PEMILU TAHUN 1955 : PESTA DEMOKRASI PERTAMA INDONESIA Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Politik Pemilihan Tingkat Nasional dan Daerah (PPTND) Dosen Pengampu : Andhyka Muttaqin, SAP, MPA
Oleh: Dian Purnama Sari
105030100111123
Putri Permata Taqwa
105030100111127
Nurul Afifah
105030100111127
Kelas : I
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1. Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .........................................................................................2 1.3. Tujuan ............................................................................................................2 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................3 2.1. Konsep Sistem Pemilu...................................................................................3 2.2. Konsep Sistem Politik ...................................................................................5 BAB 3 METODE PENULISAN............................................................................7 3.1. Jenis Penulisan ..............................................................................................7 3.2. Objek Penulisan .............................................................................................7 3.3. Teknik Pengambilan Data .............................................................................7 3.4. Prosedur Penulisan ........................................................................................7 3.5. Kerangka Berpikir .........................................................................................8 BAB 4 PEMBAHASAN .........................................................................................9 4.1. Proses dan Sistem Politik Pada Tahun 1955 .................................................9 4.2. Analisis Kelompok : ....................................................................................21 BAB 5 PENUTUP.................................................................................................24 5.1. Kesimpulan ..................................................................................................24 5.2. Rekomendasi ...............................................................................................25 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perjalanan sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama jika dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai berdiri hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai muncul sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka menyongsong pemilihan umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan Konstituante) yang direncanakan akan segera dilaksanakan. Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun kemudian, tahun 1955. Itu ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihan umum. Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya Pemilu (yang dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama) yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik masa Orde Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan dekade 1960-an, tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan untuk mengukur distribusi kekuatan antarpartai secara nasional. Pemilu 1955 diwarnai konflik antar aliran politik karena adanya perbedaan ideologis-kultural. Konflik-konflik tersebut seringkali dapat didamaikan melalui mekanisme solidaritas di kalangan elite partai. Namun konflik antar partai tersebut sangat berkepanjangan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa (Puspoyo:2012). Dengan maraknya konflik ideologi dan konflik internal partai pada masa itu, mengakibatkan kabinet atau parlemen yang dikuasai partai-partai menjadi melemah. Selain permasalahan di atas, Pemilu tahun 1955 juga diwarnai dengan jatuh bangunnya kabinet Demokrasi Parlementer. Beerbagai peristiwa di atas menjadi bukti yang jelas betapa pemerintahan Indonesia pada saat pelaksanaan Pemilu Orde Lama tidak berada pada kondisi yang stabil.
1
Berdasarkan paparan di atas, maka kelompok kami memberi judul “Pemilu 1955: Pesta Demokrasi Pertama di Indonesia” untuk makalah kami. Dalam makalah ini kami akan menganalisis proses Pemilu yang terjadi pada tahun 1955, mulai dari sistem kepartaian dan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan Pemilu tersebut.
1.2. Rumusan Masalah 1) Bagaimana proses dan sistem pemilihan umum pada tahun 1955?
1.3. Tujuan 1) Mengetahui proses dan sistem pemilihan umum pada tahun 1955
2
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Sistem Pemilu a. Pemilu Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih
memilih
orang-orang
untuk
mengisi
jabatan-
jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan. Dalam
Pemilu,
para
pemilih
dalam
Pemilu
juga
disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan
suara dilakukan,
proses
penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. Menurut UU no 08 tahun 2008 pasal 1 Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan
3
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Sistem Pemilu Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu sebagai berikut:
Sistem Distrik Sistem ini diselenggerakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang padat penduduknya. Oleh karena itu sudah barang tentu banyak jumlah suara yang akan terbuang di satu pihak tetapi malahan menguntungkan pihak yang renggang penduduknya. Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya langsung, maka pemilih akrab dengan wakilnya (personan stetsel). Satu distrik biasanya satu wakil (single member constituency).
Sistem Proposional Sistem ini didasari jumlah penduduk yang akan menjadi peserta pemilih, misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan Pemilu, yaitu para partai politik (multi member constituency) yang dikenal lewat tanda gambar (lijsten stetsel) sehingga wakil dan pemilih kurang akrab.
4
2.2. Konsep Sistem Politik Menurut Pamudji, sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membrntuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau utuh. Sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian , yang kaitmengkait satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Politik berasal dari kata “polis” yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, kelakuan pejabat, legalitas keabsahan, dan akhirnya kekuasaan. Politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuasaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsensus nasional, serta kemudian kekuatan masa rakyat. Menurut Robert Dahl sistem politik mencakup dua hal yaitu: pola yang tetap dari hubungan manusia, kemudian melibatkan sesuatu yang luas tentang kekuasaan, aturan dan kewenangan. Pada dasarnya konsep sistem politik dipakai untuk keperluan analisa, di mana suatu sistem bersifat abstark pula. Dalam konsteks ini sistem terdiri dari beberapa variabel. Di samping itu konsep sistem politik dapat diterapkan pada suatu situasi yang konkrit, misalnya negara, atau kesatuan yang lebih kecil, seperti kota, atau suku-bangsa, atau pun kesatuan yang lebih besar seperti bidang internasional, di mana sistem politik terdiri dari beberapa negara. Sistem politik menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. Fungsi-fungsi itu adalah membuat keputusan-keputusan kebijaksanaan (policy decisions) yang mengikat mengenai alokasi dari nilai-nilai (baik yang bersifat materiil, maupun yang non-materiil). Sistem politik menghasilkan “output” yaitu keputusan-keputusan kebijaksanaankebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain : melalui sistem politik
5
tujuan-tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya dilaksanakan oleh keputusan-keputusan kebijkasanaan. Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik (political culture) yang mencerminkan faktor subyektif. Dalam sistem politik terdapat 4 variabel: 1.
Kekuasaan : Sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain membagi sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2.
Kepentingan : Tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik.
3.
Kebijaksanaan : Hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk perundang-undangan.
4.
Budaya Politik : Orientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik.
6
BAB 3 METODE PENULISAN
3.1. Jenis Penulisan Tulisan dalam makalah ini bersifat kajian pustaka atau library research. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif yang disertai dengan analisis sehingga menunjukkan suatu kajian ilmiah yang dapat dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut.
3.2. Objek Penulisan Objek penulisan dari makalah ini adalah sistem pemilihan umum pada masa Orde Lama tahun 1955 beserta bagaimana saja prosesnya, mulai dari kampanye hingga hasil Pemilu.
3.3. Teknik Pengambilan Data Informasi yang dikumpulkan adalah informasi yang berkaitan tentang peristiwa Pemilihan Umum pada tahun 1955. Informasi yang dikumpulkan meliputi sistem Pemilu yang diterapkan, proses kampanye dan Pemilu, hasil dari Pemilu itu sendiri beserta peristiwa-peristiwa yang terkait dengan Pemilu tahun 1955. Adapun informasi ini diperoleh dari berbagai literatur, mulai dari majalah. jurnal ilmiah, internet maupun buku yang relevan dengan objek yang akan dikaji.
3.4. Prosedur Penulisan Setelah dilakukan pengumpulan data informasi, semua hasil diseleksi untuk mengambil data dan informasi yang relevan dengan masalah yang dikaji. Untuk menyajikan masalah yang akan dibahas, maka dalam tulisan ini penyajian dibagi atas satu pokok bahasan, yaitu proses dan sistem Pemilu yang terjadi pada tahun 1955. Pokok bahasan tersebut nantinya masih akan terbagi ke dalam 4 sub pokok bahasan yang terdiri dari :
7
1) Sistem Pemilu yang digunakan pada Pemilu tahun 1955 2) Partai politik yang ikut meramaikan pesta Pemilu tahun 1955 3) Proses Pemilu yang menggambarkan jalannya Pemilu tahun 1955 4) Hasil Pemilu tahun 1955
3.5. Kerangka Berpikir Tulisan ini memiliki kerangka berpikir dalan proses penulisannya. Kerangka atau alur berpikir digunakan untuk mempermudah proses penulisan. Adapun kerangka berpikir dalam tulisan ini akan dijelaskan pada skema di bawah ini. LATAR BELAKANG
Partai-partai di Indonesia mulai muncul sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar bangsa
Indonesia
mendirikan
partai-partai
dalam
rangka
menyongsong pemilihan umum
Pemilu 1955 diwarnai konflik antar aliran politik karena adanya perbedaan ideologis-kultural.
Pemilu tahun 1955 juga diwarnai dengan jatuh bangunnya kabinet Demokrasi Parlementer.
Pemilu tahun 1955 satu-satunya pemilu (yang dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama) yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik. masa Orde Lama. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana proses dan sistem pemilihan umum pada tahun 1955?
STUDI LITERATUR
Tinjauan tentang sistem Pemilu tahun 1955 Tinjauan tentang proses dan hasil Pemilu tahun 1955 Tinjauan tentang peristiwa-peristiwa pada saat dan setelah Pemilu tahun 1955
8
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1. Proses dan Sistem Politik Pada Tahun 1955 A. Sistem Pemilu pemilu 1955 yang dilaksanakan
pada
tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota
DPR
dan
tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
Dewan
Konstituante berada di
Gambar 3.1
bawah rezim hukum konstitusi Pasal 1 Ayat 1, Pasal 35, Pasal 56 s.d. Pasal 60, Pasal 134 dan Pasal 135 UUDS 1950 yang kemudian diderivasi dalam UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. Pemilu tersebut berada dalam konteks sistem ketatanegaraan kabinet parlementer dengan sistem multipartai. Sebenarnya gagasan untuk menyelenggarakan Pemilu sudah muncul 3 bulan setelah Proklamasi 1945 lewat Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 3 November 1945, namun tidak terlaksana karena berbagai faktor dan kemudian juga lahir UU Nomor 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang kemudian diuabah dengan UU Nomor 12 Tahun 1949 yang merupakan sistem Pemilu bertingkat, jadi Pemilu tidak langsung. Berikut merupakan isi Maklumat Wakil Presiden Nomor X : 1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
9
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan Januari 1946. Pemilu 1955 berlansung dengan sistem proporsional (multimember contituency) yang dikombinasikan dengan sistem daftar (listsystem) diikuti oleh lebih dari 30 Partai Politik dan lebih dari 100 organisasi / perkumpulan dan perseorangan untuk memilih 257 anggota DPR. Dalam sistem Pemilu proporsional satu wilayah besar memilih beberapa wakil. Dan dalam sistem ini satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah tersebut jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para calon atau kontestan, secara nassional tanpa menghiraukan distribusi suara itu. Sedangkan maksud sistem daftar disini adalah dimana partai-partai peserta Pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
B. Partai Politik Jika diperhatikan perkembangan kehidupan kepartaian di Indoensia, maka segera diketahui bahwa pengalaman berpartai masyarakat Indonesia berlumlah begitu lama. sebelum tercapainya kemerdekaan, khususnya pada masa Hindia Belanda, kaum pergerakan mendirikan sejumlah partai yang antara lain dipakai sebagai wahanan untuk pendidikan politik dan mobilisasi politik dalam rangka perjuangan kemerdekaan. sebelum tahun 1930-an kehidupan kepartaian dapat dicirikan sebagai radikal dan konservatif, dengan pengertian yang berani menentang Belanda secara terang-terangan dan yang lain melakukan perjuangan politik melalui cara persuasif dengan pemerintah kolonial. Tetapi setelah partai komunis dibubarkan pemerintah kolonial Belanda menyusul pmberontakan yang gagal tahun 1926/1927 oleh komunis, kehidupan kepartaian mengalami masa suram. Penyesuaian gaya kemudian dilakukan disana sini dan baru mulai menjadi radikal lagi menjelang Jepang mendarat di Indonesia.
10
Jika dilihat dari mau tidaknya memasuki institusi-institusi kolonial, maka kehidupan kepartaian pada masa Hindia Belanda ini dicirikan dengan mereka mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial (kooperasi) dan yang menolak mamasuki institusi kolonial (non kooperasi). Seirama dengan ekslarasi perjuangan, beberapa tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, terlihat pendekatan partai radikal dengan konservatif atau antara kaum kooperator dengan non kooperator baik dalam ikatan atas dasar kebangsaan seperti yang terwujud dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) maupun atas dasar ideologi keagamaan seperti terlihat pada majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). Pada masa pendudukan militer Jepang, kegiatan kepartaian dilarang, kecuali MIAI yang diperkenankan terus berdiri edngan cara menyesuaikan AD/ART nya dengan keinginan perang Asia Timur raya. Namun ternyata MIAI juga tidak dapat bertahan lama, karena kegiatan-kegiatan
MIAI
dicurigai Jepang. MIAI lalu dibubarkan dan pemerintah pendudukan Jepang menggantikannya dengan Masyumi (1943). Pada awal proklamasi, PPKI merencanakan membentuk partai tunggal (partai negara) dengan sebutan Partai Nasional Indonesia yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PNI. Gagasan partai tunggal ini diprakarsai Soekarno sebetulnya tidak begitu disokong oleh Bung Hatta. Hal itu barangkali karena partai tunggal mirip dengan bentuk kepartaian di negara komunis, yang dalam aktivitasnya cenderung diktator. Dalam kenyataannya rencana partai tunggal ini juga terwujud antara lain karena KNIP mampu mengorganisir massa untuk membela eksistensi proklamasi. Penentangan terhadap gagasan partai tunggal diperlihatkan lagi dengan usulan politik Badan Pekerja KNIP kepada wakil Presiden. Pemerintah merealisasi usul Badan Pekerja ini melalui Maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik. Sejak itu bermunculanlah partai-partai politik yang jumlahnya tanpa batas. Keadaan ini menjadi runyam karena
11
sebagian partai-partai ini menuntut untuk diberi tempat dalam pemerintahan dan KNIP. Keadaan yang sama juga terjadi pada negara/daerah bagian yang diciptakan Van Mook melalui Konferensi Malino dan Pangkalpinang. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir sejak bulan Agustus 1950 mewarisi sistem multi partai ini. Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. Sekurang-kurangnya terdapat 27 partai politik. Partai-partai tersebut adalah: a. Masyumi (kemudian pecah : PSII menjadi partai politik sendiri tahun 1947 dan NU tahun 1952). b. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). c. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). d. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO). e. Partai Katolik f. Partai Nasional Indonesia (PNI) g. Persatuan Indonesia Raya (PIR) h. Partai Indonesia Raya (PARINDRA) i. Partai Rakyat Indonesia (PRI) j. Partai Demokrasi Rakyat (BANTENG) k. Partai Rakyat Nasional (PRN) l. Partai Wanita Rakyat (PWR) m. Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI) n. Partai Kedaulatan Rakyat (PKR) o. Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) p. Ikatan Nasional Indonesia (INI) q. Partai Rakyat Djelata (PRD) r. Partai Tani Indonesia (PTI) s. Wanita Demokrasi Indonesia (WDI) t. Partai Komunis Indonesia (PKI) u. Partai Sosialis Indonesia (PSI) v. Partai Murba w. Partai Buruh (dua buah)
12
x. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI) y. Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI) z. Partai Indo Nasional (PIN)
Kehidupan
kepartaian
diusahakan
menjadi
modern,
kesadaran
berpolitik meningkat. Masyarakat mulai melihat bahwa melalui partai memungkinkan mereka dapat mengikuti arus mobilisasi sosial, baik vertikal maupun horizontal. Melalui partai seseorang seringkali mengharapkan perlindungan, bahkan mungkin juga melalui partai seseorang mungkin bisa meningkatkan kesejahteraan pribadinya dengan cara memanfaatkan hubungan teman separtai. Kehidupan kepartaian juga memasuki dunia pegawai negeri, tidak terkecuali mereka yang kebetulan sedang menjadi pejabat tinggi, hakim, dan sebagainya, sebagian besar memutuskan memasuki salah satu partai politik. Dengan begitu klik sesama teman separtai kemudian terbentuk pada bagianbagian tertentu di instansi pemerintah. Pengecualian dari situasi ini adalah kalangan tentara dan kepolisian negara yang sejak semula memang tidak diperkenankan menjadi anggota partai. Dengan pengertian lain jika mereka ingin menjadi anggota partai, dengan sendirinya harus membuka pakaian seragamnya dan menjadi orang sipil. Walaupun begitu ternyata militer dan polisi tidak luput dari penetralisasi ideologi kepartaian, yang tergambar dalam sikap mereka yang secara samar-samar seringkali menyokong kebijaksanaan partai tertentu. Orang-orang terkemuka seringkali tidak secara formal menyatakan dirinya menjadi anggota satu partai. Baik sejumlah anggota parlemen maupun beberapa pejabat senior pemerintahan seringkali memunculkan kesan bahwa mereka seorang non partai. Jumlah anggota partai pada masa ini sukar dihitung. Biasanya masingmasing partai mengukur sendiri berarnya jumlah anggota mereka. Pengakuan mengenai jumlah anggota seringkali berlebihan, karena tidak ada catatan resmi mengenai keanggotaan. PNI umpamanya mengklaim jumlah
13
anggotanya sebanyak 1.466.783 orang dengan 228 ncabang di seluruh Indonesia pada tahun 1950. Sementara Masyumi menyebutkan anggotanya sebanyak 10.000.000 orang dengan 237 cabang. Partai Kristen Parkindo menyatakan mempunyai anggota sebanyak 320.000 orang. Sementara Partai Rakyat Nasional menyebutkan anggotanya sebanyak dua juta orang, Perhatian partai-partai terhadap persoalan-persoalan politik sangat terasa di Jakarta dibanding dengan daerah-daerah lainnya. Bilamana mereka bergerak diluar ibukota, biasanya kegiatan lebih banyak terarah kepada wilayah-wilayah yang memiliki potensi yang mendukung kebijaksanaan nasional mereka, seperti di kota-kota besar, di kota-kota residensi atau kabupaten dan wilayah-wilayah yang secara ekonomis merupakan pusatpusat produksi untuk pasaran dunia. Sebagian partai memusatkan perhatiannya di daerah Jawa. Sasaran mereka adalah mempengaruhi organisasi sosial si pedesaan, para wanita, pemuda, buruh, petani, alim ulama, tenaga terdidik, budayawan, organisasi, olahraga, dan kaum veteran. Lapisan mayyarakat ini diikat mereka dengan ideologi kepartaian dan aliran-aliran tertentu. Dengan demikian orang desa ini dipaksa untuk menerima kepemimpinan orang kota melalui garis ideologi. Sebaliknya hubungan desa kota juga menemukan saluran baru. Hampir bisa dipastikan bahwa partai tidak bisa hidup hanya dari iuran anggota. Beberapa dana diperoleh dari potongan honorarium anggota legislatif, organ-organ partai, dan melalui hubungan dengan birokrasi pemerintah.
C. Proses Pemilu 1. Kampanye Partai Politik Tahun 1955 Kampanye Pemilu yang sangat sengit pada tahun 1955 berlangsung lama sekali yang memperuncing konflik sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok pada masa kamanye itu menjadi jelas lagi pada masa pasca Pemilu, yaitu pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang
14
keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinet Ali itu. Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan terus di dalam kabinet itu, sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas. Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapa aktor politik
yang
dikesampingkan Gambar 3.2
dari oleh
dulu
merasa
sistem
diri
demokrasi
parlementer. Yang paling nyata Presiden Soekarno dan pimpinan tentara.
Menarik pula perilaku para politikus saat berkampanye. Semua politikus, termasuk PM Burhanudin Harahap dan para menteri yang menjadi calon anggota DPR, tidak pernah menggunakan fasilitas negara maupun memanfaatkan otoritasnya sebagai pejabat negara. Mereka juga tidak pernah meminta pejabat di bawahnya untuk menggiring masyarakat masyarakat pemilih untuk mengambil sikap yang menguntungkan partainya. Sebab, mereka tak menganggap sesama pejabat negara sebagai pesaing yang menakutkan. Selain itu, tak ada gelagat dari pejabat negara tertentu untuk menghalalkan segala cara selama mengikuti kampanye. Teladan para pejabat pada masa lalu inilah yang kita rindukan bersama saat ini. Tidak diketahui pasti berapa lama masa kampanye pada Pemilu 1955. Tetapi masa kampanye yang semula dikhawatirkan gaduh, ternyata berlangsung aman dan tertib.
2. Proses Pemilu Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada
15
November. Ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak murni. Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini. Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi. Pemilu tahun 1955 diselenggarakan dalam dua tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain: a) Tahap 1 (29 September 1955), dilaksanakan untuk memilih anggota DPR b) Tahap 2 (15 Desember 1955), dilaksanakan untuk memilih anggota Dewan Konstituante Menurut
George
McTurnan Pemilu
Kahin, tahun
1955
tersebut begitu penting sebab
dengan
kekuatan
partai-partai
politik
terukur
cermat
dan
yang
itu
lebih
parlemen
dihasilkan
lebih
Gambar 3.3
16
bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara
pemilihan
umum
yang
mapan,
pengorganisasian
pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk merebut
simpati
rakyat
dengan
berbagai
jalan,
salah
satunya
mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya. Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
D. Hasil Pemilu Tahun 1955 1. Hasil Pemilu Tahap 1 (29 September 1955) Dari 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama
(45
kursi/18,4%),
dan
Partai
Komunis
Indonesia
(39
17
kursi/15,4%). Berikut merupakan tabel hasil Pemilu tahap pertama tahun 1955 : Tabel 3.1
No . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Partai Partai Nasional Indonesia (PNI) Masyumi Nahdlatul Ulama (NU) Partai Komunis Indonesia (PKI) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Partai Katolik Partai Sosialis Indonesia (PSI) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Partai Rakyat Nasional (PRN) Partai Buruh Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) Partai Rakyat Indonesia (PRI) Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) Murba Baperki Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro Grinda Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
Jumlah Suara 8.434.653
Persentase (%) 22,32
Jumlah Kursi 57
7.903.886 6.955.141 6.179.914
20,92 18,41 16,36
57 45 39
1.091.160
2,89
8
1.003.326
2,66
8
770.740 753.191
2,04 1,99
6 5
541.306
1,43
4
483.014
1,28
4
242.125
0,64
2
224.167 219.985
0,59 0,58
2 2
206.161
0,55
2
200.419
0,53
2
199.588 178.887 178.481
0,53 0,47 0,47
2 1 1
154.792 149.287
0,41 0,40
1 1
18
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Persatuan Daya (PD) PIR Hazairin Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) AKUI Persatuan Rakyat Desa (PRD) Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) Angkatan Comunis Muda (Acoma) R.Soedjono Prawirisoedarso Lain-lain Jumlah
146.054 114.644 85.131
0,39 0,30 0,22
1 1 1
81.454 77.919
0,21 0,21
1 1
72.523
0,19
1
64.514
0,17
1
53.306
0,14
1
1.022.433 2,71 37.785.299 100,00
257
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang. 2. Hasil Pemilu Tahap 2 (15 Desember 1955) Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:
19
Tabel 3.2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Partai/Nama Daftar Partai Nasional Indonesia (PNI) Masyumi Nahdlatul Ulama (NU) Partai Komunis Indonesia (PKI) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Partai Katolik Partai Sosialis Indonesia (PSI) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Partai Rakyat Nasional (PRN) Partai Buruh Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) Partai Rakyat Indonesia (PRI) Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) Murba Baperki Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro Grinda Persatuan Rakyat Marhaen
Jumlah Suara 9.070.218
Persentase Jumlah (%) Kursi 23,97 119
7.789.619 6.989.333 6.232.512
20,59 18,47 16,47
112 91 80
1.059.922
2,80
16
988.810
2,61
16
748.591 695.932
1,99 1,84
10 10
544.803
1,44
8
465.359
1,23
7
220.652
0,58
3
332.047 152.892
0,88 0,40
5 2
134.011
0,35
2
179.346
0,47
3
248.633 160.456 162.420
0,66 0,42 0,43
4 2 2
157.976 164.386
0,42 0,43
2 2
20
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Indonesia (Permai) Persatuan Daya (PD) PIR Hazairin Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) AKUI Persatuan Rakyat Desa (PRD) Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) Angkatan Comunis Muda (Acoma) R.Soedjono Prawirisoedarso Gerakan Pilihan Sunda Partai Tani Indonesia Radja Keprabonan Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) PIR NTB L.M.Idrus Effendi Lain-lain Jumlah
169.222 101.509 74.913
0,45 0,27 0,20
3 2 1
84.862 39.278
0,22 0,10
1 1
143.907
0,38
2
55.844
0,15
1
38.356
0,10
1
35.035 30.060 33.660 39.874
0,09 0,08 0,09 0,11
1 1 1
33.823 31.988 426.856 37.837.105
0,09 0,08 1,13
1 1 514
4.2. Analisis Kelompok : “Pesta Demokrasi Tersukses sebagai Penutup Demokrasi Parlementer” Dalam Pemilu tahun 1955, baik Pemilu tahap I maupun tahap II, diketahui bahwa tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan dan mampu menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil. Pemilu 1955 bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai
21
akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru. Tidak
adanya
pemenang mayoritas juga menimbulkan
masalah
lain, dimana kekuasaan terbagi-bagi berbagai
ke
dalam
aliran
politik
yang Gambar 3.4
mengakibatkan pemerintahan
akhirnya sistem saat
itu
menjadi tidak stabil. Kebebasan politik yang semula dimaksudkan untuk membangkitkan partisipasi politik masyarakat ternyata lebih banyak diwarnai oleh kepentingan masing-masing aliran politik. Menurut Herbert Faith (1999), kegagalan tujuan Pemilu 1955 yang berujung pada krisis ketatanegaraan Indonesia lebih disebabkan oleh terjadinya gerakan separatisme dan persekutuan antara Presiden Soekarno dan militer yang tidak puas dengan sistem parlementer yang ditandai oleh peranan partai-partai politik yang sangat dominan. Ketidakpuasan Presiden tersebut disampaikan oleh Presiden Soekarno melalui pidatonya pada peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956 dimana beliau mengecam keras keputusan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tanggal 3 November 1945. Maklumat tersebut oleh Presiden dianggap sebagai kesalahan terbesar yang telah dibuat pada waktu itu. Kegagalan dibentuknya konstitusi baru oleh Dewan Konstituante juga menandai berakhirnya sistem demokrasi parlementer di Indonesia yang telah dijalankan selama lebih dari satu dasawarsa (3 November 1946-5 Juli 1959). Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 (Konstitusi pasca Proklamasi 1945) diberlakukan kembali yang berarti Indonesia kembali ke sistem semi presidensial yang diikuti dengan
22
penerapan sistem demokrasi terpimpin tanpa tradisi Pemilu untuk jangka waktu yang cukup panjang (1959-1971) sehingga pengisian para anggota lembaga perwakilan (MPRS, DPRGR, dan DPRDGR) dilakukan melalui sistem pengangkatan. Di bidang kepartaian, era demokrasi terpimpin juga ditandai dengan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui regulasi presiden, yakni Penetapan Presiden (Penpres ) Nomor 7 Tahun 1959 Tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai. Sebagai akibat regulasi tersebut, jumlah partai politik yang diakui pemerintah tinggal 10 partai, sedangkan ditolak pengakuannya dan 2 partai dibubarkan, yaitu Masyumi dan PSI. Era demokrasi terpimpin berujung dengan terjadinya krisis politik pada tahun 1965 yang ditandai dengan terjadinya G30S/PKI dan muncullah rezim orde baru dengan sisem demokrasi Pancasila serta jatuhnya pemerintahan Presiden Soekarno. Meskipun Pemilu 1955 telah dianggap gagal menghasilkan pemerintahan yang stabil, menyederhanakan sistem kepartaian, dan melahirkan suatu konstitusi baru yang dibentuk secara demokratis untuk menggantikan UUDS 1950, tetapi oleh banyak kalangan, termasuk para pengamat dari luar negeri dinilai sebagai Pemilu yang paling demokratis dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Pemilu tersebut relatif tidak banyak pelanggaran, konflik, dan protes. Hal tersebut bisa dibilang sukses mengingat pada saat itu Indonesia baru menginjak 10 tahun usia kemerdekaan dan sedang berada dalam kondisi persaingan ideologi yang keras antara kelompok nasionalis, islam dan komunis.
23
BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir sejak bulan Agustus 1950 mewarisi sistem multi partai. Jika melihat jumlah partai yang diwakili dalam parlemen. sekurang-kurangnya terdapat 27 partai politik. 2. Pemilu 1955 berlansung dengan sistem proporsional (multimember contituency) yang dikombinasikan dengan sistem daftar (listsystem) diikuti oleh lebih dari 30 Partai Politik dan lebih dari 100 organisasi / perkumpulan dan perseorangan untuk memilih 257 anggota DPR. Dari empat partai yang keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali PKI, diwakili dalam kabinet Ali Sastroamidjojo. 3. Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara. 4. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak murni. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%). 5. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
24
suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. 6. Dalam Pemilu tahun 1955, baik Pemilu tahap I maupun tahap II, diketahui bahwa tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan dan mampu menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil, bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru.
5.2. Rekomendasi 1. Bahwa kesalahan-kesalahan Pemilu yang telah dilakukan oleh pemerintah era tahun 1995 diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah masa kini agar mampu menjalankan sistem Pemilunya lebih baik lagi. 2.
Diupayakan agar pemerintah menjalankan sistem Pemilu disesuaikan dengan kondisi negara pada saat akan dilaksanakan Pemilu.
3. Adanya partisipasi masyarakat untuk ikut serta berperan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia. 4. Diharapan pemerintah lebih mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingannya sendiri dalam melaksanakan Pemilu.
25
DAFTAR PUSTAKA
Fadjar, A. Muktakhie, Prof. 2013. Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu, dan Demokrasi : Membangun Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu secara Demokratis. Setara Press : Malang Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. Gazali, Zulfikar, Anhar Gonggong, JR. Chaniago. 1989. Sejarah Politik Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Naasional : Jakarta Muslim, Dudung Abdul. 2004. Pemilu Dari Masa Ke Masa (1) : Meneladani Para Elite di Tahun 1955 (Online). http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada 9-5-2013 Puspoyo, Widjanarko. 2012. Dari Soekarno Hingga Yudhoyono : Pemilu Indonesia 1955-2009. Era Adicitra Intermedia : Solo Rellyanti, Febriantin, dkk. 2012. MEMAHAMI Pemilu INDONESIA TAHUN 1955. (Online). http://mylovelyhomework11.blogspot.com. Diakses pada 9 mei 2013. Syafiie, Inu Kencana, Azhari, SSTP. 2002. Sistem Politik Indonesia. Refika Aditama : Bandung
26