GEOMORFOLOGI: PROSES DAN KLASIFIKASI BENTANG-ALAM
Materi Kuliah Pembekalan Peserta the 1st International Earth Science Olympiad 2007
disusun oleh: oleh: Srijono, Salahuddin Husein dan Gayatri Indah Marliyani Jurusan Teknik Geologi FT UGM Agustus 2007
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Ditinjau dari asal bahasa, geomorfologi terdiri dari tiga kata, yaitu g e o s , m o r p h o s , dan l o g o s . Geos berarti bumi, morphos berarti bentuk, dan logos
berarti ilmu. Sehingga geomorfologi dimengerti sebagai ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi. Geomorfologi adalah bidang ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi
(morfologi
(morphology (morphology )
/
bentuklahan
(landform (landform))
/
bentang-alam).
Selanjutnya dalam bendel pelajaran ini dipergunakan istilah bentang-alam. bentang-alam. Dalam mempelajarinya, mencakup deskripsi, wilayah sebaran/distribusi, dan genesis (cara kejadiannya). Bentang-alam merupakan fenomena kebumian. Pembentuk bentang-alam adalah batuan yang telah mengalami peristiwa tertentu, dan hasil interaksi antara peristiwa yang bersumber dari dalam bumi, dan yang bersumber dari luar bumi. Prinsip dari geologi adalah pokok ilmu yang mempelajari batuan dalam pengertian luas
dan
proses
yang
bekerja
pada
batuan
tersebut.
Dengan
demikian
geomorfologi berguna sebagai penunjang dan ditunjang oleh geologi. Bloom (1978) menilai, bahwa geomorfologi harus ditinjau dari penyusunnya yaitu faktor mineralogi, litologi, proses perubah asal luar (eksogen), dan faktor endogen misalnya gaya tektonik maupun volkanik. Verstappen (1983) mengartikan geomorfologi sebagai ilmu yang mempelajari bentang-alam, tercakup di dalamnya mengenai proses pembentukan, genesa, dan kaitannya dengan lingkungan. Sebagai salah satu ilmu kebumian, geomorfologi dapat disebut bagian dari lingkungan fisik ( physical physical environment ). ). Dikarenakan kehidupan di bola bumi ini tidak dapat menghindarkan diri dari bentang-alam, maka ada relevansi aplikasi geomorfologi (applied geomorphology ) dalam kehidupan (Gambar 1.1).
1.2 Metodologi Proses geomorfologi dapat diketahui dan dipahami dengan plihan dari beberapa metode, yaitu tidak langsung, langsung, dan gabungan/kombinasi dari kedua-duanya. Metode tidak langsung berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap proses geomorfologi di suatu lokasi melalui media tertentu. Sebagai media dapat memanfaatkan peta tematik (proses geomorfologi) kalau sudah ada publikasinya. Selain itu dapat menginterpretasi dan menganalisis dari seri multi waktu ( multi temporal ) terhadap peta topografi, peta RBI (Rupabumi Digital Indonesia), potret udara, atau citra pengindraan jarak jauh lainnya. 1
Gambar 1.1 Geomorfologi, dan letaknya di antara ilmu yang lain. ilmu yang menunjang ilmu yang ditunjang
Metode paling klasik yaitu secara langsung pada lokasi dimana: 1) proses tersebut
sedang
berlangsung,
atau
2)
identifikasi
terhadap
jejak
proses
geomorfologi (‘fosil’ proses). Proses oleh alam lebih sering tanpa disertai tandatanda awal (early warning), rentang waktu kejadian relatif singkat, dan kadangkadang intensitasnya kuat. Dikarenakan kondisi seperti itu, maka cara nomor 1) bukan menjadi pilihan utama, dan lebih sering dilakukan cara ke 2). Apabila fasilitas terpenuhi lengkap, maka metode kombinasi menjadi pilihan utama. Hal ini didasarkan pada argumen, dari hasil cara tidak langsung sudah diperoleh gambaran awal spasial proses geomorfologi yang dimaksud. Kemudian tindak lanjut yang dilakukan adalah cara langsung identifikasi di lapangan untuk mengumpulkan data baik secara kualitatif maupun kuantitatif proses tersebut. Sering
karena
terbatasnya
dana,
sebagian
pengkajian
bentang-alam
menggunakan peta topografi sebagai dasar penelaahan. Dengan mempelajari pola
kontur,
menggunakan
dapat peta
diketahui
tersebut,
jenis-jenis
karena
cukup
bentang-alam. tua
(edisi
Kelemahan
jaman
penjajah
Belanda); sering dijumpai keadaan di lapangan yang sekarang tidak sesuai dengan yang tertera di peta. Sedangkan kalau dana yang tersedia secukupnya, dengan potret udara / citra penginderaan jauh, orang akan lebih senang dan merasa mantap dalam mengkaji bentang-alam. Berdasarkan teknologi tersebut dapat diketahui keadaan sebenarnya pada saat ini.
2
BAB II PROSES GEOMORFOLOGI
2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Proses Geomorfologi adalah semua peristiwa baik secara alami maupun non alami yang berperanan dalam merubah bentang-alam yang sudah lebih dahulu terbentuk atau menghasilkan bentang-alam baru. Terkandung dalam pengertian di atas, tidak ada ketentuan mengenai waktu, baik kapan saat dan rentang waktu berlangsungnya
peristiwa
tersebut.
Apabila
mengacu
kepada
konsep
dasar
keseragaman (uniformitarianism concept ) proses, maka proses geomorfologi dimulai sejak bumi ini padat (waktu geologi), sampai dengan sekarang, yang berbeda adalah kekuatan (intensitas) nya. Bertitik tolak dari sifat dinamik bumi, ditambah adanya kondisi pada satu waktu yang sama terjadi peristiwa lebih satu macam, maka dalam memahami fenomena
bentang-alam
sepantasnya
dengan
pendekatan
hipotesis
kerja
penggandaan (multiple working hypothesis). Implementasi dari pola kerja tersebut bermakna bahwa suatu bentang-alam tekbentuk oleh lebih dari satu penyebab, namun tidak tertutup kemungkinan dominansi proses tertentu.
2.2 Klasifikasi Berdasarkan asal sumber tenaga penyebab proses geomorfologi, Selby (1985) membagi proses yang berasal dari dalam (endogenic process), dan dari luar (exogenic process), bumi (Gambar 2.1). Thornbury (1969), menambahkan pada proses asal luar bumi dengan proses yang berasal dari aktivitas organisme (termasuk manusia), dan proses ekstraterestrial. Pembahasan secara rinci untuk masing-masing proses seperti di bawah ini.
3
PROSES GEOMORFOLOGI Awal Tenaga
ASAL LUAR
GRADASI
DEGRADASI
PEPELAPUKAN
AGRADASI
GERAKAN TANAH
ASAL DALAM
DIATROFISME
VOLKANISME
EKSTRA TERESTRIAL
JATUHAN METEOR
AKTIFITAS ORGANISME (termasuk manusia)
EROSI
air permukaan
air tanah
gelombang arus tidal badai
angin
gletser
Gambar 2.1a. Proses Geomorfologi (Thornburry, 1969, dengan modifikasi)
4
Gambar 2.1b Proses Geomorfologi (Selby, 1985)
5
Gambar 2.1b Proses Geomorfologi (Selby, 1985)
5
a. Proses Endogenik (endogenic process) Inti dalam bumi yang mempunyai temperatur tidak kurang dari 8.000 secara hipotetik diyakini sebagai sumber dari proses asal Bloom
(1978)
menyebutkan
proses
ini
sebagai
0
C
dalam bumi ini.
proses
membangun
(constructional process). Disebutkan seperti itu, dikarenakan hasil dari proses tersebut adalah bentang-alam baru yang sebelumnya tidak ada. Tektonik Pada skala dunia/global, pancaran panas dari inti bumi menimbulkan aliran panas geotermal (geothermal heat flow), dan konveksi pada lapisan mantel bumi / convection in the mantle (Selby, 1985). Arah gerakan aliran panas geotermal vertikal dari inti bumi menuju kerak bumi, menimbulkan amblesan tektonik (tectonic subsidence) dan pengangkatan tektonik (tectonic uplift ), dan seismik. Gerak konveksi, aliran energi panasnya berputar, menimbulkan gerak-gerak lempeng ( plate movement ). Ditinjau dari pandangan skala lokal maupun regional, disebabkan oleh proses tektonik akan terjadi epirogenesa, dihasilkan pembentukan bentangalam
struktural jenis pegunungan blok (blocked faulted mountain). Gerak
lempeng menimbulkan orogenesa, menghasilkan bentang-alam struktural jenis pegunungan lipatan (folded mountain). Kompleksitas proses tektonik sebagai penyebab seringnya temuan pembentukan bentang-alam struktural cenderung
a. Proses Endogenik (endogenic process) Inti dalam bumi yang mempunyai temperatur tidak kurang dari 8.000 secara hipotetik diyakini sebagai sumber dari proses asal Bloom
(1978)
menyebutkan
proses
ini
sebagai
0
C
dalam bumi ini.
proses
membangun
(constructional process). Disebutkan seperti itu, dikarenakan hasil dari proses tersebut adalah bentang-alam baru yang sebelumnya tidak ada. Tektonik Pada skala dunia/global, pancaran panas dari inti bumi menimbulkan aliran panas geotermal (geothermal heat flow), dan konveksi pada lapisan mantel bumi / convection in the mantle (Selby, 1985). Arah gerakan aliran panas geotermal vertikal dari inti bumi menuju kerak bumi, menimbulkan amblesan tektonik (tectonic subsidence) dan pengangkatan tektonik (tectonic uplift ), dan seismik. Gerak konveksi, aliran energi panasnya berputar, menimbulkan gerak-gerak lempeng ( plate movement ). Ditinjau dari pandangan skala lokal maupun regional, disebabkan oleh proses tektonik akan terjadi epirogenesa, dihasilkan pembentukan bentangalam
struktural jenis pegunungan blok (blocked faulted mountain). Gerak
lempeng menimbulkan orogenesa, menghasilkan bentang-alam struktural jenis pegunungan lipatan (folded mountain). Kompleksitas proses tektonik sebagai penyebab seringnya temuan pembentukan bentang-alam struktural cenderung kompleks. Volkanisme Volkanisme / Kegunungapian dalam pandangan global terbentuk oleh salah satu dari dua cara, yaitu akibat pemekaran lantai samudra (sea floor spreading) dari kerak samudra (oceanic crust ), atau akibat tumbukan dua lempeng
(subduction)
dari
lempeng
samudra
dengan
lempeng
benua
(continental crust ). Wilayah gunungapi/volkan hasil pemekaran yang sangat terkenal adalah Kepulauan Hawai. Sebaran gunungapi aktif di sekeliling Samudra Pasifik mencapai >60 % dari total di dunia. b. Proses Eksogenik (exogenic process) Sumber utama proses asal luar bumi berasal dari radiasi matahari (solar radiation). Radiasi matahari dipantulkan kembali oleh atmosfer ke ruang angkasa sebanyak 31 %, diserap oleh atmosfer 20 %, dan diserap oleh permukaan bumi 49 % (Slaymaker, and Spencer, 1998). Pancaran radiasi matahari pada permukaan bumi menghasilkan enerji yang berputar dan atraksi vertikal (Gambar 2.1b, Selby, 1985).
Dari kedua-duanya berkembang
berbagai proses eksogenik. Proses ini tidak akan pernah membentuk bentangalam baru tanpa merusak yang sudah ada sebelumnya, dengan alasan itu Bloom (1978) menamakannya sebagai proses yang merusak (destructional process) 6
Degradasi Proses eksogenik apabila terjadi normal, diawali dengan degradasi di suatu tempat, dan diakhiri dengan agradasi di tempat lain. Degradasi pada morfologi dicirikan oleh penurunan elevasi akibat pelapukan, erosi, gerakan tanah, atau transportasi bahan hasil pelapukan & erosi maupun gerakan tanah. Hasil akhir dari transportasi adalah agradasi di tempat lain. -
P el a p u k a n
Pelapukan batuan diindikasikan oleh perubahan pada batuan asal. Empat faktor berpengaruh dalam proses pelapukan, yaitu 1) sifat batuan, 2) iklim, 3) topografi, dan 4) vegetasi. Secara ringkas dicontohkan, samasama batuan sedimen, dengan komposisi dominan mineral kuarsa lebih sukar lapuk dibandingkan dengan batulanau. Batuan yang sama akan lebih cepat mengalami pelapukan di daerah beriklim hujan tropik dibandingkan dengan di daerah sub-tropik. Bentang-alam berelief memberi peluang pelapukan lebih intensif dibandingkan dengan bentang-alam kurang berelief. Kelebatan vegetasi mempercepat proses pelapukan. Perubahan tersebut dapat bersifat mekanik–fisik yang dikenal sebagai pelapukan fisik / disintegrasi,
dan
perubahan
kimia
atau
disebut
pelapukan
kimia
/
dekomposisi. Notohadiprawiro (2000) menambahkan satu jenis pelapukan lagi yaitu pelapukan biologi. Pelapukan terjadi pada bagian/zone litosfer yang tersingkap, kemudian mengalami interaksi dengan proses eksogenik yang kemudian berlangsung, dan zone ini disebut sebagai zone pelapukan ( zone of weathering). Pelapukan fisik ditentukan oleh lima faktor, yaitu: 1) ekspansi akibat kehilangan beban, 2) pertumbuhan kristal, 3) ekspansi akibat panas, 4) aktivitas organik, dan 5) penyumbatan koloid (Reiche, 1950, dalam Thornbury, 1969). Selain lima faktor tersebut, pelapukan ini disebabkan oleh: perbedaan perilaku termal antarmineral, pembekuan air pada celah batuan, pelarutan garam diikuti rekristalisasi, hidrasi mineral, perubahan kandungan air, penembusan akar tumbuhan (Notohadiprawiro, 2000). Pelapukan jenis ini lebih banyak berkembang di daerah beriklim relatif kering. Salah satu ciri utama hasil pelapukan ini adalah pengurangan ukuran dari batuan asal, oleh karena itu disebut disintegrasi. Hasil pelapukan fisik yang dominan disebabkan oleh ekspansi akibat kehilangan beban, termasuk sering dijumpai di lapangan yaitu pembentukan eksfoliasi /pengelupasan pada batuan beku. Pelapukan
kimia
secara
umum
lebih
potensial
berlangsung
dibanding pelapukan fisik, apalagi pada suatu daerah seperti di Indonesia yang beriklim tropik-basah. Secara sederhana, identifikasi di lapangan bahwa suatu batuan telah mengalami pelapukan kimia apabila warna batuan telah berubah dari warna batuan asal. Sebagian besar pelapukan kimia menghasilkan: penambahan volume, densitas mineral berkurang 7
(menjadi lebih kecil), perluasan bidang kontak pelapukan akibat pengecilan ukuran, mineral yang bersifat mobil lebih banyak, dan mineral stabil juga lebih banyak (Thornbury, 1969). Jenis-jenis pelapukan kimia adalah: 1) hidrasi / hydration, 2) hidrolisis / hydrolysis / pemecahan oleh air, 3) oksidasi/oxidation, 4) karbonatasi / carbonation. Temuan paling banyak di sekitar kita adalah batuan menjadi berwarna coklat – coklat kemerahan akibat pelapukan kimia jenis oksidasi. Pelapukan biologi, di alam dua jenis pelapukan tersebut di atas secara mutlak tidak terlepas dari peranan jasad (mikro organik) dalam percepatan proses pelapukan. Organisme yang tumbuh di atas permukaan batuan, seperti lumut, ganggang, bakteri, dan lain sebagainya, hasil interaksinya dengan batuan sebagai awal terjadi pelapukan. Akar dalam batuan akan berperanan memecahkan batuan itu. Terhadap mineral penyusun batuan zat organik akan melarutkan senyawa tertentu antara lain fosfat, Ca & Mg karbonat, dan lain-lain. Perlu dimengerti, bahwa degradasi jenis pelapukan tidak selalu harus diikuti dengan erosi, dan sebaliknya erosi tidak harus selalu didahului dengan
pelapukan.
Hal
seperti
itu
dapat
dicontohkan
pada
daerah
gunungapi aktif seperti Merapi di utara Yogyakarta; batuan hasil erupsi tanggal 14 Juni 2006 belum terlapuk, tetapi telah dierosi menghasilkan aliran lahar dingin, kemudian diendapkan sebagai endapan lahar yang terdiri dari pasir dan batu (sirtu). -
Er o s i & t r a n s p o r t a s i
Ketika batuan mengalami pelapukan, secara hakiki bahan tersebut berpeluang terjadi erosi. Peluang tersebut akan bertambah besar, apabila hadir pemicunya, antara lain penambahan kecuraman lereng bentang-alam, dan atau penambahan kandungan air dalam batuan. Kedua penambahan tadi akan mengurangi angka sudut geser dalam batuan. Ketika erosi berlangsung, yaitu pemisahan batuan dari ‘induk’nya (massa asal) segera diikuti oleh proses transportasi ke tempat lain yang secara elevasi lebih rendah posisinya. Sebagai agen erosi & transportasi secara alam dilakukan oleh aliran air, gelombang & arus laut, angin, gletser, dan organisme. Selain itu, meskipun relatif tidak begitu intensif, aktifitas manusia merupakan agen juga. Pada permukaan daratan di bumi, aliran air sangat dominan dibandingkan dengan agen erosi & transportasi yang lain. Aliran air mengambil porsi >70 % dari seluruh agen, bayangkan keberadaannya mulai dari elevasi ribuan meter di ujung gletser sampai dengan lereng benua (continental slope) di bawah laut. Agen gelombang & arus laut ditemui hanya di wilayah pantai dan pesisir. Agen angin bekerja aktif di wilayah bekas salju yang telah mencair, daerah aliran sungai (DAS) yang besar, pantai dan pesisir yang berhadapan dengan samudra luas, dan daratan di 8
’lintang tengah’ beriklim kering. Agen gletser efektif berperanan di wilayah dengan elevasi lebih dari 4.000 m dpal., atau di wilayah ’lintang tinggi’ sampai dengan kutub. -
Ge r a k a n t a n a h
Gerakan
tanah
mempunyai
kesamaan
dengan
proses
erosi
&
transportasi yaitu adanya proses pelepasan dan pemindahan batuan dari ’induk’nya. Pembeda antara dua proses tersebut yaitu pada gerakan tanah memerlukan waktu relatif singkat, dan cakupan luasan daerah yang mengalami relatif sempit. Proses gerakan tanah terjadi oleh kondisi penyebab yang bersifat pasiv, dan pengaktifan (Sharpe, 1938, dalam Thornbury, 1969). Penyebab pasiv yang dimaksud adalah: a) sifat litologi, b) stratigrafi, c) struktur geologi, d) bentang-alam, e) iklim, dan f) organik. Tercakup dalam penyebab pengaktifan meliputi: pemindahan baik alami maupun oleh manusia, penajaman sudut lereng oleh aliran air, dan pembebanan berlebihan baik oleh air hujan maupun yang lain. Berdasarkan tipe gerakan, tipe bahan yang terangkut, kontrol topografi, kontrol bidang gelincir, dan peranan air, Sharpe (1938, dalam Thornbury, 1969) mengklasifikasi gerakan tanah menjadi beberapa jenis (Gambar 2.2)
Gambar 2.2 Gerakan Tanah (Sharpe, 1938 dalam Thornbury, 1969)
9
Agradasi Apabila
erosi
&
transportasi
purna,
maka
di
tempat
baru
terjadi
pengendapan atau membentuk agradasi dan dihasilkan endapan yang relatif menghasilkan elevasi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dikarenakan gerakan bahan pada proses ini bersifat gravitasional, maka dapat terjadi di mana saja, asal elevasinya lebih rendah dibanding dengan elevasi lokasi terdegradasi. Lokasi pengendapan merupakan tempat di mana sudah tidak lagi berlangsung proses erosi, dan disebut sebagai aras erosi (base level of erosion). Hasil agradasi yang dekat dengan sumber bahkan di kaki lerengnya, disebut talus (scree). Agradasi terjauh berlangsung di dasar laut pada berbagai kedalaman. Aktifitas Organisme Seperti telah dituliskan dalam pembahasan pelapukan biologi, tumbuhtumbuhan turut andil dalam proses geomorfologi, utamanya berperanan dalam proses pelapukan fisik maupun kimia.Hewan juga dapat sebagai agen proses geomorfologi, seperti halnya tumbuh-tumbuhan. Aktifitas dua agen tersebut mencakup luasan yang sempit, sehingga tidak segera tampak oleh pandangan mata dalam waktu yang singkat. Manusia di antara aktivitasnya tidak tertutup kemungkinan sebagai agen proses geomorfologi. Dengan mengandalkan ukuran jasad dan karunia akal pikiran, dampak degradasi bentang-alam lebih luas dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian dalam pandangan geomorfologi dampak tersebut kurang signifikan. c. Luar Angkasa Jatuhan meteor merupakan proses geomorfologi dari luar angkasa yang paling umum terjadi pada permukaan bumi. Ukuran meteor yang jatuh bervariasi, dan kalau terlalu kecil tidak akan sampai membentuk bentang-alam yang nyata. Di Indonesia, salah satu lokasi temuan meteor jatuh dalam ukuran kecil (tektit / tectite) yaitu di Sangiran. Thornbury (1969) mencatat ada dua lokasi
jatuhan
meteor
yang
sampai
membentuk
bentang-alam
depresi/cekungan rendahan dengan radius ratusan meter. Dua lokasi dimaksud adalah di Siberia (Rusia), dan Arizona (USA). Selanjutnya dikabarkan bahwa di Arizona dihasilkan kenampakan mirip kawah gunungapi ( pseudo volcanic ). Kondisi seperti diuraikan di atas memberi makna bahwa proses jatuhan meteor dari luar angkasa (extraterestrial process) ditinjau dari pandangan geomorfologi makro atau global hal itu kurang signifikan memberi kontribusi dalam dinamika bentang-alam.
10
BAB III KLASIFIKASI BENTANG-ALAM
3.1 Konsep Klasifikasi Berpedoman kepada konsep dasar keseragaman proses (uniformitarianism), dan
hipotesis
keyakinan
kerja
bahwa
penggandaan
dengan
(multiple
sebenarnya
working
pembentukan
hypothesis), bentang-alam
memberi sangat
kompleks, dan luasan yang dihasilkan dalam ukuran yang bervariasi. Menyadari keadaan bentang-alam seperti itu, maka para ahli geomorfologi (diawali dari Amerika Utara tahun 1930-1940an, dan dikembangkan lebih sistematik di Eropa Timur kemudian Eropa Barat tahun 1960-1980an) membuat klasifikasi bentangalam. Bentang-alam diklasifikasi berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria yang paling umum diterapkan adalah dominansi cara terjadi (genesis), dan luasan pembentukan, dan kekhasan yang terekam pada bentang-alam yang bersangkutan. Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan kelompok/satuan bentang-alam tingkat paling tinggi, disebut morfogenesa. Guna memberi pemahaman yang sederhana, selanjutnya dalam pembelajaran ini disebut kelompok be ntang-alam: 1. Struktural 2. Volkanik 3. Fluvial 4. Kars(t) 5. Glasiasi Pesisir dan Pantai 6. Eolian 7. Pesisir dan Pantai, dan 8. Morfogenesa Bawah Laut
3.2 Kelas Bentang-alam a. Bentang-alam struktural Bentang-alam
struktural
(Gambar
3.1)
disebut
pula
sebagai
geomorfologi struktur, atau morfotektonik. Prinsip pengertiannya adalah studi struktur geologi atau tektonik berdasarkan kenampakan bentangalam. Bentang-alam ini sangat akrab dengan kehidupan kita, karena ada di sekitar, dan mudah dikenali. Sebagai penciri, apabila ada perbukitan atau pegunungan tidak disertai keluarnya magma dari dalam bumi atau gejala volkanisme yang lain, dan tampak berderet panjang. Persyaratan
pembetukan
bentang-alam
struktural
adalah:
1)
intensitas struktur geologi harus mempunyai dimensi vertikal yang memadai (minimum puluhan meter), 2) ke arah lateral,
rentangan struktur ratusan 11
meter, 3) batuan yang terkena struktur geologi, mempunyai variasi resistensi mencolok, dan 4) proses fluvial (aliran air) efektif bekerja. Kawasan bentang-alam struktural mempunyai daya tarik untuk wisata gunung (mountain tourism),
apabila berada pada elevasi relatif tinggi dan sudut
lereng relatif terjal. Sisi negatif dari bentang-alam ini adalah bahaya gerak massa (mass movement), jenis: rayapan (creeping) yang bergerak pelan, jatuhan batuan (rock fall), dan bila dijumpai bidang gelincir seperti batulempung maka terbentuk lengseran (sliding).
Gambar 3.1 Bentang-alam struktural jenis monoklin, peta topografi (atas) dan sketsa (bawah)
b. Bentang-alam volkanik MacDonald (1972), berpendapat bahwa gunungapi (Gambar 3.2) adalah lubang tempat keluarnya material volkanik yang terakumulasi di sekitarnya membentuk gunung atau bukit. Rittmann (1961), menyatakan gunungapi adalah celah tempat keluarnya magma. Berdasarkan batasan tersebut, gunungapi merupakan ben tang-alam, sebagai manifestasi gejala volkanisme. 12
Gambar 3.2 Sketsa (a), dan peta topografi (b) Bentang-alam volkanik
Deretan gunungapi di sekitar Samudra Pasifik dikenal sebagai cincin api (ring of fire), dikarenakan 66 % temuan gunungapi aktif di dunia berada di lingkar samudra tersebut. Gunungapi di Indonesia merupakan bagian dari cincin api, sebanyak 20% dengan jumlah sekitar 125 buah. Ditinjau dari bidang pertanian, kawasan gunungapi aktif ini disebut wilayah sabuk hijau (green belt) karena kawasan subur. Banyaknya gunungapi aktif di Indonesia berpeluang ilmu kegunungapian (volkanologi) akan terus berkembang. Bentang-alam volkanik sebagai sumberdaya kebumian, mengandung sesumber (resources), dan bahaya (hazards). Jenis sesumber yang ada antara lain keindahan panorama, dengan lembah berdinding terjal, dan hawa 13
yang
sejuk.
Batuan
volkanik
merupakan
bahan
galian
industri,
dan
sumberdaya air baku. Berbagai bahaya yang ditimbulkan berkaitan erat dengan letusan gunungapi, antara lain: guguran lava pijar, awan panas (glowing cloud / awan wedhus gembel: istilah khas untuk G.Merapi), dan lahar letusan /lahar panas. Pasca letusan, dengan pemicu curah hujan di atas normal, berpeluang bahaya guguran lava padam, dan lahar hujan /lahar dingin. Penanggulangan bahaya ada dua jenis, yaitu evakuasi, dan rekayasa. Evakuasi
dilakukan
pada
saat
terjadi
letusan.
Usaha
rekayasa
untuk
mengatasi masalah pasca letusan, tercakup dalam teknik s a b o (sabo engineering).
Usaha
penanggulangan
dan
pemecahan
masalah
daerah
gunungapi aktif disebut mitigasi. Daerah gunungapi dengan segala pesonanya menjadikan daerah ini sebagai daerah dengan kepadatan penduduk relatif padat setelah wilayah pantai atau wilayah rendah (low-land area). c. Bentang-alam fluvial Bentang-alam fluvial dihasilkan oleh proses aktifitas air mengalir. Proses ini mengambil porsi minimal 70% dari proses eksogenik di permukaan bumi. Air sebagai agen proses berlangsung di mana-mana, mulai dari sedikit di atas permukaan laut sampai dengan di puncak pegunungan tinggi sebelum terbentuk salju abadi. Ditinjau dari posisi lintang (Lintang Selatan / Lintang Utara), proses ini tidak berkembang hanya di daerah kutub (Kutub Selatan / Kutub Utara). Bentang-alam fluvial erat hubungannya dengan aliran sungai berstadia erosi dewasa – tua. Bentang-alam ini berupa low land area dengan ketinggian relatif yang tidak jauh berbeda dengan sungainya. Karena adanya sungai berpindah (shifting), kemungkinan bentang-alam ini sudah agak jauh dari sungainya saat ini. Pertanda lain dari bentang-alam fluvial yang mutlak adalah litologi penyusun merupakan fasies fluvial, meskipun telah sedikit mengalami pengangkatan (peremajaan / rejuvination). Jenis-jenis bentangalam fluvial, terdiri dari: Gambar 3.3: aliran sungai, gosong sungai, tanggul alam, rawa sungai, danau tapal kuda, sungai bekas, dataran limpah banjir, dan undak sungai; serta Gambar 3.4: delta, dan kipas aluvial (Gambar 3.5);
14
Gambar 3.3 Peta topografi, dan sketsa Bentang-alam Fluvial.
Gambar 3.4 Delta
15
Gambar 3. 5 Morfologi Kipas Aluvial (k.a)
d. Bentang-alam Kars Menurut Jenning (1971, dikutip Bloom 1978), bentang-alam kars adalah lahan dengan relief dan penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan mudah
larut
oleh
perilaku
air
alam.
Flint,
and
Skinner
(1972),
mendefinisikan bentang-alam kars terbentuk pada daerah berbatuan mudah larut, dicirikan surupan (sink, ponor ) berasosiasi dengan gua, membentuk topografi yang aneh ( peculiar topography ), penyaluran tidak teratur dan menjadi masuk ke dalamtanah (sub-drainage), dan lembah kering (dryvalley ). Pembentukan bentang-alam kars (karstifikasi) ditentukan oleh kondisi fisik batuan (Von Engeln, 1942). Kondisi yang dimaksud adalah ketebalan keseluruhan, tipe perlapisan yang ideala masif, dan terkekarkan secara sistematik. Bloom (1978) menyebutkan bahwa proses pelarutan akan intensif bila air alam mengikat C02, aktififas mikrobiologi, dan iklim. Berdasarkan ukuran pembentukan, bentang-alam kars dikelompokkan menjadi kars mayor (Gambar 3.6), dan kars minor (Gambar 3.7), dan kars mikro (tampak secara mikroskopik)
Gambar 3.6 Sebagian Bentang-alam Kars Mayor, uvala (a) dan polje (b), (Thorn bury, 1969).
16
Gambar 3.7 Bentang-alam Kars Minor
Berdasarkan tempat pembentukan dengan datum permukaan tanah, bentang-alam kars dikelompokkan menjadi eksokars (Gambar 3.8) apabila terbentuk di atas permukaan tanah, dan endokars (Gambar 3.9) yang terbentuk di bawah permukaan tanah.
Gambar 3.8a Contoh Eksokars, jenis kerucut kars (Twidale, 1976).
17
Gambar 3.8b Contoh Eksokars, jenis menara kars (Bloom, 1978).
Gambar 3.8c Eksokars dalam ujud Peta Topografi
18
Gambar 3.9 Contoh Endokars, jenis gua:. mulut gua (E), dan ruangan di dalam gua, (Thornbury, 1964)
Bentang-alam kars sebagai sumberdaya kebumian mengandung prospek sesumber, dan bahaya. Prospek sesumber, diawali perannya sebagai wilayah jelajah advonturir bagi para pecinta gua kars, batugamping, batu-ornamen dalam gua, fosfat guano, fosfat marin, bahan Mangan. dan speleotem. Daerah kars sebagai daerah berpotensi bahaya, utamanya terjadi karena runtuh atap gua. e. Bentang-alam Glasial Bentang-alam
glasial
terbentuk
pada
lokasi
sangat
terbatas,
Penyebabnya karena agen penyebabnya adalah gletser (salju/es yang bergerak). Gletser
dijumpai di daerah kutub, lintang tinggi pada musim
dingin, dan daerah berelevasi minimal 4.000 m dpal. Gletser sebagai media erosi, sedimentasi, atau pembentuk bentang-alam, mempunyai densitas (kerapatan massa) tinggi. Hal itu mengindikasikan gletser akan merasuk ke dalam celah batuan , sambil menggerus per mukaan batuan lembah yang teralirinya. Jejak yang ditinggalkan berupa bentangalam minor: lekukan, tonjolan, goresan, dan penyemiran. Tebing-tebing pada bentang-alam glasiasi nyaris tegak, bahkan tebing menggantung (hanging valley).
Kenampakan
tebing,
dan
lembah
mirip
gambaran huruf "U" dan dalam. Kenampakan lembah yang dalam dengan tebing tegak masih teramati sampai di pantai, dan dikenal sebagai pantai fyord. Endapan hasil proses glasiasi bersifat sejenis dengan lahar hasil endapan fluvio-volkanik. Sifat tersebut adalah, tektur: berukuran butir lempung - bongkah, kemas terbuka, dan bongkah di atas (floating mass). Potensi sesumber daerah bentang-alam glasial adalah sebagai daerah tujuan wisata, dan arena olahraga es, dan sumber air tawar. Bahaya yang sering terjadi adalah guguran avalansi (debris avalanche). Gambar 3.10 menginformasikan jenis bentang-alam glasial.
19
Gambar 3.10 Jenis Bentang-alam Glasial, sketsa (atas) dan peta topografi (bawah)
f.
Bentang-alam Eolian Bentang-alam Eolian (Gambar 3.11) terbentuk oleh angin, terbentuk pada bagian permukaan bumf yang terbatas, yaitu koordinat lintang menengah (30 0-50 0LS/LU). Sedangkan tinjauan Secara geografis peluang pembentukannya di daerah aliran sungai besar, bekas salju/gletser mencair, atau zona pesisir dari samudra lepas. Tiga faktor penyebab pembentukan bentang-alam eolian, yaitu angin berhembus kuat sepanjang tahun, kontinyuitas pasokan pasir (sand supply), dan vegetasi jarang. Wilayah kepulauan Indonesia berpeluang terbentuk 20
bentang-alam eolian, yaitu
di pantai-pantai dari pulau yang berhadapan
dengan samudra lepas. Pantai yang dimaksud adalah pantai: barat Pulau Sumatra, selatan Pulau Jawa, selatan Kepulauan Nusa Tenggara (Bali - NTT), utara Pulau Sulawesi, dan selatan & utara Pulau Papua. Salah satu pantai yang intens terbentuk bentang-alam ini adalah Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul DIY.
Gambar 3.11 Peta topografi Morfogenesa Eolian
Bentang-alam eolian di Parangtritis merupakan suatu kompleks yang sekuensial. Sebagai embrio dari bentang-alam tersebut adalah pembentukan pematang gisik (beach ridge) di bagian paling selatan, berada di zona garis pantai. Selanjutnya ketika pengaruh air-laut secara langsung sudah kurang dominan, di sebelah utaranya berurutan terbentuk gumuk-pasir (sand-dune) jenis longitudinal (memanjang), barchan (bulan sabit), dan transversal (melintang). Sekuen gumuk-pasir seperti itu akan berakhir di muara Sungai Opak, empat kilometer di sebelah barat Pantai Parangtritis. Erosi oleh angin secara abrasi dan ablasi. Abrasi berlangsung apabila kerja angin tanpa ada butir pasir, sedangkan ablasi terjadi apabila di dalam angin terkandung butir pasir. Sedimen hasil pengendapan oleh angin mempunyai kesamaan dengan sedimen oleh proses fluvial, yaitu struktur 21
sedimen laminasi, silang siur, dengan sortasi butir baik. Lahan berpasir di bentang-alam eolian berpotensi sebagai akuifer airbawahtanah dangkal, bahan bangunan pasir. Bahaya yang ditimbulkan oleh mobilitas pasir adalah ancaman kelangsungan jalan umum, lahan pertanian, permukiman, dan geolombang tsunami.. Usaha penghijauan, dan sekaligus mengerem laju pergerakan butir pasir dapat dilakukan di atas lahan gumukpasir dengan menggunakan vegetasi yang sesuai, dan mengikuti sistem sikat/sisir (comb / brush). g. Bentang-alam Pantai dan Pesisir Pantai merupakan bentang-alam yang penting selain
laut di sebelahnya.
Pantai merupakan merupakan pembatas antara daratan, dan laut. Secara sederhana didasarkan pada kenampakan garis pantai, bentang-alam ini dibagi menjadi pantai lurus dan pantai berliku. Pantai lurus adalah pantai dengan konfigurasi garis pantai lurus. Pantai ini berhubungan erat dengan pertumbuhannya pada masa kini ke arah laut (prograding shoreline), hasil sedimentasi atau karena daratan mengalami penaikan. Penciri lain dari pantai ini adalah lereng landai hampir datar, dengan pesisir yang lebar. Kalau memper hatikan j enis pant ai lurus ini seca ra teliti , maka dapat dikenal pantai: lurus sejajar, lengkung, bulan muda, aigi gergaji, bertanduk, tombolo (Gambar 3.12)
Gambar 3.12a Sketsa Jenis Bentang-alam Pantai lurus
22
Gambar 3.12b Peta Topografi Jenis Bentang-alam Pantai lurus
Pantai berliku (Gambar 3.13) adalah pantai dengan konfigurasi garis pantai tidak lurus/berbelok-belok, ini dapat disebabkan oleh tenggelamnya pantai atau pantai itu seolah-olah mundur (retrograding shoreline), pantai mempunyai pesisir yang sempit bahkan kadang-kadang tidak berkembang. Banyak jenis pantai berliku didasarkan pada kekhasannya masing-masing, antara lain:
Pantai ria, Pantai fyord, Pantai terjal, Pantai volkanik, Pantai
struktural, dan
Pantai terumbu. Pantai ria, adlah pantai yang mengalam i
erosi fluvial kemudian tenggelam, daratan dibelakang pantai tersebut berupa perbukitan. Pantai fyord adalah pantai tenggelam karena erosi glasial. Pantai terjal, mundumya garis pantai terjadi karena pukulan ombak yang kuat, sehingga membentuk tebing terjal, ada indikasi terkontrol oleh tektonik.. Pantai volkanik, termasuk dlam pantai berliku, karena aktivitas magma yang lebih sering tidak teratur, dan litologi resisten. Pantai struktural dicirikan adanya tebing yang terjal dan berliku, disebabkan oleh pensesaran atau struktur 23
geologi yang lain. Pantai terumbu mempunyai konfigurasi garis pantai yang berliku, terbentuk karena pertumbuhan koral pada masa kini. Tinjauan ringkas geologi lingkungan pantai. Pantai merupakan salah satu pilihan
sebagai
daerah
tujuan
wisata.
Berkaitan
dengan
usaha
pengembangan, dan managemen pantai, maka low land coastal lebih mudah dikembangkan dibandingkan jenis lain. Pantai rendah dan datar, merupakan wilayah permukiman kelas satu (kualitas, dan kuantitas pemukimnya), sebagai kawasan industri yang paling berkembang, lokasi bandara dan pelabuhan
laut
yang
memadai.
Namun
kondisi
seperti
itu
tetap
saja
mengandung sejumlah kendala , antara lain banjir, amblesan , intrusi air-laut, kekurangan air-baku, pencemaran, pertumbuhan kawasan pinggiran yang cenderung kumuh., dan sebagainya.
Gambar 3.13 Peta topografi daerah pantai lurus (a), dan pantai berliku (b).
h. Bentang-alam Bawah Laut Sejak paruh ke dua abad 20 orang memperhatikan laut dengan keadaan yang ada di dalamnya. Pada awalnya pemahaman terhadap laut hanya sebatas 24
sampai kedalaman sekitar 100 meter saja. Padahal luasan tubuh air tersebut lebih dari dua kali luas permukaan daratan. Dunia kita ini terdiri dari dua permukaan, yaitu daratan seluas 29%, dan 71% merupakan permukaan laut. Air (dalam pengertian umum) yang terkandung dalam laut mencakup lebih dari 97% total air di dunia. Banyak kepentingan orang ketika mulai perlu mempelajari laut. Pada awalnya berkaitan dengan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi. Selanjutnya usaha orang untuk mempelajari dinamika bumi, tidak terhindarkan harus dengan media proses aktual di lantai samudra yang mengalami pemekaran (sea floor spreading). Berkaitan dengan kepentingan ekonomi mineral, orang mulai melirik kemungkinan mengeksploitasi bahan galian industri non minyak bumi, yang teragih baik di dasar zona taut dangkal maupun di zona laut dalam. Bhatt (1978), menyatakan bahwa daratan mempunyai elevasi rata-rata sekitar 0,75 km., dan sebagai puncak tertinggi adalah Mt. Everest (8.900 m.dpal.). Samudra mempunyai kedalaman rata-rata hampir 4 km (tepatnya 3729 m), dan palung (trench) terdalam adalah Palung Mariana (-11.022 m). Periksa Gambar 3.14.
Gambar 3.14 Palung Mariana di antara bentang-alam bawah laut lain
Jenis-jenis b entang-alam bawah laut terinci p ada Gambar 3.15.
25
Gambar 3.15 Jenis Bentang-alam Bawah Laut
26
DAFTAR PUSTAKA Bloom, A.L., 1978. Geomorphology, A Systematic Analysis of Late Cenozoic Landform. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs New Jersey. Fairbridge, R.W., 1969. The Encyclopedia of Geomorphology. Reinhold Book Company Coorporation, New York - Amsterdam London. Lobeck, A.K., 1939. Geomorphology, An Introduction to The Study of Landscapes. Lobeck, A.K., and Tellington, W.J., 1944. Military Maps and Air Photograph, Their Use and Interpretation. Mc. Graw Hill Book Company, New York and London. Thornbury, W.D., 1969. Principles of Geomorphology. John Wiley & Sons Inc., New York - London, 8 th printing.
27