Penyakit Paru Obstruktif Kronik Grace Stephanie Manuain 10-2011-266 Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
[email protected]
Pendahuluan Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan penyakit saluran pernapasan obstruktif kronis Chronic Obstructive Airway Disease (COAD) adalah istilah yang bisa saling menggantikan. Gangguan progresif lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran pernapasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti obstruksi saluran pernapasan reversibel pada asma. Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua penyakit ini belum dapat digolongkan ke dalam PPOK.jika dilakukan pemeriksaan patologik pada pasien yang mengalami obstruksi saluran napas, dianogsis patologiknya tenyata sering berbeda satu sama lain. Diagnosis patologik tersebut dapat berupa emfisema sebesar 68%, bronkitis 66% sedangkan bronkiolitis sebesar 41%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan patologik yang berbeda menghasilkan gejala klinik yang serupa.
1
Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Nares anterior adalah saluran-saluran dalam lubang hidung. Saluran-saluran tersebut bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. Hidung menghubungkan lubang-lubang sinus paranasalis yang masuk ke dalam rongga-rongga hidung, dan juga menghubungkan lubang-lubang nasolakrimal yang menyalurkan air mata dari mata ke dalam bagian bawah rongga nasalis, ke dalam hidung.1 Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian kartilago cricoidea. Maka letaknya di belakang hidung (nasofaring / epifaring), di posterior mulut (orofaring / mesofaring) dan di belakang laring (laringofaring / hypofaring). Nares posterior adalah muara rongga-rongga hidung ke nasofaring.2 Laring (tenggorok) terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkannya dari columna vertebrae, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra cervicalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring terdiri atas kepingan kartilago hialin dan elastis yang diikat bersama oleh ligamen dan membran. Yang terbesar di antaranya adalah cartilago thyroidea, dan di anteriornya ada benjolan subcutaneous yang dikenal sebagai jakun. Laring terdiri dari 2 lempeng / lamina yang bersambung di garis tengah. Di tepi atas ada lekukan berupa huruf V. Cartilago crycoidea ada di inferior tiroid, berbentuk cincin mohor dengan mohornya di posterior. Cartilago lainnya adalah cartilago arytenoids yang menjulang di sebelah belakang cartilago cricoidea, kanan dan kiri cartilago cuneiform, dan cartilago corniculata yang sangat kecil.2,3 Terkait di cartilago thyroidea adal epiglotis, yang berupa katup cartilago dan membantu menutup laring saat menelan. Laring dilapisi jenis selaput lendir yang dengan di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglottis yang dilapisi sel epitelium berlapis. Pita suara ada di sebelah dalam laring, berjalan dari cartilago tyroidea di sebelah depan sampai di kedua cartilago aritenoid yang ditimbulkan oleh berbagai otot laryngeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan. Dengan demikian, lebar sela-sela antara pita-pita atau rima glotidis berubahubah sewaktu bernapas dan berbicara. Suara dihasilkan karena getaran pita yang disebabkan udara yang melalui glottis. Berbagai yang terkait pada laring mengendalikan suara, dan juga menutup lubang atas laring sewaktu menelan.2,3
2
Trakea (batang tenggorok) kira-kira 9 cm panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra thorakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi 2 bronkus, kanan dan kiri. Trakea tersusun dari 16 sampai 20 lingkaran tak lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan melengkapi lingkaran di sebelah posterior trakea, selain itu memuat juga beberapa jaringan otot. Trakea dilapisis selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergerak menuju ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan. Cartilago berfungsi mempertahankan agar trakea tetap terbuka, karena itu sebelah posteriornya tidak tersambung, yaitu di tempat trakea menempel pada esophagus, yang memisahkannya dari tulang belakang.2,3 Trakea cervicalis yang berjalan melalui cervics disilang oleh isthmus thyroidea, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisi-sisi trakea. Trakea thoracica berjalan melintasi mediastinum, di belakang sternum, menyentuh arteri inominata dan arcus aorta. Esofagus terletak di posterior trakea.2,3 Kedua bronkus yang terbentuk dari belahan 2 trakea pada ketinggian kira-kira vertebra thoracalis kelima mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel ynag sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke inferior dan lateral ke arah tampak pulmo. Bronkus dextra lebih pendek dan lebih lebar dari yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis. Dalam masing-masing paru-paru, bronkus terus bercabang menjadi saluran napas yang semakin sempit, pendek, dan banyak. Cabang-cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus, yang terbagi menjadi bronkiolus terminal dan bronkiolus respiratorius. Pada bronkiolus terminal belum terjadi difusi gas, namun mulai dari bronkiolus respiratorius, berkelompok alveolus, kantung-kantung udara halus tempat pertukaran gas antara udara dan darah.2-4 Paru memiliki struktur yang ideal untuk pertukaran gas. Menurut Hukum Fick. Menurut hokum difusi Fick, semakin pendek jarak yang harus ditempuh oleh difusi, semakin besar laju difusi. Juga semakin besar luas permukaan tempat difusi berlangsung, semakin besar laju difusi.5
Alveolus adalah kelompok-kelompok ksntung mirip anggur yang berdinding tipis dan dapat mengembang di ujung cabang saluran napas penghantar. Dinding alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus tipe I yang gepeng. Dinding anyaman pada kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus juga memiliki ketebalan hanya satu sel. Ruang interstitium 3
antara seuah alveolus dan kapiler di sekitarnya membentuk sawar yang sangat tipis, dengan ketebalan hanya 0,5 mikrometer yang memisahkan udara di alveolus dari darah di kapiler paru.4 Selain itu, pertemuan udara alveolus dengan darah memiliki luas yang sangat besar bagi pertukaran gas. Paru mengandung sekitar 300 juta alveolus, masing-masing berdiameter 300 mikrometer. Sedemikian padatnya anyaman kapiler paru sehingga setiap alveolus dikelilingi lembaran darah yang hampir kontinyu. Karena itu luas permukaan total yang terpajan antara udara alveolus dan darah kapiler paru adalah sekitar 75 m 2 (seukuran lapangan tenis). Sebaliknya, jika paru terdiri dari hanya satu organ berongga dengan dimensi yang sama dan tidak dibagi-bagi menjadi unit-unit alveolus yang sangat banyak maka luas permukaan total hanya akan mencapai 0,01 m2 saja.4 Selain berisi sel alveolus tipe I yang tipis, epitel alveolus juga mengandung sel alveolus tipe II. Sel-sel ini mengeluarkan surfaktan paru, suatu kompleks fosfolipoprotein yang mepermudah ekspansi paru. Selain itu, ada makrofag alveolus yang berjaga-jaga di dalam lumen kantung udara ini, yang dikenal dengan sel debu.4 Di dinding udara antara alveolus yang berdekatan terdapat pori Kohn yang halus. Keberadaan pori ini memungkinkan aliran udara antara alveolus-alveolus yang berdekatan, suatu proses yang dikenal sebagai ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini sangat penting agar udara segar dapat masuk ke alveolus yang saluran penghantar terminalnya tersumbat akibat penyakit.5
Bernapas meliputi dua proses yaitu menarik napas atau memasukkan udara pernapasan dan mengeluarkan napas atau mengeluarkan udara pernapasan. Menarik napas disebut inspirasi dan mengeluarkan napas disebut ekspirasi.Pada waktu menarik napas, otot diafragma berkontraksi. Semula kedudukan diafragma melengkung keatas sekarang menjadi lurus sehingga rongga dada menjadi mengembang. Hal ini disebut pernapasan perut. 4
Bersamaan dengan kontraksi otot diafragma, otot-otot tulang rusuk juga berkontraksi sehingga
rongga dada
mengembang.
Hal ini
disebut pernapasan dada.
Akibat
mengembangnya rongga dada, maka tekanan dalam rongga dada menjadi berkurang, sehingga udara dari luar masuk melalui hidung selanjutnya melalui saluran pernapasan akhirnya udara masuk ke dalam paru-paru, sehingga paru-paru mengembang.Pengeluaran napas disebabkan karena melemasnya otot diafragma dan otot-otot rusuk dan juga dibantu dengan berkontraksinya otot perut. Diafragma menjadi melengkung ke atas, tulang-tulang rusuk turun ke bawah dan bergerak ke arah dalam, akibatnya rongga dada mengecil sehingga tekanan dalam rongga dada naik. Dengan naiknya tekanan dalam rongga dada, maka udara dari dalam paru-paru keluar melewati saluran pernapasan.
Anamnesis Hal-hal yang perlu ditanyakan:
Apakah pasien merasa sesak napas? Jika ya, rasa sesak yang dirasakan pada pasien pada
saat pasien sedang beraktivitas atau istirahat? Apakah ada faktor yang membuat pasien merasa sesak? Dan sebelumnya apa sajakah
yang dilakukan pasien sehingga merasa sesak? Apakah ada nyeri dada? Apakah pasien batuk? Apakah batuk pasien tersebut berdahak atau tidak? Jika ya, bagaimana warna dahaknya,
apakah ada darah atau tidak? Pernakah pasien dirawat di rumah sakit dikarenakan sesak napas yang dialami? Apakah ada keluhan lain pada pasien seperti halnya demam, sakit kepala, nyeri otot, mual muntah?
Riwayat penyakit dahulu Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, bronkiektasis atau emfisema). Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain? Pernakah ada episode pneumonia? Tanyakan gejala apnea saat tidur (mengantuk di siang hari, mendengkur).
5
Tanyakan respons pasien terhadap terapi kortikosteroid, oksigen dirumah? Apakah pasien menggunakan oksigen dirumah? Adakah riwayat merokok pasien (dahulu [bungkus per hari/tahun] sekarang dan
pasif). Riwayat keluarga dan sosial. Bagaimana riwayat pekerjaan pasien? Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga (pertimbangkan defisiensi α1antiripsin?). Bagaimana tingkat disabilitas pasien? Bagaimana toleransi olahraga pasien? apakah pasien mampu untuk beraktivitas jika mengalami sesak?
Pemeriksaaan Fisik5 Inspeksi
• •
•
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) Retraksi sela iga Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
•
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
•
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
• • • •
Suaranapasvesikulernormal,ataumelemah terdapatronkidanataumengipadawaktubernapasbiasaataupadaekspirasipaksa ekspirasimemanjang bunyijantungterdengarjauh
• •
Pemeriksaan Penunjang Beberapa pemeriksaan yang menunjang diagnosis adalah5 :
Tes fungsi paru menunjukkan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien mengalami perbaikan dari pemberian bronkodilator. 6
Foto toraks bisa normal, namun pada emfisema akan menunjukkan hiperinflasi disertai
hilangnya batas paru serta jantung tampak kecil. Computed tomography bisa memastikan adanya bula emfisematosa. Analis gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia kadar hemoglobin bisa meningkat. Pemeriksaan analisis gas darah dapat ditemukan PaO2 < 8,0 kPa (60mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa (50mmHg), saat bernapas dalam udara ruangan jika terjadi gagal napas. PaO2 < 6,7 kPa (50mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70mmHg), dan pH < 7,30, mamberi kesan keadaan yang mengancam jiwa sehingga perlu dilakukan monitor ketat dan
penanganan yang intensif. Kultur dan sensitivitas kuman diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab resistensi kuman terhadap antibiotic yang digunakan. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika pada tidak ada respon terhadap antibiotic yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumonia, Moraxella catarrhalis, dan Haemophillus influenza.
Diagnosis Kerja Diduga pasien menderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan, bronkitis kronik, emfisema hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Diagnosis Banding Diagnosis banding dari penyakit paru obstruktif kronis adalah:6,7,8,9 1. Emfisema Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi 7
dinding alveolar. Pasien dengan emfisema paru dominan biasanya mempunyai riwayat sesak napas dengan batuk kadang-kadang disertai sedikit sputum mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopurulen dan kental. Bila disertai hemoptisis harus dipikirkan penyakit lain seperti tuberkulosis, bronkiektasis, atau tumor. Emfisema ditandai dengan pembesaran ruang udara di sebelah distal bronkioli terminal, disertai kerusakan dindingnya. Jenis-jenis emfisema berdasarkan distribusi anatomiknya di dalam lobulus: a. Emfisema sentriasinus (sentrilobulus). Gambaran khas adalah keterlibatan lobulus, bagian sentral atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus respiratorik terkena sedangkan alveolus distal tidak. Oleh sebab itu, di dalam asinus dan lobules yang sama terutama di segmen apical, dapat ditemukan, baik ruang udara yang emfesematosa maupun yang normal. Lesi lebih sering dan biasanya lebih parah di lobus atas, terutama di segmen apical. Dinding ruang udara yang emfisematosa sering mengandung banyak pigmen hitam. Sering terjadi peradangan di sekitar bronkus dan bronkiolus. Pada emfisema sentriasinus yang parah, asinus distal mungkin terkena dan menjadi sulit dibedakan dengan emfisema panasinus. Emfisema jenis ini jauh lebih sering dijumpai daripada panasinus, membentuk lebih dari 95% kasus, terjadi terutama pada perokok berat, sering disertai bronkitis kronik. b. Emfisema panasinus (panlobulus). Asinus yang membesar secara merata dari tingkat respiratorik bronkiolus hingga ke alveolus terminal. Emfisema tipe ini cenderung terjadi di zona bawah dan di batas anterior paru dan biasanya paling parah di basal, disebabkan karena defisiensi α-1-antitripsin.
c. Emfisema asinus distal (paraseptum). Bagian proksimal asinus normal dan kelainan terutama mengenai bagian distal. Emfisema lebih jelas di dekat pleura, di sepanjang septum jaringan ikat lobules dan di tepi lobules. Kelainan ini terbentuk di dekat daerah fibrosis. Jaringan parut atau atelektasis dan biasanya lebih parah di separuh atas paru. Emfisema jenis ini dapat menjadi penyebab banyak kasus pneumotoraks spontan pada dewasa muda. d. Emfisema irregular. Asinus terkena berbentuk irregular dan hampir selalu disertai dengan pembentukan jaringan parut sehingga ini bentuk tersering emfisema karena pemeriksaan yang teliti terhadap sebagian besar paru saat autopsy tampak adanya satu atau lebih jaringan parut bekas peradangan. Biasanya, emfisema ireguler ini asimtomatik dan secara klinis kurang penting. 8
Manifestasi klinis emfisema belum terlihat sampai paling sedikit sepertiga parenkim paru fungsional rusak. Dispnea biasanya adalah gejala awal, sesak napas ini muncul secara perlahan tapi progresif. Pada sebagian pasien, batuk atau mengi merupakan keluhan utama sehingga sering dikatakan sebagai asma. Batuk dan pengeluaran dahak sangat bervariasi tergantung pada keparahan bronchitis yang menyebabkannya. Penurunan berat badan sering terjadi dan hebat seperti menandakan adanya tumor ganas yang tersembunyi. Secara klasik, dada berbentuk tong dan sesak, dengan ekspirasi yang memanjang, duduk condong ke depan dengan posisi membungkuk dan bernapas melalui bibir yang mengerut. Kunci diagnosis adalah terhambatnnya aliran udara ekspirasi yang paling baik diukur dengan spirometri. 2. Bronkitis kronik Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedi-kitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Definisi ini tidak mencakup penyakit-penyakit seperti bronkiektasis dan tuberkulosis yang juga menyebabkan batuk kronik dan pembentukan sputum. Sputum yang terbentuk pada bronkitis kronik dapat mukoid atau mukopurulen. Pasien dengan bronkitis kronik dominan biasanya mempunyai riwayat batuk-batuk dengan sputum yang produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Pasien sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita tanya Iangsung. Makin lama batuk makin sering, beriangsung iama dan makin berat, timbul siang maupun malam, sehingga pasien terganggu tidumya. Bila timbul infeksi saluran napas, batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi. Bronkitis kronik merupakan penyakit dengan produksi mukus yang berlebihan dalam cabang bronkial sehingga menyebabkan pengeluaran sputum yang berlebihan. Sering pada pecandu rokok dan penghunin kota-kota yang diselimuti oleh kabut asap. Jika menetap hingga tahunan, penyakit inin menjadi penyakit saluran napas obstruktif, kor pulmonale dan gagal jantung, metaplasia atipikal dan dysplasia epitel saluran napas, membentuk lahan suburb bagi transformasi keganasan. Penyakit ini terdapat pada semua pasien yang mengalami batuk menetap disertai pembentukan sputum selama paling sedikit 3 bulan pada paling tidak 2 tahun berturutan tanpa kausa lain yang dapat teridentifikasi. Pada bronchitis kronik biasa, pasien mengalami batuk produktif, tanpa bukti fisiologis obstruksi saluran napas. Sebagian orang mungkin hiperreaktivitas saluran napas dengan serangan bronkospasme dan mengi, disebut bronchitis asmatik kronik. 9
Sebagian pasien terutama perokok berat mengalami obstruksi saluran napas kronik, disertai tanda emfisema disebut bronchitis kronik obstruktif. Faktor primer adalah iritasi kronik oleh bahan yang terhirup seperti asap rokok (90% perokok) dan padi-padian, kapas dan debu silica. Paling sering dijumpai pada pria usia pertengahan. Berbeda dengan emfisema yang membutuhkan pemeriksaan histologik sebagai uji konfirmatif dimana pasien biasanya tidak bersedia sepanjang hidupnya.
3. Asma Penyakit ini ditandai dengan peningkatan responsivitas jalan napas terhadap berbagai stimuli dan ditandai dengan penyempitan jalan napas yang luas yang berubah beratnya baik secara spontan maupun akibat pengobatan. Asma adalah gangguan peradangan kronik di saluran napas yang menyababkan serangan berulang mengi, sesak, dada terasa tertekan dan batuk terutama malam atau dini hari. Gejala ini karena bronkokonstriksi yang luas tapi bervariasi dan pembatasan aliran udara yang paling tdak sebagian bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Peradangan menyebabkan peningkatan responsivitas saluran napas (bronkospasme) terhadap berbagai rangsangan. Sebagian dari tangsangan tersebut tidak aatu sedikit menimbulkan efek pada bukan pengidap asma dengan saluran napas normal. Banyak sel berperan dalam respons peradangan seperti limfosit T, eosinofil, sel mast, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Asma umumnya dimulai masa anak-anak, tetapi dapat terjadi pada usia berapapun. Pasien asma mengalami serangan sesak hebat, batuk dan mengi yang dipicu oleh serangan mendadak bronkospasme. Meskipun jarang, da[at terjadi keadaan serangan yang menetap disebut status asmatikus, yang dapat mematikan, biasanya pasien ini telah lama mengidap asma. Di antara serangan, pasien mungkin sama sekali asimptomatik. Pada sebagian kasus, serangan dipicu oleh olahraga dan dingin atau oleh pajanan allergen terhadap pasien yang sebelumnya pernah tersensitisasi, tetapi pemicunya sering tidak diketahui. Manifestasi 10
klinis adalah dispnea, ortopnea, paru mengalami hiperinflasi, dan ronki nyaring terdengar di semua lapang paru, sputum sedikit dan kental. 4. Bronkiektasis Penyakit yang ditandai oleh dilatasi menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik karena oleh infeksi nekrotikans kronik. Dilatasi harus menetap karena pelebaran bronkus reversibel sering menyertai pneumonia virus dan bakteri. Meningkatnya pengendalian terhadap infeksi paru membuat bronkiektasis kini jarang dijumpai. Manifestasi klinik adalah batuk, demam, dan pengeluaran sputum purulen yang berbau dalam jumlah besar. Obstruksi dan infeksi merupakan faktor utama yang dapat menyebabkan bronkiektasis. Setelah obstruksi bronkus oleh sumbatan mucus, tumor atau benda asing, mekanisme pembersihan normal terganggu, terjadi penumpukan sekresi di distal sumbatan dan terjadi peradangan saluran napas. Infeksi berat di bronkus menyebabkan peradangan sering disertai nekrosis, fibrosis dan akhirnya pelebaran saluran napas. Bronkiektasis biasanya mengenai lobus bawah secara bilateral terutama saluran napas yang vertical dan paling parah di bronkus distal dan bronkiolus. Jika karena tumor atau benda asing, kelainan mungkin berbatas tegas di satu segmen paru. Saluran napas melebar, kadang sampai empat kali ukuran normal sehingga saluran napas berbentuk tabung memanjang (brinkiektasis silindris) atau berbentuk fusiform atau sakular (bronkiektasis sakular). Etiologi Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebebkan terjadinya PPOK, baik faktor eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini faktor host atau faktor dari penderita sendiri).4,5 Faktor Lingkungan : a) Merokok b) Asap tembakau c) Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota Faktor Host : a) Genetik Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1 antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzin ini rendah sedangkan asupan rokok tinggi maka akan mengganggu system kerja enzim tersebut, yang bisa 11
mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda, yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar usia 53 tahun) dan bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun. b) Hipereaktifitas Bronkus Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor resiko yang memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok maka akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi akibat dari peradangan pada saluran napas atas
Epidemiologi PPOK merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang menyebabkan 26.000 kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya adalah > 600.000. Angka ini lebih tinggi di negara maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat ke bawah dan pada manula. 4 Merokok adalah >90% risiko untuk PPOK.10
Patofisiologi
Gambar 1. Konsep patogenesis PPOK5 Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat 12
sakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl ). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok. Pada perokok yang menderita PPOK produksi antiprotease mungkin tidak cukup untuk menetralisir efek berbagai protease dan mungkin juga karena faktor genetik yang berperan dalam terganggunya fungsi dan produksi protein ini.
13
Beberapa studi mendapatkan adanya peningkatan stres oksidatif yang berperan penting pada PPOK melalui mekanisme aktivasi transkripsi nuclear factor κB (NfκB) dan activator protein-1(AP-1) yang menginduksi neutrophilic inflammation melalui peningkatan ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP-9, serta merusak antiprotease seperti α-1 AT yang meningkatkan terjadinya inflamsi dan proses proteolitik. Terjadinya proses inflamasi akan merusak metriks ekstraseluler, berakibat pada kematian sel dimana kemampuan memperbaiki dan memulihkan kerusakan terebut tidak adekuat sehingga terjadilah hambatan jalan udara yang progresif dan ireversibel.
Penatalaksanaan11-13 Secara
umum
tata
laksana
PPOK
adalah
sebagai
berikut:
1. Pemberian obat obatan a) Bronkodilator Bronkodilator adalah obat yang mengendurkan otot polos di sekitar saluran udara, meningkatkan kaliber saluran udara dan meningkatkan aliran udara. Mereka dapat mengurangi gejala sesak nafas, mengi dan pembatasan latihan, sehingga peningkatan kualitas hidup orang dengan PPOK. Mereka tidak memperlambat laju perkembangan penyakit yang mendasarinya. Bronchodilators biasanya diberikan
dengan inhaler atau
melalui nebulizer .Ada
dua
jenis
utama
bronkodilator, β 2 agonis dan antikolinergik. Antikolinergik tampaknya unggul β 2 agonis di PPOK. Antikolinergik mengurangi kematian pernafasan, sementara β 2 agonis tidak berpengaruh pada pernapasan kematian. Masing-masing jenis dapat berupa long-acting (dengan efek yang berlangsung 12 jam atau lebih) atau short-acting (dengan onset cepat efek yang tidak terakhir sebagai panjang). Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.5 b) Anti Inflamasi Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik. 14
c) Antibiotik Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. d) Mukolitik Tidak
diberikan
secara
rutin.
Hanya
digunakan
sebagai
pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental. e) Antitusif Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. 2.
Pengobatan Penunjang a) Rehabilitasi b) Edukasi c) Berhenti merokok d) Latihan fisik dan respirasi e) Nutrisi Menjadi baik berat badan atau kegemukan dapat mempengaruhi gejala, tingkat kecacatan dan prognosis PPOK. Orang-orang dengan PPOK yang berat badannya dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan mereka dengan meningkatkan asupan kalori mereka. Ketika dikombinasikan dengan olahraga teratur atau program rehabilitasi paru, hal ini dapat mengakibatkan peningkatan gejala PPOK. 3. Terapi Oksigen Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati - hati dapat menyebabkan
15
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup. 4. Ventilasi Mekanik Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
5. Operasi Paru Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara maju). 6. Vaksinasi Influensa Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influensa diberikan pada: •
Usia di atas 60 tahun
•
PPOK sedang dan berat
Pencegahan Mencegah kebiasaan merokok, menghindari polusi udara, serta menjaga kesehatan kerja. Dan yang paling penting adalah menjaga kualitas gaya hidup.
Prognosis
16
Secara umumnya, prognosis yang didapatkan adalah buruk. PPOK merupakan penyakit yang secara progresif mengalami perburukan, terutama jika pasien terus merokok. Pasien dengan PPOK mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapat infeksi paru-paru yang dapat membawa kepada kematian pasien. Apabila terjadi kerusakan yang non-reversible pada paru, jantung juga akan ikut terpengaruh. Pasien dengan PPOK akhirnya mati apabila paru-paru tidak dapat berfungsi dan oksigen tidak bisa masuk ke organ tubuh dan jaringan, atau pada saat terjadinya komplikasi seperti infeksi berat. Pengobatan yang tepat pada PPOK dapat membantu mencegah komplikasi, memperpanjang jangka hidup selain meningkatkan kualitas hidup pasien.
Daftar Pustaka 1. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. p. 536. 2. Gunardi S. Anatomi sistem pernafasan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. p. 25-31. 3. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009; p.253-7. 4. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. p. 502,11. 5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Diagnosis PPOK. Edisi 2003. Diunduh dari http://www.klikpdpi.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=93,
20
Juli 2011 6. Muttaqin H, Rubiana A, Yoavita, penyunting. Patofisiologi paru esensial. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2010. h.66-102. 7. Rachman LY, Dany F, Rendy L, penyunting. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC, 2009. h. 737-48. 8. Rani AA, Soegondo S, Nazir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A, penyunting. Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009.h.54. 9. Safitri A, penyunting. At a glance medicine. Jakarta: EGC, 2005.h.150-85. 10. Yulianti D, penyunting. Aplikasi klinis patofisiologi: pemeriksaan & manajemen. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, 2007.h.85. 17
11. Djojodibroto RD. Manifestasi Klinis. Dalam : Respirologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.h.53 12. Davey P. At A Glance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2003. h. 181-5. 13. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.
18