Pengertian Teater Nontradisional Teater Nontradisional atau sering disebut dengan Teater Modern merupakan jenis teater yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kota besar dan sangat dipengaruhi oleh teori-teori barat, terutama pada kaum terpelajar. Teater Modern di Indonesia sudah dikenal sejak abad ke-19. Bentuk-bentuk pertunjukannya yang diakomodir, antara lain: Baca Puisi, Deklamasi, Dramatik Reading, Visualisasi Puisi, Musikalisasi Waktu“ Karya Sinetron Puisi, Monolog, Teater Konvensional, Teater Indonesia Eksperimen, Teater Alternatif, Pertunjukan Posmodernisme, Teater Jalanan, Jeprut, Happening Art. Drama Televisi, Sinetron, Dunia Sineas dan Perfilman, dst.. Teater sebagai seni pertunjukan berdasarkan ciri-ciri pokok seninya, dapat dibedakan ke dalam dua jenis: teater tradisional dan teater nontradisional. Berdasarkan perbedaan ciri-ciri pokok seni dan hubungan seni yang mendasari pertunjukannya dapat disimpulkan bahwa teater tradisional keberadaan seninya tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, baik masyarakat suku pedalaman, masyarakat pedesaan, perkampungan (pertanian huma dan pesawahan) dan masyarakat istana atau pendopo atau keraton. Dalam perkembangannya Teater sebagai salah satu bentuk karya seni pertunjukan ditinjau dari media yang digunakannya, Sumardjo (2000), mengatakan dapat dibedakan ke dalam; teater boneka dan teater manusia. Teater boneka adalah bentuk pertunjukan teater dengan media ekspresi seninya menggunakan alat boneka atau disebut teater muffet. Contohnya, wayang golek, wayang kulit, dst. Teater dengan media manusia, yakni dapat dibedakan menjadi teater orang dan teater tutur. Teater dengan medium utama manusia atau orang, banyak ditemukan pada jenis dan bentuk teater tradisional dan non tradisonal dengan ciri utama manusia ditempatkan sebagai pemeran, aktor, aktris di atas pentas. Teater Tutur memiliki kekhasan penyajian pada penyampaian teks dialog berupa kata-kata yang dibawakan melalui tokoh (pemeran) diungkap dengan cara bernyanyi, dilagukan, seperti juru dongeng atau bercerita. Contohnya; Kentrung (Jawa Timur), Seni Pantun, Beluk (Jawa Barat), MPToh (Aceh), dst. Teater berdasarkan bentuk dikenali dua bentuk, yakni Teater verbal dan nonverbal. Teater verbal, menekankan tokoh cerita (pemeran) melakukan dialog (percakapan antar tokoh atau sendiri) dengan alasan bahwa pesan cerita yang ingin disampaikan kepada penonton digambarkan atau disampaikan dengan bahasa kata-kata. Contohnya. Teater Tutur, Sandiwara Radio, Mendongeng, Standing Up Comedy. Story Toling, dst. Teater non verbal, artinya pesan cerita yang akan disampaikan kepada penonton dapat digambarkan laku dramatiknya melalui kekuatan ekspresi gerak tubuh pemeran. Contohnya. Teater Gerak, Teater Tubuh, (Kelompok Payung Hitam, Rachman Sabur – Bandung; Teater Kubur, Dindon-Jakarta), dan Teater Mini Kata (Teater Rendra, Jakarta) Seni Pantomin.
Periode Perkembangan Teater NonTradisional 1) Periode Opera Abdul Muluk Mengapa dikatakan periode Abdul Muluk? Karena pada zaman ini terdapat sebuah opera yang bernama Opera Abdul Muluk. Opera Abdul Muluk ini berisi cerita, pantun, dan syair berbahasa Melayu. Periode ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, opera ini dapat dikatakan mati. 2) Periode Pembenihan Pertama (1891) Seperti halnya periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan adanya sebuah teater yang berbentuk orkes stambul. Orkes ini merupakan sebuah pertunjukan yang berbentuk opera atau drama musik. Cerita yang dibawa-kannya berupa kisah atau hikayat yang berasal dari Persia, seperti Seribu Satu Malam, Ali Baba, dan Abu Nawas. Selain cerita dari Persia, terkadang orkes stambul ini membawakan kisah dari Eropa dan India. Meskipun mengambil cerita atau kisah dari luar negeri, ceritanya telah disesuaikan dengan keadaan atau realitas sehingga ceritanya sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. 3) Periode Pembenihan (1926) Periode pembenihan ditandai dengan adanya film Eropa yang masuk ke Indonesia. Para seniman Indonesia menyalurkan kreativitasnya dengan cara mengadopsi cerita dari luar Nusantara. Salah satu bentuk pertunjukan dalam periode ini adalah Dardanella yang dipimpin oleh Andjar Asmara. Dardanella ini merupakan sebuah sandiwara opera dalam bahasa Melayu-Tionghoa. Periode ini dapat dikatakan sebagai titik tolak kemajuan teater Nusantara karena sudah menggunakan cerita dalam bentuk struktur lakon. Cerita yang sering dipertunjukkan dalam periode ini yaitu cerita yang berbentuk roman. 4) Periode Pembangkitan (1926-1942) Tentunya kamu sudah tahu bahwa pada masa ini rasa nasionalisme sangat tinggi. Nah, dari kesadaran nasionalisme ini lahirlah cerita yang bertema kepahlawanan dan romantik-idealistis. Kreativitas para seniman pun bermunculan. Hal ini terbukti dari menjamurnya kelompok kecil sandiwara di seluruh Nusantara. Selain itu, ceritanya disusun sendiri dalam bentuk lakon. Tokoh yang terkenal pada periode ini adalah Rustam Efendi dan Sanusi Pane. 5) Periode Pembangunan (1942-1945) Tidak berbeda jauh dengan masa sebelumnya, rasa nasionalisme melekat dalam periode ini. Waktu itu, arena pertunjukan menjadi wadah pergerakan kemerdekaan. Mengapa pada masa periode ini tumbuh subur teater? Karena masa penjajahan Jepang dibuka seluas-luasnya kegiatan yang menyangkut kebudayaan. Teater yang sangat berpengaruh ketika itu adalah Mayo. Tokoh teater pada masa ini adalah Usmar Ismail, Idrus, dan El Hakim. Cerita yang melekat dalam periode ini adalah romantisme perjuangan.
6) Periode Awal Perkembangan (1945-1960) Sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya, pada masa ini bermunculan seniman yang berkonsentrasi dalam teater. Ketika itu banyak tokoh yang sangat terkenal, di antaranya Utuy Tatang Sontani, Motinggo Busye, Kirjomulyo, Nasjah Djamin, dan B. Sularto. Cerita dalam periode ini mengangkat tema romantik-realistis yang diperkaya dengan lakon-lakon daerah yang diolah kembali. 7) Periode Produktif (1955-1965) Sesuai dengan nama periodenya, masa ini sangat produktif dalam pengembangan seni teater. Selain teater, bermunculan pula sekolah teater seperti ATNI, STB, Teater Indonesia, HSBI, dan Teater Muslim. Pada periode ini, pertunjukannya sudah menggunakan lakon-lakon saduran seperti Hamlet. 8) Periode Kontemporer (1965-kini) Periode ini dapat disebut juga periode pembebasan. Periode pembebasan ini dapat dilihat dari bentuk teater yang tersendiri tanpa terikat dari berbagai kaidah. Selain cerita yang ditulis sendiri, berbagai saduran dan terjemahan pun mulai banyak dipentaskan dengan bentuk yang bervariasi. Tentunya hal ini menambah semarak khazanah seni teater di Nusantara. Tokoh yang muncul dalam periode ini di antaranya Teguh Karya dengan grup teater Populer, W.S. Rendra dengan grup teater Rendra, N. Riantriarno dengan grup teater Koma, dan masih banyak lagi grup teater lainnya. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya penulis cerita (lakon) yang berperan ganda sebagai sutradara.
1. Teater Tradisional
Teater Tradisional sering juga disebut dengan “Teater Daerah” merupakan suatu bentuk teater
yang bersumber, berakar dan telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita rasa masyarakat pendukungnya. Teater Tradisional mempunyai ciri-ciri yang spesifik kedaerahan dan menggambarkan kebudayaan lingkungannya.
Ciri-ciriutamaTeaterTradisional: a.Menggunakanbahasadaerah. b.Dilakukansecaraimprovisasi. c.Adaunsurnyanyiandantarian. d.Diiringitetabuhaan(musikdaerah). e.Dagelan/banyolanselalumewarnai. f.Adanyakeakrabanantarapemaindanpenonton. g.Suasana
santai.
Jenis teater yang dapat dikelompokan ke dalam Teater Tradisional adalah : Teater Rakyat, Teater Klasik,
dan
a.
Teater
Transisi.
Teater
Rakyat
Teater rakyat lahir dari spontanitas kehidupan dalam masyarakat, dihayati oleh masyarakat dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Kelahiran Teater Rakyat umumnya karena dorongan kebutuhan masyarakat terhadap suatu hiburan, kemudian meningkat untuk kepentingan lain seperti ; kebutuhan akan mengisi upacara dan upacara adat. Contoh teater rakyat adalah Longser, Sandiwara Sunda, Wayang Golek, Pantun Sunda, Bengbengberokan (Bandung); Topeng Cirebon, Wayang Kulit, Sintren, Kuda Kepang (Cirebon); Topeng Banjet, Odong-odong,
b.
Sisingaan
(Karawang
Teater
dan
Subang)
dan
lain-lain.
Klasik
Teater Klasik adalah suatu perkembangan seni yang telah mencapai tingkat tinggi baik teknis maupun coraknya. Kemapanan dari jenis Teater Klasik ini sebagai akibat dari adanya pembinaan yang terus menerus dari kalangan atas, seperti; Raja, bangsawan atau tingkat sosial lainnya. Oleh karena itu jenis kesenian klasik kebanyakan lahir dilingkungan istana (pusat kerajaan). Untuk jenis teater yang termasuk klasik, misalnya: Wayang Golek (Jawa Barat); Wayang Kulit dan Wayang
Orang
(Jawa
Tengah
dan
Jawa
Timur).
Cara pementasan Teater Klasik sudah tidak sebebas Teater Rakyat. Teater Klasik harus menuruti aturan-aturan etis (tata kesopanan) dan estetis (nilai keindahan) yang telah digariskan.
c.
Teater
Transisi
Pada dasarnya jenis Teater Transisi juga bersumber pada Teater Tradisional, tetapi gaya pementasannya sudah dipengaruhi oleh Teater Barat. Pengaruh Teater Barat nampak pada tata cara penyajiannya. Walaupun pada Teater Transisi masih belum setia terhadap naskah Teater, namun karena tumbuhnya dari masyarakat kota dan banyak dimainkan oleh para pendatang, tidak
mencerminkan
aspirasi
rakyat
secara
utuh.
Jenis Teater Transisi pada masa awal, seperti: Komedi Stambul dan Sandiwara Dardanella. Teater semacam ini lebih disebut “Sandiwara“. Sedangkan Teater Transisi masa seka rang adalah :
Sandiwara Srimulat (Jawa Timur); Sandiwara Sunda (Jawa Barat); Sandiwara Bangsawan (Sumatra Selatan dan Utara).
Unsur Unsur Naskah Drama Struktur Teks Drama 1. Prolog, merupakan bagian pembukaan atau peristiwa pendahuluan dalam sebuah drama atau sandiwara. 2. Dialog, merupakan media kiasan yang melibatkan tokoh-tokoh drama yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak manusia, problematikan hidup yang dihadapi, dan cara manusia dalam menyikapi persoalan hidupnya.
3. Epilog, merupakan bagian akhir dari sebuah drama yang berfungsi untuk menyampaikan inti sari cerita atau bagian yang menafsirkan maksud cerita oleh salah seorang aktor atau dalang pada akhir cerita.
Pertunjukan drama (Sumber: wordpress.com) Unsur-Unsur Drama
Alur, merupakan rangkaian peristiwa dan konflik yang menggerakkan jalan cerita. Alur drama mencakup bagian-bagian pengenalan cerita, konflik awal, perkembangan konflik, penyelesaian. Penokohan , merupakan cara pengarang menggambarkan karakter tokoh. Dalam sebuah pementasan drama, tokohlah yang mengambarkan secara langsung naskah drama. Tokoh terbagi dua berdasarkan perannya, yaitu tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi sentral cerita dalam pementasan drama. Sedangkan tokoh pembantu merupakan tokoh yang dilibatkan atau dimunculkan untuk mendukung jalan cerita. Dialog, dalam sebuah dialog terdapat tiga elemen yaitu:
- Tokoh yaitu pelaku yang mempunyai peran lebih dibandingkan pelaku-pelaku lain, sifatnya bisa protagonis dan antagonis. - Wawancang adalah dialog atau percakapan yang harus diucapkan oleh tokoh cerita. - Kramagung adalah petunjuk perilaku, tindakan atau perbuatan yang harus dilakukan oleh tokoh.
Latar, adalah keterangan mengenai ruang dan waktu. Penjelasan latar dalam drama dinyatakan dalam petunjuk pementasan. Bagian itu disebut dengan kramagung. Latar juga dapat dinyatakan melalui pecakapan para tokohnya. Bahasa, merupakan media komunikasi antartokoh. Bahasa juga bisa menggambarkan watak tokoh, latar, ataupun peristiwa yang sedang terjadi.
Jika drama akan dipentaskan, unsurnya akan bertambah yaitu sarana pementasan seperti panggung, kostum, pencahayaan, dan tata suara.
Kaidah Kebahasaan Drama
Berupa dialog Menggunakan tanda petik pada dialog
Menggunakan kata ganti orang ketiga pada bagian prolog atau epilog ( dia, beliau, ia, -nya) Menggunakan kata ganti orang pertama dan kedua pada bagian dialog (aku, saya, kami, kita, kamu) Banyak menggunakan konjungsi temporal ( sebelum, sekarang, setelah itu, mulamula, kemudian) Banyak menggunakan kata kerja yang menggambarkan suatu peristiwa (menyuruh, menobatkan, menyingkirkan, menghadap, berisitrahat ) Banyak menggunakan kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh (merasakan, menginginkan, mengharapkan, mendambakan, mengalami) Menggunakan kata-kata sifat untuk menggambarkan tokoh, tempat, atau suasana (ramai, bersih, baik, gagah, kuat )
Ciri-Ciri Teater Nontradisianal