PARADIGMA MISI REFORMASI PROTESTAN Sifat Gerakan Yang Baru
Paradigma Katolik Roma mengalami sebuah krisis pada akhir Abad pertengahan, pada waktu kekuatan-kekuatan perubahan mengantarkan sebuah s ebuah zaman z aman baru (bnd. Oberman 1983: 119-126, 1986:1-17). Orang yang menjadi katalis dalam memperkenalkan paradigma baru adalah Martin Luther (1483-1546). Peristiwa-peristiwa dalam sejarah pribadinya, bersama-sama dengan suasana di mana ia dibesarkan dan tempat-tempat dimana ia pernah belajar, perlahan-lahan namun pasti, mempersiapkan dia untuk perpisahannya yang menentukan dengan Gereja Katolik dan peluncuran zaman baru. Pada abad ke-16, Luther menemukan penekanan utama teologi Paulus dalam Roma 1: 16; di situ “Injil”digambarkan sebagai “kekuatan Allah yang menyelama tkan setiap orang yang percaya”, dan bahkan lebih khusus lagi dalam ayat berikutnya yang berbunyi (dalam versi King James), “Karena di situlah (yaitu, di dalam Injil), kebenaran Allah dinyatakan dari iman kepada iman, seperti tertulis, Orang benar akan hidup hid up oleh iman”. “Penemuan kembali” teks ini dan maknanya hanya terjadi secara bertahap pada diri Luther. Studi teologinya dan khususnya waktu ia di biara Augustinian telah menanamkan di dalam dirinya keyakinan bahwa ia harus memuaskan Allah yang murka dengan cara mematikan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang tidak henti-hentinya. Baru bertahun-tahun ia menyadari bahwa kebenaran Allah tidak berarti penghukuman dan murka Allah yang benar, tetapi pemberiaanya berupa kasih karunia dan kemurahan yang dapat diterima seseorang di dalam iman (bnd. Oberman 1983: 135-138; 172-174). Pada tahun 1513-1519 Luther membuat serangkaian terobosan teologis. Namun penafsiran ulangnya atas Roma 1:16 dyb., tetap menjadi dasar dan sokoguru atau fokus dari seluruh hidup dan teologinya (:175). Ia tidak dapat lagi berhenti merasa takjub terhadap 1
kenyataan bahwa Allah telah menerimanya, manusia yang malang dan celaka, dengan penuh rahmat dan dengan cuma-cuma. Reformasi tidak memutuskan diri dari paradigma Katolik Abad Pertengahan dalam segala seginya. Beberapa unsur Protestantisme pada kenyataannya adalah kelanjutan, meskipun dalam suatu bentuk baru, dari apa yang menjadi ciri model Katolik juga. Untuk menghargai sumbangan unik Reformasi Protestan, terhadap pemahaman tentang misi, penting kita menyoroti bidang-bidang yang berbeda dengan paradigma Katolik. Ada lima ciri yang ditemukan dalam semua perwujudan Protestan abad ke-16 yang diidentifikasikan untuk menolong kita melihat kontur- kontur “teologi Protestan tentang misi”, yaitu : 1. Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa bagi Reformasi Protestan pasal pembenaran oleh iman adalah titik tolak teologis. Pasal ini mengungkapkan keyakinan dasar Reformasi: ada jarak yang luar biasa antara Allah dan ciptaan-Nya, namun Allah dalam kedaulatan dan oleh kasih Karunia-Nya ( sola gratia) mengambil inisiatif untuk mengampuni, membenarkan dan menyelamatkan umat manusia. Jadi, doktrin pembenaran sudah menjadi salah satu dimana semua doktrin lainnya tergantung (bnd. Beinert 1983:208). Titik tolak Reformasi bukanlah apa yang dapat dan harus dilakukan orang untuk mendapatkan keselamatan mereka, melainkan apa yang telah Allah lakukan dalam Kristus. 2. Pandangan bahwa manusia erat terkait dengan sentralitas kebenaran harus dilihat dari perspektif kejatuhan ke dalam dosa, sebagai ciptaan yang tersesat, tidak mampu melakukan apa pun tentang kondisi mereka. Reformasi memisahkan hubungan dengan pandangan Aquinas tentang kebaikan dan realibilitas nalar manusia; nalar tersebut rusak seluruhnya dan cenderung berbuat kesalahan. Manusia harus disadarkan akan kondisi mereka yang sesat agar mereka dibawa pada pertobatan dan 2
dilepaskan dari beban dosa mereka yang berat. Sementara Katolisisme cenderung memusatkan perhatian pada banyak dosa (jamak) individu, Protestan menekankan dosa (tunggal) dan keberdosaan umat manusia yang hakiki (bnd. Grundel 1983 : 120). 3. Reformasi menekankan dimensi subyektif keselamatan. Bagi Luther, Allah tidak boleh lagi dianggap sebagai Allah di dalam diri-Nya (Gott an sich); Ia adalah Allah bagi saya, bagi kita, Allah yang demi Kristus, telah membenarkan kita oleh kasih karunia (bnd. Beinert 1983:207 dyb,; Pfurtner 1984 : 174 dyb.). Reformasi “meneologikan” perkembangan ini: pertanyaan tentang keselamatan menjadi pertanyaan pribadi sang individu. Penekanannya tidak pernah lagi lenyap; dalam ribuan cara yang berbeda orang-orang percaya akan menekankan pengalaman pribadi dan subyektif dalam kelahiran baru oleh Roh Kudus, maupun tanggng jawab individu dibandingkan dengan tanggung jawab kelompok (Pfurtener 1984:181 dyb). 4. Penegasan peranan dan tanggung jawab pribadi individu menyebabkan penemuan kembali ajaran tentang imamat am orang percaya (holl 1928:238; Gensichen 1960:123). Orang percaya berada dalam hubungan langsung dengan Allah suatu hubungan yang hadir secara terpisah dari gereja. 5. Gagasan Protestan” diungkapkan dalam sentralitas Kitab Suci dalam kehidupan Gereja. Ini berarti, bahwa firman lebih tinggi kedudukannya daripada citra, telinga daripada mata. Para Reformator Dan Misi
Gustav Warneck, bapak misiologi sebagai sebuah disiplin teologi adalah salah satu sarjana Protestan pertama yang mengembangkan pandangan “kita tidak hanya tidak menemukan kegiatan misi pada diri para Reformator, tetapi bahkan juga gagasan tentang pandangan teologis yang dasariah menghalangi mereka untuk memberikan arah misioner pada kegiatan mereka, dan bahkan pada pikiran- pikiran mereka” (1906:9). 3
Namun, belakangan ini beberapa ahli telah mengajukan pendapat bahwa penilaian yang seperti diungkapkan Warneck sama dengan mengajukan para Reformator di hadapan meja gerakan misi modern dan menyatakan mereka bersalah karena tidak berpegang pada definisi tentang misi yang bahkan pada zaman mereka belum ada. Menurut para ahli, dengan mengatakan bahwa para reformator tidak mempunyai visi misioner, berarti keliru memahami tekanan utama teologi dan pelayanan mereka. Luther, khususnya harus dianggap sebagai “pemikir misi yang kreatif dan orisinal” dan kita harus membiarkan diri kita membaca Alkitab “melalui mata Martin Luther , sang misiolog” (Scherer 1987:65; 66). Malah, terhadap usaha misi gereja ia memberikan pedoman-pedoman dan prinsip-prinsip yang jelas dan penting (Holl 1928:237, 239). Titik tolak teologi para Reformator bukanlah apakah yang harus atau dapat dilakukan orang demi keselamatan dunia, melainkan apa yang sudah dilakukan Allah di dalam Kristus. Ia mengunjungi bangsa-bangsa di dunia dengan terang-Nya; Ia melanjutkan firman-Nya sehingga firman itu dapat “berlari” dan “meningkat” sampai hari terakhir menyingsing. Gereja diciptakan oleh verbum externum (firman Allah dari luar manusia) dan fiman ini telah dipercayakan kepada gereja. Orang bahkan dapat mengatakan bahwa Injil ini sendirilah yang “memisikan” dan dalam proses ini memanggil umat manusia (Holsten 1953:11). Jadi secara keseluruhan tekanannya adalah pada misi yang tidak tergantung pada usaha-usaha manusia. Tidak seorang pengkhotbah pun tidak seorang misionaris pun, yang boleh berani mengklaim, apa yang pada kenyataannya adalah pekerjaan Allah sendiri, sebagai semangatnya sendiri (Gensichen 1960:120-122; 1961:5 dyb). Namun, hal ini tidak berarti bahwa sikap menjadi pasif dan diam-diam saja. Bagi Luther, iman adalah sesuatu yang hidup, gelisah yang tidak dapat tinggal diam. Kita tidak diselamatkan oleh perbuatan, katanya, namun ditambahkannya, “tetapi kalau tidak ada pekerjaan, tentu ada sesuatu yang salah dengan iman tersebut” (dikutip dalam Gensichen 4
1960:123). Di tempat lain ia menulis bahwa bila seorang Kristen mendapati dirinya berada di suatu tempat di mana tidak da orang Kristen lain, “ia mempunyai kewajiban untuk memberitakan dan mengajarkan Injil kepada orang-orang non-Kristen karena itulah tugasnya sebagai saudara meskipun, misalnya, tak seorang pun menyuruhnya melakukan hal tersebut” (dikutip dalam Holsten 1961 : 145). Teolog-teolog Lutheran lainnya dari masa Reformasi tidak begitu jelas pendapatnya tentang sifat misioner teologi. Calvin, sebaliknya lebih eksplisit, khususnya karena teologinya adalah teologi yang lebih bersungguh-sungguh membicarakan tanggung jawab orang-orang percaya dibandingkan dengan teologi Luther (bnd. Oberman 1986: 235-239). Juga patut dicatat bahwa mereka sepenuhnya memisahkan diri dengan gagasan apapun untuk menggunkan kekerasan untuk mengkristenkan orang. Pedang kaisar, kata Luther, tidak ada hubungannya dengan iman dan tidak ada satu pasukan pun yang boleh menyerang orang lain dengan panji-panji Kristus; malah, bila paus benar-benar merupakan wail Kristus di muka bumi, ia akan memberitakan Injl kepada orang-orang Turki dan bukan menghasut para penguasa sekular untuk melakukan serangan kekerasan terhadap mereka (bnd. Warneck 1906: 11; Holsten 1953:12 dyb.) Namun, meskipun Holl, Holsten, Gensichen, Scherer dan lain-lainnya telah mengidentifikasikan apa yang pada dasarnya merupakan tekanan misioner dari teologi para Reformator, sedikit sekali yang terjadi dalam jangkauan misioner pada dua abad pertama setelah Reformasi. Jelas, ada halangan-halangan praktis dalam hal ini. Pertama-tama, kaum Protestan melihat tugas utama mereka adalah memperbarui gereja pada zaman mereka. Hal ini menghabiskan semua energi mereka. Kedua, kaum Protestan tidak mempunyai kontak langsung dengan orang-orang non-Kristen, sementara Spanyol dan Portugal, keduanya bangsa Katolik, sudah mempunyai kekaisaran kolonial yang luas pada waktu itu. Ketiga, gereja-gereja Reformasi terlibat dalam pertempuran semata-mata untuk bertahan. Keempat, 5
dengan meninggalkan monastisisme, para Reformator telah kehilangan sebuah agen misi yang sangat penting. Kelima, orang-orang Protestan itu sendiri tercabik-cabik oleh pertikaian intern dan kehabisan tenaganya dalam semangat yang sia-sia dan dalam perbedaan pendapat dan pertikaian yang tidak ada habis-habisnya. Ada perbedaan yang paling penting antara gerakan Reformator dan Anabaptis bila dilihat dari perspektif pandangan mereka tentang misi, yaitu terletak dalam sikap mereka yang bertentangan dengan penguasa sipil. Kaum Anabaptis menekankan pemisahan yang mutlak antara gereja dan negara dan nonpartisipasi dalam semua kegiatan pemerintahan. Sudah tentu ini berarti bahwa gereja dan negara tidak dapat bekerja sama dalam keadaan apa pun juga. Para Reformator, pada pihak lain, tidak dapat membayangkan jangkauan misi ke negara-negara di mana tidak ada pemerintahan yang Protestan (Lutheran, Hervormd dll). Karena itu, penting bahwa dua usaha misi yang dilakukan dalam kerja sama dengan para penguasa sipil. Salah satu alasan mengapa kaum Anabaptis berpegang pada “mandat” Amanat Agung” dan para Reformator tidak, dapat ditemukan dalam penafsiran mereka yang bertentangan menegani realitas-realitas zaman mereka. Para Reformator, secara keseluruhan, tidak mnyangkal bahwa Gereja Katolik masih memperlihatkan ciri-ciri dari Gereja yang sejati; hal ini menjadi jelas, misalnya, dalam kenyataan bahwa mereka menerima keabsahan baptisan oleh imam-imam Katolik. Keprihatinan mereka adalah pembaharuan gereja, bukan penggantian-nya. Kaum Anabaptis sebaliknya, menyisihkan dengan logika yang konsisten setiap perwujudan lain dari kekristenan sampai saat itu; seluruh dunia, termasuk para pemimpin dan penguasa gereja Katolik dan Protestan, melulu terdiri dari orang-orang kafir (Schaufele 1966:97).
6
Ortodoksi Dan Misi Lutheran
Pada saat Saravia menulis risalatnya tentang panggilan misioner gereja, pengaruh kuat Reformasi telah berlalu. Di negeri-negeri berbahasa Jerman, khususnya usaha-usaha untuk membarui gereja memberikan jalan pada usaha untuk menjaganya tetap murni secara doktrin. Perdamaian Westfalen (1648) praktis menandakan berakhirnya Kekaisaran Romawi yang Kudus dan akhirnya mengatur masalah-masalah keagamaan di berbagai wilayah Eropa sesuai dengan prinsip cuius regio eius religio. Sejak itu Katolisisme menjadi agama yang mapan di negara-negara Katolik, Lutheranisme di wilayah-wilayah Lutheran, dan sebagainya. Sebuah faktor penting dalam hal ini adalah perkembangan pemahaman Protestan tentang gereja dalam dekade-dekade segera sesudah Reformasi (bnd. Neill 1968:71-77; Piet 1970: 21-29). Ketika Reformasi menghancurkan kesatuan kuno gereja Barat, setiap potongannya, sebagai pecahan gereja tersebut, terpaksa mempertahankan diri terhadap potongan-potongan yang lainnya. Definisi paling terkenal tentang gereja pada abad ke-16 adalah apa yang ditemukan dalam Pengakuan Iman Augsburg (Lutheran) di tahun 1530. Ayat VII-nya melukiskan gereja sesuai dengan dua tanda yang membedakannya, yakni “sebagai persekutuan orang-orang kudus di mana Injil diajarkan secara murni dan sakramen dilayankan dengan benar”. Hal ini memaksa Gereja Roma, dalam Konsili Trente (1545 1563), untuk menjawabnya dengan deskripsinya sendiri tentang apa gereja yang sejati itu, yang “ terdiri dari keesaannya”, dan yang mempunyai satu penguasa yang tidak kelihatan, yaitu Kristus, tetapi juga seorang pangeran dari semua Rasul” , yang “menduduki Tahta Roma”. Reformasi telah tiba pada bentuk akhirnya dengan pembentukan gereja-gereja negara dan sistem-sistem doktrin yang resmi serta perilaku Kristen yang dianngap baku. Namun, gereja yang memiliki doktrin yang murni adalah gereja yang tidak memiliki misi dan
7
teologinya lebih bersifat skolastik daripada kerasulan
(bnd. Niebuhr1959:166; Braaten
1977:13). Teolog pertama dari masa ortodoksi Lutheran yang bergumul dengan masalah misi adalah Philip Nicolai (1556-1608) (bnd. Hess 1962: passim). Ia sebagai seorang figur transisi, teologinya menyingkapkan perbedaan-perbedaan antara ortodoksi yang lebih dulu dengan yang kemudian. Pandangan-pandangannya tentang misi – yang dalam bentuknya yang lebih ekstrem, kemudian menjadi ciri khas ortodoksi – dikembangkan khususnya dalam bukunya Commentaarius de regno Christi,yang terbit pada 1597. Seperti kebanyakan teolog ortodoksi Lutheran, Nicolai percaya bahwa “Amanat Agung” telah digenapi oleh para rasul dan tidak lagi mengikat gereja. Namun, berbeda dengan ortodoksi di kemudian hari, ia tidak percaya bahwa oleh karena itu panggilan misioner gereja dihapuskan. Generasi-generasi teolog ortodoks berikutnya mengevaluasi karya misi orang-orang Katolik dan yang lain-lainnya mengenai “Amanat Agung” dan pembedaannya antara tugas para rasul dan tugas para missionaris di kemudian hari, mereka hanya mempertahankan unsur yang menyatakan bahwa generasi Kristen masa kini tidak punya urusan untuk terlibat dalam misi kepada orang-orang kafir karena para rasul telah menyelesaikan tugasnya. 1. Bertentangan dengan Roma, para Reformator menekankan bahwa semua inisiatif untuk keselamatan terletak pada Allah semata-mata. Keyakinan ini terletak pada akar pengajaran Luther tentang pmbenaran oleh iman, dengan kasih karunia, dan tentang doktrin Calvin mengenai predetinasi. Namun, Luther dan Calvin tidak menafsirkan penekanan inisiatif Allah dalam cara yang kaku. Ortodoksi cenderung meletakkan semua penekanannya pada kedaulatan dan inisiatif Allah. 2. Kecenderungan Nicolai yang positif dan optimislah yang memungkinkan ia menilai usaha misi seberang lautan Katolik Roma dengan cara yang lembut. Meski demikian, setiap jejak optimisme dengan segera dibuang dari ortodoksi. Pesimisme dan kepasifan 8
mempunyai penyebab yang jauh lebih mendalam: gambaran yang gelap tentang sejarah dalam ortodoksi Lutheran. Nicolai mengharapkan parousia berlangsung sekitar tahun 1670. Dalam kasusnya kegawatan akhir dunia yang akan segera datang ini masih berfungsi sebagai motivasi misi. Dalam perkembangan abad ke-17, keadaannya pun berubah. Situasi di dalam gereja menjadi begitu menyedihkan, khususnya di mana Gottfried Arnold (1666-1714), sehingga fokusnya bukan lagi pada keyakinan bahwa Kristus dan pemerintahan-Nya akan menang, melainkan pada pertanyaan yang menakutkan apakah Kristus, bila Ia datang kembali, akan menemukan iman di muka bumi. 3. Ortodoksi Luther tidak dapat membebaskan dirinya dari pandangan bahwa misi Lutheran hanya dapat dilakukan di mana pemerintahan Lutheran berkuasa. 4. “Opini” Wittenberg memberikan alasan lain mengapa gereja harus menghindari misi kepada orang-orang kafir tak seorang pun dapat dibebaskan di hadapan Allah dengan alasan ketidaktahuan karena Allah telah menyatakan diri-Nya kepada segala bangsa melalui alam dan melalui pemberitaan rasul-rasul-Nya. Terobosan Kaum Pietis
Dalam Pietisme, iman ortodoksi yang formal benar, dingin dan berhubungan dengan otak, tersingkir oleh kesatuan yang hangat dan sungguh-sungguh bersama Kristus. Konsep-konsep seperti pertobatan, perubahan hati, kelahiran baru, dan pengudusan, mendapatkan makna baru. Jelas ada suatu sikap yang sempit dalam Pietisme, khususnya sejauh menyangkut kecenderungan untuk menetapkan dengan ketat tentang cara bagaimana individu dapat menjadi orang percaya yang sejati. Zinzendorf khususnya, menentang gagasan tentang “pertobatan- pertobatan kelompok” dan menekankan keputusan-keputusan individu (bnd. Warneck 1906 : 66; Beyreuther 1961 : 40).
9
Misi baginya, bukanlah suatu kegiatan gereja, melainkan kegiatan Kristus sendiri, melalui Roh-Nya. Namun, dalam hal ini Kristus mempergunakan orang-orang yang mempunyai iman dan keberanian yang luar biasa, yang mempunyai daya keberanian dan daya tahan yang tinggi. Dengan demikian, Pietisme memperkenalkan prinsip “kerelaan” (voluntarisme) dalam misi (bnd. Warneck 1906 : 55 dyb, 59 dyb). Bukan Gerejaa (ecclesia) yang dihidupkan kembali di dalam gereja ecclesiola in ecclesia. Dari sini tinggal selangkah lagi sebelum misi menjadi hobi dari kelompok-kelompok minat khusus, sebuah praktik yang bertentangan dengan gagasan tentang imamat am orang percaya (bnd. Scherer 1987 : 73).
Kaum Pietis pertama tidak hanya tertarik pada jiwa-jiwa manusia. Pada tahun 1701 Francke menetapkan tujuan gerakan pembaruan sebagai “ perbaikan konkret dalam segala segi kehidupan di Jerman, Eropa , di seluruh dunia” (dikutip dalam, Genshichen 1975a : 156). Ziegenbalk menyatakan bahwa Dienst des Leibes (“pelayanan jasmani”) saling bergantung dan bahwa pelayanan jiwa tidak dapat bertahan tanpa sisi “luarnya” (:163; bnd. Norgaard 1988:122). Demikian pula hal ini tidak tinggal dalam tingkat pembicaraan. Di Jerman, Francke dan kaum Pietis lainnya terlibat secara luas dalam “misi dalam negeri”, melayani orang-orang miskin dan papa di Halle dan sekitarnya mendirikan sebuah sekolah untuk orang-orang miskin, rumah yatim, rumah sakit, rumah janda dan lembaga-lembaga lainnya.
Pada dekade ketiga abad ke-18, iklim teologis Pietisme perlahan-lahan mulai berubah. Pietisme tidak mampu menahan dirinya dalam menghadapi roh zamannya. Situasinya lebih lanjut dicampuri oleh kenyataan bahwa Pietisme tidak berhasil menembus ke dalam hati gereja-gereja Jerman dan serangan dari pihak Ortodoks Lutheran yang menghina misi tersebut. Kendatipun demikian, Pietisme mempunyai makna bagi perkembangan gagasan misi Protestan. Pertama, misi tidak dapat lagi semata-mata dianggap sebagai tugas pemerintah-pemerintah kolonial. Kedua, misi diubah dari suatu keprihatinan para penguasa
10
dan hierarki gereja menjadi suatu usaha yang dengannya orang-orang Kristen biasa tidak hanya dapat mengidentifikasikan diri, tetapi di mana mereka dapat secara aktif ikut serta. Ketiga, Pietisme mengantarkan zaman oikumenisme dalam misi yang berarti bahwa ia bertujuan menciptakan suatu persekutuan Kristen yang melampaui batas – batas negara dan konfesi. Keempat, selama satu abad penuh, abad ke – 18, Pietisme menyebabkan Jerman menjadi negara misioner terkemuka Protestantisme. Hal ini disebabkan terutama oleh kepemimpinan yang diberikan oleh orang-orang seperti Francke dan Zinzendorf. Akhirnya, Pietisme menunjukkan dengan cara yang luar biasa apa artinya dedikasi pe nuh.
Reformasi Kedua dan Puritanisme
Ortodoksi melakukan terobosan-terobosan tidak hanya ke dalam Lutheranisme, tetapi juga ke dalam Calvinisme. Faktor-faktor yang menentukan bersifat teologis serta sosial-politik. Sehubungan dengan yang belakangan, Belanda dan Inggris, yang keduanya merupakan benteng Calvinisme, tergolong pada kekuatan-kekuatan Maritim yang bangkit dengan banyak koloni di seberang lautan. Namun, semuanya itu tidaklah cukup untuk membangkitkan minat dalam misi. Karena itu, sebuah faktor teologis yang penting harus pula diperhitungkan – peranan penting yang dimainkan oleh “Reformasi Kedua” (Nadere Reformatie) di Belanda dan oleh Puritanisme di Inggris, Skotlandia dan di koloni-koloni Amerika.
Calvin memberikan tekanan khusus pada Pneumatologi dalam kedua aspeknya: karya Roh di dalam jiwa manusia, yang memperbaharui kehidupan batin, dan kegiatan Roh dalam memperbarui “wajah bumi”. Bagi Calvin, Kristus yang ditinggikan ke sebelah kanan Allah terutama adalah Kristus yang aktif. Dalam pengertian tertentu Calvin menganut eskatologi yang sedang digenapi. Ia menggunakan istilah regnum Christi (pemerintahan Kristus) dalam hal ini, sambil memandang gereja sebagai perantara antara Kristus yang 11
ditinggikan dengan tatanan sekular. Titik berangkat teologis seperti itu mau tidak mau membangkitkan gagasan tentang misi sebagai “perluasan pemerintahan Kristus”, baik oleh pembaruan rohani dalam batin individu maupun dengan memperbarui wajah bumi dengan mengisinya dengan “pengetahuan akan Tuhan”.
Dalam hubungan ini, Gisbertus Voetius (1588-1676) adalah sangat penting. Ia adalah protestan pertama yang pernah mengembangkan “teologi misi” yang komprehensif. Voetius menganggap dasar misi pada hakikatnya teologis mengalir dari Allah sendiri. Karena itu dengan tepat ia dapat diangap sebagai salah satu eksponen pertama dari apa yang dimasa kita dikenal sebagai mission Dei. Yang sama pentingnya adalah kenyataan bahwa ia mendefinisikan misi dalam pengertian- pengertian yang pada abad-abad berikutnya menjadi kabur. Ia memandang misi, antara lain, bertujuan untuk mempersatukan gereja-gereja yang berada di tepi keruntuhan atau yang telah tersebar melalui penganiayaan; sebagai pembaruan gereja-gereja telah mundur secara teologis sebagai penyatuan kembali gereja-gereja yang terpisah satu dari yang lain, sebagai usaha mendukung gereja-gereja yang tertindas dan yang menjadi miskin, dan sebagai usaha menuju pembebasan gereja-gereja yang mengalami tantangan dari penguasa.
Voetius menganggap paus, para uskup, ordo-ordo dan kongresi serta penguasa sekuler, sebagai agen-agen yang tidak cocok untuk misi. Hanya gerejalah yang dapat menjadi pengemban misi yang sah karena hanya gereja yang dapat menanam gereja-gereja. Dari sini muncul bagi Voetius bahwa gereja-gereja yang baru ditanam sama sekali tidaklah tunduk kepada gereja yang menanam gereja yang “lebih tua” dan “lebih muda” berdiri dalam hubungan yang sederajat.
Seperti halnya gereja yang “lebih muda” tidak tunduk kepada yang “lebih tua” ia pun tisak bisa tunduk kepada pemerintah. Voetius menolak hak perlindungan katolik roma di 12
masa itu, yang memberikan kekuasan kepada raja-raja Portugal dan spanyol atas gereja yang “lebih muda” di koloni-koloni mereka. Ia pun melepaskan diri seperti kasus pietis seabad sesudahnya, dari paksaan apapun dalam masalah-masalah keagamaan para penganut agama lain harus bebas untuk menolak menjadi Kristen.
Pemahaman kaum puritan tentang misi pada hakikatnya tidak berbeda dengan pemahaman Voetius dan jelas ada semacam saling mempengaruhi di antara mereka. Sinode Dordrecht yang terkenal (1618-1619 ) dimana Voetius memainkan peranan yang menonjol, misalnya dihadiri pula oleh utusan-utusan dari gereja-gereja Inggris dan Skotlandia. Namun perintis misi yang tidak diragukan lagi adalah Jhon Elliot, seorang puritan (1604-1690), yang menghabiskan praktis seluruh pelayanannya, dari tahun 1690-an sampai matinya, di antara orang-orang Indian Massachussets.
Puritaisme klasik berlangsung kira-kira sampai tahun 1735, artinya, sampai permulaan kebangunan besar. Para teolog yang menolong mengembangkan gagasan misi pada zaman ini adalah selain Elliot, Richard Sibbes, Richard Baxter dan Ctton Mather, sementara Johanthan Edward adalah seorang tokoh transisi (ban. Rooy 1965). Khususnya berdasarkan studi studi yang sangat baik oleh Niebuhr ([1937] 1959), Van Den Berg (1956), Rooy (1965), De Jong (1970) dan Chaney (1976), kini saya akan berusaha mengietifikasikan segi-segi yang penting dari teologi misi puritan.
1. Sebuah ciri dasariah dari Calvinisme adalah doktrin predestinasi. Doktrin ini telah sering kali keliru dipahami dalam pengertian yang sangat kaku: bila Allah telah menetapkan orang pada keselamatan (dan yang lainnya dalam penghukuman, seperti yang diungkapkan oleh gagasan tentang predestinatio gemina atau” Pr edestinasi ganda),
maka
orang-orang
Kristen
13
anrus
menyerahkan
kepadanya
untuk
menyelamatkan siapa yang ia ingin selamatkan, sesukanya sendiri. Jadi, keyakinan akan predestinasi dapat melumpuhkan keinginan untuk melakukan misi.
2. Bagi orang puritan tujuan akhir misi, seperti halnya bagi Voetius, tetaplah kemulian Allah, disebut sebagai akar tunjang misi gereja. Hal ini jelas menjadi motif yang kuat bagi keterlibatan misi pada dua abad pertama misi protestan. Seperti predestinasi, ini adalah ajaran dasar calvinisme. Keseluruhan hidup orang Kristen berdiri dalam tanda yang memuliakan nama Allah dan mengakui kedaulatan-Nya atas segala sesuatu. Kedautan Allah tidak berarti meniadakan kasih karunia Allah, meskipun yang pertama dan bukan yang kedua diutamakan pada abad ke-17. Hanya pada abad ke -18 terjadi pergeseran dari tekanan yang sangat kuat pada kedaulatan Allah pada perhatian yang lebih besar pada belas kasih-Nya.
3. Akan tetapi, kemulian atau kedaulatan Allah tidak boleh dipahami terasing dari kasih karunia dan belas kasih- Nya yang tidak terselami. Kaum puritan” dikendali oleh kasih Yesus. Kasih Yesus dipahami dalam cara berganda: kasih-Nya seperti yang dialami oleh orang percaya, dan kasih-Nya untuk umat manusia yang belum tertembus. Berbicara tentang kasih kristus bagi orang-orang berdosa yang diampuni yang dengan lembut menahannya agar mengasihinya setiap anak manusia.
4. Usaha misi calvinis, baik misi yang mewakili “ Reformasi kedua” Belanda ataupun yang mewakili puritan Inggris, semuanya dilakukan di dalam kerangka ekspansi kolonialis. Dalam bab berikutnya hubungan yang erat antara kolonialisme dan misi akan ditelaah lebih jauh. Disini hanya mengacu pada gagasan colonial seperti terwujud dalam abad ke-17 dan awal abad ke-18 serta hubungannya dengan misi-misi protestan.
14
Dalam hal calvinisme, dimensi yang lain ditambahkan, yakni teokrasi. Kemana pun misi-misi calvinis dilaksanakan, maksudnya adalah untuk mendirikan di padang belantara suatu sistem sosial politik dimana Allah sendiri akan menjadi penguasa yang sesungguhnya. Negara mengemban panggilan ilahi untuk berfungsi sebagai sebuah agen pelengkap. Keselarasan yang sempurna antara gereja dan Negara dibayangkan. Ketika Oliver Cromwell dan yang lain-lainnya bermimpi untuk memperbaharui Inggris menjadi teokrasi; suatu integrasi antara agama dan politik dimaksudkan untuk mencerminkan kehendak Allah bagi gereja dan Negara.
5. Gagasan teokratis sangat erat dikaitkan dengan cara bagaimana penganut-penganut Calvinis awal memahami hubungan antara misi dan eskatologi. Perbedaan yang tajam antara pramilenialisme dan pascamilinialisme yang akan menjadi ciri masa-masa berikutnya (khususnya akhir abad ke-19 maupun abad ke-20) belum ada.
Eskatologi, lebih daripada bidang-bidang lain dalam iman Kristen telah selamanya menjadi bidang di mana fantasi-fantasi keagamaan mempunyai kesempatan untuk berkembang bebas. Namun ada suatu derajat kesepakaan yang mencengangkan disini karena semuanya sama-sama menganut visi teokratis pandangan mereka tentang hubungan antara misi dan eskatologi pada hakikatnya, mencangkup empat unsur: antisipasi kejatuhan Roma lalu masuknya secara besar-besaran orang-orang Yahudi dan non Yahudi kedalam gereja sejati; evolusi suatu zaman dengan iman sejati dan berkat materi di antara segala bangsa; dan keyakinan yang kuat bahwa Inggris secara ilahi diberikan mandat untuk memimpin sejarah pada tujuan yang telah ditetapkan dalam hal-hal ini. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran seperti itu, seolah-olah memenuhi udara abad ke 17 dan sesudahnya. Pada saat yang sama mereka mencerminkan pergeseran dari pemahaman Calvin tentang eskatologi.
15
6. Peningkatan budaya sebagai tujuan misi masih belum berkembang dalam “Reformasi kedua” dan periode puritan. Orang-orang Kristen barat percaya bahwa budaya mereka lebih unggul dibandingkan dengan budaya bangsa-bangsa non barat, tetapi mereka tidak menyebutkan secara khusus peningkatan budaya sebagai tujuan misi.
7. Dengan menonjolkan “Amanat Agung” dalam perdebatan -perdebatan misi sejak akhir abad ke-18, sungguh mengejutkan bahwa hal itu praktis tidak memainkan peranan dalam percakapan-percakapan di abad ke 17. Mungkin alasan utama bagi ketidakhadiran motif ini adalah bahwa keabsahan pengutusan itu sendiri tidak dipertentangkan dan bahwa orang-orang puritan tidak perlu mengunakan pengutusan untuk membenarkan apa yang sedang mereka lakukan.
16