BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFLEKSI KASUS
RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT
OLEH : KADEK AGUS ARSANA N 111 14 049
PEMBIMBING dr. R. Joko Maharto, Sp.KJ
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD UNDATA – FAKULTAS FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO AGUSTUS 2015
Masuk RS tanggal
: 2 september 2015
No. Status / No. Reg
:
Nama
: Tn. F
Umur
: 28 tahun
Jenis Kelamin
: laki-laki
Alamat
: jalan tanggul selatan
Pekerjaan
: wiraswasta
Agama
: Islam
Status Perkawinan
: Menikah
Dokter Pembimbing
: dr. R. Joko Maharto, Sp.KJ
Diagnosa Sementara
: Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Gejala-gejala utama
: Perasaan Cemas
LAPORAN PSIKIATRIK 1. RIWAYAT PENYAKIT A. Keluhan utama dan alasan MRSJ / Terapi
: Perasaan cemas
B. Riwayat gangguan sekarang, perhatikan
Keluhan dan gejala : Pasien laki-laki umur 28 tahun masuk dengan ke perawatan Rajawali RSU Anutapura dengan keluhan perasaan cemas. Rasa cemas ini muncul ketika berada di tempat yang ramai dan mendengar suara bising sejak 1 bulan yang lalu. Rasa cemas ini muncul hampir setiap hari. Jika rasa cemas ini muncul, jantung pasien terasa berdebar-debar, kaki terasa dingin dan pasien merasa lemas. Jika keluhan ini muncul, pasien akan duduk sejenak untuk menenangkan dirinya sampai dirinya merasa lebih baik. Serangan biasanya terjadi selama 20 menit. Sejak muncul keluhan pasien menjadi susah tidur malam. Pasien tidur jam 11.00 kemudian terbangun jam 02.00 subuh dan tertidur la gi jam 04.00 dan akhirnya bangun jam 07.00 pagi. Pasien tidak merasakan perasaan sedih. Pasien juga tidak memiliki beban hidup yang selalu dipikirkan. Pasien tidak merasa takut sendiri dan tidak takut dengan ketinggian. Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi sabu-sabu 5 tahun yang lalu dan berhenti 6 bulan kemudian. Pasien mengatakan bahwa setelah mengkonsumsi sabu-sabu ia merasa kekuatan fisiknya bertambah kuat, tidak mengantuk dan konsentrasi meningkat. Efek sabu-sabu terasa selama 24 jam dan setelah efek habis pasien merasa lemas, mengantuk kemudian tertidur, konsentrasi menurun. Pasien merasa sangat membutuhkan sabu-sabu untuk kembali mendapatkan efek yang diinginkan. Pada awal pemakaian pasien hanya mengkonsumsi 1 kaca tapi ia makin lama jumlah yang dibutukan semakin meningkat. Pada bulan ke 5
pemakaian pasien membutuhakn 2 kaca untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Pasiem juga memiliki riwayat mengkonsumsi minuman beralkohol jenis bir dan telah berhenti 2 tahun yang lalu. Pasien minum tidak sampai mabuk. Ia hanya minum sesekali bersama teman-temanya.
Hendaya / Disfungsi : -
Hendaya sosial (+)
-
Hendaya pekerjaaan (+)
-
Hendaya waktu senggang (-)
Hubungan gangguan, sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis sebelumnya: pasien tidak memiliki riwayat penyakit fisik yang berarti sebelumnya
C. Riwayat kehidupan sebelumnya:
Trauma (-)
Infeksi (-)
Kejang (-)
NAPZA (+)
Alkohol (+)
Rokok (+)
D. Riwayat kehidupan pribadi
:
Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien tidak mengingat masa pre natal dan perinatal -nya
Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 tahun)
Pasien diasuh oleh kedua orang tua pasien. Pertumbuhan dan perkembangan pasien pada masa anak-anak awal seusia dengan perkembangan anak seusianya. Tidak ada masalah perilaku yang menonjol.
Riwayat Masa Pertengahan (4-11 tahun)
Merupakan anak laki-laki pada umumnya, tinggal bersama kedua orang tuanya dan cukup mendapat perhatian dan kasih sayang. Selama di sekolah,pasien bergaul dengan anak sebayanya. Hubungan dengan teman sekelasnya baik. Pasien tidak pernah tinggal kelas. Pasien beberapa kali berprestasi disekolahnya.
Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja. ( 12-18 tahun)
Merupakan anak laki-laki yang senang bergaul dengan siapa saja, pasien tidak memiliki masalah yang berat dalam keluarga.
Riwayat Masa Dewasa (19-23)
Senang bergaul dan dekat dengan keluarganya tapi pasien mulai mengenal temantemanya yang sering minum-minuman keras tapi pasien tidak sampai mabuk.
Riwayat bersama keluarga
Pasien memiliki hubungan baik dengan anak dan istrinya tapi pasien tetap bergaul dengan teman-temanya yang suka minum minuman keras. Pasien juga mulai mengenal sabu-sabu bersama teman-temanya. Pasien juga mulai ketagihan untuk mengkonsumsi sabu-sabu.
E. Situasi sekarang
:
Saat ini pasien ditahan di Lapas. F.
Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
: Pasien merasa terganggu dengan
penyakitnya dan pasien ingin sembuh dengan tidak lagi merasakan keluhankeluhannya sekarang
2. EVALUASI MULTIAKSIAL : Aksis I
: F1x.2 gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat
Aksis II
: tidak ada diagnosis aksis II (Z 03.2)
Aksis III : penyakit sistem sirkulasi Aksis IV : masalah berkaitan dengan interaksi dengan hukum/kriminal Aksis V
: Berdasarkan Global Assessment of Functioning (GAF) Scale pada 70-61
beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik 3. PROGNOSIS Bonam
4. PEMBAHASAN TINJAUAN PUSTAKA NAPZA adalah singkatan dari narkotik, psikotropik dan zat adiktif lain. Sebutan yang mirib di masyarakat adalah narkoba yang merupakan akronim dari narkotik, psikotropika dan bahan-bahan (obat-obatan atau zat adiktif lain). NAPZA ada yang semata-mata dari tumbuhan(natural) seperti ganja, sintetis misalnya shabu dan semi sintetis misalnya putaw. NAPZA didefinisikan sebagai setiap bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh akan memperngruhi fungsi tubuh secara fisik maupun psikis. Dewasa ini beberapa ahli juga mencantumkan narkotik, kafein dan analgetik sebagai zat yang dapat menyebabkan ketergantungan. Setiap zat yang mempengaruhi susunan saraf pusat disebut sebagai zat psikoaktif yang membaginya atas golongan: a. Opiat atau opioid misalnya morfin dan heroin b. Stimulan misalnya amfetamin dan kokain
c. Anti-anxietas misalnya diazapam dan khlordiazepoksid d. Antidepresan misalnya amitriptilin e. Psikedeliks misalnya LSD f. Sedatif hipnotik seperti fenobarbital NAPZA memiliki sifat khusus terhadap jaringan otak yaitu menekan aktivitas fungsi otak, merangsang fungsi otak dan mendatangkan halusinasi. Karena otak merupakan perilaku manusia maka interaksi antara NAPZA dengan jaringan otak akan menyebabkan perubahan perilaku pada manusia dan perubahan perilaku tersebut tergantung pada jenis zat yang masuk ke dalam tubuh. Otak memiliki puluhan neurotransmiter yang mengantarkan pesan sensasi khusus, misalnya dopamin mengantarkan sensasi rasa senang, euforia dan gembira. Di dalam otak juga ditemukan reseptor opioid. Tubuh juga menghasilkan protein yang mirib neurotransmiter disebut endorphin yang mengikat diri pada reseptor opioid yang kemudia mengirim signal kepada terminal untuk melepasakan dopamin sehingga membawa pesan kenikmatan. Dengan dosis yang tepat NAPZA akan mengunci dalam reseptor dan mulai membangkitkan suatu reaksi berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron melepaskan sejumlah besar neurotransmiternya. Gambaran
klinis
utama
dari
fenomena
ketergantungan
disebut
sindrom
ketergantungan dan akan ditegakan jika ditemukan tiga atau lebih gejala dibawah selama masa setahun belakangan 1. Kompulsi menggunakan NAPZA 2. Kesulitan mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA 3. Keadaan putus obat NAPZA secara fisiologis ketika penghentian atau pengurangan penggunaan NAPZA, terbukti orang tersebut menggunakan
NAPZA dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari gejala putus zat. 4. Ada bukti toleransi berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan untuk menimbulkan efek yang diinginkan 5. Secara progresif akan mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan NAPZA 6. Meneruskan penggunaan NAPZA sekalipun ia sadar dan paham adanya akibat yang merugikan kesehatan. Karakteristik terapi adikasi yang efektif menurut NIDA (national institute on drug abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar yang efektif yaitu: 1. Tidak ada bentuk terapi serupa yang sesuai untuk semua individu 2. Kebutuhan mendapat terapi setiap individu harus siap tersedia setiap waktu 3. Harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu dan tidak sematamata memutus NAPZA 4. Rencana program terapi individu harus dinilai secara kontinyu dan kalau perlu dimodifikasi 5. Mempertahan pasien dalam satu periode waktu program tarapi yang adekuat untuk menilai terapi apakah efektif atau ti dak 6. Konseling dan terapi perilaku lainya 7. Medikasi atau psikofarmaka 8. Seseorang yang mengalami adiksi juga mengalami gangguan mental sehingga perlu diterapi keduanya.
9. Detoksifikasi medik hanya merupakan tahap permulaan terapi adiksi dan detoksifikasi hanya sedikit bermakana untuk hentikan terapi jangka panjang 10. Kemungkinana penggunaan zat psikoaktif selama terapi harus dimonitor secara kontinue 11. Program terapi harus menyediakan assesmen untuk HIV/AIDS, hepatitis B dan C, tiberkulosis dan penyakit infeksi lai n 12. Recovery dari kondisi adikasi NAPZA merupakan suatu proses jangka panjang
dan sering mengalami episoda terapi jangka panjang dan
sering mengalami episoda terapi yang berulang-ulang. Proses terapi adiksi zat pada umumnya dapat dibagi atau bebrapa f ase yaitu: 1. Fase penilaian atau asesmen. Pada fase ini diperoleh informasi dari pasien tentang gambaran cross sectional dan longitudinal yang dinilai secara kritis dan intergratif yang perlu dilakukan evaluasi psikiatrik yang komprehensif 2. Fase detoksifikasi yang memiliki ragam variasi: a. Rawat inap dan rawat jalan b. Cold turkey, terapi simtomatik c. Rapid detoxification d. Detoxification menggunakan kodein dan ibuprofen, klontrex, buprenorfin dan metadon 3. Fase terapi lanjutan Perlu dikembangkan dan diimplemetasikan strategi terapi secara menyeluruh. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekanakan kebutuhan individu agar tetap terjadi
drug free atau dengan menggunakan terapi substitusi seperti antagonis neltrekson, agonis metadon atau partial agonis buprenorfin.
5. FOLLOW UP Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakit serta menilai efektivitas pengobatan yang diberikan dan kemungkinan munculnya efek samping obat yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira SD, Hadisukanto G, 2010, Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FK UI, Jakarta. 2. Maslim R, 2001, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III , Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta. 3. Kaplan & Shadock, Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2, EGC, Jakarta. 4. Tim Skill Lab FK UGM, 2012, Skill Laboratory Manual: Manual Block 8 , FK UGM, Yogyakarta. 5. Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan klinis obat psikotropik. Bagian ilmu kedokteran jiwa fakultas Unika atmajaya; Jakarta.