendiri adalah hal yang penting. Dengan kesadaran ini kita akan lebih mampu mencegah pemenuhan agar pemenuhan kepentingan diri sendiri tidak menganggu proses konseling dan kemampuan kita memenuhi kebutuhan-kebutuhan konseli (Geldard & Geldard, 2011).
Kesadaran konselor dalam mempengaruhi nilai konseli akan sangat menentukan proses dan hasil sebuah konseling oleh karena itu sangat wajar bila Corey dkk., (1988), mengingatkan ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan konselor di saat mempengaruhi nilai-nilai konseli, yaitu:
Tidak ada keraguan sama sekali bahkan secara universal prinsip-prinsip dan peraturan yang ada bukan merupakan ketentuan filosofis kehidupan. Setiap individu berbeda, unik dan untuk beberapa hal mungkin tidak sama dengan orang lain.
Terlalu besar harapan konseli agar konselor berbuat banyak dalam mengubah kehidupannya.
Proses konseling bukanlah tempat yang tepat untuk memberi instruksi tentang etika dan filosofis kehidupan.
Individu tidak membangun sistem tentang nilai-nilai atau hakikat kehidupan dalam jangka waktu yang pendek, tapi dihasilkan dalam jangka waktu yang panjang dengan pengaruh yang ada.
Akan lebih baik bila individu mengembangkan filosofi uniknya sendiri daripada dari orang lain karena hal itu akan lebih berarti dan efektif.
Konselor harus menerima di kala konseli menolak untuk menerima sistem nilai atau filosofi kehidupan yang diajukan.
Ellis, Shertser and Stone (1980), menyatakan bahwa "Counseling is an interaction process that facilitates meaningful understanding of self and environment and results in the establisment and/or clarification of goals and values for future behavior". Konseling adalah proses interaksi yang memfasilitasi dan mengklarifikasi makna pemahaman diri dan lingkungan, tujuan-tujuan serta nilai-nilai perilaku konseli pada waktu yang akan datang. Senada dengan pendapat yang dikemukakan Pepinsky (1954) bahwa hubungan atau relationship berarti hubungan yang mengacu kepada pengaruh elemen-elemen emosional dari suatu interaksi, di mana hubungan ini didasarkan pada observasi terhadap sikap atau tingkah laku konseli.
Hackey dan Cormier (1988) mengungkapkan bahwa dalam mengkonseptualisasi masalah, penting untuk menunjukkan kepada konseli bahwa sikap-sikap konseli, respon-respon emosional terhadap masalahnya, kebiasaan dan rutinitas yang tidak dipikirkan atau respon yang tidak tepat, serta pola-pola interaksi sebagai cara mereaksi terhadap orang lain, termasuk miskomunikasi, harapan, dapat berkontribusi terhadap masalahnya, dapat merintangi solusinya, dan dapat menjadikan masalah. Berdasarkan keragaman konseli dan perberbedaan orientasi konselor, secara umum seorang konselor hendaknya menunjukkan sikap dan perilaku sebagai berikut.
Berusaha meciptakan suasana dan hubungan konseling yang kondusif;
Berusaha menjaga sikap objektif terhadap konseli;
Mengekplorasi faktor penyebab masalah-masalah psikologis, baik masa lalu maupun masa kini;
Menentukan kerangka rujukan atau perangkat kognitif terhadap kesulitan konseli dengan cara yang dapat dimengerti konseli;
Konseling memiliki strategi untuk mengubah kembali perilaku salah suai, keyakinan irasional, gangguan emosi dan menyalahkan diri sendiri;
Mempertahankan trasfer pemahaman tentang perilaku baru yang diperlukan konseli dalam kehidupan sehari-harinya;
Menjadi model atau contoh sosok yang memiliki sikap sehat dan normal;
Menyadari kesalahan yang pernah dibuat dan resiko yang dihadapi;
Dapat dipercaya dan mampu menjaga kerahasiaan;
Memiliki orientasi diri yang selalu berkembang; dan
Iklas dalam menjalankan profesinya;
Tujuan penyelenggaraan BK di sekolah tercapai atau tidak, sangat ditentukan oleh kinerja guru pembimbing, karena guru pembimbing adalah personil yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh.
Eksternal
Beberapa upaya untuk mendukungnya keahlian dan kompetensi yang tercermin dalam sikap dan perilaku konselor itu menuntut:
Persyaratan calon konselor profesional, tidak hanya berdasarkan batas minimal jenjang pendidikan tetapi menekankan juga pada syarat-syarat pribadi seperti kecerdasan, bakat, minat dan aspek-aspek pribadi lainnya yang diyakini menunjang profesinya.
Penentuan akreditasi pendidikan calon konselor dan pemberian lisensi atau kewenangan seorang konselor sebagai surat kepercayaan yang dilakukan organisasi profesi dengan standar nasional perlu dilakukan secara kontinyu.
Penataan perkuliahan tidak hanya menekankan pada aspek-aspek matakuliah tetapi memiliki kesinambungan antar matakuliah dan pelaksanaan praktikum baik di laboratorium maupun di lapangan.
Pemberian kesempatan untuk praktek dan evaluasi diri serta pengembangannya bagi konselor yang telah memenuhi standarisasi profesi hendaknya terus dilakukan baik oleh ABKIN maupun lembaga dimana seorang konselor bekerja.
Memperhatikan beberapa sifat yang harus dimiliki konselor, tidak berlebihan jika Daubner dan Daubner (Carlton, 1971), menyarankan supaya konselor memiliki bekal : (1) pengetahuan tentang etika, (2) pengetahuan tentang pembuatan keputusan, dan (3) perlu kebajikan dan kebenaran (rightness) dalam setiap keputusan yang diberikan..dan nilai kebajikan dan kebenaran yang hakiki adalah bersumber dari agama. Dengan kata lain, sangat kurang pantas apa bila seorang konselor belum atau tidak mengetahui kode etik profesinya.
Kode etik profesi yaitu serangkaian peraturan profesional yang harus dipergunakan para anggota suatu profesi dalam pelaksanaan praktek profesionalnya. Aturan-aturan itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan oleh semua anggota profesi dalam pemberian layanannya. Dengan demikian semua anggota profesi harus tunduk pada aturan-aturan standar itu sebab bagi yang melanggar akan diberikan sanksi atau hukuman oleh masyarakat organisasi profesinya (Woolfe, Ray & Windy, 1998).
Kode etik suatu organisasi profesi secara spesifik harus menjelaskan kepada para anggotanya mengenai prinsip-prinsip yang membatasi tingkah laku anggota-anggotanya dan menjadi dasar bagi pengaduan-pengaduan etis yang dihadapi para angotanya. Karena itu kode etik biasanya memuat hubungan layanan, kerahasiaan, tangung jawab profesional, hubungan dengan profesi lain, evaluasi dan interpretasi, pendidikan dan latihan, penelitian, publikasi dan penetapan atau memecahan isu etik (America Counseling Asosiations: Code of Ethic and Standards of Practice, 1996). Rancangan Kode Etik Konselor Indonesia tahun 2001, memuat tentang:
Kualifikasi Konselor: (1) nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan; (2) pengakuan atas kewenangan sebagai konselor.
Kegiatan Profesional: (1) penyimpanan dan penggunaan informasi dan (2) penanganan konseli.
Testing: (1) kewenangan konselor dalam pelaksanaan pelaksanaan testing, (2) prosedur testing dan (3) pemanfaatan hasil testing.
Riset: (1) prosedur riset, (2) pelaporan dan pemanfaatannya.
Layanan Individual: (1) hak konseli, (2) kewajiban konselor terhadap konseli dan atasannya.
Konsultasi dan Hubungan dengan rekan atau Ahli Lain: (1) konsultasi antar anggota, (2) evaluasi pelayanan dan (3) referral.
Hubungan Kelembagaan dan Hak serta Kewajiban Konselor: menetapkan kewajiban-kewajiban seorang konselor yang bekerja dalam suatu lembaga konsultasi serta dukungan dan perlindungan dari rekan-rekan seprofesi.
Kode etik konselor lebih mengedepankan perlindungan terhadap konseli terutama dalam penghargaan mereka sebagai individu yang memiliki hak dan martabat kemanusiaannya. Sedangkan arah pengembangan karir konselor belum terlihat sejara jelas. Namun demikian, penghargaan atas martabat konseli sangat wajar sebab menurut Biggs & Blocher (1986) kegiatan konseling memerlukan penilaian nilai. Artinya nilai-nilai konselor akan benar-benar mempengaruhi pilihan konseli di saat berpikir untuk mengambil suatu keputusan terbaik dan bermakna bagi diri dan lingkungannya.
Penguasaan kompetensi dan keterampilan sebagai bentuk kualitas sumber daya manusia juga menjadi sisi sentral terkendalanya kinerja guru pembimbing atau konselor di sekolah. Maka untuk itu peran evaluasi dan supervisi sangat diperlukan, tidak hanya sebagai kendali operasional, namun juga untuk mencari jalan keluar atau solusi dari permasalahan yang di hadapi oleh guru pembimbing atau konselor. Menilai proses dan hasil kegiatan BK dilakukan melalui pemantauan. Guru BK melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling, menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait, menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling.
Terdapat hubungan yang signifikan antara supervisi akademik dengan kinerja guru. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa cakupan supervisi akademik merupakan salah satu hal dalam meningkatkan kinerja guru (Barinto, 2012). Penilaian dapat dilakukan oleh konselor lain, pengawas, dan kepala sekolah. Prosedur penilaian dengan pemantauan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Penilai meminta guru BK/konselor menyediakan data hasil dan laporan evaluasi program (lapelprog) pelayanan BK.
Penilai meminta guru BK/konselor untuk menjelaskan proses pelayanan BK yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik/konseli.
Penilai meminta guru BK/konselor menunjukkan bukti dan menjelaskan bagaimana hasil layanan BK diinformasikan kepada pihak terkait sesuai dengan kebutuhan (misalnya peserta didik/konseli yang bersangkutan, kepala sekolah, wali kelas, guru mata pelajaran, dan orang tua) dan menjaga kerahasiaan diri peserta didik/konseli.
Penilai meminta guru BK/konselor menjelaskan bagaimana hasil evaluasi pelaksanaan program pelayanan BK dan bagian-bagian mana dari program tersebut yang harus direvisi dan dikembangkan untuk pelayanan BK selanjutnya.
Selain itu perlu ada dukungan dalam pengembangan kompetensi konselor dari lembaga pendidikan bagi calon konselor. Pemilihan calon mahasiswa adalah tahap awal dalam proses penyiapan konselor. Kegiatan ini sangat penting dalam menentukan pemerolehan calon konselor yang diharapkan. Komisi tugas, standar, dan kualifikasi konselor Amerika Serikat (Mortensi & Schmuller,1976), mengemukakan syarat-syarat pribadi yang harus dimiliki oleh konselor sebagai berikut:
Memiliki bakat skolastik yang memadai untuk mengikuti pendidikan tingkat sarjana atau yang lebih tinggi.
Memiliki bakat dan kemauan yang besar untuk bekerja sama dengan orang lain.
Memiliki kemampuan untuk bekerja dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.
Memiliki kematangan pribadi dan sosial, meliputi kepekaan terhadap orang lain, kebijaksanan, keajegan, rasa humor, bebas dari kecenderungan suka menyendiri, mampu mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan, dan mampu menerima kritik, berpenampilan menyenangkan, sehat, suara menyenangkan, memiliki daya tarik, dan bebas dari tingkah laku yang tidak menyenangkan.
Jika kita menginginkan kinerja guru BK menjadi efektif, sudah selayaknya sistem yang ada saat ini dibenahi segera, agar siswa di sekolah dapat mengembangkan beberapa potensi ranah kehidupan intrapersonal seperti: memiliki konsep diri yg positif, mampu mengatur diri, percaya diri, dan independen. Juga, siswa dapat mengembangkan ranah kehidupan interpersonal sehingga mereka memiliki kepedulian sosial, kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan, dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab. Dalam ranah kehidupan akademis, itu pun diharapkan berkembang sehingga siswa punya motivasi yang tinggi dalam belajar, dan dapat berprestasi dalam kesehariannya.
Penutup
Dari pembahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa, permasalahan konselor menyamaratakan cara pemecahan masalah konseli dapat timbul karena kurangnya kesadaran konselor akan keragaman konseli. Oleh karena itu sebagai langkah awal pengubahan, konselor perlu menumbuhkan kesadaran akan motivasi dan tujuannya sebagai konselor. Selanjutnya konselor perlu menyadari kemampuan diri dan tuntutan kompetensi yang harus dimiliki sebagai seorang konselor, sehingga diharapkan konselor selalu memiliki upaya untuk meningkatkan kompetensinya.
Faktor ekseternal yang turut meningkatkan kompetensi konselor adalah adanya evaluasi dan supervisi serta pembinaan dan pendampingan secara berkelanjutan yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan melalui pelatihan-pelatihan, workshop, seminar, diskusi, penelitian, musyawarah guru pembimbing dan sebagainya.
Dengan demikian kinerja konselor dalam pelaksanaan pelayanan BK di sekolah secara bertahap dapat semakin terus ditingkatkan.
Daftar Rujukan
ABKIN. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: ABKIN.
Barinto, 2012. Hubungan Kompetensi Guru dan Supervisi Akademik dengan Kinerja Guru SMP Negeri Se-Kecamatan Percut Sei Tuan. Jurnal Tabularasa Vol.9 No.2. Medan: PPS UNIMED.
Brammer, L.M & Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology. New Jersey : Prentice-Hall. Inc.
Corey, G. et al. 1988. Issues and Ethics in the Helping Professions: The Counselor as a Person and as a Profesisonal. New Yowk: Brooks/cole Publishing Company.
Hackey, H. K., & Cormier, L. S., 1988. Counseling Strategies and Interventions. New Jersey: Prentice Hall. (online), (http://kajianpsikologi.guru-indonesia.net/artikel_detail-17091.html#.UyhHuc7RWqU) diakses pada tanggal 17 Maret 2014
Geldard, K. & Geldard, D. 2011. Practical Counseling Skill: An Integrative Approach. (terjemahan) Eva Hamdiah. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Ismanto, H.S. 2013. Meningkatkan Kinerja Konselor Dalam Pelaksanaan Pelayanan Profesional Bk Di Sekolah. Prosiding Seminar Nasional. (online), (http://prosiding.ikippgrismg.ac.id/index.php/FIP13/fip013/paper/view/274/221) diakses pada tanggal 10 Maret 2014.
Jumail. 2013. Kompetensi Profesional Konselor dalam Perspektif Konselor Sekolah dan Peranannya Terhadap Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jurnal Ilmiah Konseling No. 1 Vol. 2. Padang: Universitas Negeri Padang.
M. H., R. Roy. 2013. Menyoal Kinerja Profesional Guru Bimbingan dan Konseling. PPPPTK Penjas dan BK. (online), (http://www.p4tkpenjasbk.or.id) diakses pada tanggal 10 Maret 2014.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. (online), (unnes.ac.id/wp-content/uploads/Permendiknas-no.-27-tahun-2008.pdf) diakses pada tanggal 10 maret 2014.
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Suherman, U. 2007. Kompetensi dan Aspek Etik Profesional Konselor Masa Depan. Jurnal Educationist No. 1 Vol. 1.
15