A. Pengertian Kekerasan. Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan dari violence, yang dalam bahasa latin disebut violentia. Violence erat berkaitan dengan gabungan kata kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” yang berasal dari ferr e ( membawa ) yang kemudian berarti membawa kekuatan.
R. audi merumuskan “violence” sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang. Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Sedangkan kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang, oleh karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan adalah perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain. Menurut WHO (1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar / trauma atau perampasan hak. B. Bentuk-Bentuk Kekerasan
Misalnya pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, pemukulan, fitnah, pemerkosaan, dan lain-lain. Dari berbagai bentuk kekerasan itu sebenarnya dapat digolongkan ke dalam dua bentuk yaitu: a. Kekerasan langsung (direct violent) Kekersan langsung adalah suatu Bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung terhadap pihakpihak yang ingin dicederai atau dilukai. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti melukai orang lain dengan sengaja, membunuh orang lain, menganiaya, dan memperkosa. b. Kekerasan tidak langsung (indirect violent) Kekerasan tidak langsung adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain melalui sarana. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada tindakantindakan, seperti mengekang, meniadakan atau mengurangi hak-hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan perbuatan-perbuatan lainnya. Misalnya terror bom yang dilakukan oleh para teroris untuk mengintimidasi pemerintah supaya lebih waspada akan bahaya yang dilakukan oleh pihak pihak asing terhadap negara kita.
Sehubungan dengan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain, pada dasarnya di dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi (upaya bertahan), yaitu sebagai berikut. a. Desakan untuk melawan yang telah terprogram secara filogenetik sewaktu kepentingan hayatinya terancam. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan hidup individu yang bersifat adaptif biologis dan hanya muncul apabila ada niat jahat. Misalnya si A melakukan pencurian karena adanya desakan kebutuhan ekonomi, seperti makan. b. Agresi jahat melawan kekejaman, kekerasan, dan kedestruktifan ini merupakan ciri manusia, di mana agresi tidak terprogram secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif biologis, tidak memiliki tujuan, serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu belaka. Misalnya aksi kerusuhan yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu telah belajar mengenai konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat .
C. Faktor Penyeban Kekerasan
Sebuah konsep sederhana namun mendalam tentang faktor penyebab terjadinya kekerasan secara umum diungkap oleh Camara (2005). Di dalam teorinya Camara mengungkapkan bahwa kekerasan muncul karena deprivasi relatif yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relatif dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectation) dan kapabilitas nilai (value capability). Di dalam kaitannya dengan kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya, maka ketika kekerasan itu terjadi berdasarkan konsep dari Camara, ada kesenjangan yang terjadi di dalam diri guru antara nilai harapan terhadap murid dengan kapabilitas nilai (kemampuan) yang dimiliki murid. Kondisi ini pada akhirnya yang memunculkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Misalnya, murid yang berperilaku tidak sesuai dengan harapan guru, melanggar peraturan, dan lain sebagainya, maka akan memicu tindak kekerasan guru.
D. Dampak-Dampak Kekerasan a. Dampak Kekerasan terhadap Anak.
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore
juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya. Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse), antara lain: 1. Dampak kekerasan fisik Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia. 2. Dampak kekerasan psikis Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk ( coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri. 3. Dampak kekerasan seksual Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991); 4. Dampak penelantaran anak
Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
5. Dampak kekerasan lainnya Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah. Berdasarkan uraian diatas dampak kekerasan terhadap anak antara lain: 1. Kerusakan fisik atau luka fisik 2. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif 3. Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol sampai dengan kecenderungan bunuh diri. 4. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan lain-lain. 5. Pendidikan anak yang terabaikan. b. Dampak KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena banyak faktor. Ada yang karena 'perebutan kekuasan', masalah keuangan, atau memang ada kecenderungan sadisme pada salah satu pasangan. Apa pun penyebabnya, KDRT memiliki pengaruh besar bagi kehidupan di masa depan. Tidak jarang, korban KDRT tidak bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa. Dan beban serta luka akibat penganiayan yang pernah dialaminya akan terbawa seumur hidup. Kadang dalam beberapa kasus, anak yang dianiaya oleh orangtuanya, memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang sama ketika sudah menjadi orangtua. Walau, tentu saja tak sela lu seperti itu kejadiannya. 1. Tidak pernah tenang Seseorang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bakal sulit melupakan bekas luka yang dialaminya. Hidup pun jadi tidak tenang.
Seandainya korban berhasil meninggalkan penganiayanya, misalnya istri yang menggugat cerai, anak yang bertumbuh dewasa, hal ini akan terus mempengaruhi hubungan-hubungan mereka selanjutnya. 2. Trauma Ada banyak kasus di mana korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tertekan dan trauma setelah menghadapi pelecehan dalam hubungan mereka. Hal ini membuat mereka tidak bisa 'berfungsi' normal, yang kadang mempengaruhi berbagai aspek lain dalam kehidupan mereka, misalnya dalam bidang pekerjaan atau pendidikan.
3. Rasa sakit Dalam kasus di mana salah satu di antara pasangan menerima kekerasan fisik, korban mungkin mengalami rasa sakit dan penderitaan. Dan ada kasus di mana cedera fisik sulit untuk dihilangkan. Dalam beberapa kasus ekstrem, korban KDRT mengalami cacat fisik permanen akibat penganiayaan yang diterimanya. 4. Ketakutan Sebuah studi baru-baru ini mengatakan, korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung menjadi paranoid. Mereka mungkin tidak bisa mempercayai adanya sebuah hubungan baru di mana mereka tidak akan dianiaya. Sangat disarankan bagi korban KDRT untuk mengikuti sesi terapi, dimana mereka bisa menyembuhkan dan mengobati jiwa mereka atas pengalaman buruk yang sudah dialami. Terapi yang benar dan cukup akan membuat mereka lebih siap dan kuat untuk menghadapi hidup kedepannya. E. Upaya Mengatasi Masalah Kekerasan 1. Penegakan hukum
Tidak bisa dipungkiri bahwa negara bertanggung jawab mengeliminasi kekerasan. Pertama adalah penegakan hukum. Teolog Samuel Rutherford dalam bukunya Lex Rex (1644) menempatkan hukum sebagai raja, hukum berada di atas segala-galanya, termasuk berada di atas pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip ruled by law, yang merupakan prinsip fundamental dalam demokrasi empirik.
Pandangan Rutherford tidak boleh direduksi menjadi penipuan pemerintah tirani dengan menggunakan konstitusi sebagai legitimasi despotisme, karena ia menegaskan suatu tesis, “citizens have a moral obligation to resist unjust and tyrannical government ” (dikutip oleh Francis Schaeffer, 1981). Hukum yang berpondasi pada perlindungan hak asasi manusia dan bersubstansi pada keadilan harus dijalankan. Salah satu upaya meredam penggunaan kekerasan oleh masyarakat sipil adalah dengan penegakan hukum yang adil, sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penyelesaian konflik-konflik horisontal. Ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum telah lama menjadi keluhan masyarakat dan hal ini tidak bisa dipungkiri menjadi legitimasi terhadap usaha main hakim sendiri. Sebagai contoh, masyarakat enggan menyerahkan pencuri atau perampok yang tertangkap tangan karena mereka tahu tidak akan diproses secara adil oleh penegak hukum. Kedua, negara adalah satu-satunya kelompok dalam masyarakat yang berhak menggunakan kekerasan sesuai hukum dan perundangan yang adil, sebagaimana ditegaskan oleh sosiolog Max Weber, “the state is a human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory ” (1958). Oleh karena itu, negara tidak boleh membiarkan masyarakat sipil menggunakan kekerasan. Pembiaran tersebut adalah dosa dan dosa pemerintah yang membiarkan anarkisme tidak lebih kecil dari dosa pemerintah tirani. Ketiga, negara dalam hal ini elite partai politik di pemerintahan dan legislatif perlu senantiasa menjaga kepercayaan konstituen secara khusus dan masyarakat pada umumnya, sehingga masyarakat tidak perlu menggunakan kanal-kanal ekstra-parlementer, aksi politik jalan yang rentan penggunaan kekerasan. Kita harus membaca penggunaan kanal tersebut bukan sebagai wujud ekspresi kebebasan berpolitik, tetapi kekecewaan terhadap kanal resmi akibat kanal partai politik melalui elitenya kerap tidak menjadi ventilasi bagi pengapnya pergumulan masyarakat. Dengan begini, penggunaan kekerasan dapat dieliminasi karena masyarakat tahu bahwa ada jalur yang tidak buntu sebagai tempat menyalurkan aspirasinya. 2. Program pendidikan anti kekerasan
Perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, dan sungguh sangat mengganggu ketenteraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karenanya. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat kita baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional. Saat ini kita sebagai bangsa sudah dituding oleh beberapa Negara lain sebagai sarang teroris, terlepas dari benar tidaknya tudingan itu. Dalam era global seperti saat ini arus Informasi, orang, produk, jasa, amat sangat bebas, tidak bisa dibendung lagi. Keadaan ini juga akan mendorong suburnya perilaku kekerasan dalam masyarakat kita. Melalui arus informasi, produk, jasa, yang bebas itulah pesan-pesan kekerasan ikut masuk ke dalam sistem
kehidupan masyarakat kita secara tidak sadar, bagaikan aliran darah dalam tubuh kita: mengalir dan beredar tanpa henti, tetapi tak pernah kita sadari. Perilaku kekerasan tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika demikian halnya, pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan secara dini melalui program pendidikan agar budaya damai, sikap toleransi, empati, dan sebagainya dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar. Upaya pencegahan kekerasan melalui program pendidikan amat penting, jika kita mengacu hasil Penelitian Komisi Carnigie untuk Pencegahan Konflik yang Mematikan baru-baru ini. Komisi itu menyimpulkan hasil penelitiannya: (1) berbagai bentuk konflik yang mematikan bukan tidak mungkin untuk dapat dihindarkan; (2) kebutuhan untuk mencegah conflik yang mematikan semakin urgen; dan (3) pen-cegahan konflik yang mematikan adalah sangat mungkin untuk dapat dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah dibiarkannya konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural, edukatif, dan pedagogis. Dunia ini dalam keadaan bahaya bukan karena adanya kelompok orang tertentu melakukan berbagai kekerasan, tetapi justru disebabkan oleh orang-orang yang tahu adanya berbagai kekerasan tetapi tidak melakukan pencegahan apapun. Dunia pendidikan sangat memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Secara teoritik ada banyak cara untuk memecahkan konflik seperti: menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan ke-kuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dsb. Cara-cara tersebut sering tidak efektif, dan selalu ada yang menjadi korban. Saat ini ada gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih populer disebut dengan conflict resolution (Resolusi Konflik). Bentuk-bentuk Resolusi Konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan integratif agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan. Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat mas a depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis. Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan res olusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis dan dalam jangka panjang masyarakat yang demikian itu akan terisolir dari percaturan global. Berbagai bentuk resolusi konflik yang dapat diintegrasikan dalam program pendidikan antara lain: (1) negosiasi; (2) mediasi; (3) arbitrasi; (4) mediasi-arbitrasi; (5) konferensi komunitas; dan (6) mediasi teman sebaya. Negosiasi merupakan salah satu bentuk resolusi konflik yang dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara dua atau lebih orang yang terlibat dalam konflik kekerasan dengan tujuan utama untuk mencapai kesepakatankesepakatan.
Mediasi adalah sebuah proses yang bersifat sukarela dan rahasia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral untuk membantu orang-orang mendiskusikan dan menegosiasikan persoalan-persoalan yang amat pelik dan sulit agar tercapai kesepakatan sehingga konflik yang membawa berbagai bentuk kekerasan dapat dihindarkan. Langkah-langkah penting dalam mediasi sebagai salah satu bentuk dari resolusi konflik ialah: pengumpulan informasi, perumusan masalah secara jelas dan jernih, pengembangan berbagai opsi, negosiasi, dan formulasi kesepakatan. Bentuk Resolusi Konflik ketiga, arbitrasi, merupakan proses yang mana pihak ketiga yang netral mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan konflik setelah ia mengkaji berbagai bukti dan mendengarkan berbagai argumen dari kedua belah pihak yang sedang terlibat dalam konflik. Selanjutnya, mediasi-arbitrasi merupakan sebuah hibrid yang mengkombinasikan antara bentuk mediasi dan arbitrasi. Artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam konflik mencoba untuk melakukan pemecahan melalui mediasi, tetapi jika tdak ditemukan pemecahannya kemudian mereka menempuh cara arbitrasi. Bentuk Resolusi Konflik yang kelima, konferensi komunitas, merupakan dialog yang terstruktur dengan melibatkan semua unsur dan atau anggota masyarakat (pelaku kekerasan, korban, keluarga, para sahabat, dsb.) yang mengalami dan menderita akibat dari dari adanya kekerasan kriminal. Semua unsur masyarakat saling memberi kesempatan untuk menyatakan posisinya, persaannya, persepsinya, terhadap kekerasan yang sudah terjadi, dan bagaimana usul mereka untuk menyelesaikan persoalan yang ada itu. Akhirnya, mediasi teman sebaya merupakan salah satu bentuk resolusi konflik di mana dalam proses itu anak-anak muda bertindak sebagai mediator untuk membantu menyelesaikan pertikaian di antara teman-teman sejawat mereka. Dalam konteks ini para siswa dapat dilatih dan diawasi oleh guru atau orang dewasa lain dalam melaksanakan perannya sebagai mediator. Dengan cara ini para siswa dapat mem-pela jari budaya damai dan budaya anti kekerasan dengan cara melibatkan diri dalam persoalan riil yang dihadapi oleh para rekan sejawat mereka. Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya mendidikkan berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para siswa kita. Untuk ini kita dapat menggunakan pendekatan simulasi, bermain peran, observasi, penangaanan kasus, dsb. agar para siswa memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan. Dengan demikian, untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik sebagaimana dijelaskan di atas perlu diperkenalkan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara terintegrasi, bukan secara monolitik. Hal ini berarti kita tidak perlu kurikulum secara khusus. Cukup guru memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang studi yang relevan dengan sifat dan hakikat resolusi konflik yang dikonseptualisasikan. Dengan cara ini maka dalam jangka panjang para siswa kita memiliki
nilai dan perilaku anti kekerasan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan, sungguh kita sebagai bangsa akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada di Republik ini.
3. Upaya pemerintah dan masyarakat
Untuk meredam kekerasan yang sudah terjadi harus dilakukan peace keeping, peace making, peace building yakni membuat kekerasan berhenti, menyembuhkan yang luka, dan membangun benteng yang untuk kedamaian. Setelah tidak ada luka, baru kita menyakinkan pihak-pihak bahwa damai itu lebih produktif. Kita harus melakukan kooperasi-kooperasi dengan pihak-pihak yang bertikai. Peace building harus dilakukan setelah ada proses memaafkan tidak ada luka. Proses pemaafan itu sendiri memerlukan waktu, tidak bisa serta merta terjadi setelah kejadian kekerasan. Setelah itu harus ada dialog-dialog, permintaan maaf, dan membangun kesepahaman. Upaya peace building pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Namun upaya Gandhi ini mengalami kegagalan karena dia langsung melakukan peace building , tidak ada peace keeping dan peach making. Posisi pemerintah untuk memproses tiga tahapan untuk membangun kedamaian masih sulit mengingat pemerintah itu sendiri dibangun oleh politik yang di dalamnya ada dua hal yang berlawanan dengan perdamaian yakni kepentingan dan kompetisi. Kecuali ada pembongkaran pemerintahan secara struktural. Maksudnya, pemerintah harus dibangun dari dua sisi yakni politik dan birokrasi. Birokrasi ini tidak boleh ada kepentingan. Di Indonesia ini masih campur aduk, birokrasi juga politik. Seharusnya tata pemerintahnya non politik dan diduduki oleh orang-orang profesional. Dengan demikian meskipun pemerintah berganti, roda pemerintahan tetap berjalan. Sebagai contoh, Jepang, tidak pernah mengganti tata pemerintahan, walaupun perdana menteri dan kabinetnya ganti. Meskipun demikian kita masih bisa berharap pada masyarakat. Masyarakat sudah mulai sadar terhadap kearifan lokal. Saat ini ada orang-orang bijak yang selalu berusaha mengembangkan non kekerasan, meskipun masih sangat rentan terhadap isu politik. Kita berharap mesin politik tidak terlalu keras untuk menggilas mereka. Untuk menyelamatkan generasi muda kita, kita harus membangun gerakan pluralisme melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif. Sekolah-sekolah perlu membuat suasana belajarmengajar yang membuat bahagia anak didik. Kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang “bodoh” atau kapasitas kognisinya terbatas, sehingga mengatasi masalah dengan berkelahi atau “tawuran”. Metode atau media mengajar yang variatif perlu diterapk an untuk menyalurkan energi anak didik sehingga kapasitas kognisi anak menjadi lebih variatif. Pendidikan yang variatif akan membuat kegiatan belajar mengajar lebih “fun”, membuat anak didik lebih “hepi”. Rasa bahagia inilah yang akan melunturkan kekerasan.
TUGAS SOSIOLOGI INDONESIA (KEKERASAN)
OLEH KELOMPOK 10 1. 2. 3. 4. 5.
MUHAMAD ALIUDIN HUTAHAEN NOVIANTI WILFRIDA LOPEZ OSKAR SAULUS YASIM BOIMAU RUSMINI MALENG TIMOTIUS KAIN
(1501070018) (1501070026) (1501070004) (1501070035) (1501070009)
JURUSAN PPKn FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2016