PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 -Telp (0341)567886 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kota Probolinggo merupakan salah satu kota di Indonesia yang pernah menjadi daerah pemerintahan kolonial Belanda. Kolonial Belanda merupakan pihak yang berperan penting pada terbentuknya identitas pusat Kota Probolinggo. Tata ruang pusat kota Probolinggo saat ini merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pusat Kota Probolinggo pada masa kolonial, perubahan fisik yang terjadi pada kawasan bersejarah di pusat Kota Probolinggo serta memberikan arahan pelestarian kawasan bersejarah di pusat Kota Probolinggo. Karakteristik suatu kawasan dicerminkan melalui guna lahan, gaya bangunan serta letak geografis kawasan tersebut. Seiring berjalannya waktu, karakteristik perkotaan mengalami perubahan. Perubahan tersebut akan mengancam kearifan lokal suatu kawasan, sehingga perlu dilakukan tindakan pelestarian agar tidak menghilangkan peninggalan sejarah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik pusat Kota Probolinggo, analisis figure ground untuk mengetahui kepadatan masa bangunan, dan analisis sinkronikdiakronik untuk mengetahui perubahan simultan kawasan. Hasil penelitian ini adalah adanya pelestarian citra kawasan pada elemen substansi, hirarki, dan landmark yang mendukung dalam penguatan karakter suatu kawasan. Kata Kunci : pelestarian, kawasan bersejarah ABSTRACT Probolinggo is one of the cities in Indonesia was the Dutch colonial administration. Dutch Colonial is an important role on forming the urban Probolinggo identity. Probolinggo downtown spatial was heritage of Dutch colonial administration. The purpose of this study is to identify the characteristics of urban Probolinggo on the colonial era, the physical changes that occur in the urban Probolinggo, well as provide environmental conservation. An area characteristics reflected through land use, sytle building, and geographical location of the district. Over time, characteristic of city have changes. That changes will threaten local wisdom of district, so that need preservation to prevent heritage lost. The method used in this study is a descriptive analysis method to determine the characteristics of urban Probolinggo, figure ground analysis to know the density of the building mass, and synchronic-diachronic analysis to assess simultan changes in the region. The results of this study is the presence of environmental conservation on substantive elements, hierarchy, and landmark which support strengthening the character of district. Keywords: preservation, historical district
PENDAHULUAN Kota Probolinggo mulai dikenal setelah pada kependudukan kolonial Belanda pada tahun 1743. Letak Probolinggo yang strategis menjadi daya tarik Belanda untuk menduduki Probolinggi. Terletak diantara pesisir dan dataran tinggi yang subur, Probolinggo memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pada masa kolonial, pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu pemerintahan kolonial dan pemerintahan pribumi. Pemerintahan kolonial berpusat di rumah karesidenan, sedangkan pemerintahan
pribumi berada di pendopo kabupaten di selatan alun-alun. Pada masa kolonial pusat Kota Probolinggo mengalami empat tahap (Handinoto, 2010). Pada tahap-tahap inilah terbentuk 5 elemen citra kawasan yang mencerminkan identitas kawasan yaitu boundary, pattern, substance, hierarchy, dan landmarks (Clerici, 1997). Pusat Kota Probolinggo pada masa kolonial merupakan pusat pemerintahan dan permukiman orang Belanda dan Eropa. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyak terdapat bangunan bergaya
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
73
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
Eropa yang terdapat pada pusat Kota Probolinggo. Pada masa sekarang berdasarkan RTRW Kota Probolinggo tahun 2009-2028 pusat Kota probolinggo merupakan kawasan yang memiliki fungsi pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa. Terjadi banyak perubahan karakteristik fisik pada kawasan pusat Kota Probolinggo seperti perubahan fungsi bangunan menjadi perkantoran dan perdangan jasa sehingga memacu perubahan fungsi kawasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik Kota Probolinggo pada masa pemerintahan kolonial Belanda; mengetahui perubahan fisik yang terjadi pada kawasan kuno bersejarah akibat perkembangan kawasan pusat Kota Probolinggo; dan memberikan arahan pelestarian kawasan kuno bersejarah di pusat Kota Probolinggo. METODE PENELITIAN Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan sumber data primer (observasi lapangan, dokumentasi, dan wawancara pihak terkait) dan sekunder (peta, foto, dokumen pemerintahan terkait sejarah kawasan dan literatur mengenai gaya bangunan kuno). Populasi bangunan kuno berjumlah 41 bangunan yang berdasarkan undang-undang no. 11tahun 2010 tentang cagar budaya yaitu: - Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; dan - Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun. Untuk menentukan sampel masyarakat menggunakan rumus Slovin sehingga dapat diketahui 99 responden non pemilik bangunan kuno dan ditambah dengan 41 responden pemilik bangunan kuno (Gambar 1). Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, evaluatif dan development. Metode deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik kawasan kuno bersejarah antara lain sejarah kawasan pusat kota, karakter elemen citra kawasan. Analisis sejarah perkembangan kota berdasarkan proses terbentuknya, perkembangan dan fungsi kota. Menggunakan bahan-bahan dari studi literatur mengenai sejarah Kota Probolinggo. Digunakan untuk mengetahui peranan dan fungsi kota terhadap terbentuknya Kota Probolinggo serta proses perkembangannya. Analisis citra kawasan
74
bertujuan untuk mengetahui karakteristik citra kawasan seperti boundary, pattern, substance, hierarchy dan landmark pada wilayah studi. Metode evaluatif digunakan untuk mengetahui perubahan kawasan yaitu dengan menggunakan analisis sinkronik-diakronik untuk perubahan kawasan kuno bersejarah. Perubahan kawasan dapat diketahui dengan menggunakan analisis yang mencakup analisis guna lahan dan citra kawasan. Analisis guna lahan digunakan untuk mengetahui perubahan terkait fungsi guna lahan bangunan kuno bersejarah pada pusat Kota Probolinggo, sehingga didapatkan arahan guna lahan pada lokasi studi. Analisis perubahan elemen citra kawasan terdiri atas kajian terhadap perubahan dan perkembangnan elemen citra kawasan dengan menggunakan analisis sinkronik diakronik. Anaslisis sinkronik merupaka metode analisis yang digunakan untuk melihat peristiwa simultan terhadap perubahan yang terjadi dalam perkembangannya. Peristiwa simultan yang dimaksud antara lain peristiwa yang disebabkan oleh aspek ekonomi, sosialbudaya, politik dan peristiwa yang terjadi bersamaan. Analisis diakronik merupakan metode analisis yang digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu, dan dalam analisis ini dilakukan identifikasi perkembangan berupa identifikasi perkembangan kawasan tata ruang kota yang mengakibatkan perubahan pada suatu waktu. Suprijanto (2001: 109) juga mengungkapkan bahwa metode sinkronik diakronik merupakan suatu pendekatan yang dinilai baik jika digunakan untuk mengkaji perkembangan (arsitektur dan kota), mengingat pada analisis tersebut mengkaji keterkaitan akan perubahan ruang terhadap waktu, serta peristiwa yang berpengaruh. Kondisi before mewakili masa kolonial antara tahun 1743 – 1945-an, dan kondisi after mewakili setelah masa kolonialisme hingga sekarang, yakni antara tahun 1945-an – 2012. Elemen yang dianalisis meliputi elemen fisik citra kawasan dengan menilai jenis citra kawasan yang ada, bentuk dari citra kawasan yang terdapat di lokasi studi, lokasi elemen citra kawasan yang divisualisasikan pada gambar, dan lingkup elemen citra kawasan terhadap wilayah sekitarnya. Dalam menentukan arahan pelestarian menggunakan metode development. Arahan pelestarian kawasan dapat diketahui dari elemen citra kawasan. Citra kawasan merupakan elemen
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
dalam pembentukan sebuah identitas kawasan. Boundary, pattern, substance, hierarchy dan landmark merupakan elemen citra kawasan yang perlu diperhatikan dalam pelestarian kawasan.
Gambar 1. Peta Wilayah Studi. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pusat Kota Probolinggo Karakteristik pusat Kota Probolinggo meliputi sejarah kawasan, karakteristik kawasan, dan karakteristik bangunan kuno. 1. Sejarah Probolinggo Pusat Kota Probolinggo terbentuk sejak masih dalam masa pemerintahan karesidenan Pasuruan dan berkembang pesat setelah dipegang oleh pemerintahan Belanda. Pada masa kolonial pusat Kota Probolinggo mengalami 4 tahap, yaitu : a) Tahap I (sebelum tahun 1743) Pada awal pemerintahannya, Belanda hanya menempatkan banteng di daerah pesisir yang digunakan sebagai pos dagang. Struktur kota masih menganut struktur perkotaan Jawa yaitu berpusat di alun-alun dan dikelilingi oleh masjid, penjara dan pendopo kabupaten. b) Tahap II (1743 – 1850) Pada tahap kedua, pemerintah Belanda mengambil penuh kekuasaan terhadap Probolinggo. Selain itu didudkung dengan
kerja paksa pembuatan Jalan Raya Pos (jalan dari Anyer hingga Panarukan) yang pada masa ini sampai di Probolinggo. Pemerintah Belanda membuat pusat pemerintahan sendiri dengan mambangun rumah residen (sekarang KODIM) dengan gaya Indische Empire Stijl di Jalan Raya Pos. Pada tahun 1830-an mulai terbentuk jalan antara pos dagang – alun-alun – rumah residen dan berkembang dengan dibuat dua jalan yang mengapit di sisi timur dan barat. c) Tahap III (1851 – 1880-an) Perkembangan pesat terjadi pada tahap ketiga yaitu dengan penambahan blokblok permukiman di sisi timur sebagai kawasan pecinan, di sisi selatan sebagai blok pembatas untuk pribumi, dan di sisi barat sebagai pemukiman Arab dan Melayu. Pada masa ini terbentuk pola morfologi kota yang baku yaitu pola grid yang simetris. d) Tahap IV (1880-an - 1945) Pada masa ini struktur pusat kota tidak mengalami perubahan yang signifikan. Praktis hanya penambahan blok permukiman di sisi timur yang dimaksudkan sebagai batas peredam dan keamanan bagi masyarakat colonial, serta pembangunan rel kereta api yang diteruskan dari Pasuruan menuju daerah selatan Probolinggo seperti Lumajang, Situbondo dan Jember. 2. Sejarah pusat kota Pada abda ke-18, pusat kota kolonial terbagi menjadi dua, yaitu pusat pemerintahan pribumi yang terletak di alun-alun kabupaten dan pusat pemerintahan kolonial dengan gedung residen atau asisten residen yang terletak di jalan raya pos. Pembagian pusat pemerintahan seperti ini disebut dengan konsep Kota Hindia Belanda Lama. Probolinggo merupakan Kota Hindia baru yang kawasan pusat pemerintahan pribumi dan kolonial diharuskan menjadi satu. Setelah berlakunya undang-undang desentralisasi pada tahun 1905, maka pemerintahan suatu kota menjadi terpusat, yaitu dipimpin oleh hanya satu walikota. Hal ini menyebabkan kebanyakan kotamadya memindahkan pusat pemerintahan dari sekitar alun-alun ke sebuah townhall sebagai rumah karesidenan yang jauh dari alun-alun. Dalam hal ini pemerintahan Belanda ingin memperlihatkan kekuasannya dengan
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
75
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
membangun rumah karesidenan tersebut dengan gaya arsitektur kolonial modern (Gambar 2).
Gambar 2. Alun-Alun Pada Tahun 1905an Alun-alun dan rumah karesidenan terhubung oleh sebuah jalan yang menjadi sumbu utama kota yaitu Jalan Suroyo. Jalan ini juga digunakan sebagai ruang publik kota. Bila ada sebuah arakarakan, berkumpul dan berawal dari alun-alun, diarak melalui Jalan Suroyo dan berakhir di halaman rumah karesidenan sebagai simbol penguasa. Pohon asem yang rindang terdapat di kanan dan kiri Jalan Suroyo sehingga menambah estetika (Gambar 3). Sepanjang Jalan Suroyo juga berdiri bangunan dan gedung pemerintahan, sehingga memperjelas kekuasaan kolonial pada saat itu.
atau fungsi penting yang menjadi pokok perkembangan sebuah kota. •
TK-SDK Mater Dei Pada tahun 1927 suster-suster pionir dari Belanda, dibawah naungan yayasan pendidikan Santa Perawan Maria (SPM) mendirikan sebuah sekolah katolik pertama dengan nama ELS (Europese Lagere School) yang setara dengan SD, yang dikhususkan untuk anak-anak keturunan Belanda dan Cina. Bangunan yang terletak di Jl. Suroyo 36 ini pada awal berdirinya terdiri hanya 3 kelas dasar. Kemudian stelah mendapat status lembaga hukum pada Maret 1927, maka sekolah ini dikembangkan dan pada akhir tahun 1927 telah memiliki 6 kelas lengkap dengan pavilion untuk para suster serta Taman Kanak-kanak. Kemudian mulai tahun 1950, sekolah-sekolah di bawah naungan yayasan SPM dirubah nama menjadi TKK Mater Dei dan SDK Mater Dei. Namun pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942, sekolah dan asrama ditutup dan dinonanktifkan. Dan kembali aktif lagi setelah keadaan politik dan keamanan sudah mulai kondusif pada tahun 1947 (Gambar 4).
Gambar 4. ELS (Europese Lagere School) •
Gambar 3. Kondisi Jalan Suroyo (Heerenstraat) Pada Tahun 1920-an Pada tahun 1805an morfologi Kota Probolinggo sudah terbentuk, yaitu dengan poros Jl. Suroyo, dan diapit dua jalan simetris di sebelah barat dan timurnya. Di sebelah barat adalah Jl. Dr. M. Saleh yang didominasi oleh permukiman pendatang dari etnis Arab. Di sebelah timur adalah Jl. Dr. Sutomo merupakan batas kawasan permukiman Belanda dengan kawasan permukiman pecinan. Pusat kota merupakan kawasan yang memiliki bangunan
76
Gereja Merah Gereja GPIB Immanuel yang terletak di Jl. Suroyo 32 ini dibangun oleh Pendeta Pati Rajawane pada tahun 1862, di bawah kepemimpinan Bupati Meijer, bupati pertama Probolinggo. Gereja Katolik Protestan ini mendapat sebutan sebagai gereja merah karena seluruh ornamen bangunan tersebut berwarna merah. Berdasarkan cerita dari pendeta gereja, sejarah warna merah adalah karena cat anti karat. Seluruh dinding luar gereja ini merupakan besi seng. Karena dikhawatirkan akan mengalami korosi, maka dinding seng harus dilapisi dengan cat anti korosi yang pada masa itu cat anti korosi hanya memiliki satu warna, yaitu merah. Karena sudah terkenal dengan sebutan Gereja Merah, maka hingga sekarang gereja tersebut selalu dicat dengan warna
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
merah, tidak dengan warna yang lain. Gereja dengan gaya Ghotic seperti ini hanya terdapat 2 buah di dunia. Satu terdapat di Belanda, sedangkan satu yang lain terdapat di Probolinggo. Gereja ini masih berfungsi hingga sekarang terutama pada saat hari besar umat kristiani seperti perayaan Hari Raya Natal (Gambar 5).
Pada tahun 2011 gedung ini berubah fungsi menjadi museum peninggalan benda-benda bersejarah Kota Probolinggo. Beberapa tampilan bangunan mengalami perubahan, yaitu bongkar pasang joglo yang ada di bagian depan bangunan, serta tiang penyangga atap di bagian depan yang pada awal dibangun merupakan besi sekarang diganti dengan pilar tembok dengan gaya Indische Empire Stijl dan bagian lainnya dikembalikan pada gaya arsitektur asli. •
Gambar 5. Gereja Merah •
Museum Probolinggo Gedung tua yang terletak di Jl. Suroyo nomor 17 Kota Probolinggo ini mempunyai arti yang cukup penting bagi perjalanan sejarah Kota Probolinggo. Ballroom merupakan nama pertama gedung ini pada saat dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1940-an, kemudian berubah menjadi Gedung Panti Budaya. Tapi sekitar tahun 1980-an namanya berubah menjadi Gedung Graha Bina Harja. Pada masa kolonial gedung ini digunakan untuk aktifitas orang-orang Belanda, di antaranya sebagai tempat pesta atau ruang dansa, juga sebagai tempat menggelar kesenian budaya. Pada tahun 1980-2010 gedung ini digunakan sebagai gedung serba guna, misalnya untuk pernikahan, pesta, pameran, seminar, dan lain-lain (Gambar 6).
Stasiun Kota Probolinggo Bangunan yang terletak di Jl. KH. Mansyur 48 Probolinggo ini, didirikan kurang lebih pada tahun 1820-1830. Hingga saat ini, bangunan telah berusia 182 tahun dengan kondisi fisik bangunan yang masih terjaga dengan baik. Ditinjau dari fisik bangunan, terdapat beberapa perubahan bentuk fisik bangunan sejak awal didirikan. Terdapat beberapa sekat berupa dinding tembok membentuk ruang yang berfungsi sebagai ruangan penjualan tiket kereta api. Selain itu juga terdapat konstruksi bangunan yang ditutup dengan dinding tembok sebagai sekat untuk membagi satu ruang dengan ruangan lain. Gaya Yunani yang diterapkan pada gevel dan bentuk lengkung pada ornamen jendela yang merupakan ciri khas gaya BaroqueRococo serta bentuk lengkung gaya Neoclassical pada ornamen pintu (Gambar 7).
Gambar 7. Stasiun •
Gambar 6. Perubahan Yang Sempat Dilakukan Pada Muka Bangunan Museum
Kodim 0820 Bangunan yang terletak di Jl. Panglima Sudirman dibangun pada tahun 1819. Pada masa itu bangunan ini merupakan rumah karesidenan Probolinggo. Baru pada tahun 1953 bangunan ini berubah fungsi menjadi kantor Komando Distrik Militer 0820 Kota Probolinggo. Meskipun sudah berganti fungsi bangunan, tetapi secara fisik tidak ada perubahan. Bangunan bergaya Indische Empire Stijl ini masih terlihat megah di tengah komplek ruko dan perkantoran dengan gaya bangunan modern (Gambar 8).
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
77
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
Gambar 8. KODIM 0820 Pada Awalnya Merupakan Rumah Karesidenan Probolinggo 3. Intensitas guna lahan Guna lahan pada kawasan pusat Kota Probolinggo merupakan kawasan yang heterogen. Persentase terbesar adalah tata guna lahan perumahan, yaitu sebesar 32,85 %, diikuti dengan guna lahan perdagangan dan jasa sebesar 17,50 %. Persentasi terkecil adalah guna lahan kesehatan yang hanya 0,28 % dari total keseluruhan luas wilayah pusat Kota Probolinggo. 4. Citra kawasan Perkotaan dibagi menjadi 4 komponen (Clerici, 1997), yaitu boundary, pattern, substance, dan hierarchy. Selain itu juga didukung dengan landmark yang menjadi salah satu identitas suatu kawasan. Berikut penjelasan lebih detail mengenai citra kawasan : A. Boundary Boundary merupakan sebuah batas dari sebuah wilayah atau kawasan. Batas dalam hal ini bias berupa fisik seperti jalan, rel kereta api, sungai dan sebagainya. Dalam penelitian ini batas wilayah studi ditentukan dengan bangunan terluar di Jalan Dr. Saleh, PB. Sudirman, Dr. Sutomo, dan KH. Mansyur. B. Pattern Pattern adalah tata letak jalur atau jalan dari sebuah komponen kawasan. Dalam penelitian ini pattern ditunjukkan dengan sebuah pola morfologi pusat Kota Probolinggo, yaitu sebuah pola grid yang simetris. Pola ini terbentuk pada masa kolonial yang berawal dari jalan poros yang terbentuk dari banteng/pos dagang – alunalun rumah asisten residen. C. Substance Susbtansi merupakan elemen fisik yang menjadi komposisi sebuah kawasan. Substansi dari wilayah studi dalam penenlitian ini adalah berbagai fungsi guna lahan yang ditunjukkan dengan analisis figure ground dan guna lahan. Konfigurasi ruang pada pusat Kota Probolinggo berbentuk 78
ground yang figuratif dengan kawasan kepadatan tinggi yang didominasi elemen solid dan elemen void sebagai sisa. Kawasan pusat Kota Probolinggo didominasi guna lahan perumahan 32,85 %, perdagangan jas 17,5 %, perkantoran 11,01 %. Hal ini menyebabkan wilayah studi memiliki KDB 91100 % sebanyak 88,3 % dan KLB 71-100 % sebesar 81 % (Gambar 9). D. Hierarchy Boundary, pattern, dan substance mengintepretasikan sebuah hirarki dalam sebuah kawasan. Hirarki tersebut memberikan identitas dalam sebuah tata ruang. Kombinasi antara pola dan substansi dari sebuah kawasan akan mengintepretasikan hirarki melalui lebar jalan, ketinggian bangunan, gaya arsitektural, atau lansekap. Sedangkan boundary memberikan sebuah batas antara karakter sebuah kawasan dengan kawasan yang lain (Gambar 10). E. Landmark Boundary, pattern dan substance hanya mengintepretasikan fisik dari sebuah kawasan. Dalam hal ini landmark berfungsi sebagai pembangkit imajinasi masyarakat terhadap sebuah nilai dan makna sebuah bangunan atau kawasan. Landmark pada wilayah studi dapat ditunjukkan pada bangunan Gereja Merah, Museum Probolinggo, dan KODIM 0820 dengan gaya bangunan Eropa yang memiliki nilai sejarah dan budaya sehingga bias menunjukkan identitas kawasan pusat Kota Probolinggo (Gambar 11). B. Perubahan Kawasan Kuno Bersejarah Perubahan kawasan pada wilayah studi dapat diketahui dengan analisis sinkronik-diakronik terhadap elemen citra kawasan (Gambar 12). Analisis sinkronik-diakronik merupakan metode analisis yang digunakan untuk melihat peristiwa simultan terhadap perubahan yang terjadi dalam perkembangannya. Peristiwa simultan yang dimaksud antara lain peristiwa yang disebabkan oleh aspek ekonomi, sosial-budaya, politik dan peristiwa yang terjadi bersamaan. Berdasarkan analisis sinkronik-diakronik elemen boundary dan pattern tidak mengalami perubahan yang signifikan. Batas pusat kota masih dibatasi oleh Jalan Dr. Saleh, Suroyo, dan Dr. Sutomo. Pola morfologi pusat kota masih tetap menggunakan pola grid simetris.
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
Gambar 9. Peta tata guna lahan
(a)
Gambar 10. Peta Hierarchy.
(b) Gambar 11. Landmark pusat Kota Probolinggo.
Keterangan: (a) Gereja Merah (b) Musem Probolinggo (c) KODIM 0820
Perubahan banyak terjadi pada substance kawasan, yaitu perubahan massa bangunan, gaya bangunan, serta KDB-KLB bangunan. Perubahan fungsi dan gaya bangunan sangat berpengaruh terhadap hirarki sebuah kawasan. Dominasi fungsi bangunan pada perkantoran dan perdagangan jasa membuat kawasan pusat kota Probolinggo sedikit kehilangan karaktersitik sejarahnya. Tetapi landmark pada kawasan ini berupa Gereja Merah, Museum Probolinggo, dan KODIM 0820 masih kokoh berdiri sebagai pembangkit imajinasi masyarakat terhadap nilai sejarah Kota Probolinggo.
(c)
C. Arahan Pelestarian Kawasan Kuno Bersejarah Batas wilayah dan pola morfologi Kota Probolinggo tidak mengalami perubahan signifikan dikarenakan sudah tidak bisa dikembangkan. Yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pelestarian kawasan adalah substance, hierarchy dan landmark kawasan. Perkembangan jaman akan mempengaruhi masa bangunan, gaya bangunan serta guna lahan. Perubahan guna lahan akan mempengaruhi gaya bangunan kolonial menjadi gaya bangunan yang lebih modern serta masa bangunan yang lebih padat. Landmark kawasan juga harus dijaga dan dilestarikan agar tetap menunjukkan nilai sejarah dan budya. Oleh karena itu harus ada perhatian khusus terhadap substance, hierarchy dan landmark kawasan demi menjaga identitas kawasan (Gambar 13).
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
79
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
Gambar 12. Tahapan perkembangan Kota Probolinggo kampung Arab, kampung Melayu, pecinan dan pribumi membentuk sebuah hirarki kota yang tertata. Pusat kota memiliki identitas tersendiri dengan karakter masa bangunan yang kurang dari 70% dan gaya bangunan Eropa. Selain itu pusat Kota Probolinggo merupakan pusat aktivitas dengan (Heerenstraat) Jalan Suroyo sebagai porosnya. Pada masa sekarang banyak perubahan yang terjadi pada kawasan pusat Kota Probolinggo. Perubahan kawasan dapat dilihat pada perubahan substansi kawasan, yaitu perubahan masa bangunan dan guna lahan. Hal ini disebabkan karena pusat kota secara tidak langsung menjadi lahan yang rentan terhadap kepentingan ekonomi. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 13. Arahan pelestarian kawasan KESIMPULAN Kota Probolinggo merupakan kota yang dibentuk dengan rencana yang matang, bukan terbentuk secara tidak sengaja. Pola grid simetris sengaja dibentuk oleh pemerintah Belanda dengan tujuan untuk kepentingan ekonomi karena letak Probolinggo yang strategis. Penataan blok permukiman bagi orang Eropa,
80
Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung. Alumni. Catanese, Anthony J. dan Snyder, James C. 1979. Pengantar Perencanaan Kota. Jakarta. Erlangga. Handinoto. 2010. Arsitektur Dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial. Yogyakarta. Graha Ilmu. Clerici, Anthony and Mironowicz, Izabela . Landmarks And Urban Change . http://www.cityfutures2009.com/PD F/69_Clerici_Anthon.pdf. (diakses pada 23 April 2012) Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta. Kanisius.
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014