Kamis 3 – 4
PENGEMBANGAN BUDAYA DAN PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DI INDONESIA
MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Pendidikan Kewarganegaraan yang dibina oleh Bapak Drs, H. Gatot Isnani, M. Si.
oleh Imama (15) 170211604515 082338391013
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA INDONESIA Desember 2017
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Imama (15)
Nim
: 170211604515
Jurusan/Program Studi
:Sastra Indonesia/Pendidikan Bahasa, Sastra Indon esia dan Daerah
Fakultas/Program
: Sastra
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini benar-benar tulisan saya dan bukan merupakan plagiasi baik sebagian atau seluruhnya. Apalagi di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa makalah ini hasil plagiasi baik sebagian atau keseluruhannya, maka saya bersedia menerima sanksi atau perbuatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Malang, Desember 2017 Yang membuat pernyataan
Imama
i
KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun ucapkan atas kehadirat TuhanYang Maha Esa atas limpahan
rahmat
dan
hidayah-Nya,
sehingga
penyusunan
“Makalah
Pengembangan Budaya dan Pendidikan Anti Korupsi” dapat terselesaikan dengan baik. Maka dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kedua orang tua, yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil, kemudian Bapak Drs. H. Gatut Isnani, M. Si yang berkenan membagi informasi yang menyangkut materi penyusunan makalah ini, dan juga teman-teman yang selalu memberikan bantuan demi kelancaran penyelesaian penyusunan makalah. Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini berguna baik bagi para pembaca khususnya Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang dan tenaga pendidik pada umumnya.
Malang, Desember 2017
Penyusun
ii
DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang....................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................
1 2
BAB II
PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Korupsi ................................................................ 3 2.2 Pengertian Budaya ................................................................. 3 2.3 Pengertian Pendidikan Anti Korupsi ..................................... 4 2.4 Permasalahan-Permasalahan Korupsi Di Indonesia .............. 5 2.5 Bentuk-Bentuk dan Jenis Korupsi ......................................... 8 2.6 Faktor Penyebab Terjadinya Permasalahan Koropsi di Indonesia................................................................................ 10 2.7 Upaya dan Pencegahan Korupsi Melalui Pengembangan Budaya dan Pendidikan Anti Korupsi ................................... 13
BAB III
PENUTUP 3.1 Kesimpulan ............................................................................ 15 3.2 Saran ...................................................................................... 16
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 18
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur manusia sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai. Berbagai taktik dan strategi dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidak adilan. Padahal kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhi merajalela dalam hidupnya (Wijayanto, 2009:3). Jadi korupsi terjadi karena ulah manusia yang saling berebut kekuasaan antara yang satu dengan yang lain. Korupsi juga terjadi karena adanya dua faktor, yaitu pertama faktor dari diri sendiri yang ingin memperkaya diri, lemahnya moral sehingga mudah tergoda untuk melakukan korupsi yang biasanya terpengaruh dari teman, atasan, bawahan dan pihak-pihak yang lain, gaya hidup yang konsumtif dan selalu ingin tampil lebih dari yang lain, dan juga karena adanya dorongan dari kerabat dekat dan keluarga sendiri. Kedua faktor dari luar biasanya terjadi karena pendapatan yang kurang mencukupi, sehingga dalam keaadan mendesak seseorang dapat melakukan korupsi. Dalam dua dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting. Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dimulai dari tingkat nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral, tetapi sebagai permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi yang diikuti dengan menjamurnya kerja sama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan korupsi adalah perang yang bisa kita menangi (Wijayanto, 2009:5). Dapat disimpulkan dari berbagai pernyataan di atas bahwa kita sebagai bangsa Indonesia marilah satukan langkah dan perangi korupsi dengan mengawali dari diri sendiri dan dengan harapan besar pada kejayaan Indonesia serta
1
kesejahteraan bangsa Indonesia yang ada di dalamnya, dengan “Pengembangan Budaya dan Pendidikan Anti Korupsi”, sehingga akan terbentuk suatu negara kesatuan yang bebas dari korupsi.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dapat diketahui masalah-masalah yang muncul, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud korupsi? 2. Apa yang dimaksud budaya? 3. Apa dimaksud pendidikan antikorupsi? 4. Bagaimana permasalahan-permasalahan korupsi di Indonesia? 5. Bagaimana bentuk-bentuk dan jenis korupsi? 6. Apa faktor penyebab terjadinya permasalahan korupsi di Indonesia? 7. Bagaimana upaya dan pencegahan korupsi melalui penerapan budaya dan pendidikan antikorupsi? Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM, 2010).
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2, korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Klitgaard dalam Al Hakim, dkk (2016:313) menambahkan bahwa “korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”. Al Hakim, dkk (2016:313) menyatakan bahwa “korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian”. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang sah dan tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai tau sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi (misalnya, penggelapan uang) atau di luar organisasi (misalnya, pemerasan) (Klitgaard, dkk 2002:3). Jadi korupsi adalah kelakuan atau tingkah laku seseorang yang tidak baik atau buruk. Korupsi juga bisa berbentuk apa saja, baik korupsi uang, waktu dan lain-lain. Korupsi juga bisa diartikan sebagai penyalagunaan wewenang atau kekuasaan, dengan tujuan untuk memperkaya diri atau untuk menyenangkan diri sendiri. 2.2 Pengertian Budaya Moeliyono (2000:25) menyatakan bahwa”budaya merupakan sesuatu yang mencakup kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung”. Ndraha yang dikutip Edward Burnett Tylor (2003)
dalam Nurdin (2017:40)
bahwa budaya adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
3
kesenian, moral, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaankebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Soekanto yang dikutip Tylor (2001) dalam Nurdin (2017:40) menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak. Jadi budaya adalah hal yang mencakup atau berhubungan dengan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, kemampuan dan kebiasaan lain yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2.3 Pengertian Pendidikan Antikorupsi Pendidikan antikorupsi adalah usaha sadar untuk memberikan pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal di lingkungan keluarga, serta pendidikan nonformal di masyarakat. Sasaran utama pendidikan antikorupsi adalah memperkenalkan fenomena korupsi yang mencakup kriteria, penyebab dan akibat, meningkatkan sikap tidak toleran terhadap tindakan korupsi, menunjukkan berbagai kemungkinan usaha untuk melawan korupsi, serta berkontribusi terhadap standar yang telah ditentukan sebelumnya seperti mewujudkan nilai-nilai dan kapasitas untuk menentang korupsi di kalangan generasi muda. Siswa juga dibawa untuk menganalisis nilai-nilai standar yang berkontribusi pada terjadinya korupsi dan nilai-nilai yang menolak atau tidak setuju dengan korupsi. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi adalah penanaman dengan penguatan nilai-nilai dasar yang diharapkan mampu membentuk sikap antikorupsi (Wijaya, 2014:24). Pendidikan antikorupsi adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses belajar mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai antikorupsi. Dalam proses tersebut, maka pendidikan antikorupsi bukan sekedar media bagi transfer pengalihan pengetahuan (kognitif), namun juga menekankan pada upaya pembentukan karakter (afektif) dan kesadaran moral dalam melakukan perlawanan (psikomotorik) terhadap penyimpangan perilaku korupsi. Pendidikan antikorupsi juga merupakan instrumen untuk mengembangkan kemampuan belajar (learning capabilty) dalam menangkap konfigurasi masalah dan gugus
4
kesulitan persoalan kebangsaan yang memicu terjadinya korupsi, dampak, pencegahan, dan penyelesaiannya. Karenanya, dalam jangka panjang pendidikan antikorupsi bertujuan untuk membangun komitmen moral kebangsaan dan tata nilai kolektif (collective value system) dalam melahirkan generasi baru yang lebih bersih, jujur dan antikorupsi (Helmanita, dkk 2006:3-4). Jadi pendidikan antikorupsi adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan atau diterapkan kepada peserta didik, mahasiswa, maupun masyarakat umum, supaya korupsi yang terjadi di Indonesia bisa berkurang atau bahkan bisa diberantas. 2.4 Permasalahan-Permasalahan Korupsi di Indonesia Wijaya (2014:5-7) menyatakan bahwa indikator korupsi yang digunakan di tingkat internasional adalah IPK atau indeks presepsi korupsi yang dikeluarkan Transparancy International setiap tahunnya. Skala IPK yang digunakan adalah 1 sampai 10. Semakin besar nilai IPK Indonesia pada tahun 2003 sebesar 1,9 sedangkan nilai IPK Indonesia pada tahun 2013 3,2. Ini berarti pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat mendonkrak nilai IPK Indonesia secara maksimal. Data-data tindak pidana korupsi yang telah ditangani oleh KPK, dinyatakan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.1 Jenis Penindakan yang Dilakukan oleh KPK. Penindakan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 36 Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 35 Penututan 2 17 23 19 35 32 32 40 36 10 Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 35 32 21 Inkracht 0 5 17 23 23 39 34 34 28 16 Jumlah 27 74 116 159 199 212 196 226 221 118 Berdasarkan data KPK yang terdapat pada Tabel 2.1, sampai 31 Mei 2013 KPK telah melakukan penindakan 1.548 kasus korupsi, yaitu meliputi penyelidikan terhadap 540 kasus korupsi, penyelidikan terhadap 318 korupsi, penuntutan terhadap 246 kasus korupsi, eksekusi terhadap 225 kasus korupsi, dan Inkracht terhadap 219 kasus korupsi (Wijaya, 2014:5).
5
Jumlah 540 318 246 225 219 1.548
Data-data tindak pidana korupsi yang telah ditangani berdasarkan jenis perkara korupsi, dinyatakan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.2 Jenis Perkara Korupsi. Perkara Penyuapan Penggandaan barang/jasa Penyalahgunaan anggaran Perijinan Pungutan TPPU Merintangi proses KPK Jumlah
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah 0 7 2 4 13 12 19 25 34 27 143 2 12 8 14 18 16 16 10 8 2 106 0
0
5
3
10
8
5
4
3
0
38
0 0 0 0
0 0 0 0
5 7 0 0
1 2 0 0
3 3 0 0
1 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 1 2
3 0 3 0
13 12 4 2
2
19
27
24
47
37
40
39
48
35
316
Berdasarkan jenis perkara korupsi pada Tabel 2.2, sampai 31 Mei 2013 terdapat 316 kasus korupsi yang meliputi 143 kasus penggandaan barang/jasa, 38 kasus penyalagunaan anggaran, 13 kasus perijinan, 12 kasus pungutan, 4 kasus TPPU, dan 2 kasus merintangi proses KPK (Wijaya, 2014:6). Data-data tindak pidana korupsi yang telah ditangani berdasarkan instansi yang melakukan korupsi, dinyatakan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.3 Instansi yang Melakukan Korupsi Instansi Kementrian/ Lembaga Pemkab/kota Pemprov DPR BUMN/BUMD Komisi Jumlah
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah 1 5 10 12 13 13 16 23 18 19 130 0 1 0 0 0 2
0 1 0 4 9 19
4 9 0 0 4 27
8 2 0 0 2 24
18 5 7 2 2 47
5 4 10 5 0 37
8 0 7 7 2 40
7 3 2 3 1 39
10 13 6 1 0 48
11 3 2 0 0 35
Berdasarkan instansi yang melakukan korupsi pada tabel 2.3, sampai 31 Mei 2013 terdapat 318 kasus korupsi, yaitu 130 kasus korupsi di kementrian/lembaga, 71 kasus korupsi di pemerintah kabupaten/kota, 41 kasus korupsi di pemerintah provinsi, 34 kasus korupsi di DPR, 22 kasus korupsi di BUMN/BUMD, dan 20 kasus korupsi di komisi (Wijaya, 2014:6).
6
71 41 34 22 20 318
Data-data tindak pidana korupsi yang telah ditangani berdasarkan jabatan yang melakukan korupsi, dinyatakan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.4 Jabatan yang Melakukan Korupsi. Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah Eselon I, II da III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 4 111 Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 12 82 Anggota DPR dan 0 0 0 2 7 8 27 5 16 7 72 DPRD Walikota/Bupati 0 0 3 7 5 5 4 4 4 1 33 dan wakil Gubenur 1 0 2 0 2 2 1 0 0 1 9 Kepala Lembaga/ 0 1 1 0 1 1 2 0 1 0 7 Kementrian Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 7 Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 1 6 Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 4 Lainnya 0 0 1 2 4 4 9 3 3 6 38 Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 39 50 32 369 Berdasarkan jabatan yang melakukan korupsi pada tabel 2.4, sampai 31 Mei 2013 terdapat 369 kasus korupsi antara lain 111 kasus pada eselon I, II, dan, III; 82 kasus pada swasta; 72 kasus anggota DPR dan DPRD; 33 kasus Walikota/Bupati
dan
wakil;
9
kasus
gubenur;
7
kasus
kepala
Lembaga/Kementrian; 7 kasus Komisioner; 6 kasus Hakim; 4 kasus Duta Besar; serta 38 kasus lainnya (Wijaya, 2014:7). Jadi permasalahan korupsi di Indonesia dapat dilihat berdasarkan, yaitu pertama berdasarkan jenis penindakan yang dilakukan oleh KPK, yang kedua berdasarkan jenis perkara korupsi, yang ketiga berdasarkan instansi yang melakukan korupsi, dan yang keempat berdasarkan jabatan yang melakukan korupsi.
7
2.5 Bentuk-Bentuk dan Jenis Korupsi 2.5.1 Bentuk-Bentuk Korupsi Wijayanto (2014:11) menyatakan bahwa berdasarkan tingkatannya, bentuk korupsi dikelompokkan menjadi 3, antara lain: 1. Penghianatan kepercayaan (betrayalof trust). Penghianatan kepercayaan adalah bentuk korupsi paling sederhana. Semua orang yang berkhianat atau mengkhianati kepercayaan atau amanat yang diterima adalah koruptor. Anggota DPR yang tidak menyampaikan aspirasi rakyat atau menggunakan aspirasi rakyat untuk kepentingan pribadi merupakan pengkhianatan kepercayaan. 2. Penyalahgunaan kepercayaan (abuse of power). Korupsi ini merupakan korupsi di tingkat menengah. Penyalahgunaan keperccayaan ialah segala bentuk penyimpangan yang dilakuka melalui struktur kekuasaan,baik di tingkat negara maupun lembaga struktural lain termasuk lembaga pendidikan, tanpa memperoleh keuntungan materi. 3. Penyalagunaan kekuasaan agar bisa memperoleh keuntungan materi (material benefit). Penyimpangan kekuasaan dilakukan untuk memperoleh keuntungan materi baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Korupsi di tingkat ini merupakan korupsi paling membahayakan karena kekuasaan dan keuntungan materi. Bentuk korupsi ini adalah korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia. Jadi Berdasarkan tingkatannya, bentuk korupsi dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu
penghianatan
kepercayaan
(betrayalof
trust),
penyalagunaan
kepercayaaan (abuse of power), penyalagunaan kekusaan agar bisa memperoleh keuntungan materi (material benefit). 2.5.2 Jenis Korupsi Korupsi sebagai penyakit kronis yang menyerang hampir seluruh negaranegara di dunia ini ternyata memiliki banyak wujud atau bentuk. Karsona yang dikutip Syed Hssein Alatas (2011) dalam Al Hakim, dkk (2016:314-315) megemukakan bahwa berdasarkan tipenya korupsi di kelompokkan menjadi tujuh jenis korupsi sebagai berikut. 8
1. Korupsi transaktif (transactive corruption) yaitu menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima, dankeuntugan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. 2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap, guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya. 3. Korupsi inventif (investive corruption) adalah jenis korupsi dengan tindakan pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. 4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah jenis korupsi dengan tindakan meberikan penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yag berlaku. 5. Korupsi defensif (deferensive corrupyion) adalah jenis korupsi di mana perilaku korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri. 6. Korupsi etogenetik (autogenitk corruption) yaitu jenis tidak korupsi yang dilaksanakn oleh seseorang seorag diri. 7. Korupsi dukungan (supportive corruption) yaitu korupsi tindak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Korupsi sebagai penyakit kronis yang menyerang hampir seluruh negaranegara di dunia ini ternyata memiliki banyak wujud atau bentuk. Berdasrkan tipenya korupsi di kelompokkan menjadi tujuh jenis korupsi, yaitu korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi inventif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi defensif (deferensive corrupyion), korupsi etogenetik (autogenitk corruption), korupsi dukungan (supportive corruption).
9
2.6 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia Wijayanto (2014:15-17) menyatakan bahwa faktor penyebab korupsi terdiri atas dua faktor antara lain sebagai berikut: 1. Faktor Internal Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor penyebabnya adalah faktor internal pelaku korupsi maupun situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Penyebab korupsi ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal yang merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri dan faktor eksternal yang memicu perilaku korup karena faktor dari luar diri pelaku. Faktor internal penyebab korupsi dapat dirinci menjadi dua aspek , sebagai berikut. 1) Aspek perilaku individu, yang terdiri atas: a. Sifat tamak atau rakus manusia. Korupsi adalah kejahatan profesional yang rakus. Mereka sudah berkecukupan tetapi serakah karena mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak atau rakus. b. Moral yang kurang kuat. Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan ini berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk itu. c. Gaya hidup konsumtif. Kehidupan di kota-kota besar sering kali mendorong gaya hidup seseorang menjadi konsumtif. Perilaku konsumtif ini apabila tidak diimbangi pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya seperti tindak korupsi. 2) Aspek sosial, yang disebabkan dorongan keluarga. Lingkungan keluarga yang memberikan dorongan kuat bagi seseorang untuk
10
melakukan korupsi dan mengalah sifat baik seseorang yang sudah menjadi karakter pribadinya. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal penyebab korupsi dapat dirinci menjadi empat aspek, antara lain sebagai berikut. 1) Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi, yang terjadi karena empat faktor yaitu: a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi
ditimbulkan
karena
budaya
masyarakat,
seperti
masyarakat yang menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. b. Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat umum menganggap sosok yang paling dirugikan dari perilaku korupsi adalah negara, padahal jika negara merugi, maka yang paling rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan berkurang akibat korupsi. c. Masyarakat kurang menyadari mereka terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat tetapi hal ini kurang disadari masyarakat. Bahkan, sering kali masyarakat terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara terbuka tetapi tidak disadari. d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi bisa dicegah dan diberantas apabila masyarakat ikut aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Masyarakat umum berpendapat bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah. 2) Aspek ekonomi, yaitu pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam kehidupan, ada kemungkinan seseorang mengalami situasi ekonomi terdesak. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas dengan korupsi. 3) Aspek politik, yaitu adanya ketidakstabilan politik, kepentingan politik, serta meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat berpotensi menyebabkan perilaku korupsi.
11
4) Aspek organisasi, yang terjadi karena lima faktor yaitu: a. Kurang adanya sikap keteladanan pemimpin. Posisi pemimpin dalam lembaga formal dan informal memiliki pengaruh penting bagi bawahannya. Jika pemimpin tidak memberi teladan baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, kemungkinan besar bawahannya melakukan hal yang sama dengan atasannya. b. Tidak adanya budaya organisasi yang benar. Budaya organisasi akan memiliki pengaruh kuat terhadap anggotanya. Jika budaya organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif yang mewarnai kehidupan organsasi. Dalam posisi demikian, perbuatan negatif seperti korupsi bisa terjadi. c. Kurang memadainya sistem akuntabilitas. Visi, misi, tujuan dan sasaran institusi pemerintahan belum dirumuskan dengan jelas sehingga sulit melakukan penilaian apakah instansi berhasil mencapai sasarannya atau tidak dan kurangnya perhatian pada efesiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Hal ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk melakukan perilaku korupsi. d. Kelemahan
sistem
pengendalian
manajemen.
Pengendalian
manajemen adalah salah satu syarat tindak pelanggaran korupsi dalam organisasi. Semakin longgar atau lemah pengendalian manajemen organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya. e. Lemahnya pegawasan. Pengawasan internal dan eksternal kurang dapat efektif karena adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, pengawasn kurang profesional, serta pengawasan kurang patuh terhadap etika hukum. Jadi faktor penyebab terjadinya korupsi di Indonesia ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas aspek perilaku individu dan aspek sosial. Faktor eksternal terdiri dari aspek sikap masyarakat terhadap korupsi, aspek ekonomi, aspek politik, dan aspek organisasi.
12
2.7 Upaya Pencegahan Korupsi Melalui Pengembangan Budaya dan Pendidikan Antikorupsi Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 (Buku I:6_55-6_56), dinyatakan bahwa pecegahan dan pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut: 1. Sasaran Sasaran pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah menurunnya tingkat korupsi serta meningkatnya efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi. 2. Arah Kebijakan Dan Strategi Upaya untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui: 1) Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di bidang korupsi, upaya untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi dengan mengacu pada ketentuan United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 2) Penguatan
kelembagaan
dalam
rangka
pemberantasan
korupsi,
keberhasilan pemberantasan korupsi akan sangat tergantung kepada kinerja dari instansi yang mempunyai kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Adanya peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan kualitas penanganan kasus korupsi oleh KPK merupakan salah satu komponen penting. Namun demikian Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari instansi penegak hukum yang juga berwenang menangani tindak pidana korupsi juga perlu mendapatkan perhatian baik dalam hal penguatan sumber daya manusianya maupun dukungan operasional dalam melaksanakan tugas fungsi tersebut. Optimalisasi peran KPK dalam rangka melakukan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap instansi penegak hukum lain akan mendorong peningkatan kualitas maupun kuantitas penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
13
3) Meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan anti-korupsi, pada tataran implementasi kebijakan, diperlukan upaya peningkatan efektivitas implementasi kebijakan anti-korupsi, melalui optimalisasi penanganan kasus tindak pidana korupsi, pelaksanaan kerjasama luar negeri (mutual legal assistance) dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, serta penguatan mekanisme koordinasi dan monitoring evaluasi Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. 4) Meningkatkan pencegahan korupsi, pada aspek preventif, diperlukan peningkatan upaya pencegahan korupsi dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman antikorupsi masyarakat dan penyelenggara negara melalui strategi pendidikan antikorupsi mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi maupun pendidikan bagi aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
Jadi upaya pencegahan korupsi melalui pengembangan budaya dan pendidikan antikorupsi dapat dilakukan dengan langkah-langkah harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang korupsi, penguatan kelembagaan dalam rangka pemberantasan korupsi, meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan antikorupsi, meningkatkan pencegahan korupsi, pada aspek preventif.
14
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.1.1 Korupsi adalah kelakuan atau tingkah laku seseorang yang tidak baik atau buruk. Korupsi juga bisa berbentuk apa saja, baik korupsi uang, waktu dan lain-lain. Korupsi juga bisa diartikan sebagai penyalagunaan wewenang atau kekuasaan, dengan tujuan untuk memperkaya diri atau untuk menyenangkan diri sendiri. 3.1.2 Budaya adalah hal yang mencakup atau berhubungan dengan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, kemampuan dan kebiasaan lain yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. 3.1.3 Pendidikan antikorupsi adalah usaha sadar untuk memberikan pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal di lingkungan keluarga, serta pendidikan nonformal di masyarakat. 3.1.4 Indikator korupsi yang digunakan di tingkat internasional adalah IPK atau indeks presepsi korupsi yang dikeluarkan Transparancy International setiap tahunnya. Skala IPK yang digunakan adalah 1 sampai 10. Semakin besar nilai IPK Indonesia pada tahun 2003 sebesar 1,9 sedangkan nilai IPK Indonesia pada tahun 2013 3,2. Ini berarti pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat mendonkrak nilai IPK Indonesia secara maksimal. Permasalahan korupsi di Indonesia juga dapat dilihat berdasarkan, yaitu pertama berdasarkan jenis penindakan yang dilakukan oleh KPK, yang kedua berdasarkan jenis perkara korupsi, yang ketiga berdasarkan instansi yang melakukan korupsi, dan yang keempat berdasarkan jabatan yang melakukan korupsi. 3.1.5 Berdasarkan tingkatannya, bentuk korupsi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penghianatan kepercayaan (betrayalof
trust), penyalagunaan
kepercayaaan (abuse of power), penyalagunaan kekusaan agar bisa memperoleh keuntungan materi (material benefit). Korupsi sebagai penyakit kronis yang menyerang hampir seluruh negara-negara di dunia ini
15
ternyata memiliki banyak wujud atau bentuk. Berdasrkan tipenya korupsi di kelompokkan menjadi tujuh jenis korupsi, yaitu korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi inventif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi defensif (deferensive corrupyion), korupsi etogenetik (autogenitk corruption), korupsi dukungan (supportive corruption). 3.1.6 faktor penyebab korupsi terdiri atas dua faktor yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. 3.1.7 Upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pengembangan budaya dan pendidikan antikorupsi, dengan langkah-langkah harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang korupsi, penguatan kelembagaan dalam
rangka
pemberantasan
korupsi,
meningkatkan
efektivitas
implementasi kebijakan antikorupsi, meningkatkan pencegahan korupsi, pada aspek preventif. 3.2 Saran 3.2.1 Sebagai warga negara yang baik, kita hendaknya tidak usah melakukan tindakan korupsi, apalagi hanya untuk memperkaya diri sendiri, karena jika kita melakukan korupsi akan banyak kerugian yang terjadi di negara kita ini. 3.2.2 Sebagai warga negara yang baik, kita hendaknya sadar tanpa diberikan pendidikan antikorupsi, bahwa tindakan korupsi itu adalah kelakuan yang tidak baik untuk kita lakukan dalam kehidupan kita. 3.2.3 Partisipasi aktif sebagai warga negara yang baik dapat dilakukan dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan melalui langkah-langkah kecil, misalnya jangan pernah mempunyai pikiran untuk memperkaya diri apalagi melalui tindakan korupsi, Mengurangi hidup yang konsumtif, jangan mudah terhasut dengan perkataan orang lain, dan harusnya masyarakat sadar bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat itu sendiri.
16
3.2.4 Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi bisa dicegah dan diberantas apabila masyarakat ikut aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tanpa harus melalui pegembangan budaya dan pendidikan antikorupsi. Masyarakat umum juga berpendapat bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah, itu salah harusnya masalah korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga tanggung jawab masyarakat juga.
17
DAFTAR RUJUKAN Al Hakim, S. dkk. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan: Dalam Konteks Indonesia. Malang: Penerbit Madani. Helmanita, K. dkk. 2006. Pendidikan Anti Korupsi: di Perguruan Tinggi. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Pusat Kajian Agama dan Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kligaard, R., Abaroa, R. M. & Parris, H. L. 2002. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah. Terjemahan Masri Maris. Jakarta: diterbitkan pertama kali kedalam bahasa Indonesia oleh Yayasan obor Indonesia atas bantuan: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Nurdin, I. 2017. Etika Pemerintahan: Norma, Konsep dan Praktek Etika Pemerintahan. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, (Online), (https://books.google.co.id), diakses 12 November 2017. Purwo, K. B. 2000. Kajian Serba Linguistik: untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia ,(Online), (https://books. Google. co.id), diakses 12 November 2017. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019., (Online), (http://bappeda.kepriprov.go.id/data/RPJMN/BUKU_I_RPJMN_2015-2019. pdf) diakses 05 November 2017. Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Online), (https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/ uu 31 1999.pdf), diakses 26 Oktober 2017. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang. Wijaya, D. 2014. Pendidikan Antikorupsi: Untuk Sekolah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Penerbit Indeks. Wijayanto. R. Z. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Pemberantasan. Jakarta Selatan: PT. Gramedia Utama, (Online), (https://books.google.co.id), diakses 15 Oktober 2017.
18