Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkotika di Indonesia Tahun Anggaran 2014.
Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkotika di Indonesia Tahun Anggaran 2011 yang Dilakukan di 11 Universitas di Indonesia.
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Islam, Alumni, Bandung, hlm, 36.
Jhon M. Elhols dan Hasan Sadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta,
hlm, 390.
ibid.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Ibid.
Ibid.
ibid.
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN).
Gatot Supramono, 2007, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan Jakarta, hlm. 169.
Ibid, hlm. 175.
Ibid, hlm. 188.
Tim Pengajar Mata Kuliah Kriminologi, 2001, Kriminologi, FH UI, Depok, hlm. 57.
Ibid, hlm. 58
Ibid, hlm. 67.
Ibid, hlm. 69.
Ibid, hlm. 69.
Ibid, hlm. 75.
Ibid, hlm. 79.
Topo Santoso, 2010, Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 87-88
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya Bakti, Bandung, hlm. 22.
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT . RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 8.
Penyalahgunaan Narkotika
dalam Pendekatan Kriminologi dan Sosiologi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Istilah narkotika yang dikenal di Indonesia berasal dari bahasa Inggris narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata narcotics, dalam bahasa yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Salah satu tindak pidana yang marak terjadi akhir-akhir ini adalah tindak pidana narkotika. Sangat disayangkan, bagaimana tunas-tunas bangsa mengorbankan masa depannya demi barang haram yang sebenarnya merusak mimpi-mimpi mereka. Seperti yang kita ketahui, narkotika membuat pemakai menjadi adiksi (kecanduan). Sifat narkotika inilah kemudian membuat pemakai sulit untuk berhenti dan bahkan meregang nyawa karena overdosis atau karena tidak mampu lagi membeli jenis narkotika tertentu, mengingat juga harganya yang relatif mahal.
Dalam makalah ini, Penulis tertarik mengambil tema mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika mengingat bahwa menurut survey Badan Narkotika Nasional (BNN) diperkirakan jumlah penyalahguna narkotika sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang atau sekitar 2,10% sampai 2,25% dari total seluruh penduduk Indonesia yang berisiko terpapar narkotika di tahun 2014. Jika dibandingkan studi tahun 2011, angka prevalensi tersebut relatif stabil (2,2%) tetapi terjadi kenaikan bila dibandingkan hasil studi tahun 2008 (1,9%). Hasil proyeksi perhitungan penyalahguna narkotika dibagi menjadi 3 skenario, yaitu skenario naik, skenario stabil, dan skenario turun. Pada skenario naik, jumlah penyalahguna akan meningkat dari 4,1 juta (2014) menjadi 5,0 juta orang (2020). Sementara bila skenario turun akan menjadi 3,7 juta orang (2020). Kontribusi jumlah penyalahguna terbesar berasal dari kelompok pekerja, karena memiki kemampuan finansial dan tekanan kerja yang besar sehingga tingkat stress tinggi. Penyalahguna coba pakai memiliki proporsi terbesar, terutama dari kelompok pelajar/mahasiswa. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, sebanyak 22 persen pengguna narkotika di Indonesia dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Hasil survei BNN di tiap-tiap universitas dan sekolah itu ditaksir bisa lebih besar lagi saat ini, mengingat adanya tren peningkatan pengguna narkotika. Sementara itu, pada kelompok pecandu suntik, polanya cenderung stabil untuk 7 tahun ke depan.
Permasalahan dan Ruang Lingkup
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dianggap belum efektif dalam memberantas tindak pidana narkotika dan perlunya dikaji mengenai factor-faktor penyalahgunaan narkotika dalam kajian kriminologi dan sosiologi guna mencari penyebab maraknya peredaran dan penyelahgunaan narkotika di indonesia.
Pertanyaan Penelitian
Adapun rumusan masalah yang diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana Tindak Pidana Narkotika dalam Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika?
Bagaimana Peredaran Narkotika Diatur dalam Perundangan-Undangan Indonesia?
Apa Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika Menurut Kajian Kriminologi dan Sosiologi?
Tujuan Penelitian
Adapun rumusan masalah yang diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk Mengetahui Tindak Pidana Narkotika dalam Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Untuk Mengetahui Peredaran Narkotika yang Diatur dalam Perundangan-Undangan Indonesia
Untuk Mengetahui Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika Menurut Kajian Kriminologi dan Sosiologi?
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Tindak Pidana Narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcose atau narcosis yang berarti menidurkan. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.
Sebagaimana yang telah diketahui, objek kriminologi pertama adalah kejahatan. Selain yang dirumuskan dalam KUHP, kejahatan juga banyak dirumuskan di dalam Pasal Undang-Undang diluar KUHP seperti salah satunya yang terdapat pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
"Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini".
Sesuai yang telah ditetapkan dalam konsideran Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa kejahatan narkotika meliputi kegiatan mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan,dan/atau menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika atau kejahatan narkotika, karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, serta ketahanan nasional. Atau dengan kata lain kejahatan narkotika yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 151 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mengah serta memberantas peredaran gelap narkotika, dalam Undang-Undang Narkotika diatur juga mengenai bahan baku (prekursor) narkotika, dikarenakan prekursor narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pebuatan narkotika. Di dalam Undang-Undang Narkotika dilampirkan mengenai Prekursor narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis precursor narkotika. Selain itu diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan precursor narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dan precursor narkotika, diatur mengenai pemberian sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (duapuluh tahun) pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan dan jenis, ukuran, dan jumlah narkotika. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 :
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Sementara tujuan Undang-Undang Narkotika terdapat pada Pasal 4 sebagai
berikut:
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
Pemakaian Narkotika dikecualikan untuk bidang kesehatan. Sebagaimana secara yuridis diatur dalam ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009:
Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.
Presiden telah menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN) yang sekaligus tidak memberlakukan lagi Keputusan Presiden nomor 116 tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) dalam menjamin efektivitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Keputusan Presiden nomor 116 tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.
Ketentuan Peredaran Narkotika dalam Hukum Nasional
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
Sebelum narkotika dalam bentuk obat dapat diedarkan, pasal 33 ayat (1) memberikan persyaratan supaya didaftarkan lebih dahulu ke Departmen Kesehatan. Pendaftaran tersebut dimaksudkan agar obat yang akan diedarkan dapat terjamin kualitasnya dalam rangka pelayanan kesehatan. Meskipun demikian, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memberikan kelonggaran untuk narkotika golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintesis dapat diedarkan tanpa wajib terdaftar pada Departmen Kesehatan yang dapat ditemukan ketentuannnya dalam pasal 33 ayat (2).
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 peredaran narkotika juga diatur terhadap penyalur narkotika tersebut, termasuk pihak eksportir dan importir yang dapat menjadi penyalur narkotika termasuk didalamnya pabrik obat yang mempunyai izin oleh pemerintah dan pedagang besar farmasi. Berikut saya paparkan pihak-pihak siapa saja yang dapat menjadi penyalur narkotika:
Penyalur narkotika golongan I
Didalam ketentuan pasal 37 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 diatur mengenai narkotika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan/atau pedagang besar farmasi kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Dikatakan "tertentu" karena tidak semua pabrik obat, pedagang besar farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan yang memiliki izin khusus dari Kementerian Kesehatan.
Penyalur narkotika golongan II dan III
Pihak-pihak yang dapat menjadi penyalur narkotika golongan II dan III diperinci kepada siapa saja mereka dapat menyelurkannya yang sifatnya terbatas, sebagai berikut:
Importir
Undang-undang membatasi terhadap importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
Pabrik obat tertentu, atau
Pedagang besar farmasi tertentu.
Pabrik obat
Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan obat kepada:
Eksportir
Pedagang besar farmasi tertentu
Apotek
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
Ruma sakit
Lembaga ilmu pengetahuan tertentu
Pedagang besar farmasi
Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
Pedagang besar farmasi tertentu lainnya
Apotek
Rumah sakit
Lembaga ilmu pengetahuan
Eksportir
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
Rumah sakit pemerintah
Puskesmas
Balai pengobatan pemerintah tertentu
Para penyalur narkotika yang mendapat izin resmi dari pemerintah berkewajiban memberi laporan berkala mengenai narkotika dibawah kekuasaannya, hal ini dimaksudkan agar pemerintah mengetahui tentang persediaan narkotika yang ada dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika.
Terhadap pelanggar yang tidak memenuhi kewajibannya tersebut, Menteri Kesehatan dapat memberi sanksi administratif berupa:
Teguran
Peringatan
Denda administratif
Penghentian sementara kegiatan, dan
Pencabutan izin
Regulasi peraturan perundang-undangan mengenai peredaran narkotika secara legal telah diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 namun pemberian sanksi terhadap apotek, pedagang farmasi dan instansi yang diberikan otoritas khusus oleh menteri kesehatan untuk mengekspor atau mengimpor narkotika, belum dimasukkan didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Inilah yang menjadi kelemahan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 karena terkesan masih belum memberi efek jera serta masih secara limitatif membatasi peredaran narkotika tersebut tanpa memasukkan peraturan terhadap instansi yang menyalahi aturan.
Pendekatan Sosiologis dan Kriminologis dalam Penyalahgunaan Narktotika
Strain Theory
Berbeda dengan teori-teori tersebut diatas, teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan didalam lingkungan sosial, teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control (kontrol sosial).
Perspektif starin dan penyimpangan, terbentuk antara 1925 dan 1940 dan masih populer hingga saat ini, memebrikan landasan bagi teori-teori sub-cultural. Teori-teori starin dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktifitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan suatu kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
Teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories)
Tiga teori utama dari cutural deviance theories adalah sebagai berikut:
Social disorganization
Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi.
W.I Thomas dan Florian Znaniecki berpendaat dalam bukunya the polish peasant in Europe and America menggambarkan pengalaman sulit yang dialami oleh petani Polandia (polish) ketika mereka meninggalkan duania lamanya yaitu pedesaan untuk hidup disuatu kota idustri didunia baru. Para sarjana ini membandingkan mereka yang berada di Polandia dengan mereka yang berada di Chicago. Selain itu mereka juga meneliti asimilasi dari para imigran.
Clifford Shaw dan Henry McKey mereka secara khusus mendemonstrasikan bagaimana penduduk tersebar dengan ruang yang berbeda dalam proses pertumbuhan kota, mereka memutuskan untuk memakai model tersebut guna meneliti secara empiris hubungan antara angka kejahatan dengan zona-zona yang berbeda di Chicago.
Differential association
Sutherland membangun pemikiran bahwa seseorang dapat memilih atau menentukan melakukan kejahatan sebagai suatu jalan hidup yang diterima. Setiap orang menurutnya dapat saja melakukan kontak atau hubungan. Dengan kata lainrasio dari definisi-definisi (kriminal terhadap non kriminal) menemtukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Culture conflict
Menurut Thorsten Cellin setiap individu memiliki condust normsnya sendiri dan bahwa conduct norms antara satu kelompk mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mungkin saja dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma dari kelompknya itu bertentangan dengan norma dari masyarakat dominan. Menurut teori ini, perbedaan utama dari seorang kriminal bahwa mereka mempunyai conduct norms yang berbeda.
Kontrol Sosial (Social Control)
Teori kontrol sosial ini membahas mengenai teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawa kepda penyesuaian atau ketaatan aturan-aturan masyarakat.
Konsep kontrol sosial lahir pada peradilan abad ke-20 dari buku E.A Ross , salah seorang bapak sosiologi Amerika. Menurut Ross, sistem keyakinanlah (dibanding hukum-hukum tertentu) yang membimbing apa yang dilakukan orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak peduli apa pun bentuk keyakinan yang dipilih. Sejak saat itu, konsep ini diambil dalam arti yang semakin meluas. Kontrol sosial telah dikonseptualisasi sebagai "all-encompassing, representing pratically any phenomenon that leads to conformity to norms". Istilah ini dapat ditemukan pada studi-studi hukum, kebiasaan, moral dan adat.
Kontrrol sosial dikaji dalam perspektif makro maupun mikro. Marcrosociological studies menjelajah sistem-sistem formal untuk mengontrol kelompok-kelompok. Sistem-sistem tersebut antara lain:
Sistem hukum, undang-undang dan penegak hukum;
Kelompok-kelompok kekuatan dimasyarakat;
Arahan-arahan sosial dan ekonomi dari ekonomi dan kelompok swasta.
Berbeda dengan perspektif makro, microsocialogical studies memfokuskan perhatian pad sistem kontrol secra informal. Travis Hirschi merupakan tokoh penting atau juru bicara dari perspektif ini sejak bukunya berjudul Causes of Delinquency terbit di tahun 1969.
Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika merupakan kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata–mata pelaksanaan undang–undang yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik, dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.
Mengutip pandangan Soerjono Soekanto, bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-faktor tersebut ditinjau dari sudut pandang sosiologis adalah sebagai berikut:
Faktor hukumnya sendiri
Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Menurut Penulis, penyalahgunaan narkotika tidak hanya dapat dilihat dalam hal dilanggarnya undang-undang oleh individu atau kelompok (secara yuridis), namun perlu dilihat faktor-faktor sosial (secara sosiologis) mengapa pelanggaran itu terjadi agar ditemukan sebab musababnya. Dalam kasus penyalahgunaan narkotika, kondisi sosial sangat berperan serta didalamnya. Dari hasil wawancara Penulis terhadap Narasumber diperoleh factor sosiologis penyalahgunaan narkotika dikalangan pelajar sebagai berikut:
Faktor individu
Faktor individu yang dimaksud disini adalah bagaimana kecenderungan seseorang memakai narkotika. Apakah ia adalah anak yang oleh setting keluarga adalah anak yang hyper active, apakah ia merokok, kurang tertarik dalam menuntut ilmu dan merupakan seseorang yang senang berpetualang dan mudah penasaran terhadap hal-hal baru.
Faktor keluarga
Dapat juga dilihat dari faktor kondisi keluarganya. Orang tua yang memberi contoh anaknya agar rajin menuntut ilmu dan memperkuat ilmu agama akan berbeda dengan kondisi keluarga dimana orang tua yang gemar selingkuh, meminum alkohol dan mempunyai hubungan suami istri tidak harmonis.
Faktor kelompok atau teman bergaul
Melihat kecenderungan Narasumber yang Penulis wawancarai, terdapat peran vital kelompok atau teman bergaul. Diusia remaja, adalah usia yang membuat seseorang ingin mencari jati diri dan selalu ingin mencoba hal baru, namun kecenderungan remaja tersebut dapat berbuah psositif jika kelompok atau teman bergaul seseorang menuangkannya dalam kegiatan yang positif misalnya berlatih musik, belajar bersama, pengajian atau masuk dalam organisasi sosial di sekolah atau kampus.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan disini adalah masyarakat, Penulis memandang, bahwa tidak dapat dipungkiri lingkungan sekitar besar pengaruhnya dalam hal penyediaan narkotika sehingga seseorang yang masuk kedalam lingkungan tersebut akan lebih mudah terhasut.
Jika melihat dalam pendekatan sosiologis dan kriminologis dalam tindak pidana peredaran narkotika, menurut Penulis, kebanyakan yang memutuskan memakai narkotika adalah mereka yang mempunyai lingkungan bergaul yang mentolerir pemakaian narkotika tersebut. Penulis berpendapat bahwa selain kita melihat sejauh mana efektivitas Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, kita juga harus melihat faktor sosial berupa faktor individu, faktor keluarga, faktor lingkungan sekitar dan faktor kelompok. Hukum dapat berfungsi sebagai social control, jika didalamnya melahirkan putusan pengadilan yang tidak emosional dan bersifat preventif. Putusan pengadilan yang bukan hanya sekadar Hakim memvonis pelaku narkotika sesuai aturan Perundang-Undangan yang dilanggar, namun harus juga melihat faktor-faktor sosial dari pelaku sehingga dapat membeirikan pertimbangan hukum oleh Hakim yang tidak emosional, tidak semata-mata bersifat retributif melainkan bersifat preventif. Misalnya, untuk korban narkorika dilakukan rehabilitasi, yang jelas berbeda dengan hukuman bagi kurir dan distributor sehingga hukum dapat menjerat pelaku perdagangan narkotika dan untuk korban diberikan rehabilitasi.
Sejauh mana hukum sebagai control social dapat mengontol penyalahgunaan narkotika dan peredaran narkotika dapat berhasil, haruslah didukung dengan peran serta masyarakat berupa gerakan saling membantu dan bekerjasama secara sinergis oleh seluruh komponen masyarakat dalam mengawasi dan memutus rantai lahirnya korban-korban narkotika akibat perdagangan narkotika yang semakin marak melalui sosialisasi bahaya narkotika di tingkat sekolah dan kampus dan memasukkan pendidikan anti narkotika didalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah / kampus.
Melihat penyalahgunaan narkotika dan peredaran narkotika yang semakin marak dalam sudut pandang sosiologi dan kriminologi, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial sangat berperan serta didalamnya. Kebanyakan yang memutuskan memakai narkotika adalah mereka yang mempunyai lingkungan sosial yang mentolerir pemakaian narkotika tersebut. Selain kita melihat sejauh mana efektivitas Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, kita juga harus melihat faktor sosial berupa faktor faktor lingkungan dan faktor budaya. Peredaran narkotika yang dapat menjerumuskan anak bangsa merupakan kejahatan tidak hanya terjadi dalam lingkup keluarga atau tetangga saja namun haruslah dilihat dalam skala yang lebih luas yaitu budaya dan lingkungan sekitar yang bisa saja mempunyai kecendrungan akan adanya kebiasaan dalam tindak pidana tertentu dan adanya sifat tolerir terhadap tindak pidana tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aturan perundang-undangan telah mengatur mengenai tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sesuai yang telah ditetapkan dalam konsideran Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa kejahatan narkotika meliputi kegiatan mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan,dan/atau menggunakan narkotika kecuali dalam alasan bidang kesehatan dengan pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 peredaran narkotika juga diatur terhadap penyalur narkotika tersebut, termasuk pihak eksportir dan importir yang dapat menjadi penyalur narkotika termasuk didalamnya pabrik obat yang mempunyai izin oleh pemerintah dan pedagang besar farmasi. Para penyalur narkotika yang mendapat izin resmi dari pemerintah berkewajiban memberi laporan berkala mengenai narkotika dibawah kekuasaannya dan apabila tidak melakukan pelaporan maka akan diberi sanksi administratif.
Dalam pendekatan kriminologi dan sosiologi dikenal teori strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control (kontrol sosial) yang memandang bahwa faktor-faktor penyebab seseorang melakukan kejahatan (dalam hal ini penyalahgunaan narkotika) dapat dipengaruhi oleh lingkungan terdekat (keluarga), budaya, lingkungan masyarakat sekitar dan teman bergaul. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi sosial sangat berperan terhadap peenyalahgunaan narkotika.
Saran
Perlunya pengawasan dari aparat hukum (polisi), Kementerian Kesehatan, BNN dan Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM serta peran serta masyarakat dalam memberantas penyalahgunaan narkotika sesuai ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Perlunya pasal mengenai pemberian sanksi terhadap apotek, pedagang farmasi dan instansi yang diberikan otoritas khusus oleh Menteri Kesehatan namun menyalahi ketentuan untuk peredaran narkotika dimasukkan didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
Guna pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika, faktor lingkungan sangat berpengaruh didalamnya. Dibutuhkan peran serta keluarga / orang terdekat dan masyarakat dalam hal pencegahan dengan memberi edukasi bahaya narkotika pada anak sejak dini dan membentengi anak dengan ilmu dan iman. Sementara, dilingkungan sekolah / kampus perlu diadakan sosialisasi mengenai bahaya narkotika secara rutin guna sebagai langkah preventif untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Literatur:
Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya Bakti,
Bandung.
Gatot Supramono, 2007, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan Jakarta.
Jhon M. Elhols dan Hasan Sadili, 1996, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Islam, Alumni, Bandung.
Tim Pengajar Mata Kuliah Kriminologi, 2001, Kriminologi, FH UI, Depok.
Aturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2002 tentang Badan Narkotika
Nasional (BNN).
Sumber dari Internet:
Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkotika di Indonesia Tahun Anggaran
2014
Laporan Survei Perkembangan Penyalahguna Narkotika di Indonesia Tahun Anggaran
2011 yang Dilakukan di 11 Universitas di Indonesia.