PENATALAKSANAAN PENATALAKSANA AN PPOK
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk menghindari perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi 4 kelompok, sebagai berikut: 1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga, menghentikan menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi, menciptakan lingkungan yang sehat,
mencukupi
kebutuhan
cairan,
mengkonsumsi
diet
yang
cukup
dan
memberikan imunoterapi bagi pasien yang punya riwayat alergi.
2. Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif. Obatobat golongan bronkodilator adalah obat-obat utama untuk manajemen PPOK. Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai terutama jenis long acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis, Antikolinergik, Teofilin atau kombinasi. (GOLD, 2006; Sharma, 2010) Bronkodilator tergolongkan menjadi beta-agonist (salbutamol 2.5-5 mg; salmeterolatau formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium bromide 20 mg atau 40 mg; tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan theophyllines 10-20mg/l atau 100-600 per oral). Pemberian bronkodilator dapat membantu pasien mengurangi sesak serta meningkatkan toleransi latihan/aktifitas dengan mengurangi air-trapping dan meningkatkan efisiensi otot pernafasan. Kombinasi dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala yang muncul pada pasien. Reaksi merugikan yang dilaporkan meliputi sakit kepala, insomnia, tremor, hipertensi, aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah (Deglin & Vallerand, 2005).
b. Antikolinergik Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai efek bronkodilator
yang
simpatomimetik. mendapatkan
lebih
baik
Penambahan
golongan
bila
dibandingkan
antikolenergik
simpatomimetik
pada akan
dengan pasien
golongan
yang
mendapatkan
telah efek
bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010).
c. Metilxantin Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase
yang menginaktifkan siklik
AMP. Pemberian kombinasi
xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis sehinga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing lebih rendah dan efek samping juga berkurang. Golongan ini tidak hanya bekerja sebagai bronkodilator tetapi mempunyai efek
yang kuat
untuk meningkatkan
diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot
kontraktilitas
pada pasien PPOK
(Sharma, 2010).
d. Glukokortikosteroid Glukokortikosteroid
bermanfaat
dalam
pengelolaan
eksaserbasi
PPOK, dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru dan mengurangi
hipoksemia. Disamping itu glukokortikosteroid juga dapat
mengurangi risiko kekambuhan yang lebih awal, kegagalan pengobatan dan memperpendek masa rawat inap di RS (GOLD, 2006).
e. Kortikosteroid Kortikosteroid FEV1<60%, pengobatan
inhalasi reguler
dipilih dengan
pada
pasien
kortikosteroid
PPOK inhalasi
dengan dapat
mengurangi
gejala, meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan
menurunkan
frekuensi
eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan
dengan peningkatan pneumonia. Penghentian tiba-tiba
terapi
dengan
kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terpai monoterm jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta 2 agonist kerja lama lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan
bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat
berat. Pengobatan
jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan. Barnes, (2000; Burge, 2000) menyatakan bahwa peradangan yang nampak pada jalan nafas pasien PPOK berbeda dengan peradangan dan respon terhadap kortikosteroid pada pasien asma. Meskipun belum terdapat banyak bukti yang menyarankan pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat ringan, namun ada yang menyatakan pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat sedang sampai berat dengan nilai FEV 1kurang dari 50% dapat mengurangi frekwensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Mengingat pada pasien dapat mengalami eksaserbasi lebih dari satu kali, maka pemberian steroid oral atau antibiotik selama periode 12 bulan sebaiknya diresepkan juga asteroid inhaler dan kombinasi bronkodilator. Menurut Stein (2001), pemberian kortikosteroid oral tidak disarankan untuk jangka waktu yang lama, mengingat hal tersebut bisa memberikan efek yang buruk terhadap kejadian osteoporosis. Prednison oral, 40-60 mg dapat diberikan sebagai dosis harian tunggal di pagi hari untuk kasus yang tidak begitu berat. Beklometason, 100 µg (2 isapan) 4 kali sehari, dapat diberikan sementara prednisone dikurangi secara perlahan-lahan. Efek samping
dari
pemberian obat ini diantaranya depresi, anoreksia, ulkus peptikum, supresi adrenal, penurunan berat badan dan kerentanan terhadap infeksi (Deglin & Vallerand, 2005).
f.
Obat-obat lainnya a) Vaksin Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit yang parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50 %. Vaksin mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif diberikan kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk pasien PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2006)
b) Alpha-1 Antitripsin Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1 Antitripsin sangat berat. Namum terapi ini sangat mahal dan belum tersedia disetiap negara (GOLD, 2006).
c) Antibiotik Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya berasal dari Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influensa dan Moraxella
Catarrhlis.
Diperlukan
pemeriksaan
kultur
untuk
mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian antibiotika adalah untuk mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut, yang ditandai oleh peningkatan produksi sputum, dipsnue, demam dan leukositosis (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
d) Mukolitik Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2006). Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis dan memproduksi sputum. Pemberian codeine 15 mg (5 ml) 3-4 x/hari dapat mengurangi gangguan tidur pada pasien akibat batuk. Mukolitik semacam carbocysteine dengan dosis 750 mg 3x/hari dan mecysteine hydrochloride
200
mg
4x/hari
adalah
obat-obat
yang
dapat
mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sputum. Efek samping meliputi mual, muntah, stomatitis, diare dan nyeri lambung (Deglin & Vallerand, 2005)
e) Agen antioksidan Agen antioksi dan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD, 2006).
f) Imunoregulator Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi (GOLD, 2006).
g) Antitusif Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan sebagai mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan antitusif secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil (GOLD, 2006).
h) Vasodilator Berbagai upaya pada hipertensi pulmonal telah dilakukan diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan curah jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan. Hipoksemia pada PPOK terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru nonkardiogenik) dimana pemberian oksida nitrat dapat memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi. Sehingga oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil (GOLD, 2006).
i) Narkotin (Morfin) Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut. Nikotin juga diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan sindrom paska merokok (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
3. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh The British Medical Research Council (MRC) dan the National Heart, Lung, and Blood Institute's Nocturnal Oxygen Therapy Trial (NOTT) menunjukkan
bahwa
terapi
oksigen
jangka
panjang
dapat
meningkatkan
kelangsungan hidup 2 kali lipat pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia didefinisikan sebagai Pa O2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi oksigen kurang dari 90%. Gejala gangguan tidur, gelisah, sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus dapat memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Terapi oksigen bertujuan memperbaiki kandungan oksigen arteri dan memperbanyak aliran oksigen ke jantung, otak serta organ vital lainnya, memperbaiki vasokonstriksi pulmonal dan menurunkan tekanan vaskular pulmonal. (Shama, 2010).
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi
pulmonal
melibatkan
berbagai
multidisiplin
keilmuan
termasuk
diantaranya dokter, perawat, fisioterapis pernapasan, fisioterapi secara umum, okupasional terapi, psikolog dan pekerja soisal. Sharma (2010) menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif adalah meliputi sebagai berikut: a. Exercise training dan respiratory muscle training
Latihan otot ekstremitas maupun latihan otot pernapasan merupakan latihan dasar dari proses rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan mencapai 60% dari beban maksimal selama 20-30 menit diulang 2-5 kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat dalam aktifitas kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki (Sharma, 2010). b. Pendidikan kesehatan
a) Konservasi energy dan penyederhanaan kerja Prinsip ini membantu pasien PPOK untuk mempertahankan aktifitas sehari-hari dan pekerjaannya. Metode kegiatannya
meliputi
latihan pernapasan, optimalisasi mekanika tubuh, prioritas kegiatan dan penggunaan alat bantu (Sharma, 2010). b) Obat dan terapi lainnya Pendidikan
kesehatan
tentang
obat-obatan
termasuk
didalamnya jenis, dosis, cara penggunaan, efek samping merupakan hal penting untuk diketahui oleh pasien PPOK (Sharma, 2010). c) Pendidikan kesehatan mempersiapkan akhir kehidupan
Risiko kegagalan pernapasankarena ventilasi memburuk
pada
PPOK
mengakibatkan
mekanik yang
penyakit
ini
bersifat
progresif. Pendidikan kesehatan tentang bagaimana melakukan perawatan diri yang tepat dalam mempertahankan kehidupan perlu dilakukan kepada pasien PPOK (Sharma, 2010).
c. Penatalaksanaan fisik
a) Fisioterapi dada dan teknik pernapasan Ada
2
teknik
utama
pernapasan yang
dapat
dilakukan
diantaranya sebagai berikut:
Pursed lip breathing
Diaphragmatic breathing
b) Nutrisi Penurunan
berat
badan
pada
pasien
dengan
penyakit
pernapasan kronis menunjukkan prognosis yang buruk. Pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit sebanyak 50% dilaporkan kekurangan gizi kalori dan protein. Ketidakseimbangan energi dan penurunan berat badan progresif terjadi karena asupan makanan yang tidak memadai, pengeluaran energi yang meningkat dan kegagalan respon adaptif gizi. Pemeliharaan status gizi yang memadai sangat penting bagi pasien PPOK untuk menjaga berat badan dan massa jaringan otot (Sharma, 2010). Diet cukup protein 1,2-1,5 gr/BB, karbohidrat 40-55% dari total kalori, lemak mudah dicerna 30-40%, cukup vitamin dan mineral untuk memenuhi asupan nutrisi (Taatuji, 2004).
d. Penatalaksanaan psikososial Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit kronis memberikan kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi psikososial dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan secara individu, dukungan keluarga ataupun dukungan kelompok sosial yang berfokus pada masalah pasien. Relaksasi otot progresif, pengurangan stress dan pengendalian panik dapat menurunkan dipsnue dan kecemasan (Sharma, 2010).
e. Algoritma penanganan PPOK PPOK Stabil Ringan
VEP,≤ 80 % pred VEP, KVP < 75%
Respon bronkodilator Anjuran: 1. Berhenti merokok 2. Hindari atau kurangi pajanan 3. Vaksinasi influenza setiap tahun
Ya
Sesak
Tidak Upayakan berhenti merokok, periksa VEP, minimal 1 tahun
Pikirkan penyebab sesak lain misal: Gagal jantung, kelelahan otot, bronkodilator antikolinergenik atau beta 2 agonis yang tidak adekuat, pastikan bahwa teknik inhaler tepat
Evaluasi 4-6 minggu Tidak Perbaikan gejala ata pemakaian inhaler ≤ 4x/hari Ya
Tukar atau tambah bronkodilator Evaluasi pada mingguke 4-6
Perbaikan klinis/gejala atau pemakaian inhaler ≤ 4x/hari
Ya
Evaluasi 6-12 minggu Tidak Lakukan rehabilitasi atau penyebab lain gejala tersebut
Penyebab lainnya Tidak Ya Nilai ulang pemakaian inhaler/bronkodilator tiap bulan
Pengobatan yang sesuai atau benar
PPOK STABIL SEDANG-BERAT
VEP < 30-80% pred atau VEP1/KVP <75 %
Respon bronkodilator positif Periksa Hb, foto thoraks Anjuran berhenti merokok Hindari pajanan lingkungan
Saturasi Oksigen > 92%
Obati penyebab sesak lainnya, misal gagal jantung, kelemahan otot. Berikan inhalasi ankolinergik atau beta 2 agonis
Perbaikan gejala
Evaluasi tiap 6 bulan
Kombinasi antolinergik dan beta-2 agonis ditambah bronkodilator lain
Perbaikan gejala
Tambah N-asetilsitein 600 mg/hari selama 6 bulan dan dievaluasi setip 6 bulan
Evaluasi tiap 6 bulan
Tambahkan kortikosteroid prednisone/metil prednisolone 30-50mg/hari selama 2 minggu
Perbaikan gejala dan tanda objektif
Stop kortikostreoid pertimbangan penggunaan nebuliser dan rehabilitasi
Ganti kortikosteroid inhalasi dan turukan sampai dosis minimal yang efektif
Evaluasi tiap 6 bulan
DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia.Jakarta: PDPI 2. Rini, Setyo Ika. 2011. Hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup penyakit paru obstruktif kronis dalam konteks asuhan keperawatan di RS Paru Batu dan RSU Dr. Saiful Anwar Jawa Timur. Depok: FIK Universitas Indonesia. 3. Tjahjono, Hendro Djoko. 2011. Analisis faktor-faktor yang empengaruhi nafsu makan pada pasien dengan penyakit pernafasan obstruktif kronis di RSUD DR. M. Soewandhi Surabaya. Depok: FIK Universitas Indonesia 4. Brasher, Valentina L. 2007. Aplikasi klinis patofisiologi: pemeriksaan & manajemen. Jakarta: EGC 5.