1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Metabolisme adalah suatu proses kimiawi yang terjadi di dalam tubuh semua makhluk hidup, proses ini merupakan pertukaran zat ataupun suatu organism dengan lingkungannya. Metabolisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metabole” yang berarti perubahan, dapat dikatakan bahwa makhluk hidup mendapat, mengolah dan mengubah suatu zat melalui proses kimiawi untuk mempertahankan hidupnya (Allegran, 2008). Kulit merupakan salah satu organ tubuh berada pada bagian luar tubuh. Organ ini merupakan organ yang terus bersentuhan langsung dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah melindungi tubuh dari kerusakan atau pengaruh lingkungan yang buruk. Kulit memiliki peran penting dalam memproteksi bagian dalam tubuh dari kontak langsung dengan lingkungan luar, baik secara fisik atau mekanis, kimiawi, sinar matahari (ultra violet) dan mikrobiologi (Djuanda, 2013). Gangguan metabolisme adalah kelainan medis yang mempengaruhi produksi energi di dalam sel. Pada umumnya gangguan metabolisme diakibatkan oleh kelainan genetik sehingga enzim yang berperan dalam proses metabolisme sel hilang atau rusak. Selain itu dapat juga yang diakibatkan oleh makanan, toksin, infeksi dan lain-lain. Gangguan metabolisme adalah kondisi genetik yang menyebabkan masalah dengan proses metabolisme dalam tubuh. Ketika proses normal metabolisme terganggu karena merupakan kondisi yang diwariskan atau yang telah didapatkan, itu disebut sebagai gangguan metabolisme. Kelainan kulit akibat gangguan metabolisme disebabkan oleh kekeliruan atau kesalahan proses metabolism (Allegran, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada referat ini akan dibahas beberapa penyakit kulit yang sering terjadi akibat gangguan metabolisme, diantaranya adalah manifestasi kulit pada gangguan metabolisme, amiloidosis local, liken amiloidosis, penyakit kulit pada diabetes mellitus, manifestasi kulit pada
2
hipertiroidisme dan hipotiroidisme, serta manifestasi kulit pada gangguan hepar dan ginjal. I.2 Tujuan I.2.1 Tujuan Umum Untuk melengkapi tugas referat stase ilmu kulit dan kelamin pada kepaniteraan klinik di RSUD Adhyatma, MPH Semarang I.2.2 Tujuan Khusus Mengetahui secara keseluruhan tentang penyakit kulit akibat gangguan metabolisme. I.3 Manfaat 1. Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah pengetahuan serta wawasan penulis mengenai penyakit kulit akibat gangguan metabolisme 2. Menjadi referensi pembaca agar dapat memahami lebih jauh tentang penyakitpenyakit kulit akibat gangguan metabolism 3. Dapat menambah bahan pustaka institusi
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA II.1 Manifestasi Kulit Pada Gangguan Metabolisme Kulit adalah cermin yang jelas dari tubuh manusia di mana penyakit sistemik atau penyakit metabolik dapat tercermin pada permukaan kulit. Penyakit sistemik yang berbeda yang dapat menyebabkan manifestasi kulit yang berbeda pula. Tanda-tanda ini mungkin muncul di permukaan kulit dengan gambaran klinis yang berbeda tergantung pada penyakit utamanya, diantaranya adalah: a. Warna kulit Warna kulit yang berbeda berhubungan dengan penyakit kulit tertentu. Pucat (pallor): seperti pada anemia, vaskularisasi yang berkurang misalnya pada sinkop atau syok Warna kekuningan (ikterus) : terjadi pada infestasi usus kronis seperti di bilharziasis, atau keadaan hiperbilirubinemia Eritema : akibat vasodilatasi temporer, misalnya pada penyakit infeksi, leukemia, karsinoma, hipertensi, dan penyakit jantung (Djuanda, 2013). b. Kelembapan kulit Kekeringan (hipohidrosis/anhidrosis):
pada kulit terjadi pada penyakit kronis,
miksedema, atau diabetes mellitus. Hiperhidrosis: pada penyakit hipertiroid, tuberculosis, dan penyakit-penyakit bila suhu badan turun cepat (Djuanda, 2013). c. Perubahan struktur kulit Penipisan kulit: adalah karena kelelahan dari kulit kolagen seperti di cachexia atau lokal karena steroid topikal kuat. Stria kulit: terjadi dalam penyakit Cushing, setelah steroid topikal dan sistemik untuk jangka waktu yang panjang, kontraktur Dupuytren dan penyakit hati kronis. Bentuk: perubahan bentuk dan bentuk kulit seperti moon face steroid sistemik karena dan limfangitis dan ginekomastia yang terkait dengan peningkatan estrogen yang beredar (Hijazy, 2015).
4
Edema kulit mungkin karena hipoalbuminemia, peningkatan tekanan vena dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Eritroderma: eritema dan pengelupasan kulit dapat mengakibatkan dari erupsi obat dan penyakit Papulosquamus seperti psoriasis. Lesi urtikaria dan alopecia areata: berhubungan dengan trauma psikis mendalam (Hijazy, 2015). d. Perubahan rambut Rambut halus, rambut lanugo menutupi kulit dapat menjadi berpigmen di beberapa tumor terutama karsinoma. Alopecia: mungkin berkembang karena peningkatan sirkulasi androgen atau perubahan sensitivitas androgen dan estrogen reseptor di kulit. Perubahan warna rambut: penyakit metabolik dan kekurangan seperti Kwashiorkor dan porphyries dapat menyebabkan perubahan warna rambut. Rambut rontok: anemia, gangguan hormonal, setelah kemoterapi atau trauma psikis (Hijazy, 2015). e. Perubahan kuku Perubahan bentuk kuku terjadi pada penyakit kronis seperti anemia pernisiosa, sirosis hati yang mengarah ke white band dan clubbing nail. f. Pruritus Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Pruritus merupakan gejala dan pelbagai penyakit kulit. Bila tidak disertai kelainan kulit, maka disebut pruritus esensial atau pruritus sine material. Pruritus dapat terjadi pada keadaan senilitas, penyakit hepar, penyakit endokrin, penyakit ginjal, penyakit neoplastik, dan pruritus neurologic serta pruritus psikologik (Djuanda, 2013). II.2 Manifestasi Kulit Pada Penyakit DM Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita diabetes melitus belum sepenuhnya diketahui. Menurut Djuanda (2013), kadar gula kulit (glukosa kulit) merupakan 55% kadar gula darah (glukosa darah) pada orang biasa.
5
Pada penderita diabetes, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah yang sudah meninggi. Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55 %. Gula kulit berkonsentrasi tinggi di daerah intertriginosa dan interdigitalis. Hal tersebut mempermudah timbulnya dermatitis, infeksi bakterial (terutama furunkel), dan infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-keadaan ini dinamakan diabetes kulit (Djuanda, 2013). Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme sistem imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis, fagositosis dan kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga kulit lebih rentan terkena infeksi. Pada penderita DM juga terjadi disregulasi metabolisme lipid sehingga terjadi hipertrigliserida yang memberikan manifestasi kulit berupa Xantoma eruptif. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin sehingga sering terjadi hiperinsulinemia yang menyebabkan abnormalitas pada proliferasi epidermal dan bermanifestasi sebagai Akantosis nigrikan (Suyono, 2009). Jenis Manifestasi Kulit pada Diabetes Melitus Manifestasi kulit tersebut mencakup : a. Dermatopati Diabetika Nama dermatopatia sejajar dengan nama-nama retinopati, neuropati, dan nefropati pada sindrom diabetes melitus. Pada dermatopatia tampak papul-papul miliar bulat, tersusun secara linier dan terdapat di bagian ekstensor ekstremitas. Lesi menyembuh sebagai sikatriks dengan lekukan sentral. Lesi primer terlihat pada penderita yang berusia 30 tahun ke atas. Patogenesis dermatopati diabetika diduga terjadinya kelainan mikrovaskular akibat gangguan sistem kolagen berupa mikroangiopati (Djuanda, 2013). b. Xantoma Eruptif (XE) Xantoma diabetikorum tampak sebagai papul bulat yang berwarna kuning kemerah-merahan dan kadang-kadang disertai teleangiektasis. Tempat predileksi ialah bokong, siku dan lutut. Xantoma terutama terlihat pada wanita berusia 20-50 tahun dengan obesitas. Trauma merupakan faktor predisposisi.
6
Mekanisme xantoma eruptif pada penderita DM diduga akibat disregulasi metabolism lipid sehingga menyebabkan terjadinya hipertrigliserid. Adanya hipertrigliserid akan menyebabkan lipoprotein berakumulasi pada sel makrofag di dermis kulit yang bermanifestasi sebagai papul eruptif ( Djuanda, 2013)
Gambar 2.1. Xantoma eruptif (Fitzpatrick, 2007) c. Nekrobiosis Lipoidika Diabetikorum (NLD) NLD terdiri atas bercak numular atau plak merah dengan sentrum kuning. Biasanya NLD berlokalisasi di kedua tungkai, jarang sekali di badan. Histologik terdapat degenerasi jaringan ikat dengan focus nekrobiotik di korium. Kolagen dan elastin berubah menjadi lipid, oleh karena itu NLD juga dinamakan dermatitis atrophicans diabetic. NLD dikenal sebagai cutaneous marker dari diabetes melitus. Baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 dapat bermanifestasi sebagai lesi NLD. Insidensi NLD berkisar 37 per 1000 penderita diabetes melitus (Flórez, Cruces & Jimėnez, 2003). Patogenesis NLD diduga akibat adanya hiperglikemia yang menyebabkan disregulasi protein seperti kolagen, sehingga terjadi disgradasi protein non-enzymatic glycosylation (NEG) dan penumpukan protein Advanced Glycosylation End Products (AGEs). Sebagai akibatnya terjadi penurunan solubilitas asam dan enzimatik di dalam kolagen kulit, salah satunya menyebabkan gangguan mikrovaskuler. Gangguan mikrovaskular ini berupa perubahan arteriolar pada area yang mengalami nekrobiosis kolagen kulit akibat agregasi platelet. Reaksi inflamasi ini menghasilkan granulomatosa inflamasi pada arteriolar yang bermanifestasi sebagai papul atau plak
7
di kulit (Harahap, 1998).
Gambar 2.2. Nekrobiosis lipoidika diabetikorum (Fitzpatrick, 2007). d. Akantosis Nigrikan Akantosis nigrikan adalah penyakit kulit yang ditandai penebalan pada kulit dengan tekstur seperti beludru di area lipatan, terutama daerah leher, axial atau paha, disertai hiperpigmentasi, kesan kulit kotor dan asimptomatik. Penyakit ini dapat terjadi karena faktor herediter, obesitas, berhubungan dengan gangguan endokrin, obat ataupun malignansi. Pada penderita DM telah terjadi gangguan endokrin, pada DM tipe 2 resistensi terhadap insulin predisposisi terjadi hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia ini memicu abnormalitas pada proliferasi epidermal sehingga terjadi penebalan kulit disertai hiperpigmentasi yang disebut akantosis nigrikan (Scheinfeld, 2012).
Gambar 2.3. Akantosis nigrikan (Fitzpatrick, 2007)
8
e. Ulkus Diabetika Patogenesis ulkus diabetika meliputi berbagai mekanisme yaitu akumulasi protein Advanced Glycosylation End Products (AGEs) yanh menyebabkan gangguan pada kaskade wound healing yang menyebabkan lambatnya penyembuhan luka. Selain itu menurunnya inervasi sensori kutaneous menyebabkan gangguan pada signaling neuroinflamatory melalui sel keratinosit, fibroblast, sel endothelial maupun sel inflamatori yang menyebabkan vaskulopati dan neuropati (Djuanda,2013). f. Infeksi Kulit Kemudahan infeksi pada penderita DM disebabkan kondisi hiperglikemia atau asidosis yang menyebabkan menurunnya fungsi sel T kutaneus dan berakibat melambatnya gerakan kemotaksis, fagositosis, dan menurunnya kemampuan bakterisidal sel leukosit. Jenis bakterial dan fungal yang sering terlibat meliputi : Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Stafilokokus dan Kandida (Djuanda,2013). g. Bercak Tibial (shin spot) Makula-makula hiperpigmentasi tampak pada daerah anterolateral tungkai bawah. Bercak-bercak tersebut berkorelasi dengan neuropatia dolenta dan arefleksi. h. Pigmented Pretibial Patches (PPP) Nama PPP mencakup bercak-bercak tibial (shin spot) dan lesi-lsei bulat, atrofik, dan dengan lekukan (depresi). Lesi-lesi terakhir ini terdapat di bagian ekstensor tungkai bawah, terutama didaerah maleolus internus dan pretibial. i. Malum Perforans Pedis Ulkus perforans disebabkan oleh perubahan degeneratif pada saraf dan terdapat pada penderita yang lemah, terutama pada tabes dorsalis, lepra, dan diabetes melitus. j. Granuloma Anulare (GA) Granuloma anulare (GA) adalah peradangan kulit kronis yang ditandai dengan adanya papul eritema anuler tepi polisiklik dengan sentral datar dan kesan menyembuh. Biasanya terdapat di area punggung tangan, siku, lutut dan dapat menyebar ke seluruh badan.
9
Patogenesis GA terjadi apabila di sekitar pembuluh darah kecil terjadi reaksi inflamasi yang mengakibatkan gangguan sistem kolagen dan jaringan elastik di kulit sehingga memberikan gambaran sebagai vaskulitis (Djuanda,2013).
Gambar 2.4. Granuloma anulare (Fitzpatrick, 2007) k. Bula Diabetika Bula diabetika adalah kelainan berupa bula berisi cairan bening, tanpa tanda inflamasi di sekitar bula, dan tidak disertai gejala nyeri atau gatal. Bula dapat membesar dan bila terkena trauma mudah pecah, meninggalkan area erosi tertutup krusta. Bula diabetika ini muncul spontan, mendadak dan tidak disertai tanda inflamasi, lebih sering terjadi di akral dan sering terjadi pada penderita DM yang kronik dengan neuropati perifer (Flórez, Cruces & Jimėnez, 2003).
Gambar 2.5 Bulla diabetika (Fitzpatrick, 2007) l. Komplikasi Dermatologik Akibat Pengobatan Diabetes Melitus Komplikasi dermatologic dapat timbul pada pemberian 3 jenis obat yaitu :
10
sulfonylurea yang hipoglikemik, senyawa biguanidin, dan insulin. Sulfonylurea yang hipoglikemik dapat menimbulkan reaksi alergik, misalnya pruritus, eritema, dermatitis generalisata dengan febris. Biasanya reaksi timbul sesudah 1-3 pekan. Kadang-kadang timbul foto-sensitisasi atau purpura. Senyawa biguanidin dapat menyebabkan reaksi-reaksi dermatologic, tetapi jauh lebih jarang daripada reaksireaksi dalam alat cerna. Insulin dapat menimbulkan lipodistrofi, obesitas, reaksireaksi alergik (biasanya urtika), atau kadang-kadang juga keloid. Lipodistrofi hipertrofik menimbulkan penonjolan yang menyerupai lipoma dan tidak nyeri. Lipodistrofi atrofik tampak sebagai kulit yang lekuk dan atrofik (Djuanda, 2013). II.3 Liken Amilodosis a. Definisi Liken Amiloidosis merupakan penyakit kulit yang termasuk di dalam penyakit Amiloidosis kulit lokal primer. Amiloidosis kulit lokal primer ialah kelainan kulit berupa makula, papula atau nodulus yang berwarna seperti warna kulit sampai coklat Amiloidosis adalah sebutan untuk berbagai macam kondisi dengan adanya penumpukan protein amiloid pada organ dan/atau jaringan, sehingga mengakibatkan timbulnya penyakit. Sebuah protein adalah amiloid bila protein menjadi sebuah bentuk tak larut yang khas, yang disebut lembaran lipat-beta yang disebabkan oleh perubahan struktur sekunder protein (Harahap, 1998). Liken Amiloidosis adalah kondisi kulit yang ditandai dengan timbulnya papula-papula likenoid yang terkadang disertai rasa gatal, biasanya muncul secara bilateral pada tulang kering. Lesi disebabkan oleh adanya tumpukan amiloid di dalam kulit sebagai akibat kelainan metabolisme, tanpa disertai amiloidosis sistemik dan penyakit kulit lainnya (Siregar, 2002). b. Etiopatogenesis Etiologi terjadinya penumpukan amiloid dalam jaringan kulit belum diketahui sampai sekarang. Disangka banyak faktor yang mempengaruhinya. Pada penyakit ini terdapat tumpukan fibril amiloid dalam jaringan kulit. Amiloid terdiri dari protein, glikoprotein, dan bahan dasar (Siregar, 2002).
11
Konsep Saltzer: semua kasus amiloidosis disebabkan oleh proliferasi sel-sel yang mensintesis protein. Hasil sintesis berupa protein akan ikut sirkulasi darah kemudian bertumpuk di daerah-daerah yang diserang (Harahap, 1998). Endapan-endapan amiloid pada liken amiloidosis berikatan dengan antibodi antikeratin. Endapan-endapan ini terdiri dari kelompok-kelompok sulfihidril, bertujuan untuk merubah keratin menjadi sumber dari endapan-endapan ini (Harahap, 1998). c. Gejala Klinis Liken Amiloidosis khas dengan adanya papula seperti kubah, berwarna seperti kulit sampai coklat, kecil, diskret, sisik halus dapat likenoid, sebagian bergerombol seperti plak moniliformis, dan jika berkelompok mirip seperti liken simpleks kronikus. Disertai dengan keluhan gatal paroksismal, gatal pada betis lebih hebat (Harahap, 1998). Papula likenoid ini kemungkinan merupakan hasil dari rasa gatal dan garukan yang dilakukan oleh penderita. Papula ini terutama dijumpai di daerah tulang kering. Selain itu, dapat juga dijumpai di daerah paha, pergelangan tangan, lengan bawah ekstensor dan bagian belakang punggung (Siregar, 2012).
12
13
Gambar 2.6 Liken Amiloidosis pada daerah tulang kering (Robin, 2011).
Gambar 2.7 Papula-papula berwarna kulit sampai coklat (Robin, 2011).
14
Gambar 2.8 Liken Amiloidosis pada daerah punggung (Allergan, 2008). d. Diagnosis Diagnosis Liken Amiloidosis ditegakkan dengan gambaran klinik yang khas dengan adanya papula yang terdapat di daerah ekstensor anggota gerak bawah yang disertai rasa gatal dengan atau tanpa penyakit lain sebagai penyakit dasar dan tidak ada hubungannya dengan penyakit lainnya (Syarif, 2008).
15
Gambaran histopatologi akan tampak massa amiloid pada papila dermis; epidermis akantosis, hiperkeratosis, dan hiperpigmentasi pada bagian basal. Melalui pemeriksaan histologi pada jaringan yang terkena, penumpukan amiloid diidentifikasikan dengan pewarnaan kongo merah dan dilihat melalui cahaya terpolarisasi, dimana penumpukan tersebut dikenal dengan refraksi ganda hijau apel. Biopsi dilakukan pada organ yang terkena. Semua penumpukan amiloid menyimpan komponen P amiloid serum (SAP atau serum amyloid P component), sebuah protein sirkulasi dari kelompok pentraksin. Pemindaian radionuklida SAP telah dapat melokalisasi penumpukan amiloid pada pasien (Syarif, 2008).
e. Diagnosis banding Liken Amiloidosis dapat didiagnosis banding dengan Liken Simpleks Kronis. Pada liken simpleks kronis merupakan peradangan kulit kronis, gatal sekali, sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang. Dengan daerah predileksi pada tengkuk, leher, tungkai bawah, pergelangan kaki, skalp, paha bagian medial, lengan bagian ekstensor, skrotum, dan vulva. Secara histopatologi pada liken simpleks kronikus tampak epidermis hiperkeratosis, akantosis, dermis bagian papil dan subepidermal mengalami fibrosis (Harahap, 1998). f. Pengobatan Pengobatan amiloidosis lokal primer ini belum ada yang memuaskan. Sering tidak perlu terapi, tapi dapat juga diberikan kortikosteroid topikal atau intralesi. Penatalaksanaan juga difokuskan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa gatal dengan pemberian antihistamin yang bersifat sedatif. Ada laporan keberhasilan pengobatan dengan pemberian etretinate, CO2, laser, dermabrasi, dimetil sulfoksida (DMSO) topikal, dan fototerapi (UVB atau PUVA) (Siregar, 2012).
16
II.4 Xanthoma a. Definisi Xantoma ialah suatu kelainan kulit berupa plak atau nodul berwarna kuning yang disebabkan pengendapan lemak dan sel busa secara abnormal. Xantoma bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala atau petanda adanya gangguan metabolisme lipoprotein. Walaupun demikian, pada kasus-kasus tertentu, xantoma dapat timbul walaupun tidak terdapat kelainan metabolism lipoprotein, dan tidak terdapat kenaikan kadar lipid di dalam darah (Scheinfeld, 2012). b. Gambaran Klinis Secara klinis, xantoma dapat diklasifikasikan sebagai eruptive xantoma, tuberous xantoma, tendineus xantoma dan plane xantoma. Eruptive xantoma adalah papul-papul yang multipel, berwarna merah kekuningan yang muncul secara tiba-tiba , biasanya berlokasi pada daerah extensor ekstremitas dan pada daerah bokong (Roy, 2008). Tuberous xantoma adalah nodul-nodul yang sering berlokasi pada permukaan extensor siku, lutut, buku-buku jari, dan bokong. Tendinous xantoma adalah nodul subkuteneus yang padat /keras yang sering ditemukan pada fascia, ligamentum, tendon Achilles, dan tendon extensor tangan, kaki, dan siku. Sedangkan plane xantoma adalah makula yang berwarna kuning, papul, atau plak yang sering ditemukan pada palpebra (xanthelasma palpebrarum), pada telapak tangan (xantoma striatum palmare) dan pada daerah intertriginosa (Roy, 2008). c. Histopatologi Xanthoma mempunyai gambaran mikroskopik yang khas, yaitu adanya foam cell atau sel busa. Foam cell adalah makrofag yang mengandung lipid di dalamnya. Pada semua xantoma terlihat infiltrat lipid pada kulit, infiltratrasi sel radang dan keberadaan sel lemak di luar sel.
17
Pada eruptive xantoma, terdapat deposit sel lipid di lapisan retikuler dari dermis. Selain itu, dapat ditemukan sel limfoid, histiosit, neutrofil. Foam cell pada eruptive xantoma relatif lebih sedikit daripada xantoma jenis lain. Tuberous xantoma menunjukkan agregasi foam cell yang banyak pada lapisan dermis dengan sel radang yang sedikit dan celah-celah yang berisi kolesterol. Tendon xanthoma secara histopatologi mirip dengan tuberous xantoma, tetapi pada tendon xanthoma, foam cell nya berukuran lebih besar. Xantelasma dapat dibedakan dengan melihat lokasi dari xantelasma yang terletak superfisial. Selain foam cell, pada xantelasma dapat ditemukan otot, rambut, dan lapisan epidermis kulit (Roy, 2008).
Gambar 2.9. Gambaran mikroskopik dari xantoma yang menunjukkan foam cell (Robin, 2011).
18
Gambar 2.10 Gambaran mikroskopik dari xanthelasma, terlihat makrofag yang berisi lipid pada lapisan dermis (Robin, 2011).
Secara singkat, gambaran klinis dari setiap xantoma adalah sebagai berikut : Tipe
Gambaran Klinis
Kondisi yang terkait
Xanthelasma
Terdapat pada canthus lateral
Tipe II dan tipe III
atau canthus medial, dapat
hyperlipidemia
berbentuk papul atau makula (datar) Eruptive xantoma
kumpulan papul2 berwarna
Tipe I, IV, dan V
kekuningan yang mempunyai
hyperlipidemia.
dasar eritema. Berlokasi pada bokong, bagian extensor dari
19
siku dan lutut Tuberous xantoma
Deposit lemak pada lapisan
Tipe II dan III
dermis dan subkutaneus, dapat
Hiperlipidemia
berupa plak atau nodul, sering ditemukan pada siku dan lutut Tendineus xantoma
Nodul yang terdapat pada siku, Tipe II hiperlipemia, lutut, tendon Achilles, dan
Plane xantoma
pada bagian dorsal dari tangan
Tipe III hiperlipdemia
dan kaki
(jarang)
Deposit lemak berupa makula
Tipe II dan III
atau papul yang sedikit
Hiperlipidemia
meninggi. Terdapat pada telapak tangan, muka, leher, dan dada.
d. Klasifikasi 1. Familial Chylomicronemia Syndrome (Frederickson Type I Hyperlipidemia) Etiopatogenesis:
Defisiensi Lipoprotein Lipase
Lipoprotein Lipase (LPL) merupakan enzim yang teletak di bagian endotel kapiler, berfungsi menghidrolisis trigliserida dari kilomikron menjadi asam lemak. Ketika enzim ini fungsinya terganggu atau mengalami defek fungsi, maka kilomikron yang terdiri dari trigliserida akan terakumulasi di dalam serum
Defisiensi Apolipoprotein-C2
20
Apo-C2 berada di dalam trigliserida kaya lipoprotein dan mengaktifkan LPL. Tanpa LPL, kilomikron tidak dapat dihidrolisis dan akan menyebabkan pengakumulasian trigliserida di dalam serum (Scheinfeld, 2012). Gejala Klinis Pada pasien yang termasuk pada klasifikasi ini, terjadi eruptive xantoma. Eruptive xantoma muncul sebagai eritema atau sebagai papul berwarna kuning yang berdiameter kira-kira 1-4 mm. Distribusi lesinya berada di bagian permukaan extensor dari ekstremitas (khususnya lutut dan siku), bokong dan tangan.Dalamperkembangannya, lesi dapat mempunyai halo, terjadi inflamasi, dan gatal. Penelitian juga menyebutkan terdapat fenomena Koebner pada lesi (Roy, 2008).
Gambar 2.11 Eruptive xantoma yang muncul pada siku (Robin, 2011). Laboratorium Kadar lipid di dalam plasma dapat membantu diagnosis. Pada pasien ini, kadar trigliserida dalam plasma meningkat secara drastis pada range 50-100 mmol/L (Syarif, 2008). Penatalaksanaan Tidak ada obat-obatan yang secara efektif mengobatai chylomicronemia akibat defisiensi LPL atau defisiensi Apo-C2, cara yang paling efektif adalah
21
pengaturan diet. Lemak dibatasi 20-30 g/hari. Sebagai tambahan, dapat digunakan obat-obat seperti fibrat, asam nikotinat untuk menurunkan kadar TG (Roy, 2008). Prognosis Jika kadar TG pasien melampaui 2000 mg/dl, pasien mempunyai resiko yang tinggi terkena akut pankreatitis. Pasien pada klasifikasi ini pada umumnya tidak beresiko terkenal penyakit jantung koroner, walaupun beberapa pasien didapatkan atherosclerosis (Syarif, 2008). 2. Hypercholesterolemia (Frederickson Tipe II Hiperlipidemia)
Familial homozygous Hypercholesterolemia
Partikel-partikel LDL yang berada di dalam serum diproses oleh sel hepar melalui perikatan dengan LDL reseptor. Ketika partikel LDL berikatan dengan LDL reseptor, partikel tersebut kemudian akan diteruskan ke lysosom dan akan mengalami proses degradasi. Pada pasien dengan Familial Hypercholesterolemia (FH) terjadi defisiensi genetik dari LDL reseptor, yang berperan penting pada proses degradasi dari LDL. Homozigot FH adalah suatu keadaan terjadinya defek pada kedua alel gen, yang menyebabkan LDL reseptor dari pasien tidak bekerja, atau memiliki aktivitas yang sangat rendah (Syarif, 2008).
Familial Heteroyzygous Hypercholesterolemia
Heterozygot FH merupakan suatu keadaan yang lebih umum daripada homozigot FH. Dengan prevalensi 1:500. Pada pasien dengan Heterozigot FH, terjadi kelainan yang sama dengan pasien Homozigot FH, tetapi pada pasien dengan Heterozigot FH hanya terjadi defek pada salah satu alel gen (Syarif, 2008).
Familial Defective Apolipoprotein B-100
22
Apo-B100 merupakan satu-satunya apolipoprotein yang dihubungkan dengan LDL. Apo-B100 membantu pengikatan antara partikel LDL dan LDL reseptor. Familial defective Apo-B100 (FDB) adalah suatu penyebab lain dari hypercholesterolemia berat. Pada pasien dengan FDB, terjadi kelainan struktur dari Apo-B100 yang menyebabkan partikel LDL tidak dapat berikatan dengan LDL reseptor secara efektif (Syarif, 2008). Gejala Klinis: Pada pasien yang termasuk dalam klasifikasi ini, terjadi tendineus xantoma, tuberous xantomas, dan plane xantomas. Tuberous xantoma muncul sebagai lesi yang berkembang secara lambat menjadi papul kekuningan, nodul, atau tumor yang berlokasi di lutut, siku dan permukaan ekstensor dari badan dan telapak tangan (Roy, 2008). Tendineus Xantoma muncul sebagai lesi yang berbentuk papul atau nodul berdiameter 5 – 25 mm yang ditemukan di tendon, khususnya di tendon ekstensor di bagian punggung tangan, bagian dorsal kaki, dan di tendon Achilles (Roy, 2008). Plane Xantoma muncul sebagai lesi makula yang datar atau papul yang sedikit meninggi berwarna kekuningan atau orange yang menyebar secara difus. Secara khusus, plane xantoma banyak terdapat pada kelopak mata, leher, bahu, badan, dan ketiak (Roy, 2008).
23
Gambar 2.12 Tuberous xanthoma (Medscape, 2015).
Gambar 2.13 Tuberous Xanthoma (Hijazy, 2015).
24
Gambar 2.14 Tendineus Xantoma pada tendon Achilles (Scheinfeld, 2012).
Gambar 2.15 Plane Xanthoma pada leher (Medscape, 2015). Laboratorium Pada pasien dengan Tipe II hyperlipidemia, kadar LDL-cholesterol dalam serum akan jelas meningkat. Pada pasien dengan homozigot FH, kadar LDL dapat mencapai 800-1000 mg/dl, sedang pada pasien dengan heterozigot FH, kadar LDL serum sekitar dua kali lipat dari nilai normal (Syarif, 2008). Penatalaksanaan Pemberian statin telah terbukti merupakan obat yang efektif dalam mengobati pasien tipe II ini. Selain itu dapat dilakukan diet rendah lemak / kolesterol
25
untuk mengontrol kadar LDL di dalam darah dan menghilangkan tendon xanthoma diAchilles (Roy, 2008). Prognosis Pasien cenderung mempunyai atau terkena penyakit jantung koroner dan atherosclerosis sebelum memasuki usia remaja (Roy, 2008). 3. Dysbetaliproteinemia (Frederickson Type III Hyperlipidemia) Etiopatogenesis: Disbetalipoproteinemia merupakan suatu gangguan metabolisme lipid yang ditandai dengan adanya akumulasi dari dari residu lipoprotein (residu kilomikron dan residu VLDL). Pada pasien ini, terdapat isoform abnormal dari apo-E, yang disebut apo-E2. Isoform normal adalah apo-E3 dan apo-E4, isoform-isoform ini membantu uptake residu-residu kilomikron dan VLDL oleh hati. Karena adanya Apo-E2, uptake dari residu-residu kilomikro dan VLDL terganggu, yang pada akhirnya dapat menyebabkan akumulasi residu ini di dalam serum (Roy, 2008). Walaupun demikian kelainan Apo-E sendiri tidak dapat menyebabkan gangguan atau memunculkan lesi xanthoma, dibutuhkan suatu kelainan lain yang turut mendukung, misalnya Hypotiroid, Obesitas, DM ( 1% dari populasi mempunyai Apo-E2 genotip, tapi hanya 0.01% yang terkena Tipe III hyperlipidemia) (Roy, 2008). Gejala Klinis Sekitar 2/3 dari pasien yang termasuk dalam klasifikasi ini terdapat tuberoeruptive dan tuberous xantoma. Juga dapat ditemukan deposit lemak pada telapak tangan (xantoma straitum palmare). Terkadang, dapat juga ditemukan manifestasi dari tendon xanthoma dan xantelasma1. Palmar xanthoma muncul sebagai lesi berbentuk nodul atau papul berbentuk iregular yang berwarna kuning, yang terdapat di telapak tangan, bagian flexural dari jari.
26
Xanthelasma adalah suatu bentuk xanthoma yang paling banyak ditemukan. Lesinya muncul secara simetris di bagian atas dan bawah dari kelopak mata. Lesinya lunak, dapat berbentuk papul atau plak yang berwana kekuningan (Syarif, 2008).
Gambar 2.16 Xanthoma pada telapak tangan (Palmar Xanthoma) (Medscape, 2015).
Gambar 2.17 Xanthelasma (Medscape, 2015). Labolatorium
27
Plasma cholesterol dan kadar TG meningkat dengan derajat yang sama (cholesterol dapat meningkat 7.0 mmol/L sedang TG dapat meningkat 4,0 mmol/L). Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi Apo-E2 isoform, yang merupakan penyebab dari kelainan ini (Syarif, 2008).
Penatalaksanaan Pengobatan pada penyakit metabolik yang menyertai seperti obesitas, Diabetes Mellitus atau hipotiroidisme akan membantu menurunkan kadar lipid dan menghilangkan lesi xanthoma. Dapat juga diberikan asam fibrat atau asam nikotinat, tetapi jika kadar kolesterol meningkat secara drastis, terapi statin lebih efektif (Syarif, 2008). Sedang pada xantelasma, terdapat banyak pilihan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan xantelasma melalui pembedahan, antara lain: –
Eksisi Untuk ukuran lesi yang kecil, dianjurkan untuk melakukan eksisi, bekas
luka ditutupi dengan cara dijahit –
Eksisi luas, cenderung pada kelopak mata bagian bawah, lesi padat
tebal. Eksisi yang sederhana pada lesi yang berukuran besar dapat menimbulkan retraksi kelopak mata, ektropion. Xantelasma dapat dimasukkan ke dalam bedah kosmetik, meskipun blepharoplasty dapat meningkatkan resiko terjadinya formasi ektropion
Ablasi Laser Argon
Merupakan salah satu metode dari penanganan xantelasma, penguapan dangkal yang superfisial dengan teknik perombakan atau teknik elektromagnetik untuk menghilangkan plak xantoma yang berwarna kuning
Kauterisasi Kimia
28
Menggunakan chlorinated acetic acids, metode ini sangat efektif menghilangkan xantelasma, dengan mempresipitasi, mengkoagulasi protein dan melisiskan lemak. Jenisnya monochloroacetic acid , dicholoroacetic acid, dan trichloroacetic acid.
Elektrodesikasi dan Krioterapi
Xantelasma juga dapat dihilangkan dengan metode ini, tapi pengobatan ini sangat jarang digunakan karena sering meninggalkan bekas luka dan juga dapat menyebabkan hipopigmentasi
Skin Graft
Metode ini digunakan untuk alasan kosmetik pada bedah rekonstruksi digunakan pada xantelasma yang luas. Skin graft berarti kulit pada area tertentu di tubuh, dengan bedah dipindahkan dan ditransplantasikan pada area lain di tubuh. Skin graft dibagi menjadi split-thickness skin graft, yang mengambil lapisan teratas kulit danfull thickness skin graft, yang mengambil seluruh lapisan kulit (Djuanda, 2013). Prognosis Pasien dengan Tipe III hiperlipidemia mempunyai resiko tinggi terkena penyakit Jantung Koroner dan sering juga terkena penyakit arteri perifer. 4. Familial Hypertriglyceridemia (frederickson tipe IV Hyperlipidemia) Etiopatogenesis: Etiologinya sampai sekarang masih belum diketahui. Pada pasien dengan Familial Hypertriglyceridemia, hepar memproduksi VLDL secara berlebihan (overproduksi). Defek yang mendasari kelainan pada pasien ini belum diketahui secara pasti. Namun ada yang menyebutkan bahwa Obesitas, Diabetes Melitus dan alcohol merupakan faktor pencetus terjadinya kelainan ini (Syarif, 2008). Gejala Klinis Pada pasien dengan Familial Hypertriglyceridemia, xantoma jarang ditemukan. Pasien dengan klasifikasi ini biasanya ditemukan pada pemeriksaan kadar lipid
29
rutin. Namun, kadang-kadang dapat ditemukan eruptive xanthoma pada bokong dan tangan (Syarif, 2008). Laboratorium Pada pasien ini ditemukan kadar Plasma TG meningkat secara moderat, tidak sebanyak pada pasien dengan Tipe I hiperlipidemia (Syarif, 2008). Penatalaksanaan Hal yang palin esensial adalah diet rendah lemak dan menurunkan berat badan ke berat badan ideal. Selain itu mengobati kelainan metabolik yang turut menyertai penyakit ini, seperti Dibetes mellitus, Obesitas, dan penyakit tiroid tidak kalah pentingnya. Selain itu penderita juga harus menjauhi sukrosa dan alkohol. Jika diet saja tidak berhasil dapat diberikan fibrat (Fenofibrate atau gemfibrosil) yang dapat mengontrol hiperlipidemia-nya (Roy, 2008). 5. Familial Hypertriglyceridemia : Chylomicronemia Combined with Endogenous Hypertriglyceridemia (Frederickson Type V Hyperlipidemia) Etiopatogenesis: Pada pasien dengan gangguan ini, terjadi kombinasi antara dua defek, yaitu defek pada metabolisme trigliserida dan overproduksi dari VLDL. Kedua hal abnormal ini dapat mempunyai penyebab yang berbeda-beda, misalnya defek pada enzim LPL, defek pada LDL reseptor (Syarif, 2008). Gejala Klinis Pada pasien ini ditemukan eruptive xanthoma, nyeri abdominal, dan kadangkadang dapat terserang akut pankreatitis Laboratorium Pada pasien akan didapatkan kenaikan kadar chylomicron dan VLDL di dalam darah (Syarif, 2008). Penatalaksanaan Yang terutama adalah menurunkan berat badan sampai pada berat badan yang ideal dengan cara diet rendah leak dan mengurangi karbohidrat. Selain itu dapat diberikan asam fibric (contoh : gemfibrozil) untuk mengatasi
30
hiperlipidemianya. Heparin dapat diberikan pada pasien yang mempunyai pankreatitis akut untuk menstimulasi aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPL)1,9. Prognosis Pasien dengan tipe V hiperlipoprotenemia mempunyai faktor resiko tinggi untuk terkena penyakit jantung koroner, dan biasanya bermanifestasi sebagai penyakit arteri perifer. Resiko untuk terkena pankreatits akut juga meningkat jika kadar trigliserida melewati 2000 mg/dl (Djuanda, 2013). Secara ringkas, klasifikasi dari xantoma adalah sebagai berikut Klasifikasi
Kondisi
Etiologi
Tipe
Profil Lipid
Xantoma Tipe I
Familial
–
Defisiensi
Chylomicronemia
Enzim LPL
Eruptive Xantoma TG
–
Defisensi
Apo-C2 Tipe II
Familial
–
Defek pada
Hypercholesterolemia LDL reseptor
Tendon Xantoma, Tuberous
–
Defek pada
LDL
Xantoma
Apo B-100 Tipe III
Tipe IV
Dysbetaliproteinemia
–
Terdapat
Tuberous
bentuk isoform
Xantoma,
abnormal dari
Xantelasma,
Apo-E, yaitu
Palmar
Apo-E2
Xantoma
Familial
–
Xantoma jarang
Hypertriglyceridemia
memproduksi
Hepar
ditemukan,
LDL & TG
31
VLDL
tetapi kadang-
diproduksi
kadang dapat
secara
ditemukan
berlebihan
eruptive
TG
xantoma Tipe V
Mixed hiperlipidemia
–
Kombinasi, Eruptive
antara defek
Xantoma
pada
LDL & TG
metabolisme Tg dan VLDL II.5 Xanthelasma a. Definisi Xanthelasma adalah kumpulan kolesetrol di bawah kulit dengan batas tegas berwarna kekuningan biasanya di sekitar mata, sehingga sering disebut xanthelasma palpebra. Kata “xanthos” berasal dari kata Yunani yang berarti “kuning” dan “elasma” yang berarti “seperti lempengan metal”. Meskipun tidak berbahaya dan tidak menimbulkan nyeri, munculnya xanthelasma dapat mengganggu penampilan dan dapat dihilangkan. Bila ditemukan dalam jumlah banyak maka disebut “xanthelasmata”. Kelainan ini sering ditemukan pada ras Asia dan mereka yang tinggal di daerah Mediterania (Djuanda, 2013). Xanthelasma atau plaque kekuningan yang sering ditemukan di dekat canthus bagian dalam kelopak mata, terutama sering ditemukan di kelopak mata atas daripada di kelopak mata bawah. Xanthelasma palpebra adalah bentuk xanthoma kutaneus yang paling sering ditemui. Xanthelasma biasanya lunak, semisolid atau calcareous. Sering ditemui simetris, kadang pada 4 kelopak mata sekaligus (kelopak mata atas, bawah kanan dan kiri). Xanthelasma mempunyai kecenderungan untuk berkembang, bergabung dan menjadi menetap. Xanthelasma dapat timbul di tubuh mana saja, tetapi lebih sering terlihat di area kelopak mata. Xanthelasma ini berkembang dari disfungsi metabolism lipid (Allergan, 2008).
32
Di Indonesia sendiri Xanthelasma palpebrarum cukup banyak dijumpai meskipun tidak sebanyak kasus kelainan kulit yang lain seperti yang disebabkan oleh bakteri atau parasit. Ini mungkin disebabkan juga banyak masyarakat di indonesia mengkonsumsi bahan yang banyak mengandung lemak, selain bahan yang mengadung lemak xanthelasma ini juga dapat disebabkan oleh keturunan (Djuanda, 2013). b. Etiologi Xanthelasma telah dihubungkan dengan keadaan hiperlipoproteinemia. Semua tipe hiperliproteinemia termasuk bentuk sekunder telah dihubungkan dengan xanthelasma, tetapi tipe II dan III, berkisar 30%-40% pada pasien xanthelasma.7 Setengah pasien xanthelasma mempunyai kelainan lipid. Erupsi Xanthomas dapat ditemui pada hiperlipidemia primer dan sekunder. Kelainan genetik primer termasuk dislipoproteinemia, hipertrigliseridimia dan defisiensi lipase lipoprotein yang diturunkan. Diabetes yang tidak terkontrol juga menyebabkan hiperlipidemia sekunder. Xanthelasma juga bisa terjadi pada pasien dengan lipid normal dalam darah yang mempunyai HDL kolesterol rendah atau kelainan lain lipoprotein (Hijazy, 2015). c. Patofisiologi Hepar mensekresi lipoprotein, partikel yang terbuat dari kombinasi cholesterol dan trigycerides. Partikel ini bersifat larut air untuk memfasilitasi transport pada jaringan perifer. Oleh polar phospolipids dan 12 protein spesifik yang berbeda yang dinamakan apolipoproteins. Apolipoproteins berfungsi sebagai kofaktor untuk enzime plasma dan berinteraksi dengan reseptor permukaan sel. Lipoprotein dibagi menjadi lima komponen, yaitu chylomicrons, VLDL, intermediate-density lipoproteins (IDL), LDL, dan HDL. Dyslipoproteinemia dikategorikan sebagai primer atau sekunder. Kondisi primer ditentukan secara genetik dan dikelompokkan oleh Fredrickson menjadi lima atau enam komponen berdasarkan peningkatan lipoprotein spesifik. Hiperprotein sekunder muncul akibat penyakit lain yang dapat memunculkan gejala, perubahan lipoprotein, dan (Scheinfeld, 2012).
xanthomas yang dapat menyerupai sindrome primer
33
Meskipun
telah
diteliti
mengenai
hubungan
antara
xanthelasma
dan
hyperlipoproteinemia, hanya sekitar setengah pasien yang memperlihatkan adanya peningkatan lipid serum. Pada penelitian Gangopadhya didapatkan hanya 52,5% pasien xanthelasma yang mempunyai profil lipid abnormal (Hijazy, 2015). Pada xanthelasma terjadinya akumulasi kolesterol yang berawal dari darah, dimana jumlah kolesterol yang paling banyak berasal dari LDL yang masuk melalui dinding vaskular. Dikatakan bahwa trauma dan inflamasi itu dapat merubah permeabilitas vaskuler sehingga lipoprotein dapat masuk ke dalam kulit dan kemudian difagositosis oleh sel dermal. Normalnya LDL mempunyai nilai kebocoran kapiler yang lambat (Allergan, 2008). Panas lokal meningkatkan nilai kebocoran. Dapat dilihat secara eksperimen bahwa nilai kebocoran kapiler dari LDL itu dua kali lebih besar pada daerah yang lebih sering terekspose oleh gerakan fisik atau gesekan, dibandingkan daerah pada kulit yang immobilisasi. Kelopak mata lebih sering mengalami pergerakan yang konstan dan gesekan, dan hal ini mungkin alasan mengapa xanthelasma berkembang pada daerah ini (Hijazy, 2015). d. Gejala Klinis Timbul plak irregular di kulit, warna kekuningan sering kali disekitar mata Ukuran xanthelasma bervariasi berkisar antara 2 – 30 mm., adakalanya simetris dan cenderung bersifat permanen. Pasien tidak mengeluh gatal, biasanya mengeluh untuk alasan estetika. Xanthelasma atau xanthelasma palpebra biasanya terdapat di sisi medial kelopak mata atas. Lesi berwarna kekuningan dan lembut berupa plaque berisi deposit lemak dengan batas tegas. Lesi akan bertambah besar dan bertambah jumlahnya. Biasanya lesi-lesi ini tidak mempengaruhi fungsi kelopak mata, tetapi ptosis harus diperiksa bila ditemukan (Djuanda, 2013).
34
Gambar 2.18 Gambar xanthelasma palpebra pada stadium awal berupa lesi kuning keputihan (Wikipedia, 2015).
Gambar 2.19 Gambar xanthelasma terdapat lesi berwarna kekuningan dengan batas tegas di kelopak mata bagian dalam (Wikipedia 2015).
Gambar 2.20. Gambaran Xanthelasma palpebra simetris di kedua kelopak mata (Scheinfeld, 2012)
35
Gambar 2.21. Gambar xanthelasma palpebra berupa benjolan warna kuning keputihan (Scheinfeld, 2012).
Gambar 2. 22.Gambar xanthelasma palpebra menunjukkan gambaran plaque kekuningan di kelopak mata bagian tengah (Scheinfeld, 2012). e. Laboratorium Karena 50% pasien dengan xanthelasma mempunyai gangguan lipid, maka disarankan untuk pemeriksaan plasma lipid juga HDL dan LDL. Xanthelasma biasanya dapat didiagnosa dengan jelas secara klinis dan jarang kelainan lain memberi gambaran klinis sama. Jika ada keraguan, eksisi bedah dan analisis patologi sebaiknya dilakukan (Syarif, 2008). f. Pemeriksaan Histologi Xanthelasma tersusun atas sel-sel xanthoma. Sel-sel ini merupakan histiosit dengan deposit lemak intraseluler terutama dalam retikuler dermis atas. Lipid utama yang disimpan pada hiperlipidemia dan xanthelasma normolipid adalah kolesterol. Kebanyakan kolesterol ini adalah yang teresterifikasi (Roy, 2008).
36
Gambar 2.23 : Histologi dari xanthelasma (Fitzpatrick, 2007). g. Terapi Tujuan utama terapi adalah untuk mengontrol kelainan yang mendasari untuk mengurangi perkembangan xanthelasma dan xanthoma. Xanthelasma dapat dibedah apabila mengganggu, tetapi mungkin bisa kambuh. Xanthelasma dapat dihilangkan dengan pengelupas trichloroacetic, bedah, laser atau cryoterapi. Penghilangan xanthelasma dapat menyebabkan timbulnya scar dan perubahan pigmen, tetapi tidak jika menggunakan trichloroacetic. Komponen herediter yang diturunkan menyebabkan timbulnya xanthelasma ini bisa mengindikasikan tingginya kolesterol dalam darah atau bisa juga tidak. Apabila tidak ada riwayat keluarga yang menderita xanthelasmata maka biasanya mengindikasikan jumlah kolesterol yang tinggi dalam darah dan mungkin berhubungan dengan resiko timbulnya penyakit atheromatous (timbunan kolesterol di arteri) (Djuanda, 2013). Farmakoterapi Diet ketat dan obat-obatan yang menurunkan serum lipid, meskipun penting pada pasien dengan lipid abnormal tetapi hanya memberikan respon sedikit pada terapi xanthelasma (Djuanda, 2013). Terapi Bedah Banyak pilihan untuk menghilangkan xanthelasma palpebra, termasuk bedah eksisi, argon dan pengangkatan dengan laser karbondioksida, kauterisasi kimia, elektrodesikasi dan cryoterapi (Djuanda, 2013).
Eksisi Bedah
37
Untuk lesi kecil yang linier eksisi direkomendasikan dimana scar akan tercampur dalam jaringan kelopak. Lesi yang membengkak lebih kecil dapat dihilangkan dan jaringan akan menyatu kembali. DOI merekomendasikan menggunakan teknik bedah mikroskop, menggali antara tumor dan okuli orbita dengan blade nomer 11, mengangkat atap dan dengan hati-hati mengambil tumor sepotong demi sepotong dengan gunting mikro dari sisi kebalikan dan menyatukan atap dengan benang nylon 7 – 0. Pada eksisi lebih tebal, kelopak mata bawah cenderung mudah terjadi scar karena jaringan yang diambil juga lebih tebal. Eksisi sederhana pada lesi yang lebih luas beresiko terjadi retraksi kelopak mata, ektropion sehingga membutuhkan cara rekonstruksi lain. Pengangkatan xanthelasma sudah menjadi bagian dari bedah kosmetik. Pengangkatan dengan laser karbondioksida dan argon : menambah hemostasis, memberi gambaran lebih baik, penutupan yang kurang dan lebih cepat dalam menggunakan tehnik ini; scar dan perubahan pigmen dapat terjadi (Djuanda, 2013). Kauterisasi kimia: penggunaan chloracetic acid efektif untuk menghilangkan xanthelasma. Agen ini mengendapkan dan mengkoagulasikan protein dan lipid larut. Monochloroacetic acid, dichloroacetic acid, dan trichloroacetic acid dilaporkan memberi hasil yang baik. Haygood menggunakan kurang dari 0.01 ml dari 100% dichloracetic acid dengan hasil yang sempurna dan scar minimal. 2 Elektrodesikasi dan cryoterapi dapat menghancurkan xanthelasma superficial tetapi membutuhkan terapi berulang. Cryoterapi dapat menyebabkan scar dan hipopigmentasi (Roy, 2008). Edukasi Edukasi yang diberikan adalah untuk melakukan control terhadap kolesterol juga trigliserid dan bagaimana cara untuk menurunkan kolesterol juga membiasakan gaya hidup sehat untuk mengatur kolesterol (Djuanda, 2013). h. Prognosis Kekambuhan sering terjadi. Pasien harus mengetahui bahwa dari penelitian yang dilakukan pada eksisi bedah dapat terjadi kekambuhan pada 40% pasien. Persentase
38
ini lebih tinggi dengan eksisi sekunder. Kegagalan ini, terjadi pada tahun pertama dengan persentase 26% dan lebih sering terjadi pada pasien dengan sindrom hiperlipidemia dan bila terjadi pada 4 kelopak mata sekaligus (Djuanda, 2013). II.6 Manifestasi Kulit Pada Penyakit Hepar Gejala pada kulit dapat mempunyai peranan informative tentang adanya penyakit hepar. 1. Pruritus Pruritus atau sensasi gatal pada kulit merupakan keluhan yang sering terdengar pada pasien penyakit liver, keluhan terasa lebih berat bila juga ada kolesteatosis (kenaikan kolesterol atau ester-esternya). Walaupun asosiasi dengan garam-garam empedu sering diperkirakan, tetapi korelasi antara konsentrasi zat-zat tersebut di dalam darah dengan beratnya pruritus tidak selalu ada. Beberapa zat empedu telah terbukti ada di dalam kulit pada penderita pruritus (Djuanda, 2013). 2. Warna Kulit Tentang ini sebagian telah dibicarakan pada manifestasi kulit pada gangguan metabolisme (sub-bab II.1) a. Ikterus tampak pada kerusakan hepatoselular akut atau pada hemolisis. Warna kulit pada sirosis biliar berlainan, yakni coklat kehijau-hijauan. Pada hemokromatosis warna kulit coklat abu-abu. b. Hiperpigmentasi karena melanin terdapat pada sirosis portal, sedangkan lebih jelas lagi pada sirosis biliar dan pada hemokromatosis. Hiperpigmentasi bersifat difus (Djuanda, 2013). 3. Abnormalitas vascular a. Nevus laba-laba (spider naevi) terutama terlihat pada anak dan wanita hamil. Lokalisasi biasanya di bagian atas tubuh. b. Palmar flush, vaskulitis, atau purpura kadang-kadang afa c. Livedo atau bier spots, yakni bercak-vercak putih karena vasokonstriksi di ekstremitas bawah, tampak bila penderita berada di hawa dingin (Djuanda, 2013). 4. Xantomatosis Xantomatosis disebabkan oleh hiperlipidemia yang ada pada sirosis biliar menahun. Xantoma datar nampak pada telapak tangan dan kaki, xantelasma
39
pada palpebra, sedangkan tuberose berlokalisasi di atas tendon dan di daerahdaerah dengan banyak tekanan. 5. Perubahan Rambut Perubahan rambut yang tampak dapat berupa rambut kepala menipis, rambut primer seksual menghilang, yakni di daerah jenggot, aksial, dan pubis. 6. Akne Kulit di bagian atas toraks seringkali berlemak dan tampak ada akne vulgaris (Djuanda, 2013).
Gambar 2.24 Spider naevi (Robin, 2011).
Gambar 2.25 Erythema Palmaris atau palmar flush (Medscape, 2015)
40
Gambar 2.26 Livedo atau bier spots (Robin, 2011). II.7 Manifestasi Kulit Pada Penyakit Ginjal Gejala kutan pada penyakit ginjal dapat bervariasi, seperti diuraikan dibawah ini: 1. Pruritus Renal Pruritus renal dapat terjadi, walaupun tidak selalu, pada kegagalan ginjal. Pruritus bersifat generalisata dan kadang-kadang berat. Mekanismenya adalah sebagai berikut: a. Retensi zat-zat yang terdiri atas pelbagai konstituen dalam darah. Hal ini disebabkan oleh karena ginjal mengeksresikannya. Berat bila timbul uremia. Biasanya jika dialysis dimulai pruritus menghilang. b. Hiperparatiroidia sekunder, dalam hal demikian pruritus akan timbul lagi sesudah dialysis c. Retensi pruritogen, yang terdiri atas berbagai zat dengan berat molekul menengah. d. Eksresi zat-zat yang mengandung nitrogen ke permukaan kulit. Pruritus secara klinis akan mengakibatkan ekskoriasi dan likenifikasi. Nodus-nodus pruritik jarang tampak, bila ada maka berlokalisasi di bagian ekstensor ekstremitas (Djuanda, 2013). 2. Kekeringan kulit Kekeringan pada kulit menyerupai iktiosis didapat dan terutama terlihat pada bagian ekstensor tungkai bawah 3. Asebia atau berkurangnya produksi sebum 4. Perubahan rambut, yakni rontoknya rambut androgenic di daerah jenggot, aksial, dan pubis.
41
5. Purpura karena disfungsi trombosit dan juga karena terapi kortikosteroid 6. Warna kulit berubah, yakni terlihat kombinasi kepucatan dan hiperpigmentasi. Hipermelanosis yang difus tampak pada kulit dan mukosa bukal 7. Beberapa penyakit yang berasosiasi dan sindrom kutaneo-renal ialah adenoma sebaseum, vaskulitis, dan penyakit vascular kolagen, serta penyakit metabolic (misalnya lipo-angiokeratoma) . Sebaliknya ada pula nefropatia yang sekunder terhadap penyakit kulit, yakni nefropatia dermatogenik dan glomerulo-nefritis sesudah infeksi kutan karena streptokokus A12 (Robin, 2011).
Gambar 2.27 Efek ureum pada tubuh (Medscape, 2015).
42
Gambar 2.28 Pendekatan terapi pruritus renal (Medscape, 2015). II.8 Manifestasi Kulit Pada Gangguan Hormon Tiroid Manifestasi kulit hipertiroidisme dan hipotiroidisme bervariasi dan penting dalam penegakkan diagnosis dermatologis. Pada hipertiroidisme, kulit hangat, lembab, lembut,kenyal dan halus seperti tekstur kulit bayi. Kulit yang terasa hangat dan keringat yang berlebih disebabkan oleh peningkatan basal metabolic rate dan peningkatan aliran darah kulit serta vasodilatasi perifer, yang juga bertanggung jawab pada kemerahan pada wajah dan eritema palmar. Hypothyroidism atau defisiensi hormone tiroid menyebabkan perubahan pada kulit termasuk penebalan, hiperkeratosis, kehilangan difus rambut pada kulit kepala, dan atrofi kuku. Kulit
43
dingin, kering, dan pucat dengan xerosis luas, terutama pada permukaan ekstensor, juga terdapat pada hipotiroidisme (Florez, A., Cruces, M., Jimenez, GP., 2003) Overactivity dan underactivity dari kelenjar tiroid dapat menyebabkan perubahan pada kulit, rambut atau kuku. Ini mungkin sebagai akibat dari kadar hormon tiroid yang abnormal, atau konsekuensi dari kondisi yang mendasarinya. Pada gangguan hormon tiroid berlebih sering ditemukan adanya perubahan tekstur rambut dan alopecia, onycholysis yang merupakan ujung kuku yang bebas menonjol ke atas (Plummer’s nail), pruritus, urtikaria kronik, alopecia areata, dan hiperpigmentasi yang difus atau terlokalisir pada wajah (Hailovic, 2014). a. Tirotoksikosis (overactivity kelenjar tiroid) Kelebihan hormon tiroid (tiroksin) dapat disebabkan oleh: penyakit Graves (kondisi autoimun di mana terdapat antibodi yang mengaktifkan kelenjar tiroid mengakibatkan gondok (goiter) dan mata yang menonjol (eksoftalmus). Nodul tiroid asupan berlebihan dari obat tiroksin. Hasil tirotoksikosis dalam peningkatan tingkat metabolisme. Hal ini dapat mengakibatkan: Kulit yang halus, lembab, dan hangat Flushing dari wajah dan tangan Pertumbuhan kuku berlebih (acropachy, clubbing), yang dapat mengangkat nail bed (onycholysis) Penipisan rambut kulit kepala Generalised itch (pruritus) Urtikaria Peningkatan pigmentasi kulit (hiperpigmentasi) Penyakit Graves dapat dikaitkan dengan kondisi autoimun lainnya, termasuk vitiligo (Hijazy, 2015). b. Pretibial Myxoedema Miksedema pretibial atau dermopathy tiroid mempengaruhi 5% dari pasien dengan penyakit Graves. Mungkin muncul sebelum, selama atau setelah tahap thyrotoxic dan kadang-kadang dikaitkan dengan tiroid kurang aktif. Miksedema pretibial menunjukkan penampakan bengkak dan kental di
44
atas tulang kering dan kadang-kadang juga mempengaruhi kaki. Kulit dapat berubah dengan nodul berwarna merah muda atau ungu, dengan folikel rambut yang menonjol. Hal ini dikenal sebagai 'peau d'orange' (kulit jeruk) appearance. Ini mungkin terlihat sebagai berkutil atau 'verrucous'. Lesi sering terdapat pada anterior tibia dan dorsum pedis bilateral tetapi tidak simetris (Hailovic, 2014). Miksedema pretibial adalah bentuk mucinosis difus. Kulit menebal dan tidak elastis diisi dengan asam hialuronat dan kondroitin sulfat yang berlebihan. Ini adalah asam mucopolysacharides (glikosaminoglikan). Material yang sama disimpan di belakang mata yang mengakibatkan tonjolan dan lid lag pada pergerakan bola mata. Miksedema pretibial diduga disebabkan oleh thyroid-stimulating immunoglobulin (autoantibodi) tapi ini belum terbukti Nama 'miksedema pretibial' menyesatkan karena meskipun biasanya terjadi di depan tulang tibea, itu bisa terjadi pada bagian lain, dan itu tidak disebabkan oleh mucous (jaringan myxoid). Patogenesisnya belum diketahui secara pasti (Hailovic, 2014).
Gambar 2.29 Pretibial myxoedema
II.9 Hypothyroidism (underactive thyroid gland) Kelenjar tiroid kurang aktif dapat juga disebabkan oleh penyakit autoimun, seperti:
45
Idiopatik hipotiroidisme Kondisi yang penyebabnya tidak diketahui, di mana tiroid mengalami proses merusak kelanjarnya sendiri dan meninggalkan jaringan parut Tiroiditis Hashimoto kondisi peradangan dengan hasil yang sama (Hailovic, 2014).
Tiroid kurang aktif dapat mengakibatkan:
Kulit pucat, kering, dan dingin karena menurunnya core temperature dan vasokonstriksi kutaneus sehingga kulit menjadi pucat. Kulit kering (xerosis) yaitu perubahan tekstur kulit dan kurangnya hidrasi stratum korneum.
Epidermis menjadi tipis dan hyperkeratotik, follicular plugging (+). penyembuhan luka yang lama Diskolorasi atau perubahan warna menjadi kekuningan pada kulit akibat akumulasi karoten (carotenaemia) kadang ditemukan pada telapak tangan,
kaki dan lipatan nasolabial. Rambut kering dan rapuh yang mudah terdeteksi dari genggaman tangan (jarang) dan pertumbuhan rambut yang lama. Ditemukan pula kerontokan rambut setempat atau difus, terutama rambut sepertiga luar dan alis serta hilangnya rambut pada badan. Pada anak-anak didapatkan rambut yang
berkembang lama, lanugo pada badan, bahu dan ekstremitas. Pertumbuhan kuku melambat dan kuku bergerigi Perubahan yang paling menonjol pada kulit karena akumulasi mucopolysaccharides (myxedema) pada dermis. Miksedema mengakibatkan
kelopak mata dan tangan bengkak - presentasi lain dari mucinosis. Hidung kadang berbenrtuk lebar dan bibir menipis. Lidah menajdi lebar, halus, dan kaku. Ada sekresi kaku pada lipatan mata dan kerutan halus (Hijazy, 2015).
Kulit kering hipotiroid rentan untuk berkembang menjadi dermatitis (eczema craquelé – “a crazy paving splitting” atau pecah-pecah pada lapisan permukaan kulit) (Robin, 2011).
46
a
b
Gambar 2.30 a; Carotenaemia (yellowish hand), b; Kulit kering (Robin, 2011).
BAB III PENUTUP III.1 Simpulan Gangguan metabolisme adalah kelainan medis yang mempengaruhi produksi energi di dalam sel. Pada umumnya gangguan metabolisme diakibatkan oleh kelainan genetik sehingga enzim yang berperan dalam proses metabolisme sel hilang atau rusak. Selain itu dapat juga yang diakibatkan oleh makanan, toksin, infeksi dan lain-lain. Gangguan metabolisme adalah kondisi genetik yang menyebabkan masalah dengan proses metabolisme dalam tubuh. Kelainan kulit akibat gangguan metabolisme disebabkan oleh kekeliruan atau kesalahan proses metabolisme. Manifestasi klinis akibat suatu kelainan interna, atau pada referat ini dibahas mengenai gangguang metabolisme, adalah respons kutan terhadap rangsangan patologik dan tampak sebagai pruritus, perubahan kualitas kulit, kulit menjadi lebih kering atau lembab, perubahan warna kulit seperti kepucatan (pallor), eritema, warna kekuningan, dan warna coklat atau kebiruan.
47
Pada penyakit diabetes mellitus, timbul beberapa kelainan kulit, seperti dermatopati diabetika, xantoma erupsi, nekrobiosis lipoidika diabetikum yang terdiri atas bercak numular atau plak merah dengan sentrum kuning, akantosis nigrikan atau penebalan pada kulit, ulkus diabetikum, infeksi kulit, bercak tibial dan pigmented pretibial patches, malum perforans pedis, dan granuloma anulare. Liken Amiloidosis adalah kondisi kulit yang ditandai dengan timbulnya papula-papula likenoid yang terkadang disertai rasa gatal, biasanya muncul secara bilateral pada tulang kering. Lesi disebabkan oleh adanya tumpukan amiloid di dalam kulit sebagai akibat kelainan metabolisme, tanpa disertai amiloidosis sistemik dan penyakit kulit lainnya. Xantoma ialah suatu kelainan kulit berupa plak atau nodul berwarna kuning yang disebabkan pengendapan lemak dan sel busa secara abnormal. Xanthelasma palpebra adalah bentuk xanthoma yang sering ditemui. Pada penyakit hepar sering ditemui kelainan kulit berupa pruritus, kulit ikterus, abnormalitas vaskular yang berbentuk spider naevi, palmar eritema, dan livedo, serta perubahan struktur rambut. Pruritus juga ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis akibat akumulasi ureum dalam darah. Selain itu ditemukan juga kekeringan kulit dan perubahan struktur rambut dan kuku pada kelainan ginjal. Overactivity dan underactivity dari kelenjar tiroid dapat menyebabkan perubahan pada kulit, rambut atau kuku. Pada gangguan hormon tiroid berlebih sering ditemukan adanya perubahan tekstur rambut dan alopecia, onycholysis yang merupakan ujung kuku yang bebas menonjol ke atas (Plummer’s nail), pruritus, urtikaria kronik, alopecia areata, dan hiperpigmentasi yang difus atau terlokalisir pada wajah. Pada hipotiroidisme ditemukan Kulit kering hipotiroid yang rentan berkembang menjadi dermatitis (eczema craquelé – “a crazy paving splitting” atau pecah-pecah pada lapisan permukaan kulit). III.2 Saran
48
Penyakit kulit akibat gangguan metabolism adalah suatu diagnosa yang penting untuk mencari penyakit yang mendasarinya. Terapi yang diberikan selain dari mengatasi penyakit metabolism dasarnya juga dengan terapi local untuk menghilangkan penyakit kulit tersebut. Manifestasi kulit yang terjadi pada gangguan metabolisme tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele, karena dapat berkomplikasi lebih lanjut. Referat ini dibuat dengan keterbatasan penulis, sehingga masih banyak kekurangan yang harus ditambah agar referat ini dapat menjadi sumber pustaka bagi pembaca dan dapat menjadi bahan informasi yang penting pada masyarakat luas. Oleh karena itu, literatur yang di dapat sebaiknya lebih dilengkapi.
DAFTAR PUSTAKA Allergan, Abbvie, Aveeno, Bayer. 2008. Skin Manifestations in Metabloc Syndrome. Available from: http://www.dermnetnz.org/search.html? cx=01587390nz7deehiccq&ie=UTF8&q=skin+manifestation+of+androgen+disorder. Diakses tanggal 17 September 2015 Amyloidosis, Primary Cutaneous Amyloidosis, Lichen Amyloidosis, available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Lichen_amyloidosis. Diakses tanggal 21 September 2015 Amyloidosis-Lichen, available from: http://emedicine.medscape.com/article/1102672.overview. Diakses tanggal 21 September 2015 Djuanda, Suria. 2013. Hubungan Kelainan Kulit Dan Penyakit Sistemik dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
49
Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Florez, A., Cruces, M., Jimenez, GP., 2003. Cutaneous Manifestations of Systemic Disease. In : Kerder, FA., Acosta, FJ. Dermatology, Just The Fact. NewYork : McGraw-Hill, 219-235. Hailovic, E. 2014. Thyroid Disease and The Skin. Department Of Dermatovenereology Sarajevo University. Bosnia: Austin Publishing Group. Harahap M. 1998. Kelainan Kulit Oleh Gangguan Metabolisme: Amiloidosis Lokal. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta. Mahmoud, Hijazy. 2015. Skin Manifestations in Metablic Sisease dalam: Principles of Pediatric Dermatology. Available from: http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter42.htm. Diakses tanggal 29 September 2015. Robin Graham-brown, Johnny Burke, Tim Cunliffe. 2011. Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik (Dermatology: Fundamentals of Practice). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Roy, Xanthelasma. 2008. http://emedicine.medscape.com/article/1213423-overview#. Diakses tanggal 18 September 2015 Scheinfeld, Noah S. 2012. Skin Disorders in Older Adults: Manifestations of Endocrine and Metabolic Diseases. USA: Columbia University. Available from: http://www.consultant360.com/article/skin-disorders-older-adultsmanifestations-endocrine-and-metabolic-diseases. Diakses tanggal 19 September 2015 Siregar R. S. 2002. Amiloidosis Kutis. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo, Aru., Setyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1873-187. Syarif M. Wasitaatmadja, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FKUI Jakarta, 2008 Hal 3-6.
50
Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B., Paller, A.S., Leffel, D.J. 2007. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th edition. New York: McGrawHill.