Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik atau jiwa orang tersebut. PTSD adalah krisis pengalaman traumatik yang sering disebabkan oleh physical abuse, korban kriminalitas, korban peperangan, bencana alam yang dipengaruhisupport system yang ada dan mekanisme koping individu. Pada kasus jugun ianfu akan mengalami PTSD karena tindakan pemerkosaan bertahun-tahun, pemerkosaan ini juga dapat membahayakan jiwa jugun ianfu ini, karena dalam keterangan Mardiyem, ketika vaginanya sudah berdarah, para tentara Jepang tidak perduli dan tetap melampiaskan nafsu seksualnya. Individu penderita PSTD mengalami suatu peristiwa yang didalamnya terdapat ancaman kematian atau cedera serius dan berespon dengan sangat takut, tidak berdaya atau ngeri. Tiga tipe gajala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama,pengulangan pertama,pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang itu, flashback kembali), nightmares(mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Jugun ianfuyang saat itu berusia 13-14 tahun akan terus mengingat tindakan pemerkosaan yang dialaminya, pada saat mereka menikah dan berhubungan intim mereka akan mengidentifikasikan mengidentifikasikan seks secara negatif yaitu seks merupakan tindakan tindakan pemaksaan hubungan seksual. Mereka akan cepat marah, tersinggung, sedih, menangis dan berteriakteriak bila ada stimulus yang membuat mereka teringat oleh peristiwa tersebut. Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan,a merasakan,atau tau percakapan yang berhubunga b erhubungan n dengan trauma. Jugun ianfuini disekap di bangunan berupa rumah besar (temboknya kekar, kusen dan pintunya setinggi dua meter) bersama para jugun ianfu yang lain. Mereka mungkin akan menghindari tempat-tempat seperti bangunan yang besar karena membuat mereka teringat atas tindakan pemerkosaan pemerkosaan yang mereka mereka alami. Selain itu juga kehilangan minat minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga , sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu. Jugun ianfu akan waspada dengan orang asing yang mencoba mendekatinya,, menaruh rasa was-was dan curiga pada setiap hal yang berhubungan mendekatinya berhubungan dengan traumatik masa lalunya. Jugun ianfu mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada berada sendirian. Mereka dapat dapat merasa ketakutan ketakutan pada saat hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat mereka tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Mereka dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan pemerkosaan pemerkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang biasa diminum tentara Jepang pada saat memerkosa, bau tentara Jepang yang khas antara sipir dan orang-orang berpangkat, berpangkat, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan tentara Jepang akan membuat mereka merasa cemas dan takut. t akut.
Pada kasus diatas, Emah Kastimah dan Mardiyem memang sudah melalui mekanisme tahapan koping individu dari yang tidak efektif menuju m enuju efektif. Dalam kasus terlihat Mardiyem dan Emah yang berusia lanjut dapat berbicara dengan tenang dan blak-blakan di Kick Andy. Mereka tampak tampak bisa membagi kisah masa lalunya. Mereka pun tetap berjuang berjuang menuntut keadilan karena hak asasi manusia mereka yang telah dirampas paksa oleh tentara Jepang.
Salah satu faktor yang memengaruhi mekanisme tersebut berasal dari support system terdekat yaitu suami Mardiyem, Mingun. Tampak pada kasus Mingun adalah sosok suami yang baik, penurut, dan pengertian. Mingun tidak pernah membahas masa lalu Mardiyem, yang membuatnya lebih mudah melupakan trauma masa lalunya. Mingun pun mampu memberikan kasih sayang kepada Mardiyem, dan menimbulkan kembali rasa aman-mencintai dan dicintai, sehingga Mardiyem berangsur-angsur berhasil melalui trauma masa lalunya. Walaupun sisa gejala PTSD masih ada yaitu sifat kehilangan minat terhadap semua hal yaitu cinta. Tampak dari ucapan Mardiyem yang mengaku sudah tidak bisa jatuh cinta lagi. Kasus berbeda dialami oleh Suhanah yang mengalami pendarahan, dalam keadaan stress berat. Rahimnya mengalami pendarahan di usia 90 tahunan. Seminggu sebelum meninggal, Suhanah tidak mau makan dan minum serta mengalami depresi berat, yang diungkap oleh Usep, anak angkatnya.. Support system yang tidak mendukung membuat Suhanah tetap mengalami gejala-gejala PSTD yaitu depresi, sedih, cemas, dan kehilangan minat terhadap semua hal yaitu makan dan minum.Support system terdekat yaitu keluarga tidak berperan secara efektif dan semakin memperburuk kondisi Suhanah, ini dilihat dari Suhanah yang pernah bercerai karena mertuanya mengetahui Suhanah bekas jugun ianfu. Walaupun akhirnya, Suhanah menikah lagi hingga akhir hidupnya. Lingkungan sekitar pun ber streotipe negatif tentang jugun ianfu yang dianggap sebagai pelacur, warga desa pun pernah mengucilkan Suhanah. Kondisi ini semakin membuat Suhanah tidak berhasil mengatasi dengan optimal traumatik masa lalunya. Tapi tentunya PTSD dialami oleh Emah Kastimah dan Mardiyem. Dalam kasus terlihat para jugun ianfu ini dipaksa untuk melayani hasrat seksual tentara Jepang, apabila menolak, mereka akan dihajar, dipukul, dan dibanting. Mardiyem yang sebulan setelah diaborsi paksa, akhirnya pun dipaksa kembali sebagai jugun ianfu, dia pun menolak dan akibatnya, Mardiyem dihajar habis-habisan, begitu pengakuannya di Kick Andy. Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika,yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami pemerkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan. Tanda dan gejala PTSD yang mungkin terjadi pada kasus ini menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison danNeala, 1990) adalah (1) sedih, suasana hati depresi; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur ( insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa
tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Kriteria nomor satu yaitu sedih, suasana hati depresi tentulah dialami oleh para korban pemerkosaan. Mereka tidak hanya dipastikan mengalami trauma fisik tetapi juga mereka mengalami trauma psikologis. Tindak pemerkosaan membawa dampak emosional dan fisi k kepada korbannya. Secara emosional, korban pemerkosaan bisa mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat pemerkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki, dan l ainlain. Pada kasus, jugun ianfu ini tinggal di sebuah bangunan berupa rumah yang dibangun semasa Belanda, temboknya kekar, kusen dan pintunya setinggi dua meter. Aktivitas keseharian mereka terbatas hanya di rumah ini. Jugun ianfu dipaksa bekerja mengenal waktu, kalau malam hari mereka “melayani” orang-orang berpangkat, sedangkan bila pagi sampai sore giliran yang lain. Penganiyaan seksual yang mereka alami berlangsung terus menerus dan bertahun-tahun. Mereka terus hidup dalam stressor yang akan membuat trauma yang cukup parah karena peristiwa pemerkosaan merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Dalam menjalani hari-harinya jugun ianfu selalu dalam kondisi bio-psiko-sosial yang stress karena harus melayani nafsu seksual tentara Jepang 5-6 orang, dari pagi sampai malam setiap harinya Tindakan pemerkosaan yang hanya dialami sekali akan membuat trauma mendalam, terlebih para jugun ianfu ini yang mengalaminya selama bertahun-tahun. Trauma fisik terlihat dialami oleh para jugun ianfu ini, dimana bila menolak untuk melayani, para jugun ianfu akan dihajar, dipukul, dan dibanting. Contoh lain adalah pernah pada suatu saat darah mengalir dari vagina Mardiyem.Namun tentara Jepang tidak perduli. Mardiyem cuma bisa berpikir dalam hati seraya menangis: “Sudah berdarah begini, kok digarap terus”. Kekerasan seksual lain adalah ketika Mardiyem hamil lima bulan, dia dengan kawalan tentara Jepang dibawa ke Rumah Sakit Ulin diaborsi dengan cara ditekan-tekan perutnya. Tindakan abortus provokatus kriminalis ini dapat berakibat fatal yaitu perdarahan, infeksi, ataupun kematian. Jugun ianfu pun sangat tertular penyakit menular seksual (PMS) ataupun virus HIV/AIDS karena kuantitas berganti-ganti pasangan yang begitu tinggi. Kriteria nomor enam yaitu kehilangan energi dan merasa sangat lelah, dalam kasus terlihat para jugun ianfu ini bekerja tidak mengenal waktu. Hal ini akan membuat mereka sangat lelah bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri. Orientasi mereka hanya untuk bagaimana bisa bertahan hidup. Korban pemerkosaan berada dalam situasi yang mengancam jiwa sehingga motivasi utamanya ialah bertahan hidup. Kriteria nomor tujuh yaitu terbentuknya konsep diri negatif (menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah) dapat dikaitkan dengan proses tumbuh kembang. Peristiwa kekerasan seksual yang menimpa para jugun ianfu terjadi pada usia muda yaitu 13-14 tahun. Pada usia dimana, proses tumbuh kembang sedang dalam masa pencarian jati diri, para jugun ianfu gagal melewati masa tersebut dengan baik. Trauma fisik, stress, cemas,takut, depresi dan keinginan untuk mati dialami oleh para jugun ianfu selama dalam kamp, karena penganiayaan seksual yang terjadi pada jugun ianfu berlangsung selama kurun waktu beberapa tahun. Jugun ianfu yang saat itu berumur 13-14 tahun, sedang melalui tahapan usia (menurut Erickson) identitas vs bingung peran/usia remaja, pada tahap ini kegagalan untuk mengembangkan rasa identitas pribadi bisa mengarah ke kebingungan peran, yang sering muncul dari perasaan tidak adekuat, isolasi, dan keragu-raguan. Masa remaja adalah waktu
dimana banyak terjadi perubahan, yang menyebabkan ketidakamanan dan ansietas. Jugun ianfu dapat mengalami kebingungan identitas. Mereka mungkin akan mengatakan “Saya tidak terlalu baik” atau “Saya bukan apa-apa” atau “Saya tidak tahu saya akan jadi apa di masa depan” dan lain-lain. Pada remaja sangat penting terbentuk konsep diri yang positif karena akan membentuk bagaimana cara berpikir dan berbicara seseorang, cara individu melihat dunia luar, cara individu dalam memperlakukan orang lain, kemampuan individu untuk menerima atau memberikan kasih sayang, dan kemampuan individu untuk melakukan sesuatu. Jugun ianfuakan mengalami harga diri rendah. Ini disebabkan oleh kehilangan kasih sayang dari orang-orang terdekat karena harus hidup dalam kamp, perlakuan orang lain yang buruk yaitu para tentara Jepang, dan hubungan interpersonal yang buruk antara jugun ianfu dengan orang-orang di sekitarnya. Tanda-tanda harga diri rendah ini akan ditunjukkan dengan mengejek dan mengkritik diri, jugun ianfu akan menganggap diri mereka hina, tidak berguna,dan akan merasa malu untuk bersosialisasi, menarik diri dari lingkungan, sulit bergaul, dan mempunyai pandangan hidup yang pesimistis karena menganggap masa depan mereka suram dan tidak ada harapan. Kriteria PTSD nomor sembilan yaitu sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Pada kasus stress psikologis yang berujung pada depresi dan keinginan untuk mati juga dialami oleh para jugun ianfu. Dikutip dari pernyataan Mardiyem yang sempat berpikir bahwa tidak lama lagi dia pasti mati. Melawan kematian, Mardiyem berontak dan sekuat tenaga memberontak dan menendang tentara yang melampiaskan nafsu seksnya ke tubuhnya yang rapuh. Tapi dalam posisi seperti itu, Mardiyem juga sempat bertekad lebih baik mati daripada hidup diperlakukan seperti itu. Mardiyem berada dalam bargaining position, proses tawar menawar antara keinginan hidup yang terus menderita atau mati dan semuanya akan berakhir. Dalam proses tersebut, Mardiyem akhirnya terus ingin hidup dan selama sisa hidupnya terus berjuang menuntut keadilan akan hak hidupnya yang telah dicabik-cabik. Perjuangan Mardiyem(alm) dan Emah Kastimah juga mendapatkan dukungan dari para aktivis Jaringan Jugun Ianfu, Terapi Pemulihan Proses penyembuhan korban dari trauma pemerkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban pemerkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala. Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi anti depresivapada PTSD masih kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalahbenzodiazepin,litium,camcolit dan zat pemblok beta – seperti propranolol, klonidin, dankarbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitubenzodiazepine-contoh, estazolam 0,5-1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam(valium) 5-10 mg per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau Lorazepam 1-2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek t erhadap ansietas
yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,1997). Pengobatan kedua yaitu pengobatan psikoterapi. Sebagai perawat ada n tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy . Pada anxiety management , perawat dapat membantu jugun ianfu ini beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama. Perawat dapat membantu jugun ianfu untuk mengontrol kecemasan yang mereka alami, dan merilekskan tubuh mereka apabila mereka panik,cemas, dan takut. Perawat dapat menginstruksikan untuk duduk dengan tenang dan memberikan penjelasan manfaat dari relaxation trainin. Yang kedua adalah b reathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahanlahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala. Perawat dapat membantu melakukan teknik napas dalam atau pursed lip breathing. Ketiga adalah positive thinking dan self-talk , yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor). Perawat dapat memberikan masukan-masukan positif kepada korban dan membuat korban pemerkosaan ini melihat masalah dari segi perspektif yang berbeda. Keempat adalah asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain Selanjutnya adalah thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkanhal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b). Dalam cognitive therapy, perawat dapat membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantumenghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutanyang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim, 2005b). Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain ( play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nya man dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b). Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untukmelakukan debriefing pada kasus korban -
korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefingoleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000). Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa(misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi merekasaling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka sa ling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkanbahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi ceritamengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisamemperingan beban pikiran dan ke jiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasasenasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (A nonim, 2005b). Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mem-pertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan pengobatan) yang cocok untuk PTSD.Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama yang padaakhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya (Anonim, 2005b). Di lain pihak, sampai saat ini masih didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain.Misalnya, eye movement desensitization reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu bagi sebagian penderita (Anonim, 2005b). DAFTAR PUSTAKA Potter, Patricia. 1997. Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta : EGC Videbeck, S. 2004. Psychiatric Mental Health Nursing. 2nd Ed. Philadelphia : Lippincot William & Wilkin. Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama Sulistyaningsih Ekandari, Faturochman . Jurnal Buletin Psikologi : DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS PERKOSAAN Tahun X, No. 1, Juni 2002, 9-23 Universitas Gadjah Mada. Wardhani Yurika Fauzia, Lestari Weny . Gangguan Stres Pasca Trauma pada KorbanPelecehan Seksual dan Perkosaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya