DEFINISI Enuresis adalah istilah yang digunakan untuk kebiasaan pengeluaran air seni tanpa terkendali (mengompol) pada anak-anak yang berusia lebih dari lima tahun dan mengompol setidaknya 1 - 2 kali seminggu selama minimal 3 bulan berturut-turut. Mengompol bisa terjadi pada saat tidur siang hari, namun pada umumnya terjadi pada saat tidur malam hari. Biasanya, anak yang menderita enuresis menyadari bahwa dirinya basah oleh air seninya melalui mimpi seolah sedang buang air kecil di kamar mandi. Anak terbangun dan sudah mendapati pakaian tidurnya basah oleh air seninya sendiri. Mengompol bisa berulang dengan frekuensi 5 - 6 kali dalam satu minggu. Kejadian enuresis bisa bervariasi yang disebabkan oleh kebiasaan atau oleh kondisi tertentu, misalnya saat anak merasa dirinya sedang stress. KLASIFIKASI Berdasarkan Waktu Nocturnal Enuresis
Enuresis yang terjadi pada malam hari
Diurnal Enuresis
Enuresis pada siang hari
Enuresis Non Monosimtomatik
Gabungan diurnal dan nokturnal
Berdasarkan Awal Terjadi Enuresis Primer
Enuresis Sekunder
Terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada periode normal dalam pengontrolan BAK Terjadi setelah enam bulan sampai satu tahun dari periode dimana kontrol pengosongan urin sudah normal
Berdasarkan Gejala Penyerta Terjadi pada anak tanpa gangguan traktus Enuresis Monosimtomatik
urinarius dan tanpa riwayat gangguan berkemih sebelumnya Terjadi pada anak disertai gangguan traktus
Enuresis Non Monosimtomatik
urinarius (meningkatnya frekuensi berkemih, inkontinensia urin, nyeri)
PATOFISIOLOGI
1
Faktor Genetika Banyak penelitian menyatakan prevalensi enuresis meningkat apabila terdapat riwayat keluarga dengan enuresis. Enuresis dilaporkan terjadi pada 56% anak dengan ayah yang mengalami enuresis, 43% bila ibu mengalami enuresis dan 77% bila kedua orang tuanya mengalami enuresis. Enuresis biasanya diturunkan secara autosomal dominan,kromosom 22 telah diidentifikasikan sebagai lokus gen pembawa enuresis. Faktor Urodinamik Enuresis abnormal berhubungan dengan kecilnya kapasitas kandung kemih yang dipengaruhi oleh kontraksi detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak adanya koordinasi antara otot-otot detrusor dan otot-otot sfingter. Penurunan kapasitas kandung kemih juga dapat disebabkan beberapa kondisi, seperti sistitis dan konstipasi. Faktor Antidiuretik Enuresis terjadi karena tingginya volume pengeluaran urin yang dipengaruhi adanya perubahan ritme sikardian dari sekresi hormon antidiuretik (ADH). Diabetes Insipidus Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kelainan pada sentral atau perifer, dapat terjadi pada tumor intrakranial,trauma kepala,encephalitis atau meningitis.Ganguan saraf perifer dapat disebabkan oleh renal failure,kerusakan kortek atau medula renal,hipokalemia,hipokalsemia, obat-obatan nefrotoksik. Kondisi tersebut dapat menyebabkan nokturnal poliuria yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya enuresis. Diabetes Melitus Enuresis pada anak dengan disbetes melitus disebabkan oleh poliuri nocturnal yang disebabkan oleh hiperglikemia. Diabetes melitus juga menyebabkan abnormalitas saraf eferen kandung kemih yang dapat menyebabbkan enuresis. Neurogenic Bladder Neurogenic bladder dapat disebabkan oleh lesi pada sistem saraf, termasuk lesi pada korteks serebri, medula spinalis, nervus perifer. Sebanyak 37% anak dengan Cerebral Palsy menderita enuresis. Pada pasien dengan myelomeningocele selalu disertai dengan enuresis. Gangguan pada medula spinal seperti adanya tumor, tethered cord, trauma spinal dapat menyebabkan enuresis. Disfungsi dari sfingter uretra eksterna seperti pada fraktur pelvis, agenesis sakrum, terapi radiasi, pembedahan dapat berhubungan dengan neurogenic bladder. Poliuri Nocturnal Poliuri nocturnal terjadi pada sebagian anak dengan enuresis, peningkatan produksi urin pada malam hari dapat disebabkan karena peningkatan konsumsi air sebelum 2
tidur dan sekresi hormon antidiuretik (ADH) yang rendah pada malam hari. Produksi urin dikontrol oleh beberapa faktor, termasuk ADH yang secara langsung mengontrol absorbsi air, Atrial natriuretic peptide (ANP) dan aldosteron, yang mengontrol pemekatan urin dan secara tidak langsung mengatur ekskresi air. Faktor Kematangan Neurofisiologi Terlambatnya mekanisme korteks dalam mengendalikan refleks pembuangan urin dijadikan sebagai hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal enuresis dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal enuresis didapati peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan tidur dalam dan pola tidur. Faktor Keterlambatan Perkembangan Anak Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak yang terlambat berjalan juga akan terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari aspek individual dalam perkembangan. Faktor Psikologi Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode perkembangan antara usia 2 - 4 tahun. Stres psikologis berhubungan dengan enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran saudara, perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta masalah disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana nocturnal enuresis merupakan usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan perhatian orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan anak melakukan hal ini untuk mencari perhatian orang tuanya. Selain itu proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis tidak mengalami sakit psikologis.
DIAGNOSIS A. GAMBARAN KLINIK Dari anamnesis kita harus menentukan tipe dan beratnya. Kita perlu menanyakan sejak kapan terjadi mengompol, waktu terjadinya ngompol dan apakah dalm keadaan sedang tidur atau bangun. Pada penderita enuresis diurnal tanyakan bagaimna pancaran
air
kemihnya,
urgensi
enuresis,
apakah
intermitten
atau
terus 3
menerus.tanyakan riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya, keadaan psikososial anak, keadaan keluarga dan apakah pernah mengalami konstipasi. Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan. Inspeksi didaerah abdomen untuk melihat distensi abdomen karena retensi tetapi biasanya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Sedangkan palpasi dilakukan pada abdomen dan rektum sesudah pengosongan urin serta awasi kekuatan dan kualitas arus urin. Selain itu periksa refleks perifer, sensasi perineal (refleks kremaster dan refleks anal) dan tonus anal serta tulang belakang apakah terdapat kelainan pada medulla spinalis. B. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium Berupa urinalisis yang diperoleh setelah puasa 1 malam dan evaluasi berat jenis spesifik atau osmolaritas urin atau keduanya untuk menyampingkan poliuria sebagai penyebab frekuensi inkontinensia. Urinalisis yang dilakukan untuk melihat adanya infeksi (positif nitrat dan lekosit), diabetes mellitus (glukosuria), tumor saluran kemih (hematuria) dan penyakit ginjal
(proteinuria). Pemeriksaan Radiologi Foto rontgen pada nocturnal enuresis dengan excretory urogram yang diambil segera setelah miksi tidak ada kelainan dan terlihat tidak ada urin residu. USG ginjal dapat dilakukan, tetapi biasanya terlihat normal.
PENATALAKSANAAN A. FARMAKOLOGI Desmopresin Acetat Merupakan antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi air. Obat ini diberikan sebelum tidur dengan cara disemprotkan ke hidung namun terdapat juga dalam sediaan oral tablet. Meskipun begitu hanya 10% dari dosis semprotan hidung yang dapat diabsorbsi, dapat diabsorbsi dengan cepat dan mencapai kadar maksimum didalam plasma 40 - 55 menit setelah pemberian terapi. Durasi kerjanya 10 - 12 jam, dengan waktu paruh 4 - 6 jam. Dosis yang diberikan dimulai dengan 20 mcg untuk sediaan semprot hidung (1 semprot untuk setiap hidung) pada malam hari atau 0,2 mg untuk sediaan tablet. Desmopresin dapat digunakan dalam mengurangi nocturnal enuresis sampai anak dapat menahan miksi, tidak memiliki efek samping dan menunjukkan efek antienuretik yang
4
signifikan. Tetapi desmopresin kontra indikasi pada pasien dengan thrombotic
thrombocytopenic purpura. Imipramin Merupakan obat antidepresan trisiklik yang diminum 25 mg sebelum makan malam. Mekanisme kerjanya belum jelas, namun mempunyai efek signifikan pada saat tidur. Respon klinis obat ini bergantung pada kadar plasma dalam darah, efek sampingnya berupa toksik dan lethal overdosis bila digunakan dalam dosis besar. Efek samping yang terjadi dapat berupa iritabilitas,
penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Obat-obat parasimpatolitik Seperti atropine atau Belladona berguna menurunkan tonus otot detrusor.
Dapat juga digunakan Methaline bromide 25-27 mg sebelum tidur. Obat simpatomimetik Seperti dextroamphetamine sulfate 5-10 mg sebelum tidur. Obat-obatan ini tidak terlalu berguna karena sebagian besar akan mengalami relaps saat penggunaan obat dihentikan.
B. NON FARMAKOLOGI Edukasi Edukasi yang harus diberikan kepada orang tua adalah bahwa enuresis bukanlah suatu penyakit, dan akan menghilang dengan sendirinya, 16% anak usia 5 tahun pernah mengalami enuresis. Orang tua perlu memahami bahwa enuresis bukan merupakan kesalahan anak dan tidak seharusnya anak dengan
enuresis diberikan hukuman. Perubahan kebiasaan yaitu mengurangi asupan air 2 jam sebelum tidur, mencegah mengkonsumsi minuman berkafein, orang tua membangunkan anaknya pada malam hari untuk miksi denga cara mengidupkan lampu atau mengusapkan handuk dingin diwajahnya, latihan menahan miksi untuk memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antara miksi menjadi lebih lama, minta anak membantu membersihkan serta mengganti alas tempat tidurnya dan mengganti piyama
sendiri, serta memberi hadiah bila anak tidak mengompol. Miksi sebelum tidur dimana anak diharuskan pergi ke toilet untuk buang air kecil sebelum tidur
pada setiap malamnya. Menggunakan alarm yang dilakukan selama 4 - 6 minggu disertai dengan pemberian hadiah agar dapat lebih efektif. Alarm dipasang sebelum tidur dan berbunyi atau bergetar 5
saat miksi. Alarm terapi dilakukan dengan alat sensor yang diletakkan dibawah celana dalam anak yang sedang tidur. Apabila celana basah akibat urin yang keluar, sirkuit listrik menutup, menyebabkan bel berbunyi dan membangunkan anak yang masih tidur. Berdasarkan metaanalisis dari 56 randomized trial (3257 anak), 60% anak tidak mengalami enuresis dibandingkan 4% anak yang tidak diterapi dengan alarm terapi. Alarm terapi
lebih efektif dibandingkan dengan antidepresan trisiklik. Psikoterapi dengan cara adanya konseling pada anak dan harus dijelaskan pada orang tua bahwa hal ini akan berhenti dengan sendirinya dan agar lebih efektif dilakukan beberapa terapi, jadi diharapkan agar orang tua tidak menghukum anak karena nocturnal enuresis akan memperberat keadaan anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atkinson, R. (2008). Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga 2. Butler, R. J. (2004). Childhood Nocturnal Enuresis: Developing a conceptual framework. Clinical Psychology Review. 24, 909-931. 3. Jarvelin, M.R. (2000). Commentary: Empirically Supported Treatments in Pediatric Psychology: Nocturnal Enuresis. Journal of Pediatric Psychology. 25,(4), 215-218 4. Nevid, J,S., Rathus, S.A dan Geene, B. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga 5. Schmitt, B.D. (1997). Nocturnal Enuresis. Journal of the American Academy of Pediatrics. (18),183-194. 6. Watkins, C.E. (2002). ADD, AD/HD and Bedwetting. (online). Tersedia: http://www.ncpamd.com/adhd_and_enuresis.htm, diakses: 16 Mei 2010
6