KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II “PATOFISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN”
Fasilitator : Ika Nur Pratiwi, S.Kep., Ns., M.Kep Disusun Oleh : Kelompok 2 (Kelas AJ-2)
1. Nikmatul Fauziah
(131811123008) (131811123008)
2. Trias Isrichawati
(131811123013) (131811123013)
3. Nyoman Beni Icuk A.
(131811123016) (131811123016)
4. Regina Soares Da Costa (131811123037) 5. Yotide Aventus I
(131811123039)
6. Kartika Fatmawati
(131811123064)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2019
1. Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan manusia adalah sebuah sistem yang membantu manusia dalam mencerna makanan dan minuman yang dikonsumsinya menjadi zat yang lebih mudah dicerna oleh tubuh dan diambil berbagai kandungan di dalamnya yang berguna untuk organ dalam dan bagian tubuh secara keseluruhan. Dalam pengertian lain. Sistem pencernaan adalah proses perubahan makanan dan penyerapan sari makanan yang berupa nutrisi- nutrisi yang dibutuhkan tubuh dengan bantuan enzim yang memcah molekul makanan kompleks menjadi sederhana sehingga mudah dicerna tubuh. Proses pencernaan makanan adalah proses pemecahan zat-zat makanan sehingga
dapat
diabsorpsi
oleh
saluran
pencernaan.
Berdasarkan
proses
pencernaannya dapat dibedakan menjadi proses mencerna makanan secara mekanis, enzimatis, dan mikrobiotis.
Hasil akhir proses pencernaan pencernaan adalah adalah terbentuknya terbentuknya
molekul-molekul atau partikel-partikel makanan yakni: glukosa, asam lemak, dan asam amino yang siap diserap (absorpsi) oleh mukosa saluran pencernaan. Selanjutnya, partikel-partikel makanan tersebut dibawa melalui sistem sirkulasi (tranportasi) untuk diedarkan dan digunakan oleh sel-sel tubuh sebagai bahan untuk proses metabolisme (assimilasi) sebagai sumber tenaga (energi), zat pembangun (struktural), dan molekul-molekul fungsional (hormon, enzim) dan keperluan tubuh lainnya.
2.
Fungsi Sistem Pencernaan
Fungsi saluran cerna berdasarkan publikasi M. Juffrie (2018) dibagi menjadi empat, antara lain : a. Motilitas Melibatkan kontraksi otot polos yang bertujuan untuk mendorong makanan melalui saluran cerna dan mencampur makanan dengan jus digesti guna memfasilitasi proses digesti serta absorpsi. Secara berurutan, motilitas saluran cerna mencakup proses ingesti (memasukkan makanan ke dalam mulut), mastikasi (mengunyah), deglutisi (menelan), gerakan peristaltik (gerakan ritmis saluran cerna), dan segmentasi (proses pencampuran di dalam usus). b.
Sekresi (jus digestif) Terdiri atas enzim, garam empedu, mukus, cairan, serta elektrolit yang dihasilkan dan dilepaskan oleh kelenjar eksokrin ke dalam saluran cerna. Pada
umumnya, molekul makanan terlalu besar untuk diserap secara langsung l angsung sehingga perlu diuraikan dengan bantuan enzim. Dalam menjalankan fungsinya, kerja enzim dapat dibantu oleh zat-zat lain, seperti asam klorida yang dihasilkan lambung, garam empedu ataupun natrium bikarbonat yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Sekresi asam klorida dan natrium bikarbonat terjadi melalui pertukaran ion antara sel dan lumen saluran cerna. Adapun mukus atau musin diproduksi oleh kelenjar ludah dan berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh nonspesifik, asimilasi, dan sebagai pemicu pelepasan neurotransmiter (asetilkolin), neuropeptida, dan sitokin. c.
Digesti Pemecahan atau penguraian nutrien secara fisik dan kimia menjadi bentuk atau unit yang dapat diserap. Digesti secara fisik mencakup proses pengunyahann dan pencampuran, sedangkan digesti kimia adalah penguraian makanan dengan bantuan atau katalisasi enzim. Contoh proses digesti kimia adalah penguraian polisakarida menjadi monosakarida dengan bantuan enzim amilase dan disakaridase, pemecahan protein menjadi asam amino dengan bantuan berbagai enzim protease (pepsin, tripsin, kemotripsin), dan pemecahan lemak menjadi asam lemak dan gliserol dengan bantuan lipase.
d. Absorpsi Yaitu proses pemindahan atau transfer zat makanan terdigesti dari lumen usus melalui epitel untuk selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah dan limfa. Kemudian terjadi egesti (defekasi) yaitu proses eleminasi zat-zat sisa yang tidak tercerna, juga bakteri, dalam bentuk feses dari saluran pencernaan. 3.
Proses Pencernaan pada Organ Saluran Pencernaan
a. Mulut (cavum oris)
Setelah seseorang melakukan seleksi makanan dengan bantuan indra penglihatan dan penciuman, proses pencernaan dimulai di dalam mulut dan diawali dengan ingesti, yaitu memasukkan makanan ke dalam rongga mulut. Pada saat makanan kontak dengan lidah, taste bud akan mendeteksi komposisi kimia zat makanan. Proses ingesti dilanjutkan dengan mastikasi atau gerakan mengunyah, yaitu digesti fisik oleh gigi dan lidah serta proses digesti kimia oleh saliva.
Gigi merupakan organ pertama yang melakukan digesti mekanis. Pertama, makanan digigit oleh gigi depan (incisura), kemudian gigi taring (kanina) memecah makanan menjadi bagian kecil. Selanjutnya, makanan dipotong menjadi bagian lebih kecil lagi oleh gigi premolar. Setelah itu, gigi molar menggiling makanan sebagai akhir dari proses digesti mekanis di rongga mulut. Gigi geligi sangat kuat, gigi depan yang memecah dan menggiling makanan bisa mengeluarkan kekuatan sampai 40 kg, sedangkan gigi molar mempunyai kekuatan menggilas hingga 50 - 125 kg. k g. Kunyahan gigi meningkatkan luas permukaan makanan sehingga penetrasi enzim digesti yang terkandung dalam saliva menjadi lebih mudah. Selain itu, lidah turut membantu gerakan ke depan, belakang, dan samping untuk mengoptimalkan pencampuran makanan dengan saliva. Tidak hanya memecah makanan, digesti mekanis juga merangsang impuls saraf yang memicu sekresi cairan lambung dan mempersiapan proses menelan. Bersamaan dengan proses mengunyah, tiga pasang kelenjar ludah di mulut menghasilkan saliva. Saliva mengandung enzim amilase atau ptyalin yang berfungsi untuk memecah zat tepung menjadi maltosa serta mengandung lisozim (lysozyme) yang dapat mencerna dinding sel bakteri sehingga berfungsi dalam pertahanan tubuh terhadap kuman. Setelah proses digesti mekanis dan kimia di rongga mulut, lidah akan memindahkan bolus-bolus makanan ke dalam faring sebagai langkah awal menelan (Juffrie, 2018). Gejala adanya gangguan mulut dapat disebabkan oleh berbagai hal, berikut beberapa gangguan yang ada ada pada mulut : 1) Xerostomia Merupakan istilah bagi penyakit pada rongga mulut yang ditandai dengan rendahnya produksi air ludah. Kondisi ini terjadi akibat gangguan pada sekresi saliva yakni kurang dari 1,5 L dalam 24 jam. Kondisi mulut yang kering membuat makanan kurang tercerna dengan baik. 2) Parotitis Parotitis atau penyakit gondok yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang kelenjar air ludah di bagian bawah telinga akibatnya kelenjar air ludah menjadi bengkak atau membesar. Kondisi ini menyebabkan perubahan sekresi saliva baik enzim dan zat lainnya. Hal ini menyebabkan makanan tidak tercerna dengan baik.
3) Karies gigi Karies gigi merupakan penyakit yang terdapat pada jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum yang mengalami proses kronis regresif. Karies gigi terjadi karena adanya interaksi antara bakteri di permukaan gigi, plak atau biofilm dan diet, terutama komponen karbohidrat yang dapat difermentasikan oleh bakteri plak menjadi asam, terutama asam laktat dan asetat. Kondisi ini dapat menghambat proses mekanis, sehingga proses mpemecahan bahan makanan menjadi kurang maksimal. 4) Gingivitis Gingivitis
merupakan
penyakit
radang
gusi
yang
mengalami
pembengkakan pada mulut sebab kurang terjaganya kebersihan mulut sehingga menyebabkan adanya karang – karang gigi atau plak yang menumpuk dan berbatasan dengan tepi gusi. 5) Glositis Glositis merupakan penyakit radang pada lidah dimana keadaannya di dalam mulut biasanya ditunjukkan dengan adanya pembengkakan di lidah, jika kasusnya lebih parah mampu memicu penyumbatan pernafasan pada saat lidah membengkak yang sangat parah. Kondisi ini dapat mempengaruhi fungsi lidah untuk mendorong makanan menuju faring. Sehingga makanan tidak dapat tercerna dengan maksimal. b. Tenggorokan (Faring)
Faring merupakan penghubung antara rongga mulut dan esofagus yang menjadi tempat transisi pergerakan makanan secara volunter (di bawah kendali sadar) menjadi gerakan involunter. Refleks menelan atau deglutisi yang terjadi di faring akan mendorong makanan melalui esofagus menuju lambung. Selain berfungsi untuk mentranspor makanan dan air ke dalam lambung, faring dan esofagus dan juga mensekresi mukus. Pada saat menelan makanan saluran udara ditutup oleh epiglotis dan sebaliknya jika sedang menghirup nafas. Makanan yang telah di cerna dengan bantuan lidah akan di dorong melewati faring menuju esofagus. Gejala adanya gangguan faring meliputi : 1)
Faringitis Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring atau dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya merupakan
bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau ata u bagian dari influenza (rinofaringitis) yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, trauma, dan toksin. 2)
Ca Nasofaring Ca nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari Fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa.
3)
Faring Hiperemis Terjadi karena pelebaran pembuluh darah di sekitar faring sebagai respon terhadap inflamasi akibat infeksi lokal pada faring atau penyebaran infeksi dari daerah di sekitarnya.
4)
Tonsilofaringitis Tonsilofaringitis menrupakan peradangan pada tonsil dan faring yang masih bersifat ringan yang pada umumnya terjadi pada anak-anak.
5)
Tonsilitis Tonsilitis adalah massa jaringan limfoid yang terletak di rongga faring. Dengan adanya tonsilitis berulang, seringkali jaringan limfoid tonsil membesar.
c. Kerongkongan (Esofagus) (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Proses pemindahan makanan sejak ditelan hingga mencapai lambung membutuhkan waktu kurang-lebih selama 8 detik. Sebagian besar waktu tersebut dihabiskan untuk proses turunnya makanan melewati esofagus, sedangkan cairan murni dapat turun ke esofagus hanya dalam waktu 1 detik atau delapan kali lebih cepat dibandingkan makanan lunak. Makanan turun melewati esofagus dengan bantuan gerakan peristaltik. Peristaltik merupakan gelombang gerakan yang cukup kuat dan bekerja seperti gaya gravitasi. Bahkan, dalam kondisi tanpa gravitasi, manusia masih dapat
menelan
kurang-lebih
setengah
ons
makanan.
Adanya
bolus
merelaksasi otot sfingter distal ini sejenak sehingga memungkinkan bolus masuk ke dalam lambung. Di kerongkongan, zat makanan tidak mengalami pencernaan (Juffrie, 2018).
Gejala adanya gangguan esofagus adalah disfagia, kesadaran subyektif adanya gangguan transpor bahan yang dimakan, pirosis atau nyeri ulu hati, odinofagia, nyeri akibat menelan dan regurgitasi yaitu aliran balik isi lambung ke dalam rongga mulut. Beberapa gangguan pada esofagus meliputi : 1)
Barret Esofagus Esofagus Barrett merupakan perubahan mukosa esophagus atau metaplasia dari epitel skuamosa menjadi columnar, yang merupakan komplikasi dari refluks esophagus berat, dan merupakan faktor risiko terjadinya adenocarcinoma. Metaplasia epitel columnar
terjadi pada
masa penyembuhan erosive esofagitis dengan reflux asam lambung ang masih berlanjut, oleh karena epitel columnar lebih resisten terhadap kerusakan akibat asam & pepsin dibandingkan dibandingkan epitel squamosa. Barrett epitel berkembang menjadi diplasia sebelum berkembang menjadi adenocarcinoma. 2)
Eosinofilik esofagitis Merupakan gangguan dimana terjadi infiltrasi eosinofil pada mukosa superfisial esophagus yang berhubungan dengan alergi makanan dan kondisi atopi seperti asma, dermatitis atropi, rhinitis alergika dan sering bersamaan dengan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
3)
Esofagitis refluks Esofagitis refluks merupakan proses inflamasi pada esofagus akibat refluks gastroesofagus.
4)
Ca esophagus Merupakan karsinoma yang berasal dari epitel berlapis gepeng yang melapisi lumen esophagus.
d. Lambung
Makanan masuk ke dalam lambung dengan membukanya orifisium kardia. Di dalam lambung, terjadi proses digesti fisik dan kimia yang akan menghasilkan chyme atau kimus (massa homogen setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum. Ketiga enzim yang terkandung di dalam cairan lambung (gastric juice) bercampur dengan makanan melalui proses mekanis, yaitu kontraksi dan
relaksasi lambung. Setiap gerakan peristaltik peristaltik dapat mengosongkan mengosongkan 3/100 ons isi lambung. Protein dicerna dalam suasana asam, sedangkan lemak membutuhkan suasana netral. Air dan cairan meninggalkan lambung paling cepat. Pengosongan karbohidrat paling cepat dibandingkan protein atau lemak, sedangkan protein meninggalkan lambung lebih cepat dibandingkan lemak (Juffrie, 2018). Menurut Raimundus C (2016), tahapan sekresi lambung sesuai dengan regia tempat terjadinya stimulus, faktor saraf dan hormon terlibat adalah sebagai berikut : Tahap sefalik terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan ke dalam mulut atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan, dapat merangsang sekresi lambung. Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa lambung dan memicu refleks lambung. Serabut aferen parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung untuk menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim pencernaan, dan gastrin. Asam amino dan protein dalam makanan yang separuh tercerna dan zat kimia (alkohol dan kafein) juga meningkatkan sekresi lambung melalui refleks lokal. Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang dihasilkan duodenum. Hormon ini, yang dibawa dalam sirkulasi menuju lambung, disekresi sebagai respons terhadap asiditas lambung dengan pH di bawah 2 dan jika ada makanan berlemak. Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP), sekretin, kolesistokinin (cholecystokinin [CCK]), dan hormon pembersih enterogastron. Adapun proses digesti dalam lambung menurut Raimundus C (2016), yaitu cairan lambung memicu digesti protein dan lemak. 1) Digesti protein. Pepsinogen (disekresi sel chief) diubah menjadi pepsin oleh asam klorida (disekresi sel parietal). Pepsin adalah enzim proteolitik, yang hanya dapat bekerja dengan pH di bawah 5. Enzim ini menghidrolisis protein menjadi polipeptida. 2) Lemak. Lipase lambung (disekresi sel chief) menghidrolisis lemak susu menjadi asam lemak dan gliserol, tetapi aktivitasnya terbatas dalam kadar pH yang rendah. 3) Karbohidrat. Amilase dalam saliva yang menghidrolisis zat tepung bekerja pada pH netral. Enzim ini terbawa bersama bolus dan tetap
bekerja dalam lambung sampai asiditas lambung menembus bolus. Lambung tidak mensekresi enzim untuk mencerna karbohidrat. Mual dan muntah adalah gejala penyerta yang lazim pada gangguan gastrointestinal dan terjadi dalam tiga stadium. Yang pertama adalah mual yaitu perasaan yang sangat tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium. Fase berikutnya adalah retching yaitu usaha untuk muntah secara involunter. Stadium terakhir adalah muntah yaitu refleks yang menyebabkan ekspulsi isi lambung melalui mulut. Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung. Dua tipe yang tersering adalah superfisial akut dan atrofik kronik. Gastritis akut adalah penyakit jinak yang sering terjadi disebabkan oleh beragam faktor mencakup infeksi H.Pylori dan iritan lokal seperti kafein, alkohol atau aspirin. Gastritis atrofik kronik dicirikan dengan atrofi progresif epitel kelenjar, hilangnya sel chief dan parietal dan hipokhlorhidria atau akhlorhidria. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang rata. Gastritis kronis tipe A dianggap sebagai penyakit autoimun yang tidak lazim berkaitan dengan hilangnya faktor intrinsik dan anemia pernisiosa. Gastritis kronis tipe B tidak berkaitan dengan anemia permisiosa dan biasanya disebabkan oleh infeksi H. Pylori. Ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluassampai di bawah bawah epitel. Ulkus kronis (berbeda dengan ulkus akut) memiliki jaringan parut di dasarnya. Getah lambung assam murni mampu mencerna
semua
jaringan
hidup.
Mukus
lambung
(mengandung
prostaglandin) dan sawar epitel melindungi supaya lambung tidak tercerna. Sawar mukosa lambung juga mencegah difusi balik H+ dari lumen ke darah. Bila permeabilitas sawar epitel mengalami gangguan terjadi aliran balik HCl yang mengakibatkan cedera pada jaringan yang mendasari. Mukosa menjadi edema dan protein plasma dapat hilang. Mukosaa kapiler dapat rusak, menyebabkan terjadinya hemoragia interstisial dan perdarahan. Destruksi sawar mukosa lambung dianggap sebagai faktor utama dalam patogenesis ulkus peptikum. Erosi lambung atau duodenum yang terjadi sebagai sekuele dari stress fisiologis yang lama disebut sebagai ulkus stres dan terbagi menjadi dua
kelompok. Ulkus Chusing berkaitan dengan cedera otak yang serius dan dicirikan dengan hiperasiditas bermakna. Erosi lambung berkaitan dengan syok, sepsis, luka bakar dan obat, tidak ditandai dengan hipersekresi asam lambung. Ulkus stres yang berkaitan denggan cedera luka bakar disebut ulkus Curling. Faktor etiologi utama dalam terjadinya ulkus stres diduga akibat iskemia mukosa lambung. e. Pankreas
Sel-sel endokrin (pulau-pulau Langerhans) pankreas mensekresi hormone insulin dan glukogen. Sel-sel eksokrin (asinar) mensekresi enzim-enzim pencernaan dan larutan berair yang mengandung ion bikarbonat dalam konsentrasi tinggi. Sekretin akan dilepas jika kimus asam memasuki usus dan mengeluarkan sejumlah besar cairan berair yang mengandung natrium bikarbonat. Bikarbonat menetralisir asam dan membentuk lingkungan basa untuk kerja enzim pankreas dan usus. Komposisi getah pankreas. Cairan pankreas mengandung enzim-enzim untuk mencerna protein, karbohidrat, karbohidrat, dan lemak. Tripsinogen diaktivasi menjadi tripsin oleh enterokinase yuntuk mencerna protein dan polipeptida besar untuk membentuk polipeptida dan peptida yang lebih kecil. Kimotripsin teraktivasi dari kimotripsinogen oleh tripsin kimotriptida memiliki fungsi yang sama seperti tripsin terhadap protein. Karboksipeptidase, aminopeptidase dan dipeptidase adalah enzim yang melanjutkan proses pencernaan protein untuk menghasilkan asam amino bebas. Lipase pancreas menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol setelah lemak diemulsi oleh garam-garam empedu. Amilase pancreas menghidrolisis zat tepung yang tidak tercerna oleh amilase saliva menjadi disakarida
(maltosa,
sukrosa,
dan
laktosa).Ribonuklease
dan
deoksribonuklease menghidrolisis RNA dan DNA menjadi blok-blok pembentuk nukleotidanya. f. Hati dan Empedu
Hati menghasilkan empedu yang yang kemudian dibawah ke ke usus kecil untuk mengemulsikan lemak. Emulsifikasi adalah pemecahan gumpalan lemak menjadi tetesan lemak yang lebih kecil, yang menambah daerah permukaan dimana enzim pencernaan lemak (lipase) dapat bekerja. Empedu juga bersifat basa dan berfungsi menetralkan HCl di dalam kimus. Hati mensintesis
albumin, globulin (kecuali imunoglobin), fibrinogen dan faktor pembekuan, menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen dan juga menyimpan besi dan vitamin A, B12, D, E dan K, ekskresi, hormon, obat dan pigmen empedu dari pemecahan
hemoglobin
di
ekskresikan
di
empedu,
metabolisme
karbohidrat,lipid, dan protein. Gangguan pada organ pankreas, hati dan empedu 1)
Hepatitis Hepatitis adalah peradangan pada hati karena toxin, seperti kimia atau obat maupun agen penyebab infeksi.
2)
Batu empedu Batu empedu adalah kondisi mengerasnya mengerasnya lemak yang ditemukan ditemukan di dalam kantung empedu.
3)
Kolesistitis (peradangan pada kantung empedu) Kolesistisis merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu.
4)
Pankreatitis Merupakan suatu penyakit inflamasi pada pankreas yang ditandai dengan fibrosis pankreas yang persisten dan progresif serta menimbulkan kerusakan jaringan eksokrin dan endokrin.
g. Usus Halus
Usus halus mengakhiri proses pencernaan makanan yang di mulai di mulut dan di lambung. Proses ini di selenggarakan oleh enzim usus dan enzim pankreas serta dibantu empedu dalam hati. Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti. Absorpsi dalam usus halus menurut Raimundus C (2016), antara lain : 1) Digesti oleh enzim usus. Enzim-enzim usus melengkapi proses pencernaan kimus sehingga produk tersebut dapat langsung dan dengan mudah terserap. a) Enterokinase mengaktivasi tripsinogen pankreas menjadi tripsin, yang kemudian mengurai protein dan peptida menjadi peptida yang lebih kecil. b) Aminopeptidase, tetrapeptidase, tripeptidase, dan dipeptidase mengurai peptida menjadi asam amino bebas.
c) Amilase usus menghidrolisis zat tepung menjadi disakarida (maltosa, sukrosa, dan laktosa). d) Maltase, isomaltase, laktase, dan sukrase memecah disakarida maltosa, laktosa, dam sukrosa, menjadi monosakarida (gula sederhana). e) Lipase usus memecah monogliserida menjadi asam lemak dan gliserol. 2) Jalur absorptif. Produk-produk digesti (monosakarida, asam amino, asam lemak, dan gliserol juga air, elektrolit, vitamin, dan cairan pencernaan diabsorpsi menembus membran sel epitel duodenum dan yeyunum. Hanya sedikit absorpsi yang berlangsung dalam ileum kecuali untuk garam-garam empedu dan vitamin B12. 3) Mekanisme transport absorpsi meliputi difusi, difusi terfasilitasi, transport aktif, dan pinositosis. Mekanisme utama adalah transpor aktif. Zat-zat yang ditranspor dari lumen usus ke darah atau limfe harus menembus sel-sel dan cairan interselular berikut: 4) Absorpsi karbohidrat. Setiap gula sederhana dipercaya memiliki mekanisme transpornya sendiri. Gula bergerak dari usus menuju jarring jaring kapilar vilus dan dibawa menuju hati hati oleh vena portal hepatika. 5) Absorpsi protein. Tranpor aktif asam amino ke dalam sel-sel usus juga berlangsung bersamaan dengan transport aktif natrium, dengan sistem carrier yang terpisah untuk asam amino berbeda. Dari kapilar vilus, asam amino dibawa ke hati. 6) Absorpsi lemak. Asam lemak larut lipid dan gliserol diabsorpsi dalam bentuk micelle, yaitu suatu globulus sferikal garam empedu yang menggiling bagian berlemak. Micelle membawa asam lemak dan monoglikoserida menuju sel epitel, tempatnya dilepas dan diabsorpsi melalui difusi pasif menuju membran sel usus. 7) Absorpsi air, elektrolit, dan vitamin a) Hanya 0,5 L dari 5 L sampai 10 L cairan yang ada dalam usus halus yang mencapai usus besar. b) Ion dan zat renik diabsorpsi melalui difusi atau transport t ransport aktif. yaitu: Gangguan pada organ usus 1)
Apendiksitis
Apendiksitis atau infeksi usus buntu dapat merembet sampai ke usus besar dan menyebabkan radang selaput rongga rongga perut. (Usus besar) 2)
Konstipasi Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. Sembelit terjadi jika kim (bubur makanan) masuk ke usus dengan sangat lambat. Akibatnya, air terlalu banyak diserap usus, maka feses menjadi keras dan kering.
3)
Diare Diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret) sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam). Penyebab diare antara lain ansietas (stres), makanan tertentu, atau organisme perusak yang melukai dinding usus. Diare dalam waktu lama menyebabkan hilangnya air dan garam-garam mineral, sehingga terjadi dehidrasi.
4)
Kolitis pseudomembran Merupakan peradangan usus besar yang disebabkan oleh bakteri Clostridium difficile. (Usus besar)
5)
Typoid Merupakan penyakit infeksi akut yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella thypi. thypi. (Usus Halus)
h. Usus Besar
Begitu materi dalam saluran pencernaan masuk ke usus besar, sebagian besar nutrien telah dicerna dan diabsorpsi dan hanya menyisakan zat-zat zat-z at yang tidak tercerna. Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal. Apendiks vermiform, suatu tabung buntu yang sempit berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum. Ciri khas gerakan usus besar adalah pengadukan haustral. Gerakan meremas yang tidak progresif ini menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik sehingga memberikan waktu untuk terjadinya absorpsi. Peristalsis mendorong feses ke dalam rektum dan menyebabkan peregangan dinding rektum dan aktivitas refleks defekasi. Usus besar mengabsorpsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat. Usus besar mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses. Air mencapai 75% sampai
80% feses. Sepertiga materi padatnya adalah bakteri dan sisanya yang 2% sampai 3% adalah nitrogen, zat sisa organik dan anorganik dari sekresi pencernaan, serta mukus dan lemak. Feses juga mengandung sejumlah materi kasar, atau serat dan selulosa yang tidak tercerna. Warna coklat berasal dari pigmen empedu; bau berasal dari kerja bakteri. Gangguan pada organ anus dan rektum 1)
Hemoroid Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal
2)
Fisura ani (Ulkus anus) Fisura ani erupakan suatu robekan atau luka dengan nanah pada daerah anus dekat perbatasan dengan kulit.
4. Mekanisme Persyarafan Persyarafan dan Endokin Saluran Cerna
Sistem persarafan saluran cerna merupakan bagian dari sistem saraf otonom yang terdiri dari jaring-jaring neuron yang mengatur fungsi saluran cerna. Proses pencernaan melibatkan tiga fase persarafan, yaitu fase sefalik, gastrik, dan intestinal. Fase sefalik berawal proses sensorik yang diperantarai oleh nervus vagus. Rangsangan terhadap nervus vagus oleh penglihatan, penciuman, dan kontak makanan akan memicu sekresi asetilkolin (ACH). Asetilkolin selanjutnya merangsang sel chief, sel parietal, dan sel G di dalam lambung untuk berturut-turut menghasilkan asam, pepsinogen, dan gastrin. Selain itu, nervus vagus juga berfungsi untuk memperantarai sekresi pankreas. Fase gastrik diawali dengan masuknya makanan ke dalam lambung yang menstimuli reseptor karbohidrat dan protein. Adapun fase intestinal adalah kontrol saraf terhadap pergerakan usus dan sekresi enzim. Mekanisme stimuli melibatkan dua jenis refleks, yaitu refleks pendek (stimulasi efektor secara langsung oleh makanan) dan refleks panjang (makanan menstimulasi nervus vagus yang selanjutnya merangsang efektor untuk mengeluarkan ACH).
Refleks endokrin juga berperan dalam proses pencernaan. Jika ada stimulus berupa makanan, lambung akan mengalami distensi dan mensekresi asam lambung yang memicu reseptor dan integrator di sel endokrin lambung atau usus. Informasi dari reseptor dan integrator selanjutnya diteruskan ke saraf eferen untuk merangsang sekresi hormon gastrointestinal. Hormon gastrointestinal kemudian merangsang efektor di sel otot polos, kelenjar eksokrin, dan sistem saraf untuk melakukan kontraksi, sekresi atau sintesis, dan memicu rasa lapar (Juffrie, 2018).
Enzim
Sumber Sekresi
Aksi
Karbohidrat Amilase saliva
Kalenjar saliva
(ptialin)
Amilase pankreas
Zat tepung
Zat tepung
Pankreas
Maltase
Usus halus
Sukrase
Usus halus
Laktase
Usus halus
Maltosa
→
Disakarida dan
→
Maltose Maltosa
Glukosa
→
Sukrosa
Glukosa
dan
Glukosa
dan
→
fruktosa Laktosa
→
galaktosa
Protein
Pepsin
Tripsin
Kimotripsin
Peptidase
Lambung
(Pepsinogen
diaktivasi oleh HCL lambung) Pankreas
Polipeptida
→
(Tripsinogen Protein dan peptida
diaktivasi oleh enterokinase) Pankreas
Protein
Peptida
→
yang lebih kecil
(Kimotripsinogen Protein dan peptida
diaktivasi oleh tripsin)
yang lebih kecil
Usus halus
Dipeptida
→
Peptida
→
Asam amino
Lemak
Lipase pankreas
Lipase usus
Pankreas
(dengan
empedu) Usus
halus
empedu)
garam
Trigesirida
Monogliserida
→
dan asam lemak (dengan
garam Monogliserida
→
lemak dan gliserol
Asam
5. Penyakit Sistem Pencernaan
Gangguan saluran pencernaan ialah suatu kelainan atau penyakit pada jalan makanan/pencernaan. Penyakit pada sistem pencernaan yaitu kelainan pada kerongkongan (eshopagus), lambung (gaster), usus halus (intestinum), usus besar (colon), hati (liver), saluran empedu (traktus biliaris) dan pankreas (Sujono Hadi, 2002). Terdapat 5 penyakit yang sering terjadi pada sistem pencernaan yaitu diare, gastritis, thypoid, apendiks, dan kanker usus. No. Penyakit
Epidemologi
1.
Diare
10. 128.256 Jiwa
2.
Gastritis
274. 369 Jiwa
3.
Thypoid Thypoid
800-100.000 jiwa
4.
Apendiks
179.000 jiwa
5.
Kanker Usus
18.000 jiwa
(Sumber : Riskesdas 2014-2016) A. Diare a. Definisi
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret) sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam). Ingat, dua kriteria penting harus ada yaitu BAB cair dan sering, jadi misalnya buang air besar sehari tiga kali tapi tidak cair, maka tidak bisa disebut daire. Begitu juga apabila buang air besar dengan tinja cair tapi tidak sampai tiga kali dalam sehari, maka itu bukan diare. Pengertian Diare didefinisikan sebagai inflamasi pada membran mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare, muntahmuntah yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit (Betz, 2009). Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi feses selama dan frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes, 2009).
b. Etiologi
Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme atau toksin melalui mulut. Kuman tersebut dapat melalui air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan penderita yang telah terkontaminasi. Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena infeksi dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi karbohidrat, disakarida (inteloransi laktosa, maltosa, dan sukrosa) monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Penyebab utama oleh virus adalah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya ialah virus norwalk, astrovirus, calcivirus, coronavirs, minirotavirus, dan virus bulat kecil (Depkes RI, 2005). Diare karena virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya beberapa hari (3- 4 hari) dapat sembuh tanpa pengobatan (selft limiting disease). Penderita akan sembuh kembali setelah enetrosit usus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru dan normal serta sudah matang, sehingga dapat menyerap dan mencerna cairan serta makanan dengan baik. Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah bakteri non invasif dan bakteri invasif. Termasuk dalam golongan bakteri noninfasif adalah: Vibrio cholerae, E.colli patogen (EPEC, ETEC, EIEC), sedangkan golongan bakteri invasif adalah Salmonella sp. Diare karena bakteri invasif dan noninvasif terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transport ion dalam sel-sel usus berikut ini: cAMP (cyclic Adenosin Monophosphate), cGMP (cyclic Guanosin Monophosphate), Cadependet dan pengaturan ulang sitoskeleton (Mandal et al,., 2004). c. Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai berikut: 1) Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik 2) Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik 3) malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak 4) Defek sistem pertukaran anion atau transpot elektrolit aktif di enterosit 5) Motilitas dan waktu transit usus abnormal 6) Gangguan permeabilitas usus 7) Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik
8) Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi (Setiawan, 2006). Diare osmotik disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang dikarenakan oleh obat-obatan atau zat kimia yang yang hiperosmotik, malabsorbsi umum dan defek dalam absorbsi mukosa usus misal pada defisiensi disararidase, malabsorbsi glukosa atau galaktosa (Sudoyo, 2006). Diare sekretorik disebabkan karena meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorbsi. Yang khas pada diare tipe sekretorik secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Penyebab dari diare ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera, atau Eschersia colli (Setiawan, 2006). Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan atau produksi micelle empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier hati (Ellen et al,. 2007). Defek sistem pertukaran anion/transpor elektrolit aktif di enterosit; diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif NA+ K + ATP ase di enterosit dan diabsorbsi Na+ dan air yang abnormal (Ellen et al,. 2007). Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain: diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Elain et all., 2008). Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus (Setiawan, 2006). Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen, gangguan absorbsi air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi (disentri Shigella) atau noninfeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Chron) . (Setiawan, 2006) 2006) Diare infeksi; infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dilihat dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut diare toksigenik. Contoh diare toksigenik adalah kolera. Enterotoksin yang dihasilkan
kuman Vibrio cholera atau eltor merupakan protein yang dapat menempel pada epitel usus, yang lalu membentuk adenosin monofosfat siklik (AMF siklik) di dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme absorbsi ion natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion, kalium) dapat dikompensasi oleh meningginya absorbsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium dan ion bikarbonat, klorida. kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding sel usus (Setiawan, 2006).
B. Gastritis a. Definisi
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung (Mansjoer dkk, 2011), sedangkan menurut (Andra dan Yessie, 2013) Gastritis adalah peradangan lokal atau menyebar pada mukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung yang diakibatkan oleh diet yang tidak benar, atau makanan yang berbumbu atau mengandung mikroorganisme penyebab penyakit ( Brunner and Suddarth, 2016). b. Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan gastritis, seperti merokok, jenis obat, alkohol, bakteri, virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi atau intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam empedu, iskemia dan trauma langsung (Muttaqin, 2011). Faktor
obat-obatan
yang
menyebabkan
gastritis
seperti
OAINS
(Indomestasin, Ibuprofen, dan Asam Salisilat), Sulfonamide, Steroid, Kokain, agen kemoterapi (Mitomisin, 5-fluoro-2- deoxyuridine), Salisilat dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa lambung (Sagal, 2006). Hal tersebut menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. l ambung. Hal tersebut terjadi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan gastritis dan peptic ulcer (Jackson, 2006). Faktor-faktor penyebab gastritis lainnya yaitu minuman beralkohol, seperti whisky, vodka dan gin. Alkohol dan kokain dapat mengiritasi dan
mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal sehingga, dapat menyebabkan perdarahan (Wibowo, 2007). Penyebab gastritis paling sering yaitu infeksi oleh bakteri H. Pylori, namun dapat pula diakibatkan oleh bakteri lain seperti H. heilmanii, Streptococci, Staphylococci, Protecus species, Clostridium species, E.coli, Tuberculosis dan Secondary syphilis (Anderson, 2007). Gastritis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti Sitomegalovirus. Infeksi jamur seperti Candidiasis, Histoplasmosis dan Phycomycosis juga termasuk penyebab dari gastritis (Feldman,2001). Gatritis dapat terjadi pada kondisi refluks garam empedu (komponen penting alkali untuk aktivasi enzimenzim gastrointestinal) dari usus kecil ke mukosa lambung sehingga menimbulkan respons peradangan mukosa (Mukherjee, 2009). Terjadinya iskemia, akibat penurunan aliran darah ke lambung, trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan antara agresi dan mekanisme pertahanan untuk menjaga integritas mukosa, yang dapat menimbulkan respons peradangan pada mukosa lambung (Wehbi, 2008). Penyebab gastritis akut menurut Price (2006) adalah stres fisik dan makanan, minuman. Stres fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal nafas, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat dan refluks usus-lambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan gangguan pada produksi mukus dan fungsi sel epitel lambung l ambung Mekanisme terjadinya ulcer atau luka pada lambung akibat stres adalah melalui penurunan produksi mukus pada dinding lambung. c. Patofisiologi a) Gastritis Akut
Zat iritasi yang masuk ke dalam lambung akan mengiitasi mukosa lambung. Jika mukosa lambung teriritasi ada 2 hal yang akan terjadi : 1.
Karena terjadi iritasi mukosa lambung sebagai kompensasi lambung. Lambung akan meningkat sekresi mukosa yang berupa HCO3, di lambung HCO3 akan berikatan dengan NaCL sehingga menghasilkan HCI dan NaCO3. Hasil dari penyawaan tersebut akan meningkatkan asam
lambung.
Jika
asam
lambung
meningkat
maka
akan
meningkatkan mual muntah, maka akan terjadi gangguan nutrisi cairan & elektrolit. 2.
Iritasi mukosa lambung akan menyebabkan mukosa inflamasi, jika mukus yang dihasilkan dapat melindungi mukosa lambung dari kerusakan HCL maka akan terjadi hemostatis dan akhirnya akan terjadi penyembuhan tetapi jika mukus gagal melindungi mukosa lambung maka akan terjadi erosi pada mukosa lambung. Jika erosi ini terjadi dan sampai pada lapisan pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan yang akan menyebabkan nyeri dan hypovolemik.
b) Gastritis Kronik
Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga terjadi
iritasi
mukosa
lambung
yang
berulang-ulang
dan
terjadi
penyembuhan yang tidak sempurna akibatnya akan terjadi atrhopi kelenjar epitel dan hilangnya sel pariental dan sel chief. Karena sel pariental dan sel chief hilang maka produksi HCL. Pepsin dan fungsi intinsik lainnya akan menurun dan dinding lambung juga menjadi tipis serta mukosanya rata, Gastritis itu bisa sembuh dan juga bisa terjadi perdarahan serta formasi ulser.
C. Thypoid a. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi.Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 0C, bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negatif pada reaksi indol, fenilalanin deaminase dan urease (Algerina, A, 2008). b. Etiologi
Penularan Sallmonella Typhi sebagian besar melalui minuman atau makanana yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama dengan tinja. Transmisi juga
dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya (Soedarno et al, 2008). 2008). Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin.Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi agglutinin a gglutinin di dalam tubuh. Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun host.OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin (Muttaqin Arif. 2011) c. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk
bersama
makanan atau minuman
yang
terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit retikuloendotelial sistem (RES) dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman
tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah
mempengaruhi
pusat
termoregulator
di
hipothalamus
yang
mengakibatkan timbulnya gejala demam. Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam usus halus, jaringan jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi. Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perf orasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut (Widoyono. 2011)
D. Apendiks a. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut akut yang paling sering (Mansjoer, 2010). b. Epidemologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita (Sandy, 2010).
c. Klasifikasi
Apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik (Rukmono, 2011). 1. Apendisitis akut Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan disertai mual, muntah dan nafsu makan menurun. Nyeri akan berpindah ke titik ti tik Mc.Burney. Apendisitis akut dibagi menjadi : a. Apendisitis Akut Sederhana Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. c. Apendisitis Akut Gangrenosa Terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen. d. Apendisitis Infiltrat Proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. e. Apendisitis Abses Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal.
f.
Apendisitis Perforasi Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. 2. Apendisitis kronik Diagnosis apendisitis kronik dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya adan ya jaringan jar ingan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik d. Etiologi
Terjadinya apendisitis disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding apendiks dan striktur (Sjamsuhidajat, De Jong, 2011). Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2011) e. Patofisiologi
Apendisitis
disebabkan
oleh
penyumbatan
lumen
apendiks
oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Price, 2005). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010). E. Kanker Usus a. Definisi
Kanker adalah sebuah proses penyakit yang ditandai dengan adanya sel abnormal yang ditransformasikan oleh mutasi genetik dari sel DNA (Smeltzer, et al., 2010). Kanker kolorektal merupakan kanker yang menyerang kolon atau rektum. Kanker ini juga dapat disebut kanker kolon atau kanker rektal, tergantung dimana kanker tersebut terjadi. Kanker kolon dan kanker rektal sering terjadi secara bersamaan karena mempunyai ciri-ciri yang sama (American Cancer Society, 2014). b. Etiologi Penyebab utama dari kanker kolorektal belum diketahui secara pasti. Kejadian kanker kolorektal pada pria ataupun wanita tidak memiliki perbedaan yang signifikan, begitupun dengan etnik. Menurut Black & Hawks (2009), memang terjadi prevalensi dan tingkat mortalitas tinggi pada keturunan Amerika dan Afrika, namun ini mungkin disebabkan karena mayoritas dari mereka melakukan diet tinggi lemak, makanan olahan dan kurangnya asupan buah dan sayuran c. Patofisiologi Keberadaan sel kanker pada seseorang tidak hanya berasal dari efek karsinogen seseorang, baik yang didapat dari luar ataupun dari dalam tubuh manusia itu sendiri. Kanker kolorektal khususnya, memiliki hubungan
terhadap kondisi feses dari individu, serta riwayat penyakit yang diderita, dimana kondisi tersebut merupakan dampak dari faktor resiko yang ada pada individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Corwin, 2007). Kanker pada kolon dan rektum dapat diawali dengan adanya riwayat polip pada individu. Polip merupakan massa dari jaringan yang menonjol pada lumen usus (Smeltzer, et al., 2010). Polip yang tidak diatasi atau dilakukan intervensi, dapat berubah menjadi maligna. Polip yang telah berubah menjadi ganas tersebut akan menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan meluas di jaringan sekitarnya (Corwin, 2007). Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen atau zat pemicu kanker pada tubuh. Efek karsinogen akan semakin meningkat apabila mendapat penyebab kanker
dari
luar.
Zat
karsinogen
juga
berpotensi
untuk
menyebabkan proliferasi sel kanker. Menurut Corwin (2007), kurangnya asupan antioksidan dengan minimnya konsumsi buah dan sayuran yang mengandung antioksidan (seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten) dapat mengurangi perlindungan sel terhadap efek karsinogen. Buah dan sayuran yang segar memiliki enzim aktif yang dapat memelihara dan meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat. Kondisi feses yang kurang baik juga dapat memicu terjadinya kanker kolon. Aktivitas atau olahraga yang kurang teratur dan terukur dapat mengakibatkan feses menjadi lebih lama berada di kolon atau rektum, terlebih jika individu melakukan diet rendah serat. Kondisi ini dapat mengakibatkan toksin yang terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan sel kanker (Corwin, 2007). Feses yang mengandung banyak lemak juga dapat memicu sel kanker. Tingginya lemak dalam feses diakibatkan oleh konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses yang mengandung banyak lemak dapat mengubah flora dalam feses menjadi bakteri Clostrida & Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-alfa dehidrosilase yang mencerna asam menjadi asam Deoxycholi dan Lithocholic (yang bersifat karsinogenik) meningkat dalam feses (Corwin, 2007). Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun rektum akan menyebabkan adanya sumbatan atau obstruksi, yang mengakibatkan evakuasi feses yang terhambat atau tidak lengkap setelah defekasi. Akibat lebih lanjutnya ialah konstipasi, distensi atau nyeri abdomen, hingga feses
berdarah. Apabila massa kanker ini tidak dideteksi sejak dini dan dibiarkan, maka besar kemungkinan sel kanker akan melakukan metastasis. Metastasis pada sel kanker kolorektal terdiri dari penyebaran langsung, penyebaran limfogen, dan hematogen (Corwin, 2007). Stadium kanker usus :
1. Stadium I bila keberadaan sel-sel kanker masih sebatas pada lapisan dinding usus besar (lapisan mukosa). 2. Stadium II terjadi saat sel-sel kanker sudah masuk ke jaringan otot di bawah lapisan mukosa. 3. Pada stadium III sel kanker sudah menyebar ke sebagian kelenjar limfe yang banyak terdapat di sekitar usus 4. Stadium IV terjadi saat sel-sel kanker sudah menyerang seluruh kelenjar limfe atau bahkan keorgan organ lain.
DAFTAR PUSTAKA Andra & Yessie. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (Keperwatan (Keperwatan Dewasa). Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika. Arief Mansjoer, dkk. 2011. Kapita 2011. Kapita Selekta Kedokteran, Kedokteran, edisi edisi 4. 4. Jakarta : Media Aesculapius. Brunner & Suddarth. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta : EGC.
Chalik, Raimundus. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. Craig,
Sandy,
(2011),
Appendicitis.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview (diakses tgl 25 februari 2019 pukul 12.18 wib). Devi, Anakardian K.B. 2017. Anatomi Fisiologi dan Biokimia Keperawatan. Yogyakarta: PB. Juffrie, Mohammad. 2018. Saluran Cerna yang Sehat: Anatomi dan Fisiologi . e publikasi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kumalasari, Arief Mutaqqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika. Mandal., et al. 2009. Lecture Notes Penyakit Infeksi. Edisi 6. Alih Bahasa oleh Surapsari, Juwalita. Jakarta : Erlangga. Mandal., et al. 2009. Lecture 2009. Lecture Notes Penyakit Infeksi. Edisi Keenam. Alih Bahasa oleh Surapsari, Juwalita. Jakarta: Erlangga. Muttaqin Arif. 2011.Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. Salemba Medika. Rukmono, 2011. Bagian Patologik Anatomik, Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia, Jakarta.
Sjamsuhidajat
R,
de
Jong
W
(2011)
Buku ajar Ilmu Bedah. Bedah.
Edisi
3.
Jakarta:EGC;2011. hal 755-64. Wahyuningsih, Heni Puji dan Yuni Kusmiyati. 2017. Anatomi Fisiologi. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.American Cancer Society, 2014. Colorectal Cancer Facts & Figures 2014-2016. Atlanta: American Cancer Society. Widoyono. 2011. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: J akarta: Erlangga.